Pendidikan Kewarganegaraan
DOSEN PENGAJAR :
Ir. Agnes Tekla Mandagi, MT
OLEH :
NAMA : Yeremia B. Mokalu
NIM : 17021101031
Konstitusi pada umumnya bersifat kodifikasi yaitu sebuah dokumen yang berisi aturan-
aturan untuk menjalankan suatu organisasi pemerintahan negara. Namun dalam pengertian ini,
konstitusi harus diartikan dalam artian tidak semuanya berupa dokumen tertulis (formal). Menurut
para ahli ilmu hukum maupun ilmu politik konstitusi harus diterjemahkan termasuk kesepakatan
politik, negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan dan distribusi maupun
alokasi [1]. Konstitusi bagi organisasi pemerintahan negara yang dimaksud terdapat beragam bentuk
dan kompleksitas strukturnya, terdapat pula konstitusi politik atau hukum akan tetapi mengandung
pula arti konstitusi ekonomi
1. Friedman
Rule of law di bagi menjadi dua bagian yaitu formal dan hakiki
2. Satjipto Raharjo
Rule Of Law ialah sebagai suatu institusi sosial yang juga memiliki struktur
sosial sendiri serta memperakar budaya sendiri.
Rule Of Law tumbuh serta berkembang ratusan tahun seiring dengan
pertumbuhan pada masyarakat Eropa, sehingga dapat memperakar sosial serta
budaya eropa,yang bukan institusi netral.
3. Philipus M.Hadjon
Rule Of Law yaitu negara hukum yang menurut istilah bahasa Belanda
adalah “rechtsstaat” ini lahir dari suatu perjuangan menentang suatu
absolutisme, ialah dari kekuasaan raja yang semena-mena untuk dapat
mewujudkan negara yang didasarkan pada suatu peraturan perundang-
undanagan. Oleh sebab itu didalam proses perkembangannya “rechtsstaat” ini
lebih memiliki ciri yang revolusioner
4. Friederich J.Stahl
Hak-hak manusia
Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu
Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan
Peradilan administrasi dalam perselisihan
5. Sunarjati Hartono
Rule of law yaitu harus menjamin apa yang diperoleh masyarakat ataupun
bangsa yang bersangkutan dipandang sebagai keadilan, khususnya pada
keadilan sosial.
Fungsi Rule Of Law
Jaminan secara formal terhadap ” rasa keadilan ” bagi rakyat indonesia
dan juga ” keadilan sosial ” sehingga di atur pada pembukaan UUD 1945
A. PENETAPAN POLSTRANAS
Jadi, untuk mencapai cita-cita nasional dan tujuan nasional maka harus dilakukan
bangnas yang berkelanjutan, dan strateginya dilakukan secara bertahap baik dalam
tahapan jangka panjang (PJPT), jangka menengah (Repelita) dan jangka pendek
(Tahunan). Untuk mencapai cita-cita, tujuan dan sasaran dalam GBHN, Presiden dan
kabinet membuat rencana strategik (Renstra) pembangunan sebagai bahan pelita. Pada
tingkatan ini Presiden selaku mandataris MPR dalam melaksanakan GBHN menetapkan
Polstranas pemerintah untuk melaksanakan Repelita.
Untuk mencapai tujuan dan cita-cita nasional, harus dilakukan bangnas. Untuk itu
MPR menetapkan GBHN (sekarang Propenas) yang pada hakikatnya adalah pola
umum pembangunan yang ruang lingkupnya mencakup berikut ini.
Bab pendahuluan, Bab pola dasar, bangnas, Bab Pola Umum Pembangunan Jangka
Panjang, Bab Pola Umum Pembangunan Lima Tahun dan Bab Penutup.
Bab I Pendahuluan berisi pengertian, maksud dan tujuan, landasan, pokok-pokok
penyusunan dan penuangan GBHN dan pelaksanaan.
Bab II Pola Dasar bangnas meliputi; tujuan nasional, landasan pembangunan
nasional, modal dasar dan faktor dominan, serta Wasantara dan TANNAS.
