OTONOMI DAERAH
A. Pendahuluan
Sistem Otonomi daerah lahir di tengah kekuasaan Orde Baru yang saat itu
menerapkan sistem sentralistik dimana kebijakan dan keputusan terkait kehidupan
bernegara berada sebesar- besarnya di tangan pemerintah pusat. Akibatnya terjadi
ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah, walaupun alasan yang
dikemukakan oleh pemerintah pusat ada yang “masuk akal”, dimana pusat tentu saja
memberi porsi yang lebih besar kepada pusat karena jumlah penduduk lebih banyak
dan permasalahan lebih kompleks di pusat dari pada di daerah. Namun alasan tersebut
tetap saja tidak dapat diterima oleh daerah, mengingat sumber kekayaan berasal dari
daerah, dan satu hal lagi pembangunan yang terpusatlah yang menyebabkan orang-
orang meninggalkan daerah.
Bab ini akan mencoba menguraikan otonomi daerah yang saat ini sedang
berlangsung di Indonesia. Materi bab ini akan membahas tentang, latar belakang dan
tujuan otonomi daerah, dinamika kewenangan yang diberikan, sumber keuangan
daerah, kendala, dampak otonomi daerah yang timbul serta prospek otonomi daerah ke
depan dalam memberikan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Setelah mempelajari
tulisan ini, diharapkan mahasiswa mempunyai gambaran umum tentang pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia. Dan secara khusus diharapkan mampu menjelaskan dan
memahami latar belakang berubahnya konsep otonomi daerah dari sentralisasi menjadi
desentralisasi, Menjelaskan konsep otonomi daerah yang dilaksanakan berdasarkan
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tujuan diselenggarakannya
otonomi daerah dengan konsep desentralisasi, sumber-sumber penerimaan keuangan
daerah dalam pelaksanaan pembangunan di daerah, dampak pelaksanaan otonomi
daerah dengan konsep desentralisasi serta menjelaskan prospek otonomi daerah
dengan konsep
Desentralisasi
B. Latar Belakang Otonomi Daerah
Sistem Otonomi daerah lahir di tengah kekuasaan Orde Baru yang saat itu menerapkan
sistem sentralistik dimana kebijakkan dan keputusan terkait kehidupan bernegara
berada sebesar- besarnya di tangan pemerintah pusat. Sekalipun kebijakan otonomi
daerah yang nyata itu telah tertuang pada UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa namun pada
pelaksanaannya pemerintah daerah hanya. berkuasa dalam menjalankan sepenuhnya
kebijakan pemerintah pusat tanpa mampu menentukan sendiri hal-hal yang berkenaan
dengan pembangunan daerahnya masing-masing.
Pada masa Orde Baru, pemahaman tentang bangsa dan negara semakin memudar.
Hal ini ditandai dengan adanya gerakan-gerakan kedaerahan yang menuntut
kemerdekaan sendiri atas wilayahnya. Fenomenafini disebabkan karena daerah
merasa tidak diperhatikan, hasil-hasil alam mereka diambil oleh pemerintah pusat tanpa
ada pengembalian ke daerah asalnya, seperti Aceh,
Riau, dan Kalimantan Timur. Sistem Sentralisasi yang diterapkan pada masa Orde Baru
telah menumbuhkan kesenjangan pembangunan antara daerah dan pusat. Kekayaan
alam yang tersebar di pelosok daerah telah diserap dan didistribusikan untuk kalangan
elite Jakarta, alih-alih dialokasikan sebagai investasi pembangunan.
1. Identifikasi Masalah
Meskipun Ketetapan MPR tersebut telah keluar, tenyata masih saja terjadi pergolakan-
pergolakan di daerah. Penyebab lainnya adalah karena undang-undang yang
mengatur, yaitu Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
di Daerah yang dinilai sudah tidak sesuai dengan tuntutan reformasi. Undang-undang
ini sangat bersifat sentralistik dan hanya mengatur administrasi pemerintahan pusat di
daerah, bukan otonomi daerah.
Beranjak dari kondisi Orde Baru, pengalihan kepemimpinan sementara oleh B.J.
Habibie membuat kebijakan politik baru yang mengubah hubungan kekuasaan Pusat
dan daerah dengan mengesahkan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Pelaksanaan Otonomi Daerah atau yang biasa disebut desentralisasi. Dengan
muncuinya undang-undang ini, daerah tidak lagi sepenuhnya bergantung pada Jakarta
dan tidak lagi dapat didikte oleh Pusat. Landasan hukum lain terkait dengan otonomi
daerah adalah TAP MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Daerah: pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan: serta perimbangaan
keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang kemudian direspon melalui keluarnya UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan
daerah.
