Anda di halaman 1dari 6

Catatan Cinta Anak Rantau Kepada Ibunya

Kepadamu yang sudah lama belum pulang. Kepadamu yang jarang meluangkan waktu
untuk sekadar menelepon orang tua. Kepadamu yang berada di tanah rantau, berjauhan
dari orang tua. Atas nama apa saja; atas nama menempuh karier, menempuh pendidikan,
hingga atas nama ikut suami yang kini bekerja di luar kota.

Ibu, sosok perempuan yang sangat sayang kepadamu. Sosok perempuan yang selalu ingat,
selalu bergetar batinnya, hatinya, dan jiwanya. Ibu, sosok perempuan yang sama sekali
mendampingi setiap langkahmu. Di saat-saat pikiranmu sibuk, nelangsa, susah, sedih,
bahagia, dan petaka, ibumu selalu ada untukmu; di saat kamu sakit, anakmu segera akan
lahir, dan apa pun yang akan kamu lakukan, ibumu selalu ada untukmu.

Sementara dirimu? Pernahkah kamu bayangkan, betapa ibumu tak pernah ingin
membuatmu repot. Ketika ibumu hanya sedikit meriang, atau bahkan sakit yang melebihi itu,
ibumu tidak pernah mau berkabar padamu. Bukan karena apa-apa, ia tidak ingin kamu
repot, tidak ingin mengganggumu, tidak ingin pikiranmu pecah karena disebabkan oleh
penyakit yang ia derita. Ia selalu tidak ingin mengganggumu.

Bahkan, di saat-saat ia harus periksa ke dokter, kadang ibumu rela untuk berutang uang
pada tetangga sekitar, daripada memberi tahu kebutuhannya padamu. Itulah seorang ibu
yang sangat menjaga agar tidak merepotkanmu. Pernahkah kamu berpikir sejenak,
meluangkan waktu 5 menit saja setiap hari untuk sekadar bertanya kabar mereka?
Pernahkah kamu meluangkan 5% saja dari pendapatanmu setiap bulan? Pernahkah kamu
mengajaknya jalan-jalan atau piknik sebagaimana kamu mengajak istrimu?

Ingatlah bahwa manusia pertama yang mendampingimu sejak dari dalam kandungan,
hingga kamu benar-benar bertemu dengan pasanganmu itu adalah ibumu. Orang tuamu
menyekolahkanmu di lembaga pendidikan yang terbaik, diajari tata krama yang baik, diajari
cara bergaul yang baik, diajari etos kerja yang baik. Ibumu bangun di tengah malam,
bersimpuh di haribaan Tuhan, mendoakanmu agar kamu menjadi anak yang sukses.

Dan setelah kamu benar-benar menjadi anak yang pintar, cerdas, kariermu melejit, hingga
kamu benar-benar menjadi orang sukses, hartamu berjibun dan menggunung, kamu lebih
suka membahagiakan pasanganmu yang sejatinya baru mendampingimu semenjak
pertemuanmu di usia dewasa. Pernahkah kamu berpikir kamu baru bertemu dengan
pasanganmu setidaknya di usia 25 tahun? Pernahkah kamu ingat, sebelum usia 25 tahun itu
didampingi, dibentuk, diayomi siapa? Ya, ibumu.
***
Setiap orang akan merasakan sedih luar biasa, ketika ibu yang sejatinya paling dekat dalam
hidup ini sudah tiada.
Betapa banyak manusia-manusia urban kita yang dengan tega menitipkan ibunya yang
sudah mulai tua di panti jompo; alasan-alasan yang tentu tidak dapat diterima hati nurani.
Alasan-alasan sibuk, masuk kantor, karier, dan seterusnya.
Pernahkah ingat bagaimana ibumu menyuapimu, memandikanmu, menyiapkanmu makan,
memberimu uang ketika kamu butuh, membelikanmu segala macam, bahkan jika ibumu
sedang tidak punya uang, ia rela menjual barang paling berharga yang ia miliki, agar bisa
mendapatkan uang, dan rencanamu tercapai.
Ibumu mungkin hanya punya sebuah cincin dan gelang emas, yang tentu saja dieman-
eman, ditaruh, disimpan, bahkan jika hanya terkait kebutuhan-kebutuhan kecil rumah
tangga, ia rela berutang kepada tetangga. Tetapi di saat kamu sedang butuh. Tidak segan-
segan, tidak lagi eman-eman, ibumu menjual barang berharganya itu demi kamu. Ingat,
demi kamu. Sekali lagi, demi kamu.