Bab III Pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) mencakup
Pendahuluan, arah pembangunan jangka panjang, yang antara lain
menggariskan sasaran utama pembangunan jangka panjang dan sasaran-
sasaran dalam empat bidang kehidupan, yaitu bidang ekonomi, bidang agama
dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, sosial budaya bidang politik,
dan bidang pertahanan dan keamanan.
Bab Pola umum Pelita kedua mencakup hal-hal sebagai berikut.
IV a. Pendahuluan.
b. Tujuan.
c. Prioritas.
d. Arah dan kebijaksanaan pembangunan yang meliputi arah dan
kebijaksanaan
1) Bidang ekonomi.
2) Bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
Sosial Budaya.
3) Bidang politik, aparatur pemerintah hukum dan hubungan luar negeri.
4) Bidang pertahanan dan keamanan.
5) Pelaksanaan Pelita kedua.
Bab V Penutup
Sistematika yang terdiri atas 5 bab tetap dipakai pada GBHN; tahun 1978,
1983, 1988, sedangkan pada GBHN 1993 terdapat perubahan.
Mengenai perubahan materinya dapat dilihat, antara lain perkembangan
sebagai berikut
Dalam GBHN 1978 ada penambahan yang substansial pada pola dasar bangnas,
yaitu sebagai berikut.
a. Asas bangnas yang pada GBHN 1973 terdiri dari 5 asas, dalam GBHN 1978
menjadi 7 asas, dengan tambahan asas kesadaran hukum dan asas kepercayaan
pada diri sendiri.
b. Modal dasar dan faktor dominan dalam pola dasar bangnas, juga mendapat
tambahan, yaitu ABRI sebagai kekuatan hankam dan kekuatan sosial termasuk
modal dasar pembangunan. Juga kekuatan sosial politik, yaitu partai politik dan
Golkar termasuk dalam potensi efektif bangsa, yang juga merupakan salah satu
modal dasar pembangunan.
c. Faktor dominan dari bangnas, yang antara lain terdiri dari faktor demografi
ditambah dengan faktor sosial budaya.
d. Pemasukan konsepsi tannas di samping konsepsi wasantara sebagai salah satu
acuan pelaksanaan bangnas.
Di samping pada Pola Dasar Bangnas juga diadakan penyempurnaan substansial
pada arah Pembangunan Jangka Panjang. Penyempurnaan itu, antara lain berikut ini.
Dalam Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang, dalam mencapai sasaran
pembangunan di Bidang Politik, ditekankan pentingnya upaya untuk mewujudkan
pemerintahan yang bersih, berkemampuan dan berwibawa, serta terlaksananya
pengawasan oleh DPR yang makin efektif dan terwujudnya kesadaran dan kepastian
hukum dalam masyarakat. Dalam mencapai sasaran di Bidang Hankam, sejalan
dengan peran ABRI sebagai modal dasar bangnas, ditekankan bahwa ABRI adalah
kekuatan inti dari sistem Hankamrata dan peranan ABRI yang melaksanakan Dwifungsi
dalam bangnas.
Mengenai Pola Umum Pembangunan Lima Tahun Ketiga jelas keseluruhan materi
GBHN 1973 diperbarui, disesuaikan dengan hasil-hasil yang telah dicapai dalam Pelita
kedua, dan diarahkan untuk makin mendekati sasaran-sasaran dalam pembangunan
jangka panjang.
Pada GBHN 1983 tidak diadakan perubahan atau penambahan pada Pola Dasar
Pembangunan Nasional dan Pola Umum Pembangunan jangka panjang. Pada GBHN
1983 ini pembaruan dan perubahan dipusatkan pada Pola Umum Pembangunan Lima
Tahun Keempat, sebagai kesinambungan dan kelanjutan dari hasil-hasil yang telah
dicapai dalam Pelita Ketiga.
