Anda di halaman 1dari 14

“AlMISKIN DALAM ALQURAN”

Disampaikan pada seminar kelas mata kuliah

TAFSIR MAUDHU’IY

Oleh;
Muhaeminah

Dosen Pemandu;
Dr. Dudung Abdullah, M.Ag.
Dr. Hj. Aisyah Arsyad, M.A.

PROGRAM PASCASARJANA (S3)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN

MAKASSAR
2020

0
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keadaan kaya dan miskin merupakan sunnatullah. Allah menciptakan

segalanya dengan berpasang-pasangan.1 Akan tetapi, Allah tidak menentukan

siapa yang akan menjalani kehidupan yang kekurangan (miskin) itu dan siapa pula

yang akan hidup dalam keadaan serba kecukupan. Allah memberikan anugerah

yang berbeda-beda kepada setiap individu, yaitu sebagian dilebihkan daripada

sebagian yang lain agar dapat saling mengisi kekurangan masing-masing. Ada

yang dianugrahi fisik yang kuat ada pula yang lemah, ada yang diberikan

kecerdasan yang tinggi ada juga yang diberikan kecerdasan yang rendah, ada yang

diberikan cacat fisik dan mental ada juga yang sebaliknya. Namun, fisik yang

kuat, kecerdasan yang tinggi, dan kelebihan lainnya tidaklah menjadi jaminan

untuk dapat hidup dalam kesejahteraan.

Berbagai macam perbedaan yang terjadi pada tiap individu itu adalah wajar

jikalau mengakibatkan perbedaan-perbedaan kemampuan dalam memenuhi

kebutuhan hidup masing-masing. Ada yang mampu menghasilkan penghasilan

yang lebih atau cukup ada pula yang kurang bahkan ada yang sama sekali tidak

dapat menghasilkan apa-apa. Kelompok yang disebutkan terakhir inilah yang

sering disebut dengan orang-orang miskin.

Kemiskinan merupakan kondisi hidup yang sangat memberatkan bagi yang

menanggungnya. Kamiskinan juga dapat mengancam jiwa manusia, sehingga apa

saja dapat dipertaruhkan termasuk akidah sekalipun. Karena itu, Islam tidak

mungkin dapat menutup mata dari kasus ini karena ia menyangkut dengan

keselamatan jiwa manusia. Namun, persoalannya adalah bagaimana konsepsi

1
QS. Yasin 36: 36.
2

Alquran (Islam) dalam menganani masalah ini, setidak-tidaknya dapat

menguranginya. Inilah yang akan menjadi kajian kita pada makalah ini.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana defenisi miskin?

2. Bagaimana eksistensi miskin di dalam Alquran?

3. Bagaimana solusi miskin menurut Alquran?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Miskin

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, miskin berarti tidak berharta benda;

serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah) dan 'kemiskinan' berarti hal

miskin atau keadaan miskin.2 Kata lain yang hampir sama menggambarkan

keadaan seperti ini adalah fakir yang berarti orang yang sangat kekurangan atau

orang yang terlalu miskin; orang yang sengaja membuat dirinya dalam serba

kekurangan untuk mencapai kesempurnaan batin; aku (bagi pengarang dan lan-

lain).3

Sedangkan asal kata miskin dalam bahasa Arab berasal dari kata sakana

yang berarti diam atau tenang, sedang fakir dari kata faqr yang berarti tulang

punggung. Fakir adalah orang yang patah tulang punggungnya dalam arti bahwa

beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga "mematahkan tulang

punggungnya.4 Menurut al-Raghib al-Asfahani mengatakan bahwa al-miskin

berarti tidak memiliki apa-apa atau orang yang dihinggapi kefakiran.5

Fakir dan miskin dapat pula dijumpai secara bergandengan dalam al-Qur'an

ketika membicarakan orang-orang mustahiqqun dalam penerimaan zakat, yaitu

/pada surah al-Taubah ayat 60. Thabari secara tegas membedakan arti keduanya,

yaitu bahwa fakir adalah orang yang dalam kebutuhan tetapi dapat menjaga diri

untuk tidak meminta-minta dan miskin adalah orang yang dalam kebutuhan dan

2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besara Bahasa Indonesia,
(Jakarta:Balai pustaka), 1990. h. 587.
3
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besara Bahasa Indonesia, h. 239.
4
M. Quraih Shihab, Wawasan al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung:Penerbit Mizan), 1996. h. 449.

