Anda di halaman 1dari 13

BAB VIII

OTONOMI DAERAH
A. Pendahuluan

Sistem Otonomi daerah lahir di tengah kekuasaan Orde Baru yang saat itu
menerapkan sistem sentralistik dimana kebijakan dan keputusan terkait kehidupan
bernegara berada sebesar- besarnya di tangan pemerintah pusat. Akibatnya terjadi
ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah, walaupun alasan yang
dikemukakan oleh pemerintah pusat ada yang “masuk akal”, dimana pusat tentu saja
memberi porsi yang lebih besar kepada pusat karena jumlah penduduk lebih banyak
dan permasalahan lebih kompleks di pusat dari pada di daerah. Namun alasan tersebut
tetap saja tidak dapat diterima oleh daerah, mengingat sumber kekayaan berasal dari
daerah, dan satu hal lagi pembangunan yang terpusatlah yang menyebabkan orang-
orang meninggalkan daerah.

Setelah reformasi, sistem otonomi daerah diubah dengan menggunakan sistem


desentralisasi. Daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengelola daerahnya
sendiri dengan tetap mempertahankan otonomi daerah dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indnesia. Namun setelah lebih 10 tahun perjalannya, otonomi
daerah dengan sistem desentralisasi pun menemui banyak kendala. Kendala tersebut
ada yang berasal dari pusat namun juga ada yang diakibatkan dari berbagai faktor dan
kondisi daerah. |

Bab ini akan mencoba menguraikan otonomi daerah yang saat ini sedang
berlangsung di Indonesia. Materi bab ini akan membahas tentang, latar belakang dan
tujuan otonomi daerah, dinamika kewenangan yang diberikan, sumber keuangan
daerah, kendala, dampak otonomi daerah yang timbul serta prospek otonomi daerah ke
depan dalam memberikan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Setelah mempelajari
tulisan ini, diharapkan mahasiswa mempunyai gambaran umum tentang pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia. Dan secara khusus diharapkan mampu menjelaskan dan
memahami latar belakang berubahnya konsep otonomi daerah dari sentralisasi menjadi
desentralisasi, Menjelaskan konsep otonomi daerah yang dilaksanakan berdasarkan
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tujuan diselenggarakannya
otonomi daerah dengan konsep desentralisasi, sumber-sumber penerimaan keuangan
daerah dalam pelaksanaan pembangunan di daerah, dampak pelaksanaan otonomi
daerah dengan konsep desentralisasi serta menjelaskan prospek otonomi daerah
dengan konsep

Desentralisasi
B. Latar Belakang Otonomi Daerah

Sistem Otonomi daerah lahir di tengah kekuasaan Orde Baru yang saat itu menerapkan
sistem sentralistik dimana kebijakkan dan keputusan terkait kehidupan bernegara
berada sebesar- besarnya di tangan pemerintah pusat. Sekalipun kebijakan otonomi
daerah yang nyata itu telah tertuang pada UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa namun pada
pelaksanaannya pemerintah daerah hanya. berkuasa dalam menjalankan sepenuhnya
kebijakan pemerintah pusat tanpa mampu menentukan sendiri hal-hal yang berkenaan
dengan pembangunan daerahnya masing-masing.

Pada masa Orde Baru, pemahaman tentang bangsa dan negara semakin memudar.
Hal ini ditandai dengan adanya gerakan-gerakan kedaerahan yang menuntut
kemerdekaan sendiri atas wilayahnya. Fenomenafini disebabkan karena daerah
merasa tidak diperhatikan, hasil-hasil alam mereka diambil oleh pemerintah pusat tanpa
ada pengembalian ke daerah asalnya, seperti Aceh,

Riau, dan Kalimantan Timur. Sistem Sentralisasi yang diterapkan pada masa Orde Baru
telah menumbuhkan kesenjangan pembangunan antara daerah dan pusat. Kekayaan
alam yang tersebar di pelosok daerah telah diserap dan didistribusikan untuk kalangan
elite Jakarta, alih-alih dialokasikan sebagai investasi pembangunan.

