Anda di halaman 1dari 18

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI-TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL, TEORI KONFLIK,

TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK, SERTA TEORI STRUKTURASI

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Sosiologi Pendidikan

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : EKA HIRMAYANI AGUSTINA


NIM : L1C018027
Fakultas&Prodi : FISIPOL/SOSIOLOGI
Semester : 5

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT, yang


telah memberikan nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugasPendidikan Dalam Perspektif Teori-Teori Fungsional
Struktural, Teori Konflik, Teori Interaksionisme Simbolik, Serta Teori
Strukturasi.
Shalawat serta salam tidak lupa kita haturkan kepada junjungan alam
nabi besar kita yaitu Nabi Muhammad SAW, yang telah membimbing umat manusia
menuju jalan yang benar hingga saat ini.
Terima kasih saya sampaikan kepada Bapak Dr. Taufiq Ramdani,
S.Th.I., M.Sos selaku Dosen pengampuh mata kuliah Sosiologi Pendidikan atas
bimbingannya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat waktu.

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat dan menambah wawasan
kepada setiap pembaca. Oleh sebab itu, saya memohon kritik dan saran yang
membangun dari pembaca sebagai materi evaluasi untuk penulisan tugas
berikutnya.

Penulis, Mataram, 11 Oktober 2020

Nama : Eka Hirmayani Agustina


NIM : L1C018027

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I. Pendidikan dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural
1
BAB II. Pendidikan dalam Perspektif Teori Konflik
4
BAB III. Pendidikan dalam Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik
7
BAB IV. Pendidikan dalam Perspektif Teori Strukturasi
10
KESIMPULAN DAN ANALISIS KRITIS
11
DAFTAR PUSTAKA
13
LAMPIRAN

iii
BAB I

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL

Pendidikan mempunyai peranan penting dalam menyiapkan sumber daya


manusia yang mampu berpikir secara kritis dan mandiri sebagai modal dasar
untuk pembangunan manusia seutuhnya yang mempunyai kualitas yang sangat
prima. Upaya pengembangan kemampuan berpikir kritis dan mandiri bagi peserta
didik adalah dengan mengembangkan suatu pendidikan partisipasif.

Dalam perspektif teori struktural fungsional mempunyai relevansi


dengan pemikiran Emile Durkheim Weber, karena dua pakar sosiologi klasik ini
terkenal dalam bidang fungsional struktural. Teori fungsional tidak bisa
dipisahkan dengan pendidikan maupun masyarakat. Pemikiran perspektif
struktural fungsional meyakini bahwa tujuan pendidikan adalah
mensosialisasikan generasi muda menjadi anggota masyarakat untuk dijadikan
tempat pembelajaran, mendapatkan pengetahuan, perubahan perilaku dan
penguasaan tata nilai yang diperlukan agar bisa tampil sebagai bagian dari
warga negara yang produktif (Sunarto, 1993:22). Teori ini menekankan aspek
ketaraturan dan menghindari konflik. Teori ini berpendapat bahwa masyarakat
suatu sistem yang diibaratkan seperti tubuh yang terdiri atas bagian-bagian
yang saling berkait, menyatu antara satu dengan yang lainnya dan masing-
masing mempunyai peran (Ritzer, 2009: 25). Bagian yang satu dengan lainnya
tidak dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lainnya.

Teori ini mempunyai asumsi bahwa setiap struktur dalam sosial,


fungsional terhadap yang lainnya. Fungsi merupakan akibat-akibat yang dapat
diamati menuju adaptasi atau penyesuaian dalam satu sistem. Fungsionalisme
lebih banyak ditujukan kepada fungsi-fungsi dibandingkan dengan motif-motif.

Salah satu karya yang terkenal dari fungsionalisme adalah teori


tentang stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial dianggap sebagai suatu
kenyataan universal untuk mempertahankan keberlangsungan hidup suatu
masyarakat (Langer, 2005: 107). Startifikasi yang dimaksud bukan individu-
individu tetapi posisi yang mengandung prestise yang bervariasi di dalam
masyarakat, sehingga memotivasi masyarakat dan menempatkan orang sesuai
dengan posisi dalam sistem stratifikasi tersebut (Syarbaini dan Rusdiyanta,
2009: 53).

