Pendahuluan
A. Latar Belakang
Brunei Darussalam adalah negara yang memiliki corak pemerintahan monarki
absolut berdasar hukum Islam dengan Sultan yang menjabat sebagai Kepala Negara
dan Kepala Pemerintahan, merangkap sebagai Perdana Menteri dan Menteri
Pertahanan dengan dibantu oleh Dewan Penasehat Kesultanan dan beberapa Menteri.1
Berdasar pada latar belakang tersebut di atas, maka dapatlah ditarik sebuah
rumusan masalah dengan pokok masalah Bagaimana Hukum Keluarga Islam di
Brunei Darussalam. Adapun yang menjadi sub masalahnya adalah Bagaimana
Reformasi Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam dan Bagaimana Materi
Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam2.
1
Abd. Ghofur. Islam dan Politik di Brunei Darussalam (Suatu Tinjauan Sosio-Historis). Jurnal
Toleransi : Media Komunikasi Umat Beragama, Vol.7 No.1 Januari-Juni 2015. h., 53.
2
A. Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015. h.,
148.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk memberikan
informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada masyarakat pada
umumnya tentang Hukum Islam Di Brunei Darussalam.
BAB II
Pembahasan
Bahasa Melayu menjadi bahasa utama, disertai bahasa Inggris, Cina, Iban, dan
belasan dialek daerah yang berjumlah 17 bahasa. Brunei dikenal sebagai salah satu
negara terkaya di Asia karena hasil minyakbuminya. Negara Brunei berbentuk
monarkhi dengan sistem politik tradisional feodalistik dimana keluarga raja sebagai
pemegang pimpinan kerajaan. Kepala Negara disebut Sultan dengan panggilan resmi
kenegaraan “Ke Bawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Yang Dipertuan
Negara”. Kepala pemerintahan adalah Perdana Menteri. Adapun Dewan
pembentukan Undang-Undang dijabat oleh Dewan Menteri dan Dewan Legislatif 3.
3
A. Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015. h.,
149.
mempunyai hak untuk memilih (takhayyur) atas beberapa mazhab fikih lain selain
mazhab Syafi’i.4
Pemberian kekuasaan di bidang hukum secara penuh baru diberikan kepada Inggris
setelah ditandatanganinya perjanjian pada 1888 dalam Artikel VII yang membuat
aturan :
1. Bidang kuasa civil dan jinayah kepada jawatan kuasa Inggris untuk
mengendalikan kes rakyat, kes rakyat asing dari negara-negara jajahan Inggris
dan kes rakyat negara lain jika mendapat persetujuan kerajaan negara mereka.
2. Bidang kuasa untuk menghakimkan kesalahan yang melibatkan rakyat Brunei
jika rakyat Brunei dalam kesasalahan tersebut merupakan seorang penuntut
atau pendakwa. Tetapi jika didalam sesuatu kes tersebut, rakyat Brunei adalah
orang yang dituntut atau didakwa maka kes itu akan diadili oleh Mahkamah
Tempatan.
Kekuasaan yang lebih luas lagi dalam bidang hukum diberikan setelah adanya
perjanjian tahun 1906. Dengan perjanjian tersebut Inggris lebih leluasa mendapat
kekuasaan yang luas untuk campur tangan dalam urusan per-UU-an, Pentadbiran
keadilan dan kehakiman, masalah negara dan pemerintahan kecuali dalam perkara-
perkara agama Islam.
Karena undang-undang adat dan kedudukan hukum syara' dirasa tidak begitu
jelas, kesultanan Brunei memberi petisi kepada Pesuruh Jaya British pada 2 Juli 1906
yang isinya menuntut:
4
Mohammad Fairuzzabady, Hukum Islam di Dunia Islam Modern, h,. 6.
1. Setiap kasus yang berkaitan dengan agama Islam diadili oleh hakim-hakim
setempat.
2. Meminta agar adat-adat dan undang-undang setempat tidak dirombak,
dipindah, dan dilanggar selama-lamanya.
Dari kedua petisi ini, yang disetujui oleh Inggris hanya masalah nomor satu dan
ditindaklanjuti dengan mengembangkan Mahkamah Syari'ah yang akan
mengendalikan urusan-urusan agama Islam. Sedangkan yang kedua ditolak,
penolakan itu didasarkan pada tujuan perjanjian 1906 adalah untuk memperbaiki adat
dan undang-undang setempat sebagai langkah untuk menyelamatkan Brunei dari
kehilangan-kehilangan wilayahnya.
Ketika terjadi Revision Laws of Brunei pada tahun 1984, undang-undang ini pun
mengalami revisi tapi hanya sedikit saja disamping namanya ditukar dengan akta
Majelis Agama dan Mahkamah Kadi Penggal 77.
