Anda di halaman 1dari 54

Laporan Kasus Radiologi

Seorang Perempuan 20 tahun dengan Meningitis

Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Radiologi


RSUD Kota Semarang

oleh :

Citra Desi Deriya

30101507413

PEMBIMBING:

dr. Luh Putu Endyah Santi M, Sp.Rad

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2019
Laporan Kasus Radiologi

Seorang Perempuan 20 tahun dengan Meningitis

Bagian Radiologi RSUD Kota Semarang

Dipersiapkan dan disusun oleh

Citra Desi Deriya

30101507413

Telah diajukan pada .........................................

Dan

Dinyatakan telah memenuhi syarat pada .........................................

Pembimbing
dr. Luh Putu Endyah Santi M, Sp.Rad

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak


dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur
(Smeltzer, 2001).

Meningitis merupakan masalah medis yang serius serta membutuhkan


pengenalan dan penanganan segera untuk mencegah kematian. Dan sampai saat ini
meningitis masih merupakan infeksi yang menakutkan karena menyebabkan
mortalitas dan morbiditas yang tinggi terutama di negara berkembang (WHO, 2003).
Mortalitas mencapai 5-10% dan morbiditas jangka panjang yang berupa sekuel
neurologis mencapai 50% (Rogier et. al., 2010) dan di Indonesia diperkirakan
mortalitas pada anak sekitar 18-40% dengan angka disabilitas berkisar antara 30-50%
(Saharsodan Hidayati, 2000). World Health Organization (WHO) memperkirakan
bahwa meningitis bacterial menyerang 426.000 anak dan 85.000 dilaporkan
meninggal dunia (Hom et al., 2001). Angka kejadian meningitis menduduki urutan ke-
9 dan 10 pola penyakit di 8 rumah sakit pendidikan di Indonesia. Data yang ada
menunjukkan angka kematian meningoensefalitis di RSUD Dr Soetomo Surabaya
pada tahun 1988-1993 adalah sebesar 13-18%, pada tahun 1981 di Jakarta sekitar
41,8% (Saharsodan Hidayati, 2000) dan di Yogyakarta sekitar 30,6% (Purwitosari,
2007).

Diantara berbagai agen penyebab, Haemophillus influenza dan Streptococcus


pneumonia adalah penyebab terbanyak dan merupakan penyebab tersering meningitis
berat. (WHO, 2003; Rogier et. al., 2010). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk
mengetahui faktor-faktor yang berperan terhadap mortalitas meningitis, diantaranya
yang dilakukan oleh Pelkonen et al (2009), Flores et al (2005) dan Farag et al (2005).
Faktor-faktor prediktor itu diantarnya adalah penurunan kesadaran, dispnea berat,
kejang selama perawatan, usia ≤ 1 tahun dan kadar glukosa cairan serebrospinal
(CSS) <10mg/dL (Pelkonen et al., 2009; Flores et al., 2005; Farag et al., 2005).

Disamping akibat perjalanan penyakitnya, kematian pada meningitis juga


dapat diakibatkan oleh penanganan yang tidak adekuat diantaranya keterlambatan
pengenalan tanda dan gejala atau diagnosis, keterlambatan pemberian antibiotik dan
ketidaktepatan dosis antibiotik (Stockdale et al., 2011).

Dalam menegakkan diagnosis meningitis diperlukan data hasil anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang sangat penting
dilakukan untuk menentukkan diagnosis pasti penderita dengan keluhan dan klinis
meningitis. Pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan untuk menegakkan
diagnosis meningitis adalah X Foto CT-Scan Kepala (Pre-Post Kontras). CT Scan
mempunyai kemampuan untuk membedakan bagian-bagian yang kecil diantara
jaringan lunak dan ini lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologi
konvensional dengan meningkatkan kontras enhancement, sehingga berbagai jaringan
lunak dan jaringan tubuh cepat dibedakan. CT Scan sebenarnya sudah cukup untuk
membantu menentukan dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak ventrikel;
hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor. Tetapi hal itu perlu dipastikan
dengan pemeriksaan penunjang lain yaitu Lumbal pungsi, Dengan cara mengambil
cairan sample untuk mendapatkan kultur, gram stain, jumlah sel darah merah dan
untuk mengetahui adanya glukosa dan protein, kultur dan stain untuk mengidentifikasi
organisme penyebab, jumlah sel darah merah meningkat, glukosa menurun,
konsentrasi protein meningkat dan kultur darah.

Berdasarkan uraian di atas, maka akan dibuat laporan kasus mengenai pasien
dengan judul pemeriksaan X Foto CT-Scan Kepala (Pre-Post Kontras) pada pasien
curiga Meningitis.

1.2 TUJUAN
a. Mengetahui dan memahami faktor-faktor resiko serta etiologi yang diduga dapat
menyebabkan meningitis, sehingga dapat dilakukan intervensi yang sesuai.
b. Mengetahui dan memahami mekanisme dan patofisiologi terjadinya meningitis,
sehingga pendekatan diagnostik yang tepat dapat dicapai.
c. Mengetahui dan memahami anatomi cerebri dan diagnosis banding dari
meningitis .
d. Mengetahui pemeriksaan penunjang mana yang diperlukan untuk menunjang
diagnostik pada meningitis terutama secara radiologi.
e. Mengetahui penatalaksanaan dari meningitis

1.3 MANFAAT
Dengan penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat dijadikan sebagai media
belajar bagi mahasiswa klinik sehingga dapat mendiagnosis terutama secara radiologis
dan mengelola pasien dengan permasalahan seperti pada pasien ini secara
komprehensif.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Otak


Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai agar-agar dan
terletak di dalam ruangan yang tertutup oleh tulang, yaitu cranium (tengkorak), yang
secara absolut tidak dapat bertambah volumenya, terutama pada orang dewasa. Jaringan
otak dilindungi oleh beberapa pelindung, mulai dari permukaan luar adalah kulit kepala,
tulang tengkorak, selaput otak (meninges), dan cairan cerebrospinalis. Selaput otak
terdiri atas tiga lapisan (dari luar ke dalam) : duramater, arakhnoid, dan piamater. Di
dalam tempat tertentu duramater membentuk sekat-sekat rongga cranium dan
membaginya menjadi tiga kompartemen. Tentorium merupakan sekat yang membagi
rongga cranium menjadi kompartemen supratentorial dan infratentorial, memisahkan
bagian-bagian posterior-inferior hemisfer cerebri dan cerebelum (Listiono, 1998).

Otak (encephalon) dapat dibagi dalam tiga komponen utama : hemisfer cerebri
(otak besar), batang otak, dan cerebellum (otak kecil). Cerebri adalah bagian otak
terbesar (85%) yang berasal dari pronsecephalon. Otak terdiri dari sepasang hemisfer
yaang berstruktur sama, yang dipisahkan oleh flax cerebri dan dihubungkan oleh
sekumpulan serabut saraf yang disebut corpus callosum, yang berfungsi untuk
menyampaikan impuls di antara keduanya. Cerebri dari luar ke dalam tersusun oleh
korteks (massa kelabu atau subtansia grisea atau grey matter), massa putih (subtansia
alba), dan massa kelabu yang dikenal sebagai ganglia basalis (Listiono, 1998).

1 3

4
5

7 6

Gambar. Potongan basis otak (Woodruff, 1993)

Keterangan :
1. Lobus frontalis
2. Lobus temporalis
3. Lobus parietalis
4. Mesencephalon
5. Pons
6. Medula
7. Cerebellum
8. Lobus oksipitalis
2
1

4
3

Gambar. Potongan lateral otak (Woodruff, 1993)

Keterangan :
1. Lobus frontalis
2. Lobus parietalis
3. Lobus temporalis
4. Lobus oksipitalis
5. Cerebellum
Korteks cerebri (subtansi gricea) terdiri dari sel-sel saraf. Subtansia alba cerebri
berisi serabut-serabut saraf (akson) dalam saluran-saluran yang menonjol, contoh korona
radiata. Serabut-serabut ini arahnya konvergen, membentuk kapsula interna, di sefalad
otak tengah. Ganglia basalis yang terletak di sebelah dalam cerebri, berbatasan dengan
ventrikel III, terdiri dari nukleus kaudatus, putamen dan globus palidus. Nukleus
kaudatus berjalan di lateral ventrikel lateralis dan talamus. Talamus dan hipotalamus juga
termasuk dalam substanis gricea (Listiono, 1998; Woodruff, 1993).

Gambar. Ganglia Basalis


Di dalam parenkim otak bagian dalam terdapat empat buah rongga yang saling
berhubungan dan berisi cairan cerebrospinalis. Rongga-rongga ini dibatasi oleh epitel
apindema, disebut ventrikel otak. Sistem ventrikel otak terdiri atas ventriel lateralis
kanan dan kiri, ventrikel III, dan ventrikel IV. Cairan cerebrospinalis dibentuk setiap hari
oleh pleksus khoroideus di dalam ventrikel dan ruang subarakhnoid (Woodruff, 1993).

Batang otak, dari sefalad ke kaudal, terdiri dari empat komponen utama :
disencephalon, mesencephalon, pons, dan medulla (Woodruff, 1993). Diencephalon
terdiri dari talamus, hipotalamus, epitalamus, dan sub talamus. Mesencephalon atau otak
tengah terdiri dari tektum, tegmentum, substansia nigra, dan pedunkulus cerebri. Saraf
III dan IV keluar dari mesensefalon. Akuaduktus silvii yang menghubungkan ventrikel
III dan IV terletak dalam otak tengah bagian dorsal. Pons merupakan penghubung antara
ota k tengah dan medulla oblongata, terdiri dari bagian ventral (basis) dan bagian dorsal
(tegmentum). Ia membentuk komponen utama dari batang otak dan berlokasi di bagian
fossa medio-posterior. Saraf V-VII berasal dari pons. Permukaan dorsal pons membentuk
dasar ventrikel IV. Medulla merupakan komponen yang paling kaudad dari batang otak.
Saraf VIII-XII berasal dari medula. Medula akan melanjutkan diri ke kaudal sebagai
medula spinalis. Medula meruncing ke kaudal dan bergabung dengan medula spinalis
servikal pada foramen magnum (Listiono, 1998; Woodruff, 1993).