5
Abu al-Qasim al-Raghib al-Ashfahani, Mufradat Alfazh al-Qur’an (Beirut: Dar Al-

Ma’rifah, tth.), 237.


4

suka merengek-rengek dan meminta-minta.6 Pendapat ini didasarkan pada arti

kata maskanah yang terdapat dalam ayat ‫وضربت عليهم الذلة والمسكنة‬.7

Menurut golongan Hanafiah bahwa fakir adalah mereka yang tidak

memiliki apa-apa di bawah nilai nisab menurut hukum zakat atau nilai barang

yang mencapai satu nisab atau lebih, misalnya prabot rumah tangga dan

sebagainya yang merupakan keperluan pokok sehari-hari. Sedangkan miskin

adalah mereka yang tidak memiliki apa-apa, dan inilah yang mashur di antara

mereka.

Satu nisab bagi sebagian golongan Hanafiah adalah ukuran nisab uang dari

harta yang berbentuk apa saja dan sebagian yang lain mengatakan disesuaikan

dengan nisab yang sudah dikenal pada tiap harta.

Jadi golongan yang mustahik zakat dalam arti fakir atau miskin menurut

mereka adalah: 1) yang tidak punya apa-apa, 2) yang mempunyai rumah atau

prabot yang tidak berlebihan, 3) yang memiliki uang kurang dari satu nisab, dan

4) yang memiliki kurang dari nisab mata uang, seperti empat ekor unta, atau tiga

puluh sembilan ekor kambing yang nilainya tidak sampai dua ratus dirham.

Sedangkan menurut Jumhur fakir dan miskin adalah mereka yang tidak

tercukupi kebutuhannya. Lebih khusus lagi bahwa fakir adalah mereka yang tidak

mempunyai harta atau penghasilan yang layak dalam memenuhi kebutuhannya,

baik sandang, pangan, maupun papan serta segala kebutuhan pokok lainnya, baik

untuk keperluan diri sendiri maupun tanggungannya. Misalnya, mereka

membutuhkan sepuluh tetapi yang ada hanya dua, tiga atau empat. Miskin adalah

mereka yang mempunyai harta atau penghasilan yang layak dalam memenuhi

kebutuhannya dan kebutuhan tanggungannya, tetapi tidak sepenuhnya tercukupi.

6
Muhammad ibn Jarir al-Thabariy, Jami' al-Bayani Tafsir al-Qur’an, (Beirut:Dar al-
Fikr, 1392H/1972M, Jilid VI), h. 109--111.
7
Artinya: ... ditimpakan kepada mereka kehinaan dan kelemahan.... (QS. al-Baqarah:61
dan Ali Imran: 112).
5

Misalnya, mereka membutukan sepuluh tetapi yang dimiliki hanya ada tujuh,

delapan, atau sembilan, walaupun sudah sampai satu nisab atau lebih.8

Menurut Yusuf Qardhawi, termasuk pula fakir atau miskin mereka yang

mempunyai tempat tinggal yang layak tetapi kebutuhan hidupnya tidak

mencukupi meskipun tidak harus menjual rumahnya itu. Demikian juga mereka

yang mempunyai ladang namun penghasilannya tidak mencukupi tetap dianggap

sebagai orang fakir atau miskin. Termasuk pula mereka yang memiliki sesuatu

yang diperlukan atau dipakai seperti pakaian untuk bersolek pada hari-hari

tertentu, perhiasan, buku-buku, alat-alat untuk bekerja, dan sebagainya. Orang

yang memiliki kekayaan tetapi tidak dapat memanfaatkan kekayaannya itu karena

sesuatu hal, misalnya ditahan oleh penguasa atau berada di tempat yang jauh atau

orang yang berpiutang lebih dari satu nisab tetapi tidak dapat dipergunakannya

juga termasuk dalam kategori fakir atau miskin.

