Anda di halaman 1dari 45

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penuaan

2.1.1 Pengertian Penuaan

Berbagai peneliti mendefinisikan penuaan secara berbeda. Mercado-Sáenz et

al. (2010) menyatakan bahwa penuaan adalah hasil dari akumulasi perubahan

progresif dalam tubuh yang terjadi seiring berlalunya waktu dan yang menyebabkan

peningkatan probabilitas penyakit dan kematian individu. Berdasarkan konsep

definisi penuaan maka terdapat korelasi antara usia dengan penuaan. Perkembangan

Anti-Aging Medicine (AAM) membawa konsep baru di dunia kedokteran dimana

manusia dapat hidup dengan kualitas prima meskipun usia bertambah. Hal ini

karena penuaan merupakan sebuah proses yang dapat diperlambat, ditunda atau

dihambat, dan bahkan proses penuaan dianggap sebagai penyakit yang dapat

dicegah dan diobati. Oleh karena itu, saat ini dikenal istilah usia kronologis dan usia

fisiologis. Usia kronologis yaitu usia sebenarnya sesuai dengan tahun kelahiran,

sedangkan usia fisiologis yaitu usia sesuai dengan fungsi organ tubuh yang tidak

selalu sama dengan usia kronologis (Pangkahila, 2011).

2.1.2 Mekanisme, Proses dan Teori Penuaan

Mekanisme biologis spesifik yang menyebabkan penuaan sulit ditentukan

secara pasti karena penuaan sangat luas dan mempengaruhi banyak sistem dan
10

jaringan yang berbeda dan penuaan adalah proses jangka panjang (Goldsmith,

2012). Banyaknya mekanisme yang dapat menjelaskan terjadinya proses penuaan

menimbulkan munculnya berbagai teori penuaan. Dari berbagai teori proses

penuaan, pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu teori wear and

tear theory (teori pakai dan rusak) dan teori program (Pangkahila, 2011; Goldsmith,

2012).

1. Teori wear and tear

Teori wear and tear pada prinsipnya menyatakan bahwa tubuh menjadi

lemah dan akhirnya meninggal sebagai akibat dari penggunaan dan kerusakan

yang terjadi secara terus menerus. Tubuh tidak memberikan pertahanan yang

lebih baik terhadap proses kemunduran alami seperti keausan mekanis,

oksidasi, dan kerusakan lainnya karena masing-masing spesies hanya memiliki

kebutuhan evolusioner untuk hidup dan bereproduksi untuk waktu hidup

spesifik spesies dan oleh karena itu hanya mengembangkan kemampuan

pemeliharaan dan perbaikan yang diperlukan untuk mendapatkan waktu hidup.

Artinya secara alami, apabila organ tubuh terus digunakan meskipun tidak

pernah merokok, minum alkohol, mengkonsumsi makanan alami dan hanya

menggunakan organ tubuh biasa saja maka pada akhirnya organ tubuh akan

mengalami kerusakan. Penyalahgunaan organ tubuh membuat kerusakan

menjadi lebih cepat. Teori ini meyakini bahwa pemberian suplemen yang tepat

dan pengobatan yang tidak terlambat dapat membantu mengembalikan proses

penuaan melalui mekanisme yaitu merangsang kemampuan tubuh untuk

melakukan perbaikan dan mempertahankan organ tubuh dan sel. Teori pakai
11

dan rusak meliputi kerusakan DNA, glikosilasi dan radikal bebas yang

dijelaskan sebagai berikut (Pangkahila, 2011):

a. Kerusakan DNA

Proses penuaan terjadi karena proses penyembuhan yang tidak

sempurna dan sebagai akibat penimbunan kerusakan molekul (DNA)

secara terus menerus. Kerusakan tersebut berupa strand breaks, covalent

modification dan atau chromosomal rearragements. Kerusakan molekular

dapat terjadi karena faktor ekternal seperti radiasi, polutan, asap rokok, dan

mutagen kimia, dan faktor internal seperti radikal bebas dan proses

glikolisasi yang mempengaruhi kualitas hidup dan fungsi protein di dalam

organisme.

b. Glikosilasi

Glikosilasi merupakan faktor penting yang berhubungan dengan

diabetes melitus tipe 2. Glukosa bergabung dengan protein yang telah

mengalami dehidrasi yang kemudian menyebabkan terganggunya sistem

organ tubuh. Pada diabetes, glikosilasi menyebabkan kekakuan arteri,

katarak, hilangnya fungsi syaraf yang merupakan komplikasi umum yang

terjadi pada pasien diabetes. Diabetes dianggap sebagai model biologik

proses penuaan dini. Mereka yang mengalami diabetes lebih awal

mengalami proses patologik, yang pada nondiabetes terjadi pada usia jauh

lebih lanjut . oleh karena itu, usia harapan hidup pada orang dengan

diabetes lebih pendek.

c. Radikal Bebas
12

Radikal bebas adalah molekul sebagai bahan yang dihasilkan selama

metabolisme seluler normal seperti radikal superoksida, hidroksil, purin,

dan pirimidin. Pengaruh radikal bebas secara molekuler dapat

menyebabkan oksidasi organik oleh oksigen molekuler sehingga

menyebabkan kerusakan fungsi seluler melalui terjadinya mutasi DNA,

cleavage of DNA, agregasi biomolekul melalui cross-linking reaction.

Radikal bebas juga dapat mempengaruhi peroksida lipid yang

menyebabkan produksi malondialdehid yang mengikat protein dan

menyebabkan gangguan fungsi biologik protein.

2. Teori program

Teori program berpendapat bahwa manusia memiliki program yang

dengan sengaja membatasi umur dengan nilai spesifik untuk memperoleh

manfaat evolusioner. Teori ini menganggap bahwa di dalam tubuh manusia

terdapat jam biologik, mulai dari proses konsepsi sampai ke kematian dalam

suatu model terprogram. Teori ini terdiri dari teori terbatasnya replikasi sel,

proses imun, dan teori hormon (Pangkahila, 2011):

a. Teori terbatasnya replika sel

Pada ujung chromosome strands terdapat struktur khusus yang disebut

telomere. Dengan setiap replika sel, telomere memendek pada setiap

pembelahan sel. Setelah sejumlah pembelahan sel, telomere telah dipakai

dan pembelahan sel berhenti. Mekanisme telomere menentukan rentang

usia sel dan pada akhirnya juga rentang usia organisme.

b. Proses imun
13

Kelenjar thymus merupakan sumber sel T yang berperan penting pada

sistem imun. Jumlah sel T tidak berkurang signifikan namun fungsinya

menurun. Sel T memproduksi limfokin yang penting untuk interleukin.

c. Teori hormon

Teori ini berdasarkan peran hormon bagi fungsi organ tubuh. Hormon

dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus.

Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang

kemudian mengeluarkan hormonnya. Pada usia muda, berbagai hormon

bekerja dengan baik mengendalikan berbagai fungsi tubuh. Pada usia tua,

produksi hormon berkurang sehingga berbagai fungsi tubuh terganggu.

2.1.3 Faktor yang mempercepat penuaan

Penuaan disebabkan oleh faktor internal seperti umur, radikal bebas,

berkurangnya hormon, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan

yang menurun dan gen, dan faktor eksternal seperti gaya hidup tidak sehat, diet

tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan (Pangkahila,

2011) .

Pangkahila (2013) melaporkan faktor yang dapat mempercepat proses penuaan

yaitu faktor lingkungan (berupa pencemaran lingkungan yang meningkatkan kadar

hormon prolaktin dan menyebabkan apoptosis; paparan sinar matahari yang dapat

menurunkan elastisitas dan merusak kolagen kulit sehingga mempercepat proses

penuaan pada kulit), faktor diet/makanan (zat pengawet dan pewarna makanan

menimbulkan kerusakan organ tubuh terutama hati), faktor genetik (infeksi virus,

radiasi serta racun yang diserap oleh tubuh dapat mempengaruhi faktor genetik),
14

faktor psikis (menyebabkan proses apoptosis pada tubuh), faktor organik (obesitas,

tingkat kebugaran tubuh yang rendah, konsumsi makanan yang kurang sehat,

penurunan Growth Hormone, Insulin Growth Factor-I, testosteron dan melatonin

menyebabkan gangguan circadian rhythm).

2.1.4 Dampak Penuaan

Pangkahila (2011) menyatakan bahwa penuaan dapat memberikan dampak

berupa menurunnya 8 fungsi tubuh antara lain menurunnya sistem endokrin, sistem

imun, sistem metabolisme, sistem seksual dan reproduksi, sistem kardiovaskuler,

sistem gastrointestinal, sistem otot dan sistem saraf tepi dan saraf pusat. Proses

penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi berbagai organ

tubuh. Akibat penurunan fungsi itu, maka muncul berbagai tanda dan gejala proses

penuaan, yang pada dasarnya dibagi dua bagian, yaitu tanda fisik dan tanda psikis,

dimana tanda fisik, seperti massa otot berkurang, lemak meningkat, kulit berkerut,

daya ingat berkurang, fungsi seksual dan reproduksi terganggu, kemampuan kerja

menurun, sakit tulang sedangkan tanda psikis,antara lain menurunnya gairah

hidup,sulit tidur, mudah cemas,mudah tersinggung, merasa tidak berarti lagi.

Tetapi, proses penuaan tidak terjadi begitu saja dengan langsung menampakkan

perubahan fisik dan psikis. Proses penuaan berlangsung melalui tiga tahap sebagai

berikut.

