Anda di halaman 1dari 6

Perkembangan Arsitektur, Tanggung-jawab Arsitek

dan Masyarakat
7 February 2012 by iplbi

Budi Fathony | Arsitektur Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang |

Email budifathony21(at)yahoo.co.id

Arsitektur hadir sebagai hasil persepsi masyarakat yang memiliki berbagai kebutuhan. Untuk itu,
arsitektur adalah wujud kebudayaan yang berlaku di masyarakatnya, sehingga perkembangan arsitektur
tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kebudayaan masyarakat itu sendiri. Pada saat ini, ketika
perkembangan budaya dan peradaban sudah sedemikian maju, maka perkembangan arsitektur –
terutama di Indonesia – nampak berjalan mulus tanpa ada saringan yang cenderung menghilangkan
jatidiri.

Arsitek sebagai salah satu penentu arah perkembangan arsitektur di Indonesia dituntut untuk lebih aktif
berperan dalam menentukan arah dengan pemahaman terhadap nilai dan norma yang hidup di
masyarakat sebagai tolok ukurnya. Selain itu, diperlukan pula kreativitas untuk menjabarkan rambu-
rambu tradisional – sebagai suatu konsep yang telah lama dimiliki masyarakat – ke dalam bentuk-bentuk
yang akrab dengan lingkungan dan mudah dicerna apa makna serta pesan yang akan disampaikan.

Pada saat ini terasa sulit membedakan mana karya yang baik dan cocok untuk Indonesia, karena
perkembangan arsitektur cenderung mengarah pada gaya ‘internasional’ yang tidak mempunyai ‘jati diri
indonesiawi’-nya.

Interaksi antara Pemilik Bangunan, Peraturan Daerah dan Arsitek perlu memiliki kesamaan pandang –
kendati pada kenyataannya terdapat banyak perbedaaan yang tidak terlalu jauh – sehingga karya-karya
arsitektur tersebut tidak sekedar emosi dari Arsiteknya. Peran Arsitek adalah menciptakan suatu wadah
atau ruang sebagai kelangsungan hidup manusia yang memungkinkan tercapainya kondisi optimal bagi
pengembangan masyarakat sebagai pemakai dan terpeliharanya fungsi-fungsi alam dalam
kesinambungan yang dinamis.
Bilamana Arsitek yang bersangkutan tidak berhasil memenuhi persyaratan di atas, maka lambat atau
cepat lingkungan buatan berikut segala isinya akan berantakan, sebab sikap Arsitek berbeda dengan
pemakai maupun pengamat karya arsitektur dalam memandang dan memikirkan tata lingkungan buatan
sebagaimana dilakukan sebagian orang. Dengan hadirnya arsitektur, masyarakat mempunyai persepsi
dan kebutuhan yang berbeda karena dipengaruhi berbagai cara oleh sifat lingkungan sebagai akibat dari
perilaku Arsitek dalam melakukan rancangannya.

Karena arsitektur bertujuan untuk masyarakat, maka hasil karya arsitektur seringkali dinilai kurang
kompromi dengan lingkungannya. Terciptanya karya arsitektur yang cocok dan sesuai dengan
lingkungan-nya tentu bukan monopoli dari si Arsiteknya saja. Penjabaran dan perwujudan akan tata nilai
ekonomis karya arsitektur akan melibatkan semua pihak. Hal tersebut terjadi karena masyarakat sudah
memiliki preferensi dalam kognisinya tentang bentuk-bentuk yang ditampilkan sebagai bentuk-bentuk
yang secara historis pernah menjadi miliknya. Dari Pemberi Tugas (bouwheer) tentu sangat diharapkan
bisa menahan emosi kehendaknya, sehingga Arsitek dapat merealisir gagasan bouwheer dengan baik
dan optimal.