Cerebellum terletak dorsal dari pons dan medulla dan menempati terbesar dari
fossa cerebri posterior. Cerebellum terdiri dari vermis di garis tengah dan dua lobus
lateral (hemisfer).Seperti hemisfer cerebri, cerebellum terdiri dari korteks (gray matter)
dan bagian tengah (white matter) dengan inti bagian dalam (gray matter). Cerebellum
bergabung dengan tiga segmen batang otak melalui pasangan pedunkulus : cerebelaris
inferior dengan medulla oblongata (Listiono, 1998; Woodruff, 1993).

Otak diperdarahi oleh dua pasang arteri, yaitu arteri karotis interna dan arteri
vertebralis. Di dalam rongga cranium, keempat arteri ini saling berhubungan dan
membentuk sistem anastomosis, yaitu sirkulus willisi. 2/3 aliran darah cerebri dialirkan
kesebagian besar cerebri dan diensefalon melalui sistem karotis dan 1/3 sisanya dialirkan
ke medula oblongata, pons, otak tengah, lobus temporalis bagian medial dan inferior,
lobus parietalis, lobus oksipitalis, dan cerebellum melalui sistem vertebralis.
Gambar. Gambar arkus aorta beserta cabang-cabang besarnya
(Osborn, 1994)

Keterangan :

1. Arkus aorta 11. Arteri


2. Trunkus brakhiosefalika subklavia kiri
3. Arteri subklavia kanan 12. Arteri
4. Arteri vertebralis kanan vertebralis kiri
5. Arteri karotis komunis kanan 13. Arteri
6. Arteri karotis interna kanan vertebralis bergabung menjadi
7. Arteri karotis eksterna kanan arteri Basilaris
8. Arteri karotis komunis kiri 14. Sirkul
9. Arteri karotis interna kiri us willisi
10. Arteri karotis eksterna kiri 15. Arteri

Darah di dalam jaringan kapiler otak akan dialirkan melalui venula-venula ke vena
serta didrainase ke sinus duramater. Dari sinus, melalui vena emisaria akan dialirkan ke
vena-vena ekstrakranial. Vena serebral dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu
sistem vena serebral eksterna (drainase darah dari korteks dan subkorteks) dan sistem
vena serebral interna (menerima aliran darah balik dari jaringan otak yang lebih dalam)
(Listiono, 1998).
Gambar. Sistem vena serebri (Osborn, 1994)

Keterangan :

1. Sinus sagitalis superior 11. Vena septalis


2. Sinus sagitalis inferior 12. Vena talamotriata
3. Straight sinus 13. Vena labbe
4. Torcular herophilli 14. Vena serebri media superfisialis
5. Sinus tranversus 15. Vena trolard
6. Sinus sigmoid. 16. Sinus kavernosus
7. Sinus oksipitalis 17. Pleksus venosa klival
8. Vena galen 18. Sinus petrosa superior
9. Vena basalis 19. Rosenthal Sinus petrosa inferior
10. Vena serebri interna 20. Sinus sfenoparietal

2.2. FISIOLOGI OTAK


Fungsi otak adalah sebagai pusat kendali dengan menerima, menafsirkan, serta
untuk mengarahkan informasi sensorik di seluruh tubuh.
Otak manusia mempunyai berat 2% dari berat badan orang dewasa (3 pon),
menerima 20 % curah jantung dan memerlukan 20% pemakaian oksigen tubuh dan
sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya. Otak merupakan jaringan yang paling
banyak memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses
metabolisme oksidasi glukosa. Jaringan otak sangat rentan terhadap perubahan oksigen
dan glukosa darah, aliran darah berhenti 10 detik saja sudah dapat menghilangkan
kesadaran manusia. Berhenti dalam beberapa menit, merusak permanen otak.
Hipoglikemia yang berlangsung berkepanjangan juga merusak jaringan otak
(Prince,Wilson, 2006).

Ketika lahir seorang bayi telah mempunyai 100 miliar sel otak yang aktif dan 900
miliar sel otak pendukung, setiap neuron mempunyai cabang hinggá 10.000 cabang
dendrit yang dapat membangun sejumlah satu kuadrilion. Koneksi, komunikasi,
perkembangan otak pada minggu-minggu pertama lahir diproduksi 250.000 neuroblast
(sel saraf yang belum matang), kecerdasan mulai berkembang dengan terjadinya
koneksi antar sel otak, tempat sel saraf bertemu disebut synapse, makin banyak
percabangan yang muncul, makin berkembanglah kecerdasan anak tersebut, dan
kecerdasan ini harus dilatih dan di stimulasi.
Otak manusia adalah organ yang unik dan dasyat, tempat diaturnya proses
berfikir, berbahasa, kesadaran, emosi dan kepribadian. Secara garis besar, otak terbagi
dalam 3 bagian besar, yaitu neokortek atau kortex serebri, system limbik dan batang
otak, yang berkerja secara simbiosis. Bila neokortex berfungsi untuk berfikir,
berhitung, memori, bahasa, maka sistek limbik berfugsi dalam mengatur emosi dan
memori emosional, dan batang otak mengarur fungsi vegetasi tubuh antara lain denyut
jantung, aliran darah, kemampuan gerak atau motorik, Ketiganya bekerja bersama
saling mendukung dalam waktu yang bersamaan, tapi juga dapat bekerja secara
terpisah.
Otak manusia mengatur dan mengkoordinir gerakan, perilaku dan fungsi tubuh,
homeostasisseperti tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh, keseimbangan cairan,
keseimbangan hormonal, mengatur emosi, ingatan, aktivitas motorik dan lain-lain. Otak
terbentuk dari dua jenis sel: yaitu glia dan neuron. Glia berfungsi untuk menunjang dan
melindungi neuron, sedangkan neuron membawa informasi dalam bentuk pulsa listrik
yang di kenal sebagai potensial aksi . Mereka berkomunikasi dengan neuron yang lain
dan keseluruh tubuh dengan mengirimkan berbagai macam bahan kimia yang disebut
neurotransmitter. Neurotransmitter ini dikirimkan pada celah yang di kenal sebagai
sinapsis. Neurotransmiter paling mempengaruhi sikap, emosi, dan perilaku seseorang
yang ada antara lain asetil kolin, dopamin, serotonin, epinefrin, norepinefrin (Sylvia,
2006).
2.3. Meningitis
2.3.1. Definisi
Meningitis adalah peradangan yang terjadi pada meningen, yaitu membran
atau selaput yang melapisi otak dan medulla spinalis, dapat disebabkan berbagai
organisme seperti virus, bakteri ataupun jamur yang menyebar masuk kedalam
darah dan berpindah kedalam cairan otak (Black & Hawk, 2005). Efek
peradangan dapat mengenai jaringan otak yang disebut dengan
meningoensepalitis.

2.3.2. Insiden
a. Meningitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dari pada perempuan.
b. Incident puncak terdapat rentang usia 6 – 12 bulan.
c. Rentang usia dengan angka moralitas tinggi adalah dari lahir sampai dengan 4
tahun.

2.3.3. Distribusi Frekuensi Meningitis


a. Orang/ Manusia
Umur dan daya tahan tubuh sangat mempengaruhi terjadinya meningitis.
Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dan
distribusi terlihat lebih nyata pada bayi. Meningitis purulenta lebih sering terjadi
pada bayi dan anak-anak karena sistem kekebalan tubuh belum terbentuk
sempurna. Puncak insidensi kasus meningitis karena Haemophilus influenzae di
Negara berkembang adalah pada anak usia kurang dari 6 bulan, sedangkan di
Amerika Serikat terjadi pada anak usia 6-12 bulan. Sebelum tahun 1990 atau
sebelum adanya vaksin untuk Haemophilus influenzae tipe b di Amerika Serikat,
kira-kira 12.000 kasus meningitis Hib dilaporkan terjadi pada umur < 5 tahun.
Insidens Rate pada usia < 5 tahun sebesar 40-100 per 100.000.7 Setelah 10 tahun
penggunaan vaksin, Insidens Rate menjadi 2,2 per 100.000.9 Di Uganda (2001-
2002) Insidens Rate meningitis Hib pada usia < 5 tahun sebesar 88 per
100.000.28
b. Tempat
Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosio-ekonomi
rendah, lingkungan yang padat (seperti asrama, kamp-kamp tentara dan jemaah
haji), dan penyakit ISPA. 16 Penyakit meningitis banyak terjadi pada negara
yang sedang berkembang dibandingkan pada negara maju. Insidensi tertinggi
terjadi di daerah yang disebut dengan the African Meningitis belt,  yang luas
wilayahnya membentang dari Senegal sampai ke Ethiopia meliputi 21 negara.
Kejadian penyakit ini terjadi secara sporadis dengan Insidens Rate 1-20 per
100.000 penduduk dan diselingi dengan KLB besar secara periodik.Di daerah
Malawi, Afrika pada tahun 2002 Insidens Rate meningitis yang disebabkan
oleh Haemophilus influenzae 20-40 per 100.000 penduduk.
c. Waktu
Kejadian meningitis lebih sering terjadi pada musim panas dimana kasus kasus
infeksi saluran pernafasan juga meningkat. Di Eropa dan Amerika utara insidensi
infeksi Meningococcus lebih tinggi pada musim dingin dan musim semi
sedangkan di daerah Sub-Sahara puncaknya terjadi pada musim kering.
Meningitis karena virus berhubungan dengan musim, di Amerika sering terjadi
selama musim panas karena pada saat itu orang lebih sering terpapar agen
pengantar virus. Sebagian besar kasus terjadi pada musim panas.

