oleh :
30101507413
PEMBIMBING:
FAKULTAS KEDOKTERAN
SEMARANG
2019
Laporan Kasus Radiologi
30101507413
Dan
Pembimbing
dr. Luh Putu Endyah Santi M, Sp.Rad
BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan uraian di atas, maka akan dibuat laporan kasus mengenai pasien
dengan judul pemeriksaan X Foto CT-Scan Kepala (Pre-Post Kontras) pada pasien
curiga Meningitis.
1.2 TUJUAN
a. Mengetahui dan memahami faktor-faktor resiko serta etiologi yang diduga dapat
menyebabkan meningitis, sehingga dapat dilakukan intervensi yang sesuai.
b. Mengetahui dan memahami mekanisme dan patofisiologi terjadinya meningitis,
sehingga pendekatan diagnostik yang tepat dapat dicapai.
c. Mengetahui dan memahami anatomi cerebri dan diagnosis banding dari
meningitis .
d. Mengetahui pemeriksaan penunjang mana yang diperlukan untuk menunjang
diagnostik pada meningitis terutama secara radiologi.
e. Mengetahui penatalaksanaan dari meningitis
1.3 MANFAAT
Dengan penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat dijadikan sebagai media
belajar bagi mahasiswa klinik sehingga dapat mendiagnosis terutama secara radiologis
dan mengelola pasien dengan permasalahan seperti pada pasien ini secara
komprehensif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Otak (encephalon) dapat dibagi dalam tiga komponen utama : hemisfer cerebri
(otak besar), batang otak, dan cerebellum (otak kecil). Cerebri adalah bagian otak
terbesar (85%) yang berasal dari pronsecephalon. Otak terdiri dari sepasang hemisfer
yaang berstruktur sama, yang dipisahkan oleh flax cerebri dan dihubungkan oleh
sekumpulan serabut saraf yang disebut corpus callosum, yang berfungsi untuk
menyampaikan impuls di antara keduanya. Cerebri dari luar ke dalam tersusun oleh
korteks (massa kelabu atau subtansia grisea atau grey matter), massa putih (subtansia
alba), dan massa kelabu yang dikenal sebagai ganglia basalis (Listiono, 1998).
1 3
4
5
7 6
Keterangan :
1. Lobus frontalis
2. Lobus temporalis
3. Lobus parietalis
4. Mesencephalon
5. Pons
6. Medula
7. Cerebellum
8. Lobus oksipitalis
2
1
4
3
Keterangan :
1. Lobus frontalis
2. Lobus parietalis
3. Lobus temporalis
4. Lobus oksipitalis
5. Cerebellum
Korteks cerebri (subtansi gricea) terdiri dari sel-sel saraf. Subtansia alba cerebri
berisi serabut-serabut saraf (akson) dalam saluran-saluran yang menonjol, contoh korona
radiata. Serabut-serabut ini arahnya konvergen, membentuk kapsula interna, di sefalad
otak tengah. Ganglia basalis yang terletak di sebelah dalam cerebri, berbatasan dengan
ventrikel III, terdiri dari nukleus kaudatus, putamen dan globus palidus. Nukleus
kaudatus berjalan di lateral ventrikel lateralis dan talamus. Talamus dan hipotalamus juga
termasuk dalam substanis gricea (Listiono, 1998; Woodruff, 1993).
Batang otak, dari sefalad ke kaudal, terdiri dari empat komponen utama :
disencephalon, mesencephalon, pons, dan medulla (Woodruff, 1993). Diencephalon
terdiri dari talamus, hipotalamus, epitalamus, dan sub talamus. Mesencephalon atau otak
tengah terdiri dari tektum, tegmentum, substansia nigra, dan pedunkulus cerebri. Saraf
III dan IV keluar dari mesensefalon. Akuaduktus silvii yang menghubungkan ventrikel
III dan IV terletak dalam otak tengah bagian dorsal. Pons merupakan penghubung antara
ota k tengah dan medulla oblongata, terdiri dari bagian ventral (basis) dan bagian dorsal
(tegmentum). Ia membentuk komponen utama dari batang otak dan berlokasi di bagian
fossa medio-posterior. Saraf V-VII berasal dari pons. Permukaan dorsal pons membentuk
dasar ventrikel IV. Medulla merupakan komponen yang paling kaudad dari batang otak.
Saraf VIII-XII berasal dari medula. Medula akan melanjutkan diri ke kaudal sebagai
medula spinalis. Medula meruncing ke kaudal dan bergabung dengan medula spinalis
servikal pada foramen magnum (Listiono, 1998; Woodruff, 1993).
Cerebellum terletak dorsal dari pons dan medulla dan menempati terbesar dari
fossa cerebri posterior. Cerebellum terdiri dari vermis di garis tengah dan dua lobus
lateral (hemisfer).Seperti hemisfer cerebri, cerebellum terdiri dari korteks (gray matter)
dan bagian tengah (white matter) dengan inti bagian dalam (gray matter). Cerebellum
bergabung dengan tiga segmen batang otak melalui pasangan pedunkulus : cerebelaris
inferior dengan medulla oblongata (Listiono, 1998; Woodruff, 1993).
