Anda di halaman 1dari 102

Volume II Nomor

Juli - Desember

2016
Jurnal Kedokteran Baiturrahmah

JKB
Baiturrahmah Medical Journal

Susunan Redaksi

Pelindung
Prof. dr. Amirmuslim Malik, PhD

Penanggung Jawab
Dra. Fidiariani Sjaaf, MSi

Pemimpin Redaksi
Dr. dr. Hafni Bachtiar, Mph

Dewan Redaksi
Prof. dr. Amirmuslim Malik, PhD
Prof. Dr. dr. Nursal Asbiran
Suharni, Ssi, M. Biomed, PhD
Rusnardi Rahmat, PhD
dr. Jefri Hengki, Sp, BS
Dra. Sri Wahyuni, M.Pd

Sekretariat
Olivitari Kumala, Ssi
Idiryan Ade Putra, S. Kom

Penerbit
Gedung Dekanat Fakultas Kedokteran Universitas Baiturrahmah
Jalan Raya By Pass Km 15 Aie Pacah Padang
Mobile : 082285147795(Suharni)
Email : jkb.unbrah@gmail.com

i
Jurnal Kedokteran Baiturrahmah

JKB
Baiturrahmah Medical Journal
ISSN 2407 - 358X Volume II Nomor 1
Juli - Desember 2016
DAFTAR ISI
Pengaruh Pemberian Epinephrine Berbagai Konsentrasi Terhadap Jumlah
Spermatozoa Mencit (Mus Musculus) Strain Jepang
Dessy Abdullah ...................................................................................................... 01

Pengaruh Terapi Kanamisin Terhadap Pendengaran Dan Kualitas Hidup


Pasien Tuberkulosis Resisten Obat Ganda
Wahyudi ................................................................................................................. 08

Diagnosis dan Prognosis pada Traumatic Brain Injury: Peran Biomarker


Neuronal dan Glial
Dian Ayu Hamama Pitra ....................................................................................... 18

Wernicke's Aphasia After Subarachnoid Haemorrhage With Arterivenous


Malformation: Case Report
Lydia Susanti ......................................................................................................... 29

Ambang Dengar Pada Remaja Yang Menggunakan Personal Listening


Devices (PLDs)
Roni Januardi ........................................................................................................ 35

Program Peningkatan Kemampuan Perawatan Diri Dan Hidup Mandiri Pada


Pasien Skizofrenia
Mutiara Anissa ...................................................................................................... 43

Aspek Klinis dan Pemeriksaan Laboratorium Clostridium Perfringens Tipe A


Debie Anggraini ..................................................................................................... 53

Keterlambatan Penatalaksanaan Benda Asing Gigi Palsu di Esofagus


Seres Triola ............................................................................................................ 62

Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Pencegahan Penyakit


Difteri Di Kelurahan Kalumbuk Padang
Mariza Elsi............................................................................................................. 70

Hubungan Pengetahuan dan Sikap Keluarga Dalam Pemanfaatan Sarana


Sanitasi Air Bersih Dengan Kejadian Diare di Kelurahan Korong Gadang
Kuranji
Nurhamidah........................................................................................................... 79

Pengaruh Pemberian Suplemen Oral Asam Lemak Omega-3 Terhadap Nilai


Tear Break Up Time Pada Pasien Meibomian gland Dysfunction
Haves Ashan........................................................................................................... 86
ii
Jurnal Kedokteran Baiturrahmah
(JKB)
Petunjuk Bagi Penulis

JKB menerima naskah yang berhubungan dalam Bab Metode. Bila dalam
dengan ilmu Kedokteran berupa artikel situasi sulit sehingga keterangan
asli / hasil penelitian (original article), tersebut tidak dapat diperoleh, penulis
meta-analisis, tinjauan pustaka sistematik harus mengikuti kaidah yang tertera
(systematic review), comprehensive dalam deklarasi Helsinski. Kesulitan
review, laporan kasus, seri kasus, ide dan memperoleh sertifikat Lolos Kaji
inovasi (selected ideas and innovations) Etik (Ethical Clearance) harus
mengenaiilmu Kedokteran, Kesehatan, diterangkan juga dalam Bab Metode.
Molekuler Sains, dan ilmu pengetahuan 5. Seluruh pernyataan dalam artikel
dasar (basic science), ditambah orbituary menjadi tanggung jawab penulis.
tokoh yang berperanan dalam ilmu 6. Surat pernyataan tertulis mengenai
Kedokteran Indonesia. orisinalitas. Bila penulis lebih dari satu
JKB juga menerima naskah berupa surat orang, maka surat pernyataan
kepada editor (letter to editor) dan ditandatangani oleh seluruh penulis.
komentar / tanggapan terhadap artikel 7. Penulis menyerahkan naskah dalam
yang sudah dimuat serta opini. bentuk CD atau dikirim melalui email
ke alamat redaksi disertai daftar
kelengkapan masalah (check list),
Beberapa Ketentuan 8. Naskah yang tidak memenuhi syarat
1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia akan dikembalikan kepada penulis
atau bahasa Inggris dengan untuk diperbaiki / dilengkapi sebelum
menggunakan bahasa / istilah baku dan diproses (dikirimkan kepada peer
efisien. reviewer dan proses editorial).
2. Naskah yang diserahkan belum pernah
diterbitkan sebelumnya dan hanya Format
ditujukan kepada jurnal ini. Hal ini Naskah berupa penelitian, meta-analisis
dinyatakan dengan surat keterangan atau systematic review dengan susunan
menyangkut hal tersebut dalam bentuk sebagai berikut:
Surat Pernyataan yang ditandatangani  Pendahuluan (latar belakang,
di atas materai. masalah, tujuan dan manfaat)
3. Hak cipta seluruh isi naskah yang telah  Metode
dimuat beralih kepada penerbit jurnal  Hasil
dan seluruh isinya tidak dapat dilakukan  Pembahasan
reproduksi dalam bentuk apapun tanpa  Kesimpulan dan Saran
izin penerbit.  Pernyataan Terima Kasih (bila ada)
4. Tulisan mengenai penelitian yang
 Daftar Kepustakaan
menggunakan subyek manusia ataupun
hewan harus disertai surat keterangan Naskah berupa laporan kasus dengan
Lolos Kaji Etik (Ethical Clearance). susunan sebagai berikut:
Informed Consent merupakan sesuatu
 Pendahuluan
yang mutlak pada penelitian dengan
subyek manusia. Keterangan  Kasus
mengenai hal ini dicantumkan  Pembahasan
 Kesimpulan

iii
 Daftar Kepustakaan Abstrak
Abstrak 1) Dibuat dalam bahasa
Naskah lain menyesuaikan.
Indonesia dan Inggris disertai kata kunci
(keywords) yang memuat 3-5 kata (atau
Artikel diketik dengan program Microsoft
frasa). 2) Artikel asli / laporan hasil
Word versi 2007 ke atas di atas kertas
penelitian (original article), meta-
berukuran A4 (21x29,7 cm), layout dengan
analisis, tinjauan pustaka sistematik
batas sisi kiri 3 cm, atas, kanan dan bawah 3
(systematic review), comprehensive
cm, dengan huruf Times New Roman
review dibuat terstruktur, yaitu:
berukuran 12 point berjarak 1 spasi.
Pendahuluan (Introduction), Metode
Keterangan gambar dan keterangan tabel
(Methods), Hasil dan Konklusi atau
(caption), isi tabel dan daftar kepustakaan
Kesimpulan (Results and Conclusion). 3)
diketik dengan huruf Times New Roman
Jumlah kata tidak lebih dari 300 kata
berukuran 10 point berjarak 1 spasi.
untuk artikel asli / laporan hasil
penelitian (original article), meta-
Naskah yang masuk harus mengikuti
analisis, tinjauan pustaka sistematik
standar jumlah kata dan gambar yang telah
(systematic review), comprehensive
ditetapkan sebagai berikut.
review; 200 kata untuk laporan kasus,
1. Untuk artikel asli / laporan hasil
seri kasus, ide dan inovasi (selected ideas
penelitian (original article), meta-
and innovations).
analisis, tinjauan pustaka sistematik
(systematic review), comprehensive
Tabel / gambar
review: total jumlah kata sampai
Surat izin dari penerbit disertakan untuk
dengan 3000 kata dan maksimal 20
setiap artikel yang menggunakan materi
gambar.
artikel berupa teks, gambar maupun tabel
2. Untuk laporan kasus, seri kasus, ide
yang pernah dipublikasi.
dan inovasi (selected ideas and
Tabel dan gambar diletakkan dalam
innovations): total jumlah kata sampai
lembar terpisah di akhir artikel dan
dengan 1000 kata dan maksimal 4
disebutkan letaknya dalam narasi. Judul
gambar.
tabel diletakkan di atas dan diberi nomor
3. Surat kepada editor (letter to editor),
yang ditulis dengan angka Arab. Setiap
komentar/ tanggapan terhadap artikel
singkatan dalam tabel diberi keterangan
yang sudah dimuat. jumlah kata
sesuai urutan alfabet berupa catatan kaki
sampai dengan 500 kata, dengan 2
yang diletakkan di bawah tabel. Judul
gambar, dan 5 daftar pustaka.
gambar diletakkan di bawah dan diberi
nomor yang ditulis dengan angka Arab.
Halaman judul
Penulis juga harus melampirkan surat
Halaman judul berisi 1) Judul naskah
persetujuan dari pasien yang gambarnya
yang ditulis ringkas dan tidak
digunakan dalam artikel apabila dari
menggunakan singkatan. Maksimal 12
gambar tersebut identitas pasien dapat
kata, bila terlalu panjang bisa dipotong
dikenali (atau ditutup matanya agar tidak
menjadi anak judul, 2) Nama lengkap dan
dikenali wajahnya).
gelar akademik penulis, 3) Nama
departemen dan institusi, 4.) Alamat
Metode statistik
korespodensi penulis (setiap penulis harus
Metode statistik yang digunakan harus
memiliki alamat e-mail dan nomor telepon
diterangkan dalam bab metodologi.
yang dapat dihubungi).
Metode yang jarang digunakan harus

iv
diterangkan secara detil serta diberi  Bila penulis jumlahnya 6, maka
keterangan rujukannya. semua nama dicantumkan. Bila
jumlahnya melebihi 6, maka
hanya 6 pertama yang
Ucapan terima kasih dicantumkan, selanjutnya
Ucapan terima kasih terbatas untuk bantuan dituliskan sebagai et.al.
teknis dan atau dana serta dukungan dari  Gunakan huruf besar seminim
pimpinan institusi. Jurnal Kedokteran mungkin, hanya pada huruf pertama
Baiturrahmah. maupun kata-kata yang memang
harus menggunakan huruf besar.
 Gunakan singkatan nama jurnal yang
Daftar Pustaka dibakukan pada situs web NML
Daftar pustaka disusun berdasarkan sistem (national medical library),
Vancouver. Tidak lebih dari 25 buah dan dihttp://www.nlm.nih.gov.tsd/serials/lj
berupa rujukan terbaru dalam satu dekade i/html tanpa titik di akhir setiap
terakhir. Daftar pustaka diberi nomor singkatan, kecuali di akhir.
sesuai dengan urutannya dalam narasi.  Singkatan bulan jurnal diterbitkan
Gunakan contoh yang sesuai dengan adalah tiga huruf pertama
Uniform Requirements for Manuscript  Gunakan tanda semicolon tanpa spasi
Submitted to Biomedical Journal yang setelah pencantuman tanggal (atau
disusun oleh International Committee of bulan atau tahun), dan colon setelah
Medical Journal Editors, 2006. volume dan nomor..;
 Gunakan rentang jumlah halaman,
Penulisan daftar pustaka menurut sistem yaitu halaman pertama dan terakhir
Vancouver tanpa pengulangan angka yangtidak
a. Secara umum, penulisan berdasarkan ada gunanya. Misal: 284-7 dan bukan
nomor urut tampilan dalam teks dan 284-287.
dicantumkan di belakang Contoh:
suatupernyataan dalam format 1. Artikel jurnal secara umum Misal:
superskrip.(4,7) 1. Kasapis C, Thompson PD. The
effects of physical activity on
b. Bila sumber yang disitasi lebih dari serum C-reactive protein and
tiga dan berurutan, maka penulisan inflammatory markers. A
dicantumkan dengan cara(4-7) systematic review. J Am Coll
Cardiol. 2005;45(10):1563-9.
c. Artikel yang bersumber dari jurnal 2. Atau (bila jurnal tersebut memiliki
 Nama penulis, judul artikel, singkatan paginasi yang berkesinambungan)
nama jurnal, tahun, bulan (bila ada), Misal:
tanggal (bila ada), volume, nomor, 10. Halpern SD, Ubel PA, Caplan
halaman. AL. Solid organ transplantation
 Nama penulis disebutkan nama in HIV-infected patients. N Engl
keluarga lalu (tanpa koma) singkatan J Med. 2002;347:284-7.
inisial nama diri dan (given name) 3. Penulis lebih dari 6 orang:
nama panjang (middle name) yang Misal:
tidak dipisahkan spasi. Misal: Halpern 21. Ennis JL, Chung KK, Renz EM,
SD, Ubel PA. Halpern adalah nama Barillo DJ, Albrecht MC, Jones
keluarga, SD adalah singkatan inisial JA, et al. Joint theater trauma sys-
nama depan dan nama panjang. tem implementation of burn

v
resuscitation guidelines improves  Personal author(s) dituliskan sebagai
outcomes in severely burned berikut. Penulis, judul buku, edisi (bila
military casualties. J Trauma. ada, dan bukan yang pertama), kota,
2008;64:S 146-S 152. tahun diterbitkan.
4. Bila terdapat identifikasi unik, maka Misal:
informasi tersebut dapat dicantumkan 11. Murray PR, Rosenthal KS,
pada daftar pustaka: Kobayashi GS, Pfaller MA.
14. Halpern SD, Ubel PA, Caplan Medical microbiology. 4th ed. St-
AL. Solid organ transplantation Louis: Mosby; 2002.
in HIV-infected patients. N Engl
J Med. 2002;347:284-7. PubMed e. Artikel yang bersumber dari suatu bab
PMID: 12140307. dalam buku
5. Untuk jurnal yang penulisnya adalah  Penulis yang artikelnya disitasi, judul
suatu organisasi: bab, editor, judul buku, tempat
Misal: diterbitkan, penerbit, tahun, volume
12. EAST Practice Guideline (bila ada) dan halaman. Catatan:
Committee. Resuscitation halaman menggunakan p. (untuk
endpoints. J Trauma. page atau pages); tidak digunakan
2004;57(4):898-912. pada artikel jurnal.
Misal:
d. Artikel yang bersumber dari buku 9. Salyapongse AN, Billiar TR.
 Sebagaimana artikel pada jurnal, bila Nitric oxide as a modulator of
jumlah penulis lebih dari 6 orang, sepsis: therapeutic possibilities. In:
maka penulis ke 6 dan seterusnya Baue AE, Faist E, Fry DE, editors.
dicantumkan sebagai et al. Multiple organ failure:
 Bila penulisnya adalah suatu pathophysiology, prevention and
organisasi, dituliskan dengan tatacara therapy. New York: Springer;
sebagaimana penulisan daftar pustaka 2000. p. 176-87.
pada artikel.
 Judul buku ditulis dengan huruf besar f. Artikel yang bersumber dari surat kabar
minimal sebagaimana penulisan daftar  Penulis (bila ada), judul artikel, judul
pustaka pada artikel. surat kabar, tahun, bulan, tanggal,
 Nomor edisi hanya dicantumkan untuk section (bila ada), halaman, kolom.
edisi kedua dan atau seterusnya.  Setiap kata pada judul surat kabar
 Titik hanya dicantumkan di akhir diawali dengan huruf besar.
singkatan inisial nama depan dan  Singkatan baku untuk surat kabar:
nama panjang penulis terakhir, setelah Sect. untuk section, col. untuk kolom,
judul buku, setelah nomor edisi, dan untuk bulan digunakan singkatan tiga
di akhir penulisan halaman. huruf pertama.
 Tempat buku diterbitkan diikuti  Tanggal diikuti semicolon (tanpa spasi
semicolon (disertai spasi setelahnya) sesudahnya) dan section diakhiri
dan penerbit yang juga diikuti dengan colon (tanpa spasi sesu-
semicolon (dengan spasi setelahnya). dahnya).
Sedangkan tempat yang tidak  Misal:
diketahui pasti, maka dicantumkan 6. Tynan T. Medical improvements
daerah dimana buku diterbitkan dalam lower homicide rate: study sees
bentuk singkatan di dalam kurung. drops in assault rate. The
Misal: White Plains (NY).

vi
Washington Post. 2002 Aug halaman layar dalam kurung
12;Sect. A:2 (col. 4). kotak [about 1p.].
 Gunakan kalimat `available from:
g. Artikel yang bersumber dari audiovisual 'yang diikuti URL (alamat web)
 Untuk referent audiovisual seperti Misal:
pita rekaman, kaset video, slides dan 9. Abood S. Quality
film, ikuti format seperti pada buku improvement initiative in
dengan mencantumkan media (jenis nursing homes: the ANA
material) dalam kurung kotak setelah acts in an advisory role. Am
judul. J Nurs [internet]. 2002 Jun
Misal: [cited 2002 Aug 12];
2. Chason KW, Sallustio S. 102(6):[about lp.].
Hospital preparedness for Available from
bioterrorism [videocassette]. http://www.nursing;world.or
Secausus (NJ): Network for g/AJN/2002/June/Wawatch.h
Continuing Medical Education; tm
2002. 3) Artikel dengan identifikasi digital
(digital object identifier, DOI)
h. Artikel yang bersumber dari media  Untuk artikel yang memiliki
elektronik DOI, maka informasi tersrbut
1) CD-ROM harus dicantumkan setelah
Untuk referensi CD-ROM, ikuti halaman.
format seperti pada buku dengan Misal:
mencantumkan media dalam kurung 12. Roberts I, Alderson P, Bunn
kotak setelah judul. F, Chinnock P, Ker K,
Misal: Schierhout G. Colloids versus
8. Anderson SC. Poulsen KB. crystalloids for fluid
Anderson's atlas of hematology resuscitation in critically ill
[CD-ROM]. Philadelphia: patients. Cochrane Database
Lipppincot Williams & Wilkins; of Systematic Reviews 2004,
2002. Issue 4. Art. No: CD000567.
2) Internet DOI:
Untuk referensi artikel yang dipublikasi 0.1002/14651858.CD000567.
di internet, ikuti detil bibiliografi pub2.
sebagai jurnal yang dicetak dengan 4) Home page / sites web
tambahan sebagai berikut:  Referensi dari sites web harus
 Setelah judul jurnal (dalam menyertakan home page / situs web
singkatan), tambahkan internet diikuti [internet], nama dan lokasi
dalam kurung kotak. organisasi, beserta tanggal dan
 Tanggal melakukan sitasi materi masa berlakunya copyright.
bersangkutan dengan tahun, Tanggal update dan saat materi
bulan tanggal (dalam singkatan disitasi dicantumkan dalam
dalam kurung kotak tanpa tanda kurung kotak. URL dicantumkan
titik dan diikuti oleh semicolon setelah `Available from:'
[cited 2002 Aug 12]; Misal:
 Setelah volume dan nomor 13. Cancer-Pain.org [internet].
issue, tambahkan jumlah New York: Association of
Cancer Online Resources, In.;

vii
c2000-01 [updated 2002 May
16; cited 2002 Jul 9].
Available from:
http://www.cancer-pain.oria/

Contoh lebih detil untuk referensi menurut


sistem Vancouver dapat ditelusuri pada
situs web: http://www.nlm.
nih.gov/bsd/uniform-requirem~nts.html

Penyerahan Naskah
Naskah dengan program MS Word versi
2007 keatas dapat dikirimkan dalam bentuk
softcopy yang dimuat dalam CD (compact
disc) dengan menyertakan kelengkapan
data (check list); dikirim melalui pos atau
melalui e-mail dan dialamatkan ke
Pemimpin Redaksi:

Suharni, SSi.MSi.Med, PhD.Med


Redaksi Jurnal Kedokteran Baiturrahmah
(JKB)
JI. Raya By Pass Km 15 Aie Pacah Padang,
Sumatera Barat
Email : jkb.unbrah@gmail.com

Redaksi akan melakukan pemeriksaan


kesesuaian format dan kelengkapan data.
Bila naskah yang dikirimkan tidak sesuai
atau tidak lengkap, maka tidak akan
diproses lebih lanjut. Redaksi akan
menyampaikan pemberitahuan mengenai
hal ini. Keputusan untuk dilakukan
editing, revisi, penerimaan ataupun
penolakan naskah dibuat oleh Editor
perdasarkan hasil penilaian dari Dewan
Redaksi dan peer reviewer (mitra bestari).
Editing dapat dilakukan dalam bentuk
pemendekkan naskah, pengurangan
jumlah gambar, tabel ataupun perubahan
format naskah.

Penulis yang naskahnya disetujui untuk


dimuat akan diberi kabar melalui email
sebelum penerbitan volume bersangkutan.

viii
Pengaruh Pemberian Epinephrine Berbagai Konsentrasi Terhadap
Jumlah Spermatozoa Mencit (Mus musculus) Strain Jepang

Dessy Abdullah, SSi, Apt, M.Biomed


Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Baiturrahmah Padang

Abstrak
Infertilitas atau ketidaksuburan bukan hanya merupakan tanggung jawab isteri, tetapi juga termasuk
tanggung jawab pihak suami. Suatu penelitian menunjukkan bahwa sekitar 30 – 40 % penyebab
infertilitas ternyata kesalahannya terdapat pada pihak suami. Banyak faktor penyebab terjadinya
infertilitas pria, yang salah satunya adalah terjadinya gangguan pada proses spermatogenesis (proses
pembentukan dan pematangan sel benih pria). Proses spermatogenesis ini terjadi didalam tubulus
seminiferi testis melalui tahapan-tahapan tertentu dan dikendalikan oleh hormonal yakni hormon
testosteron. Salah satu penyebab infertil pada pria adalah stress yang berkepanjangan yang menyebabkan
terganggunya frekwensi Gonadotropin Releasing Hormone yang penting untuk sekresi LH dan FSH.
Epinephrine sebagai salah satu stressor bahan kimia sering digunakan sebagai salah satu terapi. Selain itu
stressor juga dapat mengaktifkan sistem saraf simpatis (pelepasan norepinephrine) dan respon adrenal
(pelepasan epinephrine). Peningkatan kadar epinephrine dan norepinephrine dapat meningkatkan pulsasi
GnRH. Bila peningkatan pulsasi ini berlebihan dapat menurunkan dan menghentikan sekresi FSH dan
LH. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh pemberian epinephrine berulang
terhadap berat testis dan jumlah spermatozoa. Pemberian injeksi subkutan epinephrine dilakukan setiap
hari selama 35-36 hari (selama 1 siklus proses spermatogenesis mencit) sebanyak satu kali sehari. Pada
penelitian ini menggunakan 25 ekor mencit yang dibagi dalam 5 kelompok berdasarkan perbedaan
konsentrasi epinephrine. Selama 36 hari, 25 ekor mencit mendapat perlakuan pemberian epinephrine
injeksi secara sub kutan dengan konsentrasi 0,002 mg/ml, 0,004 mg/ml, 0,006 mg/ml, 0,01 mg/ml,
sisanya diperlakukan sebagai kelompok kontrol. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisa dengan metode
ANOVA dan dilanjutkan dengan multiple comparisons jenis Bonferroni untuk membandingkan
signifikansi tersebut. Hasil penelitian dibandingkan dengan kontrol. Untuk berat testis pada konsentrasi
0,006 telah menunjukkan signifikansinya

Kata kunci : Epinephrine, Mus Musculus, Stress

The Effect Of Epinephrine In Various Concentration Of Number Of


Albino Mice Sperm (Mus Musculus) Japan Strain

Abstract
Infertility is not merely the wife’s responsibility, but also the responsibility of the husband. The finding of
a research indicated that 30 - 40 % of the case of infertility was simply derived from the husband. There
were many causes of male infertility. One of them is due to the corruption during the spermatogenesis
process (process of forming and maturating of man seed cell). This spermatogenesis process happening
in tubulus seminiferi testis through certain steps and controlled by hormons namely testosterone. One of
the causes of infertility in man is long term stress that can disturb the frequency of Gonadotropin
releasing Hormone which is important for LH and FSH secretion. Epinephrine, one of stressor chemicals,
is often applied as one of therapies. Besides, the stressor also can activate nerve sympathy system
(norepinephrinerelease) and adrenal response (release epinephrine). The improvement of rate in
epinephrine and norepinephrine can increase pulsation GnRH if the improvement of this abundant
pulsation can reduce and stop secretion of FSH and LH. Therefore, this research aims at proving the
effect of continuously giving epinephrine to testicles weight and number of sperm. Giving of hypodermic
subcutaneous epinephrine was done every day during 35-36 days (during 1 white mice spermatogenesis

Korespondensi : Dessy Abdullah, E-mail : dessyabdullah@yahoo.com 1


Dessy Abdullah : Pengaruh Pemberian Epinephrine Berbagai Konsentrasi Terhadap Berat Testis Dan
Jumlah Spermatozoa Mencit(Mus Musculus) Strain Jepang

process cycle) counted once per day. This research applied 25 white mice tails divided into 5 groups
based on difference of concentration of epinephrine. During 36 days, 25 white mice tails got the
treatment of epinephrine hypodermic in subcutan with concentration of 0,002 mg/ml, 0,004 mg/ml, 0,006
mg/ml, 0,01 mg/ml, the rest considered as control group. Result obtained was then analyzed by ANOVA
method and continued with multiple comparisons of Bonferroni type to compare significance. Result of
research was compared to control. The result indicated that number of sperm at concentration of0,004
mg/ml has revealed significantly.

Keywords: Ephinefrine, Mus Musculus, Stress

Pendahuluan kelenjar ini dinamakan dengan istilah


Poros hipotalamus – hipofise – testis.
Infertilitas atau ketidaksuburan bukan Ketiga kelenjar ini harus bekerja secara
hanya merupakan tanggung jawab isteri, baik dan saling kontrol satu sama lainnya.
tetapi juga termasuk tanggung jawab Apabila salah satu dari ketiga kelenjar ini
pihak suami. Suatu penelitian terganggu, maka akan berakibat pada
menunjukkan bahwa sekitar 30 – 40 % kelangsungan proses spermatogenesis dan
penyebab infertilitas ternyata lebih jauh terhadap proses reproduksi.
kesalahannya terdapat pada pihak
suami.1,2 Dalam hal ini ternyata testis punya
peranan penting dalam proses reproduksi
Banyak faktor penyebab terjadinya pria, karena kecuali punya fungsi sebagai
infertilitas pria, yang salah satunya adalah organ yang memperoduksi sel-sel benih,
terjadinya gangguan pada proses juga mempunyai fungsi lain yaitu sebagai
spermatogenesis (proses pembentukan dan organ yang menghasilkan hormon
pematangan sel benih pria). Proses testosteron. Seperti diketahui bahwa
spermatogenesis ini terjadi didalam hormon testosteron inilah yang berperan
tubulus seminiferi testis melalui tahapan- dalam pengendalian proses
tahapan tertentu dan dikendalikan oleh spermatogenesis.3
hormonal yakni hormon testosteron. Secara umum penyebab terjadinya
Hormon testosteron ini dihasilkan oleh infertilitas pria dapat dibagi atas 3
kelenjar testis melalui rangsangan hormon kategori yaitu: Pretestikuler, Testikuler
gonadotropin yang dihasilkan oleh dan Post testikuler.
kelenjar hipofise anterior.
Dalam tulisan ini yang akan dibicarakan
Hormon Gonadotropin yang dihasilkan adalah yang terkait dengan faktor
oleh kelenjar hipofise anterior tersebut testikuler, yaitu merupakan faktor yang
adalah Luteinizing hormon (LH) dan terjadi dalam testis itu sendiri. Faktor
Follikel stimulating hormon (FSH). LH testikuler ini biasanya terjadinya
merupakan regulator sel leydig, sementara gangguan pada proses spermatogenesis
FSH sebagai regulator sel sertoli yang sehingga tidak dihasilkan sel-sel benih
terdapat dalam tubulus seminiferi testis. yang memadai baik secara kwantitas
maupun secara kualitas. Keadaan inilah
Agar proses spermatogenesis berjalan yang menyebabkan seseorang pria jadi
dengan baik diperlukan kerja sama yang infertil. Berbagai kelainan atau penyakit
baik dan konsisten antara 3 kelenjar yang yang dapat menyebabkan gangguan
terdapat dalam tubuh, yakni kelenjar testikuler sehingga mengganggu pada
hipotalamus, kelenjar hipofise anterior proses spermatogenesis dan selanjutnya
dan testis. Hubungan kerja sama ke 3 akan menyebabkan infertil antara lain

2 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Dessy Abdullah : Pengaruh Pemberian Epinephrine Berbagai Konsentrasi Terhadap Berat Testis Dan
Jumlah Spermatozoa Mencit(Mus Musculus) Strain Jepang

adalah Kriptorkhismus, Varikokel, karakteristik perilaku, seperti juga halnya


Radiasi, Orchitis, Kelainan bawaan seperti sifat dari stressor tersebut. 4
sindroma klinefelter, Hormonal dan
Stress. Stressor baik fisik, kimia, dan psikologis
dapat mengaktifkan sistem saraf simpatis
Dalam tulisan ini akan difokuskan pada dan respon adrenal.5 Aktivasi sistem saraf
pembicaraan yang berhubungan dengan simpatis oleh stressor dapat menyebabkan
faktor stress, karena stress merupakan pelepasan neurotransmitter norepinephrine
salah satu faktor yang dapat menyebabkan (NE) lokal pada ujung saraf simpatis
infertilitas pria. postganglionik, sedang aktivasi stressor
pada medula adrenal dapat merangsang
Sebagaimana diketahui bahwa setiap lepasnya epinephrine (E) ke dalam
orang akan mengalami keadaan stress sirkulasi.9 Epinephrine mempunyai sifat
didalam kehidupannya. Namun tentu tidak yang unik yaitu memodulasi sejumlah
setiap individu yang mengalami stress norepinephrine (NE), dimana
akan mengalami infertil. Hal ini norepinephrine yang dilepaskan akan
tergantung pada berat ringan dan jangka diduplikasi dan dikuatkan oleh
waktu stress yang dialami oleh seseorang epinephrine yang mencapai tempat yang
tadi. sama melalui sirkulasi.7,8
Stress yang akan menyebabkan infertil
adalah stress yang berat dan waktu yang Stresor fisik, kimiawi, dan psikologis
cukup lama. Setiap orang mengalami dapat mempengaruhi frekuensi dan
sesuatu yang disebut stress sepanjang amplitudo pulsatif dari Gonadotropin
kehidupannya, stress dapat memberi Releasing Hormone (GnRH). Hal ini
stimulus terhadap perubahan dan penting bagi sekresi Follicle Stimulating
pertumbuhan, namun demikian, terlalu Hormon (FSH) dan Luteinizing Hormone
banyak stress dapat mengakibatkan (LH). Selain itu stressor juga dapat
penyesuaian yang buruk, penyakit fisik, mengaktifkan sistem saraf simpatis
dan ketidakmampuan mengatasi terhadap (pelepasan norepinephrine) dan respon
masalah, menyatakan adanya hubunggan adrenal (pelepasan epinephrine).
antara peristiwa kehidupan yang Peningkatan kadar epinephrine dan
menegangkan atau penuh stress dengan norepinephrine dapat meningkatkan
berbagai kelainan fisik dan psikiatrik.4 pulsasi GnRH. Bila peningkatan pulsasi
ini berlebihan dapat menurunkan dan
Stress adalah segala situasi dimana menghentikan sekresi FSH dan LH.
tuntutan non spesifik mengharuskan Penurunan FSH dan LH akan
seorang individu untuk berespon atau mengganggu produksi hormon
melakukan tindakan. Sedangkan stressor testostyeron dan selanjutnya mengganggu
adalah stimuli yang mengawali atau proses spermatogenesis. Epinephrine
mencetuskan perubahan. Stressor sebagai salah satu stressor bahan kimia
menunjukan suatu kebutuhan yang tidak sering digunakan sebagai salah satu terapi,
terpenuhi dan kebutuhan tersebut bisa saja sehingga penelitian ini bertujuan untuk
kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial, membuktikan pengaruh pemberian
lingkungan, perkembangan, spiritual atau epinephrine secara berulang terhadap
kebutuhan kultural. Respon terhadap berat testis dan jumlah spermatozoa.
segala bentuk stressor bergantung pada Pemberian injeksi subkutan epinephrine
fungsi fisiologis, kepribadian, dan dilakukan setiap hari selama 35-36 hari

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 3


Dessy Abdullah : Pengaruh Pemberian Epinephrine Berbagai Konsentrasi Terhadap Berat Testis Dan
Jumlah Spermatozoa Mencit(Mus Musculus) Strain Jepang

(selama 1 siklus proses spermatogenesis Jenis penelitian yang akan dilakukan


mencit). adalah penelitian eksperimental
laboratoris dengan menggunakan
Sejauh ini belum ada penelitian yang rancangan penelitian post test only control
secara jelas melaporkan apakah pemberian group design.9 Sampel diambil dari
epinephrine dapat mempengaruhi berat populasi yang tidak terbatas umur sekitar
testis dan jumlah spermatozoa yang 2 bulan, dengan berat badan rata-rata 25-
merupakan parameter untuk dapat 35 mg.
mendiagnosa infertilitas pria maka untuk Besar sampel minimal untuk penguji
hal tersebut dilakukan penelitian dengan hipotesis penelitian ditentukan
menggunakan hewan coba. Adapun berdasarkan rumus Abo Crombie.
hewan coba yang digunakan adalah Pemberian dosis epinephrine berdasarkan
mencit (Mus Musculus). Hal ini didasari rumus metode Thomsons, untuk
karena hewan coba ini mudah didapat, menentukan barisan dosis antara dosis
harga relatif murah, pemeliharaan tidak tertinggi dan dosis terendah dalam suatu
terlalu sulit, biaya perawatan murah dan percobaan.
mencit juga dapat digunakan untuk
mewakili mamalia termasuk manusia.
Prosedur Penelitian

Rumusan Masalah
Pembagian kelompok hewan coba
Pembagian kelompok hewan coba
Berdasarkan latar belakang permasalahan
dilakukan secara simple random sampling.
diatas maka rumusan permasalahannya
Dengan menggunakan sistem acak , 25
adalah: “Apakah pemberian epinephrine
ekor mencit dibagi menjadi 5 kelompok
dengan dosis terapeutik dapat
yaitu :
mempengaruhi jumlah spermatozoa
1. Kelompok kontrol / postest : 5 ekor
mencit jantan?”
mencit, pada kelompok ini diambil
vas deferennya sebagai data kontrol
posttest dengan cara pembedahan.
Tujuan Penelitian
2. Kelompok 1 : 5 ekor mencit diberi
injeksi subkutan epinephrine
Tujuan umum konsentrasi 0,002 mg/20 gram BB
Untuk mengetahui pengaruh pemberian sebagai data kelompok satu postest
epinephrine terhadap jumlah spermatozoa 3. Kelompok 2 : 5 ekor mencit diberi
mencit (Mus Musculus) strain Jepang. injeksi subkutan epinephrine
konsentrasi 0,004 mg/20 gram BB
sebagai data kelompok satu postest
Tujuan khusus
4. Kelompok 3 : 5 ekor mencit diberi
Mengetahui efek pemberian epinephrine
injeksi subkutan epinephrine
dengan konsentrasi: 0,002 mg/ml, 0,004
konsentrasi 0,006 mg/20 gram BB
mg/ml, 0,006 mg/ml, 0,01 mg/ml terhadap
sebagai data kelompok satu postest
jumlah spermatozoa mencit (Mus
5. Kelompok 5 : 5 ekor mencit diberi
Musculus) strain Jepang.
injeksi subkutan epinephrine
konsentrasi 0,01 mg/20 gram BB
Metode penelitian sebagai data kelompok satu postest

4 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Dessy Abdullah : Pengaruh Pemberian Epinephrine Berbagai Konsentrasi Terhadap Berat Testis Dan
Jumlah Spermatozoa Mencit(Mus Musculus) Strain Jepang

Tiap kelompok diberikan perlakuan sesuai konsentrasi terhadap jumlah spermatozoa


dengan kategorinya. Diinjeksikan selama yang dilakukan terhadap mencit (Mus
36 hari. Pada hari ke 38 dimatikan dengan Musculus) strain jepang.
melakukan pematahan batang otak.
Pada tabel 1 rata-rata berat testis mencit
kontrol adalah 102 mg, sedangkan berat
Pembedahan
testis perlakuan mengalami penurunan
Pembedahan, laparatomi, vas deferen
sesuai dengan makin besarnya konsentrasi
diidentifikasikan dan dilakukan
yang diberikan maka makin kecil berat
pemotongan vas deferen.
testis. 101,8 mg pada pemberian
epinephrine dengan konsentrasi 0,002
Analisa Data mg/ml. 99,8 mg pada pemberian
epinephrine konsentrasi 0,004 mg/ml.
Hasil diolah secara statistik dengan 98,2 mg pada pemberian epinephrine
menggunakan uji ANOVA dengan derajat 0,006 mg/ml dan penurunan yang
kepercayaan 95%. Jika didapat hasil yang signifikan pada pemberian epinephrine
bermakna dilanjutkan dengan uji statistik konsentrasi 0,01 mg/ml yaitu 79,6 mg.
Multiple Comparisons (Post hoc Test) Setelah dilakukan uji analisis data dengan
jenis Bonferroni. menggunakan uji statistik One Way
ANOVA menunjukkan perlakuan yang
diberikan pada masing-masing kelompok
Hasil Penelitian
memberikan perbedaan rata-rata berat
testis mencit yang bermakna.
Dari penelitian ini ingin diketahui
pengaruh epinephrine berbagai
Tabel 1. Jumlah spermatozoa (juta/mL) vas deferens mencit setelah diberikan epinefrin injeksi
selama 36 hari secara sub kutan

Ulangan
Perlakuan Jumlah Rata-rata
1 2 3 4 5
Kontrol 52 42 40 56 40 230 46
[0,002] 48 40 36 36 46 206 41,2
[0,004] 30 28 32 28 30 148 29,6
[0,006] 24 22 24 20 20 110 22
[0,01] 3,2 2,2 3,0 4,0 4,4 16,8 3,36

Oleh karena itu, uji statistik dilanjutkan 0,006 mg/ml tidak menunjukkan
dengan uji Multiple Comparisons (Post perbedaan rata-rata berat testis yang
hoc tes) jenis Bonferroni. bermakna (< 0,05) dan baru bermakna
jika dibandingkan dengan kelompok
Dari tabel 2. diketahui bahwa kontrol perlakuan dengan konsentrasi 0,01 mg/ml.
dengan kelompok perlakuan dengan
konsentrasi 0,002 ml/mg, 0,004 mg/ml,

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 5


Dessy Abdullah : Pengaruh Pemberian Epinephrine Berbagai Konsentrasi Terhadap Berat Testis Dan
Jumlah Spermatozoa Mencit(Mus Musculus) Strain Jepang

Tabel 2. Hasil uji statistik Multiple Comparisons jumlah spermatozoa mencit setelah perlakuan
(<0,05)

(I) Konsentrasi Mean Difference


(J) Konsentrasi Epinephrine Sig.
Epinephrine (I-J)
Kontrol konsentrasi 0,002 .20 1.000
konsentrasi 0,004 2.20 1.000
konsentrasi 0,006 3.80 .157
konsentrasi 0,01 22.40(*) .000
Dependent Variable: berat testis Bonferroni
* The mean difference is significant at the .05 level.

