Anda di halaman 1dari 8

Misteri

Oleh : Miranda Salsabila

Memiliki sahabat dengan pemikiran out of the box dari orang-


orang lain sungguh sangat menarik. Namanya awwal, teman SMA
ku. Dulu, dikelas dia sangat pendiam dan dingin. Setiap melihat
matanya seolah dia sedang merencanakan pembunuhan dan
penyiksaan yang kejam. Tapi, ketika kita mulai saling mengenal,
ternyata dia tidak seburuk itu. Dia asyik, hanya saja pikirannya
sangat liar. Bukan, bukan jorok. Tapi dia out of the box atau sering
ku sebut dia psikopat, karena terlalu sering dia mengatakan hal-hal
aneh. Mulai dari hal mistis hingga yang tidak logis. Bagaimana
mungkin remaja 20 tahun itu memikirkan kecoa yang akan
menguasai bumi dan manusia yang menjadi budak dari kecoa.
Aku dan awwal cukup sering bertemu untuk sekedar mengobrol,
berdiskusi, atau berbagi cerita. Angkringan, jadi tempat favorit
untuk kita bertukar cerita. Memesan secangkir kopi hitam panas
untuk awwal dan good day dingin untukku. Sesekali kita
mengambil beberapa gorengan, sekedar untuk menambah
kenikmatan ketika menjadi pendengar. Jogja, kota istimewa
dengan segala keunikannya. Di pinggir jalan raya, memilih tempat
lesehan. Sambil menikmati dinginnya hembusan angin malam,
dan terangnya lampu jalan.
Seperti biasa, aku yang membuka percakapan. Aku bercerita
tentang mitos yang sudah lama ada di jogja. Tentang suara
gamelan yang pernah kudengar samar di kamar kosan saat aku
pertama kali sampai jogja.
‘Serem kan, cuma aku lho yang dengar. Kamu percaya ngga sama
hal mistis gitu?’ kataku.
‘Artinya kamu disambut. Gapapa. Aku sangat percaya’ jawabnya.
‘kamu pernah punya pengalaman juga?’ tanyaku, awwal memang
harus ditanya lebih dulu agar dia mau bercerita. Namanya memang
awwal, tapi dia tidak pernah mau mengawali apapun.
‘Ini udah malem lho, yakin mau denger? Disini ada pohon gedhe
juga ni’ tanya awwal, melihat jam tangan coklat kesayangannya
yang sudah menunjukkan pukul 9.30 malam.
‘Kamu pikir aku takut, tenang aja. Sans, tapi anterin pulang ya’
tantangku tak mau kalah.
‘Ya udah’ jawab awwal sambil meneguk kopi hitamnya yang mulai
dingin. Lalu berkata ‘Jadi begini…’

