Anda di halaman 1dari 18

Zaman Republik Indonesia Serikat (1949−1950)

Dalam masa ini partai-partai politik secara aktif mendukung usaha meng- gabungkan
negara-negara bagian ke dalam Negara Kesatuan Republik Indo- nesia. Konstelasi partai
politik tidak banyak berubah.
Masa Pengakuan Kedaulatan (1949−1959)
Sesudah kedaulatan dejure pada bulan Desember 1949 kita akhirnya diakui oleh dunia
luar, dan sesudah berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara pada bulan Agustus 1950,
pola kabinet koalisi berjalan terus. Semua koalisi melibatkan kedua partai besar yaitu
Masyumi dan PNI, masing-masing dengan partai-partai pengikutnya. Koalisi partai-partai
besar ini menyebab- kan kabinet terus silih berganti.
Akan tetapi stabilitas politik yang sangat didambakan tidak tercapai. Tidak adanya
partai dengan mayoritas yang jelas (Masyumi dan PNI kira-kira sama kuatnya) menyebabkan
pemerintah harus selalu berdasarkan koalisi antara partai besar dengan partai-partai kecil.
Koalisi-koalisi ini ternyata tidak langgeng dan pemerintah rata-rata hanya bertahan selama
kira-kira satu tahun.
Dengan terbentuknya kabinet pertama yang dipimpin oleh Masyumi (dengan Natsir sebagai
pemimpinnya) bangsa Indonesia mulai membangun suatu negara modern (nation building).
Salah satu usaha ialah menyusun suatu UU Pemilihan Umum sebagai simbol persepsi bangsa
Indonesia mengenai demokrasi. Meskipun UUD tidak menyebut pemilihan umum sebagai
cara untuk memilih wakil rakyat atau pemimpin negara, ikhtiar ke arah itu sudah dimulai
sejak 1946. Namun baru pada 1955 Kabinet Burhanudin Harahap dari Masyumi berhasil
melaksanakan Pemilu untuk anggota DPR serta ang- gota Konstituante.36 Pada waktu itu
persepsi masyarakat Indonesia ialah bahwa pemilihan umum merupakan wahana demokrasi
yang sangat krusial. Diharapkan pemilihan umum akan mengakhiri pertikaian antara partai
dan di dalam partai masing-masing yang pada akhirnya membawa stabilitas politik.
Pemilihan umum 1955 yang diselenggarakan dengan 100 tanda gambar menunjukkan
bahwa jumlah partai bertambah dari 21 partai (ditambah wakil tak berfraksi) sebelum
pemilihan umum menjadi 28 (termasuk perorangan). Hasil Pemilu 1955 menghasilkan
penyederhanaan partai dalam arti bahwa

Pemilihan umum pertama mula-mula direncanakan untuk dilaksanakan pada tahun


1941, sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945. Mengenai hasil pemilihan umum 1955,
lihat Herbert Feith, The Indonesian Elections of 1955 (Ithaca, New York: Modern Indonesia
Project, Cornell University, 1957). Lihat juga Panitia Pemilihan Indonesia, Indonesia
Memilih: Pemilihan Umum di Indonesia yang Pertama (Jakarta: Batanghari NV, 1958), hlm.
3-63.

atim.g
arsipj
www.

o.id

Suasana Saat Pemilu 1955 di Surabaya ternyata hanya ada empat partai yang besar
yaitu PNI (57 kursi), Masyumi (57 kursi), NU (45 kursi), dan PKI (39 kursi), yang bersama-
sama menduduki 77% dari jumlah kursi dalam DPR. Partai-partai lainnya (termasuk yang
kecil), yang di masa pra-pemilihan sering memegang peran penting dalam kehidupan politik
(kadang-kadang melebihi dukungannya dalam masyarakat), ternyata masing-masing hanya
memperoleh satu sampai delapan kursi (Lihat Tabel 2 tentang Hasil Pemilihan Umum 1955).
Kabinet pertama hasil pemilihan umum merupakan koalisi dari dua par- tai besar, PNI dan
Masyumi, beserta beberapa partai kecil lainnya, dipimpin oleh Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo (II) dari PNI. PKI tetap di luar kabinet, sesuatu hal yang sangat disesalkan
oleh Presiden Soekarno.37 Kabinet ini merupakan kabinet yang mendapat dukungan paling
besar yang pernah diperoleh suatu kabinet dalam DPR. Akan tetapi ternyata bahwa pemilihan
umum pun tidak dapat membawa stabilitas yang sudah lama didambakan. Kabinet Ali II ini
hanya bertahan selama dua belas bulan (Maret 1956−April 1957) dan selama itu dihadapkan
pada bermacam-macam masalah seperti Konsepsi Presiden dan pergolakan di daerah.
Tabel 2 Hasil Pemilihan umum 1955