Kesimpulan 4. Potter and Perry (2005). Fundamentals of


Nursing; consepts and Process & Practice.
AlihBahasa: Yasmin Asih,dkk. Penerbit
Berdasarkan hasil penelitian pemberian Buku Kedokteran EGC.
epinephrine injeksi dalam berbagai 5. Edward L, Fox L, Browers RW, Merle L,
tingkatan konsentrasi yang disuntukkan (1993).The Phisiologycal basis for exercise
selama 36 hari sebanyak 1x sehari & sport. Brown and Bencharmark.
terhadap jumlah spermatozoa mencit 6. Norman AW, Litwack G, 1987. Hormone.
Academic Press, Inc, San Diego NewYork.
(Mus Musculus) strain jepang dapat Boston, 450-469.
disimpulkan sebagai berikut: 7. Cunningham JG, 2002. Textbook of
Pemberian epinephrine injeksi dengan Veterinay Phisiology, 3nd edition WB.
berbagai tingkatan Souinders Company. Philadelphia pp: 356-
a. konsentrasi memberikan makna pada 357.
8. Ganong WF, 2001. Review of medical
jumlah spermatozoa mencit di physiology, 20th ed. Appleton and large,
konsentrasi 0,004 mg/ml, 0,006 mg/ml Stanford, Connecticut pp:545-567.
dan 0,01 mg/ml. 9. Zainuddin.M (2000). Metodologi Penelitian.
b. Secara statistik penurunan rata-rata Universitas Airlangga Press. Surabaya.
berat testis dan jumlah spermatozoa 10. Amori (1996). ”Mus Musculus”,
(http/www/wikipedia.org./wiki/mus
yang bermakna terdapat pada musculus) diakses 12 April 2008.
konsentrasi 0,006 mg/ml dan sangat 11. Leeson, C. Roland (1987). Teexbook of
bermakna pada konsentrasi 0,01 Histology. Alih bahasa: Yan Tambayong,
mg/ml. dkk. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
c. Dari penelitian ini adalah pemberian Jakarta.
12. Campbell, N.A.,J.B. Reece & L.G. Mitchell.
epinephrine dengan dosis yang tinggi (1999)Biology Fifth edition.(alih bahasa
dapat menyebabkan penurunan jumlah Wasmen Manalu).
spermatozoa. 13. Kusumawati, 2004. Bersahabat dengan
hewan coba, Penerbit Gajah Mada University
Press, hal 6-8.
14. Prendergast, Herasherzig A, and Dalakin
A,2002. GnRH-Gonadotrophin physiology
Daftar Kepustakaan and pathology.
1. Asmarinah,2005. Mutasi gen pada pria 15. Benjamin Cummings, Menlo Park.Cherry,
infertil dengan astenozoospermia. Penerbit S.H.(1986). Bimbingan Ginekologi
UI press Perawatan Modern Untuk Kesehatan
2. Syamsuhadi dr ; 2007. “Infertilitas bisa Wanita(alih bahasa noname). CV Pionir
terjadi pada pria” http://hal- Jaya. Bandung.
wanita.blogspot.com. diakses juni 2012. 16. Santoso S,2004. Buku Latihan SPSS
3. Sunarto,2005. Statistik Parametrik. Elex Media
http://www.dinkesjatim.go.id/berita- Komputindo, edisi 4. Gramedia Jakarta.
detail.html?news_id diakses maret 2012

6 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Dessy Abdullah : Pengaruh Pemberian Epinephrine Berbagai Konsentrasi Terhadap Berat Testis Dan
Jumlah Spermatozoa Mencit(Mus Musculus) Strain Jepang

17. Emil Steiberger, M.D. Androgens In Male 32. Siswandono, 1995. Kimia Medisinal,
Infertility. Current Theraphy of Infertility. Penerbit Airlangga Press. hal 642-650
1983. 33. Silverthorn DV, Ober WC, Garrison WC,
18. H.G. Burger. Spermatogenesis and its Silverthorn AC, 2001. Human Physiology
endocrine Function. Human Semen and on Integrate Approach, 2nd Ed, New Jersey:
Infertility Regulation. 1976 Hedge GA, Prentice-Hall Inc, pp 505 – 519
Colby HD, Goodman RL, 1987. Clinical 34. Turner CD, Bagnara JT, 1976. General
Endocrine Physiology. Philadelphia. WB Endocrinology. WB Saunders. Co.pp 449-
Saunders. Pp:300 642www.geocities.com/kuliah_farm/praktku
19. Guyton AC, Hall JE, 1997. Fungsi m_farmakologi/hewan_coba.doc, diakses
Reproduksi dan Horminal Pria. Buku Ajar maret 2012
Fisiologi Kedokteran, Edisi 9, Jakarta: EGC, 35. Speroff L, Glass RH, Kase NG,1994.
Hal 1265-1282 Clinical Gynecologyc Endocrinology and
20. Griffin FJT, 1989. Stress and Immunity: a Infertility, 5th ed, williams and wilkins.
unifying concept. Veterina Immunol. 36. Smith B dan Mangkoewidjojo S, 1988.
Immunopathol. 20: 41-48 Pemeliharaan, pembiakan dan penggunaan
21. Laatikainen TJ, 1991. Corticotropin- hewan percobaan didaerah tropis. Edisi 1,
releasing hormone and peptides in UI press; Universitas Indonesia hal 11-24
reproduction and stress an med 23(5): 489-
496.
22. Guyton AC,2000. Textbook of Medical
Physiology, 10th ed. West Washington
Aquare: WB Saunders Company pp: 1284-
1298.
23. Ismudiono,1999. Fisiologi reproduksi pada
ternak. Edisi 2, Surabaya: Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga,
hal 70-79
24. Holy, T., Z. Guo. 2005. Ultrasonic songs of
male mice. Public Library of Science,
Biology.http://biology.plosjournals.org/perls
erv/?request=get-
document&doi=10.1371/journal.pbio.00303
86 diakses 20 juni 2008.
25. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani
WI, Setiowulan L, 1999. Kapita Selekta
Kedokteran. Media Aesculapius, Jakarta
26. Rugh R, 1967. The Mouse Its Reproduction
and Development. Minneapolis: Burgess, pp
7-24.
27. Hafez ESE, 1993. Reproduction in farm
animals. Edisi 6 .Philadelphi: Lea dan
Febiger. Pp 114-120.
28. Junqueira LC, Carneiro J, Kelley RO, 1995.
Sistem Reproduksi Pria. Histologi Dasar,
Edis ke-8, Jakarta: Penerbit Buku
kedokteran EGC, hal 19-58.
29. Pacak karel and Polkovits, 2001. Stressor
specificity of Central Neuroendocrine
Respones Implication for Stresss-Related
Disorder. Endocrine Society. Pp.534
30. Oentoeng, S .(2000). Simposium Kesehatan
Reproduksi Pria.Bagian Biologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
31. Vander A, Sherman J, Luciano D, 2001. The
Mechanism of Body Function. In Human
Physiology, New York : McGraw-Hill
Company, pp 639-649.

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 7


Pengaruh Terapi Kanamisin Terhadap Pendengaran
Dan Kualitas Hidup Pasien Tuberkulosis Resisten Obat Ganda

Wahyudi, Sally Mahdiani, Bambang Purwanto, Teti Madiadipoera


Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok- Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran - RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Kanamisin adalah salah satu obat golongan aminoglikosida yang digunakan dalam pengobatan terhadap
Tuberkulosis Resisten Obat Ganda (TB-MDR) yang mempunyai efek samping mengakibatkan tuli
sensorineural. Gangguan pendengaran menurunkan kualitas hidup. Untuk membuktikan pengaruh
Kanamisin terhadap pendengaran dan kualitas hidup pasien TB-MDR. Dilakukan penelitian deskriptif
cross sectional, di Poliklinik Audiologi Ilmu Kesehatan THT-KL RSHS Bandung, dalam periode Januari -
Agustus 2015 pada 26 pasien, berdasarkan anamnesis, pengukuran derajat ketulian dengan menggunakan
audiometri nada murni dan penilaian kualitas hidup dengan kuesioner SF-36. Berdasarkan uji korelasi
rank Spearman dan uji beda Wilcoxon, terdapat perbedaan yang bermakna hasil audiometri sebelum dan
setelah terapi Kanamisin (p<0,001). Terdapat perbedaan yang bermakna antara kualitas hidup sebelum
dengan setelah mendapat terapi Kanamisin, terutama pada domain fungsi fisik, kelelahan dan kesehatan
umum (p<0,001). Terdapat korelasi yang bermakna antara kualitas hidup dengan usia pasien (rs = -0,802,
p < 0,001), dan juga didapatkan korelasi yang bermakna antara gambaran audiometri setelah diterapi
Kanamisin dengan kualitas hidup (telinga kanan rs = -0,571, p = 0,002 dan telinga kiri rs = -0,691, p <
0,001).Pasien TB-MDR yang diobati dengan Kanamisin , mengalami efek samping gangguan
pendengaran sensorineural, namun terjadi peningkatan kualitas hidup.

Kata Kunci : TB-MDR, Kanamisin, Penurunan Pendengaran, Kualitas Hidup.

Effect of Kanamycin Treatment on Hearing and Quality of Life


in Multi-Drug Resistant Tuberculosis Patients

Abstract

Kanamycin is one of aminoglycosides drugs used in the treatment of Multiple Drug Resistant Tuberculosis
(MDR-TB), which has the side effect resulting in sensorineural hearing loss. Hearing loss reduces the
quality of life. This study is to prove the effect of Kanamycin on hearing and quality of life of patients with
MDR-TB. A descriptive cross-sectional study conducted at the Audiology Clinic of ORL-HNS department,
Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung, on January-August 2015, towards 26 patients, by
anamnesis, measurement of the degree of hearing loss by using pure tone audiometer and Quality of Life
assessment using a questionnaire SF -36. Based on the Spearman rank test and Wilcoxon test, there was
significant differences in audiometric results before and after Kanamycin treated (p <0.001). There were
significant differences between the quality of life before and during treatment of Kanamicyn, especially in
the domains of physical functioning, fatigue and general health (p <0.001). There were significant
correlations between the quality of life with age of patients ( rs = -0.802 , p < 0.001 ) , and also a
significant correlation between audiometric results after Kanamycin treated with quality of life ( right ear
rs = -0.571 , p = 0.002 and the left ear rs = -0.691 , p < 0.001 ). MDR-TB patients who were treated with
kanamycin , experienced side effects of sensorineural hearing loss, however, occurs improvement in
quality of life.

Keywords: MDR-TB, Kanamycin, Hearing loss, Quality of Life.

8 Korespondensi : Wahyudi, E-mail : drwahyudi@ymail.com


Wahyudi, Sally Mahdiani, Bambang Purwanto, Teti Madiadipoera : Pengaruh Terapi Kanamisin
Terhadap Pendengaran Dan Kualitas Hidup Pasien Tuberkulosis Resisten Obat Ganda

Pendahuluan obat oral lini pertama harus tepat


dikombinasikan dengan tambahan obat
Pengobatan terhadap TB-MDR lini kedua yang terdiri dari aminoglikosida
memerlukan penggunaan obat injeksi (amikasin, kanamisin,
tuberculosis (TB) lini kedua yang lebih kapreomisin), fluoroquinolones
banyak mempunyai efek samping. Obat (siprofloksasin, ofloksasin, levofloxacin,
suntik aminoglikosida dan polipeptida moksifloksasin, gatifloksasin), anti-TB
berhubungan dengan risiko terhadap bakteriostatik lini kedua (etionamid,
fungsi ginjal, pendengaran dan sistem protionamide, sikloserine, asam salisilat
vestibular. Nefrotoksisitas umumnya paraamino, thiocetazone) serta anti
reversibel tapi kerusakan ke sistem tuberkulosis lainnya (klofazimin,
pendengaran dan vestibular biasanya amoksisilin / clavuanate, klaritromisin,
permanen. Pemantauan gangguan linezolid).3
pendengaran penting dilakukan karena
dua alasan. Pertama, jika terdeteksi dini TB MDR dalam pengobatannya lebih
itu dimungkinkan untuk mengubah kompleks dibandingkan TB bukan MDR,
regimen, menghentikan atau mengurangi terdiri atas 2 (dua) tahap yaitu tahap awal
dosis obat yang jadi penyebab, mencegah dan tahap lanjutan, dan menggunakan
perkembangan gangguan pendengaran ke Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang
arah yang lebih berat yang akan mempunyai efek samping lebih banyak
berdampak pada komunikasi. Kedua, jika dibandingkan OAT lini pertama.
telah terdeteksi adanya gangguan Pengobatannya memerlukan waktu yang
pendengaran yang berat, intervensi dapat lebih lama yaitu sekitar 19-24 bulan. Pada
diterapkan untuk membantu dalam tahap awal pasien akan diberikan OAT lini
komunikasi, seperti pemakaian alat bantu kedua minimal 4 jenis OAT yang masih
dengar, implan koklea atau alat bantu sensitif yang salah satunya adalah OAT
dengar lainnya, serta edukasi.1 Selain itu, injeksi, yaitu kanamisin. Pada tahap
tuberkulosis adalah salah satu penyebab lanjutan semua OAT lini kedua yang
kematian yang cukup tinggi dipakai pada tahap awal dilanjutkan
prevalensinya. Menurut WHO kecuali OAT injeksi.4
menyebutkan bahwa pada tahun 2013
prevalensi kasus TB sebesar 6,1 juta kasus Toksisitas adalah hal penting yang perlu
dan dari jumlah tersebut 5,7 juta diperhatikan dalam pengobatan TB MDR
merupakan kasus yang baru didiagnosis. yang berkaitan dengan administrasi jangka
TB Resisten Obat Ganda (Multidrug panjang dari pengobatan injeksi.
Resistant/TB MDR) sebanyak 480.000 Ototoksisitas dan nefrotoksisitas
kasus. Di Indonesia prevalensi TB pada merupakan efek samping yang
tahun 2013 TB sebesar 272/100.000 berhubungan dengan dosis
penduduk, dengan angka kematian aminoglikosida. Ototoksisitas dan
25/100.000 penduduk. Dan terdapat 5700 nefrotoksisitas merupakan efek samping
kasus baru TB-MDR.2 yang menjadi perhatian utama karena
rentang terapeutik yang sempit dan
Tuberkulosis Resisten Obat Ganda adalah variabilitas farmakokinetik yang luas
tuberkulosis yang resisten terhadap dua antara pasien.5 Nefrotoksisitas biasanya
obat anti tuberculosis lini pertama yaitu bersifat reversibel sedangkan ototoksisitas
isoniazid dan rifampisin, dengan atau bersifat ireversibel yang disebabkan
tanpa resisten terhadap obat anti-TB lain. karena terjadi kematian sel-sel rambut luar
Sisa obat lainnya yang merupakan sisa pada organ corti dan sel sensorik tipe I

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 9


Wahyudi, Sally Mahdiani, Bambang Purwanto, Teti Madiadipoera : Pengaruh Terapi Kanamisin
Terhadap Pendengaran Dan Kualitas Hidup Pasien Tuberkulosis Resisten Obat Ganda

pada organ vestibular. Waktu paruh dari untuk tujuan skrining atau diagnostik.
Kanamisin di perilimfe adalah 15 jam, 10 Skrining biasanya dilakukan pada
kali waktu paruhnya dalam darah. sekelompok populasi untuk mendeteksi
Peningkatan konsentrasi Kanamisin di adanya suatu gangguan pendengaran yang
perilimfe diduga berhubungan dengan belum terdeteksi sebelumnya. Sedangkan
dosis harian berulang.6 fungsi diagnostik apabila audiometri
dilakukan pada pasien yang dicurigai atau
Gangguan pendengaran yang disebabkan sudah diketahui sebelumnya memiliki
karena efek samping aminoglikosida gangguan pendengaran.8 Audiometri
biasanya terjadi setelah 3 sampai 4 hari diklasifikasikan menjadi behavioral
sejak mulai pengobatan, tetapi dapat juga audiometry dan objective audiometry.
terjadi segera setelah dosis pertama. Behavioral audiometry adalah apabila
Gangguan pendengaran yang ireversibel hasil dari pemeriksaan pendengaran
dapat terjadi dalam hitungan hari, minggu, didapatkan dari respon aktif dan sukarela
ataupun bulan setelah dosis pertama dari subjek yang diperiksa, sehingga
ataupun setelah selesai terapi. Pada dibutuhkan kerjasama yang baik antara
umumnnya terjadi gangguan pemeriksa dan yang diperiksa. Objective
pendengararan bilateral, namun banyak audiometry adalah pemeriksaan
juga ditemukan yang unilateral.7 pendengaran yang menggunakan
parameter terukur yang diperoleh sebagai
Efek samping utama Kanamisin adalah respon fisiologis dari terperiksa, sehingga
pada koklea, yaitu menyebabkan tidak membutuhkan respons aktif dari
gangguan dengar sensorineural dan jarang subjek yang diperiksa. Yang termasuk
menyebabkan cedera vestibular. pemeriksaan behavioral audiometry
Kerusakan koklea ini disebabkan karena antara lain audiometri nada murni,
kadar kanamisin di dalam serum yang audiometri tutur, noise audiometry,
tinggi yang berhubungan dengan faktor sedangkan yang termasuk audiometri
dosis pemberian yang besar atau adanya objektif antara lain audiometri impedan,
gangguan ginjal. Faktor yang lainnya timpanometri, reflek akustik, emisi
yaitu karena sudah ada gangguan dengar otoakustik, auditory evoked brain-stem
sebelumnya, adanya trauma akustik, dan potentials. 8
penggunaan simultan dari agen ototoksik
yang lain. Pada semua aminoglikosida, Pada pemeriksaan audiometri nada murni,
gangguan dengar dapat terjadi pada awal informasi lain yang diperoleh adalah jenis
terapi atau beberapa bulan setelah selesai gangguan pendengaran, dimana hal ini
terapi obat. Pada paparan awal dengan dapat memberikan petunjuk tentang lokasi
obat ototoksik biasanya akan dari lesi yang menyebabkan gangguan
mempengaruhi daerah basal koklea, dengar. Misalnya apabila ditemukan
kemudian pada paparan selanjutannya gangguan dengar konduktif, maka kita
akan menyebabkan penyebaran kerusakan curigai lesinya berada di saluran telinga
ke arah apex koklea.7 luar atau di telinga tengah, sedangkan bila
ditemukan gangguan dengar sensorineural
Cara untuk mengetahui fungsi maka kita curigai lesinya melibatkan
pendengaran adalah dengan pemeriksaan koklea atau jaras saraf pendengaran. 8
audiometri. Dengan pemeriksaan
audiometri dapat mendeteksi lokasi, jenis, Dengan pemeriksaan audiometri nada
dan derajat dari suatu gangguan dengar. murni dapat juga menentukan derajat
Pemeriksaan audiometri dapat digunakan gangguan dengar. Klasifikasi derajat

10 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Wahyudi, Sally Mahdiani, Bambang Purwanto, Teti Madiadipoera : Pengaruh Terapi Kanamisin
Terhadap Pendengaran Dan Kualitas Hidup Pasien Tuberkulosis Resisten Obat Ganda

gangguan dengar adalah berdasarkan secara signifikan lebih rendah dari kontrol
WHO berikut ini, yang ditentukan dari untuk kualitas hidup secara keseluruhan
hasil pemeriksaan audiometri nada murni dan domain yang terkena dampak
dengan perhitungan rata-rata dari terburuk adalah domain fisik diikuti
frekuensi pendengaran (500, 1000, dan dengan domain psikologis. TB tidak sama
2000 Hz) dengan menggunakan mempengaruhi persepsi umum kesehatan
audiometri nada murni yang terkalibrasi. dan fungsi peran sosial pasien.
Ambang dengar 0-25 dB = normal, 26-40 Sayangnya, kurangnya perhatian ini telah
dB = tuli ringan, 41-60 = tuli sedang, 61- menambah dampak dari beban penyakit
80 = tuli berat dan > 81 dB = 81 dB. dan terapi terhadap kualitas hidup pasien
Seseorang diangap tuli apabila dalam TB.11 Penilaian kualitas hidup pasien TB
kehidupan sehari-hari pendengarannya maupun TB-MDR dapat dilakukan dengan
tidak dapat berfungsi, dan pada melalui berbagai metode, diantaranya
pemeriksaan audiometri nada murni penilaian melalui kuesioner, misalnya
didapatkan gangguan pendengaran > dari memakai kuesioner Short Form-36 (SF-
90 dB atau mengalami gangguan dengar 36).
total pada kedua telinga.9
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
Selain dari gejala fisik, pasien TB membuktikan pengaruh terapi Kanamisin
menghadapi berbagai masalah yang terhadap pendengaran dan kualitas hidup
bersifat sosial dan ekonomi. Oleh karena pasien TB-MDR.
itu, untuk penilaian yang komprehensif
dari status kesehatan pasien, adalah
Metode
penting untuk mempertimbangkan
dampak keseluruhan dari TB pada
Penelitian ini merupakan penelitian
kesehatan dan persepsi pasien
deskriptif cross sectional terhadap pasien
kesejahteraan, selain penilaian klinis,
TB-MDR yang berkunjung ke poliklinik
radiologis dan bakteriologis rutin.
Audiologi THT-KL RSHS Bandung. Pada
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia,
subjek penelitian dilakukan tes audiometri
kesehatan didefinisikan sebagai keadaan
nada murni dan wawancara kuesioner
fisik lengkap, mental dan sosial
kualitas hidup SF-36 sebelum dan setelah
kesejahteraan dan bukan hanya tidak
satu bulan menjalani terapi dengan
adanya penyakit atau kelemahan. Dampak
Kanamisin.
dari penyakit, terutama kronis Oleh karena
itu penyakit seperti tuberkulosis, pada
Penelitian ini dilakukan terhadap 26
individu pasien sering mencakup segala,
pasien TB-MDR berdasarkan rumus untuk
yang mempengaruhi tidak hanya nya
analisis korelasi dibawah ini, yang
kesehatan fisik tetapi juga psikologis,
ditentukan berdasarkan taraf kepercayaan
ekonomi dan kesejahteraan sosial. 10
95% (Zα = 1,65 ; Uji satu pihak), Power
test 80% (Zβ = 0,84), serta besarnya
Beberapa penelitian telah menunjukkan
korelasi yang dianggap bermakna secara
bahwa kerentanan pasien untuk sosial
klinis r = 0,5.
ekonomi dan domain psikologis dapat
dipelajari dengan mengukur kualitas hidup
pasien,. Meskipun data pada penilaian
formal kualitas hidup pada pasien n=
tuberkulosis yang agak jarang, pasien TB
telah terbukti memiliki nilai rata-rata

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 11


Wahyudi, Sally Mahdiani, Bambang Purwanto, Teti Madiadipoera : Pengaruh Terapi Kanamisin
Terhadap Pendengaran Dan Kualitas Hidup Pasien Tuberkulosis Resisten Obat Ganda

Dari rumus diatas diperoleh n = 23. Jadi bebas meliputi: Kanamisin dan lamanya
jumlah sampel yang diperlukan minimal pengobatan. Variabel Tergantung meliputi:
23 pasien TB-MDR. derajat ketulian, kualitas hidup. Variabel
perancu meliputi: jenis kelamin dan usia.
Untuk menganalisis data dalam penelitian
ini digunakan uji Wilcoxon dan korelasi
Hasil
Rank Spearman untuk mengetahui
korelasi antara pemberian terapi dengan
Karakteristik pasien merupakan data yang
Kanamisin dengan variabel lainnya.
melekat pada pasien terlepas dari kondisi
Kemaknaan ditentukan berdasarkan nilai
klinisnya seperti data mengenai Jenis
p<0,001.
kelamin dan usia. Pada penelitian ini
didapatkan pasien TB-MDR laki-laki
Subjek penelitian adalah pasien TB-MDR
sebanyak 17 orang (65%) dan perempuan
yang berkunjung di poliklinik Audiologi
sebanyak 9 orang (35%), dengan rentang
THT-KL RS Dr. Hasan Sadikin Bandung
usia antara 16-54 tahun, dan rerata usia
selama periode Januari-Agustus 2015.
34,7 tahun (Tabel 1).
Selama kurun waktu tersebut tercatat
kunjungan pasien TB-MDR sebanyak 43 Tabel 1. Karakteristik pasien TB-MDR
orang, dan yang memenuhi kriteria inklusi
dan tidak termasuk kriteria eksklusi N= 26
sebanyak 26 orang. Kriteria inklusi adalah Karakteristik Jumlah
pasien TB-MDR baru yang akan diterapi 1. Jenis kelamin
dengan Kanamisin, mempunyai Laki-laki 17 (65%)
Perempuan 9 (35%)
pendengaran yang normal berdasarkan tes
2. Usia ( tahun)
audiometri nada murni dan bersedia Rerata (SD*) 34,7 (11,0)
berpartisipasi dalam penelitian. Median 32
Sedangkan kriteria eksklusinya adalah Rentang 16-54
sedang mengkonsumsi obat-obatan yang *Standard Deviasi
bersifat ototoksik, mengalami tinnitus,
mempunyai kadar kreatinin serum >120 Kelompok usia dibawah 20 tahun
mikromol/L dan mempunyai riwayat berjumlah 1 orang, usia 20-29 tahun
penyakit metabolik, kardiovaskular dan berjumlah 6 orang, usia 30-39 tahun
hipertensi. Variabel pada penelitian ini berjumlah 12 orang, usia 40-49 tahun
meliputi variabel bebas, variabel berjumlah 2 orang, dan usia 50 tahun
tergantung dan variabel perancu. Variabel keatas berjumlah 5 orang (Gambar 1).

12 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Wahyudi, Sally Mahdiani, Bambang Purwanto, Teti Madiadipoera : Pengaruh Terapi Kanamisin
Terhadap Pendengaran Dan Kualitas Hidup Pasien Tuberkulosis Resisten Obat Ganda

Gambar 1. Diagram jumlah kelompok usia pasien TB-MDR

Gambaran audiometri nada murni dari ke didapatkan 7 pasien mengalami penurunan


26 pasien TB-MDR sebelum menjalani pendengaran pada frekwensi 8000 Hz, 10
terapi dan setelah 1 bulan terapi dengan tuli sensorik ringan, 8 tuli sensorik sedang
Kanamisin mempunyai perbedaan yang dan 1 tuli sensorik berat. Dan pada telinga
bermakna (p < 0,001), dimana gambaran kiri pasien didapatkan 7 pasien mengalami
audiometri kedua telinga pasien sebelum penurunan pendengaran pada frekwensi
mulai terapi semuanya (26 pasien) dalam 8000 Hz, 8 tuli sensorik ringan, 10 tuli
batas normal dan setelah 1 bulan terapi sensorik sedang dan 1 tuli sensorik berat.
Kanamisin pada telinga kanan pasien (Tabel 2)
Tabel 2. Gambaran Audiogram sebelum dan setelah terapi 1 bulan.

Audiogram
Pemeriksaan Menurun pada Tuli Tuli Tuli
audiometri Normal frekuenzi 8000 Sensorik sensorik sensorik
Hz ringan sedang berat
I. Telinga kanan
- Praterapi 26 - - - -
- Pascaterapi 1 bulan - 7 10 8 1
II. Telinga kiri
- Praterapi 26 - - - -
- Pascaterapi 1 bulan - 7 8 10 1
Keterangan : Perbandingan gambaran audiometri sebelum dan saat pengobatan berdasarakan uji
Wilcoxon sangat bermakna (p < 0,001)

Antara usia dan gambaran audiometri 0,150 dan pada telinga kiri rs = 0,393, p =
setelah 1 bulan terapi tidak terdapat 0,047) (Tabel 3).
korelasi (pada telinga kanan rs= 0,291, p =

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 13


Wahyudi, Sally Mahdiani, Bambang Purwanto, Teti Madiadipoera : Pengaruh Terapi Kanamisin
Terhadap Pendengaran Dan Kualitas Hidup Pasien Tuberkulosis Resisten Obat Ganda

Tabel 3. Korelasi antara usia dengan gambaran audiogram

Telinga kanan Telinga kiri


Korelasi
rs p rs P
1. Usia dengan gambaran 0,232 0,255 -0,055 0,790
audiogram praterapi

2. Usia dengan gambaran 0,291 0,150 0,393 0,047


audiogram setelah 1 bulan
terapi
Keterangan : rs = Koefisien korelasi rank Spearman

Kualitas hidup pasien TB-MDR yang (p<0,001), hal ini khususnya terjadi
didapatkan dari skor kuesioner SF-36, peningkatan kualitas hidup pada domain
berdasarkan uji Wilcoxon, secara umum fungsi fisik (p<0,001), domain kelelahan
tedapat perbedaan yang bermakna antara (p<0,001) dan domain kesehatan umum
kualitas hidup sebelum dengan setelah 1 (p<0,001) (tabel 4).
bulan mendapat terapi Kanamisin

Tabel 4. Perbandingan skor kualitas hidup sebelum dan sesudah pengobatan Kanamisin

Data pre Data pasca


Domain kualitas hidup Median Median Nilai p*
(Rentang) (Rentang)
1. Physical fungtioning 750 (350 – 900) 850 (350 – 950) <0,001
2. Role limitations doe to physical health 350 (0 – 400) 350 (0 – 400) 1,0
3. Role limitations doe to emotional
problem 300 (0 – 300) 300 (0 – 300) 1,0
4. Energy/fatigue 260 (120 – 300) 300 (140 – 300) <0,001
5. Emotional well-being 360 (260 – 360) 360 (260 – 360) 1,0
6. Social fumgtioning 100 (75 – 175) 100 (75 – 175) 1,0
7. Pain 155 (110 – 160) 155 (110 – 160) 1,0
8. General health 275 (200 – 350) 350 (225 – 350) <0,001
9. Health change 100 (50 – 100) 100 (50 – 100) 1,0
2730 2865
Kualitas hidup keseluruhan <0,001
(1205 – 2850) (1230 – 3015)
Keterangan : * berdasarkan uji Wilcoxon.

Berdasarkan koefisien korelasi rank 0,001), yaitu makin tinggi usia pasien TB-
Spearman, didapatkan korelasi yang MDR semakin rendah kualitas hidupnya
bermakna antara kualitas hidup dengan (Gambar 2).
usia pasien TB-MDR (rs = -0,802, p <

14 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Wahyudi, Sally Mahdiani, Bambang Purwanto, Teti Madiadipoera : Pengaruh Terapi Kanamisin
Terhadap Pendengaran Dan Kualitas Hidup Pasien Tuberkulosis Resisten Obat Ganda

Gambar 2. Diagram sebar korelasi antara usia dengan kualitas hidup (p<0,001, rs = -0,802)

Korelasi antara gambaran audiometri = -0,571, p = 0,002), dan telinga kiri


dengan kualitas hidup setelah 1 bulan sangat bermakna (rs = -0,691, p
terapi pada telinga kanan bermakna (rs <0,001). (Tabel 5)

Tabel 5. Korelasi antara audiogram dan kualitas hidup

Korelasi rs p
Telinga kanan -0,145 0,479
1. Praterapi -0,571 0,002
2. Pasca 1 bulan terapi
Telinga kiri 0,102 0,620
1. Praterapi -0,691 < 0,001
2. Pasca 1 bulan terapi
Keterangan : rs = Koefisien korelasi rank Spearman

Diskusi produktif. Hal ini sesuai dengan hasil


penelitian yang dilakukan oleh Reviano
Pada penelitian ini didapatkan bahwa dan kawan-kawan pada tahun 2013 di
jumlah pasien TB-MDR lebih banyak Surakarta, sebagian besar subjek
pada laki-laki dibandingkan dengan penelitian mereka merupakan usia
perempuan. Hal ini sesuai dengan yang produktif. Hal ini kemungkinan karena
pernah dilaporkan oleh Duggal pada tahun pada usia produktif mempunyai aktivitas
2007 dan Rafique tahun 2012.1,5 Hal ini yang lebih tinggi sehingga kemungkinan
mungkin disebabkan oleh kurangnya kontak dengan lingkungan juga lebih
tingkat kepatuhan laki-laki dalam tinggi. Ativitas yang tinggi akan
pengobatan TB sebelumnya. Jumlah menyebabkan kesibukan meningkat juga,
perbandingan yang signifikan ini masih sehingga menyebabkan tingkat kepatuhan
menjadi kontroversi apakah ada hubungan pengobatan TB semakin menurun yang
antara jenis kelamin dengan TB-MDR. menyebabkan peningkatan kasus
10
Berdasarkan usia pasien TB-MDR resistensi obat.
didapatkan terbanyak direntang usia Didapatkan derajat gangguan dengar yang

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 15


Wahyudi, Sally Mahdiani, Bambang Purwanto, Teti Madiadipoera : Pengaruh Terapi Kanamisin
Terhadap Pendengaran Dan Kualitas Hidup Pasien Tuberkulosis Resisten Obat Ganda

bervariasi pada pasien TB-MDR setelah bulan mendapat terapi Kanamisin


mendapatkan terapi Kanamisin selama 1 (p<0,001), dan secara khusus terjadi
bulan. Hal ini sesuai dengan yang peningkatan kualitas hidup pada domain
disampaikan oleh Stringer dan kawan- fungsi fisik (p<0,001), domain kelelahan
kawan bahwa gangguan dengar akibat (p<0,001) dan domain kesehatan umum
penggunaan aminoglikosida lebih sering (p<0,001). ( tabel 4)
menyebabkan kerusakan yang ireversibel,
biasanya terjadi setelah 3 sampai 4 hari Berdasarkan koefisien korelasi rank
tetapi dapat terjadi segera setelah dosis Spearman, didapatkan korelasi yang
pertama, atau dapat terjadi dalam hitungan bermakna antara kualitas hidup dengan
hari, minggu, ataupun bulan setelah usia pasien TB-MDR (rs = -0,802, p <
selesai terapi. Gangguan dengar bilateral 0,001), dimana semakin tinggi usia pasien
mendominasi, namun tidak jarang pula TB-MDR semakin rendah tingkat kualitas
ditemukan unilateral.6 hidupnya (Gambar 2). Korelasi antara
gambaran audiometri setelah 1 bulan
Semua pasien TB-MDR setelah terapi dengan kualitas hidup pada telinga
mendapatkan terapi Kanamisin selama 1 kanan cukup bermakna (rs = -0,571, p =
bulan didapatkan gambaran audiometri 0,002) dan pada telinga kiri sangat
berupa gangguan dengar sensorineural bermakna (rs = -0,691, p < 0,001), artinya
dengan derajat yang bervariasi dari yang dengan adanya penurunan pendengaran
sangat ringan hingga berat, dan gambaran akibat efek samping Kanamisin,
audiometri sebelum dan setelah mengakibatkan penurunan kualitas hidup
pengobatan berdasarkan uji Wilcoxon pada pasien-pasien TB-MDR. Pada table 5
sangat bermakna. Hal ini sesuai dengan terlihat perbedaan kemaknaan antara
kepustakaan bahwa kanamisin memiliki telinga kiri dan telinga kanan ini
efek samping utama pada koklea, disebabkan karena pada beberapa pasien
menyebabkan gangguan dengar TB-MDR ditemukan gambaran
sensorineural dan jarang terjadi cedera audiometri dengan derajat yang berbeda
vestibular. Kadar kanamisin di dalam antara telinga kiri dan telinga kanan. Hal
serum yang tinggi karena dosis pemberian ini sesuai dengan kepustakaan bahwa efek
yang besar atau gangguan ginjal ototoksik Kanamisin bisa unilateral
merupakan faktor penting dalam walaupun pada umumnya bilateral.
kerusakan koklea. Faktor tambahan lain
yaitu karena ketulian yang sudah ada
Kesimpulan
sebelumnya, trauma akustik, dan
penggunaan simultan dari agen ototoksik
Pada penelitian ini dapat disimpulkan
lain. Seperti pada semua aminoglikosida,
bahwa pasien TB-MDR yang mendapat
gangguan dengar dapat terjadi pada awal
pengobatan dengan Kanamisin mengalami
terapi atau beberapa bulan setelah selesai
efek samping berupa tuli sensorineural
terapi obat. Paparan awal obat ototoksik
dengan derajat yang bervariasi, tetapi
biasanya mempengaruhi daerah basal
secara umum terjadi peningkatan kualitas
koklea. Paparan lanjutan menyebabkan
hidup.
penyebaran kerusakan ke arah apex.6
Kualitas hidup pasien TB-MDR yang
didapatkan dari skor kuesioner SF-36, Saran
berdasarkan uji Wilcoxon, secara umum
terjadi perbedaan yang bermakna antara Pasien TB-MDR yang diterapi dengan
kualitas hidup sebelum dengan setelah 1 Kanamisin, hendaknya dilakukan

16 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Wahyudi, Sally Mahdiani, Bambang Purwanto, Teti Madiadipoera : Pengaruh Terapi Kanamisin
Terhadap Pendengaran Dan Kualitas Hidup Pasien Tuberkulosis Resisten Obat Ganda

pemantauan gangguan pendengaran secara


rutin, guna mendeteksi dini gangguan
pendengaran akibat efek samping obat,
sehingga gangguan pendengaran yang
lebih berat dapat dicegah atau dapat
segera dilakukan intervensi untuk
membantu dalam komunikasi.

