Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saat ini, penyakit muskuloskletal telah menjadi masalah yang
banyak dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia dan
menjadi penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas baik di
negara maju maupun sedang berkembang (Buckley R, et.al, 2008). Di
antara berbagai penyebab trauma, transfer energi tinggi dari kecelakaan
lalu lintas dan terjatuh dari ketinggian adalah yang paling banyak
ditemukan (Roshan A. & Ram S., 2008). Sebanyak 1,26 juta orang
meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di dunia selama tahun 2000 dan
30% kematian terjadi di Asia Tenggara. Penyebab paling umum trauma
dan fraktur adalah kecelakaan lalu lintas, yaitu sebanyak 666 (51,66%)
pasien, 30% terjadi akibat kecelakaan kerja/olahraga dan 18% akibat
kekerasan rumah tangga (Kahlon, Hanif & Awais, 2004).
Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup
tinggi adalah insiden fraktur ekstremitas bawah yaitu sekitar 46,2% dari
insiden kecelakaan yang terjadi. Fraktur merupakan suatu keadaan dimana
terjadi disintegritas tulang (Depkes RI, 2009).
Berdasarkan data dari rekam medis RS Fatmawati di ruang
Orthopedi periode Januari 2005 s/d Juli 2005 berjumlah 323 yang
mengalami gangguan muskuloskeletal, termasuk yang mengalami fraktur
Tibia Fibula berjumlah 31 orang (5,59%).
Fraktur tibia merupakan fraktur yang paling sering dari semua
fraktur tulang panjang. Kejadian tahunan fraktur terbuka tulang panjang
diperkirakan 11,5 per 100.000 orang, dengan 40% terjadi di ekstremitas
inferior. Fraktur di ekstremitas inferior paling banyak adalah fraktur yang
terjadi pada diafisis tibia.
Fraktur bukan hanya persoalan terputusnya kontinuitas tulang serta
bagaimana mengatasinya, tetapi harus ditinjau secara keseluruhan dan
harus diatasi secara simultan. Harus dilihat apa yang terjadi secara
menyeluruh meliputi bagaimana mekanisme terjadinya fraktur, jenis
penyebabnya, apakah ada kerusakan kulit, pembuluh darah, saraf dan
diperhatikan lokasi kejadian serta waktu terjadinya agar dalam mengambil
tindakan dapat dihasilkan sesuatu yang optimal (Alexa, 2010).

B. Rumusan Masalah
1. Konsep Dasar Keperawatan
2. Asuhan Keperawatan Trauma Muskuloskeletal

C. Tujuan
Membantu mahasiswa memahami tentang konsep dasar manajemen
keperawatan berkaitan dengan adanya gangguan pada tubuh manusia yang
diakibatkan oleh Trauma Muskuloskeletal serta mengetahui bagaimana
konsep penyakit atau Trauma Muskuloskeletal dan bagaimana Asuhan
Keperawatannya
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Medis
1. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma
yang menyebabkan fraktur dapat berupa trauma langsung, tekanan langsung
pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan, dan trauma tidak
langsung, trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur.
Akibat trauma bergantung pada jenis trauma, kekuatan, arahnya dan umur
penderita.

2. Penyebab Fraktur
Tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat:
a. Peristiwa trauma
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan
berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan,
pemuntiran, atau penarikan. Bila terkena kekuatan langsung, tulang dapat
patah pada tempat yang terkena, jaringan lunaknya juga pasti rusak. Bila
terkena kekuatan tak langsung, tulang dapat mengalami fraktur pada
tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu, kerusakan
jaringan lunak di tempat fraktur mungkin tidak ada.
b. Fraktur kelelahan atau tekanan
Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia atau fibula atau
metatarsal, terutama pada atlet, penari, dan calon tentara yang jalan
berbaris dalam jarak jauh.
c. Fraktur patologik
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah
(misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada
penyakit Paget).
Daya pemuntir menyebabkan fraktur spiral pada kedua tulang kaki dalam
tingkat yang berbeda; daya angulasi menimbulkan fraktur melintang atau
oblik pendek, biasanya pada tingkat yang sama. Pada cedera tak
langsung, salah satu dari fragmen tulang dapat menembus kulit; cedera
langsung akan menembus atau merobek kulit diatas fraktur. Kecelakaan
sepeda motor adalah penyebab yang paling lazim.

