Kata ijtihad berasal dari kata “al-jahd” atau “al-juhd” yang berarti “al-masyoqot” (kesulitan atau
kesusahan) dan “athoqot” (kesanggupan dan kemampuan)
Ijtihad secara etimologi memiliki pengertian: “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan
sesuatu yang sulit”.
Sedangkan secara terminologi adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang
terdekat pada kitabullah (syara) dan sunnah rasul atau yang lainnya untuk memperoleh nash yang
ma’qu; agar maksud dan tujuan umum dari hikmah syariah yang terkenal dengan maslahat.
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata “al-faqih” dalam definisi tersebut sehingga definisi ijtihad
adalah pencurahan seorang faqih atas semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi
komentar bahwa penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan yang
dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut istilah.
Ijtihad mempuyai arti umum, yaitu sebagai kekuatan atau kemampuan dalam mencentuskan ide-
ide yang bagus demi kemaslahatan umat. Ada beberapa pendapat bahwa ijtihad adalah
pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fikih atau mujtahid untuk memeroleh
pengertian terhadap hukum syara (hukum Islam).
Ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang
yang mempunyai ilmu pengetahuan dan pengalaman tertentu yang memenuhi syarat, untuk
mencari, menemukan dan menetapkan nilai dan norma yang tidak jelas atau tidak terdapat
patokannya didalam Al Quran dan Al Hadist.
Dasar-Dasar Ijtihad
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode penggali sumber hukum. Dasar-dasar ijtihad atau
dasar hukum ijtihad ialah al-Qur’an dan sunnah. Di dalam ayat yang menjadi dasar dalam ber-ijtihad
sebagai firman Allah Swt dalam QS. al-Nisa’:105 sebagai berikut:
Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang
khianat”.
Artinya: “Jika seorang hakim bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan bila benar
hasil ijtihadnya akan mendapatkan dua pahala.Jika ia bergegas memutus perkara tentu ia melakukan
ijtihad dan ternyata hasilnya salah , maka ia mendapat satu pahala” (HR. Asy-Syafi’i dari Amr bin
‘Ash).
Hadis ini bukan hanya memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga menunjukkan kepada kita bahwa
perbedaan-perbedaan pendapat hasil ijtihad bisa dilakukan secara individual (ijtihad fardi) yang hasil
rumusan hukumnya tentu relatif terhadap tingkat kebenaran.
Syarat-Syarat Mujtahid
Para ulama berbeda pendapat dalam menetukan syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid.
Mujtahid adalah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istinbath (mengeluarkan hukum dari
sumber hukum syariat) dan tatbiq (penerapan hukum). Di samping akan menyebutkan syarat bagi seorang
mujtahid terlebih dahulu kita harus mengetahui tentang
Seseorang yang menggeluti bidang fikih tidak bisa sampai ke tingkat mujtahid kecuali dengan
memenuhi beberapa syarat, sebagian persyaratan itu ada yang telah disepakati dan sebagian yang lain
masih diperdebatkan. Adapun syarat-syarat yang telah disepakati adalah:
1. Mengetahui al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam primer sebagai fondasi dasar hukum Islam. Oleh karena itu,
seorang mujtahid harus mengetahui al-Qur’an secara mendalam. Barangsiapa yang tidak mengerti al-
Qur’ansudah tentu ia tidak mengerti syariat Islam secara utuh. Mengerti al-Qur’an tidak cukup dengan
piawai membaca, tetapi juga bisa melihat bagaimana al-Qur’an memberi cakupan terhadap ayat-ayat
hukum. Misalnya al- Ghazali memberi syarat seorang mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah
sekitar 500 ayat.
4. Mengetahui As-Sunnah
Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-Sunnah. Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah
ucapan, perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi Saw.
Rukun Ijtihad
1) al-Waqi’ yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi tidak diterangkan oleh nash,
2) mujtahid ialah orang yang melakukan ijtihad dan mempunyai kemampuan untuk ber-ijtihad dengan
syarat-syarat tertentu,
3) mujtahid fill ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi), dan
4) dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fill.
Macam-Macam Ijtihad
1. Ijma’
Ijma’ adalah suatu kesepakatan hukum yang telah diambil berasal dari fatwa atau musyawarah yang
dilakukan oleh para Ulama mengenai suatu perkara yang tak ditemukan hukumnya dalam Al-Quran atau
hadits. Akan tetapi rujukannya pasti terdapat dalam Al-Quran dan hadits. Ijma’ pada masa sekarang itu
diambil berasal dari keputusan-keputusan ulama Islam seperti Majelis Ulama Indonesia. Adapun
contohnya, hukum mengonsumsi sabu-sabu atau ganja adalah haram, karena keduanya bisa memabukkan
dan sangat berbahaya untuk tubuh serta dapat merusak pikiran.
