Anda di halaman 1dari 59

BAGIAN ORTHOPEDI DAN TRAUMATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

REFERAT
NECROSIS CAPUT FEMUR

Disusun Oleh:
Riyska Amalia
111 2019 2048

Pembimbing:
dr. Syarif Hidayatullah M.Kes,Sp.OT

BAGIAN ORTHOPEDI DAN TRAUMATOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Riyska Amalia

NIM : 111 2019 2048

Judul Referat : Nekrosis Caput Femur

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian

Orthopedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Muslim

Indonesia.

Makassar, Agustus 2020


Mengetahui
Pembimbing

dr. Syarif Hidayatullah M.Kes,Sp.OT

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang atau tulang rawan
bisa komplet atau inkomplet atau diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh gaya
yang melebihi elastisitas tulang.4 Fraktur juga melibatkan jaringan otot, saraf, dan
pembuluh darah di sekitarnya. Secara klinis, fraktur dibagi menjadi fraktur
terbuka (open/compound fracture), yaitu jika patahan tulang itu menembus kulit
sehingga berhubungan dengan udara luar, dan fraktur tertutup (simple fracture),
yaitu jika fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar atau kulit di lokasi
fraktur masih intak. Pembagian fraktur terbuka berdasarkan Gustillo dan
Anderson dibagi menjadi derajat I, II, IIIA, IIIB, dan IIIC.5,6
Badan Kesehatan Dunia (WHO 2011) dan Depkes 2007 mencatat bahwa
kecelakaan lalu lintas menewaskan hampir 1,3 juta jiwa diseluruh dunia atau 3000
kematian setiap hari dan menyebabkan cedera sekitar 6 juta orang setiap
tahunnya.1,2 Kecelakaan di Indonesia menunjukkan peningkatan 6,72% dari
57.726 kejadian di tahun 2009 menjadi 61.606 insiden di tahun 2010 atau berkisar
168 insiden setiap hari dan 10.349 meninggal dunia atau 43,15%.1 Kecelakaan
lalu lintas merupakan penyebab terbanyak terjadinya fraktur, tapi fraktur juga bisa
terjadi akibat faktor lain seperti proses degeneratif dan patologi.2 Kejadian fraktur
di Indonesia sebesar 1,3 juta setiap tahun dengan jumlah penduduk 238 juta,
merupakan terbesar di Asia Tenggara.3 Hasil tim survei Depkes RI 2007
didapatkan 25% penderita fraktur mengalami kematian, 45% mengalami cacat
fisik, 15% mengalami stres psikologis dan bahkan depresi, serta 10% mengalami
kesembuhan.2

Berdasarkan data mengenai kasus fraktur pada regio antebrachii masih

jarang ditemukan pada literatur. Se- bagian besar kasus fraktur dari shaft regio

antebrachii terjadi pada anak-anak. Untuk usia diatas 20 tahun, jum- lah kasus

tahunan hanya di bawah 2 per 10.000 orang, dominan terjadi pada laki-laki
dibandingkan pada per- empuan di semua kelompok umur18

3
Fraktur Monteggia sediri merupakan suatu fraktur yang bisa terdiagnosis
meskipun tidak menggunakan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan X-
Ray, namun sekalipun pemeriksaan tersebut dilakukan, dislokasi atau subluksa- si
dari caput radii tetap sering terlewat dan tidak dikenali. Karena seringnya
terlewat, maka penanganan terhadap dislokasi dari caput radii tadi sering tidak
dilakukan dan menjadi kendala tersendiri dalam perkembangan dan pemulihan
dari fraktur tersebut. Untuk itu penting mengetahui lebih terperinci mengenai
fraktur Monteggia mulai dari gejala klinis, pemeriksaan penunjang serta

penanganan yang tepat. 16


Penanganan fraktur terdiri atas penanganan preoperatif, intra operatif dan
pascaoperatif.4,6 Untuk mengatasi berbagai pemasalahan yang akan timbul akibat
trauma tersebut baik pre operasi maupun post operasi maka diperlukan juga
kerjasama yang melibatkan berbagai rehabilitasi medis antara lain dokter,
fisioterapi, okupasi terapi, yang secara bersama-sama bertugas memperbaiki,
menjaga dan memulihkan organ-organ yang terkena.7

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Fraktur

1. Definisi

Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur


tulang atau tulang rawan bisa komplet atau inkomplet atau
diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh gaya yang melebihi
elastisitas tulang. Energi yang sampai ke tulang melebihi batas
kekuatan tulang menyebabkan terjadinya fraktur.4,7

2. Etiologi

Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:8,9,10


a. Cedera Traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya
menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit di
atasnya.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh
dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan
menyebabkan fraktur klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari
otot yang kuat.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga
terjadi pada berbagai keadaan berikut :
1) Tumor Tulang ( Jinak atau Ganas ) : pertumbuhan jaringan
baru yang tidak terkendali dan progresif.

5
2) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat
infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang
progresif, lambat d
3). Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain,
biasanya disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh
karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.

3. Klasifikasi

a. Berdasarkan penyebab10
1) Non Trauma: Fraktur terjadi karena kelemahan tulang akibat
kelainan patologis didalam tulang, ini bisa karena kelainan
metabolik atau infeksi.
2) Trauma: Trauma dapat dibagi menjadi dua yaitu langsung dan
tidak langsung.
b. Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan dan sekitar10
1) Fraktur tertutup (simple fracture). Fraktur tertutup adalah
fraktur yang fragmen tulangnya tidak menembus kulit sehingga
tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan / tidak
mempunyai hubungan dengan dunia luar.
2) Fraktur terbuka (compound fracture) fraktur terbuka
merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan
lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi
sehingga timbul komplikasi berupa infeksi. Luka pada kulit
dapat berupa tusukan yang tajam keluar menembus kulit (from
within) atau dari luar oleh karena tertembus misalnya oleh
peluru atau trauma langsung (from without).

6
c. Berdasarkan bentuk patahan tulang9

Gambar 1. Bentuk patahan tulang

1) Transversal; adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus


terhadap sumbu panjang tulang atau bentuknya melintang dari
tulang. Fraktur semacam ini biasanya mudah dikontrol dengan
pembidaian gips.
2) Spiral; adalah garis fraktur meluas yang mengelilingi tulang
yang timbul akibat torsi ekstremitas. Fraktur jenis ini hanya
menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak.

7
3) Oblik; adalah garis fraktur yang memiliki patahan arahnya
miring dimana garis patahnya membentuk sudut terhadap
tulang.
4) Segmental; adalah dua garis fraktur berdekatan pada satu
tulang, ada segmen tulang yang retak dan ada yang terlepas
menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darah.
5) Kominuta; adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen,
atau terputusnya keutuhan jaringan dengan lebih dari dua
fragmen tulang.
6) Greenstick; adalah garis fraktur tidak sempurna atau garis
patahnya tidak lengkap dimana korteks tulang sebagian masih
utuh demikian juga periosteum. Fraktur jenis ini sering terjadi
pada anak – anak.
7) Fraktur impaksi; Adalah garis fraktur yang terjadi ketika dua
tulang menumbuk tulang ketiga yang berada diantaranya,
seperti pada satu vertebra dengan dua vertebra lainnya.

B. Fraktur Monteggia

1. Definisi Fraktur monteggia

Fraktur Fraktur Monteggia merupakan salah satu jenis fraktur


yang terjadi pada regio antebrachii. Fraktur Monteggia adalah fraktur
pada os ulna bagian proksimal disertai dislokasi dari caput radii pada
proximal radioulnar joint (PRUJ).17

4. Anatomi Normal Regio Antebrachii

Regio antebrachii tersusun atas dua buah tulang yaitu os radius


dan os ulna. Os radius dan ulna secara konseptu- al dapat diibaratkan

8
sebagai dua kerucut (cones) yang terletak berdampingan dengan satu
sama lain saling me- nunjuk pada arah yang berlawanan. Karena
letaknya yang berdampingan, maka segala cedera yang terjadi pada
regio antebrachii menimbulkan efek pada kedua tulang tesebut beserta
ligamen yang melekat pada os radius dan os ulna.
Seperti dikatakan sebelumnya bahwa secara konseptual, os
radius dan ulna diibaratkan sebagai dua kerucut (cones) yang ujungnya
sejajar, hal ini memungkinkan gerakan supinasi dan pronasi dengan
radius bergulir di sekitar ulna. Hal ini memunculkan aksioma bahwa
fraktur pada salah satu tulang di regio antebrachii, terutama ketika
terjadi angulasi dan displa- cement, biasanya disertai oleh fraktur atau
dislokasi dari tulang regio antebrachii lainnya.19

Gambar 2. Anatomi normal regio antebrachii 20

5. Mekasnisme Trauma Fraktur Monteggia

Kejadian fraktur Monteggia biasanya disebabkan terjatuh


dengan tangan menopang tubuh. Bila pada momen tersebut tubuh agak
terpuntir maka hal tersebut akan menyebabkan pronasi paksa dari

9
regio antebrachium. Caput radii akan mengalami dislokasi paling
sering ke arah anterior dan sepertiga proksimal dari ulna mengalami
fraktur serta melengkung ke arah anterior. Hiperekstensi adalah
penyebab paling sering dari fraktur Monteggia. Tipe yang jarang dari
fraktur Monteggia adalah yang disebakan oleh cedera fleksi (flexion
type) yang ditandai dengan angulasi posterior dari os ulna yang
mengalami fraktur disertai dislokasi ke arah posterior dari proksimal
radioulnar joint (PRUJ). 21,22

6. Klasifikasi Fraktur Monteggia

Kejadian fraktur Monteggia biasanya disebabkan terjatuh

dengan tangan menopang tubuh. Bila pada momen tersebut tubuh agak

terpuntir maka hal tersebut akan menyebabkan pronasi paksa dari


regio antebrachium. Caput radii akan mengalami dislokasi paling
sering ke arah anterior dan sepertiga proksimal dari ulna mengalami
fraktur serta melengkung ke arah anterior. Hiperekstensi adalah
penyebab paling sering dari fraktur Monteggia. Tipe yang jarang dari
fraktur Monteggia adalah yang disebakan oleh cedera fleksi (flexion
type) yang ditandai dengan angulasi posterior dari os ulna yang
mengalami fraktur disertai dislokasi ke arah posterior dari proksimal
radioulnar joint (PRUJ). 21,22
sering terjadi pada anak-anak. Tipe 4: dislokasi caput
radii ke arah anterior disertai dengan fraktur dari seper- tiga
proksimal ulna dan fraktur dari os radius pada level yang sama.
18

Berdasarkan klasifikasi Bado, fraktur Monteggia dapat


dikelompokkan sebagai berikut:
1) Tipe I: fraktur proksimal ulna dengan angulasi anterior disertai
dislokasi anterior caput radius.

