Anda di halaman 1dari 16

BAB I

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Brunei Darussalam adalah negara yang memiliki corak pemerintahan monarki
absolut berdasar hukum Islam dengan Sultan yang menjabat sebagai Kepala Negara
dan Kepala Pemerintahan, merangkap sebagai Perdana Menteri dan Menteri
Pertahanan dengan dibantu oleh Dewan Penasehat Kesultanan dan beberapa Menteri.1

Dalam peraturan perundang-undangannya, Brunei mengalami beberapa kali


pembaruan sejak masa penjajahan Inggris sampai pasca kemerdekaan. Pembaruan
hukum keluarga Islam terkadang melahirkan perdebatan di kalangan modernis-
progresif dan tradisional-konservatif. Pembaruan hukum keluarga setidak-tidaknya
berkaitan dengan materi hukum yang dianggap out of date yang dilakukan dengan
metode-metode tertentu agar selaras dengan perubahan zaman, hukum keluarga di
Brunei tidak luput dari dinamika reformasi. Hal ini didasarkan pada sebuah asumsi
yang menyatakan bahwa hukum keluarga Islam merupakan hukum yang hidup.

Berdasar pada latar belakang tersebut di atas, maka dapatlah ditarik sebuah
rumusan masalah dengan pokok masalah Bagaimana Hukum Keluarga Islam di
Brunei Darussalam. Adapun yang menjadi sub masalahnya adalah Bagaimana
Reformasi Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam dan Bagaimana Materi
Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam2.

1
Abd. Ghofur. Islam dan Politik di Brunei Darussalam (Suatu Tinjauan Sosio-Historis). Jurnal
Toleransi : Media Komunikasi Umat Beragama, Vol.7 No.1 Januari-Juni 2015. h., 53.
2
A. Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015. h.,
148.
B. Rumusan Masalah

1. Apakah konstitusi yang digunakan di Brunei Darussalam?

2. Bagaimana status hukum Islam di Brunei Darussalam?

3. Bagaimana hukum keluarga Islam di Brunei Darussalam?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk memberikan
informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada masyarakat pada
umumnya tentang Hukum Islam Di Brunei Darussalam.
BAB II

Pembahasan

A. Tentang Negara Brunei Darussalam

Brunei merdeka dari jajahan Inggris di bawah negara persemakmuran Inggris


tanggal 1 Januari 1984. Populasi penduduk Brunei adalah 301.000 yang terdiri dari
70,5% orang Melayu yang umumnya bekerja di pemerintahan dan sipil, orang Cina
16%, dimana 80% nya tidak terakomodasi sebagai warga negara resmi, dan beberapa
kelompok lokal seperti orang Iban, Kedayan, Kayan, Kenyah, Kiput, Muru, dan
Tutung. Pendatang yang berjumlah 8,2% umumnya sebagai pekerja industri yang
berasal dari Inggris 6.000 orang, Asia Selatan 4.200 orang, Gurkha 1.000 orang,
Korea, dan Philipina.

Bahasa Melayu menjadi bahasa utama, disertai bahasa Inggris, Cina, Iban, dan
belasan dialek daerah yang berjumlah 17 bahasa. Brunei dikenal sebagai salah satu
negara terkaya di Asia karena hasil minyakbuminya. Negara Brunei berbentuk
monarkhi dengan sistem politik tradisional feodalistik dimana keluarga raja sebagai
pemegang pimpinan kerajaan. Kepala Negara disebut Sultan dengan panggilan resmi
kenegaraan “Ke Bawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Yang Dipertuan
Negara”. Kepala pemerintahan adalah Perdana Menteri. Adapun Dewan
pembentukan Undang-Undang dijabat oleh Dewan Menteri dan Dewan Legislatif 3.

Brunei Darussalam merupakan negara yang berdasar pada syari'at Islam.