2.3.4. Determinan Meningitis


a. Host/ Pejamu
Meningitis yang disebabkan oleh Pneumococcus paling sering menyerangbayi di
bawah usia dua tahun.7 Meningitis yang disebabkan oleh
bakteri Pneumokokus 3,4 kali lebih besar pada anak kulit hitam dibandingkan
yang berkulit putih.Meningitis Tuberkulosa dapat terjadi pada setiap kelompok
umur tetapi lebih sering terjadi pada anak-anak usia 6 bulan sampai 5 tahun dan
jarang pada usia di bawah 6 bulan kecuali bila angka kejadian Tuberkulosa paru
sangat tinggi. Diagnosa pada anak-anak ditandai dengan test Mantoux positif dan
terjadinya gejala meningitissetelah beberapa hari mendapat suntikan BCG.
Penelitian yang dilakukan oleh Nofareni(1997-2000) di RSUP H.Adam Malik

menemukan odds ratio anak yang sudah mendapat imunisasi BCG untuk


menderita meningitis Tuberculosissebesar 0,2.Penelitian yang dilakukan oleh
Ainur Rofiq (2000) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) mengenai
daya lindung vaksin TBC terhadap meningitis Tuberculosis  pada anak
menunjukkan penurunan resiko terjadinya meningitis Tb pada anak sebanyak
0,72 kali bila penderita diberi BCG dibanding dengan penderita yang tidak
pernah diberikan BCG.Meningitis serosa dengan penyebab virus terutama
menyerang anak-anak dan dewasa muda (12-18 tahun). Meningitis virus dapat
terjadi waktu orang menderita campak, Gondongan (Mumps) atau penyakit
infeksi virus lainnya. Meningitis Mumpsvirus sering terjadi pada kelompok umur
5-15 tahun dan lebih banyak menyerang laki-laki daripada perempuan.Penelitian
yang dilakukan di Korea (Lee,2005) , menunjukkan resiko laki-laki untuk
menderita meningitis dua kali lebih besar dibanding perempuan.
b. Agent
Penyebab meningitis secara umum adalah bakteri dan virus. Meningitispurulenta
paling sering disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus dan Haemophilus
influenzae sedangkan meningitis serosa disebabkan olehMycobacterium
tuberculosa dan virus. 3 Bakteri Pneumococcus adalah salah satu penyebab
meningitis terparah. Sebanyak 20-30 % pasien meninggal akibat meningitis
hanya dalam waktu 24 jam. Angka kematian terbanyak pada bayi dan orang
lanjut usia.
Meningitis Meningococcus  yang sering mewabah di kalangan jemaah haji
dandapat menyebabkan karier disebabkan oleh Neisseria meningitidis serogrup
A,B,C,X,Y,Z dan W 135. Grup A,B dan C sebagai penyebab 90% dari penderita.
Di Eropa dan Amerika Latin, grup B dan C sebagai penyebab utama sedangkan
di Afrika dan Asia penyebabnya adalah grup A. Wabah
meningitis Meningococcusyang terjadi di Arab Saudi selama ibadah haji tahun
2000 menunjukkan bahwa 64% merupakan serogroup W135 dan 36% serogroup
A. Hal ini merupakan wabah meningitis Meningococcus terbesar pertama di
dunia yang disebabkan oleh serogroup W135. Secara epidemiologi serogrup
A,B,dan C paling banyak menimbulkanpenyakit.
Meningitis karena virus termasuk penyakit yang ringan. Gejalanya mirip
sakitflu biasa dan umumnya penderita dapat sembuh sendiri. Pada waktu terjadi
KLB Mumps, virus ini diketahui sebagai penyebab dari 25 % kasus meningitis
aseptik pada orang yang tidak diimunisasi. Virus Coxsackie grup B merupakan
penyebab dari 33 % kasus meningitis
aseptik, Echovirus dan Enterovirus  merupakan penyebab dari 50 % kasus.Resiko
untuk terkena aseptik meningitis pada laki-laki 2 kali lebih sering dibanding
perempuan.
c. Lingkungan
Faktor Lingkungan (Environment) yang mempengaruhi terjadinya
meningitisbakteri yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae tipe b adalah
lingkungan dengan kebersihan yang buruk dan padat dimana terjadi kontak atau
hidup serumah dengan penderita infeksi saluran pernafasan.Risiko penularan
meningitisMeningococcus juga meningkat pada lingkungan yang padat seperti
asrama, kampkamp tentara dan jemaah haji. Pada umumnya
frekuensi Mycobacterium tuberculosa selalu sebanding dengan frekuensi infeksi
Tuberculosa  paru. Jadi dipengaruhi keadaan sosial ekonomi dan kesehatan
masyarakat. Penyakit ini kebanyakan terdapat pada penduduk dengan keadaan
sosial ekonomi rendah, lingkungan kumuh dan padat, serta tidak mendapat
imunisasi.
Meningitis karena virus berhubungan dengan musim, di Amerika seringterjadi
selama musim panas karena pada saat itu orang lebih sering terpapar agen
pengantar virus. Lebih sering dijumpai pada anak-anak daripada orang
dewasa.Kebanyakan kasus dijumpai setelah infeksi saluran pernafasan bagian
atas.
2.3.4. Jenis-jenis Meningitis
Meningitis Viral
a)     Identifikasi.
Relatif sering ditemukan namun penyakit ini jarang sekali ditemukan dengan
sindroma klinis serius atau dengan penyebab virus yang multiple, ditandai dengan
munculnya demam tiba-tiba dengan gejala dan tanda-tanda meningeal.
Pemeriksaan likuor serebrospinal ditemukan pleositosis (biasanya mononukleosis
tapi bisa juga polimorfo 353 nuklier pada tahap-tahap awal), kadar protein
meningkat, gula normal dan tidak ditemukan bakteri. Ruam seperti rubella sebagai
ciri infeksi yang disebabkan oleh virus echo dan viruscoxsackie; ruam vesikuler
dan petekie bisa juga timbul. Penyakit dapat berlangsung sampai 10 hari.
Paresis sementara dan manifestasi ensefalitis dapat terjadi; sedangkan
kelumpuhan jarang terjadi. Gejala-gejala sisa dapat bertahan sampai 1 tahun atau
lebih, berupa kelemahan, spasme otot, insomnia dan perubahan kepribadian.
Penyembuhan biasanya sempurna. Gejala pada saluran pencernaan dan saluran
pernafasan biasanya karena infeksi enterovirus. Berbagai jenis penyakit lain
disebabkan oleh bukan virus gejalanya dapat menyerupai meningitis aseptik;
misalnya seperti pada meningitis purulenta yang tidak diobati dengan baik,
meningitis karena TBC dan meningitis kriptokokus, meningitis yang disebabkan
oleh jamur, sifilis serebrovaskuler dan LGV.
Reaksi pasca infeksi dan pasca vaksinasi perlu dibedakan dengan meningitis
aseptik antara lain gejala sisa akibat campak, mumps, varicella dan reaksi pasca
imunisasi terhadap rabies dan cacar; gejala yang muncul biasanya tipe ensefalitis.
Leptospirosis, listeriosis, sifilis, limfositik choriomeningitis, hepatitis,
infeksimononucleosis, influenza dan penyakit-penyakit lain dapat memperlihatkan
gejala klinis yang sama dan penyakit-penyakit ini akan dibahas pada bab
tersendiri. Pada kondisi optimal identifikasi spesifik penyakit ini dapat dibuat
terhadap hampir separuh dari kasus-kasus yang ditemukan dengan menggunakan
teknik serologis dan isolasi. Virus dapat diisolasi pada stadium awal penyakit dari
bilas tenggorok dan tinja, kadang-kadang virus ditemukan dari likuor
serebrospinal dan darah dengan teknik biakan jaringan dan inokulasi pada
binatang.
b)      Penyebab infeksi
Berbagai macam organisme dapat sebagai penyebab infeksi, banyak diantaranya
sebagai penyebab penyakit spesifik lainnya. Banyak sekali jenis virus yang dapat
menimbulkan gejala meningeal. Separuh lebih dari kasus tidak ditemukan
penyebabnya. Pada waktu terjadi KLB mumps, virus ini diketahui sebagai
penyebab lebih dari 25% kasus meningitis aseptik pada populasi yang tidak
diimunisasi.
Virus coxsackie grup B tipe 1-6 sebagai penyebab dari 1/3 kasus; dan
echovirus tipe 2,5,6,7,9 (kebanyakan), 10, 11, 14, 18 dan 30, kira-kira sebagai
penyebab separuh kasus. Virus coxsackie grup A (tipe 2,3,4,7,9 dan
10), arbovirus, campak, herpes simplex I dan
virus varicella, virus Choriomeningitis limfositik, adenovirus dan virus jenis lain
bertanggungjawab terhadap terjadinya kasus-kasus sporadis. Insidensi dari tipe-
tipe spesifik bervariasi menurut wilayah geografis dan waktu. Leptospira
bertanggungjawab terhadap lebih dari 20% kasus-kasus meningitis aseptik di
berbagai wilayah di dunia ini
c)       Distribusi penyakit
Tersebar di seluruh dunia, timbul sebagai kasus-kasus endemis dan sporadis.
Angka insidensi yang sebenarnya tidak diketahui. Meningkatnya jumlah kasus
berhubungan dengan musim, pada akhir musim panas dan awal musim semi
jumlah penderita meningkat terutama yang disebabkan oleh arbovirus dan
enterovirus sementara KLB meningitis aseptik yang terjadi di akhir musim dingin
terutama disebabkan oleh mumps.
d)      Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan ke kantor Instansi Kesehatan setempat: di daerah endemis tertentu
penyakit ini wajib dilaporkan; di beberapa negara dan negara bagian di Amerika
Serikat bukan sebagai penyakit yang harus dilaporkan, Kelas 3 B. Bila penyebab
infeksi dapat dipastikan melalui pemeriksaan laboratorium maka didalam laporan
sebutkan penyebab infeksinya; sebaliknya apabila penyebabnya tidak diketahui
laporkan sebagai kasus yang tidak diketahui etiologinya.
2) Isolasi: Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium
biasanya baru didapat setelah penderita sembuh. Oleh karena itu kewaspadaan
enterik sudah harus dilakukan 7 hari setelah mulai sakit, kecuali kalau diagnosa
pasti sudah menyatakan bahwa penyebabnya adalah nonenterovirus.
3) Disinfeksi serentak: Tidak diperlukan kewaspadaan khusus selain menerapkan
sanitasi rutin.
4) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Biasanya tidak dilakukan.
5) Pengobatan spesifik: Seperti halnya pada penyakit yang disebabkan oleh virus,
tidak ada pengobatan spesifik.

