Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PERMASALAHAN

PENDIDIKAN INKLUSIF INDONESIA

Disusun Oleh:
Brilyan Ramadhan Habib Pricanta

K3518016

Prodi : Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2020

Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Permasalahan Pendidikan Inklusif ini
tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Inklusif. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang [topik makalah] bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
24 November 2020
Penulis
Bab 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan Inklusif merupakan salah satu pendidikan yang diselenggarakan oleh
negara dengan tujuan untuk pemerataan pendidikan. Dimana bukan hanya orang biasa
saja yang bisa mengenyam bangku pendidikan, namun sebagai orang menyandang
kebutuhan khusus juga dapat merasakan bangku pendidikan. Sehingga, mereka tetap
bisa menggali potensi dan kemampuan dalam diri, serta menyetarakan dan tidak
membeda bedakan antara orang biasa maupun yang memiliki kebutuhan khusus.

Pendidikan merupakan suatu kebutuhan dasar bagi setiap manusia untuk dapat
menjamin keberlangsungan hidup agar lebih bermartabat. Dalam hal ini, negara
berkewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang layak dan bermutu
kepada setiap warganya tanpa terkecuali, termasuk pada warganya yang berkebutuhan
khusus atau menyandang disabilitas. Hal ini seperti yang tertuang dalam Undang
Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 yang menetapkan bahwa setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan dan hal tersebut juga tercantum dalam pembukaan UUD
1945 bahwa pemerintah akan melindungi segenap warga negara dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2016, penyandang


disabilitas memiliki hak yang sama dalam hal pendidikan. Salah satu hak penyandang
disabilitas meliputi hak mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan
pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus.
Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada semua siswa yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran
dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan siswa pada
umumnya. Pendidikan inklusif menghendaki jaminan pendidikan bagi semua siswa
tanpa terkecuali. Namun, pendidikan inklusif di Indonesia tidak dapat diterapkan
secara maksimal. Data tahun 2010 menunjukkan bahwa ada 70% Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) yang tidak memperoleh jaminan pendidikan. Kondisi tersebut
disebabkan oleh banyak permasalahan penyelenggaran pendidikan inklusif di
antaranya: pemahaman dan kemampuan menerapkan pendidikan inklusif yang
rendah, kurikulum yang masih kaku, kurangnya anggaran, paradigma masyarakat
yang kurang kondusif, dan praktik korupsi di lingkungan pendidikan. Masalah-
masalah tersebut pada dasarnya berakar pada rendahnya komitmen dan kemampuan
para praktisi dan para pengambil kebijakan pendidikan. Kegiatan studi banding dan
pelatihan dapat menjadi solusi untuk mengatasi akar masalah pendidikan inklusif di
Indonesia. Studi banding ke negara-negara yang sukses dalam menyelenggarakan
pendidikan inklusif dapat meningkatkan kesadaran dan wawasan mengenai
pendidikan inklusif. Selain studi banding, kegiatan pelatihan juga dapat menjadi
solusi untuk meningkatkan kemampuan dan komitmen para praktisi dan para
pengambil keputusan pendidikan. Komitmen para praktisi dan pengambil kebijakan
dapat meningkat apabila program pelatihan pendidikan inklusif memuat internalisasi
nilai-nilai inklusif.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja pemasalahan yang ada dalam penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di
Indonesia?
2. Bagaimana implementasi pendidikan inklusif pada Indonesia dan fakta yang
terjadi sesungguhnya?
3. Hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan pendidikan sekolah inklusif di
Indonesia?

C. Batasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dan pemberian solusi, maka permasalahan akan
lebih di spesifikasikan. Permasalahan hanya terfokus pada pendidikan sekolah
inklusif di daerah.

D. Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Inklusif
2. Untuk memberikan wawasan dan pengalaman baru dalam ruang lingkup
pendidikan inklusif
3. Mengetahui akar masalah yang sedang dihadapi dalam lingkup pendidikan
inklusif
4. Memberikan solusi konkret yang diharapkan mampu membantu mengurangi
permasalahan yang ada.

