Anda di halaman 1dari 28

Kelompok: 5

RTA 3322 – TEORI DAN KRITIK ARSITEKTUR

KRITIK ATAS KRITIK

CRITICAL REGIONALISM TERHADAP FENOMENA RUMAH


BERFASAD TEMBOK DI JAKARTA

OLEH:

1. AURELLIA KHAIRUNNISA (17 0406 128)


2. ZAUZAN ARIEF (17 0406 129)
3. JEFF EDWIN GULTOM (17 0406 130)
4. SAMUEL TAMPUBOLON (17 0406 132)
5. ADE LISMAN JAYA ZAI (17 0406 133)
6. THEO FIDELIS (17 0406 134)

DEPARTEMEN ARSITEKTUR

FAKULTAS TENIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2020
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmatNya, sehingga kami dapat menyelesaikan studi literatur Teori dan Kritik
Arsitektur.

Tak lupa saya sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang membantu kami dalam
membuat laporan ini, khususnya Bapak Wahyu Abdillah, ST., MT. selaku dosen pembimbing
mata kuliah Teori dan Kritik Arsitektur. Sehingga kami dapat menyelesaikan studi literatur
dengan judul “Varietas Dalam Kritik”.

Demikian dalam penulisan laporan ini tentu masih banyak kelemahan dan
kekurangannya, untuk itu kami meminta saran dan kritik yang membangun agar tugas ini dapat
lebih baik lagi, semoga laporan ini bermanfaat.

Medan, Mei 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….. …. i
ABSTRAK…………………………………………………………………………….. 1
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN TEORITIS ....................................................................................... 3
2.1 Definisi Fasad ........................................................................................................ 3
2.2 Arsitektur Modern ................................................................................................. 4
2.3 Simplifikasi Pada Arsitektur Modern ................................................................... 5
2.4 Whiteness Pada Arsitektur Modern ..................................................................... 7
2.5 Critical Regionalism ............................................................................................. 8
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................................... 9
BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................................... 10
BAB V KESIMPULAN ...................................................................................................... 16
BAB VI KRTIK TULISAN .............................................................................................. 19
1.1 Tema Atau Gaya Arsitektur Obyek Dikritik ....................................................... 19
1.2 Metoda Pengkritik Untuk Mengkritik ................................................................. 21
1.3 Kritik Terhadap Kritik Pengkritik ....................................................................... 21

DAFTAR REFERENSI ...................................................................................................... 25

ii
CRITICAL REGIONALISM TERHADAP FENOMENA
RUMAH BERFASAD TEMBOK DI JAKARTA
Angga Aditianto

Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia

angga.aditianto@gmail.com

Abstrak

Rumah tinggal merupakan salah satu produk arsitektur yang saat ini telah banyak digeluti oleh para praktisi.
Belakangan, muncul rumah-rumah tinggal yang dianggap memiliki desain minimal serta kembali menjelma
sederhana dalam hal bentuk, material, dan kualitasnya. Fasad sebagai representasi arsitektur juga merupakan
bagian dari karakter rumah tinggal. Skripsi ini merupakan studi sekaligus berperan sebagai kritik arsitektur
untuk mengungkap fenomena rancangan fasad rumah tinggal yang didominasi oleh dinding. Tujuannya
adalah untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi pemikiran dan menggali kesadaran arsitek hingga
menghasilkan desain tersebut. Terdapat 2 (dua) rumah yang dijadikan sebagai bahan atau studi kasus.
Kemudian ditinjau dengan teori critical regionalism yang mengacu pada konteks perancangan.
Pendekatannya dilakukan dengan interpretasi deskriptif berdasarkan kajian literatur, observasi lapangan, dan
dialog dengan praktisi.

Kata kunci: fasad, rumah tinggal, critical regionalism, kesadaran arsitek, mode rnitas

Critical Regionalism on Phenomenon of Wall as House’s Facade in

Jakarta Abstract

House is one of architectural products which became common for those who practiced in architecture.
Nowadays, houses appear with minimal design and embodied in simple way. That simplification applicated
in form, material, and spatial quality. Facade as representation and emphasized architecturally, actually is
the part of house’s character. This paper is a kind of study, as well as criticism in architecture, to reveal the
phenomenon of the house’s facade design that dominated by the wall. The purpose of this study is to
understand the background of architect’s way of thinking, notions and considerations. It also to looking in
self-consiousness design process that resulting on the design. There are 2 (two) houses chosen as the case
study. Then it will be analysed based on some points in critical regionalism theory which refer to site’s
context. The approaches conducted by qualitative interpretative descriptive based on study of theoy,
literature review, field observation, and interview with the architect.

Keywords: facade, house, critical regionalism, self -consciousness, modernity

12
BAB I
PENDAHULUAN

Kemajuan arsitektur di Indonesia kian pesat khususnya terjadi di kota-kota besar. Rumah
tinggal adalah salah satu produk arsitektur yang saat ini sudah banyak digeluti oleh para
praktisi. Rumah tinggal di kota besar di Indonesia kian beragam. Begitu pula dengan hasil
rancangan arsitek-arsiteknya dalam pencarian karakter klien yang juga dapat diasumsikan
sebagai calon penghuni rumah tersebut sekaligus membangun rancangan yang memiliki
keterikatan dengan konteksnya atau tidak sama sekali.. Seolah rancangan rumah menjadi
citra, ekspresi, dan ego yang dituangkan secara personal baik oleh arsitek maupun
penghuninya. Cerminan karakter tersebut salah satunya dapat dilihat dari fasadnya.

Fasad atau permukaan bangunan merupakan kulit terluar. Ibarat selimut yang melindungi
tubuh di saat tertidur dan seperti baju yang dikenakan ketika bepergian. Fasad
berhubungan langsung dengan lingkungan tetangga, iklim kawasan setempat, serta
menjadi penanda yang dapat dikenali dalam komunikasi visual non-verbal. Oleh karena
itu, sempat disinggung pula oleh Colin Rowe bahwa fasad menunjukkan metafor untuk
tujuan tertentu. Ada sesuatu yang ingin diutarakan, disampaikan dan dipahami oleh
pengguna dan orang-orang yang merasakannya. Tulisan ini mencoba mengungkap ada apa
dibalik fenomena tersebut. Sebagai sebuah rancangan ruang bertinggal sudah pasti bersifat
personal. Penelusurannya ditinjau dari sejauh mana kesadaran arsitek mewujudkan
rancangan berangkat dari dialog antara arsitek dan kliennya.

