Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal
ditandai dengan abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung
lebih dari 3 bulan. PGK ditandai dengan satu atau lebih tanda kerusakan
ginjal yaitu albuminuria, abnormalitas sedimen urin, elektrolit, histology,
struktur ginjal, ataupun adanya riwayat transplantasi ginjal, juga disertai
penurunan laju filtrasi glomerulus. PGK stadium V merpakan kerusakan
jaringan ginjal atau menurunnya LFG kurang dari 15 mL/min/ 1,73 selama
lebih dari tiga bulan dan menjalani hemodialisis. Error: Reference source not
found,2
Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan
masyarakat global dengan prevalensi dan insidensi yang terus meningkat,
prognosis yang buruk dan biaya yang tinggi. Data epidemiologi dunia
menyatakan prevalensi PGK sebesar 13,4% yang mana di Indonesia
hipertensi sebesar 44% menjadi penyebab terbanyak atau factor kormobid
PGK yang diikuti oleh nefropati diabetic sebanyak 22%.Error: Reference
source not found,4
Data dari BPJS menyatakan bahwa di Indonesia perawatan penyakit ginjal
berada di urutan kedua pembiayaan terbesar setelah penyakit jantung. Data
Riskesdas 2013 menunjukkan provinsidengan prevalensi PGK tertinggi adalah
Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-
masing 0,4 %, sedangkan di Kalimantan Barat sebesar 0,2 %. Error: Reference
source not found,5
Salah satu komplikasi PGK yang paling sering terjadi yaitu anemia. Anemia
terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Berdasarkan PERNEFRI, dikatakan
anemia pada penyakit ginjal kronik jika Hb ≤ 10 gr/dl dan Ht ≤ 30%. Anemia pada
PGK terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoietin. Menurut KDIGO diagnosis
anemia dengan PGK pada dewasa dan anak yang berusia >15 tahun apabila
konsesntrasi Hb <13 g/dL pada laki-laki dan 12.0 g/dL pada perempuan. Munculnya

1
anemia menandakan suatu progresivitas dari PGK dan muculnya masalah baru
dalam produksi sel darah merah. Seiring menurunnya fungsi ginjal dan
meningkatnya stadium PGK menyebabkan prevalensi dan insidensi anemia semakin
meningkat,dan mengenai hampir semua pasien PGK stadium. 6,7
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis penderita yaitu diabetes
mellitus,infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi. Sindrom
uremia yang terdiri dari letargi, anoreksia, mual, muntah, nokuria. Terapi
pada penyakit ginjal kronik terdiri dari terapi konservatif, simtomatik dan
terapi pengganti ginjal. Terapi konservatif bertujuan untuk memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit. Terapi simptomatik untuk menangani keluhan sesuai dengan gejala
yang dialami pasien. Terapi pengganti ginjal dilakukan pada PGK stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialysis peritoneal dan transplantasi ginjal. 8

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu kerusakan pada


struktur atau fungsi ginjal yang berlangsung ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa
disertai penurunan glomerular filtration rate (GFR). Selain itu, CKD dapat
pula didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana GFR < 60 mL/menit/1,73 m2
selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa disertai kerusakan ginjal (National Kidney
Foundation, 2002).1

3
2.2 Epidemiologi

Menurut hasil Global Burden of Disease diestimasikan pada tahun 2015


ada 1.2 juta orang meninggal gara-gara gagal ginjal kemudian meningkat 32%
sejak 2005 dan pada tahun 2010 sekitar 2.3-7.1 juta orang meninggal
dikarenakan end stage kidney disease sekitar 1.7 juta orang meninggal karena
acute kidney injury (AKI). Secara keseluruhan, sekitar 5-10 juta orang yang
meninggal dikarenakan penyakit ginjal.