Waktu itu tanggal 13 Mei 2014. Malam jumat kliwon, aku sangat
mengingatnya karena hari itu adalah hari dimana aku sangat
merasa kacau. Ayahku selalu menjadikanku sasaran kemarahan.
Aku ngga ngapa-ngapain, tapi selalu disalahkan. Aku salah satu
anak yang kurang beruntung karena memiliki ayah yang
temperamental seperti itu. Luka yang ada di tanganku, adalah
salah satu rekam jejak yang ditinggalkan dari sifat tempramen
ayahku. Luka ini ada hanya karena aku menumpahkan kopi yang
akan diseduh ayahku pagi itu. Entah apa yang terjadi dengan
ayahku, tapi ayahku langsung mengambil pisau dan menggores
tanganku. Beruntung, ibuku melihat dan langsung membawaku
pada bidan. Ibuku adalah wanita yang lembut. Ibuku sangat sayang
kepadaku, dan aku beruntung memilikinya. Luka di fisikku
memang akan segera sembuh setelah diobati bidan. Namun luka
itu sangat menyakiti hatiku. Bertahun-tahun aku hidup, bertahun-
tahun juga aku memendam rasa sakit ini. Aku dulu adalah anak
periang. Aku terkenal cerewet. Aku sering dipanggil beo oleh
saudara-saudaraku. Tapi, semua berubah saat ayahku mulai
berlaku kasar. Dan yang paling membekas adalah luka goresan ini.
Saat itu usiaku 14 tahun, kelas 2 SMP. Setelah menerima luka itu,
aku berniat kabur dari rumah di malam hari. Pukul 22.00 saat
kulihat ibu dan ayahku tertidur, diam-diam aku menyelinap,
membuka pintu perlahan. Aku pergi tanpa membawa apapun dari
rumah. Hanya baju yang melekat ditubuhku dan jam tangan coklat
kesayanganku. Aku belum tahu mau kabur kemana. Yang aku tahu,
aku harus pergi. Aku ngga bisa tinggal dirumah ini lagi. Aku
bertekad kalau aku sudah sukses nanti, aku akan kembali untuk
menjemput ibuku lagi. Yang ku lakukan, aku tahu ini ada di serial-
serial tv yang sering ku tonton dengan ibu. Aku berjalan ke arah
barat, aku berjalan baru 15 menit, kala itu ada angkringan yang
buka. Pemilik angkringan melihatku dan bertanya
‘Mau kemana nang? Ini sudah malam kok belum tidur’ tanya mbah
darmo, aku tahu namanya dari banner angkringannya.
Aku memilih diam karena tidak tahu harus menjawab apa.
‘Sini nang, minum dulu’ ajaknya.
Aku diberikan mbah darmo teh hangat gratis. Lalu aku pamit,
setelah mengucapkan terimakasih. Aku ingin berjalan lagi karena
ini baru keluar komplek rumahku. Tapi tiba-tiba mbah darmo
mengatakan sesuatu kepadaku. Namun, aku tidak terlalu jelas
mendengarnya.
‘Apa mbah?’ tanyaku
‘Hati-hati, ada yang melihatmu. Jangan ambil apapun dari jalan.
Banyak masalah hidup itu wajar nang’ kata mbah darmo
mengulanginya.
‘Memangnya apa yang bisa ku ambil di jalanan ini? Dan siapa yang
melihatku? Bulan?’ pikirku sambil melajutkan perjalanan.
Aku melihat jam tangan coklat yang selalu melingkar di tanganku.
Waktu menunjukkan pukul 22.30 WIB. Kala itu aku sedang
istirahat dipohon yang besar. Sangat besar, dengan daun yang
amat rimbun. Aku terlalu lelah berjalan, hingga tak sadar aku
tertidur sejenak dibawah pohon itu, aku merasa ada yang telah
membangunkanku. Aku bangun, dan aku dikejutkan ketika
melihat sekelibat cahaya dari langit menuju ke pohon besar lain
disamping pohon besar yang sedang kusandari. Setelah cahaya itu
hilang aku menghampiri pohon itu dan aku sungguh terkejut.
Disana aku melihat ada sebuah keris dan wayang yang berjejer.
Aku mengambilnya dan menaruhnya di saku. ‘lumayan nih buat
pedang-pedangan. Bagus’ ucapku. Saat itu aku masih anak remaja
dengan segala kenakalannya. Aku juga belum percaya dengan hal-
hal mistis, karena itu aneh.
Aku kembali melihat jam tangan coklat kesayanganku. Waktu
menunjukkan pukul 12 malam tepat. ‘lama juga aku tidur’ pikirku.
Aku hendak melanjutkan perjalan lagi, baru satu langkah
meninggalkan pohon itu aku seolah mendengar bisikan dengan
bahasa jawa ‘muleh… muleh,.. muleh…’ (pulang, pulang, pulang).
Seketika bulu kudukku merinding, aku tau tempat ini, aku ada di
gang komplek sebelah. Suasananya sangat sepi, tidak ada motor
atau satupun orang yang berjalan. Akhirnya aku memutuskan akan
kembali pulang kerumah. Ku rasa aku tidak sanggup dan aku tidak
tahu harus kemana, aku juga memikirkan ibuku.