3. Patofisiologi
Patofisiologi fraktur adalah jika tulang mengalami fraktur, maka
periosteum, pembuluh darah di korteks, marrow dan jaringan disekitarnya
rusak.Terjadi pendarahan dan kerusakan jaringan di ujung tulang.
Terbentuklah hematoma di canal medulla. Pembuluh-pembuluh kapiler dan
jaringan ikat tumbuh ke dalamnya., menyerap hematoma tersebut, dan
menggantikannya.
Jaringan ikat berisi sel-sel tulang (osteoblast) yang berasal dari
periosteum. Sel ini menghasilkan endapan garam kalsium dalam jaringan ikat
yang disebut callus. Callus kemudian secara bertahap dibentuk menjadi profil
tulang melalui pengeluaran kelebihannya oleh osteoclast yaitu sel yang
melarutkan tulang. Pada permulaan akan terjadi perdarahan disekitar patah
tulang, yang disebabkan oleh terputusnya pembuluh darah pada tulang dan
periost, fase ini disebut fase hematoma. Hematoma ini kemudian akan
menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dengan kapiler
didalamnya. Jaringan ini yang menyebabkan fragmen tulang-tulang saling
menempel, fase ini disebut fase jaringan fibrosis dan jaringan yang
menempelkan fragmen patah tulang tersebut dinamakan kalus fibrosa.
Kedalam hematoma dan jaringan fibrosis ini kemudian juga tumbuh sel
jaringan mesenkim yang bersifat osteogenik. Sel ini akan berubah menjadi
sel kondroblast yang membentuk kondroid yang merupakan bahan dasar
tulang rawan. Kondroid dan osteoid ini mula-mula tidak mengandung
kalsium hingga tidak terlihat pada foto rontgen. Pada tahap selanjutnya
terjadi penulangan atau osifikasi. Kesemuanya ini menyebabkan kalus fibrosa
berubah menjadi kalus tulang.

4. Tanda dan gejala


Adapun tanda dan gejala dari fraktur menurut Smeltzer & Bare (2002)
antara lain:
a.       Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya perubahan keseimbangan dan kontur terjadi seperti :
1.      Rotasi pemendekan tulang
2.      Penekanan tulang
b.      Bengkak
Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
c.       Ekimosis dari perdarahan subcutaneous
d.      Spasme otot, spasme involunters dekat fraktur
e.       Tenderness
f.       Nyeri mungkin disebabkan oleh spame otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan
g.      Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/
perdarahan)
h.      Pergerakan abnormal
i.        Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
j.        Krepitasi

5. Klasifikasi
a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan)
 Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar.
 Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara
fragemen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit,
fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat, yaitu :
1.      Derajat I
a)     Luka kurang dari 1 cm
b)     Kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk
c)      Fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan
d)     Kontaminasi ringan
2.      Derajat II
a)   Laserasi lebih dari 1 cm
b)   Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
c)   Fraktur komuniti sedang
3.      Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit,
otot dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi

b. Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur:


1. Fraktur complete, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang.
2. Fraktur incomplete, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan
mekanisme trauma, fraktur terbagi menjadi :
1. Fraktur transversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung
2. Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi
3. Fraktur spiral : fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi
4. Fraktur kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang kearah permukaan lain.
5. Fraktur avulsi : fraktur yang diakibatkan karena tarikan atau traksi
otot pada insersi nya pada tulang.

d. Berdasarkan jumlah garis patah


1. Fraktur kominutif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan
2. Fraktur segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan
3. Fraktur multiple : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama

e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang


1. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser) : garis patah lengkap tetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periostium masih utuh
2. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas :
 Dislokasi ad longitudinem cum contractionum (pergeseran
searah sumbu dan overlapping)
 Dislokasi ad axim( pergeseran yang membentuk sudut)
 Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menajauh)

f. Berdasarkan posisi fraktur :


1. 1/3 proksimal
2. 1/3 medial
3. 1/3 distal
g. Fraktur kelelahan : faktur akibat tekanan yang berulang- ulang
h. Fraktur patologis : fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
tulang.

Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan


jaringan lunak sekitar trauma, yaitu :
 Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya
 Tingkat I : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan
 Tingkat II: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan
 Tingkat III : cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartemen.
6. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik pada pasien fraktur adalah sebagai berikut :
a. Pemeriksaan rontgent : menentukan lokasi/ luasnya fraktur/ luasnya
trauma
b. Scan tulang, CT scan : memperlihatkan fraktur dan untuk
mengidentifikasi jaringan lunak
c. Hitung darah lengkap : Hb menurun/ meningkat
d. Peningkatan jumlah sel darah putih adalah respon stress normal setelah
trauma
e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfuse multiple, atau cedera

7. Komplikasi
a.      Komplikasi segera (immediate) : Komplikasi yang terjadi segera setelah
fraktur antara lain syok neurogenik, kerusakan organ, kerusakan syaraf,
injuri atau perlukaan kulit.
b.     Early Complication : Dapat terjadi seperti osteomielitis, emboli, nekrosis,
dan syndrome compartemen.
c.       Late Complication : Sedangkan komplikasi lanjut yang dapat terjadi
antara lain stiffnes (kaku sendi), degenerasi sendi, penyembuhan tulang
terganggu (malunion).

8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges dalam Jitowiyono (2010). Beberapa pemeriksaan
yang dapat dilakukan pada klien dengan fraktur, diantranya:
a. Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
b. Scan tulang, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d. Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi)
atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur) perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel.
e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk
klirens ginjal.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multipel, atau cidera hati. Golongan darah, dilakukan
sebagai persiapan transfusi darah jika ada kehilangan darah
yang   bermakna akibat cedera atau tindakan pembedahan.

9. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan
Penatalaksanaan Awal
Sebelum dilakukan pengobatan definitif pada satu fraktur, maka diperlukan :
a. Pertolongan pertama
Pada penderita dengan fraktur yang penting dilakukan adalah
membersihkan jalan nafas, menutup luka dengan verban yang bersih dan
imobilisasi fraktur pada anggota gerak yang terkena agar penderita
merasa nyaman dan mengurangi nyeri sebelum diangkut dengan
ambulans.
b. Penilaian klinis
c. Sebelum menilai fraktur itu sendiri, perlu dilakukan penilaian klinis,
apakah luka itu tembus tulang, adakah trauma pembuluh darah/saraf
ataukah ada trauma alat-alat dalam yang lain.
d. Resusitasi
e. Kebanyakan penderita dengan fraktur multipel tiba di rumah sakit
dengan syok, sehingga diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi
pada frakturnya sendiri berupa pemberian transfusi darah dan cairan
lainnya serta obat-obat anti nyeri.
10. Pengobatan
Tindakan pengobatan selalu harus mempertimbangkan pengobatan
konservatif dengan pemakaian gips sirkuler di atas lutut dengan sedikit
fleksi. Operasi dilakukan apabila ada indikasi seperti fraktur terbuka,
malunion atau nonunion yang sangat jarang ditemukan.
a. Konservatif
Pengobatan standar dengan cara konservatif berupa reduksi fraktur
dengan manipulasi tertutup dengan pembiusan umum. Pemasangan gips
sirkuler untuk immobilisasi, dipasang sampai diatas lutut.
 Prinsip reposisi adalah fraktur tertutup, ada kontak 70% atau
lebih, tidak ada angulasi dan tidak ada rotasi. Apabila ada
angulasi, dapat dilakukan koreksi setelah 3 minggu (union
secara fibrosa). Pada fraktur oblik atau spiral, imobilisasi dengan
gips biasanya sulit dipertahankan, sehingga mungkin diperlukan
tindakan operasi.
 Cast bracing adalah teknik pemasangan gips sirkuler dengan
tumpuan pada tendo patella (gips Sarmiento) yang biasanya
dipergunakan setelah pembengkakan mereda atau terjadi union
secara fibrosa.
b. Operatif
 Terapi operatif dilakukan pada fraktur terbuka, kegagalan dalam
terapi konservatif, fraktur tidak stabil dan adanya nonunion.
Metode pengobatan operatif adalah sama ada pemasangan plate
dan screw, atau nail intrameduler, atau pemasangan screw
semata-mata atau pemasangan fiksasi eksterna.
c. Indikasi pemasangan fiksasi eksterna pada fraktur tibia: Fraktur tibia
terbuka grade II dan III terutama apabila terdapat kerusakan jaringan
yang hebat atau hilangnya fragmen tulang Pseudoartrosis yang
mengalami infeksi (infected pseudoarthrosis).
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut hidayat (2004), pengkajian merupakan langkah pertama
dari proses keperawatan dengan mengumpulkan data-data yang akurat
dari klien sehingga akan diketahui berbagai permasalahan yang ada.
Adapun pengkajian pada pasien post operasi menurut Suratun (2008)
adalah :
o Lanjutkan perawatan pra operatif
o Kaji ulang kebutuhan pasien berkaitan dengan kebutuhan rasa
nyeri, perfusi jaringan, promosi kesehatan, mobilitas dan konsep
diri
o Kaji dan pantau potensial masalah yang berkaitan dengan
pembedahan: tanda vital, derajat kesadaran, cairan yang keluar
dari luka, suara nafas, bising usus, keseimbangan cairan, dan
nyeri.
o Observasi resiko syok hipovolemia akibat kehilangan darah akibat
pembedahan mayor (frekuensi nadi meningkat, tekanan darah
turun, konfusi dan gelisah).
o Kaji peningkatan komplikasi paru dan jantung: observasi
perubahan frekuensi nadi, pernafasan, warna kulit, suhu tubuh,
riwayat penyakit paru, dan jantung sebelumnya.
o Sistem perkemihan: pantau pengeluaran urin, apakah terjadi
retensi urin. Retensi dapat disebabkan oleh posisi berkemih tidak
alamiah, pembesaran prostat, dan adanya infeksi saluran kemih.
o Observasi tanda infeksi ( infeksi luka terjadi 5-9 hari, flebitis
biasanya timbul selama minggu kedua), dan tanda vital.
o Kaji komplikasi tromboembolik: kaji tungkai untuk tandai nyeri
tekan, panas, kemerahan, dan edema pada betis.
o Kaji komplikasi embolik lemak: perubahan pola panas, tingkah
laku dan perubahan kesadaran.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Sumijantun (2010), diagnosa keperawatan
merupakan langkah kedua dari proses keperawatan yang
menggambarkan penilaian klinis tentang respon individu, keluarga,
kelompok, maupun masyarakat terhadap permasalahan kesehatan
baik aktual maupun potensial. Adapun diagnosa keperawatan pada
kasus post op fraktur menurut Suratun (2008) adalah :
a. Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan,
pembengkakan dan imobilisasi.
b. Potensi perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
pembengkakan, alat yang mengikat, dan ganguan peredaran
darah.
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kehilangan
kemandirian.
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri,
pembengkakan, prosedur pembedahan, serta adanya imobilisasi,
bidai, traksi, gips.
e. Perubahan citra diri dan harga diri berhubungan dengan dampak
muskuloskeletal.
f. Resiko tinggi syok hipovolemik.
g. Resiko tinggi infeksi
3. Intervensi Keperawatan
Menurut Sumijantun (2010), perencanaan adalah fase proses
keperawatan yang sistematik mencakup pembuatan keputusan dan
pemecahan masalah. Adapun perencanaan keperawatan pada klien
dengan post op fraktur femur menurut Suratun dkk, (2008) adalah:
1. Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan,
pembengkakan dan imobilisasi.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang

Kriteria Hasil :
-       Nyeri berkurang/hilang

-       Klien tampak tenang

Intervensi :

a. Kaji tingkat nyeri pasien.


b. Tinggikan ekstremitas yang dioperasi.
c. Kompres dingin bila perlu.
d. Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi.
e. Kolaborasi dalam pemberian obat analgesic.
Rasional :

a. Mengetahui skala nyeri pada pasien.


b. Membantu mengontrol edema agar nyeri berkurang.
c. Untuk mengontrol nyeri dan edema.
d. Hal ini dapat mengurangi dan mengontrol nyeri.
e. Untuk mengontrol nyeri.
2.  Perubahan perfusi jaringan  perifer berhubungan dengan
pembengkakan, alat yang mengikat, gangguan peredaran darah.