1
Menurut Weber, stratifikasi merupakan kekuatan sosial yang berpengaruh
besar. Seperti halnya dalam sekolah, pendidikan merupakan variabel kelas atau
status. Pendidikan akan mengantar seseorang untuk mendapatkan status yang
tinggi yang menuju ke arah konsumeris yang membedakan dengan kaum buruh.
Namun tekanan disini bukan pada pendidikannya melainkan pada unsur kehidupan
yang memisahkan dengan golongan lain. Menurut Weber, dalam dunia kerja belum
tentu mereka yang berpendidikan tinggi lebih terampil dengan mereka yang
diberi latihan-latihan, namun pada kenyataannya mereka yang berpendidikan
tinggi yang menduduki kelas penting. Jadi, pendidikan seperti dikuasai oleh
kaum elite, dan melanggengkan posisinya untuk mendapatkan status dan
kekuasaannya.

Teori ini menekankan pada fungsi peran dari struktur sosial yang
didasarkan pada konsensus dalam suatu masyarakat. Struktur itu sendiri
berarti suatu sistem yang terlembagakan dan saling berkaitan. Kaitannya
dengan pendidikan, Talcott Parson, mempunyai pandangan terhadap fungsi
sekolah diantaranya:

1. Sekolah sebagai sarana sosialisasi. Sekolah mengubah orientasi


kekhususan ke universitas salah satunya yaitu mainset selain mewarisi
budaya yang ada juga membuka wawasan baru terhadap dunia luar. Selain
itu juga mengubah alokasi seleksi (sesuatu yang diperoleh bukan dengan
usaha seperti hubungan darah, kerabat dekat dan seterusnya) ke peran
dewasa yang diberikan penghargaan berdasarkan prestasi yang
sesungguhnya.
2. Sekolah sebagai seleksi dan alokasi, sekolah memberikan motivasi-
motivasi prestasi agar dapat siap dalam dunia pekerjaan dan sapat
dialokasikan bagi mereka yang unggul.
3. Sekolah memberikan kesamaan kesempatan. Suatu sekolah yang baik
pastinya memberikan kesamaan hak dan kewajiban tanpa memandang siapa
dan bagaimana asal-usul peserta didiknya (Wulandari, 2009: 174-176).

Teori fungsional struktural sampai sekarang masih mempengaruhi dunia


pendidikan meskipun banyak mendapat kritik. Teori ini, masih dianggap up date
dan tentu saja terdapat modifikasi dari para penganutnya. Teoritis struktural
fungsional cenderung melihat fakta sosial memiliki kerapian antar hubungan
dan keteraturan yang sama dengan yang dipertahankan oleh konsensus umum.

2
Dalam pendidikan, suasana kondusif selalu harus dijaga dan menghindari
terjadinya konflik dengan stake holders yang ada di lingkungan sekolah
tersebut.

BAB II

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI KONFLIK

3
Teori konflik berkembang sebagai counter terhadap fungsional
struktural. Teori ini menganggap bahwa masyarakat terdiri dari kelompok-
kelompok dan golongan yang berbeda kepentingan. Konflik ini diharapkan mampu
memperteguh identitas. Sehingga dalam teori konflik dibutuhkan katup pengaman
untuk mengamankan konflik tersebut.

Karl Marx dianggap sebagai orang yang paling banyak memberi sumbangsi
dalam pengembangan teori sosial konflik. Teori konflik Karl Marx didasarkan
pada pemilikan sarana-sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas
dalam masyarakat. Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas
dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar
tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat pada abad ke-19 di Eropa,
terdiri dari kelas pemilik modal atau borjuis dan kelas pekerja miskin
sebagai kelas proletar (Lukacs, 2010: 95-100 dan Umar, 1999: 43-51). Kedua
kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirearkis, kaum borjuis
melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Menurut
Marx eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu (false
conciousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, dan
menerima keadaan apa adanya.

