Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Konsep Lansia

1. Pengertian

Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak secara tiba-tiba

menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa, dan akhirnya menjadi tua. Hal ini

normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan yang terjadi pada

semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu (Azizah,

2011). Menurut Kemenkes RI (2014) lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60

tahun keatas. Lansia adalah kelompok usia yang mengalami penurunan derajat kesehatan baik

secara alamiah maupun akibat suatu penyakit.

2. Batasan Lansia

WHO (2017) mengeluarkan kriteria baru kelompok usia yaitu :

a. Usia 0-17 tahun disebut dengan anak-anak dibawah umur

b. Usia 18-65 tahun disebut dengan pemula

c. 66-79 tahun disebut dengan setengah baya

d. 80-99 tahun disebut dengan orang tua

e. 100 tahun keatas disebut dengan orang tua berusia panjang

Depkes RI (2013) mengklasifikasikan lansia dalam kategori berikut :

a. Pralansia, usia antara 45-59 tahun

b. Lansia, seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih

c. Lansia beresiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau dengan masalah kesehatan

d. Lansia potensial, lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang

dapat menghasilkan barang/jasa


e. Lansia tidak potensial, lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya

bergantung pada bantuan orang lain.

3. Penurunan Fungsi Organ Tubuh Lansia

Menurut Nugroho (2012), Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses

penuaan secara degenerative yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri

manusia, tidak hanya secara fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial, dan sexual.

a. Sistem penglihatan

Perubahan sistem penglihatan pada lansia erat kaitannya dengan presbiopi. Lensa

kehilangan elastisitas dan kaku. Otot penyangga lensa lemah, ketajaman dan daya akomodasi

dari jarak jauh atau dekat berkurang, penggunaan kacamata dan sistem penerangan yang baik

dapat digunakan.

b. Sistem Pendengaran

Presbikusis (gangguan pada pendengaran) oleh karena hilangnya kemampuan (daya)

pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi,

suara yang tidak jelas, sulit dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia di atas 60 tahun.

c. Sistem Integument

Pada lansia kulit mengalami atrofi, kendur, tidak elastis, kering, dan berkerut. Kulit akan

kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atrofi

glandula sebasea dan glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada kulit dikenal

dengan liver spot. Perubahan kulit lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain

angin dan matahari, terutama sinar ultra violet.

d. Sistem Musculoskeletal

1) Jaringan Penghubung (Kolagen dan Elastin).

Kolagen sebagai pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago, dan jaringan

pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak teratur. Perubahan pada

kolagen tersebut merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga


menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk meningkatkan

kekuatan otot, kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok, dan berjalan dan

hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Upaya fisioterapi untuk mengurangi

dampak tersebut adalah latihan untuk menjaga mobilitas.

2) Kartilago

Jaringan kartilago pada persendian lunak dan mengalami granulasi dan akhirnya

permukaan sendi menjadi rata, kemudian kemampuan kartilago untuk regenerasi

berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung kearah progresif, konsekuensinya

kartilago pada persendian menjadi menjadi rentan terhadap gesekan.

3) Otot

Dampak perubahan morfologis pada otot adalah penurunan kekuatan, penurunan

fleksibilitas, dan penurunan kemampuan fungsional otot.

4) Sendi

Pada lansia jaringan ikat seperti tendon, ligament, dan fasia mengalami penurunan

elastis. Terjadi degenerasi, erosi, dan kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi. Sendi

kehilangan fleksibilitasnya sehingga terjadi penurunan luas dan gerak sendi.

e. Sistem kardiovaskuler

Massa jantung bertambah, ventrikel mengalami hipertrofi, dan kemampuan

peregangan jantung berkurang karena perubahan pada jaringan ikat dan penumpukan

lipofusin dan klasifikasi SA nude dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat.

Konsumsi oksigen pada tingkat maksimal berkurang sehingga kapasitas paru menurun.