Tujuan : Memelihara perfusi jaringan adekuat

Kriteria Hasil :Tidak ada sianosis

Intervensi :

a. Rencana pra operatif dilanjutkan.


b. Pantau status neurovaskular, warna kulit, suhu, pengisian
kapiler, denyut nadi, nyeri, edema.
c. Anjurkan latihan otot.
d. Anjurkan latihan pergelangan kaki dan otot betis setiap jam.
Rasional :

a. Meneruskan tindakan keperawatan.


b. parastesi pada bagian yang dioperasi, dan laporkan segera
pada dokter bila ada temuan yang mengarah pada gangguan.
c. untuk mencegah atrofi otot.
d. untuk memperbaiki peredaran darah.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kehilangan kemandirian.

Tujuan : Memelihara kesehatan

Kriteria Hasil: Klien mampu merawat diri sendiri

Intervensi :

a.    Rencana pra operatif dilanjutkan.

b.    Anjurkan pasien berpartisipasi dalam program penanganan


pasca operatif.

c.    Diet seimbang dengan protein dan vitamin adekuat sangat


diperlukan.

d.   Anjurkan banyak minum minimal 2 sampai 3 liter perhari.

e.    Observasi adanya  gangguan integritas kulit pada daerah yang


tertekan.

f.     Ubah posisi tidur dalam setiap 2-3 jam sekali.

g.    Bantu klien dalam pelaksanaan hyegien personal.

h.    Libatkan keluarga dalam pemeliharaan kesehatan.

Rasional :

a. Melanjutkan tindakan keperawatan.


b. Membantu dalam proses keperawatan.
c. Untuk keshatan jaringan dan penyembuhan luka.
d. Memenuhi kebutuhan cairan.
e. Untuk mengetahui sedini mungkin adanya gangguan.
f. Untuk mencegah adanya penekanan pada kulit.
g. Untuk menghindari adanya kerusakan pada kulit.
h. Membantu dalam pemeliharaan kesehatan pasien.
4.  Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri,
pembengkakan, prosedur pembedahan, adanya imobilisasi, (bidai, gips,
traksi).

Tujuan : Memperbaiki mobilitas fisik normal

Kriteria Hasil: Melakukan pergerakan dan pemindahan

Intervensi :

a. Kaji tingkat kemampuan mobilitas fisik.


b. Bantu pasien melakukan aktivitas selama pasien mengalami
ketidaknyamanan.
c. Tinggikan ektremitas yang bengkakanjurka latihan ROM sesuai
kemampuan.
d. Anjurkan pasien berpartisipasi dalam aktivitas sesuai
kemampuan.
e. Pantau daerah yang terpasang pen, skrup batang dan logam yang
digunakan sebagai fiksasi interna.
f. Anjurkan menggunakan alat bantu saat sedang pasca operasi,
sebagai tongkat.
g. Pantau cara berjalan pasien. Perhatikan apakah benar-benar
aman.
Rasional :

a. Mengetahui tingkat kemampuan mobilitas klien.


b. Menambah kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
c. Untuk memperlancar peredaran darah sehingga mengurangi
pembengkakan.
d. Untuk mencegah kekakuan sendi.
e. Untuk memperbaiki tingkat mobilitas fisik.
f. Ini dilakukan untuk mempertahankan posisi tulang sampai
terjadi penulangan, tetapi tidak dirancang untuk
mempertahankan berat badan.
g. Untuk mengurangi stres yang berlebihan pada tulang.
Perubahan citra diri dan harga diri berhubungan dengan dampak masalah
musculoskeletal.

Tujuan : Terjadi peningkatan konsep diri

Kriteria Hasil: Klien dapat bersosialisasi

Intervensi :

a. Rencana perawatan pra operatif dilanjutkan.


b. Libatkan pasien dalam menyusun rencana kegiatan yang
dilakukan.
c. Bantu pasien menerima citra dirinya serta beri dukungan, baik
dari perawat, keluarga maupun teman dekat.
Rasional :

a.    Melanjutkan rencana tindakan keperawatan.

b.    Mempercepat rencana tindakan keperawatan.

c.    Stres,dan menarik diri akan mengurangi motivasi untuk proses


penyembuhan.

