Anda di halaman 1dari 3

PENDIDIKAN RESPONSIF BUDAYA

Djoko Saryono

Sejak dahulu hingga sekarang, para pemikir, pakar, dan awam sudah menyatakan adanya
hubungan simbiosis mutualisme antara pendidikan dan kebudayaan. Demikian pula para ahli (ilmu
filsafat, ilmu sosial, dan ilmu kemanusiaan) dan peneliti sudah menelaah dan mengaji jalin-kelindan
pendidikan dan kebudayaan. Bahkan kemudian berkembang pemikiran di lingkungan filsafat atau
filsuf bahwa pendidikan merupakan proses pembudayaan di samping pemerdekaan dan pemanusiaan.

Jika pendidikan ditempatkan dan atau diperlakukan sebagai (proses/kegiatan) pembudayaan,


maka sudah seharusnya segala matra pendidikan, mulai pembelajaran [instruction], pemelajaran
[learning], dan pengajaran [teaching] sampai dengan pelatihan [training] dapat dipandang sebagai
pembudayaan. Di sini [ke]budaya[an] menjadi conditio sine qua non, prasyarat yang harus ada,
dalam keseluruhan proses dan jejaring pengajaran, pemelajaran, dan atau pengajaran. Proses
pembelajaran, pemelajaran, dan atau pengajaran bukan hanya harus berlandasan [berbasis]
kebudayaan, melainkan harus senantiasa dilambari atau dilaruti kebudayaan, bahkan bertujuan
kebudayaan. Paling tidak tindak pembelajaran, pemelajaran, dan atau pengajaran harus peka atau
responsif budaya.

Sudah barang tentu harus diakui bahwa secara teoretis atau akademis, pemikiran dan gagasan
tentang pembelajaran, pemelajaran, dan atau pengajaran berbasis atau responsif budaya sudah
dikemukakan atau diuraikan berbagai pihak. Demikian juga sudah diupayakan praksis pembelajaran,
pemelajaran, dan atau pengajaran berbasis atau responsif budaya. Pelbagai inovasi dan inisiasi
praksis pendidikan responsif budaya telah dikerjakan oleh berbagai pihak di Indonesia. Sekalipun
demikian, khusus konteks Indonesia, harus diakui pula bahwa di tengah “pasar raya” teori dan
metodologi pembelajaran “yang datang menyerbu gencar” dunia pendidikan Indonesia, sebagian
besar di antara sering tergoda untuk memilih dan memakai salah satu atau beberapa teori dan
metodologi pembelajaran yang tidak responsif budaya.

Tak heran, kemudian muncul gejala pendidikan abai budaya yang menjadikan peserta didik
justru tercerabut dari akar budaya atau mengalamai gegar budaya [culture shock]. Kita juga melihat
berbagai kebijakan pendidikan nasional yang tidak responsif budaya, salah satu di antaranya
kebijakan kurikulum tidak responsif budaya, misalnya Kurikulum 2013, yang menimbulkan gejala
pembelajaran responsif budaya, kendati kini terus diperbaiki dengan memberi ruang lebih luas bagi
kebudayaan kita.
Tak heran,lalu timbul seloroh: pendidikan kita berbasis hasil studi banding, kurikulum
berbasis latar belakang pendidikan penyusun, atau pembelajaran berbasis bantuan asing. Maksudnya
mungkin bahwa kebijakan pendidikan, kurikulum, dan pembelajaran secara nasional sering
didasarkan atas adopsi, modifikasi, dan mimesis model pendidikan, kurikulum, dan pembelajaran
yang ada di dalam gugusan budaya lain; tidak atau kurang didasarkan atas restorasi dan revitalisasi
budaya kita sendiri di samping tidak didasarkan atas invensi dan inovasi budaya kita sendiri.

Berbagai model pendidikan, kurikulum, dan pembelajaran yang berkembang di dalam budaya
lain (yang kita jadikan tolok-banding [benchmark] tidak menginspirasi dan mengimajinasi kita untuk
mengembangkan model pendidikan, kurikulum, dan pembelajaran responsif budaya kita sendiri. Oleh
karena itu, tak heran, rasanya pembelajaran, pemelajaran, dan atau pengajaran yang berkembang di
Indonesia terkesan tidak otentik, apalagi orisinal. Dengan perkataan lain, otentisitas atau orisinalitas
model-model pembelajaran, pemelajaran, dan atau pengajaran yang berkembang di Indonesia
tergolong rendah.