10
2) Tipe II: fraktur proksimal ulna dengan angulasi posterior
disertasi dislokasi posterior caput radii dan fraktur caput radii.
3) Tipe III: dislokasi lateral atau anterolateral dari caput radii
disertai fraktur metafise ulna.
4) Tipe IV: dislokasi anterior dari caput radii disertai fraktur radius
dan ulna

GAMBAR 3 Klasifikasi Fraktur Monteggia berdasarkan Klasifikasi Bado 18

7. Gejala Klinis

Pasien dengan fraktur Monteggia biasanya datang de-


ngan keluhan pembengkakan pada siku, deformitas, krepitasi,
serta rasa nyeri yang menyertai pergerakan dari siku terutama
pada gerakan supinasi dan pronasi. Pemeriksaan neurovaskular
yang teliti sangat penting untuk dilakukan karena cedera nervus
terutama nervus radialis dan posterior interosseus nerve (PIN)
sangat sering terjadi. Cedera neurovascular ini terutama terjadi
pada fraktur Monteggia tipe II berdasarkan klasifikasi Bado. 8
Deformitas dari ulna biasanya nampak sangat jelas, akan tetapi
dislokasi dari caput radii biasanya tersamarkan oleh bengkak
yang terjadi pada pasien. Petunjuk penting yang dapat kita
gunakan sebagai patokan adalah nyeri pada sisi lateral dari siku.
Pergelangan tangan dan tangan juga harus diperiksa untuk

11
mengetahui ada tidaknya cedera dari nervus radialis.21

8. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologis X-Ray posisi AP dan lateral dari

regio antebrachii sangat diperlukan dengan menampakkan


secara jelas elbow joint dan wrist joint. Pemeriksaan posisi
oblique dapat membantu lebih jauh dalam mendiagnosis. Untuk
mendiagnosis dislokasi caput radii yang agak samar kita perlu
mengetahui terlebih dahulu bagaimana gambaran radiologis
normal dari os radius. Pada keadaan normal seharusnya garis
khayal yang ditarik dari caput radii dan shaft harus selalu
sejajar dengan capitellum. Pada posisi supinasi lateral, garis
khayal tangensial terhadap caput radii anterior dan posterior

harus menempel pada capitellum. 23

Gambar 4. Foto Polos Lateral/AP Fraktur Monteggia 8

12
9. Proses Penyembuhan Fraktur

Gambar 5. Proses penyembuhan luka11

Fraktur akan menyatu baik dibebat atau tidak, tanpa suatu


mekanisme alami untuk menyatu. Namun tidak benar bila dianggap
bahwa penyatuan akan terjadi jika suatu fraktur dibiarkan tetap
bergerak bebas. Sebagian besar fraktur dibebat, tidak untuk
memastikan penyatuan, tetapi untuk meringankan nyeri, memastikan
bahwa penyatuan terjadi pada posisi yang baik dan untuk melakukan
gerakan lebih awal dan mengembalikan fungsi.11
Proses penyembuhan fraktur beragam sesuai dengan jenis
tulang yang terkena dan jumlah gerakan di tempat fraktur.
Penyembuhan dimulai dengan lima tahap, yaitu sebagai berikut:11,12,13

1) Tahap kerusakan jaringan dan pembentukan hematom


Pada tahap ini dimulai dengan robeknya pembuluh darah dan
terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada
permukaan fraktur, yang tidak mendapat persediaan darah, akan
mati sepanjang satu atau dua milimeter. Hematom ini kemudian

13
akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan
vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis
dengan kapiler di dalamnya.
2) Tahap radang dan proliferasi seluler
Setelah pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut
disertai proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam saluran
medula yang tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan
sel yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang
membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus
berkembang ke dalam daerah tersebut.
3) Tahap pembentukan kalus
Sel yang berkembangbiak memiliki potensi kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai
membentuk tulang dan dalam beberapa keadaan, juga kartilago.
Populasi sel juga mencakup osteoklas yang mulai membersihkan
tulang yang mati. Massa sel yang tebal, dengan pulau-pulau tulang
yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada
permukaan periosteal dan endosteal. Sementara tulang fibrosa
yang imatur menjadi lebih padat, gerakan pada tempat fraktur
semakin berkurang pada empat minggu setelah fraktur menyatu.
4) Osifikasi
Kalus (woven bone) akan membentuk kalus primer dan secara
perlahan–lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh
aktivitas osteoblas yang menjadi struktur lamellar dan kelebihan
kalus akan di resorpsi secara bertahap. Pembentukan kalus dimulai
dalam 2-3 minggu setelah patah tulang melalui proses penulangan
endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang
benar-benar bersatu.
5) Konsolidasi
Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, fibrosa
yang imatur berubah menjadi tulang lamellar. Sistem itu sekarang

14
cukup kaku untuk memungkinkan osteoklas menerobos melalui
reruntuhan pada garis fraktur, dan dekat di belakangnya osteoblas
mengisi celah-celah yang tersisa antara fragmen dengan tulang
yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu
sebelum tulang cukup kuat untuk membawa beban yang normal.
6) Tahap menjadi tulang dewasa
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat.
Selama beberapa bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan
kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorpsi dan pembentukan
tulang akan memperoleh bentuk yang mirip bentuk normalnya.

10. Komplikasi Fraktur Monteggia

Komplikasi yang dapat timbul akibat terjadinya fraktur


Monteggia yaitu:

a. Cedera nervus: Cedera nervus dapat terjadi disebabkan oleh


manipulasi berlebihan dari dislokasi radius baik pre maupun
intraoperatif. Selalu lakukan pemeriksaan fungsi nervus setelah
melakukan tindakan. Lesi biasanya berupa neurapraxia yang

sebenarnya akan sembuh sendiri. 21

b. Malunion :Meskipun ulna telah tereduksi sempurna namun tetap


saja masih memungkinkan caput radii masih mengalami dislokasi
sehingga membatasi gerak fleksi sendi siku. Pada anak-anak, caput
radii harus direduksi dan dilakukan operasi lanjutan untuk
mengoreksi malalignment dari ulna agar reduksi yang sempurna
tercapai. Pada orang dewasa, osteotomi dari os ulna atau eksisi dari

caput radii mungkin diperlukan. 21

c. Non-union

15
Non-union dari ulna harus ditangani dengan pemasangan plat serta

bone graft. 21

Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal


dalam beberapa jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat
terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan sindrom kompartemen, yang
berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanent jika tidak
ditangani segera. Adapun beberapa komplikasi dari fraktur femur
yaitu:13,14,15
1) Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik
kehilangan darah eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan
ekstrasel ke jaringan yang rusak dapat terjadi pada fraktur
ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra karena tulang merupakan
organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah
dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma, khususnya pada
fraktur femur pelvis.
2) Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau
cedera remuk dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria
dewasa muda 20-30 tahun. Pada saat terjadi fraktur globula lemak
dapat termasuk ke dalam darah karna tekanan sumsum tulang lebih
tinggi dari tekanan kapiler atau karna katekolamin yang di
lepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilitasi asam lemak
dan memudahkan terjadiya globula lemak dalam aliran darah.
Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk
emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang
memasok otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya
yang sangat cepat, dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu

16
minggu setelah cidera gambaran khasnya berupa hipoksia,
takipnea, takikardia, dan pireksia.
3) Sindrom kompartemen (Volkmann's Ischemia)
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi
peningkatan tekanan interstisial di dalam ruangan yang terbatas,
yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan
tekanan intra kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya
perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi
gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan di dalam ruangan tersebut.
Ruangan tersebut terisi oleh otot, saraf dan pembuluh darah yang
dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot individual yang
dibungkus oleh epimisium. Sindrom kompartemen ditandai dengan
nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut nadi
yang hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak
di anggota gerak dan paling sering disebabkan oleh trauma,
terutama mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas.
4) Nekrosis avaskular tulang
Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali
mengakibatkan iskemia tulang yang berujung pada nekrosis
avaskular. Nekrosis avaskuler ini sering dijumpai pada kaput
femoris, bagian proksimal dari os. Scapphoid, os. Lunatum, dan os.
Talus.
5) Atrofi otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah
mencapai ukuran normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena
sel-sel spesifik yaitu sel-sel parenkim yang menjalankan fungsi
otot tersebut mengecil. Pada pasien fraktur, atrofi terjadi akibat
otot yang tidak digerakkan (disuse) sehingga metabolisme sel otot,
aliran darah tidak adekuat ke jaringan otot.