Dalam hubungan itu, dapat dikemukakan bahwa sebenarnya terdapat perubahan
yang substansial pada pola pembangunan jangka panjang dirumuskan dalam Bab Pola
Umum Pembangunan Pelita Keempat. Perubahan itu ialah penegasan tekad bangsa
Indonesia untuk mempercepat tercapainya sasaran Pembangunan Jangka Panjang,
setelah memperhatikan hasil-hasil pembangunan dalam tiga pelita terdahulu. Sasaran
Pembangunan Jangka Panjang (Pertama) ialah terciptanya landasan yang kuat bagi
bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatan sendiri menuju
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, yang diperkirakan tercapai
dalam lima atau enam Pelita. Ditegaskan bahwa untuk dicapai dalam lima Pelita
diusahakan agar dalam Pelita Keempat dapat diciptakan kerangka landasan,
sedangkan dalam Pelita Kelima diusahakan mantapnya landasan itu sehingga dalam
Pelita Keenam bangsa Indonesia telah dapat tinggal landas untuk memacu
pembangunan menuju terwujudnya masyarakat yang kita cita-citakan.
Di samping hal tersebut, juga terdapat penegasan yang substansial yang
menyangkut kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
berdasarkan Pancasila, yaitu diterima dan disepakati Pancasila sebagai satu-satunya
asas. Di dalam arah dan kebijaksanaan pembangunan ditekankan bahwa demi
kelestarian dan pengamalan Pancasila, kekuatan-kekuatan sosial politik, khususnya
partai politik dan Golongan Karya harus benar-benar menjadi kekuatan sosial politik
yang hanya berdasarkan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Demikian pula, dalam GBHN 1983 telah diterima dan disepakati bersama penegasan
bahwa bangnas merupakan pengamalan Pancasila. Hal ini dirumuskan di dalam Bab
Penutup tanpa penjelasan ataupun perincian lebih lanjut.
4. GBHN Tahun 1988
Dalam GBHN 1988, seperti halnya pada GBHN 1983, perubahan dan pembaruan
hanya dipusatkan pada Pola Umum Pembangunan Lima Tahun, sedangkan pada Pola
Dasar Pembangunan Nasional dan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang tidak
terdapat perubahan, tetap pada keadaan rumusan semula.
Hal yang perlu dikemukakan dalam GBHN 1988 yang amat substansial adalah
sebagai berikut:
Pertama dirumuskan sasaran Pembangunan Jangka Panjang Kedua dalam GBHN
1988. Ini dianggap penting karena menjelang pelaksanaan Pelita Kelima, sebagai Pelita
terakhir dan untuk mengantisipasi tercapainya sasaran pembangunan dari PJP Ke-1,
bangsa Indonesia sebaiknya telah dapat mengantisipasi dan menetapkan sasaran
Pembangunan Jangka Panjang berikutnya.
Sasaran PJP II itu dirumuskan di dalam Bagian Pendahuluan dari Bab Pola Umum
Pembangunan Lima Tahun Kelima, yang berbunyi sebagai berikut; “Sasaran utama
PJP 25 tahun kedua adalah tercapainya kualitas manusia dan kualitas masyarakat
Indonesia yang maju dalam suasana tenteram dan sejahtera lahir batin dalam tata
kehidupan masyarakat bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila dalam suasana
kehidupan bangsa Indonesia yang serba berkeseimbangan dan selaras dalam
hubungan antara sesama manusia, manusia dan masyarakat, manusia dan alam
lingkungannya, manusia dan Tuhan Yang Maha Esa.”
Kedua, dirumuskan secara lebih rinci pengertian pembangunan sebagai pengamalan
Pancasila yang mencakup keseluruhan semangat, arah dan gerak pembangunan yang
dilaksanakan sebagai upaya pengamalan dari kelima sila dalam Pancasila secara
serasi dan sebagai kesatuan yang utuh. Hal ini juga dirumuskan di dalam Bagian
Pendahuluan, Bab Pola Umum Pengembangan Lima Tahun Kelima.