***

Dulu, sebelum kamu pergi merantau, mungkin saja ibumu masih sehat, segar, dan bugar.
Seiring berjalannya waktu dan usia, ibumu sudah mulai rapuh. Lengkung alisnya sudah
mulai keriput. Giginya satu per satu mulai berkurang. Rambutnya yang pada mulanya
menghitam, dan satu per satu mulai beruban.

Seiring berjalannya waktu pula, ibumu mulai sakit-sakitan. Dan di saat ibumu sakit-sakitan,
ibumu harus periksa ke dokter. Sementara kamu yang sudah mapan, memiliki fasilitas
lengkap; rumah, mobil, jabatan, dan seterusnya tak dapat mendampinginya sekadar periksa
ke dokter. Dengan sangat terpaksa, ibumu yang ingin periksa ke dokter itu ternyata diantar
oleh tetangganya. Pernahkah kamu merasa miris dengan semua pencapaianmu itu?
Pernahkah kamu merasakan atau sekadar bertanya pada dirimu sendiri, ke mana anak ibu
yang dari dalam kandungan dididik, ditimang setelah lahir, disuapi, disekolahkan? Kamu
tidak ada dalam momentum ini. Betapa menyedihkannya setiap anak yang tidak bisa
mendampingi ibunya di saat-saat begini.

Tetapi dari jauh sana, ibumu tetap selalu ada untukmu. Dari jauh sana, ibumu selalu
mendampingimu.

Damar Kembang*

Aku memujamu dengan api ini, anakku.


Sebab aku tahu rahasia pendar damar
pada sumbu kapas yang desisnya
terdengar. Di atas sekerat daun lontar dan
jelantah itu, suluh damar menjadi kompas
bagiku, dan kusulut ia bagi jiwamu, agar
nyala dan terangnya meresap ke dasar
hatiku.

Bila api menggeliat di udara: ke kanan


dan ke kiri. Ia melarut jiwa. Kau pasti
bahagia di sana. Dan bila ia mati, kusulut
lagi, mati lagi; gerimis bening tumpah
dari mataku, memadamkan segala
sukamu.

Bagiku, kau adalah api itu, anakku. Api


yang berkobar di aliran darahku, sumsum
tulang, dan detak jantungku. Garis nasib
yang kau ikuti lajurnya adalah
perpanjangan sumbu yang kau sulut di
rahimku dulu. Karena itu, aku menjagamu
tak mengenal waktu.

 Singosaren, April 2011***

Apa yang kamu rasakan ketika kamu pulang kampung? Begitu kamu tiba di rumah asalmu.
Rumah yang menyimpan jutaan kisah masa kecil. Rumah yang menyimpan kasih sayang
dan rumah yang membentukmu sebagaimana capaian-capaianmu hingga hari ini.

Di depan pintu atau di halaman depan, berdiri seorang perempuan yang cantiknya melebihi
kecantikan semua pesona perempuan yang paling memesona di dunia ini. Ia menyambutmu
dengan hati bahagia. Ia menyambutmu dengan penuh rasa hormat. Ia menyambutmu
dengan penuh rasa kangen. Ia menyambutmu dan anak-anakmu. Ia menyiapkan makanan
kesukaanmu. Bahkan bisa jadi, ia ingin menyuapimu sebagaimana ia menyuapimu di waktu
kecil.

