Anda di halaman 1dari 2

KAWIN

Sigaret di tangan kananku tinggal seperempat batang. Gumpalan-gumpalan asap


putih mengajakku menerawang ke langit-langit kamar. Ada sejumput pikiran yang
menggelembung dalam benakku. Kalau bukan lantaran pesan pendek itu, mungkin aku tak
akan segundah ini. Sebuah pesan dari ibu yang akhirnya kutemukan jawabnya sore tadi
setelah kutinggalkan kota Semarang untuk memenuhi permintaan orang tuaku satu-satunya
itu.

“Jadi hanya untuk ini maksud Ibu memanggilku pulang?” Aku bertanya dalam
nada ketidakpercayaan.

“Ya.”

“Ibu tidak sedang bercanda, kan?”

“Tidak, As. Ibu serius.” Tandas ibu meyakinkanku.

“Aku tidak mengerti.... Sungguh, aku tidak mengerti kenapa mendadak Ibu punya
keinginan seperti ini.”

“Kau harus mengerti, As. Makanya, aku minta persetujuanmu.”

“Bukan masalah setuju atau tidaknya,” Suaraku perlahan meninggi, “Tapi....”

“Karena Ibu sudah tua kan?!” Pintas wanita di hadapanku itu cepat.

“Yah... karena memang Ibu sudah tua. Apakah Ibu tidak malu?”

“Justeru lantaran aku sudah tua, maka aku perlu menjalaninya. Ingat, As....ketiga
adikmu masih kecil-kecil. Mereka butuh butuh biaya hidup dan sekolah. Sawah
peninggalan ayahmu tak bisa terlalu diharapkan. Apalagi sekarang ini panennya sering tak
menentu. Siapa lagi yang akan menopang kebutuhan mereka?”

Kalimat ibu mengalir deras. Sementara rasa letihku belum begitu sirna. Masih ada
sisa-sisa kepenatan menggayut di tubuh. Untuk beberapa jenak aku terdiam. Kucoba
rilekskan otot-otot yang menegang sambil sesekali menarik napa panjang.

Kulihat wanita yang melahirkanku itu ikut terdiam. Sorot kedua matanya diarahkan
padaku. Dari cara pandangnya, ia tengah menanti kata-kata selanjutnya dariku.
***

Anda mungkin juga menyukai