Jumlah kursi
No. Nama Partai Jumlah suara Persentase dari Jumlah dalam DPRS (pada
sah total suara sah Kursi masa pembubaran)
01. PNI 8.434.653 22,3 57 42
02. Masyumi 7.903.886 20,9 57 44
03. Nahdatul Ulama 6.955.141 18,4 45 8
04. PKI 6.176.914 16,4 39 17
05. PSII 1.091.160 2,9 8 4
06. Parkindo 1.003.325 2,6 8 5
07. Partai Katolik 770.740 2,0 6 8
08. PSI 753.191 2,0 5 14
09. IPKI 541.306 1,4 4 -
10. PERTI 483.014 1,3 4 1
11. PRN 242.125 0,6 2 13
12. Partai Buruh 224.167 0,6 2 6
13. GPPS (Movement to 219.985 0,6 2 -
Defend the Panca
Sila)
14. PRI 206.261 0,5 2 -
15. PPPRI (Police 200.419 0,5 2 -
Employees
Association of the
Republic of
Indonesia)
16. Partai Murba 199.588 0,5 2 4
17. Baperki (Consultative 178.887 0,5 1 -
Council on Indonesian
Citizenship)
Jumlah kursi
No. Nama Partai Jumlah suara Persentase dari Jumlah dalam DPRS (pada
sah total suara sah Kursi masa pembubaran)
18. PIR- 178.481 0,5 1 3
Wongsonegoro
19. Gerinda (Indonesian 154.792 0,4 1 -
Movement)
20. Permai 149.287 0,4 1 -
21. Partai Persatuan Daya 146.054 0,4 1 -
(Dayak Unity Party)
22. PIR-Hazairin 114.644 0,3 1 18
23. PPTI (Tharikah Unity 85.131 0,2 1 -
Party)
24. AKUI (Islamic 81.454 0,2 1 -
Victory Force)
25. PRD (Village 77.919 0,2 1 -
People’s Party)
26. PRIM (Party of the 72.523 0,2 1 -
People of Free
Indonesia)
27. Acoma (Younger 64.514 0,2 1 -
generation
Communists)
28. R. Soejono 53.305 0,1 1 -
Prawirosoedarso and
Associates
29. Other parties, 1.022.433 2,7 - 46
organizations, and
individual candidates
Total 37.785.299 100,0 257 233
Kabinet Ali II diganti oleh Kabinet Djuanda yang memimpin kabinet ini sebagai
orang non-partai. Kabinetnya disebut “Kabinet Kerja” atau Zakenkabinet Ekstra-Parlementer.
Kabinet Djuanda berhasil bertahan selama dua tahun tiga bulan (25 April 1957−Juli 1959).
Dengan begitu karakteristik periode ini berupa suatu seri krisis kabinet yang tiada henti-
hentinya, sehingga sering disebut sebagai an uninterupted series of crises. Pada umumnya
yang disalahkan adalah partai politik. Salah satu sebab adalah kenyataan bahwa dua partai
yang bersaing tidak dapat memperoleh mayoritas di parlemen. Untuk keperluan itu setiap
partai baru membentuk koalisi dengan partai-partai kecil. Akan tetapi tidak ada loyalitas pada
koalisi. Beberapa kali suatu partai yang menyatakan tidak setuju de- ngan kebijakan kabinet
menarik kembali dukungannya, sehingga kabinet ja- tuh karena kehilangan mayoritas dalam
parlemen dan terjadi krisis kabinet. Untuk mengisi kekosongan dibentuk suatu kabinet baru
dengan koalisi baru yang komposisinya berbeda pula. Dalam keadaan seperti ini sikap partai-
par- tai tidak selalu konsisten; adakalanya menteri dari partai oposisi itu menarik kembali
menterinya, dan adakalanya tidak menarik kembali dengan dalil ke- dudukan menteri dalam
kabinet bersifat pribadi. Dengan demikian umur se- tiap kabinet pendek dan stabilitas politik
terganggu.

