FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
REFERAT
NECROSIS CAPUT FEMUR
Disusun Oleh:
Riyska Amalia
111 2019 2048
Pembimbing:
dr. Syarif Hidayatullah M.Kes,Sp.OT
1
LEMBAR PENGESAHAN
Indonesia.
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang atau tulang rawan
bisa komplet atau inkomplet atau diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh gaya
yang melebihi elastisitas tulang.4 Fraktur juga melibatkan jaringan otot, saraf, dan
pembuluh darah di sekitarnya. Secara klinis, fraktur dibagi menjadi fraktur
terbuka (open/compound fracture), yaitu jika patahan tulang itu menembus kulit
sehingga berhubungan dengan udara luar, dan fraktur tertutup (simple fracture),
yaitu jika fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar atau kulit di lokasi
fraktur masih intak. Pembagian fraktur terbuka berdasarkan Gustillo dan
Anderson dibagi menjadi derajat I, II, IIIA, IIIB, dan IIIC.5,6
Badan Kesehatan Dunia (WHO 2011) dan Depkes 2007 mencatat bahwa
kecelakaan lalu lintas menewaskan hampir 1,3 juta jiwa diseluruh dunia atau 3000
kematian setiap hari dan menyebabkan cedera sekitar 6 juta orang setiap
tahunnya.1,2 Kecelakaan di Indonesia menunjukkan peningkatan 6,72% dari
57.726 kejadian di tahun 2009 menjadi 61.606 insiden di tahun 2010 atau berkisar
168 insiden setiap hari dan 10.349 meninggal dunia atau 43,15%.1 Kecelakaan
lalu lintas merupakan penyebab terbanyak terjadinya fraktur, tapi fraktur juga bisa
terjadi akibat faktor lain seperti proses degeneratif dan patologi.2 Kejadian fraktur
di Indonesia sebesar 1,3 juta setiap tahun dengan jumlah penduduk 238 juta,
merupakan terbesar di Asia Tenggara.3 Hasil tim survei Depkes RI 2007
didapatkan 25% penderita fraktur mengalami kematian, 45% mengalami cacat
fisik, 15% mengalami stres psikologis dan bahkan depresi, serta 10% mengalami
kesembuhan.2
jarang ditemukan pada literatur. Se- bagian besar kasus fraktur dari shaft regio
antebrachii terjadi pada anak-anak. Untuk usia diatas 20 tahun, jum- lah kasus
tahunan hanya di bawah 2 per 10.000 orang, dominan terjadi pada laki-laki
dibandingkan pada per- empuan di semua kelompok umur18
3
Fraktur Monteggia sediri merupakan suatu fraktur yang bisa terdiagnosis
meskipun tidak menggunakan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan X-
Ray, namun sekalipun pemeriksaan tersebut dilakukan, dislokasi atau subluksa- si
dari caput radii tetap sering terlewat dan tidak dikenali. Karena seringnya
terlewat, maka penanganan terhadap dislokasi dari caput radii tadi sering tidak
dilakukan dan menjadi kendala tersendiri dalam perkembangan dan pemulihan
dari fraktur tersebut. Untuk itu penting mengetahui lebih terperinci mengenai
fraktur Monteggia mulai dari gejala klinis, pemeriksaan penunjang serta
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Fraktur
1. Definisi
2. Etiologi
5
2) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat
infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang
progresif, lambat d
3). Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain,
biasanya disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh
karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
3. Klasifikasi
a. Berdasarkan penyebab10
1) Non Trauma: Fraktur terjadi karena kelemahan tulang akibat
kelainan patologis didalam tulang, ini bisa karena kelainan
metabolik atau infeksi.
2) Trauma: Trauma dapat dibagi menjadi dua yaitu langsung dan
tidak langsung.
b. Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan dan sekitar10
1) Fraktur tertutup (simple fracture). Fraktur tertutup adalah
fraktur yang fragmen tulangnya tidak menembus kulit sehingga
tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan / tidak
mempunyai hubungan dengan dunia luar.
2) Fraktur terbuka (compound fracture) fraktur terbuka
merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan
lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi
sehingga timbul komplikasi berupa infeksi. Luka pada kulit
dapat berupa tusukan yang tajam keluar menembus kulit (from
within) atau dari luar oleh karena tertembus misalnya oleh
peluru atau trauma langsung (from without).
6
c. Berdasarkan bentuk patahan tulang9
7
3) Oblik; adalah garis fraktur yang memiliki patahan arahnya
miring dimana garis patahnya membentuk sudut terhadap
tulang.
4) Segmental; adalah dua garis fraktur berdekatan pada satu
tulang, ada segmen tulang yang retak dan ada yang terlepas
menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darah.