1. Tahap subklinik (usia 25-35 tahun)

Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu

hormon testosterone, growth hormone, dan hormon estrogen. Pembentukan

radikal bebas, yang dapat merusak sel dan DNA, mulai mempengaruhi tubuh.
15

Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Oleh karena itu pada tahap ini

orang merasa dan tampak normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan.

Pada umumnya, rentang usia ini dianggap normal, padahal sebenarnya sudah

mulai terjadi proses penuaan.

2. Tahap transisi (usia 35-45 tahun)

Selama tahap ini level hormon menurun sampai 25 persen. Massa otot

berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun. Akibatnya, tenaga

dan kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah.

Keadaan ini menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya risiko penyakit

jantung pembuluh darah dan obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu

penglihatan dan pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas

dan pigmentasi kulit menurun, dorongan seksual dan bangkitan seksual

menurun. Pada tahap ini orang mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih

tua. Kerusakan oleh radikal bebas mulai merusak ekspresi genetic, yang dapat

mengakibatkan penyakit, seperti kanker, arthritis (radang sendi), berkurangnya

memori, penyakit jantung koroner dan diabetes.

3. Tahap klinik (usia 45 tahun keatas)

Pada tahap ini penurunan level hormon terus berlanjut, yaitu meliputi DHEA,

melatonin, growth hormone, testoseron, estrogen dan juga hormon tiroid.

Terjadi juga penurunan bahkan hilangnya kemampuan penyerapan bahan

makanan, vitamin dan mineral. Densitas tulang menurun, massa otot berkurang

sekitar satu kilogram setiap tiga tahun, yang mengakibatkan ketidakmampuan

membakar kalori, meningkatkan lemak tubuh dan berat badan. Penyakit kronis
16

menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan.

Ketidakmampuan menjadi faktor utama sehingga mengganggu aktivitas

sehari-hari. Disfungsi seksual merupakan keluhan yang penting dan

mengganggu keharmonisan banyak pasangan.

Dengan melihat ketiga tahap ini, ternyata proses penuaan tidak selalu harus

dinyatakan dengan gejala atau keluhan. Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak

mengalami gejala atau keluhan, bukan tidak mengalami proses penuaan. Lebih

jauh, ini dapat menjadi pegangan bahwa untuk mengatasi proses penuaan jangan

menunggu sampai muncul gejala atau keluhan yang nyata.

Pada proses penuaan, juga terjadi penurunan fungsi kelenjar endokrin,

termasuk

kelenjar reproduksi, pada laki-laki disebut andropause dan pada wanita disebut

menopause (Safrida, 2017). Penurunan sistem reproduksi berupa menopause

merupakan salah satu dampak proses penuaan yang terjadi pada wanita. Seiring

bertambahnya usia, kadar hormon estrogen dan progresteron semakin menurun

serta hormon yang lain juga mengalami penurunan termasuk growth hormone dan

hormon testosterone, seperti yang terjadi pada pria. Menopause berarti berhentinya

siklus menstruasi untuk selamanya. Ini sebuah masa perubahan hidup bagi

perempuan karena sebelumnya mengalami menstruasi setiap bulan. Kini

perempuan Indonesia rata-rata memasuki masa menopause pada usia 50 tahun.

Tetapi sebagian ada yang mengalaminya pada usia lebih awal (menopause dini)

(Pangkahila,2011). Sekitar sepuluh tahun sebelum terjadinya menopause,


17

perubahan sebenarnya terjadi yang ditandai dengan mulai menurunnya kadar

hormonal estrogen, kondisi ini disebut dengan premenopause (Batrinos, 2013).

2.2 Masa Klimakterium

Klimakterium (klimakter = tangga) merupakan masa peralihan antara masa

reproduksi kepada tahap tidak berproduksi. Pada manusia, masa ini dibagi menjadi

empat tahap. Tahap pertama adalah premenopause, yaitu masa dimana fungsi

reproduksi mulai menurun, kadar estrogen mulai mengalami penurunan.

Premenopause mendahului menopause beberapa tahun sebelumnya, dimana gejala-

gejala dan keluhan-keluhan klimakterik terjadi. Perempuan yang masih mengalami

haid normal atau terkadang terjadi perpanjangan siklus haid, dianggap sedang

dalam premenopause. Tahap kedua yaitu perimenopause, yaitu masa perubahan

antara premenopouse dan menopause. Masa dimana terjadi perubahan-perubahan

pola haid dalam masa klimakterik sebagai akibat dari berkurangnya fungsi ovarium.

Perimenopause dimulai sejak haid mulai tidak teratur dan adanya keluhan-keluhan.

Pada masa ini produksi estrogen berkurang dan fungsi ovarium menurun. Tahap

ketiga yaitu menopause, dimana terjadi perdarahan surut terakhir yang berkaitan

dengan berkurangnya fungsi ovarium yang mengakibatkan penurunan produksi

hormone estrogen. Datang haid terakhir baru diketahui setelah mengalami 12 bulan

amenorea. Tahap keempat yaitu postmenopause, dimana merupakan kelanjutan

menopause selama 3-5 tahun, yang ditandai dengan kadar LH dan FSH yg tinggi

serta kadar estrogen dan progesterone yang rendah. Gejala-gejala dan keluhan-

keluhan klimakterik bisa terjadi, dan produksi estrogen dari ovarium akhirnya
18

berhenti. Biasanya tidak ada batas yang sangat jelas, akan tetapi secara perlahan-

lahan memasuki senium. Senium ialah masa setelah postmenopause yaitu setelah

usia 65 tahun ketika telah tercapai keseimbangan baru dalam kehidupan perempuan,

sehingga tidak ada lagi gangguan vegetatif maupun psikis (Ghani, 2009).

Tahap-tahap klimakterium tersebut menunjukkan bahwa menopause

merupakan sebuah tahapan yang akan dilalui oleh perempuan yang terjadi melalui

sebuah proses yang bertahap. Deteksi lebih dini masalah reproduksi wanita

merupakan salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya

menopause dini. Hal ini karena pada dasarnya penuaan merupakan proses yang

dapat dicegah, diatasi dan bahkan dapat dikembalikan pada keadaan semula

(Pangkahila, 2011). Oleh karena itu, dengan mendeteksi dini dalam tahap

premenopause diharapkan menjadi solusi dalam menunda dan memperlambat

penuaan berupa menopause.

2.3 Premenopause

Premenopause adalah kondisi fisiologis pada wanita yang telah memasuki

proses penuaan yang ditandai dengan menurunnya kadar hormon estrogen yang

sangat berperan dalam hal sexualitas dan reproduksi (Mulya et al., 2016).

Premenopause sering menimpa wanita yang berusia menjelang 40 tahun bahkan

lebih dini yang merupakan penyebab umum infertilitas pada wanita usia produktif

dan mempengaruhi sekitar satu persen wanita muda (Proverawati, 2010). Sekitar

40-60% wanita fase premenopause memiliki keluhan baik fisik maupun psikologis
19

(Manuaba, 2009). Kelainan tersebut mempengaruhi psikologis yang signifikan dan

berimplikasi pada kesehatan (Hernández-Angeles dan Castelo-Branco, 2016).

Batrinos (2013) menyatakan bahwa terdapat beberapa manifestasi klinis yang

menandakan periode premenopause yang dijelaskan sebagai berikut.

1. Penyimpangan siklus haid

Panjang dari siklus menstruasi yang tidak normal terdiri dari gejala

klinis yang paling umum yang menandakan kepada wanita bahwa adanya

perubahan status fungsi ovarium. Penyimpangan siklus haid adalah yang

paling jelas dan berhubungan langsung dengan malfungsi ovarium.

2. Pendarahan disfungsional uterus

Perdarahan disfungsional uterus, kadang-kadang berbentuk

perdarahan serius, merupakan gejala umum premenopause lain yang

mungkin terjadi pada menstruasi biasa namun lebih sering dikaitkan secara

klinis dan patofisiologis dengan oligomenore. Aliran dan durasi

menstruasi yang berlebihan dalam siklus interval normal (menorrhagia)

sering terjadi pada wanita premenopause.

3. Subfertilitas pada premenopause

Subfertilitas yang ditunjukkan oleh keterlambatan atau kurangnya

konsepsi sehingga ovulasi yang jarang terjadi atau fase luteal yang tidak

mencukupi dalam siklus panjang biasa juga merupakan penanda tidak

langsung insufisiensi indung telur.

4. Aborsi dan malformasi


20

Frekuensi tinggi aborsi dan malformasi yang diamati dengan

meningkatnya kejadian pada dekade kelima kehidupan seorang wanita

juga menunjukan kemunduran sistem reproduksi, termasuk kualitas

genentik ovum. Dengan bertambahnya usia, kapasitas wanita untuk

mempertahankan kehamilan yang sedang berlangsung dan melahirkan

anak secara signifikan dan secara proporsional berkurang. Risiko aborsi

adalah 40% lebih besar pada wanita usia 35-44 tahun dan sampai 74.7%

setelah berusia 45 tahun (Batrinos, 2013).

5. Gejala vasomotor pada premenopause

Gejala vasomotor, hot flushes, berkeringat selama siklus normal

adalah gejala premenopause yang dini namun tidak konsisten karena gejala

tersebut lebih sering berhubungan langsung dengan menopause.

Indikator tradisional untuk mengevaluasi penuaan ovarium adalah usia, kadar

hormonal serum, kadar AMH, jumlah folikel antral, dan ultrasonografi ovarium.

