Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Rheumatoid Arthritis

2.1.1 Pengertian

Arthritis Rheumatoid adalah gangguan berupa kekakuan, pembengkakan,

nyeri dan kemerahan pada daerah persendian dan jaringan sekitarnya. Arthritis

Rheumatoid adalah gangguan kronik yang menyerang berbagai system organ.

Penyakit ini adalah salah satu dari sekelompok penyakit jaringan ikat difus

yang diperantarai oleh imunitas dan tidak diketahui penyebabnya. Pada pasien

biasanya terjadi destruksi sendi progresif, walaupun episode peradangan sendi

dapat mengalami masa remisi (Adellia, 2011).

Arthritis Rheumatoid adalah penyakit inflamasi non bakterial yang bersifat

sistemik, progresif, cenderung kronis yang bersifat menyerang berbagai sistem

organ. Penyakit ini adalah salah satu dari sekelompok penyakit jaringan

penyambung difus yang diperantarai oleh imunitas, biasanya terjadi destruksi

sendi progresif (Saputri, 2017).

Jadi dapat disimpulkan bahwa Arthritis Rheumatoid adalah penyakit

autoimun dengan proses peradangan menahun yang tersebar diseluruh tubuh,

mencakup keterlibatan sendi dan berbagai organ di luar persendian.

2.1.2 Klasifikasi

Menurut Saputri (2017) Arthritis Rheumatoid dapat diklasifikasikan

menjadi 4 tipe yaitu :


a. Arthritis Rheumatoid klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda

dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit

dalam waktu 6 minggu.

b. Arthritis Rheumatoid deficit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda

dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit

dalam waktu 6 minggu.

c. Probable Arthritis Rheumatoid pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda

dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit

dalam waktu 6 minggu.

d. Possible Arthritis Rheumatoid pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda

dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit

dalam waktu 3 bulan.

2.1.3 Etiologi

Arthritis Rheumatoid merupakan penyakit auto imun kronis yang ditandai

dengan peradangan, nyeri, kekakuan dan kerusakan sendi yang progresif. Selain

tingginya rasa sakit dan angka kematian, penderita arthritis rheumatoid

mengalami masalah dengan keuangan mereka dan mengalami penurunan

produktivitas, emosional dan keadaan sosial yang mempengaruhi kualitas hidup

mereka (Saputri, 2017).

Menurut Junaidi (2012), penyebab penyakit rematik diantaranya:

a. Genetik

Pada penyakit arthritis rheumatoid faktor genetik sangat berpengaruh.

Gen-gen tertentu yang terletak di kompleks histokompatibilitas utama


(MHC) pada kromosom 6 telah terlibat predisposisi dan tingkat keparahan

arthritis rheumatoid. Penduduk asli Amerika dengan gen polimorfik

HLA-DR9 memiliki resiko 3,5 lebih besar terkena arthritis rheumatoid

bawaan. keluarga yang memiliki anggota keluarga terkena arthritis

rheumatoid memiliki risiko lebih tinggi dan juga memiliki sifat keluhan

yang sama pada penderita dengan gen yang sama.

b. Usia

Usia lanjut adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di

mulai dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup. Sebagai mana di

ketahui, ketika manusia mencapai usia dewasa, ia mempunyai

kemampuan reproduksi dan melahirkan anak. Ketika kondisi hidup

berubah, seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi ini, dan memasuki

selanjutnya, yaitu usia lanjut, kemudian mati. Bagi manusia yang normal,

siapa orangnya, tentu telah siap menerima keadaan baru dalam setiap fase

hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi lingkunganya

(Darmojo, 2009).