1
Honour, J. F., & Pevsner, N. (1981). The Penguin Dictionary of Architecture. Great Britain: Richard Clay
(The Chaucer Press) Ltd.
1
StevenCurl, J. (2006). A Dictionary of Architecture and Landscape Architecture (2 ed.) . Oxford: Oxford
University Press

2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Definisi Fasad


Fasad berarti The front or face of a building, emphasized architecturally 1. Ada pula pengertian
lain yaitu External face or elevation of a building, especially the principal front1. Secara
sederhana, fasad dapat diartikan sebagai wajah salah satu atau lebih dari sisi sebuah bangunan.
Wajah tersebut yang menjadi semacam satu identitas, baik itu berasal dari pemiliknya maupun
sentuhan arsitek yang merancangnya. Kemudian wajah yang dimaksud memunculkan tekanan
secara tampilan arsitektural. Colin Rowe telah menyebutkan batasan jelas perbedaan antara ide
terkandung dalam fasad dan elevasi. Elevasi, menurut Rowe, lebih menunjuk kepada gambar
teknis yang diproyeksikan kepada tampilan luar bangunan. Seperti halnya denah dan potongan,
merekam informasi faktual. Sebuah fasad, menurut Rowe, memiliki perbedaan terhadap elevasi
karena mengandung karakter. Karakter dimaksud terwujud dalam sesuatu yang symbolic dan
iconic, seperti sekular atau religius, public atau private. (Terragni, 2003:33)

Sedangkan, celah bukaan atau ketertutupan (enclosure) pada permukaan bangunan tidak sama
dengan fasad. “... the facade as bearer of signifactory attributes.” (Leatherbarrow, D., &
Mostafavi, M., 2002: 9). Perbedaannya yakni fasad mengungkap sejumlah tanda dalam elemen
arsitektur dan enclosure merupakan salah satu komponen dan bagian dari fasad. Begitu pula
dinding sebagai eksekusi guna menciptakan enclosure tersebut. Kesatuan dari keseluruhan
permukaan sebuah bangunan itu akhirnya menghadirkan ekspresinya.

Tampilan fasad sebuah bangunan boleh jadi menentukan sebuah karakter dan kualitas sebuah
bangunan dari luarnya. Ada pula perihal bahwa karakter dapat diterjemahkan dari ekspresi
permukaan kulit bangunan. Karakter dapat terbaca dengan mata telanjang kemudian dirasakan.
Dengan demikian, Vesely menyebutnya dengan istilah experience of appearances (Forty, 2000:
121). Berarti terdapat satu pengalaman ruang namun cukup dialami sebatas penglihatan.

Fasad mengandung nilai-nilai yang mampu dipahami secara jasmaniah serta menjadi abstraksi
atau secara ringkas mampu menyampaikan maksud bangunan baik dari fungsi maupun aspek
konseptualnya. Sebagaimana disampaikan oleh Boffrand dan Blondel yang memanfaatkan
konsep pictorial physiognomy atau memahami dan merasakan gambar dan spatial secara
terperinci, secara spesifik (Forty, 2000: 122). Ide yang hadir harus tertangkap, sejalan, dan

3
bersinergi antara fungsi dan raut muka. Karakter bangunan memang mengacu pada gagasan yang
spesifik.

Apabila dirinci terdapat 3 (tiga) poin utama pengertian karakter di abad 18 sejauh ini. Pertama,
the expression of the building’s particular purpose. Kedua, the evocation of spesific moods. Dan
yang ketiga, the sense of character as expression of locality, of place (Forty, 2000:125).
Evocation of spesific moods atau bila diterjemahkan membangkitkan suasana yang spesifik.
Hendaknya, arsitek menggagas apa yang dibutuhkan klien saat itu sehingga tercapai kualitas
desain yang tepat dan solutif bagi kedua belah pihak. Mungkinkah Fasad yang hanya terdiri atas
sekedar tembok merupakan kualitas yang tepat?

Selanjutnya the sense of character as expression of locality, of place. Tak dapat dihindari
karakter sudah sewajarnya mengakar, tidak lari dari lokalitasnya, apalagi melakukan lompatan
yang amat jauh. Terutama dalam kawasan perumahan, yang memiliki kehidupan sosial, tentu
ada kesamaan karakter. Kontinuitas karakter juga dapat terbaca walaupun dari segi waktu
pembangunan dilakukan di era yang berbeda-beda. Bukan berarti harus serupa apalagi seragam
dalam penanganan fasadnya, tetapi apa yang terjadi ketika ekspresinya justru tidak
menampakkan apa-apa selain tembok?

2.2 Arsitektur Modern


“Evidence shows that throughout the world modern architectural and planning ideas have
failed wherever architect disregards the social and aesthetic values of the user” (Brolin, 1976:
8). Adanya keinginan dari para arsitek dunia untuk melakukan pembaruan dalam bentuk
modernisme. Arus tersebut dimulai sejak revolusi industri serta mengandalkan kemajuan
teknologi sebagai ujung tombaknya. Kebanyakan arsitek melanjutkan apa yang sudah menjadi
idealisme mereka terhadap “beauty” dan pandangannya terhadap fakta-fakta sosial. Baik
dijunjung sebagai pedoman ataupun diabaikan sama sekali.

Paul Zucker dalam Planning in Three Dimensions menjabarkan observasinya terhadap


arsitektur modern dan dua fase penting yang terjadi di dalamnya. Fase pertama disebut dengan
“emancipation from the circle of eclectic imitation” (Leatherbarrow, D., & Mostafavi, M.,
2002). Arsitektur modern tak bisa dihindari lagi menjadi tren pada masa itu. Para arsitek
berlomba memanfaatkan temuan-temuan material baru ke dalam wujud yang berbeda dari era
sebelumnya. Sedangkan fase kedua menyingkap kemungkinan akan “functional expression”.
Jargon tersebut menekankan pada kebutuhan yang utama dari penggunanya. Olahan desainnya
4
cenderung menghasilkan program yang efisien, baik dari segi spasial hingga utilitasnya.

2.3 Simplifikasi Pada Arsitektur Modern


Lantas penyederhanaan atau simplifikasi melekat pada image arsitektur. “Modern architecture
look the way it did simply because arhitect obeyed certain demands: honesty” (Brolin, 1976:
14) Muncul semacam tren menghadirkan “kejujuran” pada material, struktur, dan fungsi
bangunan yang tercermin pada bentuk dan warnanya. Fenomena ini yang menjadi cikal bakal
penerapan arsitektur yang minimal. Masyarakat pada umumnya menjadi salah kaprah
menjuluki desain minimal ini menjadi sebuah gaya baru, padahal sebenarnya tidak sepenuhnya
ini tertuju ke situ kategori.

Gambar 1. Diagam Proses Desain, berangkat dari sejarah dan analisis hingga tercipta fasad
(Sumber: Ilustrasi Pribad

5
Simplifikasi atau penyederhanaan, tersirat dalam kegiatan produksi material secara massal. Buah
pikiran tersebut berbanding terbalik dengan kompleksitas dan aturan komposisi arsitektur di era
sebelumnya. Simplifikasi justru menjadi proses mereduksi sebanyak- banyaknya elemen
arsitektur karena penggunaan daya produksi mesin. Pengurangan tersebut dilakukan hingga batas
asumsi cukup memenuhi tujuan di awal perancangan. Simplifikasi juga mungkin saja terjadi
akibat pengaruh material. Produksi masif yang digencarkan menjadi semacam ‘aturan’ atau
pendekatan desain yang dilakukan. Selain praktis, cara ini juga bernilai ekonomis. Dengan logika
produksi industri dan fabrikasi yang bersifat general serta dukungan distribusi semakin mudah,
inilah yang menjadikan gerakan arsitektur modern bersifat universal.

2.4 Whiteness pada Arsitektur Modern


Ketika budaya yang bersifat tradisional berkembang, maka kesadaran desain pada saat itu
mengikutinya, tradisonal pula. Sedangkan masuknya era industrialisasi pada produksi material
dan desain pun turut menghadirkan “the culture industry”, istilah seperti yang dikutip oleh Mark
Wigley (1995) dari Theodor Adorno. Nuansa baru dan segar tersebut menjadi sasaran sekaligus
aliran yang sangat menarik. Tambahnya lagi, fashion, ornamen, dan permukaan bangunan
mengindikasikan munculnya pemahaman baru terhadap kesterilan desain dan rasionalitas
sebagai reaksi atas percepatan produksi teknologi. Beliau mengibaratkan warna putih bukan
sebatas pemahaman yang dijelaskan oleh Le Corbusier. Ada semacam upaya menyebarkan
paham bahwa warna putih dijadikan semacam outfit baru yang cocok dengan generasi baru,
memperkokoh tubuh bangunan, dan menjadi “default setting” dalam arsitektur avant-garde.

