Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan


gejala dan infeksi atau sindrom yang timbul karena rusaknya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. Virusnya Human
Immunodeficiency Virus HIV yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada
tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap
infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan
yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun
penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. HIV umumnya ditularkan
melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau
aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air
mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat
terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah,
jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan,
bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan
tubuh tersebut.

Di Indonesia menurut laporan kasus kumulatif HIV/AIDS sampai dengan 31


Desember 2011 yang dikeluarkan oleh Ditjen PP & PL, Kemenkes RI tanggal
29 Februari 2012 menunjukkan jumlah kasus AIDS sudah menembus angka
100.000. Jumlah kasus yang sudah dilaporkan 106.758 yang terdiri atas
76.979 HIV dan 29.879 AIDS dengan 5.430 kamatian. Angka ini tidak
mengherankan karena di awal tahun 2000-an kalangan ahli epidemiologi
sudah membuat estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia yaitu berkisar antara
80.000 – 130.000. Dan sekarang Indonesia menjadi negara peringkat ketiga,
setelah Cina dan India, yang percepatan kasus HIV/AIDS-nya tertinggi di
Asia.

1
B. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui pengertian HIV/AIDS


2. Untuk mengetahui etiologi HIV/AIDS
3. Untuk mengetahui patofisiologi HIV/AIDS
4. Untuk mengetahui manifestasi klinik HIV/AIDS
5. Untuk mengetahui pathway HIV/AIDS
6. Untuk mengetahui kompikasi HIV/AIDS
7. Untuk mengetahui cara pencegahan HIV/AIDS
8. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic HIV/AIDS
9. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis HIV/AIDS
10. Untuk mengetahui asuhan keperawatan HIV/AIDS

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

HIV adalah singkatan dari human Immunodeficiency Virus


merupakan virus yang dapat menyebabkan penyakit AIDS. Virus ini
menyerang manusia dan menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh,
sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi Yang menyebabkan
defisiensi (kekurangan) sistem imun.
AIDS adalah singkatan dari Acquired imune deficiency syndrome
yaitu menurunnya daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit karena
adanya infeksi virus HIV (human Immunodeficiency virus). Antibodi HIV
positif tidak diidentik dengan AIDS, karena AIDS harus menunjukan
adanya satu atau lebih gejala penyakit skibat defisiensi sistem imun
selular.
AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya
sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV (Human
Immunodeficiency Virus). (Aziz Alimul Hidayat, 2006)
AIDS adalah infeksi oportunistik yang menyerang seseorang
dimana mengalami penurunan sistem imun yang mendasar ( sel T
berjumlah 200 atau kurang ) dan memiliki antibodi positif terhadap HIV.
(Doenges, 1999)
AIDS adalah suatu penyakit retrovirus yang ditandai oleh
imunosupresi berat yang menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik,
neoplasma sekunder dan kelainan imunolegik. (Price, 2000 : 241)

B. Etiologi
HIV yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III
(HTLV-III) atau virus limfadenapati (LAV), adalah suatu retrovirus
manusia sitopatik dari famili lentivirus. Retrovirus mengubah asam
ribonukleatnya (RNA) menjadi asam deoksiribonukleat (DNA) setelah

3
masuk ke dalam sel pejamu. HIV -1 dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik,
dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS diseluruh dunia.
Genom HIV mengode sembilan protein yang esensial untuk setiap
aspek siklus hidup virus. Dari segi struktur genomik, virus-virus memiliki
perbedaan yaitu bahwa protein HIV-1, Vpu, yang membantu pelepasan
virus, tampaknya diganti oleh protein Vpx pada HIV-2. Vpx
meningkatkan infektivitas (daya tular) dan mungkin merupakan duplikasi
dari protein lain, Vpr. Vpr diperkirakan meningkatkan transkripsi virus.
HIV-2, yang pertama kali diketahui dalam serum dari para perempuan
Afrika barat (warga senegal) pada tahun 1985, menyebabkan penyakit
klinis tetapi tampaknya kurang patogenik dibandingkan dengan HIV-1
(Sylvia, 2005)

C. Patofisiologi
Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS
diperkirakan antara 10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50%
orang yang terinfeksi HIV akan menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun
pertama, dan mencapai 70% dalam sepuluh tahun akan mendapat AIDS.
Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target dalam waktu singkat,
virus HIVmenyerang sel target dalam jangka waktu lama. Supaya terjadi
infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang
disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang
terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya
menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel
virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan
menghancurkannya.
Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor
protein yang disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD4
adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel
darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit.Sel-sel yang memiliki
reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau limfosit T penolong.