17
11. Penatalaksanaan Fraktur

Kunci utama penanganan pada kasus ini adalah mengembalikan


panjang os ulna yang mengalami fraktur. Hanya dengan memastikan
hal tersebut maka reduksi sempurna dari caput radii dapat tercapai.
Pada orang dewasa, hal ini dapat dilakukan melalui tindakan operatif
menggunakan posterior approach. 21
Fraktur dari ulna harus direduksi seakurat mungkin dengan

mengembalikan panjangnya ke ukuran semula, baru setelah itu


difiksasi dengan plate dan screw. Caput radii biasanya akan tereduksi
ketika os ulna telah dikoreksi. Stabilitas harus dinilai dengan
pergerakan fleksi dan ekstensi maksimal. Jika caput radii tidak
tereduksi atau tidak stabil maka reduksi terbuka harus dilakukan. 21
Jika siku telah stabil sempurna, maka pasien dapat melakukan

gerakan fleksi dan ekstensi segera setelah operasi. Jika ada hambatan
dalam melakukan gerakan tersebut, maka harus dilakukan
immobilisasi menggunakan plester pada siku dalam kondisi fleksi
selama 6 minggu. 21

C. Rehabilitasi Medik Fraktur Monteggia

1. Definisi

Rehabilitasi medik adalah ilmu pengetahuan kedokteran yang


mempelajari masalah atau semua tindakan yang ditujukan untuk
mengurangi atau menghilangkan dampak keadaan sakit atau nyeri atau
cacat dan atau sosial dan atau halangan serta meningkatkan
kemampuan pasien mencapai integrasi sosial. Rehabilitasi medik pada
fraktur yaitu berupa latihan untuk meningkatkan ambulasi, mengurangi
nyeri, meningkatkan lingkup gerak sendi-sendi di sekitar fraktur
maupun daerah yang berjauhan dari daerah fraktur pada anggota gerak

18
yang sama dan memulihkan kekuatan otot. Latihan dilakukan segera
untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat tirah baring yang lama,
mecegah disabilitas, penderita dapat kembali ke tingkat fungsional
sebelum terjadinya fraktur 28

12. Masalah Rehabilitasi Medik Jangka Pendek dan Panjang pada


Fraktur monteggia

Problematikaa rehabilitasi medik yang sering muncul jangka


pendek yaitu nyeri pada sendi antebrachii keterbatasan ROM pada
brachium, antebrachii, manus dan ADL. Jangka panjang yaitu fraktur
monteggia memiliki insidensi tinggi non union, terganggunya distrofi
reflek simpatis, dapat terjadi disuse atrofi pada tangan yang cidera, dan
tulang non union. Masalah pada raktur regio antebrachii, impairment,
functional limitation dan disability . 23
a. Impairment
Problematika rehbilitasi medik yang sering muncul adalah (1)
adanya edema pada lengan terjadi karena suatu raksi radang atau
respon tubuh terhadap cedera jaringan, (2) adanya nyeri gerak
akibat luka sayatan operasi yang menyebabkan ujung-ujung saraf
sensoros teriritasi dan karena adanya edema pada daerah sekitar
fraktur, (3) penurunan luas gerak sendi karena adanya nyeri dan
edem pada daerah sekitar fraktur, (4) adanya penurunan kekuatan
otot karena nyeri.
b. Functional limitation
Terdapat keterbatasan aktifitas fungsional terutama
menggunakan lengan dan tangan.
c. Disability
Disability merupakan ketidakmampuan dalam melaksanakan
kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan disekitarnya yaitu
kesulitan dalam melakukan aktivitasnya. 28

19
13. Goal Rehabilitasi Medik pada Fraktur Tibia dan Fibula

Goal rehabilitasi medik pada fraktur monteggia mengatasi


nyeri, memperbaiki deformitas, melindungi jaringan yang cedera,
mencegah komplikasi, mengembalikan gerakan sendi (ROM), dan
memperbaiki kekuatan otot.28

a. Goal jangka pendek :


1) Mengurangi nyeri
2) Memperbaiki deformitas
3) Meningkatkan mobilitas
4) Meningkatkan ROM shoulder
5) Mencegah komplikasi
6) Memperbaiki kekuatan

b. Jangka Panjang
Mempersiapkan pasien agar dapat berpartisipasi kembali dalam
kegiatan di lingkungan rumahnya

14. Program Rehabilitasi Medik Konservatif dan Operatif pada


Fraktur

Ada 2 terapi, pilihan berdasarkan banyak faktor seperti


bentuk fraktur, usia penderita, level aktivitas, dan pilihan dokter
sendiri. Pilihannya adalah terapi konservatif atau operatif.

a. Terapi Konservatif
1) Proteksi saja
Untuk penanganan fraktur dengan dislokasi
fragüen yang minimal atau dengan dislokasi yang tidak akan
menyebabkan cacat di kemudian hari.
2) Immobilisasi saja tanpa reposisi
Misalnya pemasangan gips pada fraktur inkomplit
dan fraktur dengan kedudukan yang baik. Reposisi tertutup

20
dan fiksasi dengan gips

Ini dilakukan pada fraktur dengan dislokasi


fragmen yang berarti. Fraguen distal dikembalikan ke
kedudukan semula terhadap fraguen proksimal dan
dipertahankan dalam kedudukan yang stabil dalam gips.
3) Traksi
Ini dilakukan pada fraktur yang akan terdislokasi
kembali di dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur
dengan otot yang kuat. Traksi dapat untuk reposisi secara
perlahan dan fiksasi hingga sembuh atau dipasang gips
setelah tidak sakit lagi. Pada anak-anak dipakai traksi kulit
(traksi Hamilton Russel/traksi Bryant). Traksi kulit terbatas
untuk 4 minggu dan beban < 5 kg, untuk anak- anak waktu
dan beban tersebut mencukupi untuk dipakai sebagai
traksi definitif, bilamana tidak maka diteruskan dengan
immobilisasi gips. Untuk orang dewasa traksi definitif harus
traksi skeletal berupa balanced traction.
c. Terapi operatif
Terapi operatif dengan reposisi secara tertutup dengan
bimbingan radiologis.
1) Reposisi tertutup – fiksasi externa
Setelah reposisi berdasarkan control radiologis
intraoperatif maka dipasang fiksasi externa. Untuk fiksasi
fragmen patahan tulang, digunakan pin baja yang ditusukkan
pada fragmen tulang, kemudian pin baja tadi disatukan
secara kokoh dengan batangan logam di luar kulit.
2) Reposisi tertutup dengan control radiologis diikuti fiksasi
interna.
Fragmen direposisi secara non operatif dengan
meja traksi. Setelah tereposisi dilakukan pemasangan pen
secara operatif.

21
3) Terapi operatif dengan membuka frakturnya
a) Reposisi terbuka dan fikasasi interna /ORIF (Open
Reduction and Internal Fixation)
Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di
dalam sumsum tulang panjang, bisa juga berupa plat
dengan skrup di permukaan tulang. Keuntungan ORIF
adalah bisa dicapai reposisi sempurna dan bila dipasang
fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak perlu lagi
dipasang gips dan segera bisa dilakukan immobilisasi.
Kerugiannya adalah reposisi secara operatif ini
mengundang resiko infeksi tulang.
Indikasi ORIF:

I. Fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya


avasculair necrosis tinggi.
II. Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup
III. Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit
dipertahankan.
IV. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi
hasil yang lebih baik dengan operasi, misalnya
fraktur femur.
b) Reposisi terbuka dan fikasasi eksterna /OREF (Open
Reduction and External Fixation)
Tiga tipe fixators terdiri dari half-pin fixators, wire
dan ring fixators dan hybrid fixators. Fikasi eksterna
memberikan fiksasi stabil, menjaga vaskularitas tulang dan
menjaga jaringan lunak, sedikit perdarahan.
Komplikasi tersering fiksasi eksterna adalah infeksi
pin site, malunion, joint stiffness, delayed union.
Indikasi OREF:
I. Fraktur / dislokasi dengan kerusakan jaringan.
II. Cedera penetrasi pada sendi, termasuk luka tembak.

22
III. Pasien yang hemodinamikanya tidak stabil sehingga
memerlukan penanganan stabilisasi secara cepat.
IV. Fraktur dengan kerusakan yang hebat ( comminutive
)
V. Kasus dimana internal osteosynthesis
dikontraindikasikan, misalnya infeksi fokal akut.
VI. Malunion, nonunion, deformitas traumatik, bone /
soft tissue defect.
VII. Deformitas kongenital.
VIII. Bedah estetika ( perbedaan panjang tungkai ).
c) Excisional arthroplasty
Membuang fragmen yang patah yang membentuk sendi.

15. Rencana Pelaksanaan Terapi

a. Terapi dengan modalitas


1)Modalitas yang Termasuk Panas Listrik
a) Transcutaneus Electrical nerve stimulation (TENS)

Tens (transcutaneus electrical nerve stimulation),


alat ini dioperasikan dengan baterei kecil dan
menggunakan transmisi listrik dan bermanfaat
menurunkan nyeri. Elektroda di letakkan didaerah yang
bersangkutan yang mengalami nyeri. Mesin dihidupkan
dan arus listrik disalurkan lewat elektroda. Perasaan geli
terasa dibawah kulit dan otot. Sinyal ini berfungsi
menggangu sinyal nyeri. Sinyal dari tens ini
mempengaruhi syaraf-syaraf pada daerah yang
diaplikasikan tens dan memutus sinyal nyeri sehingga
pasien merasakan nyerinya berkurang. Tujuan pemberian
TENS Memeilhara fisiologis otot dan mencegah atrofi
otot, re-edukasi fungsi otot, modulasi nyeri tingkat

23
sensorik, menambah Range Of Motion (ROM)/mengulur
tendon, memperlancar peredaran darah dan
memperlancar resorbsi oedema.
b) Indikasi TENS

Keluhan nyeri, kondisi sehabis trauma/operasi


urat saraf yang konduktifitasnya belum membaik, kondisi
keluhan nyeri pada otot, kondisi peradangan sendi
(Osteoarthrosis, Rheumathoid Arthritis dan Tennis
elbow).
c) Kontra Indikasi TENS

Sehabis operasi tendon transverse sebelum 3


minggu, karena adanya ruptur tendon/otot sebelum
terjadi penyambungan, kondisi peradangan
akut/penderita dalam keadaan panas.
d) Penempatan Elektroda

 Di sekitar lokasi nyeri : Cara ini paling mudah dan


paling sering digunakan, sebab metode ini dapat
langsung diterapkan pada daerah nyeri tanpa
memperhatikan karakter dan letak yang paling
optimal dalam hubungannya dengan jaringan
penyebab nyeri
 Dermatome: penempatan pada area dermatome
yang terlibat, Penempatan pada lokasi spesifik
dalam area dermatome, Penempatan pada dua
tempat yaitu di anterior dan di posterior dari suatu
area dermatome tertentu
 Area trigger point dan motor point

24
e) Prosedur TENS

 Tingkat analgesia-sensoris : frekuensi 50-150 Hz,


durasi pulsa <200 (60-100) mikrodetik
 Tingkat analgesia untuk rasa nyeri : frekuensi 150
Hz, durasi pulsa >150 mikrodetik
 Persipan pasien (kulit harus bersih dan bebas dari
lemak, lotion, krim dll), periksa sensasi kulit,
lepaskan semua metal di area terapi, jangan
menstimulasi pada area dekat/langsung di atas
fraktur yg baru/non-union, diatas jaringan parut
baru, kulit baru.