Bab 2
PEMBAHASAN

A. Akar Permasalahan Pendidikan Inklusif


Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran
dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada
umumnya (Permendiknas No. 70 Tahun 2009 Ps 1). Pendidikan inklusif dirancang
untuk menghargai persamaan hak masyarakat atas pendidikan tanpa membedakan
usia, jender, etnik, bahasa, kecatatan, dll. Pendidikan inklusif mulai ramai dibicarakan
setelah adanya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi
dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok. Hasilnya ialah deklarasi ialah
education for all atau pendidikan untuk semua. Sebagai tindak lanjut Deklarasi
Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca
Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal
dengan ’The Salamanca Statement on Inclusive Education’. Dokumen ini mengakui
hak asasi dari semua anak-anak untuk pendidikan yang inklusif. Ada 193 negara yang
telah menandatangani Konvensi tentang Hak-hak Anak dan juga telah setuju untuk
terikat dengan isi dari konvensi ini. Hasilnya, beberapa negara telah membuat
kemajuan yang signifikan terbukti dari cara setiap negara mempromosikan pendidikan
inklusif dalam perundang-undangan nasional mereka, contohnya termasuk Kanada,
Siprus, Denmark, Islandia, India, Luksemburg, Malta, Belanda, Norwegia, Afrika
Selatan, Spanyol, Swedia, Uganda, Inggris, Amerika Serikat, dan Italia. Selain itu,
Hukum yang ada di negara Italia telah mendukung pendidikan inklusif sejak tahun
1970-an (Lukman Hidayat, 2010). Di Indonesia, proses menuju pendidikan inklusif
dimulai pada awal tahun 1960-an oleh beberapa orang siswa tunanetra di Bandung
dengan dukungan organisasi pada tunanetra sebagai satu kelompok penekan.
Sejumlah pemuda tunanetra bersikeras untuk memperoleh tingkat pendidikan lebih
tinggi dengan mencoba masuk SMA biasa meskipun ada upaya penolakan dari pihak
SMA itu. Pada akhir tahun 1970-an pemerintah mulai menaruh perhatian terhadap
pentingnya pendidikan integrasi dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri
Pendidikan nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat.
Sayangnya, ketika proyek pendidikan integrasi itu berakhir, implementasi pendidikan
integrasi semakin kurang dipraktikkan. Menjelang akhir tahun 1990-an upaya baru
dilakukan lagi untuk mengembangkan pendidikan inklusif melalui proyek kerjasama
antara Depdiknas dan pemerintah Norwegia di bawah manajemen Braillo Norway dan
Direktorat PLB. Agar tidak mengulangi kesalahan di masa lalu dengan program
pendidikan integrasi yang nyaris mati, perhatian diberikan pada sustainabilitas
program pengimplementasian pendidikan inklusif (Firdaus, 2010:7)

Saat ini, implementasi pendidikan inklusif di Indonesia mengalami kemrosotan. Data


