Dalam masa ini partai-partai politik secara aktif mendukung usaha meng- gabungkan
negara-negara bagian ke dalam Negara Kesatuan Republik Indo- nesia. Konstelasi partai
politik tidak banyak berubah.
Masa Pengakuan Kedaulatan (1949−1959)
Sesudah kedaulatan dejure pada bulan Desember 1949 kita akhirnya diakui oleh dunia
luar, dan sesudah berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara pada bulan Agustus 1950,
pola kabinet koalisi berjalan terus. Semua koalisi melibatkan kedua partai besar yaitu
Masyumi dan PNI, masing-masing dengan partai-partai pengikutnya. Koalisi partai-partai
besar ini menyebab- kan kabinet terus silih berganti.
Akan tetapi stabilitas politik yang sangat didambakan tidak tercapai. Tidak adanya
partai dengan mayoritas yang jelas (Masyumi dan PNI kira-kira sama kuatnya) menyebabkan
pemerintah harus selalu berdasarkan koalisi antara partai besar dengan partai-partai kecil.
Koalisi-koalisi ini ternyata tidak langgeng dan pemerintah rata-rata hanya bertahan selama
kira-kira satu tahun.
Dengan terbentuknya kabinet pertama yang dipimpin oleh Masyumi (dengan Natsir sebagai
pemimpinnya) bangsa Indonesia mulai membangun suatu negara modern (nation building).
Salah satu usaha ialah menyusun suatu UU Pemilihan Umum sebagai simbol persepsi bangsa
Indonesia mengenai demokrasi. Meskipun UUD tidak menyebut pemilihan umum sebagai
cara untuk memilih wakil rakyat atau pemimpin negara, ikhtiar ke arah itu sudah dimulai
sejak 1946. Namun baru pada 1955 Kabinet Burhanudin Harahap dari Masyumi berhasil
melaksanakan Pemilu untuk anggota DPR serta ang- gota Konstituante.36 Pada waktu itu
persepsi masyarakat Indonesia ialah bahwa pemilihan umum merupakan wahana demokrasi
yang sangat krusial. Diharapkan pemilihan umum akan mengakhiri pertikaian antara partai
dan di dalam partai masing-masing yang pada akhirnya membawa stabilitas politik.
Pemilihan umum 1955 yang diselenggarakan dengan 100 tanda gambar menunjukkan
bahwa jumlah partai bertambah dari 21 partai (ditambah wakil tak berfraksi) sebelum
pemilihan umum menjadi 28 (termasuk perorangan). Hasil Pemilu 1955 menghasilkan
penyederhanaan partai dalam arti bahwa
atim.g
arsipj
www.
o.id
Suasana Saat Pemilu 1955 di Surabaya ternyata hanya ada empat partai yang besar
yaitu PNI (57 kursi), Masyumi (57 kursi), NU (45 kursi), dan PKI (39 kursi), yang bersama-
sama menduduki 77% dari jumlah kursi dalam DPR. Partai-partai lainnya (termasuk yang
kecil), yang di masa pra-pemilihan sering memegang peran penting dalam kehidupan politik
(kadang-kadang melebihi dukungannya dalam masyarakat), ternyata masing-masing hanya
memperoleh satu sampai delapan kursi (Lihat Tabel 2 tentang Hasil Pemilihan Umum 1955).
Kabinet pertama hasil pemilihan umum merupakan koalisi dari dua par- tai besar, PNI dan
Masyumi, beserta beberapa partai kecil lainnya, dipimpin oleh Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo (II) dari PNI. PKI tetap di luar kabinet, sesuatu hal yang sangat disesalkan
oleh Presiden Soekarno.37 Kabinet ini merupakan kabinet yang mendapat dukungan paling
besar yang pernah diperoleh suatu kabinet dalam DPR. Akan tetapi ternyata bahwa pemilihan
umum pun tidak dapat membawa stabilitas yang sudah lama didambakan. Kabinet Ali II ini
hanya bertahan selama dua belas bulan (Maret 1956−April 1957) dan selama itu dihadapkan
pada bermacam-macam masalah seperti Konsepsi Presiden dan pergolakan di daerah.