6. Resiko tinggi komplikasi (syok hipovolemik)

Tujuan : Tidak terjadi syok hipovolemik

Kriteria Hasil : Klien tampak tenang

Intervensi :
a. Pantau dan catat kehilangan darah pada pasien ( jumlah,warna).
b. Pantau adanya peningkatan denyut nadi dan penurunan tekanan
darah.
c. Pantau jumlah urin.
d. Pantau terjadinya gelisah, penurunan kesadaran dan haus.
e.   Pantau pemeriksaan laboratorium, terutama penutunan HB dan
HT. Segera lapor ke ahli bedah ortopedi untuk penanganan
selanjutnya.
Rasional :

a. Memantau jumlah kehilangan cairan.


b. Ini merupakan tanda awal syok.
c. Jika urin kurang dari 30 cc/ jam, itu merupakan tanda syok.
d. Rasa haus merupakan tanda awal syok.
e. Mengetahui terjadinya hemokosentrasi dan terjadinya syok
hipovolemik.
7. Resiko tinggi infeksi

Tujuan : Tidak terjadi infeksi

Kriteria Hasil: Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus

Intervensi :

a. Pemberian antibiotik intra vena jangka panjang.


b. Kaji respon pasien terhadap pemberian antibiotic.
c. Ganti balutan luka dengan teknik aseptik, sesuai dengan program.
d. Pantau tanda vital.
e. Pantau luka operasi dan catat cairan yang keluar.
f. Pantau adanya infeksi saluran kemih.
Rasional :

a. Untuk mencegah osteomielitis.


b. Menilai adanya alegi dengan pemberian antibiotic.
c. Mencegah kontaminasi dan infeksi nasokomial.
d. Peningkatan suhu tubuh diatas normal menunjukan adanya tanda
infeksi.
e. Adanya cairan yang keluar dari luka menunjukan adanya infeksi
pada luka.
f. Laporkan ke dokter bila ada infeksi yang ditemukan, hal ini sering
terjadi setelah pembedahan ortopedik.
Perencanaan keperawatan menurut wilkinson dalam jitowiyono
(2010) pada klien dengan post op fraktur femur meliputi :

1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan


fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat
traksi/immobilisasi, stress, ansietas.
Tujuan : Nyeri dapat berkurang atau hilang

Kriteria Hasil:

1.   Nyeri berkurang atau hilang

2.   Klien tampak tenang

Intervensi :

a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga.


b. Kaji tingkat intensitas dan frekuensi nyeri.
c. Jelaskan pada klien penyebab nyeri.
d. Observasi tanda-tanda vital.
e. Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalm pemberian analgesic.
Rasional :

a. Hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif.


b. Tingkat intensitas nyeri dan frekuensi menunjukan nyeri.
c. Memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang
nyeri.
d. Untuk mengetahui perkembangan klien.
e. Merupakan tindakan dependent perawat. Dimana analgesik
berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.
2. Intoleran aktivitas berhubungan dengan dispnea,
kelemahan/keletihan, ketidak adekuatan oksigenisasi.
Tujuan : Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas

Kriteria Hasil :

a. Prilaku merupakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri


b. Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas
tanpa dibantu
c. Koordinasi otot,tulang dan anggota gerak lainya baik
Intervensi:

a. Rencanakan periode istirahat yang cukup.


b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respon pasien.

Rasional :

a. Mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul


dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secara optimal.
b. Tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secar
perlahan dapat menghemat tenaga namun tujuan yang tepat,
mbilisasi dini.
c. Mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih
kembali.
d. Menjaga kemungkinan adanya respon abnormal dari tubuh sebagai
akibat dari latihan.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan
status metabolik, kerusakan sirkulasi, dan penurunan sirkulasi,
dibuktikan oleh terdapat luka/ ulserasi, kelemahan, penurunan berat
badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai

Kriteria Hasil :

1. Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus


2. Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor
3. Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi
Intervensi :

a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.