c. Jenis kelamin

Menurut Hungu (2007) jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara

perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seks

berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki

memproduksikan sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur

dan secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan

d. Gaya Hidup
Makanan yang mengadung purin tinggi seperti jeroan, daging, sayuran

dan seafood akan meningkatkan kadara asam urat sehingga dapat

menyebabkan penumpukan Kristal pada sendi dan jaringan. Beberapa

makanan yang menyebabkan arthritis rheumatoid antara lain daging

merah seperti kambing, sapi, kuda dan lain-lain, seafood atau makan laut

seperti udang, cumi-cumi karang, ikan teri dan kepiting, kacang-kacangan

seperti kacang kedelai, kacang tanah, kacang merah, kacang hijau dan

tauge, sayuran seperti kol, buncis, bayam, jamur, daun singkong, dan

kangkung, jenis jeroan seperti babat, usus, ginjal, limfa, paru, otak dan

hati. Merokok adalah salah satu faktor resiko dari keparahan rheumatoid

arthritis pada populasi tertentu. Merokok meningkatkan kandungan racun

dalam darah dan mematikan jaringan akibat kekurangan oksigen, yang

memungkinkan terjadinya kerusakan tulang rawan dan menyebabkan

arthritis rheumatoid.

2.1.4 Patofisiologi

Menurut Saputri (2017) Arthritis Rheumatoid sering disebut radang selaput

sinovial. Penyebab dari arthritis rheumatoid masih belum jelas, tetapi produksi

faktor rheumatoid (RFS) oleh sel-sel plasma dalam sinovium dan pembentukan

lokal kompleks imun sering berperan dalam peradangan. Sinovium normal tipis

dan terdiri dari lapisan-lapisan fibroblast synoviocytes dan makrofag. Pada

penderita rheumatoid arthritis sinovium menjadi sangat tebal dan terasa sebagai

pembengkakan di sekitar sendidan tendon. Sinovium berproliferasi ke dalam

lipatan, lipatan ini kemudian disusupi oleh berbagai sel inflamasi diantaranya
polimorf yang transit melalui jaringan ke dalam sel sendi, limfosit dan plasma sel.

Lapisan sel sinovium menjadi menebal dan hiperplastik, kejadian ini adalah tanda

proliferasi vaskuler awal arthritis rheumatoid. Peningkatan permeabilitas

pembuluh darah dan lapisan sinovial menyebabkan efusi sendi yang mengandung

limfosit dan polimorf yang hampir mati

Sinovium hiperplastik menyebar dari daerah sendi ke permukaan tulang

rawan. Penyebaran ini menyebabkan kerusakan pada sinovium dan tulang rawan

mengalami peradangan, kejadian ini menghalangi masuknya gizi ke dalam sendi

sehingga tulang rawan menjadi menipis. Fibroblast dari sinovium berkembang

biak dan tumbuh di sepanjang pembuluh darah antara margin sinovial dan rongga

tulang epifis dan merusak tulang

2.1.5 Manifestasi Klinis

Gejala umum arthritis rheumatoid datang dan pergi, tergantung pada

tingkat peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif.

Ketika jaringan berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi

secara spontan atau dengan pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa

bulan atau tahun. Selama remisi, gejala penyakit hilang dan orang-orang pada

umumnya merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi (kambuh) ataupun gejala

kembali (Saputri, 2017). Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan,

kehilangan sistem, kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan

sendi dan kekakuan. Otot dan kekauan sendi biasanya paling sering di pagi hari.

Disamping itu juga manifestasi klinis arthritis rheumatoid sangat bervariasi dan

biasanya mencerminkan stadium serta beratnya penyakit. Rasa nyeri,


pembengkakan, panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan gambaran klinis

yang klasik untuk rheumatoid arthritis

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Saputri (2017) untuk menegakkan diagnosa, dilakukan beberapa

tes diantaranya:

a. Tes Hitung Darah. Anemia biasanya terjadi pada penderita arthritis

rheumatoid. Jumlah ESR (Erytrocyte Sedimentation Rate) dan atau CRP

(CReaktive Protein) sebanding dengan aktivitas proses inflamasi dan

berguna dalam pemantauan pengobatan

b. Serologi Anti-CCP (Cyclic Citrullinated Peptides) positif pada awal

terjadinya arthritis rheumatoid dan pada awal arthritis proses inflamasi

menunjukkan kemungkinan berkembangnya rheumatoid arthritis. Faktor

rheumatoid arthritis mempengaruhi sekitar 70% kasus dan ANA (Anti

Nuklear Antibodi) mempengaruhi sekitar 30% kasus .

c. Sinar X Sinar X berguna untk menetapkan data dasar. Hanya

pembengkakan jaringan lunak yang terlihat pada awal penyakit dan

biaanya dilakukan pada 3 bulan pertama. MRI menunjukkan erosi awal

tetapi jarang diperlukan .

d. Aspirasi Sendi Aspirasi tampak berawaan karena adanya sel darah putih.