Tabel 2 Hasil Pemilihan umum 1955
Jumlah kursi
No. Nama Partai Jumlah suara Persentase dari Jumlah dalam DPRS (pada
sah total suara sah Kursi masa pembubaran)
01. PNI 8.434.653 22,3 57 42
02. Masyumi 7.903.886 20,9 57 44
03. Nahdatul Ulama 6.955.141 18,4 45 8
04. PKI 6.176.914 16,4 39 17
05. PSII 1.091.160 2,9 8 4
06. Parkindo 1.003.325 2,6 8 5
07. Partai Katolik 770.740 2,0 6 8
08. PSI 753.191 2,0 5 14
09. IPKI 541.306 1,4 4 -
10. PERTI 483.014 1,3 4 1
11. PRN 242.125 0,6 2 13
12. Partai Buruh 224.167 0,6 2 6
13. GPPS (Movement to 219.985 0,6 2 -
Defend the Panca
Sila)
14. PRI 206.261 0,5 2 -
15. PPPRI (Police 200.419 0,5 2 -
Employees
Association of the
Republic of
Indonesia)
16. Partai Murba 199.588 0,5 2 4
17. Baperki (Consultative 178.887 0,5 1 -
Council on Indonesian
Citizenship)
Jumlah kursi
No. Nama Partai Jumlah suara Persentase dari Jumlah dalam DPRS (pada
sah total suara sah Kursi masa pembubaran)
18. PIR- 178.481 0,5 1 3
Wongsonegoro
19. Gerinda (Indonesian 154.792 0,4 1 -
Movement)
20. Permai 149.287 0,4 1 -
21. Partai Persatuan Daya 146.054 0,4 1 -
(Dayak Unity Party)
22. PIR-Hazairin 114.644 0,3 1 18
23. PPTI (Tharikah Unity 85.131 0,2 1 -
Party)
24. AKUI (Islamic 81.454 0,2 1 -
Victory Force)
25. PRD (Village 77.919 0,2 1 -
People’s Party)
26. PRIM (Party of the 72.523 0,2 1 -
People of Free
Indonesia)
27. Acoma (Younger 64.514 0,2 1 -
generation
Communists)
28. R. Soejono 53.305 0,1 1 -
Prawirosoedarso and
Associates
29. Other parties, 1.022.433 2,7 - 46
organizations, and
individual candidates
Total 37.785.299 100,0 257 233
Kabinet Ali II diganti oleh Kabinet Djuanda yang memimpin kabinet ini sebagai
orang non-partai. Kabinetnya disebut “Kabinet Kerja” atau Zakenkabinet Ekstra-Parlementer.
Kabinet Djuanda berhasil bertahan selama dua tahun tiga bulan (25 April 1957−Juli 1959).
Dengan begitu karakteristik periode ini berupa suatu seri krisis kabinet yang tiada henti-
hentinya, sehingga sering disebut sebagai an uninterupted series of crises. Pada umumnya
yang disalahkan adalah partai politik. Salah satu sebab adalah kenyataan bahwa dua partai
yang bersaing tidak dapat memperoleh mayoritas di parlemen. Untuk keperluan itu setiap
partai baru membentuk koalisi dengan partai-partai kecil. Akan tetapi tidak ada loyalitas pada
koalisi. Beberapa kali suatu partai yang menyatakan tidak setuju de- ngan kebijakan kabinet
menarik kembali dukungannya, sehingga kabinet ja- tuh karena kehilangan mayoritas dalam
parlemen dan terjadi krisis kabinet. Untuk mengisi kekosongan dibentuk suatu kabinet baru
dengan koalisi baru yang komposisinya berbeda pula. Dalam keadaan seperti ini sikap partai-
par- tai tidak selalu konsisten; adakalanya menteri dari partai oposisi itu menarik kembali
menterinya, dan adakalanya tidak menarik kembali dengan dalil ke- dudukan menteri dalam
kabinet bersifat pribadi. Dengan demikian umur se- tiap kabinet pendek dan stabilitas politik
terganggu.
Tabel 3
Hasil Pemilihan Umum Orde Baru 1977-1997
Tabel 4
Perolehan Suara dan Kursi Enam Besar dalam Pemilihan Umum 1999
Angka ini merupakan angka resmi Komisi Pemilihan Umum, di mana penulis menjadi
anggota Tim 11 yang antara lain bertugas menyeleksi partai politik yang akan mengikuti
Pemilu 1999.
Menjelang pemilihan umum 2004 partai-partai yang perolehan suaranya dalam
pemilihan umum 1999 tidak memadai dan yang karena itu tidak dapat mengikuti pemilihan
umum, berbenah lagi untuk dapat ikut. Ada yang ber- gabung, ada pula yang bermetamorfose
menjadi partai baru. Pendek kata, mereka harus menyesuaikan diri dengan ketentuan UU No.
31/2002 Tentang Partai Politik dan UU No. 12/2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD. Keenam partai yang disebutkan di atas dengan sendirinya dapat
mengikuti pemilihan umum 2004, tanpa diveriikasi lagi.
Selain itu partai yang sudah ada sejak pemilihan umum 1999, menjelang pemilihan umum
2004 juga bermunculan lagi partai-partai baru. Pada awal 2003, akibatnya jumlah partai
politik bertambah lagi; sampai 237 partai yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia. Kemudahan mendirikan partai seperti yang terjadi menjelang pemilihan
umum 1999 ma- sih berlangsung hingga saat ini.
Dalam usaha untuk mengurangi jumlah partai, ditentukan juga per- syaratan yang dinamakan
Electoral Threshold. Electoral Threshold ini adalah keadaan yang harus dipenuhi oleh partai
politik atau gabungan partai po- litik yang boleh mengajukan calon presiden dan wakil
presiden. Electoral Threshold untuk pemilihan legislatif 3% dari jumlah kursi di DPR dan
untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 3% dari jumlah kursi di DPR atau 5% dari
perolehan suara sah suara nasional.