Dalam perdebatan mengenai undang-undang dasar, konstelasi politik dalam


Konstituante terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu golongan nasio- nalis—dengan
anggota antara lain PNI, PKI, IPKI—yang terdiri atas 274 ang- gota dan golongan agama—
dengan anggota Masyumi dan NU—yang terdiri atas 230 anggota. Di luar kedua kelompok
besar ini terdapat sebuah kelom- pok kecil sosial-ekonomi yang terdiri dari 10 anggota yang
juga meramaikan perdebatan tersebut.
Karena perbedaan antara dua golongan besar itu tampaknya tidak dapat diatasi,
Presiden Soekarno pada tangga1 22 April 1959 mengajukan usul dalam sidang Konstituante
untuk kembali ke UUD 1945, suatu ide yang beberapa waktu sebelumnya telah dikemukakan
oleh Jenderal Nasu- tion dalam sidang Dewan Nasional pada tahun 1958. Ucapan Jenderal
Na- sution ini mencerminkan kekecewaan di kalangan masyarakat karena se- sudah empat
tahun berunding belum juga ada kesepakatan mengenai UUD baru. Rasa tidak sabar terutama
terdapat di kalangan tentara yang mengha- rapkan suatu eksekutif yang kuat untuk
menghadapi hadangan dari partai dan mengonsentrasikan pada pembangunan. Memang peran
tentara di gelanggang politik telah berkembang dengan diumumkannya SOB pada ta- hun
1957 sesudah jatuhnya kabinet Ali Sastroamidjojo, kabinet terakhir di zaman Demokrasi
Parlementer.
Sesudah pembicaraan panjang, kelompok nasionalis dan kelompok agama akhirnya
dapat menerima usulan untuk kembali ke UUD 1945. Bagi kelompok agama, penerimaan ini
dengan syarat yaitu diterima dengan suatu amandemen di mana perumusan Piagam Jakarta
dicantumkan di dalam UUD 1945. Dalam sidang pleno amandemen yang diselenggarakan
pada tanggal 29 Mei 1959, K.H. Masykur sebagai pengusul, kalah suara.
Setelah kekalahan tersebut, diadakan pemungutan suara mengenai usul Presiden
Soekarno tanpa amandemen sampai tiga kali, yang hasilnya kira- kira sama. Dalam sidang
pemungutan suara terakhir yang diselenggarakan pada tanggal 2 Juni 1959 yang dihadiri oleh
468 anggota menghasilkan 263 suara setuju (yang diperlukan 312 setuju) dan 203 tidak
setuju.42 Hal ini ber- arti bahwa golongan nasionalis memperoleh mayoritas meskipun belum
mencapai mayoritas 2/3 dari anggota yang hadir (quality majority) seperti yang disyaratkan
oleh pasal 137 Undang-Undang Dasar Sementara.
Sesudah kekalahan pemerintah itu, Konstituante direseskan. Kedua pimpinan
Konstituante, Ketua Wilopo (PNI) dan Wakil Ketua Prawoto Mangkusasmito (Masyumi)
dikabarkan akan bertemu dan mencoba untuk ‘menyelamatkan’ Konstituante. Sementara itu
muncul dasas-desus bahwa sebagian besar anggota Konstituante antara lain PKI, PNI, dan
IPKI (IPKI mencerminkan sikap TNI) akan memboikot sidang Konstituante. Setelah
munculnya desas-desus tersebut, muncul pula berita bahwa Suwirjo, Ketua Umum PNI, telah
mengirim kawat ke Presiden Soekarno di Jepang bahwa partainya setuju UUD 1945
didekritkan dan Konstituante dibubarkan saja.
Presiden Soekarno, yang mendukung pemikiran kembali ke UUD 1945, pada tanggal
5 Juli mengeluarkan Dekrit Kembali ke UUD 45 sekembalinya dari perjalanan ke Jepang.
Sekalipun sistem politik Indonesia di masa Demokrasi Parlementer di- anggap gagal,
akan tetapi perlu diakui bahwa periode ini juga banyak jasa- nya. Di bidang legislasi,
misalnya, partai-partai melalui badan legislatif, baik dalam Parlemen Sementara maupun
Parlemen hasil Pemilihan Umum 1955, berhasil mencapai rekor dalam pembuatan undang-
undang, yaitu rata-rata 29,4 dan 48,4 undang-undang per tahun. Hasil ini sangat mengesankan
apa- bila dibandingkan dengan DPR hasil pemilihan umum 1971 yang output-nya hanya 8
undang-undang per tahun.
Masalah akuntabilitas politik, kedua parlemen itu kinerjanya boleh dipuji. Sekalipun
menghadapi perang dengan Belanda, semua hasil perundingan dengan pihak sekutu dibawa
ke KNIP dan diterima baik olehnya, sekalipun melalui perdebatan yang sengit. Perjanjian
Linggarjati diterima bulan Maret 1947, sedangkan Perjanjian Konferensi Meja Bundar
diterima bulan November 1949.
Zaman Demokrasi Terpimpin (1959−1965)
Zaman ini ditandai pertama dengan diperkuatnya kedudukan presiden, antara lain