Konsep otonomi daerah pada hakekatnya mengandung arti adanya kebebasan daerah
untuk mengambil keputusan baik politik maupun administratif menurut prakarsanya
sendiri, oleh karena itu Lili Romli mengatakan kemandirian daerah suatu hal yang
penting, tidak boleh ada intervensi dari pemerintah pusat (Lili Romli, 2009:7)
Bagir Manan dalam Mustari Pide mendefenisikan otonomi sebagai kebebasan dan
kemandirian suatu pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian
urusan pemerintahan (Mustari Pide, 1999 : 40). Sedangkan menurut Dwidjowito
otonomi daerah diartikan sebagai hak wewenang dan kewajiban daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku (Dwidjowijoto, 2000:34). Dalam pengertian ini maka
pemerintah daerah telah menjadi pelaku utama dalam mengelola urusan yang diberikan
oleh pemerintah pusat melalui otonomi daerah.
Pemerintah daerah yang dimaksud sebagai pelaku utama dalam mengelola urusan
lebih umum dilaksanakan oleh birokrasi terutama di daerah, birokrasi sebagai pelaku
utama karena birokrasi diharapkan dapat mendorong terwujudnya kehidupan
masyarakat yang lebih sejahtera. Selain itu juga menurut Sarundajang birokrasi dapat
juga Berperan sebagai pendidikan masyarakat, melalui kegiatan-kegiatan pelayanan,
pengaturan, dan pemberdayaan serta juga birokrasi harus dapat mengajarkan
masyarakat kebijakan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang sebenarnya
(Sarunanjang, 2003:41).
Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan
antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar
daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar
daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu
menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus
mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
1. Daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara
federal
2. Desentralisasi dimanfaatkan dalam bentuk penyerahan atau pengakuan atas
C.3. Tujuan Otonomi Daerah Tujuan adanya otonomi daerah, di antaranya yaitu : 1.
Meningkatkan kesejahteraan rakyat
(3) distribusi pelayanan publik yang semakin baik, merata dan adil,
(4) penghormatan terhadap budaya lokal:
Dalam negara kesatuan, pemimpin negara adalah atasan para pemimpin di bawahnya.
Namun di Indonesia, apakah demikian? Untuk menjadi Gubernur, bupati atau walikota
dibutuhkan dukungan partai politik. Realitas ini membuat mereka lebih taat pada
pimpinan partai yang mendukung mereka. Undangan pertemuan pemerintah di atasnya
sering diabaikan, sementara undangan pimpinan partai ditanggapi segera. Walaupun
pimpinan partai tidak memerintah, tapi mereka mengendalikan para gubernur dan
kepala daerah yang didukung partai mereka. Lemahnya jalur komando
Untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara Pusat dan Daerah
dilakukan sistem bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak antara pusat dan
daerah. Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu yang
didasarkan atas daerah penghasil (by origin).
Bagi hasil penerimaan negara tersebut meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan bagi hasil sumber
daya alam (SDA) yang terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi
dan gas alam, dan perikanan. Bagi hasil penerimaan tersebut kepada Daerah dengan
prosentase tertentu yang diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 dan PP Nomor 104
Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah diubah dengan PP 84
Tahun 2001.
Selanjutnya berdasarkan Undang-undang PPh yang baru (UU Nomor 17 Tahun 2000),
mulai TA 2001 Daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang
pribadi (personal income tax), yaitu PPh Karyawan (Pasal 21) serta PPh Pasal 25/29
Orang Pribadi. Ditetapkannya PPh Perorangan sebagai objek bagi hasil dimaksudkan
sebagai
secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam (migas), pertambangan, dan
kehutanan. Demikian pula halnya dengan potensi penerimaan daerah dari PBB,
BPHTB, dan PPh Perorangan, dimana potensi yang cukup signifikan hanya dimiliki oleh
beberapa daerah saja.
Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang
memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang
mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif
besar. Dengan konsep ini beberapa daerah, khususnya daerah yang kaya sumber daya
alam dapat memperoleh DAU yang
negatif.
Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari
APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan
khusus. Alokasi DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam
APBN. Sesuai dengan UU 25/1999, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah
(i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi
umum, dalam
H. Aspek Potilik Pemberian otonomi dan kewenangan kepada Daerah merupakan suatu
wujud dari pengakuan dan kepercayaan Pusat kepada Daerah. Pengakuan Pusat
terhadap eksistensi Daerah serta kepercayaan dengan memberikan kewenangan yang
luas kepada Daerah akan menciptakan hubungan yang harmonis antara Pusat dan
Daerah
Setelah lebih dari 15 tahun Otonomi Daerah dengan konsep desentralisasi berjalan,
permasalah dan atau perkembangan yang muncul yang berkenaan dengan otonomi
daerah semakin dinamis. Pada awal pembentukannya, pusat dan daerah berdebat
tentang hak dan kewenanngan masing-masing, setelah itu permasalahan bergerak ke
arah pemekaran daerah yang marak. Tak jarang dalam perdebatan tentang permasalah
tersebut banyak pihak yang menginginkan kembali ke konsep awal yaitu sentralisasi.