Majelis Permusyawaratan Rakyat telah mengantisipasi disintegrasi bangsa dan negara


yang terjadi saat itu dengan mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000
tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional yang dibuat sebagai berikut :

1. Identifikasi Masalah

Pemerintah yang sentralistik telah menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan antara


pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga timbul konflik vertikal dan tuntutan
untuk memisahkan diri dari NKRI.

2. Kondisi yang diperlukan Terselenggaranya otonomi daerah secara adil,yang


memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri, dengan
tetap berwawasan pada persatuan dan kesatuan nasional.

3. Arah kebijakan &

Memberlakukan kebijakan otonomi daerah, menyelenggarakan perimbangan keuangan


yang adil, meningkatkan pemerataan pelayanan publik, meningkatkan pembangunan
ekonomi dan pendapatan daerah, dan menghormati nilai-nilai budaya berdasarkan
amanat konstitusi.

Meskipun Ketetapan MPR tersebut telah keluar, tenyata masih saja terjadi pergolakan-
pergolakan di daerah. Penyebab lainnya adalah karena undang-undang yang
mengatur, yaitu Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
di Daerah yang dinilai sudah tidak sesuai dengan tuntutan reformasi. Undang-undang
ini sangat bersifat sentralistik dan hanya mengatur administrasi pemerintahan pusat di
daerah, bukan otonomi daerah.

Pada hakekatnya prinsip pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri adalah


kebebasan daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Namun, otonomi daerah disini
(Undang-undang No.5 Tahun 1974) lebih merupakan kewajiban daripada hak, yaitu
kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk
mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh
tanggung jawab.

Pelaksanaan otonomi daerah “yang terpusat” tersebut membawa beberapa dampak


bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Diantaranya yang paling menonjol adalah
dominasi Pusat terhadap daerah yang menimbulkan besarnya ketergantungan daerah
terhadap Pusat. Pemerintah daerah tidak mempunyai keleluasaan dalam menetapkan
program-program pembangunan di daerahnya. Demikian juga dengan sumber
keuangan penyelenggaraan pemerintahan yang diatur oleh Pusat.

Beranjak dari kondisi Orde Baru, pengalihan kepemimpinan sementara oleh B.J.
Habibie membuat kebijakan politik baru yang mengubah hubungan kekuasaan Pusat
dan daerah dengan mengesahkan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Pelaksanaan Otonomi Daerah atau yang biasa disebut desentralisasi. Dengan
muncuinya undang-undang ini, daerah tidak lagi sepenuhnya bergantung pada Jakarta
dan tidak lagi dapat didikte oleh Pusat. Landasan hukum lain terkait dengan otonomi
daerah adalah TAP MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Daerah: pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan: serta perimbangaan
keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang kemudian direspon melalui keluarnya UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan
daerah.

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut maka dimulailah


babak baru pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Kebijakan otonomi daerah ini
memberikan

C. Konsep Otonomi Daerah

C.1. Pengertian Otonomi Daerah

Menurut UU Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa otonomi


daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk
mengatur, dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Menurut UU Nomor 32 tahun 2004 Pasal 1 ayat (5)
otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Konsep otonomi daerah pada hakekatnya mengandung arti adanya kebebasan daerah
untuk mengambil keputusan baik politik maupun administratif menurut prakarsanya
sendiri, oleh karena itu Lili Romli mengatakan kemandirian daerah suatu hal yang
penting, tidak boleh ada intervensi dari pemerintah pusat (Lili Romli, 2009:7)

Bagir Manan dalam Mustari Pide mendefenisikan otonomi sebagai kebebasan dan
kemandirian suatu pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian
urusan pemerintahan (Mustari Pide, 1999 : 40). Sedangkan menurut Dwidjowito
otonomi daerah diartikan sebagai hak wewenang dan kewajiban daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku (Dwidjowijoto, 2000:34). Dalam pengertian ini maka
pemerintah daerah telah menjadi pelaku utama dalam mengelola urusan yang diberikan
oleh pemerintah pusat melalui otonomi daerah.