Konstitusi Brunei Darussalam berdasar aliran pada Ahlus Sunnah wal jama’ah dan
bermazhab Syafi’i. Hal ini berdampak pada peraturan yang berlaku yang disandarkan
pada fiqh Syafi'i di setiap aspeknya. Namun demikian, dalam beberapa aturan
hukumnya yang tidak diatur dalam hukum keluarga, warga Negara Brunei tetap

3
A. Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015. h.,
149.
mempunyai hak untuk memilih (takhayyur) atas beberapa mazhab fikih lain selain
mazhab Syafi’i.4

B. Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam

Sebelum datangnya Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di Brunei


ialah Undang-Undang Islam yang telah dikanunkan dengan hukum qanun Brunei.
Hukum Qanun Brunei tersebut sudah ditulis pada masa pemerintahan Sultan Hassan
(1605-1619 M) yang disempurnakan oleh Jalilul Jabbar (1619-1652 M).

Pemberian kekuasaan di bidang hukum secara penuh baru diberikan kepada Inggris
setelah ditandatanganinya perjanjian pada 1888 dalam Artikel VII yang membuat
aturan :
1. Bidang kuasa civil dan jinayah kepada jawatan kuasa Inggris untuk
mengendalikan kes rakyat, kes rakyat asing dari negara-negara jajahan Inggris
dan kes rakyat negara lain jika mendapat persetujuan kerajaan negara mereka.
2. Bidang kuasa untuk menghakimkan kesalahan yang melibatkan rakyat Brunei
jika rakyat Brunei dalam kesasalahan tersebut merupakan seorang penuntut
atau pendakwa. Tetapi jika didalam sesuatu kes tersebut, rakyat Brunei adalah
orang yang dituntut atau didakwa maka kes itu akan diadili oleh Mahkamah
Tempatan.

Kekuasaan yang lebih luas lagi dalam bidang hukum diberikan setelah adanya
perjanjian tahun 1906. Dengan perjanjian tersebut Inggris lebih leluasa mendapat
kekuasaan yang luas untuk campur tangan dalam urusan per-UU-an, Pentadbiran
keadilan dan kehakiman, masalah negara dan pemerintahan kecuali dalam perkara-
perkara agama Islam.

Karena undang-undang adat dan kedudukan hukum syara' dirasa tidak begitu
jelas, kesultanan Brunei memberi petisi kepada Pesuruh Jaya British pada 2 Juli 1906
yang isinya menuntut:
4
Mohammad Fairuzzabady, Hukum Islam di Dunia Islam Modern, h,. 6.
1. Setiap kasus yang berkaitan dengan agama Islam diadili oleh hakim-hakim
setempat.
2. Meminta agar adat-adat dan undang-undang setempat tidak dirombak,
dipindah, dan dilanggar selama-lamanya.

Dari kedua petisi ini, yang disetujui oleh Inggris hanya masalah nomor satu dan
ditindaklanjuti dengan mengembangkan Mahkamah Syari'ah yang akan
mengendalikan urusan-urusan agama Islam. Sedangkan yang kedua ditolak,
penolakan itu didasarkan pada tujuan perjanjian 1906 adalah untuk memperbaiki adat
dan undang-undang setempat sebagai langkah untuk menyelamatkan Brunei dari
kehilangan-kehilangan wilayahnya.

Untuk seterusnya Mahkamah Syari'ah Brunei hanya dibenarkan melaksanakan


undang-undang Islam yang berikatan dengan perkara-perkara kawin, cerai, dan ibdat
(khusus) saja. Sedangkan masalah yang berkaitan dengan jinayat diserahkan kepada
undang-undang Inggris yang berdasarkan Common Law England.

Peraturan dan perundang-undangan di Brunei terus menerus dirombak, seperti


pada tahun 1912 majelis Masyuarat Negeri telah mengundangkan undang-undang
agama Islam yang dikenal dengan "Muhammadans Marriages and Divorce
Enactement." Sampai yang terakhir yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang
Majelis Ugama, Adat Negeri dan Mahkamah Kadi tahun 1955, yang telah berlaku
pada tanggal 1 Januari 1956. Setelah tahun itu berturut-turut Undang-Undang
mengalami amandemen yaitu mulai tahun 1957, 1960, 1961, dan 1967.