Jika sendi tiba-tiba menyakitkan, bisa saja pasien terkena arthritis .

e. Analisis Cairan Sinovial Peradangan yang mengarah pada rheumatoid

arthritis ditandai dengan cairan sinovial abnormal dalam hal kualitas dan

jumlahnya yang meningkat drastis. Sampel cairan ini biasanya diambil dari
sendi (lutut), untuk kemudian diperiksa dan dianalisis tanda-tanda

peradangannya .

f. USG (Ultrasonografi) Dapat digunakan untuk memeriksa dan mendeteksi

adanya cairan abnormal di jaringan lunak sekitar sendi .

g. Scan Tulang Tes ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya inflamasi

pada tulang .

h. Densitometri Dapat mendeteksi adanya perubahan kepadatan tulang yang

mengindikasikan terjadinya osteoporosis .

i. Tes Antinuklear Antibodi (ANA) Berguna untuk membedakan diagnosis

Arthritis Rheumatoid dari penyakit lupus. Pasien Arthritis Rheumatoid

memiliki hasil ANA positif .

2.1.7 Penatalaksanaan

Menurut Saputri (2017) hingga sekarang belum ada obat-obatan yang

dapat menyembuhkan penyakit rematik, kecuali penyakit rematik yang

disebabkan oleh infeksi. Obat yang tersedia hanya mengatasi gejala penyakitnya,

sedangkan proses penyakitnya tetap berlangsung. Beberapa terapi yang digunakan

agar dapat meringankan penderitaan pasien adalah sebagai berikut :

a. Terapi obat

Pengobatan yang dilakukan terhadap penyakit rematik adalah untuk

mengatasi gejala nyeri dan peradangannya. Pada beberapa kasus,

pengobatan bertujuan untuk memperlambat proses atau mengubah

perjalanan penyakit, disebut Disease Modifying Antirhematic Drugs

(DMARDs) dan obat-obatan lain untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.


Beberapa obat atau golongan obat yang dapat digunakan pada rematik:

1) Golongan analgetik: golongan obat ini berfungsi mengatasi atau

meredakan rasa nyeri pada sendi, contohnya aspirin, obat

antiinflamasi non steroid (NSAIDs) lainnya seperti ibuprofen dan

asetaminofen.

2) Golongan kortikosteroid: obat kortikosteroid seperti prednisone,

kotison, solumedrol, dan hidrokartison banyak digunakan untuk

mengobati gejala rematik. Cara kerja kortikosteroid adalah dengan

mengatasi inflamasi dan menekan sistem kekebalan tubuh sehingga

reaksi radang pada rematik berkurang. Efek samping jangka pendek

kortikosteroid adalah pembengkakan, menambah nafsu makan,

menambah berat badan dan emosi yang labil. Efek samping tersebut

akan berhenti bila pemberian obat dihentikan.

b. Terapi Non-obat

Tersedia bahan alami atau herbal dan beberapa suplemen yang dapat

digunakan untuk melawan penyakit rematik. Beberapa terapi non- obat

yang digunakan adalah sebagai berikut:

1) Terapi Panas. Salah satu tindakan untuk menghilangkan nyeri secara

nonfarmakologi yaitu dengan menghangatkan persendian yang sakit.