4
Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya
pada sistem kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T
sitotoksik), yang kesemuanya membantu menghancurkan sel-sel ganas dan
organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T
penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi
dirinya terhadap infeksi dan kanker.

Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T


penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang
yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada
beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun
sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV
kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam
darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu
meredakan infeksi. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam
darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita.
Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus
berlanjut. Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang
rendah membantu dokter dalam menentukan orang-orang yang beresiko
tinggi menderita AIDS. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah
limfosit CD4+ biasanya menurun drastis. Jika kadarnya mencapai 200
sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B
(limfosit yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan
produksi antibodi yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk
melawan HIV dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak
banyak membantu dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada
AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus
menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam
mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang.

5
Setelah virus HIVmasuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama
3-6 bulan sebelum titer antibodi terhadap HIVpositif. Fase ini disebut
“periode jendela” (window period). Setelah itu penyakit seakan berhenti
berkembang selama lebih kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer
antibodinya terhadap HIV tetap positif (fase ini disebut fase laten)
Beberapa tahun kemudian baru timbul gambaran klinik AIDS yang
lengkap (merupakan sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan penyakit
infeksi HIVsampai menjadi AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26
bulan, bahkan ada yang lebih dari 10 tahun setelah diketahui HIV positif.
(Heri : 2012)

D. Manifestasi Klinik
Gejala penyakit AIDS sangat bervariasi. Berikut ini gejala yang
ditemui paDA penderita AIDS, panas lebih dari 1 bulan,Batuk-batuk,
Sariawan dan nyeri
menelan,Badan menjadikurus sekali,Diare ,Sesak napas, Pembesaran
kelenjar getah bening,Kesadaran menurun, Penurunan ketajaman
penglihatan, Bercak ungu kehitaman di kulit.
Gejala penyakit AIDS tersebut harus ditafsirkan dengan hati-hati,
karena dapat merupakan gejala penyakit lain yang banyak terdapat di
Indonesia, misalnya gejala panas dapat disebabkan penyakit tipus atau
tuberkulosis paru. Bila terdapat beberapa gejala bersama-sama pada
seseorang dan ia mempunyai perilaku atau riwayat perilaku yang mudah
tertular AIDS, maka dianjurkan ia tes darah HIV.
Pasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda penyakit. Pada
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang lamanya
1 – 2 minggu pasien akan merasakan sakit seperti flu. Dan disaat fase
supresi imun simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam,
keringat dimalam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan
ruam kulit, limpanodenopathy, pertambahan kognitif, dan lesi oral.

6
Dan disaat fase infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
menjadi AIDS (bevariasi 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS)
akan terdapat gejala infeksi opurtunistik, yang paling umum adalah
Pneumocystic Carinii (PCC), Pneumonia interstisial yang disebabkan
suatu protozoa, infeksi lain termasuk menibgitis, kandidiasis,
cytomegalovirus, mikrobakterial, atipikal.

E. Pathway
Perjalanan infeksi HIV, jumlah limfosit T-CD4, jumlah virus dan gejala
klinis melalui 3 fase :
a. Fase infeksi akut (Acute Retroviral Syndrome)
Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang
menghasilkan virus-virus baru (virion) jumlah berjuta-juta virion.
Begitu banyaknya virion tersebut memicu munculnya sindrom infeksi
akut dengan gejala yang mirip sindrom semacam flu. Diperkirakan
bahwa sekitar 50 sampai 70% orang yang terinfeksi HIV mengalami
sindrom infeksi akut (ARS) selama 3 sampai 8 minggu setelah
terinfeksi virus dengan gejala umum yaitu demam, faringitis,
limfadenopati, mialgia, malaise, nyeri kepala diare dengan penurunan
berat badan. HIV juga sering menimbulkan kelainan pada sistem
saraf. Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T (CD4) yang
dramatis yang kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai
terjadi respon imun. Jumlah limfosit T-CD4 pada fase ini di atas 500
sel/mm3 dan kemudian akan mengalami penurunan setelah 8 minggu
terinfeksi HIV.
b. Fase infeksi laten
Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus
dalam Sel Dendritik Folikuler (SDF) dipusat perminativum kelenjar
limfe menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala hilang dan
mulai memasuki fase laten (tersembunyi). Pada fase ini jarang
ditemukan virion di plasma sehingga jumlah virion di plasma