Sejumlah sejarawan menilai kesamaan yang muncul dalam arsitektur di awal abad ke-20 dalam
pernyataan sebagai berikut: “Despite the flatness and unornamented character of these
Enlightment facades, never did their architect relinquish the task of having their composition
“speak” or perform social roles. It was precisely this expressive or rethorical function and
responsibility that the facades of the early twentieth century put into question” (Leatherbarrow,
D., & Mostafavi, M., 2002:12). Keberadaan fasad yang datar tidak beralasan cukup kuat.
Pencitraannya justru terkesan mengabaikan situasi dan kondisi yang terjadi di lingkungannya.

6
2.5 Critical Regionalism
Kenneth Frampton (1987) menjabarkan reaksinya menentang modernisme melalui Ten
Points on an Architecture of Regionalism: A Provisional Polemic. Beberapa di antaranya
logis dan memang tepat untuk dijadikan acuan menengahi dampak dari universal
civilization (peradaban yang universal) atau kemudian kita kenal sebagai globalisasi.
Critical regionalism adalah jargon utama yang menjanjikan untuk menghadirkan arsitektur
yang spesifik serta menyingkirkan pemikiran modernitas yang acap kali terasa janggal.
Dibutuhkan kesadaran tinggi oleh masing-masing arsitek untuk menciptakannya. Warisan
kultur dan budaya di setiap kawasan bisa jadi salah satu pedomannya. Bukan berarti harus
kembali pada arsitektur vernakular atau tradisonal, tetapi mempelajari bagaimana arsitektur
lokal bekerja dan merangkainya dalam definisi serta terapan yang sesuai dengan masanya.
“By definition, critical regionalism is recuperative, self-conscious, critical endeavor, and
nothing can be further fromthe vernacular in the initial sense of the term” (Frampton,
1981:378).

Memahami kontekstual setempat dapat mempelajari dari segi teknis seperti iklim, lalu apa
yang mencerminkan lokalitas, interaksi dengan kondisi sosial setempat, hingga mitos atau
kisah budaya setempat. Poin-poin tersebut dipercaya Frampton sebagai “sekolah informal”
dengan wawasan yang tidak berbatas. Kemudian topografi dan sistem keterbangunan
(tektonik) suatu kawasan juga menegaskan pembentukan place hingga terjadi form.
Langkah- langkah tersebut sesungguhnya merupakan upaya menciptakan arsitektur yang
tidak sekedar scenography. Scenography berasal dari bahasa latin scena atau
pemandangan, adegan, suasana, atau dengan kata lain merepresentasikan keindahan alam.
Ada pun arsitektur yang dituju ialah bersifat architectonic, bukan hanya terkait aspek teknis
bangunan tetapi juga berinteraksi dengan alam. ‘It should display the way in which the
artifice interacts with nature, not only in terms of gravity, but also in terms of its durability
with regard to the agencies of climate and time’ (Frampton, 1981:383). Mungkin keduanya
hampir terlihat serupa, tetapi yang jelas membedakan adalah tujuan pembangunannya
didasari atas keinginan untuk bertahan, yang satu diambil dari esensi arsitektur Renaissance
dan yang satunya dari rumah tinggal tradisional suku aborigin misalnya. Kemudian dalam
scenography muncul gagasan mereduksi elemen-elemen arsitektural untuk menciptakan
sebuah persepsi akan bentuk. Dari sini pula kecenderungan arsitek lebih kepada
menampilkan keindahan dalam bentuk arsitektural.

7
BAB III
METODE PENELITIAN

Pendekatan penulisan jurnal ini dapat dikatakan masuk dalam jajaran kategori kritik
arsitektur. Diawali dengan mempelajari studi literatur terkait pembahasan dan bagaimana
menulis kritik arsitektur yang seimbang dan tepat sasaran. Sistemnya dengan langkah-
langkah mencari background atau latar belakang pembahasan ditarik dari garis sejarah.
Kemudian teori-teori dan metode perancangan yang aplikatif berkembang di seputar dunia
praktik arsitektur pada zamannya. Sesudahnya menjabarkan hasil obsevasi studi kasus dari
bahan- bahan berbasis latar belakang dan teori sebelumnya. Observasi dilakukan dengan
mengadakan dialog wawancara dengan arsitek yang bersangkutan dan dokumentasi studi
lapangan. Izin observasi dilakukan langsung kepada arsitek dan penghuni rumah yang
bersangkutan. Dengan demikian diharapkan dapat menghadirkan kritik arsitektur yang
bermanfaat.

Terdapat 2 (dua) penjabaran rumah tinggal yang diangkat ke dalam studi kasus.
Pemilihannya ditentukan atas pertimbangan kecocokan dengan tema atau topik. Fasad
rumah dengan dominasi dinding, reduksi atas ornamen, dan pada sejumlah titik bukaan.
Dinding yang menjadi kulit bangunan juga menjadi pertimbangan terkait dengan pemilihan
material dan warnanya. Rumah-rumah tersebut antara lain Muted House karya Aboday dan
Kiri’s House karya Atelier Riri.

8
BAB IV

PEMBAHASAN

Gambar 2. Muted House pada tahun 2009


(Sumber: http://www.archdaily.com/32509/muted-house-aboday-architects/1250622838-115 )
Gambar 3. Kiri’s House pada tahun 2009
(sumber: www.archdaily.com/85037/kiris-house-atelier-riri/33-kiris-house-19-06-2010/ )

Muted House atau bila diterjemahkan menjadi “Rumah Bisu” merupakan salah satu karya
rumah tinggal dirancang oleh sekelompok arsitek yang biasa disapa dengan Aboday.
Mereka terdiri atas Johansen Yap, Ary Indra, dan Rafael David. Rumah tinggal ini terletak
di Jalan Empu Sendok, Kebyoran Baru, Jakarta Selatan. Sedangkan Kiri’s House terletak
di Jalan Perkici XII, Sektor 5 Bintaro Tangerang. Rumah ini masuk dalam lingkungan yang
terjaga rapat dan ditarik agak menjauh dari keramaian. Klien, penghuni, sekaligus arsitek
rumah ini adalah orang yang sama. Adalah Novriansyah Yakub atau akrab dipanggil Riri,
orang yang juga mendirikan biro arsitekturnya bernama Atelier Riri. Kantor tempat beliau
bekerja ternyata juga masih berada di jalan yang sama. Lingkungan rumah di Bintaro berarti
berada di konteks lingkungan perumahan suburban. Berada dalam lingkungan perumahan
ini tidak bising, tidak ada yang berlalu-lalang, bahkan tergolong sepi. Di sekitarnya masih
banyak rumah yang sudah lama terbangun dan cenderung masuk dalam tipikal rumah kelas
menengah. Kiri’s House sendiri selesai dibangun pada 2009, waktu yang hampir
berdekatan dengan Muted House

9
Perbandingan Studi Kasus

Gambar 4. Elevasi depan Muted House (Sumber : Ilustrasi Pribadi)

Gambar 5. Elevasi depan Kiri’s House


(Sumber: http://www.archdaily.com/85037/kiris-house-atelier-riri/elevations-94/)

Permasalahan kedua rumah hampir sama. Keduanya berdiri di atas tapak yang menghadap ke
arah Barat Daya. Orientasi matahari bergerak dari belakang tapak di pagi hari dan sinarnya
jatuh pada fasad depan rumahnya di siang, sore, hingga matahari terbenam. Muted House
memiliki luas perbandingan dinding sebagai tampak 80,1 m 2 (99%) dan bukaan kaca seluas 0,8
m2 (1%) dari total luas tampak 80,9 m 2. Sedangkan pada Kiri’s House luas dinding sebagai
tampak 24,67 m2 (87,2%) dan bukaan jendela seluas 3,62 m 2 (12,8%) dari total luas tampak
28,29 m2.