Pemerintah daerah yang dimaksud sebagai pelaku utama dalam mengelola urusan
lebih umum dilaksanakan oleh birokrasi terutama di daerah, birokrasi sebagai pelaku
utama karena birokrasi diharapkan dapat mendorong terwujudnya kehidupan
masyarakat yang lebih sejahtera. Selain itu juga menurut Sarundajang birokrasi dapat
juga Berperan sebagai pendidikan masyarakat, melalui kegiatan-kegiatan pelayanan,
pengaturan, dan pemberdayaan serta juga birokrasi harus dapat mengajarkan
masyarakat kebijakan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang sebenarnya
(Sarunanjang, 2003:41).

C.2. Prinsip Otonomi Daerah

Beberapa prinsip otonomi daerah di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Menurut


UU Nomor 32/2004, yaitu sebagai berikut: 1. Prinsip Otonomi yang seluas-luasnya -
Daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di
luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat. prinsip otonomi yang nyata dan
bertanggungjawab.
2. Prinsip otonomi nyata

Adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan


berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan
berpotensi merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Seiring dengan prinsip itu
penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi
yang tumbuh dalam masyarakat.

Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan
antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar
daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar
daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu
menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus
mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.

Pelaksanaan otonomi daerah dapat diidentifikasi dalam kerangka konstitusi NKRI.


Dalam UUD 1945 terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan, yakni nilai Unitaris dan
nilai desentralisasi teritorial. Nilai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa
Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya. Artinya,
kedaulatan tidak akan terbagi diantara kesatuan-kesatuan pemerintahan. Sementara
itu, nilai dasar desentralisasi teritorial diwujudkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah dalam bentuk otonomi daerah.

Dikaitkan dengan dua nilai tersebut, dapat terlihat bahwa penyelenggaraan


desentralisasi di Indonesia dalam memiliki pola pembagian kekuasaan antara
pemerintah pusat dan daerah. Adanya pembatas besar dan luasnya daerah otonom,
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah menghindari terbentuknya daerah
otonom menjadi negara dalam negara.

Dengan demikian, pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di


Indonesia.memiliki ciri-ciri sebagai berikut : . .

1. Daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara
federal
2. Desentralisasi dimanfaatkan dalam bentuk penyerahan atau pengakuan atas

urusan pemerintahan. 3. Pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat


setempat sesuai dengan

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.


Dengan melihat adanya kebijakan tersebut, maka melalui penguatan desentralisasi
pemerintah daerah diharapkan dapat : 1. Memiliki kemampuan untuk mengatur otonomi
secara optimal tanpa intervensi Pemerintah Pusat. 2. Memiliki kemampuan untuk
melakukan terobosan-terobosan perubahan yang inovatif ke arah kemajuan dalam
menyikapi potensi wilayahnya. Memperoleh legitimasi yang kuat dari masyarakat 4.
Memiliki kemampuan sumber-sumber penghasilan atau keuangan yang nemadai untuk
membiayai kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan layanan masyarakat. 5. Memiliki
kemampuan untuk menjalankan pemerintahan dan pembangunan yang didukung oleh
ketegsediaan sumber daya manusia yang memadai.

C.3. Tujuan Otonomi Daerah Tujuan adanya otonomi daerah, di antaranya yaitu : 1.
Meningkatkan kesejahteraan rakyat

Dengan terselenggaranya otonomi daerah maka pemerintah daerah akan dengan


leluasa merencanakan dan membangun daerahnya sesuai kebutuhan masing-masing
daerah, hal ini diharapkan dapat mengatasi masalah kesenjangan pembangunan yang
selama ini dikeluhkan oleh masyarakat daerah.

