Anda di halaman 1dari 27

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Lean Manufacturing Concept


Menurut Neha, dkk (2013) Konsep Lean Manufacturing diturunkan dari
metode yang sudah dikembangkan pada lantai produksi Toyota yang didiskripsikan
secara detail oleh penulis yakni Taiichi Ohno dan Shiego Shingo. Namun, secara
internasional konsep ini malah diakui sebagai lean manufacturing system (LMS)
sebagai hasil dari peneliti Womack, dkk dalam buku “the machine that changed the
world”. Lean manufacturing hanya menggunakan sedikit hal dalam segala sesuatu
dalam menggunakan tenaga pekerja, sebagian ruang proses manufaktur, sebagian
investasi peralatan, dan sebagian jasa pengembangan produk jika dibandingkan
dengan sistem produksi masal. Selain itu, lean manufacturing juga hanya
memerlukan sangat sedikit ruang yang diperlukan inventori, hasil produk cacat
lebih sedikit, dan memproduksi lebih banyak produk yang bervariasi. Singkatnya,
disebut sebagai lean manufacturing karena hanya menggunakan sedikit atau
minimum dari segala sesuatu yang dibutuhkan untuk memproduksi sebuah produk
atau dalam pelayanan. Lean manufacturing sepenuhnya tentang eleminasi
pemborosan dan kegiatan yang tidak bernilai tambah.

2.1.1. Definisi Lean


Lean didefiniskan sebagai strategi untuk mencapai hasil perkembangan
yang berkelanjutan secara signifikan melalui pengeliminasian pemborosan (waste)
dari sumber daya dan waktu yang dimiliki dalam proses bisnins keseluruhan. Lean
dikembangkan dari Toyota setelah perang dunia kedua sebagai strategi bisnis yang
sesuai, mengingat sumber daya yang terbatas di Jepang tidak seluas sumber daya
yang dimiliki Amerika. Prinsipnya diaplikaskan kehampir seluruh proses bisnis dari
administrasi dan desain produk hingga produksi oleh hardware (Neha, dkk, 2013,
hal 55). Menurut Gaspersz (2006, hal 2) Lean didefinisikan sebagai sesuatu
pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan
(waste) atau aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai tambah (non value-added
activity) melalui peninigkatan terus-menerus secara radikal (radical continuous

5
6

impovement) dengan cara mengalirkan produk (material, work-in-process, output)


dan informasi menggunakan sistem tarik (pull system) dari pelanggan internal dan
eksternal untuk mengejar keunggulan dan kesempurnaan. Lean adalah teknik untuk
mereduksi cycle time, kegiatan, sumber daya, langkah-langkah, dan lain-lain yang
non-value added (Taghizadegan, 2014).

2.1.2. Prinsip Dasar Lean


Tujuan utama dari konsep lean adalah untuk memaksimalkan nilai
pelanggan dengan cara mengeliminasi pemborosan hingga habis jika
memungkinkan (Taghizadegan, 2014, hal 6). Nilai pelanggan tersebut dapat
didefinisikan bahwa pelanggan berada pada pusat perhatian dalam segala kegiatan
yang selesai dilakukan pada sebuah organisasi. Pelanggan bersedia membayar
hanya untuk sejumlah produk yang mana proses pembuatan produk tersebut hanya
dibantu dengan kegiatan-kegiatan yang bernilai tambah/value added (Das, 2013).
Menurut Gaspersz (2006, hal 4) terdapat 5 prinsip dasar lean, yaitu:
1. Spesifikasi secara tepat nilai produk yang dinginkan oleh pelanggan.
Caranya adalah dengan mengidentifikasi nilai produk (barang dan/atau
jasa) berdasarkan perspektif pelanggan, dimana pelanggan menginginkan
produk (barang dan/atau jasa) berkualitas superior, dengan harga yang
kompetitif pada penyerahan tepat waktu
2. Identifikasi value stream untuk setiap produk.
Identifikasi dapat dilakukan dengan cara pemetaan pada value stream
process mapping pada setiap produk (barang dan/atau jasa)
3. Eliminasi semua pemborosan setiap produk yang terdapat dalam aliran
proses agar membuat nilai mengalir tanpa hambatan.
Proses mengeliminasi pemborosan dilakukan dengan cara menghilangkan
pemborosan pada seluruh aktivitas sepanjang value stream, yang tidak
bernilai tambah
4. Menetapkan sistem tarik (pull system) menggunakan kanban yang
memungkinkan pelanggan menarik nilai dari produser
Caranya dengan mengorganisir material, informasi dan produk agar
mengalir lancar dan efisien sepanjang proses value stream
7

5. Mengejar keunggulan untuk mencari kesempurnaan (zero waste) melalui


peningkatan terus menerus secara radikal (radical continuous
improvement)
Mencari terus-menerus berbagai teknik dan alat-alat peningkatan
(improvement tool and techniques) untuk mencapai keunggulan
(excellence) dan peningkatan terus-menerus (continuous improvement).

2.2. Wastes (Pemborosan) dalam Lean Manufacturing


Menurut Melton (2005) segala kegiatan yang tidak memberikan nilai
tambah bagi pelanggan disebut dengan “waste”. Kadang-kadang kegiatan waste
merupakan bagian yang diperlukan dalam sebuah proses dan menambahkan nilai
tersendiri untuk perusahaan yang mana waste tersebut tidak dapat dieliminasi
seperti pengendalian keuangan. Sementara itu seluruh “muda” sebutan waste
dalam bahasa Jepang harus dieliminasi. Menurut Vincent Gaspersz (2007) waste
dapat didefinisikan sebagai segala aktivitas kerja yang tidak bernilai tambah (non-
value added) dalam proses transformasi input menjadi output sepanjang value
stream.

2.2.1. Perbedaan Tiga Jenis Kegiatan


Perbedaan dari tiga jenis kegiatan yang biasanya ada dalam sebuah
perusahaan antara lain (Hines dan Taylor, 2000) :
1. Value adding activity, adalah kegiatan-kegiatan dalam sudut pandangan
pelangaan yang dapat membuat produk atau jasa menjadi lebih bernilai.
Sebagai contoh merubah besi menjadi sebuah mobil, atau memperbaiki
mobil agar dapat berjalan cepat. Kegiatan yang bernilai tambah merupakan
sebuah definisi yang mudah untuk dijelaskan, yang menekankan bahwa
pelanggan akan senang untu membayar berdasarkan produk atau jasa
tersebut
2. Non value adding activity, adalah jenis kegiatan yang tidak membuat
produk atau jasa menjadi lebih bernilai dan bahkan tidak dibutuhkan dalam
suatu kondisi tertentu. Kegiatan ini dengan jelas merupakan
waste/pemborosan yang harusnya dihilangkan dengan segera. Sebagai
8

contoh kegiatan yang tidak bernilai tambah adalah memindahkan produk


dari suatu kontainer menuju kontainer lain yang berada dalam suatu
perusahaan
3. Necessary non value adding activity, merupakan kegiatan yang tidak
menjadikan produk atau jasa lebih bernilai tetapi kegiatan ini masih
diperlukan. Merupakan jenis pemborosan yang lebih sulit untuk
dihilangkan dalam tujuan jangkan panjang maupun jangka pendek dalam
sebuah kegiatan secara keseluruhan. Sebagai contoh inspeksi/pemeriksaan
akhir untuk setiap produk, dikarenakan proses yang menggunakan mesin
tidak berteknologi canggih yang tidak dapat melakukan inpeksi secara
otomatis.