dari tahun 2005 hingga tahun 2007 menunjukkan bahwa selisih antara jumlah sekolah
inklusif dan jumlah siswa semakin besar. Pada tahun 2005 jumlah siswa 6000 orang
dan jumlah sekolah inklusif 504 sekolah. Pada tahun 2006 jumlah siswa 9.492 dan
jumlah sekolah inklusif sebanyak 600 sekolah. Sedangkan pada tahun 2007, jumlah
siswa mencapai 15.181 tetapi jumlah sekolah inklusif hanya mencapai 796 sekolah.
Sementara itu, jumlah penyandang cacat usia sekolah di Indonesia 1,5 juta, maka
jumlah anak yang berkelainan yang terlayani oleh sekolah inklusif baru mencapai 1
%. Jumlah SD inklusif hanya mencapai 0,44% (Sunaryo, 2009:8). Hingga pada tahun
2008, jumlah sekolah inklusif secara nasional dari SD hingga SMA hanya 254
sekolah. Meskipun kegiatan sosialisasi, pemberian bantuan operasional, dan pelatihan
telah banyak dilakukan, tingkat penerimaan sekolah reguler untuk menerima Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) masih sangat rendah. Pada tahun 2010 angka partisipasi
murni ABK untuk jenjang pendidikan dasar baru mencapai 30% (http://www.pk-
plk...-terima.html). Dengan demikian, jumlah ABK yang belum merasakan jaminan
pendidikan masih cukup banyak, yaitu 70%. Dika (2010) mengungkapkan hambatan-
hambatan yang tengah dihadapi dalam implementasi pendidikan inklusif sebagai
berikut: 1. Kurikulum yang tersusun kaku dan kurang tanggap terhadap kebutuhan
anak yang berbeda. Banyak negara mendorong kebutuhan pendidikan dasar tanpa
memerhatikan isu pendidikan anak berkebutuhan khusus. Namun, pendidikan inklusi
tidak kemudian mensyaratkan kurikulum yang terpisah karena itu justru akan
menciptakan segregasi.Kurikulum pendidikan inklusi harus masuk dalam kurikulum
arus utama. Inisiatif para stakeholders, guru dan sekolah, serta masyarakat masih
parsial terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusi, sehingga akses Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) mengenyam pendidikan masih begitu sempit. 2.
Kebijakan yang kurang mendukung. Kebijakan pemerintah tidak memisahkan
komponen pendidikan khusus ini, harusnya tidak lagi dibedakan. Pendidikan inklusi
sudah bukan lagi tambahan, tetapi masuk dalam pengaturan umum. 3. Kurangnya
ketersediaan anggaran. Minimnya anggaran yang disediakan pemerintah adalah sisi
lain akibat tidak adanya dukungan kebijakan pemerintah. 4. Dukungan Sumber Daya
Manusia (SDM). 5. Paradigma/Pandangan Masyarakat Terhadap Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi memang tidak popular dalam masyarakat. Masyarakat hanya
disibukan dengan urusan meningkatkan kualitas pendidikan secara horizontal maupun
vertical. Sehingga anak bangsa yang memiliki kebutuhan yang terbatas ini sering
termarginalkan (kaum yang tersisih). Pelayanan pendidikan ini memang memerlukan
sarana dan prasarana yang cukup besar tapi bukan berarti harus ditinggalkan karena
mereka mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Kita harus
meninggalkan persepsi konvensional bahwa anak dengan berkebutuhan terbatas
misalnya untuk anak tuna netra hanya dicetak menjadi Tukang Pijat.
B. Isu-isu yang Dihadapi
Berdasarkan hasil penelitian Sunardi (dalam Sunaryo, 2009:10-12) terhadap 12
sekolah penyelenggara inklusif, secara umum saat ini terdapat lima kelompok issue
dan permasalahan pendidikan inklusi di tingkat sekolah yang perlu dicermati dan
diantisipasi agar tidak menghambat, implementasinya tidak bias, atau bahkan
menggagalkan pendidikan inklusi itu sendiri, yaitu: pemahaman dan
implementasinya, kebijakan sekolah, proses pembelajaran, kondisi guru, dan support
system. Salah satu bagian penting dari support system adalah tentang penyiapan anak.
Selanjutnya, berdasar isu-isu tersebut, permasalahan yang dihadapi adalah sebagai
berikut:

1. Pemahaman inklusi dan implikasinya


a. Pendidikan inklusif bagi anak berkelainan/penyandang cacat belum dipahami
sebagai upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan. Masih dipahami
sebagai upaya memasukkan disabled children ke sekolah regular dalam rangka
give education right dan kemudahan access education, dan againt
discrimination.
b. Pendidikan inklusi cenderung dipersepsi sama dengan integrasi, sehingga
masih ditemukan pendapat bahwa anak harus menyesuiakan dengan sistem
sekolah.
c. Dalam implementasinya guru cenderung belum mampu bersikap proactive dan
ramah terhadap semua anak, menimbulkan komplain orang tua, dan
menjadikan anak cacat sebagai bahan olok-olokan. 

2. Kebijakan sekolah
a. Sekalipun sudah didukung dengan visi yang cukup jelas, menerima semua
jenis anak cacat, sebagian sudah memiliki guru khusus, mempunyai catatan
hambatan belajar pada masing-masing ABK, dan kebebasan guru kelas dan
guru khusus untuk mengimplementasikan pembelajaran yang lebih kreatif dan
inovatif, namun cenderung belum didukung dengan koordinasi dengan tenaga
profesional, organisasi atau institusi terkait.
b. Masih terdapat kebijakan yang kurang tepat, yaitu guru kelas tidak memiliki
tangung jawab pada kemajuan belajar ABK, serta keharusan orang tua ABK
dalam penyediaan guru khusus. 
3. Proses pembelajaran
a. Proses pembelajaran belum dilaksanakan dalam bentuk team teaching, tidak
dilakukan secara terkoordinasi.
b. Guru cenderung masih mengalami kesulitan dalam merumusakan flexible
curriculum, pembuatan IEP, dan dalam menentukan tujuan, materi, dan
metode pembelajaran.
c. Masih terjadi kesalahan praktek bahwa target kurikulum ABK sama dengan
siswa lainnya serta anggapan bahwa siswa cacat tidak memiliki kemampuan
yang cukup untuk menguasai materi belajar.
d. Karena keterbatasan fasilitas sekolah, pelaksanaan pembelajaran belum
menggunakan media, sumber dan lingkungan yang beragam sesuai kebutuhan
anak.
e. Belum adanya panduan yang jelas tentang sistem penilaian. Sistem penilaian
belum menggunakan pendekatan yang fleksibel dan beragam. f. Masih
terdapat persepsi bahwa sistem penilaian hasil belajar ABK sama dengan anak
normal lainnya, sehingga berkembang anggapan bahwa mereka tidak
menunjukkan kemajuna belajar yang berarti. 