Otak diperdarahi oleh dua pasang arteri, yaitu arteri karotis interna dan arteri
vertebralis. Di dalam rongga cranium, keempat arteri ini saling berhubungan dan
membentuk sistem anastomosis, yaitu sirkulus willisi. 2/3 aliran darah cerebri dialirkan
kesebagian besar cerebri dan diensefalon melalui sistem karotis dan 1/3 sisanya dialirkan
ke medula oblongata, pons, otak tengah, lobus temporalis bagian medial dan inferior,
lobus parietalis, lobus oksipitalis, dan cerebellum melalui sistem vertebralis.
Gambar. Gambar arkus aorta beserta cabang-cabang besarnya
(Osborn, 1994)
Keterangan :
Darah di dalam jaringan kapiler otak akan dialirkan melalui venula-venula ke vena
serta didrainase ke sinus duramater. Dari sinus, melalui vena emisaria akan dialirkan ke
vena-vena ekstrakranial. Vena serebral dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu
sistem vena serebral eksterna (drainase darah dari korteks dan subkorteks) dan sistem
vena serebral interna (menerima aliran darah balik dari jaringan otak yang lebih dalam)
(Listiono, 1998).
Gambar. Sistem vena serebri (Osborn, 1994)
Keterangan :
Ketika lahir seorang bayi telah mempunyai 100 miliar sel otak yang aktif dan 900
miliar sel otak pendukung, setiap neuron mempunyai cabang hinggá 10.000 cabang
dendrit yang dapat membangun sejumlah satu kuadrilion. Koneksi, komunikasi,
perkembangan otak pada minggu-minggu pertama lahir diproduksi 250.000 neuroblast
(sel saraf yang belum matang), kecerdasan mulai berkembang dengan terjadinya
koneksi antar sel otak, tempat sel saraf bertemu disebut synapse, makin banyak
percabangan yang muncul, makin berkembanglah kecerdasan anak tersebut, dan
kecerdasan ini harus dilatih dan di stimulasi.
Otak manusia adalah organ yang unik dan dasyat, tempat diaturnya proses
berfikir, berbahasa, kesadaran, emosi dan kepribadian. Secara garis besar, otak terbagi
dalam 3 bagian besar, yaitu neokortek atau kortex serebri, system limbik dan batang
otak, yang berkerja secara simbiosis. Bila neokortex berfungsi untuk berfikir,
berhitung, memori, bahasa, maka sistek limbik berfugsi dalam mengatur emosi dan
memori emosional, dan batang otak mengarur fungsi vegetasi tubuh antara lain denyut
jantung, aliran darah, kemampuan gerak atau motorik, Ketiganya bekerja bersama
saling mendukung dalam waktu yang bersamaan, tapi juga dapat bekerja secara
terpisah.
Otak manusia mengatur dan mengkoordinir gerakan, perilaku dan fungsi tubuh,
homeostasisseperti tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh, keseimbangan cairan,
keseimbangan hormonal, mengatur emosi, ingatan, aktivitas motorik dan lain-lain. Otak
terbentuk dari dua jenis sel: yaitu glia dan neuron. Glia berfungsi untuk menunjang dan
melindungi neuron, sedangkan neuron membawa informasi dalam bentuk pulsa listrik
yang di kenal sebagai potensial aksi . Mereka berkomunikasi dengan neuron yang lain
dan keseluruh tubuh dengan mengirimkan berbagai macam bahan kimia yang disebut
neurotransmitter. Neurotransmitter ini dikirimkan pada celah yang di kenal sebagai
sinapsis. Neurotransmiter paling mempengaruhi sikap, emosi, dan perilaku seseorang
yang ada antara lain asetil kolin, dopamin, serotonin, epinefrin, norepinefrin (Sylvia,
2006).
2.3. Meningitis
2.3.1. Definisi
Meningitis adalah peradangan yang terjadi pada meningen, yaitu membran
atau selaput yang melapisi otak dan medulla spinalis, dapat disebabkan berbagai
organisme seperti virus, bakteri ataupun jamur yang menyebar masuk kedalam
darah dan berpindah kedalam cairan otak (Black & Hawk, 2005). Efek
peradangan dapat mengenai jaringan otak yang disebut dengan
meningoensepalitis.
2.3.2. Insiden
a. Meningitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dari pada perempuan.
b. Incident puncak terdapat rentang usia 6 – 12 bulan.
c. Rentang usia dengan angka moralitas tinggi adalah dari lahir sampai dengan 4
tahun.
2. Meningitis Bakterial
Angka insidensi meningitis bakterial yang dilaporkan di Amerika Serikat, 10
tahun setelah pertama kali vaksin terhadap Haemophillus influenza serotipe b
(Hib) diijinkan beredar adalah 2,2/100.000/tahun dan kira-kira sepertiga penderita
anak berumur 5 tahun. Hampir semua bakteri dapat menyebabkan infeksi pada
semua umur, tetapi seperti yang dilaporkan pada akhir tahun 1990-an penyebab
yang paling sering adalah Neisseria meningitidis dan Streptococcus pneumoniae.