Siklus pada premenopause ditandai dengan mulai menurunnya estrogen,

peningkatan kadar FSH fase awal dan menurunnya kadar AMH dan jumlah folikel

antral (AFC). Indikator kadar AMH, yang tingkat serumnya dapat membantu

menilai keadaan penuaan folikular, yang merupakan prediktor risiko yang mungkin

untuk menentukan kapan terjadi menopause. Tingkat hormonal serum, AMH, AFC

dan ultrasonografi ovarium, bersama dengan usia adalah tanda-tanda tradisional

untuk mengevaluasi usia ovarium. Penurunan atau berkurangnya cadangan ovarium

menggambarkan pasien usia subur yang mengalami menstruasi reguler yang


21

responsnya terhadap stimulasi ovarium atau kesuburan berkurang dibandingkan

dengan wanita dengan usia yang sama (Hernández-Angeles dan Castelo-Branco,

2016).

Infertilitas yang terjadi pada wanita dengan usia subur merupakan masalah

yang penting untuk diatasi dan dicegah agar para wanita dapat mengalami

kehamilan dan mempunyai anak pada masa usia subur serhingga perlu mendeteksi

secara dini masalah infertilitas wanita pada usia subur. Salah satu biomarker

infertilitas wanita adalah menurunnya kadar AMH dalam darah. Selain

mengevaluasi kesuburan wanita, pemeriksaan AMH dengan mengukur kadar AMH

dalam darah juga bertujuan untuk memprediksi waktu menopause.

2.4 ANTI-MULLERIAN HORMONE (AMH)

AMH adalah hormon yang dikenal mampu menghambat perkembangan duktus

mullerian pada embrio pria, terutama untuk peran pengaturnya dalam diferensiasi

jenis kelamin namun, setelah lahir pola expresi sex dimorfik hilang dan juga telah

terbukti dapat menjadi marker yang sangat baik dalam menilai cadangan ovarium

pada wanita (Kruszynska et al., 2017). AMH adalah peptida yang termasuk dalam

keluarga faktor pertumbuhan TGF-β (transforming growth factor-β). Karakteristik

utama AMH penting untuk diagnostik didalam sistem endokrin dan sistem

reproduksi. AMH terdapat dalam serum darah laki-laki maupun wanita. Pada laki-

laki, AMH disintesis pada sel Sertoli dari testis sejak minggu ke 5 perkembangan

embrio dan kemudian terdapat selama seumur hidup. Pada periode ini hipothalamus

memproduksi GnRh yang merangsang pituitari anterior untuk menghasilkan LH


22

dan FSH. LH didalam sel Leydig pada fetal testis menghasilkan testosteron, pada

waktu yang bersamaan testosteron akan menghambat pembentukan AMH di sel

Sertoli melalui androgen reseptor disisi lain, FSH melalui reseptornya pada

membran sel Sertoli merangsang AMH (Hampl et al., 2011). AMH pada wanita

diproduksi di ovarium oleh sel Granulosa folikel antral. Kemudian dilepaskan ke

cairan folikuler dan pembuluh darah. Dalam praktek klinis, kadarnya diukur di

dalam darah perifer (Kruszynska et al., 2017). AMH pada wanita muncul sejak

minggu ke 36 kehamilan dan selama kehidupan wanita sampai menopause. Kadar

AMH mencerminkan sejumlah folikel preantral dan antral sebagai penanda

cadangan sel telur dan secara erat berhubungan dengan sejumlah folikel yang matur

sehingga berpartisipasi dalam regulasi follikulogenesis dan maturasi oosit

(Aboulghar, 2014). AMH tidak terlibat dalam mekanisme umpan balik dari

hipotalamus hipofisis gonadal axis, ini yang menjadi alasan bahwa kadar AMH

tidak bergantung pada fase siklus menstruasi sehingga dengan pengukuran AMH

saja sudah cukup untuk menentukan cadangan sel telur. AMH dikenal sebagai

prediktor untuk keberhasilan fertilisasi in vitro, prediktor untuk waktu terjadinya

menopause dan juga memiliki manfaat yang lebih luas (Hampl et al., 2011).

2.4.1 AMH dalam diferensiasi gonad

AMH adalah glikoprotein dimerik dan anggota superfamily TGF-β. Rute

signaling utama AMH adalah melalui reseptor AMH tipe II (AMHRII). Awalnya,

AMH diidentifikasi sehubungan dengan perannya dalam diferensiasi seksual janin.


23

Pada awal perkembangan prenatal, embrio perempuan dan laki-laki memiliki

saluran genital berpasangan yaitu duktus Wolffian (mesonephric) dan saluran

Mullerian (paramesonephric). Pada laki-laki, sel Sertoli dari testis yang sedang

berkembang menghasilkan AMH, yang menyebabkan regersi saluran mullerian.

Pada wanita, karena tidak adanya kromosom Y, sekresi AMH kurang, dan saluran

Mullerian membentuk dan mempertahankan bagian utama organ reproduksi

wanita: saluran tuba, Rahim dan bagian atas vagina (Koskela, 2013).

Gambar 2.1
Peran AMH pada proses diferensiasi seksual (Koskela, 2013)

2.4.2 Struktur AMH

AMH termasuk dalam kelompok TGF- β yang terdiri lebih dari 35 struktur

peptida, termasuk aktivin, inhibins, bone morphogenic proteins (BMPs) dan faktor

–faktor diferensiasi pertumbuhan. Sebagian besarnya terlibat dalam fungsi

reproduktif pada kedua jenis kelamin. Hormon ini merupakan glikoprotein disulfida
24

homodimer dengan berat molekul 140 kDA (Hampl et al., 2011), sedangkan

Rzeszowska et al. (2016) menyatakan bahwa hormon anti mullerian adalah

glikoprotein dengan berat molekul 140 kDa yang terbuat dari dua homodimer 70

kDA, yang termasuk dalam faktor superfamili pertumbuhan TGF-β. Reseptor untuk

AMH adalah protein heteromer transmembran, yang terdiri dari dua subunit,

dilambangkan dengan Tipe I dan II. Karena semua reseptor untuk faktor

pertumbuhan keluarga TGF-β,reseptor tidak menggunakan protein G dan memiliki

aktivitas kinase intrinsik. Tipe II (subunit yang lebih baik) mengikat secara khusus

ligan yang mengarah ke aktivasi Tipe I, bagian intraselular yang bertindak sebagai

threonin kinase. Aktivasi yang terakhir memulai kaskade sinyal yang menghasilkan

respons biologis masing-masing (Hampl et al., 2011).

Perkembangan normal dari genitalia interna dan eksterna pada pria selama

embriogenesis tergantung pada aksi hormon testikular: AMH dan testosterone.

AMH disekresikan oleh sel- sel Sertoli dan bekerja pada reseptornya yang terdapat

pada duktus mullerian, yang menentukan terjadinya regresi. Testosterone

disekresikan oleh sel-sel Leydig testikular, bekerja pada reseptor androgen pada

duktus deferen dan vesika seminalis. Testosterone kemudian direduksi menjadi

dihydrotestosterone (DHT) oleh enzim alfa reduktase 2, yang berperan sebagai

reseptor androgen pada prostat dan genitalia externa dan menentukan

maskulinisasi. Perkembangan organ genitalia interna wanita pada pria bisa terjadi

akibat ketidakmampuan sel-sel Sertoli untuk mensintesis atau mensekresikan

AMH, atau akibat gangguan pada reseptor tipe II (Andersona et al., 2012). Kadar
25

serum AMH dalam darah mencerminkan cadangan folikel ovarium, penurunan

jumlah folikel dapat diikuti dengan pengurangan sirkulasi AMH (Aboulghar, 2014).

2.4.3 AMH dan Folikulogenesis

Dalam studi manusia dan hewan, ekspresi AMH telah diamati pada folikel sel

granulosit (GCs) yang tumbuh dari tahap primer sampai tahap antral. Ekspresi

AMH telah terbukti terlokalisasi di sel granulosit di dekat oosit, mengindikasikan

kemungkinan koordinasi intrafolikular parakrin perkembangan folikel. Produksi

AMH di folikel dimulai dari saat rekrutmen dan berlangsung sampai tahap

perkembangan antral. Tingkat tertinggi sintesis hormon diamati pada sel granulosa

folikel anterior preantral dan antral kecil (≤4 mm). Pada folikel antral yang lebih

besar (> 8 mm), sintesis AMH perlahan menurun sampai menjadi tidak terdeteksi.

Dengan mengurangi efek FSH pada pertumbuhan folikel preantral dan antral, AMH

berpartisipasi dalam regulasi folikulogenesis, sehingga menghambat perekrutan

vesikel germinal (Rzeszowska et al., 2016). Hal serupa juga dinyatakan oleh Bala

et al. (2014) bahwa peran AHM dalam folikulogenesis terjadi karena AMH

diekspresikan oleh sel granulosa ovarium selama masa reproduksi dan

mengendalikan pembentukan folikel primer dengan menghambat perekrutan folikel

berlebihan oleh FSH. Proses tersebut merupakan ukuran aspek fungsi ovarium

tertentu yang berguna untuk menilai kondisi seperti sindrom ovarium polikistik dan

kegagalan ovarium prematur.