4
Prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia pada pasien usia lima belas
tahun keatas di Indonesia yang didata berdasarkan jumlah kasus yang
didiagnosis dokter adalah sebesar 0,2%. Prevalensi gagal ginjal kronik
meningkat seiring bertambahnya usia, didapatkan meningkat tajam pada
kelompok umur 25-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), umur
55-74 tahun (0,5%), dan tertinggi pada kelompok umur ≥ 75 tahun (0,6%).
Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%). 9

2.3 Etiologi

Penyebab tersering terjadinya CKD adalah diabetes dan tekanan darah


tinggi, yaitu sekitar dua pertiga dari seluruh kasus). Berbagai kondisi dan
penyakit dapat menyebabkan terjadinya Penyakit Ginjal Kronik (CKD).
Diabetes (peningkatan gula darah) dan hipertensi (peningkatan tekanan darah)
merupakan penyebab tersering. 2,10

Diabetes
Penyakit ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam tubuh. Insulin
yang tidak tercukupi menyebabkan peningkatan gula darah (glukosa). Tanpa
pengobatan, hal ini bisa menjadi fatal. Peningkatan gula darah akan merusak
pembuluh darah kecil di ginjal. Peningkatan gula darah juga bisa
menyebabkan kelemahan fungsi nefron ginjal (filtrasi). Ketika pembuluh
darah ginjal dan fungsi filtrasi rusak, fungsi ginjal pun dapat menurun. Fungsi
ginjal yang menurun akan menyebabkan protein tidak terfiltrasi sehingga lolos
menuju urin yang dikeluarkan (proteinuria). Ini merupakan salah satu tanda
dari penyakit ginjal kronis.

Hipertensi
Tekanan darah yang tinggi dapat merusak pembuluh darah dan nefron
dalam ginjal. Jika tekanan darah meningkat tajam, terjadi vasokonstriksi
pembuluh darah yang menuju ke ginjal. Akibatnya terjadi penurunan perfusi
ke ginjal yang dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal.

5
Penyebab lain dari Penyakit Ginjal Kronik antara lain:
Glomerulonefritis
Gangguan ini melibatkan peradangan dari nefron ginjal. Kadang-
kadang mungkin terjadi karena infeksi. Kerusakan ginjal umumnya terjadi
selama periode waktu yang panjang.

Faktor Genetik dan Gangguan Kongenital seperti Penyakit Ginjal Polikistik


atau Polycystic Kidney Disease (PKD)
PKD merupakan suatu kondisi dimana sejumlah besar kista (kantung
cairan) berkembang di ginjal. Hal ini biasanya merupakan penyakit yang
diturunkan. Kista bisa menjadi besar dan menghalangi kemampuan ginjal
untuk menyaring produk sisa dari darah. Fungsi ginjal yang menurun akibat
dari PKD umumnya terjadi dalam periode waktu yang lama.

Penyakit autoimun seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Gangguan autoimun terjadi ketika tubuh menyerang dirinya sendiri.
Lupus merupakan salah satu jenis penyakit autoimun yang menyebabkan
peradangan di semua organ tubuh termasuk ginjal. Hal ini dapat
memengaruhi fungsi ginjal dan dalam waktu tertentu dapat menyebabkan
CKD.
Agen nerfotoksik
Obat-obatan atau zat tertentu dapat merusak ginjal. Obat-obat golongan
NSAIDs (Non-Steroidal Anti-Inflamatory Drugs) seperti Ibuprofen (Advil,
Motrin) dan Naprosyn (Aleve) dapat menyebabkan kerusakan ginjal jika
digunakan dalam jangka waktu yang panjang.

HIV-Associated Nefropati
Dalam hal ini, kerusakan ginjal dapat disebabkan oleh virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus). Pengobatan dini diperlukan untuk
mengurangi kemungkinan kerusakan dari virus penyebab HIV tersebut.

6
Obstruksi atau Penyumbatan saluran kemih
Aliran urin dapat terhambat dengan berbagai cara, misalnya ada
batu ginjal dan pembesaran kelenjar prostat. Penyumbatan aliran urin ini
dapat menyebabkan kerusakan ginjal dimana terjadi tekanan balik urin
menuju ke ginjal.

Source : Levey, et al. 2003. National Kidney Foundation Practice Guidelines


for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and
Stratification.