Sedangkan penyakit yang disebabkan oleh infeksi meningokokus, timbul
secara sporadis dan kadang-kadang muncul sebagai KLB; di banyak negara
meningokokus merupakan penyebab utama dari meningitis bakterial. Meningitis
yang disebabkan oleh Hib, sebelumnya merupakan salah satu penyebab yang
paling sering dari meningitis bakterial. Bakteri penyebab meningitis yang paling
jarang adalah stafilokok, bakteri enterik, grup B streptokokus dan Listeria yang
menyerang orang dengan kerentanan yang spesifik (seperti pada neonatus,
penderita gangguan sistem imunitas) atau sebagai akibat trauma pada kepala.
3. Meningitis Meningokokus
a) Identifikasi.
Penyakit bakterial akut dengan katarektistik muncul demam mendadak, nyeri
kepala hebat, mual dan sering disertai muntah, kaku kuduk dan seringkali timbul
ruam petekie dengan makula merah muda atau sangat jarang berupa vesikel.
Sering terjadi delirium dan koma; pada kasus fulminan berat timbul gejala
prostrasi mendadak, ecchymoses dan syok. Dulu angka kematian mencapai >50%
namun dengan diagnosa dini, terapi modern dan tindakan suportif, angka kematian
5-15%. Lebih dari 5-15% penduduk di negara endemis merupakan carrier tanpa
gejala, ditemukan koloni Neisseria meningitidis di daerah nasofaring. Sebagian
kecil dari orang ini akan berkembang menjadi penyakit yang invasif dengan
ditandai satu atau lebih gejala klinis seperti bakteremia, sepsis, meningitis atau
pneumonia.
Banyak pada penderita sepsis timbul ruam petekie, kadang-kadang disertai dengan
nyeri dan radang sendi. Meningococcemia dapat timbul tanpa mengenai selaput
otak dan harus dicurigai pada kasus-kasus demam akut yang tidak diketahui
penyebabnya dengan ruam petekie dan lekositosis. Pada meningococcemia
fulminan angka kematian tetap tinggi walaupun telah diobati dengan antibiotika
yang tepat. Diagnosis pasti dibuat dengan ditemukannya meningococci pada LCS
atau darah. Pada kasus dengan kultur negatif, diagnosis dibuat didukung dengan
ditemukannya polisakarida terhadap grup sepesifik meningococcal pada LCS
dengan teknik IA, CIE dan teknik koaglutinasi; atau ditemukannya
DNA meningococcal pada LCS atau pada plasma dengan PCR. Pemeriksaan
mikroskopis dengan pewarnaan gram, sediaan yang diambil dari petekie
organismenya dapat diketahui.
b) Penyebab Infeksi
Penyebab inveksi adalah N. meningitidis, suatu jenis meningokokus N.
meningitidis grup A, penyebab utama KLB di AS (tidak ditemukan sejak tahun
1945) dan di tempat lain; sedangkan grup B, C dan Y diakhir tahun 1990-an
sebagai penyebab kebanyakan kasus di AS. Genotipe tertentu tercatat sebagai
penyebab terjadinya beberapa KLB. Serogrup lainnya diketahui juga berperan
sebagai patogen (misalnya grup W-135, X dan Z). Organisme dari kelompok ini
kurang begitu virulen, namun kasus-kasus fatal dan infeksi sekunder pernah
dilaporkan disebabkan oleh hampir semua serogroup. KLB N.
meningitidis biasanya disebabkan oleh strain yang berdekatan. Untuk mengetahui
strain penyebab KLB dan luasnya KLB, maka subtyping dari isolat dengan
menggunakan metoda seperti disebutkan di bawah ini sangat bermanfaat: 356 -
multilocus enzyme electrophoresis – pulsed-field gel electrophoresis – enzyme-
restricted DNA fragments.
c) Distribusi penyakit
Infeksi oleh meningokokus terjadi dimana-mana, namun puncaknya terjadi pada
akhir musim dingin dan awal musim semi. Pada awalnya infeksi meningokokus
terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, di banyak negara laki-laki lebih banyak
terserang daripada wanita, dan sering terjadi pada pendatang baru yang
berkumpul/berjejalan pada suatu tempat seperti di dalam barak dan asrama
penampungan. Wilayah yang selama ini diketahui sebagai daerah yang
insidensinya tinggi adalah AfrikaTengah dimana infeksi disebabkan oleh grup A.
d) Cara penularan
Penularan terjadi dengan kontak langsung seperti melalui droplet dari hidung dan
tenggorokan orang yang terinfeksi. Infeksi biasanya menyebabkan infeksi
subklinis pada mukosa. Invasi dengan jumlah bakteri yang cukup untuk
menyebabkan terjadinya penyakit sistemik sangat jarang. Prevalensi carrier yang
mencapai 25% atau lebih dapat terjadi tanpa ada kasus meningitis. Selama KLB
lebih dari setengah laki-laki personil militer mungkin sebagai carrier sehat kuman
meningokokus. Penyebaran melalui barang dan alat-alat tidak terbukti. Masa
inkubasi bervariasi dari 2-10 hari, biasanya 3-4 hari.
e) Masa penularan
Penularan dapat terus terjadi sampai kuman meningokokus tidak ditemukan lagi di
hidung dan mulut. Meningokokus biasanya hilang dari nasofaring dalam waktu 24
jam setelah pengobatan dengan antibiotika trerhadap mikroba yang masih sensitif
terhadap antibiotika tersebut apabila kadar obat mencapai konsentrasi yang cukup
di dalam sekret orofaring. Penisilin dapat menekan jumlah organisme untuk
sementara namun biasanya tidak dapat menghilangkan organisme ini dari
oronasofaring.