Pengetahuan tentang peran AMH pada folikulogenesis ditemukan melalui studi

menggunakan tikus tanpa AMH (tipe null). Ovarium tikus null berusia empat bulan
26

dua kali lebih besar dari tikus tipe liar, dan tikus null mengandung jumlah vesikel

germinal yang lebih rendah dan peningkatan tiga kali lipat pada vesikula

pertumbuhan. Hal ini disebabkan oleh peningkatan perekrutan folikel primordial

dan transformasinya menjadi folikel preantral dan antral. Tikus null dengan jumlah

folikel yang lebih banyak juga menunjukkan tingkat FSH yang lebih rendah, yang

memungkinkan terjadinya hipotesis bahwa, jika tidak ada AMH, folikel lebih

sensitif terhadap pengaruh FSH. Pada studi tikus in vitro, penambahan AMH

terhadap kultur folikel menghambat pertumbuhan folikel tergantung FSH,

menghasilkan diameter folikel yang lebih kecil. Selanjutnya, sebuah studi in vivo

dimana kadar FSH dimodulasi menunjukan bahwa dengan adanya konsentrasi FSH

serum rendah dan tinggi, folikel yang tumbuh lebih banyak ditemukan pada tikus

tanpa AMH dari pada tikus liar. Efek penghambatan AMH terhadap sensitivitas

folikel FSH ini dapat berperan dalam proses seleksi. Diperkirakan setiap folikel

mengandung konsentrasi FSH ambang sendiri yang harus dilampaui untuk

memungkinkan seleksi (Rzeszowska et al., 2016).

Teori menunjukkan bahwa AMH bertindak sebagai koordinator

steroidogenesis pada sel granulosa. Konsentrasi AMH berkorelasi dengan kadar

estradiol dalam cairan sejumlah folikel antral kecil. Hubungan antara polimorfisme

gen AMH atau reseptor AMH tipe II dan tingkat estradiol dalam fase folikuler,

menunjukkan peran AMH pada steroidogenesis tergantung FSH pada ovarium

manusia. AMH terdeteksi dalam serum, meskipun peran utamanya adalah tindakan

auto dan parakrin pada perkembangan folikel. Folikel antral menjadi sumber utama

AMH dalam serum karena jumlah sel granulosa yang lebih besar. Kadar AMH
27

dalam aliran darah telah menjadi subyek banyak penelitian yang berfokus pada

kemungkinan penggunaan evaluasi hormon dalam diagnosis kelainan endokrin dan

onkologis (Rzeszowska et al., 2016).

2.4.4 AMH sebagai Penanda Cadangan Ovarium

AMH dapat dideteksi pada subjek wanita sejak tahap perinatal sampai

menopause. Dimana peningkatan kadar AMH secara bertahap diamati pada anak

perempuan dari hari pertama kehidupan, dengan tingkat maksimum yang diamati

pada wanita berusia sekitar 25 tahun. Setelah pubertas AMH diproduksi oleh sel

Granulosa antral primer, dimana tingkat AMH tertinggi dilaporkan. Ekspresi AMH

tidak ditemukan pada folikel atretik. Pada tingkat AMH wanita dewasa secara

bertahap menurun sampai mencapai nilai dibawah batas yang tidak dapat terdeteksi

pada wanita pascamenopause (Kruszynska et al., 2017). Tingkat AMH

mencerminkan jumlah folikel preantral dan antral dengan demikian merupakan

penanda cadangan germinal ovarium untuk reproduksi. Tingkat plasma AMH

berkorelasi kuat dengan sejumlah folikel dewasa (AFC), seperti yang dinilai oleh

ultrasonografi transvaginal (koefisien correlation 0,66-0,71) dan juga dengan

konsentrasi AMH yang diukur dalam cairan folikular (Kaya et al., 2010).

Peran AMH dalam fisiologi ovarium AMH secara khusus diekspresikan dalam

sel granulosa folikel preantral dan antral . Pada tikus, ekspresi dimulai segera

setelah folikel primordial direkrut untuk tumbuh, dan ekspresi tertinggi diamati

pada folikel antral dan antral anterior. AMH juga telah memberikan efek fisiologis

pada folikel antral di ovarium manusia sebelum seleksi akhir, Ada keseimbangan
28

yang baik antara produksi estradiol dan inhibin oleh folikel preovulasi dan sekresi

gonadotropin oleh hipofisis untuk memastikan bahwa ovulasi dipicu tepat pada

waktu yang tepat (Aboulghar, 2014). AMH dapat menggunakan peran fisiologis

dalam menurunkan kapasitas aromatisasi dari sel granulosa sampai saat seleksi

folikuler (Houten et al., 2010).

AMH sebagai penanda awal penghentian fungsi indung telur berhubungan

dengan penurunan jumlah folikel primer dan preantral seiring bertambahnya usia.

Tingkat AMH yang rendah dan juga penurunannya yang cepat dalam periode waktu

tertentu merupakan penanda penurunan fungsi ovarium (Hampl et al., 2011).

Sirkulasi AMH memiliki kemampuan untuk memprediksi tanggapan yang

berlebihan dan buruk terhadap stimulasi dengan gonadotropin eksogen sehingga

AMH dinyatakan sebagai biomarker yang lebih unggul dari FSH basal dan AFC,

dan berpotensi digabungkan ke dalam protokol kerja untuk memprediksi respons

ovarium pasien. Kadar AMH dapat mengidentifikasi stimulasi ovarium yang

ekstrem sehingga peran pengukuran AMH dapat dilakukan dalam strategi

pengobatan untuk mengurangi risiko infertilitas (Aboulghar, 2014).

Berbagai penelitian terkait dengan peran AMH dalam memprediksi cadangan

ovarium telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Yarde et al. (2013) mengkaji peran

AMH sebagai prediktor hasil reproduksi pada wanita subfertile dengan FSH basal

yang tinggi memberi hasil bahwa penentuan AMH dapat digunakan sebagai

penanda fertilitas pada wanita subfertile dengan tingkat FSH basal yang tinggi.

Kadar AMH untuk memprediksi respons ovarium dan mengoptimalkan strategi

pengobatan merupakan pendekatan yang menjanjikan untuk memperbaiki hasil


29

kehamilan pada wanita yang menjalani stimulasi ovarium. Rigg et al. (2008)

memberi kesimpulan bahwa AMH secara akurat memprediksi respons ovarium

terhadap stimulasi ovarium terkontrol dengan sensitivitas dan spesifisitas tinggi.

Kadar AMH stabil selama periode perubahan hormon, namun menurun seiring

bertambahnya usia (Weghofen et al., 2011). Stabilitas kadar AMH berdasarkan

perubahan hormon merupakan peran dari mekanisme hipotalamus-hipofisis-gonad

axis yang menyebabkan tingkat AMH hampir tidak bergantung pada fase siklus

haid, dan pada umumnya satu pengukuran saja cukup dalam mengukur cadangan

ovarium. Kondisi tersebut memberikan keuntungan dari aspek ekonomi (biaya)

(Hampl et al. 2011), menjadikannya alat praktis dalam menilai cadangan ovarium

(Weghofen et al., 2011) dan merupakan penanda ovarium yang dapat diandalkan

yang dapat diukur secara independen pada hari siklus menstruasi (Marca et al.,

2007).

2.4.5 Kadar AMH

Selama hidup seorang wanita ,kadar serum AMH mulai muncul pada minggu

ke 36 kehamilan seorang janin (Hampl et al., 2011). Kadar serum AMH

menunjukkan tingkat yang rendah pada usia anak-anak, kemudian meningkat pada

usia pubertas dan mencapai puncak pada usia 20 tahun sampai 25 tahun diikuti

penurunan gradual hingga tidak terdeteksi setelah menopause. AMH sangat


30

berkorelasi dengan jumlah folikel primordial ovarium. Tingkat AMH memprediksi

usia menopause alami (Eliassen et al., 2016).

AMH menjadi penanda yang baik dalam penilaian cadangan ovarium. Pada

wanita, kadar AMH menurun seiring bertambahnya usia sebelum tanda-tanda

manifestasi menopause akan datang, seperti peningkatan konsentrasi FSH atau

penurunan jumlah folikel antral. Selama menopause, AMH menjadi tidak

terdeteksi, sebuah fenomena yang terkait dengan penipisan cadangan folikular.

Dengan demikian, penurunan konsentrasi serum AMH dapat mengindikasikan

penuaan fisiologis atau patologis ovarium (Rzeszowska et al., 2016).

Interpretasi kadar AMH bervariasi. Batas kadar yang dianggap normal masih

belum diklarifikasi dan disetujui. Berbgai kit tes AMH yang ada juga belum

ekuivalen. Secara umum kadar AMH 1.2-4.6 ng/ml dianggap normal, 1-1,2 ng/ml

dianggap normal rendah, 0,3-1 ng/ml dianggap rendah, kurang dari 0,3 ng/ml

dianggap sangat rendah , pada kondisi postmenopause kadar AMH kurang dari 0,16

ng/ml (Kurniawan, 2017)

AMH merupakan penanda cadangan ovarium yang sangat sensitif karena itu

mencerminkan jumlah folikel, yang diaktifkan dari cadangan folikel primordial

yang ada. Keuntungan lain pengukuran AMH terhadap parameter ovarium adalah

tidak bergantung terhadap konsentrasi hormon gonadotropin.(Zec et al., 2010).

Selama satu siklus haid, kadar hormon tidak terpengaruh secara signifikan. Tidak

seperti hormon ovarium lain yang diproduksi seperti estrogen dan progesteron,

kadar AMH relatif stabil sepanjang siklus menstruasi, sehingga pengukuran kadar

AMH dapat dilakukan setiap saat (Nichols et al., 2015).