5) Kominuta; adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen,
atau terputusnya keutuhan jaringan dengan lebih dari dua
fragmen tulang.
6) Greenstick; adalah garis fraktur tidak sempurna atau garis
patahnya tidak lengkap dimana korteks tulang sebagian masih
utuh demikian juga periosteum. Fraktur jenis ini sering terjadi
pada anak – anak.
7) Fraktur impaksi; Adalah garis fraktur yang terjadi ketika dua
tulang menumbuk tulang ketiga yang berada diantaranya,
seperti pada satu vertebra dengan dua vertebra lainnya.
B. Fraktur Monteggia
8
sebagai dua kerucut (cones) yang terletak berdampingan dengan satu
sama lain saling me- nunjuk pada arah yang berlawanan. Karena
letaknya yang berdampingan, maka segala cedera yang terjadi pada
regio antebrachii menimbulkan efek pada kedua tulang tesebut beserta
ligamen yang melekat pada os radius dan os ulna.
Seperti dikatakan sebelumnya bahwa secara konseptual, os
radius dan ulna diibaratkan sebagai dua kerucut (cones) yang ujungnya
sejajar, hal ini memungkinkan gerakan supinasi dan pronasi dengan
radius bergulir di sekitar ulna. Hal ini memunculkan aksioma bahwa
fraktur pada salah satu tulang di regio antebrachii, terutama ketika
terjadi angulasi dan displa- cement, biasanya disertai oleh fraktur atau
dislokasi dari tulang regio antebrachii lainnya.19
9
regio antebrachium. Caput radii akan mengalami dislokasi paling
sering ke arah anterior dan sepertiga proksimal dari ulna mengalami
fraktur serta melengkung ke arah anterior. Hiperekstensi adalah
penyebab paling sering dari fraktur Monteggia. Tipe yang jarang dari
fraktur Monteggia adalah yang disebakan oleh cedera fleksi (flexion
type) yang ditandai dengan angulasi posterior dari os ulna yang
mengalami fraktur disertai dislokasi ke arah posterior dari proksimal
radioulnar joint (PRUJ). 21,22
dengan tangan menopang tubuh. Bila pada momen tersebut tubuh agak
10
2) Tipe II: fraktur proksimal ulna dengan angulasi posterior
disertasi dislokasi posterior caput radii dan fraktur caput radii.
3) Tipe III: dislokasi lateral atau anterolateral dari caput radii
disertai fraktur metafise ulna.
4) Tipe IV: dislokasi anterior dari caput radii disertai fraktur radius
dan ulna
7. Gejala Klinis
11
mengetahui ada tidaknya cedera dari nervus radialis.21
8. Pemeriksaan Penunjang
12
9. Proses Penyembuhan Fraktur
13
akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan
vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis
dengan kapiler di dalamnya.
2) Tahap radang dan proliferasi seluler
Setelah pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut
disertai proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam saluran
medula yang tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan
sel yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang
membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus
berkembang ke dalam daerah tersebut.
3) Tahap pembentukan kalus
Sel yang berkembangbiak memiliki potensi kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai
membentuk tulang dan dalam beberapa keadaan, juga kartilago.
Populasi sel juga mencakup osteoklas yang mulai membersihkan
tulang yang mati. Massa sel yang tebal, dengan pulau-pulau tulang
yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada
permukaan periosteal dan endosteal. Sementara tulang fibrosa
yang imatur menjadi lebih padat, gerakan pada tempat fraktur
semakin berkurang pada empat minggu setelah fraktur menyatu.
4) Osifikasi
Kalus (woven bone) akan membentuk kalus primer dan secara
perlahan–lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh
aktivitas osteoblas yang menjadi struktur lamellar dan kelebihan
kalus akan di resorpsi secara bertahap. Pembentukan kalus dimulai
dalam 2-3 minggu setelah patah tulang melalui proses penulangan
endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang
benar-benar bersatu.
5) Konsolidasi
Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, fibrosa
yang imatur berubah menjadi tulang lamellar. Sistem itu sekarang
14
cukup kaku untuk memungkinkan osteoklas menerobos melalui
reruntuhan pada garis fraktur, dan dekat di belakangnya osteoblas
mengisi celah-celah yang tersisa antara fragmen dengan tulang
yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu
sebelum tulang cukup kuat untuk membawa beban yang normal.
6) Tahap menjadi tulang dewasa
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat.
Selama beberapa bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan
kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorpsi dan pembentukan
tulang akan memperoleh bentuk yang mirip bentuk normalnya.
c. Non-union
15
Non-union dari ulna harus ditangani dengan pemasangan plat serta
bone graft. 21
16
minggu setelah cidera gambaran khasnya berupa hipoksia,
takipnea, takikardia, dan pireksia.