f) Kerentanan dan kekebalan
Kerentanan terhadap penyakit klinis rendah dan menurun sesuai dengan umur;
rasio antara carrier dengan kasus sangat tinggi. Dan mereka yang di dalam
darahnya kekurangan beberapa komponen komplemen sangat mudah kambuh dan
terserang penyakit ini lagi. Orang yang telah diambil limpanya sangat mudah
mengalami bakteriemia walaupun hanya mengalami infeksi subklinis. Dapat
muncul kekebalan spesifik terhadap grup bakteri yang menginfeksi. Lamanya
antibodi spesifik ini bertahan belum diketahui.
g) Cara-cara pemberantasan
Cara-cara pencegahan
1) Berikan penyuluhan kepada masyarakat untuk mengurangi kontak langsung
dan menghindari terpajan dengan droplet penderita.
2) Mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di lingkungan
seperti dalam barak, sekolah, tenda dan kapal.
3) Vaksin yang mengandung polisakarida meningokokus grup A, C, Y dan W-135
telah terdaftar dan beredar di Amerika Serikat dan negara lainnya untuk
digunakan pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih besar, saat ini hanya
vaksin kuadrivalen yang tersedia di Amerika Serikat. Vaksin meningokokus
efektif pada orang dewasa diberikan pada saat melakukan rekruitmen militer di
AS sejak tahun 1972. Vaksin ini juga digunakan untuk mengendalikan KLB grup
C yang terjadi di masyarakat dan di sekolah pada tahun 1990-an. Vaksin ini harus
diberikan kepada kelompok risiko tinggi tertentu yaitu anak-anak pada usia di atas
2 tahun yang rentan terhadap infeksi berat meningokokus termasuk harus
diberikan kepada penderita yang limpanya sudah diambil, orang dengan defisiensi
komplemen terminal, staf laboratorium yang terpajan secara rutin dengan N.
meningitidis. Sayang sekali komponen C mempunyai imunogenisitas rendah dan
tidak efektif bila diberikan bagi anak di bawah usia 2 tahun. Vaksin serogroup A
mungkin efektif bila diberikan kepada anak usia lebih muda, 3 bulan sampai 2
tahun, pada usia ini diberikan 2 dosis vaksin dengan interval 3 bulan. Sedangkan
untuk anak usia di atas 2 tahun hanya diberi dosis tunggal. Waktu perlindungan
sangat terbatas, terutama pada anak usia kurang dari 5 tahun. Imunisasi rutin bagi
masyarakat umum di Amerika Serikat tidak dianjurkan. Pemberian imunisasi
kepada para pelancong akan mengurangi risiko tertulari apabila mereka
berkunjung ke negara yang pernah mengalami wabah meningokokus grup A atau
C. Imunisasi ulang dapat dipertimbangkan untuk diberikan dalam jangka waktu 3-
5 tahun apabila tidak ada indikasi untuk mendapatkan vaksinasi. Tidak ada vaksin
yang terdaftar saat ini di AS efektif terhadap infeksi grup B, walaupun beberapa
jenis vaksin telah dikembangkan dan telah diujicoba menunjukkan efikasi yang
lumayan bila diberikan kepada anak-anak yang lebih besar dan kepada orang
dewasa. Vaksin konyugat terhadap serogroup A dan C masih dalam proses uji
coba klinis. Untuk bayi dan anak-anak, vaksin meningokokus
konyugat serogroup A, C, Y dan W-135 telah dikembangkan dengan metoda
yang sama dengan metoda pembuatan vaksin konyugat untuk Haemophilus
influenzae tipe b. Vaksin-vaksin ini diharapkan sudah dapat digunakan rutin di
Inggris mulai tahun 2000 dan di Amerika Serikat dalam waktu 2-4 tahun
kemudian.
Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan ke instansi kesehatan setempat: Wajib dilaporkan di banyak negara
bagian (di Amerika) dan di beberapa negara di dunia, Kelas 2 A.
2) Isolasi: Lakukan isolasi saluran nafas selama 24 jam setelah dimulai
pemberian chemotherapy. 3) Disinfeksi serentak: lakukan desinfeksi
terhadap discharge yang berasal dari sekret hidung dan tenggorokan, dan barang-
barang yang terkontaminasi. Pembersihan menyeluruh.
5) Perlindungan kontak: Lakukan surveilans ketat terhadap anggota keluarga
penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk menemukan
penderita secara dini, khususnya terhadap mereka yang demam agar segera
dilakukan pengobatan yang tepat secara dini; pemberian profilaktik, kemoterapi
yang efektif untuk melindungi kontak (kontak diantara anggota keluarga satu
rumah, personil militer yang berbagi tempat tidur dan orang-orang yang secara
sosial sangat dekat untuk saling bertukar peralatan makan seperti teman dekat di
sekolah, tapi bukan seluruh kelas. Anak-anak di tempat penitipan merupakan
pengecualian dan walaupun bukan teman dekat maka semua harus diberikan
pengobatan profilaksis setelah ditemukan satu kasus indeks. Pilihan antibiotika
profilaksis adalah rifampisin, diberikan 2 kali sehari selama 2 hari: orang dewasa
600 mg per dosis; bayi di atas 1 tahun 10 mg/kg BB; anak umur kurang dari 1
bulan 5 mg/kg BB. Rifampisin harus dihindari untuk diberikan bagi wanita hamil.