Fasad sebagai representasi wajah dan karakter sebuah bangunan dirancang dengan inisiasi
berbeda-beda oleh setiap arsitek. Ary Indra menerangkan bahwa, “Fasad bisa terjadi karena
peraturan, program ruangnya, atau karena otoritas arsiteknya. Kalau Muted House begitu
10
karena ingin memutus hubungan dengan tetangga. Terjadi dengan sendirinya dan jawaban akan
suatu isu” (Indra, 2013). Mengenai isu kontekstual atau pada poin critical regionalism, Aboday
memang dengan sengaja memutus rantai dengan sekitarnya. Tetap berangkat dari pertimbangan
permasalahan yang ada pada tapak, tetapi pemecahan dan respon desainnya berbeda. Selain
untuk menciptakan kenyamanan, perancangan pada rumah tinggal biasanya diikuti dengan ego
dan keinginan mencapai tingkat aktualisasi diri. Orientasi terhadap pencahayaan alami salah
satunya. Dengan rumah menghadap Barat Daya, justru sinar matahari sengaja jatuh pada
dindingnya dimanfaatkan dalam konsep bak kanvas putih.

Gambar 6. Explode elevasi dan sebagian ruang dalam Muted House


(Sumber: Ilustrasi Pribadi)

Pada Kiri’s House, perancangan rumah juga menyesuaikan dengan kondisi tapak. Orientasi ke
arah Barat Daya sama-sama ditutup dengan dinding hampir menutup seluruhnya. Kondisi lahan
yang tidak luas ditanggapi dengan strategi ruang dalam yang efisien. Kiri’s House tidak
memakan bagian depan rumah seperti tetangga-tetangganya. Halaman depan tanpa pagar justru
menyediakan ruang terbuka untuk berkumpul. Warna putih memberi kesan yang luas baik di
luar maupun dalam, walaupun sebenarnya tidak sepenuhnya dapat dipastikan demikian. “Fasad
itu muka yang mewakili rumah dan pemiliknya nanti seperti apa. Saya sebagai arsitek,
merepresentasikannya dalam desain. Bisa berupa sesuatu terhadap lingkungan, tetapi bisa juga
karena diterima, diinginkan, atau dibutuhkan oleh pemiliknya. Harus memperhatikan
surrounding area-nya seperti apa” (Yakub, 2013). Sebagai penghuni

11
sekaligus arsitek penting untuk merepresentasikan karakter pada rancangan, salah satunya
dalam wujud fasad, karena dari aspek itu masyarakat dapat menilai seperti apa keluaran yang
dihasilkan. Di saat bersamaan, ada citra yang harus dipertanggungjawabkan. Riri memutuskan
untuk merancang fasad sederhana, lugas, dan fungsional. Tujuannya supaya membentuk opini,
penilaian, dan spekulasi masyarakat terhadap desain Atelier Riri. ”Akhirnya saya jadi bisa
bebas mengeluarkan desain apa saja. Kalau polos juga maknanya banyak. Berbeda kalau
mendesain yang sangat berkarakter, banyak ornamen dan pemilihan elemen arsitektur yang
melekat, nanti juga akan jadi bias. Berlebihan juga akan membingungkan identitas
bangunannya seperti apa” (Yakub, 2013).

Gambar 7. Explode elevasi dan sebagian ruang dalam Kiri’s House


(Sumber: Ilustrasi pribadi)

Serupa dengan Muted House, eksterior Kiri’s House diselesaikan dengan rapi oleh tukang-
tukangnya. Craftmanship telah diarahkan kepada prinsip-prinsip clean and neat yang
berkembang di masa arsitektur modern. Mark Wigley (1995) menyinggung bahwa whiteness
pada fasad rumah di era arsitektur modern menciptakan kesan sebuah rumah mengenakan baju
yang gagah. Pada kasus Muted House kegagahan tersebut pada awalnya sangat kuat menonjol
karena memang berbeda dari lingkungannya. Kini kesan gagah kian melunak seiring dengan
tumbuh lebatnya pohon cemara di depannya. Dominasi fasad tembok berwarna putih tidak lagi
terlihat karena rumah semakin menyatu dengan lingkungan alamnya. Secara visual, kita tidak
dapat menentukan apakah ada jendela atau tidak di balik pohon. Justru

12
rumah di sebelahnya yang masih jarang tertutup pohon memberi kesan tertutup. Kegagahan
dari whiteness juga dapat meluntur seiring kualitas fisik kulit bangunan yang juga tidak dapat
bertahan seutuhnya. Pergerakan dimensi waktu berbicara banyak di sini. Ditemui pula pada
proyek-proyek lain pada kedua arsitek yang juga banyak menggunakan warna putih sebagai
penyelesaiannya akhirnya. Rumah di sekitar Muted House memang berwarna putih sehingga
masih ada keselarasan di antaranya. Sedangkan, tidak ditemui kesamaan situasi pada Kiri’s
House. Ide mengangkat warna netral justru tampak menonjol di antara warna-warna rumah di
sekitarnya, yang banyak mengangkat elemen kayu dan sebagainya. Sejalan dengan Wigley,
secara tidak sadar kedua arsitek ini telah menempatkan putih sebagai “default setting” pada
karya-karyanya.

Gambar 8. Perbandingan form studi kasus


(Sumber: Ilustrasi Pribadi)

Pada proses perancangan rumah, keduanya berorientasi pada keterhubungan ruang dalam.
Namun bukan berarti eksterior menjadi dikesampingkan dan kemudian terlupakan. Bagi
Boffrand dan J.F.Blondel, bentukan arsitektur semestinya memiliki keterkaitan dan spesifik
pada fungsinya. Konsep “muted” pada rumah pertama memang sangat kuat terasa dan bisa
dikatakan tujuan awalnya tercapai. Hanya jejak form yang masih tertinggal dalam wujud siluet
rumah namun tidak berinteraksi dengan sekitarnya. Berbeda dengan Kiri’s House yang memang
mengejar keluaran desain rumah murah. Segala sesuatunya jadi serba minimal baik interior
hingga eksteriornya. Penggunaan atap datar dan form kotak sepenuhnya dan halaman
didominasi oleh perkerasan berakibat tidak meninggalkan citra rumah seperti yang banyak
diketahui khalayak banyak. Tidak pula Ia melirik situasi form di sekitarnya. Oleh karena itu,
banyak orang awalnya menanggapi bahwa bangunan ini bukan rumah tinggal

13
Studi Kasus terhadap konteksnya
Peran jendela dan penempatannya pada dinding juga bercerita dari fasadnya. Konsep bukaan
acak pada Muted House berukuran kecil, banyak, dan acak. Mereka unik dan menjadi aksen
karena menggabungkan fungsi bukaan terhadap cahaya dan menjadikannya sekaligus sebagai
elemen fasad tetapi dirasa tidak cukup merepresentasikan konsep lokalitas setempat. Tidak
adanya teritis menyebabkan jatuhnya air hujan sempat menggenang di sela-sela bukaan dan
menyisakan jejak kotornya di sepanjang dinding atas. Atau jangan-jangan dampak demikian
sudah diprediksi oleh arsiteknya dan dibiarkan begitu saja sebagai bagian dari ekspresi
bangunan?