2.2.2. Jenis-jenis Waste


Terdapat dua jenis utama waste (pemborosan), yaitu type one waste dan type
two waste (Gaspersz, 2007). Type One Waste adalah segala aktivitas yang tidak
bernilai tambah dalam proses transformasi input menjadi output sepanjang value
stream, tetapi aktivitas itu pada saat sekarang tidak dapat dihindarkan karena
berbagai alasan. contoh, aktivitas inspeksi dan penyortiran. Berdasarkan sudut
pandang lean aktivitas inspeksi dan penyortiran merupakan aktivitas yang tidak
bernilai tambah sehingga merupakan waste, namun aktivitas tersebut tidak dapat
terhindari. Demikian pula seperti pengawasan terhadap orang,yang merupakan
aktivitas yang tidak bernilai tambah, namun pada saat sekarang masih harus
melakukannya, karena orang tersebut baru saja direkrut oleh perusahaan sehingga
belum berpengalman. Sehinga dalam konteks ini aktivitas inspeksi, penyortiran,
dan pengawasan dikategorikan sebagai type one waste yang sering disebut sebagai
incidental activity atau incidental work sehinga dalam jangka panjang type one
waste harus dapat dihilangkan atau dikurangi. Type two waste merupakan aktivitas
yang tidak menciptkan nilai tambah dan dapat dihilangkan segera. Misalnya,
menghasilkan produk cacat (defect) atau melakukan kesalahan (error) yang harus
dapat dihilangkan dengan segera. Type two waste ini sering disebut sebagai waste
saja, karena merupakan benar-benar pemborosan yang harus dapat diidentifikasi
dan dihilangkan dengan segera. Menurut Hines dan Taylor menyatakan bahwa
9

terdapat tujuh jenis pemborosan yang diidentifikasikan oleh Shigeo Shingo,


diantaranya sebagai berikut :
1. Over production, memproduksi terlalu banyak melebihi kebutuhan
pelanggan atau memproduksi lebih cepat daripada waktu kebutuhan
pelanggan yang menyebabkan lead time lebih lama dan meningkatkan
inventori (Hicks, dkk 2003).

2. Waiting, kapan saja material atau komponen yang tidak melalui proses yang
bernilai tambah dapat disebut sebagai pemborosan dalam menunggu (Hicks,
dkk 2003). Menunggunya operator untuk berbagai alasan seperti menunggu
informasi, part, atau mesin (Wilson, 2010).

3. Transportation, pergerakan material dalam perusahaan yang menambah


biaya namun tidak bernilai tambah terhadap produk (Hicks, dkk 2003).
Pergerakan inventori, work in process, dan produk jadi (Wilson, 2010).

4. Inappropriate processing, penggunaan mesin jumlah besar yang berlebihan


daripada menggunakan mesin dengan jumlah sedikit untuk mengunakan
proses yang diperlukan. Jenis pemborosan ini mempengaruhi layout,
transportasi yang berlebihan, dan komunikasi (Hicks, dkk 2003).
Melakukan pekerjaan diluar dari nilai yang dipertimbangkan pelanggan,
atau melebihi dari apa yang dibayarkan pelanggan (Wilson, 2010).

5. Unnecessary Inventory, cenderung menaikkan lead time, mengurangi


fleksibilitas dalam identifiasi masalah (Hicks, dkk 2003). Termasuk produk
jadi yang sudah tidak diambil oleh pelanggan dan seluruh work in process
yang dimaksuksud untuk dijadikan sebagai produk jadi. Segala inventori
merupakan waste walaupun beberapa dari inventori yang diperlukan dengan
mempertimbanga kondisi yang ada (Wilson, 2010).

6. Unnecessary motion, berhubungan dengan pergerakan ergonomi. Jika


operator harus membungkuk dan meregangkan dalam melakukan proses
yang dapat mempengaruhi terhadap kualitas dan produktivitas (Hicks, dkk
2003).
10

7. Defects, sesuatu yang dilakukan dengan kesalahan terhadap produk yang


mana tidak memenuhi karakteristik kualitas (Wilson, 2010).

2.2.3. Hubungan antar Waste

Gambar 2.1. Hubungan tujuh waste (Rawabdeh, 2005)

Tabel 2.1 Hubungan antar Tujuh Waste


Hubungan Penjelasan
Produksi yang berlebih membutuhkan jumlah bahan baku yang
besar yang menyebabkan persediaan dari bahan baku dan bahan
O_I
setengah jadi memakan banyak ruang, dan dianggap sebagai
persediaan sementara yang tidak ada pelangan yang mungkin untuk
membelinya
Saat operator memproduksi lebih, pemikiran mereka terhadap
O_D kualitas akan berkurang, karena operator berpikir ada cukup banyak
material dapat digantikan untuk material yang cacat
Produksi yang berlebih menuntun terhadap tingkah laku yang tidak
O_M ergonims, yang mana perilaku tersebut tidak sesuai dengan standar
kerja
Produksi yang berlebih menuntun perpindahan yang lebih sering
O_T
berdasarkan aliran material yang berlebih
Saat memproduksi lebih, sumber daya akan digunakan lebih lama
O_W lagi, demikian juga pelanggan akan menunggu lebih lama dan
antrian menjadi lebih banyak
Semakin banyak material yang disimpan dapat mendorong pekerja
I_O untuk bekerja lebih dengan tujuan untuk meningkatkan keuntungan
perusahaan
11

Tabel 2.1 Hubungan antar Tujuh Waste (lanjutan)