Mekanisme metode ini sama dengan metode terapi pijat yang

menggunakan terapi gate kontrol. Ada bermacam-macam cara

pemanasan yaitu kompres hangat dengan handuk, dengan

mendekatkan botol ke kedua sendi yang sakit dan bisa juga dengan
berjemur di bawah sinar matahari. Penggunaan panas mempunyai

keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu area dan

kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri, panas yang lembab

dapat menghilangkan kekakuan pada pagi hari akibat artritis

(Andriani, 2016)

2) Latihan gerak aktif merupakan salah satu bagian dari terapi non

farmakologis. Latihan gerak yang dimaksud adalah latihan

stretching. Latihan ini juga memiliki dampak kesehatan bagi klien

rheumatoid dimana latihan gerak dapat membantu klien dalam

meningkatkan fungsi tubuh dan memudahkan dalam melaksanakan

aktivitas sehari-hari (Nurhabibah, 2018).

3) Suplemen dan sayuran; bahan makanan yang dapat dipergunakan

bagi penderita rematik adalah sebagai berikut: jus sayuran: minum

jus sayuran dapat membantu mengurangi gejala arthritis.

4) Vitamin C: menurut penelitian ahli fisiologi Dr. Robert Davis dari

Pennsylvania membuktikan bahwa penyakit arthritis rematoid

berkorelasi dengan kadar vitamin C rendah. Penggunaan dosis besar

vitamin C (500-1000 mg) sehari dapat menghilangkan gejala

arthritis. Berikan vitamin C dalam dosis rendah untuk menghindari

iritasi pada lambung dan supaya efek terapinya lebih lama.

5) Ikan dan minyak ikan: menurut Dr. Robert C. Atkins, penulis New

Diet Revolution prinsip dasar terapi dari arthritis haruslah suplemen

kapsul minyak ikan yang mengandung asam lemak omega-3 yang


dapat menghilangkan nyeri dan pembengkakan pada semua jenis

arthritis. Selain itu minyak ikan kod juga kaya akan vitamin D yang

membantu membangun tulang, dan vitamin A membantu melawan

peradangan. Satu sendok makan minyak ikan setiap hari merupakan

dosis yang diperlukan untuk mendapatkan manfaatnya. Penelitian

lain belum lama ini melakukan penelitian selama 12 bulan tentang

suplemen minyak ikan pada pasien artris rematoid, dan hasilnya

menunjukkan 2-6 gram minyak omega-3 setiap hari (6 kapsul

minyak ikan @ 1 gram) sehari, dapat menurunkan pembengkakan

dan nyeri sendi. Ikan kaya akan omega-3 adalah ikan salmon, tuna

dan sarden

2.1.8 Nyeri pada Pasien Rheumatoid Arthritis

Hampir semua gangguan rheumatoid arthritis disertai dengan nyeri dan

inflamasi. Rasa nyeri ini penting karena menunjukkan adanya mekanisme proteksi

dari tubuh karena terdapat kerusakan pada jaringan tubuh. Nyeri pada rheumatoid

arthritis disebabkan oleh adanya radang atau inflamasi yang mengakibatkan

dilepaskannya mediator-mediator kimiawi. Kinin dan mediator kimiawi lainnya

dapat merangsang timbulnya sensasi nyeri. Prostaglandin berperan dalam

meningkatkan dan memperpanjang rasa nyeri yang disebabkan oleh inflamasi.

2.2 Konsep Dasar Nyeri

2.2.1 Pengertian
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang

digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Nyeri adalah suatu pengalaman

sensorik yang multidimensional. Fenomena ini dapat berbeda dalam intensitas

(ringan,sedang, berat), kualitas (tumpul, seperti terbakar, tajam), durasi (transien,

intermiten,persisten) dan penyebaran (superfisial atau dalam, terlokalisir atau

difus). Meskipun nyeri adalah suatu sensasi, nyeri memiliki komponen kognitif

dan emosional, yang digambarkan dalam suatu bentuk penderitaan. Nyeri juga

berkaitan dengan reflex menghindar dan perubahan output otonom (Bahrudin,

2017)

Nyeri merupakan pengalaman yang subjektif, sama halnya saat seseorang

mencium bau harum atau busuk, mengecap manis atau asin, yang kesemuanya

merupakan persepsi panca indera dan dirasakan manusia sejak lahir. Walau

demikian, nyeri berbeda dengan stimulus panca indera, karena stimulus nyeri

merupakan suatu hal yang berasal dari kerusakan jaringan atau yang berpotensi

menyebabkan kerusakan jaringan (Meliala, 2014).