Perincian itu dianggap penting bukan saja karena dalam GBHN sebelumnya belum
terdapat penjelasan yang memadai tentang pengertian pembangunan sebagai
pengamalan Pancasila, tetapi juga dengan maksud agar kita semua memahami dan
menghayati sikap perilaku, dan gerak kegiatan dengan sebaik-baiknya untuk
berpartisipasi secara aktif dan konstruktif dalam pelaksanaan pembangunan sebagai
pengamalan Pancasila.
Seperti halnya dalam menghadapi Sidang Umum MPR yang terdahulu Presiden
Soeharto yang terpilih kembali sebagai Presiden masa bakti 1988-1993 oleh Sidang
Umum MPR 1988, juga menugasi Sekretariat Jenderal Wanhankamnas untuk
mengumpulkan bahan-bahan masukan bagi penyiapan GBHN 1993. Sejak jauh hari
Setjen Wanhankamnas (dengan Mahmud Soebarkah sebagai Sekretaris Jenderal)
mulai melaksanakan tugas pengumpulan bahan-bahan GBHN itu secara intensif dan
dengan wawasan yang jauh ke depan. Ada faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam
penyiapan bahan-bahan untuk GBHN 1993 ini.
Pertama, Masa Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun Pertama akan berakhir
dengan berakhirnya Pelita Kelima pada tahun 1994. Ini berarti bahwa pemikiran dan
konsep GBHN 1993 tidak hanya dipusatkan pada Pelita Keenam, tetapi juga harus
dapat menjangkau Pelita-pelita selanjutnya dalam PJP II.
Kedua, PJP Kedua ini akan dilaksanakan menjelang dan memasuki awal abad XXI
dengan segala perkembangan keadaan dunia yang amat pesat, khususnya sebagai
akibat dari kemajuan iptek, pascaperang dingin, dan globalisasi, yang kesemuanya itu
perlu diantisipasi dengan sebaik-baiknya, akibat-akibatnya, terutama kemampuan kita
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Ketiga, Pembangunan Jangka Panjang Kedua yang akan mulai dilaksanakan pada
Pelita Keenam merupakan proses tinggal landas pembangunan dan sekaligus
kebangkitan nasional kedua menuju sasaran PJP II yang telah ditetapkan, yaitu
terciptanya kualitas manusia dan kualitas masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri
dalam suasana tenteram, sejahtera lahir dan batin dalam tata kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila, yang serba berkesinambungan dan
selaras.
Dalam proses tinggal landas akan terjadi transformasi nilai-nilai dalam masyarakat
sebagai akibat dari perubahan dari masyarakat agraria kepada masyarakat industri.
Karena itu, perumusan GBHN harus sesuai dengan aspirasi rakyat yang beraneka
ragam serta harus mengarah kepada sasaran yang telah ditetapkan, perlu benar-benar
diperhitungkan tantangan-tantangan yang akan dihadapi di masa depan dan peluang-
peluang yang ada.
Untuk itu, Wanhankamnas mengintensifkan usahanya dalam mengumpulkan bahan-
bahan melalui pertemuan-pertemuan, diskusi-diskusi, dan pembahasan-pembahasan
dengan mengundang tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai latar belakang fungsi dan
profesi yang berasal dari supra maupun infrastruktur politik, termasuk dari dunia
perguruan tinggi dari seluruh wilayah Indonesia.
Bahan-bahan yang berhasil dikumpulkan oleh Wanhankamnas dalam beberapa
tahun itu yang jumlahnya cukup besar dilaporkan kepada Presiden.