Ketika terjadi Revision Laws of Brunei pada tahun 1984, undang-undang ini pun
mengalami revisi tapi hanya sedikit saja disamping namanya ditukar dengan akta
Majelis Agama dan Mahkamah Kadi Penggal 77.

Sebenarnya perundang-undangan ini, menurut Hooker, didasarkan pada


perundangan yang berlaku di negeri Kelantan dengan mengalami penyesuaian-
penyesuaian dengan kondisi Brunei. Peraturan ini membuat peraturan tentang :
1. Pendahuluan (Bagian I pasal 1-4)
2. Majelis Ugama Islam (Bagian II pasal 5-44)
3. Mahkamah Syari'ah (Bagian III pasal 45-96)
4. Masalah Keuangan (Bagian IV pasal 97-122)
5. Masjid (Bagian V pasal 123-133)
6. Perkawinan dan Perceraian (Bagian VI pasal 134-156)
7. Nafkah Tanggungan (Bagian VII pasal 157-163)
8. Muallaf (Bagian VIII pasal 164-168)
9. Kesalahan (Bagian IX pasal 169-195)
10. Perkara Umum (Bagian X pasal 196-204)

Undang-Undang Keluarga Islam Brunei yang terdapat dalam Undang-Undang


Majelis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi Penggal 77 bentuk dan kandungannya
masih sama dengan Undang-Undang Majelis Ugama Islam, Adat Negeri dan
Mahkamah Kadi No. 20/1955. Dalam undang-undang tersebut masalah hukum
keluarga Islam diatur hanya 29 Bab yaitu di bawah aturan-aturan Marriage and
Divorce di bagian VI yang diawali dari pasal 134-156, dan Maintenance of
Dependent di bagian VII yang dimulai dari pasal 157-163. 5

Untuk lebih memberikan wawasan, sebagian dari aturan ini akan dijelaskan di
bawah ini secara umum :

1. Tahap Pertunangan dan Pembatalan Pertunangan

Dalam tahap ini, sebagaimana peraturan yang telah ditetapkan oleh syara’ bahwa
sebelum proses pernikahan seorang harus melalui tahap pertunangan. UU Negara
Brunei Darussalam Majelis Agama Islam dan Mahkamah-mahkamah Kadi
5
Abdul Qadir Zaelani, Hukum Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern, (Bandar Lampung :
Anugrah Utama Raharja (AURA), 2013), h,. 16-17.
melegitimasi proses pertunangan ini ke dalam salah satu pasalnya yaitu pasal 136.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa “Barang siapa baik secara lisan atau tulisan, baik
secara langsung atau melalui perantaraan orang lain telah mengikatkan diri dengan
orang lain dalam ikatan pertunangan, namun dengan tanpa alasan yang dibenarkan
dia memutuskan hubungan pertunangan tersebut, maka jika dia adalah seorang laki-
laki maka diwajibkan atasnya membayar ganti rugi sejumlah mas kawin dan biaya-
biaya lain yang telah dipersiapkan untuk persediaan pernikahan tersebut.”

Namun jika yang membatalkan perjanjian tersebut dari pihak perempuan, maka
hadiah pertunangan harus dikembalikan bersama dengan uang yang diberikan dengan
suka rela. Semua pembayaran baik yang digariskan tadi bisa didapatkan kembali
melalui perkawinan. Hal ini tidak dijelaskan dalam fikih Syafi'i secara eksplisit.

2. Pendaftaran Nikah

Peraturan perundang-undangan di Brunei, menetapan bahwa yang boleh menjadi


pendaftar nikah cerai, selain Kadi Besar dan Kadi-kadi, adalah imam-imam masjid.
Hal tersebut disebabkan karena imam-imam itu merupakan juru nikah yang diberi
kuasa (tauliyah) oleh Sultan atau yang diberi kuasa oleh hukum untuk orang Islam.
Sehingga keberadaan mereka menjadi penting sebagai bentuk tertib administrasi
pernikahan di Negara tersebut.

