Anda di halaman 1dari 25

Masyarakat Rumah Sakit dan Kebudayaan

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Psikososial dan Kebudayaan dalam Keperawatan
Dosen Pembimbing :
H. Wasludin, S.KM., M.Kes.

Disusun oleh :

Alfiani Syahri Nopiani Dwi Astuti


Anggun Nita Wati Reny Rosriana
Ela Komala Siti Hayatunnufus
Halimatus Sa’diah Zulfa Fauziah Rahmah

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANTEN
JURUSAN KEPERAWATAN TANGERANG
ALIH JENJANG PROFESI NERS
2020
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat
rahmat dan karunia-Nya. Kami selaku penulis masih diberikan nikmat akal dan
pikiran sehingga dapat menyusun dan menyelesaikan masalah “Masyarakat
Rumah Sakit dan Kebudayaan”. Sholawat serta salam kami curahkan kepada
junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Yang berkat hadirnya membawa
cahaya yang membuat manusia melangkah keluar dari dunia gelap.
Disusunnya makalah ini adalah untuk meningkatkan pengembangan
keilmuan mata kuliah serta memenuhi tugas Psikososial dan Budaya dalam
Keperawatan dengan pokok bahasan Masyarakat Rumah Sakit dan Kebudayaan.
Tak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak berkait :
1. Bapak H. Wasludin, S.KM., M.Kes. selaku dosen pembimbing psikososial
dan budaya dalam keperawatan yang telah memberikan bimbingan kepada
kami sehingga tersusunlah makalah ini.
2. Rekan kelompok yang telah bersama-sama mengerjakan serta menyusun
makalah ini

Makalah ini jauh dari kata sempurna segala saran dan kritik sifatnya
membangun, senantiasa kami harapkan demi perbaikan makalah ini. Semoga
Allah SWT memberikan keberkatan kepada kita semua. Amin.

Tangerang, 15 September 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................................... 1
B. Tujuan.................................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Pengertian antropologi........................................................................................... 4
B. Pengertian antropologi kesehatan........................................................................... 4
C. Hubungan antara sosial budaya dan biologi yang merupakan dasar dari
perkembangan antropologi kesehatan.................................................................... 5
D. Masyarakat rumah sakit dan kebudayaan............................................................... 6
E. Transkultural nursing.............................................................................................12
F. Penerapan prinsip sosial budaya dalam pemberian asuhan keperawatan klien di
rumah sakit.............................................................................................................14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................................20
B. Saran.......................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan
nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan
untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal. Dan kesehatan yang demikian yang menjadi
dambaan setiap orang sepanjang hidupnya. Tetapi datangnya penyakit
merupakan hal yang tidak bisa ditolak meskipun kadang-kadang bisa
dicegah atau dihindari.
Secara teoritis dan praktis, antropologi keperawatan sebagai ilmu akan
memberikan suatu sumbangan pada pengemban pelayanan kesehatan,
termasuk didalamnya ocialm ginekologi ocial. Antropologi mempunyai
pandangan tentang pentingnya pendekatan budaya. Budaya merupakan
pedoman individual sebagai anggota masyarakat dan bagaimana cara
memandang dunia, bagaimana mengungkapkan emosionalnya, dan
bagaimana berhubungan dengan orang lain, kekuatan supernatural atau
Tuhan serta lingkungan alamnya. Budaya itu sendiri diturunkan dari suatu
generasi ke generasi selanjutnya dengan cara menggunakan social, bahasa,
seni, dan ritual yang dilakukan dalam perwujudan kehidupan sehari-hari. Di
sisi lain, latar belakang budaya mempunyai pengaruh yang penting dalam
berbagai aspek kehidupan manusia (kepercayaan, perilaku, persepsi, emosi,
bahasa, agama, ritual, struktur keluarga, diet, pakaian, sikap terhadap sakit,
dll). Selanjutnya, hal-hal tersebut tentunya akan mempengaruhi status
kesehatan yang ada di masyarakat tersebut baik itu terhadap budaya sikap
terhadap penyakit ataupun tentang pelayanan rumah sakit.
Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional
yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli
kesehatan lainnya. Peran perawat dalam upaya penyembuhan penyakit yang
diderita pasien sangatlah dominan. Karena perawat adalah ujung tombak