Rifampisin dapat mengurangi efektivitas kontrasepsi oral. Untuk orang
dewasa, ceftriaxone 250 mg IM dapat diberikan sebagai dosis tunggal dan terbukti
cukup efektif; 125 mg IM untuk anak di bawah umur 15 tahun. Ciprofloxacin 500
mg per oral dosis tunggal dapat juga diberikan untuk orang dewasa. Bila kuman
sensitif terhadap sulfadiazine, dapat diberikan pada orang dewasa dan anak-anak
yang lebih besar dengan dosis 1 gram setiap 12 jam, dalam 4 dosis; untuk bayi dan
anak-anak dosisnya adalah 125-150 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, setiap 2
hari sekali. Pada tahun 1993 sulfadiazine tidak lagi diproduksi di Amerika Serikat
dan diperlukan bantuan dari CDC Atlanta untuk mendapatkan obat ini. Petugas
kesehatan jarang sekali berada dalam risiko tertulari sekalipun dia merawat
penderita, hanya mereka yang kontak erat dengan sekret nasofaring (seperti pada
waktu resusitasi mulut ke mulut) yang memerlukan pengobatan profilaksis.
Pemberian imunisasi kepada kontak dalam lingkungan keluarga kurang
bermanfaat karena tidak cukup waktu.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Kultur dari tenggorokan dan nasofaring
tidak bermanfaat untuk menentukan siapa saja yang harus menerima pengobatan
profilaksis karena pembawa kuman sangat bervariasi dan tidak ada hubungan
yang konsisten antara koloni yang ditemukan secara normal pada populasi umum
dengan koloni yang ditemukan pada saat terjadi KLB.
7) Pengobatan spesifik: Penisilin yang diberikan parenteral dalam dosis yang
adekuat merupakan obat pilihan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh
infeksi meningokokus; ampisilin dan kloramfenikol juga efektif. Pengobatan
harus segera dimulai bila diagnosa terhadap tersangka telah ditegakkan, bahkan
sebelum kuman meningokokus dapat diidentifikasi. Pada penderita anak-anak
sambil menunggu agen penyebab spesifik dapat diidentifikasi, pengobatan harus
segera diberikan dengan obat yang efektif terhadap Haemophilus influenzae tipe
B (Hib) dan terhadap Streptococcus pneumonia. Ampisilin merupakan obat
pilihan untuk kedua bakteri tersebut selama mereka masih sensitif terhadap
ampisilin. Ampisilin harus dikombinasikan dengan generasi
ketiga cephaloposporin, atau dengan kloramfenikol, atau
denganvancomycin sebagai subsitusi di wilayah dimana ditemukan H.
influenzae dan S. pneumoniae yang resisten terhadap ampisilin. Pasien dengan
infeksi meningokokus atau Hib harus diberi rifampisin sebelum dipulangkan dari
rumah sakit apabila sebelumnya tidak diberikan obat generasi
ketiga cephalosporin atauciprofloxacin. Hal ini dilakukan agar ada kepastian
bahwa organisme telah terbasmi.
Penanggulangan KLB
1) Bila terjadi KLB, upaya paling penting yang harus dilakukan adalah
meningkatkan kegiatan surveilans, diagnosa dan pengobatan dini dari kasus-kasus
yang dicurigai. Kepanikan dan kecurigaan yang terlalu tinggi tidak bermanfaat.
2) Pisahkan orang-orang yang pernah terpajan dengan penderita dan berikan
ventilasi yang cukup terhadap tempat tinggal dan ruang tidur bagi orang-orang
yang terpajan dengan kuman yang disebabkan karena kepadatan (misalnya: barak
dan asrama tentara, pekerja tambang dan tahanan). 3) Pengobatan pencegahan
masal biasanya tidak efektif untuk mengatasi KLB. Pada KLB yang terjadi pada
sekelompok kecil penduduk (misalnya di suatu sekolah), pemberian pengobatan
pencegahan pada semua orang dikelompok itu dapat dipertimbangkan terutama
apabila KLB tersebut disebabkan oleh serogrup yang tidak termasuk dalam vaksin
yang ada. Bila dilakukan pengobatan masal harus diberikan pada seluruh anggota
masyarakat pada saat yang sama. Semua kontak dekat harus dipertimbangkan
untuk mendapat pengobatan profilaksis, tanpa melihat apakah seluruh anggota
masyarakat sudah diobati (lihat 9B5 di atas).