Untuk lebih memberikan wawasan, sebagian dari aturan ini akan dijelaskan di
bawah ini secara umum :
Dalam tahap ini, sebagaimana peraturan yang telah ditetapkan oleh syara’ bahwa
sebelum proses pernikahan seorang harus melalui tahap pertunangan. UU Negara
Brunei Darussalam Majelis Agama Islam dan Mahkamah-mahkamah Kadi
5
Abdul Qadir Zaelani, Hukum Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern, (Bandar Lampung :
Anugrah Utama Raharja (AURA), 2013), h,. 16-17.
melegitimasi proses pertunangan ini ke dalam salah satu pasalnya yaitu pasal 136.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa “Barang siapa baik secara lisan atau tulisan, baik
secara langsung atau melalui perantaraan orang lain telah mengikatkan diri dengan
orang lain dalam ikatan pertunangan, namun dengan tanpa alasan yang dibenarkan
dia memutuskan hubungan pertunangan tersebut, maka jika dia adalah seorang laki-
laki maka diwajibkan atasnya membayar ganti rugi sejumlah mas kawin dan biaya-
biaya lain yang telah dipersiapkan untuk persediaan pernikahan tersebut.”
Namun jika yang membatalkan perjanjian tersebut dari pihak perempuan, maka
hadiah pertunangan harus dikembalikan bersama dengan uang yang diberikan dengan
suka rela. Semua pembayaran baik yang digariskan tadi bisa didapatkan kembali
melalui perkawinan. Hal ini tidak dijelaskan dalam fikih Syafi'i secara eksplisit.
2. Pendaftaran Nikah
3. Wali Nikah
Adapun mengenai wali nikah, Persetujuan kedua belah pihak dalam perkawinan
sangat diperlukan. Di samping itu, wali pengantin perempuan pun harus memberikan
persetujuan atau Kadi yang mempunyai kewenangan bertindak sebagai wali raja atau
apabila tidak terdapat wali nasab atau wali nasab tidak menyetujui dengan alasan
yang tidak masuk akal.
Aturan perwalian ini dikenal dalam mazhab Syafi’i, dimana seorang wanita yang
mau menikah harus mendapatkan izin dari walinya. Demikian pula berlaku di Negara
Brunei yang mengharuskan adanya wali dari sebuah pernikahan. Namun, tidak
dijelaskan lebih jauh apakah keharusan adanya wali diperuntukkan bagi calon
mempelai yang masih gadis saja, atau juga berlaku bagi seorang janda.6
4. Pencatatan Perkawinan
6
A. Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015. h.,
155.
Perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang tidak mengikuti hukum mazhab
yang dianut oleh kedua belah pihak (pasal 138).7
Aturan tersebut dapat kita jumpai dalam Religious Council and Kadis Courts
Chap 77, pasal 143 ayat (1) menyatakan : "Dalam jangka waktu tujuh hari setelah
melakukan akad nikah para pihak diharuskan melaporkan perkawinan tersebut, yang
boleh jadi para pasangan atau wali".
7
Dian Mustika, Pencatatan Perkawinan Dalam Undang-Undang Hukum Keluarga di Dunia Islam.
Jurnal Marriage Registration, Family Law, Islamic World, h., 63.
terdahulu. Kecuali ia kawin dengan laki-laki lain dengan cara yang sah dan
bersetubuh dengannya kemudian diceraikan dengan cara yang sah sesuai dengan
undang-undang. Peraturan perceraian Brunei yang lainnya adalah seorang suami bisa
menceraikan istrinya dengan talak 1, 2, 3, dengan hukum Islam seorang suami mesti
memberitahukan tentang perceraiannya kepada pendaftar dalam tempo 7 hari. Jika
seorang perempuan yang sudah menikah bisa juga mengajukan permohonan cerai
kepada kadi dengan mengikuti hukum Islam. Apabila suaminya rela hendaknya dia
mengucapnya cerai. Kemudian didaftarkan dan kadi akan mengeluarkan akta
perceraian kepada kedua belah pihak. 8
Di Brunei diberlakukan juga aturan yang menyatakan bahwa jika pihak suami
tidak menyetujui perceraian dengan penuh kerelaan, maka kedua belah pihak bisa
menyetujui perceraian dengan tebusan atau di Brunei diistilahkan dengan cerai tebus
talak. Kadi akan menilai jumlah yang perlu dibayar sesuai dengan taraf kemampuan
kedua belah pihak tersebut serta mendaftarkan perceraian itu.