Aku kembali berjalan pulang, perjalanan pulang terasa lebih cepat.
Disepanjang jalan aku masih merinding. Entah kenapa, tapi
rasanya beda. Aku kembali melewati angkringan mbah darmo.
Kembali mbah darmo memanggilku. Tapi aku malah berjalan lebih
cepat. Aku seketika teringat kata mbah darmo untuk tidak
mengambil sesuatu di jalan. Tapi aku mengambil wayang dan keris
ini. Mbah darmo berteriak kepadaku, namun kali ini menggunakan
bahasa jawa ‘ati-ati nang. Ati-ati, kue ws di titi. Ojo digugu’ (hati-
hati nak. Hati-hati, kamu sudah di incar. Jangan ditiru).
Aku sudah sampai didepan rumah, aku kembali masuk ke
kamarku. Aku ambil lagi keris dan wayang dari saku bajuku. Aku
melihat keris ini. Di gagang kerisnya tertulis tulisan aksara jawa
yang sudah kupelajari sejak duduk di bangku SD. Tulisan itu
bertuliskan ‘Kuhasa’ (Kuasa). Sementara wayang semar hanya
berbentuk seperti salah satu anggota punakawan yang dianggap
guru, ya semar seperti biasa. Aku menaruhnya di meja belajarku.
Lalu aku tidur, aku merasa sangat lelah. Disaat seperti itu hanya
kasurlah obatnya. Aku tidur tanpa berdoa, apalagi membasuh kaki.
Aku tertidur, dan aku bermimpi. Di dalam mimpi itu aku seolah
dihampiri sosok tua dengan jenggot panjang, beserta sorban dan
seorang wanita dengan kaki menyerupai ular, telanjang, dengan
rambut panjang yang menutupi hingga dada. Suara mereka sangat
besar, menggelegar, tawa mereka menyeringai. Sosok lelaki tua
bersorban itu mngatakan kepadaku dengan bahasa jawa
‘Panjennegan nyuwun nopo? Kulo ngabdi panjenengan.
Panjenengan sampun dipilih sangking tiang kang kuoso.
Monggo, menawi wonten tiang engkang jenengan mboten remen.
Kulo saget mendet tiang niku. Kulo saget maringi kuoso kangge
jenengan’ (kamu minta apa? Aku menyerahkan diri padamu.
Kamu adalah orang yang sudah dipilih oleh orang yang berkuasa.
Silakan, mungkin ada seseorang yang tidak kamu suka. Saya bisa
membunuh orang itu. Saya bisa memberikanmu kekuasaan). Aku
hanya diam. Dan sosok wanita itu menyeringai seram dengan suara
menggelegar namun tetap genit ‘hai ganteng, terimakasih sudah
menerimaku jadi budakmu. Kamu gagah sekali, kamu berani. Ayah
kamu memang jahat. Kamu harus melawannya. Tapi, aku disini
bisa membantu kamu menarik perhatian lawan jenismu. Kamu
bisa memiliki wibawa, dan kamu pilih saja wanita mana yang ingin
kamu dekati. Aku bisa’. Aku sangat takut dan bingung, suara
mereka benar-benar seakan ada di telingaku. Aku terbangun, aku
masih di kamarku, diatas kasurku ini. Aku melihat keris dan
wayang itu tidak lagi ada di meja, tapi ada di samping bantalku.
Sudah pagi, aku keluar kamarku. Dan pemandanganku masih
sama, melihat wajah tua ayahku yang semakin terlihat tua karena
terlalu sering marah-marah. Ketika ayah melihatku yang baru
bangun, ayahku kembali memarahiku. ‘anak ngga guna. Jam segini
baru bangun. Kerja, kamu pikir kamu anak konglomerat. Banyakan
mimpi kamu, mau kuliah segala. Kerja wal kerja.’ Bentak ayahku.
Aku hanya diam, sampai akhirnya ayahku memukulku lagi dan lagi
‘jadi cowok cemen banget, ga berani jawab. Bisanya cuma diem’.
Aku tidak tahu kekuatan dari mana aku tiba-tiba berani membalas
pukulan ayahku hingga ayahku berdarah. Ibuku dari dapur segera
menghampiri dan terkaget melihat anak yang dikenal penyayang
dan penurutnya ini berani memukul ayahnya. Ibuku
menenangkanku, tapi aku malah memukul ibuku. Yang aku
rasakan saat itu memang aku sedang merasa jenuh sekali dengan
hidupku. Aku benci ayahku, tapi aku juga jadi benci ibuku karena
dia hanya diam. Aku tidak ada apa denganku. Tapi aku merasa aku
benar, ayah dan ibuku yang salah. Aku juga bisa marah, aku juga
bisa memukul dan membalas semua yang aku alami selama ini.
Kejadian ini berlangsung hampir 2 bulan. Tidak ada yang berani
menyalahkanku, tidak ada yang berani menggangguku. Aku
semakin merasa percaya diri karena beberapa teman wanitaku
yang menjadi primadona di sekolahku pun juga mendekatiku. Aku
sangat bahagia, wanita-wanita dari keluarga kaya itu bisa aku
manfaatkan untuk aku ambil uangnya. Aku jadi bisa makan
sesukaku, membeli barang semauku. Aku tidak peduli dengan