Masih menyoal curah hujan di Ibukota Jakarta yang cukup tinggi, di Kiri’s House hal serupa
juga terjadi. Teritis hanya berada di atas pintu, tidak melindungi jendela-jendela di kedua lantai.
Penggunaan jendela di sini pun sangat sederhana penyelesaiannya. Bisa ditebak jika terjadi
hujan, maka rintik airnya langsung menampar kaca-kaca. Siang hingga sore matahari dari arah
Barat langsung masuk ke dalam kamar tidur, meskipun coba diredam dengan penggunaan kerai.
Sebagai konsekuensi, ada efek kurang nyaman yang dirasakan dari dalam rumah dikarenakan
hal tersebut. Selain mengabaikan expression of locality, aplikasi desain yang sedikit mengangkat
adaptasi dari arsitektur setempat bisa jadi kurang bertahan lama, walaupun hal ini belum dapat
dipastikan.

Bukaan dan penempatannya di dinding menghadap ke luar pada umumnya juga memiliki fungsi
sebagai akses pertukaran dan sirkulasi udara. Hembusan angin dari halaman rumah dapat masuk
ke dalam. Artinya, ruangan di dalam memiliki keterhubungan dengan ruang luar dari segi
penghawaan. Sistem penghawaan pasif ini juga menciptakan kadar kenyamanan dalam ruang.
Bukaan kecil acak pada Muted House ternyata tidak berfungsi sebagai ventilasi. Udara luar
hanya masuk melalui pintu-pintu dan jendela-jendela yang terletak di samping dan belakang
rumah bila sedang dibuka. Bukaan pada Kiri’s House hanya terdiri atas komposisi pintu dan
jendela yang sering ditemui dalam keadaan tertutup. Serupa dengan Muted House, rumah ini
memliki kecenderungan untuk lebih terbuka pada area samping dan belakang rumah. Maka
kedua rumah ini tidak memanfaatkan fasad sebagai medium penghawaan pasif dalam ruang.

14
Permasalahan lain pada tapak seperti kebisingan juga turut menjadi alasan perancangan fasad
pada Muted House. Ketebalan dinding menutup sepenuhnya lebar tapak mengakibatkan
peredaman suara yang sangat signifikan di dalam rumah. Kesuksesan tujuan fasad seperti itu
juga dapat dimaknai bahwa ketenangan di dalam rumah acuh tak acuh terhadap pergerakan
kondisi di luar rumah. Kiri’s House tidak punya alasan yang demikian. Lokasinya yang berada
di dalam kompleks perumahan sesungguhnya tidak mengalami problem dengan gangguan suara
dari luar.

Experience of Appearances
Berikutnya isu kecepatan ketika berkendara pada era arsitektur modern yang kemudian
melahirkan gagasan menyederhanakan. Memang betul bahwa kini kendaraan bermotor selalu
berlalu lalang di jalan. Akan tetapi pada kasus ini terjadi di lingkungan perumahan. Lebar jalan
berkisar 5 (lima) hingga 6 (enam) meter, dilalui oleh kendaraan mobil 2 (dua) arah, terkadang
ditemui kendaraanparkir di pinggir jalan. Menghadapi penjabaran di atas, kecepatan mobil yang
sedang melaju dan memasuki kawasan perumahan pasti menurunkan kecepatannya dan
memperhatikan sekitarnya dengan awas. Simplifikasi pada human scale detail memang
mempermudah mata manusia untuk mengenali bentuk. Akan tetapi melakukan reduksi desain
seperti itu bukan menjadi alasan kuat mendukung isu kecepatan.

Proses mengalami fasad terangkum dalam experience of appearances. Fasad sebagai representasi
dari suatu karakter akan memberi efek bagi yang melihatnya. Jika pada isu kecepatan, rumah
dilihat dan dialami oleh orang yang berkendara, lalu bagaimana dengan orang yang melihat dan
mengalami sedang tidak berkendara? Fasad rumah keduanya punya ciri khas dan karakter yang
sangat kuat. “Hanya tembok saja” adalah frase yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi
fasadnya. Desain arsitektural apa pun akan menimbulkan efek pada lingkungan sosialnya.
Dampak bagi yang melihatnya beragam serta terbagi atas jangka pendek dan panjang. Contoh
dampak jangka pendek pada visual spectators antara lain, ada yang merasa bahwa ini bukan
rumah, rumah ini tidak berinteraksi dengan lingkungan, atau bahkan tak memberi respon apa pun.
Kualitas tampilan seperti itu bisa menjadi faktor keengganan tetangga untuk mengenal
penghuninya secara lebih dekat, karena sudah membentengi diri sejak awal. Sedangkan dampak
jangka panjang, fasad rumah tinggal seperti merepresentasikan kehidupan sosial masyarakat
berkota, fasad ini berefek pada kualitas individual dalam suatu lingkungan. Unsur dan karakter
yang berbeda juga menimbulkan kesan hunian eksklusif. Asumsi lainnya, di waktu mendatang
akan terjadi kemerosotan community value dan renggangnya penghuni terhadap social structure
setempa

15
BAB V
KESIMPULAN

Dalam konteks kawasan, Muted House sebagai rumah yang berada di Kebayoran Baru pada
awalnya tampak sangat berbeda dan menonjol begitu pula pada Kiri’s House. Harus diakui
bahwa universal civilization sangat terasa juga di kota-kota besar seperti Jakarta. Perancangan
tidak lebih menitikberatkan pada cerita di masa lalu, tetapi lebih kepada bayangan yang akan
terjadi di masa depan, dengan kata lain orientasi kekinian. Ini berarti bahwa kesadaran akan
tektonis dan keterbangunan untuk sebuah bangunan sangat kuat. Apabila ditinjau dengan teori
critical regionalism, desain fasad kedua rumah mengedepankan aspek scenography-nya. Kedua
arsitek berangkat dari isu kawasan tetapi eksekusi desain fasadnya cenderung melakukan
perlawanan dan berfokus pada kenyamanan ruang dalam. Kedua studi kasus tampaknya sepakat
pada beberapa poin critical regionalism tetapi tidak sepenuhnya. Seperti contohnya pada
kesadaran akan orientasi arah mata angin Barat Daya sehingga berfasad tembok, tetapi luput
pada eksekusi bukaan jendelanya, yang jauh mengandalkan isu clean and neat. Seperti
mengangkat isu sosial yang terjadi di masa itu, tetapi belum memperhatikan genius loci konteks
secara keseluruhan. Bentukan wajah rumah menjadi sangat minimal, tetapi ada nilai estetis yang
tampak disengaja pada saat bersamaan.