f) Parafin bath

Pengobatan panas superficial dengan modalitas


rendaman hangat parafin. merupakan salah satu metode
hidroterapi yang menggunakan parafin sebagai medianya,
pada prinsipnya terapi ini merupakan terapi yang
memanfaatkan suhu yang relatif tinggi (panas). Parafin
yang digunakan untuk terapi ini adalah parafin biasa yang
ditambah parafin oil, kemuian dipanaskan hingga
meleleh dengan suhu + 55o C. Tujuan pemberian paraffin
bath adalah terapi ini mereduksi nyeri dan kekakuan otot,
untuk menghindari sapsme otot, meningkatkan range of
motion sendi, serta mempercepat proses penyembuhan
dengan cara meningkatkan aliran darah sehingga
peredaran darah menjadi lancar dan kebutuhan nutrisi
pada jaringan yang berkaitan terpenuhi.
Metode Aplikasi
 Metode Deep : mencelupkan kaki/tangan kedalam
cairan parafin bath -> terbentuk permukaan parafin

25
padat dan tipis yang meliputi kulit -> tarik kembali ->
ulang 8-10x -> sampai terbentuk sarung tengan tebal
(mengisolasi bagian tubuh terhadap kehilangan
panas) -> bungkus dengan handuk kering untuk
mempertahankan panas -> lama 15-20 menit ->
setelah itu sarung tangan parafin dilepas
 Metode immersion : mencelupkan tangan/kaki secara
terus-menerus kedalam cairan parafin -> terbentuk
sarung tangan pada sekitar kulit -> lama 20-30 menit
-> lebih efektif meningkatkan temperatur jaringan
tapi resiko luka bakar
 Metoda breshing : dengan menggunakan kuas ->
untuk area yang tidak dijangkau (pinggang, hip, pada
regio yang besar)
g) Electrical stimulasi

Electrical stimulasi menggunakan arus listrik


yang menyebabkan satu atau kelompok otot tertentu
berkontraksi. Dengan meletakkan elektroda pada
beberapa daerah dikulit tertentu fisioterapi dapat
mempengaruhi serabut otot untuk berkontraksi. Kontraksi
otot dengan menggunakan electrical stimulasi ini dapat
meningkatkan kekuatan otot. Fisioterapi dapat merubah
susunan arus untuk arus yang kuat atau arus lemah dalam
menggontraksikan otot. Selama proses penguatan otot,
terjadilah kontraksi otot yang meningkatkan asupan darah
ke daerah yang diberikan arus sehingga meningkatkan
proses penyembuhan.

26
2)Modalitas yang Termasuk Panas Gelombang
a) Shortwave Diathermy (SWD)

SWD adalah terapi panas penentrasi dalam dengan


menggunakan gelombang elektromagnetik frekuensi
27,12 MHz, panjang gelombang 11 m. Tujuan Pemberian
SWD adalah untuk memperlancar peredaran darah,
mengurangi rasa sakit, mengurangi spasme otot,
membantu meningkatkan kelenturan jaringan lunak,
mempercepat penyembuhan radang.

 Indikasi
Kondisi peradangan dan kondisi sehabis
trauma (trauma pd musculoskeletal), adanya
keluhan nyeri pd sistem musculoskeletal (kodisi
ketegangan, pemendekan, perlengketan otot
jaringan lunak), persiapan suatu latihan/senam
(untuk gangguan pada sistem peredarah darah).
 Kontra indikasi
Kehamilan, kecenderungan terjadinya
pendarahan, gangguan sensibilitas, adanya logam
di dalam tubuh, lokasi yang terserang penyakit
pada pembuluh darah arteri.
h) Teknik aplikasi SWD

Pre pemanasan alat 5-10 menit, jarak antara


elektroda dengan pasien 5-10 cm/1 jengkal, durasi 15-30
menit, intensitas sesuai dengan aktualitas patologi,
posisikan pasien senyaman mungkin, terbebas dari
pakaian dan logam, tes sensibilitas, pasang elektroda,
pasien tidak boleh bergerak, intensitas dipertahankan
sesuai dgn toleransi pasien.

27
i) Ultra Violet (UV)

Ultaviolet merupakan pancaran gelombang


elektromagnetik. Dengan panjang gelombang 1800A-
4000A. Tujuan Pemberian UV untuk meningkatkan
sistem pertahanan tubuh, mempercepat penyembuhan
luka terbuka, penyembuhan penyakit kulit tertentu.
Dikelompokan :
 Far UV -> 1800-2900A, daya tembus -> stratum
korneum
 Near UV -> 2900-4000A, daya tembus -> stratum
spinosum
 Upaya pengobatan modalitas sinar superficial dgn
menggunakan sinar ultra violet gelombang panjang
(UV B) atau gelombang pendek (UV A)
 UV A (3450-4000A) tanning (pewarnaan) dengan
sedikit eritema kulit, immediate banyak terjadi,
tidak semua orang tampak pada penyinaran 1 jam,
hilang dalam beberapa hari
 UV B (2800-3150A): uremik pruritus, eritema
kulit, terbakar
 UV C (1800-2800 A)
Struktur kulit dari kulit paling luar ke dalam
àlapisan dermis : stratum korneum/lapisan tanduk,
stratum lusidum, stratum granulosum, stratum
spinosum, stratum basale(pigmen); lapisan dermis :
pars papilare & pars retikularis; Lapisan subkutis.
I. Indikasi UV
i. Radikal general :
Penderita dengan kondisi tubuh
rendah (alergi, asmatis, bronchitis), anak-

28
anak yang mengalami keterlambatan dalam
pertumbuhan dan aktivitas (anak premature,
Cerebral Palsy).
ii. Radiasi lokal :
Penyakit kulit karena jamur, luka
lama (decubitus), hipopigmentasi (bekas
luka terbakar), acne vulvagaris.
II. Kontra indikasi
Penyakit yang akut (TBC, paru,
dermatitis, exim), penderita yang sedang
mendapat radioterapi, penderita alergis terhadap
sinar UV, sensitiser (adanya kemungkinan
penderita menjadi sensitive terhadap sinar UV
setelah pengobatan dengan obat-obatan tertentu,
misal : sulfa, insuline, thyroid extract, kinine,
gold therapy.
III. Prosedur penggunaan UV Dosis :
i. Untuk radiasi general -> dosis : sub
erytema, pengulangan 1×1 hari, 1 seri
12x
ii. Untuk radiasi lokal -> dosis E II
pengulangan 3 hari 1x, E III
pengulangan 3 minggu 1x, E IV
pengulangan 2 minggu 1x
IV. Teknik aplikasi
Sebelum terapi dilakukan tes MED
(Minimal Erytema Dosage). Posisikan pasien
senyaman mungkin, tutup semua bagian kecuali
area yang akan di tes, bersihkan dulu dengan
alkohol. Area yang akan diterapi diberi karbon
hitam yang ada lobangnya, area lain ditutup

29
rapat, untuk terapis pakai kacamata. Timer dlm
detik, alat tegak lurus pd kulit, jarak lampu dari
kulit 60-90 cm.
j) Infrared (IR)

Infrared adalah efek penghangatan jaringan di


dalam tubuh sehingga dapat melancarkan aliran darah.
Tujuan pemberian infrared yaitu memanfaatkan kekuatan
panas yang digunakan pada kelainan kulit, otot, maupun
jaringan tubuh bagian dalam lainnya.
I. Indikasi
Peradangan, Gangguan sirkulasi darah,
Tumor aktif, Ulkus, Cacar.
II. Kontraindikasi
Luka terbuka, Insufisiensi peredaran darah,
Alergi dingin, Anestesi kulit, Diabetes tingkat
lanjut, Fenomena Raynaud (arteri-arteri kecil
mengalami kejang)
k) Ultrasound (US)

Mesin ultrasound adalah modalitas fisioterapi


yang pemanfaatannya dengan menggunakan gelombang
suara berfrekuensi tinggi atau rendah. Gelombang suara
ini dasalurkan di sekitar jaringan dan pembuluh darah,
gelombang suara tersebut menembus ke otot sehingga
otot menjadi hangat dan otot relaks, oleh karena itu
gelombang ultrasound ini digunakan untuk perawatan
otot yang mengalami ketegangan dan kekakuan. Efek
dari pemanasan ini juga berpengaruh pada pelebaran
pembuluh darah dan meningkatkan sirkulasi darah
sehingga membantu prose penyembuhan. Fisioterapis
juga dapat mengatur frekuensi dari gelombang ultrasound

30
sehingga bisa dimanfaatkan untuk mengurangi
peradangan.
I. Indikasi
Contoh kasus yg termasuk indikasi
Ultrasound : Rheumathoid Arthrosis,
Osteoarthrosis Genu, Hernia Nucleus Pulposus,
Low Back Pain, spasme cervical, tennis elbow,
frozen shoulder.
II. Kontra indikasi
Jaringan yang lembut (mata, ovarium,
testis, otak), jaringan yang baru sembuh,
jaringan/granulasi baru, kehamilan, pada daerah
yang sirkulasi darahnya tidak adekuat, tanda-
tanda keganasan, infeksi bakteri spesifik.
III. Teknik Aplikasi US :
Sebelum terapi : lakukan assesment, tes
sensibilitas, lokalisasi daerah terapi, tentukan
metode (langsung/tidak langsung), beri
penjelasan kepada pasien. Persiapan alat :
Persiapan pasien Penatalaksanaan US: Berikan
gel pada daerah yang akan diterapi, Ratakan gel
dgn tranduser, nyalakan alat, Timer ditentukan
dari = luas area dibagi dengan luas ERA,
Intensitas ditentukan oleh aktifitas patologi :
 aktivitas tinggi : dosis rendah (1-1,5 W/cm²)
 aktivitas sedang : dosis sedang (1,5-2 W/cm²)
 aktivitas rendah : dosis tinggi (2-3 W/cm²)
Intensitas/durasi :
Pada kondisi akut à intermiten ; pada kondisi
kronik à continous Ultrasound dengan air (untuk
kasus sendi kecil dan permukaan tidak rata),