Latihan berguna untuk meningkatkan PO2 maksimum, mengurangi tekanan darah dan berat

badan.
f. Sistem respirasi

Pada penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas total paru tetap, tetapi volume

cadangan paru bertambah untuk mengompensasi kenaikan ruang rugi paru, udara yang

mengalir ke paru berkurang.

g. Sistem pencernaan

Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti penurunan produksi sebagai

kemunduran fungsi yang nyata.

h. Sistem metabolisme

Liver (hati) makin mengecil dan menurunnya tempat penyimpanan, berkurangnya

aliran darah. Kondisi ini secara normal, tidak ada konsekuensi yang nyata, tetapi

menimbulkan efek yang merugikan ketika diobati. Pada usia lanjut, obat-obatan

dimetabolisme dalam jumlah sedikit.

i. Sistem Perkemihan

Berbeda dengan sistem pencernaan, pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang

signifikan. Banyak fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi,

dan reabsorpsi oleh ginjal. Hal ini akan memberikan efek dalam pemberian obat pada lansia.

j. Sistem Saraf

Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atrofi yang progresif pada

serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam

melakukan aktifitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensori dan

respon motorik pada susunan saraf pusat perubahan morfologis dan biokimia, perubahan

tersebut mengakibatkan penurunan fungsi kognitif.

k. Sistem Reproduksi

Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan menciutnya ovari dan uterus.

Terjadi atrofi payudara. Pada laki-laki testis masih dapat memproduksi spermatozoa,

meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur. Dorongan seksual menetap sampai


usia diatas 70 tahun (asal kondisi kesehatan baik), yaitu dengan kehidupan seksual dapat

diupayakan sampai masa lanjut usia. Selaput lendir vagina menurun, permukaan menjadi

halus, sekresi menjadi berkurang, dan reaksi sifatnya menjadi alkali (Nugroho, 2012).

4. Teori Menua Pada Lansia

Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan

untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak

dapat bertahan terhadap jejas dan kerusakan yang diderita (Darmojo, 2010). Proses menua

yang harus terjadi secara umum pada seluruh spesies secara progresif seiring waktu yang

menghasilkan perubahan yang menyebabkan disfungsi organ dan menyebabkan kegagalan

suatu organ atau sistem tubuh tertentu (Fatmah, 2010).

Terdapat tiga dasar fundamental yang dipakai untuk menyusun berbagai teori menua

yaitu:

a. Pola penuaan pada hampir semua spesies mamalia diketahui adalah sama.

b. Laju penuaan ditentukan oleh gen yang sangat bervariasi pada setiap spesies.

c. Laju atau kecepatan penuaan dapat diperlambat, namun tidak dapat dihindari atau

dicegah (Fatmah, 2010)

Beberapa teori penuaan yang diketahui dijelaskan berikut ini:

a. Teori Berdasarkan Sistem Organ

Teori berdasarkan sistem organ (organ system based story) ini berdasarkan dugaan

adanya hambatan dari organ tertentu dalam tubuh yang akan menyebabkan terjadinya

proses penuaan. Organ tersebut adalah sistem endokrin dan sistem imun. Pada proses

penuaan, kelenjar timus mengecil yang menurunkan fungsi imun. Penurunan sistem

imun menimbulkan peningkatan insidensi penyakit infeksi pada lansia. Dapat dikatakan

bahwa peningkatan usia berhubungan dengan peningkatan insidensi penyakit (Fatmah,

2010). Lansia mengalami penanggalan gigi akibat hilangnya tulang penyokong


periostal dan periodontal, sehingga lansia akan mengalami kesulitan mencerna

makanan (Stanley & Beare, 2007).

b. Teori Kekebalan Tubuh

Teori kekebalan tubuh (breakdown theory) ini memandang proses penuaan terjadi

akibat adanya penurunan sistem kekebalan secara bertahap, sehingga tubuh tidak dapat

lagi mempertahankan diri terhadap luka, penyakit, sel mutan ataupun sel asing. Hal ini

terjadi karena hormon-hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar timus yang mengontrol

sistem kekbalan tubuh telah menghilang seiring dengan bertambahnya usia (Fatmah,

2010).

c. Teori Kekebalan

Teori kekebalan (autoimmunity) ini menekankan bahwa tubuh lansia yang

mengalami penuaan sudah tidak dapat lagi membedakan antar sel normal dan sel tidak

normal, dan muncul antibodi yang menyerangkeduanya yang pada akhirnya menyerang

jaringan itu sendiri. Mutasi yang berulang atau perubahan protein pascatranslasi dapat

menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem tubuh mengenali dirinya sendiri (self

recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen

permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel

yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya.

Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Salah satu bukti

yang ditemukan ialah bertambahnya kasus penyakit degeneratif pada orang berusia

lanjut (Fatmah, 2010).

d. Teori Fisiologik

Sebagai contoh, teori adaptasi stress (stress adaptation theory) menjelaskan proses

menua sebagai akibat adaptasi terhadap stres. Stres dapat berasal dari dalam maupun

dari luar, juga dapat bersifat fisik, psikologik, maupun sosial (Fatmah, 2010).

e. Teori Psikososial
Semakin lanjut usia seseorang, maka ia semakin lebih memperhatiakan dirinya dan

arti hidupnya, dan kurang memperhatikan peristiwa atau isu-isu yang terjadi (Fatmah,

2010).

f. Teori Kontinuitas

Gabungan antara teori pelepasan ikatan dan teori pelepasan ikatan dan teori

aktivitas. Perubahan diri lansia dipengaruhi oleh tipe kepribadiannya. Seseorang yang

sebelumnya sukses, pada usia lanjut akan tetap berinteraksi dengan lingkungannya serta

tetap memelihara identitas dan kekuatan egonya karena memiliki tipe kepribadian yang

aktif dalam kegiatan sosial (Fatmah, 2010).

g. Teori Sosiologik

Teori perubahan sosial yang menerangkan menurunnya sumber daya dan

meningkatnya ketergantungan, mengakibatkan keadaan sosial yang tidak merata dan

menurunnya sistem penunjang sosial. Teori pelepasan ikatan (disengagement theory)

menjelaskan bahwa pada usia lanjut terjadi penurunan partisipasi ke dalam masyarakat

karena terjadi proses pelepasan ikatan atau penarikan diri secara pelan-pelan dari

kehidupan sosialnya. Pensiun merupakan contoh ilustrasi proses pelepasan ikatan yang

memungkinkan seseorang untuk bebas dari tanggung jawab dari pekerjaan dam tidak

perlu mengejar peran lain untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Teori ini banyak

mendapatkan kritikan dari berbagai ilmuwan sosial (Fatmah, 2010).

h. Teori Aktifitas

Berlawanan dengan teori pelepasan ikatan, teori aktivitas ini menjelaskan bahwa

lansia yang sukses adalah yang aktif dan ikut dalam kegiatan sosial. Jika seseorang

sebelumnya sangat aktif, maka pada usia lanjut ia akan tetap memelihara keaktifannya

seperti peran dalam keluarga dan masyarakat dalam berbagai kegiatan sosial dan

keagamaan, karena ia tetap merasa dirinya berarti dan puas di hari tuanya. Bila lansia

kehilangan peran dan tanggung jawab di masyarakat atau kelaurga, maka ia harus
segera terlibat dalam kegiatan lain seperti klub atau organisasi yang sesuai dengan

bidang atau minatnya. Dalam pandangan teori aktivitas, teori pelepasan adalah

melekatnya sifat atau pembawaan lansia dan tidak ke arah masa tua yang positif

(Fatmah, 2010).

i. Teori Penuaan Ditinjau dari Sudut Biologis.

Sebelumnya proses penuaan biologis tubuh dikaitkan dengan organ tubuh. Akan

tetapi, kini proses penuaan biologis ini dihubungkan dengan perubahan dalam sel-sel

tubuh disebabkan oleh memiliki batas maksimum untuk membelah diri sebelum mati,

setiap spesies mempunyai karakteristik dan masa hidup yang berbeda, dan penurunan

fungsi dan efisiensi selular terjadi sebelum sel mampu membelah diri secara maksimal.