1
dalam memegang peran di rumah sakit, sebagai actor yang berhadapan
langsung dengan pasien dalam waktu yang lama dan rutin. Oleh karena itu
dibutuhkan totalitas seorang perawat yang professional. Profesionalisme
seorang perawat dapat dipacu dengan menumbuhkan kemauan serta
semangat perawat untuk mengembangkan dirinya dibidang ilmu
keperawatan. Untuk melakukan intervensi pada pasien dibutuhkan
pendekatan-pendekatan tertentu. Salah satu model pendekatan yang perlu
diingat adalah model pemenuhan harapan pasien, dimana pemenuhan
harapan pasien akan dapat terpenuhi bila perawat mengacu pada
pengalaman masa lampau dalam hidup pasien yang sangat dipengaruhi oleh
internalisasi nilai-nilai budaya yang sudah menyatu dalam diri pasien.
Latar budaya pada setiap individu tentu berbeda, dan nilai-nilai yang
terkandung dalam setiap budaya bersifat kompleks. Selain latar belakang,
lingkungan hidup dan pengalaman hidup setiap individu juga berbeda. Salah
satu factor yang mempengaruhi dinamika nilai budaya adalah
perkembangan IPTEK. Hal ini ikut serta membentuk paradigma seseorang
terhadap realita yang telah dihadapinya. Realita yang seperti ini menuntut
seorang perawat yang berhadapan dengan pasien harus mampu memahami
kondisi pasien, bukan hanya dari sisi metode pelayanan klinis teknis
keperawatan namun juga pendekatan nilai-nilai budaya yang beraneka
ragam pada pasien yang harus dimengerti dan dipahami, agar kebutuhan
pasien dapat terpenuhi secara holistik. Pelayanan perawatan akan dikatakan
berkualitas apabila layanan yang diberikan oleh perawat dilandasi pada
standar keperawatan yang mampu memenuhi harapan pasiennya.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
masyarakat mengalami peningkatan pengetahuan tentang kesehatan dan
perkembangan informasi semakin cepat. Pembangunan fasilitas kesehatan
seperti rumah sakit, sebagai unit tempat pelayanan kesehatan, bertanggung
jawab dalam memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar
untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Demikian juga
dengan upaya pemberian pelayanan keperawatan di rumah sakit yang
merupakan bagian integral dari upaya pelayanan kesehatan, dan secara
langsung akan memberi konstribusi dalam peningkatan kualitas hospital
care. Namun, perubahan pola hidup termasuk dalam bidang kesehatan
sering dihadapkan dalam suatu hal yang berhubungan langsung dengan
norma dan budaya yang dianut oleh masyarakat yang bermukim dalam
suatu tempat tertentu.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Dapat mengetahui terkait masyarakat rumah sakit dan
kebudayaan.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari makalah ini dapat menjelaskan kembali terkait :
a. Pengertian antropologi
b. Pengertian antropologi kesehatan
c. Hubungan antara sosial budaya dan biologi yang merupakan dasar
dari perkembangan antropologi kesehatan
d. Masyarakat rumah sakit dan kebudayaan
e. Transkultural nursing
f. Penerapan prinsip sosial budaya dalam pemberian asuhan
keperawatan klien di rumah sakit.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Antropologi
Menurut bahasa Yunani, Antropologi dari bahasa latin; Anthropos
yang berarti manusia, dan Logos yang berarti akal. Dengan begitu
Antropology dapat diartikan sebagai seuatu ilmu yang berusaha mencapai
pengertian tentang makhluk manusia dengan mempelajari aneka warna
bentuk fisik, kepribadian, masyarakat, serta kebudayaannya (Asriwati &
Irawati, 2019).
Jadi, dapat disimpulkan Antropology adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari umat manusia sebagai makhluk masyarakat. Perhatian ilmu
pengetahuan ini ditujukan pada sifat khusus badani dan cara produksi, tradisi
dan nilai-nilai yang membuat pergaulan hidup yang satu berbeda dari
pergaulan hidup lainnya. Didalam antropologi memang terdapat banyak ilmu
yang membahas tentang manusia, seperti ekologi, biologi, anatomi, psikologi
dan sebagainya.