Dalam kenyataan yang terjadi, terkadang pernikahan yang telah dilaksanakan


tidak didaftarkan. Walaupun demikian, pernikahan yang tidak didaftarkan ini tetap
dianggap sah. Pernikahan barulah dianggap tidak sah jika tidak mengikuti hukum
mazhab kedua belah pihak.

Aturan mengenai pendaftaran nikah di atas merupakan reformasi hukum keluarga


Islam di Brunei, dan juga di Indonesia, yang sifatnya regulatory, karena dengan tidak
adanya pendaftaran tersebut tidak tishlahi membuat nikah menjadi batal dan tidak
dianggap sebagai sebuah pelanggaran.
Namun, yang perlu dipahami bahwa pendaftaran nikah adalah sebuah bentuk
ijtihat istishlahi yang bertujuan untuk menjaga dua bentuk kemaslahatan dari lima
kemaslahatan yang ada, yaitu kemaslahatan terhadap keturunan (al-nasl) dan
kemaslahatan terhadap harta (al-mal).

3. Wali Nikah

Adapun mengenai wali nikah, Persetujuan kedua belah pihak dalam perkawinan
sangat diperlukan. Di samping itu, wali pengantin perempuan pun harus memberikan
persetujuan atau Kadi yang mempunyai kewenangan bertindak sebagai wali raja atau
apabila tidak terdapat wali nasab atau wali nasab tidak menyetujui dengan alasan
yang tidak masuk akal.

Aturan perwalian ini dikenal dalam mazhab Syafi’i, dimana seorang wanita yang
mau menikah harus mendapatkan izin dari walinya. Demikian pula berlaku di Negara
Brunei yang mengharuskan adanya wali dari sebuah pernikahan. Namun, tidak
dijelaskan lebih jauh apakah keharusan adanya wali diperuntukkan bagi calon
mempelai yang masih gadis saja, atau juga berlaku bagi seorang janda.6

4. Pencatatan Perkawinan

Secara umum, pola administrasi hukum keluarga di Brunei memiliki kesamaan


prinsip dengan hukum keluarga yang diterapkan oleh Malaysia. Menurut undang-
undang Brunei, orang yang bisa menjadi pencatat perkawinan dan perceraian adalah
Kadi Besar, Kadi-kadi, dan imam-iman di setiap masjid yang diberi tauliah
(wewenang) oleh Sultan.

Lebih lanjut, terkait dengan pencatatan perkawinan, aturan hukum Brunei


menetapkan bahwa hal ini hanya persyaratan administratif. Pernikahan yang tidak
mengikuti ketentuan ini, tetap dianggap sah menurut aturan hukum Islam.

6
A. Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015. h.,
155.
Perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang tidak mengikuti hukum mazhab
yang dianut oleh kedua belah pihak (pasal 138).7

Selanjutnya Pemerintah Brunei juga mewajibkan adanya pencatatan perkawinan


dalam jangka waktu 7 hari setelah akad nikah dilaksanakan.

Aturan tersebut dapat kita jumpai dalam Religious Council and Kadis Courts
Chap 77, pasal 143 ayat (1) menyatakan : "Dalam jangka waktu tujuh hari setelah
melakukan akad nikah para pihak diharuskan melaporkan perkawinan tersebut, yang
boleh jadi para pasangan atau wali".

Ayat (2), "Pencatat wajib memeriksa apakah seluruh persyaratan perkawinan


sudah terpenuhi sebelum melakukan pencatatan".

Pasal 180 menyatakan, "Seorang yang seharusnya tetapi tidak melaporkan


perkawinan atau perceraian kepada pegawai pencatat adalah satu pelanggaran yang
dapat mengakibatkan dihukum dengan hukuman penjara atau denda $200".