Sebagian besar di antara kita niscaya berkehendak mengembangkan model-model pendidikan


responsif budaya kita sendiri yang otentik dan [kalau bisa] orisinal. Namun, harus disadari bahwa
kehendak ini memerlukan refleksi dan kontemplasi demikian mendalam selain pemikiran dan
pengkajian sungguh-sungguh; dengan kata lain, tidak mudah atau memerlukan usaha serius.
Mengapa? Paling tidak ada dua variabel yang harus diperhitungkan, yaitu budaya dan pendidikan.

Pertama, budaya macam apa yang hendak kita jadikan basis model pendidikan atau kita
respon dalam model pendidikan? Situasi dan kondisi budaya berbeda-beda: (i) ada budaya yang
‘sehat dan berkembang baik’, ada budaya yang ‘tidak sehat dan berkembang’ dengan baik; (ii) ada
budaya yang mengalami ke-tua-renta-an dini [sebagaimana disinggung oleh Toynbee dalam konsep
ke-tua-renta-an kebudayaan], ada pula budaya yang meraih keselarasan panjang [sebagaimana
disinggung oleh Umar Kayam]; (iii) ada pula budaya yang mengalami kemiskinan [sebagaimana
disitir oleh Ignas Kleden dalam konsep kemiskinan kebudayaan], ada pula budaya yang mengalami
keberlimpahan; (iv) bahkan ada budaya yang mengalami disorientasi, dislokasi, dan involusi yang
berkepanjangan [sebagaimana disinyalir oleh Geerzt dan Kleden], ada pula budaya yang sebaliknya.
Sementara itu, ragam dan corak budaya juga berbeda-beda: Indonesia jelas memiliki pluralitas dan
superdiversitas budaya yang luar biasa. Secara geokultural, histokultural, religiokultural, dan
sosiokultural, Indonesia serupa “kebun budaya yang beraneka warna bagai ratna mutu manikam”
karena ada ratusan ragam dan corak budaya. Di sini bisa diajukan pertanyaan: budaya macam apakah
yang hendak dijadikan basis atau poros pendidikan atau kita respon dalam model pendidikan?

Kedua, tujuan pokok macam apa yang hendak dicapai oleh pendidikan kita? Pendidikan
terutama melalui kurikulum dan pembelajaran bisa dihajatkan untuk (i) melegitimasi dan
mereproduksi budaya yang timpang dan tidak adil [sebagaimana pendidikan pada masa kolonial] atau
melegitimasi dan mereproduksi budaya yang setara dan adil; (ii) merekonstruksi keadaan sosial
budaya atau justru menghancurkan keadaan sosial budaya yang tidak diinginkan; (iii)
mentransformasi budaya masyarakat yang dianggap terbelakang atau justru melanggengkan budaya
yang mengalami keterbelakangan [seperti disinggung Ogburn], (iv) melanggengkan budaya dominan
yang menindas atau mengubah budaya yang menindas [sebagaimana disinggung oleh Freire dalam
Pendidikan Kaum Tertindas]; dan (v) menciptakan dan mendistribusikan budaya kemajuan dan
berkeadilan atau justru budaya yang menyangga kemiskinan dan ketidakadilan [sebagaimana
disinggung oleh Carl Lewis dalam konsep budaya kemiskinan].

Variabel pendidikan dan budaya tersebut harus diperhatikan benar atau diperhitungkan
masak-masak bilamana kita beritikad melakukan pengembangan dan penguatan model pembelajaran
berbasis budaya atau responsif budaya. Untuk itu, para pengembang model pendidikan responsif
budaya perlu bekerja sama dengan para ahli kebudayaan dalam keseluruhan proses pengembangan
model pendidikan responsif budaya agar kemajuan kebudayaan Indonesia pada satu sisi dan pada sisi
lain tujuan pendidikan nasional dapat dicapai. Sinergi ahli pendidikan dan kebudayaan dalam
mengembangkan model pendidikan responsif budaya akan dapat membuahkan hasil yang konstruktif,
bukan destruktif bagi pendidikan dan kebudayaan.

Selain itu, penguatan model pendidikan responsif budaya harus didasarkan pada pilihan-
pilihan kondisi, ragam, dan corak budaya yang terbuka, berkeadilan, dan tidak diskriminatif bagi para
pemangku budaya (yang sekaligus menjadi peserta didik) sehingga mampu memperkokoh dan
menumbuhsuburkan keindonesiaan. Di sinilah diperlukan pembekalan budaya bagi para pelaksana
penguatan model pendidikan responsif budaya. Dengan demikian, kita boleh berharap akan adanya
otentisitas [bahkan orisinalitas] model pendidikan responsif budaya yang cocok dan mustajab
meningkatkan mutu pembelajaran, pemelajaran, dan pengajaran di Indonesia.

No. Absen: 12

Kelas: 12 MIA 1

Anda mungkin juga menyukai