B. Pengertian Antroplogi Kesehatan


Kajian antropologi kesehatan mengarah pada manusia dan perilaku
seputar masalah kesehatan. Bagaimana perilaku masyarakat yang sampai saat
ini masih bertahan dengan pengobatan tradisional, pelaksanaan keluarga
berencana, pembukaan praktik klinik pengobatan medis, dan sebaginya.
Kesehatan adalah kebutuhan setiap inidividu dari berbagai kalangan status
kesehatan (sakit-sehat), ekonomi (kaya-miskin), sosial (elit-wongalit),
geografik (desa-kota) dan psikologi. Pengertian Antropologi kesehatan
menurut Foster/Anderson (1986) merupakan konsep yang tepat karena
mengkaji masalah-masalah kesehatan dan penyakit dari dua kutub yang
berbeda yaitu kutub biologi dan kutub sosial budaya.
Antropologi juga dapat memberi kepada para petugas kesehatan
masyarakat yang akan bekerja dan hidup di berbagai daerah dengan aneka
warna kebudayaan, metode-metode dan cara untuk mengerti serta
menyesuaikan diri dengan kebudbayaan dan adat istiadat setempat. Beberapa
pendapat Ahli-Ahli sosiologi yang menyatakan bahwa :
1. Menurut Waever
Antropologi kesehatan adalah cabang dari antropologi terapan
yang menangani berbagai aspek dari kesehatan dan penyakit (Waever,
1968).
2. Menurut Hasan dan Prasad
Antropologi kesehatan adalah cabang dari ilmu mengenai
manusia yang mempelajari aspek-aspek biologi dan kebudayaan manusia
(termasuk sejarahnya) dari titik tolak pandangan untuk memahami
kedokteran (medical), sejarah kedokteran (medico-historical), hukum
kedokteran (medico-legal), aspek sosial kedokteran dan masalah-masalah
kesehatan manusia (Hasan & Prasad, 1959).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Antropologi Kesehatan
adalah disiplin yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosio-
budaya dari tingkahlaku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara
keduanya disepanjang sejarah kehidupan manusia, yang mempengaruhi
kesehatan dan penyakit pada manusia.

C. Hubungan antara Sosial Budaya dan Biologi yang merupakan Dasar


dari Perkembangan Antropologi Kesehatan
Menurut Asriwati dan Irawati (2019) hubungan antara social budaya
dan biologi yang merupakan dasar dari perkembangan antropologi kesehatan
yaitu masalah kesehatan merupakan masalah kompleks yang merupakan
resultant dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun
masalah buatan manusia, social budaya, perilaku, populasi penduduk,
genetika, dan sebagainya. Derajat kesehatan masyarakat yang disebut
sebagai psycho socio somatic health well being, merupakan resultante dari 4
faktor yaitu :
1. Environment atau lingkungan
2. Behaviour atau perilaku, Antara yang pertama dan kedua dihubungkan
dengan ecological balance
3. Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi
penduduk, dan sebagainya
4. Health care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif,
promotif, kuratif, dan rehabilitative.
Dari empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku
merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi
rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Tingkah laku sakit, peranan sakit
dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kelas
social, perbedaan suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan yang
sama (yang ditentukan secara klinis), bergantung dari variable-variabel
tersebut dapat menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan pasien.
Misalnya dalam bidang biologi, antropologi kesehatan
menggambarkan teknik dan penemuan ilmu-ilmu kedokteran dan
variasinya, termasuk mikrobiologi, biokimia, genetik, parasitologi, patologi,
nutrisi, dan epidemiologi. Hal ini memungkinkan untuk menghubungkan
antara perubahan biologi yang didapatkan dengan menggunakan teknik
tersebut terhadap faktor-faktor sosialdan budaya di masyarakat tertentu.
Contoh : penyakit keturunan albinism di suatu daerah di Nusa Tenggara
Timur ditransmisikan melalui gen resesif karena pernikahan diantara
anggota keluarga.