4) Pemberian vaksin pada semua kelompok umur yang terkena seharusnya
dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh apabila terjadi KLB di suatu institusi
yang besar atau di masyarakat dimana kasus disebabkan oleh infeksi grup A, C,
W-135 dan Y. Vaksin meningokokus sangat efektif untuk menghentikan wabah
yang disebabkan oleh serogrup A dan C. Hal-hal yang diuraikan berikut ini dapat
membantu apakah kita perlu memberikan imunisasi kepada orang-orang yang
berisiko pada saat terjadi KLB yang diduga disebabkan oleh grup C:
a) Pastikan terlebih dahulu bahwa telah terjadi KLB dan deskripsikan secara
epidemiologis untuk menemukan kelompok umur yang terkena dan denominator
sosial lainnya (misalnya: sekolah, tempat penitipan anak, organisasi
kemasyarakatan, kelab malam, kota) dari orang-orang yang terkena;
b) hitung attack rate strain bakteri yang menyebabkan KLB pada populasi yang
berisiko; c) bila mungkin, lakukan isolasi subtipe N. meningotidis penyebab KLB
menggunakan metoda molekuler. Bila paling tidak ditemukan tiga kasus yang
disebabkan oleh grup C dengan subtipe yang sama selama 3 bulan dan kasus baru
360 tetap muncul dan attack rate meningkat menjadi 10 kasus grup C per 100.000
penduduk, maka pemberian imunisasi kepada kelompok masyarakat yang berisiko
tersebut harus dipertimbangkan.
5. Pneumococcal Meningitis
Meningitis pneumokokus mempunyai angka kematian yang sangat tinggi.
Dapat muncul dalam bentuk fulminan dan timbul bakterimia tanpa harus ada
infeksi di tempat lain, walaupun mungkin terjadi otitis media
atau mastoiditis pada saat yang sama. Biasanya penyakit muncul tiba-tiba berupa
demam tinggi, kelemahan umum atau koma dan tanda-tanda iritasi
meningeal. Pneumococcal meningitis dapat muncul sebagai penyakit sporadis
pada neonatus, pada orang usia lebih tua dan kelompok tertentu yang berisiko
seperti pasien tanpa limpa dan pada penderita dengan hipogamaglobulinemia.
Fraktur pada basis crania menyebabkan terjadi hubungan yang menetap dengan
nasofaring diketahui sebagai faktor predisposisi.
6. Neonatal Meningitis
Neonatus dengan neonatal meningitis, timbul letargi, kejang, episode apnoe
(napas terhenti), susah makan, hipotermi dan kadang-kadang terjadi gangguan
berat pada pernafasan dan biasanya terjadi pada minggu-minggu pertama
kehidupan. Hitung darah putih bisa meningkat atau menurun. Kultur LCS
memperlihatkan adanya streptokokus grup B, Listeria monocytogenes E. coli K-
1 atau kuman lainnya yang didapat melalui jalan lahir. Bayi usia 2 minggu-2
bulan bisa menunjukkan gejala yang sama, ditemukan mikroorganisme
Streptokokus grup B atau kelompok Klebsiella- Enterobacter-Serratia didalam
LCS dan bakteri ini biasanya didapat dari ruang perawatan. Meningitis pada kedua
grup ini berkaitan dengan terjadinya septikemia. Pengobatan dilakukan dengan
ampisilin ditambah dengan obat generasi
ketiga cephalosporin atau aminoglycoside, sampai kuman penyebab diketahui dan
hasil tes sensitivitas terhadap antibiotika sudah ada.
2.3.5. Patofisiologis
Sebagian besar infeksi susunan syaraf pusat terjadi akibat penyebaran hematogen.
Saluran napas merupakan port de entrée utama bagi banyak penyebab meningitis
purulenta. Proses terjadinya meningitis bacterial melalui jalur hematogen diawali
dengan perlekatan bakteri pada sel epitel mukosa nasofaring dan melakukan
kolonisasi, kemudian menembus rintangan mukosa dan memperbanyak diri dalam
aliran darah dan menimbulkan bakterimia. Selanjutnya bakteri masuk ke dalam
cairan serebrospinal dan memperbanyak diri di dalamnya. Bakteri ini
menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak.
Infeksi
CSS
Eksudat Tuberkel
Perlunakan otak
2.3.7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik, pemeriksaan
laboratorium disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Selain itu penting juga
untuk melibatkan evaluasi neurologis secara menyeluruh, mengingat keterlibatan
infeksinya. Perlu ditanyakan mengenai riwayat perjalanan penyakit, onset, faktor
resiko yang mungkin ada, riwayat kelahiran, imunisasi, penyakit yang pernah
diderita, sehingga dapat dipastikan diagnosisnya.
Pemeriksaan Rangsangan Meningeal
1. Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi
danrotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan
tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu
tidak dapat disentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi
dan rotasi kepala.
2. Pemeriksaan Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada
sendipanggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin
tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai
sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha
biasanya diikuti rasa nyeri.
3. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher)
Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinyadibawah
kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepala
dengan cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bila
pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada leher.
4. Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendipanggul
(seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada
pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.
Pemeriksaan Penunjang Meningitis
1. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein
cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan
intrakranial.
a. Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel
darah putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).
b. Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah sel
darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa jenis
bakteri.
2. Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap Darah
(LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
a. Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Disamping itu,
pada Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED.
b. Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.
3. Pemeriksaan Radiologis
CT SCAN
Pada keadaan yang diduga meningitis bakterialis dengan penurunan
kesadaran, pemeriksaan CT-Scan cranium direkomendasikan sebelum lumbal
pungsi untuk menghindari herniasi otak akibat edema serebri. Pada meningitis
fase akut, Pemeriksaan CT-Scan biasanya normal. Lesi pada parenkim tidak
mudah terlihat pada gambaran CT-Scan, kecuali pada iskemik yang disebankan
oleh vaskulitis sekunder yang merupakan komplikasi pada lebih dari 20% kasus.