2. Meningkatkan Pelayanan umum Dengan terselenggaranya otonomi daerah


diharapkan pemerintah daerah mampu meningkatkan pelayanan umumnya tanpa
menunggu keputusan- keputusan pemerintah pusat, hal ini juga akan
mempercepat kinerja pemerintah daerah dalam melayani masyarakat daerahnya.
3. Meningkatkan daya saing daerah Untuk mewujudkannya, pemerintah daerah
dituntut lebih kreatif dan inisiatif untuk menggali dan memanfaatkan segala potensi
untuk mengembangkan daerahnya agar mencapai kemajuan dan kesejahteraan
masyarakat di daerah tersebut. Untuk itu, peran atau partisipasi masyarakat sangat
dibutuhkan untuk 'mencapai tujuan ini. Kemudian lanjut Sarundajang (Sarundajang,
2003:74), tujuan dari pemberian otonomi adalah:
(1) peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik:

(2) pengembangan kehidupan demokrasi:

(3) distribusi pelayanan publik yang semakin baik, merata dan adil,
(4) penghormatan terhadap budaya lokal:

(5) perhatian atas potensi dan keanekaragaman daerah.

D. Dampak positif dan Negatif Otonomi Daerah

Menurut Husain Matla (Husain Matla: http://jurnal-ekonomi.org/2008/09/03), ada empat


Problem Otonomi Daerah:

Dalam negara kesatuan, pemimpin negara adalah atasan para pemimpin di bawahnya.
Namun di Indonesia, apakah demikian? Untuk menjadi Gubernur, bupati atau walikota
dibutuhkan dukungan partai politik. Realitas ini membuat mereka lebih taat pada
pimpinan partai yang mendukung mereka. Undangan pertemuan pemerintah di atasnya
sering diabaikan, sementara undangan pimpinan partai ditanggapi segera. Walaupun
pimpinan partai tidak memerintah, tapi mereka mengendalikan para gubernur dan
kepala daerah yang didukung partai mereka. Lemahnya jalur komando

Dalam konsep otonomi daerah, para gubernur bukan atasan bupati/walikota.


Sementara Pemerintah Pusat membawahi daerah yang jumlahnya lebih dari empat
ratus buah. Di sisi lain, gubernur juga merupakan jabatan politis yang untuk meraihnya
membutuhkan dukungan politik partai. Seringkali yang terjadi presiden, gubernur, dan
bupati/walikoga berasal dari partai yang berbeda. Kiranya, adalah wajar kalau dengan
semua itu jalur komando dari pusat ke daerah menjadi terputus. Kemampuan pusat
hanyalah mengkoordinasikan seluruh pemerintahan dibawahnya, itupun dalam tingkat
koordinasi yang sangat lemah.

Ini mengakibatkan program-program Pemerintah Pusat tidak berjalan, padahal banyak


program yang sangat penting demi keselamatan rakyat. Alasan Menkes Siti Fadilah
Supari terkait kegagalan penangan flu burung, dimana insturuksi dan dana dari
Departemen Kesehatan tidak mengalir ke sasaran karena para kepala daerah tidak
mempedulikan,

E. Sumber Penerimaan Pelaksanaan Desentralisasi

Untuk mendukung jalannya pemerintahan di daerah diperlukan dana, namun tidak


semua daerah mampu mendanai sendiri jalannya roda pemerintahan. Oleh karenanya
Pemerintah harus mampu membagi adil dan merata hasil potensi masyarakat. Agar adil
dan merata diperlukan aturan yang baku. Dari ketentuan tersebut dikeluarkan beberapa
istilah tentang difha untuk keperluan pembinaan wilayah :

E.1.Pendapatan Asli Daerah : a. pajak daerah, b. retribusi daerah, c. hasil pengelolaan


kekayaan daerah, d. lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. E.2. Dana
Perimbangan Daerah terdiri atas : 1). Dana bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam.

Untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara Pusat dan Daerah
dilakukan sistem bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak antara pusat dan
daerah. Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu yang
didasarkan atas daerah penghasil (by origin).

