Anda di halaman 1dari 19

Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Kejang pada Neonatus

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG...............................................................................1
BAB II ISI................................................................................................................2
2.1 KEJANG PADA NEONATUS.................................................................2
2.1.1 DEFINISI...........................................................................................2
2.1.2 EPIDEMIOLOGI...............................................................................2
2.1.3 FAKTOR RISIKO.............................................................................2
2.1.4 ETIOLOGI.........................................................................................3
2.1.5 PATOFISIOLOGI.................................................................................6
2.1.6 KLASIFIKASI...................................................................................8
2.1.7 DIAGNOSIS......................................................................................9
2.1.8 TATALAKSANA............................................................................13
2.1.9 PROGNOSIS...................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kejang neonatal merupakan suatu keadaan terjadinya perubahan

paroksimal dari fungsi neurologik misalnya perilaku, sensorik, motorik dan fungsi

autonom sistem saraf. Angka kejadian di negara maju berkisar antara 0,8-1,2

setiap 1000 neonatus per tahun. Insiden meningkat pada bayi kurang bulan yaitu

sebesar 20% atau 60/1000 lahir hidup bayi kurang bulan, dibandingkan pada bayi

dengan lahir cukup bulan prevalensinya sekitar 1,4% atau 3/1000 lahir hidup bayi

cukup bulan.1

Kejang dan spasme merupakan keadaan kegawatan atau tanda bahaya,

karena dapat menyebabkan hipoksia otak yang berbahaya. Angka kematian

berkisar 21-58%, sebanyak 30% yang berhasil hidup menderita kelainan

neurologi.1

Kejang merupakan peristiwa yang cukup sering ditemukan pada neonatus.

Angka kejadian kejang pada neonatus ini cukup tinggi. Menurut Evans dan

Levene, kejadian kejang pada neonatus sekitar 0,7-2,5 per 1000 kelajiran hidup.

Kejadian kejang meningkat menjadi 57,5-132 per 1000 kelahiran hidup pada berat

bayi lahir rendah (BBLR).2

Kejang neonatal berkembang seiring waktu. Insiden puncak terjadi antara

usia 12 dan 24 jam tetapi onsetnya tergantung pada etiologi dan pengobatan.