31
penerapannya : Tidak langsung bersentuhan dengan
air, jaraknya 1,5-2,5 cm. Untuk tranduser 1 MHz :
penentrasi lebih dalam, tapi area konvergen 3x lebih
kecil. Untuk tranduser 3 MHz : penentrasi lebih
kecil tapi area konvergen 3x lebih besar. Efek US >
Mekanis : menimbulkan efek micromassage ->
dilatasi -> inflamasi > Thermal : menimbulkan efek
panas tranduser lebih kecil dimana panas ringan
sampai 5 cm (deep) dan lebih dominan pada
continue. > Piezoelectric : perubahan muatan
membran sehingga terjadi proses kimiawi di
jaringan di sekitarnya > Biologis : menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah à meningkatkan
sirkulasi darah -> meningkatkan permeabilitas dan
regenerasi jaringan à menimbulkan rileksasi otot
sehingga akan mengurangi nyeri.
l) Microwave Diathermy(MWD)

Terapi panas menggunakan gelombang mikro


dalam bentuk radiasi elektromagnetik yg akan dikonversi
dalam bentuk frekuensi 2456 MHz dan 915 MHz dengan
panjang gelombang 12,25 arus yang dipakai adalah arus
rumah 50 HZ, penentrasi hanya 3 cm.
I. Tujuan pemberian MWD
i. Membantu meningkatkan sirkulasi limpatik
dan sirkulasi darah lokal.
ii. Membantu relaksasi otot dan meningkatkan
elastisitas jaringan ikat yang letak
kedalamannya kurang lebih 3 cm.
iii. Membantu meningkatkan proses perbaikan
jaringan secara fisiologis.

32
iv. Membantu mengurangi rasa nyeri pada otot
dan sendi.
II. Indikasi
Selektif pemanasan otot (jaringan kolagen),
spasme otot (efektif untuk sendi Inter Phalangeal,
Metacarpal Phalangeal dan pergelangan tangan,
Rheumathoid Arthritis dan Osteoarthrosis), kelainan
saraf perifer (neuralgia neuritis)
III. Kontra indikasi
Adanya logam, gangguan pembuluh darah,
pakaian yang menyerap keringat, jaringan yang
banyak cairan, gangguan sensibilitas, neuropathi
(timbul gangguan sensibilitas dan diabetes melitus),
infeksi akut, transqualizer (alat pada pasien dengan
gangguan kesadaran), kehamilan, saat menstruasi.
IV. Efek fisiologis yang ditimbulkan MWD
Terjadinya perubahan panas yang sifatnya
lokal jaringan yang meningkatkan metabolisme
jaringan lokal, meningkatkan vasomotion sehingga
timbul homeostatik lokal yang akhirnya
menimbulkan vasodilatasi. Perubahan panas secara
general yang menaikkan temperatur pada daerah
lokal.
V. Teknik aplikasi MWD:
Persiapan alat, tes alat, pre pemanasan 5-10
menit, jarak <10cm dari kulit, persiapan pasien :
bebaskan dari pakaian dan logam, posisikan pasien
senyaman mungkin, tes sensibilitas, jarak 5-10 cm,
durasi 20-30 menit. alat 2456MHz, frekuensi terapi
3-5 x/minggu, intensitas 50-100 watt (toleransi
pasien), dosis intensitas ditentukan oleh aktualitas

33
patologi (aktualitas rendah : thermal, aktualitas
sedang : subthermal, aktualitas tinggi : a thermal)
m) Hot Packs

Hot pack ini dapat menurunkan nyeri yang


disebabkan oleh ketegangan atau kekakuan otot. Hot
pack juga menyebabkan vasodilatasi/pelebaran pembuluh
darah vena yang dapat meningkatkan sirkulasi darah pada
daerah tersebut. Pasien dengan ketegangan dan kekakuan
otot atau arthritis sering mendapatkan manfaat dengan
penggunaan hot pack Fisioterapis membalutkan hot pack
basah kemudian membalutnya lagi dengan beberapa lapis
handuk kemudian meletakkannya ke daerah yang
membutukan perawatan. Panas yang dihasilkan oleh hot
pack mempunyai beberapa manfaat yang penting. Hot
pack ini merelaksasikan otot yang kaku sehingga
dampaknya jaringan otot tersebut menjadi relaks.
3) Modalitas yang Tergolong Dingin
Pada terapi ini es dapat dikemas dengan berbagai
cara. Salah satunya adalah dengan membekukan es pada
styrofoam. Pada penggunaannya ujung stryofoam dapat
digunakan sebagai pegangan pada saat dilakukan terapi. Es
dalam pemakaiannya sebaiknya tidak kontak langsung
dengan kulit dan digunakan dengan perlindungan seperti
dengan handuk. Handuk juga diperlukan untuk mennyerap
es yang mencair.
Indikasi

Indikasi terapi es adalah pada bagian bagian


otot lokal seperti tendon, bursae maupun bagian
bagian myofacial trigger point.

34
Penggunaan

Es dapat digunakan langsung untuk memijat


atau untuk memati-rasakan jaringan sebelum terapi
pijat. Masase es dapat memberikan dingin yang
lebih efisien daripada cold packs atau metode lain
yang menggunakan terapi dingin. Terapi biasanya
diberikan selama 10 sampai 20 menit
a) Ice packs

Pada prinsipnya ice packs merupakan kemasan


yang dapat menyimpan es dan membuat es tersebut dapat
terjaga dalam waktu relatif lama di luar freezer daripada
kemasan plastik. Alat ini tersedia di apotek dan toko obat.
Sebagian besar ice packs mengandung bahan kimia yang
dapat mempertahankan suhu dingin dalam jangka waktu
lama. Bahan kimia seperti isopropyl alkohol dapat
ditambahkan denagn rasio 2 :1 terhadap air untuk
mencegah terjadinya pembekuan sehingga ketika
dipergunakan, ice packsdapat mengisi kontur tubuh.
Terdapat dua jenis ice packs yaitu yang berbahan gel
hypoallergenic dan yang berisi cairan atau kristal.
I. Penggunaan
Pada umumnya ice packs dapat
dipergunakan selama 15 sampai 20 menit. Pada
kemasan ice packs yang berupa plastik,
diperlukan handuk untuk mengeringkan air
kondensasi.
II. Indikasi
Sama dengan ice massage
III. Perhatian khusus

35
Pengguna ice packs lebih praktis akan
tetapi apabila terjadi kebocoran kemasan dapat
menimbulkan bahaya iritasi kulit akibat bahan
kimia yang dikandungnya

n) Vapocoolant spray

Vapocoolant spray merupakan semprotan yang


biasanya berisi fluoromethane atau ethyl chloride.
I. Indikasi
Vacoopolant spray sering digunakan
untuk mengurangi nyeri akibat spasme otot serta
meningkatkan range of motion
II. Penggunaan
Untuk meningkatkan range of motion,
terdapat beberapa prosedur pemakaian yakni
vapocoolant membentuk sudut 30° dengan kulit
dengan jarak 30 sampai 50 cm dari kulit
penyemprotan dilakukan dari arah proksimal ke
distal otot. kecepatan penyemprotan sekitar 10
cm per detik dan dapat diulang sampai dengan
2-3 kali.
III. Perhatian khusus
Penggunaan vapocoolant harus
dilakuakn sesuai prosedur untuk menghindari
frozen bite
o) Cold Baths/Water Immersion

Cold baths merupakan terapi mandi di dalam air


dingin dalm jangka waktu maksimal 20 menit. Peralatan
yang dipergunakan tergantung bagian tubuh yang akan
direndam. Pada perendaman seluruh tubuh diperlukan

36
tanki whirpool. Pada terapi ini aitr dan es dicampur untuk
mendapatkan suhu 10° sampai dengan 15° C.
I. Indikasi
Terapi ini biasanya dilakukan untuk pemulihan
paska latihan maupun kompetisi
II. Penggunaan
Penderita berendam di dalam air yang sudah
didinginkan. Proses ini berlangsung sekitar 10 sampai
dengan 15 menit. Ketika nyeri berkurang, terapi
dihentikan dan dilanjutkan terapi lain seperti massage
atau stretching. Pada saat nyeri kembali dirasakan,
dapat dilakukan perendaman kembali. Dalam tiap sesi
terapi, perendaman kembali dapat dilakukan sampai
tiga kali ulangan.
III. Perhatian khusus
Terapi dingin berpotensi untuk meningkatkan
penjendalan kolagen, konsekuensinya aktivitas fisik
harus dilakukan secara bertahap paska terapi dingin
p) Cyrokinetics

merupakan teknik yang mengkombinasikan terapi


dingin dengan latihan fisik. Tujuan dari terapi dingin
adalah untuk mengurangi nyeri, sedangkan latihan fisik
digunakan untuk meningkatkan jangkauan gerak. Teknik
ini diawali dengan penggunaan terapi dingin sampai
dirasakan pengurangan nyeri. Pada umumnya sensasi ini
dirasakan dalam 12 sampai dengan 20 menit. Setelah
dilakukan terapi dingin dilakukan latihan fisik untuk
meningkatkan jangkauan gerak. Hilangnya rasa nyeri
biasanya berlangsung selama 3 sampai 5 menit. Latihan
dihentikan apabila timbul rasa nyeri. Setelah rasa nyeri

37
timbul, terapi dingin dapat diulang lagi sampai dengan
tiga kali.
Prosedur Cyrokinetics
I. Rendam bagian yang nyeri dalam air dingin (12-20
menit)
II. Latihan dilakukan selama rasa sakit tidak
menyerang (3-5 menit)
III. Pada saat nyeri muncul kembali dapat dilakukan
perendaman kembali dengan air dingin (3-5 menit)
IV. Siklus latihan perendaman dapat dilakukan sampai
dengan 3 kali ulangan
V. Prinsip Latihan
 Latihan bersifat aktif tanpa bantuan
 Latihan harus bebas rasa nyeri
 Latihan dimulai dengan latihan ringan yang dinaikan
intensitas dan tingkat kesulitannya secara bertahap.
4)Modalitas yang Tergolong Mekanik
a) Traksi cervical dan lumbal

Traksi cervical ( traksi leher) adalah suatu tehnik


terapi dengan menggunakan mesin mekanis berupa
tarikan /peregangan pada daerah cervical (leher).
I. Tujuan
i. Membantu merelaksasi otot-otot daerah
leher dan pundak (cervical)
ii. Membantu mengurangi penekanan/
kompresi/iritasi akar syaraf.
iii. Membantu penguluran / peregangan otot-
otot vertebrae regio cervical.
II. Indikasi
Digunakan pada fraktur cervical,
maxillaries, clavicula dengan Beban 4-6 pounds.