Memang diakui Frampton, untuk menjunjung critical regionalisme dibutuhkan kesadaran diri
yang tinggi dari masing-masing perancang. Tetapi itu bukan sesuatu yang harus dipaksakan.
Beradaptasi dengan teknologi juga bukan sesuatu yang keliru. Kesadaran akan pentingnya
memperhatikan konteks kawasan contohnya, dapat dimulai dari menggagas isu penggunaan
material yang tidak asal mendatangkan dari luar, melainkan memperhatikan kondisi alam
setempat. Critical Regionalism dibangun sebagai jembatan antara arsitektur lokal dan masa
depan. Dengan demikian, dominasi dinding sebagai fasad pada kedua studi kasus tidak
sepenuhnya memenuhi poin-poin critical regionalism, terutama pada eksekusinya. Karakter
tertutup pada kedua rumah terlihat sengaja menyembunyikan privasi yang dapat dinilai secara
berlebihan. Interaksi spasial yang hadir juga memutus hubungan antara ruang luar dan dalam.
Sementara identitas baru, berbeda, dan dianggap kekinian berusaha menunjukkan dirinya
melalui penampilan. Efek yang dihasilkan juga perlu dipertimbangkan baik dalam jangka pendek
maupun kurun waktu yang lama.

16
Selain functional expression yang kuat mempengaruhi fasad, ada kesamaan lain, yakni Whiteness
yang kerap melekat sebagai warna permukaan bangunan. Meskipun putih dianggap sebagai
warna netral, bagi Wigley (1995) tidak. Dianalogikan sebagai fashion, putih dinilai sebagai
pakaian yang dikenakan bangunan di era arsitektur modern. Fashion dapat berganti sewaktu-
waktu, sedangkan arsitektur semestinya timeless. Saya menduga bahwa, pengalaman
berarsitektur membuat whiteness dan gagasan menyederhanakan dijadikan sebagai “default
setting” dan fashion secara tidak sadar dan berulang diterapkan pada karya-karya lain kedua
arsitek.

Fasad bangunan juga bermanfaat sebagai media first impression dari sebuah desain. Hal tersebut
memicu kecenderungan untuk memilih desain atas dasar kesadaran masing-masing arsitek.
Kesadaran tersebut menjelma dalam bentuk ego dan pencitraan. Tujuannya beragam dan belum
diketahui oleh Saya secara pasti karena bersifat kualitatif dan relatif. Kembali saya meminjam
istilah Josef Prijotomo (2012), ada sikap dan mindset anti-kuno, anti-tradisi, dan anti-ndeso, yang
perlahan tapi pasti menggeser kesadaran nilai-nilai kontekstual atau critical regionalism. Jika
ditempatkan pada kondisi saat ini, sikap anti-tertinggal atau anti-terbelakang mungkin lebih
sesuai terhadap kecepatan revolusi informasi.

Bukan menjadi perkara benar atau salah, tepat atau keliru, melainkan adanya semacam
permainan aksi-reaksi di sini. Aksi dipelopori oleh desain sang arsitek dan klien atau bermula
dari gagasan (ideas). Sedangkan reaksi ditimbulkan setelah desain (design) terbangun dan
ditangkap experience of appearances-nya baik oleh klien dan lingkungannya. Pertentangan akan
selalu hadir, tak ada yang bisa disalahkan, mengingat tak ada aturan dan hukum baku bagaimana
semestinya menganut style arsitektur tertentu. Dampak atau efek yang ditimbulkan dari fasad
rumah bermuka tembok juga beragam. Reaksi itu merupakan konsekuensi yang mesti
dipertanggungjawabkan kembali oleh arsitek dan klien. Dampak yang mungkin terjadi dalam
jangka panjang antara lain fasad menonjolkan kualitas individual seperti halnya kehidupan
berkota, kemerosotan community value dan renggangnya penghuni terhadap social structure
setempat.

17
Saran

Peristiwa aksi-reaksi pada rancangan fasad semestinya ditanggapi oleh perancang dengan bijak.
Dampak yang dihasilkan pada suatu desain tidak sedikit dan tidak boleh dianggap sepele. Salah
satu caranya adalah dengan mengandalkan kepekaan terhadap aspek apa pun dalam konteks.
Perancang semestinya mempelajari dengan baik apa yang terjadi di masa lalu dan apa yang
akan terjadi di masa mendatang pada suatu kawasan. Ada pun membangun interaksi dengan
masyarakat dan lingkungan menjadi sarana agar arsitektur dapat diterima semua pihak tanpa
terjadi kesenjangan. Ketektonikan dari rancangan lokal juga penting sebagai bahan
pembelajaran. Mendesain fasad rumah agaknya tidak perlu terlalu ekstrim dalam usaha
mencapai simplifikasi. Dampak negatifnya cenderung lebih banyak. Selain secara tektonik
belum tentu cocok dengan konteks tropis di Indonesia, fasad rumah bermuka tembok memiliki
citra yang kurang ramah terhadap kondisi sosialnya. Kecuali, jika memang secara sadar
menginginkan kualitas semacam itu dan berusaha memutus rantai terhadap kondisi sosial.

Dalam proses pengerjaannya, masih banyak kekurangan dalam jurnal ini. Oleh sebab itu, masih
banyak yang perlu ditekuni untuk mendapatkan jawaban yang lebih akurat. Pendalaman yang
perlu dilakukan antara lain, mencari tahu dan membuktikan hubungan perkembangan rumah
berfasad tembok terhadap arsitektur modern serta memastikan perkembangan sejarah arsitektur
di Indonesia. Upaya lain seperti penambahan jumlah studi kasus juga patut dipertimbangkan.
Pemilihan studi kasus dapat diukur dari segi usia dan generasi perancang yang berbeda,
sehingga dapat menjabarkan kerangka berpikir arsitek pada zamannya. Mengangkat studi kasus
dari kawasan lain di Jakarta, dan hubungannya dengan neighborhood setempat. Di samping itu,
disarankan untuk mencari asal-usul gagasan rumah berfasad tembok seperti melihat pada
beberapa negara lain, yang juga dilanda fenomena serupa. Setelah itu, diharapkan muncul
gagasan lain yang bertindak sebagai penengah antara arsitektur modern, critical regionalism,
serta bagaimana semestinya merancang fasad.

18
BAB VI
KRITIK TULISAN
6.1 Tema Atau Gaya Arsitektur Obyek Dikritik

Dalam kajian literatur penulis kurang menjabrakan lahirnya critical regionalism itu, pada kajian
literatur penulis langsung menuliskan “Arsitektur Modern” dalam kajian literatur. Hubungan
Arsitektur Modern dengan critical regionalism itu seperti apa tidak dijelaskan. Kenapa penulis
tiba – tiba menuliskan “Arsitektur Modern”. Setelah dibaca ternyata setelah pembahasan tersebut
lalu penulis menjelaskan tentang critical regionalism. Hal ini membingungkan pembaca.

Setelah ditelusuri konsep awal regionalism criticsm adalah sebelum Kenneth Frampton mulai
membahas pemikiran regionalisme kritis pada bukunya “Toward a Critical Regionalism : Six
Points for an Architecture of Resistance (1985)”, Alexander Tzonis dan Liane Lefaivre
sebenarnya telah terlebih dahulu menggunakan istilah tersebut pada bukunya “The Grid and The
Pathway : An Introduction to the Work of Dimitris and Susanna Antonakakis” (1983).

Seperti Tzonis dan Lefaivre, Frampton merumuskan konsep regionalisme kritis berdasar pada
pemikiran Paul Ricoeur. Setidaknya ada tiga pertanyaan mendasar yang diajukan oleh Frampton
dari Ricoeur, yaitu bagaimana orang dapat menjadi modern tanpa meninggalkan asal usul atau jati
dirinya, bagaimana masyarakat dapat menjadi subyek dari modernisasi, dan bagaimana
masyarakat dapat mengkritisi modernisasi. Berdasarkan ketiga pertanyaan di atas, Frampton
meletakkan pemikiran regionalisme kritis bukan sebagai gerakan oposisi yang menentang, namun
melebur pada mainstream arsitektur yang tengah berkembang sembari mengkritisi agar
mainstream tersebut tidak kehilangan identitasnya.