Jadi dapat disimpulkan bahwa nyeri merupakan respon sensorik dan

emosional yang terjadi akibat kerusakan jaringan dengan memberikan impuls ke

otak untuk merasakan sakit dan memiliki rentang atau derajat kesakitannya.

2.2.2 Fisiologi Nyeri

Menurut Bahrudin (2017) mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses

multipel yaitu nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral,

eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara


stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses

tersendiri : tranduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.

1. Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen

menerjemahkan stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls

nosiseptif. Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu

serabut A-beta, A-delta, dan C. Serabut yang berespon secara maksimal

terhadap stimulasi non noksius dikelompokkan sebagai serabut penghantar

nyeri, atau nosiseptor. Serabut ini adalah A-delta dan C. Silent nociceptor,

juga terlibat dalam proses transduksi, merupakan serabut saraf aferen yang

tidak bersepon terhadap stimulasi eksternal tanpa adanya mediator

inflamasi.

2. Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu

dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju

otak. Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari

sinyal elektrik dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula

spinalis dan selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron spinal.

3. Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related

neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula

spinalis, dan mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor

opioid seperti mu, kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis.

Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur desending berasal dari korteks

frontalis, hipotalamus, dan area otak lainnya ke otak tengah (midbrain) dan

medula oblongata, selanjutnya menuju medula spinalis. Hasil dari proses


inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau bahkan penghambatan (blok)

sinyal nosiseptif di kornu dorsalis.

4. Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi

merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi,

aspek psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah

organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh

yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit

yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secaara potensial

merusak. Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor. Secara anatomis,

reseptor nyeri (nociseptor) ada yang bermiyelin dan ada juga yang tidak

bermiyelin dari syaraf aferen.

2.2.3 Patofisiologi

Bahrudin (2017) menyatakan bahwa rangsangan nyeri diterima oleh

nociceptors pada kulit bisa intesitas tinggi maupun rendah seperti perennggangan

dan suhu serta oleh lesi jaringan. Sel yang mengalami nekrotik akan merilis K +

dan protein intraseluler. Peningkatan kadar K + ekstraseluler akan menyebabkan

depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada beberapa keadaan akan

menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan peradangan/inflamasi.

Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan seperti leukotrien, prostaglandin E2, dan

histamin yang akan merangasng nosiseptor sehing ga rangsangan berbahaya dan

tidak berbahaya dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau allodynia). Selain itu

lesi juga mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga bradikinin dan serotonin

akan terstimulasi dan merangsang nosiseptor. Jika terjadi oklusi pembuluh darah
maka akan terjadi iskemia yang akan menyebabkan akumulasi K + ekstraseluler

dan H + yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor. Histamin, bradikinin, dan

prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan meningkatkan permeabilitas

pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal, tekanan jaringan meningkat

dan juga terjadi Perangsangan nosisepto. Bila nosiseptor terangsang maka mereka

melepaskan substansi peptida P (SP) dan kalsitonin gen terkait peptida (CGRP),

yang akan merangsang proses inflamasi dan juga menghasilkan vasodilatasi dan

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.

2.2.4 Skala Nyeri

Secara umum, skala ini digambarkan dalam bentuk nilai angka, yakni 1-

10. Berikut adalah jenis skala nyeri berdasarkan nilai angka yang perlu Anda

ketahui.

Skala 0, tidak nyeri

Skala 1, nyeri sangat ringan

Skala 2, nyeri ringan. Ada sensasi seperti dicubit, namun tidak begitu sakit

Skala 3, nyeri sudah mulai terasa, namun masih bisa ditoleransi

Skala 4, nyeri cukup mengganggu (contoh: nyeri sakit gigi)