Dalam berbagai kitab fikih klasik ketentuan itu juga dibenarkan yang diistilah
dengan khulu’. Hanya saja orang yang berkhulu’ (cerai tebus talak) tidak
mengucapkan talaknya kecuali dengan upah, sedangkan orang yang mentalak itu
tidak mengambil upah.9
Selain aturan mengenai cerai talak tebus, di Brunei juga diberlakukan aturan bagi
pihak istri untuk berpisah dari suaminya melalui fasilitas fasakh. Fasakh adalah suatu
pernyataan pembubaran perkawinan menurut hukum Islam. Pernyataan fasakh ini
tidak boleh dikeluarkan kecuali pihak istri memberi keterangan di hadapan sekurang-
8
Abdul Qadir Zaelani, Hukum Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern, (Bandar Lampung :
Anugrah Utama Raharja (AURA), 2013), h,. 20.
9
A. Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015. h.,
157.
kurangnya dua saksi dan mengangkat sumpah atau menbuat pengakuan. Dan bagi
istri yang dicerai dapat mengajukan pemberian penghibur (mut’ah) kepada Kadi yang
diserahkan setelah keterangan kedua belah pihak didengar oleh Kadi.
Dari dua fasilitas tersebut di atas, cerai talak tebus dan fasakh. Kedua-duanya
mengharuskan pihak istri yang akan berpisah dari suaminya untuk mengeluarkan
“biaya” penebusan atas perceraiannya. Hanya saja kalau cerai talak tebus diberikan
kepada mantan suami, sedangkan untuk fasakh diberikan kepada Kadi yang
menangani perkaranya. Jalur Fasakh dalam al-Umm dibenarkan, disertai dengan
beberapa macam sebab dibolehkannya fasakh tersebut, di antaranya:
Sehingga, posisi hakam dalam hal ini sangat menentukan terhadap pernikahan
kedua belah pihak. Baik itu dalam keadaan pernikahan tersebut dipertahankan
maupun jika kemudian pernikahan tersebut harus diakhiri saat itu juga. Peran hakam,
10
A. Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015.
h., 157.
sebagaimana yang terjadi di Negara Brunei, telah pula digambarkan dalam mazhab
Syafi’i sebagai kitab rujukan bagi Negara Brunei.11
9. Rujuk
Berdasar atas aturan itu, dapatlah dikatakan bahwa jika terjadi perceraian yang
dapat dirujuk namun tidak disampaikan kepada pihak perempuan, maka pihak
perempuan tidak berkewajiban untuk “tinggal serumah” hingga ada penyampaian
yang datang kepadanya.
Sehingga jika telah jatuh talak, yang masih bisa untuk rujuk kembali, pihak
suami menyatakan untuk rujuk dan diterima oleh pihak istri, maka Kadi berhak
memerintahkan istri untuk tinggal bersama lagi sebagai layaknya suami istri dan
tentunya atas dasar kerelaan pihak istri (Pasal 150 ayat (1)).12
Pembicaraan nafkah hanya dipakai dalam tuntutan yang dibuat oleh orang Islam
terhadap orang Islam yang lainnya. Yang termasuk ke dalam ini adalah para istri,
anak sah yang masih belum dewasa, orang yang tidak mampu membiayai (fiskal),
orang yang berpenyakit dan anak di luar nikah. Tiga syarat ini bisa dijadikan tuntutan
berdasarkan hukum Muslim yang dalam hal menentukan hak untuk nafkah. Dalam
11
A. Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015.
h., 157-158.
12
A. Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015.
h., 156.
kasus anak di luar nikah, Mahkamah Kadi akan membuat ketentuan yang dianggap
sesuai. Perintah bisa dikuatkan melalui Mahkamah Majistret atau Mahkamah Kadi
Besar.13
Lebih lanjut, seorang istri tidak boleh menikah kembali tanpa surat pernyataan
tersebut meskipun telah ada pengesahan dari Pengadilan Tinggi mengenai kematian
suaminya. Aturan ketat tersebut merupakan sikap kehati-hatian pemerintah Brunei
sehingga tidak mengeluarkan surat pernyataan yang bisa merugikan salah satu pihak
serta tidak menimbulkan penyesalan di kemudian hari.
13
Abdul Qadir Zaelani, Hukum Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern, (Bandar Lampung :
Anugrah Utama Raharja (AURA), 2013), h,. 22.
tersebut merupakan bentuk reformasi hukum pemerintah Brunei yang mencoba
mengkondisikan “orang hilang” agar dapat sejalan dengan perubahan zaman.14
14
A. Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015.
h., 153-159.
BAB III
Penurup
A. Kesimpulan