dengan ditetapkannya sebagai Presiden seumur hidup melalui TAP MRP No III/1963. Kedua,
pengurangan peranan partai politik, kecuali PKI yang malahan mendapat kesempatan untuk
berkembang. Ketiga, peningkatan pe- ranan militer sebagai kekuatan sosial politik. Kadang-
kadang masa ini dina- makan periode Segi tiga Soekarno, TNI, dan PKI (dengan Presiden
Soekarno di sudut paling atas) karena merupakan perebutan kekuasaan antara tiga kekuatan
itu. Dalam rangka melaksanakan konsep Demokrasi Terpimpin berdasarkan UUD 1945
Presiden Soekarno membentuk alat-alat kenegaraan seperti MPR dan DPA. Selain itu juga
dibentuk suatu Dewan Nasional yang terdiri atas 40 anggota yang separuhnya terdiri atas
golongan fungsional, seperti golongan buruh, tani, pengusaha, wanita, pemuda, wakil-wakil
berbagai agama, wakil daerah, dan wakil ABRI. Komposisi Dewan Nasional mencerminkan
pemikiran bahwa di luar partai politik beberapa kelompok masyarakat (termasuk ABRI) perlu
didengar suaranya dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Dalam rangka memperkuat badan eksekutif dimulailah beberapa ikhtiar untuk
menyederhanakan sistem partai dengan mengurangi jumlah partai melalui Penpres No.
7/1959. Maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang menganjurkan pembentukan partai-
partai dicabut dan ditetapkan syarat- syarat yang harus dipenuhi oleh partai untuk diakui oleh
pemerintah. Partai yang kemudian dinyatakan memenuhi syarat adalah PKI, PNI, NU, Partai
Kato- lik, Partindo, Parkindo, Partai Murba, PSII Arudji, IPKI, Partai Islam Perti, se-
dangkan beberapa partai lain dinyatakan tidak memenuhi syarat. Dengan di- bubarkannya
Masyumi dan PSI pada tahun 1960 yang tersisa tinggal sepuluh partai politik saja.46
Di samping itu, pemerintah mencari wadah untuk memobilisasi semua ke- kuatan politik di
bawah pengawasan pemerintah. Wadah yang mendasarkan pada NASAKOM dibentuk pada
tahun 1960 dan disebut Front Nasional. Semua partai, termasuk PKI, terwakili di dalamnya.
Begitu pula kelompok-kelompok yang sebelumnya kurang mendapat kesempatan untuk
berpartisipasi dalam proses membuat keputusan seperti golongan fungsional dan ABRI.
Melalui kehadirannya dalam Front Nasional yang berdasarkan NASAKOM, PKI berha- sil
mengembangkan sayapnya dan memengaruhi hampir semua aspek ke- hidupan politik.47
Secara umum dianggap bahwa Front Nasional ditujukan untuk melemahkan kedudukan
partai-partai politik.
Pada tahun 1965 gerakan Gestapu-PKI mengakhiri riwayat Demokrasi Terpimpin,
yang telah bertahan selama kira-kira enam tahun
Zaman Demokrasi Pancasila (1965−1998)
Salah satu tindakan MPRS ialah mencabut kembali Ketetapan No III/1963 ten- tang
penetapan Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Tindak- an lain yang dilakukan
oleh Orde Baru adalah pembubaran PKI melalui TAP MPRS No. XXV/1966, sedangkan
Partindo yang telah menjalin hubungan erat dengan PKI, dibekukan pada tahun yang sama.
Sementara itu terjadi perdebatan melalui berbagai seminar dan media massa, antara lain
mengenai perlunya mendirikan demokrasi dan membentuk suatu sistem politik yang
demokratis dengan merombak struktur politik yang ada. Partai politik yang menjadi sasaran
utama dari kecaman masyarakat di- anggap telah bertindak memecah belah karena terlalu
mementingkan ideo- logi serta kepentingan masing-masing. Keterlibatan ini sedemikian
dalamnya sehingga mereka tidak sampai menyusun program kerja yang dapat dilaksa- nakan.
Salah satu instansi yang pada masa itu menarik perhatian adalah Ses- koad, Bandung,
lembaga yang sedikit banyak bertindak sebagai pusat pe- mikir (think tank) untuk Orde Baru.
Salah satu peristiwa yang penting ada- lah diadakannya Seminar Angkatan Darat II di
Bandung pada tahun 1966. Beberapa perwira ABRI dan beberapa tokoh sipil diundang untuk
membica- rakan masalah-masalah yang menyangkut penegakan Orde Baru. Beberapa
cendekiawan dari kalangan universitas diundang untuk memberikan maka- lah dan
berpartisipasi dalam diskusi. Salah satu makalah yang berjudul Pemi- lihan Umum dan Orde
Baru membahas tentang dua sistem pemilihan, yaitu sistem perwakilan berimbang (atau
sistem proporsional) dan sistem distrik yang umumnya belum dikenal di Indonesia.48 Salah