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR INDONESIA

Wujud arsitektur bukan merupakan hasil ‘seni yang bebas’ kehendaknya dan melukis untuk dirinya
sendiri. Akan tetapi, seni arsitektur merupakan ‘seni yang terikat’ oleh kaidah-kaidah tertentu sebagai
seni terapan yang mampu dinikmati semua pihak, menjadi milik masyarakat, bangsa dan para pengamat
yang berhak menikmati karya arsitektur setempat (bukan impor dari luar). Arsitektur mencoba berusaha
untuk berada di tengah masyarakatnya, para pemakai dan pemerhati.

Banyak bangunan yang sebetul-nya gagal secara fungsional atau tidak sesuai dengan perilaku pemakai,
namun tetap diciptakan dengan ‘keterpaksaan’ karena faktor-faktor lain yang sama sekali melupakan
‘jati diri’-nya. Latar belakang dalam melakukan aktifitas sosial budaya, dalam masyarakat tradisional
Jawa misalnya, banyak belajar menyesuaikan diri dengan alam lingkungannya. Mereka memilih untuk
berusaha hidup ‘selaras’ dengan alam, walaupun tidak merasa bahwa dirinya takluk kepada alam.

Bentukan arsitekturnya merupakan karya yang secara arif memanfaatkan potensi dan sumberdaya
setempat serta menciptakan keselarasan yang harmonis antara ‘jagad cilik’ (mikro kosmos) dengan
‘jagad gede’ (makro kosmos).
Menurut Koentjaraningrat (1983) masyarakat Jawa merasa berkewajiban untuk ‘memayu-ayuning
bawana’ yaitu pandangan hidup untuk selalu berupaya memperindah lingkungannnya, baik fisik maupun
spiritual; menyangkut adat, tata cara, cita-cita ataupun nilai-nilai budaya lainnya. Dalam kaitannya
dengan arsitektur, konsep ini mendasari pola keselarasan antara bangunan dengan lingkungannya
termasuk juga dalam sistem ekologinya.

Ditilik dari kacamata arsitektur, Budiharjo (1997) menilai bahwa hal yang paling merisaukan dalam
perancangan bangunan tinggi adalah penampilannya yang nyaris steril, serba polos, tunggal rupa serta
tak menyisakan peluang bagi penghuni, pemilik maupun pengamatnya untuk berimajinasi. Tak heran
jika pencakar langit seperti itu acap diejek sebagai salah satu bentuk pornografi arsitektural, tak
menyimpan misteri, kurang menyentuh rasa, tak memperkaya jiwa dan vulgar. Bentuk bangunan dan
kota yang cocok, tentunya muncul dan tumbuh dari dalam, dibuat untuk menanggapi keinginan,
tuntutan dan dambaan manusia yang hidup dan bekerja di sana.

Pembahasan tentang perkembangan arsitektur tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan


kebudayaan. Pembahasan perkembangan arsitektur modern, juga tidak dapat dilepas dari
perkembangan teknologi serta perkembangan sosial ekonomi masyarakat penduduknya. Kebudayaan
adalah sesuatu yang dinamis, selalu berubah dari waktu ke waktu.

Arsitektur sebagai bagian dari kebudayaan juga senantiasa memperbaharui diri sesuai dengan
perkembangan jaman. Perkembangan arsitektur dari waktu ke waktu merupakan cerminan dari budaya
masyarakat dimana karya arsitektur tersebut berada. Menurut Atmadi (1997) perkembangan arsitektur
di Indonesia sesudah kemerdekaan menunjukkan corak perkembangan tersendiri. Ungkapan
arsitekturnya disesuaikan dengan tantangan, pengaruh perkembangan teknologi dan bahan bangunan
yang ada.

Perkembangan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh perkembangan tata ruang atau tata masa massa
bangunan saja, tetapi juga terpengaruh oleh nilai sosial dan budaya serta ekosistem yang berubah cepat.
Namun, pada umumnya para Arsitek kurang memperhatikan pengembangan konsep perancangan
dalam menyelesaikan suatu rancangan.