Lansia mengalami penurunan fungsi fisiologis pada rongga mulut sehingga

mempengaruhi mekanisme makanan. Perubahan dalam rongga mulut yang terjadi pada

lansia mencakup tanggalnya gigi, muluit kering dan penurunan motilitas esofagus

(Meiner, 2011).

5. Masalah Yang Terjadi Pada Lansia

a. Masalah Gizi

Masalah gizi yang dihadapi lansia berkaitan erat dengan penurunan aktifitas

fisiologis tubuhnya. Konsumsi pangan yang kurang seimbang akan memperburuk kondisi

lansia yang secara alami memang sudah menurun. Dibandingkan dengan usia dewasa,

kebutuhan gizi lansia umumnya lebih rendah karena adanya penurunan metabolisme dan

kemunduran lain seperti yang telah diuraikan diatas.

Rincian faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan dan kecukupan zat gizi lansia

adalah usia, jenis kelamin, dan faktor lingkungan (Fatmah, 2010). Masalah gizi pada lansia

adalah gizi lebih dan gizi. Kegemukan merupakan salah satu pencetus berbagai penyakit,

misalnya penyakit jantung, kencing manis, dan darah tinggi. Gizi kurang sering disebabkan
oleh masalah-masalah sosial ekonomi dan juga karena gangguan penyakit (Proverawati,

2011).

b. Mudah Terjatuh

Ada beberapa masalah yang sering dihadapi oleh lansia selama proses menua, seperti

mudah terjatuh. Lansia mudah terjatuh juga bisa disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu

faktor intrinsik seperti gangguan gaya berjalan, kelemahan otot-otot kaki, kekakuan sendi,

dan pusing, serta faktor ekstrinsik seperti lantai licin dan tidak rata, tersandung benda-benda

sekitar, penglihatan kurang jelas karena cahaya kurang terang, dan seterusnya (Nugroho,

2008).

c. Penurunan Daya Ingat (Demensia)

Demensia atau pikun adalah salah satu penyakit yang ditandai dengan gangguan daya

pikir dan daya ingat yang bersifat progresif disertai gangguan bahasa, perubahan

kepribadian dan perilaku (Hidayati, 2005). Demensia dapat mempengaruhi kemampuan

aktivitas sehari-hari karena dipengaruhi kumpulan gejala yang ada seperti penurunan fungsi

kognitif, perubahan mood, dan tingkah laku (Azizah, 2010).

Demensia seringkali terjadi pada lanjut usia yang telah berumur kurang lebih 60

tahun. Dimensia tersebut dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu: Demensia Pra Senilis

(60 tahun), dan demensia senilis (60 tahun ke atas). Sekitar 56,8% lanjut usia mengalami

demensia dalam bentuk Demensia Alzheimer (4% dialami lanjut usia yang telah berusia

75 tahun, 16% pada usia 85 tahun, dan 32% pada usia 90 tahun). Sampai saat ini

diperkirakan sekitar 30 juta penduduk dunia mengalami demensia dengan berbagai sebab

(Kuncoro, 2002)

d. Masalah Depresi

Lansia juga seringkali mengalami depresi yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor

contohnya perubahan fisik mereka yang menyebabkan fungsi kerja alat indra atau otot tubuh
mereka menjadi menurun. Adapula beberapa lansia juga yang mengalami agitasi dan

kegelisahan. Hal ini biasanya terjadi karena mereka merasa kurang diperhatikan.

B. Konsep Depresi

1. Pengertian depresi

Depresi adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan dan

kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga hilangnya kegairahan hidup (Stuart,

2015). Depresi merupakan bagian dari gangguan suasana hati atau mood, depresi terjadi

pada lansia karena adanya perubahan dalam proses menua dan masalah yang timbul akibat

perubahan tersebut (Muslim R, 2013)

2. Etiologi

Menurut Sandoc (2017) faktor yang dapat mengakibatkan depresi antara lain:

a. Faktor Biologis

Abnormalitas metabolit amin biogenic seperti asam 5hidroksiindolasetat (5-

HIAA), asam homovanilat (HVA) dan 3metoksi-4-hidroksifenilglikol (MHPG)

didalam darah, urin dan cairan serebrospinal pasien dengan gangguan mood.