2.      Meningitis Bakterial
Angka insidensi meningitis bakterial yang dilaporkan di Amerika Serikat, 10
tahun setelah pertama kali vaksin terhadap Haemophillus influenza serotipe b
(Hib) diijinkan beredar adalah 2,2/100.000/tahun dan kira-kira sepertiga penderita
anak berumur 5 tahun. Hampir semua bakteri dapat menyebabkan infeksi pada
semua umur, tetapi seperti yang dilaporkan pada akhir tahun 1990-an penyebab
yang paling sering adalah Neisseria meningitidis dan Streptococcus pneumoniae.
Sedangkan penyakit yang disebabkan oleh infeksi meningokokus, timbul
secara sporadis dan kadang-kadang muncul sebagai KLB; di banyak negara
meningokokus merupakan penyebab utama dari meningitis bakterial. Meningitis
yang disebabkan oleh Hib, sebelumnya merupakan salah satu penyebab yang
paling sering dari meningitis bakterial. Bakteri penyebab meningitis yang paling
jarang adalah stafilokok, bakteri enterik, grup B streptokokus dan Listeria  yang
menyerang orang dengan kerentanan yang spesifik (seperti pada neonatus,
penderita gangguan sistem imunitas) atau sebagai akibat trauma pada kepala.

 3.      Meningitis Meningokokus
a)      Identifikasi.
Penyakit bakterial akut dengan katarektistik muncul demam mendadak, nyeri
kepala hebat, mual dan sering disertai muntah, kaku kuduk dan seringkali timbul
ruam petekie dengan makula merah muda atau sangat jarang berupa vesikel.
Sering terjadi delirium dan koma; pada kasus fulminan berat timbul gejala
prostrasi mendadak, ecchymoses dan syok. Dulu angka kematian mencapai >50%
namun dengan diagnosa dini, terapi modern dan tindakan suportif, angka kematian
5-15%. Lebih dari 5-15% penduduk di negara endemis merupakan carrier tanpa
gejala, ditemukan koloni Neisseria meningitidis di daerah nasofaring. Sebagian
kecil dari orang ini akan berkembang menjadi penyakit yang invasif dengan
ditandai satu atau lebih gejala klinis seperti bakteremia, sepsis, meningitis atau
pneumonia.
Banyak pada penderita sepsis timbul ruam petekie, kadang-kadang disertai dengan
nyeri dan radang sendi. Meningococcemia dapat timbul tanpa mengenai selaput
otak dan harus dicurigai pada kasus-kasus demam akut yang tidak diketahui
penyebabnya dengan ruam petekie dan lekositosis. Pada meningococcemia
fulminan angka kematian tetap tinggi walaupun telah diobati dengan antibiotika
yang tepat. Diagnosis pasti dibuat dengan ditemukannya meningococci  pada LCS
atau darah. Pada kasus dengan kultur negatif, diagnosis dibuat didukung dengan
ditemukannya polisakarida terhadap grup sepesifik meningococcal pada LCS
dengan teknik IA, CIE dan teknik koaglutinasi; atau ditemukannya
DNA meningococcal pada LCS atau pada plasma dengan PCR. Pemeriksaan
mikroskopis dengan pewarnaan gram, sediaan yang diambil dari petekie
organismenya dapat diketahui.
b)      Penyebab Infeksi
Penyebab inveksi adalah N. meningitidis, suatu jenis meningokokus N.
meningitidis grup A, penyebab utama KLB di AS (tidak ditemukan sejak tahun
1945) dan di tempat lain; sedangkan grup B, C dan Y diakhir tahun 1990-an
sebagai penyebab kebanyakan kasus di AS. Genotipe tertentu tercatat sebagai
penyebab terjadinya beberapa KLB. Serogrup lainnya diketahui juga berperan
sebagai patogen (misalnya grup W-135, X dan Z). Organisme dari kelompok ini
kurang begitu virulen, namun kasus-kasus fatal dan infeksi sekunder pernah
dilaporkan disebabkan oleh hampir semua serogroup. KLB N.
meningitidis biasanya disebabkan oleh strain yang berdekatan. Untuk mengetahui
strain penyebab KLB dan luasnya KLB, maka subtyping dari isolat dengan
menggunakan metoda seperti disebutkan di bawah ini sangat bermanfaat: 356 -
multilocus enzyme electrophoresis – pulsed-field gel electrophoresis – enzyme-
restricted DNA fragments.
c)      Distribusi penyakit
Infeksi oleh meningokokus terjadi dimana-mana, namun puncaknya terjadi pada
akhir musim dingin dan awal musim semi. Pada awalnya infeksi meningokokus
terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, di banyak negara laki-laki lebih banyak
terserang daripada wanita, dan sering terjadi pada pendatang baru yang
berkumpul/berjejalan pada suatu tempat seperti di dalam barak dan asrama
penampungan. Wilayah yang selama ini diketahui sebagai daerah yang
insidensinya tinggi adalah AfrikaTengah dimana infeksi disebabkan oleh grup A.
d)      Cara penularan
Penularan terjadi dengan kontak langsung seperti melalui droplet dari hidung dan
tenggorokan orang yang terinfeksi. Infeksi biasanya menyebabkan infeksi
subklinis pada mukosa. Invasi dengan jumlah bakteri yang cukup untuk
menyebabkan terjadinya penyakit sistemik sangat jarang. Prevalensi carrier yang
mencapai 25% atau lebih dapat terjadi tanpa ada kasus meningitis. Selama KLB
lebih dari setengah laki-laki personil militer mungkin sebagai carrier sehat kuman
meningokokus. Penyebaran melalui barang dan alat-alat tidak terbukti. Masa
inkubasi  bervariasi dari 2-10 hari, biasanya 3-4 hari.
e)      Masa penularan
Penularan dapat terus terjadi sampai kuman meningokokus tidak ditemukan lagi di
hidung dan mulut. Meningokokus biasanya hilang dari nasofaring dalam waktu 24
jam setelah pengobatan dengan antibiotika trerhadap mikroba yang masih sensitif
terhadap antibiotika tersebut apabila kadar obat mencapai konsentrasi yang cukup
di dalam sekret orofaring. Penisilin dapat menekan jumlah organisme untuk
sementara namun biasanya tidak dapat menghilangkan organisme ini dari
oronasofaring.
f)       Kerentanan dan kekebalan
Kerentanan terhadap penyakit klinis rendah dan menurun sesuai dengan umur;
rasio antara carrier dengan kasus sangat tinggi. Dan mereka yang di dalam
darahnya kekurangan beberapa komponen komplemen sangat mudah kambuh dan
terserang penyakit ini lagi. Orang yang telah diambil limpanya sangat mudah
mengalami bakteriemia walaupun hanya mengalami infeksi subklinis. Dapat
muncul kekebalan spesifik terhadap grup bakteri yang menginfeksi. Lamanya
antibodi spesifik ini bertahan belum diketahui.
g)      Cara-cara pemberantasan
 Cara-cara pencegahan
1) Berikan penyuluhan kepada masyarakat untuk mengurangi kontak langsung
dan menghindari terpajan dengan droplet penderita.
2) Mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di lingkungan
seperti dalam barak, sekolah, tenda dan kapal.
3) Vaksin yang mengandung polisakarida meningokokus grup A, C, Y dan W-135
telah terdaftar dan beredar di Amerika Serikat dan negara lainnya untuk
digunakan pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih besar, saat ini hanya
vaksin kuadrivalen yang tersedia di Amerika Serikat.   Vaksin meningokokus
efektif pada orang dewasa diberikan pada saat melakukan rekruitmen militer di
AS sejak tahun 1972. Vaksin ini juga digunakan untuk mengendalikan KLB grup
C yang terjadi di masyarakat dan di sekolah pada tahun 1990-an. Vaksin ini harus
diberikan kepada kelompok risiko tinggi tertentu yaitu anak-anak pada usia di atas
2 tahun yang rentan terhadap infeksi berat meningokokus termasuk harus
diberikan kepada penderita yang limpanya sudah diambil, orang dengan defisiensi
komplemen terminal, staf laboratorium yang terpajan secara rutin dengan N.
meningitidis. Sayang sekali komponen C mempunyai imunogenisitas rendah dan
tidak efektif bila diberikan bagi anak di bawah usia 2 tahun. Vaksin serogroup A
mungkin efektif bila diberikan kepada anak usia lebih muda, 3 bulan sampai 2
tahun, pada usia ini diberikan 2 dosis vaksin dengan interval 3 bulan. Sedangkan
untuk anak usia di atas 2 tahun hanya diberi dosis tunggal. Waktu perlindungan
sangat terbatas, terutama pada anak usia kurang dari 5 tahun. Imunisasi rutin bagi
masyarakat umum di Amerika Serikat tidak dianjurkan. Pemberian imunisasi
kepada para pelancong akan mengurangi risiko tertulari apabila mereka
berkunjung ke negara yang pernah mengalami wabah meningokokus grup A atau
C. Imunisasi ulang dapat dipertimbangkan untuk diberikan dalam jangka waktu 3-
5 tahun apabila tidak ada indikasi untuk mendapatkan vaksinasi. Tidak ada vaksin
yang terdaftar saat ini di AS efektif terhadap infeksi grup B, walaupun beberapa
jenis vaksin telah dikembangkan dan telah diujicoba menunjukkan efikasi yang
lumayan bila diberikan kepada anak-anak yang lebih besar dan kepada orang
dewasa. Vaksin konyugat terhadap serogroup A dan C masih dalam proses uji
coba klinis. Untuk bayi dan anak-anak, vaksin meningokokus
konyugat serogroup  A, C, Y dan W-135 telah dikembangkan dengan metoda
yang sama dengan metoda pembuatan vaksin konyugat untuk Haemophilus
influenzae tipe b. Vaksin-vaksin ini diharapkan sudah dapat digunakan rutin di
Inggris mulai tahun 2000 dan di Amerika Serikat dalam waktu 2-4 tahun
kemudian.
 Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan ke instansi kesehatan setempat: Wajib dilaporkan di banyak negara
bagian (di Amerika) dan di beberapa negara di dunia, Kelas 2 A.
2) Isolasi: Lakukan isolasi saluran nafas selama 24 jam setelah dimulai
pemberian chemotherapy.  3) Disinfeksi serentak: lakukan desinfeksi
terhadap discharge  yang berasal dari sekret hidung dan tenggorokan, dan barang-
barang yang terkontaminasi. Pembersihan menyeluruh.
5) Perlindungan kontak: Lakukan surveilans ketat terhadap anggota keluarga
penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk menemukan
penderita secara dini, khususnya terhadap mereka yang demam agar segera
dilakukan pengobatan yang tepat secara dini; pemberian profilaktik, kemoterapi
yang efektif untuk melindungi kontak (kontak diantara anggota keluarga satu
rumah, personil militer yang berbagi tempat tidur dan orang-orang yang secara
sosial sangat dekat untuk saling bertukar peralatan makan seperti teman dekat di
sekolah, tapi bukan seluruh kelas. Anak-anak di tempat penitipan merupakan
pengecualian dan walaupun bukan teman dekat maka semua harus diberikan
pengobatan profilaksis setelah ditemukan satu kasus indeks. Pilihan antibiotika
profilaksis adalah rifampisin, diberikan 2 kali sehari selama 2 hari: orang dewasa
600 mg per dosis; bayi di atas 1 tahun 10 mg/kg BB; anak umur kurang dari 1
bulan 5 mg/kg BB. Rifampisin harus dihindari untuk diberikan bagi wanita hamil.
Rifampisin dapat mengurangi efektivitas kontrasepsi oral. Untuk orang
dewasa, ceftriaxone 250 mg IM dapat diberikan sebagai dosis tunggal dan terbukti
cukup efektif; 125 mg IM untuk anak di bawah umur 15 tahun. Ciprofloxacin 500
mg per oral dosis tunggal dapat juga diberikan untuk orang dewasa. Bila kuman
sensitif terhadap sulfadiazine, dapat diberikan pada orang dewasa dan anak-anak
yang lebih besar dengan dosis 1 gram setiap 12 jam, dalam 4 dosis; untuk bayi dan
anak-anak dosisnya adalah 125-150 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, setiap 2
hari sekali. Pada tahun 1993 sulfadiazine tidak lagi diproduksi di Amerika Serikat
dan diperlukan bantuan dari CDC Atlanta untuk mendapatkan obat ini. Petugas
kesehatan jarang sekali berada dalam risiko tertulari sekalipun dia merawat
penderita, hanya mereka yang kontak erat dengan sekret nasofaring (seperti pada
waktu resusitasi mulut ke mulut) yang memerlukan pengobatan profilaksis.
Pemberian imunisasi kepada kontak dalam lingkungan keluarga kurang
bermanfaat karena tidak cukup waktu.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Kultur dari tenggorokan dan nasofaring
tidak bermanfaat untuk menentukan siapa saja yang harus menerima pengobatan
profilaksis karena pembawa kuman sangat bervariasi dan tidak ada hubungan
yang konsisten antara koloni yang ditemukan secara normal pada populasi umum
dengan koloni yang ditemukan pada saat terjadi KLB.
7) Pengobatan spesifik: Penisilin yang diberikan parenteral dalam dosis yang
adekuat merupakan obat pilihan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh
infeksi meningokokus; ampisilin dan kloramfenikol juga efektif. Pengobatan
harus segera dimulai bila diagnosa terhadap tersangka telah ditegakkan, bahkan
sebelum kuman meningokokus dapat diidentifikasi. Pada penderita anak-anak
sambil menunggu agen penyebab spesifik dapat diidentifikasi, pengobatan harus
segera diberikan dengan obat yang efektif terhadap Haemophilus influenzae tipe
B (Hib) dan terhadap Streptococcus pneumonia. Ampisilin merupakan obat
pilihan untuk kedua bakteri tersebut selama mereka masih sensitif terhadap
ampisilin. Ampisilin harus dikombinasikan dengan generasi
ketiga cephaloposporin, atau dengan kloramfenikol, atau
denganvancomycin sebagai subsitusi di wilayah dimana ditemukan H.
influenzae dan S. pneumoniae yang resisten terhadap ampisilin. Pasien dengan
infeksi meningokokus atau Hib harus diberi rifampisin sebelum dipulangkan dari
rumah sakit apabila sebelumnya tidak diberikan obat generasi
ketiga cephalosporin atauciprofloxacin. Hal ini dilakukan agar ada kepastian
bahwa organisme telah terbasmi.
 Penanggulangan KLB
1) Bila terjadi KLB, upaya paling penting yang harus dilakukan adalah
meningkatkan kegiatan surveilans, diagnosa dan pengobatan dini dari kasus-kasus
yang dicurigai. Kepanikan dan kecurigaan yang terlalu tinggi tidak bermanfaat.
2) Pisahkan orang-orang yang pernah terpajan dengan penderita dan berikan
ventilasi yang cukup terhadap tempat tinggal dan ruang tidur bagi orang-orang
yang terpajan dengan kuman yang disebabkan karena kepadatan (misalnya: barak
dan asrama tentara, pekerja tambang dan tahanan). 3) Pengobatan pencegahan
masal biasanya tidak efektif untuk mengatasi KLB. Pada KLB yang terjadi pada
sekelompok kecil penduduk (misalnya di suatu sekolah), pemberian pengobatan
pencegahan pada semua orang dikelompok itu dapat dipertimbangkan terutama
apabila KLB tersebut disebabkan oleh serogrup yang tidak termasuk dalam vaksin
yang ada. Bila dilakukan pengobatan masal harus diberikan pada seluruh anggota
masyarakat pada saat yang sama. Semua kontak dekat harus dipertimbangkan
untuk mendapat pengobatan profilaksis, tanpa melihat apakah seluruh anggota
masyarakat sudah diobati (lihat 9B5 di atas).
4) Pemberian vaksin pada semua kelompok umur yang terkena seharusnya
dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh apabila terjadi KLB di suatu institusi
yang besar atau di masyarakat dimana kasus disebabkan oleh infeksi grup A, C,
W-135 dan Y. Vaksin meningokokus sangat efektif untuk menghentikan wabah
yang disebabkan oleh serogrup A dan C. Hal-hal yang diuraikan berikut ini dapat
membantu apakah kita perlu memberikan imunisasi kepada orang-orang yang
berisiko pada saat terjadi KLB yang diduga disebabkan oleh grup C:
a) Pastikan terlebih dahulu bahwa telah terjadi KLB dan deskripsikan secara
epidemiologis untuk menemukan kelompok umur yang terkena dan denominator
sosial lainnya (misalnya: sekolah, tempat penitipan anak, organisasi
kemasyarakatan, kelab malam, kota) dari orang-orang yang terkena;
b) hitung attack rate strain bakteri yang menyebabkan KLB pada populasi yang
berisiko; c) bila mungkin, lakukan isolasi subtipe N. meningotidis penyebab KLB
menggunakan metoda molekuler. Bila paling tidak ditemukan tiga kasus yang
disebabkan oleh grup C dengan subtipe yang sama selama 3 bulan dan kasus baru
360 tetap muncul dan attack rate  meningkat menjadi 10 kasus grup C per 100.000
penduduk, maka pemberian imunisasi kepada kelompok masyarakat yang berisiko
tersebut harus dipertimbangkan.