Seringkali kejang berhenti pada usia 72 jam.3

1
2
BAB II

ISI

2.1 KEJANG PADA NEONATUS

2.1.1 DEFINISI

Kejang secara klinis didefinisikan sebagai perubahan paroksimal fungsi

neurologi, termasuk perilaku, gerakan, dan atau fungsi autonom. Kejang

merupakan keadaan dimana terjadinya proses depolarisasi yang berlebih, yang

mengakibatkan terjadinya perubahan paroksismal fungsi neuron dengan atau

penurunan kesadaran.1,4

2.1.2 EPIDEMIOLOGI

Insiden kejang pada neonatus dibedakan menurut berart badan lahir, yaitu

57,5 per 1000 bayi dengan berat lahir < 1500 g, 4,4 pada bayi dengan berat lahir

1500-2499, pada bayi dengan berat lahir 2500-3999 g, serta 2,0 pada bayi berat

lahir >4000 g.4

Penyebab tersering adalah hipoksik-iskemik-ensefalopati (30-50%),

perdarahan intrakranial (10-17%), kelainan metabolik misalnya hipoglikemi (6-

10%), hipokalsemia (6-15%), infeksi SSP (5-14%), infark serebral (7%), inborn

errors of metabolism (3%), malformasi SSP (5%).1

2.1.3 FAKTOR RISIKO

Faktor risiko kejang pada neonatus terdiri dari sebagai berikut :1

2
3

1. Riwayat kejang dalam keluarga

2. Riwayat kehamilan/prenatal

a. Kehamilan kurang bulan

b. Infeksi TORCH atau infeksi lain saat hamil

c. Pemakaian obat narkotik

d. Imunisasi anti tetanus dan rubela

3. Riwayat persalinan

a. Asfiksia, episode hipoksik

b. Trauma persalina

c. KPD

2.1.4 ETIOLOGI

A. CNS causes 3

1. Hypoxic ischemic encephalopathy

 Biasanya terjadi antara empat sampai dua puluh empat jam setelah

lahir

 Biasanya terjadi pada kejang subtle, clonic, dan myoclonic

2. Intracranial haemorrhage

a. Umumnya lebih sering terjadi pada bayi prematur dari pada

bayi yang cukup bulan

b. Perdarahan subdural biasanya berhubungan dengan kontusio

serebral dan lebih sering pada bayi cukup bulan

c. Perdarahan intraventricular biasanya lebih sering terjadi pada

bayi prematur
4

d. Perdarahan subarachnoid lebih sering terjadi pada bayi cukup

bulan

3. Infection of CNS

a. Bacterial meningitis (escherichia coli, streptoccocus agalactiae,

dan listeria monocytogenes)

b. Ensefalitis

 Virus : herpes simplex, enterovirus, atau cytomegalo virus

 Baterial pathogen : escherichia coli dan streptococcus

pneumoniae

B. Other cause 3

1. Biochemical

a. Hypoglycemia

b. Hypocalcemia

c. Hypomagnesemia

d. Hyponatremia

e. Hypernatremia

f. Gangguan siklus urea yang mengakibatkan terjadinya

penumpukan amonia

2. Inborn error of metabolisme

a. Kejang bisa disertai dengan :metabolic acidosis, abdominal

distention, gangguan elektrolit

3. Development

a. Abnormality of brain development.

C. Etiologi berdasarkan umur bayi : 5


5

1. 1-4 hari

a. Hypoxic ischemic encephalopathy

b. Riwayat ibu menggunakan obat narkotik, barbiturate

c. Drug toxicity : lidocaine, penicilin

d. Perdarahan intraventricular

e. Acute metabolic disorders

 Hypocalsemia

 Sepsis

 Maternal hyperthiroidism atau hypoparathyroidism

 Hypoglycemia

 Hyponatremia atau hypernatremia

2. 4-14 hari

a. Infektion

 Meningitis

 Encephalitis

b. Metabolic disorder

 Hypocalsemia

 Hypoglycemia

 Galactosemia

 Fruktosemia

c. Riwayat ibu menggunakan obat narkotika, barbiturat

3. 2-14 minggu

a. Infection

 Herpes simplex atau enteroviral encephalitis


6

 Bacterial meningitis

b. Head injury

 Subdural hematoma

 Child abuse

2.1.5 PATOFISIOLOGI

Depolarisasi berlebihan sel-sel neuron otak disebabkan karena masuknya

ion natrium kedalam sel, sedangkan repolarisasi disebabkan karena keluarnya ion

kalium dari intra seluler ke ekstra seluler. Fungsi neuron adalah menjaga

keseimbangan antara depolarisasi dan repolarisasi. Jika terjadi depolarisasi maka

terjadi potensial aksi yang mengakibatkan pelepasan neuro transmiter dari

presinaps di terminal akson, lalu neurotransmiter akan berikatan dengan reseptor

postsinaps dan menghasilkan potensial aksi yang bersifat eksitasi atau inhibisi.

Fungsi otak normal tergantuk dari keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi.4

Keseimbangan membran potensial membutuhkan energi (ATP) untuk

menggerakan pompa Na-K yang berfungsi untuk mengeluarkan ion kalium dan

memasukan ion natrium. Meskipun kejang pada neonatal belum diketahui

penyebabnnya secara pasti, namun terdapat beberapa teori yang menjelaskan

tentang bagaimana terjadinya depolarisasi yang berlebihan, yaitu yang pertama

pompa Na-K tidak berfungsi akibat kekurangan energi, hipoksik-iskemik dan

hipoglikemia, yang kedua dapat disebabkan karena neurotransmiter eksitasi

(glutamat) yang berlebihan (produksi yang berlebihan atau berkurangnya re-

uptake) sehingga mengakibatkan depolarisasi yang berlebih, ditemukan pada

keadaan hipoksik-iskemik dan hipoglikemia, yang ketiga disebabkan karena


7

defisiensi relatif neurontransmiter inhibisi (gama-amynobutiricacid/ GABA)