Gangguan mood dapat disebabkan oleh disregulasi heterogen amin biogenik.

b. Faktor neurokimia lain

Hal lain yang dapat menjadi penyebab depresi seperti regulasi kalsium, adeniat

siklate dan fosfatidilinositol. Asam amino glutamate dan glisin tampaknya

menjadi neurotransmitters eksitasi utama pada sistim saraf pusat. Glutamate dan

Glisin berikatan dengan reseptor N-metil-D aspartat (NMDA), jika berlebihan

dapat memiliki afek neurotoksik.

c. Factor genetic

Factor genetic memberikan kontribusi yang besar dalam hal gangguan mood.

Pola pewarisan genetic terjadi melalui mekanisme yang kompleks dalam

menurunkan gangguan depresi berat.


3. Klasifikasi depresi

Kriteria diagnosis depressi mayor menurut DSM-V adalah sebagai berikut:

a. Lima (atau lebih) dari gejala berikut terdapat dalam periode 2 minggu dan

menunjukkan perubahan dari fungsi dari sebelumnya, setidaknya dapat satu dari

gejala ini, antara lain afek depresi, kehilangan minat atau kesenangan . dalam hal

ini tidak dibenarkan memasukkan gejala yang jelas disebabkan oleh kondisi

medis lain seperti pengaruh obat.

1) Depressi suasana hati (mood) terjadi hampir setiap hari, seperti yang

ditunjukkan oleh salah satu laporan subjektif (misalnya, terasa sedih,

hampa, putus asa) atau pengamatan yang dilakukan oleh orang lain

(misalnya, tampak menangis), mudah tersinggung

2) Secara nyata mengurangi minat atau kesenangan dalam semua hal, atau

hamper semua, hamper setip hari (seperti yang di tunjukkan dalam

pengamatan subjektif)

3) Penurunan berat badan yang siknifikan saat tidak melakukan diet atau

penambahan berat badan (misalnya, perubahan lebih dari 5% dari berat

badan dalam sebulan) atau mengurangi atau menambah nafsu makan

hamper setiap hari(catatan pada anak-anak, pertimbangkan kegagalan untuk

membuat kenaikan berat badan yang diharapkan).

4) Imsomnia atau hypersomnia hampir setiap hari.

5) Angitasi psikomotor atau keterbelakangan hampir setiap hari (dapat diamati

oleh orang lain, tidak hanya perasaan subjektif dari kegelisahan atau

dilambatkan).

6) Kelelahan atau kehilangan energy hampir setiap hari


7) Perasaan tidak beharga atau merasa tidak bersalah yang berlebihan atau

tidak pantas (yang mungkin delusional) hampir setiap hari (bukan hanya

mencela diri sendiri atau merasa bersalah Karena sakit).

8) Kemampuan yang berkurang untuk berfikir atau berkonsentrasi, atau ragu-

ragu, hampir setiap hari (baik disampaikan secara subjektif atau seperti yang

diamati oleh orang lain).

9) Pikiran berulang tentang kematian (bukan hanya takut mati), keinginan

berulang untuk bunuh diir dengan menyusun rencana spesifik atau upaya

bunuh diri atau rencana khusus untuk melakukan bunuh diri.

b. Gejala-gejala tersebut menyebabkan gangguan atau kerusakan yang signifikan

secara klinis diimbang fungsi sosial, pekerjaan atau area penting lainnya.

c. Gejala- gejala yang disebabkan oleh afek fisiologis langsung dari suatu zat atau

kondisi medis lainya.

d. Gejala yang tidk disebabkan oleh gejala skizofrizia, gangguan skizofrenia,

gangguan skizifreniform, gangguan delusional atau spectrum skizofrenia spasifik

dan tidak spesifik lain dan gangguan psikotik lainnya.

e. Tidak pernah ada episode mania atau hypomania.