Teori ini berangkat dari asumsi dasar bahwa terjadinya class struggle
antara satu kelompok dengan kelompok lain karena adanya perbedaan kepentingan
maka akan melicinkan jalan terciptanya sebuah masyarakat (Al-Nadwi, 1983: 49-
50 dan Rex, 1985: 150-155). Hal ini dikarenakan suatu masyarakat harus
memilih salah satu kelompok. Dari hasil persaingan perebutan kekuasaan itu
lahir tatanan kelas masyarakat pemenang yang kemudian mampu membentuk tatanan
ekonomi dan peradaban yang maju dalam masyarakat.

Menurut Dahrendorf, dalam setiap kelompok orang berada pada posisi


dominan berupaya mempertahankan status quo, sedangkan orang yang berada pada
posisi marginal atau subordinat berusaha mengadakan perubahan (Ritzer dan
Goodman, 2008: 156). Konflik dapat merupakan proses yang bersifat
instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial.
Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih
kelompok.

4
Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua: pertama, konflik realistis,
konflik ini berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang
terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para
partisipan, dan yang ditujukan pada objek yang dianggap mengecewakan. Kedua,
konflik non realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan
yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling
tidak dari salah satu pihak. Menurut Coser, konflik dapat bersifat fungsional
positif maupun negatif. Fungsional positif apabila konflik melawan struktur.
Dalam kaitan dengan sistem nilai yang ada di masyarakat, konflik dapat
bersifat fungsional apabila menyerang suatu nilai inti (Soetomo, 1986: 35).
Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan-hubungan yang intim,
maka pemisahan (antara konflik realistis dan non realistis) akan lebih sulit
untuk dipertahankan. Semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih
sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk
menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan.

Selanjutnya Coser mengatakan bahwa konflik seringkali disebabkan oleh


adanya kelompok masyarakat lapisan bawah yang semakin mempertanyakan
legitimasi tersebut diakibatkan oleh kecilnya saluran untuk menyampaikan
keluhan-keluhan yang ada (Turner, 1991).

Dalam teori konflik nampak jelas didominasi oleh kaum borjuis sebagai
pemegang kendali maupun kebijakan dan keputusan, mereka dengan mudah
mendapatkan stratifikasi sosial dalam masyarakat, demikian dalam dunia
pendidikan, karena yang dapat mengendalikan adalah status ekonomi.

Dalam stratifikasi sosial kita mengenal bahwa kelas bawah tidak akan
mempunyai dan memperoleh pendidikan dibandingkan dengan kelas menengah dan
kelas tinggi. Contoh dalam hal ini adalah kelas tinggi tidak akan dapat
dipahami oleh kelas tengah dan kelas bawah, dikarenakan pengalaman yang
diperolehnya sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Realita menunjukkan
bahwa pendidikan ditentukan oleh penguasa, sehingga kebijakan untuk
mendapatkan kesempatan dalam mengenyam pendidikan dan keilmuan kurang bahkan
tidak sesuai dengan yang kita harapkan.

Uraian di atas dapat memberikan informasi bahwa pendidikan dalam


struktural konflik melihat bahwa setiap individu di dalam kelas mempunyai

5
perbedaan pendapat, kepentingan dan keinginan yang dapat memunculkan konflik.
Perbedaan merupakan peristiwa yang normal yang sebenarnya dapat memperkuat
struktur sosial. Sehingga ketiadaan konflik bukanlah indikator dari kekuatan
kestabilan suatu hubungan. Pendidikan yang dilaksanakan baik pemerintah
maupun swasta adalah pendidikan yang tidak statis, akan tetapi penuh dengan
dinamika sosial. Konflik yang terjadi dalam pendidikan adalah bagian dari
proses konstruksi pendidikan kearah yang lebih baik.

BAB III

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK

6
Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli di belakang
perspektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting
dalam konsep sosiologi. Teori ini beranggapan bahwa individu adalah objek
yang dapat secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya
dengan individu yang lainnya.

Teori interaksionisme simbolik berasumsi bahwa kehidupan sosial hanya


bermakna pada tingkat individual yang realitas sosial itu tidak ada. Sebagai
contoh, buku bagi seorang berpendidikan merupakan suatu hal yang penting,
namun bagi orang yang tidak mengenyam pendidikan tidak bermanfaat.