3) Sindrom kompartemen (Volkmann's Ischemia)
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi
peningkatan tekanan interstisial di dalam ruangan yang terbatas,
yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan
tekanan intra kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya
perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi
gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan di dalam ruangan tersebut.
Ruangan tersebut terisi oleh otot, saraf dan pembuluh darah yang
dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot individual yang
dibungkus oleh epimisium. Sindrom kompartemen ditandai dengan
nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut nadi
yang hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak
di anggota gerak dan paling sering disebabkan oleh trauma,
terutama mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas.
4) Nekrosis avaskular tulang
Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali
mengakibatkan iskemia tulang yang berujung pada nekrosis
avaskular. Nekrosis avaskuler ini sering dijumpai pada kaput
femoris, bagian proksimal dari os. Scapphoid, os. Lunatum, dan os.
Talus.
5) Atrofi otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah
mencapai ukuran normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena
sel-sel spesifik yaitu sel-sel parenkim yang menjalankan fungsi
otot tersebut mengecil. Pada pasien fraktur, atrofi terjadi akibat
otot yang tidak digerakkan (disuse) sehingga metabolisme sel otot,
aliran darah tidak adekuat ke jaringan otot.
17
11. Penatalaksanaan Fraktur
gerakan fleksi dan ekstensi segera setelah operasi. Jika ada hambatan
dalam melakukan gerakan tersebut, maka harus dilakukan
immobilisasi menggunakan plester pada siku dalam kondisi fleksi
selama 6 minggu. 21
1. Definisi
18
yang sama dan memulihkan kekuatan otot. Latihan dilakukan segera
untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat tirah baring yang lama,
mecegah disabilitas, penderita dapat kembali ke tingkat fungsional
sebelum terjadinya fraktur 28
19
13. Goal Rehabilitasi Medik pada Fraktur Tibia dan Fibula
b. Jangka Panjang
Mempersiapkan pasien agar dapat berpartisipasi kembali dalam
kegiatan di lingkungan rumahnya
a. Terapi Konservatif
1) Proteksi saja
Untuk penanganan fraktur dengan dislokasi
fragüen yang minimal atau dengan dislokasi yang tidak akan
menyebabkan cacat di kemudian hari.
2) Immobilisasi saja tanpa reposisi
Misalnya pemasangan gips pada fraktur inkomplit
dan fraktur dengan kedudukan yang baik. Reposisi tertutup
20
dan fiksasi dengan gips
21
3) Terapi operatif dengan membuka frakturnya
a) Reposisi terbuka dan fikasasi interna /ORIF (Open
Reduction and Internal Fixation)
Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di
dalam sumsum tulang panjang, bisa juga berupa plat
dengan skrup di permukaan tulang. Keuntungan ORIF
adalah bisa dicapai reposisi sempurna dan bila dipasang
fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak perlu lagi
dipasang gips dan segera bisa dilakukan immobilisasi.
Kerugiannya adalah reposisi secara operatif ini
mengundang resiko infeksi tulang.
Indikasi ORIF:
22
III. Pasien yang hemodinamikanya tidak stabil sehingga
memerlukan penanganan stabilisasi secara cepat.
IV. Fraktur dengan kerusakan yang hebat ( comminutive
)
V. Kasus dimana internal osteosynthesis
dikontraindikasikan, misalnya infeksi fokal akut.
VI. Malunion, nonunion, deformitas traumatik, bone /
soft tissue defect.
VII. Deformitas kongenital.
VIII. Bedah estetika ( perbedaan panjang tungkai ).
c) Excisional arthroplasty
Membuang fragmen yang patah yang membentuk sendi.
23
sensorik, menambah Range Of Motion (ROM)/mengulur
tendon, memperlancar peredaran darah dan
memperlancar resorbsi oedema.
b) Indikasi TENS
24
e) Prosedur TENS
f) Parafin bath
25
padat dan tipis yang meliputi kulit -> tarik kembali ->
ulang 8-10x -> sampai terbentuk sarung tengan tebal
(mengisolasi bagian tubuh terhadap kehilangan
panas) -> bungkus dengan handuk kering untuk
mempertahankan panas -> lama 15-20 menit ->
setelah itu sarung tangan parafin dilepas
Metode immersion : mencelupkan tangan/kaki secara
terus-menerus kedalam cairan parafin -> terbentuk
sarung tangan pada sekitar kulit -> lama 20-30 menit
-> lebih efektif meningkatkan temperatur jaringan
tapi resiko luka bakar
Metoda breshing : dengan menggunakan kuas ->
untuk area yang tidak dijangkau (pinggang, hip, pada
regio yang besar)
g) Electrical stimulasi
26
2)Modalitas yang Termasuk Panas Gelombang
a) Shortwave Diathermy (SWD)
Indikasi
Kondisi peradangan dan kondisi sehabis
trauma (trauma pd musculoskeletal), adanya
keluhan nyeri pd sistem musculoskeletal (kodisi
ketegangan, pemendekan, perlengketan otot
jaringan lunak), persiapan suatu latihan/senam
(untuk gangguan pada sistem peredarah darah).
