Anda di halaman 1dari 7

TUGAS KEMUHAMMADIYAHAN

Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Kemuhammadiyahan.

Dosen pengampu :

Bambang wahrudin, S. Pd. I.,M. Pd

DISUSUN OLEH :

PUJI RAHAYU RAHMAWATI

19613316

D3 KEPERAWATAN 3C

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

2020
1. Bagaimana hokum peringatan mauled Nabi Muhammad SAW dan Milad Muhammadiyah !

Jawab :

Dari referensi yang ditentukan, saya menemukan penjelasan bahwa Tim Fatwa belum
pernah menemukan dalil tentang perintah menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi saw,
sementara itu belum pernah pula menemukan dalil yang melarang penyelenggaraannya.
Oleh sebab itu, perkara ini termasuk dalam perkara ijtihadiyah dan tidak ada kewajiban
sekaligus tidak ada larangan untuk melaksanakannya. Apabila di suatu masyarakat Muslim
memandang perlu menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi saw tersebut, yang perlu
diperhatikan adalah agar jangan sampai melakukan perbuatan yang dilarang serta harus atas
dasar kemaslahatan.
Perbuatan yang dilarang di sini, misalnya adalah perbuatan-perbutan bid’ah dan
mengandung unsur syirik serta memuja-muja Nabi Muhammad saw secara berlebihan,
seperti membaca wirid-wirid atau bacaan-bacaan sejenis yang tidak jelas sumber dan
dalilnya. Nabi Muhammad saw sendiri telah menyatakan dalam sebuah hadis:
Artinya: “Diriwayatkan dari Umar ra., ia berkata: Aku mendengar Nabi saw bersabda:
Janganlah kamu memberi penghormatan (memuji/memuliakan) kepada saya secara
berlebihan sebagaimana orang Nasrani yang telah memberi penghormatan
(memuji/memuliakan) kepada Isa putra Maryam. Saya hanya seorang hamba Allah, maka
katakan saja hamba Allah dan Rasul-Nya.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Adapun yang dimaksud dengan kemaslahatan di sini, adalah peringatan Maulid Nabi
Muhammad saw yang dipandang perlu diselenggarakan tersebut harus mengandung manfaat
untuk kepentingan dakwah Islam, meningkatkan iman dan taqwa serta mencintai dan
meneladani sifat, perilaku, kepemimpinan dan perjuangan Nabi Muhammad saw. Hal ini
dapat dilakukan misalnya dengan cara menyelenggarakan pengajian atau acara lain yang
sejenis yang mengandung materi kisah-kisah keteladanan Nabi saw.

2. Mengapa dalam niat shalat berjamaah Muhammadiyah tidak menganjurkan niat dibaca
secara jahr (nyaring/keras) ?

Jawab :

Hadits dari Malik bin Huwairits ra. bahwa Rasulullah saw. Bersabda, yang artinya:
"Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku melakukan shalat". (HR. alBukhari).Hadist
tersebut menjadi salah satu dasar bagi Muhammadiyah bahwa niat dalam shalat tidak perlu
dilafalkan. Karena memang tidak ada dalil yang memerintahkan atau tidak ada peristiwa di
mana para shahabat Nabi melihhat Nabi Muhammad melafalkan niat dalam shalat.Sejauh
ini, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah (HPT) tidak menyebutkan secara rinci
berkaitan dengan alasan-alasan Muhammadiyah tidak melafalkan niat shalat. Dalam HPT
hanya disebutkan bahwa “bila kamu hendak menjalankan shalat, maka bacalah: "Allahu
Akbar" dengan ikhlas niatmu karena Allah seraya mengangkat kedua belah tanganmu
sejurus bahumu, mensejajarkan ibu jarimu pada daun telingamu.” Selain itu, argumen lain
dari tidak disunnahkannya melafalkan niat shalat adalah, bahwa Allah mengetahui apa yang
ada dalam hati setiap orang, makaniat tidak perlu diucapkan. Dia hanyalah suatu niat yang
tempatnya di hati. Dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara ibadah haji dan yang
lainnya.