31

Kelsey et al. (2011) dalam penelitiannya melaporkan secara detail

perkembangan tingkat AMH darah pada wanita normal yang hasilnya dipaparkan

pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2
Kadar serum AHM pada wanita normal berdasarkan usia
(garis merah = mean AMH, garis hijau = mean AMH ditambah dan
dikurangi standar deviasi pada prediksi 68%,garis biru = mean AMH
ditambah dan dikurangi standar deviasi pada prediksi 95%)
Sumber: Kelsey et al. (2011)
Konsentrasi AMH serum mengalami penurunan kembali antara usia delapan

dan dua belas tahun, sebelum naik ke puncak pada pertengahan dua puluhan tahun

yaitu rata-rata usia 24,5 tahun yang kemudian mengalami penurunan sampai

menopause. Oleh karena itu, kadar AMH hanya dapat digunakan untuk menilai

penuaan ovarium pada wanita diatas usia 25 tahun. Peningkatan awal konsentrasi

gonadotropin pada pubertas awal dapat mengubah proporsi folikel pada tahap

pertumbuhan yang berbeda dengan meningkatnya jumlah yang berlanjut ke tahap

antral. Serum AMH diproduksi oleh folikel pertumbuhan awal pada semua tahap

sampai tahap antral awal, namun tidak diketahui kelas folikel mana yang paling
32

banyak berkontribusi terhadap konsentrasi yang ada pada sirkulasi (Kelsey et al.,

2011).

2.4.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kadar AMH

Kadar AMH dapat mengalami perubahan akibat berbagai faktor selain faktor

usia. Berbagai faktor telah dilaporkan mempengaruhi perubahan kadar AMH darah.

Rzeszowska et al. (2016) melaporkan bahwa kadar AMH darah dapat menurun

karena berbagai sebab seperti merokok, tingkat vitamin D, dan obesitas. Pada

perokok, kadar AMH menurun lebih cepat, dan wanita ini mencapai usia

menopause lebih awal dibandingkan dengan wanita bukan perokok (Sowers et al.,

2010). De Kat et al. (2016) menyatakan bahwa rendahnya konsentrasi AMH dapat

disebabkan oleh faktor genetik, faktor lingkungan, gaya hidup yang tidak sehat, dan

penyakit diabetes melitus Penurunan kadar AMH disebabkan karena penuaan

(usia), indeks massa tubuh meningkat, ovariektomi, kemoterapi dan radioterapi,

administrasi gonadotropin (Karkanaki et al., 2011).

Penyakit Crohn (CD) dapat menurunkan kadar AMH darah yang merupakan

indikator menurunnya fertilitas secara langsung, dengan menginduksi

pembengkakan di tuba falopi dan ovarium, dan secara tidak langsung, melalui

intervensi bedah dan adhesi tuba yang terkait dengan perawatan penyakit (Şenateş

et al., 2013). Honda et al. (2016) menyatakan bahwa penurunan kadar AMH serum

berkaitan dengan defisiensi vitamin D. Wanita yang memiliki tekanan psikologis

yang lebih tinggi menyebabkan terjadinya penurunan tingkat AMH pada wanita
33

tidak subur dan tekanan psikologis dinyatakan dapat dapat mempengaruhi cadangan

ovarium (Dong et al., 2017).

Rzeszowska et al. (2016) menyatakan juga bahwa terdapat perbedaan kadar

AMH darah berdasarkan perbedaan etnisitas dimana wanita Afrika-Amerika dan

Spanyol dinyatakan memiliki nilai AMH lebih rendah daripada wanita Caucasian.

2.4.7 AMH sebagai marker terjadinya menopause

Perubahan kadar AMH serum terjadi relatif dini pada urutan kejadian yang

berhubungan dengan penuaan ovarium. Tingkat FSH serum yang meningkat secara

substansial tidak ditemukan sampai siklus menjadi tidak teratur. Oleh karena itu

penanda yang sudah menunjukan perubahan yang cukup besar saat siklisitas masih

normal akan lebih baik mengidentifikasikan wanita dengan menurunnya kesuburan.

Usia 50 tahun adalah waktu rata-rata menopause yang didefinisikan sebagai periode

menstruasi terakhir dalam kehidupan seorang wanita. Masa menopause fisiologis

dapat terjadi antara usia 40 dan 60 tahun, namun penurunan kesuburan alami wanita

dimulai 10-13 tahun sebelum menopause. Diperkirakan bahwa selama

perimenopause jumlah folikel ovarium menurun dibawah beberapa ribu dan

perkembangan menjelang menopause dan seterusnya ditandai dengan jumlah

folikel yang sangat rendah (Kruszynska et al., 2017).

Penelitian dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor, termasuk penanda

biokimia dan hormonal, yang akan memudahkan penentuan masa subur dan masa

menopause pada wanita. Penentuan prediktor periode kesuburan pada wanita

semakin penting karena penuaan masyarakat dan nantinya akan menjadi ibu.

Masalah lain yang ditangani adalah profilaksis yang lebih baik sehubungan dengan
34

penyakit yang terjadi secara signifikan lebih sering setelah menopause. Keadaan ini

termasuk osteoporosis, gangguan kardiovaskular dan juga neoplasma terkait

hormon, seperti kanker payudara dan kanker endometrium. Parameter yang secara

tidak langsung mengindikasikan waktu menopause adalah volume ovarium dan

jumlah folikel antral yang berkorelasi dengan tingkat AMH (Rzeszowska et al.,

2016).

Kurniawan (2017) menjelaskan bahwa AMH merupakan penanda yang lebih

baik untuk menilai usia reproduktif wanita dibanding usia kronologis. Karena

variasi usia menopause antara usia 40-55 tahun sehingga usia kronologis bukan

merupakan indikator yang bagus untuk menilai cadangan ovarium. Oleh karena itu

AMH dapat digunakan secara klinis sebagai penanda penuaan ovarium dan

memprediksi usia akhir masa produktif dengan tepat dibandingkan penanda lain,

seperti inhibin, estradiol dan FSH yang dependen terhadap siklus menstruasi.

Freeman et al. (2012) melaporkan bahwa kadar AMH <0,2 ng/ml terjadi rata-

rata 5,99 tahun sebelum menopause pada wanita berusia 45-48 tahun dan 9,94 tahun

pada wanita berusia 35-39 tahun. Mengenai nilai AMH lebih dari 1,5 ng/ml,

menopause terjadi rata-rata setelah 6,23 tahun pada kelompok yang lebih tua dan

setelah lebih dari 13 tahun pada kelompok yang lebih muda. Hal itu menunjukan

bahwa masa menopause dapat ditentukan secara tepat berdasarkan tingkat AMH

dan usia pasien.

2.5 Folikulogenesis Ovarium


35

Follikulogenesis didefinisikan sebagai proses yang melibatkan proliferasi dan

diferensiasi sel somatik dan sel germinal (Do dan Robinson, 2015). Folikulogenesis

diatur oleh GnRH, hormon metabolik dan faktor lokal seperti sistem IGF-1. Folikel

primordial terbentuk pada awalnya selama kehidupan janin, namun folikulogenesis

awal dan awal pertumbuhan folikel primordial tidak dipengaruhi oleh GnRH

(Hernandez-Medrano et al., 2012).

Proses folikulogenesis dapat dibagi menjadi tiga tahap perkembangan (Puche

dan Castilla-Cortázar, 2012) yaitu

1. Pertumbuhan folikel preantral yaitu primordial terhadap transisi folikel primer,

dan pembentukan dan pertumbuhan folikel sekunder;

2. Pertumbuhan folikel anterior basal yaitu pembentukan antrum dan

pengembangan folikel antral awal ke tahap tergantung gonadotrophin;

3. Pertumbuhan folikel anterior terminal: pengembangan antral ke folikel

preovulasi.

Klotz dan Gougeon (2010) mengusulkan pandangan dinamis tentang

pertumbuhan folikel di dalam ovarium manusia. Pertumbuhan folikel di dalam

ovarium manusia dijelaskan melalui empat tahapan yaiu tahap awal, tahap

pertumbuhan folikuler basal, tahap pertumbuhan oosit dan tahap seleksi folikel

yang berovulasi. Skema perkembangan folikulogenesisi dipaparkan pada Gambar

2.3.
36

Gambar 2.3
Skema tahap folikulogenesis (Klotz dan Gougeon, 2010)

Folikulogenesis dimulai dengan masuknya folikel yang ada pada keadaan

istirahat ke fase pertumbuhan. Folikel baru diperlukan beberapa bulan untuk

mencapai tahap preantral (0,15 mm), kemudian 70 hari kemudian mencapai ukuran

2 mm. Pertumbuhan folikel tumbuh awal diatur oleh interaksi antara FSH dan faktor

lokal yang diproduksi oleh sel theca dan granulosa (GCs), serta oosit. Dari saat

mereka memasuki tahap yang dapat dipilih selama fase luteal yang terlambat,

folikel menjadi sensitif terhadap perubahan siklik FSH dalam hal proliferasi sel

granulosa. Selama fase folikuler awal, folikel awal yang dipilih tumbuh dengan

sangat cepat dan estradiol ada dalam cairan folikular, namun, total produksi steroid

tetap moderat. Dari fase folikuler pertengahan, folikel preovulasi mensintesis

estradiol dalam jumlah besar, kemudian setelah lonjakan gonadotropin pertengahan

siklus, folikel preovulasi mensintesis progesteron dalam jumlah sangat besar. Pada

tahap perkembangan ini, responsifitas folikel terhadap gonadotropin sangat

maksimal, terutama pada hormon luteinizing (LH) yang memicu disosiasi dinding

granulosa dan ekspansi kumulus serta pematangan oosit. Dengan demikian, seiring

berkembangnya folikel, responsivitas terhadap gonadotropin semakin meningkat di

bawah kendali faktor lokal yang bekerja secara autokrin / parakrin (Klotz dan

Gougeon, 2010).
37

2.6 Growth Hormone (GH) dan Insulin-like Growth Factor I (IGF-1)

Growth Hormone (GH) merupakan hormon yang diproduksi oleh sel

somatotroph di kelenjar hipofise anterior secara pulsatil. GH merangsang sintesis

protein dan proliferasi sel, mempunyai pengaruh langsung pada metabolisme

karbohidrat dan lipid serta menurunkan glucose tolerance dan timbunan lemak. GH

merangsang produksi IGF-1 dalam dua cara yaitu bekerja pada sel hepar sebagai

sumber utama IGF-1 dan melalui mekanisme paracrine atau autocrine secara lokal

di dalam jaringan (Pangkahila, 2011).