Namun dengan adanya perdebatan tersebut telah banyak perbaikan-perbaikan yang
dilakukan untuk mengatasi gejolak tersebut, antara lain dengan diadakannya
moratorium dan atau pengetahan pemekaran suatu daerah.
Saat ini perkembangan otonomi daerah memasuki babak baru, yaitu dengan
diadakanya pemilihan serentak kepala daerah. Sebelumnya terjadi kehebohan, karena
berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2014, pemilihan Bupati/Walikota ditentukan oleh
DPRD. Artinya untuk pemilihan Bupati/Walikota pemilihannya kembali memakai sistem
lama, dimana Bupati/Walikota di pilih dalam rapat Anggota DPRD Tk !!. Namun dengan
keluarnya Perppu Nomor 1 Tahun 2015 yang dikukuhkan dengan UU Nomor 1 Tahun
2015 juncto UU Nomor 8 Tahun 2015, pilkada tetap dilakukan secara langsung.
Selain UU Pemda di atas, pilkada dijadikan UU sendiri. Walau sempat heboh ditetapkan
pilkada lewat DPRD sesuai UU Nomor 22 Tahun 2014, dengan Perppu Nomor 1 Tahun
2015 yang dikukuhkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2015 juncto UU Nomor 8 Tahun
2015, pilkada tetap dilakukan secara langsung.
Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2015 junctoUU Nomor 8 Tahun 2015, ada beberapa
perbaikan yang dilakukan dalam pilkada langsung (Harian Kompas 25 April 2015) : 1.
Pola pelaksanaan pilkada secara serentak sehingga biaya demokrasi lokal kita bisa
lebih
Untuk sampai ke sana dilakukan pilkada serentak tahap I sebanyak 269 daerah
(Desember 2015), tahap II sebanyak 101 daerah (Februari 2017), dan tahap III
sebanyak 171 daerah (Juni 2018). Setiap grup kemudian melaksanakan pilkada setiap
lima tahun. Kepala daerah yang habis masa jabatannya tahun 2025 diangkat penjabat
KDH sampai dengan tahun 2017. Untuk daerah yang masa jabatan kepala daerahnya
berakhir tahun 2023, masa jabatannya hanya empat tahun.
2. penetapan calon terpilih tidak lagi dengan metode 30 persen suara sah, tetapi
dengan cara simple majority atau suara terbanyak. Tidak ada putaran kedua
sehingga menekan biaya, kejenuhan pemilih, dan rendahnya voter turn-out.
3. Untuk menghukum parpol yang menerima imbalan dalam proses pencalonan KDH
yang lazim disebut "uang mahar" atau "sewa perahu" dicantumkan sanksi bahwa
parpol yang melakukan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di
daerah itu.
4. Uuntuk membatasi politik dinasti, calon tidak boleh memiliki hubungan darah,
ikatan perkawinan, dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah,
ke samping
5. dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan
menantu: kecuali telah lewat jeda satu kali masa jabatan.
Sistem Otonomi daerah lahir di tengah kekuasaan Orde baru yang saat itu menerapkan
sistem sentralistik dimana kebijakkan dan keputusan terkait kehidupan bernegara
berada sebesar-besarnya di tangan Pemerintah Pusat. Dalam masa Orde Baru,
pemahaman tentang bangsa dan negara semakin memudar. Hal ini ditandai dengan
adanya gerakan-gerakan kedaerahan yang menuntut kemerdekaan sendiri atas
wilayahnya. Fenomena ini dapat disebabkan karena daerah merasa tidak diperhatikan,
hasil-hasil alam mereka diambil oleh Pemerintah Pusat tanpa ada pengembalian ke
daerah asalnya, seperti Aceh, Riau, dan Kalimantan timur. Setelah reformasi, untuk
menjaga NKRI, Pemerintah Pusat mengeluarkan UU Nomor 22 tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan UU Nomor 32 tahun 2004.
c. Tidak adanya standar atau tolak ukur yang jelas terhadap kemajuan dari
berlakunya suatu kebijakan otonomi
d. Belum adanya sinergi yang baik antara peraturan daerah dan pengaturan sektoral
sehingga sering kali berbenturan