5. Perceraian Yang Dilakukan Suami

Mengenai peraturan yang sangat kontroversial di Brunei adalah masalah


perceraian. Jika perempuan dicerai sebelum disetubuhi, maka ia tidak boleh
dikawinkan dengan orang lain kecuali dengan suaminya yang terdahulu dalam masa
iddah. Kecuali telah dibenarkan oleh Kadi yang berkuasa dimana ia tinggal.
Kemungkinan Negara Brunei dalam menetapkan masalah ini lebih banyak
mengadopsi hukum adat setempat yang mengganggap bahwa kegadisan seorang
wanita adalah hak sepenuhnya seorang suami yang akhirnya menetapkan masa iddah
bagi istri yang dicerai sebelum terjadi hubungan badan.

Dalam Undang-Undang Brunei selanjutnya disebutkan bahwa bagi perempuan


yang dicerai dengan talak tiga tidak boleh nikah lagi dengan suaminya yang

7
Dian Mustika, Pencatatan Perkawinan Dalam Undang-Undang Hukum Keluarga di Dunia Islam.
Jurnal Marriage Registration, Family Law, Islamic World, h., 63.
terdahulu. Kecuali ia kawin dengan laki-laki lain dengan cara yang sah dan
bersetubuh dengannya kemudian diceraikan dengan cara yang sah sesuai dengan
undang-undang. Peraturan perceraian Brunei yang lainnya adalah seorang suami bisa
menceraikan istrinya dengan talak 1, 2, 3, dengan hukum Islam seorang suami mesti
memberitahukan tentang perceraiannya kepada pendaftar dalam tempo 7 hari. Jika
seorang perempuan yang sudah menikah bisa juga mengajukan permohonan cerai
kepada kadi dengan mengikuti hukum Islam. Apabila suaminya rela hendaknya dia
mengucapnya cerai. Kemudian didaftarkan dan kadi akan mengeluarkan akta
perceraian kepada kedua belah pihak. 8

6. Perceraian dengan Talak Tebus

Di Brunei diberlakukan juga aturan yang menyatakan bahwa jika pihak suami
tidak menyetujui perceraian dengan penuh kerelaan, maka kedua belah pihak bisa
menyetujui perceraian dengan tebusan atau di Brunei diistilahkan dengan cerai tebus
talak. Kadi akan menilai jumlah yang perlu dibayar sesuai dengan taraf kemampuan
kedua belah pihak tersebut serta mendaftarkan perceraian itu.

Dalam berbagai kitab fikih klasik ketentuan itu juga dibenarkan yang diistilah
dengan khulu’. Hanya saja orang yang berkhulu’ (cerai tebus talak) tidak
mengucapkan talaknya kecuali dengan upah, sedangkan orang yang mentalak itu
tidak mengambil upah.9

7. Talak Tafwid, Fasakh dan Perceraian Oleh Pengadilan

Selain aturan mengenai cerai talak tebus, di Brunei juga diberlakukan aturan bagi
pihak istri untuk berpisah dari suaminya melalui fasilitas fasakh. Fasakh adalah suatu
pernyataan pembubaran perkawinan menurut hukum Islam. Pernyataan fasakh ini
tidak boleh dikeluarkan kecuali pihak istri memberi keterangan di hadapan sekurang-
8
Abdul Qadir Zaelani, Hukum Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern, (Bandar Lampung :
Anugrah Utama Raharja (AURA), 2013), h,. 20.
9
A. Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015. h.,
157.
kurangnya dua saksi dan mengangkat sumpah atau menbuat pengakuan. Dan bagi
istri yang dicerai dapat mengajukan pemberian penghibur (mut’ah) kepada Kadi yang
diserahkan setelah keterangan kedua belah pihak didengar oleh Kadi.