Hubungan Penjelasan
Meningkatkan persediaan (bahan baku, bahan setengah jadi, dan
I_D produk jadi) akan meningkatkan kemungkinan terjadinya cacat
hingga kurangnya perhatian dan kondisi yang tidak cocok
Meningkatkan persediaan juga akan meningkatkan waktu pencarian,
I_M
pemilihan, pengambilan, pemindahan, dan penanganan
Meningkatkan persediaan kadang-kadang akan mengganggu gang,
I_T
manjadikan waktu kegiatan produksi melebihi waktu transportasi
Perilaku produksi yang berlebih muncul untuk mengatasi
D_O
kekurangan part bahkan kecacatan
Produksi part yang cacat dibutuhkan pengerjaan ulang yang berarti
D_I meningkatnya jumlah barang setengah jadi sebagai wujud dari
persediaan
Produksi cacat dapat meningkatkan waktu pencaraian, pemilihan,
D_M
pemeriksaan
Memindahkan part yang cacat ke stasiun pengerjaan ulang akan
D_T meningkatkan keseringan transportasi (kembali arah) atau dengan
kata lain transportasi yag boros
Pengerjaan ulang akan membutuhkan tempat kerja sehingga part
D_W
yang baru akan menunggu untuk diproses
Metode kerja yang tidak sesuai berstandar akan menjadikan jumlah
M_I
barang setengah jadi
Kurang terlatihnya dan standarisasi berarti persentase dari kecacatan
M_D
akan meningkat
Saat pekerjaan tidak dilakukan berasarkan standar, pemborosan
M_P proses akan meningkat hingga tersedianya jumlah teknologi yang
dibutuhkan
Saat standar tidak diatur, akan banyak memakan waktu untuk
M_W pencarian, pengambilan, pemindahan, perakitan, yang haslilnya
akan meningkatkan waktu tunggu part
Barang yang diproduksi dari lebih yang dibutuhkan berdasarkan
T_O kapasitas sistem pengangkutan sehingga menimimasi ongkos
pemindahan tiap unit
Tidak cukupnya jumlah material handling equipment menjadikan
T_I
persediaan yang berlebihan yang dapat mempengaruhi proses lain
Material handling equipment digunakan berdasarkan fungsi dalam
pemborosan transportasi. Tidak cocoknya peralatan material
T_D
handling kadang kala dapat menyebabkan kerusakan yang ahirnya
dapat menjadi produk caca
Saat barang ditransportasi kemanapun artinya semakin tinggi
T_M
kemungkinan dari pemborosan pergerakan
Jika peralatan material handling tidak cukup berarti barang akan
T_W
menyebabkan idle atau menunggu untuk dipindahkan
12

Tabel 2.1 Hubungan antar Tujuh Waste (lanjutan)


Hubungan Penjelasan
Agar ongkos dapat dikurangi untuk waktu operasi tiap mesinnya,
P_O mesin dipaksa untuk beroperasi sepenuhnya pada jam operasi yang
akhirnya mengakibatkan produksi berlebih
Menggabungkan operasi pada satu lini akan menghasilkan secara
P_I langsun untuk mengurangi jumlah barang setengah jadi dikarenakan
untuk menghilangkan buffer/penyangga
Jika mesin tidak diperbaiki dengan benar makan barang cacat akan
P_D
terjadi
Teknologi yang baru dari beberapa proses dengan kurangnya
P_M
pelatihan akan menciptkan pemborosan pergerakan
Saat penggunaan teknologi yang tidak sesuai, waktu pengaturan dan
P_W penghentian yang berulang akan mengakibatkan waktu tunggu yang
lebih lama
Saat sebuah mesin menunggu karena pemasok sedang melayani
W_O pelanggan lain, mesin tersebut kadang kala akan dipaksa untuk
berproduksi lebih, dan terus menerus beroperasi
Menunggu berarti ada banyak barang yang dibutuhkan pada suatu
W_I
titik, apakah itu bahan baku, barang setengah jadi, atau barang jadi
Menunggu barang mungkin meyebabkan kecacatan selama berada
W_D
dikondisi yang tidak cocok
(Sumber : Rawabdeh (2003), hal 806-807)

2.3. Big Picture Mapping (BPM)


Big picture mapping adalah sebuah tool yang umum digunakan pada lean
manufacturing untuk mengidentifikasi waste dalam proses manufaktur pada sebuah
perusahaan (McWilliams dan Tetteh, 2008). Big picture map adalah teknik yang
menyertakan seluruh langkah-langkah dari proses pada suatu tempat yang
ditunjukkan dengan sebuah gambaran besar dari lantai produksi dari pada proses
tersendiri dan mengembankan masing-masing area pada lini produksi yang
tujuannya digunakan untuk menarik perhatian agar membedakan wastes serta
mengeliminasi wastes tersebut (Saraswat, 2015). Menurut Rahani (2012) big
picture mapping (BPM) merupakan salah satu kunci dari lean tools yang digunakan
untuk mengidentifikasi peluang untuk berbagai jenis teknik lean. Perbedaan
sebelum dan sesudah penggunaan lean production menginisiasi para manajer dalam
menentukan keuntungan yang potensial seperti mengurangi lead time produksi dan
inventori work in process. BPM juga melibatkan keseluruhan proses baik value
added maupun non-value added untuk dianalisa dan sebagai visual tool membantu
13

mengetahui waste yang tersembunyi serta sumber dari waste tersebut. BPM
digunakan untuk mendokumentasi bagaiman proses dari material secara
keseluruhan pada lantai produksi.

Gambar 2.2 Big picture map (Singh, dkk, 2010)

Menurut Singh, dkk (2010, hal 162) penggambaran sebuah big picture
mapping digambarkan sebagaimana proses-proses yang saat ini sedang dilakukan.
Proses tersebut dilakukan berdasarkan jalannya aliran-aliran proses produksi yang
sebenarnya. Membuat aliran material pada big picture map harus selalu dimulai
dengan proses yang paling berhubungan dengan pelanggan, banyak kasus terjadi
seperti pada departemen pengiriman dan selanjutnya menuju proses produksi awal.
Aliran material digambar pada bagian bawah peta. Masing-masing proses
disertakan seluruh informasi penting seperti lead time, cycle time, pergantian waktu,
tingkat inventori, dll. Tingkat inventori pada peta harus sesuai pada waktu tersebut
dan bukan rata-rata dikarenakan kepentingannya untuk menggunakan gambaran
sebarnya dari pada rata-rata histori yang disediakan perusahaan. Aspek kedua dari
big picture map adalah aliran informasi yang mengindikasikan berapa banyak
masing-masin proses akan melakukan proses yang bersifat value adding terhadap
produk akhir. Aliran informasi digambarkan pada bagian atas peta dari kanan ke
kiri dan dihubungkan ke aliran material yang sebelumnya sudah digambar. Setelah
14

menyelesaikan peta, timeline digambarkan pada bagian bawah kotak proses yang
menunjukkan lead time produksi, yang mana waktu yang diperlukan dari suatu
produk tertentu pada lantai produksi mulai dari ketangan hingga selesai. Kemudian
waktu untuk value adding juga ditambahkan. Waktu tersebut menjelaskan jumlah
waktu proses untuk masing-masing proses. Lead times dihitung dengan cara waktu
komponen yang akan menunggu pada setiap mesin dijumlahkan dengan waktu
tunggu selesai untuk seluruh proses. Big picture map pada lantai produksi
ditunjukkan seperti pada gambar 2.2.

