Disusun Oleh :
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan
tepat pada waktunya. Dalam penyusunan makalah mungkin ada sedikit
hambatan. Namun berkat bantuan dukungan dari teman-teman serta
bimbingan dari dosen pembimbing, sehingga kami dapat menyelasikan
makalah ini dengan baik.
Dengan adanya makalah ini, diharapakan dapat membantu proses
pembelajaran dan menambah pengetahuan bagi para pembaca. Penulis juga
tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas bantuan,
dukungan dan doanya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membaca makalah ini dan dapat mengetahui tentang sejarah kesehatan
dunia dan Indonesia. Makalah ini mungkin kurang sempurna, untuk itu kami
mengharap kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini.
Slawi, Maret 2020
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI………………………………………………………….........iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................2
1.3 Tujuan.........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
2.1 Pengertian Toksik.......................................................................................3
3.1 Kesimpulan................................................................................................12
3.2 Saran..........................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................13
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Toksik
3
menghasilkan suatu respons yang mungkin bersifat aditif, sinergis,
potensiasi, dan antagonistik. Karakteristik pemaparan membentuk spektrum
efek secara bersamaan membentuk hubungan korelasi yang dikenal dengan
hubungan dosis-respons(Donatus,2001).
Timbulnya efek toksik suatu zat kimia terjadi melalui beberapa proses.
Menurut Donatus (2001), awalnya makhluk hidup terpapar oleh toksikan.
Kemudian setelah diabsorpsi dari tempat paparannya maka toksikan atau
metabolitnya akan terdistribusi ke tempat aksi (sel sasaran atau reseptor)
tertentu yang ada di dalam diri makhluk hidup. Interaksi antara toksikan
atau metabolitnya dengan sel sasaran atau reseptor di tempat aksi inilah
yang menimbulkan pengaruh berbahaya atau efek toksik dengan wujud serta
sifat tertentu. Efek toksik sangat bervariasi dalam sifat, organ sasaran,
maupun mekanisme kerjanya. Pemahaman lebih mendalam mengenai ciri
efek toksik bermanfaat untuk menilai bahayanya bagi kesehatan dan untuk
mengembangkan upaya pencegahan dan terapi (Lu, 1995).
Berdasar alur peristiwa timbulnya efek toksik, ada empat asas umum
yang perlu dipelajari dan dipahami dalam toksikologi. Empat asas tersebut
adalah kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi,
wujud dan sifat efek toksik atau pengaruh berbahaya racun (Donatus, 2001).
Pemahaman atas empat asas umum tosikologi ini dapat dipergunakan
untuk evaluasi keberbahayaan suatu zat. Evaluasi ini menentukan atau
memperkirakan batas keamanan suatu zat bila mengenai atau digunakan
pada manusia serta cara-cara menggunakannya supaya tidak menimbulkan
efek toksik (Priyanto, 2009).
Menurut Loomis (1978), kondisi efek toksik suatu senyawa adalah berbagai
keadaan atau faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas absorbsi,
distribusi, dan eliminasi senyawa tersebut di dalam tubuh makhluk hidup
yang pada gilirannya akan menentukan keberadaan zat kimia tersebut secara
utuh atau metabolitnya dalam sel sasaran atau efektivitas antaraksinya
dengan sel sasaran. Jumlah zat kimia ataupun metabolitnya di sel sasaran
akan mempengaruhi efek toksiknya (Priyanto, 2009). Kondisi efek toksik
4
meliputi kondisi pemejanan (kondisi paparan zat kimia) dan kondisi
makhluk hidup (Donatus, 2001).
Kondisi pemejanan yang mempengaruhi efek toksik adalah jenis, jalur,
lama, kekerapan, saat, dan takaran pemejanan. Jenis pemejanan dibedakan
menjadi dua, yaitu akut dan kronis. Keduanya dibedakan berdasarkan lama
dan kekerapan pemejanan sebagai batas kurun waktu pemejanan terhadap
makhluk hidup (Donatus, 2001).
Pemejanan akut adalah pemejanan yang dilakukan kurang dari 24 jam. Akan
tetapi pada toksikologi klinis, pemejanan dalam kurun waktu 72 jam masih
dianggap sebagai pemejanan akut. Pemejanan kronis didefinisikan sebagai
pemejanan yang dilakukan secara berkesinambungan atau berulang dalam
suatu periode waktu pemejanan tertentu yang lebih lama dari pada periode
waktu pemejanan akut (Donatus, 2001).