Kontra indikasi
Kehamilan, kecenderungan terjadinya
pendarahan, gangguan sensibilitas, adanya logam
di dalam tubuh, lokasi yang terserang penyakit
pada pembuluh darah arteri.
h) Teknik aplikasi SWD
27
i) Ultra Violet (UV)
28
anak yang mengalami keterlambatan dalam
pertumbuhan dan aktivitas (anak premature,
Cerebral Palsy).
ii. Radiasi lokal :
Penyakit kulit karena jamur, luka
lama (decubitus), hipopigmentasi (bekas
luka terbakar), acne vulvagaris.
II. Kontra indikasi
Penyakit yang akut (TBC, paru,
dermatitis, exim), penderita yang sedang
mendapat radioterapi, penderita alergis terhadap
sinar UV, sensitiser (adanya kemungkinan
penderita menjadi sensitive terhadap sinar UV
setelah pengobatan dengan obat-obatan tertentu,
misal : sulfa, insuline, thyroid extract, kinine,
gold therapy.
III. Prosedur penggunaan UV Dosis :
i. Untuk radiasi general -> dosis : sub
erytema, pengulangan 1×1 hari, 1 seri
12x
ii. Untuk radiasi lokal -> dosis E II
pengulangan 3 hari 1x, E III
pengulangan 3 minggu 1x, E IV
pengulangan 2 minggu 1x
IV. Teknik aplikasi
Sebelum terapi dilakukan tes MED
(Minimal Erytema Dosage). Posisikan pasien
senyaman mungkin, tutup semua bagian kecuali
area yang akan di tes, bersihkan dulu dengan
alkohol. Area yang akan diterapi diberi karbon
hitam yang ada lobangnya, area lain ditutup
29
rapat, untuk terapis pakai kacamata. Timer dlm
detik, alat tegak lurus pd kulit, jarak lampu dari
kulit 60-90 cm.
j) Infrared (IR)
30
sehingga bisa dimanfaatkan untuk mengurangi
peradangan.
I. Indikasi
Contoh kasus yg termasuk indikasi
Ultrasound : Rheumathoid Arthrosis,
Osteoarthrosis Genu, Hernia Nucleus Pulposus,
Low Back Pain, spasme cervical, tennis elbow,
frozen shoulder.
II. Kontra indikasi
Jaringan yang lembut (mata, ovarium,
testis, otak), jaringan yang baru sembuh,
jaringan/granulasi baru, kehamilan, pada daerah
yang sirkulasi darahnya tidak adekuat, tanda-
tanda keganasan, infeksi bakteri spesifik.
III. Teknik Aplikasi US :
Sebelum terapi : lakukan assesment, tes
sensibilitas, lokalisasi daerah terapi, tentukan
metode (langsung/tidak langsung), beri
penjelasan kepada pasien. Persiapan alat :
Persiapan pasien Penatalaksanaan US: Berikan
gel pada daerah yang akan diterapi, Ratakan gel
dgn tranduser, nyalakan alat, Timer ditentukan
dari = luas area dibagi dengan luas ERA,
Intensitas ditentukan oleh aktifitas patologi :
aktivitas tinggi : dosis rendah (1-1,5 W/cm²)
aktivitas sedang : dosis sedang (1,5-2 W/cm²)
aktivitas rendah : dosis tinggi (2-3 W/cm²)
Intensitas/durasi :
Pada kondisi akut à intermiten ; pada kondisi
kronik à continous Ultrasound dengan air (untuk
kasus sendi kecil dan permukaan tidak rata),
31
penerapannya : Tidak langsung bersentuhan dengan
air, jaraknya 1,5-2,5 cm. Untuk tranduser 1 MHz :
penentrasi lebih dalam, tapi area konvergen 3x lebih
kecil. Untuk tranduser 3 MHz : penentrasi lebih
kecil tapi area konvergen 3x lebih besar. Efek US >
Mekanis : menimbulkan efek micromassage ->
dilatasi -> inflamasi > Thermal : menimbulkan efek
panas tranduser lebih kecil dimana panas ringan
sampai 5 cm (deep) dan lebih dominan pada
continue. > Piezoelectric : perubahan muatan
membran sehingga terjadi proses kimiawi di
jaringan di sekitarnya > Biologis : menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah à meningkatkan
sirkulasi darah -> meningkatkan permeabilitas dan
regenerasi jaringan à menimbulkan rileksasi otot
sehingga akan mengurangi nyeri.
l) Microwave Diathermy(MWD)
32
iv. Membantu mengurangi rasa nyeri pada otot
dan sendi.
