Anda di halaman 1dari 4

Inisiasi 8

ALFRED SCHUTZ: FENOMENOLOGI DALAM KAJIAN SOSIOLOGI

Schutz memanfaatkan hampir semua konsep fenomenologi Edmund Husserl, bapak


pendiri fenomenologi, sebuah aliran filsafat modern yang fokus pada penampakan
realitas benda sesuai dengan pemahaman subyektif manusia. Dalam pemikiran
Husserl, proses memperoleh pengetahuan dilakukan dengan melakukan reduksi
atau menempatkan ke dalam “tanda kurung” (bracketting atauepoche) semua
penglihatan inderawi manusia. Sebagaimana kita ketahui, panca indra manusia
memiliki keterbatasan untuk melihat sesuatu sehingga bersifat terbatas juga dalam
menyediakan pengetahuan bagi manusia. Maka, menurut Husserl, kita tidak boleh
fokus pada panca indra itu tapi harus mampu memahaminya melalui dimensi internal
(kognisi, kesadaran, intuisi, dll). Kita harus terlebih dahulu meragukan penampakan
oleh panca indra karena bersifat semu. Husserl menyusun tiga kriteria reduksi untuk
memperoleh pengetahuan yang valid, yaitu reduksi fenomenologis, reduksi eiditis,
dan reduksi transendental.

Pada reduksi fenomenologis, kita harus menangguhkan lebih dahulu sikap natural
atau kepercayaan kita terhadap dunia. Setiap pemahaman tentangnya tidaklah
menyuguhkan kebenaran yang sebenarnya. Maka reduksi fenomenologis
merupakan suatu sikap menunda pemahaman yang melekat pada diri manusia
karena benda-benda yang menampakkan diri pada kita hanyalah sebentuk citra
(warna, bentuk, ukuran, dll). Maka penundaan pemahaman akan menyisakan
kesadaran akan benda-benda itu. Nah, dalam reduksi eiditis (eidos= hakikat),
benda-benda hanya menyisakan kesadaran diri tentang benda itu. Jadi, reduksi
eiditis menggeserkan pemahaman dari benda material menuju benda dalam
kesadaran diri. Kita ambil contoh: bertemu dengan seseorang yang memiliki kesan
yang kuat pada diri kita (mantan pacar, orang yang pernah berbuat jahat pada kita,
teman lama, dll). Walaupun orang itu telah pergi, tapi gambarannya masih terkenang
dalam pikiran kita. Itu menandakan pergeseran dari benda material menuju benda
kesadaran diri. Maka pada reduksi transendental, kita tidak harus melihat benda-
benda lagi. Semuanya telah tergambar dengan jelas dalam pikiran atau kesadaran
kita sehingga kebenaran tidak harus melihat lagi realitas kebendaan.
Kritik yang sangat mendasar pada pemikiran Husserl adalah kriteria kebenaran
adalah kesadaran diri tanpa harus melihat realitas. Ini kemudian yang tidak bisa
diterima oleh murid-muridnya, termasuk Alfred Schutz.

Konsep Tentang Manusia dan Masyarakat

 Mengikuti gurunya, Schutz menyebutkan manusia hidup dalam Lebenswelt (dunia-


kehidupan ataulife-world). Dalam dunia kehidupan ini, manusia mendasarkan diri
pada pengalaman subyektif-nya atau pemahaman panca indra-nya terhadap
kehidupan sosial. Jadi, berdasarkan pengalaman subyektif itu, manusia memahami
kebersamaannya dengan manusia lain. Pengalaman subyektif ini yang membuat
manusia mampu melakukan tindakan sosial untuk mengikat diri bersama manusia
lain atau untuk mencapai tujuan dari kebersamaan itu. Tapi karena bersifat subyektif
maka penyelesaian semua kehidupan sosial dilarikan kepada subyektivitas individu.
Kondisi ini yang memungkinkan manusia selalu mengikuti pemahamannya untuk
menilai perilaku dan interaksinya bersama orang lain.