Dari sini, dapat dibedakan teori interaksionisme simbolik dengan


teori-teori lainnya. Teori interaksionisme simbolik memandang bahwa ”Arti”
muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah
benda-benda untuk seseorang tumbuh dari cara-cara dimana orang lain bersikap
terhadap orang tersebut. Sehingga interaksi simbolik memandang ”arti”
sebagai produk sosial, sebagai kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktivitas
yang terdefinisi dari individu saat mereka berinteraksi.

Interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan perspektif yang


bersifat sosial-psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan
sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan struktur-struktur sosial, bentuk-
bentuk konkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat
dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakikat interaksi pada
pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial.

Dapat dicontohkan, hubungan seorang guru dengan peserta didik. Dalam


hubungan tersebut ada pola yang telah diatur, peserta didik sebagai orang
yang akan menerima informasi dan guru sebagai orang yang akan melakukan
transformasi pengetahuan. Guna mengetahui keberhasilan peserta didiknya, ia
harus melakukan penilaian. Pandangan peserta didik terhadap dirinya dan
teman-temannya dipengaruhi oleh penilaian guru yang bersangkutan. Lalu
diberilah label atas dasar interpretasi bahwa peserta didik yang duduk di
bangku depan berkelakuan baik, sopan, rajin, dan pintar. Peserta didik yang
berada di baris belakang sepertinya kurang pintar, tidak perhatian terhadap
pelajarannya, dan malas. Sehingga perhatian guru terhadap mereka yang
diinterprestasikan subordinat dalam prestasi belajar akan berbeda. Padahal,

7
dapat saja kemampun semua peserta belajar di satu kelas tidak signifikan
perbedaannya atau mirip (Jones, 2009: 144). Oleh karena itu, dibutuhkan
interaksi langsung dengan melihat dari dekat –tidak sepintas– serta memberi
perlakuan sama yang mendorong peserta didik tersebut mempunyai progres
akademik yang positif sehingga interpretasinya benar dan sesuai dengan fakta
lapangan.

Blumer mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yang


berhubungan dengan meaning, language, dan thought. Premis ini kemudian
mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan diri seseorang dan
sosialisasinya dalam komunitas (community) yang lebih besar, yaitu:

 Meaning (Makna) Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku


seseorang terhadap sebuah obyek atau orang lain ditentukan oleh makna
yang dia pahami tentang obyek atau orang tersebut.
 Languange (Bahasa) Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui
interaksi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna adalah hasil
interaksi sosial. Makna tidak melekat pada obyek, melainkan
dinegosiasikan melaluipenggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk dari
simbol. Oleh karena itu, teori ini kemudian disebut sebagai
interaksionisme simbolik. Berdasarkan makna yang dipahaminya,
seseorang kemudian dapat memberi nama yang berguna untuk membedakan
satu obyek, sifat, atau tindakan dengan obyek, sifat, atau tindakan
lainnya. Dengan demikian premis Blumer yang kedua adalah Manusia
memiliki kemampuan untuk menamai sesuatu.Percakapan adalah sebuah
media penciptaan makna dan pengembangan wacana. Pemberian nama secara
simbolik adalah basis terbentuknya masyarakat. Para interaksionis
meyakini bahwa upaya mengetahui sangat tergantung pada proses
pemberian nama, sehingga dikatakan bahwa Interaksionisme simbolik
adalah cara kita belajar menginterpretasikan dunia.
 Thought (Pemikiran) Premis ketiga Blumer adalah interaksionisme
simbolik menjelaskan proses berpikir sebagai inner conversation,
Secara sederhana proses menjelaskan bahwa seseorang melakukan dialog
dengan dirinya sendiri ketika berhadapan dengan sebuah situasi dan
berusaha untuk memaknai situasi tersebut. Seseorang memerlukan bahasa
untuk berpikir dan berinteraksi secara simbolik. Bahasa merupakan