Daftar Pustaka
1. Seddon JA, Faussett PG, Yacobs K, Ebrahim A,
Hesseling AC, Schaaf HS. Hearing loss in
patients on treatment for drug-resistant
tuberculosis. Volume 40 Number 5. European
Respiratory Journal. 2012
2. Anonim. World Health Organization : Global
Tuberculosis Report 2014.
3. World Health Organization. Guidelines for
management of drug resistant tuberculosis.
Geneva, Switzerland. 2011.
4. Haybach PJ. Ototoxicity. (Diunduh Agustus
2015). Tersedia dari : www.vestibular.org.
2011.
5. Duggal P, Sarkar M. Audiologic monitoring of
multi-drug resistant tuberculosis patients on
aminoglycoside treatment with long term
follow-up. BMC Ear, Nose and Throat
Disorders. 2007.
6. Schuman RM. Ototoxicity. Bailey BJ Head &
Neck Surgery Otolaryngology. 4th edition.
Lippincott Williams & Wilkins. 2006 ; Chapter
148. p465.
7. Durrant JD, Campbell K, et al. American
Academy of Audiology Position Statement and
Clinical Practice Guidelines : Ototoxicity
Monitoring. 2009.
8. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic
Otolaryngology. Thieme. 2006. Bab 7-12. h.
153-270.
9. Dhingra PL. Diseases of Ear, Nose and Throat.
Elsevier. 2006. Bab 5. h. 30-40.
10. Reviono, Widayanto, Harsini, Aphridasari J,
Sutanto YS. Streptomisin dan Insidens
Penurunan Pendengaran pada Pasien Multidrug
Resistant Tuberculosis di Rumah Sakit Dr.
Moewardi. Surakarta. J Respir Indo. 2013.
11. Brown J, Capocci S, Smith C, Morris S,
Abubakar I, Lipman M. Health status and
quality of life in tuberculosis. International
Journal of Infectious Diseases 32. (2015) 68-
75.

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 17


Diagnosis dan Prognosis pada Traumatic Brain Injury: Peran
Biomarker Neuronal dan Glial

Dian Ayu Hamama Pitra1, Lydia Susanti2


1
Bagian Neurologi FK Universitas Baiturrahmah/RSI Siti Rahmah Padang
2
Bagian Neurologi FK Universitas Andalas/RS M.Djamil Padang

Abstrak
Traumatic brain injury merupakan penyumbang angka kematian dan disabilitas paling tinggi pada
dewasa muda, sering dianggap ‘silent epidemic’ karena pasien yang terpapar risiko tidak jelas (insidentil)
serta kurangnya kesadaran masyarakat akan bahaya traumatic brain injury ini. Diagnosis traumatic brain
injury secara konvensional lebih tergantung kepada pemeriksaan imajing terutama CT scan kepala namun
memiliki beberapa keterbatasan.Saat ini tersedia alat tambahan baru yang dapat membantu dalam
diagnosis traumatic brain injury, tatalaksana pasien traumatic brain injury, dan memprediksi outcome
fungsional, yaitu biomarker. Konsep biomarker atau “brain-specific protein” digunakan untuk substansi
yang ditemukan dalam kadar tinggi di sistem saraf pusat (SSP) dan hanya ditemukan dalam kadar rendah
di organ lainnya. Molekulnya sangat spesifik untuk tipe sel tertentu (neuron, glia) atau komponen
subseluler (akson atau myelin).Biomarker yang dibahas pada tinjauan pustaka ini adalah biomarker
neuronal dan glial.

Kata kunci : Biomarker neuronal dan glial, traumatic brain injury

Diagnosis and Prognosis of Traumatic Brain Injury: The Role of


Neuronal and Glial Biomarker

Abstract
Traumatic brain injury is the highest contributor to mortality and disability in young adults, also often
considered a silent epidemic because patients are exposed to incidental risk factors as well as the lack of
public awareness contributing the dangers of these traumatic brain injury. The diagnosis of traumatic
brain injury conventionally depends on examination of head CT scan but it has some limitations.
Biomarker is additional tools that can help in the diagnosis, treatment, and functional outcome of
patients with traumatic brain injury. The concept of biomarkers or "brain-specific protein" is used for a
substance found in high levels in the central nervous system (CNS) and are only found in low levels in
other organs. The molecule is highly specific for certain cell types (neurons, glia) or subcellular
components (axons or myelin). Biomarkers discussed in this literature review is a biomarker of neuronal
and glial.

Keywords: Biomarker neuronal dan glial, traumatic brain injury

Pendahuluan tahunan 1,7 juta dan >50.000 kematian


serta 5,3 juta orang mengalami disabilitas
Traumatic brain injury merupakan berat1,2. Traumatic brain injury sering
penyumbang angka kematian dan dianggap ‘silent epidemic’ karena pasien
disabilitas paling tinggi pada dewasa yang terpapar risiko tidak jelas (insidentil)
muda serta diperkirakan akan menjadi serta kurangnya kesadaran masyarakat
penyebab kematian utama dan disabilitas akan bahaya traumatic brain injury
sebelum tahun 2020, dengan insiden ini3,4,5,6.

18 Korespondensi :Dian Ayu Hamama Pitra, E-mail: dianayuhamama@gmail.com


Dian Ayu Hamama Pitra dkk : Diagnosis dan Prognosis pada Traumatic Brain Injury : Peran
Biomarker Neuronal dan Glial

Traumatic brain injury dapat


diklasifikasikan menurut tingkat Berdasarkan latar belakang di atas praktisi
keparahan klinis berdasarkan Glasgow khususnya ahli saraf perlu memahami
Coma Scale (GCS) sebagai traumatic tentang tinjauan umum tentang TBI dan
brain injury ringan (GCS 14-15), sedang bagaimana aspek diagnosis dan prognosis
(GCS 9-13), dan berat (GCS di bawah 9) pada TBI.Dengan pengetahuan yang
dan masing-masing traumatic brain injury memadai diharapkan penanganan
tersebut memiliki tantangan medis yang penderita lebih optimal, tepat waktu
unik. Traumatic brain injury ringan sehingga outcome juga menjadi lebih
seringkali tidak terdiagnosis karena tidak baik.
terdeteksi pada pemeriksaan pencitraan
otak7.Traumatic brain injury sedang dan Definisi Traumatik Brain Injury
berat lebih jarang terjadi dan relatif lebih
mudah dideteksi tetapi prognosis Traumatic brain injury adalah trauma
komplikasi sekunder jangka pendek mekanik pada kepala baik secara langsung
ataupun progresivisitas jangka panjang maupun tidak langsung yang
masih menjadi tantangan8. menyebabkan gangguan fungsi neurologis
yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi
Faktor yang mempengaruhi prognosis psikososial baik temporer maupun
pasien traumatic brain injury adalah permanen14.Istilah cedera kepala atau
tingkat keparahan cedera otak primer dan “head injury” sering disamakan dengan
sekunder.Secara teoritis, cedera otak TBI namun sebenarnya “head injury”
primer tidak bisa dihindari sehingga mempunyai spektrum yang lebih luas
pencegahan hanya dapat dilakukan pada karena juga termasuk cedera pada wajah
cedera otak sekunder6. dan tulang kranium seperti laserasi dan
abrasi tanpa disertai trauma pada otak3,15.
Diagnosis traumatic brain injury secara
konvensional lebih tergantung kepada
pemeriksaan imajing terutama CT scan Patofisiologi Traumatic brain injury
kepala9.
Secara konseptual, kerusakan otak pada
Disamping itu juga ada alat tambahan traumatic brain injury mencakup cedera
baru yang dapat membantu dalam otak primer dan sekunder.Cedera otak
diagnosis traumatic brain injury, primer terjadi akibat kekuatan mekanik
tatalaksana pasien traumatic brain injury, yang menyebabkan kerusakan jaringan
dan memprediksi outcome fungsional6,10. pada saat terjadinya trauma.Cedera primer
Studi-studi klinis baru-baru ini telah secara cepat menyebabkan kerusakan
mengeksplorasi penggunaan biomarker pada pembuluh darah, neuron, glia, dan
sebagai alat tambahan baru11. Biomarker mikroglia. Cedera sekunder merupakan
ini berasal dari beberapa sel di sistem proses yang lebih komplek dan heterogen
saraf pusat (SSP), dapat diperiksa secara serta komplikasi dari cedera otak primer
cepat dan berulang danmenggambarkan yang menginduksi perubahan
kerusakan struktural yang berhubungan neurokimiawi, aktivasi mikroglia dan
dengan cedera6,12. Kadar biomarker astrosit, dan demielinisasi yang
neuronal maupun glial meningkat di melibatkan oligodendroglia. Gejala klinis
cairan serebrospinal (CSS) dengan waktu akibat cedera otak sekunder ini terjadi
yang berbeda setelah terjadi kerusakan berangsur-angsur setelah traumatic brain
otak13. injury (tabel 1) 4,16,17,18.

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 19


Dian Ayu Hamama Pitra dkk : Diagnosis dan Prognosis pada Traumatic Brain Injury : Peran
Biomarker Neuronal dan Glial

Tabel 1. Kejadian neurokimiawi berdasarkan waktu dan cara terjadinya kematian sel setelah
traumatic brain injury4

Waktu-Post Traumatic
Kejadian Patologis Mekanisme Kematian Sel
Brain Injury
1-3 jam Gangguan sawar darah otak, Perubahan homeostasis ion
deformasi jaringan otak, edema, dan
iskemia
6 jam Ruptur sel neural, peregangan Proses nekrosis dimulai
sel/akson
12 jam Ruptur sel neural, peregangan Nekrosis maksimal
sel/akson
1 minggu Edema, vasospasme, inflamasi, dan Proses apoptosis dimulai
stres oksidatif
2 minggu Edema, vasospasme, inflamasi, dan Apoptosis maksimal
stres oksidatif
1 bulan Edema, inflamasi, stres oksidatif Beberapa sel mengalami
apoptosis
3 bulan Permulaan neurogenesis Berkembangnya neurit
6-12 bulan - Gejala neuropsikiatri

Cedera otak sekunder ini lebih Pada neuron, influk kalsium dan zinc
membahayakan dan dapat disederhanakan melalui saluran pada reseptor AMPA dan
di gambar 119.Gangguan mikrosirkulasi NMDA menyebabkan eksotoksisitas (6),
melibatkan (1) stenosis dan hilangnya pembentukan radikal bebas, disfungsi
mikrovaskulatur dan kerusakan sawar mitokondria dan modifikasi reseptor post
darah otak akibat edema prosesus astrosit sinaptik. Mekanisme ini tergantung pada
(2) dan proliferasi astrosit (astrogliosis) influk kalsium sub seluler dan derajat
(3).Astrogliosis adalah karakteristik keparahan cedera.Influk kalsium ke dalam
cedera SSP dan disfungsinya akson (7) memulai terjadinya serangkaian
menyebabkan ambilan glutamat degradasi protein dengan hasil diskoneksi
meningkat (4) dan depolarisasi neuron aksonal (8) Sel inflamatori juga
melalui mekanisme eksotoksisitas. Cedera memediasi cedera sekunder melalui
pada substansi abu-abu dan putih serta pelepasan sitokin proinflamasi (9) yang
influk kalsium (5) merupakan kunci utama berkontribusi terhadap aktivasi kaskade
dimulainya kaskade pada delayed cell kematian sel atau modifikasi reseptor post
death dan delayed axonal disconnection. sinaptik.

20 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Dian Ayu Hamama Pitra dkk : Diagnosis dan Prognosis pada Traumatic Brain Injury : Peran
Biomarker Neuronal dan Glial

Gambar 1. Patofisiologi traumatic brain injury

Cedera otak sekunder disebabkan iskemia tidak dianjurkan pada fase akut TBI
otak akibat terjadi penurunan aliran darah karena memakan waktu lama, namun
otak dalam beberapa jam pertama setelah dapat mendeteksi kelainan yang tidak
traumatic brain injury yang kemudian terdeteksi pada CT kepala yaitu pada
mencetuskan kaskade tidak hanya kasus DAI9.
menyebabkan kerusakan mitokondria tapi
juga perubahan pada homeostasis ion dan Proses dinamik dan heterogen pada TBI
edema. Beberapa perubahan ini adalah membutuhkan pemeriksaan imajing serial
terjadinya eksitotoksisitas, cedera terutama pada kasus TBI dimana pada
substansia alba, neuroinflamasi, pemeriksaan CT awal telah terdeteksi lesi
peningkatan tekanan intrakranial, nekrosis struktural atau ada perburukan klinis.
dan apoptosis 4,16,17,18. Mekanisme injuri spesifik dapat
menyebabkan cedera vaskuler dimana
dapat terjadi ‘traumatic aneurysm’ pada
Diagnosis TBI
15 % kasus pada ‘penetrating TBI’.
Dengan demikian, CT angiografi
Seperti telah dipaparkan sebelumnya
merupakan pilihan pada kasus ini9.
bahwa traumatic brain injury tidak selalu
menunjukkan TBI.Diagnosis TBI
berdasarkan gejala klinis misalnya Prognosis pada TBI
penurunan kesadaran, amnesia (retrograde
atau post traumatic). Pemeriksaan klinis Outcome pada pasien cedera kepala
lainnya disokong dengan derajat ditentukan oleh 2 mekanisme yang
penurunan kesadaran, adanya faktor mendasari terjadinya TBI. Kerusakan
risiko, dan mekanisme injuri9. primer (kerusakan mekanik) yang terjadi
pada saat terjadinya cedera kepala.
Pemeriksaan CT Scan kepala merupakan Penatalaksanaan pada tingkat ini tidak
modalitas imajing yang paling disenangi ada, yang dapat dilakukan adalah dengan
saat di IGD untuk menentukan lesi mencegah terjadinya cedera kepala
struktural atau hematom intrakranial. primer. Kerusakan kedua (kerusakan
Selain itu pemeriksaan CT dengan setting mekanik tertunda), menggambarkan
bone window dan three dimensional dapat proses patologis yang diinisiasi oleh
mendeteksi fraktur kranium.MRI kepala kerusakan primer. Kondisi yang paling

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 21


Dian Ayu Hamama Pitra dkk : Diagnosis dan Prognosis pada Traumatic Brain Injury : Peran
Biomarker Neuronal dan Glial

sering terjadi pada keadaan ini adalah fungsional cedera kepala terutama
iskemik otak dan hipertensi intrakranial, berhubungan dengan cedera
dan tipe kerusakan iniah yang sensitif intrakranialnya dan tidak diperburuk oleh
terhadap intervensi terapi20. cedera ekstrakranial21.

Traumatic brain injury merupakan suatu Nilai prognostik karakteristik CT scan


kondisi heterogen dengan outcome yang telah banyak didokumentasikan antara
dapat sangat variatif terutama pada pasien lain penyempitan sisterna basalis, midline
dengan severitas berat. Beberapa faktor shift, adanya lesi intrakranial dan
yang dapat mempengaruhi outcome pasien perdarahan sub-arachnoid traumatik.
cedera kepala adalah usia, severitas cedera Beberapa kriteria imajing juga telah
kepala, abnormalitas CT scan, kondisi dikembangkan sebagai prediktor outcome
hipoksia dan hipotensi, dan parameter fungsional seperti kriteria Marshall dan
laboratorium21. Rotterdam 21.

Usia merupakan salah satu faktor


Biomarker pada traumatic brain injury
demografik sebagai prediktor kuat
mortalitas dan outcome fungsional pada
Konsep biomarker atau “brain-specific
cedera kepala. Beberapa studi telah
protein” digunakan untuk substansi yang
menunjukkan usia yang lebih tua
ditemukan dalam kadar tinggi di sistem
menunjukkan outcome yang lebih buruk21.
saraf pusat (SSP) dan hanya ditemukan
dalam kadar rendah di organ lainnya.
Faktor demografik lainnya seperti jenis
Molekulnya sangat spesifik untuk tipe sel
kelamin dan etnis juga dilaporkan
tertentu (neuron, glia) atau komponen
berkaitan dengan outcome fungsional.
subseluler (akson atau myelin)6,13,22.
Hubungan antara etnik dengan outcome
Kadar biomarker tersebut juga ditemukan
cedera kepala masih kontroversial namun
dalam jumlah yang tinggi dan mudah
studi metanalisis yang menggabungkan
terdeteksi serta dapat menggambarkan
bukti dari 5320 pasien menunjukkan
berhasilnya intervensi terapeutik6,20.
bahwa ras berkulit hitam mempunyai
outcome lebih buruk dibandingkan ras
Neurofilamen protein, Neuron Specific
berkulit putih 21.
Enolase (NSE) dan tau merupakan marker
yang spesifik untuk kerusakan
Tingkat keparahan klinis yang
neuron.Sedangkan glial fibrillary acidic
berhubungan dengan outcome fungsional
protein (GFAP) dan S100B merupakan
cedera kepala meliputi cedera intrakranial
marker yang spesifik untuk kerusakan sel
dan ekstra kranial.Cedera intrakranial
glia.Stroke dan traumatic brain injury
ditentukan dengan skor Glasgow Coma
menyebabkan kerusakan sel otak akut dan
Scale.Beberapa studi telah menunjukkan
menghasilkan komponen-komponen
hubungan skor GCS yang rendah dengan
biomarker yang dapat ditemukan di cairan
outcome fungsional yang buruk. Cedera
serebrospinal (CSS). Kadar biomarker
ekstrakranial dinilai dengan skor ISS
neuronal maupun glial meningkat di CSS
(Injury Severity Score)21. Beberapa
dengan waktu yang berbeda setelah terjadi
penelitian sebelumnya juga mendapatkan
kerusakan otak. Peningkatan kadar
pengaruh cedera ekstrakranial terhadap
“brain-specific protein” tidak hanya
outcome fungsional pasien cedera kepala
ditemukan di CSS tetapi juga di serum
juga masih kontroversial dan sebagian
melalui mekanisme langsung dan tidak
besar studi menyatakan bahwa outcome
langsung13.

22 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Dian Ayu Hamama Pitra dkk : Diagnosis dan Prognosis pada Traumatic Brain Injury : Peran
Biomarker Neuronal dan Glial

Penentuan biomarker atau penanda glukosa dan glikolisis merupakan


biologi untuk kerusakan otak lebih sulit gambaran metabolisme normal pada otak
daripada penentuan biomarker untuk manusia.Namun dalam kondisi trauma
kerusakan organ lain, karena adanya terdapat perubahan spesifik pada glikolisis
sawar darah otak yang membatasi jumlah yaitu terjadinya hiperglikolisis segera
dan ukuran marker yang bisa lewat untuk setelah trauma. Pada saat terjadinya
bisa masuk ke serum. Sumber utama trauma terjadi respon simpatis dan
biomarker untuk kerusakan otak adalah mekanisme pertahanan diri (flight and
jaringan otak sendiri (Gambar 2.7)2,15. flight mechanism), baik glikogen dan
glukosa merupakan prekursor ‘glycolytic
Biomarker pada traumatic brain injury flux’. Namun dibandingkan otot dimana
menggambarkan kerusakan struktural cadangan glikogen 1,25 g/100g
yang berhubungan dengan cedera. (1mMol/100 g jaringan), hepar 20-40
Biomarker ini berasal dari beberapa sel di mMol/100 g, cadangan glikogen otak
sistem saraf pusat. Sejak awal tahun 1980- sangat rendah (0,3-0,4 mMol/100 g
an mulai banyak dilakukan penelitian jaringan). Dengan demikian, dapat
mengenai marker kerusakan otak. dipahami bahwa cadangan glikogen cepat
Substansi yang dengan mudah dapat mengalami deplesi setelah terjadi trauma
dideteksi adalah substansi yang berasal sehingga terjadi hiperglikolisis24.
dari neuron dan sel glia yang secara
komersial bisa diperiksa dengan metode Pada keadaan terjadinya kerusakan
assay dan studi mengenai marker neuronal, seperti pada stroke dan cedera
traumatic brain injury ini telah dilakukan kepala, banyak enzim enolase yang tidak
pada beberapa kasus seperti stroke, henti terpakai karena penurunan proses
jantung dan traumatic brain injury12. glikolisis aerob, sehingga dalam sirkulasi
kadarnya meningkat. Kerusakan neuronal
Pada TBI ringan, biomarker dapat serta gangguan membran sel, akan
memprediksi kerusakan cedera sekunder menyebabkan sawar darah otak terganggu
lebih lanjut.Sedangkan pada TBI berat dan terjadi disintegrasi sel-sel astroglial,
dapat membantu diagnosis pasien yang sehingga NSE akan dengan mudah
tidak reliable dengan pemeriksaan GCS. berdifusi secara pasif kedalam
Beberapa studi telah meneliti beberapa ekstraselular dan cairan serebrospinal25.
biomarker yang dapat digunakan pada Neuron specific enolase dapat ditemukan
TBI. baik pada darah maupun pada cairan
serebrospinal sebagai akibat kematian
neuron. Penelitian Casmiro pada populasi
A. Marker Neuronal
normal mendapatkan kadar NSE di cairan
Biomarker penanda kerusakan neuron serebrospinal 2x lebih tinggi
antara lainNeuron specific enolase (NSE), dibandingkan dengan kadar NSE di
myelin basic protein (MBP) dan serum. Kadar NSE serum 8,7 3,9 ng/ml
hyperfosforilated NFH. Namun sampai sedangkan pada CSS 17,34,6 ng/ml.
saat ini hanya NSE yang telah banyak Tidak terdapat perbedaan rata-rata kadar
dilakukan studi pada TBI23. NSE berdasarkan jenis kelamin dan usia26.

Glukosa merupakan sumber energi utama Neuron specific enolase berhubungan


pada otak manusia dan melalui proses dengan metabolisme glukosa pada cedera
glikolisis menghasilkan karbon untuk kepala akut, dimanaNSEberperan pada
siklus TCA untuk produksi energi. Uptake rantai kesembilan proses glikolisis.

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 23


Dian Ayu Hamama Pitra dkk : Diagnosis dan Prognosis pada Traumatic Brain Injury : Peran
Biomarker Neuronal dan Glial

Penelitian pada hewan coba mendapatkan kadar NSE pada pasien dengan cedera
penggunaan glukosa meningkat tajam 30 kepala sedang dan berat, dibanding pasien
menit setelah terjadi cedera kepala cedera kepala ringan. Tingginya kadar
sekunder, dan setelah itu up take glukosa NSE berbanding terbalik dengan skor
berkurang selama 5-10 hari.Studi pada GCS33. Penelitian oleh Hermann
manusia menggunakan Positron Emission menyimpulkan bahwa konsentrasi serum
Tomography memberikan hasil yang NSE dan S100B berhubungan dengan
serupa27. Menurut Zetterberg et al. 23 dan volume kontusio31,33.
Brunswick et al. 28, peningkatan aktivitas
berbagai pompa membran untuk
B. Markel Glial
mengembalikan keseimbangan ion
menyebabkan konsumsi glukosa Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP)
meningkat. Hal ini kemungkinan dan S100B merupakan marker yang
menjelaskan bahwa peningkatan NSE spesifik untuk kerusakan sel glia.Kedua
terjadi tidak langsung pada saat cedera marker ini telah dilaporkan meningkat
kepala primer, karena pada awal cedera pada beberapa penelitian dan berkorelasi
kepala, proses glikolisis masih dengan nilai GCS dan temuan
berlangsung. neuroimajing.Namun, S100B juga
diekspresikan pada sel ekstra serebri
Neuron specific enolase digunakan termasuk adiposit dan kondrosit. Sehingga
sebagai penanda kerusakan otak yang peningkatan kadar biomarker ini pada
akut29. Neuron specific enolase adalah pasien TBI diduga akibat pelepasan
biomarker yang menjanjikan pada marker ini pada pasien TBI yang juga
kerusakan neuron akut. Kadar NSE dalam sering mengalami fraktur tulang23.
ventrikel CSF berkolerasi dengan
mortalitas setelah cedera kepala dan/atau Glial fibrillary acidic protein merupakan
dengan skor keparahan cedera kepala komponen sitoskeleton utama yang
lainnya, seperti Glasgow Coma Scale dan menyokong integritas astrosit, pertama
Glasgow Outcome Score23,29.Neuron kali ditemukan oleh Eng et al. (1971)34
Specific Enolase merupakan penanda pada pada otak pasien multiple sclerosis yang
kematian neuron dan meningkat setelah terdiri dari sejumlah astrosit fibrosa dan
cedera kepala pada semua tingkat akson yang mengalami demielinisasi.
keparahan15,30. Komposisi asam amino GFAP
dipresentasikan pertama kali pada tahun
Neuron Specific Enolase (NSE) sebagai 1969 oleh dr. Eric Shooter. Laboratorium
biomarker pada TBI Cowan (1984) pertama kali mengisolasi
gen GFAP pada tikus yang mengawali
Peningkatan kadar NSE sesuai dengan riset tentang biologi molekular GFAP
tingkat keparahan kerusakan otak 15,31,32. sedangkan gen GFAP manusia di-kloning
pertama kali pada tahun 198934,35.
Terdapat beberapa penelitian mengenai
hubungan antara kadar NSE dengan Glial fibrillary acidic protein termasuk
cedera kepala, baik pada cairan dalam family IFs bersama dengan
serebrospinal maupun pada serum mikrotubul dan mikrofilamen membentuk
manusia. Diantaranya penelitian oleh sitoskeleton sebagian besar sel eukariotik.
Meric et al yang meneliti nilai prognostic Asal kata IFs berasal dari bentuknya yang
NSE pada 80 orang pasien cedera kepala seperti filamen dan diameter intermediat
yang mendapatkan perbedaan signifikan (8-12 nm), yaitu di antara mikrofilamin

24 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Dian Ayu Hamama Pitra dkk : Diagnosis dan Prognosis pada Traumatic Brain Injury : Peran
Biomarker Neuronal dan Glial

aktin tipis (7 nm) dan mikrotubulus yang sedikit dan disain penelitian case control
tebal (25 nm). Protein IFs dibagi menjadi retrospective yaitu studi yang dilakukan
enam kelas berdasarkan homolog oleh Honda et al.40 Honda et al.
35,36,37
sekuens . melakukan studi biomarker GFAP,
Glial fibrillary acidic protein adalah S100B, dan NSE dalam peranannya
protein yang merupakan komponen sebagai alat diagnostik. Pada penelitian
integral sitoskeleton astrosit dan hanya ini, cedera kepala ditegakkan berdasarkan
diproduksi secara eksklusif oleh astrosit CT scan kepala.Kadar GFAP serum
sehingga sangat spesifik sebagai marker diperiksa pada saat pasien masuk, hari
kerusakan otak. Pada astrosit intak, GFAP kedua dan hari ketiga.Kadar ketiga
merupakan protein non-soluble, monomer biomarker tersebut meningkat pada pasien
yang terdiri dari 432 asam amino dengan cedera kepala pada hari kedua (p<0,001
massa molekular 49,8-53 kDA. Monomer untuk GFAP; p<0,015 untuk S100B;
GFAP bergabung membentuk polimer p<0,025 untuk NSE). Pada hari ketiga,
yang merupakan unit struktural penting peningkatan signifikan hanya ditemukan
untuk sitoskeleton astrosit. GFAPdapat pada GFAP dan NSE (p<0,001 dan
terdeteksi melalui pemeriksaan p<0,01) tetapi pada hari pertama hanya
imunohistokimiawi rutin11,37. GFAP yang mengalami peningkatan
signifikan (p<0,001). Pada hari pertama,
Selain GFAP, astrosit memiliki protein sensitivitas ketiga biomarker mencapai
IFs lain yaitu desmin, synemin dan 100% tetapi spesifisitas ketiganya
vimentin namun desmin dan vimetin berbeda. Spesifisitas GFAP mencapai
keduanya lebih dominan diekspresikan 88,9%, S100B, 27,8% dan NSE 22,2% 11.
pada astrosit imatur. Dalam proses
maturasinya, astrosit didominasi oleh Pelinka et al. (2004)12 membandingkan
GFAP38,39. kadar GFAP berdasarkan gambaran
neuroimajing dimana didapatkan kadar
GFAP lebih tinggi pada lesi fokal
GFAP sebagai alat diagnostik dan
dibandingkan lesi difus. Hasil penelitian
prognostik pada cedera kepala
Pelinka et al. serupa dengan penelitian
oleh Mondello et al. Nylen et al. (2007)13
Beberapa studi telah menunjukkan
meneliti hubungan peningkatan kadar
asosiasi antara peningkatan kadar GFAP
GFAP dengan outcome yang buruk. Kadar
dengan tingkat keparahan dan outcome
GFAP yang terdeteksi pada 98% pasien
cedera kepala sehingga dapat memberikan
dengan severitas berat melewati kadar
informasi prognostik dalam manajemen
GFAP rujukan (<0,15 mcg/l) dengan nilai
pasien cedera kepala. Tingkat keparahan
median sepuluh kali lebih besar
dan outcome ditentukan berdasarkan
dibandingkan nilai rujukan. Kadar GFAP
Glasgow Outcome Score (GOS), Injury
mencapai puncaknya pada 1-2 hari paska
Severity Score (ISS) dan klasifikasi
cedera kepala dan kembali ke kadar
Marshall CT serta skor Rotterdam. Nilai
normal dalam 1-2 minggu11.
cut-off GFAP diperoleh berdasarkan
Receiver Operating Curves (ROC) yang
Lumpkin et al. (2008) melakukan studi
ditentukan berdasarkan studi
11 pada pasien cedera kepala dan
sebelumnya .
menunjukkan bahwa GFAP merupakan
prediktor kuat mortalitas pada cedera
Penelitian yang menilai GFAP sebagai
kepala.Dengan menggunakan cut-off point
alat diagnostik sampai hari ini hanya ada
satu dengan jumlah sampel yang sangat

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 25


Dian Ayu Hamama Pitra dkk : Diagnosis dan Prognosis pada Traumatic Brain Injury : Peran
Biomarker Neuronal dan Glial

0,001mcg/l, spesifisitas GFAP mencapai hipoksia dan hipotensi, dan parameter


100% dan sensitivitas 50-60%11. laboratorium. Biomarker merupakan alat
diagnostik dan prognostik baru.Biomarker
Beberapa penelitian lainnya telah neuronal NSE dan glial GFAP telah
membandingkan GFAP dengan biomarker banyak dibuktikan manfaatnya dalam
lain seperti S-100B. Pelinka et al. membantu diagnosis dan prognosis TBI.
mengevaluasi 92 orang pasien dengan
cedera kepala berat dan menemukan Daftar Pustaka
bahwa GFAP dan S100B dapat menjadi 1. Roozenbeek B, Maas AIR, Menon DK.
alat prediktor mortalitas (AUC Changing patterns in the epidemiology of
traumatic brain injury. Nat Rev Neurol
GFAP=0.84, AUC S100B= 0.78). Namun 9:231-236. 2013.
terdapat perbedaan kadarGFAP dan 2. Neher MD, Keene CN, Rich MC, Moore HB,
S100B berdasarkan klasifikasi Marshall Stahel PF. Serum Biomarkers for Traumatic
CT dimana kadar GFAP rendah pada Brain Injury. Southern Medical Journal
Diffuse injury II dibandingkan Diffuse volume 107 Number 4. 2014.
3. Schouten JW, Maas AIR. Epidemiology of
injury IV (P<0.0005) sedangkan S100B traumatic brain injury. In Winn HR,
lebih rendah pada Diffuse injury III Yaumans neurological Surgery. Saunders, an
dibandingkan Diffuse injury IV11. imprint of Elsevier Inc. Chapter 323: 3270-
3276.2011.
Vos et al. mengevaluasi GFAP, S100B, 4. Farooquui. Neurochemichal aspects of
neurotraumatic and neurodegenerative
dan NSE pada 85 orang pasien cedera disease. Springer Sciences. Pp 183-210.
kepala. Ketiga biomarker ini 2011.
menunjukkan peningkatan pada pasien 5. Begaz T. Head Injury (adult). In Adamn JG.,
dengan cedera kepala berat dengan nilai Emergency Medicine, Second Edition.
AUC±SE(GFAP=79.4±0.05,SE=78.2±0.0 Chapter 73. Saunders, an imprint of Elsevier
Inc.625-632. 2013.
6,S100B=67.7±0.05). Dengan mengguna 6. Yokobori S, Hosein K, Burks S, Sharma I,
kan cut off point 1.5mcg/L, GFAP Gajavelli S, Bullock R. Biomarkers for the
memiliki sensitivitas 85% dan spesivitas Clinical differential Diagnosis in Traumatic
52% dalam memprediksi mortalitas Brain Injury-A systematic review. CNS
dengan nilai prediktif positif 46% dan Neuroscience & Therapeutics, 19:556-565.
2013.
nilai prediktif negatif 88%. Untuk 7. Powell JM, Ferraro JV, Dikmen SS, Temkin
memprediksi outcome yang buruk, GFAP NR, Bell KR. Accuaracy of mild traumatic
mempunyai sensitivitas 80%, spesifisitas brain injury diagnosis. Arch. Phys. Med.
59%, nilai prediktif positif 65% dan nilai Rehabil 89:1550-5. 2008.
prediktif negatif 77%. Analisis multivariat 8. DeKosky ST, Ikonomovic MD, Gandy S.
Traumatic brain injury- football, warfare, and
menunjukkan bahwa GFAP merupakan long term effects. N Engl. J. Med 363:1293-
prediktor paling independen bagi outcome 6. 2010
buruk pada cedera kepala11. 9. Maas AIR, Stocchetti N, Bullock R.
Moderate and severe traumatic brain injury in
adults. Lancet Neurol 7:728-741. 2008.
Kesimpulan 10. Papa L, Lewis LM, Falk JL, Zhang Z,
Silvestri S. Giordano P, et al. Elevated levels
Diagnosis traumatic brain injury secara of serum glial fibrillary acidic protein
konvensional lebih tergantung kepada breakdown products in mild and moderate
traumatic brain injury are associated with
pemeriksaan imajing terutama CT scan intracranial lesions and neurosurgical
kepala.Beberapa faktor yang dapat intervention. Ann Emerg Med 59:471-83.
mempengaruhi outcome pasien cedera 2012.
kepala adalah usia, severitas cedera 11. Schiff L, Hadker N, Weiser S, Rausch C. A
kepala, abnormalitas CT scan, kondisi Literature review of the feasibility of glial