2.4 Klasifikasi Stadium

Penyakit ini didefinisikan dari ada atau tidaknya kerusakan ginjal dan
kemampuan ginjal dalam menjalankan fungsinya. Klasifikasi ini ditujukan
untuk memfasilitasi penerapan pedoman praktik klinis, pengukuran kinerja
klinis dan peningkatan kualitas pada evaluasi, dan juga manajemen CKD.
Berikut adalah klasifikasi stadium CKD:

7
Tabel 2.1 Stadium CKD.
Stadium Deskripsi GFR
(mL/menit/1.73 )
1 Fungsi ginjal normal, ≥90
tetapi temuan urin,
abnormalitas struktur
atau ciri genetik
menunjukkan adanya
penyakit ginjal
2 Penurunan ringan 60-89
fungsi ginjal, dan
temuan lain (seperti
pada stadium 1)
menunjukkan adanya
penyakit ginjal
3a Penurunan sedang 45-59
fungsi ginjal
3b Penurunan sedang 30-44
fungsi ginjal
4 Penurunan fungsi ginjal berat 15-29
5 Gagal ginjal <15
Sumber: (The Renal Association, 2013)

Nilai GFR menunjukkan seberapa besar fungsi ginjal yang


dimiliki oleh pasien sekaligus sebagai dasar penentuan terapi oleh
dokter. Semakin parah CKD yang dialami, maka nilai GFR nya
akan semakin kecil.
Chronic Kidney Disease stadium 5 disebut dengan gagal ginjal. Perjalanan
klinisnya dapat ditinjau dengan melihat hubungan antara bersihan kreatinin
dengan GFR sebagai presentase dari keadaan normal, terhadap kreatinin
serum dan kadar blood urea nitrogen (BUN). Kadar BUN dapat diukur
dengan rumus berikut:
BUN = Urea Darah x

8
Perjalanan klinis gagal ginjal dibagi menjadi tiga stadium.
Stadium pertama merupakan stadium penurunan cadangan ginjal
dimana pasien tidak menunjukkan gejala dan kreatinin serum serta
kadar BUN normal. Gangguan pada fungsi ginjal baru dapat
terdeteksi dengan pemberian beban kerja yang berat seperti tes
pemekatan urin yang lama atau melakukan tes GFR yang teliti
(Wilson, 2005). Stadium kedua disebut dengan insufisiensi ginjal.
Pada stadium ini, ginjal sudah mengalami kehilangan fungsinya
sebesar 75%. Kadar BUN dan kreatinin serum mulai meningkat
melebihi nilai normal, namun masih ringan. Pasien dengan
insufisiensi ginjal ini menunjukkan beberapa gejala seperti
nokturia dan poliuria akibat gangguan kemampuan pemekatan.
Tetapi biasanya pasien tidak menyadari dan memperhatikan gejala
ini, sehingga diperlukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti. Stadium akhir
dari gagal ginjal disebut juga dengan endstage renal disease (ESRD). Stadium
ini terjadi apabila sekitar 90% masa nefron telah hancur, atau hanya tinggal
200.000 nefron yang masih utuh. Peningkatan kadar BUN dan kreatinin
serum sangat mencolok. Bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 mL
per menit atau bahkan kurang.
Pasien merasakan gejala yang cukup berat dikarenakan
ginjal yang sudah tidak dapat lagi bekerja mempertahankan
homeostasis cairan dan elektrolit. Pada berat jenis yang tetap
sebesar 1,010, urin menjadi isoosmotis dengan plasma. Pasien
biasanya mengalami oligouria (pengeluran urin <
500mL/hari). Sindrom uremik yang terjadi akan mempengaruhi
setiap sistem dalam tubuh dan dapat menyebabkan kematian bila
11
tidak dilakukan RRT.