4.      Haemophilus Meningitis (Meningitis yang disebabkan oleh Haemophilus


influenzae)
a)      Identifikasi
Di masa vaksin konyugat Haemophilus b belum dipakai secara luas, H.
influenzae merupakan penyebab meningitis bakterial yang paling utama pada
anak-anak umur 2 bulan sampai dengan 5 tahun di Amerika. Biasanya disebabkan
oleh karena terjadi bakteriemia. Timbulnya gejala dapat subakut tetapi biasanya
muncul mendadak; gejalanya berupa demam, muntah, letargi dan iritasi
meningeal, dengan ubun-ubun menonjol pada bayi atau kaku kuduk dan kaku
punggung pada anak yang lebih besar. Sering cepat terjadi stupor atau koma.
Biasanya didahului dengan demam ringan selama beberapa hari dengan gejala
SSP yang samar. Diagnosis dibuat dengan melakukan isolasi organisme penyebab
dari darah atau cairan serebro spinal. Polisakarida kapsular spesifik dapat
diidentifikasi dengan menggunakan teknik CIE atau LA.
b)      Penyebab infeksi
Penyebab paling sering adalah H. influenzae serotipe b (Hib). Organisme ini
dapat juga menyebabkan epiglottitis, pneumonia, septic arthritis, cellulites,
pericarditis, empyema dan osteomyelitis.  Serotipe lainnya jarang sekali
menyebabkan meningitis.
c)      Distribusi penyakit
Tersebar di seluruh dunia; paling prevalens diantara amak umur 2 bulan sampai 3
tahun; jarang terjadi pada usia 5 tahun. Di negara berkembang, puncak insidensi
adalah pada anak usia kurang dari 6 bulan; di Amerika Serikat pada anak usia 6-
12 bulan. Sebelum adanya vaksin untuk Hib di Amerika Serikat, kira-kira 12.000
kasus meningitis Hib dilaporkan terjadi pada anak umur kurang dari 5 tahun
dibandingkan dengan hanya 25 kasus pada tahun 1998. Sejak tahun 1990-an,
dengan penggunaan vaksin secara luas pada anak-anak, meningitis yang
disebabkan Hib boleh dikatakan telah menghilang; sekarang banyak kasus terjadi
pada orang dewasa dibandingkan pada anak-anak. Kasus sekunder dapat terjadi di
lingkungan dan tempat penitipan anak.
d)      Reservoir – Manusia.
e)      Cara penularan
Melalui droplet, sekret hidung dan tenggorokan selama periode infeksius. Tempat
masuknya kuman seringkali adalah nasofaring.
f)       Masa inkubasi – Tidak diketahui, mungkin sekitar 2-4 hari.
g)      Masa penularan
Selama masih ada kuman di tenggorokan selama itu orang tersebut dapat
menularkan kepada orang lain; berlangsung cukup lama, walaupun tidak
ada discharge hidung. Penderita tidak lagi menular dalam waktu 24-48 jam
setelah dimulainya pengobatan dengan antibiotika yang efektif.
h)      Kerentanan dan kekebalan
Semua orang rentan terhadap infeksi. Imunitas timbul ditandai dengan adanya
antibodi bakterisidal dan atau antibodi antikapsul di dalam darah baik yang
didapat secara transplacental maupun karena terinfeksi sebelumnya atau karena
imunisasi.
i)        Cara-cara pemberantasan
 Upaya pencegahan
1) Melalui program imunisasi pada anak-anak. Beberapa jenis vaksin yang berisi
konyugat protein polisakarida dapat melindungi anak-anak dari meningitis pada
umur lebih dari 2 bulan dan vaksin ini telah terdaftar di AS sebagai vaksin tunggal
atau sebagai vaksin kombinasi dengan lainnya. Imunisasi dianjurkan mulai
diberikan sejak usia 2 bulan, diikuti dengan dosis berikutnya diberikan setelah 2
bulan, jumlah dosis bervariasi tergantung jenis vaksin yang digunakan. Semua
jenis vaksin membutuhkan booster pada usia 12-25 bulan. Imunisasi rutin tidak
dianjurkan pada anak usia di atas 5 tahun.
2) Lakukan pengamatan kasus yang mungkin timbul pada populasi yang rentan
seperti pada tempat-tempat penitipan anak dan rumah yatim piatu.
3) Berikan penyuluhan kepada orang tua tentang kemungkinan timbulnya kasus
sekunder pada saudara penderita yang berumur kurang dari 4 tahun dan perlu
dilakukan evaluasi dan pengobatan bila ditemukan penderita dengan demam atau
kaku kuduk.
.
 Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat; di daerah endemis tertentu di
Amerika Serikat wajib dilaporkan.
2) Isolasi: Isolasi saluran nafas selama 24 jam setelah dimulainya pengobatan.
3) Perlindungan kontak: Pengobatan profilaksis dengan rifampin (diberikan oral
sehari sekali selama 4 hari dengan dosis 20 mg/kg BB, dosis maksimal 600
mg/hari), diberikan kepada semua kontak serumah (termasuk orang dewasa) 362
dimana di dalam rumah tersebut ada satu atau lebih bayi (selain dari kasus indeks)
yang berumur kurang dari 12 bulan atau di rumah tersebut ada anak berumur 1-3
tahun yang tidak mendapatkan imunisasi secara adekuat. Apabila dua atau lebih
kasus invasive ditemukan dalam waktu 60 hari, anak-anak yang tidak diimunisasi
atau diimunisasi tidak lengkap berkunjung ke tempat penitipan anak tersebut,
maka dilakukan pemberian rifampin kepada semua pengunjung dan petugas
perawatan anak. Bila hanya timbul satu kasus saja, pemberian pengobatan
profilaksis dengan rifampin masih diperdebatkan.
4) Investigasi kontak dan sumber infeksi: lakukan pengamatan kontak bagi
mereka yang berusia di bawah 6 tahun khususnya terhadap bayi yang ada di
rumah, yang berada pada pusat perawatan anak untuk melihat kalau ada tanda-
tanda sakit khususnya demam.
5) Pengobatan spesifik: Ampisilin merupakan obat pilihan (dalam bentuk suntikan
200-400 mg/kg BB/hari). Oleh karena 30% dari strain yang ada sudah resisten
terhadap ampisilin oleh karena bakteri tersebut memproduksi beta laktamase,
maka dianjurkan untuk menggunakan ceftriaxione,
cefotaxime atauchloramphenicol bersama dengan ampisilin atau tersendiri sampai
saat hasil tes sensitivitas terhadap antibiotika diperoleh. Pasien harus
diberi rifampin, sebelum dipulangkan dari rumah sakit untuk memastikan
eliminasi kuman.