b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan
kassa kering dan steril, gunakan plester kertas.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya
debridement.
f. Setelah debridement, ganti baluta sesuai kebutuhan.
g. Kolaborasi pemberian antibiotic.
Rasional :

a. Mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam


meltindakan yang tepat.
b. Mengidentifikasi tingkat keparahan akan mempermudah intervensi
c. Suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasi sebagai adanya
proses peradangan.
d. Tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan
mencegah terjadinya infeksi.
e. Agar benda asing atau jaringan yang teriinfeksi tidak menyebar
luas pada area kulit normal lainya.
f. Balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung pada
kondisi parah/tidaknya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Antibiotik berguna untuk memetikan mikroorganisme pathogen
pada daerah yang terjadi infeksi.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
nyeri/ketidaknyamanan, kerusakan muskuloskletal, terapi
pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
Tujuan : Pasien akan menunjukan tingkat mobilitas optimal

Kriteria Hasil :

1. Penampilan yang seimbang


2. Melakukan pergerakan dan pemindahan
3. Mempertahankan mobilitas optimal yang dapat ditoleransi
dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat bantu
2 = memerlukan bantuan darinorang lain untuk bantuan,
pengawasan, dan pengajaran
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat bantu
4 = ketergantungan tidak berpartisipasi dalam aktivitas

Intervensi :

a. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan


peralatan.
b. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
c. Ajarkan dan pantau dalam hal pengguanaan alat bantu.
d. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
e. Kolaborasi dalam hal ahli terapi fisik.
Rasional :

a. Mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.


b. Mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah
karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
c. Menilai batasan kemempuan aktivitas optimal.
d. Mempertahankan/keningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
e. Sebagai suatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan/ meningkatkan mobilitas pasien.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan statis cairan tubuh, respon
inflamasi tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukan, luka/kerusakan
kulit, insisi pembedahan.

Tujuan : Infeksi tidak terjaadi/ terkontrol

Kriteria Hasil :

1. Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.


2. Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
3. Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi :

a. Pantau tanda-tanda vital.


b. Lakukan perawatan luka dengan tehnik aseptic.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter,
drainase luka, dll.
d. Jika ditemukan tanda-tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan
darah, seperti Hb dan leukosit.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotic.
Rasional :

a.    Mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh


meningkat.

b.    Mengendalikan penyebaran mikroorganisme pathogen.

c.    Untuk mengurangi resiko infeksi nasokomial.

d.   Panurunan Hb dan peningkatan leukosit dari normal bisa terjadi


akibat terjadinya proses infeksi.

e.    Antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme pathogen.


6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang
terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.

Tujuan : Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek


prosedur dan proses pengobatan.

Kriteria Hasil :

1. Melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari


suatu tindakan.
2. Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan kut serta dalam
regimen perawatan.
Intervensi :

a. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.


b. Berika penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya
sekarang.
c. Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makananya
d. Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang
dilakukan.
Rasional :

a. Mengetahui seberapa jauh penglaman dan pengetahuan klien dan


keluarga tentang penyakitnya.
b. Dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan
keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi cemas.
c. Diet dan pola  makan yang tepat membantu proses penyembuhan.
d. Mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta
menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.

4. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk
mencapai tujuan spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah
rencana tindakan disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk
membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan (Nursalam,
2001).
Pelaksanaan tindakan kepewaratan pada klien fraktur femur
dilakukan sesuai dengan perencanaan keperawatan yang letah
ditentukan, dengan tujuan unutk memenuhi kebutuhan pasien
secara optimal.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah intelektual untuk melengkapi proses asuhan
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa
keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaanya yang berhasil
dicapai. Meskipun evaluasi diletakkan pada akhir asuhan
keperawatan, evaluasi merupakan bagian integral pada setiap tahap
asuhan keperawatan (Nursalam, 2001).
Setelah data dikumpulkan tentang status keadaan klien maka
perawat memebandingkan data dengan outcomes. Tahap
selanjutnya adalah membuat keputusan tentang pencapaian klien
outcomes, ada 3 kemungkinan keputusan tahap ini :
a. Klien telah mencapai hasil yang ditentukan dalam tujuan.
b. Klien masih dalam catatan hasil yang ditentukan.
c. Klien tidak dapat mencapai hasil yang ditentukan (Nursalam,
2001).

Anda mungkin juga menyukai