2.5 Patofisiologi

9
Patofisiologi CKD pada awalnya dilihat dari penyakit yang mendasari,
namun perkembangan proses selanjutnya kurang lebih sama. Penyakit ini
menyebabkan berkurangnya massa ginjal. Sebagai upaya kompensasi,
terjadilah hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor.
Akibatnya, terjadi hiperfiltrasi yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, hingga pada
akhirnya terjadi suatu proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih
tersisa. Sklerosis nefron ini diikuti dengan penurunan fungsi nefron progresif,
walaupun penyakit yang mendasarinya sudah tidak aktif lagi.
Hipertensi juga memiliki kaitan yang erat dengan gagal ginjal. Hipertensi
yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-perubahan struktur
pada arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi
(sklerosis) dinding pembuluh darah. Salah satu organ sasaran dari keadaan ini
adalah ginjal. Ketika terjadi tekanan darah tinggi, maka sebagai kompensasi,
pembuluh darah akan melebar. Namun di sisi lain, pelebaran ini juga
menyebabkan pembuluh darah menjadi lemah dan akhirnya tidak dapat
bekerja dengan baik untuk membuang kelebihan air serta zat sisa dari dalam
tubuh. Kelebihan cairan yang terjadi di dalam tubuh kemudian dapat
menyebabkan tekanan darah menjadi lebih meningkat, sehingga keadaan ini
membentuk suatu siklus yang berbahaya.
Penyakit gagal ginjal kronis ini disebabkan oleh kerusakan ginjal dari
penyebab yang bermacam-macam antara lain pada kistarenal yang
menyebabkan penyakit polisistik ginjal. Kerusakan ginjal disebakan karena
kehilangan massa nefron, proteinuria serta hipertensi pada kapiler glomerulus.
Tekanan kapiler glomerulus meningkat dimediasi oleh angiotensin II untuk
menjaga hiperfiltrasi dari fungsi nefron. Angiotensin II yang bertindak sebagai
vasokonstriktor pada arteriola aferen dan arteriola eferen, namun lebih
dominan pada arteriola eferen. Sehingga dapat menaikkan tekanan kapiler
pada glomerulus.Peningkatan tekanan kapiler glomerulus dapat menyebabkan
pori-pori membran glomerulus semakin luas dan mengubah ukuran barier

10
selektif yang memungkinkan protein disaring melalui glomerulus. Protein
disaring dan diserap pada tubulus ginjal, proses tersebut mengaktifkan sel-sel
tubular yang menghasilkan vasoaktif sitokin dan inflamasi yang akan
menyebabkan kerusakan interstitial pada tubulus ginjal sehingga nefron akan
banyak hilang dan menyebabkan penurunan fungsi ginjal.8,12

2.6 Manifestasi Klinis

Pada sepertiga penderita PGK mengeluhkan gejala berupa kekurangan


energi (76%), pruritus (74%), mengantuk (65%), dyspnea (61%), edema
(58%), nyeri (53%), mulut kering (50%), kram otot (50%), kurang nafsu
makan (47%), konsentrasi yang buruk (44%), kulit kering (42%), gangguan
tidur (41%), dan sembelit (35%).

Gangguan ginjal kronis memiliki gejala awal seperti edema, sesak nafas,
kram dan nyeri otot, intoleransi dingin, depresi, kelelahan, kecemasan, dan
disfungsi seksual. Pada tahap 1 dan 2 gangguan ginjal kronis biasanya tidak
memiliki gangguan metabolik dan kebanyakan pasien asimtomatik atau tidak
ada gejala.Gejala biasanya muncul pada tahap 3 dan 4 dengan gejala yang
sedikit. Gejala khas yang berhubungan dengan gangguan ginjal kronis baru
muncul pada tahap 5, yaitu mual, muntah, sembelit, kelelahan, nyeri otot,
pendarahan yang abnormalitas, dan pruritis. 13

Pada pasien dengan CKD terdapat manifestasi klinis yang bervariasi dan
pasien juga memiliki beberapa keluhan, berikut ini :

Tabel 2.2 Manifestasi klinis pada pasien CKD

Derajat CKD Manifestasi Klinis


Derajat I Pasien dengan tekanan darah
normal, tanpa abnormalitas
hasil tes laboratorium dan
tanpa manifestasi klinis
Derajat II Umumnya asimptomatik,
berkembang menjadi
hipertensi, munculnya nilai
laboratorium yang abnormal
Derajat III Asimptomatik, nilai

11
laboratorium menandakan
adanya abnormalitas pada
beberapa sistem organ,
terdapat hipertensi
Derajat IV Munculnya manifestasi klinis
CKD tanpa kelelahan dan
penurunan rangsangan
Derajat V Peningkatan BUN, anemia,
hipokalsemia, hiponatremia,
peningkatan asam urat,
proteinuria, pruritus, edema,
hipertensi, peningkatan
kreatinin, penurunan sensasi
rasa, asidosis metabolik,
mudah mengalami
perdarahan, hiperkalemia

Sumber : Levey, et al. 2003. National Kidney Foundation Practice Guidelines for
Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification.

Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
 Sesuai penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus eritomatous
sistemik (LES), dan lain sebagainya
 Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus,
uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
 Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
khlorida).
a. Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
 Sesuai penyakit yang mendasarinya
 Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault.

12
Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi
ginjal.
 Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik
 Kelainan urinalisis meliputi, proteinuria, hematuri, leukosituria, cast, isostenuria.
b. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis Penyakit ginjal kronik meliputi:
 Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
 Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, dan dikhawatirkan toksik terhadap ginjal yang sudah
mengalami kerusakan.
 Pieografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi
 Ultrasonografi ginjal
 Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi
c. Gambaran Histopatologis
Pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengetahui etiologi, menerapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil
terapi yang diberikan. Pada keadaan ukuran ginjal yang mengecil
(contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas
tidak boleh dilakukan pemeriksaan biopsi. 5,6,8

2.7 Faktor Risiko

Para peneliti di Amerika Serikat telah menemukan daftar delapan faktor


resiko untuk mendeteksi CKD. Delapan faktor tersebut meliputi usia tua,
anemia, wanita, hipertensi, diabetes, penyakit vaskuler perifer dan riwayat
gagal jantung kongestif atau penyakit kardiovaskuler. Dari data yang sampai
saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun
2010 didapatkan urutan etiologi terbanyak penyakit ginjal hipertensi (35%),
nefropati diabetika (26%), glumerulopati primer (12%). Menurut National
Kidney Foundation, faktor resiko penyakit gagal ginjal kronik, yaitu pada
pasien dengan diabetes mellitus atau hipertensi, obesitas, perokok, berumur

13
lebih dari 50 tahun dan individu dengan riwayat penyakit diabetes mellitus,
hipertensi dan penyakit ginjal dalam keluarga. 17

2.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada pasien GGK adalah :

– Volume urine : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria) terjadi
dalam (24 jam – 48) jam setelah ginjal rusak.
– Warna Urine : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah.
– Berat jenis urine : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal contoh :
glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan memekatkan :
menetap pada l, 0l0 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
– pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal dan rasio
urine/ serum saring (1 : 1).
– Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan kerusakan ginjal.
– Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila ginjal tidak
mampu mengabsorpsi natrium.
– Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
– Protein : Proteinuria derajat tinggi (+3 – +4 ) sangat menunjukkan kerusakan
glomerulus bila Sel darah merah dan warna Sel darah merah tambahan juga ada.
Protein derajat rendah (+1 – +2 ) dan dapat menunjukan infeksi atau nefritis
intertisial.
– Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi tambahan warna
merah diduga nefritis glomerulus.
Darah:
– Hemoglobin : Menurun pada anemia.
– Sel darah merah : Sering menurun mengikuti peningkatan kerapuhan /
penurunan hidup.
– pH : Asidosis metabolik (<>
– Kreatinin : Biasanya meningkat pada proporsi rasio (l0:1).
– Osmolalitas : Lebih besar dari 28,5 m Osm/ kg, sering sama dengan urine .

14
– Kalium : Meningkat sehubungan dengan retensi urine dengan perpindahan
seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah).
– Natrium : Biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
– pH, Kalium & bikarbonat : Menurun.
– Klorida fosfat & Magnesium : Meningkat.
– Protein : Penurunan pada kadar serum dapat menunjukan kehilangan protein
melalui urine, perpindahan cairan penurunan pemasukan dan penurunan sintesis
karena kekurangan asam amino esensial.
– Ultrasono ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya masa / kista (obstruksi
pada saluran kemih bagian atas).
– Biopsi ginjal : Dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histologis.
– Endoskopi ginjal / nefroskopi : Untuk menentukan pelvis ginjal (adanya batu,
hematuria).
– E K G : Mungkin abnormal menunjukkan ketidak seimbangan asam / basa. 11