  5.      Pneumococcal Meningitis
Meningitis pneumokokus mempunyai angka kematian yang sangat tinggi.
Dapat muncul dalam bentuk fulminan dan timbul bakterimia tanpa harus ada
infeksi di tempat lain, walaupun mungkin terjadi otitis media
atau mastoiditis pada saat yang sama. Biasanya penyakit muncul tiba-tiba berupa
demam tinggi, kelemahan umum atau koma dan tanda-tanda iritasi
meningeal. Pneumococcal meningitis dapat muncul sebagai penyakit sporadis
pada neonatus, pada orang usia lebih tua dan kelompok tertentu yang berisiko
seperti pasien tanpa limpa dan pada penderita dengan hipogamaglobulinemia.
Fraktur pada basis crania menyebabkan terjadi hubungan yang menetap dengan
nasofaring diketahui sebagai faktor predisposisi.

6.      Neonatal Meningitis
Neonatus dengan neonatal meningitis, timbul letargi, kejang, episode apnoe
(napas terhenti), susah makan, hipotermi dan kadang-kadang terjadi gangguan
berat pada pernafasan dan biasanya terjadi pada minggu-minggu pertama
kehidupan. Hitung darah putih bisa meningkat atau menurun. Kultur LCS
memperlihatkan adanya streptokokus grup B, Listeria monocytogenes  E. coli K-
1  atau kuman lainnya yang didapat melalui jalan lahir. Bayi usia 2 minggu-2
bulan bisa menunjukkan gejala yang sama, ditemukan mikroorganisme
Streptokokus grup B atau kelompok Klebsiella- Enterobacter-Serratia didalam
LCS dan bakteri ini biasanya didapat dari ruang perawatan. Meningitis pada kedua
grup ini berkaitan dengan terjadinya septikemia. Pengobatan dilakukan dengan
ampisilin ditambah dengan obat generasi
ketiga cephalosporin atau aminoglycoside, sampai kuman penyebab diketahui dan
hasil tes sensitivitas terhadap antibiotika sudah ada.
2.3.5. Patofisiologis

Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di organ


atau jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar secara hematogen sampai
ke selaput otak, misalnya pada penyakit Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia,
Bronchopneumonia dan Endokarditis. Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara
perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan yang ada di dekat selaput
otak, misalnya Abses otak, Otitis Media, Mastoiditis, Trombosis sinus kavernosus
dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan
fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi kuman-kuman ke dalam ruang
subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS (Cairan
Serebrospinal) dan sistem ventrikulus.
Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami
hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit
polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat.
Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu
kedua sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar
mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisaan dalam
terdapat makrofag.
Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan
dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi
neuronneuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen
menyebabkan kelainan kraniales. Pada Meningitis yang disebabkan oleh virus,
cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan Meningitis yang disebabkan oleh
bakteri.
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui :
1. Aliran darah (hematogen) karena infeksi di tempat lain seperti faringitis,
tonsillitis, endocarditis, pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering
didapatkan biakan kuman yang positif pada darah, yang sesuai dengan kuman
yang berada dalam cairan otak.
2. Perluasan langsung dari infeksi (per kontinuitatum) yang disebabkan oleh
infeksi dari sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus karvenosus.
3. Implantasi langsung: trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi
lumbal, dan mielokel.
4. Meningitis pada neonatus dapat terjadi karena :
 Aspirasi cairan dari cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui
jalan lahir atau oleh kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir.
 Infeksi bakterial secara transplasental terutama listeria.

Sebagian besar infeksi susunan syaraf pusat terjadi akibat penyebaran hematogen.
Saluran napas merupakan port de entrée utama bagi banyak penyebab meningitis
purulenta. Proses terjadinya meningitis bacterial melalui jalur hematogen diawali
dengan perlekatan bakteri pada sel epitel mukosa nasofaring dan melakukan
kolonisasi, kemudian menembus rintangan mukosa dan memperbanyak diri dalam
aliran darah dan menimbulkan bakterimia. Selanjutnya bakteri masuk ke dalam
cairan serebrospinal dan memperbanyak diri di dalamnya. Bakteri ini
menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak.

Infeksi

Pembuluh Darah Penetrasi Luka

CSS

Seluruh rongga sub arachnoid

Eksudat Tuberkel

Kelainan pembuluh darah Obstruksi sisterna basalis


(Arthritis-phlebitis)
Infark otak Hidrocephalus

Perlunakan otak

Gambar. Patofisiolofi Meningitis

2.3.6. Gejala Klinis


Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak,
letargi, muntah dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairan
serebrospinal (CSS) melalui pungsi lumbal. Meningitis karena virus ditandai
dengan cairan serebrospinal yang jernih serta rasa sakit penderita tidak terlalu
berat. Pada umumnya, meningitis yang disebabkan oleh Mumpsvirus ditandai
dengan gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjer
parotid sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada meningitis yang
disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit
tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai dengan timbulnya ruam makopapular
yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan ekstremitas. Gejala yang
tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu tampak lesi vasikuler pada
palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut timbul keluhan berupa sakit
kepala, muntah, demam, kaku leher, dan nyeri punggung.
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan
dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan
gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan
berkurang, dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan fontanella
yang mencembung. Kejang dialami lebih kurang 44 % anak dengan
penyebab Haemophilus influenzae, 25 % oleh Streptococcus pneumoniae, 21 %
oleh Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi Meningococcus. Pada anak-anak dan
dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas,
penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat,
malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur, keruh
atau purulen.
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau
stadiumprodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti
gejala infeksibiasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering
tanpa demam,muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan
turun, mudahtersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan
kesadaran berupaapatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul,
nyeri kepala,konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung,
halusinasi, dan sangat gelisah.Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama
1 – 3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami
nyeri kepala yang hebat dankadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-
anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat
menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun
menonjol dan muntah lebih hebat. Stadium III atau stadium terminal ditandai
dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma. Pada stadium ini
penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat
pengobatan sebagaimana mestinya.

2.3.7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik, pemeriksaan
laboratorium disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Selain itu penting juga
untuk melibatkan evaluasi neurologis secara menyeluruh, mengingat keterlibatan
infeksinya. Perlu ditanyakan mengenai riwayat perjalanan penyakit, onset, faktor
resiko yang mungkin ada, riwayat kelahiran, imunisasi, penyakit yang pernah
diderita, sehingga dapat dipastikan diagnosisnya.
Pemeriksaan Rangsangan Meningeal
1. Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi
danrotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan
tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu
tidak dapat disentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi
dan rotasi kepala.
2. Pemeriksaan Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada
sendipanggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin
tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai
sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha
biasanya diikuti rasa nyeri.
3. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher)
Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinyadibawah
kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepala
dengan cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bila
pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada leher.
4. Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendipanggul
(seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada
pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.
 