38
Biasanya rutin digunakan oleh penderita stroke atau
saraf kejepit di bagian leher.
III. Kontra indikasi
Perdarahan arteri temporalis, Tekanan
sangat sakit pada tulang , Sepsis – dari kulit ke
abses subdural, Perburukan status neurologis, Mata
juling dari jatuhnya nervus kranialis ke 6, Nyeri di
Tempero-mandibular, Kontraindikasi pada fraktur
mandibula , Sulit untuk mengontrol fleksi dan
ekstensi
q) Traksi lumbal ( traksi pinggang) suatu tehnik terapi
dengan menggunakan mesin mekanis berupa tarikan
/peregangan pada pinggang dan pelvis.

I. Tujuan:
i. Membantu merelaksasi otot-otot daerah
pinggang (lumbal).
ii. Membantu mengurangi penekanan/
kompresi/iritasi akar syaraf.
iii. Membantu penguluran / peregangan otot-otot
vertebrae regio lumbal.
Dosis penggunaan traksi lumbal pada kondisi nyeri
punggung bawah dengan sasaran untuk mengurangi spasme
otot :
i. Menggunakan beban tarikan 25% berat badan,
ii. Menggunakan traksi lumbal, teknik intermitent
dengan perbandingan tarikan/waktu rileks 5/5 detik,
iii. Total waktu yang diinginkan 20-30 menit, 2/3 kali
per minggu,menunjukkan hasil yang signifikan
dalam pengurangan nyeri dan perbaikan fungsional.
iv. Menurut Hoeker (1994) menggunakan beban
tarikan 25% berat badan tarikan kurang dari 10

39
detik pada fase tarikan menyebabkan jarak antar
sendi sangat minimal, akan tetapi dapat
mengaktifkan dan merangsang propioreseptor yang
ada pada sendi dan otot sehingga nyeri berkurang.
v. Sedangkan fase istirahat/rileks yang lebih pendek
tetapi juga berorientasi pada kenyamanan akan
berpengaruh pada perasaan panderita dan
merasakan releksasi otot sesaat sebelum traksi
lumbal dilanjutkan. Hal ini akan dapat
mempertahankan otot dalam posisi rileks yang pada
akhirnya mengurangi spasme otot, melancarkan
peredaran darah sehingga nyeri bisa berkurang.

r) Modalitas dengan penjaruman / dengan suntikan

Penjaruman di dalam fisioterapi tidak sama dengan


akupuntur tradisional dilihat dari konsep pendekatan.
I. Penggunaan
Penjaruman ("dry needling“) dalam
fisioterapi digunakan pada konsep "trigger-point"
pada kondisi yang disebut "myofascial trigger point
syndromes" (MTPS). Suntikan lokal yang diberikan
pada "trigger-point", mekanisme terapeutiknya =
"dry needling" (karena efek fisikalnya, bukan efek
biokimia bahan yang disuntikkan)
II. Prinsip
Menghancurkan "trigger-point" sehingga
tidak menjadi sumber nyeri rujukan

40
s) Modalitas dengan laser

Berupa Light Amplification by Stimulated


Emission of Radiation. Ada dua penguunaan
I. Utuk Bedah : hot-laser
II. Untuk IKFR : cold-laser ("low level laser
therapy“)
Adalah alat laser untuk terapi, dimana
"energy output"-nya cukup rendah, sehingga
temperatur dari jaringan yang diterapi tidak naik
melebihi 36,6°C (temperatur tubuh normal)
III. Indikasi :
Terutama menyangkut penyakit rematik.
Pada "trigger point" dan "tender-point" syndromes,
terapi laser menunjukan efikasi yang tinggi. Dapat
sebagai pengganti akupunktur (acupuncture
without needle)

d. Terapi dengan Non Modalitas

Terapi latihan / therapeutic exercise/ remedial exercise


adalah suatu program latihan yang bertujuan teraputik
(penyembuhan/pemulihan). Secara garis besar dapat dibagi
menjadi:
I. Latihan mobilitas sendi/ mobility exercise/ range of motion
(ROM) exercise/ latihan luas gerak sendi.
II. Latihan range of motion (ROM) adalah latihan yang
dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki
tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakan
persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan
massa otot dan tonus otot dan sebagai dasar untuk
menetapkan adanya kelainan ataupun untuk menyatakan
batas gerakan sendi yang abnormal

41
1) Jenis ROM
a) ROM Pasif

Latihan ROM pasif adalah latihan ROM yang di


lakukan pasien dengan bantuan perawat setiap-setiap
gerakan. Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma
dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi
tidak mampu melakukan beberapa atau semua latihan
rentang gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total
atau pasien dengan paralisis ekstermitas total. Rentang
gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-
otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain
secara pasif misalnya perawat mengangkat dan
menggerakkan kaki pasien.
t) ROM Aktif

Latihan ROM aktif adalah Perawat memberikan


motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan
pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan rentang
gerak sendi normal. Hal ini untuk melatih kelenturan dan
kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-
ototnya secara aktif
u) Tujuan ROM

I. Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot


II. Memelihara mobilitas persendian
III. Merangsang sirkulasi darah
IV. Mencegah ke lainan bentuk
v) Perinsip Dasar Latihan ROM

I. ROM harus diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan


minimal 2 kali sehari
II. ROM di lakukan berlahan dan hati-hati sehingga
tidak melelahkan pasien

42
III. Dalam merencanakan program latihan ROM,
perhatikan umur pasien, Diagnosa, tanda-tanda
vital dan lamanya tirah baring.
IV. Bagian-bagian tubuh yang dapat di lakukan latihan
ROM adalah leher, jari, lengan, siku, bahu, tumit,
kaki, dan pergelangan kaki.
V. ROM dapat di lakukan pada semua persendian
atau hanya pada bagian-bagian yang di curigai
mengalami proses penyakit.
VI. Melakukan ROM harus sesuai waktunya.
Misalnya setelah mandi atau perawatan rutin telah
di lakukan.
w) Manfaat ROM

I. Meningkatkan mobilisasi sendi


II. Memperbaiki toleransi otot untuk latihan
III. Meningkatkan massa otot
IV. Mengurangi kehilangan tulang
V. Menentukan nilai kemampuan sendi tulang dan
otot dalam melakukan pergerakan
VI. Mengkaji tulang sendi, otot
VII. Mencegah terjadinya kekakuan sendi
VIII. Memperlancar sirkulasi darah
IX. Memperbaiki tonus otot
5)Latihan penguatan/ strengthening exercise
a) Syarat :

a. Kekuatan otot di atas fair (F = 50%)


b. Beban di atas 35% dari kemampuan otot
x) Ada 3 macam Strengthening Exercise :

I. Isometric / Static Excercise : kontraksi otot (+),


gerak sendi (-)  ukuran panjang otot tetap

43
i. Kontraksi optimal : 6 detik, 1 x / hari
ii. Hati-hati pada kasus-kasus : HT, PJK
II. Isotonic Excercise : kontraksi otot bersamaan
dengan gerak sendi (beban statis, kecepatan
dinamis)  tonus tetap
Ada 3 macam :
i. Concentric Contraction : kontraksi
memendek
ii. Excentric Contraction : kontraksi
memanjang
iii. PRE (progressive resistance exercise) :
beban ditambah bertahap
III. Isokinetic Excercise : kontraksi otot yang
merupakan gabungan dari no 1 & 2  beban
dinamis, tapi gerak statis (beban bisa optimal, tapi
kecepatan gerak tetap)  yg bekerja adalah alatnya
i. Sering digunakan di tempat-tempat
kebugaran/ pusat latihan atlit
ii. Perlu alat khusus : Cybex (Dinamometer)
iii. Boleh untuk : HT, PJK

6)Latihan daya tahan/ endurance exercise


Ada 2 Tujuan :

i. Conditioning : pada orang sehat untuk


meningkatkan daya tahan (ketahanan)
ii. Reconditioning : pada orang sakit untuk
mengembalikan daya tahan (ketahanan)
 Latihan Aerobic : untuk endurance exc pada jantung dan paru

44
7)Latihan koordinasi/ coordination exercise
a) Koordinasi Jalan : Parkinson, ataxic gait, hemiplegi

y) Koordinasi Gerak Tangan : kasus UMN / LMN  perlu


alat bantu Misal : latihan menulis, main piano, dll

8)Latihan dengan sasaran kasus : ADL, breathing


exercise, muscle re-education.
a) ADL : kasus-kasus dengan gangguan ADL

z) Breathing EXC : kasus-kasus dengan tirah baring lama,


cardio-pulmoner

Indikasi :
• Gangguan sistem pernafasan
• Pre – Post operasi
• Pre – Post Partum
• Sebagai selingan latihan
• Pertolongan pada pasien pingsan/ hampir pingsan
• Gangguan jantung dengan teknik khusus
Kontra Indikasi :
 Haemoptoe, pada TBC aktif
 Whooping Cough
Dosis :
 W : 10 x 15 menit
 P / F : 1 x / hari
 S : 1 seri = 6 kali

9)Postural Drainage

Indikasi :
• Sekresi mukosa saluran nafas bawah yang sulit keluar
terutama pada bronchus
• Pre dan Post Operasi
Kontra Indikasi :

45
• Penyakit jantung
• Fraktur costa
• Luka daerah thorax
Dosis :
• W : 15 x 30 menit
• P : 1 – 2 x/ hari
• S : 1 seri = 6 x