7
menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfe
dan terjadi replikasi di kelenjar limfe sehingga penurunan limfosit T
terus terjadi walaupun virion di plasma jumlahnya sedikit. Pada fase
ini jumlah limfosit T-CD4 menurun hingga sekitar 500 sampai 200
sel/mm3. Meskipun telah terjadi sero positif individu umumnya
belum menunjukan gejala klinis (asintomatis) fase ini berlangsung
sekitar rata-rata 8-10 tahun (dapat juga 5-10 tahun).
c. Fase infeksi kronis
Selama berlangsungnya fase ini, didalam kelenjar limfe terus
terjadi replikasi virus yang diikuti kerusakan dan kematian SDF
karena banyaknya virus. Fungsi kelenjar limfe sebagai perangkap
virus menurun atau bahkan hilang dan virus dicurahkan kedalam
darah. Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara
berlebihan didalam sirkulasi sitemik respon imun tidak mampu
meredam jumlah virion yang berkebihan tersebut. Limfosit semakin
tertekan karena intervensi HIV yang semakin banyak. Terjadi
penurunan limfosit T ini mengakibatkan sistem imun menurun dan
pasien semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit infeksi
sekunder. Perjalanan penyakit semakin progesif yang mendorong ke
arah AIDS, infeksi sekunder yang sering menyertai adalah
penomonia, TBC, sepsi, diare, infeksi virus herpes, infeksi jamur
kadang-kadang juga ditemukan beberapa jenis kanker yaitu kanker
kelenjar getah bening. (Nasruddin, 2007)

8
F. Komplikasi
Adapun komplikasi kien dengan HIV/AIDS (Arif Mansjoer, 2000 ) antara
lain :
a. Pneumonia pneumocystis (PCP)
b. Tuberculosis (TBC)
c. Esofagitis
d. Diare
e. Toksoplasmositis
f. Leukoensefalopati multifocal prigesif
g. Sarcoma Kaposi
h. Kanker getah bening
i. Kanker leher rahim (pada wanita yang terkena HIV)

G. Pencegahan
Dengan mengetahui cara penularan HIV/AIDS dan sampai saat ini belum
ada obat yang mampu memusnahkan HIV/AIDS maka lebih mudah
melakukan pencegahannya.
a. Prinsip ABCDE yaitu :
A = Abstinence (Puasa Sesk, terutama bagi yang belum menikah)
B = Befaithful (Setia hanya pada satu pasangan atau menghindari
berganti- ganti pasangan)
C = use Condom (Gunakan kondom selalu bila sudah tidak mampu
menahan seks)
D = Drugs No (Jangan gunakan narkoba)
E = sterilization of Equipment (Selalu gunakan alat suntik steril)
b. Voluntary Conseling Testing (VCT)
VCT merupakan satu pembinaan dua arah atau dialog yang
berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya dengan tujuan
untuk mencegah penularan HIV, memberikan dukungan moral,
informasi serta dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga dan
lingkungannya.

9
VTC mempunyai tujuan sebagai :
1) Upaya pencegahan HIV/AIDS
2) Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi
atau pengetahuan mereka tentang faktor-faktor resiko penyebab
seseorang terinfeksi HIV.
3) Upaya mengembangkan perubahan perilaku, sehingga secara
dini mangarahakan mereka menuju ke program pelayanan dan
dukungan termasuk akses terapi antiretroviral (ARV), serta
membantu mengurangi stigma dalam masyarakat.
c. Universal Precautions (UPI)
Universal precautions adalah tindakan pengendalian infeksi yang
dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi resiko
penyebaran infeksi serta mencegah penularan HIV/AIDS bagi petugas
kesehatan dan pasien.
UPI perlu diterapkan dengan tujuan untuk :
1) Mengendalikan infeksi secara konsisten.
2) Mamastikan standar adekuat bagi mereka yang tidak di diagnosis
atau terlihat seperti beresiko.
3) Mengurangi resiko bagi petugas kesehatan dan pasien.
4) Asumsi bahwa resiko atau infeksi berbahaya.
Upaya perlindungan dapat dilakukan melalui :
1) Cuci tangan
2) Alat pelindung
3) Pemakaian antiseptik
4) Dekontaminasi, pembersihan dan sterilisasi atau disterilisasi atau
desinfektan tingkat tinggi untuk peralatan bedah, sarung tangan dan
benda lain.

H. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostic untuk penderita AIDS (Arif Mansjoer, 2000)
adalah

10
a) Lakukan anamnesi gejala infeksi oportunistik dan kanker yang
terkait dengan AIDS.
b) Telusuri perilaku berisiko yang memungkinkan penularan.
c) Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda infeksi oportunistik dan
kanker terkait. Jangan lupa perubahan kelenjar, pemeriksaan mulut,
kulit, dan funduskopi.
d) Dalam pemeriksaan penunjang dicari jumlah limfosot total,
antibodi HIV, dan pemeriksaan Rontgen.
Bila hasil pemeriksaan antibodi positif maka dilakukan pemeriksaan
jumlah CD4, protein purufied derivative (PPD), serologi toksoplasma,
serologi sitomegalovirus, serologi PMS, hepatitis, dan pap
smear.Sedangkan pada pemeriksaan follow up diperiksa jumlah CD4.
Bila >500 maka pemeriksaan diulang tiap 6 bulan. Sedangkan bila
jumlahnya 200-500 maka diulang tiap 3-6 bulan, dan bila <200 diberikan
profilaksi pneumonia pneumocystis carinii. Pemberian profilaksi INH
tidak tergantung pada jumlah CD4.Perlu juga dilakukan pemeriksaan viral
load untuk mengetahui awal pemberian obat antiretroviral dan memantau
hasil pengobatan.
Bila tidak tersedia peralatan untuk pemeriksaan CD4 (mikroskop
fluoresensi atau flowcytometer) untuk kasus AIDS dapat digunakan rumus
CD4 = (1/3 x jumlah limfosit total)-8.

I. Penatalaksanaan Medis
Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya
yaitu (Endah Istiqomah : 2009) :
a. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi
yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi
penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan
perawatan kritis

11
b. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang
efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik
traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya
<>3 Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500
mm3
c. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system
imundengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai
reproduksivirus pada prosesnya. Obat-obat ini
adalah :
a) Didanosine
b) Ribavirin
c) Diedoxycytidine
d) Recombinant CD 4 dapat larut
d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti
interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat
menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian
untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
e. Diet
Penatalaksanaan diet untuk penderita AIDS (UGI:2012)
adalahTujuan Umum Diet Penyakit HIV/AIDS adalah memberikan
intervensi gizi secara cepat dengan mempertimbangkan seluruh aspek
dukungan gizi pada semua tahap dini penyakit infeksi HIV, mencapai
dan mempertahankan berat badan secara komposisi tubuh yang
diharapkan, terutama jaringan otot (Lean Body Mass), Memenuhi
kebutuhan energy dan semua zat gizi, mendorong perilaku sehat dalam
menerapkan diet, olahraga dan relaksasi.

12
Tujuan Khusus Diet Penyakit HIV/AIDS adalah Mengatasi gejala
diare, intoleransi laktosa, mual dan muntah, meningkatkan kemampuan
untuk
memusatkan perhatian, yang terlihat pada: pasien dapat membedakan
antara gejala anoreksia, perasaan kenyang, perubahan indra
pengecap dan kesulitan menelan, mencapai dan mempertahankan
berat badan normal, mencegah penurunan berat badan yang berlebihan
(terutama jaringan otot), memberikan kebebasan pasien untuk memilih
makanan yang adekuat sesuai dengan kemampuan makan dan jenis
terapi yang diberikan.
Ada tiga macam diet AIDS yaitu Diet AIDS I, II dan III.
 Diet AIDS I diberikan kepada pasien infeksi HIV akut,
dengangejala panas tinggi, sariawan, kesulitan menelan, sesak
nafas berat, diare akut, kesadaran menurun, atau segera setelah
pasien dapat diberi makan.Makanan berupa cairan dan bubur susu,
diberikan selama beberapa hari sesuai dengan keadaan pasien,
dalam porsi kecil setiap 3 jam. Bila ada kesulitan menelan,
makanan diberikan dalam bentuk sonde atau dalam bentuk
kombinasi makanan cair dan makanan sonde. Makanan sonde
dapat dibuat sendiri atau menggunakan makanan enteral komersial
energi dan protein tinggi. Makanan ini cukup energi, zat besi,
tiamin dan vitamin C. bila dibutuhkan lebih banyak energy dapat
ditambahkan glukosa polimer (misalnya polyjoule).
 Diet AIDS IIdiberikan sebagai perpindahan Diet AIDS I setelah
tahap akut teratasi. Makanan diberikan dalam bentuk saring atau
cincang setiap 3 jam. Makanan ini rendah nilai gizinya dan
membosankan. Untuk memenuhi kebutuhan energy dan zatgizinya,
diberikan makanan enteral atau sonde sebagai tambahan atau
sebagai makanan utama.
 Diet AIDS IIIdiberikan sebagai perpindahan dari Diet AIDS II
atau kepada pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala. Bentuk