D. Masyarakat Rumah Sakit dan Kebudayaan


1. Konsep Kebudayaan

Konsep budaya telah menjadi arus utama dalam bidang antropologi


sejak awal mula dan memperoleh perhatian dalam perkembangan awal
studi perilaku organisasi. Bagaimanapun juga, baru-baru ini saja konsep
budaya timbul ke permukaan sebagai suatu dimensi utama
dalam memahami perilaku organisasi (Hofstede 1986).
Seorang Ahli Antropologi yang mencoba mengumpulkan definisi
yang pernah dibuat mengatakan ada sekitar 160 definisi kebudayaan yang
dibuat oleh para ahli Antropologi. Tetapi dari sekian banyak definisi
tersebut ada suatu persetujuan bersama diantara para ahli Antropologi
tentang arti dari istilah tersebut. Salah satu definisi kebudayaan dalam
Antropologi dibuat seorang ahli bernama Ralph Linton yang memberikan
definisi kebudayaan yang berbeda dengan pengertian kebudayaan dalam
kehidupan sehari-hari, kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari
masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang
dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan. Jadi,
kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini
meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap,
dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat
atau kelompok penduduk tertentu. Kebudayaan itu ada tiga wujudnya,
yaitu:
a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai- nilai, norma-norma, peraturan dsb. Merupakan wujud ideal
dari kebudayaan, Sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau difoto.
Letaknya ada di dalm pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan
bersangkutan itu hidup. Dikenal dengan adat istiadat atau sering
berada dalam karangan dan buku-bukuu hasil karya para penulis
warga masyarakat bersangkutan, Saat ini kebudayaan ideal banyak
tersimpan dalam disk, arsip, koleksi microfilm dan microfish, kartu
komputer, silinder dan pita komputer.
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat, disebut juga sistem sosial.
Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia
yanbg berinteraksi, berhubungan, bergaul yang berdasarkan adat tata
kelakuan. Sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita
sehari-hari, bisa diobservasi, difoto dan didokumentasi.
c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia,
disebut kebudayaan fisik, dan tak memerlukan banyak penjelasan.
Merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan
karya semua manusia dalam masyarakat. Sifatnya paling konkret,
atau berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan
difoto. Hasil karya manusia seperti candi, komputer, pabrik baja,
kapal, batik sampai kancing baju dsb.

2. Konsep Rumah Sakit


Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan
profesional yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan
tenaga ahli kesehatan lainnya. Berikut ini ialah beberapa jenis-jenis
rumah sakit yang akan dijelaskan untuk memberikan gambaran mengenai
Kebudayaan rumah sakit
a. Rumah sakit umum
Rumah sakit umum biasanya merupakan fasilitas yang
mudah ditemui di suatu negara, dengan kapasitas rawat inap sangat
besar untuk perawatan intensif ataupun jangka panjang. Rumah sakit
jenis ini juga dilengkapi dengan fasilitas bedah, bedah plastik, ruang
bersalin, laboratorium, dan sebagainya. Tetapi kelengkapan fasilitas
ini bisa saja bervariasi sesuai kemampuan penyelenggaranya. Rumah
sakit yang sangat besar sering disebut Medical Center (pusat
kesehatan), biasanya melayani seluruh pengobatan modern. Sebagian
besar rumah sakit di Indonesia juga membuka pelayanan kesehatan
tanpa menginap (rawat jalan) bagi masyarakat umum (klinik).
Biasanya terdapat beberapa klinik/poliklinik di dalam suatu rumah
sakit.
b. Rumah sakit terspesialisasi
Jenis ini mencakup trauma center, rumah sakit anak, rumah
sakit manula, atau rumah sakit yang melayani kepentingan khusus
seperti psychiatric (psychiatric hospital), penyakit pernapasan, dan
lain-lain. Rumah sakit bisa terdiri atas gabungan atau pun hanya satu
bangunan. Kebanyakan mempunyai afiliasi dengan universitas atau
pusat riset medis tertentu. Kebanyakan rumah sakit di dunia
didirikan dengan tujuan nirlaba.
c. Rumah sakit penelitian/pendidikan
Rumah sakit penelitian/pendidikan adalah rumah sakit umum
yang terkait dengan kegiatan penelitian dan pendidikan di fakultas
kedokteran pada suatu universitas/lembaga pendidikan tinggi.
Biasanya rumah sakit ini dipakai untuk pelatihan dokter-dokter
muda, uji coba berbagai macam obat baru atau teknik pengobatan
baru. Rumah sakit ini diselenggarakan oleh pihak
universitas/perguruan tinggi sebagai salah satu wujud pengabdian
masyararakat / Tri Dharma perguruan tinggi.
d. Rumah sakit lembaga/perusahaan
Rumah sakit yang didirikan oleh suatu lembaga/perusahaan
untuk melayani pasien-pasien yang merupakan anggota lembaga
tersebut/karyawan perusahaan tersebut. Alasan pendirian bisa karena
penyakit yang berkaitan dengan kegiatan lembaga tersebut (misalnya
rumah sakit militer, lapangan udara), bentuk jaminan
sosial/pengobatan gratis bagi karyawan, atau karena letak/lokasi
perusahaan yang terpencil/jauh dari rumah sakit umum. Biasanya
rumah sakit lembaga/perusahaan di Indonesia juga menerima pasien
umum dan menyediakan ruang gawat darurat untuk masyarakat
umum.
e. Klini
k
Fasilitas medis yang lebih kecil yang hanya melayani
keluhan tertentu. Biasanya dijalankan oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat atau dokter-dokter yang ingin menjalankan praktek
pribadi. Klinik biasanya hanya menerima rawat jalan. Bentuknya
bisa pula berupa kumpulan klinik yang disebut poliklinik.