Gambaran parenkim yang abnormal sebanding lurus dengan gejala neurologis dan
akan memperburuk prognosis nya.
Jika gejala dan tanda (kaku kuduk, tanda kernig dan tanda laseque) ditemukan
maka dianjurkan untuk pemeriksaan Computer Tomography beserta pungsi lumbal
(bila tidak ada tanda edema otak). Pembuluh darah yang terpapar dengan dengan
eksudat inflamasi subarakhnoid mengalami spasme dan atau trombosis yang
selanjutnya akan menyebabkan iskemia dan akhirnya infark. Pada beberapa kasus
didapatkan gyrii dan cysterna menyempit (dengan kontras terlihat) yang
disebabkan oleh melebarnya sulcii karena eksudat yang mengisi sulcii akibat
proses inflamasi, gyral enhancement, tampak lesi hipodens di ganglia basalis, dan
sistem ventrikel melebar
Komplikasi
1. Empiema
Empiema biasanya merupakan komplikasi dari infeksi atau kantong pus yang
terlokalisasi (abses) dalam otak. Empiema adalah suatu efusi eksudat yang
disebabkan oleh infeksi langsung pada rongga tubuh yang menyebabkan
cairan tubuh menjadi purulen atau keruh. Gambaran CT-scan tampak lesi
hipodens.
2. Abses
Fase awal abses otak ditandai dengan edema lokal, hiperemia infiltrasi
leukosit atau melunaknya parenkim. Trombisis sepsis dan edema. Beberapa
hari atau minggu dari fase awal terjadi proses liquefaction atau dinding kista
berisi pus. Gambaran CT scan tampak lesi hipodens dengan dinding bulat
(kantong) hiperdens.
Keuntungan CT scan :
1. Gambaran lebih jelas
2. Non traumatik
3. Meramal prognose
4. Penyebab hidrosefalus dapat diduga
Gambar 4a,b. Kolesteatoma dengan destruksi os. Petrosa dan invasi ke fossa
cranial posterior. Tampak kolesteatoma di telinga tengah dan mastoid destruksi
tulang (a). Gambaran post-contrast tampak abses intrakranial.
Gambar 5. Defek serebral luas pada ensefalitis fokal.
Gambar. Pada CT, peningkatan kontras setelah infark terjadi pada tahap sub-akut, dan
umumnya dimulai menjelang akhir minggu pertama. Peningkatan puncak terjadi pada
minggu ke 2 dan 3, dan secara bertahap memudar selama minggu-minggu berikutnya.
(kanan Axial non-contrast. kiri axial dengan contrast)
2.3.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi dan perawat perlu
menyesuaikan dengan standar pengobatan sesuai tempat bekerja yang berguna
sebagai bahan kolaborasi dengan tim medis. Secara ringkas penatalaksanaan
pengobatan meningitis meliputi:
a. Pengobatan Simtomatis:
1) Antikonvulsi, Diazepam IV; 0,2 – 0,5 mg/kgBB/dosis, atau rektal : 0,4 – 0,6
mg/kgBB indikasi meringankan spasme otot rangka, atau Fenitoin 5 mg/kgBB/24
jam indikasi anti kejang, 3 x sehari atau Fenonarbital 5 – 7 mg/kgBB/24 jam, 3 x
sehari. Indikasi anti kejang
2) Antipiretik : parasetamol/asam salisilat 10 mg/kgBB/dosis. Indikasi analgesik
3) Antiedema serebri: Diuretik osmotik (seperti manitol) dapat digunakan untuk
mengobati edema serebri.
4) Pemenuhan Oksigenisasi dengan O2.
5) Pemenuhan hidrasi atau pencegahan syok hipovolemik : pemberian tambahan
volume cairan intravena.
LAPORAN KASUS
3.1 ANAMNESIS
3.1.1 Identitas
Nama : Nn. Ajeng Astuti
Umur : 20 Tahun 10 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Klipang
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
No. CM : 390081
Tanggal Masuk : 26 Agustus 2019
Alloanamnesis dilakukan dengan Keluarga pasien pada Hari Senin, tanggal 2
September 2019 pukul 07.30 WIB
3.1.2 Keluhan Utama : Nyeri Kepala
3.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang :
Satu minggu sebelum masuk Rumah sakit, pasien mengeluhkan
pusing dan panas, nafsu makan menurun lalu pasien meminum obat penurun
panas dan pereda nyeri kepala yang dibeli di apotik.Selama seminggu pasien
tidak mampu beraktifitas karena dirasa tidak cukup kuat untuk berdiri.
Menurut keluarga, pasien pernah memiliki riwayat usus buntu saat
pasien masih duduk dikelas 1 SMP dan sudah dioperasi, pasien juga pernah
jatuh saat masih balita, namun pasien tidak pernah mengeluhkan sakit kepala
seperti saat ini.