2.3.1. Bagian-bagian dari Big Picture Mapping


Menurut Nash dan Poling (2008) big picture map dibagi menjadi tiga bagian
utama antara lain :
1. Aliran proses produksi atau aliran material
Aliran proses/material ini biasanya terletak di antara aliran informasi dan
timeline. Aliran proses biasanya digambar dari kiri ke kanan. Subtask
atau subproses dan paralel proses digambar dengan bentuk yang identik
dibawah aliran utama. Aliran proses ini dapat terlihat proses mana yang
memiliki subtask dan proses mana yang paralel dengan proses lainnya.
2. Aliran komunikasi/informasi
Aliran informasi pada big picture map biasanya terletak di bagian atas.
Adanya aliran informasi ini dapat mengetahui seluruh jenis informasi dan
komunikasi baik formal maupun informal yang terjadi dalam value
stream. Aliran informasi ini dapat melacak informasi mana yang
sebenarnya tidak perlu dan menjadi non-value added komunikasi yang
tidak memberikan nilai tambah bagi produk itu sendiri. Value stream
adalah urutan aktivitas yang bekerja bersama-sama untuk memproduksi
dan mengantarkan barang serta melayanai pemesanan pelanggan, dari
awal hingga akhir berdasarkan elemen dasar dari produk (Ruffa, 2008).
Menurut Rother and Shook (2003) value stream adalah seluruh aktivitas
(baik value added ataupun non-value added) yang saat ini diperlukan
untuk melalui aliran utama untuk setiap produk yakni : (1) aliran
15

produksi dari bahan baku hingga ke tangan pelanggan, dan (2) rancangan
aliran dari konsep hingga dijalankan.
3. Garis waktu/jarak tempuh.
Pada bagian bawah BPM biasanya terdapat serangkaian garis yang
mengandung informasi penting dalam BPM tersebut dan biasa disebut
sebagai timelines. Kedua garis dalam timelines ini digunakan sebagai
dasar perbandingan dari improvement yang akan diimplementasikan.
Garis yang pertama yang berada disebelah atas disebut sebagai
production lead time (PLT)/process lead time/lead time. PLT ini adalah
waktu yang dibutuhkan produk dalam melewati semua proses dari raw
material sampai ke tangan customer dan biasanya dalam satuan hari. PLT
yang berada tepat dibawah jeda antar proses ini dijumlahkan menjadi
total PLT yang diletakan diakhir proses. Garis yang kedua yang berada
disebelah bawah merupakan cycle time semua proses yang ada dalam
aliran material dan ditulis diatas garis tepat dibawah prosesnya. Total dari
seluruh cycle time ini disebut total cycle time dan ditulis pada garis akhir
proses dibawah total PLT. Garis yang terakhir yang terletak dibawah
timelines adalah jarak tempuh yang merupakan jarak yang ditempuh oleh
produk, operator, electronic forms sepanjang aliran proses produksi.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yakni mengenai lead time
produksi, value added time, dan production cycle efficiency (Parihar, 2012, hal 4).
1. Cycle time adalah waktu aktual yang diperlukan untuk menyelesaikan
sebuah komponen pada suatu stasiun. Cycle time menjelaskan berapa lama
waktu yang digunakan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dari awal
hingga akhir. Sebagai contoh perakitan komponen atau menjawab telepon
pada customer service. Cycle time selalu kurang dari atau sama degan takt
time.
2. Production lead time (PLT) menunjukkan total waktu value added dan
non-value added yang digunakan suatu produk untuk melewati seluruh
value stream. PLT sering disebut dengan waktu “call to cash” karena PLT
16

membantu untuk mengerti antara waktu pemesanan dengan waktu


penerimaan pembayaran untuk barang-barang yang dikirim
3. Takt time dari Jerman yang berarti damai atau ritme. Takt time adalah
maksimum waktu yang tersedia untu menyelesaikan komponen dalam satu
stasiun sebagai permintaan pelanggan. Dalam maufaktur istilah takt time
dihitung berdasarkan permintaan pelanggan. Takt time adalah kecepatan
pada masing-masing part yang harus diproses atau dirakit dengan tujuan
memuaskan pelanggan yang mana takt time adalah inti dari sistem lean.
Takt time tidak dapat diukur menggunakan stopwatch. Namun hanya bisa
dihitung dengan cara membagu jumlah yang tersedia dengan permintaan
pelanggan.

2.3.2. Simbol-simbol dalam Big Picture Mapping


Menurut Rother dan Shook (2003) big picture mapping pada umumnya
menggunakan simbol-simbol yang ditunjukka pada tabel 2.2
Tabel 2.2 Simbol-simbol big picture mapping
Simbol Nama Simbol Keterangan
Seluruh proses harus diberikan label, juga
Proses manufaktur digunakan untuk departemen seperti
production control
Digunakan untuk menunjukkan pelanggan,
Sumber luar supplier, sumber lain diluar proses
manufaktur
Digunakan untuk menyimpan informasi
Kotak data megenai proses manufaktur, departemen,
pelangggan, dll

Inventori Jumlah dan waktu harus disertakan

Truk pengiriman Sertakan frekuensi pengiriman

Material yang sudah diproduksi dan


Pergerakan
dipindahkan pada sebelum proses
produksi material
selanjutnya yang memerlukan, biasanya
(push)
berdasarkan jadwal
Pergerakan produk
jadi ke pelanggan
17

Tabel 2.2 Simbol-simbol big picture mapping (lamjutan)


Simbol Simbol Simbol

Inventori part yang terkontrol yang


Supermarket digunakan untuk produksi sesuai jadwal
pada proses awal (upstream process)

Penarikan material, biasanya dari


Penarikan
supermarket
Pengiriman jumlah
Indikasi bahwa jumlah alat yang terbatas
material yang
dan memastikan proses dari aliran material
terkontrol diantara
adalah FIFO. Jumlah maksimal harus
urutan proses
disertakan
“first-in-first-out”
Aliran informasi Sebagai contoh jadwal produksi atau
manual jadwal pengiriman
Aliran informasi Sebagai contoh pertukaran informasi
elektronik melalui alat elektronik
Informasi Menjelaskan aliran informasi
“Satu kanban tiap kontainer”. Kartu atau
Kanban produksi
perangkat yang menyatakan sebuah proses
(garis putus
dengan menyertakan apa dan jumlah yang
menunjukkan jalur
dapat diproduksi serta memberikan ijin
kanban)
untuk berproduksi
Kartu atau perangkat yang
menginstruksikan untuk menangani dan
Kanban tarik
mengirimkan part. Sebagai contoh dari
supermarket menuju proses pemakaian
“Satu kanban tiap batch”. Tanda disaat
titik pemesanan ulang dicapai dan batch
lain harus diproduksi. Digunakan disaat
Sinyal kanban
proses pemasokan harus dilakukan dalam
batch tersebut dikarenakan perlunya
pergantian
(Sumber : Rother dan Shook (2003))