satu negara yang me- makai sistem pertama adalah Nederland, sedangkan negara-negara
Anglo- Saxon seperti Inggris dan Amerika memakai sistem kedua.
Mengingat keadaan di Indonesia, seandainya sistem distrik diselengga- rakan di
Indonesia sebagai pengganti sistem proporsional yang telah dipakai dalam Pemilihan Umum
1955, ada kemungkinan terjadinya penyederhanaan partai secara alamiah (artinya tanpa
paksaan) karena jumlah partai kecil mungkin akan berkurang, sekurang-kurangnya mereka
akan terdorong un- tuk bekerja sama satu sama lain. Hal ini diharapkan dapat sedikit banyak
me- ningkatkan stabilitas politik yang kadarnya pada masa itu masih lemah.50
Sebagai hasil perdebatan, baik dalam Seminar Angkatan Darat maupun di luar, akhirnya
sistem distrik dituang dalam rancangan undang-undang pemi- lihan umum yang diajukan
kepada parlemen pada awal tahun 1967 bersama dua RUU lainnya. Akan tetapi ternyata
rancangan-rancangan undang-undang ini sangat dikecam oleh partai-partai politik, tidak
hanya karena dianggap dapat merugikan mereka, akan tetapi juga karena mencakup beberapa
ide baru, seperti duduknya wakil ABRI sebagai anggota parlemen.
Akhirnya pada tanggal 27 Juli 1967 pemerintah dan partai-partai men- capai suatu kompromi
di mana kedua belah pihak memberi konsesi.51 Peme- rintah mengalah dengan menyetujui
sistem pemilihan umum proporsional, tetapi dengan beberapa modiikasi antara lain tiap
kabupaten akan dijamin sekurang-kurangnya satu kursi sehingga perwakilan dari daerah di
luar Jawa akan seimbang dengan perwakilan dari Jawa.
Dua puluh tahun kemudian, dengan konstelasi politik yang telah sangat berubah, saya
berpendapat bahwa selama ”intervensi aparatur negara” dan ”massa mengambang”, dua hal
yang menyebabkan ketidakjujuran dalam pemilu masih diberlakukan, sebaiknya sistem
pemilu proporsional untuk sementara diteruskan dengan beberapa perbaikan. Lihat ”Sistem
Pemilu dan Pembangunan Politik”, dalam Miriam Budiarjo, Demokrasi di Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 1994)
Mengapa eksperimen dengan sistem dwi-partai gagal? Beberapa alasan dapat
dikemukakan, pertama sistem ini sama sekali baru dalam kehidupan politik di Indonesia.
Tidak ada satu pun preseden dalam sejarah bangsa kita sehingga dianggap terlalu radikal.
Mungkin ide itu belum dipikirkan secara matang, apalagi langkah-langkah pelaksanaannya.
Lagi pula rencana ini kurang dimasyarakatkan sebelum diselenggarakan di beberapa tempat
di Indonesia.
Mungkin eksperimen dengan dwi-partai terpengaruh oleh pengalaman di beberapa
negara Barat seperti Inggris dan Amerika yang telah berhasil menghasilkan—tentu
bersamaan dengan beberapa faktor lain—stabilitas yang cukup mantap dan langgeng. Akan
tetapi mengenai tujuan negara dan cara untuk mencapainya, perubahan ini mungkin dianggap
terlalu radikal dan mengalami banyak kesulitan serta tantangan sehingga pada tahun 1969
ditinggalkan sama sekali.
Dipandang dari sudut teori perlu kita simak analisis Robert Dahl bah- wa, sekalipun
sistem dwi-partai dalam beberapa negara seperti Inggris dan Amerika telah dianggap sangat
memuaskan, akan tetapi dalam suasana lain misalnya di negara di mana konsensus nasional
rendah kadarnya (low consen- sus country), sistem dwi-partai malahan dapat mempertajam
suasana konlik antara dua kekuatan politik itu, karena tidak ada kekuatan yang netral, yang
dapat menengahi dua kelompok yang bertikai itu. Dalam keadaan semacam ini, sistem ini
malahan dapat mengakibatkan instabilitas politik.53 Dalam hu- bungan ini Indonesia dapat
dikategorikan sebagai low consensus country di mana tidak ada tempat untuk sistem dwi-
partai.
Sementara itu peranan golongan militer bertambah kuat yang menim- bulkan sebuah rezim
otoriter. Usaha penyederhanaan partai dilanjutkan dengan cara yang sedikit banyak radikal.Di
muka sepuluh partai termasuk Golkar, Presiden Soeharto mengemukakan sarannya agar
partai mengelom- pokkan diri untuk mempermudah kampanye pemilihan umum tanpa partai
kehilangan identitas masing-masing atau dibubarkan sama sekali. Pengelom- pokan ini
mencakup tiga kelompok, yaitu Golongan Nasional, Golongan Spi- ritual, dan Golongan
Karya.