10) Reedukasi otot : setelah tendon transfer,


hemiplegia/ UMN
11) Latihan pola khusus : William’s Flexion
Exercise, Codman’s pendulurh exercise, Cailliets’s neck
exercises, biofeedback exercise dll
aa) William’s Flexion Exc : NPB (Low Back Pain)

bb) Codman’s Pendulum Exc : Nyeri bahu/ Frozen Shoulder

cc) Cailliet’s Neck Exc : Nyeri leher/ Cervical Syndrome

dd) Frenkle’s Exc : Ataxia, Parkinsosn, Multiple Sklerosis

ee) Pelvic floor Exc : Penguatan otot dasar panggul

ff) Bobath Exc : Ceerebral Palsy

gg) PNF (Proprioseptif Neuromuscular Fassiculation) :


Cerebral Palsy

hh) SNS (senam nafas sehat) : asthma bronchial

ii) Scoliotic Exc :

I. Pola Klapp
II. Pola Wood cock
III. Pola X
IV. EDF EXERCISE (ELONGASI DEROTASI
FLEXION)

46
jj) Drainage Postural

kk) Biofeed back Exc : reedukasi otot, relaksasi (EMG,


Mirror exc)

ll) Jocobson : latihan relaksasi

16. OKUPASI TERAPI

a. Jenis terapi okupasi


Menurut Creek (2002) okupasi terapi bergerak pada tiga
area, atau yang biasa disebut dengan occupational performance
yaitu, activity of daily living (perawatan diri), productivity (kerja),
dan leisure (pemanfaatan waktu luang).. Jenis terapi okupasi
menurut Rogers & Holm (2004) dan Creek (2002) yaitu:

1) Aktivitas Sehari-hari (Activity of Daily Living)


Aktivitas yang dituju untuk merawat diri yang juga
disebut Basic Activities of Daily Living atau Personal
Activities of Daily Living terdiri dari: kebutuhan dasar fisik
(makan, cara makan, kemampuan berpindah, merawat benda
pribadi, tidur, buang air besar, mandi, dan menjaga kebersihan
pribadi) dan fungsi kelangsungan hidup (memasak, berpakaian,
berbelanja, dan menjaga lingkungan hidup seseorang agar tetap
sehat).

12) Pekerjaan
Kerja adalah kegiatan produktif, baik dibayar atau
tidak dibayar. Pekerjaan di mana seseorang menghabiskan
sebagian besar waktunya biasanya menjadi bagian penting
dari identitas pribadi dan peran sosial, memberinya posisinya

47
dalam masyarakat, dan rasa nilai sendiri sebagai anggota yang
ikut berperan. Pekerjaan yang berbeda diberi nilai-nilai sosial
yang berbeda pada masyarakat. Termasuk aktivitas yang
diperlukan untuk dilibatkan pada pekerjaan yang
menguntungkan/menghasilkan atau aktivitas sukarela seperti
minat pekerjaan, mencari pekerjaan dan kemahiran, tampilan
pekerjaan, persiapan pengunduran dan penyesuaian,
partisipasi sukarela, relawan sukarela. Pekerjaan secara
individu memiliki banyak fungsi yaitu pekerjaan memberikan
orang peran utama dalam masyarakat dan posisi sosial,
pekerjaan sebagai sarana dari mata pencaharian, memberikan
struktur untuk pembagian waktu untuk kegiatan lain yang
dapat direncanakan, dapat memberikan rasa tujuan hidup dan
nilai hidup, dapat menjadi bagian penting dari identitas
pribadi seseorang dan sumber harga diri, dapat menjadi forum
untuk bertemu orang-orang dan membangun hubungan, dan
dapat menjadi suatu kepentingan dan sumber kepuasan.

13) Waktu Luang


Aktivitas mengisi waktu luang adalah aktivitas yang
dilakukan pada waktu luang yang bermotivasi dan
memberikan kegembiraan, hiburan, serta mengalihkan
perhatian pasien. Aktivitas tidak wajib yang pada hakekatnya
kebebasan beraktivitas. Adapun jenis-jenis aktivitas waktu
luang seperti menjelajah waktu luang (mengidentifikasi
minat, keterampilan, kesempatan, dan aktivitas waktu luang
yang sesuai) dan partisipasi waktu luang (merencanakan dan
berpatisipasi dalam aktivitas waktu luang yang sesuai,
mengatur keseimbangan waktu luang dengan kegiatan yang
lainnya, dan memperoleh, memakai, dan mengatur peralatan
dan barang yang sesuai).

48
e. Tahapan Terapi Okupasi
Menurut Tirta & Putra (2008) dan Untari (2006). Adapun
tahapan terapi okupasi, antara lain:

1) Tahap Evaluasi
Tahap evaluasi sangat menentukan bagi tahap-tahap
berikutnya. Pada tahap awal ini mulai dibentuk hubungan
kerjasama antara terapis dan pasien, yang kemudian akan
dilanjutkan selama tahap terapi okupasi. Tahap ini juga disebut
tahapan kognitif yang memfokuskan kemampuan pekerjaan
yang berorientasi pada keterampilan kognitif.

Tahap evaluasi dibagi menjadi 2 langkah.

I. Langkah pertama adalah profil pekerjaan


(occupational profile) dimana terapis mengumpulkan
informasi mengenai riwayat dan pengalaman pekerjaan
pasien, pola hidup sehari-hari, minat, dan kebutuhannya.
Dengan pendekatan “client-centered”, informasi tersebut
dikumpulkan untuk dapat memahami apa yang penting
dan sangat bermakna bagi pasien saat ini, apa yang ingin
dan perlu dilakukannya, serta mengidentifikasi
pengalaman dan minat sebelumnya yang mungkin akan
membantu memahami persoalan dan masalah yang ada
saat ini.
II. Langkah kedua adalah analisa tampilan pekerjaan
(analysis of occupational performance). Tampilan
pekerjaan yang dimaksud adalah kemampuan untuk
melaksanakan aktivitas dalam kehidupan keseharian, yang
meliputi aktivitas dasar hidup sehari-hari, pendidikan,
bekerja, bermain, mengisi waktu luang, dan partisipasi
sosial. Hal yang juga diperhatikan pada tahap awal atau
kognitif ini adalah membangkitkan ide saat waktu luang

49
pasien, mempelajari berapa banyak kemungkinan atau
waktu yang dihabiskan, membandingkan beberapa
kegiatan yang menyenangkan dibanding bekerja, mengatur
waktu untuk hal yang menyenangkan (kebutuhan, pilihan,
hambatan, dan minat), dan mengatur waktu diri sendiri.
Keterampilan dasar yang diharapkan mendapatkan
keterampilan, memproses keterampilan, menyalurkan
keterampilan, dan ketegasan pasien.

14) Tahap Intervensi


Tahap intervensi yang terbagi dalam 3 langkah, yaitu
rencana intervensi, implementasi intervensi, dan peninjauan
(review) intervensi. Rencana intervensi adalah sebuah rencana
yang dibangun berdasar pada hasil tahap evaluasi dan
menggambarkan pendekatan terapi okupasi serta jenis
intervensi yang terpilih, guna mencapai target hasil akhir yang
ditentukan oleh pasien. Rencana intervensi ini dibangun
secara bersama-sama dengan pasien (termasuk pada beberapa
kasus bisa bersama keluarga atau orang lain yang
berpengaruh), dan berdasarkan tujuan serta prioritas pasien.
Rencana intervensi yang telah tersusun kemudian
dilaksanakan sebagai implementasi intervensi yang mana
diartikan sebagai tahap keterampilan dalam mempengaruhi
perubahan tampilan pekerjaan pasien, membimbing
mengerjakan pekerjaan atau aktivitas untuk mendukung
partisipasi. Langkah ini adalah tahap bersama antara pasien,
ahli, dan asisten terapi okupasi. Implementasi intervensi terapi
okupasi dapat dilakukan baik secara individual maupun
berkelompok, tergantung dari keadaan pasien, tujuan terapi,
dan lain-lain. Metode individual bertujuan untuk
mendapatkan lebih banyak informasi dan sekaligus untuk
evaluasi pasien, pada pasien yang belum dapat atau mampu

50
untuk berinteraksi dengan cukup baik didalam suatu
kelompok sehingga dianggap akan mengganggu kelancaran
suatu kelompok, dan pasien yang sedang menjalani latihan
kerja dengan tujuan agar terapis dapat mengevaluasi pasien
lebih efektif. Sedangkan metode kelompok dilakukan untuk
pasien lama atas dasar seleksi dengan masalah atau hampir
bersamaan, atau dalam melakukan suatu aktivitas untuk
tujuan tertentu bagi beberapa pasien sekaligus. Sebelum
memulai suatu kegiatan baik secara individual maupun
kelompok maka terapis harus mempersiapkan terlebih dahulu
segala sesuatunya yang menyangkut pelaksanaan kegiatan
tersebut. Pasien juga perlu dipersiapkan dengan cara
memperkenalkan kegiatan dan menjelaskan tujuan
pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga dia atau mereka lebih
mengerti dan berusaha untuk ikut aktif. Jumlah anggota dalam
suatu kelompok disesuaikan dengan jenis aktivitas yang akan
dilakukan dan kemampuan terapis mengawasi. Sedangkan
peninjauan intervensi diartikan sebagai suatu tahap
berkelanjutan untuk mengevaluasi dan meninjau kembali
rencana intervensi sebelumnya, efektivitas pelaksanaannya,
sejauh mana perkembangan yang telah dicapai untuk menuju
target hasil akhir. Bilamana dibutuhkan, pada langkah ini
dapat dilakukan perubahan terhadap rencana intervensi.

51
15) Tahap Hasil Akhir
Tahap terakhir pada terapi okupasi adalah hasil akhir
(outcome). Hasil akhir disini diartikan sebagai dimensi
penting dari kesehatan yang berhubungan dengan intervensi,
termasuk kemampuan untuk berfungsi, persepsi kesehatan,
dan kepuasaan dengan penuh perhatian. Pada tahap ini
ditentukan apakah sudah berhasil mencapai target hasil akhir
yang diinginkan atau tidak. Jadi hasil akhir dalam bentuk
tampilan okupasi, kepuasaan pasien, kompetensi aturan,
adaptasi, pencegahan, dan kualitas hidup.