3. Kebudayaan Rumah Sakit


Rumah sakit adalah suatu organisasi yang unik dan kompleks
karena ia merupakan institusi yang padat karya, mempunyai sifat-sifat
dan ciri-ciri serta fungsi-fungsi yang khusus dalam proses
menghasilkan jasa medik dan mempunyai berbagai kelompok profesi
dalam pelayanan penderita. Di samping melaksanakan fungsi pelayanan
kesehatan masyarakat, rumah sakit juga mempunyai fungsi pendidikan
dan penelitian (Boekitwetan 1997).
Mengingat adanya dinamika internal (perkembangan peran) dan
tuntutan eksternal yang semakin berkembang, rumah sakit dihadapkan
pada upaya penyesuaian diri untuk merespons dinamika eksternal dan
integrasi potensi-potensi internal dalam melaksanakan tugas yang
semakin kompleks. Upaya ini harus dilakukan jika organisasi ini hendak
mempertahankan kinerjanya (pelayanan kesehatan kepada masyarakat
sekaligus memperoleh dana yang memadai bagi kelangsungan hidup
organisasi). Untuk itu, ia tidak dapat mengabaikan sumber daya manusia
yang dimiliki termasuk perhatian atas kepuasan kerjanya. Pengabaian
atasnya dapat berdampak pada kinerja organisasi juga dapat berdampak
serius pada kualitas pelayanan kesehatan. Dalam konteks tersebut,
pemahaman atas budaya pada tingkat organisasi ini merupakan sarana
terbaik bagi penyesuaian diri anggota-anggotanya, bagi orang luar yang
terlibat (misalnya pasien dan keluarganya) dan yang berkepentingan
(seperti investor atau instansi pemerintah terkait) maupun bagi
pembentukan dan pengembangan budaya organisasi itu sendiri dalam
mengatasi berbagai masalah yang sedang dan akan dihadapi. Namun
sayangnya penelitian atau kajian khusus tentang persoalan ini belum
banyak diketahui, atau mungkin perhatian terhadap hal ini belum
memadai. Mengingat kondisi demikian, maka tulisan ini bertujuan untuk
menggambarkan berbagai aspek dan karakteristik budaya organisasi
rumah sakit sebagai lembaga pelayanan publik.
Seiring dengan membaiknya tingkat pendidikan, meningkatnya
keadaan sosial ekonomi masyarakat, serta adanya kemudahan dibidang
transportasi dan komunikasi, majunya IPTEK serta derasnya arus sistem
informasi mengakibatkan sistem nilai dalam masyarakat berubah.
Masyarakat cenderung menuntut pelayanan umum yang lebih bermutu
termasuk pelayanan kesehatan.
Pelayanan rumah sakit yang baik bergantung dari kompetensi dan
kemampuan para pengelola rumah sakit. Untuk meningkatkan
kemampuan para pengelola rumah sakit tersebut selain melalui program
pendidikan dan pelatihan, juga diperlukan pengaturan dan penegakan
disiplin sendiri dari para pengelola rumah sakit serta adanya yang
tanggung jawab secara moral dan hukum dari pimpinan rumah sakit
untuk menjamin terselenggaranya pelayanan yang baik.
Selain itu dalam perkembangan teknologi dan berbagai bidang
yang lainnya tercipta sebuah istilah yang menandakan sebagai suatu
Budaya dalam lingkup kesehatan istilah tersebut ialah Komite Etik
Rumah Sakit (KERS), dapat dikatakan sebagai suatu badan yang secara
resmi dibentuk dengan anggota dari berbagai disiplin perawatan
kesehatan dalam rumah sakit yang bertugas untuk menangani berbagai
masalah etik yang timbul dalam rumah sakit. KERS dapat menjadi sarana
efektif dalam mengusahakan saling pengertian antara berbagai pihak
yang terlibat seperti dokter, pasien, keluarga pasien dan masyarakat
tentang berbagai masalah etika hukum kedokteran yang muncul dalam
perawatan kesehatan di rumah sakit.
Ada tiga fungsi KERS ini yaitu pendidikan, penyusun kebijakan
dan pembahasan kasus. Jadi salah satu tugas KERS adalah menjalankan
fungsi pendidikan etika. Dalam rumah sakit ada kebutuhan akan
kemampuan memahami masalah etika, melakukan diskusi multidisiplin
tentang kasus mediko legal dan dilema etika biomedis dan proses
pengambilan keputusan yang terkait dengan permasalahan ini.
Kebudayaan Rumah Sakit mempunyai premis kesehatan itu
sangat penting, nyawa sangat berharga, perlu berbagai upaya yang harus
dilakukan oleh Rumah Sakit untuk menyelamatkan nyawa pasien.
Contoh: rumah sakit berbau karbol, pakaian putih-putih , bersih.

