Anda di halaman 1dari 13

1.

PENGARUH OBAT PADA KEHAMILAN


Kehamilan dapat dibagi menjadi 4 tahap utama: 2
1. Tahap pra-implantasi (pembentukan blastokista): berlangsung 16 hari, yaitu
dari konsepsi sampai implantasi. Menunjukkan "semua atau tidak ada" efek,
yaitu baik membunuh embrio atau tidak mempengaruhi sama sekali. Tidak ada
teratogenesis.
2. Periode organogenesis (dari 17 sampai hari ke-56): Selama periode ini, obat
dapat menghasilkan a) tidak ada efek yang dapat diukur, b) aborsi, c) cacat
subletal kelainan anatomi, atau d) kelainan metabolisme permanen atau cacat
fungsional
3. Trimester ke-2 dan 3: obat dapat menyebabkan teratogenik atau efek lain
seperti retardasi pertumbuhan fisik atau otak, cacat perilaku, persalinan
prematur, toksisitas neonatal atau bahkan efek pascanatal seperti kanker di
kemudian hari.
4. Kelahiran-tahap penerimaan: sama dengan bahaya toksisitas dalam periode
neonatal.
Beberapa penelitian mengungkapakan terdapat 6 mekanisme teratogenik
yang berhubungan dengan penggunaan obat : 2,5
1. Antagonisme asam folat
2. Gangguan neural crest cell
3. Gangguan endokrin
4. Stres oksidatif
5. Gangguan vascular
6. Reseptor spesifik teratogenik

2. KATEGORI OBAT DALAM KEHAMILAN


Kehamilan adalah kondisi fisiologis khusus di mana terapi obat menjadi
perhatian khusus karena fisiologi kehamilan mempengaruhi farmakokinetik obat
yang digunakan dan obat-obatan tertentu dapat mencapai janin dan menyebabkan
bahaya. Menghindari pengobatan farmakologis pada kehamilan tidak
memungkinkan dan mungkin berbahaya karena sebagian perempuan memasuki
kehamilan dengan kondisi medis yang memerlukan perawatan berkelanjutan dan
episodik (misalnya asma, epilepsi, hipertensi). Juga selama kehamilan masalah
medis baru dapat timbul dan yang lama dapat memburuk (misalnya migrain, sakit
kepala) yang membutuhkan terapi farmakologi. Fakta bahwa obat-obatan tertentu
yang diberikan selama kehamilan mungkin terbukti berbahaya bagi anak yang
belum lahir adalah salah satu masalah klasik dalam perawatan medis. Terdapat 2
macam kategori penggunaan obat dalam kehamilan yang biasa digunakan, yaitu
berdasarkan FDA & ADEC.6

A. Kategori obat dalam kehamilan berdasarkan FDA


Untuk memberi tuntunan terapi, Food and Drug Administration (1979)
membuat suatu sistem untuk menentukan peringkat keamanan obat pada
kehamilan. Sistem ini dirancang untuk membantu dokter menyederhanakan
informasi manfaat-risiko dengan kategori-kategori yang dinyatakan dengan huruf-
huruf. Kesepakatan umum menyatakan bahwa sistem ini tidaklah ideal. Banyak
peringkat obat didasarkan pada data hewan, laporan kasus, dan data manusia yang
terbatas atau tidak ada, dengan informasi yang jarang diperbaharui. Karena
produsen juga membuat peringkat, yang sering terjadi ketidaksesuaian.
Kekurangan lain adalah bahwa adanya kategori-kategori ini menimbulkan kesan
bahwa obat-obat dalam satu kategori memiliki risiko yang setara, yang sebenarnya
tidak.1,3
Kategori PEMBAHASAN
Studi – studi pada wanita hamil belum memperlihatkan adanya risiko
kelainan janin jika diberikan selama trimester pertama (kedua, ketiga,
A
atau semuanya), dan kemungkinan bahaya bagi janin manusia tampaknya
terkontrol.
Studi-studi reproduksi pada hewan telah dilakukan dan tidak
memperlihatkan adanya bukti gangguan fertilitas atau bahaya bagi janin.
Informasi peresepan perlu memperjelas jenis hewan dan bagaimana
dosisnya dibandingkan dengan dosis pada manusia. Atau studi pada
B
hewan memperlihatkan efek samping, tetapi studi-studi yang adekuat dan
terkontrol baik, pada wanita hamil gagal memperlihatkan risiko bagi
janin selama trimester pertama kehamilan, dan belum ada bukti risiko
pada trimester-trimester selanjutnya
Studi-studi reproduksi hewan telah memperlihatkan bahwa obat ini
bersifat teratogenik (atau embriosidal atau menimbulkan efek samping
lain), dan belum ada studi yang adekuat dan terkontrol baik pada wanita
C hamil. Informasi peresepan perlu memperjelas jenis hewan dan
bagaimana dosisnya dibandingkan dengan dosis pada manusia. Atau
belum ada studi reproduksi pada hewan dan belum ada studi terkontrol
dan adekuat pada manusia.
Obat ini dapat membahayakan janin jika diberikan kepada wanita hamil.
Jika obat ini digunakan selama kehamilan atau jika seorang wanita
D
menjadi hamil ketika menggunakan obat ini maka ia perlu diberitahu
tentang kemungkinan efek samping pada janinnya
Obat ini dikontraindikasikan bagi wanita yang sedang atau akan hamil.
Obat ini akan merugikan janin. Jika obat ini digunakan selama kehamilan
X
atau jika seorang wanita menjadi hamil menggunakan obat ini maka ia
perlu diberi tahu tentang kemungkinan bahaya bagi janinnya
Tabel 2 - Kategori FDA Untuk Obat Pada Kehamilan (dikutip dari kepustakaan 3)

B. Kategori obat dalam kehamilan berdasarkan Australian Drug Evaluation


Committee (ADEC)
Sistem kategorisasi Australia berbeda dari kategorisasi FDA. Kategorisasi
obat-obatan untuk digunakan dalam kehamilan tidak mengikuti struktur hierarki.
Data manusia masih kurang atau tidak memadai untuk obat kategori B1, B2 dan
B3. Subkategorisasi dari kategori B berdasarkan data hewan. Kategori B tidak
berarti lebih aman daripada kategori C. Obat dalam kategori D tidak benar-benar
dikontraindikasikan selama kehamilan (agen anti konvulsan). Untuk produk
farmasi yang mengandung dua atau lebih bahan aktif, kategorisasi kombinasi
didasarkan pada bahan aktif dengan kategorisasi kehamilan paling bersifat
membatasi.7

Kategori PEMBAHASAN
A Obat yang telah banyak digunakan oleh ibu hamil maupun wanita usia
produktif tanpa disertai bukti peningkatan frekuensi terjadinya malformasi
ataupun efek lain yang membahayakan janin yang diteliti baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Obat yang digunakan hanya sejumlah kecil ibu hamil maupun wanita usia
reproduktif tanpa disertai bukti peningkatan kejadian malformasi atau efek
B1 lain yang membahayakan janin baik secara langsung maupun tidak
langsung. Penelitian pada hewan tidak menunjukkan bukti peningkatan
kejadian kerusakan pada janin.
Obat yang digunakan oleh sejumlah kecil ibu hamil atau wanita usia
reproduktif tanpa disertai bukti peningkatan frekuensi kejadian malformasi
atau efek lain yang membahayakan janin manusia yang diteliti baik
B2
langsung maupun tidak langsung. Data penelitian pada hewan tidak
mencukupi atau tidak ada, tetapi data yang tersedia tidak menunjukkan
peningkatan kejadian kerusakan pada janin.
Obat yang digunakan hanya sejumlah kecil ibu hamil tanpa disertai bukti
peningkatan frekuensi kejadian malformasi atau efek lain yang
membahayakan janin manusia yang diteliti baik secara langsung maupun
B3
tidak langsung. Penelitian pada hewan menunjukkan bukti peningkatan
kejadian kerusakan pada janin tetapi efek tersebut pada manusia belum
jelas.
Obat yang berdasarkan efek farmakologinya telah atau diduga dapat
C menyebabkan efek yang membahayakan pada janin manusia atau neonatus
tanpa disertai malformasi. Efek tersebut bisa jadi reversibel.
Obat yang telah dicurigai atau diramalkan menyebabkan peningkatan
D
kejadian malformasi janin manusia atau kerusakan yang bersifat menetap.
Obat yang mempunyai resiko tinggi untuk menyebabkan kerusakan yang
X bersifat menetap terhadap janin sehingga tidak boleh digunakan pada masa
kehamilan atau jika ada kemungkinan terjadi kehamilan.
Tabel 3 - Kategori obat dalam kehamilan berdasarkan Australian Drug
Evaluation Committee (ADEC) (dikutip dari kepustakaan 1,7)

3. TERATOGEN
Teratogenik adalah disgenesis organ janin baik secara struktural maupun
fungsi. Teratogenesis bermanifestasi sebagai gangguan pertumbuhan, kematian
janin, pertumbuhan karsinogenesis, dan malformasi. Teratogenesis atau
abnormalitas bervariasi dalam tingkat kelainan organ ataupun fungsinya bisa
relatif ringan, sangat berat bahkan tidak terkoreksi. Suatu obat atau bahan kimia
dikatakan teratogenik apabila seorang ibu hamil mengkonsumsi obat dengan
sengaja atau tidak yang menyebabkan terjadinya abnormalitas struktur janin atau
bayi.1,8
Pada tahun 1959, James Wilson mengusulkan 6 prinsip dasar teratologi.
Lima puluh tahun kemudian, prinsip-prinsip ini tetap menjadi prinsip dasar yang
penting dalam bidang teratologi. Prinsip-prinsip ini meliputi: 2
a) Kerentanan terhadap teratogenesis tergantung pada genotipe hasil konsepsi
dan cara di mana ia berinteraksi dengan faktor lingkungan.
b) Kerentanan terhadap teratogen bervariasi dengan tahap perkembangan pada
saat paparan.
c) Agen teratogenik bertindak dengan cara tertentu pada pengembangan sel dan
jaringan untuk memulai proses perkembangan abnormal.
d) Akses dari pengaruh lingkungan yang merugikan untuk mengembangkan
jaringan tergantung pada sifat dari pengaruh.
e) Manifestasi akhir adalah kematian, malformasi, keterlambatan pertumbuhan
dan gangguan fungsional.
f) Peningkatan manifestasi perubahan dalam frekuensi dan peningkatan derajat
pada dosis tertentu zat dapat berubah dari tidak berpengaruh sampai 100%
letal.
Untuk mengetahui suatu zat dapat bersifat teratogenik dalam prosesnya
harus memenuhi i) menghasilkan satu set karakteristik malformasi; ii) memberi
efek pada tahap tertentu perkembangan janin dan iii) menunjukkan insiden
tergantung dosis. Kurang dari 30 obat telah diidentifikasi sebagai teratogen,
dengan ratusan agen terbukti aman bagi janin. Resiko dasar teratogenik pada
kehamilan (yaitu, risiko kelainan neonatal yang tidak diketahui adanya paparan
teratogenik) adalah sekitar 3%. Cara dimana obat dapat mempengaruhi janin
adalah: 2
a) Bertindak langsung pada embrio untuk menghasilkan efek toksik atau
teratogenik mematikan
b) Mengubah fungsi plasenta
c) Mengubah aktivitas miometrium
d) Mengubah dinamika biokimia pada ibu

Selama kehamilan dan menyusui, seorang ibu dapat mengalami berbagai keluhan
atau gangguan kesehatan yang membutuhkan obat. Beberapa obat dapat memberi
risiko bagi kesehatan ibu, dan dapat memberi efek pada janin juga. Pemilihan
jenis analgesik yang tepat pun menjadi hal yang penting.

Obat yang diminum oleh ibu hamil patut mendapatkan perhatian, karena obat
yang diminum dapat mempengaruhi janin yang dikandungnya. Hal itu disebabkan
karena hampir sebagian besar obat dapat melintasi plasenta (Munir 2005). Dalam
plasenta, obat mengalami proses biotransformasi, dimana obat tersebut dapat
bersifat menguntungkan dan dapat juga terbentuk senyawa yang reaktif yang
bersifat teratogenik (Depkes RI 2006). Trimester kehamilan yang paling berisiko
besar terhadap janin yaitu pada trimester pertama (Prest dan Tan 2003). Pada
tahap ini merupakan tahap perkembangan dari seluruh tubuh utama (kecuali
susunan saraf pusat, mata, gigi, alat kelamin luar dan telinga), oleh karena itu,
paparan terhadap obat selama periode ini dapat menimbulkan risiko terganggunya
pembentukan organ – organ tersebut secara permanen. Selama trimester kedua
dan ketiga, obat dapat mempengaruhi fungsional janin atau memberi efek toksik
pada jaringan janin dan obat yang diberikan sebelum kelahiran bisa menyebabkan
efek samping pada kelahiran atau pada neonatus setelah kelahirannya (Prest dan
Tan 2003).

Pembahasan
Food and Drug Administration (FDA) menyadari dan memahami kekhawatiran
yang timbul dari laporan terbaru yang mempertanyakan keamanan obat resep
dan over-the-counter (OTC) saat digunakan selama kehamilan. Karena
ketidakpastian ini, penggunaan obat nyeri selama kehamilan harus
dipertimbangkan dengan cermat. Sehingga dokter seharusnya menegaskan supaya
ibu hamil untuk selalu mendiskusikan semua obat dengan petugas kesehatan
sebelum menggunakannya. Ada 2 kategori utama analgesik yang umum
digunakan: analgesik nonopioid sistemik (misalnya, asetaminofen, aspirin, obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID)) dan analgesik opioid (misalnya morfin,
kodein, meperidin).
Non Opioid
1. Asetaminofen / Parasetamol (Kategori TGA: A; Kategori FDA: C)
Parasetamol, senyawa non salisilat yang serupa dengan aspirin dalam
potensi analgesik, telah menunjukkan khasiat dan keamanan yang nyata pada
semua tahap kehamilan pada dosis terapeutik standar. Profil keamanan yang
ditetapkan untuk penggunaannya telah ditunjukkan dalam penelitian terbaru
tentang ribuan wanita hamil, tanpa meningkatkan risiko anomali bawaan atau
hasil kehamilan buruk lainnya. Meskipun dengan mudah melintasi plasenta dalam
bentuknya yang tidak terkonjugasi, dalam dosis terapeutik tampaknya tidak
meningkatkan risiko cacat lahir atau komplikasi selama kehamilan lainnya.
Sebuah studi berbasis registri dari Denmark terhadap 26.424 anak-anak
yang terpapar parasetamol in utero selama trimester pertama tidak menemukan
peningkatan baik tingkat cacat lahir spesifik atau keseluruhan dibandingkan
dengan kelompok kontrol yang tidak terpapar. Hal ini tetap menjadikan
parasetamol sebagai lini pertama analgesik pada ibu hamil
2. Aspirin (Kategori TGA: C; Kategori FDA: N)
Aspirin memiliki beberapa potensial risiko, karena menghambat fungsi
trombosit dan dapat menyebabkan perdarahan pada ibu dan janin. Meskipun
aspirin belum dikaitkan dengan anomali kongenital lainnya, namun aspirin
dikaitkan dengan peningkatan risiko gangguan vaskular, khususnya gastroskisis,
meskipun hal ini tetap tidak terbukti secara kuat. Secara keseluruhan, percobaan
besar menunjukkan keamanan relatif aspirin dosis rendah dan efek positif
umumnya pada hasil reproduksi. Aspirin jarang digunakan untuk mengobati rasa
sakit dan demam saat hamil. Aspirin dosis rendah diresepkan oleh dokter
kandungan (sering dengan heparin) untuk mengurangi risiko komplikasi pada
wanita hamil dengan sindrom antifosfolipid dan keguguran berulang.
Secara keseluruhan, aspirin tidak terkait dengan peningkatan risiko
malformasi kongenital. Pada tahap akhir kehamilan, bagaimanapun, aspirin harus
dihindari karena bisa memperpanjang durasi persalinan, menyebabkan kehilangan
darah yang lebih besar selama persalinan, dan meningkatkan kejadian kelahiran
mati.
Pada penelitian hewan coba, penggunaan inhibitor sintesis prostaglandin
telah terbukti dapat meningkatkan komplikasi pada janin. Studi epidemiologi
menunjukkan peningkatan risiko keguguran, malformasi jantung, dan gastroskisis
bila digunakan pada awal kehamilan; Risiko absolut malformasi kardiovaskular
meningkat dari kurang dari 1% sampai sekitar 1,5%. Risikonya diyakini
meningkat dengan dosis dan durasi terapi. Selama trimester ketiga kehamilan,
pemberian aspirin dapat menyebabkan penutupan duktus arteriosus janin,
oligohidramnion, gangguan ginjal janin, hipertensi pulmonal, dan perpanjangan
waktu perdarahan. Pemberian selama kehamilan dan persalinan tidak disarankan;
Onset persalinan mungkin tertunda dan durasi meningkat dengan kecenderungan
perdarahan yang lebih besar pada ibu dan anak. Sebuah studi tentang penggunaan
aspirin dosis rendah (60 mg per hari) untuk mencegah dan mengobati preeklamsia
pada 9364 wanita hamil ((the Collaborative Low-dose Aspirin Study in
Pregnancy--CLASP) tidak mendukung pemberian antiplatelet profilaksis atau
terapeutik secara rutin pada wanita hamil dengan risiko preeklamsia

3. NSAID (Kategori TGA: C; Kategori FDA: C untuk usia kehamilan <30


minggu, D >30 minggu)
NSAID termasuk ibuprofen, naproksen, indometasin dan diklofenak
banyak digunakan untuk mengobati rasa sakit dan demam ringan sampai sedang.
NSAID dikenal untuk mengurangi rasa sakit melalui penghambatan perifer
siklooksigenase dan sintesis prostaglandin.  Sampai saat ini, penelitian telah gagal
menunjukkan bukti peningkatan efek teratogenik yang konsisten pada manusia
atau hewan setelah dosis terapeutik selama trimester pertama. Namun,
penggunaan jangka pendek NSAID pada akhir kehamilan dikaitkan dengan
peningkatan risiko penutupan duktal prematur secara substansial.
Sebuah penelitian di California juga menunjukkan peningkatan risiko
keguguran sebesar 80% terkait dengan penggunaan trimester pertama baik aspirin
maupun NSAID. Asosiasi ini tidak terlihat dengan parasetamol. Mekanisme yang
disarankan untuk menjelaskan peningkatan risiko keguguran adalah gangguan
implantasi akibat efek pada jalur prostaglandin. Wanita yang telah menggunakan
NSAID selama trimester pertama harus dijelaskan tentang risiko penggunaannya,
dan analgesik lain seperti parasetamol harus direkomendasikan sebagai pilihan
yang lebih baik untuk penggunaan selanjutnya.
Penggunaan NSAID setelah 30 minggu kehamilan dikontraindikasikan
karena potensi menyebabkan penutupan prematur duktus arteriosus janin dan
hipertensi pulmonal persisten. NSAID dosis tinggi pada trimester ketiga juga
dapat mengurangi perfusi ginjal janin dan mengurangi keluaran urin janin.
Sebagian besar kasus penurunan output bersifat reversibel, namun ada laporan
tentang resolusi parsial dan bahkan kematian karena gagal ginjal anurik. Fokus
utama pada penghambat COX-2 adalah efek pada duktus arteriosus dan juga
perfusi ginjal / janin janin / neonatal. NSAID topikal umumnya dapat diabaikan
dan akan dianggap relatif aman pada kehamilan walaupun penyerapan meningkat
dengan penggunaan di atas area permukaan yang luas. FDA meninjau lima
penelitian observasional yang mengevaluasi risiko hilangnya kehamilan secara
spontan sebelum minggu ke 20 dengan penggunaan NSAID [4].
Keguguran pada populasi umum memiliki insidensi sekitar satu dari enam
kehamilan. Tiga studi kontrol kasus retrospektif yang mencakup lebih dari
100.000 subjek melaporkan adanya hubungan positif antara paparan non-aspirin
dengan paparan NSAID dan keguguran (odds ratio [aOR]=7.0, 95% confidence
interval [CI]=2.8-17.7; aOR=3.4, 95% CI=0.9- 12.8; and aOR=2.4, 95% CI=2.1-
2.8). Temuan ini sulit ditafsirkan karena keterbatasan metodologis dalam
rancangan penelitian.
Misalnya, penelitian ini tidak mengidentifikasi alasan penggunaan
NSAID; Wanita dalam penelitian ini bisa menggunakan NSAID untuk gejala
keguguran (yaitu kram), jadi tidak dapat ditentukan apakah penggunaan NSAID
terjadi sebelum atau sesudah awitan keguguran. Selain itu, penelitian ini
mengecualikan pengguna NSAID potensial yang kehamilannya berakhir dengan
aborsi terapeutik (induksi), kemungkinan menghasilkan temuan penggunaan
NSAID yang kurang di antara kontrol dibandingkan dengan kasus yang
mengalami keguguran. Terakhir, penelitian tidak mempertimbangkan waktu
masuk studi (yaitu, waktu selama masa gestasi saat subjek dipilih untuk penelitian
ini). Ini adalah pertimbangan penting mengingat risiko keguguran bervariasi
secara substansial pada usia gestasi dan, menurut definisi, tidak dapat terjadi
setelah kehamilan 20 minggu [5].

Opioid (Kategori TGA: C; kategori FDA: C)


Opioid seperti kodein, oxycodone, hydromorphone, hydrocodone dan morfin,
serta obat-obatan seperti petidine dan tramadol, digunakan untuk mengobati rasa
sakit sedang sampai parah. Secara keseluruhan, analgesik opioid belum dikaitkan
dengan peningkatan cacat lahir atau komplikasi lainnya seperti keguguran. Ada
juga data yang meyakinkan tentang tindak lanjut perkembangan saraf jangka
panjang pada bayi yang terpajan. Perhatian utama tentang obat ini adalah
penggunaan terus-menerus dapat menyebabkan ketergantungan dan toleransi pada
ibu dengan penarikan yang dihasilkan pada neonatus.
Wanita dengan rasa sakit terus-menerus yang mungkin memerlukan opioid dosis
tinggi selama kehamilan harus mencari saran untuk mengoptimalkan penanganan
nyeri sebelum kehamilan. Terkadang obat alternatif termasuk antidepresan
trisiklik dapat membantu mengendalikan rasa sakit yang persisten dan
mengurangi paparan opioid. Antidepresan trisiklik belum dikaitkan dengan
peningkatan tingkat cacat lahir atau efek perkembangan saraf jangka panjang.
Peneliti meninjau dua studi kasus kontrol retrospektif yang melaporkan adanya
paparan opioid pada awal kehamilan dan risiko neural tube defect/ NTD. Studi
tersebut menggunakan wawancara untuk mengumpulkan informasi dari lebih
28.000 wanita mengenai penggunaan opioid selama kehamilan. Kedua penelitian
tersebut menemukan bahwa ibu-bayi bayi dengan NTD lebih mungkin terjadi
dibandingkan ibu-bayi yang tidak memiliki NTD untuk melaporkan penggunaan
opioid pada awal kehamilan (aOR=2.2, 95% CI=1.2-4.2; aOR=2.0, 95% CI=1.3-
3.2). Meskipun kedua penelitian tersebut pada umumnya dirancang untuk menilai
hubungan antara opioid dan NTD, keduanya memiliki keterbatasan studi. Secara
khusus, penggunaan wawancara ibu hamil dapat mempengaruhi validitas temuan
penelitian ini. Sebagai contoh, ibu dari bayi yang mengalami NTD mungkin lebih
ingat dengan paparan opioid selama kehamilan daripada ibu bayi yang tidak
memiliki cacat lahir. Penggunaan obat ini secara kronis pada kehamilan
selanjutnya telah dikaitkan dengan neonatal withdrawal. Depresi pernapasan
neonatal mungkin terjadi bila morfin digunakan dalam persalinan. Peralatan untuk
resusitasi neonatal harus tersedia jika morfin akan digunakan dalam persalinan
[6].

Analgesik dan Antipiretik Asetaminofen (Farmadol®, Panadol®, Parasetamol®)


merupakan obat kategori B, yang biasa digunakan pada ibu hamil selama
kehamilan maupun untuk jangka waktu yang pendek. Asetaminofen ditemukan
pada air susu ibu dengan konsentrasi yang kecil. Saat ini tidak ditemukan bukti
nyata adanya anomali janin akibat pemakaian obat ini (Mahardinata, 2009).
Peresepan analgesik sangat sering dilakukan pada ibu hamil. Pembagian
kategori dari analgesik pada dasarnya terbagi dua yaitu anti inflamasi non-steroid
dan golongan opioid.9
NSAID
Obat ini tidak dianggap teratogenik, tetapi dapat menimbulkan efek
merugikan jika digunakan pada trimester ketiga. Indometasin dan ibuprofen
secara khusus dilaporkan menyebabkan konstriksi duktus arteriosus janin yang
kemudian menyebabkan hipertensi paru. Obat ini juga dapat menurunkan keluaran
urin janin sehingga mengurangi volume cairan amnion, mungkin dengan
meningkatkan kadar vasopressin dan responsivitas terhadapnya. Penyulit-penyulit
ini tampaknya lebih besar kemungkinannya terjadi jika obat digunakan lebih dari
72 jam. Dalam satu penelitian terhadap lebih dari 60 kehamilan, konstriksi duktus
terjadi pada 50%, dengan peningkatan bermakna insiden setelah 30 minggu.
Untungnya kecepatan aliran duktus pulih ke normal setelah penghentian terapi
pada semua kasus.3,9
Asetaminofen sangat sering digunakan pada ibu hamil. Obat ini dapat
melewati plasenta tetapi terbukti aman digunakan dalam dosis normal. Obat ini
biasanya digunakan untuk meredakan rasa nyeri dan menurunkan demam.
Biasanya digunakan pada macam-macam nyeri, dan sakit kepala.3,9
Aspirin sering digunakan untuk berbagai indikasi, termasuk sebagai
antikoagulan. Dalam sebuah meta-analisis dari semua studi yang tersedia, 38 studi
masuk dalam kriteria. Risiko abortus tidak berbeda pada wanita yang diterapi
dengan aspirin dan yang diterapi dengan plasebo. Wanita yang mengkonsumsi
aspirin memiliki risiko kelahiran prematur lebih rendah dari yang mengkonsumsi
plasebo. Tidak ada perbedaan signifikan pada mortalitas perinatal maupun angka
bayi kecil masa kehamilan pada bayi dari ibu yang diterapi dengan aspirin
maupun ibu yang diterapi dengan plasebo. Demikian pula, tidak ada peningkatan
risiko terhadap malformasi mayor secara umum, meskipun terdapat peningkatan
risiko terhadap gastroskisis. Untuk wanita dengan kehamilan risiko sedang atau
tinggi, terapi dengan aspirin memiliki efek yang kecil namun berarti dalam
menurunkan angka kelahiran preterm, tapi tidak menurunkan angka kematian
perinatal.3,9
Opioid
Banyak sediaan narkotika tersedia dan digunakan pada saat kehamilan.
Semua obat golongan ini dapat melewati sawar plasenta akan tetapi tidak
berhubungan dengan malformasi apabila digunakan dalam dosis yang normal.
Penggunaan obat ini menjelang kelahiran dapat menyebabkan gawat janin.
Golongan opioid seperti kodein, meperidin, dan oxycodone aman digunakan pada
saat kehamilan dan menyusui.9

Obat Kategori
NSAID
Parasetamol B
Asam Mefenamat B
Ibuprofen D
Indometasin D
Asetaminofen B
Fenasetin B
Aspirin C
Opioid B/D (Digunakan dalam dosis tinggi
atau waktu yang lama.
Analgesik dan Kategorinya

Anda mungkin juga menyukai