16) Tahapan Terapi Okupasi Kelompok


Setiap akan melakukan terapi okupasi kelompok harus
direncanakan dahulu. Terapis melakukan kontrak kepada
kelompok. Terapis dan kelompok mempertimbangkan tempat,
lokasi yang kondusif, alat, dan bahan yang harus disiapkan.
Menurut Untari (2006) adapun tahapan aktivitas terapi
okupasi kelompok, yaitu:

a) Orientasi

Orientasi sangat membantu pasien untuk


mengikuti kelompok terapi. Tujuan orientasi adalah
meyakinkan bahwa pasien mempunyai orientasi yang baik
tentang orang, tempat, dan waktu. Orientasi memerlukan
waktu kurang lebih 5 menit. Aktivitas yang dilakukan
selama tahapan orientasi adalah terapis melakukan
orientasi kegiatan yang akan dilakukan oleh kelompok
terapi.

mm) Tahap Pendahuluan (Introduction)

Tahap pendahuluan adalah tahap perkenalan baik


dari terapis maupun pasien. Terapis memperkenalkan diri

52
baru kemudian masing-masing pasien menyebutkan nama
dan alamatnya. Cara yang biasa digunakan adalah dengan
melemparkan balon yaitu pasien harus menyebutkan nama
apabila mendapatkan bola yang telah dilempar. Setiap kali
seorang pasien selesai memperkenalkan diri, terapis
mengajak semua pasien untuk bertepuk tangan. Tahap
pendahuluan memerlukan waktu 5-10 menit.

nn) Tahap pemanasan (Warm-up activities)

Setelah melakukan proses memperkenalkan diri,


terapis mengajak pasien untuk aktivitas pemanasan
(warm-up activities). Tahap ini memerlukan waktu 5-10
menit. Aktivitas yang digunakan adalah latihan fisik
sederhana (simple physical exercise). Tujuannya adalah
meningkatkan perhatian dan minat pasien melalui gerakan
dasar tubuh dan agar pasien mampu mengikuti aturan atau
instruksi sederhana seperti berputar, turunkan tangan, dan
lain-lain.

oo) Tahap aktivitas terpilih (selected activities)

Tahap ini memerlukan waktu 10-20 menit.


Mempertimbangkan kebutuhan kognitif, motorik, dan
interaksi yang akan dikembangkan. Biasanya aktivitas
yang dipilih adalah aktivitas dengan aturan sederhana dan
aktivitas yang dilakukan sebaiknya disesuaikan dengan
tujuan yang ingin dicapai. Terapis memberikan pujian
setiap kali pasien selesai melakukan terapi okupasi dengan
baik dan mengajak anggota kelompok bertepuk tangan.

53
pp) Tahap Terminasi

Tahap ini menandakan bahwa terapi okupasi akan


berakhir. Terapis dan pasien mengumpulkan material
(alat-bahan) bersama-sama dan mengadakan diskusi kecil
tentang jalannya proses terapi okupasi.

54
KESIMPULAN
Dapat diambil kesimpulan bahwa fraktur monteggia banyak
terjadi pada seseorang baik remaja maupun usia lanjut. Fraktur ini dapat
disebabkan oleh karena trauma secara langsung maupun tidak langsung.
Tindakan operasi adalah suatu tindakan koreksi yang baik untuk fraktur
monteggia, karena adanya komplikasi mall union yang menyebabkan
deformitas pada tungkai. Sehingga dengan fiksasi ini diharapkan akan
mendapatkan keuntungan seperti; reduksi tepat, mencegah terjadinya
peradangan pada tulang, dan stabilitas yang segera.

Fraktur monteggia merupakan salah satu jenis fraktur yang terjadi


pada regio antebrachii. Fraktur Monteggia adalah fraktur pada os ulna
bagian proksimal disertai dislokasi dari caput radii pada proximal
radioulnar joint Kondisi ini biasanya terjadi akibat adanya trauma yang
mengenai os ulna.
Dari permasalahan permasalahan yang timbul tersebut tujuan dari
penatalaksanaan fisioterapi: penanganan pasca operasi yaitu mencegah
terjadinya gangguan pernafasan, mengurangi nyeri, mengurangi oedema,
mengurangi spasme otot, menigkatkan kekuatan otot, menambah lingkup
gerak lengan atas dan sendi cubiti dan meningkatkan aktifitas fungsional.
dengan modalitas fisioterapi berupa terapi latihan.
Terapi latihan merupakan salah satu modalitas untuk menangani
permasalahan diatas antara lain :
1. Free aktif exercise dan pasif exercise dapat mengurangi
nyeri,
2. Assisted aktif exercise dan pasif exercise dapat
meningkatkan lingkup gerak sendi,
3. Resisted aktif exercise dapat meningkatkan kekuatan otot,
4. Free aktif exercise untuk mengurangi oedem,
5. Terapi latihan menggenggam dapat meningkatakn
kemampuan fungsional.

55
Latihan diberikan secara bertahap dan semakin ditingkatkan sesuai
dengan kondisi pasien. Dalam pemberian terapi ini perlu diperhatikan
mengenai kondisi umum penderita, serta dosis latihan seperti lamanya
latihan sehingga tercapai tujuan yang diharapkan. Keberhasilan yang
dicapai pasien bukan hanya dari peran dokter sendiri melainkan oleh
kerja sama antara tim medis lainnya yang bekerja sesuai keahlian masing-
masing. Selain itu kerja sama dengan pasien adalah hal penting yang
mempengaruhi penyembuhan pasien tersebut

56
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO, (2011). Decade of Action on Road Safety : Indonesia. 30 Januari 2017.


www.who.searo/int
2. Depkes R.I. (2007). Riset Kesehatan Dasar. Diunduh 30 Januari 2017 .
http://www.depkes.co.id
3. Ropyanto CB. Tesis Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan status
fungsional pasien paska ORIF fraktur ekstremitas bawah di RS ortopedi
Prof. Soeharto Surakarta. 2011
4. Apley, A.Graham. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem APLEY. Ed.7.
Jakarta :Widya Medika.1995
5. Oglen. JA.2000. Skeletal Injury in The Child Second Edition. New York:
W.B Saunders Company. Pg 857-72
6. AAPC. Fracture classification in ICD-10-CM. 2013.Medline Plus.
Dislocation. US National Library of Medicine. 2013.
7. Hoppenfeld, Stanley and Nasantha Murthy. 2000. Treatment and
Rehabilitation of Fractures. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkin.
8. Joint Pain Expert. Joint-pain-expert.org. [Online].; 2016 [cited 2017 Januari
30. Available from: http://www.joint-pain-expert.net/elbowdislocation.html
9. Lateef F. Riding motorcycles: is it a lower limb hazard? Singapore Med J
2002;43(11):566-9
10. Apley's System of Orthopaedics and fractures, 9th edition. 2010.
11. Okoro OI, Ohadugha OC. The anatomic pattern of fractures and dislocations
among accident victims in Owerri,Nigeria. Nigerian J of Surg Res
2006;8:54-6.
12. Skinner H, Smith W, Shank J, Diao E, Lowenberg D. Musculoskeletal
Trauma Surgery. In: Skinner H, editor. Current diagnosis and treatment in
orthopedics. 3rd ed. New York: McGraw-Hill; 2003. p.76-150.

57
13. Buckley R, Panaro CDA. General Principles of Fracture Care [online]. [cited
2017 Januari 30]; Available from: URL:
http://www.emedicine.com/orthoped/topic636.html
14. Koval K, Zuckerman JD. Lower extremity fractures and dislocations. In:
Koval K, Zuckerman JD, editor. Handbook of fractures. 3rd ed. Lippincot
Williams & Wlkins; 2006. p.347-54.
15. Armis, Prinsip-pinsip Umur Fraktur dalam Trauma Sistem Muskuloskeletal,
FKUGM, Yogyakarta
16. Canale ST, Beaty JH. Campbell’s Operative Ortho- paedics E-Book.
Elsevier Health Sciences; 2012.
17. Ruedi TP, Buckley R, et al. AO principles of fracture management Vol 2
specific fractures. New York: Thieme, 2007; 2007.
18. Court-Brown CM, Bugler KE, Clement ND, Duc- kworth AD, McQueen
MM. The epidemiology of open fractures in adults. A 15-year review.
Injury. 2012;43(6):891–897.
19. Simon RR, Brenner BE. Emergency procedures and techniques. Lippincott
Williams & Wilkins; 2002.
20. Thompson JC. Netter’s concise orthopaedic anatomy. Elsevier Health
Sciences; 2009.
21. Solomon L, Warwick DJ, Nayagam S. Apley and So- lomon’s concise
system of orthopaedics and trauma. CRC Press; 2014.
22. Salter RB. Textbook of disorders and injuries of the musculoskeletal system:
An introduction to ortho- paedics, fractures, and joint injuries,
rheumatology, metabolic bone disease, and rehabilitation. Lippin- cott
Williams & Wilkins; 1999.
23. Egol KA, Koval KJ, Zuckerman JD. Handbook of fractures. Lippincott
Williams & Wilkins; 2010.
24. Apley, Graham. 2001. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. 8
edition. USA, Oxford University Press Inc.
25. Emedicine. 2017. Cruris Fracture. Accessed : 15 December 2017. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/825488-overview

58
26. Hoppenfeld, S., 2008. Treatment and Rehabilitation of Fractures. New
York: Lippicont & Wilkins.
27. Kisner, Carolyn & Lynn, Colby. 2007. Theurapetic Exercise Foundation
and Techniques. Third edition, Philadelphia: F.A Davis Company
28. Koval, Kenneth J. Handbook of Fractures 3rd edition. Lippincolt William &
Wilkins. 2001.
29. Liberman, J. R. & Friedlaender, G. E., 2005. Bone Regeneration and Repair
: Biology and Clinical Applications. New Jersey: Humana Press.
30. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta : Media
Aesculapius.
31. Sjamsuhidajat & De Jong, W., 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Ketiga
ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
32. Tajuid, Ucat. 2000. Pemeriksaan Fisioterapi pada Instabilitas Sendi Lutut.
TITAFIXV. Semarang.
33. Thomas, A. 2011. Terapi & Rehabilitasi Fraktur. Jakarta : EGC.
34. Trisnowiyanto, Bambang. 2012. Instrumen Pemeriksaan Fisioterapi dan
Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
35. White, R. & GM, B., 2010. Müller AO Classification of Fractures—Long
Bones. Switzerland, AO Foundation.
.

59

Anda mungkin juga menyukai