4. Kondisi guru
a. Belum didukung dengan kualitas guru yang memadai. Guru kelas masih
dipandang not sensitive and proactive yet to the special needs children.
b. Keberadaan guru khusus masih dinilai belum sensitif dan proaktif terhadap
permasalahan yang dihadapi ABK.
c. Belum didukung dengan kejelasan aturan tentang peran, tugas dan tanggung
jawab masing-masing guru.
d. Pelaksanaan tugas belum disertai dengan diskusi rutin, tersedianya model
kolaborasi sebagai panduan, serta dukungan anggaran yang memadai.
5. Sistem dukungan
a. Belum didukung dengan sistem dukungan yang memadai. Peran orang tua,
sekolah khusus, tenaga ahli, perguruan tinggi - LPTK PLB, dan pemerintah
masih dinilai minimal. Sementara itu fasilitas sekolah juga masih terbatas.
b. Keterlibatan orang tua sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam pendidikan
inklusi, belum terbina dengan baik. Dampaknya, orang tua sering bersikap
kurang peduli dan realistik terhadap anaknya.
c. Peran SLB yang diharapkan mampu berfungsi sebagai resource centre bagi
sekolah-sekolah inklusi di lingkungannya, belum dapat dilaksanakan secara
optimal, baik karena belum adanya koordinasi dan kerja sama maupun alasan
geografik. Peran ahli yang diharapkan dapat berfungsi sebagai media
konsultasi, advokasi, dan pengembangan SDM sekolah masih sangat minimal.
LPTK PLB dalam diseminasi hasil penelitian, penelitian kolaborasi maupun
dalam implementasi terhadap hasil-hasil penelitaian belum dapat diwujudkan
dengan baik. Peran pemerintah yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam
mendorong implementasi inklusi secara baik dan benar melalui regulasi aturan
maupun. 

Rudiyati (2011:17) mengungkapkan bahwa kompetensi guru dalam sekolah


inklusif belum memadai. Kompetensi guru yang belum memadai pada sekolah
inklusif mencakup kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial dan profesional.

Komponen kompetensi pedagogik, yang antara lain: menguasai karakteristik


peserta didik yang berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus dari aspek fisik,
moral, sosial, cultural, emosional, dan intelektual. Pada umumnya guru sekolah
inklusif belum secara memadai melakukan identifikasi dan atau asesmen terhadap
karakteristik peserta didik yang berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus. Hal
ini masih dilakukan sepenuhnya oleh Guru Khusus/ Guru Pembimbing Khusus;
yang seharusnya dilakukan bersama-sama; sehingga hasil identifikasi dan asesmen
tersebut dapat ditindaklanjuti dengan penyusunan rencana pendidikan individual
bagi anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus yang bersangkutan.
Pelaksanaan program pendidikan individual bagi anak berkelainan/berkebutuhan
pendidikan khusus dilakukan secara bersama oleh guru umum/reguler dan Guru
Pendidikan Khusus/Guru Pembimbing Khusus di kelas reguler/inklusif maupun di
ruang sumber/ruang bimbingan khusus. 
Komponen kompetensi kepribadian, antara lain: menampilkan diri sebagai pribadi
yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat; serta
dalam memperlakukan peserta didik yang berkelainan /berkebutuhan khusus. Pada
umumnya para guru umum/reguler dalam sekolah inklusif cenderung melindungi
secara berlebihan terhadap anak berkelainan/ berkebutuhan pendidikan khusus;
atau sebaliknya mengangap bahwa mereka tidak mampu mengikuti kegiatan
pembelajaran, sehingga kurang melibatkan yang bersangkutan secara aktif dalam
kegiatan belajar mengajar. 