Tabel 3
Hasil Pemilihan Umum Orde Baru 1977-1997

Partai 1977 1982 1987 1992 1997


GOLKAR 232 242 299 282 325
PPP 99 94 61 62 89
PDI 29 24 40 50 11
TOTAL 360 360 400 400 425

Evaluasi Partai Politik 1945−1998 dan Rekomendasi


Partai politik di Indonesia yang telah berdiri sejak masa kolonial telah menjalani
beberapa fase perkembangan sesuai dengan rezim yang membentuknya. Pada masa kolonial,
partai politik lahir sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Kegiatan kepartaian
pada masa Jepang mengalami penurunan drastis dengan dibubarkannya partai-partai ini
karena penjajah Jepang tidak mentolerir dan melarang semua kegiatan politik. Hanya
golongan Islam diperkenankan membentuk suatu organisasi sosial yang dinamakan Masyumi.
Setelah mengalami penurunan peran pada masa pendudukan Jepang, peranan partai politik
mengalami masa kejayaan pada masa Demokrasi Parlementer. Usaha ke arah pembentukan
pemerintahan yang demokratis dengan partai politik sebagai pilar utamanya mengalami
kegagalan karena demokrasi berkembang menjadi demokrasi yang tidak terkendali (unbridled
democracy). Pada saat itu mulailah rezim otoriter yaitu Demokrasi Terpimpim dan
Demokrasi Pancasila. Pada dua periode ini bebe- rapa pasal dari UUD 1945 diberi tafsiran
khusus sehingga dibuka peluang untuk berkembangnya sistem non-demokrasi. Dalam kedua
rezim otoriter ini, partai politik tidak banyak memainkan peran bahkan dapat dikatakan pe-
rannya dikooptasi oleh Presiden Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin dan oleh
Presiden Soeharto pada masa Demokrasi Pancasila. Keadaan non- demokratis ini berlangsung
selama hampir 40 tahun.
Dalam kaitannya dengan peran partai politik, baik rezim Soekarno mau- pun Soeharto
melihat partai politik sebagai sumber kekacauan dari sistem politik yang mereka bangun.
Karena itu, keinginan untuk menyederhanakan partai politik kerap muncul dalam rangka
menciptakan kestabilan politik. rikut ini adalah usulan-usulan ke arah penyederhanaan partai
politik dalam rangka membangun sistem multi partai yang kuat dan demokratis.
Mengurangi jumlah parta-partai politik untuk meningkatkan stabilitas politik.
Terbatasnya jumlah partai akan mempermudah partai untuk mencapai mayoritas (50%+1)
atau sekurang-kurangnya menyusun suatu koalisi yang relatif kuat.
Terbatasnya jumlah partai akan mengurangi fragmentasi dan kecende- rungan sentrifugal dari
partai-partai.
Partai-partai kecil sebaiknya bergabung atau sekurang-kurangnya kerja sama untuk
memperoleh kursi dalam parlemen.
Membatasi jumlah partai misalnya dengan menentukan beberapa sya- rat. Salah satu
syaratnya adalah bahwa partai yang memperoleh suara kurang dari persentase tertentu
(misalnya 5%) tidak diberi kursi dalam DPR, sekalipun di luar DPR partai itu dapat eksis
terus. Hal ini dinamakan electoral threshold.
Banyak kalangan masyarakat tidak menyetujui penggabungan partai- partai menjadi tiga
partai yang diadakan di zaman Orde Baru karena adanya unsur-unsur paksaan di dalamnya.
Massa mengambang (loating vote) dalam zaman Orde Baru dianggap tidak fair dan perlu
dihapuskan.
Zaman Reformasi
Periode Reformasi bermula ketika Presiden Soeharto turun dari kekuasaan 21 Mei
1998. Sejak itu hari demi hari ada tekanan atau desakan agar diadakan pembaharuan
kehidupan politik ke arah yang lebih demokratis. Diharapkan bahwa dalam usaha ini kita
dapat memanfaatkan pengalaman kolektif selama tiga periode 1945 sampai 1998. Dalam
konteks kepartaian ada tuntutan agar masyarakat mendapat kesempatan untuk mendirikan
partai. Atas dasar itu pemerintah yang dipimpin oleh B.J. Habibie dan Parlemen
mengeluarkan UU No 2/1999 tentang Partai Politik. Perubahan yang didambakan ialah
mendirikan suatu sistem di mana partai-partai politik tidak mendominasi kehidupan politik
secara berlebihan, akan tetapi yang juga tidak memberi peluang kepada eksekutif untuk
menjadi terlalu kuat (executive heavy). Sebaliknya, kekuatan eksekutif dan legislatif
diharapkan menjadi setara atau nevengeschikt sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Partai politik yang mendaftarkan diri ke Departemen Kehakiman ber- jumlah 141.57 Tetapi
setelah diseleksi tidak semuanya dapat mengikuti Pemi- lihan umum 1999. Partai politik yang
memenuhi syarat untuk menjadi peser- ta pemilihan umum hanya 48 saja.
Hasil pemilihan umum 1999 (lihat Tabel 4) menunjukkan bahwa tidak ada partai yang
secara tunggal mendominasi pemerintahan dan tidak ada partai yang memegang posisi
mayoritas mutlak yang dapat mengendali- kan pemerintahan. PDIP yang memperoleh suara
dan kursi paling banyak (35.689.073 suara dan 153 kursi) ternyata tidak dapat menjadikan
Megawati Soekarnoputri (ketua umum) Presiden RI yang ke-4. Dengan adanya koalisi partai-
partai Islam dan beberapa partai baru menjadi kubu tersendiri di DPR, yang dikenal dengan
Poros Tengah, posisi PDIP menjadi kalah kuat. Sebagai akibatnya yang dipilih oleh MPR
menjadi presiden adalah pendiri PKB, partai yang di DPR hanya memperoleh 51 kursi, yaitu
KH Abdurrahman Wahid.

Tabel 4
Perolehan Suara dan Kursi Enam Besar dalam Pemilihan Umum 1999

Nama Perolehan Perolehan


Partai Suara Persentase Kursi Persentase
PDIP 35.689.073 33,74 153 33,11
Golkar 23.741.749 22,44 120 25,97
PPP 11.329.905 10,71 58 12,55
PKB 13.336.982 12,61 51 11,03
PAN 7.528.956 7,12 34 7,35
PBB 2.049.708 1,93 13 2,81