II. Indikasi
Selektif pemanasan otot (jaringan kolagen),
spasme otot (efektif untuk sendi Inter Phalangeal,
Metacarpal Phalangeal dan pergelangan tangan,
Rheumathoid Arthritis dan Osteoarthrosis), kelainan
saraf perifer (neuralgia neuritis)
III. Kontra indikasi
Adanya logam, gangguan pembuluh darah,
pakaian yang menyerap keringat, jaringan yang
banyak cairan, gangguan sensibilitas, neuropathi
(timbul gangguan sensibilitas dan diabetes melitus),
infeksi akut, transqualizer (alat pada pasien dengan
gangguan kesadaran), kehamilan, saat menstruasi.
IV. Efek fisiologis yang ditimbulkan MWD
Terjadinya perubahan panas yang sifatnya
lokal jaringan yang meningkatkan metabolisme
jaringan lokal, meningkatkan vasomotion sehingga
timbul homeostatik lokal yang akhirnya
menimbulkan vasodilatasi. Perubahan panas secara
general yang menaikkan temperatur pada daerah
lokal.
V. Teknik aplikasi MWD:
Persiapan alat, tes alat, pre pemanasan 5-10
menit, jarak <10cm dari kulit, persiapan pasien :
bebaskan dari pakaian dan logam, posisikan pasien
senyaman mungkin, tes sensibilitas, jarak 5-10 cm,
durasi 20-30 menit. alat 2456MHz, frekuensi terapi
3-5 x/minggu, intensitas 50-100 watt (toleransi
pasien), dosis intensitas ditentukan oleh aktualitas
33
patologi (aktualitas rendah : thermal, aktualitas
sedang : subthermal, aktualitas tinggi : a thermal)
m) Hot Packs
34
Penggunaan
35
Pengguna ice packs lebih praktis akan
tetapi apabila terjadi kebocoran kemasan dapat
menimbulkan bahaya iritasi kulit akibat bahan
kimia yang dikandungnya
n) Vapocoolant spray
36
tanki whirpool. Pada terapi ini aitr dan es dicampur untuk
mendapatkan suhu 10° sampai dengan 15° C.
I. Indikasi
Terapi ini biasanya dilakukan untuk pemulihan
paska latihan maupun kompetisi
II. Penggunaan
Penderita berendam di dalam air yang sudah
didinginkan. Proses ini berlangsung sekitar 10 sampai
dengan 15 menit. Ketika nyeri berkurang, terapi
dihentikan dan dilanjutkan terapi lain seperti massage
atau stretching. Pada saat nyeri kembali dirasakan,
dapat dilakukan perendaman kembali. Dalam tiap sesi
terapi, perendaman kembali dapat dilakukan sampai
tiga kali ulangan.
III. Perhatian khusus
Terapi dingin berpotensi untuk meningkatkan
penjendalan kolagen, konsekuensinya aktivitas fisik
harus dilakukan secara bertahap paska terapi dingin
p) Cyrokinetics
37
timbul, terapi dingin dapat diulang lagi sampai dengan
tiga kali.
Prosedur Cyrokinetics
I. Rendam bagian yang nyeri dalam air dingin (12-20
menit)
II. Latihan dilakukan selama rasa sakit tidak
menyerang (3-5 menit)
III. Pada saat nyeri muncul kembali dapat dilakukan
perendaman kembali dengan air dingin (3-5 menit)
IV. Siklus latihan perendaman dapat dilakukan sampai
dengan 3 kali ulangan
V. Prinsip Latihan
Latihan bersifat aktif tanpa bantuan
Latihan harus bebas rasa nyeri
Latihan dimulai dengan latihan ringan yang dinaikan
intensitas dan tingkat kesulitannya secara bertahap.
4)Modalitas yang Tergolong Mekanik
a) Traksi cervical dan lumbal
38
Biasanya rutin digunakan oleh penderita stroke atau
saraf kejepit di bagian leher.
III. Kontra indikasi
Perdarahan arteri temporalis, Tekanan
sangat sakit pada tulang , Sepsis – dari kulit ke
abses subdural, Perburukan status neurologis, Mata
juling dari jatuhnya nervus kranialis ke 6, Nyeri di
Tempero-mandibular, Kontraindikasi pada fraktur
mandibula , Sulit untuk mengontrol fleksi dan
ekstensi
q) Traksi lumbal ( traksi pinggang) suatu tehnik terapi
dengan menggunakan mesin mekanis berupa tarikan
/peregangan pada pinggang dan pelvis.