Berbeda dengan waktu-waktu sebelumnya, kali ini Presiden tidak menyerahkan
bahan-bahan hasil Wanhankamnas itu kepada suatu tim agar dihimpunnya menjadi
bahan akhir untuk kemudian diserahkan kepada MPR. Akan tetapi, Presiden kali ini
menyerahkan bahan-bahan tersebut langsung kepada fraksi-fraksi di MPR melalui
induk organisasinya masing-masing. Ini berarti bahwa Presiden tidak lagi menyerahkan
sumbangan pikiran berupa rancangan GBHN kepada MPR, seperti pada Sidang Umum
MPR sebelumnya. Penyampaian bahan-bahan tersebut kepada fraksi-fraksi MPR itu
adalah dengan maksud agar kelima fraksi MPR dapat meningkatkan peranan dan
partisipasinya dalam menyiapkan konsep GBHN, yang berarti mengembangkan
pelaksanaan Demokrasi Pancasila.
Setelah menerima bahan-bahan dari Presiden itu, semua fraksi MPR (fraksi Karya,
fraksi PPP, fraksi PDI, fraksi utusan daerah dan fraksi ABRI) memang menyiapkan
rancangan GBHN masing-masing untuk diajukan kepada MPR dengan menggunakan
bahan yang mereka terima dari Presiden.
Sesuai dengan Peraturan Tata Tertib MPR yang berlaku, untuk menyiapkan
rancangan acara dan rancangan keputusan. MPR membentuk Badan Pekerja MPR.
Biasanya, Badan Pekerja MPR membentuk Panitia Ad hoc khusus untuk menyiapkan
rancangan GBHN yang akan diajukan kepada Sidang Umum MPR untuk ditetapkan.
Berbeda dengan pada sidang-sidang MPR terdahulu, pada sidang tahun 1993,
Panitia Ad hoc Badan Pekerja MPR menerima 5 rancangan GBHN yang diterima dari
kelima fraksi MPR. Pada waktu-waktu sebelumnya Panitia Ad hoc hanya menerima dan
membahas satu rancangan GBHN, yaitu sumbangan pikiran Presiden yang
disampaikan kepada MPR.
Karena itu, sungguh bijaksana sikap semua fraksi MPR untuk menyetujui
penggunaan konsep GBHN yang disampaikan oleh fraksi ABRI sebagai bahan
pembahasan. Kesepakatan ini dapat dicapai setelah dilakukan pembicaraan,
musyawarah, dan pendekatan-pendekatan antarfraksi dan dengan pimpinan Panitia Ad
hoc Badan Pekerja MPR yang intensif. Dengan cara kerja yang demikian itu, Badan
Pekerja MPR dapat menyelesaikan tugasnya, yakni menyiapkan rancangan GBHN
1993 untuk selanjutnya disampaikan kepada Pimpinan MPR pada waktu yang
dijadwalkan. Dan pada akhirnya, rancangan GBHN tersebut dibahas dan diputuskan
oleh Sidang Umum MPR dengan Ketetapan MPR No. II/MPR/1993 tentang GBHN.
1. Pada bab ini tercantum subbab baru, yakni makna dan hakikat bangnas.
Diadakannya subbab ini dimaksudkan untuk mewadahi rumusan substansi yang
dalam GBHN terdahulu dirumuskan dalam bab-bab atau subbab lainnya, seperti
rincian pengamalan sila demi sila dari Pancasila dalam pembangunan, sebagai
pengamalan Pancasila, yang dalam GBHN 1988 tercantum dalam bab Pola Umum
Pembangunan Lima Tahun Kelima subbab pendahuluan.
2. Pada bab ini juga ditambah dengan subbab “Kaidah Penuntun” subbab baru ini
berisi penegasan bahwa dalam pelaksanaan bangnas harus mengacu kepada dan
berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam kaidah penuntun ini.
Adapun sebagian dari substansi kaidah penuntun telah terdapat dalam GBHN
sebelumnya, seperti ciri-ciri positif demokrasi ekonomi dan hal negatif yang harus
dihindari dalam pelaksanaan demokrasi ekonomi, yang dahulu terdapat dalam bab
Pembangunan Jangka Panjang.