Angka ini merupakan angka resmi Komisi Pemilihan Umum, di mana penulis menjadi
anggota Tim 11 yang antara lain bertugas menyeleksi partai politik yang akan mengikuti
Pemilu 1999.
Menjelang pemilihan umum 2004 partai-partai yang perolehan suaranya dalam
pemilihan umum 1999 tidak memadai dan yang karena itu tidak dapat mengikuti pemilihan
umum, berbenah lagi untuk dapat ikut. Ada yang ber- gabung, ada pula yang bermetamorfose
menjadi partai baru. Pendek kata, mereka harus menyesuaikan diri dengan ketentuan UU No.
31/2002 Tentang Partai Politik dan UU No. 12/2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD. Keenam partai yang disebutkan di atas dengan sendirinya dapat
mengikuti pemilihan umum 2004, tanpa diveriikasi lagi.
Selain itu partai yang sudah ada sejak pemilihan umum 1999, menjelang pemilihan umum
2004 juga bermunculan lagi partai-partai baru. Pada awal 2003, akibatnya jumlah partai
politik bertambah lagi; sampai 237 partai yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia. Kemudahan mendirikan partai seperti yang terjadi menjelang pemilihan
umum 1999 ma- sih berlangsung hingga saat ini.
Dalam usaha untuk mengurangi jumlah partai, ditentukan juga per- syaratan yang dinamakan
Electoral Threshold. Electoral Threshold ini adalah keadaan yang harus dipenuhi oleh partai
politik atau gabungan partai po- litik yang boleh mengajukan calon presiden dan wakil
presiden. Electoral Threshold untuk pemilihan legislatif 3% dari jumlah kursi di DPR dan
untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 3% dari jumlah kursi di DPR atau 5% dari
perolehan suara sah suara nasional.
Akan tetapi pada pemilihan umum 2004 ada dua tahap seleksi yang harus mereka
lalui untuk dapat menjadi peserta Pemilihan umum 2004. Per- tama, seleksi yang dilakukan
oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Kedua, seleksi yang dilakukan oleh
Komisi Pemilihan Umum. Me- reka yang tidak lolos pada seleksi pertama tidak
diperbolehkan mengikuti seleksi tahap kedua. Dari jumlah tersebut yang dapat mengikuti
seleksi di KPU hanya 50 partai, sedangkan yang lolos seleksi tahap kedua sehingga dapat
mengikuti Pemilihan umum 2004 hanya 24 partai. Dengan demikian pada akhirnya jumlah
partai yang mengikuti Pemilihan umum 2004 adalah separo dari peserta pemilihan umum
1999.
Selain kuantitas, ada hal lain yang patut dicatat dari kehidupan kepartaian di Indonesia pada
masa ini.
Hal kedua berkenaan dengan adanya kebebasan dalam hal asas. Sebe- lumnya, dalam
UU No. 3 Tahun 1985 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya ditegaskan bahwa
Pancasila harus menjadi satu-satunya asas bagi se- mua partai dan Golkar, tanpa embel-embel
lain. Sebaliknya UU No. 2/1999 memberikan kebebasan kepada partai politik untuk
menggunakan asas lain selain Pancasila. Oleh karena itu bermunculanlah partai-partai politik
yang berasas lain seperti nasionalisme ataupun keagamaan.
Hal ketiga berkenaan dengan hubungan sipil-militer. Salah satu hal yang membedakan
periode reformasi dengan sebelumnya adalah adanya semangat untuk menghapuskan peran
militer dalam politik. Hal ini mempu- nyai pengaruh langsung terhadap kehidupan
kepartaian. Jika pada masa Or- de Baru militer (dan pegawai negeri sipil/PNS) tidak
dibenarkan menjadi ang- gota partai politik (namun secara diam-diam merupakan pendukung
setia Golkar sesuai prinsip monoloyalitas), pada masa pasca Orde Baru banyak to- koh
purnawirawan militer menjadi fungsionaris ataupun pimpinan partai.
Hal keempat berkenaan dengan masuknya orang-orang yang bukan berlatar belakang politik
menjadi elite partai politik. Di antara mereka ada yang berasal dari kalangan pengusaha,
akademisi, ulama, ataupun seniman. Gejala ini sebenarnya sudah terjadi menjelang
berakhirnya kekuasaan Orde Baru, tetapi pada masa reformasi terjadi percepatan secara
signiikan. Namun sejauh ini masih terlalu dini untuk memberikan penilaian mengenai apa
dan bagaimana warna yang diberikan oleh para politisi baru itu.
Pemilihan umum yang dilaksanakan 7 Juni 1999 itu juga memunculkan hasil yang
polanya mirip dengan Pemilihan umum 1955, yaitu hanya ada se- jumlah kecil partai politik
yang memperoleh dukungan besar. Hanya 5 partai yang memperoleh dukungan seperti itu,
yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Ada beberapa partai yang cukup berpengaruh tetapi tidak cukup besar peroleh- an suara atau
kursinya, seperti Partai Keadilan (PK) dan Partai Bulan Bintang (PBB) (lihat Tabel 5).
Sedangkan sebagian besar yang lain hanya memperoleh jumlah kursi yang tidak signiikan
untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan di DPR. Dengan menentukan syarat-
syarat untuk menjadi perserta di tambah dengan ketentuan electoral threshold58 jumlah partai
yang duduk dalam DPR dapat dikurangi secara alamiah.
Seperti pemilihan umum 1999, hasil pemilihan umum 2004 juga meng- eliminasi sejumlah
partai dan memunculkan beberapa partai besar. Ada 7 partai yang sama sekali tidak
memperoleh kursi, 7 partai yang memenuhi electoral threshold (karena memperoleh
sekurang-kurangnya untuk pemilihan legislatif 3% dari jumlah kursi di DPR dan untuk
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 3% dari jumlah kursi di DPR atau 5% dari perolehan
suara sah suara nasional), dan 10 partai lainnya memperoleh kursi tetapi tidak memenuhi
electoral threshold. Tujuh partai yang tidak memperoleh kursi dan 10 partai lain yang
memperoleh kursi tetapi tidak memenuhi electoral threshold ter- sebut jelas tidak dapat
mengikuti pemilihan umum 2009 kecuali harus me- menuhi ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan undang-undang. Dengan demikian pemilihan umum telah menjadi sarana
pengurangan jumlah par- tai secara alamiah. Pada pemilihan umum 2004 jumlah kursi DPR
yang dipe- rebutkan adalah 550, jumlah pemilih terdaftar 148.000.369, jumlah suara sah
113.487.617. Ketujuh partai yang mencapai electoral threshold pada pemilih- an umum 2004
itu adalah seperti tertera dalam Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5
Perolehan Suara dan Kursi Tujuh Besar dalam Pemilihan Umum Legislatif 2004.