Kondisi makhluk hidup adalah keadaan fisiologi dan patologi yang dapat
mempengaruhi ketersediaan racun di sel sasaran dan keefektifan antaraksi
kedua ubahan tersebut. Termasuk dalam kondisi fisiologis makhluk hidup
yang berpengaruh terhadap efek toksik adalah berat badan, usia, suhu tubuh,
kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran darah, status gizi,
kehamilan, jenis kelamin, irama sikardian, dan irama diurnal. Keadaan
patologis meliputi sejumlah penyakit diantaranya penyakit saluran cerna,
kardiovaskuler, hati, dan ginjal (Donatus, 2001). Keadaan patologis
merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan
uji toksikologi, terutama berkaitan dengan pemilihan dan penentuan hewan
uji (Donatus, 2001).
Dimaksud dengan efek toksik adalah berbagai keadaan atau factor
yang dapat mempengaruhi keefektifan absorbs, distribusi, dan eliminasi zat
beracun di dalam tubuh, sehingga akan menentukan keberadaan zat kimia
utuh atau metabolitnya dalam sel sasaran serta toksisitasnya. Termasuk
dalam kondisi efek toksik ialah kondisi pemejanan yang meliputi jenis
pemejanan (akut atau kronis) jalur pemejanan (intra vascular atau ekstra
vascular), lama dan kekerapan pemejanan, saat pemejanan, dan takaran atau
dosis pemejanan. Selain itu, termasuk pula dalam kondisi efek toksik ialah
kondisi subyek atau makhluk hidup, meliputi keadaan fisiologi (misalnya:
berat badan, umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan
alir darah, status gizi, kehamilan, genetika, jenis kelamin, ritme sirkadian,
5
ritme diurnal) dan keadaan patologi (misalnya: penyakit saluran cerna,
kardiovaskular, hati, dan ginjal).
Berbaga macam kondisi itu, akan mempengaruhi ketersediaan zat
beracun atau metabolitnya didalam sel sasaran, atau keefektifan interaksinya
dengan sel sasaran. Dengan cara demikian, akan menentuikan toksisitas
suatu zat beracun.
6
Karenanya, mekanisme ini juga disebut mekanisme tak langsung atau
sekunder.
a. Mekanisme luka intraseluler
Di dalam tubuh, zat beracun mungkin berada dalam bentuk zat kimia induk
atau dalam bentuk metabolit yang relatif (misalnya: ion karbonium,
epoksida, radikal bebas), sebelum berada di sel sasaran. Setelah masuk ke
dalam sel sasaran, kemungkinan akan berinteraksi dengan suatu sasaran
molekuler yang khas atau tak khas, melalui salah satu dari beberapa
mekanisme reaksi kimia yang mungkin (reaksi pendesakan, ikatan kovalen,
substitusi, peroksidasi, dan lain sebagainya). Sebelum terjadi efek yang
tidak diinginkan sebagai akibat interaksi tadi, pertama kali tubuh
memberikan responnya, yang berupa aksi perbaikan atau adaptasi. Namun,
bila mekanisme pertahanan tubuh ini tidak lagi mampu menanggulanginya
maka terjadilah respon toksik yang pada dasarnya berwujud sebagai
perubahan atau kekacauan biokimia, fungsional, atau struktural, yang
sifatnya mungkin terbalikan atau metabolit reaktif zat beracun, akan
bereaksi langsung dengan komponen-komponen molekular sel (sasaran
molekular), melalui serangkaian reaksi kimia tertentu, sasaran molekular ini
meliputi membran sel (lipid)
b. Mekanisme luka ekstrasel
Kelangsungan hidup sel bergantung pada aneka ragam faktor lingkungan
ekstrasel, yang pada dasarnya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
metabolik basal dan pengaturan aktifitas sel. Oleh karena itu, bila zat
beracun yang berada di lungkungan ekstrasel mampu mengganggu atau
mengacaukan kedua sistem tersebut, mungkin dapat menimbulkan
perubahan struktur atau fungsi sel. Pada dasarnya, untuk kepentingan
metabolik dasar bagi kepentingan hidup sel, dibutuhkan pasokan oksigen
dan unsur hara, serta lingkungan cairan ekstraseluler yang optimal berkaitan
dengan komposisi elektrolit atau asam basa. Pasokan oksigen diperlukan
untuk produksi energi. Kecukupan pasokan oksigen ini bergantung pada
fungsi alat pernafasan, difusi oksigen dari alfeoli ke dalam darah, jumlah
eritrosit yang berfungsi, dan sistem kardio faskular untuk transport eritrosit
teroksigenkan ke sel. Semua tempat ini, dapat menjadi sasaran serangan
kimia zat beracun. Misalnya, nitrit dapat merubah hemoglobin menjadi
methemoglobin yang tidak sanggup membawa oksigen. Akibatnya terjadi
kekurangan oksigen dalam sirkulasi darah (hipoksia). Bila berlanjut,
7
keadaan ini akan berkembang menjadi anoksia. Dengan cara demikian,
produksi energi sel akan terganggu. Akibatnya dapat terjadi degenerasi atau
kematian sel (Donatus,2001).