Perbedaan lain yang cukup penting adalah pada bab Pembangunan Jangka
Panjang Tahap Kedua. Dalam GBHN yang terdahulu, bab Pola Umum
Pembangunan Jangka Panjang hanya meliputi dua subbab, yaitu subbab A:
Pendahuluan dan subbab B: Arah Pembangunan Jangka Panjang.
Dalam GBHN 1993 pada bab Pembangunan Jangka Panjang dirinci beberapa
subbab untuk memperjelas subjek substansinya. Dalam bab Pembangunan Jangka
Panjang Kedua, yang meliputi enam subbab adalah subbab Umum; subbab Tujuan;
subbab Sasaran Umum. Pembangunan Jangka Panjang Kedua; subbab Titik Berat
Pembangunan Jangka Panjang Kedua; Sasaran per bidang pembangunan yang
meliputi tujuh bidang pembangunan dan Subbab Arah Pembangunan Jangka
Panjang.
Suatu perubahan lain yang cukup penting dalam GBHN 1993 ini adalah adanya
pemisahan yang jelas antara Sasaran Umum Pembangunan dan Sasaran Bidang
demi Bidang Pembangunan, baik dalam Pembangunan Jangka Panjang maupun
Pembangunan Lima Tahun Keenam. Perlu dijelaskan di sini bahwa dalam GBHN
1993 ini diadakan perluasan bidang-bidang pembangunan dari empat bidang pada
GBHN sebelumnya menjadi tujuh bidang dalam GBHN 1993. Selain itu, diadakan
pula perluasan sektor-sektor pembangunan sebagai penjabaran dari kebijaksanaan
pembangunan bidang-bidang. Adanya penambahan bidang dan sektor
pembangunan ini jelas menunjukkan adanya perluasan bidang-bidang dan sektor
yang memperoleh perhatian yang makin besar.
Catatan:
Maksud dari sektor adalah perincian dari bidang Pembangunan dalam GBHN
1993 sehingga tidak sama dengan pengertian “sektor” sebagaimana digunakan
dalam APBN.
Dalam Uraian terdahulu telah Anda pelajari, wujud Polstranas adalah GBHN.
GBHN menetapkan arah dan kebijaksanaan bangnas yang masih bersifat umum.
Bangnas yang diamanatkan adalah bangnas dalam upaya mencapai cita-cita dan
tujuan nasional. Untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional tersebut diperlukan
upaya pembangunan yang berkelanjutan (terus-menerus). Oleh karena itu, strategi
yang ditempuh, yaitu melakukan pertahapan dalam Bangnas tersebut yang
dikategorikan dalam pembangunan jangka panjang, jangka menengah, dan jangka
pendek (tahunan). Ketiga kategori penjenjangan pembangunan itu berkaitan satu
sama lain, dalam arti bahwa pembangunan jangka pendek (tahunan - RAPBN)
adalah implementasi bangnas untuk mencapai arah, sasaran dan kebijaksanaan
yang tertuang dalam pembangunan jangka menengah (Repelita). Begitu pula
Repelita untuk mencapai arah, sasaran dan kebijakan yang ada pada pembangunan
jangka panjang. Oleh karena itu, dalam penetapan arah kebijaksanaan tiap bidang
pembangunan dicantumkan pendahuluan yang berisikan analisis situasi apa yang
telah dicapai, kondisi nyata yang dihadapi dan harapan-harapan yang diimpikan.
Selain itu dicantumkan pula pembangunan tiap bidang yang berisikan sasaran pada
PJPT dan arah pembangunan bidang pada PJPT. Sasaran dan arah pembangunan
pada PJPT merupakan landasan pembangunan per bidang pada Pelita. Selanjutnya,
pembangunan bidang pada pelita berisikan kondisi umum (hasil yang telah dicapai,
tantangan yang dihadapi, sasaran bidang, dari kebijaksanaan bidang pada pelita).