I. Tujuan:
i. Membantu merelaksasi otot-otot daerah
pinggang (lumbal).
ii. Membantu mengurangi penekanan/
kompresi/iritasi akar syaraf.
iii. Membantu penguluran / peregangan otot-otot
vertebrae regio lumbal.
Dosis penggunaan traksi lumbal pada kondisi nyeri
punggung bawah dengan sasaran untuk mengurangi spasme
otot :
i. Menggunakan beban tarikan 25% berat badan,
ii. Menggunakan traksi lumbal, teknik intermitent
dengan perbandingan tarikan/waktu rileks 5/5 detik,
iii. Total waktu yang diinginkan 20-30 menit, 2/3 kali
per minggu,menunjukkan hasil yang signifikan
dalam pengurangan nyeri dan perbaikan fungsional.
iv. Menurut Hoeker (1994) menggunakan beban
tarikan 25% berat badan tarikan kurang dari 10
39
detik pada fase tarikan menyebabkan jarak antar
sendi sangat minimal, akan tetapi dapat
mengaktifkan dan merangsang propioreseptor yang
ada pada sendi dan otot sehingga nyeri berkurang.
v. Sedangkan fase istirahat/rileks yang lebih pendek
tetapi juga berorientasi pada kenyamanan akan
berpengaruh pada perasaan panderita dan
merasakan releksasi otot sesaat sebelum traksi
lumbal dilanjutkan. Hal ini akan dapat
mempertahankan otot dalam posisi rileks yang pada
akhirnya mengurangi spasme otot, melancarkan
peredaran darah sehingga nyeri bisa berkurang.
40
s) Modalitas dengan laser
41
1) Jenis ROM
a) ROM Pasif
42
III. Dalam merencanakan program latihan ROM,
perhatikan umur pasien, Diagnosa, tanda-tanda
vital dan lamanya tirah baring.
IV. Bagian-bagian tubuh yang dapat di lakukan latihan
ROM adalah leher, jari, lengan, siku, bahu, tumit,
kaki, dan pergelangan kaki.
V. ROM dapat di lakukan pada semua persendian
atau hanya pada bagian-bagian yang di curigai
mengalami proses penyakit.
VI. Melakukan ROM harus sesuai waktunya.
Misalnya setelah mandi atau perawatan rutin telah
di lakukan.
w) Manfaat ROM
43
i. Kontraksi optimal : 6 detik, 1 x / hari
ii. Hati-hati pada kasus-kasus : HT, PJK
II. Isotonic Excercise : kontraksi otot bersamaan
dengan gerak sendi (beban statis, kecepatan
dinamis) tonus tetap
Ada 3 macam :
i. Concentric Contraction : kontraksi
memendek
ii. Excentric Contraction : kontraksi
memanjang
iii. PRE (progressive resistance exercise) :
beban ditambah bertahap
III. Isokinetic Excercise : kontraksi otot yang
merupakan gabungan dari no 1 & 2 beban
dinamis, tapi gerak statis (beban bisa optimal, tapi
kecepatan gerak tetap) yg bekerja adalah alatnya
i. Sering digunakan di tempat-tempat
kebugaran/ pusat latihan atlit
ii. Perlu alat khusus : Cybex (Dinamometer)
iii. Boleh untuk : HT, PJK
44
7)Latihan koordinasi/ coordination exercise
a) Koordinasi Jalan : Parkinson, ataxic gait, hemiplegi
Indikasi :
• Gangguan sistem pernafasan
• Pre – Post operasi
• Pre – Post Partum
• Sebagai selingan latihan
• Pertolongan pada pasien pingsan/ hampir pingsan
• Gangguan jantung dengan teknik khusus
Kontra Indikasi :
Haemoptoe, pada TBC aktif
Whooping Cough
Dosis :
W : 10 x 15 menit
P / F : 1 x / hari
S : 1 seri = 6 kali
9)Postural Drainage
Indikasi :
• Sekresi mukosa saluran nafas bawah yang sulit keluar
terutama pada bronchus
• Pre dan Post Operasi
Kontra Indikasi :
45
• Penyakit jantung
• Fraktur costa
• Luka daerah thorax
Dosis :
• W : 15 x 30 menit
• P : 1 – 2 x/ hari
• S : 1 seri = 6 x
I. Pola Klapp
II. Pola Wood cock
III. Pola X
IV. EDF EXERCISE (ELONGASI DEROTASI
FLEXION)
46
jj) Drainage Postural
12) Pekerjaan
Kerja adalah kegiatan produktif, baik dibayar atau
tidak dibayar. Pekerjaan di mana seseorang menghabiskan
sebagian besar waktunya biasanya menjadi bagian penting
dari identitas pribadi dan peran sosial, memberinya posisinya
47
dalam masyarakat, dan rasa nilai sendiri sebagai anggota yang
ikut berperan. Pekerjaan yang berbeda diberi nilai-nilai sosial
yang berbeda pada masyarakat. Termasuk aktivitas yang
diperlukan untuk dilibatkan pada pekerjaan yang
menguntungkan/menghasilkan atau aktivitas sukarela seperti
minat pekerjaan, mencari pekerjaan dan kemahiran, tampilan
pekerjaan, persiapan pengunduran dan penyesuaian,
partisipasi sukarela, relawan sukarela. Pekerjaan secara
individu memiliki banyak fungsi yaitu pekerjaan memberikan
orang peran utama dalam masyarakat dan posisi sosial,
pekerjaan sebagai sarana dari mata pencaharian, memberikan
struktur untuk pembagian waktu untuk kegiatan lain yang
dapat direncanakan, dapat memberikan rasa tujuan hidup dan
nilai hidup, dapat menjadi bagian penting dari identitas
pribadi seseorang dan sumber harga diri, dapat menjadi forum
untuk bertemu orang-orang dan membangun hubungan, dan
dapat menjadi suatu kepentingan dan sumber kepuasan.