Pangkahila (2017) menyatakan bahwa asam amino merupakan sumber dari

GH , faktor yang dapat menstimulasi sekresi GH ialah aktifitas fisik, puasa,

makanan tinggi protein dan kondisi tidur. IGF-I adalah hormon polipeptida yang

diproduksi terutama oleh hati sebagai respons terhadap stimulus GH endokrin,

namun juga disekresikan oleh beberapa jaringan untuk keperluan autokrin atau

parakrin.

IGF-I sebagian bertanggung jawab atas aktivitas GH sistemik meskipun

memiliki sejumlah sifat tindakan anabolik, antioksidan, anti-inflamasi dan

sitoprotektif. IGF-I adalah hormon yang diatur secara ketat sehingga aplikasi

terapeutik terbatas pada mengembalikan tingkat sirkulasi fisiologis untuk

memulihkan konsekuensi klinis dari kekurangan IGF-I. IGF-I mempunyai peran

terhadap pertumbuhan dan perkembangan jaringan, aktivitas seperti insulin,

proliferatif, pro-survival / anti-aging, antioksidan, folikulogenesis ovarium dan

lain-lain (Puche and Castilla-Cortázar, 2012).


38

2.6.1 Peran GH dan IGF-1 dalam penuaan

Penuaan merupakan salah satu dampak dari defisiensi GH dan IGF-1.

Defisiensi IGF-I dapat menyebabkan sirosis hati, pada orang dewasa, penuaan

termasuk penyakit kardiovaskular dan neurologis terkait usia, dan pembatasan

pertumbuhan intrauterin. Penuaan adalah proses involusi progresif universal,

intrinsik, ireversibel, heterogen dan multidimensi yang ditandai dengan hilangnya

fungsi fisiologis secara bertahap yang meningkatkan probabilitas kematian. Tingkat

sirkulasi GH dan IGF-I maksimal selama pertumbuhan peripubertal dan awal masa

dewasa, namun tingkat sirkulasi GH dan IGF-I semakin menurun seiring

bertambahnya usia. Penurunan tingkat sirkulasi GH dan IGF-I selama penuaan

disebut sebagai somatopause, secara analogi dengan menopause dan andropause.

Berkurangnya sekresi GH/IGF-I pada orang tua dipercaya bertanggung jawab atau

berkontribusi terhadap banyak gejala penuaan, termasuk hilangnya massa otot,

peningkatan adipositas, kepadatan mineral tulang yang berkurang, dan penurunan

tingkat energi, disertai dengan perubahan indikator psikologis dari kualitas hidup

(Puche and Castilla-Cortázar, 2012).

Terdapat teori penuaan yang pada dasarnya menunjukkan beberapa proses

fisiologis yang luas yang penting terhadap umur panjang manusia seperti stabilitas

genetik, pemendekan telomere, ketahanan stres dan kontrol metabolik dan

keseluruhan proses tersebut berhubungan dengan IGF-I. Pertama, dengan asumsi

bahwa mitokondria adalah sumber utama radikal bebas endogen, dimana

sebelumnya telah dinyatakan bahwa spesies dengan tingkat metabolisme yang lebih

tinggi memiliki umur maksimum yang lebih pendek karena akumulasi radikal
39

superion anion yang menyebabkan kerusakan sel, mempercepat penuaan

(Raamsdonk et al., 2010).

IGF-I adalah karakter utama dalam memulihkan disfungsi mitokondria selama

penuaan dengan meningkatkan potensi membran mitokondria, mengurangi

konsumsi oksigen, dan meningkatkan sintesis ATP sehingga meminimalkan

pelepasan sitokrom ke sitoplasma dan kemudian mendorong saraf kelangsungan

hidup dengan mengurangi caspase-induced dari orang lain. Kemampuan

antioksidan IGF-I di korteks otak dan hipokampus dinilai sebagai peningkatan

aktivitas enzim antioksidan (superoksida dismutase, katalase dan glutathione

peroxidase) dan parameter kerusakan oksidatif (MDA dan PCC) (Puche et al.,

2008). Dengan demikian, dengan memperbaiki fungsi mitokondria dan mengurangi

stress oksidatif, IGF-I akan melindungi DNA, protein dan lipid.

Teori kedua, IGF-I telah diusulkan sebagai indeks penuaan yang sehat, karena

temuan tersebut berkorelasi langsung dengan panjang telomere leukosit, biomarker

penuaan manusia yang terkait dengan peningkatan risiko pengembangan penyakit

vaskular, gangguan metabolisme, dan fenotip terkait usia lainnya (Fitzpatrick et al.,

2007).

2.6.2 Peran IGF-1 dalam folikulogenesis ovarium

Sistem IGF memainkan peran penting dalam folikulogenesis ovarium, dan

perubahan kadar protein IGF-binding protein (IGFBP) memodulasi bioavailabilitas

IGF (Reynaud et al., 2010). Keterlibatan sistem IGF karena regulator

folikulogenesis intraovarian telah dipelajari secara intensif pada berbagai spesies

mamalia, dan sekarang ditetapkan bahwa indung telur adalah tempat ekspresi dan
40

penerimaan gen IGF-I. Pada primata, IGF-I diekspresikan dalam folikel primordial,

folikel primer, folikel sekunder dan folikel antral yang tumbuh (oosit dan theca),

namun tidak pada folikel preovulasi (mural granulose dan theca) (Puche and

Castilla-Cortázar, 2012).

Sistem pertumbuhan insulin-like growth factor (IGF) telah terbukti memainkan

peran kunci dalam folikulogenesis ovarium. IGF-1 merangsang proliferasi sel

granulosa dan meningkatkan efek biologis FSH dan LH pada sel granulosa dan

theca. Secara khusus, IGF-1 adalah stimulator kuat steroidogenesis oleh sel

ovarium. Konsentrasi intrafollicular IGF-1 hampir tidak berubah sama sekali

selama tahap terakhir folikulogenesis pada folikel antral yang tumbuh besar.

Sebaliknya, ketersediaan hayati IGF secara dramatis meningkatkan folikel

preovulasi, karena penurunan protein pengikat IGF dengan berat molekul rendah

(IGFBPs), yaitu IGFBP2 dan IGFBP4. Perubahan tingkat IGFBP ini disebabkan

oleh perubahan ekspresi lokal serta perubahan degradasi proteolitik intrafollicular

oleh protein plasma terkait kehamilan-A (PAPPA). IGF-1 diketahui dapat

merangsang pertumbuhan folikel pada beberapa spesies (Reynaud et al., 2010).


41

Gambar 2.4
Peran IGF-1 (Puche and Castilla-Cortázar, 2012)

GH berada dalam keadaan bebas dan terikat oleh GHBP (domain sekunder

reseptor GH). Selain itu, aktivasi reseptor GH hati, mendorong sintesis IGF-1 yang

kemudian dilepaskan ke sirkulasi dan dapat ditemukan dalam bentuk bebasnya

namun terutama terikat pada IGFBP (keseluruhan IGFBP-3, yang mengikat 90%

IGF-1 yang bersikulasi) (Puche and Castilla-Cortázar, 2012).

Peran IGF-I dalam kondisi fisiologis masih ditemukan dan terus-menerus

dilepaskan sebagai hasil dari GH sebagai peptida bebas. GH dan nutrisi adalah

faktor utama yang mengatur ekspresi IGF-1 hati, juga pada organ lain. Namun, di

beberapa jaringan lain, ekspresi IGF-1 diatur oleh faktor trofik spesifik jaringan,

seperti misalnya di rahim, di mana estrogen (dan bukan GH) merangsang ekspresi

IGF-1, sementara hormon perangsang folikel adalah regulator utama IGF-1 di

indung telur (Puche and Castilla-Cortázar, 2012).

IGF-1 memainkan peran pada tahap perkembangan folikel yang berbeda yaitu

(Puche and Castilla-Cortázar, 2012):

1. Inisiasi pertumbuhan folikel primordial,


42

2. Pada tahap folikel sekunder, IGF-1 mungkin terlibat dalam induksi ekspresi

FSH-R pada sel granulosa dan diferensiasinya, kelangsungan hidup sel theca

dan pembentukan butiran kortikal pada oosit; dan

3. Pada tahap folikular antral, IGF-1 dapat meningkatkan sensitivitas folikel

terhadap gonadotropin, pematangan oosit dan ekspresi LH-R pada sel

granulosa dan sel yang meningkatkan aktivitas proliferasi dan

steroidogeniknya.