Skala 5, nyeri benar-benar mengganggu dan tidak bisa didiamkan dalam

waktu lama

Skala 6, nyeri sudah sampai tahap mengganggu indera, terutama indera

penglihatan

Skala 7, nyeri sudah membuat Anda tidak bisa melakukan aktivitas


Skala 8, nyeri mengakibatkan Anda tidak bisa berpikir jernih, bahkan

terjadi perubahan perilaku

Skala 9, nyeri mengakibatkan Anda menjerit-jerit dan menginginkan cara

apapun untuk menyembuhkan nyeri

Skala 10, nyeri berada di tahap yang paling parah dan bisa menyebabkan

Anda tak sadarkan diri

2.2.5 Cara Menghitung Skala Nyeri

Metode ini membantu para tenaga medis untuk mendiagnosis penyakit,

menentukan metode pengobatan, hingga menganalisis efektivitas dari pengobatan

tersebut. Dalam dunia medis, ada banyak metode penghitungannya. Berikut ini

beberapa cara menghitung skala nyeri yang paling populer dan sering digunakan.

2.2.5.1 Visual Analog Scale (VAS)

Visual Analog Scale (VAS) adalah cara menghitung skala nyeri yang

paling banyak digunakan oleh praktisi medis. VAS merupakan skala linier yang

akan memvisualisasikan gradasi tingkatan nyeri yang diderita oleh pasien. Pada

metode VAS, visualisasinya berupa rentang garis sepanjang kurang lebih 10 cm, di

mana pada ujung garis kiri tidak mengindikasikan nyeri, sementara ujung satunya

lagi mengindikasikan rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Selain dua

indicator tersebut, VAS bisa diisi dengan indikator redanya rasa nyeri. VAS adalah

prosedur penghitungan yang mudah untuk digunakan. Namun, VAS tidak

disarankan untuk menganalisis efek nyeri pada pasien yang baru mengalami

pembedahan. Ini karena VAS membutuhkan koordinasi visual, motorik, dan

konsentrasi. Berikut adalah visualisasi VAS:


Sumber: unud.ac.id (diakses tanggal 17 Februari 2020)

2.2.5.2 Verbal Rating Scale (VRS)

Verbal Scale (VRS) hampir sama dengan VAS, hanya, pernyataan verbal

dari rasa nyeri yang dialami oleh pasien ini jadi lebih spesifik. VRS lebih sesuai

jika digunakan pada pasien pasca operasi bedah karena prosedurnya yang tidak

begitu bergantung pada koordinasi motorik dan visual. Skala nyeri versi VRS:

Sumber: unud.ac.id (diakses tanggal 17 Februari 2020)

2.2.5.3 Numeric Rating Scale (NRS)

Metode Numeric Rating Scale (NRS) didasari pada skala angka 1-10 untuk

menggambarkan kualitas nyeri yang dirasakan pasien. NRS diklaim lebih mudah

dipahami, lebih sensitif terhadap jenis kelamin, etnis, hingga dosis. NRS juga

lebih efektif untuk mendeteksi penyebab nyeri akut ketimbang VAS dan VRS.

Skala nyeri dengan menggunakan NRS:


Sumber: unud.ac.id (diakses tanggal 17 Februari 2020)

NRS di satu sisi juga memiliki kekurangan, yakni tidak adanya pernyataan

spesifik terkait tingkatan nyeri sehingga seberapa parah nyeri yang dirasakan tidak

dapat diidentifikasi dengan jelas.

2.2.5.4 Wong-Baker Pain Rating Scale

Wong-Baker Pain Rating Scale adalah metode penghitungan skala nyeri

yang diciptakan dan dikembangkan oleh Donna Wong dan Connie Baker. Cara

mendeteksi skala nyeri dengan metode ini yaitu dengan melihat ekspresi wajah

yang sudah dikelompokkan ke dalam beberapa tingkatan rasa nyeri.

Sumber: wongbakerfaces.org (diakses tanggal 17 Februari 2020)

Saat menjalankan prosedur ini, dokter akan meminta pasien untuk memilih

wajah yang kiranya paling menggambarkan rasa nyeri yang sedang mereka alami.