 Menurut Schutz, kehidupan sosial justru ditentukan oleh sejauhmana individu


memahami pengalaman subyektif-nya dalam dunia kehidupan berdasarkan
kesadaran sosial yang terus menerus dilakukan. Misalnya, seseorang harus
mendefinisikan situasi ketika bersama dengan orang lain. “Mendengarkan dosen
memberi materi kuliah di sebuah ruang kampus dari jam 9.00 s/d 11.00” disebut
kuliah; “Makan di pagi hari jam 6.30 s/d 7.00 bersama anggota keluarga sebelum
beraktivitas” disebut “sarapan”. Kemampuan menyusun definisi ini merupakan
kemampuan berpikir tentang dunia sebagai suatu yang tersusun rapi dan teratur.
Kemampuan inilah yang menyebabkan manusia mampu menyadari situasi sosialnya
bersama dengan orang lain. Jadi setiap manusia memiliki kesadaran sosial.

 Jadi, masyarakat adalah kesadaran kolektif atau sosial di mana individu mampu
memahami tindakannya dan tindakan orang lain secara bersama-sama serta
mengkomunikasikannya dengan individu lain. Hal ini dimungkinkan karena
seseorang memiliki kesadaran langsung atas kehidupan sosial dan ia juga
memahami bahwa orang lain pun memiliki kesadaran langsung terhadap kehidupan
sosial juga.
 

Alfred Schutz & Sosiologi Fenomenologi

Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang


mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat
biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti dari
fenomena melalui metode interpretasi. Fenomenologi secara umum dapat diartikan
sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus
memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi
berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit,
fenomenologi dapat dipahami sebagai ilmu tentang gejala-gejala yang
menampakkan dalam kesadaran kita (http://makmum-
anshory.blogspot.com/2009/05/mengenal-filsafat-fenomenologi.html). Fenomenologi
merupakan cabang dari filsafat, yang pertama kali memperkenalkannya adalah
Husserl. Tujuan dari fenomenologi, seperti yang dikemukakan oleh Husserl, adalah
untuk mempelajari fenomena manusia tanpa mempertimbangkan pertanyaan-
pertanyaan tentang penyebab mereka, realitas objektif mereka, atau bahkan
penampilan mereka.

Pendekatan fenomologi kemudian berkembang dalam berbagai disiplin ilmu lain,


seperti psikologi dan sosiologi. Fenomenologi dalam sosiologi dikembangkan oleh
Alfred Schutz, lahir di Wina tahun 1899 dan meninggal di New York pada 1959.
Schutz mengawali pemikirannya terhadap kajian fenomenologis, bahwa objek
penelitian ilmu sosial pada dasarnya berhubungan degan interpretasi terhadap
realitas. Jadi, sebagai peneliti ilmu sosial, harus membuat interpretasi terhadap
realitas yag diamati. Orang-orang saling terikat satu sama lain ketika membuat
interpretasi ini. Tugas peneliti sosial-lah untuk menjelaskan secara ilmiah proses ini.

Dalam melakukan penelitian, peneliti harus menggunakan metode interpretasi yang


sama dengan orang yang diamati, sehingga peneliti bisa masuk ke dalam dunia
interpretasi orang yang dijadikan objek penelitian. Pada prakteknya, peneliti
mengasumsikan dirinya sebagai orang yang tidak tertarik atau bukan bagian dari
dunia orang yang diamati. Peneliti hanya terlibat secara kogniti dengan orang yang
diamati. Peneliti dapat memilih satu ‘posisi’ yang dirasakan nyaman oleh subyek
penelitiannya, sehingga ketika subyek merasa nyaman maka dirinya dapat menjadi
diri sendiri. Ketika subjek menjadi dirinya sendiri inilah yang menjadi bahan kajian
peneliti social (http://perjalananveronkandroll.wordpress.com/2011/03/15/alfred-
schutz-dan-sosiologi-fenomenologi/).

Anda mungkin juga menyukai