2. Qiyas
Qiyas adalah menyamakan dengan menetapkan suatu hukum dalam perkara baru yang memang belum
pernah di masa sebelumnya terjadi akan tetapi mempunyai kemiripan seperti manfaat, sebab, bahaya atau
berbagai macam aspek dalam perkara yang sebelumnya sehingga hukumnya sama. Adapun contohnya
seperti pada surat Al-isra ayat 23 yang menjelaskan bahwa perkataan “Ah” untuk orang tidak
diperbolehkan karena memang dianggap bisa menghina dan meremehkan, sedangkan untuk memulu
orang tua tak disebutkan. Jadi di Qiyaskan oleh para ulama bahwa hukum memarahi dan memukul orang
tua itu sama saja dengan hukum mengetakan Ah yakni sama-sama dapat menyakiti hati orang tua dan
sama-sama bisa berdosa.
3. Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah adalah suatu cara untuk menetapkan hukum mengacu atas dasar pertimbangan
manfaat dan kegunaannya.. Adapun contohnya: Di Al-Quran dan hadits tidak tercantum dalil yang
memerintahkan untuk melakukan pembukuan ayat-ayat Al-Quran. Akan tetapi hal tersebut dilakukan oleh
umat Islam untuk kemashalatan umat.
4. Istishab
Istishab adalah suatu tindakan dalam melakukan penetapan ketetapan hingga hadir alasan yang dapat
mengubahnya. Adapun contohnya: Seseorang yang merasa ragu-ragu apakah dia sudah melakukan wudhu
atau belum maka disaat seperti itu, dia mesti berpegang atau yakin pada kondisi sebelum dia berwuduh,
sehingga dia mesti berwudhu kembali karena shalat tidak akan sah kalau tidak berwudhu.
5. ‘Uruf
‘Uruf yakni suatu tindakan untuk menentukan suatu perkara yang berdasar pada adat istiadat yang
senantiasa berlaku di masyarakat dan tak bertentangan dengan Al-Quran dan hadits. Adapun contohnya:
Pada urusan jual-beli, si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran terhadap barang yang dia beli
dengan cara tidak mengadakan ijab kabul karena harganya sudah dimaklumi bersama antara pembeli dan
penjual.
6. Istihsan.
Istihsan adalah suatu tindakan dengan cara meninggalkan suatu hukum kepada hukum yang lainnya
dimana disebabkan adanya suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk kita meninggalkannya. Adapun
contohnya: Di dalam syara’, kita dilarang melakukan jual beli yang barangnya belum tersedia saat terjadi
akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syara’ memberikan rukhsah yakni keringan atau kemudahan, bahwa
jual beli itu diperbolehkan dengan sistem pembayaran di awal. Sedangkan untuk barangnya bisa dikirim
nanti.
HUKUM IJTIHAD
Dalam hukum Islam untuk menentukan hukum ijtihad, para ulama berpendapat bahwa jika ada
seorang Muslim ditanya atau dihadapkan kepada suatu peristiwa atau ditanya tentang suatu masalah yang
berkaitan dengan hukum syara maka hukum bagi orang yang dihadapkan atau ditanya tersebut bisa wajib
`ain, wajib kifayah, sunnat, ataupun haram. Tergantung pada kapasitas seseorang tersebut.
Pertama, bagi seorang Muslim yang sudah memenuhi kriteria menjadi mujtahid dan dimintai fatwa
hukum atas suatu peristiwa dan ia juga dihadapkan kepada suatu masalah atau suatu peristiwa dan ia
khawatir akan hilangnya kepastian hukum akan terjadinya suatu peristiwa tersebut padahal tidak ada
seorang mujtahid lain maka hukum ijtihad adalah wajib `ain.
Kedua, bagi seorang Muslim yang ditanya fatwa hukum atas terjadinya suatu peristiwa tetapi ia
khawatir akan tidak ada kepastian dari hukumnya tersebut tetapi masih ada mujtahid yang lain maka
hukum ijtihad tersebut wajib kifayah. Artinya apabila tidak ada yang melakuakan ijtihad atas kasus tersebut
maka semuanya berdosa. Apabila ada salah satu dari mujtahid melakukan suatu upaya untuk melakukan
ijtihad atas kasus tersebut maka gugurlah hukum dosa tersebut.
Ketiga, hukum ijtihad akan menjadi sunnah apabila dilakukan atas persoalan yang belum terjadi.
Daftar pustaka:
Wafi Has, Abd, Ijtihad Sebagai Alat Pemecah Masalah Umat Islam, 2013
Ali, Mohammad Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016