8
software untuk menjalankan mind.Penganut interaksionisme simbolik
menyatakan bahwa self adalah fungsi dari bahasa. Tanpa pembicaraan
tidak akan ada konsep diri, oleh karena itu untuk mengetahui siapa
dirinya, seseorang harus menjadi anggota komunitas. I adalah kekuatan
spontan yang tidak dapat diprediksi. Ini adalah bagian dari diri yang
tidak terorganisir. Sementara me adalah gambaran diri yang tampak
dalam the looking-glass dari reaksi orang lain.Me hanya dapat dibentuk
melalui interaksi simbolik yang terus menerus mulai dari keluarga,
teman bermain, sekolah, dan seterusnya. Oleh karena itu, seseorang
membutuhkan komunitas untuk mendapatkan konsep dirinya. Seseorang
membutuhkan the generalized other, yaitu berbagai hal (orang, obyek,
atau peristiwa) yang mengarahkan bagaimana kita berpikir dan
berinteraksi dalam komunitas. Me adalah organized community dalam diri
seorang individu.

Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih


kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan
perspektifperspektif sosiologis yang konvensional. Disisi ini masyarakat
tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya bereaksi,
namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan mencipta. Individu
bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis
danberubah, yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah selesai
terbentuk sepenuhnya. Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai
teori maka lebih mudah memahami fenomena sosial melalui pencermatan individu.
Ada tiga premis utama dalam teori interaksionisme simbolis ini, yakni manusia
bertindak berdasarkan makna-makna; makna tersebut didapatkan dari interaksi
dengan orang lain; makna tersebut berkembang dan disempurnakan saat interaksi
tersebut berlangsung.

BAB IV

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI STRUKTURASI

9
Problem hubungan antara manusia dan masyarakat atau tindakan dan
struktur sosial berada pada inti persoalan teori sosial dan filsafat ilmu
sosial (Thompson, 1994:56). Perdebatannya berkaitan diantara mana yang lebih
penting antara individu dan struktur. Biasanya, beberapa pemecahan yang
diambil dititikberatkan pada satu istilah dengan cara mengabaikan yang lain,
baik struktural sosial yang diambil sebagai objek pokok penerapan analisanya
dan alat yang secara efektif justru berlebihan. Atau individu-individu yang
hanya dilihat sebagai unsur pokok dari kelompok aksi dan reaksi sosial. Dalam
teori sosial terdapat pertanyaan yang kadang diajukan sebagai keinginan kuat
untuk membangun analisa yang mapan, seperti pertanyaan “bagaimana” dan
“dengan cara apa” tindakan yang dihasilkan agen-agen individu berkaitan
dengan ciri-ciri struktural masyarakat yang didiami (Thompson, 1984:238).
Teori Strukturasi sebagai bagian dari contoh hasil perdebatan atas hubungan
agen-struktur (di Eropa), dan hubungan makro-mikro (di Amerika) (Ritzer,
203:471-505). Giddens menawarkan konseptualisasi ulang antara ‘makro’ dan
‘mikro’ berkaitan dengan cara bagaimana interaksi dalam konteks pertemuan
muka dilibatkan secara struktural dalam sistem-sistem perentangan ruang dan
waktu yang luas, dengan kata lain, bagaimana sistem-sistem seperti ini
menjangkau sektor-sektor luas dari ruang dan waktu.

Giddens memulai pikirannya dengan mengkritik Fungsionalisme dan


Strukturalisme. Ada 3 kritik Giddens atas Fungsionalisme, pertama,
Fungsionalisme menghilangkan fakta bahwa anggota masyarakat bukanlah orang-
orang dungu. Individu bukan robot yang bergerak berdasarkan naskah. Kedua,
Fungsionalisme merupakan cara berfikir yang mengklaim bahwa sistem sosial
mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi. Dan ketiga, Fungsionalisme membuang
dimensi waktu dan ruang dalam menjelaskan proses sosial. Sementara, terkait
Strukturalisme, Giddens menganggap Strukturalisme terlalu menyingkirkan
subjek (Priyono, 2000:17). Strukturalisme dan Fungsionalisme menekankan
secara kuat keunggulan keseluruhan sosial atas bagian-bagian individualnyanya
(Giddens, 1984:2). Strukturalisme sangat menentang tradisi Hermeneutik yang
dianggap memberi kekuasaan subjektivitas sebagai pusat kebudayaan dan
sejarah.