Bagi hasil penerimaan negara tersebut meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan bagi hasil sumber
daya alam (SDA) yang terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi
dan gas alam, dan perikanan. Bagi hasil penerimaan tersebut kepada Daerah dengan
prosentase tertentu yang diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 dan PP Nomor 104
Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah diubah dengan PP 84
Tahun 2001.

Selanjutnya berdasarkan Undang-undang PPh yang baru (UU Nomor 17 Tahun 2000),
mulai TA 2001 Daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang
pribadi (personal income tax), yaitu PPh Karyawan (Pasal 21) serta PPh Pasal 25/29
Orang Pribadi. Ditetapkannya PPh Perorangan sebagai objek bagi hasil dimaksudkan
sebagai

secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam (migas), pertambangan, dan
kehutanan. Demikian pula halnya dengan potensi penerimaan daerah dari PBB,
BPHTB, dan PPh Perorangan, dimana potensi yang cukup signifikan hanya dimiliki oleh
beberapa daerah saja.

Sementara itu, dengan berkembangnya keinginan beberapa Daerah untuk


mendapatkan bagi hasil dari penerimaan pusat lainnya diluar yang sudah
dibagihasilkan sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999, sebenarnya terdapat
opsi/alternatif lain yang lebih baik dilihat dari sudut akuntabilitas Pemerintah Daerah.
Opsi tersebut adalah “piggy backing” atau opsen atau penetapan tambahan atas pajak
Pusat yang besar tarif penetapan tambahannya ditentukan oleh Pemerintah Daerah
sendiri dan hasilnya juga diterima oleh Daerah yang bersangkutan. Opsen tersebut
misalnya dapat diberlakukan atas Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi.

Dana alokasi umum

Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak


antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara
Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25X dari
Penerimaan Dalam Negeri). Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan
memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan
untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggungjawabnya.

Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara


Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah (Propinsi,
Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep Fiscal
Gap, dimana kebutuhan DAU suatu Daerah ditentukan oleh kebutuhan Daerah (fiscal
needs) dan potensi Daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan
untuk menutup celah/gap yang terjadi karena kebutuhan Daerah melebihi dari potensi
penerimaan Daerah yang ada.

Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang
memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang
mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif
besar. Dengan konsep ini beberapa daerah, khususnya daerah yang kaya sumber daya
alam dapat memperoleh DAU yang

negatif.

Variabel-variabel kebutuhan Daerah dan potensi ekonomi Daerah. Kebutuhan Daerah


paling sedikit dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan
geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok
masyarakat miskin. Sementara potensi ekonomi Daerah dicerminkan dengan potensi
penerimaan Daerah seperti potensi industri, potensi SDA, potensi SDM, dan PDRB.

Dana alokasi khusus

Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari
APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan
khusus. Alokasi DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam
APBN. Sesuai dengan UU 25/1999, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah
(i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi
umum, dalam

F. Prospek Otonomi Daerah Untuk mengetahui prospek tersebut dapat dilakukan


dengan menggunakan berbagai pendekatan. Salah satu pendekatan yang kita gunakan
disini adalah aspek ideologi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

G. Aspek Ideologi Pancasila merupakan pandangan, falsafah hidup dan sekaligus


dasar negara. Nilai-nilai Pancasila mengajarkan antara lain pengakuan Ketuhanan,
semangat persatuan dan kesatuan nasional, pengakuan hak azasi manusia, demokrasi,
dan keadilan dan kesejahteraan sosia! bagi seluruh masyarakat. Melalui Otonomi
Daerah nilai-nilai luhur Pancasila tersebut akan dapat diwujudkan dan dilestarikan
dalam setiap aspek kehidupan bangsa Indonesia.