agamaku, aku jadi lupa diri. Aku tidak pernah sholat apalagi
mengaji. Mau apa lagi? Aku sudah punya semuanya.
Hingga akhirnya ibuku mengetahui perubahan yang terjadi
kepadaku. Ibuku adalah orang yang taat agama, beliau sering
menasehatiku. Tapi itu tidak mempan lagi bagiku, bahkan ibuku
sampai menangis sambil memelukku karena aku tidak pernah
bertingkah seperti ini. Saat itu menurutku sabar hanya akan
membuatmu semakin tertindas. Ibuku mengunjungi salah satu
pemuka agama di kampungku, kyai itu mengatakan aku sudah
diikuti dan aku sedang diincar. Kyai itu tahu aku menyimpan
sesuatu yang seharusnya tidak aku simpan, dan yang mengikutiku
adalah penunggu dari barang-barang tersebut. Akhirnya ibuku
mulai menyelidiki, dan membuka-buka isi kamarku. Ibuku
menemukan keris itu ada di balik buku-bukuku. Entah mengapa
saai itu aku merasa ada bisikan lagi kepadaku mengatakan ‘aku
harus kamu jaga, kalau kamu tidak menjagaku semua yang ada
padamu akan hilang.’. Perasaanku semakin aneh, dan tidak tenang.
Aku memutuskan untuk pulang, dan aku melihat ibuku duduk di
kursi memegang keris dan menangis. Aku terkejut, dan ibuku
menoleh kepadaku berkata ‘apa ini wal? Nyebut nak nyebut. Ini
apa? Kamu sudah dikuasai, aku tahu ini bukan awwal anakku. Ibu
mau bawa keris ini ke tempat kyai’.
‘jangan bu, aku bahagia. Keris itu Cuma mainanku’ kataku
membela. Namun, ibu teteap berjalan pergi meninggalkanku, kala
itu aku sudah mulai lemas. Aku tidak bisa mengejar ibuku. Bisikan
itu semakin kencang dan terus menggema ditelingaku ‘ambil,
ambil, ambil’. Tapi aku tidak bisa. Dan aku merasa lemas, aku
demam. Aku hanya berbaring di kasur sambil menunggu apa yang
akan dilakukan ibuku. Ayahku pergi ntah kemana, setidaknya aku
tidak merasa muak lagi melihat wajah ayahku.
Ibuku kembali dari rumah kyai sambil membawa bungkusan kain
putih kecil beserta sebotol air mineral. Ibuku menghampiriku dan
seakan tahu aku sedang lemas dan demam, ibu mengusapkan air
dari botol tersebut keseluruh tubuhku sambil membaca do’a.
kemudian ibu memintaku meminum air itu. Aku hanya menurut
karena aku sungguh lemas
‘ibu mau ke sungai. Keris ini milik orang pintar jaman dulu.
Untung ibu sadar perubahan sikapmu, atau kalau tidak penunggu
keris ini akan semakin menguasaimu. Ibu ngga mau anak ibu
kenapa-kenapa. Awwal yang kamu lakukan ini salah, bukan begini
cara menyelesaikan masalah dalam hidup. Yang kamu lakukan ini
syirik, kamu mengimani penunggu keris ini. Ibu mau
membuangnya sekarang. Keris ini sudah dibersihkan sama pak
kyai’ ucap ibu dan bergegas pergi. Ibuku membuang keris itu di
sungai depan kompleks.
Keesokan harinya badanku mulai terasa ringan, aku berjalan ke
depan kompleks dan aku melihat angkringan mbah darmo yang
dulu pernah ku lihat ternyata tidak ada. Angkringan mbah darmo
ini ada di samping sungai tempat ibuku membuang keris itu. Aku
mulai penasaran dan bertanya dengan penjual pecel di ruko dekat
sungai. Tapi pedagang itu seakan bingung dengan yang
kutanyakan karena tidak pernah ada angkringan di dekat sungai.
Di dekat sungai itu hanya ada 2 pohon tua, bersebrangan di tepi
jalan. Daun pohon itu sangat rimbun bahkan sampai menutup
jalan, sehingga cahaya mataharipun seolah tidak bisa menembus
rimbunnya daun itu.

‘begitulah ceritanya. Semenjak kejadian itu aku jadi lebih menutup


diri lagi, aku tidak ingin terlihat berbeda baik dimata ibuku atau
pun teman-temanku. Aku tidak ingin kehidupanku diganggu, aku
ingin mendapatkan semuanya tanpa ada yang mengetahui dari
mana sumbernya. Cukup aku saja yang tau’ tutup awwal
Aku menganga mendengar ceritanya. ‘ini pengalaman pribadi
kamu wal? Serius?’ tanyaku
Awwal hanya mengagguk sambil meneguk kembali kopi hitamnya
yang sudah tak lagi panas.
‘tunggu-tunggu, katanya kamu nemu keris dan wayang kan? Terus
yang ditemu dan dibuang ibumu kerisnya kan? Wayangnya dimana
wal?’ tanyaku menggeruduk
‘hahaha, cerita misteri ini ngga akan jadi misteri lagi jika semua
plot cerita diketahui.’ Jawab awwal
‘Sudah, ayo aku antar kamu pulang.’ Ajak awwal mengakhiri sesi
cerita kita malam ini.

Anda mungkin juga menyukai