Teori strukturasi menyatakan bahwa individu adalah agen-agen sosial


dengan kemampuan dapat merombak struktur sosial yang ada. Individu yang
berperan sebagai agen sosial setidaknya memiliki kepribadian kuat sehingga

10
tidak hanya memberi warna terhadap struktur sosial yang ada. Tetapi juga
dapat merubah struktur yang ada. Pendidikan memiliki tujuan untuk membekali
individu dengan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap sehingga mampu
meningkatkan kualitas dirinya. Pendidikanyang berkaitan erat dengan anak didik,
tentu saja dapat dikategorikan sebagai pencetak agen-agen sosial di masa depan.
Anak didik yang berperan sebagai agen sosial perlu dipersiapkan. Tugas keluarga,
guru, sekolah, pemerintah, dan masyarakat berkewajiban untuk melancarkan proses
pencapaian tujuan pendidikan. Keunikan setiap anak didik sudah sepantasnya
dipandang sebagai suatu kelebihan yang dimiliki dalam upayanya menjadi seorang
agen sosial.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan beberapa hal


sebagai berikut:

1. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial


memiliki kerapian antar hubungan dan keteraturan yang sama dengan yang
dipertahankan oleh konsensus umum. Sedangkan teoritisi konflik
cenderung menekankan kekacauan antar fakta sosial, serta gagasan
mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuasaan yang memaksa
dalam masyarakat. Dalam pendidikan, suasana kondusif selalu harus
dijaga dan menghindari konflik dengan stake holders.
2. Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam
pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik
dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan
melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat
struktur sosial. Sehingga ketiadaan konflik bukanlah indikator dari
kekuatan dan kestabilan suatu hubungan. Pendidikan yang dilaksanakan
baik pemerintah maupun suasta adalah pendidikan yang tidak statis,
akan tetapi penuh dengan dinamika sosial. Konflik yang terjadi dalam
pendidikan adalah bagaian dari proses konstruksi pendidikan kearah
yang lebih baik.
3. Teori Interaksionime simboistik berasumsi bahwa kehidupan sosial hanya
bermakna pada tingkat individual yang realitas sosial itu tidak ada.
Sebagai contoh buku bagi seorang berpendidikan merupakan suatu hal

11
yang penting, namun bagi orang yang tidak mengenyam pendidikan tidak
bermanfaat. Dari sini, dapat dibedakan teori interaksionisme simbolis
dengan teori-teori lainnya. Teori interaksionisme simbolis memandang
bahwa “arti” muncul dari proses interaksi sosial yang telah
dilakukan.
4. Teori strukturasi menyatakan bahwa individu adalah agen-agen sosial
dengan kemampuan dapat merombak struktur sosial yang ada. Individu
yang berperan sebagai agen sosial setidaknya memiliki kepribadian kuat
sehingga tidak hanya memberi warna terhadap struktur sosial yang ada.
Tetapi juga dapat merubah struktur yang ada. Pendidikan memiliki
tujuan untuk membekali individu dengan pengetahuan, ketrampilan, dan
sikap sehingga mampu meningkatkan kualitas dirinya. Pendidikanyang
berkaitan erat dengan anak didik, tentu saja dapat dikategorikan sebagai
pencetak agen-agen sosial di masa depan.

ANALISIS KRITIS

Teori sosiologi sangat menarik untuk dijadikan sebagai pisau analisis


untuk memahami berbagai macam realitas sosial yang ada di masyarakat terutama
pendidikan. Teori-teori sosiologi dapat membantu kita mempelajari hubungan
interaksi yang terjadi dalam bidang pendidikan terutama interaksi antara guru
dengan peserta didik, maupun stake holders yang ada di dalamnya. Teori yang
satu dengan yang lainnya akan berbeda pandangan tetapi saling melengkapi satu
sama lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

12
Langer, Beryl. “Emile Durkheim” dalam Peter Beilharz, ed. “Social Theory:
A Guide to Central Thinkers”. Diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko,
Teori-teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filosof
Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Lukacs, Georg. “History and Class Consciousness: Studies in Marxist


Dialectics”. Diterjemahkan oleh Inyiak Ridwan Muzir, Dialektika
Marxis: Sejarah dan Kesadaran Kelas. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group,
2010.