4. Derajat keparahan depresi

Menurut Dianostic and Statiscal Manual of Mental Disorder (DSM V (2013),

Derajat keparahan gangguan depresi dalam diagnostic dapat dikelompokkan ke dalam

tiga yaitu, ringan, sedang, berat. Tingkat keparahan gangguan depresi tersebut di bagi

berdasarkan pengaruh depresi dalam hal social, tanggung jawab individu dan gejala

psikotik yang di timbulkan. Berikut derajat keperahan depresi.

a. Ringan

Mood depresi atau kehilangan minat + 4 gejala depresi lainnya. Gangguan

minor dala hal social dan pekerjaan


b. Sedang

Mood atau kehilangan minat + atau lebih gejala depresi lainnya. Gangguan

social/ pekerjaan yang berfariasi.

c. Berat

Mood depresi atau kehilangan minat + 4 atau lebih gejala depresi lainnya.

5. Cara Mengukur Depresi

Depresi dapat dialami pada semua umur (Stuart, 2013) yang berbeda antara

depresi pada lansia dengan usia dewasa. Depresi pada saat lansia dibedakan menjadi

dua, yaitu early-life onset (depresi kambuh lagi di usia lanjut) dan late life onset (onset

terjadinya depresi setelah lansia), dengan lebih tingginya tingkat kesakitan dan kematian,

kecacatan serta ketidaknormalan neuropsikologik dihubungkan dengan penurunan fungsi

pada lansia (Miller, 2015).

Depresi pada pasien lansia di ukur dengan Geriatric Depression Scale. GDS terdiri

dari 15 pertanyaan. Masing-masing pertanyaan dapat dijawab dengan iya atau tidak.

Hasil skore 0-4 menunjukan bahwa pasien tidak depresi, skore 5-8 depresi ringan, 9-11

depresi sedang, dan skore 12-15 depresi berat. (mood) (Cervone & Pervin, 2012).

6. Penatalaksanaan Depresi

Depresi merupakan salah satu gangguan psikiatri umum pada lansia. Diagnosis

terlambat dan pengobatan yang tidak tepat dapat menghambat hasil yang maksimal.

Tenaga kesehatan perlu membuat strategi pengobatan yang komprehensif untuk

mengatasi depresi pada lansia (Irawan, 2013). Menurut Marianne (2013)

penatalaksanaan depresi pada lansia dapat dilakukan dengan terapi farmakologis

dan terapi nonfarmakologi.

Terapi non-farmakologi merupakan pengobatan depresi yang dilakukan dengan cara

menjalani pola hidup sehat, menghentikan pemakaian zat yang membahayakan tubuh,
istirahat yang cukup, mengelola stres, aktivitas. terapi non farmakologis untuk

menurunkan depresi antara lain yaitu terapi individual, terapi lingkungan, terapi

keluarga, terapi kelompok dan terapi reminisence (Marianne, 2013).

C. Terapi Reminisence

1. Pengertian

Menurut Manurung (2016), reminiscence atau kenangan adalah suatu kemampuan

pada lansia yang dipandu untuk mengingat memori masa lalu dan “disharingkan”

(disampaikan) memori tersebut dengan keluarga, kelompok atau staf. Menurut Chen, Li

(2012), Reminiscence therapy adalah sebuah intervensi non farmakologi yang penting

yang terkait dengan peningkatan pada afek dan dapat membantu secara cepat dalam

menurunkan emosi dan perilaku yang berkaitan dengan depresi dan gejala apatis. Terapi

Reminiscence bertujuan untuk meningkatkan harga diri, membantu individu mencapai

kesadaran diri, memahami diri, beradaptasi terhadap stres, meningkatkan kepuasan hidup

dan melihat dirinya dalam konteks sejarah dan budaya . Didukung oleh penelitian Cucu,

R., Kuslan, K., Monica, H. (2019) tentang Pengaruh Terapi Reminiscence Terhadap

Penurunan Depresi pada Lansia dengan menggunakan quasi experiment. Hasil penelitian

diperoleh tingkat depresi pada lansia sebelum dilakukan terapi reminiscence dari

responden mengalami depresi berat sebanyak 15 responden (51,7%), tingkat depresi

pada lansia sesudah dilakukan terapi reminiscence dari responden mengalami depresi

ringan sebanyak 14 responden (48,3%), ada pengaruh yang signifikan terapi

reminiscence terhadap penurunan tingkat depresi pada lansia, dengan p value 0,000.