2.4. Analytical Networking Process (ANP)


Menentukan sebuah keputusan dengan baik haruslah bagi pengambil
keputusan untuk berhati-hati dan seksama sehingga dapat menghasil suatu
keputusan yang sesuai dengan kondisi yang ada. Perlu bagi seeorang pegambil
keputusan dalam menganalisa dalam menetukan metode yang digunakan dengan
melihat kategori dan kondisi yang sudah ditetapkan.
18

Banyak beberapa metode yang dapat digunakan untuk menentukan suatu


keputusan, namun metode-metode tersebut memiliki krakteristik, kekuranga dan
kelebihan masing-masing. Pada dasarnya ANP salah satu metode yang digunakan
dalam permasalahan pegambilan keputusan yang mana untuk menentukan suatu
keputusan tersebut akan dipertimbangkan berdasarkan beberapa kriteria atau
kategori yang pada umumya memiliki sturktur jaringan/network. Jika kriteria-
kriteria tersebut terstruktur secara networking maka metode ANP dapat diginakan
untuk menentukan sebuah keputusan secara objektif.
Menurut Ceric, dkk (2013) analytic network process adalah metode
perkembangan dari analytic hierarchy process yang dapat memberikan
perbandingan kriteria yang saling mempengaruhi terhadap alternatif-alternatif, dan
perbandingan diantara masing-masing alternatif yang menjadi tujuan dari sebuah
struktur hierarki. Interdependance dari sebuah jaringan merupakan sebuah model
yang lebih baik dari masalah yang komplesks karena pada umumnya permasalahan
dalam kehidupan sehari-hari bukan merupakan hubungan yang linier selama
feedback memberikan keputusan yang tepat dalam menentukan prioritas dari
elemen-elemen sehingga pengambilan keputusan menjadi lebih berkualitas. Ada
beberapa perbedaan metode untuk menyelesaikan masalah multi criteria decision
making. AHP dan ANP merupakan metode yang dikenalkan oleh Thomas L. Saaty
yang menyatakan bahwa AHP mencoba memecahkan masalah berdasarkan model
hierarki, sedangkan ANP digunakan untuk meyelesaikan masalah yang sangat
kompleks yang tidak dapat dimodelkan secara hierarki. Tingkat kekompleksian ini
terjadi dikarenakan pengaruh dari masing-masing kriteria memberikan efek
terhadap alternatif (Sadeghi, dkk, 2012). Bagaimanapun juga, beberapa masalah
pengambilan keutusan tidak dapat disusun secara hierarki karena adanya
keterikatan dan dependence dari elemen pada level yang lebih tinggi dengan elemen
pada level yang lebih rendah (Saaty (1996) dalam Wan, dkk (2013))
19

2.4.1. Struktur Analytical Networking Process

Gambar 2.3 Perbedaan struktur hierarki linier denan jaringan umpan balik
(Saaty dan Vargas, 2013, hal 8)
Menurut Saaty dan Vargas (2013) Analytic Network Process memiliki
struktur feedback (umpan balik) yang lebih terlihat seperti network daripada
hirarki. Hal inilah yang membedakan ANP dengan AHP. Ketika struktur
tersebut tidak memiliki umpan balik, maka struktur ANP akan seperti AHP,
sehingga dapat dikatakan bahwa AHP merupakan contoh kasus pada ANP.
Dengan feedback, alternatif-alternatif dapat bergantung/terikat pada kriteria
seperti pada hierarki tetapi dapat juga bergantung/terikat pada sesama
alternatif. Lebih jauh lagi, kriteria-kriteria itu sendiri dapat tergantung pada
alternatif-alternatif dan pada sesama kriteria (lihat gambar 2.3). Sementara
itu, feedback meningkatkan prioritas yang diturunkan dari judgements dan
membuat prediksi menjadi lebih akurat. Oleh karena itu, hasil dari ANP
diperkirakan akan lebih stabil. Dari jaringan feedback pada gambar 2.3 dapat
dilihat bahwa simpul atau elemen utama dan simpul-simpul yang akan
dibandingkan dapat berada pada cluster-cluster yang berbeda. Sebagai
contoh, ada hubungan langsung dari simpul utama C4 ke cluster lain (C2 dan
C3), yang merupakan outer dependence. Sementara itu, ada simpul utama dan
simpul-simpul yang akan dibandingkan. Elemen dalam suatu
komponen/cluster dapat mempengaruhi elemen lain dalam komponen/cluster
yang sama (inner dependence), dan dapat pula mempengaruhi elemen pada
20

cluster yang lain (outer dependence) dengan memperhatikan setiap kriteria.


Yang diinginkan dalam ANP adalah mengetahui keseluruhan pengaruh dari
semua elemen. Oleh karena itu, semua kriteria harus diatur dan dibuat
prioritas dalam suatu kerangka kerja hierarki kontrol atau jaringan,
melakukan perbandingan dan sintesis untuk memperoleh urutan prioritas dari
sekumpulan kriteria ini

Gambar 2.4 Jenis Komponen dalam Jaringan (Saaty dan Vargas, 2013, hal 9)
Menurut Saaty dan Vargas (2013, hal 9) ada 3 jenis komponen yang
terdiri dari source, sink, dan transient. Jenis komponen Source tidak memiliki
anak panah masuk (C1), komponen sink tidak mempunyi anak panah keluar
(C2), sedangkan hanya komponen transient yang mempunyai arah panah
masuk dan keluar (C3). Sebagai tambahan (C4) merupakan siklus dari dua
komponen dikarenakan kedua kluster tersebut saling memiliki umpan balik.
Inner dependance merupakan hubungan yang memiliki dependance terhadap
komponen itu sendiri. Outer dependance adalah hubungan yang berada
diantara satu komponen dengan komponen lain. Sebagai contoh dependance
antara imput-output dari material yang berada di suatu industri. Tenaga listrik
yang memasok untuk perusahaan lain.
Suatu studi yang dilakukan oleh Ascarya (2005) yang dikutip dalam
Rusydiani dan Devi (2013) menyatakan bahwa terdapat beberapa bentuk
jaringan dalam ANP. Beberapa bentuknya antara lain dapat berupa hierarki,
holarki, jaringan analisa BCR (benefit-cost ratio), dan jaringan secara umum.
21