Menurut Frampton, prinsip regionalisme kritis memiliki dua sifat yang tidak dapat dipisahkan. Di
satu sisi regionalisme kritis menyadari bahwa modernisasi dalam arsitektur tidak dapat dihindari
sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia, namun di sisi lain
regionalisme kritis menghargai apa yang sudah ada terlebih dahulu, seperti alam dan kearifan
lokal atau genius loci. Untuk itu maka seorang arsitek harus memiliki kepekaan serta tingkat
abstraksi dan komprehensi yang tinggi untuk membaca potensi berikut permasalahan arsitektur
yang ada. Seorang arsitek haruslah memiliki “architecture vocabulary” yang luas, baik lokal
maupun modern. Menurut Frampton proses memahami potensi dan permasalahan desain berupa
atribut atau konteks lingkungan yang melekat pada site bangunan seperti iklim, pencahayaan,
tektonisme material dan teknologi bangunan, maupun atribut yang lainnya, serta bagaimana
arsitek dapat merancang menciptakan pengalamanpengalaman baru pada desain, merupakan
sebuah studi fenomenologi yang menarik.

19
Untuk memahami regionalisme kritis, setidaknya diperlukan 2 diskursus penting, yaitu tactile
elements versus visual dan tectonic elements versus scenography. Melalui dua diskursus tersebut
arsitektur yang dihasilkan akan lebih rasional dan fungsional dari arsitektur vernakular yang ada,
dan akan lebih memiliki makna simbolik daripada sekedar sculpture teknologi arsitektur modern
yang putih, bersih, dan kotak. Frampton membedakan antara regionalisme kritis dengan
vernakularisme, meskipun hubungan antara keduanya erat. Regionalisme kritis memiliki tingkat
kesadaran yang dapat dipertanggung jawabkan secara logis daripada arsitektur vernakular yang
terbentuk karena proses trial and error selama beberapa generasi. Regionalisme kritis mengambil
peran dalam perkembangan modernisme sebagai alat kritik, sedangkan arsitektur vernakular lebih
cenderung mengisolasi diri dari perkembangan modernism

Proses mengalami fasad terangkum dalam experience of appearances. Fasad sebagai representasi
dari suatu karakter akan memberi efek bagi yang melihatnya. Jika pada isu kecepatan, rumah
dilihat dan dialami oleh orang yang berkendara, lalu bagaimana dengan orang yang melihat dan
mengalami sedang tidak berkendara? Fasad rumah keduanya punya ciri khas dan karakter yang
sangat kuat. “Hanya tembok saja” adalah frase yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi
fasadnya

Variabel critical regionalism yang ditulis penulis “experience of appearances membingungkan.


Bagaimana hubungan “experience of appearances” dengan kecepatan sesorang berkendara dalam
melihat fasad kedua rumah tersebut? Apakah ada teori yang menjelaskan seseorang berkendara
dengan hubungan “experience of appearances”, dalam tinjauan teori tidak ada ditemukan tentang
“experience of appearances” ini.

Variabel Critical Regionalism yang disebutkan penulis juga tidak dikaji lebih dalam. Yang
disebutkan penulis terdapat dalam rumusan Frampton dibawah ini:

1. Lebih mementingkan papan (place) yang bersifat konkret ketimbang ruang (space) yang
abstrak
2. Lebih mementingkan keterkaitan dengan bentang alam (topography) ketimbang bentuk
bangunan (typology)
3. Lebih mementingkan teknik-teknik membangun yang estetis (architectonic) ketimbang
tampilan bentuk (scenographic) semata
4. Lebih mementingkan yang alami (natural) ketimbang yang buatan (artificial)
5. Lebih mementingkan yang dapat dirasakan dengan raga dan peraba (tactile) ketimbang
yang visual semata.
6.2 Metoda Pengkritik Untuk Mengkritik

20
Metoda yang dilakukan adalah critic factual dimana pengkritik memberi bukti akan objek yang
dikritik.
5.3 Kritik Terhadap Kritik Pengkritik

Pada penulisan diatas bagian abstrak penulis menyatakan bahwa pendekatan yang ia lakukan
dengan pendekatan interpretasi deskriptif yaitu observasi lapangan dan dilog dengan praktisi.
Tetapi setelah saya lakukan pengecekan pada tulisan tidak ada ditemukannya photo yang
dilakukan penulis terhadap objek tulisan yaitu berupa photo fasad rumah yang dijadikan studi
kasus. Photo – photo tersebut diambil dari laman archdaily.com dan bukan dokumentasi pribadi.

Hal ini bertentangan dengan abstrak yang dinyatakan oleh penulis dalam tulisannya. Penulis juga
tidak mengkaji lebih dalam apa sebenarnya yang dimaksud dengan critical regionalism dalam
studi literaturnya

Berikut bukti yang saya dapatkan dari sumber penulis yaitu archdaily.com yang serupa dengan
gambar di skripsi penulis

Kiri House oleh Atelier Riri Muted House oleh Aboday Architect
Sumber: archdaily.com Sumber: archdaily.com

Pada gambar diatas merupakan gambar yang diambil dari website archdaily yang serupa dengan
gambar yang diambil penulis dari website serupa seperti gambar dibawah ini

21
Muted House oleh Aboday Architect
Kiri House oleh Atelier Riri Sumber: archdaily.com
Sumber: archdaily.com

Didapatkan kesimpulan bahwa penulis tidak konsisten sesuai dengan pernyataannya dalam
abstrak melakukan studi lapangan secara langsung.

Pada penulisan bagian abstrak penulis menulis tentang fasad sebagai representasi arsitektur juga
merupakan bagian dari karakter rumah tinggal. Setelah ditelaah pada kajian literatur penulis hanya
menjabarkan pengertian “fasad” menurut para ahli dan kesimpulannya dalam mengartikan
pengertian “fasad”, tetapi karakter rumah tinggal yang seperti apa yang menjadi representasi
arsitektur fasad suatu rumah tinggal tidak dijelaskan dalam kajian literatur.

Lalu pada bagian abstrak penulis menulis tentang desain rumah “minimal” serta material dan
kulitasnya, tetapi setelah ditelaah penulis tidak ada mengkaji maksud dari desain rumah
“minimal” ini seperti apa? Kenapa lahir sebutan desain “minimal” dari konsep critical regionalism
ini?. Material yang digunakan seperti apa juga tidak dijelaskan, penulis hanya menyatakan bahwa
fasad kedua bangunan yang ia jadikan studi kasus hanyalah fasad yang berdinding tembok pada
bagian depannya. Tetapi ia tidak menjelaskan fasad tembok itu berasal dari material seperti apa
dan kedua rumah tersebut tidak dijelaskan material seperti apa.

Pada bagian abstrak penulis menuliskan tentang kualitas. Kualitas rumah tinggal seperti apa yang
dimaksud oleh penulis. Dalam kajian literatur penulis tidak ada menyebutkan kualitas rumah
tinggal yang baik seperti apa.