Ali Yafi merumuskan defenisi miskin adalah barang siapa yang memiliki

harta benda atau mata pemcaharian tetap, hal mana salah satunya (harta atau mata

pencaharian) atau dua-duanya hanya menutupi seperdua atau lebih dari kebutuhan

pokoknya, misalnya ditetapkan indeks dengan angka 10, maka seseorang yang

memiliki atau memperoleh penghasilan lima hingga 9 itulah dia yang digolongkan

sebagai orang miskin. Dalam hal ini tidak termasuk adanya ia memiliki tempat

tinggal, pelayan, pakaian, buku-buku ilmu pengetahuan, dan harta benda yang

berada di tempat yang jauh atau hartanya itu terkait dengan suatu waktu tertentu

sehingga tidak berada dalam kekuasaannya."9

Dari sejumlah definisi yang dikemukakan di atas, setidak-tidaknya

kemiskinan itu meliputi:

1. tidak mempunyai apa-apa, baik harta maupun mata pencaharian;

2. memiliki harta yang nilainya kurang dari satu nisab;


8
Yusuf Qardhawi, Jami' al-Bayani Tafsir al-Qur’an hlm.547--8.
9
K.H. Ali Yafi. menggagas Fiqih Sosial:Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi, hingga
Ukhuwah. (Bandung:Mizan, 1995), h. 170--171.
6

3. tidak terpenuhinya kebutuhan pokok bagi diri sendiri, keluarga, dan orang yang

menjadi tanggungannya, meskipun memiliki harta mencapai nilai satu nisab

atau lebih;

4. hanya memiliki harta yang diperlukan dan dipergunakan sehari-hari.

B. Eksistensi Miskin dalam Alquran

Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata yang sepadan dengan

makna miskin dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang sepadan dengan

kata miskin diantaranya adalah al-masakin, al-fuqarai, al-ba’sau, as-sail,

al-‘ailah, adh-dhu’afau, al-mahrum, dan al-imlaq.

Kata ‫المس اكين‬ (al-masakin) merupakan sighat muntahal jumu’ dari

isim mufrad al-miskin yang artinya adalah orang yang faqir atau miskin.

Sedangkan kata al-fuqarai merupakan jamak taksir dari isim

fail faqirun yang artinya orang yang fakir. Kata fakir mengikuti wazan

“fa’ula-yaf’ulu-fu’lan” yang bermakna iftaqara (menjadi miskin). Kedua

kata ini ditemukan di dalam firman Alloh SWT surat At-Taubah ayat 60:
‫انما الصدقت للفقراء و المساكين و العاملين‬
Kata ‫الفقراء‬ dan ‫المساكين‬ diatas bermakna faqir dan miskin.

Begitu pula kata ‫البأس اء‬ (al-ba’sau) merupakan isim jamak dari

kata ‫الب ؤس‬ (al-bu’su) yang artinya kesengsaraan atau kemiskinan. Al-

Raghib al-Ashfahani menjelaskan bahwa kata al-bu’su, al-bais, dan al-

ba’sau semuanya memiliki makna kesulitan dan sesuatu yang

dibenci.10 Hal ini sebagaimana firman Alloh SWT di dalam surat Al-

Baqarah ayat 177, yaitu:

‫ و الصبرين في البأساء و الضراء و حين الب أس ــــ‬ ‫ليس البر ان تولوا ــ ـــ ــ ــ ــ‬
‫ـــ ــــ‬

10
Abu Alqasim al-Raghib al-Ashfahani, Mufrodat Alfazh al-Qur’an, h. 153.
7

Al-Imam Az-Zamakhsyari menafsiri kata ‫البأس اء‬ (al-ba’sau) diatas dengan

kata    ‫ ّدة‬hhhh‫الفقروالش‬ (al-faqru wa al-syiddatu) di mana ‫و‬ (wawu) adalah wawu

tafsir yang artinya ‫البأس اء‬ (al-ba’sau) bermakna orang yang ditimpa kefakiran

dengan derajat sangat fakir. Sedangkan kata setelahnya yakni ‫الضرّاء‬ (ad-dhorrau)

ditafsiri oleh Az-Zamakhsyari dengan ‫رض و الزمانة‬hh‫الم‬ yang artinya struk atau

lumpuh (penyakit struk).11 Artinya, kemiskinan disini dapat dipahami sebagai

akibat dari suatu bencana alam atau masa-masa perang hal ini dapat diketahui kata

adanya kata ‫الصابرين‬ (ash-shabirrina) yang ada sebelumnya, di mana kata tersebut

ditafsiri oleh Az-Zamakhsyari bahwa bersabar yang dimaksud adalah bersabar

dari masa-masa yang sulit dan di tempat perang. Sedangkan kata ‫راء‬hh‫الض‬ (ad-

dhorrau) mengindikasikan kepada kita bahwa kemiskinan dapat menimpa

seseorang karena adanya penyakit yang dideritanya.