Dari dua fasilitas tersebut di atas, cerai talak tebus dan fasakh. Kedua-duanya
mengharuskan pihak istri yang akan berpisah dari suaminya untuk mengeluarkan
“biaya” penebusan atas perceraiannya. Hanya saja kalau cerai talak tebus diberikan
kepada mantan suami, sedangkan untuk fasakh diberikan kepada Kadi yang
menangani perkaranya. Jalur Fasakh dalam al-Umm dibenarkan, disertai dengan
beberapa macam sebab dibolehkannya fasakh tersebut, di antaranya:

a) Laki-lakinya mempunyai penyakit lepra, gila, sopak, atau impoten


b) Setiap akad nikah yang fasid seperti nikah tanpa wali, nikah hamba laki-laki
atau perempuan tanpa izin tuannya.
c) Murtadnya salah seorang dari suami istri.10
8. Hakam (Abitrator)

Undang-Undang di Brunei juga mengatur mengenai penunjukan seorang


hakam (arbitrator). Posisi hakam tersebut dilakukan oleh Kadi untuk menjadi
mediator bagi suami dan istri yang menghadapi masalah dalam perkawinan mereka.
Apabila Kadi tidak menyetujui apa yang dilakukan oleh hakam, Kadi akan
mengangkat dan mengganti hakam yang lain. Demikian pula jika hakam berpendapat
bahwa pihak-pihak ini layak bercerai tetapi tapi sulit memberi alasan untuk bercerai,
maka Kadi akan mengangkat hakam yang lain dan akan memberi otoritas untuk
mempengaruhi perceraian.

Sehingga, posisi hakam dalam hal ini sangat menentukan terhadap pernikahan
kedua belah pihak. Baik itu dalam keadaan pernikahan tersebut dipertahankan
maupun jika kemudian pernikahan tersebut harus diakhiri saat itu juga. Peran hakam,

10
A. Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015.
h., 157.
sebagaimana yang terjadi di Negara Brunei, telah pula digambarkan dalam mazhab
Syafi’i sebagai kitab rujukan bagi Negara Brunei.11

9. Rujuk

Adanya rujuk adalah sebuah kemungkinan yang diberlakukan dalam Undang-


Undang Perkawinan di Brunei yang dinyatakan bahwa dibenarkan untuk rujuk (rojok)
setelah dijatuhkannya talak, yaitu apabila setelah jatuh talak satu atau talak dua, jika
sebelum masa iddah berakhir. Keharusan “tinggal bersama” hendaknya berdasar atas
kerelaan kedua belah pihak dengan syarat tidak melanggar agama, dan selanjutnya
kadi harus mendaftarkan kembali sebagai tanda mereka telah resmi sebagai suami
istri.

Berdasar atas aturan itu, dapatlah dikatakan bahwa jika terjadi perceraian yang
dapat dirujuk namun tidak disampaikan kepada pihak perempuan, maka pihak
perempuan tidak berkewajiban untuk “tinggal serumah” hingga ada penyampaian
yang datang kepadanya.

Sehingga jika telah jatuh talak, yang masih bisa untuk rujuk kembali, pihak
suami menyatakan untuk rujuk dan diterima oleh pihak istri, maka Kadi berhak
memerintahkan istri untuk tinggal bersama lagi sebagai layaknya suami istri dan
tentunya atas dasar kerelaan pihak istri (Pasal 150 ayat (1)).12

10. Nafkah dan Tanggungan Anak

Pembicaraan nafkah hanya dipakai dalam tuntutan yang dibuat oleh orang Islam
terhadap orang Islam yang lainnya. Yang termasuk ke dalam ini adalah para istri,
anak sah yang masih belum dewasa, orang yang tidak mampu membiayai (fiskal),
orang yang berpenyakit dan anak di luar nikah. Tiga syarat ini bisa dijadikan tuntutan
berdasarkan hukum Muslim yang dalam hal menentukan hak untuk nafkah. Dalam
11
A. Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015.
h., 157-158.
12
A. Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015.
h., 156.
kasus anak di luar nikah, Mahkamah Kadi akan membuat ketentuan yang dianggap
sesuai. Perintah bisa dikuatkan melalui Mahkamah Majistret atau Mahkamah Kadi
Besar.13

11. Surat Kematian

Seorang istri dibenarkan untuk menikah kembali jika suaminya telah


meninggal dunia atau diyakini ia telah meninggal dunia atau tidak terdengar beritanya
dalam waktu yang lama. Hanya saja kebolehan tersebut hendaknya disertai dengan
adanya Surat Kematian Birth and Registration Enactment, namun jika tidak ada,
maka seorang Kadi dapat mengeluarkan surat pernyataan kematian tentunya dengan
penelitian yang akurat.