1. Hirarki

Gambar 2.5 Struktur Hierarki Linier


(Ascarya (2005) dalam Rusydiani dan Devi (2013, hal 25))
Bentuk jaringan yang paling sederhana adalah hierarki linier yang juga
dipergunakan dalam AHP. Secara umum struktur hierarki linier berupa
cluster-cluster dengan level tertinggi berupa tujuan, kemudian kriteria
(dan sub-kriteria kalau ada), dan alternatif sebagai cluster pada level
terendah. Secara umum struktur hiererki linier dapat dibaca pada gambar
2.5.
2. Holarki

Gambar 2.6 Struktur Holarki


(Ascarya (2005) dalam Rusydiani dan Devi (2013, hal 25))
Bentuk jaringan kedua dalam ANP adalah holarki. Jaringan holarki
merupakan jaringan dimana elemen (atau elemen-elemen) dalam cluster
pada level yang paling tinggi dependen terhadap elemen (atau elemen-
elemen) dalam cluster pada level yang paling rendah, sehingga terdapat
garis hubungan antara cluster level terendah dengan cluster level tertinggi.
Secara umum struktur jaringan holarki dapat dibaca pada gambar 2.6.
22

3. Jaringan Analisa BCR (Benefit-Costs Ratio)

Gambar 2.7 Struktur Benefit Costs Ratio


(Ascarya (2005) dalam Rusydiani dan Devi (2013, hal 26))
Bentuk jaringan ketiga dalam ANP adalah jaringan analisa BCR. Salah
satu bentuk sederhananya adalah jaringan pengaruh (impact). Jaringan
pengaruh mempunyai dua jaringan terpisah untuk pengaruh positif dan
pengaruh negatif. Secara umum struktur jaringan pengaruh BCR dapat
dibaca pada gambar di bawah. Setelah dihasilkan bobot untuk masing-
masing alternatif pada kedua jaringan, benefit-cost ratio (BCR) masing-
masing alternatif dihitung dengan membagi bobot pengaruh positif
terhadap bobot pengaruh negatif. Angka terbesar BCR merupakan
kebijakan dengan prioritas tertinggi yang diusulkan Secara umum bentuk
jaringan ini dapat dilihat pada gambar 2.7.
4. Jaringan Umum

Gambar 2.8 Struktur Jaringan Umum


(Ascarya (2005) dalam Rusydiani dan Devi (2013, hal 26))
Bentuk jaringan keempat dalam ANP adalah jaringan yang tidak memiliki
bentuk khusus. Ada yang sangat sederhana, namun struktur jaringan
umum ini dapat juga berbentuk jaringan yang kompleks yang melibatkan
23

banyak cluster, dependensi, dan feedback. Secara umum struktur jaringan


umum yang kompleks dapat dibaca pada gambar 2.8.

2.4.2. Konsep Dasar Analytical Networking Process


Suatu studi yang dilakukan oleh Ascarya (2005) yang dikutip dalam
Rusydiani dan Devi (2013, hal 18) menyatakan bahwa Analytic Network
Process (ANP) memiliki tiga konsep dasar, yaitu dekomposisi, penilaian
komparasi, dan sintesis dari prioritas.
1. Prinsip dekomposisi, yaitu diterapkan untuk menstrukturkan masalah
yang kompleks menjadi kerangka hierarki atau kerangka ANP yang
terdiri dari jaringan-jaringan cluster.
2. Prinsip penilaian komparasi diterapkan untuk membangun
membandingan pasangan (pairwise comparison) dari semua kombinasi
elemenelemen dalam kluster dilihat dari kluster induknya.
Pembandingan pasangan ini digunakan untuk mendapatkan prioritas
local dari elemen-elemen di dalam suatu cluster dilihat dari cluster
induknya.
3. Prinsip komposisi hierarkis atau sintesis diterapkan untuk mengalikan
prioritas lokal dari elemen-elemen dalam cluster dengan prioritas global
dari elemen induk, yang akan menghasilkan prioritas global seluruh
hierarki dan menjumlahkannya untuk menghasilkan prioritas global
untuk elemen level terendah (biasanya merupakan alternatif).

2.4.3. Tahap Pengerjaan Analytical Networking Process


Menurut Chung, dkk (2005) menjelaskan tahapan-tahapan yang harus
dilakukan untuk mengerjakan ANP, yaitu ada 4 tahap antara lain:
1. Mengkonstruksikan Model
Konstruksi model dibuat berdasarkan masalah yang ada, sehingga perlu
dilakukan pendeskrispsian masalah secara jelas, dan membentuknya ke
dalam jaringan. Pembuatan jaringan dapat dilakukan dengan meminta
pendapat para ahli melalui brainstorming. Elemen, cluster, alternatif, dan
24

hubungan yang terjadi antar lemen (inner dependence dan outer


dependence) ditentukan pada tahap ini.
2. Membuat Matriks Perbandingan Berpasangan dan Vektor Prioritas
Perbandingan berpasangan pada ANP dilakukan dengan
membandingkan tingkat kepentingan setiap elemen terhadap kriteria
kontrolnya. Cluster juga diperbandingkan berdasarkan kontribusinya
terhadap tujuan model. Untuk ketergantungan elemen, hubungan antar
elemen diperbandingkan melaui eigenvector. Ketika terjadi hubungan
outer dependence, maka cluster yang berhubungan juga
diperbandingkan. Perbandingan berpasangan dilakukan dengan
menggunakan skala ANP 1-9 (tabel 2.3).
Tabel 2.3 Skala Numerik Analytical Networking Process
Nilai
Definisi Keterangan
Numerik
Dua aktivitas berpengaruh sama
1 Sama penting
terhadap tujuan
Satu aktivitas dinilai sedikit lebih
3 Sedikit lebih penting berpengaruh dibandingkan
aktivitas lainnya
Satu aktivitas dinilai lebih
5 Lebih penting berpengaruh dibandingkan
aktivitas lainnya
Satu aktivitas dinilai sangat lebih
7 Sangat lebih penting berpengaruh dibandingkan
aktivitas lainnya
Satu aktivitas dinilai mutlak lebih
9 Mutlak lebih penting berpengaruh dibandingkan
aktivitas lainnya
2, 4, 6, 8 Nilai tengah
(Sumber : Saaty (2005) dalam Abastabte, dkk (2012))
Proses matrik perbandingan berpasangan menggunakan perhitungan
berdasarkan elemen hasil dari perbanding yang dapat dilihat pada rumus
(2.1) (Saaty, 2013)
25

(2.1)