H. Aspek Potilik Pemberian otonomi dan kewenangan kepada Daerah merupakan suatu
wujud dari pengakuan dan kepercayaan Pusat kepada Daerah. Pengakuan Pusat
terhadap eksistensi Daerah serta kepercayaan dengan memberikan kewenangan yang
luas kepada Daerah akan menciptakan hubungan yang harmonis antara Pusat dan
Daerah

I. Aspek Ekonomi Kebijakan Otonomi Daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan


kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi Daerah untuk mengembangkan
dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian
daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan
rakyat di Daerah. Melalui Otonomi Daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan
maksimal kepada para pelaku

— ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global

J. Aspek Soial Budaya Kebijakan Otonomi Daerah merupakan pengakuan terhadap


keanekaragaman Daerah, baik itu suku bangsa, agama, nilai-nilai sosial dan budaya
serta potensi lainnya yang terkandung di daerah. Dengan pengakuan tersebut Daerah
akan merasa setara dan sejajar dengan suku bangsa lainnya, hal ini akan sangat
berpengaruh terhadap upaya mempersatukan bangsa dan

negara » K. Aspek Pertahanan Keamanan

Kebijakan Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada masing-msing daerah


untuk memantapkan kondisi Ketahanan daerah dalam kerangka Ketahanan Nasional.
Pemberian

Perkembangan Otonomi Daerah

Setelah lebih dari 15 tahun Otonomi Daerah dengan konsep desentralisasi berjalan,
permasalah dan atau perkembangan yang muncul yang berkenaan dengan otonomi
daerah semakin dinamis. Pada awal pembentukannya, pusat dan daerah berdebat
tentang hak dan kewenanngan masing-masing, setelah itu permasalahan bergerak ke
arah pemekaran daerah yang marak. Tak jarang dalam perdebatan tentang permasalah
tersebut banyak pihak yang menginginkan kembali ke konsep awal yaitu sentralisasi.
Namun dengan adanya perdebatan tersebut telah banyak perbaikan-perbaikan yang
dilakukan untuk mengatasi gejolak tersebut, antara lain dengan diadakannya
moratorium dan atau pengetahan pemekaran suatu daerah.

Saat ini perkembangan otonomi daerah memasuki babak baru, yaitu dengan
diadakanya pemilihan serentak kepala daerah. Sebelumnya terjadi kehebohan, karena
berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2014, pemilihan Bupati/Walikota ditentukan oleh
DPRD. Artinya untuk pemilihan Bupati/Walikota pemilihannya kembali memakai sistem
lama, dimana Bupati/Walikota di pilih dalam rapat Anggota DPRD Tk !!. Namun dengan
keluarnya Perppu Nomor 1 Tahun 2015 yang dikukuhkan dengan UU Nomor 1 Tahun
2015 juncto UU Nomor 8 Tahun 2015, pilkada tetap dilakukan secara langsung.

Selain UU Pemda di atas, pilkada dijadikan UU sendiri. Walau sempat heboh ditetapkan
pilkada lewat DPRD sesuai UU Nomor 22 Tahun 2014, dengan Perppu Nomor 1 Tahun
2015 yang dikukuhkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2015 juncto UU Nomor 8 Tahun
2015, pilkada tetap dilakukan secara langsung.

Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2015 junctoUU Nomor 8 Tahun 2015, ada beberapa
perbaikan yang dilakukan dalam pilkada langsung (Harian Kompas 25 April 2015) : 1.
Pola pelaksanaan pilkada secara serentak sehingga biaya demokrasi lokal kita bisa
lebih

murah. Pilkada serentak nasional akan digelar tahun 2027.

Untuk sampai ke sana dilakukan pilkada serentak tahap I sebanyak 269 daerah
(Desember 2015), tahap II sebanyak 101 daerah (Februari 2017), dan tahap III
sebanyak 171 daerah (Juni 2018). Setiap grup kemudian melaksanakan pilkada setiap
lima tahun. Kepala daerah yang habis masa jabatannya tahun 2025 diangkat penjabat
KDH sampai dengan tahun 2017. Untuk daerah yang masa jabatan kepala daerahnya
berakhir tahun 2023, masa jabatannya hanya empat tahun.