Pembaharuan konsep perancangan tidak berarti pembaharuan komponen bangunan yang ditunjukkan
dengan mengambil komponen dari berbagai macam lapangan bangunan lain. Hal ini menjurus pada
ungkapan ‘arsitektur eklektis’. Penggunaan tiang Yunani dan jendela Spanyol yang banyak bermunculan
dan bertahan akhir-akhir ini merupakan petunjuk adanya perkembangan yang demikian itu. Keadaan
semacam itu tentunya kurang menguntungkan bagi usaha mencari arsitektur berkepribadiaan
Indonesia. Sebuah teguran dari Van Romond (1950) dalam pidato Ronald, mengatakan bahwa:

Para arsitek Indonesia hendaknya berani memutuskan diri untuk bertindak mundur sejenak, hingga
menemukan suatu perwujudan dalam bentuk yang paling sederhana dari bentuk bangunan di masa
lampau. Sebab dengan melakukan tindakan ini berarti akan memperoleh kesempatan untuk
memperbaharui gagasan-gagasan dan kemudian akan dapat menemukan kembali bentuk yang jauh
lebih baik dan lebih khas.

Dengan perkataan lain, kalau ingin maju dengan pesat, hendaknya mau mundur barang selangkah
sebagai awalan melakukan loncatan yang lebih jauh. Cepatnya pertumbuhan penduduk, kecepatan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta terbatasnya sumber daya alam mengharuskan
para Perencana dan arsitek untuk segera menjawab tantangan tadi.

Perkembangan keanekaragaman kebutuhan fasilitas, masih adanya masalah kemiskinan serta distribusi
yang belum sesuai, merupakan beberapa tantangan utama yang perlu diperhtikan para Arsitek
Indonesia. Usaha perbaikan fasilitas umum dan permukiman pada dasarnya merupakan kegiatan yang
strategis dalam pembangunan. Untuk itu, seyogyanya konsep perancangan bangunan serta perencanaan
lingkungan dan wilayah mendapat perhatian khusus, agar pembangunan dapat mendukung pembinaan
budaya dan peradaban bangsa.

Perkembangan arsitektur nampak berjalan begitu mulus tanpa ada penyaring sebagai akibat apa yang
terjadi untuk sementara ‘dipersilakan masuk’, sehingga bisa dikatakan ada perubahan nilai untuk
menghilangkan ‘jatidiri’-nya. Hal ini sebagai akibat proses modernisasi, yang bilamana tidak dikendalikan
dengan baik, dapat menimbulkan ‘krisis identitas’. Krisis ini terjadi karena terganggunya keakraban
manusia dengan ruang. Dengan demikian, walau ruang tidak mengalami perubahan, namun digunakan
dengan fungsi yang sangat berbeda. Untuk itu, tata nilai yang berlaku akan mengalami perubahan dan
menjadi sumber konflik antara yang lama dengan yang baru.

Timbul keprihatinan dalam diri beberapa pihak yang mempertanyakan apakah arsitektur seperti itu akan
menjadi arah perkembangan arsitektur Indonesia. Prijotomo dalam bukunya Pasang Surut Arsitektur di
Indonesia mempertanyakan: “Tahukah Anda bahwa kesemuanya itu telah dimiliki sejak 1970-an? Tapi
kenapa perjalanan meng-Indonesia-kan arsitektur masih pusing tujuh keliling?”
Beberapa kemungkinan ini adalah jawaban dari pertanyaan tadi, yaitu:

Pertama, konon dikatakan oleh Arsitek bahwa pasaran arsitektur masih menggemari yang ‘barat’
ketimbang yang tradisional.

Kedua, lembaga pendidikan arsitektur belum melakukan penafsiran, karena belum mampu bicara soal
ruang dan rupa arsitektur tradisional Indonesia. Arsitektur ini masih diletakkan dalam kerangka
antropologis dan kebudayaan, belum diletakkan dalam kerangka arsitektur itu sendiri.