Kebijaksanaan bidang dalam pelita ini dilaksanakan melalui beberapa sektor
pembangunan. Untuk lebih jelasnya dalam kegiatan belajar penerapan Polstranas
dalam bidang pembangunan disajikan; pembangunan jangka panjang, sedangkan
jangka sedang atau menengah (Pelita) merupakan upaya untuk mencapai apa yang
digariskan dalam jangka panjang yang kondisinya selalu berubah sesuai dengan apa
yang dicapainya pada tahapan pembangunan lima tahun tersebut.
1. Umum
Dalam GBHN 1993 istilah tahap tidak lagi dipakai dalam penyebutan Pembangunan
Jangka Panjang Pertama atau Kedua karena akan digunakan untuk menunjukkan
tahapan pembangunan lima tahunan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
bangnas dilaksanakan dengan tahap Jangka Sedang 5 Tahunan dan periode atau
Babakan Jangka Panjang 25 Tahunan.
Dalam Bab III GBHN terdahulu dinyatakan bahwa pembangunan Jangka Panjang
berlangsung antara 25 sampai dengan 30 tahun karena pada awal Orde Baru bangsa
Indonesia belum memiliki cukup sarana dan prasarana serta kemampuan untuk
menetapkan secara tegas dan jelas.
Memasuki Pelita Keempat telah ditegaskan bahwa pembangunan jangka panjang
akan diselenggarakan selama 25 tahun untuk mempercepat pencapaian sasaran
pembangunan.
Dalam subbab Umum pada Bab III GBHN 1993 telah dinyatakan berbagai
keberhasilan PJP I dan peluang serta tantangan yang masih harus dihadapi dalam PJP
II, yang dituangkan dalam tiga belas butir rumusan yang meliputi seluruh bidang
pembangunan. Secara umum, dinyatakan bahwa PJP I telah menghasilkan kemajuan
dalam segenap aspek kehidupan bangsa dan telah meletakkan landasan yang cukup
kuat bagi bangsa Indonesia untuk memasuki PJP II sebagai awal bagi Kebangkitan
Nasional kedua dan proses tinggal landas.
Keberhasilan penyelenggaraan pembangunan dicapai berkat peran serta rakyat
secara menyeluruh, mantapnya pemerintahan, dan kepemimpinan nasional yang
didukung oleh stabilitas nasional yang sehat dan dinamis yang tercermin dalam
terwujudnya tannas yang tangguh.
Dalam GBHN 1993 dinyatakan bahwa sasaran umum PJP II adalah terciptanya
kualitas manusia dari kualitas masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri dalam
suasana tenteram dan sejahtera lahir batin, dalam tata kehidupan masyarakat, bangsa,
dan negara yang berdasarkan Pancasila dalam suasana kehidupan bangsa Indonesia
yang serba berkesinambungan dan selaras dalam hubungan antara sesama manusia,
manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam lingkungannya, manusia dengan
Tuhan Yang Maha Esa.
Sasaran umum PJP II ditetapkan dengan maksud agar dapat diketahui apakah
pelaksanaan bangnas telah berhasil mewujudkan tuntutan yang telah ditetapkan dalam
rumusan sasaran umum dimaksud. Dengan demikian, sasaran umum PJP II sekaligus
juga berfungsi sebagai tolok ukur keberhasilan pelaksanaan bangnas selama kurun
waktu 25 tahun kedua.
Dalam GBHN 1993 telah ditetapkan bahwa titik berat PJP II diletakkan pada bidang
ekonomi, yang merupakan penggerak utama pembangunan, seiring dengan kualitas
sumber daya manusia dan didorong secara saling memperkuat, saling terkait dan
terpadu, dengan pembangunan bidang-bidang lainnya yang dilaksanakan seirama,
selaras, dan serasi dengan keberhasilan pembangunan bidang ekonomi dalam rangka
mencapai tujuan dan sasaran Bangnas. Berdasarkan rumusan tentang titik berat
tersebut, disampaikan beberapa hal sebagai berikut.
a. Bidang ekonomi diletakkan sebagai titik berat karena melalui pembangunan bidang
ekonomi dapat dihasilkan sumber daya dan peluang yang lebih luas bagi
pembangunan bidang-bidang lainnya.