Al-Nadwi, Mas’ud. “al-Isytirâkiyyah wa al-Islâm”. Diterjemahkan oleh


Shuhaib Hasan dan Abdul Gaffar Hasan. Sosialisme dan Islam. Bandung:
Risalah, 1983.

Poloma, Margaret M. “Contemporary Sociological Theory”. Diterjemahkan oleh


Tim Penerjemah Yosogama, Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. “Modern Sociological Theory”.


Diterjemahkan oleh Alimandan. Teori Sosilogi Modern. Jakarta: Kencana,
2008.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Persada,


2009.

Syarbaini, Syahrial dan Rusdiyanta. Dasar-dasar Sosiologi. Yogyakarta: Graha


Ilmu, 2009.

Wulandari, Dewi. Sosiologi Konsep dan Teori. Bandung: Refika Aditama, 2009.

http://www.averroes.or.id/research/teori-interaksionisme-simbolik.html
(diakses pada tanggal 11 Oktober 2020 pukul 14.24 Wita)

http://blog.unila.ac. id/rone/mata-kuliah/interaksionisme-simbolik (diakses


pada tanggal 11 Oktober 202. pukul 14.24 Wita)

Muhammad, Rasyid. Jurnal. PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF TEORI SOSIOLOGI

(diakses pada tanggal 12 Oktober 2020).

13
Giddens, Anthony. 1979. Problematika Utama dalam Teori Sosial; Aksi,
Struktur, dan Kontradiksi dalam Analisis Sosial. Terjemahan oleh
Dariyatno. 2009. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Giddens, Anthony. 1984. Teori Strukturasi Dasar-Dasar Pembentukan Struktur


Sosial Masyarakat. Terjemahan oleh Maufur dan Daryanto. 2010.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Giddens, Anthony. 1993. Metode Sosiologi Kaidah-Kaidah Baru. Terjemahan oleh


Eka Adi Nugraha dan Wahmuji. 2010. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Turner, Jonathan H. 1986. The Theory Structuration. American Journal of


Sociology, Volume 91, Issue 4 (Jan. 1986), 969-977

https://masdwihatmoko.blogspot.com/2016/11/melihat-pendidikan-dari-kacamata-
teori.html#:~:text=Teori%20Strukturasi%20Anthony%20Gidens
%20menyatakan,merombak%20struktur%20sosial%20yang%20ada.&text=Pendidikan
%20memiliki%20tujuan%20untuk%20membekali,sehingga%20mampu%20meningkatkan
%20kualitas%20dirinya (diakses pada tanggal 14 Oktober 2020).

LAMPIRAN

14
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS MATARAM
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
Jl. Majapahit No. 62 Mataram
e-mail : sosiologi@unram.ac.id, Website : www.sosiologi.unram.ac.id

LEMBAR JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)


SEMESTER GANJIL TA. 2020/2021

Mata Kuliah : SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Kelas : SOSIOLOGI A

Hari/tanggal : Jumat, 16 Oktober 2020

Nama Mhs : EKA HIRMAYANI AGUSTINA No. Mhs: L1C018027

PERNYATAAN

Apa yang saya tulis ini sebagai jawaban atas pertanyaan (soal) adalah murni
hasil pemikiran saya sendiri, dan jika nanti ditemukan kesamaan dengan tulisan orang
lain, baik dari sumber (web/situs dan referensi) tertentu atau tulisan saya memiliki
kesamaan dengan tulisan rekan-rekan saya, maka saya siap menerima sanksi yang
diberikan oleh dosen pengasuh matakuliah ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya secara sadar dan
bertanggung jawab.

Tanda Tangan :

15

Anda mungkin juga menyukai