3. Mengapa Muhammadiyah memilih “ allahumma baa’id baini, wabaina…dst” sebagai


bacaan iftitah dalam salat wajib ?

Jawab :

Karena Muhammadiyah melalui mudarasah dan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) memilih
kedua alternatif doa tersebut secara hirarkis. Artinya bahwa alternatif pertama yaitu
“Allahuma ba’id …” secara kualitas periwayatan lebih sahih (hadis sahih riwayat alBukhari,
Muslim dan lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) dan lebih praktis (ringkas)
dibandingkan dengan alternatif lainnya. Namun demikian, doa iftitah yang berbunyi
“Wajjahtu wajhiya …” dapat pula dijadikan sebagai alternatif bacaan doa iftitah, karena
dalil yang digunakan termasuk hadis sahih riwayat Muslim dan lainnya.

Sampai saat ini, kedua alternatif bacaan doa iftitah tersebut di atas belum pernah diubah atau
dibatalkan dengan keputusan yang memiliki kekuatan yang sama (Musyawarah Nasional
Tarjih). Oleh sebab itu, kedua alternatif doa iftitah tersebut di atas merupakan pendapat dan
pilihan resmi Persyarikatan untuk dapat dijadikan pedoman bagi warga Muhammadiyah,
tanpa menafikan adanya alternatif lain yang juga sahih.

4. Mengapa Muhammadiyah menentukan awal bulan dengan metode hisab ?

Jawab :

Karena hisab yang dipakai muhammadiyah adalah hisab wujud al-hilal. Yaitu metode hisab
yang menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan qamariah baru dimulai
apabila telah terpenuhi tiga parameter.

Tiga parameter tersebut adalah telah terjadi konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu terjadi
sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk.

5. Mengapa dalam Dzikir Hari Raya (Takbiran) Muhammadiyah menggunakan lafadz takbir 2
kali, bukan 3 kali sebagaimana pada umumnya ?

Jawab :

Karena menurut Muhammadiyah, lafadz takbir ’Ied yang sesuai dengan tuntunan
Rasulullah saw adalah:
 Lafadz takbir ‘Ied seperti disandarkan kepada Ibn Mas’ud, ‘Umar ibn al-Khattab dan ‘Ali
ibn Abi Thalib, di antaranya adalah sebagai berikut:

‫هللَا ُ أَ ْكبَ ُر َوهَّلِل ِ ْال َح ْم ُد‬ ،ُ‫ الَ إِلَهَ إِالَّ هللاُ َوهللاُ أَ ْكبَر‬،ُ‫هللَا ُ أً ْكبَ ُر هللَا ُ أَ ْكبَر‬.

Artinya: “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tiada Tuhan melainkan Allah dan Allah
Maha Besar, Allah Maha Besar dan bagi Allah-lah segala puji.” (berdasarkan hadits riwayat
Ibn Abi Syaibah, Mushannaf, tahqiq: Kamal al-Hut, juz 1 hlm 490 no. 5650, 5651, 5653.
Ibn al-Mundzir, Al-Awshat, juz 7, hlm 22 no: 223, hlm 23, 24, 25 no:224, 225, 226)
Ucapan Allahu Akbar dalam takbir ‘Ied pada redaksi hadits di atas jelas hanya diucapkan
dua kali, tidak tiga kali.
 Lafadz takbir ‘Ied sesuai hadits riwayat Abdur Razaq dari Salman dengan sanad yang
shahih, yang mengatakan: ِ

‫ َكبِ ْيرًا‬ ‫هللَا ُ أً ْكبَ ُر هللَا ُ أَ ْكبَ ُر هللَا ُ أَ ْكبَ ُر‬ ،‫َكبِّرُوْ ا‬

Artinya: “Bertakbirlah: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Sungguh
Maha Besar.(lihat ash-Shan’aniy, Subul as-Salam, Juz II: 76) ِ