Tepat pada malam hari setelah maghrib dirumah, sebelum masuk
Rumah Sakit pasien mengalami puncak gejalanya. Pasien mengalami bicara
kacau, bicara hanya bisa nggremeng, nafsu makan semakin menurun namun
keluarga belum ada rencana untuk membawa pasien ke RS.
Pada tanggal 26 Agustus 2019, pagi hari saat bangun tidur pasien
mengalami kaku pada tangan dan kaki, perasaan ingin muntah ketika sarapan,
dan pasien tiba-tiba tidak sadarkan diri sehingga pasien segera dibawa oleh
keluarga ke UGD RSUD Kota Semarang. Menurut keluarga ini kali pertama
pasien mengalami sakit seperti ini.
Di rumah sakit, tampak keadaan umum pasien lemah, somnolen -
stupor, pusing (+), GCS 14 (E4 M6 V4), pupil isokor, kekuatan otot 4/4, kaku
kuduk (+), N. cranialis (dbn), gelisah, akral dingin (-), pulsasi cukup, febris
(-), kamunikasi verbal (-). awal masuk Rumah Sakit pasien didiagnosa
Meningoenchepalitis dan pasien mendapatkan perawatan Rawat Inap di
Ruang HCU.
Status Present
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 20 Tahun 10 bulan
Berat Badan : 45 kg
Panjang Badan : 160 cm
Tanda Vital
Tekanan Darah : 100 / 70 mmHg
Nadi : 74 x / menit, irama regular, isi cukup, equalitas sama
pada keempat ekstremitas.
Suhu : 36 ºC (aksila)
Frekuensi Nafas : 28 x / menit
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Stupor
Kepala : Mesocephal
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut.
Mata : Palpebra simetris, cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), pupil bulat unisokor, reflek cahaya pupil (N).
Telinga : Serumen (-/-), tidak nyeri, tidak bengkak.
Hidung : Simetris, sekret (-/-), nafas cuping hidung (-/-)
Leher : Simetris, pembesaran kelenjar (-/-)
Tenggorokan :
Faring
• Mukosa Bukal : Warna merah muda, hiperemis (+)
• Lidah : Dalam batas normal
• Uvula : di tengah, dalam batas normal
Tonsil
• Ukuran : T 1- 1
• Warna : Hiperemis (-)
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : dbn
Palpasi : dbn
Perkusi : dbn
Auskultasi : Suara dasar vesikuler
Suara tambahan : wheezing (-/-), ronkhi (-/+)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga ke VI, 2 cm kelateral linea mid
clavicularis sinistra, tidak kuat angkat, tidak melebar.
Perkusi :
Batas atas : ICS II linea parasternalis kiri
Pinggang : ICS III linea parasternalis kiri
Batas kiri : ICS VI 2 cm ke lateral linea midclavicularis kiri
Batas kanan : ICS VI linea sternalis kanan
Auskultasi : Reguler, Suara jantung murni, gallop (-), bising
Jantung (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-) , turgor normal, massa (-), hepar
dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Status Neurologik
GCS 15 , E4M6V5
Pemeriksaan Rangsang Meningeal:
• Kaku kuduk ( + )
• Lasegue ( - )
• Kernig ( -)
• Brudzinski I/Brudzinski’s neck sign ( - )
• Brudzinski II/ Brudzinski’s contralateral leg sign ( - )
Nervus kranialis : dalam batas normal
Motorik:
• Kekuatan :4
• Tonus : Normal
Sensorik : dalam batas normal
Refleks fisiologis : dalam batas normal
Refleks patologis : dalam batas normal
Otonom : retensio urin (-), inkotinensia alvi (-)
2. Pemeriksaan Radiologi
a. CT SCAN dengan Kontras (Tanggal 28 Agustus 2019)
Tanpa Kontras
Dengan Kontras
Interpretasi :
Pada brain window :
Tak tampak lesi hipodens maupun hiperdens intrakranial
Pasca injeksi kontras, tampak basal dan sulea enhancement
Sulkus kortikalis dan fisura sylvii tampak sedikit menyempit
Sistem ventrikel dan sisterna baik
Batang otak dan cerebelum baik
Tak tampak midline shifting
Pada bone window :
Tak tampak fraktur ossa cranium
Tak tampak lesi litik dan sklerotik pada tulang
Tak tampak penebalan mukosa pada sinus paranasalis yang terlihat
Tak tampak kemuraman pada kedua mastoid
Kesan :
Gambaran meningoensefalitis
Mulai tampak tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial saat ini
3.4 DIAGNOSIS
Meningtis
Diagnosis Banding :
• Meningitis bakteri
• Meningitis viral
3.5 PENATALAKSANAAN
A. MEDIKAMENTOSA
• O2 kanul 2 liter per menit
• Pasang DC
• Infus RL 20 tetes per menit
• Suction k/p
• Injeksi Methylprednisolon 3 x 125 mg
• Injeksi Lancholin 2 x 250 mg
• Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg
• Injeksi Ceftriaxon 2 x 2 gr
• Rawat luka
B. NON MEDIKAMENTOSA
• Tirah baring
• Minum obat teratur
• Rawat dekubitus
• Terapi nutrisi
3.6. PROGNOSIS
• Ad vitam : dubia ad bonam
• Ad functionam : dubia ad bonam
• Ad sanactionam : dubia ad bonam
DAFTAR PUSTAKA