13
makanan lunak atau bias diberikandalam porsi kecil dan sering.
Diet ini tinggi energy, protein, vitamin dan mineral. Apabila
kemampuan makan melalui mulut terbatas dan masih terjadi
penurunan berat badan, maka dianjurkan pemberian makanan
sondesebagai makanan tambahan atau makanan utama.

J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan untuk penderita AIDS (Doenges, 1999)
adalah
a. Aktivitas / istirahat.
Mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya,
malaise
b. Sirkulasi.
Takikardia , perubahan TD postural, pucat dan sianosis.
c. Integritas ego.
Alopesia , lesi cacat, menurunnya berat badan, putus asa, depresi,
marah, menangis.
d. Elimiinasi.
Feses encer, diare pekat yang sering, nyeri tekanan abdominal,
absesrektal.
e. Makanan / cairan.
Disfagia, bising usus, turgor kulit buruk, lesi pada rongga mulut,
kesehatan gigi / gusi yang buruk, dan edema.
f. Neurosensori.
Pusing, kesemutan pada ekstremitas, konsentrasi buruk, apatis, dan
respon melambat.
g. Nyeri / kenyamanan.
Sakit kepala, nyeri pada pleuritis, pembengkakan pada sendi,
penurunan rentang gerak, dan gerak otot melindungi pada bagian
yangsakit.

14
h. Pernafasan.
Batuk, Produktif / non produktif, takipnea, distres pernafasan.
2. Diagnosa Keperawatan

a. Resiko tinggi infeksi b/d malnutrisi dan pola hidup beresiko

b. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan, pertukaran oksigen malnutrisi

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d


intake yang kurang, menurunnya absorbs zat gizi
d. Diare b/d infeksi GI (GastroIntestinal)
3. Intervensi dan Rasional
a. Reiko tinggi infeksi b/d malnutrisi dan pola hidup beresiko
Tujuan : Pasien akan bebas infeksi oportunistik dan komplikasinya,
dengan KH :
- Tidak ada tanda-tanda infeksi baru
- TTV dalam batas normal
Intervensi (NIC)
- Monitor tanda-tanda infeksi baru R/: untuk pengobatan dini
- Gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan inovatif
R/: mencegah pasien terpapar kuman pathogen dari RS
- Kumpulkan specimen untuk test lab, sesuai order
R/: meyakinkan diagnosis akurat dan pengobatan
- Atur pemberian anti infeksi sesuai oerder
R/: mempertahankan kadar darah yang terapeutik
b. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan, pertukaran
oksigen, malnutrisi
Tujuan : Pasien dapat berpartisifasi dalam kegiatan, dengan KH :
- Bebas dyspnea dan takikardi selama aktivitas
Intervensi (NIC)
- Monitor respon fisiologis terhadap aktivitas R/: respon
bervariasi dari hari ke hari
- Berikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu

15
R/: mengurangi kebutuhan energy
- Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu
istirahat
R/: ekstra istirahat perlu untuk meningkatkan kebutuhan
metabolic
c. Perubahan nutrisi yang kurang dari kebutuhan tubuh dihubungkan
dengan gangguan intestinal ditandai dengan penurunan berat
badan, penurunan nafsu makan, kejang perut, bising usus
hiperaktif, keengganan untuk makan, peradangan rongga bukal.
Hasil yang harapkan : mempertahankan berat badan atau
memperlihatkan peningkatan berat badan yang mengacu pada
tujuan yang diinginkan, mendemostrasikan keseimbangan nitrogen
poisitif, bebas dari tanda-tanda malnutrisi dan menunjukkan
perbaikan tingkat energy.
INTERIVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
Lesi mulut, tenggorok dan

esophagus dapat menyebabkan

Kaji kemampuan untuk mengunyah, disfagia, penurunan kemampuan

perasakan dan menelan. pasien untuk mengolah

makanan dan mengurangi

keinginan untuk makan.