Komponen kompetensi sosial, antara lain: bersikap inklusif, bertindak objektif,


serta tidak diskriminatif terhadap peserta didik yang berkelainan/ berkebutuhan
pendidikan khusus; karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik,
latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi. Pada umumnya para guru
umum/reguler dalam sekolah inklusif masih cenderung tidak objektif dan
diskriminatif dalam memberikan kesempatan berpartisipasi dalam pembelajaran
bagi anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus. 

Komponen kompetensi profesional, antara lain: mengembangkan materi


pembelajaran yang diampu secara kreatif; mengembangkan keprofesionalan
secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif; dan memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan
diri dalam pembelajaran peserta didik yang berkelainan/berkebutuhan pendidikan
khusus. 

Selain itu, maraknya praktik korupsi tentu menghambat implementasi pendidikan


inklusif yang optimal. Di tingkat pusat, praktik korupsi sungguh memprihatinkan
karena merugikan keuangan negara yang tidak sedikit. Suyatno (2012)
mengungkapkan bahwa pada tahun 2012 ini anggaran pendidikan meningkat
menjadi Rp. 286,56 triliun atau sekitar 20,20% dari total APBN Rp 1.418,49
triliun (tahun 2011 anggaran pendidikan 248,98 triliun atau 20,25 persen dari total
APBN Rp. 1.229,56 triliun). Tapi berapa persen anggaran yang betul-betul
termanfaatkan sekolah-sekolah dan dapat dinikmati siswa untuk meningkatkan
pendidikan? Dana dan sumber daya yang demikian besar ternyata bukan untuk
membangun dunia pendidikan Indonesia, tapi patut diduga masuk kantong oknum
pejabat, oknum anggota DPR dan makin membesarkan kekuatan keluarga mafia
(yang entah sengaja atau tidak) menyebabkan hancurnya negara ini dengan adanya
kehancuran dunia pendidikan. Dari beberapa berita tampak, misalnya Dana
Alokasi Khusus (DAK) di suatu kabupaten yang nilainya 140 M, sebesar 70 M
diduga menguap alias dikorupsi.

C. Solusi Permasalahan
Uraian di atas memberikan gambaran yang cukup jelas bahwa pelaksanaan
pendidikan inklusi di Indonesia masih dihadapkan kepada berbagai isu dan
permasalahan yang cukup kompleks. Permasalahan yang muncul bukan hanya di
tingkat sekolah saja tetapi di tingkat pusat pun sudah bermasalah. Di tingkat sekolah,
tidak semua guru dan kepala sekolah memahami dan mampu menerapkan pendidikan
inklusif. Akibatnya kebijakan sekolah menjadi tidak tepat, dan proses pembelajaran
menjadi tidak efektif. Sementara itu para pembuat kebijakan di tingkat “atas” malah
berebut uang negara lewat jalan korupsi. Pada dasarnya akar masalah pendidikan
inklusif di Indonesia ialah terkait dengan rendahnya komitmen dan kemampuan para
praktisi dan pengembil kebijakan pendidikan. Komitmen dalam menyelenggarakan
pendidikan inklusif harus diperbaiki. Perlu adanya kesadaran yang mendalam tentang
pentingnya penyelenggaraan pendidikan inklusif secara bersih tanpa ada niatan kotor.
Selain komitmen, akar permasalahan pendidikan inklusif ialah rendahnya kemampuan
praktisi dan pemerintah. Praktisi kurang mampu menyelenggarakan pendidikan
inklusif dan pemerintah kurang mampu dalam memonitor pendidikan inklusif.