Ketiga, kurangnya gairah Arsitek profesional dan Pendidik untuk meletakkan arsitektur tradisional itu
sebagai sumber praktek dan sumber pengajaran.

Keempat, ada pihak-pihak yang sengaja menyembunyikan pengetahuan dan kemampuannya dalam hal
arsitektur tadi. Penggunaan apa yang dimilikinya oleh pihak lain demi pengembangan arsitektur tadi
dicurigainya sebagai pengambil-alihan pengetahuan dan kemampuan.

Kelima, belum tumbuhnya sikap Arsitek Indonesia dalam melihat arsitektur modern itu sendiri. Tafsiran,
alih ragam, modifikasi ataupun penyederhanaan haruslah menjadi bagian yang tak terpisah dari sebutan
tradisional pada arsitektur daerah kita.

KESIMPULAN

Sikap Arsitek harus berubah, karena seorang Arsitek bukan hanya menuangkan sebuah misi ke dalam
perencanaan saja, namun harus memahami reaksi manusia yag terlibat guna dicarikan pemecahannya
bila akan timbul konflik. Sebenarnya, tugas Arsitek belum berakhir sampai dengan rencana ‘blueprint’
saja. Walau proyek telah selesai dibangun, bahkan telah diresmikan, Arsitek masih berkewajiban paling
tidak secara etis sampai dengan obyek tersebut benar-benar berfungsi. Dalam hal ini si Arsitek
berfungsi sebagai moderator untuk duduk dalam satu meja demi terselenggaranya peran masing-masing
disiplin ilmu dengan baik. Dengan demikian, dibutuhkan arsitek-arsitek yang komunikatif dan peka
terhadap masalah-masalah kultural, kuat dalam penelitian lapangan serta berani melepaskan konsep-
konsep ruang yang standar dan berani mengusulkan sesuatu yang orisinil.
Pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat di lingkungan masyarakat merupakan
hal yang perlu dilakukan oleh Arsitek sebagai dasar pijak dalam menciptakan karya arsitekturalnya.
Dengan demikian, hasil yang diwujudkan akan merupakan arsitektur yang akrab dengan lingkungannya
serta mudah dicerna apa makna dan pesan yang disampaikannya. Warisan arsitektur tradisional akan
sangat bermanfaat sebagai sumber untuk memperoleh inspirasi dan inovasi dalam mendorong imajinasi
para arsitek. Dalam hal ini diperlukan kemampuan kreativitas untuk menjabarkan rambu-rambu
tradisional, agar karya yang dihasilkan tidak terjebak pada bentuk-bentuk yang monoton, tetapi justru
perlu memberikan peluang pada unsur-unsur kontradiksi dan konflik yang harus diwadahi dalam
bentukan-bentukan yang unik.

DAFTAR PUSTAKA

Atmadi, Parmono., Bismo Sutedjo, Eko Budihardjo, Sidharta. 1997. Per-kembangan Arsitektur dan
Pendidikan Arsitek di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Goot Fied, H and Jenings, Jac. 1985. American Vernacular Design 1870-1940. Von Nostrad Reinhold
Company.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Koentjaraningrat. 1993. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

Kuntowijoyo, 1987. Budaya Masyarakat. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.

Moore, Gary T. 1984/1979. Pengkajian Lingkungan Perilaku. dalam Snyder. Pengantar Arsitektur.
Jakarta: PT. Gramedia.

Prijotomo, Josef. 1995. Pasang Surut Arsitektur di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rapoport, Amos. 1969. House Form and Culture. New Jersey: Precentice Hall, Inc. Englewood Cliffs.

_____________. 1979. Development, Culture Change and Supportive Design. Milwauke: University of
Wisconsin.

Anda mungkin juga menyukai