mengakibatkan depolarisasi berlebihan, hal ini disebabkan karenan terjadinya

penurunan kerja enzim glutamic acid decarboxylase pada keadaan defisiensi

piridoksin, dan yang terakhir disebabkan karena terganggunya permeabilitas

membran sel, sehingga ion natrium lebih banyak masuk ke intra sel yang

mengakibatkan depolarisasi berlebihan, ditemukan pada hipokalsemia dan

hipomagnesemia karena ion kalsium dan magnesium berfungsi untuk

menghambat masuknya ion natrium.4

Kejang neonatus berbeda dengan kejang pada bayi, anak maupun dewasa.

Kejang neonatus lebih bersifat fragmenter, kurang terorganisasi. Kejang pada bayi

prematur bersifat tidak terorganisasi dibandingkan dengan bayi cukup bulan,

berkainan dengan perkembangan neuroanatomi dan neurofisiologis.4

Organisasi korteks serebri pada neonatus belum terbentuk sempurna,

selain itu pembentukan dendrit, akson, sinaptogenesisdan proses pembentukan

mielinisasi dalam sistem eferen korteks belum selesai. Belum maturnya

pembentukan atau perkembangan anatomi tersebut mengakibatkan kejang yang

terjadi tidak dapat menyebar ke bagian otak yang lain sehingga tidak

menyebabkan kejang umum. Daerah subkorteks contohnya lymbic system

berkembang lebih dahulu dibandingkan dengan daerah korteks dan bagian ini

sudah terhubung dengan diensefalon dan batang otak sehingga kejang pada

neonatus lebih banyak bermanisfestasi seperti gerakan oral-buccal-lingual

movement seperti menghisap, mengunyah, drooling, gerakan bola mata adan

apnea.4
8

Sinaps eksitasi berkembang lebih dahulu dibandingkan sinaps inhibisi

terutama di daerah limbik dan korteks. Selain itu daerah hipokampus dan neuron

korteks yang masih imatur lebih mudah terjadi kejang dibandingkan yang telah

matur. Belum berkembangnya sistem inhibisi pada substansia nigra juga

mempermudah timbulnya kejang.4

2.1.6 KLASIFIKASI

A. Clonic seizure 3,5

1. Ritme pergerakannya, biasanya lambat lama 1 hingga tiga per detik

2. Melibatkan daerah wajah, lengan, kaki, batang tubuh

3. Dibagi menjadi dua yaitu : fokal (satu bagian atau sisi tubuh) dan

multifokal (beberapa area tubuh)

4. Ditemuakan pada bayi cukup bulan

B. Tonic seizure 3,5

Dibagi menjadi dua yaitu : general dan focal

a. General

 Bisa flexi, extensi, atau mixed extensi dan flexi

 Biasanya terjadi pada bayi prematur.

b. Focal

 Single limbs

 Deviasi mata yang berkelanjutan.

C. Myoclonic seizure 3,5

a. Lebih sering ditemukan pada bayi cukup bulan tetapi juga dapat

ditemukan pada bayi yang prematur


9

b. Random, single, rapid contraction, dari otot tungkai, wajah, atau

batang tubuh

c. Menyerupai gerakan clonic tetapi lebih cepat dan memberikan

penampilan bayi yang tersentak-sentak.

D. Subtle seizure 3,5

a. Deviasi mata sementara

b. Nystagmus

c. Berkedip

d. Mouthing (memasukan sesuatu ke mulut)

e. Gerakan ekstremitas abnormal

 Rowing (mendayung)