Sedangkan kata ‫سائل‬ merupakan isim fail dari kata ‫سأل‬ (saala) yang

mengikuti wazan “fa’ala-yaf’alu-fu’aalan” yang artinya adalah orang yang

meminta (peminta-minta), hal ini misalnya ditemukan dalam firman  surat

Ad-dhuha ayat 10: 


‫و اما السائل فال تنهر‬

Kata ‫ائل‬hh‫الس‬ diatas bermakna orang miskin yang meminta-minta.

Menurut Ar-Raghib al-Ashfahani, saala berarti menginginkan (meminta)

sesuatu yaitu menginginkan atau meminta harta atau sesuatu yang

menghasilkan harta.12 Begitu pula kata ‘ailan ditemukan dalam surat ini

(ad-dhuha) ayat 8, yaitu:


‫ووجدك عائال فأغنى‬

11
Al-Imam Az-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf Juz 1, (Riyadh, Maktabah al-‘Abikani,
1997),  h. 367.
12
Abu Alqasim al-Raghib al-Ashfahani, Mufrodat Alfazh al-Qur’an, h. 153.
8

Al-Imam Az-Zamaksyari di dalam tafsir al-kasyaf menafsiri

kata  ‫عائل‬ dengan ‫يرا‬NN‫فق‬  yang merupakan sighat muballaghah yang berarti

orang yang sangat fakir.13

Kata ‫عفاء‬hh‫ض‬ merupakan isim jamak dari isim fail ‫ائف‬hh‫ض‬ (dhoifun)

merupakan isim shifah musyabah bi ismi al-fail yang memiliki makna

orang yang lemah. Hal ini misalnya terdapat di dalam firman Alloh SWT

dalam surat At-Taubah ayat 91, yaitu:


‫ليس على الضعفاء و ال على المرضى‬ 
Kata ‫الضعفاء‬ diatas bermakna orang yang lemah. Kelemahan ini bisa jadi karena

faktor badan atau usia, keadaan dirinya, maupun situasi yang berhubungan dengan

masyarakat dan pemerintahan.

Kata ‫المحروم‬ (al-mahrum) merupakan isim fail dari kata ‫حرم‬  yang

mengikuti wazan “fa’ila-yaf’alu-fi’lan” yang berarti menderita

kerugian.  Hal ini terdapat dalam firman Alloh SWT surat Al-Ma’arij ayat

25 yaitu:
h‫للسائل والمحروم‬
Kata ‫روم‬hhh‫المح‬ (al-mahrum) diatas bermakna orang yang tidak

mempunyai apa-apa  namun ia tidak mau meminta minta. Hal ini berbeda

dengan ‫السائل‬ (al-sail) yang bermakna orang miskin yang meminta-minta.

C. Sebab-Sebab Miskin dan Penanggulangannya

1. Sebab-Sebab yang Berkaitan dengan Keadaan Alam dan

Penaggulangannya.

Berkaitan dengan keadaan alam ini, Alquran menyatakan bahwa alam

semesta ini ditundukkan kepada manusia sebagaimana terdapat dalam surat al-

Jatsiayah ayat 13: “Dan Dialah yang menundukkan untukmu apa yang ada di

langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari-Ku.

13
Al-Imam Az-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf Juz 4, (Libanon,Dar al-Kutub al-Ilmiyah,

2009) h. 756.
9

Berpijak pada ayat ini dapat dinyatakan bahwa alam semesta ini

merupakan suatu sumber daya yang siap didayagunakan untuk berbagai

kepentingan manusia. Dengan catatan, karena Allah menundukkan alam tersebut,

maka pola interaksi manusia dengan alam harus diletakkan atas prinsip-prinsip

yang sejalan dengan norma-norma ketuhanan.