Pada manusia, IGF-1 juga merangsang produksi faktor pertumbuhan endotel

vaskular oleh sel granulosa (Stanek et al., 2007). Mekanisme yang tepat yang

mendasari pertumbuhan folikel ovarium belum sepenuhnya dijelaskan. Pada

kebanyakan spesies mamalia yang diteliti, GH dan IGF-1 tidak diperlukan untuk

transisi primordial ke folikel primer, namun bertanggung jawab untuk

mempromosikan pertumbuhan folikel sekunder dan pembentukan antrum. GH

meningkatkan pengembangan sejumlah folikel antral ke tahap tergantung

gonadotrophin dan merangsang pematangan oosit, sedangkan IGF-1 meningkatkan

proliferasi sel granulosa, pertumbuhan steroidogenesis dan oosit pada kebanyakan

spesies mamalia (Puche and Castilla-Cortázar, 2012).

2.7 Peran Nutrisi dalam Folikulogenesis Ovarium

Nutrisi mempunyai pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung

pada folikulogenesis ovarium. Efek tidak langsung nutrisi pada folikulogenesias

ovarium disebabkan karena hormon metabolik berinteraksi dengan GnRH untuk

mengatur perkembangan folikel ovarium (Do dan Taylor-Robinson, 2015). Diskin


43

et al. (dalam Do dan Taylor-Robinson, 2015) menyatakan bahwa nutrisi secara

tidak langsung mengendalikan folikulogenesis dengan mengubah kadar GnRH.

Berbagai hormon metabolik, seperti leptin, insulin dan IGF-1, juga dapat

memediasi reproduksi. Leptin adalah peptida yang disekresikan oleh jaringan

adiposa, yang melakukan peran penting dalam mengendalikan asupan makanan dan

berat badan. Selain itu, leptin dianggap sebagai mediator yang responsif terhadap

stres nutrisi selama kehidupan janin mamalia, namun folikulogenesis awal dan awal

pertumbuhan folikel primordial tidak dipengaruhi oleh GnRH.

Nutrisi sangat diperlukan untuk pemeliharaan sel, pertumbuhan dan

reproduksi. Hormon metabolik memberikan pengaruh langsung pada

folikulogenesis pada tingkat ovarium. Diskin et al. (dalam Do dan Taylor-

Robinson, 2015) berpendapat bahwa nutrisi secara langsung mengatur

perkembangan ovarium melalui sistem hati. Dawuda et al. (dalam Do dan Taylor-

Robinson, 2015) mencatat bahwa asupan pakan dapat mempengaruhi tingkat

pembersihan hepar dari hormon steroid dan akibatnya tingkat sirkulasi hormon

tersebut dapat mempengaruhi folikulogenesis. Hormon metabolik seperti leptin,

insulin dan IGF-1 menekan atau merangsang perkembangan folikel dengan cara

yang tergantung konsentrasi. Shahiduzzaman et al. (2010) melakukan penelitian

dengan inokulasi IGF-1 ke folikel dominan. Hasil menunjukkan bahwa IGF-1

meningkatkan perkembangan folikel. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa

pengurangan insulin dan IGF-1 menunda siklus estrus dan mengganggu kualitas

fungsi oosit dan korpus luteum. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Cavestany et

al. (2009) menunjukkan bahwa ukuran folikel dominan berkorelasi dengan


44

konsentrasi IGF-1 pada darah, dan IGF-1 merangsang pengembangan folikel

dominan yang lebih besar.

2.8 Peran protein terhadap fertilitas wanita

Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh, karena

zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai

zat pembangun dan zat pengatur. Protein adalah sumber asam-asam amino yang

mengandung unsur-unsur C,H,O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau

karbohidrat. Molekul protein mengandung pula fosfor, belerang dan ada jenis

protein yang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga. Sebagai zat

pembangun, protein merupakan bahan pembentuk jaringan- jaringan baru yang

selalu terjadi dalam tubuh. Pada masa pertumbuhan, proses pembentukan jaringan

terjadi secara besar- besaran termasuk pertumbuhan sel-sel otak untuk kecerdasan.

Pada masa kehamilan, proteinlah yang membentuk jaringan janin dan pertumbuhan

embrio. Protein juga mengganti jaringan tubuh yang rusak dan yang perlu

dirombak. Fungsi utama protein bagi tubuh adalah untuk membentuk jaringan baru

dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Protein ikut pula mengatur berbagai

proses tubuh, baik langsung maupun tidak langsung dengan membentuk zat- zat

pengatur proses dalam tubuh. Protein juga berperan dalam mengatur keseimbangan

asam-basa dalam tubuh. Ada dua macam protein yang biasa dikonsumsi manusia,

yaitu protein nabati yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan protein hewani yang

berasal dari hasil ternak dan hasil perikanan. Berdasarkan kualitas dan keragaman

jenis asam-asam amino penyusunnya, protein hewani mempunyai keunggulan


45

dibanding protein nabati karena protein hewani mengandung asam amino esensial

yang lengkap (Kemenkes RI, 2010).

Fontana dan Torre (2013) menyatakan bahwa sebagian besar penelitian yang

dilakukan pada ruminansia betina menunjukkan bahwa asupan protein yang lebih

tinggi meningkatkan aktivitas ovarium oleh jalur yang dimediasi oleh LH, namun

bekerja di tingkat lokal, melalui perubahan sistem IGF, dengan meningkatkan

sensitivitas folikel terhadap FSH dan mengatur kualitas oosit .

Asupan protein hewani dapat mempengaruhi fertilitas wanita dengan

peningkatan sensitivitas insulin dan sirkulasi IGF-I. Mekanisme yang mendasari

hubungan perbedaan efek diferensial protein hewani dan nabati adalah pada tingkat

sirkulasi IGF-I (Fontana dan Torre, 2013). Hal serupa dinyatakan oleh Holmes et

al. (dalam Hosseini dan Eslamian, 2014) bahwa asupan protein hewani pada wanita

berhubungan positif dengan kadar IGF-I sedangkan asupan protein nabati tidak

terkait dengan hormon tersebut.

2.9 Putih Telur Ayam

Telur ayam merupakan sumber protein diet yang berharga. Selain nilai gizi,

protein telur juga merupakan sumber peptida dengan berbagai sifat bioaktif

(Jahandideh, 2017). Telur ayam merupakan salah satu sumber protein utama dari

makanan. Putih telur menyumbang sekitar 58% dari keseluruhan massa telur,

dimana berat telur ayam kampung memiliki berat kurang lebih 50 gram dengan

ukuran yang lebih kecil dari dibandingkan telur ayam ras.

Tabel 2.1
Komposisi zat gizi dalam 100 gram berat telur ayam
46

Komposisi Kimia Utuh Kuning Telur Putih Telur

Kalori (kkal) 162,0 361,0 50,0

Protein (gram) 12,8 16,3 10,8

Lemak (gram) 11,5 31,9 0,0

Karbohidrat (gram) 0,7 0,7 0,8

Kalsium (gram) 54,0 147,0 6,0

Fosfor (gram) 180,0 586,0 17,0

Vitamin A (SI) 900,0 2000,0 0,0

Vitamin B (SI) 0,1 0,27 0,0

Sumber: Kementrian Kesehatan RI (2010)

Komposisi zat gizi telur ayam pada Tabel 2.1 menunjukkan bahwa tinggi

protein dan fosfor dan tidak mengandung lemak, sedangkan pada kuning telur lebih

banyak mengandung lemak daripada protein. Pada bagian putih telur atau albumen

terdiri dari 4 lapisan yang berbeda kekentalannya, yaitu lapisan encer luar (outer

thin white), lapisan encer dalam (firm/thick white), lapisan kental (inner thin white),

dan lapisan kental dalam (inner thick white/chalaziferous). Perbedaan kekentalan

ini disebabkan oleh perbedaan dalam kandungan airnya. Bagian albumin banyak

mengandung air sehingga selama penyimpanan bagian ini pula yang mudah rusak.

Kerusakkan terjadi terutama disebabkan oleh keluarnya air dari jala-jala ovomucin

yang berfungsi sebagai pembentuk struktur albumin (Kurtini dan Riyanti., 2011).

Persentase total albumin dari setiap ayam bervariasi, tergantung dari kondisi

lingkungan, umur ayam, umur telur (lama penyimpanan), dan ukuran telur.
47

Albumin mengandung total bahan padat sekitar 11-13% dan kadar protein

menempati porsi yang paling besar (92%) (Kurtini dan Riyanti., 2011).

Putih telur menyumbang sekitar 58% dari keseluruhan massa telur dan

memiliki kandungan protein 10-12%, terutama terdiri dari ovalbumin,

ovotransferrin, ovomucoid, globulin dan lisozim (Miguel et al., 2005). Telur putih

mengandung banyak protein penting secara fungsional. Ovalbumin (54%),

ovotransferrin (12%), ovomucoid (11%), ovomucin (3,5%), dan lisozim (3,5%)

merupakan salah satu protein utama yang memiliki potensi tinggi untuk aplikasi

industri jika dipisahkan (Abeyrathne, 2013).

Mayoritas protein putih telur adalah glikoprotein. Ovalbumin adalah protein

utama dan diamati pada semua spesies, dengan beberapa perbedaan. Protein yang

terpisah dapat digunakan dalam industri makanan dan farmasi seperti atau setelah

modifikasi dengan enzim. Ovotransferin digunakan sebagai transporter logam,

antimikroba, atau agen antikanker, sedangkan lisozim terutama digunakan sebagai

pengawet makanan. Ovalbumin adalah banyak digunakan sebagai suplemen nutrisi

dan ovomucin sebagai agen penekan tumor. Ovomucoid adalah alergen telur utama

namun dapat menghambat pertumbuhan tumor, dan dengan demikian dapat

digunakan sebagai agen antikanker. Peptida terhidrolisis dari protein ini

menunjukkan angiotensin yang sangat baik (Abeyrathne et. al., 2013).