48
e. Tahapan Terapi Okupasi
Menurut Tirta & Putra (2008) dan Untari (2006). Adapun
tahapan terapi okupasi, antara lain:
1) Tahap Evaluasi
Tahap evaluasi sangat menentukan bagi tahap-tahap
berikutnya. Pada tahap awal ini mulai dibentuk hubungan
kerjasama antara terapis dan pasien, yang kemudian akan
dilanjutkan selama tahap terapi okupasi. Tahap ini juga disebut
tahapan kognitif yang memfokuskan kemampuan pekerjaan
yang berorientasi pada keterampilan kognitif.
49
pasien, mempelajari berapa banyak kemungkinan atau
waktu yang dihabiskan, membandingkan beberapa
kegiatan yang menyenangkan dibanding bekerja, mengatur
waktu untuk hal yang menyenangkan (kebutuhan, pilihan,
hambatan, dan minat), dan mengatur waktu diri sendiri.
Keterampilan dasar yang diharapkan mendapatkan
keterampilan, memproses keterampilan, menyalurkan
keterampilan, dan ketegasan pasien.
50
untuk berinteraksi dengan cukup baik didalam suatu
kelompok sehingga dianggap akan mengganggu kelancaran
suatu kelompok, dan pasien yang sedang menjalani latihan
kerja dengan tujuan agar terapis dapat mengevaluasi pasien
lebih efektif. Sedangkan metode kelompok dilakukan untuk
pasien lama atas dasar seleksi dengan masalah atau hampir
bersamaan, atau dalam melakukan suatu aktivitas untuk
tujuan tertentu bagi beberapa pasien sekaligus. Sebelum
memulai suatu kegiatan baik secara individual maupun
kelompok maka terapis harus mempersiapkan terlebih dahulu
segala sesuatunya yang menyangkut pelaksanaan kegiatan
tersebut. Pasien juga perlu dipersiapkan dengan cara
memperkenalkan kegiatan dan menjelaskan tujuan
pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga dia atau mereka lebih
mengerti dan berusaha untuk ikut aktif. Jumlah anggota dalam
suatu kelompok disesuaikan dengan jenis aktivitas yang akan
dilakukan dan kemampuan terapis mengawasi. Sedangkan
peninjauan intervensi diartikan sebagai suatu tahap
berkelanjutan untuk mengevaluasi dan meninjau kembali
rencana intervensi sebelumnya, efektivitas pelaksanaannya,
sejauh mana perkembangan yang telah dicapai untuk menuju
target hasil akhir. Bilamana dibutuhkan, pada langkah ini
dapat dilakukan perubahan terhadap rencana intervensi.
51
15) Tahap Hasil Akhir
Tahap terakhir pada terapi okupasi adalah hasil akhir
(outcome). Hasil akhir disini diartikan sebagai dimensi
penting dari kesehatan yang berhubungan dengan intervensi,
termasuk kemampuan untuk berfungsi, persepsi kesehatan,
dan kepuasaan dengan penuh perhatian. Pada tahap ini
ditentukan apakah sudah berhasil mencapai target hasil akhir
yang diinginkan atau tidak. Jadi hasil akhir dalam bentuk
tampilan okupasi, kepuasaan pasien, kompetensi aturan,
adaptasi, pencegahan, dan kualitas hidup.
a) Orientasi
52
baru kemudian masing-masing pasien menyebutkan nama
dan alamatnya. Cara yang biasa digunakan adalah dengan
melemparkan balon yaitu pasien harus menyebutkan nama
apabila mendapatkan bola yang telah dilempar. Setiap kali
seorang pasien selesai memperkenalkan diri, terapis
mengajak semua pasien untuk bertepuk tangan. Tahap
pendahuluan memerlukan waktu 5-10 menit.