2.9 Tatalaksana

Tabel. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai Stadium

Sumber : Harrison’s Principle of Internal Medicine  17th Ed

15
a. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasamya adalah
sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi
ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara
ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat
menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya,
bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
b. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan
LFG pada pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui
kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk
keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
c. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Terdapat dua cara penting untuk mengurangi
hiperfiltasi glomerulus, berikut penjabarannya:
- Pembatasan asupan protein
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60
ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan
protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6 - 0,8/kg.bb/
hari, yang 0,35 - 0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai
biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35
kkal/kgBB/hari, Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap
status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi jumlah asupan kalori
dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan
karbohidrat, kelebihan protein tidak tidak disimpan dalam tubuh
tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang
terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi

16
protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion
anorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu,
pemberian diet tinggi protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik
akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion
anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik
yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein
akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah
penting lain adalah~asupan protein berlebih (protein overload)
akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus
(intraglomerulus hyperfiltrasion), yang akan meningkatkan
progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein
juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein
dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat
perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
- Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan untuk mengurangi hipertensi
intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi, di samping
bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat
penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron
dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi
glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian
tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan
pembatasan asupan protein, dalam memperkecil hipertensi
intraglomemlus dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu, sasaran
terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat
ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria merupakan faktor
risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain
derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi
ginjal pada penyakit ginjal kronik. Beberapa obat antihipertensi,
terutama Penghambat Ensim Konverting Angiotensin (Angiotensin
Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi

17
terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal
ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan
antiproteinuria.
d. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
merupakan hal yang penting, karena 40-45 % kematian pada penyakit
ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang
termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah,
pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian
dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan
terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan
elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.
e. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang
terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi, antara lain:
- Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik.
Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh
defisiensi eritropoitin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam
terjadinya anemia adalah, defisiensi besi, kehilangan darah (misal,
perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang
pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi
akut maupun kronik.
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin
10 g% atau hematokrit 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi
(kadar besi serum, serum iron, kapasitas ikat besi total/Total Iron
Binding Capacity, feritin serum),mencari sumber perdarahan,
morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain
sebagainya.

18
Tabel. Berbagai penyebab anemia pada CKD
Relative deficiency of erythropoietin
Diminished red blood cell survival
Bleeding diathesis
Iron deficiency
Hyperparathyroidism/bone marrow fibrosis
"Chronic inflammation"
Folate or vitamin B12 deficiency 
Hemoglobinopathy
Comorbid conditions: hypo/hyperthyroidism, pregnancy, HIV-associated disease,
autoimmune disease, immunosuppressive drugs
           Sumber: Harrison’s Principle of Internal Medicine  17th Ed.
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab
utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian
eritropoitin (EPO) mempakan hal yang dianjurkan. Dalam
pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat perhatian
karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya.
Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan
secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan
yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat
dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan
pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai
studi klinik adalah 11-12 g/dl.
- Osteodistrofi Renal
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal
kronik yang sering terjadi. Penatalaksanaan osteodistrofi renal
dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan
pemberian hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian
pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbsi fosfat di
saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal
ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia. Dalam
mengatasi hiperfosfatemia, dapat dilakukan beberapa hal berikut:
Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat
sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara
umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam,

19
karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk
hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800
mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak
dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi.
Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak
dipakai adalah garam kalsium, aluminium hidroksida, garam
magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk
menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam
kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaC03)
dan calcium acetate.
Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic
agent). Akhir- akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat
menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama
sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic
agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik
serta efek samping yang minimal.
Pemberian Kalsitriol (1.25 (OHP). Pemberian kalsitriol
untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Tetapi
pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan
absorbsi fosfat dan kalsium di saluran cerna sehingga
dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam calcium
carbonate di jaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Di
samping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan
terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu, pemakaiannya
dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar
hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal.
f. Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik,
sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya
edem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh
dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun
insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui

20
insensible water loss antara 500 -800 ml/hari (sesuai dengan luas
permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500¬800 ml
ditambah jumlah urin.
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan
natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat
mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian
obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium
(seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah
dianjurkan 3,5¬5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk
mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang
diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat
edema yang terjadi.
g. Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapi)
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik
stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 mI/mnt. Terapi pengganti
tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau
transplantasi ginjal.
- Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk
mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi
dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum
tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan
terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa
yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan
cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg%
dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.
- Dialisis Peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di