Lebih lanjut, seorang istri tidak boleh menikah kembali tanpa surat pernyataan
tersebut meskipun telah ada pengesahan dari Pengadilan Tinggi mengenai kematian
suaminya. Aturan ketat tersebut merupakan sikap kehati-hatian pemerintah Brunei
sehingga tidak mengeluarkan surat pernyataan yang bisa merugikan salah satu pihak
serta tidak menimbulkan penyesalan di kemudian hari.

Dalam al-Umm, hanya membicarakan mengenai seorang laki-laki yang


mafqud (hilang) dimana asy-Syafi’i berpendapat bahwa apabila suami keluar ke
tempat yang tersembunyi, atau tidak diketahui disebabkan hilang akal, atau keluar
dan tidak terdengar lagi beritanya, atau dengan kendaraan di laut dan tidak terdengar
juga beritanya, atau datang berita bahwa ia terlihat tenggelam tetapi tidak yakin
bahwa ia benar-benar tenggelam, maka istri tidak boleh beriddah dan tidak boleh
menikah selama-lamanya sampai perempuan tersebut benar-benar yakin akan
meninggalnya suaminya tersebut, kemudian dia beriddah dari hari ia diyakini
meninggalnya suami dan wanita itu mewarisinya serta tidak perlu beriddah wafat. Hal

13
Abdul Qadir Zaelani, Hukum Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern, (Bandar Lampung :
Anugrah Utama Raharja (AURA), 2013), h,. 22.
tersebut merupakan bentuk reformasi hukum pemerintah Brunei yang mencoba
mengkondisikan “orang hilang” agar dapat sejalan dengan perubahan zaman.14

14
A. Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2, 2015.
h., 153-159.
BAB III

Penurup

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan tersebut di atas, kiranya dapat beberapa


kesimpulan sebagai berikut:

1. Hukum Islam di Brunei Darussalam mengalami perubahan setelah


adanya perjanjian-perjanjian dengan Inggris yang menyebabkan Inggris
campur tangan dalam urusan kekuasaan kehakiman, keadilan, hukum
serta perundang-undangan.
2. Pelaksanaan hukum Islam secara khusus diserahkan kepada pemerintah
Brunei, yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Mahkamah
Syari'ah. Negara Brunei Darussalam mengakomodasi hukum Islam, adat,
dan Barat tetapi yang sering sekali digunakan adalah hukum Muslim
(Islam).
3. Pengambilan hukum Islam di Brunei secara utuh dikembangkan dari
mazhab Syafi'i dan sebagian besar bersifat regulatory, meskipun
demikian ternyata pembaharuan hukum yang bersifat substansial tidak
sejalan dengan Syafi'i sendiri bahkan dengan mazhab lain seperti
masalah iddah yang belum disetubuhi oleh suaminya, kemudian
ganti rugi batalnya perjanjian pertunangan.
4. Hukum di Brunei dipengaruhi oleh Inggris melalui perjanjian-
perjanjian, sehingga memungkinkan Inggris untuk campur tangan dan
Brunei menjadi pemerintahan yang bergantung pada Inggris.
DAFTAR PUSTAKA

Cahyani, A. Intan. Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam, Jurnal Al-


Qadau Vol.2 No.2, 2015.

Fairuzzabady, Mohammad. Hukum Islam di Dunia Islam Modern.

Ghofur, Abdul. Islam dan Politik di Brunei Darussalam (Suatu Tinjauan


Sosio-Historis). Jurnal Toleransi : Media Komunikasi Umat Beragama, Vol.7 No.1
Januari-Juni 2015.

Mustika, Dian. Pencatatan Perkawinan Dalam Undang-Undang Hukum


Keluarga di Dunia Islam. Jurnal Marriage Registration, Family Law, Islamic World.

Zaelani, Abdul Qadir. Hukum Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern,


Bandar Lampung : Anugrah Utama Raharja (AURA), 2013

Anda mungkin juga menyukai