53
pp) Tahap Terminasi
54
KESIMPULAN
Dapat diambil kesimpulan bahwa fraktur monteggia banyak
terjadi pada seseorang baik remaja maupun usia lanjut. Fraktur ini dapat
disebabkan oleh karena trauma secara langsung maupun tidak langsung.
Tindakan operasi adalah suatu tindakan koreksi yang baik untuk fraktur
monteggia, karena adanya komplikasi mall union yang menyebabkan
deformitas pada tungkai. Sehingga dengan fiksasi ini diharapkan akan
mendapatkan keuntungan seperti; reduksi tepat, mencegah terjadinya
peradangan pada tulang, dan stabilitas yang segera.
55
Latihan diberikan secara bertahap dan semakin ditingkatkan sesuai
dengan kondisi pasien. Dalam pemberian terapi ini perlu diperhatikan
mengenai kondisi umum penderita, serta dosis latihan seperti lamanya
latihan sehingga tercapai tujuan yang diharapkan. Keberhasilan yang
dicapai pasien bukan hanya dari peran dokter sendiri melainkan oleh
kerja sama antara tim medis lainnya yang bekerja sesuai keahlian masing-
masing. Selain itu kerja sama dengan pasien adalah hal penting yang
mempengaruhi penyembuhan pasien tersebut
56
DAFTAR PUSTAKA
57
13. Buckley R, Panaro CDA. General Principles of Fracture Care [online]. [cited
2017 Januari 30]; Available from: URL:
http://www.emedicine.com/orthoped/topic636.html
14. Koval K, Zuckerman JD. Lower extremity fractures and dislocations. In:
Koval K, Zuckerman JD, editor. Handbook of fractures. 3rd ed. Lippincot
Williams & Wlkins; 2006. p.347-54.
15. Armis, Prinsip-pinsip Umur Fraktur dalam Trauma Sistem Muskuloskeletal,
FKUGM, Yogyakarta
16. Canale ST, Beaty JH. Campbell’s Operative Ortho- paedics E-Book.
Elsevier Health Sciences; 2012.
17. Ruedi TP, Buckley R, et al. AO principles of fracture management Vol 2
specific fractures. New York: Thieme, 2007; 2007.
18. Court-Brown CM, Bugler KE, Clement ND, Duc- kworth AD, McQueen
MM. The epidemiology of open fractures in adults. A 15-year review.
Injury. 2012;43(6):891–897.
19. Simon RR, Brenner BE. Emergency procedures and techniques. Lippincott
Williams & Wilkins; 2002.
20. Thompson JC. Netter’s concise orthopaedic anatomy. Elsevier Health
Sciences; 2009.
21. Solomon L, Warwick DJ, Nayagam S. Apley and So- lomon’s concise
system of orthopaedics and trauma. CRC Press; 2014.
22. Salter RB. Textbook of disorders and injuries of the musculoskeletal system:
An introduction to ortho- paedics, fractures, and joint injuries,
rheumatology, metabolic bone disease, and rehabilitation. Lippin- cott
Williams & Wilkins; 1999.
23. Egol KA, Koval KJ, Zuckerman JD. Handbook of fractures. Lippincott
Williams & Wilkins; 2010.
24. Apley, Graham. 2001. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. 8
edition. USA, Oxford University Press Inc.
25. Emedicine. 2017. Cruris Fracture. Accessed : 15 December 2017. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/825488-overview
58
26. Hoppenfeld, S., 2008. Treatment and Rehabilitation of Fractures. New
York: Lippicont & Wilkins.
27. Kisner, Carolyn & Lynn, Colby. 2007. Theurapetic Exercise Foundation
and Techniques. Third edition, Philadelphia: F.A Davis Company
28. Koval, Kenneth J. Handbook of Fractures 3rd edition. Lippincolt William &
Wilkins. 2001.
29. Liberman, J. R. & Friedlaender, G. E., 2005. Bone Regeneration and Repair
: Biology and Clinical Applications. New Jersey: Humana Press.
30. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta : Media
Aesculapius.
31. Sjamsuhidajat & De Jong, W., 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Ketiga
ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
32. Tajuid, Ucat. 2000. Pemeriksaan Fisioterapi pada Instabilitas Sendi Lutut.
TITAFIXV. Semarang.
33. Thomas, A. 2011. Terapi & Rehabilitasi Fraktur. Jakarta : EGC.
34. Trisnowiyanto, Bambang. 2012. Instrumen Pemeriksaan Fisioterapi dan
Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
35. White, R. & GM, B., 2010. Müller AO Classification of Fractures—Long
Bones. Switzerland, AO Foundation.
.
59