21
Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan
orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan
stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin
masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertaico-
morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan
pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri
(mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
- Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal
(anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal,
yaitu:
o Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih
seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya
mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah.
o Kualitas hidup normal kembali
o asa hidup (survival rate) lebih lama
o Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
o Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan
yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan
kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin
kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah,
anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat
badan. 14,19,20

2.10 Komplikasi

22
Komplikasi dari gangguan ginjal kronis adalah gangguan cairan dan
elektrolit, anemia dan penyakit tulang metabolit (Schonder, 2008).Komplikasi
penyakit ginjal yang sesuai dengan derajat fungsi ginjal dapat dilihat pada
tabel. 14

Tabel .Komplikasi penyakit ginjal sesuai dengan derajat fungsi ginjal

Derajat Penjelasan GFR Komplikasi

(mL/menit/1.73 )
1 Kerusakan ginjal ≥90 -
dengan GFR
normal
2 Kerusakan ginjal 60-89 Tekanan darah mulai meningkat
dengan GFR
ringan
3 Kerusakan ginjal 30-59 Hiperfosfatemia, hiperkalsemia,
dengan GFR hiperparatiroid,
sedang hiperhomosistinemia, hipertensi,
dan anemia.
4 Penurunan GFR 15-29 Asidosis metabolik,
hiperkalemia, dislipidemia, dan
Berat
malnutrisi.
5 Gagal ginjal <15 Uremia dan gagal jantung
(Suwitra, 2009)

2.11 Prognosis

Prognosis pasien dengan penyakit ginjal kronis tergantung dari derajat


penurunan fungsi ginjal dan komplikasi yang terjadi dan tergantung pada
seberapa cepat upaya deteksi dan penanganan dini.

23
BAB III
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan
penyakit ginjal yang ditandai adanya kerusakan dari struktur ginjal lebih dari 3
bulan yang dengan atau tanpa penurunan LFG < 60 mL/min/1,73 m2, yang
bersifat progresif dan irreversible. Adapun gejala klasik CKD diantaranya adalah
edema, hipertensi dan anemia. Berdasarkan derajat penyakitnya CKD dibagi
menjadi 5 stage yang dinilai dari LFG.
Gejala klinis CKD meliputi gejala penyakit dasar,
gejala sindrom uremikum serta gejala komplikasi CKD. Penatalaksanaan CKD
disesuaikan dengan derajat kerusakan fungsi ginjal.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. KDIGO. Clinical practice guideline for the evaluation and management of


chronic kidney disease. 2012 (diunduh Maret 2020). Tersedia dari:
http://www.kdigo.org/clinical_practiceguidelines/pdf/CKD/KDIGO_2012_
CKD_GL.pdf
2. National Kidney Foundation. 2015. About Chronic Kidney Disease.
Diakses dari: https://www.kidney.org/kidneydisease/aboutckd. Diunduh
pada 10 Maret 2020.
3. Infodatin. Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Jakarta: Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2017
4. Indonesian Renal Registry. 8th Report Of Indonesian Renal
Registry;2015.IRR: 18- 20.
5. PERNEFRI. 4th Report of Indonesian Renal Registry; 2011. [Diakses: 20
Oktober 2017]. Tersedia di: http://www.indonesianrenalregistry.org/
6. Kidney Disease Improving Global Outcome. KDIGO 2012 Clinical
practice guideline for anemia in chronic kidney disease. Kidney Int Suppl.
2012;2(4):279–335.
7. Suwitra, Ketut: Penyakit Ginjal Kronik. In: Aru W Sudoyo, editor. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing;
2009.
8. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
RI. Riset kesehatan dasar. Bakti Husada; 2013.

9. Levey, et al. 2003. National Kidney Foundation Practice Guidelines for


Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification.
10. National Kidney Foundation, 2010. About Chronic Kidney Disease: A
Guide for Patients and Their Families. In New York: National Kidney
Foundation
11. Pranawa, M. Yagiantoro, Chendra I. Djoko S. Nunuk M. M. Thata, dkk.
Penyakit Ginjal kronis, Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK

25
UNAIR RSU Dr. Soetomo Surabaya. Airlangga University Press
Surabaya. 2010

26

Anda mungkin juga menyukai