Jika perbandingan berpasangan telah dilaksanakan seluruhnya,


selanjutnya vektor prioritas W (yang disebut eigenvector) dihitung
dengan rumus (Saaty, 1988, hal 50) :
A . W = λmax . W (2.2)
Atau jika dijadikan matriks (Saaty, 2008) :

(2.3)
Dimana A adalah matriks perbandingan berpasangan dan λmax atau n
adalah eigen value terbesar dari A. Eigen vector merupakan bobot
prioritas matriks yang selanjutnya digunakan dalam penyusunan
supermatriks.
3. Menghitung Rasio Konsistensi
Rasio konsistensi adalah rasio yang menyatakan apakah penilaian yang
diberikan oleh para expertise konsisten/tidak. Indeks konsistensi
(Consistency Index – CI) suatu matriks perbandingan dihitung dengan
rumus (Saaty, 1988, hal 50):
λ𝑚𝑎𝑥 −𝑛
𝐶𝐼 = (2.4)
𝑛−1

λmax adalah eigenvalue terbesar dari matriks perbandingan dan n adalah


jumlah item yang diperbandingkan. Rasio konsistensi diperoleh dengen
membandingkan indeks konsistensi dengan nilai dari bilangan indeks
26

konsistensi acak (Random consistency index/RI), sebagai berikut (Saaty


(1991) dalam Ergu, dkk (2014, hal 59)):
𝐶𝐼
𝐶𝑅 = < 0,1 (2.4)
𝑅𝐼

Menurut Saaty (1993) menyatakan bahwa untuk mengukur konsistensi


secara menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui rasio konsistensi.
Tabel 2.4 Indeks Konsistensi Acak
n 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
RI 0 0 0.52 0.89 1.11 1.25 1.35 1.4 1.45 1.49
(Sumber : Saaty (1991) dalam Ergu, dkk (2014, hal 59))
Nilai rasio konsistensi harus 10 persen atau kurang. Jika ini lebih dari 10
persen, maka pertimbangan itu mungkin lebih acak atau mungkin perlu
diperbaiki. Tetapi jika nilai CR kurang dari 10 persen, maka dapat dinilai
bahwa penilaian yang diberikan oleh para expertise sudah konsisten
(Saaty, 1993) Sedangkan nilai RI dapat dilihat pada tabel 2.4
4. Membentuk Supermatriks
Supermatriks adalah matriks yang terdiri dari sub sub matriks yang
disusun dari suatu set hubungan antara dua level yang terdapat dalam
model. Eigenvector yang diperoleh melalui perbandingan berpasangan
ditempatkan pada kolom supermatriks yang menunjukkan pengaruh
dengan mempertimbangkan kriteria kontrol dari elemen suatu komponen
pada elemen tunggal dari komponen yang sama atau berbeda yang
terdapat di bagian atas supermatriks. Terdapat tiga tahap supermatriks
yang harus diselesaikan pada model ANP, yaitu:
- Unweighted supermatrix. Supermatriks ini berisi eigenvector yang
dihasilkan dari keseluruhan matriks perbandingan berpasangan dalam
jaringan Setiap kolom dalam unweighted supermatriks berisi
eigenvector yang berjumlah satu pada setiap clusternya, sehingga
secara total satu kolom akan memiliki penjumlahan eigenvector lebih
dari 1.
- Weighted supermatrix. Supermatriks ini diperoleh dengan mengalikan
seluruh eigenvector dalam unweighted supermatrix dengan bobot
clusternya masingmasing.
27

- Limit matrix. Matriks limit adalah supermatriks yang berisi bobot


prioritas global dalam weighted supermatrix secara konvergen dan
stabil. Nilai ini diperoleh dengan memangkatkan weighted
supermatrix dengan 2k+1, dimana k adalah suatu bilangan yang
besar dengan nilai yang tidak ditentukan
5. Memilih alternatif terbaik
Jika supermatriks sudah dibuat pada langkah 4 untuk seluruh network,
maka bobot prioritas dari alternatif dapat ditemukan di dalam kolom
suatu alternatif berdasarkan supermatriks yang sudah dinormalisasi. Jika
supermatriks hanya membandingkan kluster yang saling berhungan,
perhitungan tambahan harus dibuat untuk memperoleh prioritas secara
keseluruhan dari beberapa alternatif. Sebuah alternatif yang mempunyai
prioritas terbesar secara keselurahan harus dipilih, seperti menentukan
alternatif terbaik dalam perhitungan operasi matriks

2.4.4 Kekurangan dan Kelebihan Analytical Networking Process


Menurut Ravi dkk (2005), sebagai salah satu teknik pengambilan keputusan
multi kriteria, ANP memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari
ANP antara lain :
- Dapat memperhitungkan criteria yang bersifat tangible dan
intangible
- Dapat memodelkan suatu hubungan yang lebih kompleks antar level
keputusan dan kriteria
- Mengizinkan adanya hubugan saling bergantung antar elemen
- Sangat berguna untuk mempertimbangkan kriteria yang bersifat kualitatif
dan kuantitatif serta hubungan antar kriteria yang bersifat nonlonier
Adapun ANP memiliki kekurangan sebagai berikut:
- Untuk menyelesaikan ANP memerlukan waktu yang cukup lama dan harus
dikerjakan secara intensif
- ANP memerlukan perbandingan berpasangan yang lebih banyak dari AHP
28

- Keakuratan perbandingan berpasangan hanya bergantung pada peniaian


expertise, sehingga memungkinkan hasil yang tidak valid ketika penilai
terlau bersifat subjektif.

2.5. Value Stream Analysis Tools (VALSAT)


Tabel 2.5 The Seven Stream Mapping Tools
Mapping Tools
Supply Physical
Process Production Quality Demand Decision
chain structure
activity variety filter amplification point
Wastes/structures response (a) volume
mapping funnel mapping mapping anays
marix (b)value
Overproduction L M L M M
Waiting H H L M M
Transport H L
Innappropriate H M L L
processing
Unnecessary M H M H M L
inventory
Unnecessary H L
motion
Defects L H
Overal L L M L H M H
structure
H = tingkat korelasi dan kegunaan tinggi (high)
Catatan : M = tingkat korelasi dan kegunaan sedang (medium)
L = tingkat korelasi dan kegunaan rendah (low)

(Hines dan Rich, 1997, hal 50)