E. Transkultural Nursing
1. Pengertian
Transcultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan
budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus
memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan
menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya
manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk
memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan
budaya kepada manusia (Leininger, 2002).
Tujuan dari keperawatan transkultural adalah untuk
mengidentifikasi, menguji, mengerti dan menggunakan pemahaman
keperawatan transkultural untuk meningkatkan kebudayaan yang spesifik
dalam pemberian asuhan keperawatan.
Asumsi mendasar dari teori adalah perilaku Caring. Caring
adalah esensi dari keperawatan, membedakan, mendominasi serta
mempersatukan tindakan keperawatan. Tindakan Caring dikatakan
sebagai tindakan yang dilakukan dalam memberikan dukungan kepada
individu secara utuh. Perilaku Caring semestinya diberikan kepada
manusia sejak lahir, dalam perkembangan dan pertumbuhan, masa
pertahanan sampai dikala manusia itu meninggal. Human caring secara
umum dikatakan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan dukungan
dan bimbingan pada manusia yang utuh. Human caring merupakan
fenomena yang universal dimana ekspresi, struktur dan polanya
bervariasi diantara kultur satu tempat dengan tempat lainnya.
2. Perspektif Transkultural dalam Keperawatan
Budaya adalah norma atau aturan tindakan dari anggota
kelompok yang dipelajari, dan dibagi serta memberi petunjuk dalam
berfikir, bertindak dan mengambil keputusan. Budaya adalah sesuatu
yang kompleks yang mengandung pengetahuan,keyakinan, seni, moral,
hukum, kebiasaan, dan kecakapan lain yang merupakan kebiasaan
manusia sebagai anggota kemunitas setempat.
Tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan pada
abad ke-21, termasuk tuntutan terhadap asuhan keperawatan yang
berkualitas akan semakin besar. Dengan adanya globalisasi, dimana
perpindahan penduduk antar negara (imigrasi) dimungkinkan,
menyebabkan adaya pergeseran terhadap tuntutan asuhan keperawatan.
Keperawatan sebagai profesi memiliki landasan body of
knowledge yang kuat, yang dapat dikembangkan serta dapat
diaplikasikan dalam praktek keperawatan. Salah satu teori yang
diungkapkan pada midle range theory adalah Transcultural Nursing
Theory. Teori ini berasal dari disiplin ilmu antropologi dan
dikembangkan dalam konteks keperawatan. Teori ini menjabarkan
konsep keperawatan yang didasari oleh pemahaman tentang adanya
perbedaan nilai-nilai kultural yang melekat dalam masyarakat.
Leininger beranggapan bahwa sangatlah penting memperhatikan
keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan
keperawatan kepada klien. Bila hal tersebut diabaikan oleh perawat, akan
mengakibatkan terjadinya cultural shock.
Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana
perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan
kepercayaan. Hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa
ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan beberapa mengalami
disorientasi. Salah satu contoh yang sering ditemukan adalah ketika klien
sedang mengalami nyeri. Pada beberapa daerah atau negara
diperbolehkan seseorang untuk mengungkapkan rasa nyerinya dengan
berteriak atau menangis. Tetapi karena perawat memiliki kebiasaan bila
merasa nyeri hanya dengan meringis pelan, bila berteriak atau menangis
akan dianggap tidak sopan, maka ketika ia mendapati klien tersebut
menangis atau berteriak, maka perawat akan memintanya untuk bersuara
pelan-pelan, atau memintanya berdoa atau malah memarahi pasien
karena dianggap telah mengganggu pasien lainnya. Kebutaan budaya
yang dialami oleh perawat ini akan berakibat pada penurunan kualitas
pelayanan keperawatan yang diberikan.