Di sisi lain, keadaan alam yang kuran kondusif bagi terciptanya

kesejahteraan manusia dapat pula merupakan suatu cobaan yang diberikan oleh

Tuhan. Seagaimana firman Allah: “Dan sungguh akan kami berikan cobaan

kepada kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan

buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

(Q.s. al-Baqarah: 155).

Dalam kaitan dengan ini, tampak bahwa Alquran mengajarkan sikap

optimis dalam menghadapi kondis-kondisi yang tidak kondusif bafi terwujudnya

kesehateraan hidup, sebab akhirnya semuai itu digantungkan pada sikap mental

manusia itu sendiri. Terma sabirin dalam ayat tersebut dipaparkanoleh ayat

berikutnya yaitu sebagai orang-orang yang memiliki prinsip bahwa mereka adalah

milik Allah dan kepada-Nya mereka akan kembali.

Dalam kaitannya dengan keadaan alam yang menjadi sebab terjadinya

kemiskinan, Alquran memberikan jalam pemecahan, yaitu hijrah atau usaha di

luar kawasan tempat tinggal.

Mengenai hijrah ini Alquran menyatakan: “barangsiapa berhijrah di

jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas

dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud

berhijrah di jalan Allah dan rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya

(sebelum sampai ke tempat yang dimaksud), maka sungguh telah tetap pahalanya

di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Peengampun lagi Maha Penyayang. (Q.s.

al-Nisa’:100).
10

2. Sebab-Sebab yang berkaitan dengan Kondisi Manusia Sendiri dan

Penanggulangannya

Alquran menempuh berbagai cara dalam upayanya meberikan perunjuk

kepada umat manusia. Salah satu cara tersebut adalah berupa sumpah Allah

dengan menggunakan obyek-obyek yang sangat penting. Sumpah Allah tersebut

antara lain berobyek masa, sebagaimana terdapat pada ayat 1 surat al-Ashr.

Seperti diketahui dalam kehidupan modern, salah satu prinsip yang

melandasi kemajuan di berbagai bidang adalah prinsip efisiensi. Prisnip ini

tertama berpangkal pada pemanfaatan waktu sebaik-baiknya. Dengan kata lain,

terdapat keselarasan antara kehidupan modern dengan Alquran dalam hal sama-

sama menaruh respek optimal terhadap waktu. Jika kejidupan modern telah

demikian, dapat menciptakan kesejahteraan meterial bagi umat manusia, maka

dapat dipastikan sebabnya antara lain kehidupan terseubt diletakkan atas prinsip

pemanfaatan waktu secara optimal. Ini berarti bahwa sikap mengabaikan prinsip

tersebut akan menggagalkan upaya mencuptakan kesejahteraan umat manusia.

Kegagalan demikian menuebabkan umat manusia berada pada kondisi kemiskinan

yang berkepanjangan.

Alquran juga mengajarkan dalam kondisi yang amat lemah pun manusia

harus mengaktualisasikan sisa-sisa potensi yang ia miliki. Ini terlihat dengan jelas

saat Maryam melahirkan Nabi Isa a.s. Maryam diperintah menggoyang pangkal

pohon kurma agar buahnya yang masak berguguran. Perinsip yang ingin

disampaikan Alquran melalui kisah ini adalah agar manusia memiliki kepercayaan

terhadap kemampuannya serta berusaha mengaktualisasikan sungguh-sungguh

potensi yang ia miliki, sekalipun tinggal sisa-sisanya saja.(Q.s. Maryam: 23-26).

3. Sebab-Sebab yang Berkaitan dengan Kondisi Sosial Struktural dan

Penanggu-langannya
11

Kondisi sosial yang dimaksudkan dalam hal ini adalah prilaku-prilaku

masyarakat yang berkaitan dengan harta kekayaan yang kondusif bagi terjadinya

kemiskinan. Sedangkan yang dimaksud dengan kondisi struktural adalah

tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan penguasa mengenai harta kekayaan

yang mengakibatkan terhadinya kemiskinan.