26 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Dian Ayu Hamama Pitra dkk : Diagnosis dan Prognosis pada Traumatic Brain Injury : Peran
Biomarker Neuronal dan Glial

fibrillary acidic protein as a biomarker for 25. Wardiyani NS, Nurimaba N, Kurniani N.
stroke and traumatic brain injury. Mol Diagn Korelasi peningkatan kadar neuron specific
Ther (2):79-92. 2012. enolase dengan derajat keparahan dan luaran
12. Pelinka LE. Serum markers of severe fungsional pasien stroke infark
traumatic brain injury: are they aterotrombotik akut. MKB. 42(2): 62-68.
useful?.Indian journal of critical care 2010.
medicine. 8.3: 190-193. 2004. 26. Casmiro, Maitan, SF, Pasquale D, Cova V,
13. Nylen K. Studies of biochemical brain Scarpa E, Vignatelli L. Cerebrospinal fluid
damage markers in patients at a and serum neuron-specific enolase
neurointensive care unit. Dissertation. 2007. concentrations in a normal population.
14. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf European Journal of Neurology 2005, 12:
Indonesia (PERDOSSI). Kosensus Nasional 369–374. 2005.
Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma 27. Madikians A, Giza CC. A Clinician’s Guide
Spinal. PERDOSSI. 2006. to the Pathophysiology of Traumatic Brain
15. Berger RP. Biochemical markers of traumatic Injury. Indian Journal of Neurotrauma
brain injury in children in Child abuse and (IJNT), Vol. 3, No. 1, pp. 9-17. 2006.
neglect: Diagnosis, Treatment and evidence. 28. Brunswick AS, Hwang BY, Appelboom G,
429-440. 2011 Hwang RY,Piazza MA, Conolly ES. Serum
16. Blumbergs PC. Neuropathology of traumatic Biomarkers of spontaneous intracerabral
brain injury. In: Winn HR, ed. Yaumans hemorrhage induced secondary brain injury.
neurological Surgery. Saunders, an imprint of Journal of the Neurological Science 327: 1-
Elsevier Inc. Chapter 325: 3288-3299. 2011 10. 2012.
17. Zacko JC, Gregory WJ, Hawryluk GWJ, 29. Siman RG. Biomarkers in Roux PDL.,
Bullock MR. Neurochemichal Joshua, Kofke WA.,Monitoring in
pathomechanism in traumatic brain injury. neurocritical care. Saunders. An imprint of
In: Winn HR, ed. Yaumans neurological elsevier inc. Chapter 18: 165-175. 2013.
surgery. Saunders, an imprint of Elsevier Inc. 30. Borg K, Bonomo J, Jauch EC, Kupchak P,
Chapter 327. 2011. Stanton EB, Sawadsky B. Serum level of
18. Feala JD, Diwan M, Hameed, Yu C, Dutta B, biochemical markers of traumatic brain
Yu X, et al. System biology approaches for injury. ISRN Emergency Medicine
discovering biomarkers for traumatic brain .417313.1-7. 2012.
injury. Journal of Neurotrauma 30:1101-16. 31. Herrmann M, Jost S, Kutz S, Ebert A.D,
2013. Kratz T, Wunderlich T, et al. Temporal
19. Park E, Bell JD, Baker AJ. Traumatic brain profile of release of neurobiochemical
injury: can the consequnces be stopped? markers of brain demage after traumatic brain
CMAJ 178(9):1163-70. 2008. injury is associated with intracranial
20. Wagner AK, Arenth PM, Kwasnica C, pathology as demonstrated in cranial
Rogers EH. Traumatic brain injury in computerized tomography. Journal of
Physical Medicine and Rehabilitation, Fourth neurotrauma. Vol 17.no 2:113-122. 2000.
Edition. 1133-1175. 2011. 32. Oleveira COD, Ikuta N, Regner A. Outcome
21. Lingsma HF, Roozenbeck B, Steyerberg EW, biomarkers following severe traumatic brain
Murray GD, Maas AIR. Early prognosis in injury. Rev Bras Ter Intensiva, 20(4): 411-
traumatic brain injury, from prophecies to 421. 2008.
predictions. Lancet Neurol 9:543-44. 2010. 33. Meric E, Gunduz A, Turedi S, Cakir E,
22. Ingebrigtsen T and Romner B. Biochemical Yandi M. The prognostic value of neuron-
serum markers for brain damage: A short specific enolase in head trauma patient. The
review with emphasis on clinical utility in Journal of Emergency Medicine. Vol.38.
mild head injury. Restorative Neurology and No.3. hh. 297-301. 2010.
Neuroscience 21: 171-176. 2003. 34. Eng DL, Eng LF. Glial fibrillary acidic
23. Zetterberg H., Smith D.H., Blennow K. protein: the intermediate filament protein of
Biomarkers of mild traumatic brain injury in astrocytes. In: Nixon, Yuan, eds.
cerebrospinal fluid and blood. Cytoskeleton of the nervous system.
Nat.Rev.Neurol. 9 : 201-210. 2013. Advances in neurobiology 3. Springer.
24. Brooks GA, Martin NA. Cerebral metabolism London. 2011.
following traumatic brain injury: new 35. Middeldorp J, Hol EM. GFAP in health and
discoveries with implications for treatment. disease. Progress in Neurobiology 93:421-
Front. Neurosci. 8:408. 443. 2011.
doi:10.3389/fnins.2014.00408. 2014.

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 27


Dian Ayu Hamama Pitra dkk : Diagnosis dan Prognosis pada Traumatic Brain Injury : Peran
Biomarker Neuronal dan Glial

36. Missler U, Wiesmann M, Wittman G,


Magerkurth O, Hagenstrom H. Measurement
of glial fibrillary acidic protein in human
blood: analytical method and preliminary
clinical results. Clinical Chemistry 45:138-
141. 1999.
37. Petzold A. Glial fibrillary acidic protein is a
body fluid biomarker for glial pathology in
human disease. Brain Research.
http://dx.doi.org/10.1016/j.brainres.2014.12.0
27. 2014.
38. Li L. The Role of Reactive Astrocytes in
Brain Ischemia and Neurotrauma. Institute of
Neuroscience and Physiology, Sweden. 2006.
39. Sofroniew MV. Molecular Dissection of
Reactive Astroglial Scar Formation. Trends
Neurosci 32 (12);638-647. 2009.
40. Honda M, Tsuruta R, Kaneko T, Kasaoka S,
Yagi T, Todani M, et al. Serum Glial
Fibrillary Acidic Protein is a Highly Specific
Biomarker for Traumatic Brain Injury in
Humans Compared with S-100B and Neuron-
Specific Enolase. The Journal of Trauma,
Injury, Infection, and Critical Care, Volume
69, Number. 2010

28 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Lydia Susanti : Wernicke’s Aphasia After Subarachnoid Haemorrhage
With Arterivenous Malformation : Case Report

Wernicke’s Aphasia After Subarachnoid Haemorrhage


With Arterivenous Malformation: Case Report

Lydia Susanti
Department of Neurology
Faculty of Medicine, Andalas University/ M. Djamil Hospital Padang

Abstract
Spontaneous intracranial hemorrhage into the subarachnoid space is a neurological emergency and an
important form of hemorrhage that results in significant morbidity and mortality. Intracranial
Arterivenous Malformations (AVMs), a less frequent cause of Subarachnoid Hemorrhage (SAH) (10%),
occur twice often in men and usually bleed in the second to fourth decades. We reported a 49 year-old
man who was brought to the emergency service with severe headache and brief loss of consciousness. On
physical examination, it was found slight nuchal rigidity and no other neurological deficit. Initial
Computed Tomography (CT) of the brain revealed SAH, more prominent in the left sylvian fissure. On
the fourth days of admission, he developed non-fluent aphasia characterized by reduced verbal output and
word-finding disturbance. He also had right hemiparesis. Post SAH vasospasm-related ischemia and
wernicke’s aphasia were diagnosed. Magnetic Resonance Angioraphy (MRA) gave a picture of dilatation
of the left internal carotid artery and its branches with drainage into the sinus sigmoideus, concluding
with conclusion arterivenous malformation of the left internal carotid artery-left to left sigmoid sinus and
rectus sinus. Patient was recommended for surgery therapy for occlusion of feeding artery, and then came
home with a recommendation not to do heavy physical activity.

Keywords: Subarachnoid hemorrhage, arteriovenous malformation, Wernicke aphasia

Introduction decades, although a significant incident


extend into the sixties.1
Spontaneous intracranial hemorrhage into
the subarachnoid space is a neurological
Case illustration
emergency and an important form of
hemorrhagic that results in significant
A 49 year-old man was brought to the
morbidity and mortality. Although the emergency service with severe headache and
most common cause (80%) of non brief loss of consciousness. On physical
traumatic Subarachnoid Hemorrhage examination found slight nuchal rigidity and
(SAH) is rupture of a cerebral aneurysm, no others neurologic deficit. He had history of
other etiologies such as ruptured hypertension for 3 years, however he did not
Arteriovenous Malformation (AVM), seek for a regular treatment. He took
vasculitis, dural arteriovenous fistula, antihypertensive agents such as captopril and
hemorrhagic brain tumors, and amlodipin occasionally. Initial Computed
hemorrhagic transformation of ischemic Tomography (CT) of the brain revealed SAH,
stroke exist and need to be considered. more prominent in the left sylvian fissure.
There were no findings suggestive of an
Intracranial AVMs, a less frequent cause ischemic insult (Figure 1). Lumbar puncture
of SHA (10%), occur twice often in men (Class I, Level of Evidence B) had also been
and usually bleed in the second to fourth performed on this patient.2 He was
hospitalised with a diagnosis of SAH.

Korespondensi : Lydia Susanti, E-mail : lydiasusanti99@gmail.com 29


Lydia Susanti : Wernicke’s Aphasia After Subarachnoid Haemorrhage
With Arterivenous Malformation : Case Report

Figure 1. Brain CT Scan performed on june 17th 2012 revealed subarachnoid hemorrhage in
intersulci particularly on the left fissure sylvian.

On the fourth day of admission, he picture of dilatation of the left internal


developed non-fluent aphasia carotid artery and its branches with
characterized by reduced verbal output drainage into the sinus sigmoideus with
and word-finding disturbance. He also had conclusion arterivenous malformation of
right hemiparesis. Post SAH vasospasm- the left internal carotid artery-left to left
related ischemia and wernicke’s aphasia sigmoid sinus and rectus sinus (Figure 2).
were diagnosed. He had been treated with Patient was recommended to surgery
triple H-regimen; Hypervolemia therapy for occlusion of feeding artery,
(intravenous fluid administration), and then came home with a
Hemodilution and Hypertension. On the recommendation not to do heavy physical
fifth day, he experienced generalized activity.
tonic-clonic seizure once. Magnetic
Resonance Angioraphy (MRA) gave a

Figure 2. Magnetic Resonance Imaging performed on July 10th 2012 revealed dilatation of the left
internal carotid artery and its branches with drainage into the sinus sigmoideus

30 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Lydia Susanti : Wernicke’s Aphasia After Subarachnoid Haemorrhage
With Arterivenous Malformation : Case Report

Disscussion arterial branches and in roughly half of the


cases, the malformation is found in the
Diagnosis of this patient has been border zone region shared by the distal
established based on the history of illness, anterior, middle, and or posterior cerebral
physical examination and investigations. arteries. Morphology they resemble
It was found that patient suffered from tortuous agglomeration of abnormally
severe headache which he never felt dilated arteries with drainage into deep
before suddenly a few hours before the and or superficial veins. There are no
patient lost of consciousness. Patient also differences in management between SAH
experienced seizure in the hospital. At the caused by aneurism and SAH caused by
time of hospitalization, blood pressure AVMs.
was 160/100 mmHg. Meningeal signs:
found nuchal rigidity, patients also The differences are the treatment of
experience sensory aphasia, right limb etiology. Although based on MRA that
weakness and tonic clonic seizure. And has been done for the patient was found
from investigations Brain CT scan in AVMs, aneurism as a risk factor for
Emergency Room (ER) support the etiology of sub arachnoid bleeding cannot
diagnosis (Class I, Level of Evidence B) be excluded since the patient has
that is found in intersulci hiperdens hypertension as a risk factor for aneurism.
lesions in the left hemisphere that are AVMs frequently (10-20% incidence)
suitable with SAH. Lumbar puncture accompanied by intracranial aneurysm in
(Class I, Level of Evidence B) has also feeding arteries, and this aneurysm can be
been performed. 2 quite proximal and result in typical basal
sub arachnoid hemorrhage like any other
The clinical presentation of SAH is ruptured aneurysm. 2,3,4,5
usually quite distinctive. The classic
description of a patient with SAH is one The degree of neurological imparment
who described his or her headache as the using an accepted SAH grading system
“worst headache of my life”. This often can be useful for prognosis and triage
manifest as a sudden, severe, and (Class IIa, Level Evidence B).
unremitting headache, accompanied by
nausea and vomiting. Photophobia, neck The modify Hunt and Hess (Table 1).
stiffness, and back pain can occur as a Grading scales serves as a means of risk
result of meningeal irritation. stratification for SAH based on the first
Meningismus may present consisting of neurologic examination.
nuchal rigidity or positive Brudzinsky or
kernig sign. Impairment of concicousness General management of patients with
may occur, as well as focal neurologic head elevation 300, normal saline infused.
deficit.2, 3 While the specific therapy is Tranexamat
Acid 1 gram every 4 hour (IV),
Non traumatic SAH is an important cause Nimodipin 2cc/hour infusion (day 3-7
of morbidity and mortality, caused by maintainability), metabolic activator
rupture of cerebral aneurism in most cases (Citicholin 250 mg/12 hour), and the
(80%). Cerebral AVMs are congenital provision of Phenytoin 100 mg/8hour for
vascular lesion that can present with SAH. 3 months, because the patients had
Brain AVMs commonly affect distal seizures twice in the hospital .2,6

Korespondensi : Lydia Susanti, E-mail : lydiasusanti99@gmail.com 31


Lydia Susanti : Wernicke’s Aphasia After Subarachnoid Haemorrhage
With Arterivenous Malformation : Case Report

Table 1. Hunt and Hess Grading Scale 2

Grade Clinical Description


1 Asymptomatic or minimal headache and slight nuchal rigidity
2 Moderate to severe headache, nuchal rigidity and no neurological deficit onther
than cranial-nerve palsy
3 Drowsiness, confusion or mild focal deficit
4 Stupor, moderate to severe hemiparesis, and possibly, early deceberate rigidity
and vegetative disturbance
5 Deep coma, deceberate rigidity and moribound appearance

Although older studies demonstrated an Blood pressure should be monitored and


overall negative effect of anti fibrinolitics, controlled to balance the risk of stroke,
recent evidence suggest that early hypertension related rebleeding, and
treatment with a short course of anti maintenance the cerebral perfusion
fibrinolitic agent, when combine with a pressure. Neurologic complications are
program of early aneurysm treatment common and include symptomatic
followed by discontinuation of the anti vasospasm (46%), hydrocephalus (29%)
fibrinolitic and profilaxis agains and rebleeding (7%). Some such as
hipovolemia and vasospasm may be hyponatremia, seizure, neurogenic
reasonable, but further research is pulmonary edema, or cardiogenic
needed.2 dysfunction.2,3,7

Figure 3. Magnetic Resonance Imaging performed July 10th 2012 revealed infark on left
temporal and occipital lobe with flow void appearance.

Delayed cerebral ischemic from weeks. Simptomatic vasospasm usually


vasospasm accounts for a large proportion involves a decrease in the level
of morbidity and mortality after SAH. conscicousness, hemiparese or both. This
Progresive arterial narrowing develop patient suspected of having vasospasm,
after SAH approximately 70% patient, but which was found lateralization to the right
delayed ischemic deficit develop only 20- and the patients had sensory aphasia. On
30%. The process begins 3-5 days after Magnetic Resonance Imaging (MRI)
hemorrhage, becomes maximal at 5-14 investigations conducted at the onset of
days and gradually resolves over 2-4

32 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Lydia Susanti : Wernicke’s Aphasia After Subarachnoid Haemorrhage
With Arterivenous Malformation : Case Report

day 21st, were also found signs of Clinically obvious tonic-clonic seizure
infarction in the left temporo occipital.2,7,8 occur in 5% SAH patient during
Treatment of cerebral vasospasm begins hospitalization and in another in the first
with early management of ruptured years after discharge. Seizures after SAH
aneurism, an in most cases maintaining are related primarily to focal pathology,
normal circulation blood volume and including large sub arachnoid cloth,
avoiding hypovolemia is probably subdural hematom and cerebral infarction.
indicated. One reasonable approach to Administration of anticonvulsant in
symptomatic cerebral vasospasm is emergency room to minimize the risk of
volume expansion, induction of acute seizure activity (IV phenitoin 20
hypertension, and hemodilution (Triple H mg/kg) is commonly used but routinely
therapy). Oral nimodipin is indicated to administered anticonvulsant after SAH are
reduce outcome related to aneurismal sub not well establish. Patients are
arachnoid hemorrhage.2,7,8 experiencing tonic-clonic seizures at onset
and on day 3 of onset. In patients given
phenytoin 3 x 100 mg orally.2,3,8

Figure 4. Brain CT Scan performed on June 30th 2012 revealed cerebral infark with intelsulci
hemorrhage on left temporal and occipital lobe

After a MRI and MRA considerable AVM veins without the discovery of capillaries.
in the left internal carotid artery - the Most of the AVM (90%) were in
sigmoid sinus and the sinus rectus. It also supratentorial and in the parietal cortex.
found some other AVM in the brain But basically the AVM can occur in all
parenchyma. AVM is a congenital areas of the brain and the spinal cord.
abnormality that occurs where there is a AVM in the posterior fossa has morbidity
direct connection between arteries and and mortality is higher when compared

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 33


Lydia Susanti : Wernicke’s Aphasia After Subarachnoid Haemorrhage
With Arterivenous Malformation : Case Report

with untreated control in the supratentorial University Press, 2 ed, New York, 2008;181-
AVM. Small AVM nidus with a diameter 187
5. Stapf C, Mohr J P, Vascular Malformation of
of 3 cm have a greater bleeding risk than the Brain. In : Intracerebral
large-sized AVM (neurosurgery) 9,10,11 Hemorrhage.Cambridge university press,New
York,2010;71-83
When the patient discharge, he has speech 6. Miller M and Sinson G. Sub arachnoid
disturbance where he has difficulty on hemorrhage. In: Torbey MT. Neurocritical
care. Cambridge University Press, first edition,
finding the word. One year after discharge Cambridge, 2010; 167-185
in M. Djamil hospital he had recurrent 7. Suarez JI, Tarr RW, Selman WR. Current
seizures with loss of conciuossness. CT Concepts Aneurysmal Subarachnoid
scan impression SAH and infark on the Hemorrhage. The New England Journal of
left temporoparietal. Medicine. January 2006.
8. Meyer SA, Bernardini GL. Sub arachnoid
Hemorrhage. In:Rowland LP, Timothy A.
Conclusion Merrit’s Neurology. Lippincott Williams &
Wilkins, 12 ed.New York.2010
9. Gilroy J. Intracerebral, Subaracnoid, Pontine,
SAH that occurred in these patients was and Intracerebelar Hemorrhage. Basic
thought to be caused by rupture of AVM, Neurology 3rd Ed, 2000. 10; 297-306
eventhough SAH caused by aneurism can 10. Wismaji Sadewo. Arterivena Malformasi.
not be excluded. Both management of Dalam Sinopsis Bedah Saraf. Departemen
Bedah Saraf FKUI. Sagung Seto. Jakarta.2011
SAH caused by aneurism or AVM are the 11. Tugasworo D. Perdarahan subarachnoid.
same. The difference lies in the Dalam:Syahrir H, Anwar Y, Kadri AS (editor);
management of the etiology of SAH. Neurology Update 2009. Perdosi Medan : 178-
Patient is encouraged to perform 184.
occlusion of feeding arteries to Jakarta, 12. Kim H, Pawlikowska L, Young WL. Genetics
and Vascular Biology of Brain Vasculer
but the family still reconsidering. Once Malformation. In : Stroke Pathophysiology,
the acute phase has passed and the Diagnosis and Management with expert consult
conditions improved, the patient was 5th edition. Elsevier saunder, 2011.
discharged with the recommendation not
to do heavy physical activity and
straining. Patient is suggested for routine
control and monitor. One year after
discharge from M. Djamil hospital patient
experienced repetitive seizure with loss of
consciousness twice revealed to recurrent
SAH.

References
1. Roger P. Simon, David A Greenberg, Michael
J. Aminof. Clinical Neurology. 3 edition, New
York, 2009.7;75-76
2. Brisman JL, Mayberg MR. Subarachnoid
Hemorrhage. In : Goldstein LB, ed. A Primer
on Stroke Prevention Treatment and Treatment.
Dallas, 2009.6;65-84
3. Guideline Stroke 2007, Kelompok studi stroke
PERDOSSI
4. Kaibara T, Heroes CR, Arteriovenous
Malformations of the Brain. In: Capplan LR
Uncommon Cause of stroke. Cambridge

34 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Ambang Dengar Pada Remaja Yang Menggunakan Personal Listening
Devices (PLDs)

Roni Januardi, Wijana, Bogi Soeseno, Lina Lasminingrum


Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok- Bedah Kepala Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran - RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung - Indonesia

Abstrak
Kalangan remaja atau dewasa merupakan salah satu kelompok yang sering mendengarkan musik
menggunakan Personal Listening Devices (PLDs), suarayang dihasilkan oleh sebuah PLDs bisa mencapai
136 dB.Seringnya remaja dan dewasa menggunakan alat tersebut dalam jangka waktu yang lama dapat
meningkatkan ambang dengar yang mengakibatkan gangguan pendengaran akibat bising.Untuk
mengetahui ambang dengar remaja pada penggunaPLDs. Dilakukan penelitian deskriptif dengan
rancanganpotong lintang menggunakan daftar pertanyaan dan pemeriksaan fisik THT-KL serta skrining
audiometripada siswa SMA 3 Bandung.Terdapat perbedaan yang sangat bermakna antara laki dan
perempuan (p<0,001).Peningkatan ambang dengar pada headphones lebih tinggi (p<0,001).Durasi
penggunaan PLDs berpengaruh terhadap ambang dengar p<0,001).Didapatkan hubungan sangat
bermakna antaraambang dengar yang meningkat padajenis kelamin terhadap PLDs dan hubungan ambang
dengar yang meningkat pada jenis PLDs serta hubungan ambang dengar yang meningkat pada durasi
penggunaan PLDs.Gangguan pendengaran akibat bising dapat disebabkan oleh paparan suara terus
menerus dari PLDs.

Kata Kunci: personal listening devices, ambang dengar, remaja

Hearing Threshold On Teenagers Who Uses Personal Listening Devices


(PLDs)

Abstract
Teenagers and /or adults is one group that often listen to music using the Personal Listening Devices
(PLDs), the sound produced by a PLDs can reach 136 dB. The habit of adolescents and adults using
these tools in a long period of time can increase the threshold of hearing resulting in hearing loss due to
noise. To determine the hearing threshold of teenagers in using PLDs, the descriptive cross-sectional
design was conducted by using questionnaires and physical examinations ENT and audiometric screening
on senior high school Bandung. There were significant differences between men and women (p<0.001).
There was an increased hearing threshold on headphones higher (p<0.001). The duration of the use of
PLDs effected on hearing threshold (p<0.001). A highly significant relation was obtained between
hearing threshold increased in relation to gender and relationship to the PLDs hearing threshold
increased to the type of PLDs as well as relations improved hearing threshold on the duration of use of
PLDs. Noise induced hearing loss can be caused by exposure to continuous sound of PLDs.

Keywords: personal listening devices, hearing threshold, teenagers

Korespondensi : Roni Januardi, E-mail : roni.januardi@gmail.com 35


Roni Januardi, dkk : Ambang Dengar Pada Remaja Yang Menggunakan Personal Listening Devices
(PLDs)

Pendahuluan dilaporkan mengalami kerusakan pada sel


rambut luar koklea 5 dan penurunan
Penggunaan personal listening devices respon pendengaran pada frekuensi
(PLDs) seperti MP3 players dan mobile tinggi.7
phones dengan fungsi pemutaran musik,
saat ini semakin populer di seluruh dunia, Bising merupakan salah satu penyebab
dengan perkiraan penjualan 245 juta unit terseringterjadinya gangguan
di tahun 2012 dan angkanya akan terus pendengaran.Kontak yang terlalu lama
meningkat.1,2 Generasi terbaru PLDs dengan suara intensitas tinggi dapat
memiliki baterai yang tahan lama, menyebabkan kerusakan organ dalam
memungkinkan penyimpanan sejumlah telinga dan menggeser ambang dengar
besar lagu dan mampu menghasilkan atau gangguan pendengaran akibat bising
output suara tinggi tanpa distorsi.3Fitur- (GPAB).Diperkirakan sekitar 500 juta
fitur ini memungkinkan bagi pengguna orang berisiko mengalami gangguan
PLDs untuk mendengarkan dalam jangka pendengaran akibat paparan suara yang
waktu lama dan pada tingkat level suara terlalu keras.GPAB secara signifikan
yang tinggi.3 Hampir setengah dari semua dapat mempengaruhi kelancaran
remaja dan dewasa yang berusia 12 komunikasi. Dengan demikian GPAB
sampai 35 tahun terpapar oleh tingkat tidak hanya mempengaruhi kesehatan,
suara yang tidak aman dari PLDs.2 tetapi juga mempengaruhi kondisi sosial
dan kualitas hidup orang yang terkena.8
Kalangan remaja atau dewasa merupakan
populasi yang sering mendengarkan musik
Klasifikasi Kebisingan
menggunakan PLDs. Wandadi dkk
mengatakan 91,2% mahasiswa yang
Kebisingan tetap (unsteady noise)
tergolong dalam kelompok dewasa muda
dipisahkan lagi menjadi 2 jenis, yaitu:12(1)
mendengarkan musik menggunakan
10 Kebisingan dengan frekuensi terputus
PLDs. Umumnya PLDs digunakan
(discrete frequency noise) Kebisingan ini
bersamaan dengan aktivitas lain seperti
berupa “nada-nada” murni pada frekuensi
olahraga, membaca, bahkan belajar.2
yang beragam, contohnya suara mesin,
Dengan segala kelebihanalat pemutar
suara kipas, dan sebagainya. (2) Broad
musik yang sudah disebutkan, dalam
band noise. Kebisingan dengan frekuensi
penggunaannya seringkali remaja
terputus dan broad band noise sama-sama
menggunakan dengan volume tinggi dan
digolongkan sebagai kebisingan tetap
dalam jangka waktu yang lama, padahal
(steady noise).Perbedaannya adalah broad
keduanya diketahui merupakan faktor
band noise terjadi pada frekuensi yang
risiko terjadinya gangguan pendengaran.9
lebih bervariasi (bukan “nada” murni).
Kebisingan tidak tetap (unsteady noise)
Tingkat suara maksimal yang bisa
dibagi lagi menjadi 3 jenis, yaitu:12(1)
dihasilkan oleh PLDs adalah 100 hingga
Kebisingan fluktuatif (fluctuating noise)
120 dB5 yang setara dengan mesin
adalah kebisingan yang selalu berubah-
gergaji.2Pada volume yang tinggi, paparan
ubah selama rentang waktu
suara dari PLDs bisa dengan mudah
tertentu.(2)Intermittent noise. Sesuai
menginduksi gangguan pendengaran
dengan terjemahannya, intermittent noise
akibat bising (GPAB) meski hanya
adalah kebisingan yang terputus-putus dan
digunakan dalam waktu singkat.6
besarnya dapat berubah-ubah, contohnya
Dibandingkan dengan tidak yang
kebisingan lalu lintas.(3)Impulsive noise.
menggunakan PLDs, pengguna PLD
Kebisingan impulsif dihasilkan oleh

36 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Roni Januardi, Wijana dkk : Ambang Dengar Pada Remaja Yang Menggunakan Personal Listening
Devices (PLDs)

suara-suara berintensitas tinggi mayoritas berasal dari kalangan menengah


(memekakkan telinga) dalam waktu relatif kebawah.9
singkat, misalnya suara ledakan senjata
api dan alat sejenisnya.
Personal Listening Devices (PLDs)

Efek Kebisingan Pada Indera Personal Listening Devices


Pendengaran (PLDs)merupakan perangkat atau alat
pemutar musik yang disambungkan
Dapat diklasifikasikan menjadi:12 (1) dengan piranti dengar untuk meneruskan
Trauma akustik, gangguan pendengaran suara ke telinga pendengar.Berbagai jenis
yang disebabkan oleh suara tunggal PLDs dapat kita jumpai mulai dari
dengan intensitas kebisingan yang sangat pemutar musik yang terdapat pada
tinggi dan tejadi secara tiba-tiba. Sebagai komputer, laptop, ipod, hingga hand
contoh ketulian yang disebabkan oleh phone. Selain itu juga terdapat 2
suara ledakan bom. (2) Ketulian jenispiranti dengar, yaitu jenis yang
sementara (temporary threshold diletakan diluar(headphones) dan didalam
shift/TTS), gangguan pendengaran yang telinga (earphones).10Fligor & Cox dalam
dialami seseorang yang sifatnya Kahari melaporkan bahwa volume
sementara. Daya dengarnya sedikit demi maksimum yang dapat dihasilkan dari
sedikit kembali pulih, waktu untuk sebuah PLDs adalah 91 -121
pemulihan kembali adalah berkisar dari dB.6PenggunaPLDsbiasanya
beberapa menit sampai beberapa hari (3-7 mendengarkan musik pada rentang 70-80
hari), namun yang paling lama tidak lebih dB.1 Dengan berbagai fitur dan fungsi dari
dari sepuluh hari. (3) Ketulian permanen PLDs tersebut di atas, membuat peneliti
(permanent threshold shift /PTS), tertarik untuk mengetahui ambang dengar
bilamana seseorang mengalami TTS dan pada pengguna PLDs.
kemudian terpajan bising kembali
sebelum pemulihan secara lengkap terjadi,
Materi dan Metode Penelitian
maka akan terjadi “akumulasi” sisa
ketulian (TTS), dan bila hal ini
Penelitian ini merupakan deskriptif
berlangsung secara berulang dan
analitik dengan rancangan potong lintang
menahun, sifat ketuliannya akan menetap
pada siswa SMA 3 Bandung. Semua
(permanen). PTS sering juga disebut
subjek penelitian mengisi daftar
gangguan pedengaran akibat bising
pertanyaandan dilakukan pemeriksaan
(NIHL) umumnya terjadi setelah terpajan
fisik THT-KL serta skrining
10 tahun atau lebih.
audiometriyang dilakukan oleh petugas
dari Departemen THT-KL Rumah Sakit
Gangguan pendengaran merupakan salah
DR. Hasan Sadikin.
satu defisit sensorik yang sering terjadi
Ujifriedmandigunakanuntuk melihat
pada manusia, diperikirakan lebih dari 5%
hubungan antara jenis kelamin dan
penduduk dunia mengalami gangguan ini.
ambang dengar, jenis PLDs danambang
Estimasi terakhir dari WHO menyebutkan
dengar serta durasi menggunakan
bahwa lebih dari 27% berasal dari Asia
PLDsdan ambang dengar.
Tenggara dan 5% umumnya memiliki
andil besar dalam menimbulkan masalah
sosial di tengah masyarakat.7 Menurut
WHO pada tahun 2015 akan terdapat
sekitar 360 juta penderita dengan

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 37


Roni Januardi, dkk : Ambang Dengar Pada Remaja Yang Menggunakan Personal Listening Devices
(PLDs)

Hasil dan ambang dengar. Sebanyak 107 subjek


yang dikelompokkan berdasarkan usia,
Telah dilakukan penelitian tentang jenis kelamin, jenis PLDs dan durasi
hubungan antara jenis kelamin dan menggunakan PLDsper hari dan per
ambang dengar, jenis PLDs dan ambang tahun.
dengar serta durasi menggunakan PLDs
Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian (n=107)

Karakteristik Frekuensi Persentase (%)


1. Usia (tahun)
17 58 54,2
18 49 45,8
2. Jenis kelamin
Laki-laki 46 43,0
Perempuan 61 57,0
3. Jenis PLDs
Earphones 74 69,2
Headphones 33 30,8
4. Durasi penggunaan dalam 24
jam 26 24,3
< 1 jam 46 43,0
1-2 Jam 35 32,7
> 2 jam
5. Lama penggunaan PLDs
< 3 tahun 59 55,1
> 3 tahun 48 44,9

Tabel 1 menyajikan bahwa subjek usia 17 pengguna PLDslebih dari 3 tahun sebesar
dan 18 tahun dengan perempuan lebih 44,9%.
banyak (57%). Presentase penggunaan
earphones dua kali lebih banyak dari Nilai rerata ambang dengar pada frekuensi
headphones.Didapatkan durasi pengguna 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz dan 4000 Hz.
PLDs terbanyak 1-2 jam per hari dan

Tabel 2. Rata ambang dengar (n=107)

Frekuensi (Hz) Mean SD Median Rentang (dB)


500 9,58 5,19 10 5-25
1K 12,62 4,46 10 5-25
2K 14,25 5,44 15 5-30
4K 16,45 7,10 15 10-35

Pada tabel 2 tampak semakin tinggi terdapat subjek dengan ambang dengar 30
frekuensi, ambang dengar semakin dB dan pada frekuensi 4000 Hzterdapat
meningkat. Pada frekuensi 2000 Hz subjek dengan ambang dengar 35 dB.