Pemeriksaan Penunjang Meningitis
1. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein
cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan
intrakranial.
a. Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel
darah putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).
b. Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah sel
darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa jenis
bakteri.
2. Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap Darah
(LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
a. Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Disamping itu,
pada Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED.
b. Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.
3. Pemeriksaan Radiologis
CT SCAN
Pada keadaan yang diduga meningitis bakterialis dengan penurunan
kesadaran, pemeriksaan CT-Scan cranium direkomendasikan sebelum lumbal
pungsi untuk menghindari herniasi otak akibat edema serebri. Pada meningitis
fase akut, Pemeriksaan CT-Scan biasanya normal. Lesi pada parenkim tidak
mudah terlihat pada gambaran CT-Scan, kecuali pada iskemik yang disebankan
oleh vaskulitis sekunder yang merupakan komplikasi pada lebih dari 20% kasus.
Gambaran parenkim yang abnormal sebanding lurus dengan gejala neurologis dan
akan memperburuk prognosis nya.
Jika gejala dan tanda (kaku kuduk, tanda kernig dan tanda laseque) ditemukan
maka dianjurkan untuk pemeriksaan Computer Tomography beserta pungsi lumbal
(bila tidak ada tanda edema otak). Pembuluh darah yang terpapar dengan dengan
eksudat inflamasi subarakhnoid mengalami spasme dan atau trombosis yang
selanjutnya akan menyebabkan iskemia dan akhirnya infark. Pada beberapa kasus
didapatkan gyrii dan cysterna menyempit (dengan kontras terlihat) yang
disebabkan oleh melebarnya sulcii karena eksudat yang mengisi sulcii akibat
proses inflamasi, gyral enhancement, tampak lesi hipodens di ganglia basalis, dan
sistem ventrikel melebar

Gambar. Gyral enhancement pada meningitis bacterial akut


Gambar. Melebarnya system ventrikel pada meningitis bacterial akut disertai
ventrikulitis.

Komplikasi

1. Empiema
Empiema biasanya merupakan komplikasi dari infeksi atau kantong pus yang
terlokalisasi (abses) dalam otak. Empiema adalah suatu efusi eksudat yang
disebabkan oleh infeksi langsung pada rongga tubuh yang menyebabkan
cairan tubuh menjadi purulen atau keruh. Gambaran CT-scan tampak lesi
hipodens.

Gambar. Empiema subdural pada pasien meningitis bakteri

2. Abses
Fase awal abses otak ditandai dengan edema lokal, hiperemia infiltrasi
leukosit atau melunaknya parenkim. Trombisis sepsis dan edema. Beberapa
hari atau minggu dari fase awal terjadi proses liquefaction atau dinding kista
berisi pus. Gambaran CT scan tampak lesi hipodens dengan dinding bulat
(kantong) hiperdens.

Gambar. Abses pada meningitis kronis


3. Hydrocephalus
Berdasarkan Anatomi /tempat obstruksi CSS
 Hidrosefalus tipe obstruksi /non komunikans
Terjadi bila CSS otak tergangu (Ganguan di dalam atau pada sistem
ventrikel yang mengakibatkan penyumbatan aliran CSS dalam sistem
ventrikel otak), yang kebanyakan disebabkan oleh kongenital : stenosis
akuaduktus Sylvius (menyebabkan dilatasi ventrikel lateralis dan
ventrikel I. Ventrikel IV biasanya normal dalam ukuran dan
lokasinya). Yang agak jarang ditemukan sebagai penyebab
hidrosefalus adalah sindrom Dandy-Walker, Atresia foramen Monro,
malformasi vaskuler atau tumor bawan. Radang (Eksudat, infeksi
meningeal). Perdarahan/trauma (hematoma subdural). Tumor dalam
sistem ventrikel (tumor intraventrikuler, tumor paraselar, tumor fosa
posterior).
 Hidrosefalus tipe komunikans
Jarang ditemukan. Terjadi karena proses berlebihan atau ganguan
penyerapan (Ganguan di luar sistem ventrikel).
 perdarahan akibat trauma kelahiran menyebabkan
perlekatan lalu menimbulkan blokade vili arachnoid.
 Radang meningeal
 Kongenital :
- Perlekatan arachnoid/sisterna karena ganguan pembentukan.
- Ganguan pembentukan vili arachnoid
- Papiloma plexus choroideus
CT scan kepala
 Pada hidrosefalus obstruktif CT scan sering menunjukan pelebaran dari
ventrikel lateralis dan ventrikel I. Dapat terjadi di atas ventrikel ebih besar
dari ocipital horns pada anak yang besar. Ventrikel IV sering ukuranya
normal dan adanya penurunan densitas oleh karena terjadi reabsorpsi
transependimal dari CSS.
 Pada hidrosefalus komunikan gambaran CT scan menunjukan dilatasi
ringan dari semua sistem ventrikel termasuk ruang subarakhnoid di
proksimal dari daerah sumbatan.

Keuntungan CT scan :
1. Gambaran lebih jelas
2. Non traumatik
3. Meramal prognose
4. Penyebab hidrosefalus dapat diduga

Gambar. Ventriculomegaly pada hidrosefalus

Gambar. CT-Scan seorang pasien dengan meningitis tuberculosis


menunjukkan perubahan inflamasi perivaskuler dan infark temporer yang
disebabkan oleh vaskulitis.
Gambar 1. Meningitis bakterial sebagai komplikasi dari sinusitis frontal (kiri).
Edema serebral sisi kiri dan hiperemia korteks serebral. Empyema subdural di sisi
kiri dari falx posterior.

Gambar 2. Ependemitis granular setelah operasi multipel ventrikular shunt.


Penebalan ependym ventrikular dan gambaran hipodens dari jaringanserebral
paraventrikular.

Gambar 3. Ensefalitis emboli fokal pada endokarditis bakterial subakut.


Ditahap akut (a,b), multiple contrast-enhancing foci, pada follow-up 14 hari
setelahnya (c)

Gambar 4a,b. Kolesteatoma dengan destruksi os. Petrosa dan invasi ke fossa
cranial posterior. Tampak kolesteatoma di telinga tengah dan mastoid destruksi
tulang (a). Gambaran post-contrast tampak abses intrakranial.
Gambar 5. Defek serebral luas pada ensefalitis fokal.

Gambar. Pada CT, peningkatan kontras setelah infark terjadi pada tahap sub-akut, dan
umumnya dimulai menjelang akhir minggu pertama. Peningkatan puncak terjadi pada
minggu ke 2 dan 3, dan secara bertahap memudar selama minggu-minggu berikutnya.
(kanan Axial non-contrast. kiri axial dengan contrast)

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Magnetic Resonance Imaging (MRI) bukan merupakan pemeriksaan rutin
pada kasus meningitis bakterialis tanpa komplikasi. pemeriksaan MRI akan
membantu memberikan gambaran yang lebih jelas pada parenkim otak. Pada
kasus komplikasi berupa kejang dan disertai dengan gejala-gejala fokal, MRI
lebih baik jika dibandingkan dengan CT-Scan dalam menggambarkan lesi
parenkim pada kasus meningoensefalitis atau komplikasi vaskulitis akibat rentetan
FLAIR (Fluid Attenuated Inversion Recovery).
Gambar. Acute bacterial meningitis. This axial T2-weighted magnetic resonance
image shows only mild ventriculomegaly.

Gambar. Acute bacterial meningitis. This contrast-enhanced, axial T1-weighted


magnetic resonance image shows leptomeningeal enhancement (arrows).

2.3.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi dan perawat perlu
menyesuaikan dengan standar pengobatan sesuai tempat bekerja yang berguna
sebagai bahan kolaborasi dengan tim medis. Secara ringkas penatalaksanaan
pengobatan meningitis meliputi:
a. Pengobatan Simtomatis:
1) Antikonvulsi, Diazepam IV; 0,2 – 0,5 mg/kgBB/dosis, atau rektal : 0,4 – 0,6
mg/kgBB indikasi meringankan spasme otot rangka, atau Fenitoin 5 mg/kgBB/24
jam indikasi anti kejang, 3 x sehari atau Fenonarbital 5 – 7 mg/kgBB/24 jam, 3 x
sehari. Indikasi anti kejang
2) Antipiretik : parasetamol/asam salisilat 10 mg/kgBB/dosis. Indikasi analgesik
3) Antiedema serebri: Diuretik osmotik (seperti manitol) dapat digunakan untuk
mengobati edema serebri.
4) Pemenuhan Oksigenisasi dengan O2.
5) Pemenuhan hidrasi atau pencegahan syok hipovolemik : pemberian tambahan
volume cairan intravena.

b. Obat anti infeksi (meningitis tuberkulosa)


1) Isoniazid 10 – 20 mg/kgBB/24 jam, oral,2 x sehari maksimal 500 mg selama 1½
tahun. Indikasi memnghambat pembentukan dinding sel bakteri
2) Rifampisin 10 – 15 mg/kgBB/24 jam, oral, 1 x sehari selama 1 tahun indikasi : anti
infeksi
3) Streptomisin sulfat 20 – 40 mg/kgBB/ 24 jam, IM, 1-2 x sehari selama 3
bulan.Indikasi Indikasi Menghambat/membunuh pertumbuhan mikroorganisme

c. Obat anti infeksi (meningitis bakterial)


1) Sefalosporin generasi ketiga Indikasi menghambat sintesis dinding sel mikroba
2) Amfisilin 150 – 200 mg (400mg)/kgBB/24 jam, IV, 4 – 6 x sehari
Indikasi antibakteri Gram + dan Gram – 
3) Kloramfenikol 50 mg/kgBB/24 jam IV 4 x sehari. Indikasi menghambat sintesa
protein sel mikroba. 