Bahkan kadang ia memanjakanmu. Ia membuka kancing bajumu agar kamu tidak sumuk. Ia


mengambilkanmu minum. Ia melakukan segalanya yang ia bisa lakukan untukmu. Masih
ingatkah peristiwa-peristiwa ini di tengah kesibukanmu di rantau? Masih ingatkah
bagaimana ibumu menyambutmu?

Dan di saat kamu harus kembali ke rantau, di saat jubelan pekerjaanmu yang menumpuk itu
menunggumu, kamu harus segera kembali, ibumu menyiapkan oleh-oleh. Mungkin saja
barang yang diberikannya padamu dapat kamu beli dengan sejumlah uang di dompetmu.
Tapi ukuran kasih sayang yang diberikan ibumu tidak sebanding dengan semua harta yang
kamu miliki. Harga kasih sayang ibumu tidak dapat dibeli dengan seluruh harta yang kamu
miliki.

Dan kini, waktu menuntutmu untuk segera kembali. Jam keberangkatanmu sudah tiba.
Mobilmu sudah menyala di halaman. Lalu kamu, ayahmu, ibumu, istrimu, dan anak-anakmu
diminta untuk masuk di sebuah kamar. Ayah dan ibumu duduk di sebuah kursi. Sementara
kamu, istrimu, dan anak-anakmu duduk menghadap mereka.

Pelan-pelan ayahmu mengangkat tangannya untuk keselamatanmu di perjalanan. Setelah


ayahmu berdoa selesai, kini ibumu yang menengadahkan tangan. Matanya terpejam. Ia
terus merapal segala doa yang ia bisa. Ia terus berusaha tegar. Tetapi perlahan-lahan,
butiran-butiran air mata pelan-pelan mengalir. Dan mungkin saja anakmu yang belum
mengerti apa-apa secara spontan akan berkata, “Mbah! Mbah kenapa kok menangis?”

Setelah doa usai dipanjatkan, semua yang ada di dalam ruangan itu beranjak menuju
halaman. Kamu dan istrimu mulai bersalaman kepada mereka. Anak-anakmu mulai naik ke
dalam mobil. Kamu pun segera menaiki mobil.

Lihatlah, ibumu masih mencium anak-anakmu, mencium cucu-cucunya yang ia sayangi.


Lihatlah mata ibumu yang berkaca-kaca. Lihatlah dengan mata hatimu. Betapa berat ibumu
melepas kepergianmu. Betapa berat ibumu menyongsong jarak. Tapi atas nama seorang
ibu yang tidak ingin memaksa anaknya untuk bersamanya. Ia tidak melakukan apa-apa
kecuali air mata dan kilau doa.

Mobilmu pelan-pelan berjalan. Kamu, istrimu, dan anak-anakmu melambaikan tangan.


Kamu melihat butiran air mata ibumu kian lancar mengalir. Dengan sangat berat, ia
melambaikan tangan pula padamu. Dengan sangat berat ia melepasmu. Dan dari lambaian
tangannya yang gemulai, dari bilik hatinya yang sedih, dari bilik jiwanya yang paling sunyi, ia
ingin mengatakan, “Anakku! Jangan pergi! Jangan pergi!”
Tetapi kamu tidak pernah mendengar suara jiwa itu, atau kamu sengaja tidak
mendengarkan suara jiwa itu.

Ingatlah, jika ada seorang anak yang sukses, itu bukanlah semata-mata kesuksesan anak,
tetapi kesuksesan orang tua. Tetapi bila ada anak yang gagal, itu bukanlah kegagalan orang
tua, melainkan kegagalan anak yang tidak benar-benar menempuh kehidupan. Itulah
sebabnya, penyair kondang D. Zawawi Imron pernah berkumandang melalui puisiyang
berjudul “Ibu”:

kalau aku merantau lalu datang musim kemarau


sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir

bila aku merantau


sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

ibu adalah gua pertapaanku


dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu

bila aku berlayar lalu datang angin sakal


Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku.

Singosaren, 13 November 2015

Anda mungkin juga menyukai