Seperti terlihat pada gambar, skala nyeri dibagi menjadi:

Raut wajah 1, tidak ada nyeri yang dirasakan

Raut wajah 2, sedikit nyeri

Raut wajah 3, nyeri


Raut wajah 4, nyeri lumayan parah

Raut wajah 5, nyeri parah

Raut wajah 6, nyeri sangat parah

2.2.5.5 McGill Pain Questinonnaire (MPQ)

Metode penghitungan skala nyeri selanjutnya adalah McGill Pain

Questinnaire (MPQ). MPQ adalah cara mengetahui skala nyeri yang

diperkenalkan oleh Torgerson dan Melzack dari Universitas Mcgill pada tahun

1971. Sesuai dengan namanya, prosedur MPQ berupa pemberian kuesioner

kepada pasien. Kuesioner tersebut berisikan kategori atau kelompok rasa tidak

nyaman yang diderita. Terdapat 20 kelompok yang masing-masing terdiri dari

sejumlah kata sifat (adjektiva). Pasien diminta untuk memilih kata-kata yang

kiranya paling menggambarkan kondisi mereka saat ini.

1. Kelompok 1-10

Menggambarkan kualitas sensorik dari nyeri. Gejala yang termasuk dalam

kelompok ini di antaranya:

Berdenyut

Menusuk

Panas

Kesemutan

Gatal

Perih

Kram

Koyak
2. Kelompok 11-15

Kelompok 11-15 menggambarkan efektivitas nyeri, seperti:

Melelahkan

Memuakkan

Menakutkan

Celaka

Kejam

Membunuh

3. Kelompok 16

Sementara itu, adjektiva pada kelompok 16 lebih ke dimensi evaluasi,

terdiri atas:

Menjengkelkan

Menyusahkan

Sengsara

Tak tertahankan

4. Kelompok 17-20

Terakhir, kelompok 1-20 berisi kata-kata yang sifatnya spesifik, seperti:

Menyiksa

Mengerikan

Dingin

Memancarkan

Menembus
Lazimnya, dokter akan meminta pasien memilih tiga kata dari kelompok

1-10, dua kata dari kelompok 11-15, satu katan dari kelompok 16, dan satu kata

dari kelompok 17-20. Setelah itu, dokter menjumlahkan kata-kata yang dipilih

oleh pasien sehingga menghasilkan angka total yang digunakan untuk

menentukan skala nyeri.

2.2.5.6 Oswetry Disability Index (ODI)

Diperkenalkan pertama kali pada tahun 1980 oleh Jeremy Fairbank,

Oswetry Disability Index (ODI) adalah metode deteksi skala nyeri yang bertujuan

untuk mengukut derajat kecacatan, pun indeks kualitas hidup dari pasien penderita

nyeri, khususnya nyeri pinggang. Pada penerapannya, pasien akan diminta

melakukan serangkaian tes guna mengidentifikasi intensitas nyeri, kemampuan

gerak motorik, kemampuan berjalan, duduk, fungsi seksual, kualitas tidur, hingga

kehidupan pribadinya. Dari sini, dokter dapat mengetahui skala nyeri dan

memastikan apa penyebab utama dari nyeri yang dirasakan tersebut.

2.2.5.7 Brief Pain Inventory (BPI)

Awalnya, metode ini digunakan untuk menghitung skala nyeri yang

dirasakan oleh penderita kanker. Namun. Saat ini BPI juga digunakan untuk

menilai derajat nyeri pada penderita nyeri kronik.

2.2.5.8 Memorial Pain Assessment Card

Cara mengukur skala nyeri dengan metode Memorial Pain Assessment

Card ini dinilai cukup efektif, terutama untuk pasien penderita nyeri kronik.

Dalam penerapannya, MPAC akan berfokus pada empat indicator, yakni intensitas

nyeri, deskripsi nyeri, pengurangan nyeri, dan mood. Skala nyeri sifatnya
subjektif. Anda bisa saja berpendapat bahwa nyeri yang sedang dirasakan masuk

ke dalam kelompok nyeri berat. Jangan berspekulasi. Segera periksakan diri ke

dokter untuk mendapatkan informasi jelas perihal tingkat keparahan nyeri yang

sebenarnya Anda alami. Semoga bermanfaat!

Anda mungkin juga menyukai