Manurut Hines dan Rich (1997, hal 50) pada tabel 2.5 menunjukkan tingkat
korelasi dan kegunaan dari tiap value stream tools terhadap jenis waste. Pemakaian
tools tersebut didasarkan pada pemilihan yang tepat berdasarkan kondisi
perusahaan itu sendiri. Agar lebih mudah maka dapat dilakukan berdasarkan sistem
pembobotan yang sudah ditentukan. Pemilihan tools yang akan digunakan dapat
dilakukan dengan cara mengetahui total bobot untuk setiap tool. Mengetahui total
bobot tersebut dengan cara memberikan rating terhadap masing-masing tools
berdasarkan mengidentifikasi berbagai jenis waste yang mempengaruhi terhadap
produktivitas perusahaan. Hal ini dapat diketahui dengan cepat berdasarkan tingkat
korelasi yang diberikan pada tabel 2.1. sehingga tingkat korelasi tinggi (high) setara
dengan nilai 9 poin, sedang (medium) dengan nilai 3 poin, dan rendah (low) dengan nilai
1 poin, namun jika pada tool tersebut tidak memiliki tingkat korelasi maka tidak akan
29

diberikan nilai (0 poin). Penilaian dilakukan dengan mengalikan bobot masing-masing


waste yang telah ditentukan dengan masing-masing poin pada tools tersebut. Tool yang
mempunyai nilai paling tanggi menyatakan bahwa tool tersebutlah yang layak
digunakan. Sebaiknya pemakaian tool tidak hanya dipilih 1 tool saja, namun paling
tidak menggunakan 2 tools yang berarti memiliki tingkat korelasi sedang (medium).
Hal ini akan memastikan masing-masing waste/structure cukup dapat ditangani
dalam mapping process tersebut. (Hines dan Rich, 1997, hal 61)
Pada prinsipnya value stream analysis tool digunakan sebagai alat bantu
untuk memetakan secara detail aliran nilai (value stream) berfokus pada value
adding process. Detail mapping ini kemudian dapat digunakan untuk menemukan
penyebab waste yang terjadi (Hines dan Rich, 1997, hal 51) :
1. Process Activity Mapping (PAM)
Tool ini dipergunakan untuk mengidentifikasi lead time dan
produktivitas baik aliran produk fisik maupun aliran informasi, tidak
hanya dalam ruang lingkup perusahaan maupun juga pada area lain
dalam supply chain. Konsep dasar dari tools ini adalah memetakan setiap
tahap aktivitas yang terjadi mulai dari operasi, transportasi, inspeksi,
delay, dan storage, kemudian mengelompokkannya ke dalam tipe-tipe
aktivitas yang ada mulai dari value adding activities (VA), necessary but
non-value adding activities (NNVA), dan non-value adding activities
(NVA). Tujuan dari pemetaan ini adalah untuk membantu memahami
aliran proses, mengidentifikasikan adanya pemborosan, mengidentifikasi
apakah suatu proses dapat diatur kembali menjadi lebih efisien,
mengidentifikasikan perbaikan aliran penambahan nilai. Ada lima tahap
pendekatan dalam process activity mapping secara umum :
- Memahami aliran proses
- Mengidentifikasi pemborosan
- Mempertimbangkan apakah proses dapat disusun ulang pada
rangkaian yang lebih efisien
- Mempertimbangkan aliran yang lebih baik, melibatkan
aliran layout dan rute transportasi yang berbeda
30

- Mempertimbangkan apakah segala sesuatu yang telah


dilakukan pada tiap stage benar-benar perlu dan apa yang
akan terjadi jika hal-hal yang berlebihan tersebut dihilangkan

2. Supply Chain Response Matrix (SCRM)


Merupakan grafik yang menggambarkan hubungan antara
inventori dan lead time pada jalur distribusi, sehingga dapat diketahui
adanya peningkatan maupun penurunan tingkat persediaan pada waktu
distribusi pada tiap area supply chain. Dari fungsi yang diberikan,
selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
manajemen untuk menaksir kebutuhan stok apabila dikaitkan
pencapaian lead time yang pendek. Tujuannya untuk memperbaiki dan
mempertahankan tingkat pelayanan setiap jalur distribusi dengan
biaya rendah.

3. Production Variety Funnel (PVF)


Merupakan teknik pemetaan visual dengan memetakan jumlah
variasi produk pada tiap tahapan proses manufaktur. Tools ini dapat
digunakan untuk mengidentifikasikan titik dimana sebuah produk generic
diproses menjadi beberapa produk yang spesifik. Selain itu, tools ini juga
dapat digunakan untuk menunjukkan area bottleneck pada desain proses
untuk merencanakan perbaikan kebijakan inventori.

4. Quality Filter Mapping (QFM)


Merupakan tool yang digunakan untuk mengidentifikasi letak
permasalahan cacat kualitas pada rantai suplai yang ada. Tools ini
mampu menggambarkan 3 tipe cacat pada kualitas, antara lain :
a. Product defect, yakni cacat fisik produk yang lolos ke customer
karena tidak berhasil diseleksi pada saat proses inspeksi
b. Scrap defect, sering juga disebut sebagai internal defect dimana
cacat masih berada dalam internal perusahaan, sehingga berhasil
diseleksi dalam tahap inspeksi
31

c. Service defect, permasalahan yang dirasakan pelanggan yang


berkaitan dengan cacat kualitas dalam hal pelayanan. Hal yang
paling utama berkaitan dengan cacat kualitas pelayanan adalah
ketidak tepatan waktu pengiriman (terlambat atau terlalu awal).
Selain itu dapat disebabkan karena permasalaha dokumentasi,
kesalahan proses pengemasan maupun pemberian label,
kesalahan kuantitas/jumlah, dan permasalahan faktur.

5. Demand Amplificaton Mapping (DAM)


Peta yang digunakan untuk memvisualisasikan perubahan demand
disepanjang rantai suplai. Fenomena ini menganut low of industrial
dynamics, dimana demand yang ditransmisikan disepanjang rantai suplai
melalui rangkaian kebijakan order dan inventori akan mengalami
variasi yang semakin meningkat dalam setiap pergerakannya mulai
dari downstream sampai dengan upstream. Dari informasi tersebut dapat
digunakan dalam pengambilan keputusan dan analisa lebih lanjut baik
untuk mengantisipasi adanya perubahan permintaan mengelola fluktuasi,
serta evaluasi kebijakan inventori.

6. Decision Point Analysis (DPA)


Menunjukkan berbagai pilihan sistem produksi yang berbeda,
dengan trade off antara lead time masing-masing pilihan dengan tingkat
inventori yang diperlukan untuk meng-cover selama proses lead time.
Decision point analysis merupakan titik dalam supply chain dimana
permintaan aktual memberikan kesempatan untuk mem-forecast driven
push.

7. Physical Structure (PS)


Merupakan sebuah tool yang digunakan untuk memahami
kondisi rantai suplai di lantai produksi. Hal ini diperlukan untuk
memahami kondisi industri itu, bagaimana operasinya, dan dalam
mengarahkan perhatian pada area yang mungkin belum mendapatkan
perhatian yang cukup untuk pengembangan.

Anda mungkin juga menyukai