Potensi peptida bioaktif protein putih telur ovotransferrin terhadap hipertensi,

stres oksidatif dan peradangan in vitro dan in vivo dan hidrolisat putih telur (EWH)

dapat mengurangi tekanan darah pada tikus hipertensi. Hidrolisat putih telur secara

signifikan mengurangi tekanan darah, mengurangi stres nitrosatif dan


48

meningkatkan relaksasi vaskular (Jahandideh, 2017). Jahandideh, (2017)

menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa insulin mimetik dan sensitisasi

insulin serta tindakan anti-inflamasi hidrolisat putih telur pada adiposit yang

berpotensi mencegah atau meringankan komplikasi sindrom metabolik.

Albumin dinyatakan sebagai agen pengendali bakteri-bakteri kontaminan yang

masuk ke dalam telur agar tidak mengganggu pertumbuhan embrio ayam. Ukuran

dan komponen telur ayam setiap strain berbeda-beda, sehingga jumlah albumin

antara telur ayam yang satu dengan yang lainnya juga berbeda. Telur ayam yang

sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia selain telur ayam ras ialah telur ayam

kampung dan telur ayam kate. Ukuran kedua macam telur ayam tersebut berbeda,

demikian juga berat antara telur ayam kampung dan ayam kate berbeda pula.

Kandungan albumin telur ayam kate sebesar ± 40% dari berat total telur, sedangkan

kandungan albumin telur ayam kampung ialah sebesar ± 55% dari berat total telur

(Volk dan Wheeler dalam Wijaya, 2013). Bakhtra et al. (2016) melakukan

penelitian untuk mengetahui kadar protein yang terkandung di dalam berbagai telur

unggas. Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah telur ayam ras, telur ayam

kampung, telur itik, dan telur puyuh. Hasil menunjukkan bahwa sampel telur yang

diperiksa mengandung protein dengan kadar yang berbeda secara signifikan dimana

telur ayam kampung lebih tinggi kadar proteinnya dari pada sampel telur yang lain

dan kadar protein yang paling rendah terdapat pada telur ayam ras. Mawaddah

(2010) melakukan penelitian untuk mengetahui kadar protein dan kolesteral telur

berbagai unggas. Hasil menunjukkan bahwa ayam kampung mempunyai

kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan telur ayam ras dan telur
49

itik. Telur yang mempunyai kandungan kolesterol paling tinggi adalah telur itik.

Proses memasak dengan direbus dan dikukus mempengaruhi kadar protein dimana

telur yang direbus menghasilkan protein yang lebih besar.

Pemasakan telur sebaiknya dilakukan secara sempurna pada suhu minimum 85

˚C selama minimum satu menit. Telur sebaiknya tidak dikonsumsi dalam keadaan

mentah. Apabila direbus (setengah matang) harus pada suhu minimal 70 ˚C

(Kemenkes RI, 2010). Hal ini karena telur mentah berisiko tercemar mikroba

berbahaya seperti Salmonella yang berasal dari kotoran ayam. Risiko penyakit yang

dapat ditimbulkan akibat mengkonsumsi

telur mentah dan produk pangan asal ternak lainnya dalam keadaan mentah yaitu

penyakit antraks, thypus, tuberculosis, salmonelosis, klostridiosis dan lain-lain.

Selain itu, telur mentah juga lebih sulit dicerna tubuh daripada telur matang (Afifah,

2013).

2.10 Hewan Percobaan

Salah satu tahap penelitian sebelum diujikan kepada manusia terlebih dulu

diujikan pada hewan coba dan diperoleh kesan yang cukup aman. Hewan coba yang

cukup aman digunakan adalah mencit dan tikus putih (rattus norvegicus). Alasan

menggunakan hewan coba ini karena mudah diperoleh dalam jumlah banyak,

mempunyai respon yang cepat, memberikan gambaran ilmiah yang mungkin terjadi

pada manusia dan harganya relatif murah (Sihombing,2010).

Tikus putih lebih besar dibandingkan dengan mencit, sehingga untuk

percobaan laboratorium terutama untuk melakukan pengambilan dan pemeriksaan


50

darah, tikus putih lebih menguntungkan daripada mencit. Tikus putih sebagai

hewan percobaan relatif resisten terhadap infeksi dan sangat cerdas. Tikus putih

tidak begitu bersifat fotofobik seperti halnya mencit dan kecenderungan untuk

berkumpul dengan sesamanya tidak begitu besar. Aktivitasnya tidak terganggu oleh

adanya manusia di sekitarnya sehingga pemeliharaan mudah. Ada dua sifat yang

membedakan tikus putih dari hewan percobaan yang lain, yaitu bahwa tikus putih

tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus

bermuara ke dalam lubang dan tikus putih tidak mempunyai kandung

empedu.Tikus putih berasal dari Asia Tengah dan penggunaannya telah menyebar

luas di seluruh dunia (Anonim, 2015).

Klasifikasi Tikus putih dalam sistematika hewan percobaan adalah sebagai

berikut :

Kingdom : Animal

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata (Craniata)

Classis : Mamalia

Subclassis : Placentalia

Ordo : Rodentia

Familia : Muridae

Genus : Rattus

Species : Rattus norvegicus


51

Gambar 2.5
TikusWistar (Rattus norvegicus)

Terdapat beberapa galur tikus yang memiliki kekhususan tertentu antara lain

galur Wistar yang albino dengan kepala besar, telinga panjang dan ekor pendek,

galur Sprague Dawley yang albino putih berkepala kecil dan ekor panjang, dan

galur Long Evans yang memiliki badan berwarna putih, sedangkan kepala dan

ekstremitas bewarna hitam. Galur Sprague Dawley dan Long Evans berasal dari

pengembangan galur Wistar (Hubrecht dan Kirkwood, 2010).

Penelitian menggunakan tikus percobaan harus memenuhi aspek

kenyamanan hewan percobaan selama masa penelitian, hal tersebut dilakukan

untuk meminimalkan bias lingkungan penelitian terhadap hewan percobaan.

Kandang tikus harus berlokasi pada tempat yang bebas dari suara ribut dan terjaga

dari asap industri atau polutan lainnya. Kandang harus cukup kuat, tidak mudah

rusak, terbuat dari bahan yang mudah dibongkar, mudah dibersihkan dan mudah

dipasang kembali. Kandang harus tahan gigitan, hewan tidak mudah lepas, tetapi

hewan harus tampak jelas dari luar. Alas kandang selalu kering dan tidak berbau
52

untuk mencegah gangguan respirasi, serta alat-alat dalam kandang dibersihkan 1-2

kali/minggu. Suhu kandang yang ideal berkisar antar 18-270 C dan kelembaban

berkisar antara 40-70%. Cahaya harus diusahakan agar terdapat keadaan 12 jam

terang dan 12 jam gelap. Untuk tikus dengan berat badan 200-300 gram. Jumlah

maksimal tikus per kandang adalah 3 ekor. Transportasi jarak jauh sebaiknya

dihindari karena dapat menimbulkan stres pada tikus. (Sudrajat, 2008).

Tabel 2.2
Data Biologis Tikus Wistar
Lama hidup 2-3 tahun,dapat sampai 4 tahun

Berat badan dewasa Jantan : 300-400gram

Betina: 220-300gram

Rata-rata jumlah anak Rata-rata 9

Konsumsi makanan 15 – 30 g/ hari

Konsumsi air minum 20 – 45 ml/hari

(Sumber: Hubrecht dan Kirkwood, 2010)

2.10.1 Pengambilan sampel darah tikus

Pengambilan darah dari sinus orbitalis relatif mudah dan hanya

membutuhkan sedikit peralatan. Mata maupun kesehatan hewan tampaknya tidak

terpengaruh bila teknik ini dilakukan dengan benar. Hewan dipegang dengan ibu

jari dan operator memberi tekanan pada vena jugularis di bagian caudal mandibula.

Cara ini dapat membendung aliran kembali darah vena dari sinus orbitalis.

Selanjutnya jari telunjuk operator tersebut menarik bagian dorsal kelopak mata
53

kebelakang sehingga akan menimbulkan sedikit exophthalmus. Alat yang

dibutuhkan biasanya tabung kapiler kaca untuk penetrasi conjunctiva orbitalis dan

agar terjadi ruptura sinus orbitalis. Beberapa pakar menyarankan penggunaan

tabung polyethylen berdiameter kecil dengan ujung menyerong untuk mengurangi

kejadian epistaxis ataupun trauma. Bila sinus atau plexus telah ruptur maka darah

akan mengalir melalui tabung. Aliran darah akan berhenti bila tabung dilepaskan

dan tekanan pada vena jugularis dihilangkan (Anonim, 2015).

2.10.2 Kriteria Tikus Premenopause

Tikus putih (Rattus Norvegicus) betina premenopause, yakni tikus putih

yang memasuki umur 14-18 bulan, yang setara dengan konversi 35-45 tahun usia

manusia (Sengupta, 2013), pada umur tikus 14-18 bulan mulai terjadi penurunan

siklus etrus akibat menurunnya hormon estrogen. Seiring bertambahnya usia fungsi

organ reproduksi tikus akan menurun sehingga jarang terjadi kehamilan, jumlah

kelahiran anak menurun, meningkatnya dan kesulitan persalinan, persentase cacat

lahir dan kehamilan bermasalah (Grant, 2008).

Anda mungkin juga menyukai