Hopermotilitas saluran intestinal

umum terjadi dan dihubungkan

Auskultasi bising usus dengan muntah dan diare, yang

dapat mempengaruhi pilihan diet

atau cara makan.


Rencanakan diet dengan orang Melibatkan orang terdekat dalam

terdekat, jika memungkinakan sarankan rencana member perasaan

16
makanan dari rumah. Sediakan

makanan yang sedikit tapi sering


control lingkungan dan mungkin
berupa makanan padat nutrisi, tidak
meningkatkan pemasukan.
bersifat asam dan juga minuman
Memenuhi kebutuhan akan
dengan pilihan yang disukai pasien.
makanannonistitusional mungkin
Dorong konsumsi makanan berkalori
juga meningkatkan pemasukan.
tinggi yang dapat merangsang nafsu

makan
Rasa sakit pada mulut atau

ketakutan akan mengiritasi lesi


Batasi makanan yang menyebabkan
pada mulut mungkin akan
mual atau muntah. Hindari
menyebabakan pasien enggan
menghidangkan makanan yang panas
untuk makan. Tindakan ini akan
dan yang susah untuk ditelan
berguna untuk meningkatakan

pemasukan makanan.
Tinjau ulang pemerikasaan Mengindikasikan status nutrisi

laboratorium, misal BUN, Glukosa, dan fungsi organ, dan

fungsi hepar, elektrolit, protein, dan mengidentifikasi kebutuhan

albumin. pengganti.
Berikan obat anti emetic misalnya Mengurangi insiden muntah dan

metoklopramid. meningkatkan fungsi gaster

d. Diagnosa keperawatan : resiko tinggi kekurangan volume cairan

berhubungan dengan diare berat

17
Hasil yang diharapkan : mempertahankan hidrasi dibuktikan oleh

membrane mukosa lembab, turgor kulit baik, tanda-tanda vital

baik, keluaran urine adekuat secara pribadi.

INTERVESI KEPERAWATAN RASIONAL


Pantau pemasukan oral dan Mempertahankan

pemasukan cairan sedikitnya keseimbangan cairan,

2.500 ml/hari. mengurangi rasa haus dan

melembabkan membrane

mukosa.
Buat cairan mudah diberikan Meningkatkan pemasukan

pada pasien; gunakan cairan cairan tertentu mungkin terlalu

yang mudah ditoleransi oleh menimbulkan nyeri untuk

pasien dan yang menggantikan dikomsumsi karena lesi pada

elektrolit yang dibutuhkan, mulut.

misalnya Gatorade.
Kaji turgor kulit, membrane Indicator tidak langsung dari

mukosa dan rasa haus. status cairan.


Hilangakan makanan yang Mungkin dapat mengurangi

potensial menyebabkan diare, diare

yakni yang pedas, berkadar

lemak tinggi, kacang, kubis, susu.

Mengatur kecepatan atau

konsentrasi makanan yang

18
diberikan berselang jika

dibutuhkan
Nerikan obat-obatan anti diare Menurunkan jumlah dan

misalnya ddifenoksilat (lomotil), keenceran feses, mungkin

loperamid Imodium, paregoric. mengurangi kejang usus dan

peristaltis.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. AIDS adalah sekumpulan gejala dan infeksi atau sindrom yang timbul
karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV.
2. Etiologi AIDS disebabkan oleh virus HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus
sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS diseluruh dunia.
3. Cara penularan AIDS yaitu melalui hubungan seksual, melalui darah
( transfuse darah, penggunaan jarum suntik dan terpapar mukosa yang
mengandung AIDS), transmisi dari ibu ke anak yang mengidap AIDS.

B. Saran
Lebih teliti dalam pengkajian dan analisa data, karena yang menjadi acuan
dalam menentukan diagnosa Keperawatan adalah analisa data sebelum
menentukan rencana tindakannya.

20

Anda mungkin juga menyukai