F. Penerapan Prinsip Sosial Budaya dalam Pemberian Asuhan


Keperawatan Klien di Rumah Sakit
Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam
menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam
bentuk matahari terbit (Sunrise Model). Geisser (1991) menyatakan bahwa
proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai landasan berfikir dan
memberikan solusi terhadap masalah klien (Andrew and Boyle, 1995).
Pengelolaan asuhan keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap pengkajian,
diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
1. Pengkajian.
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk
mengidentifikasi masalah kesehatan klien sesuai dengan latar belakang
budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Pengkajian dirancang
berdasarkan 7 komponen yang ada pada "Sunrise Model" yaitu :
 Faktor teknologi (tecnological factors). Teknologi kesehatan
memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat penawaran
menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu
mengkaji : persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi
masalah kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan klien
memilih pengobatan alternatif dan persepsi klien tentang
penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi
permasalahan kesehatan saat ini.
 Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical
factors). Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan
pandangan yang amat realistis bagi para pemeluknya. Agama
memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan
kebenaran di atas segalanya, bahkan di atas kehidupannya sendiri.
Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat adalah : agama yang
dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap penyebab
penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak
positif terhadap kesehatan.
 Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors).
Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama lengkap,
nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin,
status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan
hubungan klien dengan kepala keluarga.
 Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan
oleh penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma
budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan
terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor
ini adalah : posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga,
bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang
dalam kondisi sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-
hari dan kebiasaan membersihkan diri.
 Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal
factors). Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah
segala sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan
keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995). Yang perlu
dikaji pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang berkaitan
dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh
menunggu, cara pembayaran untuk klien yang dirawat.
 Faktor ekonomi (economical factors). Klien yang dirawat di rumah
sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk
membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus
dikaji oleh perawat diantaranya : pekerjaan klien, sumber biaya
pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber
lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan
antar anggota keluarga.
 Faktor pendidikan (educational factors). Latar belakang pendidikan
klien adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur pendidikan
formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka
keyakinan klien biasanya didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang
rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi terhadap
budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu
dikaji pada tahap ini adalah : tingkat pendidikan klien, jenis
pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri
tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali.

Prinsip-prinsip pengkajian budaya yaitu jangan menggunakan asumsi,


jangan membuat streotip bisa terjadi konflik misal: orang padang pelit, orang
jawa halus, menerima dan memahami metode komunikasi, menghargai
perbedaan individual, mengahargai kebutuhan personal dari setiap individu,
tidak beleh membeda-bedakan keyakinan klien, serta menyediakn privasi
terkait kebutuhan pribadi.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang
budayanya yang dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi
keperawatan. (Giger and Davidhizar, 1995). Terdapat tiga diagnosa
keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan keperawatan
transkultural yaitu : gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan
perbedaan kultur, gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi
sosiokultural dan ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan
sistem nilai yang diyakini.

3. Perencanaan dan Pelaksanaan


Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural
adalah suatu proses keperawatan yang tidak dapat dipisahkan.
Perencanaan adalah suatu proses memilih strategi yang tepat dan
pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan yang sesuai denganlatar
belakang budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Ada tiga pedoman
yang ditawarkan dalam keperawatan transkultural (Andrew and Boyle,
1995) yaitu :
 Cultural care preservation/maintenance/ Mempertahankan budaya
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak
bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi
keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang
telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan atau
mempertahankan status kesehatannya, misalnya budaya berolahraga
setiap pagi. Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat
tentang proses melahirkan dan perawatan bayi, bersikap tenang dan
tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien, serta
mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat.
 Cultural careaccomodation/negotiation /Negosiasi budaya.
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan
untuk membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang
lebih menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat
memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung
peningkatan kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai
pantang makan yang berbau amis, maka ikan dapat diganti dengan
sumber protein hewani yang lain, gunakan bahasa yang mudah
dipahami oleh klien, libatkan keluarga dalam perencanaan
perawatan. Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi
dimana kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan
klien dan standar etik.
 Cultual care repartening/reconstruction /Restrukturisasi budaya
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki
merugikan status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi
gaya hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak merokok.
Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan
dan sesuai dengan keyakinan yang dianut, beri kesempatan pada
klien untuk memahami informasi yang diberikan dan
melaksanakannya, tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya
dari budaya kelompok, gunakan pihak ketiga bila perlu, terjemahkan
terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan yang dapat
dipahami oleh klien dan orang tua, berikan informasi pada klien
tentang sistem pelayanan kesehatan Perawat dan klien harus
mencoba untuk memahami budaya masing-masing melalui proses
akulturasi, yaitu proses mengidentifikasi persamaan dan perbedaan
budaya yang akhirnya akan memperkaya budaya budaya mereka.