Pasokan unsur hara diperlukan oleh semua sel agar berbagai reaksi
metabolik dapat berlangsung dengan normal, sehingga produksi energi sel
selalu mencukupi. Selain itu, unsur hara juga diperlukan untuk proses
pertumbuhan dan fungsi sel. Kecukupan unsur hara ini tentunya bergantung
pada keefektifan ingesti, digesti, absorbsi, dan distribusinya dari darah ke
lingkungan luar sel. Dengan demikian, zat beracun apapun yang dapat
menghambat berbagai proses perpindahan unsur hara dari tempat masuknya
sampai akhirnya ke sel, tentu saja akan menimbulkan gangguan terhadap
produksi energi atau pertumbuhan sel.
Cairan dan keseimbangan elektrolit serta eliminasi produk buangan
metabolisme sel, merupakan sasaran potensial aneka ragam zat beracun.
Pada umumnya, pengaruhnya berupa retensi cairan ( edema) atau dehidrasi.
Keadaan hal ini mungkin menyebabkan perubahan struktur sekunder pada
ginjal karena penekanan sodium, potasium, dan air tubuh. Sistem
pengaturan aktifitas sel mengatur dan mengintegrasikan kebutuhan aktifitas
sel untuk memenuhi persyaratan yang diperlukan bagi kelangsungan hidup
sel. Untuk itu, di dalam tubuh terdapat beberapa sistem pengaturan yang
saling berkaitan, yakni sistem saraf, endokrin (hormon), dan kekebalan
(imun).
Sistem saraf merupakan sistem pengantaran aktifitas sel yang paling
penting dan sekaligus kritis sebagai sasaran zat beracun. Baik secara
langsung atau tak langsung, sistem ini mempengaruhi semua jenis sel.
Karena itu, bila disrupsi atau kerusakan sistem ini, maka dapat
menimbulkan kematian. Aneka ragam efek utama yang mungkin nampak
ialah efek yang berkaitan dengan kendali neural kontraksi otot atau sekresi
kelenjar. Golongan pestisida tertentu misalnya, dapat merusak saraf skiatik
pada kaki. Otot yang dipasok oleh saraf ini, tidak akan terangsang untuk
berkontraksi lebih lama akibat pemejannan pestisida itu. Kelumpuhan
mungkin dapat terjadi. Contoh lainnya, atropina mempengaruhi saraf
otonom, sehingga dapat menghambat saraf sekresi kelenjar ludah.
Akibatnya, mulut dapat terasa kering (Donatus,2001).
Sistem endokrin pada umumnya mengatur aktifitas pertumbuhan dan
keseimbangan cairan serta elektrolit sel. Selain itu, sistem ini secara khas
8
mengendalikan sistem reproduksi. Misalnya senyawa nirsteroid metalibur,
dapat menekan sekresi gonadotropin, sehingga dapat menghambat
spermatogenesis dan atropiperlengkapan kelenjar kelamin. Keadaan ini
terjadi karena fungsi testis terutama diatur oleh gonadotropin LH dan FSH.
Sistem kekebalan tubuh mengatur molekul-molekulasi yang masuk ke
dalam tubuh dan molekul-molekul asing yang dihasilkan di dalam tubuh.
Namun, hal ini tidak berarti semua molekul di anggap asing oleh tubuh.
Molekul yang dianggap asing oleh sistem kekebalan disebut antigen. Pada
umumnya, molekul antigen yang dijumpai ada kaitannya dengan bakteri,
virus, protein, dan zat kimia asing. Dalam keadaan normal, antigen-antigen
ini dapat dinetralkan oleh sistem kekebalan dan dieliminasi tanpa
menyebabkan efek yang membahayakan tubuh inangnya, yang berkisar dari
efek lokal yang ringan seperti ruam sampai ke reaksi yang parah dan fatal
seperti syok. Reaksi yang membahayakan ini biasanya diacu sebagai reaksi
alergi, yang sangat penting dalam kaitannya dengan mekanisme ketoksikan
zat kimia apapun (Donatus,2001).
9
struktural meliputi degenerasi, proliferasi, dan inflamasi. Perubahan
degenerasi meliputi atropi, akumulasi intrasel (yang paling sering dijumpai
adalah penumpukan air dan lemak), serta nekrosis. Wujud efek toksik yang
sama dapat memperantai timbulnya gejala klinis ketoksikan yang berbeda
pada tiap individu.
Wujud efek toksik zat beracun, pada dasaranya merupakan perubahan
biokimia, fungsional, dan struktural. Namun, tidak berarti bahwa efek toksik
zat beracun sepenuhnya dapat terpisah dengan tegas ke dapam tiga jenis
wujud dasar efek toksik itu. Melainkan, sering kali merupakan campuran,
karena ketiganya merupakan proses yang saling berkaitan. Perubahan
struktural misalnya, kebanyakan merupakan wujud akhir dari perubahan
fungsional dan atau biokimia.