 Swimming

 Bicylling

 Pedaling

 Stepping

f. Apnea

g. Lebih sering terjadi pada bayi prematur dibandingkan dengan

bayi cukup bulan

E. Spasm 3,5

a. Spasme secara singkat yang berlangsung 1-2 detik

b. Bisa fleksi, ekstensi, atau mixed fleksi dan ekstensi

2.1.7 DIAGNOSIS

A. Anamnesis 1
10

1. Riwayat kejang dalam keluarga

2. Riwayat kehamilan/prenatal

a. Kehamilan kurang bulan

b. Infeksi TORCH atau infeksi lain saat hamil

c. Pemakaian obat narkotik

d. Imunisasi anti tetanus dan rubela

3. Riwayat persalinan

a. Asfiksia, episode hipoksik

b. Trauma persalina

c. KPD

4. Riwwayat pasca natal

a. Infeksi

b. Bayi tampak kuning

c. Perawatan tali pusat tidak steril, penggunaan obat tradisional,

infeksi tali pusat

d. Gerakan abnormal pada mata, mulut, lidah, dan ekstremitas,

lama frekuensi terjadinya kejang

e. Riwayat spasme atau kekakuan pada ekstremitas, dipicu oleh

kebisingan atau tindakan pengobatan.

B. Pemeriksaan fisik 1

Gambaran klinis yang sering terjadi sebagai berikut :

1. Subtle

a. Orofacial :
11

Deviasi mata, kedipan mata, gerakan alis yang bergerak

berulang, gerakan seperti menghisap, mengunyah, mengluarkan air

liur, menjulurkan lidah, gerakan pada bibir.

b. Ekstremitas :

Gerakan seperti orang berenang, mendayung, bertinju, atau

bersepeda.

c. Episode apnu:

Serangan apnu yang termasuk kejang apabila disertai

dengan bentuk serangan kejang apabila disertai dengan bentuk

serangan kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia.

d. Sistem autonom / vasomotor :

Perubahan tekanan darah (takikardi atau hipertensi) atau

peningkatan salivasi.

2. Tonik

a. Fokal :

Fostur tubuh asimetris yang menetap dari badan atau

extremitas dengan atau tanpa adanya gerakan mata abnormal

b. Umum :

Fleksi tonik atau ekstensi leher, badan dan ekstremitas

3. Klonik

a. Fokal :

Gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremitas pada sisi

unilateral, gerakan pelan dan ritmik, frekuensi 1-4 kali per detik.

b. Multifokal :
12

Kejang klonik dengan lebih dari satu fokus atau migrasi

gerakan dari satu ekstremitas secara acak pindah ke ekstremitas

lain. Contohnya, ada kejang klonik lengan kiri lalu selanjutnya

diikuti dengan kejang klonik tungkai bawah kanan.

4. Myoclonik

Random, single, rapid contraction dari otot tungkai, wajah, atau

batang tubuh. Menyerupain gerakan klonik tetapi lebih cepat dan

memberikan penampilan bayi yang tersentak-sentak.

5. Spasme

Spasme pada tetanus neonatorum hampir sama dengan kejang,

tetapi kedua hal tersebut harus dibedakan karena tatalaksananya

berbeda.

Gambaran klinis spasme neonatorum :

a. Kontraksi otot tidak terkendali paling tidak beberapa deting

sampai menit

b. Dipicu oleh sentuhan, suara maupun cahaya

c. Bayi tetap sadar, sering menangis kesakitan

d. Trismus

e. Opistotonus

f. Gerakan tangan mengepal

C. Pemeriksaan penunjang 1

1. Pemeriksaan darah rutin

2. Lumbal pungsi dan pemeriksaan csf

3. Kadar gula darah


13

4. Ultrasonografi : untuk mengetahui adanya perdarahan

intraventrikular

5. CT-scan kepal : untuk mengetahui adanya perdarahan subarahnoid

atau subdural, infark serebral

6. Elektroensefalografi (EEG) : gambaran abnormal pada neonatus

dapat berupa : gangguan kontinuitas, amplitudo atau frekuensi

2.1.8 TATALAKSANA

A. Medikamentosa 1

1. Fenobarbital 20 mg/kgBB IV dalam waktu 10-15 menit, jika

kejang tidak berhenti dapat diulang dengan dosis 10 mg/kgBB

sebanyak 2 kali dengan selang waktu 30 menit. Jika tidak tersedia

jalur intravena, dapat diberikan intramuskular (IM) dengan dosis

ditingkatkan 10-15%.

2. Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin 20 mg/kgBB IV dalam

larutan gaaram fisiologis dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit.

3. Bila kejang masih berlanjut, dapat diberikan :

a. Golongan benzodiazepine misalnya lorazepam 0,05-0,1

mg/kgBB setiap 8-12 jam

b. Midazolam bolus 0,2 mg/kgbb dilanjutkan dengan dosis titrasi

0,1-0,4 mg/kgBB/ jam IV

4. Pengobatan rumatan

a. Fenorbabital 3-5 mg/kgBB/hari, dosis tunggal atau terbagi tiap

12 jam secara IV atau peroral.


14

b. Fenitoin 4-8 mg/kgBB/Hari IV atau peroral, terbagi dua atau

tiga.

5. Pengobatan spasme atau tetanus neonatorum

a. Beri diazempam 10 mg/kgBB/hari dengan drip selama 24 jam

atau bolus IV tiap 3 jam, maksimal 40 mg/kgBB/hari

b. Bila frekuensi napas kurang 30 kali per menit, hentikan

pemberian obat meskipun bayi masih mengalami spasme

c. Beri bayi:

d. Human tetanus immunoglobulin 500 U IM, bila tersedia, atau

tetanus antitoksin 5000 U IM. Tetanus toksoid 0,1 mL IM

e. Benzil penicilin G 100.000 U/kgBB IV dosis selama 10 hari.

f. Berikan ibu imunisasi tetanus toksoid 0,5 ML (untuk

melindungi ibu dan bayi yang dikandung berikutnya) dan minta

datang kembali satu bulan kemudian untuk dosis kedua.

B. Suportif 1

1. Menjaga jalan nafas dan pemberian oksigen untuk mencegah

hipoksia otak yang berkelanjutan.

2. Menjaga kehangan bayi

3. Beri cairan IV dengan dosis rumatan serta tunjangan nutrisi

adekuat

4. Mengurangi rangsangan suara, cahaya maupun tindakan invasif

untuk menghindari bangkitan kejang pada penderita tetanus

5. Pemberian nutrisi bertahap, diutamankan ASI.


15

6. Bila memerlukan ventilator mekanik, maka harus dirujuk ke

rumah sakit dengan fasilitas pelayanan neonatal level III yang

tersedia fasilitas NICU

C. Pemantauan 1

1. Terapi

a. Jika kejang telah teratasi maka dilanjutkan dengan

pemberian antikejang rumatan, fenobarbital 5

mg/kgBB/hari adalah pilihan pertama.

b. Pemberian dosis rumatan dihentikan setelah tidak ada

kelainan neurologis dan atau kelainan gambaran EEG

2.1.9 PROGNOSIS

Prognosis bergantung pada etiologi, serta usia gestasi. 27%

penderita menjadi epilepsi, 25% menjadi palsi serebral, 20%

mengalami retardasi mental, 27% menjadi kesulitan belajar.

Prognosis jelek pada ensefalopati, penyulit IVH, infeksi pada

preterm infants, gambaran EEG interiktal abnormal, pada

disgenesis serebral, dan penggunaan antikejang multipel.6


DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Ed II Tahun


2011
2. Syahreni E. Rekomendasi Perawatan Terkini Dalam Penatalaksanaan
Kejang Pada Neonatus. J Keperawatan Indonesia. 2014;8(2):70–5.
3. Guidelines Q clinical. Maternity and Neonatal Clinical Guideline. Queensl
Heal [Internet]. 2017;1–39. Available from: www.health.qld.gov.au/qcg.
Accessed June, 2020.
4. Handryastuti S. Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis dan
Tata laksana. Sari Pediatr. 2016;9(2):112.
5. Marcdante KJ, Kliegman RM JHB. Types of Neonatal Seizures. Nelson
textbook of pediatrics. Singapore: Saunders Elsevier; 2017. 12143–12159
p.
6. Anak DIK, Padjadjaran/ FKU, Sadikin RDH, 2014. Pedoman Diagnosis
Dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. edisi lima. Garna H, Nataprawira HM,
editors. Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin; 2014. 752–753 p.

17

Anda mungkin juga menyukai