Salah satu sebab kemiskinan yang berkaitan dengan kondisi sosial ialah

terkonsentrasinya modal di tangan orang-orang kaya. Terkonsentrasinya modal di

tangan mereka menyebabkan orang-orang fakir tidak memiliki kesempatan untuk

mengaktualisasikan potensi-potensi demi meraih prestasi di bidang ekonomi.

Memiliki potensi saja tanpa didukung oleh modal sesorang tidak akan dapat

mewujudkan kesejahteraan hidupnya secata optimal. Oleh karena itu, Alquran

sangat menganjurkan agar senantiasa tidak terjadi pengkonsentrasian modal di

tangan orang-orang kaya saja (Q.s al-Hasyr: 7). Ayat kay la yakuuna duulatan

baina al-agniyaa’ (agar jangan sampai (harta) itu beredar di tangan orang-orang

kaya saja di antara kamu), menurut pakar tafsir mangandung makna agar supaya

orang-orang kaya tidak mengambil manfaat dan tidak memperkaya diri mereka

dengan benda ini, sementara orang-orang fakir menghajatkannya.24

Selain itu, Alquran juga mengecam mereka yang menimbun emas dan

perak dalam arti membiarkan harta benda tidak dibudidayakan di jalan Allah,

sebagaimana dinyatakan dalam Q.s. Taubah: 34-35. Dalam ayat tersebut, Alquran

tidak membenarkan dikap membiarkan terhentinya nilai produktif harta benda,

karena harta benda itumemunyai fungsi sosial, sekalipun hak milik individual

tetap diakui. Sikap demikian merupakan bagian dari sebab-sebab yang ikut

mempersubur terjadinya kemiskinan. Tampak bahwa al-Quran menghendaki agar

sirkulasi harta kekayaan itu didak mandeg. Dalam makna seperti inilah ungkapan

“mengeluarkan nafkah di jalan Allah” itu dimaksudkan. Makna demikian terkait

2424
Muhammad aliy al-Shabuniy, Shafwah al-Tafsiir, Juz III (Beirut: Dar al-Rasyad,

1988),h. 350.
12

dengan penyataan “meyimpan emas dan perak” pada ayat 34 surat al-Taubah di

atas.

Agar perputaran hartamasih tetap di atas prinsip fi sabiilillah, maka

aktifitas tersebut harus diletakkan pada prinsip keuntungan atau kerugian bersama

secara seimbang antara pemilik harta benda dengan masyarakat penggunanya. Ini

berarti segala bentuk eksploitasi yang merugikan di salah satu pihak dan

menguntungkan di pihak lain harus benar-benar dihindari. Salah satu bentuk

eksploitasi tersebut adalah riba.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Ashfahani, Abu Alqasim al-Raghib. Mufradat Alfazh al-Qur’an. Cet. I;


Dimasyqi: Dar al-Qalam, 1992.

Al-Suyuti, Jalal al-Din, Lubab al-Nuqul Fiy Asbab al-Nuzul, terj., K. H.


Qamaruddin Shaleh, Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis
Turunnya Ayat-ayat Al-Quran (Cet. II; Bandung: Diponegoro, 1974.

Departemen Pendidikan dan Kebudyaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia.


Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Haq, H. Hamka. Penegakan Syariat Islam di Indonesia dalam “Pidato


Pengukuhan Guru Besar” pada Fak. Ushuluddin IAIN Alauddin
Makassar, 2001.

Ma’luf, Louis. Al-Munjid fiy al-Lugah. Cet. XXI; Beirut : Dar al-Masyriq, 1977.

Al-Shabuniy, Muhammad aliy, Shafwah al-Tafsiir, Juz III Beirut: Dar al-Rasyad,
1988.

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Mawdhui atas Pelbagai


Persoalan Umat. Cet. VIII; Bandung: Mizan, 1989.

Al-Thabariy, Muhammad ibn Jarir, Jami' al-Bayani Tafsir al-Qur’an, Beirut:Dar


al-Fikr, 1392H/1972M, Jilid VI.
Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Makalah, Skripsi, Tesis,
Disertasi, dan Laporan Penelitian. Makassar: UIN Alauddin Press, 2013.

Yafi, K.H. Ali, Menggagas Fiqih Sosial:Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi, hingga

Ukhuwah. Bandung:Mizan, 1995.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.

Anda mungkin juga menyukai