38 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Roni Januardi, Wijana dkk : Ambang Dengar Pada Remaja Yang Menggunakan Personal Listening
Devices (PLDs)

Tabel 3. Karakteristik subjek setiap kelompok

Ambang Dengar
Karakteristik Nilai p
500 Hz 1000 Hz 2000 Hz 4000 Hz
1. Jenis kelamin
Laki-laki 8,26 11,74 12,61 14,57 0,000
Perempuan 10,57 13,28 15,49 17,87
2. Jenis PLDs
Earphones 9,12 12,23 13,78 15,61 0,000
Headphones 10,61 13,48 15,30 18,33
3. Penggunaan PLDs per 24
jam
< 1 jam 9,77 10,65 10,77 15,46 0,000
1-2 jam 10,80 11,74 11,26 16,22
> 2 jam 11,71 12,34 13,43 18,57
4. Durasi penggunaan PLDs
< 3 tahun 8,05 11,44 12,32 14,32 0,000
> 3 tahun 11,61 14,48 16,30 19,33
Sangat bermakna jika nilai p<0,001

Karakteristik subjek penelitian dilakukan PLDs berdampak pada gangguan


pemeriksaan audiometri pada frekuensi pendengaran masih terbatas.
500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz dan 4000 Hz.
Tampak pada tabel 3. Kebiasaan mendengarkan PLDs
bervariasi, bergantung kepada faktor
Tabel 3 menyajikan bahwa jenis kelamin sosial budaya, tingkat pengetahuan dan
perempuan yang menggunakan PLDs sikap pengguna.Pada penelitian
menunjukkan nilai p<0,001 yang artinya sebelumnya ditemukan bahwa remaja
terdapat hubungan yang sangat bermakna cenderung mendengarkan pada volume
pada peningkatan ambang dengar.Piranti yang lebih keras dibandingkan dengan
headphones didapatkan nilai p<0,001 orang dewasa. Kecenderungan
yang artinya terdapat hubungan yang mendengarkan PLDs pada volume yang
sangat bermakna antara penggunaan lebih tinggi dengan adanya suara bising
headphones pada peningkatan ambang lain disekitar pengguna beresiko
3
dengar.Lebih dari 2 jam mengggunakan terjadinya gangguan dengar.
PLDs per hari dan durasi menggunakan
PLDs lebih dari 3 tahun didapatkan nilai Tingkat kerusakan pendengaran yang
p<0,001 yang artinya terdapat hubungan disebabkan oleh penggunaan PLDs masih
yang sangat bermakna pada kedua subjek perdebatan. Beberapa penelitian
kelompok tersebut di atas terhadap telah melaporkan bahwa pengguna PLDs
peningkatan ambang dengar. memiliki ambang batas pendengaran yang
lebih tinggi dibandingkan dengan bukan
pengguna pada frekuensi antara 3000 dan
Diskusi
8000 Hz.3Pada penelitian ini, tampak
ambang dengar yang meningkat dari
Popularitas PLDs di kalangan remaja
setiap frekuensi. Pada frekuensi 4000 Hz
meningkatkan kekhawatiran tentang risiko
didapatkan rata ambang dengar 16,45 dB.
kerusakan pendengaran karena
penggunaan yang kurang tepat dari
Penggunaan perangkat PLDs yang dinilai
perangkat ini.Studi tentang penggunaan
dari penelitian ini adalah dua

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 39


Roni Januardi, dkk : Ambang Dengar Pada Remaja Yang Menggunakan Personal Listening Devices
(PLDs)

jenis.Pertama adalah earphones dan yang waktu. Diperkirakan bahwa gangguan


kedua adalah headphones.Dari kedua jenis pendengaran akibat paparan > 85 dBA
perangkat yang di teliti, headphones akan jelas setelah setidaknya lima tahun
mempunyai tingkat volume yang lebih pajanan, rata-rata dimulai setelah 2,6
tinggi dibandingkan dengan earphones. tahun penggunaan terdapat kemungkinan
Dikatakan bahwa suara yang dihasilkan terjadi kerusakan pendengaran. Tahap
oleh perangkat headphones lebih besar 5- awal gangguan pendengaran pengguna
7 dB dibandingkan earphones.3 Hal ini PLDs karena kerusakan sel rambut luar
terjadi karena turbulensi gelombang suara koklea.3Dari penelitian ini didapatkan
yang masuk kedalam liang telinga.11 nilai p<0,001 untuk durasi penggunaan
Terbukti pada penelitian ini headphones PLDs pertahunyang artinya terdapat
mempunyai nilai p<0,001 yang artinya hubungan yang sangat bermakna terhadap
terdapat hubungan yang sangat bermakna peningkatan ambang dengar.
pada penggunaan headphones dengan
peningkatan ambang dengar. Perubahan ambang dengar akibat paparan
bising tergantung pada frekuensi bunyi,
Bentuknya yang sederhana dan mobile intensitas dan lama waktu paparan, dapat
memungkinkan bagi pengguna PLDs berupa13 : (1) Adaptasi, bila telinga
untuk menggunakannya di saat aktifitas terpapar oleh kebisingan mula-mula
sehari-hari.Padasebuah penelitian telinga akan merasa terganggu oleh
dilaporkan rata-rata penggunaan alat kebisingan tersebut, tetapi lama-kelamaan
pemutar musik PLDs adalah 1-4 jam telinga tidak merasa terganggu lagi karena
dalam sehari.Sebuah penelitian suara terasa tidak begitu keras seperti pada
mengungkapkan, kebanyakkan dari awal pemaparan. (2) Peningkatan ambang
mereka yang menggunakan PLDs dengar sementara, terjadi kenaikan
mengakui bahwa alasan mereka ambang pendengaran sementara yang
menggunakan PLDs adalah dikarenakan secara perlahan-lahan akan kembali
mereka sangat menyukai musik dan seperti semula. Keadaan ini berlangsung
penggunaan musik dalam kehidupan beberapa menit sampai beberapa jam
sehari-hari bukan hanya sekedar menjadi bahkan sampai beberapa minggu setelah
hiburan namun juga dipergunakan sebagai pemaparan. Kenaikan ambang
pengisi kekosongan dalam waktu luang pendengaran sementara ini mula-mula
mereka.Penggunaan PLDs yang menjadi terjadi pada frekuensi 4000 Hz yang
kebiasaan remaja dan dewasa, membuat tampak pada tabel 2, tetapi bila
pengguna nya menggunakan hingga pemaparan berlangsung lama maka
bertahun.Dilihat dari penelitian ini, kenaikan nilai ambang pendengaran
Sebanyak 32,7% menggunakan PLDs sementara akan menyebar pada frekuensi
lebih dari 2 jam dalam 1 hari dan sekitar sekitarnya. Makin tinggi intensitas dan
44,9% menggunakan PLDs lebih dari 3 lama waktu pemaparan makin besar
tahun. Didapatkan pada tabel 3, tampak perubahan nilai ambang pendengarannya.
nilai p<0,001 yang artinya terdapat Respon tiap individu terhadap kebisingan
hubungan yang sangat bermakna antara tidak sama tergantung dari sensitivitas
lama penggunaan PLDs per hari pada masing-masing individu. (3) Peningkatan
peningkatan ambang dengar. ambang dengar menetap, kenaikan terjadi
setelah seseorang cukup lama terpapar
GPAB terjadi karena paparan tingkat kebisingan, terutama terjadi pada
suara keras terus menerus secara frekwensi 4000 Hz. Gangguan ini paling
kumulatif, bertahap memburuk seiring banyak ditemukan dan bersifat permanen,

40 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Roni Januardi, Wijana dkk : Ambang Dengar Pada Remaja Yang Menggunakan Personal Listening
Devices (PLDs)

tidak dapat disembuhkan. Kenaikan DeWet, et all, WHO hearing loss due to
ambang pendengaran yang menetap dapat recreational exposure to loud sounds, Media
Center, Geneva, 2013
terjadi setelah 3,5 sampai 20 tahun terjadi 3. Sulaiman A,H, Seluakumaran, Husain R,
pemaparan, ada yang mengatakan baru Hearing risk associated with the usage of
setelah 10-15 tahun setelah terjadi personallistening devices among urban high
pemaparan. school students in Malaysia, Department of
Physiology, Faculty of Medicine, University
of Malaya, Malaysia 2013, 127(710-715)
Telinga dengan paparan bising melebihi 4. Goofy K, Hemlich H, Schneider R, Scientific
ambang batas dan instensitas yang sering, opinion on the potential health risks of
mengakibatkan adanya perubahan exposure to noise from personal music
metabolik dan vaskuler yang berdampak players and mobile phones including a music
pada perubahan degenerative dalam playing function, Scientific Committee on
Emerging and Newly Identified Health Risks
bentuk sensorik. Sel-sel sensorik yang Brussels: European Commission, 2012,
terpapar akan mengalami peningkatan 68(23-25)
metabolisme, diikuti oleh peningkatan 5. Kumar A, Mathew K, Alexander SA, Kiran
endoplasma vestibulum. Hal ini C. Output sound pressure levels of personal
mengakibatkan perobekan dan music systems and their effect on hearing.
Noise Health, UK, 2009;11:132e40.
pembengkakan pada sel. Selanjutnya 6. Fligor BJ, Cox LC. Output levels of
kerusakan ireversibel sel rambut karena commercially available portable compact disc
adanya penggunaan oksigen secara players and the potential risk to hearing. Ear
berlebih oleh sel-sel sensoris yang Hear, 2004;25:513e27
terpapar bising. Penggunaan oksigen 7. Meyer-Bisch C. Epidemiological evaluation
of hearing damage related to strongly
secara berlebih ini mengakibatkan adanya amplified music (personal cassette players,
penurunan oksigen pada duktus discotheques, rock concerts) high definition
13
koklearis. Pada penelitian ini, sangat audiometric survey on 1364 subjects.
mungkin semua subjek yang diperiksa Audiology 1996;35:121e42.
mengalami gangguan pendengaran akibat 8. Sliwinska-Kowalska M, Davis A. Noise-
induced hearing loss. Noise and Health.
bising. 2012;14(61):274.
9. WHO. Deafness and hearing loss. Geneva.
Kesimpulan Media Center, 2015.
10. Wandadi M, Rashedi V, Heidari A.
Terdapat hubungan yang sangat bermakna Prevalence of using personal music player
and listening habit in students.JRSR.
antara jenis kelamin pada ambang dengar 2014;1(2):30-2.
dan hubungan antara jenis PLDs pada 11. Vogel I, Brug J, Hosli EJ, van der Ploeg CP,
ambang dengar serta durasi menggunakan Raat H. MP3 players and hearing loss:
PLDs pada ambang dengar.Penggunaan adolescents’ perceptions of loud music and
PLDs yang tidak tepat dapat hearing conservation. The Journal of
pediatrics. 2008;152(3):400-4.
menyebabkan rusaknya sel rambut koklea 12. Yullynta Sari A. Pemantauan Kebisingan
dan sangat mungkin terjadinya gangguan Dan Efektifitas Pengendalian Yang Ada Di
dengar akibat bising. Dapur Peleburan Baja Slab Steel Plant II
(SSP II) PT Krakatau Steel Cilegon: Solo,
Universitas Sebelas Maret; 2009.
Daftar Pustaka 13. Kusumawati, I., Hubungan Tingkat
1. Jim Michael, In-Stat Market Research.”The Kebisingan Di Lingkungan Kerja Dengan
worldwide PMP/MP3 player market”, Kejadian Gangguan Pendengaran Pada
Brussels, Market Business Journal, 2012, Pekerja X. Universitas Indonesia, Depok,
61(05). 2012
2. Krug E, Cieza Alarcos, Cadha Shelly,
Sminkey Laura, Morata Thais,Swanepoel

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 41


Program Peningkatan Kemampuan Perawatan Diri Dan Hidup
Mandiri Pada Pasien Skizofrenia

Mutiara Anissa
Bagian Kejiwaan Fakultas Kedokteran Universitas Baiturrahmah

Abstrak
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik berat dengan prevalensi 1%dari populasi dunia.Pasien
skizofrenia mengalami gejala positif, gejala negatif dan defisit kognitif.Gejala negatif dan defisit kognitif
ini cenderung menetap selama perjalanan penyakit skizofrenia yang pada akhirnya mempengaruhi bidang
sosial, pekerjaan dan perawatan diri pasien.Tinjauan pustaka ini membahas tentang upaya meningkatkan
kemampuan perawatan diri dan kemandirian pada pasien skizofrenia.Untuk mencapai tujuan tersebut,
penulis mengumpulkan data dari 11 jurnal dan 5 textbook pada tahun 1997-2012 dengan kata kunci self
care, independent living skills dan schizophrenia.Telah banyak penelitian yang menunjukkan efikasi dan
efektivitas keterampilan pelatihan sosial untuk memperbaiki fungsi sosial pasien.Pada 80% pasien
skizofrenia kronis yang mendapat pelatihan keterampilan sosial, didapatkan adanya peningkatan
keterampilan hidup mandiri.Pelatihan keterampilan sosial diharapkan dapat meningkatkan kemampuan
perawatan diri dan kemandirian pasien skizofrenia sehinggga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien
skizofrenia.

Kata kunci : perawatan diri, kemampuan hidup mandiri, pelatihan keterampilan sosial, skizofrenia

Increasing Ability Program on Self-Care and Independent Living to


Schizophrenia Patients

Abstract
Schizophrenia is a severe psychotic disorder which is found in 1% of world population. Schizophrenia
patients had positive symptoms, negative symptoms and cognitive deficits. Negative symptomps and
cognitive deficits are found in schizophrenia course which affect social aspect, occupationand patient self
care. The literature review will talk about attempting to improve self care and independent living skills of
schizophrenia patients. Writer collected literature from 11 journals and 5 textbooks from 1997-2012 with
key word self care, that independent living skills and schizophrenia. There weremay studies that shown
social skill training had efficacy and effectiveness in improving patient’s social function. About 80% of
schizophrenia patients that had social skills training showed improvement in independent living skilss.
Social skills training is expected to improve patient’s self care and independent living skills so that the
quality of life increases.

Keyword :care, independent living skills, schizophrenia.

Pendahuluan berkembang.Prevalensi skizofrenia di


Indonesia, berkisar 2 juta dari 200 juta
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik populasi. Gejala skizofrenia meliputi
paling berat karena gangguan ini gejala positif (halusinasi, waham,
mempengaruhi seluruh aspek kehidupan disorganisasi pikiran), gejala negatif (afek
pasien.Data epidemiologis menyatakan tumpul, kurangnya motivasi, anhedonia)
bahwa prevalensi skizofrenia 1% dari dan gangguan kognitif (perhatian,
populasi dan populasi skizofrenia ini memori, fungsi eksekutif). Gejala negatif
semakin meningkat, terutama di negara

42 Korespondensi : Mutiara Anissa, E-mail : mumuth_02@yahoo.com


Mutiara Anissa :Program Peningkatan Kemampuan Perawatan Diri Dan Hidup Mandiri Pada Pasien
Skizofrenia

dan kognitif ini kadang saling bertumpang interpersonal dan 86% gangguan dalam
tindih.1,2 komunikasi.4,6

Persentase pasien skizofrenia yang Beberapa penelitian sistematis


sembuh secara sempurna hanya sedikit mendapatkan bahwa intervensi psikososial
dan mayoritas pasien skizofrenia tetap dapat mengurangi gangguan fungsional.
mempunyai gejala, defisit kognitif dan Pelatihan keterampilan sosial terdiri atas
masalah psikososial. Berdasarkan aktivitas yang menggunakan tehnik
pengamatan Shepherd et al (1989) selama perilaku yang memungkinkan pasien
5 tahun pada pasien skizofrenia yang skizofrenia dan gangguan mental lainnya
mendapat perawatan, sekitar 22% pasien untuk meningkatkan keterampilan dalam
dengan episode pertama skizofrenia mengatasi masalah interpersonal dan
mengalami remisi sempurna. Sebanyak 35 keterampilan hidup mandiri untuk
% mengalami kekambuhan dengan meningkatkan fungsinya dalam
gangguan minimal dan 8% mengalami masyarakat. Banyak penelitian yang
kekambuhan dengan defisit kognitif yang menunjukkan efikasi dan efektivitas
menetap.1,2,3,4 keterampilan pelatihan sosial. Pada 80%
pasien skizofrenia kronis yang mendapat
Green (1996) mendapatkan bahwa level pelatihan keterampilan sosial, didapatkan
gangguan kognitif menjadi prediktor adanya peningkatan keterampilan hidup
fungsi kemandirian pasien, sedangkan mandiri.7,8
kemampuan verbal, konsentrasi dan
fungsi eksekutif mempengaruhi aktivitas Penulisakan menjabarkan lebih dalam
sehari-hari dan keterampilan sosial. tentang upaya untuk meningkatkan
Defisit kognitif pada pasien skizofrenia kemampuan perawatan diri dan
meliputi atensi, memori verbal, fungsi keterampilan hidup mandiri pasien
eksekutif, kefasihan berbicara dan skizofrenia tersebut yang diharapkan
kecepatan motorik. Gangguan ketiga area dapat secara mudah diaplikasikan dalam
ini menimbulkan gangguan fungsi sosial, lingkup layanan klinis. Peningkatan
seperti: percakapan, mengikuti instruksi tersebut bertujuanuntuk meningkatkan
tentang pengobatan atau fungsi pekerjaan. kualitas hidup pasien skizofrenia.
Defisit kognitif juga mempengaruhi
prognosis penyakit pasien. Berdasarkan
Fungsi Sosial
hal tersebut, pasien skizofrenia
membutuhkan terapi yang intensif dan
Fungsi sosial didefinisikan sebagai
berkelanjutan.1,3,5
kualitas dan kedalaman hubungan
interpersonal seseorang. Fungsi sosial
Pasien skizofrenia akan mengalami
juga berarti kemampuan sosialisasi
kemunduran fungsi dalam bidang sosial,
seseorang sesuai dengan peran dan
pekerjaan dan perawatan diri. Sebuah
harapannya. Fungsi sosial dapat dipahami
penelitian menunjukkan 64% pasien
dengan melihat 7 area kehidupan yaitu
skizofrenia tidak mampu merawat dirinya,
fungsi peran, hubungan sosial, perawatan
sehingga sering kali dibantu oleh
diri, keterampilan hidup mandiri,
keluarga. Shihabuddeen et all (2012)
penggunaan waktu luang dan aktivitas
melaporkan dari 30 pasien skizofrenia,
rekreasi.9
40% mengalami defisit perawatan diri,
1. Fungsi Peran.
73% mengalami gangguan aktivitas
Fungsi peran merupakan kemampuan
individu dalam menjalankan perannya

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 43


Mutiara Anissa :Program Peningkatan Kemampuan Perawatan Diri Dan Hidup Mandiri Pada Pasien
Skizofrenia

di masyarakat. Sebagai contoh: peran dapat juga menguatkan ikatan


sebagai pelajar adalah menghadiri hubungan pasien dengan orang lain.
kelas, menyelesaikan tugas, lulus ujian 5. Integrasi Komunitas.
dan mendapatkan sertifikat kelulusan. Integritas komunitas didefinisikan
Kegagalan seseorang dalam sebagai kemampuan individu dengan
menjalankan perannya dapat disabilitas untuk hidup berdampingan
menimbulkan masalah pada lingkungan dengan orang normal lainnya. Integrasi
sosial. Hal tersebut berdampak pada sosial meliputi banyak aktivitas dan
hubungannya dengan orang lain. perilaku, seperti menghadiri
2. Hubungan Sosial. pertemuan orang tua di sekolah,
Hubungan sosial melibatkan menjadi sukarelawan, atau mengikuti
kemampuan seseorang untuk suatu organisasi.
mempertahankan hubungan yang
bermakna, menyenangkan dan berharga
Perawatan Diri dan Kemandirian
dengan orang lain. Hubungan ini bisa
dengan keluarga, teman dan lawan
Perawatan diri didefinisikan sebagai
jenis. Hubungan sosial melibatkan
praktik aktivitas yang diprakarsai dan
aspek kehidupan sehari-hari, seperti:
dilakukan oleh seseorang untuk
hubungan dengan teman kerja, petugas
mempertahankan kehidupan, kesehatan
kesehatan (dokter, perawat), tuan
dan kesejahteraan. Perawatan diri
tanah dan pramuniaga.
memperlihatkan kepercayaan diri,
3. Perawatan diri dan Keterampilan Hidup
tanggung jawab, kemandirian, keadaaan
Mandiri.
saling tergantung dan kemampuan
Banyak keterampilan yang diperlukan
bekerjasama. Aktivitas perawatan diri
untuk merawat diri, menampilkan diri
biasanya dikenal dengan istilah Activities
dengan cara yang pantas, dan hidup
of Daily Living (ADLs).ADLs ini terdiri
mandiri tanpa pengawasan.
atas makan, mandi/kebersihan, berpakaian
Keterampilan merawat diri meliputi
dan toileting. Selain ADL, dikenal juga
kemampuan untuk menjaga kebersihan
istilah Instrumental Activities of Daily
diri, berpakaian sesuai cuaca dan
Living (IADL). IADL meliputi aktivitas
situasi sosial, berespon terhadap
seperti pengaturan dan pembangunan
kebutuhan pengobatan.Sedangkan
rumah, pemeliharaan dan pengaturan
keterampilan hidup mandiri adalah
kesehatan, berbelanja dan lain-lain.10,11
membersihkan rumah, berinteraksi
dengan tetangga, memasak, mencuci,
Gangguan psikologis dan kognitif bisa
berbelanja dan menggunakan
menyebabkan keterbatasan perawatan diri
transportasi umum.
yang temporer atau permanen.Bantuan
4. Waktu luang dan aktivitas rekreasi.
sangat dibutuhkan dalam melakukan atau
Cara seseorang menghabiskan waktu
meningkatkan kapasitas perawatan diri
luangnya ternyata menentukan kualitas
pasien. Rehabilitasi diperlukan untuk
hidup seseorang. Aktivitas dalam
mempelajari kembali ADLs atau
waktu luang dan rekreasi meliputi hal
mempelajari cara baru dalam
yang menyenangkan dan menghibur,
menyelesaikan yang telah dipahami.
seperti: berolahraga, menonton televisi,
Peranan dokter, perawat, anggota keluarga
menonton film di bioskop, membaca
dan terapis okupasional sangat dibutuhkan
dan kegiatan lainnya. Kegiatan ini bisa
untuk membantu pasien mencapai
dilakukan sendiri, namun kegiatan ini
kemandirian dalam melaksanakan aktiftas
perawatan diri.10

44 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Mutiara Anissa :Program Peningkatan Kemampuan Perawatan Diri Dan Hidup Mandiri Pada Pasien
Skizofrenia

Parameter penilaian defisit perawatan diri disabilitas dan fungsi sosial penderita
adalah dengan melihat kemampuan skizofrenia. Dibandingkan dengan gejala
menjalankan ADLs, status fungsional positif, gejala negatif cenderung menetap
ADLs dan penyebab masalahnya. selama perjalanan penyakit skizofrenia.3
Penilaian bisa didapat dari pasien sendiri
atau laporan dari keluarga atau teman. Gejala negatif berupa afek datar atau
Observasi dilakukan saat pasien tumpul, alogia, avolisi, anhedonia dan
melakukan aktivitas, setelah ditemukan atensi.Avolisi adalah berkurangnya
adanya defisit perawatan diri maka dapat keinginan atau kehendak dalam
ditentukan status fungsional ADLs. Salah melakukan suatu aktivitas. Hal ini
satu instrumen yang dapat digunakan berkaitan dengan defisit perawatan diri
adalah Independent Living Skills (berpakaian, kebersihan diri) dan akhirnya
9,10,12
Survey. dapat mengganggu pendidikan dan
pekerjaan. Penderita tidak mau
Beberapa domain yang dinilai berpartisipasi aktif atau hanya melakukan
Independent Living Skills Surveyadalah aktvitas pasif seperti menonton
memori, pengaturan keuangan, televisi.Penderita skizofernia tidak
pengelolaan rumah, transportasi, mempedulikan pakaian dan kebersihan
kesehatan dan keamanan.Orientasi diri. Pakaian kadang tampak tidak rapi,
memori menilai orientasi waktu dan kusut dan usang. Kebersihan diri juga
tempat, mengingat daftar belanja dan sangat kurang, seperti: jarang mencuci
mengenali barang yang hilang. Pengaturan tangan, menyisir rambut dan menggosok
uang termasuk dalam tugas konkrit untuk gigi.1,3
penghitungan dan pengaturan keuangan. Disorganisasi meliputi waham aneh,
Pengelolaan rumah dan transportasi perilaku katatonik dan afek tidak serasi.
memperlihatkan kemampuan untuk Disorganisasi mempengaruhi perilaku dan
menggunakan telepon dan transportasi proses berpikir. Penderita tidak
umum.Kesehatan dan keamanan menilai mempedulikan aktivitas harian atau
kesadaran terhadap masalah kesehatan, pemeliharaan kesehatan. Pakaian tampak
keadaan gawat darurat dan hal yang aneh atau tidak sesuai, seperti: memakai
berbahaya di rumah. Penyesuaian sosial baju berlapis pada musim panas, atau
merefleksikan perhatian dan perilaku berpakaian eksentrik.1
terhadap hubungan interpersonal.12
Selain dipengaruhi oleh gejala negatif,
gangguan fungsi sosial juga berkaitan
Skizofrenia dan Gangguan Fungsi
dengan defisit kognitif. Defisit kognitif
Sosial
sering ditemukan pada area memori,
fungsi eksekutif, atensi, kelancaran verbal
Skizofrenia dipandang sebagai gangguan
dan kecepatan motorik. Defisit kognitif
mental dengan manifestasi yang dramatis
mempengaruhi fungsi seseorang seperti
dan tragis. Konsekuensi penyakit ini
kesulitan dalam berkomunikasi, kesulitan
mempengaruhi penderita, keluarga dan
dalam memecahkan masalah, dan gagal
masyarakat. Gejala skizofrenia meliputi
mempertahankan pekerjaan,pemecahan
gejala positif, gejala negatif dan defisit
masalah sosial dan keterampilan
kognitif. Gejala negatif merupakan gejala
sosial.14,15
yang penting untuk dikenali, karena
keparahan gejala ini memprediksi

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 45


Mutiara Anissa :Program Peningkatan Kemampuan Perawatan Diri Dan Hidup Mandiri Pada Pasien
Skizofrenia

Gambar 1. Hubungan Antara Neurokognitif dan Fungsi Sosial (Dikutip dari : Green MF.
Neurocognitive Functioning in Patients with Schizophrenia.In American College of
Neuropsychopharmacology. 2002)

Terapi Psikososial teknik perilaku.Pasien skizofrenia dan


gangguan mental lainnnya diharapkan
mampu mengenali penyakitnya dan
Jenis Terapi Psikososial
mempunyai keterampilan hidup mandiri
untuk meningkatkan fungsinya di
Terapi psikososial semakin berkembang
masyarakat. Jenis dan frekuensi pelatihan
beberapa dekade terakhir. Terapi ini
keterampilan sosial disesuaikan dengan
dimulai dari abad 19, gerakan reformasi
fase gangguan pasien.7
untuk menempatkan penderita gangguan
mental di lingkungan yang ramah dan
Agen Penelitian Kesehatan dan kualitas
berperan secara normal. Di Amerika
telah menjalankan Patient Outcomes
Serikat, program pemerintah untuk
Research Team (PORT) padat tahun 1990
penderita gangguan mental dimulai tahun
dan diperbarui tahun 2003. PORT
1943. Program ini berdasarkan prinsip dan
mengembangkan terapi skizofrenia
pendekatan rehabilitasi medik yang
berdasarkan penelitian. Berikut beberapa
diterapkan untuk masalah psikiatri. Hal ini
terapi psikososial yang direkomendasikan
diikuti dengan dibukanya Pusat Kesehatan
oleh PORT :3,7
Mental tahun 1950an dan 1960an. Institusi
1. Intervensi Keluarga
ini tidak hanya menjadi pusat pelayanan
Pasien skizofrenia dan keluarga yang
bagi pasien skizofrenia yang
berkontak terus menerus hendaknya
komprehensif dan berkaitan dengan
mendapat terapi keluarga.Terapi ini
masyarakat. Institusi ini bertujuan agar
berlangsung selama 9 bulan dan
pasien skizofrenia dan keluarganya
membahas tentang edukasi penyakit,
mempelajari strategi dan keterampilan
intervensi krisis, dukungan emosional
untuk hidup dengan skizofrenia di luar
dan pelatihan mengatasi gejala penyakit
rumah sakit.3
serta permasalahannya.
2. Dukungan Pekerjaan
Pelatihan keterampilan sosial terdiri atas
aktivitas belajar yang menggunakan

46 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Mutiara Anissa :Program Peningkatan Kemampuan Perawatan Diri Dan Hidup Mandiri Pada Pasien
Skizofrenia

Pasien skizofrenia yang ingin bekerja perilaku untuk menghadapi gejala


ditawarkan dukungan pekerjaan. penyakit.
Termasuk didalamnya adalah 6. Token Economy Interventions
perkembangan pekerjaan, penggantian Sistem perawatan yang menyediakan
pekerjaan yang kompetitif, dukungan intervensi perilaku berdasarkan prinsip
pekerjaan berkelanjutan dan integrasi pembelajaran sosial. Kunci intervensi
dengan pusat pelayanan kesehatan. ini adalah penguatan positif untuk
3. Assertive Community Treatment (ACT) perilaku target, pendekatan terapi
Intervensi ini diberikan pada individu individu dan menghindari konsekuensi
dengan karakteristik berikut: risiko hukuman.
tinggi dirawat, kesulitan dalam
perawatan tradisional atau tidak
Pelatihan Keterampilan Sosial
mempunyai rumah. Terapi ACT ini
melibatkan tim multidisiplin, diskusi
Inti rehabilitasi psikiatri adalah melatih
antara anggota tim, ketentuan
individu untuk melakukan keterampilan
pelayanan dari anggota tim, frekuensi
dalam rangka meningkatkan fungsi
pertemuan yang sering, rasio staf-
sosialnya. Pelatihan keterampilan tidak
pasien yang rendah dan penempatan
dapat menjamin tercapainya keterampilan
pasien di komunitas.
yang diinginkan. Lingkungan berperan
4. Pelatihan Keterampilan
dalam memberikan kesempatan bagi
Pelatihan keterampilan ini ditujukan
individu untuk melakukan keterampilan
untuk pasien skizofrenia dengan defisit
tertentu.15
keterampilan, seperti keterampilan
sosial atau aktivitas sehari-hari.Kunci
Lieberman et all, mengembangkan modul
dari terapi ini adalah tingkah laku
dalam membantu pelatihan keterampilan.
berdasarkan instruksi, modeling,
Modul tersebut dapat digunakan untuk
umpan balik, dan penguatan
mengajarkan keterampilan seperti:
sosial.Pelatihan keterampilan ini
pengaturan keuangan, mempertahankan
disertai dengan praktik dan pelatihan
pekerjaan, mengatasi gejala psikotik dan
dalam kehidupan sehari-hari.
terlibat dalam percakapan dasar. Delapan
5. Psikoterapi Berorientasi Kognitif
modul yang diperkenalkan adalah
Perilaku
pengelolaan pengobatan, pengelolaan
Pasien skizofrenia dengan gejala
gejala, pencegahan penyalahgunaan obat-
residual hendaknya diberikan
obatan, rekreasi, percakapan dasar,
kombinasi farmakoterapi dan
fundamental tempat kerja, pertemanan dan
psikoterapi berorientasi pada kognitif
kembali ke masyarakat. Semuanya
perilaku. Kunci terapi ini adalah
menggunakan metode yang sama untuk
pemahaman tentang penyakit antara
mengajarkan keterampilan setiap modul.15
pasien dan terapis,identifikasi gejala,
perkembangan kognitif dan strategi

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 47


Mutiara Anissa :Program Peningkatan Kemampuan Perawatan Diri Dan Hidup Mandiri Pada Pasien
Skizofrenia

Gambar 2. Tujuh Langkah Pembelajaran (Dikutip dari : Kopolowitz A. Psyciatric Rehabilitation


for Schizophrenia. 2003)

Aplikasi Perawatan Diri dan d. Melatih pasien mempraktikkan cara


Kemandirian menjaga kebersihan diri.
2. Membantu pasien latihan berhias
Tindakan keperawatan dalam melatih Latihan berhias pada pria hendaknya
pasien dengan defisit perawatan diri dapat dibedakan dengan wanita.Pada pria
diterapkan untuk pelatihan pasien. latihan meliputi latihan berpakaian,
Penggunaan modul tidaklah mudah untuk menyisir rambut dan bercukur,
diterapkan di Rumah Sakit. Berikut sedangkan pada pasien wanita, latihan
beberapa upaya dalam meningkatkan meliputi latihan berpakaian, menyisir
kemampuan perawatan diri yang rambut dan berhias/berdandan.
dilakukan oleh bagian keperawatan 3. Melatih pasien makan secara mandiri
bangsal Psikiatri RSCM:16 dengan cara :
1. Cara perawatan kebersihan diri adalah : a. Menjelaskan cara mempersiapkan
a. Menjelaskan pentingnya menjaga makan
kebersihan diri. b. Menjelaskan cara makan yang tertib
b. Menjelaskan alat-alat untuk menjaga c. Menjelaskan cara merapikan
kebersihan diri. peralatan makan setelah makan
c. Menjelaskan cara-cara membersih d. Mempraktikkan cara makan yang
kan diri. baik

48 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Mutiara Anissa :Program Peningkatan Kemampuan Perawatan Diri Dan Hidup Mandiri Pada Pasien
Skizofrenia

4. Mengajarkan pasien melakukan memperlihatkan kepercayaan diri,


BAB/BAK secara mandiri dengan cara tanggung jawab, kemandirian, keadaan
: saling tergantung dan kemampuan
a. Menjelaskan tempat BAB/BAK kerjasama.
yang sesuai
b. Menjelaskan cara membersihkan Perkembangan antipsikotik ternyata tidak
diri setelah BAB/BAK mampu untuk mengatasi defisit perawatan
c. Menjelaskan cara membersihkan diri dan ketidakmandirian pasien
tempat BAB/BAK skizofrenia. Kombinasi antipsikotik dan
terapi psikososial menunjukkan perbaikan
Tindakan ini dapat juga dilakukan pada yang lebih baik dibanding terapi
keluarga.Tindakan ini bertujuan agar antipsikotik tunggal. Salah satu terapi
keluarga mampu merawat anggota psikososial untuk memperbaiki defisit
keluarga yang mengalami masalah defisit perawatan diri pasien adalah pelatihan
diri. Untuk memantau kemampuan pasien keterampilan sosial. Pelatihan
dalam melakukan cara perawatan diri keterampilan ini menggunakan aktifitas
yang baik, maka keluarga pun dapat belajar sehingga pasien mampu mengenali
dilatih cara agar dapat meneruskan penyakit dan keterampilan mandiri.
melatih dan mendukung pasien setelah
pulang perawatan. Tindakan yang dapat Pelatihan keterampilan sosial ini bertujuan
dilakukan adalah:16 untuk membantu pasien mencapai
a. Diskusikan dengan keluarga tentang kemandirian dalam melaksanakan
masalah yang dihadapi dalam merawat aktivitas perawatan diri. Peranan dokter,
pasien perawat, anggota keluarga dan terapi
b. Jelaskan pentingnya perawatan diri okupasional sangat diperlukan dalam hal
untuk mengurangi stigma ini. Penilaian defisit perawatan diri dapat
c. Diskusikan dengan keluarga tentang memakai Independent Living Skills
fasilitas kebersihan diri yang Survey.
dibutuhkan oleh pasien untuk menjaga
perawatan diri pasien Prinsip dari peningkatan kemampuan
d. Anjurkan keluarga untuk terlibat perawatan diri pasien adalah pemahaman
dalam merawat diri pasien dan mampu pasien tentang keterampilan yang akan
untuk mengingatkan pasien dalam diajarkan. Bila perlu, pasien
merawat diri (sesuai jadwal yang telah mempraktikkan keterampilan tersebut dan
disepakati) kemudian dikoreksi oleh dokter/perawat.
e. Anjurkan keluarga untuk memberikan Pelatihan keterampilan juga dapat
pujian atas keberhasilan pasien dalam dilakukan pada anggota keluarga.Hal ini
merawat diri. bertujuan agar keluarga dapat meneruskan
f. Bantu keluarga melatih cara merawat pelatihan tersebut di rumah.
pasien defisit perawatan diri.
Daftar Pustaka
Kesimpulan
1. Lindenmayer JP, Khan A. Psychopatology.
Pasien skizofrenia akan mengalami Textbook of Schizophrenia. Washington, DC :
The American Psychiatric Publishing.
kemunduran fungsi dalam bidang sosial, 2006:187-226.
pekerjaan dan perawatan diri. Gangguan 2. Rafiyah I, Suttharangsee W, Sangchan H.
ini dapat mempengaruhi prognosis Social Support and Coping of Indonesian
penyakit pasien. Perawatan diri

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 49


Mutiara Anissa :Program Peningkatan Kemampuan Perawatan Diri Dan Hidup Mandiri Pada Pasien
Skizofrenia

Family Caregivers Caring for Persons with International Journal of Psychology and
Schizophrenia. 2011;159-168. Psychological Therapy. 2003; 3(2): 283-298.
3. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Schizophrenia 16. Keliat Ba, Akemat. Manajemen Keperawatan
and Other Psychotic Disorders. Comprehensive di Ruang MPKP Jiwa. Model Praktik
Textbook of Psychiatry. Lippincott William & Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta :
Wilkins. 2009; Edisi 2 : 1432-1625. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007:148-
4. WHO. Nations for Mental Health: 163.
Schizophrenia and Public Health. WHO.1996.
diunduh dari
http://www.who.int/mental_health/media/en/55
.pdf tanggal 15 Oktober 2012.
5. Savla GN, Moore DJ, Palmer Bw. Cognitive
Functioning in Schizophrenia. Clinical
Handbook of Schizophrenia. New York : The
Guilford Press.2008;91-99.
6. Shihabuddeen I, Bilagi S, Krishnamurthy K,
Chandran M. Rehabilitation needs and
disability in persons with Schizophrenia and
the needs of the care givers. Delhi Psychiatry
Journal. 2012; 15(1):118-121.
7. Kopelowicz A, Liberman RP, Zarate R. Recent
Advances in Social Skills Training for
Schizophrenia. Schizophrenia Bulletin. 2006;
32: 12-23.
8. Liberman RP, Wallace CJ, Blackwell G,
Kopelowicz A, Vaccaro, JV, Mintz J. Skills
Training Versus Psychosocial Occupational
Therapy for Persons With Persistent
Schizophrenia. Am J Psychiatry. 1998; 155(8) ;
1087-1091.
9. Corrigan PW, Mueser KT, Bond GR, Drake
RE, Solomon P. Social Functioning. Principles
and Practice of Psychiatric Rehabilitation. New
York : The Guilford Press.2009;210-233
10. Thiel L. Self Care Deficit. Nursing Diagnosis
and Intervention Planning for Patient Care.
USA: Mosby.1997;408-420.
11. Lipskaya L, Jarus T, Kotler M. Influence of
Cognition and Symptoms of Schizophrenia on
IADL Performance. Scandinavian Journal of
Occupational Therapy. 2011; 18: 180–187.
12. Wallace CJ, Liberman RP, Tauber R, Wallace
J. The Independent Living Skills Survey : A
Comprehensive Measure of The Community
Functioning of Severely and Persistently
Mentally Ill Individuals. Schizophrenia
Bulletin. 2000;26(3); 632-656.
13. Semkovskaa M, Be´darda M, Godboutc L.
Assessment of Executive Dysfunction During
Activities of Daily Living in Schizophrenia.
Schizophrenia Research. 2004; 6: 289–300.
14. Goldber TE, Green MF. Neurocognitive
Functioning In Patients With Schizophrenia.
Neuropsychopharmacology: The Fifth
Generation of Progress. American College of
Neuropsychopharmacology. 2002;657-669.
15. Kopolowitz A, Wallace CJ, Liberman RP.
Psyciatric Rehabilitation for Schizophrenia.