Pada bagian kesimpulan penulis menulis bahwa dominasi dinding sebagai fasad pada kedua studi
kasus tidak sepenuhnya memenuhi poin-poin critical regionalism, terutama pada eksekusinya.
Karakter tertutup pada kedua rumah terlihat sengaja menyembunyikan privasi yang dapat dinilai
secara berlebihan. Interaksi spasial yang hadir juga memutus hubungan antara ruang luar dan
dalam. Sementara identitas baru, berbeda, dan dianggap kekinian berusaha menunjukkan dirinya
melalui penampilan. Efek yang dihasilkan juga perlu dipertimbangkan baik dalam jangka pendek
maupun kurun waktu yang lama.

Dari paragraf diatas darimana penulis menyatakan bahwa kedua rumah tersebut yaitu Kiri dan
22
Muted House merupakan eksekusi dari karakter rumah yang tertutup. Apakah penulis melakukan
wawancara terhadap arsiteknya secara langsung seperti yang ia sebutkan dalam abstrak yaitu
dialog dengan praktisi dengan Atelier Riri dan Aboday Architect karena tidak ada bukti
dokumentasi mereka berbincang antara praktisi dan penulis,

Tetapi setelah ditelusuri kutiipan wawancara yang dilakukan penulis kepada narasumber tidak ada
yang diambil dari internet. Penulis benar melakukan wawancara kepada narasumber tetapi
pembaca akan ragu karena tidak adanya bukti penulis dan pewawancara berfoto bersama seperti
dokumentasi pribadi ditambah photo yang dilampirkan penulis merupakan photo yang diambil
dari archdaily.com. Tentu hal tersebut membuat pembaca ragu akan tulisan penulis.

Lalu setelah ditelaah lagi Atelier Riri tidak ada menyatakan bahwa “Kiri House” merupakan
“ingin memutus hubungan dengan tetangga” seperti pernyataan Ary Indra dalam Muted House.
Riri menyatakan bahwa “Fasad itu muka yang mewakili rumah dan pemiliknya nanti seperti apa.
Saya sebagai arsitek, merepresentasikannya dalam desain. Bisa berupa sesuatu terhadap
lingkungan, tetapi bisa juga karena diterima, diinginkan, atau dibutuhkan oleh pemiliknya.

Harus memperhatikan surrounding area-nya seperti apa” (Yakub, 2013) dan ”Akhirnya saya jadi
bisa bebas mengeluarkan desain apa saja. Kalau polos juga maknanya banyak. Berbeda kalau
mendesain yang sangat berkarakter, banyak ornamen dan pemilihan elemen arsitektur yang
melekat, nanti juga akan jadi bias. Berlebihan juga akan membingungkan identitas bangunannya
seperti apa” (Yakub, 2013)

Lalu mengapa penulis menyatakan bahwa kedua rumah memiliki karakter tertutup dalam
kesimpulannya “karakter tertutup pada kedua rumah terlihat sengaja menyembunyikan privasi
yang dapat dinilai secara berlebihan”

Dalam kesimpulan penulis menyatakan “Bukan menjadi perkara benar atau salah, tepat atau
keliru, melainkan adanya semacam permainan aksi-reaksi di sini. Aksi dipelopori oleh desain sang
arsitek dan klien atau bermula dari gagasan (ideas). Sedangkan reaksi ditimbulkan setelah desain
(design) terbangun dan ditangkap experience of appearances-nya baik oleh klien dan
lingkungannya.

Dari pernyataan tersebut pemberi ide adalah klien dan yang mendesign dari ide klien adalah
arsiteknya. Alangkah baiknya penulis mengkaji karakter tertutup rumah tersebut seperti apa
melalui pemberi ide yaitu si klien. Kenapa klien ingin rumah tertutup. Agar mendapatkan data
yang lebih valid sebaiknya penulis mewawancara klien dan arsiteknya juga.

23
Lalu melakukan studi literatur apakah ada yang menyatakan bahwa tembok tersebut adalah
“terlihat menyembunyikan perivasi” karena menurut penulis kedua rumah tersebut berada di
daerah perkotaan yang mencerminkan orang kota. Darimana konteks tersebut didapatkan penulis?
Sebaiknya ada pernyataan yang kuat untuk menyatakan hal tersebut benar. Pernyataan yang
diambil alangkah baiknya diambil dari website yang kredibel atau jurnal.

Setelah ditelusuri di google kurang adanya pernyataan yang menyatakan bahwa rumah berfasad
tembok merupakan cerminan rumah yang tertutup melainkan biasanya itu adalah permintaan klien
kepada arsiteknya. Jikalau dalam kedua rumah tersebut merupakan cermina dari seorang klien,
alangkah baiknya penulis juga mewawancari pemilik rumah juga agar mendapatkan data yang
lebih valid.

Dalam pembahasan penulis juga menyatakan bahwa rumah tersebut berdekatan dalam 1 komplek
tetapi tidak ada data berupa gambar yang menunjukkan kedekatan rumah tersebut seperti gambar
block plan yang bisa dilampirkan agar pembaca mudah dalam visualisasi letak rumah dan
orientasi.

DAFTAR REFERENSI
(2009, 8 21). Dipetik 3 15, 2013, dari http://www.archdaily.com/:
http://www.archdaily.com/32509/muted-­‐house-­‐aboday-­‐architects/

(2010, 10 29). Dipetik 3 15, 2013, dari http://www.archdaily.com/:


http://www.archdaily.com/85037/kiris-­‐house-­‐atelier-­‐riri/

24
Architects, A. (2011). Dipetik 3 18, 2013, dari www.aboday.com: http://www.aboday.com/

Armand, A., Hutama, D., & Hartanto, R. (2013). Studio Talk: Home. Jakarta: Gramedia.

Bragdon, C. (1928). The New Image: New York.

Brolin, B. C. (1976). The Failure of Modern Architecture. Van Nostrand Reinhold Company.

Forty, A. (2000). Words and Building. London: Thames & Hudson Ltd.

Frampton, K. (1987). Ten Points on an Architecture of Regionalism: A Provisional Polemic. New


Regionalism , 20-­‐27.

Frampton, K. (1983). Towards a Critical Regionalism:Six Points for Architecture Resistance. The Anti-­‐
Aesthetics: Essays on Postmodern Culture , 16--‐30.

Hastarika, G. (2012, 1 9). Dipetik 5 22, 2013, dari http://gitahastarika.wordpress.com:


http://gitahastarika.wordpress.com/2012/01/09/kehangatan-­‐dalam-­‐keheningan/

Heynen, H. (2001). Architecture and Modernity. London: MIT Press.

Indonesia, P. D. (2007 ). Tegang Bentang. Jakarta: Gramedia.

Indra, A. (2013, 4 24). Proses desain dan Fasad Muted House beserta karya Aboday lainnya. (A.
Aditianto, Pewawancara)

Kusno, A. (2012). Zaman Baru dan Generasi Modernis: Sebuah catatan Arsitektur.
Yogyakarta: Penerbit Ombak (Anggota IKAPI).

Leatherbarrow, D., & Mostafavi, M. (2002). Surface Architecture. London: MIT Press.

Riri, A. (2011). Dipetik 3 21, 2013, dari www.atelierriri.com: http://www.atelierriri.com/

Salira, P. (2010). Arsitektur yang membodohkan. Bandung: CSS Publishing.

Terragni, G. (2003). Transformation Decomposition Critiques Peter Eisenman. New York: The
Monacelli Press Inc.

Wigley, M. (1995). White Walls Designer Dresses: The Fashioning of Architecture. Cambridge, Mass:
MIT Press.

Yakub, N. (2013, 5 6). Proses desain dan Fasad Muted House beserta karya Atelier Riri lainnya . (A.
Aditianto, Pewawancara

25

Anda mungkin juga menyukai