2. Manfaat terapi reminiscence

Menurut Wu (2011) terapi reminiscence bertujuan untuk meningkatkan harga diri

dan membantu individu mencapai kesadaran diri dan memahami diri, beradaptasi terhadap

stress dan melihat bagian dirinya dalam konteks sejarah dan budaya. Terapi reminiscence
juga bertujuan untuk menciptakan kebersamaan kelompok dan meningkatkan keintiman

sosial. Chiang (2009) menyatakan bahwa Terapi reminiscence bertujuan tidak hanya

untuk memberikan pengalaman yang menyenangkan untuk meningkatkan kualitas hidup,

tetapi juga meningkatkan sosialisasi dan hubungan dengan orang lain, memberikan

stimulasi kognitif, meningkatkan komunikasi dan dapat menjadi suatu terapi yang efektif

untuk gejala depresi.

Menurut Chen, Li, & Li ( 2012) reminiscence therapy adalah salah satu tritment

psikologi yang khusus di rancang untuk lansia agar meningkatkan status kesehatan

mental dengan recalling dan akses memori yang masih eksis. Kelebihan-kelebihan yang

dimiliki oleh reminiscence dibandingkan dengan intervensi yang lainnya adalah metode

yang menggunakan memori untuk melindungi kesehatan mental dan meningkatkan

kualitas kehidupan. Reminiscence bukan hanya untuk mengingat kejadian masa lalu atau

pengalaman namun sebuah proses terstruktur yang sistematik untuk merefleksikan

sebuah kehidupan dengan fokus pada evaluasi ulang, pemecahan masalah dari masa lalu

sehingga menemukan makna sebuah kehidupan dan akses dalam mengatasi permasalahan

secara adaptif.

Beberapa penelitian dengan reminiscence group therapy sudah banyak dilakukan

untuk berbagai macam masalah dan latar belakang klien yang juga berbeda-beda.

Penelitian selanjutnya oleh Hsieh, dkk (2010) mengatakan bahwa reminiscence group

therapy dapat menurunkan gejala depresi dan apatis di nursing home resident dengan

level demensia yang ringan sampai sedang. Reminiscence group therapy adalah sebuah

intervensi non-farmasi yang penting yang terkait dengan peningkatan pada afek dan

dapat membantu secara cepat dalam menurunkan emosi dan perilaku yang berkaitan

dengan depresi dan gejala apatis.

3. Tipe Reminiscence

Manurung (2016) mengatagorikan ada 3 tipe utama Therapy Reminiscence, yaitu :


a. Simple atau Positive Reminiscence

Tipe ini untuk merefleksikan informasi dan pengalaman serta perasaan yang

menyenangkan pada masa lalu cara menggali pengalaman tersebut dengan

menggunakan pertanyaan langsung yang tampak seperti interaksi sosial antara klien

dan terapi. Simple reminiscence ini bertujuan untuk membantu beradaptasi terhadap

kehilangan dan memelihara harga diri.

b. Evaluative Reminiscence

Tipe ini untuk mengevaluasi masa lalu dan digunakan sebagai pendekatan

pemecahan konflik.

c. Offensive Defensive Reminiscence

Tipe ini merupakan kegiatan pengulangan informasi yang tidak menyenangkan dan

meningkatkan stress. Keluarga dan teman terdekat dapat memberikan informasi dan

subjek penting yang menyedihkan bagi lanjut usia sehingga membutuhkan

dukungan yang penuh dari perawat.

d. Media yang digunakan dalam terapi reminiscence

Media yang digunakan dalam kegiatan terapi reminiscence adalah benda-benda

yang berhubungan dengan masa lalu klien. Menurut Manurung (2016) media yang dapat

digunakan dalam kegiatan Terapi reminiscence adalah reminiscence kit, merupakan kotak

yang diisi dengan berbagai barang-barang pada masa lalu seperti majalah, alat untuk

memasak, pakaian, alat bermain, poto pribadi alat untuk memutar musik, video, dan kaset.