50 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Aspek Klinis Dan Pemeriksaan Laboratorium Clostridium perfringens
Tipe A

Debie Anggraini
Bagian Patologi Klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Baiturrahmah

Abstrak
Clostridium perfringens merupakan bakteri Gram positif, berbentuk batang, non-motil dan anaerob
obligat yang menghasilkan spora. Clostridium perfringens dapat ditemukan di dalam tanah, debu,
makanan (terutama daging dan unggas mentah) dan merupakan flora normal usus dan saluran kelamin
manusia. Clostridium perfringens adalah penyebab paling umum gas gangren yang terdeteksi pada 60%-
90% dari kasus klostridial mionekrosis. Manifestasi klinis infeksi C. perfringens tergantung pada
tipe toksin yang dimilikinya, infeksi terbanyak pada manusia berupa gas gangren dan gangguan sistem
gastrointestinal disebabkan oleh C. perfringens tipe A.

Kata kunci: Anaerob obligat, Clostridium perfringens, gas gangren.

Aspects of Clinical and Laboratory Test of Clostridium perfringens Type


A

Abstract
Clostridium perfringens is a Gram-positive rod-shaped bacteria, non-motile and obligate anaerobes that
produce spores. Clostridium perfringens can be found in soil, dust, food (especially meat and poultry)
and is the normal intestinal flora and the human genital tract. Clostridium perfringens is the most
common cause gas gangrene were detected in 60% -90% of cases Clostridial mionekrosis.Clinical
manifestations of C. perfringens infection depends on the type of toxin that have the most infections in
humans in the form of gas gangrene and disorders of the gastrointestinal tract caused by C. perfringens
type A.

Keywords: Clostridium perfringens, gas gangrene, obligate anaerobes

Pendahuluan Amerika Serikat. Clostridium perfringens


sendiri atau dalam kombinasi dengan
Clostridium perfringens (C. perfringens) organisme lain merupakan penyebab 50-
merupakan bakteri positif Gram berbentuk 100% dari semua infeksi gas gangren dan
batang, non-motil dan anaerob obligat C. perfringens tipe A merupakan
yang menghasilkan spora. Bentuk organisme penyebab tersering gas gangren
vegetatif C. perfringens merupakan flora yang diisolasi dari luka pasien.4
normal vagina dan usus serta dapat Clostridium perfringens juga merupakan
bermultiplikasi sangat cepat terutama penyebab penyakit yang berhubungan
dalam makanan yang tidak dimasak dengan makanan urutan ketiga tersering di
sempurna.1-3 Amerika Serikat setelah Salmonella spp
dan Staphylococcus aureus.5
Clostridium perfringens menyebabkan gas
gangren pada lebih dari 3000 orang setiap Spesies C. perfringens dikelompokkan
tahunnya dengan angka kematian 25% di menjadi lima tipe (A-E) berdasarkan

Korespondensi : Debie Anggraini, E-mail : dbiepatklin@gmail.com 51


Debie Anggraini : Aspek Klinis Dan Pemeriksaan Laboratorium Clostridium perfringens Tipe A

toksin yang dihasilkannya, terdiri dari Kelas : Clostridia


empat toksin mayor α, β, ε, ι.1,6 Kelima Ordo : Clostridiales
tipe dari C. perfringens menghasilkan Famili : Clostridiaceae
toksin alpha, tetapi C. perfringens tipe A Genus : Clostridium
menghasilkan toksin alpha dalam jumlah Spesies : Clostridium perfringens
yang terbanyak dan tipe ini merupakan
penyebab infeksi gas gangren, keracunan
Epidemiologi
makanan dan enterotoksemia pada
manusia.7,8 Tipe A dan C menyebabkan
Clostridium perfringens dapat ditemukan
penyakit pada manusia, dan semua tipe
di dalam tanah, debu, makanan (terutama
dapat menyebabkan penyakit pada
daging dan unggas mentah) dan
hewan.9 Rute inokulasi C. perfringens
merupakan flora normal usus dan saluran
biasanya terjadi melalui luka terbuka yang
kelamin manusia. Clostridium perfringens
dalam terkontaminasi tanah atau feses
adalah penyebab paling umum gas
yang mengandung spora bakteri ini dan
gangren yang terdeteksi pada 60%-90%
melalui makanan yang tidak dimasak
dari kasus klostridial mionekrosis.2,14
sempurna.10
Clostridium perfringens merupakan
Clostridium perfringens tipe A merupakan
organisme penyebab gas gangren dan
penyebab utama penyakit gas gangren
keracunan makanan yang terdapat di tanah
(Clostridial myonecrosis) yang cepat
dan feses hewan atau manusia. Menurut
berkembang biak pada jaringan iskemik
National Institute for Public Health and
dan menyebar pada jaringan sekitarnya,
Environment, 2011 angka kejadian
selain itu C. perfringens dapat
keracunan makanan yang disebabkan oleh
menyebabkan keracunan makanan dan
C. perfringens adalah 160.000 kasus per
nekrotikan enterokolitis terutama pada
tahun di Belanda.15 Clostridium
bayi.7,11
perfringens menyebabkan gas gangren
pada lebih dari 3000 orang setiap
Clostridium perfringens Tipe A tahunnya, dengan angka kematian dari
25% di Amerika Serikat.4 Infeksi jaringan
lunak dan otot yang berat, seperti gas
Sejarah dan Taksonomi
gangren yang disebabkan oleh
Clostridium perfringens tipe A sering
Clostridium perfringens sebelumnya
terjadi pada pasien dengan luka
dikenal sebagai Clostridium welchii
terkontaminasi tanah / tinja seperti luka
ditemukan pada tahun 1892 oleh dua
pertanian, luka perang, sepsis
orang ilmuwan George Nuttall dan
intraabdominal, atau aborsi septik.
William Welch pada luka gangren yang
Namun, dalam 50 tahun terakhir, seiring
awalnya dikenal sebagai Bacillus
dengan perkembangan teknik kultur
aerogenes capsulatus. Clostridium
bakteriologi anaerob genus Klostridium
perfringens sebagai foodborne diseases
dapat menyebabkan infeksi pada aliran
dilaporkan pertama kali oleh LS.
darah. Clostridium perfringens adalah
McClung pada tahun 1945 dengan gejala
mikroorganisme tersering diidentifikasi
gangguan gastrointestinal.12 Secara
dalam darah, yaitu 20%-50% dari isolat.16
taksonomi Clostridium perfringens
Dalam 30 tahun terakhir, penelitian
dikelompokkan sebagai berikut:13
observasional dari rumah sakit di daerah
Kingdom : Bacteria
rural Amerika Serikat tahun 2001 spesies
Filum : Firmicutes
Klostridium yang paling sering

52 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Debie Anggraini : Aspek Klinis Dan Pemeriksaan Laboratorium Clostridium perfringens Tipe A

diidentifikasi sebagai penyebab bakterimia Clostridium perfringens merupakan isolat


adalah Clostridium perfringens sebanyak klostridium tersering menimbulkan
21,7%.17 masalah klinis. Dalam kondisi tidak
menguntungkan, C. perfringens akan
membentuk spora yang sangat tahan
Morfologi, Fisiologi dan Biokimia
terhadap tekanan lingkungan seperti
radiasi, pengeringan dan panas. Ketahanan
Clostridium perfringens adalah bakteri
spora terhadap panas memungkinkan C.
non-motil, berkapsul dan berbentuk
perfringens bertahan hidup pada makanan
batang pendek dengan ujung tumpul.
yang tidak dimasak sempurna kemudian
Bakteri ini menghasilkan spora
dapat menyebabkan keracunan makanan.
subterminal dan positif Gram dengan
Sel vegetatif C. perfringens dapat
ukuran panjang 0,8-1,5 mikrometer (um),
berkembang biak sangat cepat dalam
dapat muncul tunggal dan kadang
makanan. Clostridium perfringens
membentuk filamen. Setelah 24 jam
memiliki kecenderungan untuk
inkubasi pada agar darah, koloni ini yang
berkembang biak pada daging atau unggas
pada awalnya berdiameter 1-3 mm dapat
yang telah direbus, dipanggang, atau
mencapai diameter 4-15 mm. (Gambar
daging dengan saus, salad dan sup.
1).18
Makanan ini hampir selalu diletakkan
pada suhu kamar atau didinginkan dalam
jumlah besar selama beberapa jam.2

Clostridium perfringens tidak bisa


menggunakan oksigen bebas sebagai
akseptor elektron dalam pembentukan
energi seperti yang dilakukan oleh bakteri
aerob. Sebagai gantinya, bakteri ini
menggunakan molekul kecil seperti
piruvat sebagai akseptor elektronnya.
Clostridium perfringens tidak memiliki
enzim-enzim redoks yang diperlukan
untuk mereduksi oksigen seperti katalase,
Gambar 1. Clostridium perfringens peroksidase dan superoksida dismutase
sehingga oksigen bersifat toksik terhadap
Strain C. perfringens dibagi dalam lima bakteri ini. Clostridium perfringens
jenis toksikologi (A sampai E) tumbuh pada suhu 20-500C optimal pada
berdasarkan empat toksin utama α, β, ε, suhu 43-470C dan pH 7,4, dapat tumbuh
dan ι. Tipe A dan C adalah tipe pada medium yang diperkaya serum dan
C.perfringens yang berhubungan dengan darah.11
gastroenteritis pada manusia, selain itu
tipe A juga menyebabkan gas gangren. Endospora
Clostridium perfringens membutuhkan
beberapa zat gizi untuk pertumbuhannya Clostridium perfringens merupakan basil
(terutama asam amino dan faktor positif Gram yang membentuk spora.
pertumbuhan) oleh karena itu C. Secara teknis, spora yang dihasilkan
perfringens lebih suka makanan kaya bakteri disebut endospora yaitu suatu
protein (daging).2 badan berdinding tebal yang terbentuk
dalam sel bakteri. Spora yang dihasilkan

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 53


Debie Anggraini : Aspek Klinis Dan Pemeriksaan Laboratorium Clostridium perfringens Tipe A

C. perfringens dapat bertahan bertahun- menimbulkan gejala klinis yang biasanya


tahun di lingkungan tertentu, jika keadaan akan muncul segera 6-8 jam setelah
menguntungkan maka spora akan infeksi di samping itu toksinnya
mengalami germinasi dan sel vegetatif menyebabkan kerusakan jaringan invasif
akan tumbuh. Endospora merupakan pada jaringan subkutan karena C.
mekanisme pertahanan bakteri.19,20 perfringens dapat memfermentasi
karbohidrat otot.1
Endospora Clostridium perfringens tahan
terhadap sinar matahari, resisten terhadap Toksin alpha merupakan faktor virulensi
berbagai desinfektan, dan pendidihan utama penyakit ini, terdiri dari dua
selama 20 menit. Spora tahan terhadap domain yaitu N-terminal (active site
fenol, etanol atau formalin tetapi dapat domain) dan domain C-terminal (binding
dieliminasi dengan iodin, glutaraldehid, domain) yang diperlukan untuk interaksi
hidrogen peroksida atau dengan autoklaf Ca2+ dengan membran sel. Toksin yang
pada suhu 1210C selama 15 menit.19 dilepaskan akan berikatan dengan
phosphatidilkolin pada permukaan
membran sel, dilanjutkan dengan proses
Faktor Virulensi
insersi C-terminal domain ke dalam
membran sel sehingga terjadi degradasi
Faktor virulensi C. perfringens merupakan
massif phospatidylcholine (PC) dan
kemampuan untuk mengekspresikan
sphingomyelin (SM) diikuti dengan
toksin sehingga C. perfringens
kerusakan membran (Gambar 2).11,23
diklasifikasikan menjadi lima tipe (A
sampai E), berdasarkan pola masing-
Toksin alpha menyebabkan aktivitas
masing isolat terhadap ekspresi 4 toksin
biologis meliputi peningkatan
(alpha, beta, epsilon, dan iota). Masing-
permeabilitas kapiler, hemolisis,
masing dari lima jenis C. perfringens telah
mionekrosis, agregasi platelet, aktivasi
dikaitkan dengan penyakit manusia atau
netrofil dan pelepasan sitokin serta
hewan tertentu.6,21,22Clostridium
menurunkan kontraktilitas jantung.24
perfringens tipe A merupakan penyebab
Peningkatan permeabilitas vaskular
penyakit gas gangren pada manusia
disebabkan karena toksin alpha
terutama karena peran α-toksin dan
menginduksi produksi mediator
keracunan makanan yang disebabkan
interselular pada sel endotel, interleukin-8,
karena produksi enterotoksin (CPE).11
TNF-α, platelet activating factor dan
molekul adhesi leukosit, semua mediator
Patogenesis Gas Gangren ini berkontribusi dalam meningkatkan
permeabelitas vaskular dan edema.23
Gas gangren disebabkan oleh C.
perfringens tipe A merupakan infeksi akut
dan menimbulkan mionekrosis berat,
akumulasi leukosit intravaskular dan
trombosis, paling sering terjadi ketika
spora bakteri memasuki host melalui luka
yang dalam.8 Keadaan potensial reduksi
oksidasi rendah, suasana anaerob, dan pH
asam optimal untuk pertumbuhan sel
vegetatif. Bentuk vegetatif inilah yang
akan menghasilkan toksin alpha yang

54 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Debie Anggraini : Aspek Klinis Dan Pemeriksaan Laboratorium Clostridium perfringens Tipe A

Beberapa penelitian eksperimental, toksin


yang berperan penting yang menyebabkan
kolaps hemodinamik ini adalah toksin α
(PLC) dan toksin θ (perfringolisin O,
PFO).24

Perfringolisin O berkontribusi tidak


langsung terjadinya syok septik, diduga
PFO ini merangsang sintesis nitrit oksida
(NO) oleh sel host seperti sel endotel.
Akibatnya, PLC dan PFO ini yang akan
berperan secara sinergis mengakibatkan
hipotensi, hipoksia dan penurunan kardiak
output.8

Patogenesis Keracunan Makanan


Gambar 2. Aksi Toksin Alpha pada Membran
sel (Sakurai et al., 2004) Clostridium perfringens pada umumnya
merupakan penyebab keracunan makanan
Toksin alpha dapat memudahkan dengan gejala yang timbul berupa mual,
terjadinya agregasi trombosit dan ini kram perut, dan diare tanpa disertai
menjadi faktor utama penyebab penurunan demam dan muntah, yang terjadi 8-18 jam
akut aliran darah ke jaringan.8,24 Temuan setelah memakan makanan yang
ini menyatakan bahwa agregat trombosit terkontaminasi. Gejala ini dapat membaik
dan leukosit yang disebabkan oleh toksin dengan sendirinya dalam waktu satu
alpha sering terdapat pada tepi endotel sampai dua hari. Gejala klinis ini timbul
sehingga trombosit dan leukosit tetap memerlukan inokulum besar dari 108
berada intravaskular (leukostasis). Toksin organisme atau lebih.11
C. perfringens ini akan menurunkan
respon inflamasi di jaringan karena toksin Pemeriksaan Laboratorium
alpha bersifat sitolitik untuk leukosit
sehingga terjadi penghancuran pada setiap Pemeriksaan laboratorium yang dapat
infiltrasi fagosit pada tempat infeksi. dilakukan adalah pewarnaan Gram dan
Perluasan toksin memberikan kontribusi kultur bakteri C. perfringens. Pewarnaan
terhadap pengurangan sel-sel inflamasi spora dilakukan untuk membedakan spora
pada tempat infeksi. Ini memberikan C. perfringens dari yang lain berdasarkan
kontribusi adanya disfungsi vaskular dan bentuk dan letak spora. Spora ini jarang
penurunan respon inflamasi jaringan pada terlihat dalam kultur maupun selama
infeksi gas gangren.24 infeksi, bentuk khas dari spora C.
perfringens ini adalah letak spora pada
Bryant et al., 2000 melaporkan bahwa subterminal.18,19
injeksi toksin alpha intramuskular
menyebabkan penurunan aliran darah
irreversibel dalam aliran darah otot rangka
disebabkan adanya agregasi platelet dan
leukosit yang diaktivasi oleh toksin ini,
akibat yang ditimbulkan berupa destruksi
otot yang luas, syok dan kematian.

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 55


Debie Anggraini : Aspek Klinis Dan Pemeriksaan Laboratorium Clostridium perfringens Tipe A

Gambar 3. Pewarnaan Gram C. perfringens Gambar 5. Uji Lesitinase C. Perfringens

Clostridium perfringens dapat tumbuh Diagnosis


pada media sederhana dalam kondisi
anaerob. Media yang biasa digunakan Diagnosis infeksi C. perfringens
adalah agar darah yang diinkubasi secara ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis
anaerob pada suhu 350-370C selama 24-48 dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan
jam. Terlihat adanya zona hemolisis ganda mikrobiologi. Misalnya pada gas gangren
yang terdiri dari alfa hemolisis dan teta ditemukan kontaminasi luka terbuka yang
hemolisis. Pemeriksaan yang lain adalah dalam dan sekret berbau busuk, krepitasi
uji lesitinase.11 positif pada jaringan subkutan dan otot,
pada pemeriksaan mikrobiologi
didapatkan perwarnaan Gram terlihat sel
vegetatif batang positif Gram yang
bermultiplikasi pada jaringan nekrotik,
kultur anaerob agar darah didapatkan
pertumbuhan C. perfringens yang sangat
cepat dengan koloni menghasilkan zona
hemolisis ganda.18

Dokumen M35-A yang dikeluarkan oleh


Clinical and Laboratory Standard Institute
(CLSI) menyatakan bahwa isolat bisa
Gambar 4. Koloni C. perfringens pada Agar
Darah
diidentifikasi sebagai Clostridium
perfringens (dengan kesamaan 95%) jika
Clostridium perfringens adalah lesitinase memenuhi kriteria sebagai berikut:26
positif sementara sebagian besar a. Koloni besar (diameter > 2 mm), warna
Klostridium jenis lainnya merupakan kelabu-kuning keabuan, permukaan
lesitinase negatif (C. difficile, mengkilat, bentuk batang positif Gram
C.sporogenes). Reaksi Nagler yang anaerobik dengan spora subterminal
digunakan untuk membedakan kelompok b. Adanya zona hemolisis ganda pada
C. perfringens dari Klostridia lain yang pertumbuhan koloni dengan agar darah
lesitinase positif (misalnya: C. baratii, C. c. Tidak tumbuh pada agar BBE
absonum, C. bifermentans, C. novyi) (Bacteroides Bile Esculin).
dengan penambahan antitoksin spesifik d. Uji biokimia: lesitinase positif dan uji
untuk netralisasi lesitinase C. perfringens katalase negatif.
tipe A.25

56 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Debie Anggraini : Aspek Klinis Dan Pemeriksaan Laboratorium Clostridium perfringens Tipe A

Pada kasus keracunan makanan yang Kepekaan Terhadap Antibiotik


disebabkan oleh C. perfringens diagnosis
ditegakkan apabila ditemukan lebih dari Uji sensitivitas in vitro menunjukkan C.
105 C. perfringens per gram makanan perfringens sensitif terhadap amoksisilin,
tersangka, ditemukan lebih dari 106 spora amoksisilin-asam klavulanat,
C. perfringens per gram feses pasien dan kloramfenikol, metronidazol dan
ditemukan serotipe C. perfringens yang penisilin-streptomisin. Hampir semua
sama dari feses pasien dan makanan strains resisten terhadap eritromisin,
tersangka.1,19 sephalexin, basitracin dan
27
sulfaquinolaxin.
Diagnosis Banding
Kesimpulan
Clostridium novyi tipe A dapat
Clostridium perfringens tipe A merupakan
menyebabkan gas gangren pada manusia
penyebab terbanyak penyakit gas gangren
dengan gejala edema dan nekrosis
(Clostridial myonecrosis) yang cepat
jaringan akibat peningkatan permeabilitas
berkembang biak pada jaringan iskemik
kapiler, enterotoksin yang dihasilkan C.
dan menyebar pada jaringan sekitarnya,
difficile menyebabkan gangguan gastro
selain itu C. perfringens dapat
intestinal pada manusia dengan gejala
menyebabkan keracunan makanan dan
inflamasi dengan kerusakan jaringan dan
nekrotikan enterokolitis. Pemeriksaan
gangguan permeabilitas membran
laboratorium yang dapat dilakukan adalah
sehingga mengakibatkan ekstravasasi
pewarnaan Gram, pewarnaan spora,
cairan pada saluran pencernaan.
pertumbuhan pada agar darah (anaerob)
dan kultur bakteri C. perfringens.
Pengobatan & Pencegahan dan
Kepekaan Terhadap Antibiotik
Daftar Pustaka
Pengobatan & Pencegahan 1. Ryan KJ, 2004, ‘Clostridium,
Peptostreptococcus, Bacteroides and Other
Aspek penting dalam pengobatan luka Anaerob’ in Sherris Medical Microbiology, 4th
dengan gas gangren adalah debridement ed, McGraw Hill, pp. 309-320
yang cepat dan luas serta pembuangan 2. Louisiana Dept of Health & Hospitals,
Infectious Disease Epidemiology Section
semua jaringan mati yang merupakan Office of Public Health, 2008,’Clostridium
tempat yang baik untuk pertumbuhan perfringens’ Diunduh dari
organisme. Pemberian oksigen hiperbarik www.infectiousdisease.dhh.louisiana.gov
berfungsi untuk meningkatkan tekanan diakses tanggal 13 november 2013
oksigen jaringan sehinggga dapat 3. Center for Disease Control and Prevention
(2011). Clostridium Perfringens. Retrieved
menghambat proses patologis.11 from
Pemberian antitoksin C. perfringens untuk http://www.cdc.gov/foodborneburden/clostridi
pengobatan terhadap manusia masih um-perfringens.html
diragukan efek klinisnya, vaksin C. 4. Present, D. A., R. Meislin, and B. Shaffer.
perfringens untuk manusia juga masih 1990. Gas gangrene. A review. Orthop Rev
19:333-41.
belum tersedia. Selain itu pemberian 5. Winn W, Allen S, Janda W, Koneman E,
antibiotik profilaksis penisilin dapat Procop G, Schreckenberg P et al., 2006,
menbunuh bentuk vegetatif klostridia ‘Medical Bacteriology: Taxonomy,
terutama pada luka terbuka yang Morphology, Physiology and Virulence’ in
terkontaminasi.1 Color Atlas and Textbook of Diagnostic
Microbiology, 6th ed, Lippincot Williams &
Wilkins, Philadelpia, pp. 167-206

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 57


Debie Anggraini : Aspek Klinis Dan Pemeriksaan Laboratorium Clostridium perfringens Tipe A

6. Cavalcanti MTH, Porto T, Porto ALF, Brandi involved’ Trens in Microbiology vol. 19 no.2,
IV, Filho JL, Junior AP, 2004,’ Large scale pp. 85-94
purification of Clostridium perfringens toxins: 21. Czeczulin JR, Collie R, McClane BA,
a review’ In: Brazilian Journal of 1996.’Regulated Expression of Clostridium
Pharmaceutical Sciences vol. 40, n. 2, perfringens Enterotoxin in Naturally cpe-
abr./jun., 2004 Negative Type A, B, and C Isolates of C.
7. Rood JI, Cole ST, 1991,’Molecular Genetics perfringens’. In: infect immune j 64(8):3301
and Pathogenesis of Clostridium perfringens, in 22. Petit L, Gilbert M, Poppof M,
Micribiol rev asmj vol 55 pp 621-48 1999.’Clostridium perfringens : Toxinotype
8. Stevens DL, Bryant AE, 2002.’The Role of and Genotype. Trends Microbiol. Vol 7 pp
Clostridial Toxins in The Pathogenesis of Gas 104-10
Gangrene’.In: CID journal. pp 93-100 23. Sakurai J, Nagahama M, Oda M,
9. Baldassi L, 2005.’Clostridial toxins-potent 2004.’Clostridium perfringens alpha toxin:
poisons, potent medicines’. In: J. venom. Characterization and Mode of action’. in:
Anim.Toxins. p 396 J.Biochem vol 136, 569-74
10. Brien DK, 2003. The Interactions Of 24. Bryant, A. E., R. Y. Chen, Y. Nagata, Y.
Clostridium Perfringens With Phagocytic Cells. Wang, C. H. Lee, S. Finegold, P. H. Guth & D.
Dissertation. Pp 1-212 L. Stevens (2000) Clostridial gas gangrene. I.
11. Harvey RA, Champe PC, Fisher BD, 2007, Cellular and molecular mechanisms of
‘Clostridia and Other Anaerobic Rods’ in microvascular dysfunction induced by
Microbiology, 2nd ed, Lippincot Williams and exotoxins of Clostridium perfringens. In: J
Wilkins, pp. 496-499 Infect Dis, 182, 799-807.
12. Rangan C, 2000.’Clostridium perfringens’. In: 25. Harley JP, Prescott LM, 2002, ‘Clostridial’ in
Barceloux DG, Medical toxicology of Natural Laboratory Exercise in Microbiology, 5th ed,
Substances pp Mc Graww Hill, pp. 57-60
13. Trivedi PC, Pandey S, Bhadauria M, 2010, 26. Clinical and Laboratory Standard Institute,
‘Bacteria’ in Text Book of Microbiology, 2008.’Anaerob bacterial M35-A’.
Aavishkar Publisher, pp. 92-98 27. Llanco L.A, Viviane Nakano1, Ferreira A.J.P
14. Colen, C. B., Rayes, M., et al. (2007). and Avila-Campos M.J, 2012.’Toxinotyping
“Outcome of Brain Abscess by Clostridium and Antimicrobial Susceptibility Of
Perfringens,” In: J Neurosurgery, 61 (6) Clostridium perfringens Isolated From Broiler
E1339; discussion E1339. Chickens With Necrotic Enteritis’.
15. National Institute for Public Health and International Journal of Microbiology
Invironment, 2011. ‘Clostridium perfringens Research. Volume 4, Issue 7.
associated food borne diseases’ in Final report
of RIVM Netherland, pp: 1-54
16. Onderdonk AB, Allen SD. Clostridium. In:
Murray PR, Baron EJ, Pfaller MA, Tenover
FC, Yolken RH, eds. Manual of clinical
microbiology. 6th ed. Washington, DC: ASM
Press, 1995:580.
17. Rechner P, Agger W, Mruz K, Cogbill TH,
2001.’ Clinical Features of Clostridial
Bacteremia: A Review from a Rural Area. In:
CID oxford j pp 349-53
18. Verhaegen J, Engbaek K, Rohner P, Piot P,
Heuck C, 2005.’Anaerob bacteriology’. In
Basic laboratory procedures in clinical
bacteriology. Ed 2nd World health organization
pp 92-96
19. Engelkirk PG, Duben J, 2008, ‘Anaerobic
bacteria’ in Laboratory Diagnosis of Infectious
Disease, Lippincott Williaams & Wilkins,
Philadelpia, pp. 409-40
20. Sabja DP, Setlow P, Sarker MR, 2011,
‘Germination of Spores of Bacillaes and
Clostridiales species: Mechanism and Protein

58 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Keterlambatan Penatalaksanaan Benda Asing Gigi Palsu
di Esofagus

Seres Triola
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Baiturrahmah

Abstrak

Benda asing di esofagus adalah salah satu masalah umum yang sering dihadapi oleh dokter THT.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi dan
esofagoskopi. Tindakan esofagoskopi dilakukan sebagai diagnostik dan terapeutik. Benda asing dalam
esofagus bila tidak dalam penanganan yang tepat dan penanganan yang segera dapat menyebabkan
terjadinya komplikasi, seperti perforasi esofagus, penyumbatan dan penekanan benda asing ke jalan nafas
dan komplikasi lainnya. Kesiapan pasien, ketersediaan alat, dan adanya tenaga ahli yang berpengalaman
merupakan faktor- faktor yang sangat penting dalam mengatasi kasus ini. Penanganan segera dengan
menggunakan endoskopik adalah pilihan utama untuk menghindari komplikasi yang membahayakan.
Dilaporkan satu kasus benda asing gigi palsu di esofagus pada seorang laki- laki umur 54 tahun yang
berhasil dikeluarkan setelah 5 hari tertelan gigi palsu dengan tindakan esofagoskopi menggunakan
esofagoskop kaku.

Kata kunci: benda asing di esofagus, esofagoskopi, esofagoskop kaku

Delays of Foreign Object Management Dentures in Esophagus

Abstract

Foreign body in the body is a thing that comes from outside the body or from within the body, which
under normal circumstances do not exist. Foreign bodies in the esophagus can cause obstruction
dangerous situations, such as esophageal perforation, obstruction and foreign object’s blockage of
pathways of breath. In principle, dealing with foreign objects diesofagus involved the use of immediate
endoscopic removal in the safest conditions with minimal trauma. Diagnosis based on history, physical
examination, radiological examination and Oesophagoscopy. It was reported one case of a foreign object
dentures in the esophagus of a man aged 54 successfully removed by using Oesophagoscope rigid
Oesophagoscopy procedures

Keywords : foreign body in the esophagus, oesophagoscopy, rigid oesophagoscope

Pendahuluan atau sfingter atas esofagus, 2. Sfingter


diafragmatika atau sfingter bawah
Benda asing di esofagus adalah salah satu esofagus seperti yang terlihat pada
masalah umum yang sering dihadapi oleh gambar. 1. Pada kasus benda asing di
dokter THT. Pada dewasa hal ini sering saluran makan, selain gigi palsu, benda
terjadi pada pasien dengan gangguan jiwa, asing juga dapat berupa tulang ikan,
retardasi mental, atau pada keadaan tulang ayam, koin, gigi palsu, daging, dan
tertelan benda asing secara tiba- tiba. lain- lain.1

Secara anatomi esofagus terbagi menjadi


dua sfingter, yaitu: 1. Sfingter krikofaring

Korespondensi : Seres Triola, E-mail : Triolaseres@gmail.com 59


Seres Triola : Keterlambatan Penatalaksanaan Benda Asing Gigi Palsu di Esofagus

pneumotorak, pneumomediastinum dan


komplikasi lainnya.7

Laporan Kasus

Seorang laki- laki usia 54 tahun datang ke


IGD RS. Dr. M. Djamil Padang pada
tanggal 9 Juli 2011 pukul 13.35 WIB,
diantar keluarga dengan keluhan utama
nyeri menelan sejak 36 jam SMRS.
Sebelumnya pasien sudah berobat ke
Gambar 1. Topografi dan penyempitan dari rumah sakit di Pekanbaru, karena fasilitas
esofagus alat dan tenaga ahli yang tidak memadai,
pasien dirujuk ke rumah sakit Dr. M.
Gejala klinis benda asing di esofagus yang Djamil Padang untuk dilakukan
terbanyak berupa keluhan odinofagi dan esofagoskopi. Awalnya pasien sedang
diikuti dengan keluhan lain seperti sukar tidur-tiduran dan tiba-tiba gigi palsu
menelan, rasa tersedak, muntah, pasien tertelan. Tidak ada riwayat
perubahan suara, atau bisa terjadi tanpa tersedak. Pada gigi palsu terdapat bagian
adanya keluhan (asimptomatis ).1 kawat selain bagian akriliknya. Tindakan
untuk mengeluarkan sebelumnya tidak
Penanganan benda asing di esofagus ada. Sesak nafas dan sulit menelan tidak
tergantung dari beberapa faktor ada. Nyeri menelan dijumpai minimal,
diantaranya yaitu; lokasi dari benda asing, tidak ada demam, dan tidak ada riwayat
ukuran dari benda asing dan lamanya keluar darah dari mulut.
benda asing berada didalam esofagus.2
Rigid esofagoskop merupakan pilihan Pada pemeriksaan fisik didapatkan
pertama untuk penanganan benda asing di keadaan umum sedang, composmentis,
esofagus.3 Penanganan gigi palsu di tekanan darah 120/80mmHg, nafas 20x/
esofagus merupakan hal yang sulit menit, nadi 76x/ menit, suhu 36,8oC. Pada
dilakukan, dengan tenaga ahli yang pemeriksaan lokalis THT tidak terdapat
berpengalaman dan kehati-hatian dalam kelainan di telinga dan hidung.
melakukannya untuk menghindari Pemeriksaan tenggorok arkus faring
komplikasi yang dapat terjadi pasca simetris, uvula ditengah, tonsil T1- T1
tindakan.4 tenang, dinding faring posterior tenang.
Laringoskop indirek dijumpai epiglotis
Pasca ekstraksi benda asing di esofagus tenang, aritenoid tenang, plika vokalis dan
untuk mengatasi trauma pada mukosa plika ventrikularis tenang, pergerakan
esofagus dapat kita lakukan terapi simetris, rima glotis terbuka, benda asing
konservatif berupa pemasangan tidak dijumpai, dijumpai standing
nasogastric tube, antibiotika spektrum secretion di sinus piriformis kanan dan
luas, kortikosteroid dan analgetik untuk 1 kiri. Pada regio thorak stridor tidak
minggu pasca tindakan operatif. 5, 6 dijumpai, retraksi tidak dijumpai.
Tertelan gigi palsu dapat menyebabkan
komplikasi yang membahayakan seperti Pasien di diagnosis kerja dengan Benda
laserasi mukosa esofagus, nekrosis Asing (gigi palsu) di Esofagus dan
esofagus, striktura esofagus, mediastinitis, direncanakan Esofagoskopi dan ekstraksi

60 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Seres Triola : Keterlambatan Penatalaksanaan Benda Asing Gigi Palsu di Esofagus

benda asing (gigi palsu) di esofagus dalam Pada tanggal 12 Juli 2011 rontgen
narkose umum. servikotorakoabdominal dilakukan
kembali 1 jam sebelum tindakan
Sketsa gigi palsu yang tertelan esofagoskopi dilakukan. Lokasi dari
sebelummya digambarkan oleh pasien kawat gigi palsu masih sama dengan hasil
untuk melihat apakah ada bagian yang pemeriksaan sebelumnya (Gambar. 2).
tajam dari gigi palsu atau tidak sehingga Kemudian dilakukan esofagoskopi dan
memudahkan kita untuk mengeluarkan ekstraksi benda asing (gigi palsu) di
benda asing dengan cara yang aman esofagus dalam narkose umum. Pasien
dengan efek samping minimal. tidur terlentang di meja operasi dan
dilakukan aseptik antiseptik sesuai
Pemeriksaan laboratorium didapatkan prosedur. Dilakukan pemasangan duk
haemoglobin 15,4 gr/ dl, leukosit 13.500/ steril. Esofagoskop dengan panjang 30 cm
mm3, trombosit 208.000/ mm3, hematokrit dan diameter 14x16 mm dipegang dengan
46%, PT/ APTT 10,3”/ 39”, GDS 125 mg/ tangan kiri seperti memegang tongkat
dl, ureum 39 mg/ dl, kreatinin 1 mg/ dl, bilyar. Jari tengan dan jari manis tangan
SGOT 16 u/l, SGPT 10 u/l. kanan membuka bibir atas dan mengait
gigi insisivus serta menarik bibir agar
Pada pemeriksaan rontgen tidak terjepit di antara pipa esofagoskop
servikotorakoabdominal AP terlihat dengan gigi. Jari telunjuk dan ibu jari
gambaran radioopak pada servikal VII- tangan kanan memegang bagian distal
thorakal I. esofagoskop. Esofagoskop dimasukkan
perlahan- lahan dengan bantuan ibu jari
tangan kiri. Esofagoskop dimasukkan
secara vertikal ke dalam mulut melalui
ujung kanan mulut, pada saat ini kepala
penderita diangkat sedikit sampai verteks
berada kira-kira 1 sentimeter dari meja.
Esofagoskop disusupkan di sisi kanan
lidah sampai dinding posterior faring.
Identifikasi valekula, epiglotis, plika
faringo-epiglotik dan laring. Suatu
gerakan ringan ibu jari tangan kiri
diberikan pada ujung esofagoskop
sehingga menuju aritenoid kanan yang
Gambar 2. Rontgen Servikotorako abdominal merupakan penunjuk ke sinus piriformis.
posisi AP 1 jam sebelum tindakan Dengan ibu jari tangan kiri, ujung distal
esofagoskopi esofagoskop diangkat dan digerakkan ke
depan ke arah fosa suprasternalis
Pada hari itu juga pasien dirawat di kemudian ke daerah krikofaringeal masuk
bangsal THT dengan terapi seftriakson ke esofagus segmen servikalis. Setelah itu
2x1gram, deksametason 3x5 mg, ranitidin esofagoskop masuk sepanjang 18 cm,
2x25 mg dan direncanakan untuk tindakan terlihat benda asing gigi palsu dengan
esofagoskopi terapeutik a.i benda asing, posisi kawat di sebelah kiri dan tidak
yang akan dilakukan dalam narkose terlihat adanya jaringan granulasi.
umum. Dilakukan penjepitan benda asing yaitu
pada bagian kawat dengan menggunakan
forsep dan dilakukan penarikan benda

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 61


Seres Triola : Keterlambatan Penatalaksanaan Benda Asing Gigi Palsu di Esofagus

asing secara perlahan- lahan. Pada saat Dalam perawatan pemberian


esofagoskop berada sepanjang 16 cm gigi deksametason diberikan secara tappering
palsu tersendat dan tidak dapat ditarik. off dan pada hari ketujuh dilakukan tes
Kemudian dilakukan gerakan memutar minum dan tidak dijumpai batuk saat
benda asing agar kawat dari gigi palsu menelan air, tersedak saat menelan, nyeri
tidak melukai mukosa ataupun otot dari dada, dan sesak nafas. Pasien dibolehkan
esofagus. Dan kemudian benda asing pulang dengan diberikan terapi sefiksim
ditarik perlahan- lahan sampai berhasil sirup 2x100 mg disertai anjuran kontrol 1
dikeluarkan secara utuh (Gambar.3). minggu lagi dan nasehat untuk tidak
memakan makanan keras terlebih dahulu.