Akan tetapi pada pemilihan umum 2004 ada dua tahap seleksi yang harus mereka
lalui untuk dapat menjadi peserta Pemilihan umum 2004. Per- tama, seleksi yang dilakukan
oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Kedua, seleksi yang dilakukan oleh
Komisi Pemilihan Umum. Me- reka yang tidak lolos pada seleksi pertama tidak
diperbolehkan mengikuti seleksi tahap kedua. Dari jumlah tersebut yang dapat mengikuti
seleksi di KPU hanya 50 partai, sedangkan yang lolos seleksi tahap kedua sehingga dapat
mengikuti Pemilihan umum 2004 hanya 24 partai. Dengan demikian pada akhirnya jumlah
partai yang mengikuti Pemilihan umum 2004 adalah separo dari peserta pemilihan umum
1999.
Selain kuantitas, ada hal lain yang patut dicatat dari kehidupan kepartaian di Indonesia pada
masa ini.
Hal kedua berkenaan dengan adanya kebebasan dalam hal asas. Sebe- lumnya, dalam
UU No. 3 Tahun 1985 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya ditegaskan bahwa
Pancasila harus menjadi satu-satunya asas bagi se- mua partai dan Golkar, tanpa embel-embel
lain. Sebaliknya UU No. 2/1999 memberikan kebebasan kepada partai politik untuk
menggunakan asas lain selain Pancasila. Oleh karena itu bermunculanlah partai-partai politik
yang berasas lain seperti nasionalisme ataupun keagamaan.
Hal ketiga berkenaan dengan hubungan sipil-militer. Salah satu hal yang membedakan
periode reformasi dengan sebelumnya adalah adanya semangat untuk menghapuskan peran
militer dalam politik. Hal ini mempu- nyai pengaruh langsung terhadap kehidupan
kepartaian. Jika pada masa Or- de Baru militer (dan pegawai negeri sipil/PNS) tidak
dibenarkan menjadi ang- gota partai politik (namun secara diam-diam merupakan pendukung
setia Golkar sesuai prinsip monoloyalitas), pada masa pasca Orde Baru banyak to- koh
purnawirawan militer menjadi fungsionaris ataupun pimpinan partai.
Hal keempat berkenaan dengan masuknya orang-orang yang bukan berlatar belakang politik
menjadi elite partai politik. Di antara mereka ada yang berasal dari kalangan pengusaha,
akademisi, ulama, ataupun seniman. Gejala ini sebenarnya sudah terjadi menjelang
berakhirnya kekuasaan Orde Baru, tetapi pada masa reformasi terjadi percepatan secara
signiikan. Namun sejauh ini masih terlalu dini untuk memberikan penilaian mengenai apa
dan bagaimana warna yang diberikan oleh para politisi baru itu.
Pemilihan umum yang dilaksanakan 7 Juni 1999 itu juga memunculkan hasil yang
polanya mirip dengan Pemilihan umum 1955, yaitu hanya ada se- jumlah kecil partai politik
yang memperoleh dukungan besar. Hanya 5 partai yang memperoleh dukungan seperti itu,
yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Ada beberapa partai yang cukup berpengaruh tetapi tidak cukup besar peroleh- an suara atau
kursinya, seperti Partai Keadilan (PK) dan Partai Bulan Bintang (PBB) (lihat Tabel 5).
Sedangkan sebagian besar yang lain hanya memperoleh jumlah kursi yang tidak signiikan
untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan di DPR. Dengan menentukan syarat-
syarat untuk menjadi perserta di tambah dengan ketentuan electoral threshold58 jumlah partai
yang duduk dalam DPR dapat dikurangi secara alamiah.
Seperti pemilihan umum 1999, hasil pemilihan umum 2004 juga meng- eliminasi sejumlah
partai dan memunculkan beberapa partai besar. Ada 7 partai yang sama sekali tidak
memperoleh kursi, 7 partai yang memenuhi electoral threshold (karena memperoleh
sekurang-kurangnya untuk pemilihan legislatif 3% dari jumlah kursi di DPR dan untuk
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 3% dari jumlah kursi di DPR atau 5% dari perolehan
suara sah suara nasional), dan 10 partai lainnya memperoleh kursi tetapi tidak memenuhi
electoral threshold. Tujuh partai yang tidak memperoleh kursi dan 10 partai lain yang
memperoleh kursi tetapi tidak memenuhi electoral threshold ter- sebut jelas tidak dapat
mengikuti pemilihan umum 2009 kecuali harus me- menuhi ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan undang-undang. Dengan demikian pemilihan umum telah menjadi sarana
pengurangan jumlah par- tai secara alamiah. Pada pemilihan umum 2004 jumlah kursi DPR
yang dipe- rebutkan adalah 550, jumlah pemilih terdaftar 148.000.369, jumlah suara sah
113.487.617. Ketujuh partai yang mencapai electoral threshold pada pemilih- an umum 2004
itu adalah seperti tertera dalam Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5
Perolehan Suara dan Kursi Tujuh Besar dalam Pemilihan Umum Legislatif 2004.
Tabel 6
Sejarah Perkembangan Partai Politik Indonesia 1908-2006