Jenis efek toksik berdasarkan perubahan biokimia, meliputi jenis
wujud efek toksik yang berkaitan denggan respons dan perubahan atau
kekacauan biokimia terhadap luka sel, akibat interaksi antara zat beracun
dan tempat aksi tertentu, yang sifatnya berbalikan. Termasuk dalam jenis
wujud efek toksik itu, diantaranya menghambat respirasi sel, perubahan
keseimbangan cairan dan elektrolit, dan gangguan pasokan energi. Misalnya
sianida mampu menghambat rantai transport elektron.
Jenis efek toksik berdasarkan perubahan fungsional meliputi jenis
wujud efek toksik yang berkaitan dengan interaksi zat beracun dengan
reseptor atau tempat akhir enzim yang sifatnya berbalikan, sehingga dapat
mempengaruhi fungsi homeostatis tertentu. Termasuk dalam jenis wujud
efek toksik ini diantaranya anoksia, gangguan pernafasan, gangguan sistem
saraf pusat, hiper atau hipotensi, hiper atau hopo glikemik, perubahan
keseimbangan cairan atau elektrolit, perubahan kontraksi atau rileksasi otot,
dan hipo atau hipertermi. Insektisida organofosfat melation misalnya, dapat
menyebabkan kematian karena penyekatan otot-otot pernafasan sebagai
akibat penumpukan asetil kolin yang berlebihan. Hal ini terjadi karena
hambatan enzim yang secara normal bertanggung jawab terhadap penawar
racun neurotransmiter.
Efek toksik berdasarkan perubahan struktural, meliputi jenis wujud
efek toksik yang berkaitan dengan perubahan morfologi sel yang akhirnya
berwujud sebagai kekacauan struktural, terdapat respon histopatologi dasar
sebagai tanggapan terhadap adanya luka sel, yakni degenerasi proliferasi,
dan inflamasi atau perbaikan. Degenerasi dan poliferasi merupakan respon
10
ekstrasel. Berbagai respon histopatologi itu, mendasari aneka ragam
perubahan morfologi atau struktural dalam berbagai wujud atau bentuknya
seperti degenerasi melemak, nekrosis, mutagenesis, karsinogenesis, dan lain
sebagainya. Tetrasiklin merupakan contoh obat yang dapat menimbulkan
perlemakan hati, sedang racun pangan aflatoksin dapat menimbulkan
nekrosis hati. Pada umumnya, perubahan struktural ini bersifat terbalikkan.
Meskipun demikian, adapula yang bersifat terbalikkan, misalnya degenerasi
lemak (Priyanto,2009).
Terdapat dua jenis sifat efek toksik zat beracun, yakni terbalikkan atau tak
terbalikan. Ciri khas dari wujud efek toksik yang terbaikkan meliputi:
a. Bila kadar racun yang ada dalam tempat aksi atau reseptor tertentu telah
habis, maka reseptor tersebut akan kembali kesemula.
b. Efek toksik yang ditimbulkan akan cepat kembali normal.
c. Ketoksikkan racun bergantung pada takaran serta kecepatan absorbsi,
distribusi, dan eliminasi racunnya.
Sedang cirikhas dari wujud efek toksik yang bersifat tak terbalikkan
meliputi:
a. Kerusakan yang terjadi sifatnya menetap
b. Pemejanan berikutnya dengan racun akan menimbulkan kerusakan yang
sifatnya sama sehingga memungkinkan terjadinya penumpukan efek toksik
c. Pemejanan dengan takaran yang sangat kecil dalam jangka panjang akan
menimbulkan efek toksik yang seefektif dengan yang ditimbulkan oleh
pemejanan racun dengan toksikan besar dalam jangka panjang
(Donatus,2001).
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
Butler, G.C. 1978 . Prinsiple of Ecotoxicologi, SCOPE 12, John Wiley and Sons .
New York.
Cassarett and Doulls . 1995. Toxicology the basic of sciences of poisons, 7 th ed .
New York USA : Mc Graw Hill.
Cassarett and Doulls . 2000. Toxicology the basic of sciences of poisons, 7 th ed .
New York USA 78(2) : 252-257.
Donatus, Argo, Imono. 2001.Toksikologi Dasar. Fakultas Farmasi, Universitas.
Gajah Mada. Yogyakarta.
Lu, F.C., 1995, Toksikologi Dasar, Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko,
Nugroho, E. (terj.), UI Press, Jakarta
Loomis, T.A., 1978, Toksikologi Dasar, Donatus, A. (terj.) IKIP Semarang Press,
Semarang.
Priyanto . 2009 . Farmakoterapi dan Terminologi Medis, hal 143-155 Leskonfi .
Depok.
13