Pasien tidak kontrol lagi ke poli THT, hal


ini disebabkan tempat tinggal pasien yang
jauh, tetapi dapat dilakukan komunikasi
lewat telepon yang menyatakan pasien
tidak ada keluhan.

Diskusi

Gambar 3. Gigi palsu di esofagus Telah dilaporkan satu kasus dengan


diagnosis benda asing (gigi palsu) di
Selanjutnya dilakukan evaluasi esofagus esofagus pada seorang laki-laki berumur
untuk evaluasi adanya tanda-tanda laserasi 54 tahun. Insidensi benda asing di
ataupun perforasi esofagus. Terlihat esofagus dari tahun 2009 sampai saat ini
laserasi pada sepertiga distal dari esofagus di RS Dr. M. Djamil Padang sebanyak 17
dan sedikit menimbulkan perdarahan. kasus, diantaranya benda asing yang
Kemudian dipasang nasogastric tube paling banyak didapat adalah gigi palsu
melewati hidung. sebanyak delapan kasus, diikuti dengan
koin tujuh kasus, daging ayam satu kasus,
Pasien dirawat di bangsal THT dan biji durian satu kasus, dan anting satu
diberikan terapi seftriakson 2x1gram, kasus.
deksametason 3x5 mg, ranitidin 2x25 mg,
dan tramadol drip untuk satu hari dan Menurut Syaariyah dan Goh, benda asing
pasien dianjurkan untuk tidak menelan (gigi palsu) di esofagus merupakan benda
ludah sampai tes minum dilakukan. Pasien asing terbanyak ke empat yang paling
diobservasi 1 jam pasca tindakan dan sering ditemukan setelah tulang ikan,
tidak dijumpai tanda- tanda sesak nafas, tulang ayam, dan koin.1 Pada kasus ini
batuk, demam, emfisema subkutis. lebih sering terjadi pada laki- laki
daripada perempuan dengan perbandingan
Follow up 1 hari post operasi, tidak 2:1 dan dengan kisaran usia pada laki- laki
dijumpai demam, sesak nafas, batuk, nyeri 61 tahun dan perempuan 40 tahun.8
dada. Pada pemeriksaan fisik tidak
dijumpai emfisema subkutis dan tanda- Pasien datang dengan keluhan utama
tanda perforasi esofagus lainnya. Terapi sukar menelan. Shariaah menyatakan
dilanjutkan dengan seftriakson 2x1 gram, odinofagia merupakan gelaja klinis yang
deksametason 3x5 mg, ranitidin 2x25 mg. tersering pada kasus benda asing di
esofagus dan diikuti dengan gejala-gejala
lain seperti rasa mengganjal saat menelan,

62 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Seres Triola : Keterlambatan Penatalaksanaan Benda Asing Gigi Palsu di Esofagus

produksi air ludah yang meningkat, dan benda asing di esofagus dapat berupa
perasaan mual atau muntah saat menerima gambaran radioopak menyerupai
makanan.1 Gambaran gejala pada kasus gambaran benda asing itu sendiri, atau
benda asing di esofagus dijelaskan untuk gambaran benda asing yang
Shaariyah pada tabel. 1 dibawah ini. radiolusen dapat berupa terdapatnya
gambaran kantong udara atau gambaran
Tabel 1. Insiden gejala pada benda asing di pelebaran dari ruang prevertebra.1
esophagus
Tabel 2. Jarak dan level pada penyempitan
Gejala Insiden (%)
esofagus10
Odinofagia 72
Disfagia 71 Jarak dari gigi
Rasa tercekik 24 Penyempitan insisivus atas Level
Muntah 18 (cm )
Perubahan Suara 15,6
Asimptomatik 6 Krikofaring 16 C6
Aorta 23 T4
Benda asing gigi palsu mempunyai bagian Bronkial 27 T5
kawat yang bila tertancap pada mukosa Diafragma 38 T 10
esofagus dapat menimbulkan perforasi
esofagus.6 Lokasi tersering benda asing Penanganan yang terbaik untuk benda
tersangkut di esofagus adalah pada asing di esofagus ini menggunakan
sfingter krikofaringeus dikarenakan pada esofagoskop kaku dengan tingkat
daerah tersebut adalah daerah yang sempit kesuksesan 80%.6,10 Dengan
dan terdiri dari otot krikofaring yang akan menggunakan esofagoskop kaku ini kita
membuka disaat bolus melewatinya.1,9 dapat melindungi mukosa esofagus dari
Namun apabila bolus atau makanan tidak bagian yang tajam dari benda asing.6
sempurna diolah dimulut akan Sangat diperlukan kehati- hatian dalam
menyebabkan makanan tersebut memasukkan esofagoskop kaku karena
tersangkut, apalagi untuk suatu benda dapat menyebabkan perforasi oleh karena
asing yang cukup besar.10 edema dinding esofagus disekitar benda
Pada tabel 2 berikut ini akan dikutip asing.6
masing- masing penyempitan pada
esofagus, jarak dari gigi insisivus atas, dan Teknik operasi yang digunakan pada
levelnya terhadap vertebra. Gigi palsu kasus benda asing sesuai dengan teknik
terbuat dari bahan akrilik yang mana akan yang digunakan oleh Jackson. Jackson
berupa gambaran radiolusen pada membagi tahapan proses dalam
pemeriksaan radiologi, tetapi apabila esofagoskopi menjadi 4 tahap, yaitu: 1.
terdapat kawat pada gigi palsu tersebut, Menyusup ke bawah sinus piriformis
maka akan terlihat gambaran radioopak kanan, 2. Melewati sfingter krikofaring, 3.
pada pemeriksaan radiologi.4 Apabila Melewati esofagus bagian torakal, 4.
benda asing hanya terlihat gambaran Melewati sfingter diafragma10
radiolusen, pemeriksaan radiologi dengan Trauma mukosa pada esogagus pasca
menggunakan kontras sebaiknya ekstraksi benda asing dapat ditatalaksana
dilakukan untuk melihat lokasi benda dengan pemasangan nasogastric tube ,
asing yang tersangkut, namun pada saat antibiotik spektrum luas, kortikosteroid,
tindakan esofagoskopi zat kontras akan analgetik selama 1 minggu pasca
menutupi benda asing sehingga lapangan tindakan. Pada kasus laserasi esofagus
pandang operator akan sedikit disertai tanda- tanda emfisema subkutis,
2,11,12
terganggu. Gambaran radiologi dari

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 63


Seres Triola : Keterlambatan Penatalaksanaan Benda Asing Gigi Palsu di Esofagus

diberikan terapi selama 14 hari pasca yang terjadi akibat iritasi benda asing
tindakan.4, 5 terhadap jaringan sekitarnya.6

Pada kasus ini tindakan esofagoskopi Pada kasus endoskopi yang tertunda
dilakukan 5 hari setelah tertelan gigi memiliki resiko tinggi terjadinya perforasi
palsu, hal ini terjadi karena faktor esofagus disebabkan gigi palsu memiliki
perjalanan pasien yang cukup jauh bagian kawat yang tajam yang dapat
sehingga pasien sampai di RS. Dr. M. tertancap dalam pada lapisan mukosa dari
Djamil Padang 36 jam setelah tertelan gigi esofagus.15 Keberhasilan dalam ekstraksi
palsu. Selain itu faktor kelengkapan alat, benda asing menggunakan endoskopi
sarana, dan tenaga ahli yang memerlukan keahlian, pengalaman,
berpengalaman sangat berperan penting visualisasi yang baik selama tindakan, dan
dalam menangani kasus benda asing di dengan persiapan alat yang baik.4
esofagus. Feng Rui menyatakan
keberhasilan dalam ekstraksi benda asing Dalam tindakan esofagoskopi memiliki
menggunakan endoskopi memerlukan dua kesulitan, pertama saat melewati
keahlian, pengalaman, visualisasi yang sfingter, esofagoskop sukar melewatinya
baik selama tindakan dan dengan disebabkan pasien tidak sepenuhnya
persiapan alat yang baik.4 mengalami relaksasi pada anastesi umum,
yang menyebabkan kedua sfingter
Pada kasus benda asing di esofagus tertutup rapat sehingga sulit untuk
terutama untuk benda asing yang memiliki dilewati esofagoskop, untuk itu diperlukan
bagian yang tajam harus dilakukan segera, premedikasi yang baik sebelum tindakan
sesuai dengan pernyataan Wei Hung esofagoskopi dilakukan.10
bahwa kasus benda asing di esofagus
memiliki batas waktu lebih kurang 24 jam Beberapa faktor yang menyebabkan
setelah tertelan harus dikeluarkan, namun kegagalan pengambilan benda asing
pada kasus yang telah tertunda atau diantaranya: 1. Kendala pada sfingter
dengan jangka waktu > 24 jam diperlukan krikofaring, 2. Kendala pada penyempitan
tenaga ahli yang berpengalaman untuk esofagus lainnya, 3. Posisi benda asing
mengatasi kasus ini sehingga dapat yang tidak terpantau yaitu pada sinus
ditangani dengan komplikasi yang piriformis kiri, 4. Penggunaan
minimal.13,14,15. esofagoskop yang terlalu kecil, 5.
Gangguan yang menyebabkan pandangan
Beberapa komplikasi benda asing tidak jelas karena sekret atau debris-
esofagus meliputi edema, laserasi debris makanan, 6. Esofagoskop yang
esofagus, erosi atau perforasi, hematoma, mengarah ke dinding esofagus, 7.
jaringan granulasi, fistula aortoesophageal Esofagoskop masuk ke daerah esofagus
atau trakeoesophageal, mediastinitis, yang telah mengalami peradangan, 8.
abses paraesophageal atau Kurang terbiasanya mata terhadap
retropharyngeal, fistula arteri-esofagus gambaran esofagoskopik dan kurang
dengan perdarahan masif, masalah terlatihnya dalam melakukan teknis
pernapasan, striktur, dan pelebaran esofagoskopi, 9. Kegagalan dalam
esofagus proksimal, sampai pada memposisikan pasien.10
16
kematian. Setiap kasus benda asing di
esofagus pertama kali diberikan terapi Jika perforasi terjadi pada daerah torakal
antibiotik dan kortikosteroid intravena esofagus, penutupan perforasi melalui
untuk mengatasi infeksi dan peradangan torakotomi terbuka segera dilakukan.

64 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Seres Triola : Keterlambatan Penatalaksanaan Benda Asing Gigi Palsu di Esofagus

Namun, pada perforasi yang kecil dapat 6. Rathore PK, Raj A, Sayal A, Meher R, Gupta
diberikan antibiotik intravena dan B, Girhotra M. Prolonged Foreign Body
Impaction in the Oesophagus. 2009; 50(2): 53-
observasi 8 sampai 12 jam.17 4
7. Parolia A, Kamath M, Manuel TS, Mohan M.
Komplikasi dan bahaya setelah tindakan Management of foreign body aspiration or
esofagoskopi untuk benda asing adalah, ingestion in dentistry. Kathmandu University
asfiksia yang disebabkan penekanan pada Medical Journal. 2009; 7: 165-71
8. Akhtar Masood, Ul Haq M. Irshad.
trakea akibat benda asing, emfisema Management of Oesophageal Foreign Bodies.
mediastinum, abses mediastinum, Professional Med J. 2005; 12(3): 308-11
esofagitis traumatik, mediastinitis, 9. Athanassiadi Kalliopi, Gerazounis M, Metaxas
selulitis servikal.10 Perforasi esofagus E, Kalantzi Nikolitsa. Management of
oleh karena benda asing atau karena Esophageal Foreign Body. European Journal of
Cardi-Thoracic Surgery. 2002; 21: 653-6
cedera dari instrumen merupakan 10. Jackson C, Jackson CL. Esophagology. In:
kontraindikasi untuk dilakukan Bronchoesophagology. Philadelphia and
esofagoskopi segera. Esofagoskopi harus London; 1958. p. 225- 63
ditunda dan diberikan terapi sementara 11. Akhtar N, Taqi M, Ibrahim E. Impaction of a
waktu.10 Seed in the Esophagus. Professional. Med. J.
2008; 15:292-4
Kesimpulan 12. Joshi SW, Pawar A, Lakhkar D. Denture in
Esophagus Mimicking Carcinoma. Ind J Radiol
Begitu pentingnya penjelasan dari dokter Imag. 2005; 15: 229-30
gigi kepada pasien untuk menerangkan 13. Hung CW, Hung SC, Lee CJ, Lee WH, Wu
bahaya dari tertelannya gigi palsu akibat KH. Risk Factor for Complication After a
Foreign Body is Retained in the Esophagus.
posisi gigi palsu yang longgar.18 The Journal of Emergency Medicine. 2011; 1-5
Pengguna gigi palsu kontrol ke dokter gigi 14. Mathur NN, Kumar S, Bothra R. Intramural
untuk teknik penggunaan dan perawatan Foreign Body In Oesophagus. International
gigi palsu yang baik dan benar.19 Journal Of Pediatric Otorhinolaryngology.
2004; 68: 837-9
15. Yadav R, Gaurav M, Mathur MR. Denture
Daftar Pustaka Plate Foreign Body Of Esophagus. 2008; 191-4
1. Shaariyah MM, Goh BS. Retrospective Review 16. Snow JB. Bronchoesophagology. In:
of Surgical Management of Foreign Body Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology
Ingestion. Med J Malaysia. 2009; 64: 307-10 Head and Neck Surgery. 2003; p. 554-5
2. Weissberg Dov. Refaely Yael. Foreign Body in 17. Lore JM, Medina JE. Esophagoscopy. In: An
the Esophagus. Ann Thorac Surg. 2007; 84: Atlas Of Head And Neck Surgery; 4th Edition:
1854- 7 p. 194- 99
3. Chua YKD, See JY. Oesophageal- Impacted 18. Miyazaki T, Hokama N, Kubo N, Management
Denture Requiring Open Surgery. Singapore of Esophageal Foreign Body: Experience of 90
Med J. 2006; 47(9): 820-1 Cases. Esophagus. 2009; 6: 155-9
4. Fang Rui, Sun Jingwu, Hu Yanming, Yao Kun, 19. Nwaorgu OG, Onakoya PA, Sogebi OA.
Hu Wei. Endoscopic Removal of Esophageal Esophageal Impacted Dentures. Journal of
Impacted Denture. Annals of Otology, National Medical Association. 2004; 96: 1350-
Rhinology & Laringology. 2010; 119(4) : 249- 3
51
5. Onyekwere GN , Onakoya PA, Sogebi OA,
Kokong DD, Dosomu OO. Esophageal
Impacted Dentures. Journal of the National
Medical Association. 2004; 96: 1351- 53

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 65


Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Pencegahan
Penyakit Difteri Di Kelurahan Kalumbuk Padang

Mariza Elsi
Dosen Tetap Akademi Keperawatan
Universitas Baiturrahmah Padang

Abstrak

Penyakit Difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae.Di
Indonesia difteri merupakan penyebab kematian nomor empat setelahkardiovaskuler, TBC
danpneumonia. Tercatat Puskesmas Kuranji mengalami peningkatan kejadian luar biasa (KLB) positif
penyakit difteridengan jumlah penderita 1% yang seharusnya 0%. Tujuan penelitian untuk mengetahui
hubungan tingkat pengetahuan dan sikap Ibu yang mempunyai balita terhadap pencegahan penyakit
difteri di kelurahan Kalumbuk Kampung Marapak wilayah kerja Puskesmas Kuranji Padang Tahun
2015.Metode penelitian ini adalahCross Sectional Study.Menggunakan pendekatan deskriptif analitik
dengan pengukuran variabel independen dan dependen yang dianalisa untuk mencari hubungan antara
variabel dengan jumlah sampel 54 responden. Hasil terdapat hubungan yang signifikan terhadap tingkat
pengetahuan ibu yang mempunyai balita terhadap pencegahan penyakit difteri dengan nilai P= 0,46 dan
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap ibu yang mempunyai balita terhadap pencegahan
penyakit difteri dengan nilai P= 1,000.

Kata Kunci : hubungan, pengetahuan dan sikap, difteri

Relation of Knowledge and Attitude Levels on Mother Demeanor Again


Disease Prevention Diphtheria onKelurahan Kalumbuk Padang

Abstract

Diphtheria disease is an infectious disease caused by the bacterium Corynebacterium diphteriae,


Indonesia diphtheria is the fourth leading cause of death after cardiovascular, tuberculosis and
pneumonia. In Puskesmas Kuranji reported an extraordinary events (KLB) positive diphtheria by 1% the
number of patients who should have been 0%. The purpose of this study is to know the correlation
between knowledge and attitude of mother who have children against diphtheria disease prevention in
Kalumbuk Marapak Puskesmas field Kuranji Padang 2015. The research method used Cross Sectional
Study. Using descriptive analytics, independent and dependent variables were analyzed to find the
relations between variables with a sample of 54 respondents. The result is a significant relation between
level of knowledge of mothers with infants against diphtheria disease prevention P = 0.46 and no
significant relationship between the attitude of mothers with infants against diphtheria disease prevention
with P = 1.000.

Keyword: correlation, knowledge and attitude, diphtheria

Pendahuluan Penyakit kronik, atau kecatatan pada masa


balita. Angka kesakitan balita adalah
Angka kesakitan balita berkaitan dengan perbandingan antara jumlah kasus
angka kematian pada balita, oleh karena penyakit balita tertentu yang ditemukan
adanya penyakit akut (seperti penyakit disuatu wilayah pada kurun waktu 1 tahun
pernapasan, infeksi, atau trauma). dengan jumlah kasus penyakit tertentu

66 Korespondensi :Mariza Elsi, E-mail: marizaelsi@gmail.com


Mariza Elsi :Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Pencegahan Penyakit Difteri Di
Kelurahan Kalumbuk Padang

yang ditemukan disuatu wilayah pada dan dapat menutupi saluran pernapasan,
kurun waktu yang sama dikalikan seratus angka kesakitan mencapai 250 hingga 299
persen, salah satunya angka kesakitan per 1000 anak balita setiap tahunnya.4
penyakit difteri/ pertusis/ tetanus/
neonaturum/ campak/ polio/ hepatitis B.11 Berdasarkan laporan dari DKK5 pada
tahun 2015 di dapatkan dari 22 Puskesmas
Penyakit Difteri adalah penyakit infeksi di Kota Padang, Puskesmas Kuranji
yang disebabkan oleh bakteri adalah salah satu Puskesmas, yang
CorynebacteriumDiphteriae. Penyakit ini mengalami peningkatan kejadian luar
dominan menyerang anak-anak dan biasa (KLB) positif penyakit difteridengan
ditandai dengan timbulnya lesi yang khas jumlah penderita 1% yang seharusnya
disebabkan oleh Cytotoxin spesifik yang 0%.Kejadian luar biasa difteriapabila tidak
dilepas oleh bakteri. Difterimempunyai di berantas secepat mungkin maka akan di
gejala demam, suhu tubuh meningkat khawatirkan kasus difteri ini akan
sampai 38,9 derajat Celcius, batuk dan beresiko menular kepada orang lain, maka
pilek yang ringan. Sakit dan angka kejadiannya akan lebih bertambah
pembengkakan pada tenggorokan, mual, misalkan salah satu wilayah kerja
muntah, sakit kepala. Difterimerupakan Puskesmas Andalas mengalami penyakit
penyakit sangat menular, jumlah kasus difteri akibat dari penularan penyakit
dan kematian cenderung meningkat. Cara difteri di Kuranji.5Awal tahun 2015, di
penularandifteribisa menular dengan cara kota Padang ditemukan 5 kasus suspek
kontak langsung maupun tidak langsung.2 difteri. dengan positip difteri,satu orang.6

Jumlah kasus dan kematian difteri terus Untuk memutus rantai penularan, maka
meningkat di dunia, jika tidak ada diberikan imunisasi tambahan pada
tindakan yang lebih intensif diperkirakan populasi rentan, tercatat populasi rentan di
pada akhir tahun 2015 bisa mencapai Kota Padang sebanyak 254.772 jiwa dari
lebih dari 500 kasus. Sejak tahun 2007 usia 2 bulan sampai 15 tahun, tersebar di
terjadi peningkatan kasus yang bermakna 11 kecamatan di Kota Padang. Sejak
pada kelompok usia lebih dari 10 tahun ditetapkan KLB pada tanggal 29 Januari
tapi kasus tetap dominan pada kelompok 2015, sebanyak 53.52% anak di Kota
usia 1-4 tahun dan 5-9 tahun. Sekitar 70% Padang sudah diimunisasi. Diharapkan,
kasus difteri ternyata pada kelompok usia akhir Februari 2015 seluruh sasaran telah
lebih dari 7 tahun dan sekitar 50% selesai diimunisasi putaran pertama.
penderita difterisudah diimunisasi Untuk putaran ke dua dan ke tiga
lengkap. Intervensi dengan vaksinasi dilakukan pada bulan Maret dan
massal sampai saat ini belum bisa September 2015.7
dilakukan karena keterbatasan biaya
operasional.3 Penyakit difteri mempunyai tanda
Di Indonesia difteri merupakan penyebab gejalasangat bervariasi, tergantung
kematian nomor empat golongan umur mikroorganisme
setelahKardiovaskuler, TBC, pneumonia. penyebab, kekebalan tubuh
Angka kematian akibat difteri di (immunologis). Selain itu kebijakan
Indonesiadiperkirakan nasional imunisasi rutin tentang
mencapai21%dengan gejala berupa pelaksanaan backlog fighting/BLF
malaise, anoreksia, sakit tenggorokan, dan (penyulaman) bagi desa/kelurahan 2tahun
peningkatan suhu tubuh. Dalam 24 jam berturut-turut tidak dilakukan oleh
akan timbul membran di daerah fausial pemerintah kabupaten/kota, sehingga dari

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 67


Mariza Elsi :Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Pencegahan Penyakit Difteri Di
Kelurahan Kalumbuk Padang

tahun ke tahun terjadi penggelembungan wawancara kepada ibu balita yang datang
jumlah anak yang belum kebal terhadap membawa anaknya berobat ke puskesmas
infeksidifteri.8 kuranji pada, Peneliti memberikan lima
pertanyaan tentang penyakit difteriyang
Dalam Riskesdas (2015)8, Moeloek berisi tentang pengertian difteri, penyebab
mengungkapkan Biaya pengobatan difteri difteri, tanda dan gejala penyakit difteri,
sangat tinggi, ADS (Anti Difteri Serum) pencegahandifteridan difteriitu bisa
sangat mahal dan sulit dicari demikian menular atau tidak, kepada sepuluh ibu
juga dengan Eritromisin. Pengobatan balita ternyata dari sepuluh ibu balita
profilaksis sangat lama (7-10 hari) dengan tersebut tidak ada satupun yang tahu
dosis yang tinggi(50mg/KgBB/hari) menjawab pertanyaan yang di berikan
dibagi dalam 4 dosis efek samping oleh peneliti. Berdasarkan uraian diatas
eritromisin seperti perih, mual, muntah maka penulis tertarik mengadakan
dan diare menjadi tingginya angka ”DO penelitian mengenai hubungan tingkat
(Drop out)”pengobatan profilaksis pada pengetahuan dan sikap ibu yang
kontak erat penderita, belum tersedianya mempunyai balita terhadap pencegahan
”Ruang Isolasi” khusus penyakit menular penyakit difteri.
(difteri) yang memadai di setiap RSUD
Kab/Kota untuk merawat penderita agar Tujuan Dari penelitian ini yaitu :
tidak terjadi Nosokomial infeksi. 1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi
Terbatasnya stock ADS danEritromisin di pengetahuan Ibu yang mempunyai
tingkat Propinsi sehingga kebutuhan balita terhadap pencegahan penyakit
logistik tersebut masih sering di supplay difteri di Kelurahan Kalumbuk
dari Kemenkes. Kebutuhan ADS dan Kampung Marapak wilayah kerja
Eritromisin untuk difteri sangat banyak Puskesmas Kuranji Padang.
dan belum semua Kab/Kota menyediakan 2. Diketahui distribusi frekuensi sikap Ibu
sendiri. yang mempunyai balita terhadap
pencegahan penyakit difteri di
Untuk mencegah penularan difteri Kelurahan Kalumbuk Kampung
diperlukan suatu pengetahuan sehingga Marapak wilayah kerja Puskesmas
akan membentuk suatu perilaku dan Kuranji Padang
kesadaran. Untuk meningkatkan perilaku 3. Diketahui distribusi frekuensi upaya
ibu tentang penularan difteri diperlukan pencegahan penyakit difteri di
suatu penyuluhan tentang pencegahan Kelurahan Kalumbuk Kampung
penularan penyakit difteri diantaranya. Marapak wilayah kerja Puskesmas
Memberikan kekebalan pada anak-anak Kuranji Padang
dengan cara: Imunisasi DPT dan ORI 4. Diketahui hubungan tingkat
untuk anak bayi.8 pengetahuan Ibu yang mempunyai
balita terhadap pencegahan penyakit
Hubungan tingkat pengetahuan dan sikap difteri di Kelurahan Kalumbuk
ibu balita dapat dilihat dalam penlitian Kampung Marapak wilayah kerja
yang dilakukan oleh Suyanto (2011)9 Puskesmas Kuranji Padang.
menyatakan terdapat hubungan yang 5. Diketahui hubungan sikap ibu yang
bermakna antara tingkat pengetahuan dan mempunyai balita terhadap pencegahan
sikap ibu balita terhadap pemanfaatan penyakit difteri di Kelurahan
posyandu di wilayah kerja puskesmas Kalumbuk Kampung Marapak wilayah
Lubuk Buaya Padang tahun 2011. kerja Puskesmas Kuranji Padang
Berdasarkan survei awal dengan

68 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Mariza Elsi :Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Pencegahan Penyakit Difteri Di
Kelurahan Kalumbuk Padang

Manfaat Penelitian : d2 =Tingkat kepercayaan/


1. Bagi Pendidikansebagai penambah ketetapan 10% = 0,1
bahan informasi yang dapat disajikan
sebagai referensi bagi mahasiswa di Jadi jumlah sampel pada penelitian ini
Perpustakaan dan bagi peneliti adalah :
selanjutnya N 125
n= = =
2. Bagi Puskesmas dapat dijadikan untuk 1  N ( d ) 1  125(0,12 )
2

menambah informasi bagi Puskesmas 125 125 125


Kuranji dalam meningkatkan = =
pelayanan kesehatan Ibu untuk 1  125(0,01 ) 1  1,25 2,25
menyusun program yang akan datang. =55.5 = 56 Responden

Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Desain penelitian ini
menggunakanDeskriptif Analitik. Peneliti Pasien yang memenuhi kriteria adalah 54
melakukan pengukuran variabel responden.Pengumpulan data dengan
independen dalam penelitian ini adalah melakukan angket menggunakan
pengetahuan dan sikap, dan variable kuesioner yang dibagikan kepada
dependen adalah pencegahan difteri, responden yang mencakup identitas,
kemudian menganalisa data untuk mencari alamat, tempat tinggal, partisipasi, ibu
hubungan antara variabel. Dalam balita berobat ke puskesmas, pengetahuan
penelitian ini menggunakan pendekatan dan sikap ibu balita. Analisis Univariat
cross sectional studyyaitu variabel dilakukan untuk melihat gambaran
dependen (pencegahan difteri) dan distribusi frekuensi, dari setiap variabel
independen (pengetahuan dan sikap ibu) yang di teliti.Analisis bivariat di gunakan
dikumpulkan dalam waktu yang untuk melihat hubungan antara dua
bersamaan.10 variabel yaitu: variabel independent.
Untuk mengetahui adanya hubungan
Populasi pada penelitian ini adalah ibu-ibu kedua variabel di gunakan uji chi- sguare
yang mempunyai balita di Kelurahan dengan derajat kepercayaan 95% (a=0,05)
Kalumbuk Kampung Marapak Wilayah dengan kriteria uji hipotesis yaitu apabila
Kerja Puskesmas Kuranji Padang nilai p<0,05 maka hipotesis nol di tolak,
sebanyak 125 orang.Sampel pada sebaliknya jika >0,05 maka hipotesis nol
penelitian ini adalah ibu-ibu yang di terima. Dengan menolak hipotesis nol
mempunyai balita di Kelurahan Kalumbuk berarti terdapat hubungan berapa makna
Kampung Marapak Wilayah Kerja antara variabel yang diamati.
Puskesmas Kuranji. Teknik pengambilan
Tabel 1. Karakteristik responden
samapel denganSimple random sampling
yaitu pengambilan sample secara acak Variabel Kategori F %
sederhana dengan rumus : Umur 22 - 49 Tahun
SD 7 13, 10
N Pendidikan SMP 15 27, 8
n= SMA 25 46,3
1  N (d 2 ) PT 7 13,0
IRT 34 63,0
Keterangan : Pekerjaan Wiraswasta 14 25,9
n = Besar sampel PNS 6 11,1
N = Jumlah populasi

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 69


Mariza Elsi :Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Pencegahan Penyakit Difteri Di
Kelurahan Kalumbuk Padang

Tabel 2. Pengetahuan dan sikap Ibu yang (2012)11 yang berjudul Perilaku ibu dalam
MempunyaiBalitaTerhadap pencegahan penyakit difteri pada anak
Pencegahan Penyakit Difteri
usia 1-5 tahun di Kecamatan Badegan
V.Independen Kategori F % Kabupaten Ponogoro dimana didapatkan
Pengetahuan Tinggi 35 64.8 hasil sebagian besar responden(58,3%)
Rendah 19 35,2 berprilaku negatif dan (41,7%) berprilaku
Sikap Positif 27 50,0 positif dalam hal pencegahan penyakit
Negatif 27 50,0
Jml Res 54 100
difteri.Menurut Notoatmodjo(2012)11
Tabel 3. Distribusi frekuensi upaya pencegahan Pengetahuan (knowledge) adalah hasil
yang dilakukan Ibu Terhadap penginderaan manusia, atau hasil tahu
pencegahan penyakit difteri seseorang terhadap objek melalui indera
syang di milikinya (mata, hidung, telinga
Pencegahan F %
Rendah 25 46,3
dan sebagainya)
Tinggi 29 53,7
Total 54 100.0 Analisa peneliti tingginya tingkat
Tabel 4. Hubungan tingkat pengetahuan Ibu pengetahuan responden di pengaruhi oleh
yang mempunyaibalitaterhadap tingkat pendidikan responden yang rata-
pencegahan penyakit difteri rata tingkat pendidikan respoden adalah
SMA sebanyak 25 (46,3%) bahkan ada
Pencegahan responden yang berpendidikan perguruan
Pengetahu Total
an Tinggi Rendah tinggi sebanyak 7 (13,0%). Selain dari
f % f % F %
pada itu sebagian besar responden mampu
Tinggi 15 42,9 20 57,1 35 100 menjawab kuesioner yang di berikan
Rendah 14 73,7 5 26,3 19 100 peneliti yang berisi pertanyaan, apa itu
54 difteri, penyebab difteri, tanda dan gejala
Total 29 53,7 25 46,3
100 difteri, komplikasi difteri,cara pencegahan
P=0.046 difteri dan sebagainya. Pengetahuan yang
tinggi akan memberikan efek positif pada
Tabel5. Hubungan sikap ibu yang mempunyai seseorang, sebaliknya pengetahuan yang
balita terhadap pencegahan
penyakit difteri
rendah akan memberikan efek negatif
pada seseorang.
Pencegahan
Total
Sikap Tinggi Rendah Tingginya pengetahuan ibu tentang
F % F % f % penyakit difteri selain di pengaruhi oleh
Positif 15 55,6 12 44,4 27 100 tingkat pendidikan bisa juga disebabkan
Negatif 14 51,9 13 48,1 27 100 oleh adanya pemberian informasi tentang
Total 29 53,7 25 46,3 54 100 difteri baik dari puskesmas maupun dari
p=1,000 media massa, hal ini sesuai dengan teori
yang dikemukakan oleh Notoatmodjo,
Pembahasan (2003)12 mengatakan bahwa pengetahuan
dapat diperoleh dari guru, pengalaman dan
Berdasarkan hasil penelitian Padatabel media massa lainnya.
2,didapatkan 35 (64,8%) responden
memiliki pengetahuan yang tinggi Hasil tentang sikap ibu yang mempunyai
terhadap pencegahan difteri di Kelurahan balita terhadap upaya pencegahan yang
Kalumbuk Kampung Marapak Wilayah dilakukan ditemukan responden memiliki
Kerja Puskesmas Kuranji Padang.Hal ini sikap negatif dan sikap positf sebanyak
bertentangan dengan penelitian Prabowo 27 (50%) terhadap pencegahan difteri di

70 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Mariza Elsi :Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Pencegahan Penyakit Difteri Di
Kelurahan Kalumbuk Padang

Kelurahan Kalumbuk Kampung Marapak tentang pencegahan difteri berdampak


Wilayah Kerja Puskesmas Kuranji Padang pada baiknya sikap ibu terhadap
2016.Hal inihampir sejalan dengan pencegahan difteri.10
penelitian Prabowo (2012)11 yang
berjudul Perilaku ibu dalam pencegahan Berdasarkan hasil penelitian pada tabel
penyakit difteri pada anak usia 1-5 tahun 3,ditemukan dari 54 responden terdapat
di Kecamatan Badegan Kabupaten tinggi pencegahan penyakit difteri yaitu
Ponogoro dimana didapatkan hasil sebanyak 29 (53,7%) di Kelurahan
sebagian besar responden (58,3%) Kalumbuk Kampung Marapak Wilayah
berprilaku negatif dan (41,7%) berprilaku Kerja Puskesmas Kuranji Padang. Hal ini
positif dalam hal pencegahan penyakit bertentangan dengan penelitian Prabowo
difteri. (2012)9 yang berjudul Perilaku ibu dalam
pencegahan penyaskit difteri pada anak
New Comb dalam Notoatmodjo (2012)10 usia 1-5 tahun di Kecamatan Badegan
menyatakan sikap adalah merupakan Kabupaten Ponogoro dimana didapatkan
kesiapan atau kesediaan untuk bertindak hasil sebagian besar responden(58,3%)
dan bukan merupakan pelaksana motif berprilaku negatif dan (41,7%) berprilaku
tertentu. Sikap belum merupakan suatu positif dalam hal pencegahan penyakit
tindakan atau aktifitas, tetapi merupakan difteri.
“predisposisi” tindakan atau perilaku. Pencegahan penyakit difteri adalah upaya
Sikap itu masih merupakan reaksi yang di lakukan oleh seseorang untuk
tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka. mengatasi penyakit difteri dengan
Menurut analisa penelitian didapatkan memberikan imunisasi guna untuk
sikap ibu yang mempunyai balita positif membasmi bakteri di dalam tubuh
mengenai tentang difteri. Ibu balita sangat manusia. Dengan adanya program
setuju bahwa adanya imunisasi yang di penyuluhan yang di adakan oleh
lakukan pemerintah untuk mengatasi Puskesmas Kuranji Padang mengenai
difteri. Selain itu juga setuju akan selalu tentang penyakit menular seperti TBC,
bekerja sama dengan petugas kesehatan Campak, DBD, Difteri dan sebagainya
untuk memotivasi ibu-ibu balita agar sehingga meningkatkan pengetahuan dan
membawa balitanya ke puskesmas. cara pencegahan penyakit difteri. Perilaku
Sementara sikap negatif yang dimiliki ibu adalah tindakan atau aktifitas dari manusia
balita di pengetahui oleh masih adanya itu sendiri yang mempunyai bentangan
pengetahuan ibu balita yang rendah yang sangat luas antara lain : berjalan,
tentang difteri, dimana pengetahuan ibu berbicara, menangis, tertawa, bekerja,
balita berpengaruh terhadap sikapnya kuliah, menulis, membaca dan
10
terhadap pencegahan difteri. sebagainya.