‫ َكبِ ْي ًرا‬ ‫هللَا ُ أَ ْكبَ ُر هللَا ُ أَ ْكبَ ُر‬ ،‫َكبِّرُوْ ا‬

Artinya: “Bertakbirlah: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Sungguh Maha Besar. (lihat
al-Baihaqi,Sunan al-Kubra, Juz III: 316)

Pada hadits kedua ini, terdapat perbedaan lafadz. Pada lafadz pertama disebutkan takbir
diucapkan tiga kali, sementara pada lafadz kedua, takbir diucapkan dua kali. Majelis Tarjih
Muhammadiyah, melalui Muktamar Tarjih XX yang berlangsung tanggal 18 s.d 23 Rabi’ul
Akhir 1939 Hijriyah di Kota Garut Jawa Barat memilih menggunakan lafadz takbir dengan
mengucapkan Allahu Akbar dua kali. Majelis Tarjih dan Tajdid memandang bahwa lafadz
takbir hari raya adalah bagian dari ibadah mahdlah, sehingga ketentuannya harus
dikembalikan kepada dalil-dalil dari assunnah al-maqbulah.

Oleh sebab itu, dalam mengumandangkan takbir pada dua hari raya Idul Fitri dan Idul Adha,
dimaksimalkan dapat menggunakan lafadz takbir yang sesuai dengan tuntunan Nabi
Muhammad saw. Yang jelas majelis tarjih muhammadiyah hanya menganut hadist hadist
yang rajih dan pilihan. Tidak ada takbir yang paling afdhol, melainkan takbir takbir yang
diajarkan oleh rasulnya.

Adapun ucapan takbir yang kedua, yaitu Allahu Akbar Kabira wal-hamdu lil-Lahi
katsira… dan seterusnya sampai wa lau karihal-kafirun, musyrikun dan lain-lain, kemudian
diteruskan dengan La ilaha illa-Llahu wahdah … dan seterusnya sampai wa hazamal-
ahzaba wahdah. Sementara ini kami belum menemukan dasar atau dalil yang secara jelas
menuntunkan bertakbir hari raya dengan lafadz seperti itu. Namun pada kasus lain, kami
menemukan beberapa hadis yang barangkali sama dengan lafadz yang saudara maksudkan,
di antaranya adalah:
a. Pertama, hadis yang menunjukkan bacaan dzikir pada akhir pelaksanaan shalat:
‫صالَ ِة يَقُو ُل‬
َّ ‫ص َرفَ ِم ْن ال‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا ا ْن‬َ ‫الزبَي ِْر َعلَى ْال ِم ْنبَ ِر يَقُو ُل َكانَ النَّبِ ُّي‬ ُّ َ‫ْت َع ْب َد هللاِ ْبن‬ ُّ ‫ع َْن أَبِي‬
ُ ‫الزبَي ِْر قَا َل َس ِمع‬
َ‫صينَ لَهُ ال ِّدينَ َولَوْ َك ِره‬ ْ َّ ْ
ِ ِ‫ك َولَهُ ال َح ْم ُد َوهُ َو َعلَى ُكلِّ َش ْي ٍء قَ ِدي ٌر الَ إِلَهَ إِال هللاُ ُمخل‬ ْ ْ
ُ ‫ك لَهُ لَهُ ال ُمل‬ َّ
َ ‫الَ إِلَهَ إِال هللاُ َوحْ َدهُ الَ َش ِري‬
]‫ [رواه أبو داود‬. َ‫صينَ لَهُ ال ِّدينَ َولَوْ َك ِرهَ ْال َكافِرُون‬ ‫ل‬ ْ
‫خ‬
ِ ِ ُ ُ‫م‬ ‫هللا‬ َّ ‫ال‬ ‫إ‬ ‫ه‬َ ‫ل‬‫إ‬ َ ‫ال‬
ِ َ ِ ِ َ َ ِ ‫ن‬ ‫س‬ ‫ح‬ ْ
‫ال‬ ‫ء‬‫َا‬ ‫ن‬َّ ‫ث‬‫ال‬ ‫و‬
َ ِ‫ل‬ ْ‫ض‬َ ‫ف‬ ْ
‫ال‬ ‫ْال َكافِرُونَ أَ ْه ُل النِّ ْع َم ِة َو‬
Artinya: “Diriwayatkan dari Abi Zubair, ia berkata: Aku mendengar Abdullah ibn Zubair di
atas mimbar berkata: Apabila Rasulullah saw selesai melaksanakan shalat, beliau membaca:
La ilaaha illa-lLahu wahdah, mukhlishina lahud-din, wa lau karihal-kafirun, ….” [HR. Abu
Dawud]
b. Kedua, ketika Nabi saw pulang dari perang, haji atau umrah ada riwayat dari Ibn ‘Umar yang
menyatakan bahwa setelah Nabi saw mengucapkan takbir lalu lanjutan matannya menyebutkan
doa kembali dari perjalanan:

َ َ‫ص َر َع ْب َدهُ َوهَ َز َم ْاألَحْ ز‬


]‫ [رواه البخاري ومسلم‬.ُ‫اب َوحْ َده‬ َ َ‫ق هَّللا ُ َو ْع َدهُ َون‬ َ َ‫آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِ ُدونَ َسا ِج ُدونَ ِل َربِّنَا َحا ِم ُدون‬
َ ‫ص َد‬
 Artinya: “Kita telah kembali, kita bertaubat, kita tetap menyembah pada Tuhan
kita  (Allah) dan tetap memuji-Nya: Allah tepati janji-Nya, Dia tolong hamba-Nya, dan Dia
kalahkan musuh-musuh-Nya seorang diri.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Lafadz-lafadz yang terkandung dalam kedua hadis tersebut bukan dikhususkan untuk dibaca
sebagai lafadz takbir pada hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Majelis Tarjih dan Tajdid
memandang bahwa lafadz takbir hari raya adalah bagian dari ibadah mahdlah, sehingga
ketentuannya harus dikembalikan kepada dalil-dalil dari as-sunnah al-maqbulah. Oleh sebab itu,
dalam mengumandangkan takbir pada dua hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dimaksimalkan
dapat menggunakan lafadz takbir yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad saw.
Sumber: http://www.fatwatarjih.com/2011/08/takbir-hari-raya.html

6. Bagaimana hukum hutang puasa ramadhan dibayar bersamaan dengan puasa sunah senin
kamis dengan dua niat dalam satu kali puasa ?

Jawab :

Tentang hokum hutang puasa, Lembaga Fatwa Mesir mengatakan bahwa para ulama fiqih
memperbolehkan menggabung utang puasa dengan puasa sunah. Namun, niat mengganti
puasa harus didahulukan dari pada puasa sunah.

7. Bagaimana hokum mengucapkan selamat hari Natal kepada non Muslim untuk perayaan
Natal ?

Jawab :

Warga Muhammadiyah diserukan tidak ikut mengucapkan selamat Natal dengan alasan
toleransi. Sikap Islam jelas, biarkan orang Kristen merayakan agamanya, orang Islam
mengurusi akidahnya. Seruan itu disampaikan Ketua Majelis Tarjih dan Tadjid (MTT)
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM). Mengikuti perayaan Natal itu haram hukumnya
karena memperingati kelahiran Tuhan Yesus. Maka kita tidak perlu mengucapkan selamat
Natal apalagi terlibat dalam ritual Natalan. Fatwa Majelis Tarjih cetakan VI tahun 2003
halaman 209-210 dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang perayaan Natal. Isi
fatwa itu menyatakan umat Islam dibolehkan bekerja sama dan bergaul dengan umat-umat
agama dalam masalah keduniaan. Tapi tidak boleh mencampuradukkan agama dengan
akidah dan peribadatan agama lain seperti meyakini Tuhan lebih dari satu, Tuhan
mempunyai anak dan Isa Al Masih itu anaknya “orang yang meyakininya dinyatakan kafir
dan musyrik” 1. Mengkuti perayaan Natal bersama bagi umat Islam adalah haram
hukumnya 2. Selamat Natal bagi muslim kepada orang Kristen tidak usah dilakukan karena
merupakan bagian dari perkara kegiatan perayaan Natal. Seruan ini agar umat Islam tidak
terjerumus kepada perkara syubhat dan melanggar larangan Allah. Islam mengajarkan
kepada umatnya untuk menjauhkan diri dari hal yang syubhat dan larangan Allah serta
mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan.