Monitoring dan evaluasi (monev) pendidikan inklusif merupakan hal penting


mengingat hasil monev dapat dijadikan rujukan dalam membuat langkah-langkah
strategis. Selain itu, hasil monev merupakan bahan untuk peninjauan kembali
kebijakan di tingkat sekolah, perumusan model-model inklusif, penggiatan program
pendampingan, pemberdayaan LPTK PLB sebagai pusat sumber dan dalam
pendampingan, mengganti pola penataran pelatihan guru dari model ceramah kepada
model lesson study atau minimal memasukkan lesson study sebagai bagian inti dari
penataran-pelatihan guru, pembuatan buku-buku pedoman, serta menggalakkan
program sosialisasi dan desiminasi. Komitmen dan kemampuan para praktisi dan
pengambil keputusan harus diperbaiki untuk mengatasi masalah penyelengaraan
pendidikan inklusif. Komitmen penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat
ditingkatkan melalui upaya melibatkan stakeholder dalam setiap pengambilan
keputusan, penegakan hukum, dan internalisasi nilai-nilai inklusif. Nilai-nilai inklusif
misalnya; persamaan hak, pendidikan untuk semua, penghargaan, dll.

Sementara itu, kemampuan dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif dapat


ditingkatkan melalui studi banding dan program pelatihan.. Misalnya studi banding ke
propinsi Anhui, Cina. Pelatihannya perlu dilakukan di Indonesia agar lebih
memahami kondisi nyata di Indonesia.

Menurut Stubbs (2002:71-72), propinsi Anhui di Cina merupakan contoh yang baik
untuk kebijakan pemerintah yang memfasilitasi inklusif. Anhui adalah satu propinsi
yang miskin dengan penduduk 56 juta orang, dan untuk mencapai pendidikan untuk
semua, mereka mengakui bahwa anak-anak penyandang cacat perlu diinklusikan.
Program perintis pendidikan inklusif di Anhui mendorong terjadinya perubahan-
perubahan:
1. Anak belajar aktif
2. Terjalin kerjasama yang lebih erat dengan keluarga
3. Dipergunakan pendekatan seluruh sekolah dan dukungan belajar antar teman
sebaya
4. Dukungan dari administrator dan masyarakat setempat melalui pembentukan
komita
5. Pelatihan guru berbasis sekolah yang berkesinambungan
6. Pengintegrasian anak tunagrahita secara bertahap.
Bab 3
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan pendidikan inklusif belum menunjukan hasil yan memuaskan
2. Terdapat banyak kendala yang harus dihadapi untuk mengoptimalkan pendidikan
iklusif
3. Akar permaslahan pendidikan inklusif ialah kurangnya komitmen sekaligus
kemampas para praktisi dan pengambil kebijakan pendidikan.
4. Solusi yang dapat dilakukan ialah menyelenggarakan pelatihan dan studi banding
bagi praktisi dan pengambil kebijakan pendidikan ke negara negara yang sukses
dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif.

B. Saran
Beberapa saran yang bisa dilakukan :
1. Mengoptimalkan pendidikan inklusif
2. Memperbaiki semua sistem, proses, dan semua hal yang mendukung dalam
pembentukan pendidika inklusif.
3. Berusaha untuk terus melakukan evaluasi diri dalam mewujudkan pendidikan
inklusif yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Pendidikan Inklusi Masih Banyak Kendala, (Online), Available at:
http://www.ykai.net/index.php?option=com_content&view=article&id=499:pendidikan-
inklusi-masih-banyakkendala&catid=117:terkini&Item id=136, diakses 23 September 2020. 

Dika. 2010. Pendidikan Inklusi, (Online). Available at: http://dika96.


wordpress.com/2010/11/29/pendidikan-inklusi/. Diakses pada tanggal 23 September 2020.

Firdaus, Endis. Pendidikan Inklusif dan Implementasinya di Indonesia. Disampaikan dalam


Seminar Nasional Pendidikan di Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto, 24
Januari 2010. 

Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang
Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. 

PK-PLK. 2012. Kepala Daerah Terima Inclusive Education Award bersama Tokoh
Pendidikan Lainnya, (Online). Available at: http://www.pk-plk.com/2012/09/siaran-pers-9-
kepala-daerah-terima.html#!/2012/09/siaran-pers-9-kepala-daerah-terima.html. Diakses pada
tanggal 23 September 2020. 

Sunaryo. 2009. Manajemen Pendidikan Inklusif. Makalah Jurusan PBL. Bandung: UPI.
Suyatno. 2012. Benang Kusut Pendidikan Indonesia, (Online). Available at:
http://www.umm.ac.id/en/detail-4-benang-kusut-pendidikan-indonesia-opini-umm.html.
Diakses 23 September 2020. 

Anda mungkin juga menyukai