Stimulus bau yang berbeda seperti coklat, jeruk dan lain-lain. Bahan- bahan untuk

menstimulasi sensori sentuhan seperti bulu binatang, wol dan flanel, pasir, lumpur, dll.

Benda-benda masa lalu ini digunakan sebagai media untuk membantu klien

mengingat kembali masa lalunya berkaitan dengan benda tersebut. Media ini diharapkan

akan mempercepat daya ingat klien untuk mengingat kembali pengalaman masa lalunya
yang berkaitan dengan benda tersebut dan akan diceritakan pada orang lain sehingga proses

dan tujuan terapi dapat tercapai.

e. Media yang digunakan dalam terapi reminiscence

Media yang digunakan dalam kegiatan terapi reminiscence adalah benda-benda

yang berhubungan dengan masa lalu klien. Menurut Manurung (2016) media yang dapat

digunakan dalam kegiatan Terapi reminiscence adalah reminiscence kit, merupakan kotak

yang diisi dengan berbagai barang-barang pada masa lalu seperti majalah, alat untuk

memasak, pakaian, alat bermain, poto pribadi alat untuk memutar musik, video, dan kaset.

Stimulus bau yang berbeda seperti coklat, jeruk dan lain-lain. Bahan- bahan untuk

menstimulasi sensori sentuhan seperti bulu binatang, wol dan flanel, pasir, lumpur, dll.

Benda-benda masa lalu ini digunakan sebagai media untuk membantu klien

mengingat kembali masa lalunya berkaitan dengan benda tersebut. Media ini diharapkan

akan mempercepat daya ingat klien untuk mengingat kembali pengalaman masa lalunya

yang berkaitan dengan benda tersebut dan akan diceritakan pada orang lain sehingga proses

dan tujuan terapi dapat tercapai.


Daftar Pustaka

Chen, T., Li, H. and Li, J. (2012) ‘The effects of reminiscence therapy on
depressive symptoms of Chinese elderly : study protocol of a randomized
controlled trial’.
Cucu, R., Kuslan, K., , Monica, H. (2019). Pengaruh Terapi Reminiscence
Terhadap Penurunan Depresi pada Lansia. Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal
Ilmiah STIKES Kendal Volume 9 No 2, Hal 73 - 78, April 2019 ISSN
2089-0834.
Chiang, et al (2009). The effects of reminiscence therapy on psychological wel-
being, depresion, and lonelines among the institusionalized aged
international journal of geatric pschiartry. http://proquest.co
Darmojo. (2010). Keperawatan Gerontik. EGC : Jakarta.
Fatmah. ( 2010). Gizi Usia Lanjut. Erlangga : Jakarta
Hsieh, C.-J., Chang, C., Su, S.-F., Hsiao, Y.-L., Shih, Y.-W., Han, W.-H.,
et al. (2010). Reminiscence Group Therapy on Depression and Apathy in
Nurshing Home Residents With Mild-to-moderate Dementia. Journal
of Experimental& Clinical Medicine 2(2), 72-78.
Irawan, H. (2013). Gangguan Depresi pada Lanjut Usia. Cermin Dunia
Kedokteran-210, 40(11), 815-819).
Muslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari
PPDGJ III. Jakarta: Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya.
Manurung , N. (2016). Terapi Reminiscence. CV Trans Info Media: Jakarta.
Nugroho, W. (2012). Keperawatan gerontik dan Geriatrik Ed. 3. Jakarta:EGC.

Anda mungkin juga menyukai