8. Bagaimana hukum memakan Makanan sembelihan orng Kristen ?

Jawab :

Umat Islam wajib memakan makanan yang halal, membantu tetangga itu adalah sunnah
termasuk membantu non muslim, akan tetapi perlu diketahui dalam membantu atau interaksi
dengan non muslim jangan meninggalkan/melanggar syariat Islam. Perkara makanan tidak
masalah makanan non muslim kita terima dan kita makan dengan syarat makanan termasuk
halal menurut Islam. Fatma Tarjih, tentang hukum memakan sembelihan orang Kristen ada
2 pendapat. Pendapat pertama mengahalalkan memakan sembelihan Ahli Kitab asal yang
disembelih itu adalah binatang yang halal dimakan. Pendapat kedua menyatakan bahwa
sembelihan Ahli Kitab sejak zaman Nabi saw telah menganut kepercayaan syirik, tisak lagi
percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa. Majelis Tarjih dan Tajdid cenderung kepada
pendapat yang kedua dengan pertimbangan syadz adz-dzari’ah (mencegah kerusakan).
Ketika telah pasti diketahui bahwa sembelihan itu disembelih atas nama selain Allah, maka
haram hukumnya memakan sembelihan itu.

9. Bagaimana hukum nikah siri menurut Muhammadiyah ?

Jawab :

Dalam pandangan Muhammadiyah nikah siri tidak boleh karena membawa mudharat bagi
perempuan, kami melarang terjadinya nikah siri. Nikah ini harus membawa kenyamanan.
Kalau mau menikah harus secara resmi dicatat secara resmi. Segala bentuk transaksi harus
dicatat termasuk pernikahan. Pernikahan pun sudah sepantasnya diumumkan ke publik.
Sebab selama ini, nikah siri cenderung dirahasiakan. Secara hukum nikah siri merugikan
perempuan. Oleh karena itu, Muhammadiyah melarang pernikahan siri karena tidak
dicatatkan secara resmi.
10. Bagaimana hukum bayi tabung dan Kloning menurut Muhammadiyah ?

Jawab :

Sistem bayi tabung adalah salah satu cara yang dilakukan oleh dokter ahli kandungan untuk
memenuhi keinginan suami isteri untuk memperoleh anak. Dokter mengambil sperma suami
dan ovum isteri, kemudian dipertemukan dalam sebuah kapsul (tabung), lalu dimasukkan
kedalam rahim isteri. Terjadilah pembuahan, lalu istri hamil dan kemudian melahirkan.

Proses yang demikian dapat dibenarkan oleh agama Islam, karena sperma suami diletakkan
dalam rahim istri yang dikawini dengan aqad yang sah. Air mani seorang lelaki hanya boleh
diletakkan atau ditumpahkan ke faraj istri nya, dilarang diletakkan atau ditumpahkan ke
faraj yang bukan istrinya yang tidak melakukan aqad nikah yang sah dengannya.

Metode kloning berbeda dengan pembuahan biasa. Pada pembuahan biasa sel telur (ovum)
perempuan memerlukan sperma yang ada pada laki-laki. Sedangkan pada metode kloning
tidak lagi memerlukan sperma laki-laki. Majelis Tarjih dan penembangan pemikiran islam
menetapkan bahwa sitem kloning yang dilakukan untuk manusia hukumnya adalah haram.

Anda mungkin juga menyukai