b. Bersamaan dan dalam rangka pembangunan bidang ekonomi, kualitas sumber
daya manusia harus menjadi pusat perhatian karena merupakan subjek dan objek
pembangunan yang menentukan. Dengan demikian, apabila pembangunan bidang
ekonomi tidak selaras dengan kondisi kualitas sumber daya manusia dari saat ke
saat, akan menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan sosial yang dapat menjurus
ke arah kecemburuan dan keangkuhan sosial.
c. Derap langkah dan laju pembangunan bidang-bidang lainnya dilaksanakan
seirama, selaras dan serasi dengan keberhasilan pembangunan bidang lainnya
secara bersama-sama harus dapat menciptakan iklim yang sehat bagi
perkembangan pembangunan bidang ekonomi.
Dalam GBHN 1993 telah dinyatakan bahwa upaya pencapaian sasaran umum PJP II
diselenggarakan melalui tujuh bidang pembangunan, yaitu sebagai berikut.
Demokrasi
Demokrasi adalah prasayarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society yang murni (genuine).
[2]
Tanpa demokrasi masyarakat sipil tidak mungkin terwujud.[2] Demokrasi tidak akan berjalan stabil
bila tidak mendapat dukungan riil dari masyarakat.[5] Secara umum demokrasi adalah suatu tatanan
sosial politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga Negara.[2]
Toleransi
Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat.[2]
Pluralisme
Kemajemukan atau pluralisme merupakan prasayarat lain bagi civil society.[2] Pluralisme tidak hanya
dipahami sebatas sikap harus mengakui dan menerima kenyataan sosial yang beragam, tetapi
harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang
alamiah dan rahmat Tuhan yang bernilai positif bagi kehidupan masyarakat.[2]
Keadilan social
Keadilan sosial adalah adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional atas hak dan
kewajiban setiap warga Negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan: ekonomi, politik,
pengetahuan dan kesempatan.[2] Dengan pengertian lain, keadilan sosial adalah hilangnya monopoli
dan pemusatan salah satu aspek kehidupan yang dilakukan oleh kelompok atau golongan tertentu.[2]
Pers
Pers adalah institusi yang berfungsi untuk mengkritisi dan menjadi bagian dari sosial kontrol yang
dapat menganalisis serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berhubungan
dengan warga negaranya.[2] Selain itu, pers juga diharapkan dapat menyajikan berita secara objektif
dan transparan.[2]
Supremasi Hukum
Setiap warga negara, baik yang duduk dipemerintahan atau sebagai rakyat harus tunduk kepada
aturan atau hukum.[2] Sehingga dapat mewujudkan hak dan kebebasan antar warga negara dan
antar warga negara dengan pemerintah melalui cara damai dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
[2]
Supremasi hukum juga memberikan jaminan dan perlindungan terhadap segala bentuk
penindasan individu dan kelompok yang melanggar norma-norma hukum dan segala bentuk
penindasan hak asasi manusia.[2]
Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi merupakan tempat para aktivis kampus (dosen dan mahasiswa) yang menjadi
bagian kekuatan sosial dan masyarakat madani yang bergerak melalui jalur moral porce untuk
menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah.
[2]
Namun, setiap gerakan yang dilakukan itu harus berada pada jalur yang benar dan memposisikan
diri pada real dan realitas yang betul-betul objektif serta menyuarakan kepentingan masyarakat.
[2]
Sebagai bagian dari pilar penegak masyarakat madani, maka Perguruan Tinggi memiliki tugas
utama mencari dan menciptakan ide-ide alternatif dan konstruktif untuk dapat menjawab
problematika yang dihadapi oleh masyarakat.[2]
Partai Politik
Partai Politik merupakan wahana bagi warga negara untuk dapat menyalurkan aspirasi politiknya.
[2]
Partai politik menjadi sebuah tempat ekspresi politik warga negara sehingga partai politik menjadi
prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani.