Anda di halaman 1dari 5

Pengertian Ijtihad dan menetapkan nilai dan norma yang tidak jelas atau tidak terdapat

 Kata ijtihad berasal dari kata “al-jahd” atau “al-juhd” yang berarti “al- patokannya didalam Al Quran dan Al Hadist.

masyoqot” (kesulitan atau kesusahan) dan “athoqot” (kesanggupan dan


Dasar-Dasar Ijtihad
kemampuan)
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode penggali sumber hukum. Dasar-
 Ijtihad secara etimologi memiliki pengertian: “pengerahan segala
dasar ijtihad atau dasar hukum ijtihad ialah al-Qur’an dan sunnah. Di dalam ayat
kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit”.
yang menjadi dasar dalam ber-ijtihad sebagai firman Allah Swt dalam QS. al-
 Sedangkan secara terminologi adalah “penelitian dan pemikiran untuk
Nisa’:105 sebagai berikut:
mendapatkan sesuatu yang terdekat pada kitabullah (syara) dan sunnah
Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
rasul atau yang lainnya untuk memperoleh nash yang ma’qu; agar
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa
maksud dan tujuan umum dari hikmah syariah yang terkenal dengan
yang telah Allah wahyukan kepadamu dan janganlah kamu menjadi
maslahat.
penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang
 Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata “al-faqih” dalam definisi tersebut
yang khianat”.
sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih atas semua
kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa Demikian juga dijelaskan dalan QS. al-Rum: 21:

penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab Artinya: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

pencurahan yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

ijtihad menurut istilah.


 Ijtihad mempuyai arti umum, yaitu sebagai kekuatan atau kemampuan
dalam mencentuskan ide-ide yang bagus demi kemaslahatan umat. Ada
FUNGSI IJTIHAD
beberapa pendapat bahwa ijtihad adalah pengerahan segenap
1) fungsi al-ruju’ (kembali): mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada al-Qur’an
kesanggupan dari seorang ahli fikih atau mujtahid untuk memeroleh
dan sunnah dari segala interpretasi yang kurang relevan
pengertian terhadap hukum syara (hukum Islam).
2) fungsi al-ihya (kehidupan): menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan
 Ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh
Islam semangat agar mampu menjawab tantangan zaman
seseorang atau beberapa orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan
pengalaman tertentu yang memenuhi syarat, untuk mencari, menemukan
3) fungsi al-inabah (pembenahan): memenuhi ajaran-ajaran Islam yang telah di- tatbiq (penerapan hukum). Di samping akan menyebutkan syarat bagi seorang
ijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut mujtahid terlebih dahulu kita harus mengetahui tentang
konteks zaman dan kondisi yang dihadapi. Seseorang yang menggeluti bidang fikih tidak bisa sampai ke tingkat
Begitu pentingnya melakukan ijtihad sehingga jumhur ulama menunjuk mujtahid kecuali dengan memenuhi beberapa syarat, sebagian persyaratan itu
ijtihad menjadi hujjah dalam menetapkan hukum berdasarkan firman Allah Swt ada yang telah disepakati dan sebagian yang lain masih diperdebatkan. Adapun
dalam QS. An-Nisa’: 59: syarat-syarat yang telah disepakati adalah:
Artinya: “Jika kamu mempersengketakan sesuatu maka kembalikanlah
1. Mengetahui al-Qur’an
sesuatu tersebut kepada Allah dan Rasul-Nya”. Perintah untuk
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam primer sebagai fondasi dasar hukum
mengembalikan masalah kepada al-Qur’an dan sunnah ketika terjadi
Islam. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui al-Qur’an secara
perselisihan hukum ialah dengan penelitian saksama terhadap masalah
mendalam. Barangsiapa yang tidak mengerti al-Qur’ansudah tentu ia tidak
yang nash-nya tidak tegas. Demikian juga sabda Nabi Saw:
mengerti syariat Islam secara utuh. Mengerti al-Qur’an tidak cukup dengan
Artinya: “Jika seorang hakim bergegas memutus perkara tentu ia
piawai membaca, tetapi juga bisa melihat bagaimana al-Qur’an memberi cakupan
melakukan ijtihad dan bila benar hasil ijtihadnya akan mendapatkan dua
terhadap ayat-ayat hukum. Misalnya al- Ghazali memberi syarat seorang
pahala.Jika ia bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan
mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah sekitar 500 ayat.
ternyata hasilnya salah , maka ia mendapat satu pahala” (HR. Asy-Syafi’i
dari Amr bin ‘Ash). 2. Mengetahui Asbab al-Nuzul

Hadis ini bukan hanya memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat

menunjukkan kepada kita bahwa perbedaan-perbedaan pendapat hasil ijtihad mengetahui al-Qur’an secara komprehensif, bukan hanya pada tataran teks tetapi

bisa dilakukan secara individual (ijtihad fardi) yang hasil rumusan hukumnya juga akan mengetahui secara sosial-psikologis. Sebab dengan mengetahui sebab-

tentu relatif terhadap tingkat kebenaran. sebab turunnya ayat akan memberi analisis yang komprehensif untuk memahami
maksud diturunkannya teks Qur’an tersebut kepada manusia.
Syarat-Syarat Mujtahid Imam as-Syatibi dalam bukunya al-Muwafaqat, mengatakan bahwa
Para ulama berbeda pendapat dalam menetukan syarat yang harus dimiliki mengetahui sebab turunnya ayat adalah suatu keharusan bagi orang yang hendak
oleh seorang mujtahid. Mujtahid adalah orang yang mampu melakukan ijtihad memahami al-Qur’an. Pertama, suatu pembicaraan akan berbeda pengertiannya
melalui cara istinbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan menurut perbedaan keadaan. Kedua, tidak mengetahui sebab turunnya ayat bisa
menyeret dalam keraguan dan kesulitan dan juga bisa membawa pada Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar
pemahaman global terhadap nash yang bersifat lahir sehingga sering penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam karena teks otoritatif Islam
menimbulkan perselisihan. menggunakan bahasa Arab.

3. Mengetahui Nasikh dan Mansukh 7. Mengetahui Ushul Fiqh


Pada dasarnya hal ini bertujuan untuk menghindari agar jangan sampai Di antara ilmu yang harus dikuasai oleh mujtahid adalah ilmu ushul fiqh,
berdalih menguatkan suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya telah di-nasikh- yaitu suatu ilmu yang telah diciptakan oleh para fuqaha utuk meletakkan kaidah-
kan dan tidak bisa dipergunakan untuk dalil. kaidah dan cara untuk mengambil istinbat hukum dari nash dan mencocokkan
cara pengambilan hukum yang tidak ada nash hukumnya. Dalam ushul fiqh,
4. Mengetahui As-Sunnah
mujtahid juga dituntut untuk memahami qiyas sebagai modal pengambilan
ketetapan hukum.
Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-Sunnah. Yang
dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang
8. Mengetahui Maksud dan Tujuan Syariah
diriwayatkan dari Nabi Saw. Mengetahui Ilmu Diroyah Hadis
Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk melindungi dan memelihara
Ilmu diroyah menurut al-Ghazali adalah mengetahui riwayat dan kepentingan manusia. Pemeliharaan ini dikategorikan dalam tiga tingkatan
memisahkan hadis yang sahih dari yang rusak dan hadis yang bisa diterima dari maslahat, yakni dlaruriyyat (apabila dilanggar akan mengancam jiwa, agama,
hadis yang ditolak. harta, akal dan keturunan), hajiyyat (kelapangan hidup, misal memberi rukshah
dalam kesulitan), dan tahsiniat (pelengkap yang terdiri dari kebiasaan dan akhlak
5. Mengetahui Hadis yang Nasikh dan Mansukh
yang baik).
Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar seorang
mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang sudah jelas dihapus 9. Mengenal Manusia dan Kehidupan Sekitarnya
hukumnya dan tidak boleh dipergunakan. Seperti hadis yang membolehkan nikah Seorang mujtahid harus mengetahui tentang keadaan zaman, masyarakat,
mut’ah di mana hadis tersebut sudah di-nasikh secara pasti oleh hadis-hadis lain. problem, aliran ideologi, politik dan agamanya serta mengenal sejauh mana
interaksi saling memengaruhi antara masyarakat tersebut.
6. Mengetahui Bahasa Arab

10. Bersifat Adil dan Takwa


Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah diformulasikan oleh kemiripan seperti manfaat, sebab, bahaya atau berbagai macam aspek dalam
mujtahid benar-benar proporsional karena memiliki sifat adil, jauh dari perkara yang sebelumnya sehingga hukumnya sama. Adapun contohnya seperti
kepentingan politik dalam istinbat hukumnya. pada surat Al-isra ayat 23 yang menjelaskan bahwa perkataan “Ah” untuk orang
tidak diperbolehkan karena memang dianggap bisa menghina dan meremehkan,
Rukun Ijtihad sedangkan untuk memulu orang tua tak disebutkan. Jadi di Qiyaskan oleh para
1) al-Waqi’ yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi tidak ulama bahwa hukum memarahi dan memukul orang tua itu sama saja dengan
diterangkan oleh nash, hukum mengetakan Ah yakni sama-sama dapat menyakiti hati orang tua dan
2) mujtahid ialah orang yang melakukan ijtihad dan mempunyai kemampuan sama-sama bisa berdosa.
untuk ber-ijtihad dengan syarat-syarat tertentu,
3. Maslahah Mursalah
3) mujtahid fill ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi), dan
Maslahah Mursalah adalah suatu cara untuk menetapkan hukum mengacu atas
4) dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fill.
dasar pertimbangan manfaat dan kegunaannya.. Adapun contohnya: Di Al-Quran
dan hadits tidak tercantum dalil yang memerintahkan untuk melakukan
Macam-Macam Ijtihad
pembukuan ayat-ayat Al-Quran. Akan tetapi hal tersebut dilakukan oleh umat
1. Ijma’
Islam untuk kemashalatan umat.
Ijma’ adalah suatu kesepakatan hukum yang telah diambil berasal dari fatwa atau
musyawarah yang dilakukan oleh para Ulama mengenai suatu perkara yang tak 4. Istishab
ditemukan hukumnya dalam Al-Quran atau hadits. Akan tetapi rujukannya pasti
Istishab adalah suatu tindakan dalam melakukan penetapan ketetapan hingga
terdapat dalam Al-Quran dan hadits. Ijma’ pada masa sekarang itu diambil
hadir alasan yang dapat mengubahnya. Adapun contohnya: Seseorang yang
berasal dari keputusan-keputusan ulama Islam seperti Majelis Ulama Indonesia.
merasa ragu-ragu apakah dia sudah melakukan wudhu atau belum maka disaat
Adapun contohnya, hukum mengonsumsi sabu-sabu atau ganja adalah haram,
seperti itu, dia mesti berpegang atau yakin pada kondisi sebelum dia berwuduh,
karena keduanya bisa memabukkan dan sangat berbahaya untuk tubuh serta
sehingga dia mesti berwudhu kembali karena shalat tidak akan sah kalau tidak
dapat merusak pikiran.
berwudhu.
2. Qiyas
5. ‘Uruf
Qiyas adalah menyamakan dengan menetapkan suatu hukum dalam perkara baru
‘Uruf yakni suatu tindakan untuk menentukan suatu perkara yang berdasar pada
yang memang belum pernah di masa sebelumnya terjadi akan tetapi mempunyai
adat istiadat yang senantiasa berlaku di masyarakat dan tak bertentangan dengan
Al-Quran dan hadits. Adapun contohnya: Pada urusan jual-beli, si pembeli Kedua, bagi seorang Muslim yang ditanya fatwa hukum atas terjadinya
menyerahkan uang sebagai pembayaran terhadap barang yang dia beli dengan suatu peristiwa tetapi ia khawatir akan tidak ada kepastian dari hukumnya
cara tidak mengadakan ijab kabul karena harganya sudah dimaklumi bersama tersebut tetapi masih ada mujtahid yang lain maka hukum ijtihad tersebut wajib
antara pembeli dan penjual. kifayah. Artinya apabila tidak ada yang melakuakan ijtihad atas kasus tersebut
maka semuanya berdosa. Apabila ada salah satu dari mujtahid melakukan suatu
6. Istihsan.
upaya untuk melakukan ijtihad atas kasus tersebut maka gugurlah hukum dosa
Istihsan adalah suatu tindakan dengan cara meninggalkan suatu hukum kepada
tersebut.
hukum yang lainnya dimana disebabkan adanya suatu dalil syara’ yang
Ketiga, hukum ijtihad akan menjadi sunnah apabila dilakukan atas
mengharuskan untuk kita meninggalkannya. Adapun contohnya: Di dalam syara’,
persoalan yang belum terjadi.
kita dilarang melakukan jual beli yang barangnya belum tersedia saat terjadi
TAMBAHAN:
akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syara’ memberikan rukhsah yakni keringan
atau kemudahan, bahwa jual beli itu diperbolehkan dengan sistem pembayaran Contoh ijtihad adalah suatu peristiwa di zaman Khalifah Umar ibn Khattab, di

di awal. Sedangkan untuk barangnya bisa dikirim nanti. mana para pedagang Muslim bertanya kepada Khalifah berapa besar cukai yang
harus dikenakan kepada para pedagang asing yang berdagang di negara Khalifah.
HUKUM MELAKUKAN IJTIHAD
Jawaban dari pertanyaan ini belum dimuat secara terperinci dalam Al-Quran
Dalam hukum Islam untuk menentukan hukum ijtihad, para ulama
maupun hadis, maka Khalifa Umar ibn Khattab selanjutnya berijtihad dengan
berpendapat bahwa jika ada seorang Muslim ditanya atau dihadapkan kepada
menetapkan bahwa cukai yang dibayarkan oleh pedagang adalah disamakan
suatu peristiwa atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan
dengan taraf yang biasanya dikenakan kepada para pedagang Muslim oleh negara
hukum syara maka hukum bagi orang yang dihadapkan atau ditanya tersebut bisa
asing, di mana mereka berdagang
wajib `ain, wajib kifayah, sunnat, ataupun haram. Tergantung pada kapasitas
seseorang tersebut. CONTOH: melaksanakan siding isbat untuk penentuan bulan 1 syawal
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat
Pertama, bagi seorang Muslim yang sudah memenuhi kriteria menjadi tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” 
mujtahid dan dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa dan ia juga dihadapkan (QS. Al Baqarah: 185)
 ”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah
kepada suatu masalah atau suatu peristiwa dan ia khawatir akan hilangnya (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab[6]. Bulan itu seperti ini (beliau
kepastian hukum akan terjadinya suatu peristiwa tersebut padahal tidak ada berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan
bilangan 30).” 
seorang mujtahid lain maka hukum ijtihad adalah wajib `ain. (HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar

Anda mungkin juga menyukai