Pengobatan biasanya diberikan antibiotik yang paling sesuai untuk setiap


mikroorganisme penyebab meningitis :

Dosis Total Sehari Interval


Antibiotik Organisme
Untuk Dewasa Pemberian
Penicilin G Pneumoccocci 20 juta U/hr 2 – 4 jam
Meningoccocci
Streptoccocci
Ampicillin 18 gr/hr 4 jam
Cefotaxime 12 gr/hr 4 jam
Ceftazidime 6 gr/hr 4 jam
Ceftriaxone 4 gr/hr 6 jam
Chlorampenikol Haemofilus 4 gr/hr 6 jam
Influenza
Amikacin 15 mg/kg/hr 12 jam
Bactrim 10 mg/kg/hr 8 jam
Metronidazole 1 – 2 gr/hr 12 jam
Sulbenicillin 12 gr/hr 4 jam
Cloxacillin 12 gr/hr 4 jam
Gentamicyn Klebsiella
Pseudomonas
Proleus
Terapi TBC Micobacterium
Tuber culosis
·           INH 5 - 10 mg/kg/hr 24 jam
·           Rifampisin 15 - 20 mg/kg/hr 24 jam
·           Pyrazinamide 30 - 35 mg/kg/hr 6 – 8 jam
·           Streptomicyn 15 mg/kg/hr i.m. 12 – 24 jam
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 ANAMNESIS
3.1.1 Identitas
Nama : Nn. Ajeng Astuti
Umur : 20 Tahun 10 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Klipang
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
No. CM : 390081
Tanggal Masuk : 26 Agustus 2019
Alloanamnesis dilakukan dengan Keluarga pasien pada Hari Senin, tanggal 2
September 2019 pukul 07.30 WIB
3.1.2 Keluhan Utama : Nyeri Kepala
3.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang :
Satu minggu sebelum masuk Rumah sakit, pasien mengeluhkan
pusing dan panas, nafsu makan menurun lalu pasien meminum obat penurun
panas dan pereda nyeri kepala yang dibeli di apotik.Selama seminggu pasien
tidak mampu beraktifitas karena dirasa tidak cukup kuat untuk berdiri.
Menurut keluarga, pasien pernah memiliki riwayat usus buntu saat
pasien masih duduk dikelas 1 SMP dan sudah dioperasi, pasien juga pernah
jatuh saat masih balita, namun pasien tidak pernah mengeluhkan sakit kepala
seperti saat ini.
Tepat pada malam hari setelah maghrib dirumah, sebelum masuk
Rumah Sakit pasien mengalami puncak gejalanya. Pasien mengalami bicara
kacau, bicara hanya bisa nggremeng, nafsu makan semakin menurun namun
keluarga belum ada rencana untuk membawa pasien ke RS.
Pada tanggal 26 Agustus 2019, pagi hari saat bangun tidur pasien
mengalami kaku pada tangan dan kaki, perasaan ingin muntah ketika sarapan,
dan pasien tiba-tiba tidak sadarkan diri sehingga pasien segera dibawa oleh
keluarga ke UGD RSUD Kota Semarang. Menurut keluarga ini kali pertama
pasien mengalami sakit seperti ini.
Di rumah sakit, tampak keadaan umum pasien lemah, somnolen -
stupor, pusing (+), GCS 14 (E4 M6 V4), pupil isokor, kekuatan otot 4/4, kaku
kuduk (+), N. cranialis (dbn), gelisah, akral dingin (-), pulsasi cukup, febris
(-), kamunikasi verbal (-). awal masuk Rumah Sakit pasien didiagnosa
Meningoenchepalitis dan pasien mendapatkan perawatan Rawat Inap di
Ruang HCU.

3.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu


 Sebelumnya tidak pernah mengalami sakit seperti ini.
 Riwayat Hipertensi disangkal
 Riwayat Diabetes Mellitus disangkal.
 Riwayat TBC disangkal
 Riwayat Kejang disangkal
 Riwayat Tumor disangkal
 Riwayat Stroke disangkal
 Riwayat Sakit Telinga disangkal
 Riwayat Sakit Gigi disangkal
 Riwayat mengkomsumsi Jamu disangkal
 Riwayat thyphoid

3.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga


 Tidak ada anggota keluarga yang pernah atau sedang mengalami sakit
seperti ini.
 Riwayat Hipertensi disangkal
 Riwayat TBC disangkal
 Riwayat Diabetes Mellitus disangkal
 Riwayat Tumor disangkal
 Riwayat Stroke disangkal

3.1.6 Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tidak mempunyai kebiasaan merokok, mengkonsumsi kopi ataupun
puyer apapun.
Pasien Tinggal dirumah orang tua.
Pasien berobat dengan BPJS non PBI
Kesan Sosial Ekonomi : Cukup

3.2 Pemeriksaan Fisik


Tanggal 2 September 2019 pukul 07.30 WIB di ruang Bima RSUD Kota Semarang.

 Status Present
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 20 Tahun 10 bulan
Berat Badan : 45 kg
Panjang Badan : 160 cm

 Tanda Vital
Tekanan Darah : 100 / 70 mmHg
Nadi : 74 x / menit, irama regular, isi cukup, equalitas sama
pada keempat ekstremitas.
Suhu : 36 ºC (aksila)
Frekuensi Nafas : 28 x / menit

 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Stupor
Kepala : Mesocephal
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut.
Mata : Palpebra simetris, cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), pupil bulat unisokor, reflek cahaya pupil (N).
Telinga : Serumen (-/-), tidak nyeri, tidak bengkak.
Hidung : Simetris, sekret (-/-), nafas cuping hidung (-/-)
Leher : Simetris, pembesaran kelenjar (-/-)
Tenggorokan :
 Faring
• Mukosa Bukal : Warna merah muda, hiperemis (+)
• Lidah : Dalam batas normal
• Uvula : di tengah, dalam batas normal
 Tonsil
• Ukuran : T 1- 1
• Warna : Hiperemis (-)
Thorax
 Paru-paru
Inspeksi : dbn
Palpasi : dbn
Perkusi : dbn
Auskultasi : Suara dasar vesikuler
Suara tambahan : wheezing (-/-), ronkhi (-/+)

 Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga ke VI, 2 cm kelateral linea mid
clavicularis sinistra, tidak kuat angkat, tidak melebar.
Perkusi :
Batas atas : ICS II linea parasternalis kiri
Pinggang : ICS III linea parasternalis kiri
Batas kiri : ICS VI 2 cm ke lateral linea midclavicularis kiri
Batas kanan : ICS VI linea sternalis kanan
Auskultasi : Reguler, Suara jantung murni, gallop (-), bising
Jantung (-)
 Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-) , turgor normal, massa (-), hepar
dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal

 Genitalia : Laki-laki, tidak ada kelainan


 Ekstremitas
Pemeriksaan Superior Inferior

Akral dingin -/- -/-

Reflek fisiologis +/+ (N) +/+ (N)

Reflek patologis -/- -/-

Sianosis -/- -/-

Petekhie -/- -/-

Gerakan Bebas Bebas

Kekuatan 4/4 4/4

Turgor kulit Cukup Cukup

 Status Neurologik
 GCS 15 , E4M6V5
 Pemeriksaan Rangsang Meningeal:
• Kaku kuduk ( + )
• Lasegue ( - )
• Kernig ( -)
• Brudzinski I/Brudzinski’s neck sign ( - )
• Brudzinski II/ Brudzinski’s contralateral leg sign ( - )
 Nervus kranialis : dalam batas normal
 Motorik:
• Kekuatan :4
• Tonus : Normal
 Sensorik : dalam batas normal
 Refleks fisiologis : dalam batas normal
 Refleks patologis : dalam batas normal
 Otonom : retensio urin (-), inkotinensia alvi (-)

3.3 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal 2 September 2019)
HEMATOLOGI
Hemoglobin : 8.9 g/dL ()
Hematokrit : 27,10 % ()
Jumlah Leukosit : 8,7 /uL (N)
Jumlah Trombosit : 152 x10³/uL (N)
KIMIA KLINIK
Ureum : 47,1 mg/dL ()
Creatinin : 0,6 mg/dL (N)
WIDAL
S typhi O : + 1/80
S typhi H : + 1/320

2. Pemeriksaan Radiologi
a. CT SCAN dengan Kontras (Tanggal 28 Agustus 2019)

Tanpa Kontras
Dengan Kontras

Interpretasi :
Pada brain window :
Tak tampak lesi hipodens maupun hiperdens intrakranial
Pasca injeksi kontras, tampak basal dan sulea enhancement
Sulkus kortikalis dan fisura sylvii tampak sedikit menyempit
Sistem ventrikel dan sisterna baik
Batang otak dan cerebelum baik
Tak tampak midline shifting
Pada bone window :
Tak tampak fraktur ossa cranium
Tak tampak lesi litik dan sklerotik pada tulang
Tak tampak penebalan mukosa pada sinus paranasalis yang terlihat
Tak tampak kemuraman pada kedua mastoid
Kesan :
Gambaran meningoensefalitis
Mulai tampak tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial saat ini

3.4 DIAGNOSIS
Meningtis

Diagnosis Banding :
• Meningitis bakteri
• Meningitis viral

3.5 PENATALAKSANAAN
A. MEDIKAMENTOSA
• O2 kanul 2 liter per menit
• Pasang DC
• Infus RL 20 tetes per menit
• Suction k/p
• Injeksi Methylprednisolon 3 x 125 mg
• Injeksi Lancholin 2 x 250 mg
• Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg
• Injeksi Ceftriaxon 2 x 2 gr
• Rawat luka

B. NON MEDIKAMENTOSA
• Tirah baring
• Minum obat teratur
• Rawat dekubitus
• Terapi nutrisi

3.6. PROGNOSIS
• Ad vitam : dubia ad bonam
• Ad functionam : dubia ad bonam
• Ad sanactionam : dubia ad bonam

DAFTAR PUSTAKA

1. Balentine, J. Encephalitis and Meningitis. 2010. Available


in : http://www.emedicine.com
2. Imaging in Bacterial Meningitis.Author: Lutfi Incesu, MD; Chief Editor: James G
Smirniotopoulos, MD. Available in : http://emedicine.medscape.com/article/341971-
overview#a20
3. Lange, S., Thomas, Kluge. Cerebral and Spinal Computerized Tomography – Second
Revised and Enlarged Edition.
4. Patterns of Contrast Enhancement in the Brain and Meninges, James G.
Smirniotopoulos, MD, Frances M. Murphy, MD, MPH, Radiographics.
5. Razonable, R. Meningitis Overview. Mayo Clinic College of Medicine. 2009.
available in :http://www.medscapeemedicine.com/meningitis.
6. Scheld, M. Infection of the Central Nervous System third edition. Lippincot William
and Wilkins. 2004.h.443.
7. Schossberg, D. Infections of the Nervous System. Springer Verlag. Philladelphia,
Pennsylvania. 2006.
8. Tunkel, A. Practice Guidelines for the Management of Bacterial Meningitis. Clinical
Infectious Disease. Infectious Disease Society of America. Phyladelpia. 2004.
9. Tsumoto, S. Guide to Meningoencephalitis Diagnosis. JSAI KKD Chalenge 2001.
10. Van de beek, D. Clinical Features and Prognostic Factors in Adult with Bacterial
Meningitis. NEJM.2004.

Anda mungkin juga menyukai