Bila perawat tidak memahami budaya klien maka akan timbul rasa
tidak percaya sehingga hubungan terapeutik antara perawat dengan klien
akan terganggu. Pemahaman budaya klien amat mendasari efektifitas
keberhasilan menciptakan hubungan perawat dan klien yang bersifat
terapeutik.

4. Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap
keberhasilan klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan
kesehatan, mengurangi budaya klien yang tidak sesuai dengan kesehatan
atau beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin sangat bertentangan
dengan budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat diketahui
asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Transcultural nursing harus dikembangkan oleh seorang perawat dengan cara
selalu membuka diri dengan berbagai budaya yang ada, memotivasi dirinya agar
mampu dan mau untuk selalu mengevaluasi terdahap tindakannya sebagai perawat
dalam upaya meningkatkan mutu keperawatan.
Era globalisasi mengasilkan berbagai perubahan yang tidak dapat dihindari
oleh siapapun termasuk profesi keperawatan. Jalannya komunikasi dalam rangka
pertukaran informasi begitu cepat, selain itu sarana transportasi juga semakin canggih
dan modern. Kemajuan IPTEK terus bekembang sehingga sangat berpengaruh pada
upaya mempercepat proses interaksi antar budaya dalam setiap profesi, termasuk
profesi keperawatan. Sejalan dengan berkembangnya dunia ilmu pengetahuan,
pendidikan tenaga keperawatan mau tidak mau, senang maupun tidak senang harus
membekali peserta didiknya tentang asuhan keperawatan yang akurat dengan nilai-
nilai budaya yang menjadi milik individu atau klien. Bukan hanya management
keperawatan yang harus menjadi acuan dalam asuhan keperawatan, tetapi juga nilai-
nilai budaya menjadi suatu yang penting dalam setiap tindakan keperawatan.

B. Saran
Diharapkan seluruh tenaga parmedis termasuk perawat siap secara adekuat
pada setiap tindakan keperawatan antara pengetahuan maupun konsep keperawatan
dengan nilai-nilai lintas budaya pada setiap pasien yang dilayaninya, karena tantangan
terhadap lintas nilai-nilai budaya pada era globalisasi akan sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan, kualitas pelayanan yaitu intervensi kepada pasien berupa
asuhan keperawatan yang baik dan benar serta pemenuhan kebutuhan pasien secara
keseluruhan atau holistic.
Kemampuan unggul dan profesionalisme seorang perawat kini menjadi
tantangan yang sangat signifikan dengan demikian penulis memberi rekomendasi :

20
1. Tenaga keperawatan harus mengerti, memahami transcultural nursing
2. Transcultural nursing sebagai kesatuan integral dalam setiap intervensi, setiap
tenaga paramedis diharapkan mempunyai kompetensi.
3. Setiap lembaga pendidikan tenaga paramedis hendaknya memberikan
kompetensi transcultural nursing kepada mahasiswa/i,
4. Pengetahuan dan penelitian tentang transcultural nursing terus menerus
dilakukan dalam praktik / pelayanan.
5. Di lahan praktik / pelayanan perlu adanya pendamping yang mengerti dan
mengerti transcultural nursing
DAFTAR PUSTAKA

Asriwati & Irawati. 2019. Buku Ajar Antropologi Kesehatan Dalam


Keperawatan. Deepublish : Yogyakarta.

Asy’arie, M. 2004. Pendidikan multikultural dan konflik bangsa. Diakses


pada 19 November 2013, dari http://www.kompas.co.id.

Effendy, Ferry. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori Dan


Praktik Dalam Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika

Murphy, S.C. 2006. Mapping the literature of transcultural nursing.


Diakses pada 19 November 2013, dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1463039/

Setiadi, Elly M, dkk. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta :
Kencana.

Sudarma, Momon. 2008. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta : Salemba


Medika.

Gunawijaya, J. 2010. Kuliah umum tentang budaya dan perspektif


transkultural dalam keperawatan Mata ajar KDK II 2010, semester
genap FIK-UI.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar ilmu antropologi, Jakarta: Rineka cipta.

Leininger. M & McFarland. M.R. 2002. Transcultural Nursing : Concepts,


Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill
Companies.

Anda mungkin juga menyukai