2. penetapan calon terpilih tidak lagi dengan metode 30 persen suara sah, tetapi
dengan cara simple majority atau suara terbanyak. Tidak ada putaran kedua
sehingga menekan biaya, kejenuhan pemilih, dan rendahnya voter turn-out.

3. Untuk menghukum parpol yang menerima imbalan dalam proses pencalonan KDH
yang lazim disebut "uang mahar" atau "sewa perahu" dicantumkan sanksi bahwa
parpol yang melakukan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di
daerah itu.

4. Uuntuk membatasi politik dinasti, calon tidak boleh memiliki hubungan darah,
ikatan perkawinan, dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah,
ke samping

5. dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan
menantu: kecuali telah lewat jeda satu kali masa jabatan.

6. Sengketa hasil pilkada sementara waktu tetap ditangani MK sampai terbentuknya


Badan Peradilan Khusus. Yang menarik, gugatan hanya bisa diajukan penggugat
jika selisih kekalahan tipis (close to call) 0,5 persen sampai dengan 2 persen dari
jumlah penduduk, tidak seperti sekarang selisih suara puluhan persen pun tetap
menggugat.
F. Penutup

Sistem Otonomi daerah lahir di tengah kekuasaan Orde baru yang saat itu menerapkan
sistem sentralistik dimana kebijakkan dan keputusan terkait kehidupan bernegara
berada sebesar-besarnya di tangan Pemerintah Pusat. Dalam masa Orde Baru,
pemahaman tentang bangsa dan negara semakin memudar. Hal ini ditandai dengan
adanya gerakan-gerakan kedaerahan yang menuntut kemerdekaan sendiri atas
wilayahnya. Fenomena ini dapat disebabkan karena daerah merasa tidak diperhatikan,
hasil-hasil alam mereka diambil oleh Pemerintah Pusat tanpa ada pengembalian ke
daerah asalnya, seperti Aceh, Riau, dan Kalimantan timur. Setelah reformasi, untuk
menjaga NKRI, Pemerintah Pusat mengeluarkan UU Nomor 22 tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan UU Nomor 32 tahun 2004.

Prinsip otonomi daerah di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 32


tahun 2004, yaitu prinsip otonomi yang seluas-luasnya, otonomi nyata dan otonomi
yang bertanggung jawab. Semua itu diberikan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sedangkan tujuan dari pemberian otonomi adalah (1) peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik: (2) pengembangan
kehidupan demokrasi: (3) distribusi pelayanan publik yang semakin baik, merata dan
adil: (4) penghormatan terhadap budaya lokal, (5) perhatian atas potensi dan
keanekaragaman daerah

Dalam pelaksanaannya banyak ditemui permasalahan dalam pelaksanaan otonomi


daerah: yang antara lain, kepala daerah yang terpilih lebih mementingkan partai
politiknya dari pada rakyat, lemahnya jalur komando antara bupati dan gubernur,
Semakin kuatnya konglomeratokrasi, dan terabaikannya urusan rakyat. Sedangkan
kendala lain yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah:

a. Kurangnya kesiapan pemerintah pusat maupun daerah Kurangnya kepercayaan


dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah Perilaku para elite
penyelenggara pemerintahan daerah
b. Muncul pemerintah bayangan :

c. Tidak adanya standar atau tolak ukur yang jelas terhadap kemajuan dari
berlakunya suatu kebijakan otonomi

d. Belum adanya sinergi yang baik antara peraturan daerah dan pengaturan sektoral
sehingga sering kali berbenturan

e. Pemerintah Pusat kurang melakukan kontrolnya sehingga banyak anggaran


daerah yang dialokasikan tidak pada tempatnya
Namun demikian dampak positif dari adanya otonomi daerah dengan sistem
desentralisasi juga tidak dapat dipungkiri. Semakin besar kewenangan dan tanggung
jawab tentu semakin besar pula dana yang diperlukan untuk pelaksanaannya.

Anda mungkin juga menyukai