Nama Partai Perolehan Persentase Perolehan Persentase


Suara Kursi
Golkar 24.480.757 21,58 128 23,27
PDIP 21.026.629 18,53 109 19,81
PKB 11.989.564 10,57 52 9,45
PPP 9.248.764 8,15 58 10,54
P Demokrat 8.455.225 7,45 57 10,36
PKS 8.325.020 7,34 45 8,18
PAN 7.303.324 6,44 25 4,54
Sumber: Komisi Pemilihan Umum Tahun 2004

Rangkuman Partai Politik di Indonesia


Sejarah perkembangan Partai Politik Indonesia 1908-2006 secara ringkas dituangkan
dalam Tabel 6 berikut ini:

Tabel 6
Sejarah Perkembangan Partai Politik Indonesia 1908-2006

Periode Sistem Pemerintahan Sistem Partai


Pemerintahan
1908-1942 Zaman Kolonial Sistem multi-partai.
1942-1945 Zaman Pendudukan Jepang Partai politik dilarang.
17 Agustus 1945- Zaman Demokrasi Parlementer
1959 A. Masa Perjuangan
17 Agustus- 1. Sistem Presidensial; UUD 1945 Satu partai PNI.
14 November 1945
14 November 1945- 2. Sistem Parlementer; UUD 1945 Sistem multi-partai.
Agustus 1949
1949-1950 3. Sistem Parlementer; UUD RIS Sistem multi-partai.
1950-1955 B. Masa Pembangunan (Building Nation) Sistem multi-partai. Pemilihan
4. Sistem Parlementer; UUD 1950 umum 1955 menghasilkan 27
partai dan 1 perorangan yang
memperoleh kursi di DPR.
1955-1959 5. Sistem Parlementer; UUD 1950 Sistem multi-partai.
1959-1965 Demokrasi Terpimpin; UUD 1945 Maklumat Pemerintah 3
1. 1959 November 1945 dicabut.
Diadakan penyederhanaan partai
sehingga hanya ada 10 Partai
yang diakui: PKI, PNI, NU,
Partai Katolik, Partindo,
Parkindo, Partai Murba, PSII
Arujdi, IPKI dan Parti Islam
Perti. Masyumi dan PSI
dibubarkan pada tahun 1960.
2. 1960 Dibentuk Front Nasional yang
mewakili semua kekuatan politik.
PKI masuk berdasarkan prinsip
Nasakom. ABRI masuk lewat
IPKI.
1965-1998 Demokrasi Pancasila; UUD 1945

1. 1966 PKI dan Partindo dibubarkan.


2. 27 Juli 1967 Konsensus Nasional a.l. 100
anggota DPR diangkat.
3. 1967-1969 Eksperimen dwi-partai dan dwi-
group dilakukan di beberapa
kabupaten di Jawa Barat, namun
dihentikan pada awal 1969.
4. 1971 Pemilihan umum dengan 10
partai.
5. 1973 Penggabungan partai menjadi 3
partai yaitu Golkar, PDI, dan
PPP.
6. 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 Pemilihan umum hanya diikuti
oleh tiga orsospol (sistem multi-
partai terbatas) PPP, Golkar, dan
PDI.
7. 1982 Pancasila satu-satunya asas.
8. 1984 NU Khittah.
9. 1996 PDI pecah.
1998 (21 Mei) . . . Reformasi; UUD 1945 yang diamandemen Kembali ke sistem multi-partai.
1. 1999 (Juni) Pemilu dengan 48 partai; 21
2. 2004 (April) partai masuk DPR. Pemilu
dengan 24 partai; 7 partai masuk
DPR yaitu Partai Golkar, PDIP,
PKB, PPP, Partai Demokrat,
PKS, dan PAN.

Anda mungkin juga menyukai