Dalam pembentukan sikap yang utuh Dari uraian diatas dapat disimpulkan
(total attitude) pengetahuan, pikiran, bahwa yang dimaksud perilaku (manusia)
keyakinan dan emosi memegang peranan adalah semua kegiatan atau aktifitas
penting. Dalam berpikir ini komponen manusia baik akan dapat dapat di amati
emosi dan keyakinan ikut bekerja maupun langsung, maupun tidak
sehingga ibu tersebut berniat langsung. Analisa peneliti tingginya
(kecendrungan bertindak). Pengetahuan partisipasi ibu dalam pencegahan penyakit
yang tinggi mempengaruhi seseorang difteri di pengaruhi oleh tingkat
untuk bersikap dan bertindak, maka pada pengetahuan dan tingkat pendidikan.
penelitian ini pengetahuan ibu yang tinggi Pengetahuan tinggi ikut mempengaruhi

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 71


Mariza Elsi :Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Pencegahan Penyakit Difteri Di
Kelurahan Kalumbuk Padang

seseorang untuk bertindak. Pendidikan melalui panca indra manusia yakni indra
responden yang rata rata SMA dan usia penglihatan, pendengaran, penciuman,
yang muda membuat mudahnya informasi rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan
yang bisa dipahami oleh responden. manusia diperoleh melalui mata dan
telinga. Berdasarkan asumsi peneliti
Dari hasil uji statistik Pada tabel 4, di bahwa adanya hubungan yang bermakna
peroleh p=<0,046 maka dapat diartikan antara pengetahuan dengan pencegahan
terdapat hubungan yang bermakna antara penyakit difteri. Hal ini dapat diartikan
pengetahuan dengan pencegahan difteri, di bahwa responden yang berpengetahuan
Kelurahan Kalumbuk Kampung Marapak tinggi akan bertindak baik dalam
Wilayah Kerja Puskesmas Kuranji Padang pencegahan penyakit difteri. Hal ini bisa
tahun 2016. Rata- rata responden mampu juga dikarenakan oleh beberapa faktor
menjawab pertanyaan yang di berikan yang mempengaruhi pengetahuan yang
oleh peneliti mengenai tentang mereka miliki seperti tingkat pendidikan,
pencegahan difteri, di dalam kuesioner dimana makin tinggi pendidikan
peneliti memberikan lima pertanyaan seseorang makin mudah orang tersebut
mengenai pencegahan difteri sebagai untuk menerima informasi, selain itu
berikut, bagaimana cara pencegahan peran media informasi baik itu melalui
penyakit difteri, langkah-langkah penyuluhan dari tenaga kesehatan atau
pencegahan difteri, imunisasi yang di melalui media massa.10
berikan kepada balita untuk pencegahan
difteri, dan sebagainya. Dari hasil uji statistik pada tabel 5, di
peroleh p=>1,000 dimana nilai P value
Hal ini sesuai dengan teori yang yang didapatkan (p>0,05) maka dapat
mengatakan bahwa pengetahuan atau dikatakan tidak terdapat hubungan yang
kognitif berperan penting dalam bermakna antara sikap dengan pencegahan
membentuk perilaku atau tindakan difteri di Kelurahan Kalumbuk Kampung
seseorang. Pengetahuan responden dapat Marapak Wilayah Kerja Puskesmas
diperoleh baik secara internal yaitu Kuranji Padang tahun 2016. Hasil ini
pengetahuan yang berasal dari dirinya tidak sesuai dengan teori yang
sendiri berdasarkan pengalaman hidup menyatakan bahwa sikap secara nyata
sehari hari dan eksternal berdasarkan dari menunjukkan konotasi adanya kesesuaian
orang lain. Salah satu cara memperoleh reaksi terhadap stimulus tertentu, dalam
pengatahuan. kehidupan sehari-hari adalah merupakan
reaksi yang bersifat emosional terhadap
Berdasarkan pengalaman pribadi, stimulus social.10
Pengalaman ini merupakan sumber
pengetahuan atau pengalaman itu Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan
merupakan suatu cara untuk memperoleh untuk bertindak, dan bukan merupakan
kebenaran pengetahuan. Pengalaman pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum
pribadi yang merupakan cara untuk merupakan suatu tindakan atau aktifitas,
memperoleh pengetahuan, selanjutnya akan tetapi merupakan predisposisi
pengalaman dapat menjadi acuan untuk tindakan suatu perilaku. Sikap masih
bertindak di dalam kesehatan.12 merupakan reaksi yang tertutup, bukan
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil merupakan reaksi terbuka dan merupakan
tahu, dan ini terjadi setelah orang kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di
melakukan penginderaan terhadap suatu lingkungan tertentu sebagai suatu
objek tertentu. Penginderaan terjadi penghayatan terhadap obyek.10

72 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Mariza Elsi :Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Pencegahan Penyakit Difteri Di
Kelurahan Kalumbuk Padang

Kelurahan Kalumbuk Kampung


Berdasarkan hasil penelitia bahwa tidak Marapak Wilayah Kerja Puskesmas
ada hubungan antara sikap dengan Kuranji Padang 2016 adalah 27(50%)
pencegahan difteri. Bisa di analisa bahwa yaitu sama banyak positif dengan
responden yang memiliki sikap negatif.
yangpositif belum tentu tinggi 3. Distribusi frekuensi terhadap
pengetahuannya tentang pencegahan pencegahan penyakit difteri di
difterii, karena banyak dari ibu-ibu yang Kelurahan Kalumbuk Kampung
masih belum memahami bahwa penularan Marapak Wilayah Kerja Puskesmas
penyakit difteri bisa melalui udara lewat Kuranji Padang 2016 adalah rendah
batuk penderita difteri. Hal ini di yaitu sebanyak 29 (53,7%).
karenakan masih ada ibu ibu tersebut 4. Adanya hubungan tingkat pengetahuan
berpendapat bahwa penularan penyakit ibu yang mempunyai balita terhadap
difteri itu adalah lewat makanan yang pencegahan penyakit difteri di
terkontaminasi saja bukan karena batuk Kelurahan Kalumbuk Kampung
oleh penderita difteri. Pendapat responden Marapak Wilayah Kerja Puskesmas
lain yang membuat tidak adanya Kuranji Padang 2016
hubungan yang bermakna antara sikap 5. Tidak adanya hubungan sikap ibu yang
dengan pencegahan difteri adalah, masih mempunyai balita terhadap pencegahan
adanya pendapat ibu yang mengatakan penyakit difteri di Kelurahan
bahwa penyakit difteri cukup di cegah Kalumbuk Kampung Marapak Wilayah
dengan imunisasi dasar saja tidak perlu di Kerja Puskesmas Kuranji Padang.
tambahkan dengan program ORI yang di
lakukan pemerintah. Hal ini di karena ibu
Saran
berpendapat bahwa beberapa imunisasi
dasar memberikan dampak demam
1. Bagi Puskesmas diharapkan kepada
sehingga membuat ibu ibu tidak mau lagi
petugas kesehatan agar lebih
mendapat immunisasi tambahan di luar
meningkatkan lagi dalam memberikan
inumnisasi dasar yang di lakukan
penyuluhan-penyuluhan tentang
pemerintah.
kesehatan, sehingga masyarakat
mengetahui dan memahami apa itu
Kesimpulan penyakit difteri dan bagaimana cara
pencegahanya.
Berdasarkan hasil penelitian yang 2. Bagi Institusi Pendidikan diharapkan
dikembangkan dan pembahasan yang hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan
telah dilakukan di Kelurahan Kalumbuk sebagai informasi atau sebagai data
Kampung Marapak Wilayah Kerja penunjang dalam penyampaian mata
Puskesmas Kuranji Padang 2016 sebagai kuliah yang bersangkutan dengan
berikut : penyakit difteri dan mempermudah
1. Distribusi frekuensi pengetahuan ibu mahasiswi keperawatan khususnya
balita terhadap pencegahan penyakit Prodi DIII Keperawatan Baiturrahmah
difteri di Kelurahan Kalumbuk Padang, yang berminat untuk
Kampung Marapak Wilayah Kerja melanjutkan penelitian ini.
Puskesmas Kuranji Padang 2016 3. Bagi Peneliti Selanjutnya penelitian
adalah tinggi yaitu sebanyak 35 yang penulis lakukan ini supaya dapat
(64,8%) dijadikan data pendukung bagi peneliti
2. Distribusi frekuensi sikap ibu balita selanjutnya dan diperlukan penelitian
terhadap pencegahan penyakit difteri di

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 73


Mariza Elsi :Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Pencegahan Penyakit Difteri Di
Kelurahan Kalumbuk Padang

lebih lanjut yang berkaitan dengan


penyakit difteri.

Daftar Pustaka
1. Suriadi. Asuhan Keperawatan Pada Anak.
Jakarta, 2010
2. Marimbi, Hanum. Tumbuh Kembang Status
Gizi Dan Imunisasi Dasar Pada Balita.
Yogyakarta, 2010.
3. Http://www.smallcrab.com(accessed 12 januari
2016)
4. Depkes RI. Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan
Masyrakat. Jakarta. 2010
5. Dinas Kesehatan Kota Padangn kejadian KLB
Difteri di kota padang Kuranji. 2015. Padang
6. http//website www.depkes.go.idaccesed 16
januari 2016.
7. Http://www.pdiersi.co.id di akses 14 januari
2016
8. Riset kesehatan dasar. KLB Difteri Di Kota
Padang. Padang. 2015
9. Suyanto, T. Hubungan Pengetahuan Dan sikap
ibu Yang Mempunyai BalitaDengan
pemanpaatan Posyandu Di Wilayah Kerja
Puskesmas Lubuk BuayaPadang. 2011
10. Notoadmojo. Promosi Kesehatan Dan Perilaku
kesehatan. Jakarta. 2012
11. Prabowo, E . Perilaku Ibu Dalam Pencegahan
Penyakit Difteri Pada Anak Usia 1-52012.
accesed 16 januari 2016
12. Notoadmojo. Metodologi penelitian Kesehatan.
Jakarta , 2003

74 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Hubungan Pengetahuan dan Sikap Keluarga Dalam Pemanfaatan
Sarana Sanitasi Air Bersih Dengan Kejadian Diare di Kelurahan
Korong Gadang Kuranji

Nurhamidah Rahman
Dosen Tetap Akademi Keperawatan
Yayasan Pendidikan Baiturrahmah Padang

Abstrak

Secara epidemiologi ada keterkaitan yang erat antara masalah air bersih dengan penyakit diare. Di negara
maju diperkirakan insidensi diare sekitar 0,5-2 episode/orang/tahun sedangkan di negara berkembang
lebih dari itu. Jumlah kasus diarenya di Kelurahan Korong Gadang Kuranji Padang sebanyak 486
kasus.Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui Hubungan Pengetahuan dan Sikap Keluarga Dalam
Pemanfaatan Sarana Sanitasi Air Bersih Dengan Kejadian Diare di Kelurahan Korong Gadang
Kecamatan Kuranji Padang. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan cross sectional study.Teknik
pengambilan sampel dilakukan secara random sample dengan sampel sebanyak 83 orang dan
menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian kemudian dilakukan pengolahan data.Dari hasil
univariat didapatkan 55.4% responden memiliki pengetahuan rendah dalam pemanfaatan sarana sanitasi
air bersih, 56.6% memiliki sikap negatif dalam pemanfaatan sarana sanitasi air bersih, 68.7% pernah
mengalami kejadian diare. Hasil analisis bivariat tidak ada hubungan antara pengetahuan responden
dalam pemanfaatan sarana sanitasi air bersih dengan kejadian diare dengan nilai p>0,05 dan tidak ada
hubungan antara sikap responden dalam pemanfaatan sarana sanitasi air bersih dengan kejadian diare
dengan nilai p>0,05.

Kata Kunci: Pengetahuan, Sikap dan Air Bersih

The Correlation of Knowledge and Attitudes Family In Clean Water


Sanitation Facility Utilization With Diarrhea incident in the village of
Korong GadangKuranji

Abstract

In epidemiology there is a close link between the problem of clean water and diarrhea. In developed
countries, the incidence of diarrhea is estimated around 0.5-2 episodes / person / year whereas in
developing countries are more than that. The number of cases of diarrhea in Kelurahan Korong Gadang
Kuranji Kota Padang found 486 cases. The research objective was to determine the knowledge and
attitude of Family Relationships In Clean Water Sanitation Facility Utilization With Diarrhea incidence
in Kelurahan Korong Gadang Kuranji Kota Padang. This research is descriptive analytic with cross
sectional study. Random sampling technique is used with a sample of 83 people and questionnaire as well
as a research instrument and then the data is processed with a computer. From the results of the
univariate , it was obtained 55.4% of respondents having a low knowledge in the utilization of clean
water sanitation, 56.6% have a negative attitude in the utilization of clean water sanitation, 68.7% had
experienced diarrhea occurrence. The results of the bivariate analysis is that there is no relationship
between the respondents' knowledge in the utilization of clean water sanitation with diarrhea occurrence
with p> 0.05 and there is no relationship between the attitude of the respondents in the utilization of
clean water sanitation with diarrhea occurrence with p> 0.05.

Keywords :attitudes, Knowledge ,Water Sanitation

Korespondensi :Nurhamidah Rahman, E-mail: marizaelsi@gmail.com 75


Nurhamidah Rahman :Hubungan Pengetahuan dan Sikap Keluarga Dalam Pemanfaatan Sarana Sanitasi
Air Bersih Dengan Kejadian Diare di Kelurahan Korong Gadang Kuranji

Pendahuluan dengan penduduk sekitar 200 juta


diperkirakan 99 juta episode diare akut
Tujuan pembangunan nasional pada pada dewasa terjadi setiap tahunnya.WHO
hakekatnya membangun manusia memperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus
seutuhnya sedangkan tujuan diare akut setiap tahun dengan mortalitas
pembangunan kesehatan adalah 3-4 juta pertahun.3
meningkatkan kesadaran, kemauan untuk
hidup sehat bagi setiap penduduk agar Kurangnya pengetahuan keluarga seperti
terwujudnya derajat kesehatan yang air sungai yang sudah tercemar oleh
optimal.Diharapkan masyarakat atau kuman penyebab diare, jika dikonsumsi
individu proaktif untuk memelihara dan dengan pengolahan yang tidak higenis
meningkatkan kesehatan, mencegah resiko dapat menyebabkan diare. Kematian
terjadinya penyakit, melindungi diri dari akibat dari penyakit diare disebabkan oleh
ancaman penyakit.Departemen Kesehatan mencret yang tak berkesudahan sehingga
menyatakan paradigma sehat merupakan penderita kehilangan cairan dan elektrolit
upaya untuk lebih meningkatkan dalam tubuh yang menyebabkan
kesehatan bangsa dan negara yang dehidrasi. Dengan tatalaksana penanganan
ditandai oleh penduduknya yang hidup diare secara cepat, tepat dan bermutu
dalam lingkungan dan perilaku yang sehat maka angka kematian diare dapat
serta memiliki derajat kesehatan kearah diminimalkan. (Rheiada P, 2008). Hasil
yang lebih baik.¹ penelitian yang dilakukan oleh Cita
Selaras, (2006) di wilayah kerja
Agar terwujudnya derajat kesehatan puskesmas Keranggan Setu Kota
dipengaruhi oleh beberapa faktor Tanggerang Selatan ditemukan bahwa dari
sebagaimana yang telah dikemukakan 90 responden 32 (35,6%) balita
oleh Hendrik L Blum, yaitu faktor diantaranya pernah mengalami diare dan
keturunan, pelayanan kesehatan, dan 58(64,4) balita tidak mengalami diare.4
kurangnya pengetahuan individu terhadap
lingkungan. Kesehatan lingkungan pada Dari data dinas kesehatan kota padang
hakikatnya adalah suatu kondisi atau pada tahun 2011 menunjukkan jumlah
keadaan lingkungan yang optimum penderita diare untuk semua umur dari 20
sehingga berpengaruh positif terhadap puskesmas dikota Padang berjumlah
terwujudnya status kesehatan yang 11.653 penderita.Kelurahan Korong
optimal pula. Ruang lingkup kesehatan Gadang merupakan salah satu wilayah
tersebut antara lain mencakup: kerja puskesmas kuranji dengan jumlah
perumahan, pembuangan kotoran manusia penduduk 17.030 dan jumlah kepala
(tinja), penyediaan air bersih.2 keluarga 3.768, yang jumlah kasus
diarenya paling banyak 486 kasus dari
Secara epidemiologi ada keterkaitan yang pada wilayah kerja puskesmas kuranji
erat antara masalah air bersih dengan lainnya.5
penyakit diare. Melalui penyediaan air
bersih baik dari segi kualitas maupun Pada saat survey lapangan di Kelurahan
kuantitas di suatu daerah, maka Korong Gadang wilayah kerja puskesmas
penyebaran penyakit diare diharapkan bisa kuranji terdapat 16 RW dan yang menjadi
ditekan seminimal mungkin. Di negara fokus penelitian adalah 3 RW yang
maju diperkirakan insiden sekitar 0,5-2 terletak dekat dengan Sungai Batang
episode/orang/tahun sedangkan di negara Kuranji.Berdasarkan survey awal
berkembang lebih dari itu. Di USA penelitian pada 15 orang keluarga yang

76 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Nurhamidah Rahman :Hubungan Pengetahuan dan Sikap Keluarga Dalam Pemanfaatan Sarana Sanitasi
Air Bersih Dengan Kejadian Diare di Kelurahan Korong Gadang Kuranji

ada di kelurahan Korong Gadang pada


tanggal 23 februari 2012, didapatkan data Berdasarkan penelitian yang dilakukan
5 orang mengatakan sudah mengerti didapatkan hasil penelitian sebagai
tentang konsep air bersih, jenis air bersih, berikut:
syarat air bersih dan 4 orang yang tidak
mengerti tentang konsep air bersih, jenis Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden
air bersih dan syarat air bersih. Ternyata Berdasarkan Tingkat Pengetahuan
Keluarga dalam Pemanfaatan Sarana
pada saat dilakukan observasi 2 orang Sanitasi Air Bersih di Kelurahan
masih melaksanakan aktifitas sehari-hari Korong Gadang Wilayah Kerja
seperti mencuci piring, dan menggosok Puskesmas Kuranji Tahun 2012
gigi disungai. 2 orang diantaranya sudah
Pengetahuan F %
mempunyai jamban yang sehat sedangkan
Tinggi 37 44.6
2 orang lagi masih BAB disungai. 46 55.4
Rendah
Jumlah 83 100
Metode
Tabel 2.Distribusi Frekwensi Responden
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik Berdasarkan Sikap KeluargaDalam
dengan cross sectional study. Teknik Pemanfaatan Sarana Sanitasi Air
Bersih di Kelurahan Korong Gadang
pengambilan sampel secara random Wilayah Kerja PuskesmasKuranji
sample dengan sampel sebanyak 83 orang Tahun 2012
dan menggunakan kuisioner sebagai
instrument penelitian kemudian dilakukan Sikap F %
pengolahan data. Adapun kriteria sampel Positif 36 43,4
Negatif 47 56,6
adalah :
Jumlah 83 100
Kriteria Inklusi
1. Bersedia menjadi responden
Tabel3. Distribusi Frekuensi Responden
2. Berada dilokasi saat penelitian
Berdasarkan Kejadian DiareBersih di
dilakukan KelurahanKorong Gadang Wilayah
3. KK yang ada di Kelurahan Korang Kerja Puskesmas Kuranji Tahun
Gadang 2012
4. Pandai tulis baca
Kejadian Diare F %
Kriteria Ekslusi: Pada saat melakukan
penelitian tidak berada ditempat selama 3 Tidak Pernah 26 31,3
kali kunjungan Pernah 57 68,7
Jumlah 83 100
Hasil Penelitian
Tabel4. Hubungan Tingkat Pengetahuan Keluarga Dalam Pemanfaatan Sarana Sanitasi Air Bersih
Dengan Kejadian Diare di Kelurahan Korong Gadang Wilayah Kerja Puskesmas
Kuranji Tahun 2012

Pengetahuan Kejadian Diare Jumlah


Pernah Tidak pernah
N % N % N %
Tinggi 27 73,0 10 27,0 37 100
Rendah 30 65,2 16 34,8 46 100
Jumlah 57 26 83

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 77


Nurhamidah Rahman :Hubungan Pengetahuan dan Sikap Keluarga Dalam Pemanfaatan Sarana Sanitasi
Air Bersih Dengan Kejadian Diare di Kelurahan Korong Gadang Kuranji

Tabel 5. Hubungan Sikap Keluarga Dalam Pemanfaatan Sarana Sanitasi Air Bersih Dengan
Kejadian Diare di Kelurahan Korong Gadang Wilayah Kerja Puskesmas Kuranji Tahun
2012

Sikap Kejadian Diare Jumlah


Pernah Tidak pernah
N % N % N %
Positif 27 75,0 9 25,0 36 100
Negatif 30 63,8 17 36,2 47 100
Jumlah 57 26 83

Pembahasan peralatan makan dan kebutuhan MCK,


selain penggunaan sarana air yang tidak
memenuhi syarat kesehatan menurut
Tingkat Pengetahuan Keluarga Dalam
beberapa responden hanya dapat
Pemanfaatan Sarana Sanitasi Air
mengganggu kesehatan dan lingkungan,
Bersih
padahal hal yang jauh lebih penting dari
penggunaan air yang tidak bersih adalah
Dari hasil penelitian didapatkan data
dapat menimbulkan berbagai penyakit
bahwa responden yang memiliki
salah satunya adalah diare.
pengetahuan tinggi 37 (44,6%) dan
responden yang memiliki pengetahuan
rendah 46 (55,4%) dalam pemanfaatan Sikap keluarga dalam pemanfaatan
sarana sanitasi air bersih di Kelurahan sarana sanitasi air bersih
Korong Gadang Wilayah Kerja
Puskesmas Kuranji Padang. Hasil ini Dari hasil penelitian tentang sikap dapat
berbeda dengan dengan hasil penelitian dilihat bahwa responden yang memiliki
yang dilakukan Kurniasih(2005) di Desa sikap positif sebanyak 36(43,4%) dan
Sukarejo Kecamatan Ulujami Kabupaten sikap negatif sebanyak 47(56,6%) dalam
Pemalang didapatkan bahwa 36,5% pemanfaatan sarana sanitasi air bersih di
responden mempunyai pengetahuan yang Kelurahan Korong Gadang Wilayah Kerja
cukup dalam pemanfaatan sarana sanitasi Puskesmas Kuranji Padang. Hasil
air bersih.6 penelitian ini berbeda dengan penelitian
yang dilakukan oleh Suwantoro (2006),
Menurut Notoatmodjo (2003) dimana 93,6% responden memanfaatkan
mengemukakan bahwa pengetahuan sarana air bersih di puskesmas Mojosongo
merupakan hasil penginderaan manusia Kabupaten Boyolali.7
atau hasil tahu seseorang terhadap objek
melalui indera yang dimilikinya (mata, Sikap yang negatif dari responden ini
hidung, telinga, dan sebagainya).8 dapat juga dipengaruhi oleh pengetahuan
dan pengalaman. Menurut Notoatmodjo
Berdasarkan data penelitian, peneliti (2003) mengemukakan sikap itu sendiri
berasumsi bahwa rendahnya pengetahuan adalah reaksi tertutup dari seseorang
keluarga dalam pemanfaatan sarana terhadap stimulus atau objek.8 Menurut
sanitasi air bersih dapat dilihat dari Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2003)
beberapa pendapat responden yang menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai
menyatakan bahwa air yang sudah 3 komponen pokok yaitu : 1) Kepercayaan
tercemar oleh bakterimasih dapat (keyakinan), ide, dan konsep terhadap
digunakan untuk keperluan sehari-sehari suatu objek. 2) Kehidupan emosional atau
seperti mencuci pakaian, mencuci evaluasi terhadap suatu objek. 3)

78 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Nurhamidah Rahman :Hubungan Pengetahuan dan Sikap Keluarga Dalam Pemanfaatan Sarana Sanitasi
Air Bersih Dengan Kejadian Diare di Kelurahan Korong Gadang Kuranji

Kecendrungan untuk bertindak (tend to Hubungan Tingkat Pengetahuan


behave). 8 Keluarga Dalam Pemanfaatan Sarana
Sanitasi Air Bersih Dengan Kejadian
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti Diare
dapat berasumsi bahwa terbentuknya Berdasarkan uji Statistik didapatkan nilai
sikap negatif dari seseorang dipengaruhi p = 0,604 berarti p > 0,05 sehingga
oleh pengalaman , faktor kepercayaan, diterima dan dapat disimpulkan bahwa
keadaan emosional, dan lingkungan. Hal tidak terdapat hubungan yang bermakna
lain yang berkontribusi yang membuat antara tingkat pengetahuan keluarga
sikap negative pada masyarakat tersebut dalam pemanfaatan sarana sanitasi air
adalah masih adanya beberapa responden bersih dengan kejadian diare. Hal ini sama
yang kurang setuju dengan jarak air dengan hasil penelitian Cita Selaras
sumber dengan jamban lebih dari 5 meter. (2013), yaitu tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara pemanfaatan sarana
sanitasi air bersih dengan kejadian diare
Kejadian Diare
pada balita umur 10-59 bulan di wilayah
kerja puskesmas Keranggan Setu Kota
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa
Tanggerang Selatan.4
sebanyak 57 (68,7%) responden pernah
mengalami diare dan 26 (31,3%)
Menurut Notoatmodjo (2003)
responden tidak pernah mengalami diare.
mengemukakan bahwa pengetahuan
Hasil Penelitian berbeda dengan penelitian
merupakan bagian dari perilaku yang
yang dilakukan oleh Cita Selaras, (2013)
menentukan seseorang dalam mengambil
di wilayah kerja puskesmas Keranggan
suatu tindakan. Makin baik pengetahuan
Setu Kota Tanggerang Selatan ditemukan
seseorang maka makin tepat tindakan
bahwa dari 90 responden 32 (35,6%)
yang akan diambilnya. Suatu tindakan
balita diantaranya pernah mengalami diare
yang didasari oleh pengetahuan,
dan 58(64,4) balita tidak mengalami
kesadaran dan sikap positif yang utuh
diare.4
akan bersifat langgeng, sebaliknya
tindakan yang tidak didasari oleh
Diare menurut definisi Hippocrates adalah
pengetahuan dan kesadaran tidak akan
buang air besar dengan frekuensi yang
berlangsung lama.8
tidak normal (meningkat), dan konsistensi
tinja yang lebih lembek atau cair.3
Berdasarkan hasil penelitian, penulis
berasumsi bahwa seseorang yang
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti
memiliki pengetahuan yang tinggi belum
berasumsi bahwa tingginya angka
tentu tidak pernah mengalami diare atau
kejadian diare di Kelurahan Korong
sebaliknya apabila tingkat pengetahuan
Gadang disebabkan masih adanya
keluarga rendah, maka tidak selalu
keluarga yang memanfaatkan air sungai
mengalami kejadian diare. Ini dikarenakan
batang kuranji untuk keperluan sehari-
oleh faktor lingkungan dimana secara
hari.Dimana air tersebut belum termasuk
demografi sebagian besar penduduknya
kriteria air yang sehat baik secara fisik,
tinggal di sepanjang aliran sungai batang
bakteriologis dan kimia.
kuranji sehingga untuk kebutuhan sehari-
hari mereka lebih memanfaatkan air
sungai tersebut walaupun tindakan ini
tidak didasari oleh pengetahuan itu
sendiri. Beberapa faktor lain yang bisa

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 79


Nurhamidah Rahman :Hubungan Pengetahuan dan Sikap Keluarga Dalam Pemanfaatan Sarana Sanitasi
Air Bersih Dengan Kejadian Diare di Kelurahan Korong Gadang Kuranji

menyebabkan diare diantaranya ialah yang dibersihkan paling sedikit 2 kali


infeksi, makanan, efek obat, dalam seminggu. Sikap negatif responden
imunodefisiensi, dan keadaan- keadaan dalam pemanfaatan sarana sanitasi air
tertentu. bersih yang mengalami diare dipengaruhi
Hubungan Sikap keluarga dalam oleh emosional, pengetahuan dan
pemanfaatan sarana sanitasi air bersih kepercayaan yang diyakini oleh responden
dengan kejadian diare itu sendiri

Berdasarkan uji Statistik didapatkan nilai


Kesimpulan
p = 0,396 berarti p > 0,05
sehingga diterima, dapat disimpulkan
Dari hasil univariat didapatkan 55.4%
bahwa tidak terdapat hubungan yang
responden memiliki pengetahuan rendah
bermakna antara sikap keluarga dalam
dalam pemanfaatan sarana sanitasi air
pemanfaatan sarana sanitasi air bersih
bersih, 56.6% memiliki sikap negatif
dengan kejadian diare. Hasil penelitian ini
dalam pemanfaatan sarana sanitasi air
bertolak belakang dengan penelitian yang
bersih, 68.7% pernah mengalami kejadian
dilakukan oleh Suwantoro (2006), bahwa
diare. Hasil analisis bivariat tidak ada
terdapat hubungan bermakna antara
hubungan antara pengetahuan responden
pemanfaatan sarana air bersih dengan
dalam pemanfaatan sarana sanitasi air
kejadian diare di Puskesmas Mojosongo
bersih dengan kejadian diare dengan nilai
Kabupaten Boyolali.7
p>0,05 dan tidak ada hubungan antara
sikap responden dalam pemanfaatan
Menurut Allport (1954) dalam
sarana sanitasi air bersih dengan kejadian
Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa
diare dengan nilai p>0,05.
sikap itu mempunyai 3 komponen pokok
yaitu : 1) Kepercayaan (keyakinan), ide,
dan konsep terhadap suatu objek. 2) Saran
Kehidupan emosional atau evaluasi
terhadap suatu objek. 3) Kecendrungan Disarankan kepada keluarga agar lebih
untuk bertindak (tend to behave). Dimana meningkatkan kesehatan keluarga dengan
pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan menjaga lingkungan tetap sehat dan
emosi memegang peranan penting.8 mengkonsumsi air bersih sesuai syarat
kesehatan agar terhindar dari penyakit
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti diare.
berasumsi bahwa tidak adanya hubungan
yang bermakna antara sikap responden
Daftar Pustaka
dalam pemanfaatan sarana sanitasi air 1. Departemen Kesehatan,.Rencana Strategi
bersih dengan kejadian diare. Maka Departemen Kesehatan 2005-2009.
peneliti berasumsi ada factor lain yang Jakarta2009
berkontribusi terhadap kejadian diare 2. Notoatmodjo, Kesehatan Masyarakat Ilmu
adalah factor lingkungan, dimana secara dan Seni, Jakarta : Rineka Cipta. 2007
3. Suharyono, Diare Akut : Klinik dan
demografi tempat tinggal penduduk Laboratorik. Cet,.2. Jakarta : Rineka Cipta.
didaerah tersebut berdekatan bahkan 2008
cenderung berkelompok, sehingga 4. Cita Selaras,.Hubungan Sarana Sanitasi Air
beberapa responden tidak setuju jika jarak Bersih Dan Perilaku Ibu Terhadap Kejadian
sumber air bersih lebih dari 5 meter dan Diare Pada Balita Umur 10-59 Bulan di
Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan
masih ada responden yang tidak setuju Setu Kota Tanggerang Selatan. Jakarta. 2013
dengan sarana penampungan air bersih

80 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Nurhamidah Rahman :Hubungan Pengetahuan dan Sikap Keluarga Dalam Pemanfaatan Sarana Sanitasi
Air Bersih Dengan Kejadian Diare di Kelurahan Korong Gadang Kuranji

5. Dinas Kesehatan Kota Padang,. Angka


Kejadian Diare di Seluruh Puskesmas Kota
Padang. 2011
6. Kurniasih,.Hubungan pengetahuan, sikap
dengan Praktek KepalaKeluarga Dalam
Pemanfaatan Air Sumur Gali Di Desa
Sukarejo, Kecamatan Ulujami Kabupaten
Pemalang. Jawa Tengah. 2005
7. Suwantoro, Hubungan Antara Ketersediaan
Dan Pemanfaatan Sarana Air Bersih Dan
Jamban Dengan Kejadian Diare Pada Balita
Di Puskesmas Mojosongo di Kabupaten
Bololali. Jawa Tengah. 2006
8. Notoatmodjo,Pendidikan dan Perilaku
Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta. 2003
9. Candra, Budiman, Pengantar Kesehatan
Lingkungan, Jakarat : Penerbit Buku
Kedokteran, 2007.
10. Ngastiyah, Perawatan Anak Sakit, Jakarta :
EGC. 2005.
11. --------------. Metodologi Penelitian
Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta. 2010
12. Sutrisno, Totok dkk, Teknologi Penyediaan
Air Bersih, Jakarta : Rineka Cipta. 2006
13. Arikunto Suharsimi. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta :
Rineka Cipta. , 2002

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 81


Pengaruh Pemberian Suplemen Asam Lemak Omega-3 Terhadap
Nilai Tear Break Up Time Pada Pasien Meibomian Gland
Dysfunction

Haves Ashan
Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Baiturrahmah Padang

Abstrak

Meibomian Gland Dysfunction (MGD) merupakan tersumbatnya kelenjar meibomian yang


menyebabkan gangguan sekresi lipid yang dapat diketahui dengan pemeriksaan Tear Break Up
Time (TBUT) yang rendah. Asam lemak omega 3 merupakan komponen penting terhadap
produksi lipid kelenjar meibomian.mengetahui pengaruh pemberian suplemen oral asam lemak
omega 3 terhadap nilai TBUT pasien MGD. Experimental Study, subjek penelitian adalah subjek
dengan nilai TBUT < 10 detik yang secara konsekutif dibagi menjadi kelompok A dan B. 15
subjek (kelompok A tanpa pemberian omega 3) dilakukan penekanan orifisium kelenjar
meibomian dan 15 subjek (kelompok B dengan pemberian omega 3) dilakukan penekanan
orifisium kelenjar meibomian dan pemberian asam lemak omega 3 dengan dosis 2000mg/ hari
selama 30 hari. Pada hari ke 15 dan 30 dilakukan pemeriksaan grade TBUT pada kedua kelompok.
Terdapat perbaikan grade TBUT pada kelompok A dan B setelah hari ke 15 dan 30. Perbaikan
kelompok B bermakna secara statistik dibandingkan dengan kelompok A (p<0,05).

Kata Kunci :Asam lemak omega 3, TBUT, MGD.

The Effect Of Oral Supplementation Of Omega-3 Fatty Acids


On The Tear Break-Up Time In Patients With Meibomian Gland
Dysfunction
Abstract
Meibomian gland dysfunction (MGD) is the congestion of meibomian gland orifice that causes
impairment in meibomian gland lipid secretion that can be identified by a short tear break-up time
(TBUT). Omega-3 fatty acid is one of the important components in lipid production. To know the
effect of omega-3 fatty acid oral supplementation on tear break up time in patients with MGD, we
conduct anExperimental Study.Subjects of this study were those with TBUT < 10 seconds and
consecutively divided into group A and B. In 15 subjects (group A without omega 3), the
meibomian gland orifices were gently squeezed and in 15 subjects (group B with omega 3
supplementation), the meibomian gland orifices were also squeezed and the subject of this group
were supplemented by omega-3 fatty acid with dose of 2000mg/ dayfor 30 days. On day 15 and 30,
TBUT examinationswere applied to both groups.We found improvement in the grade of TBUT in
both group A and B on day 15 and 30. The improvements were more significant in group B
(p<0,05).

Keywords : Omega-3 fatty acids, TBUT, MGD.

82 Korespondensi :Haves Ashan, E-mail: havesashan@gmail.com


Haves Ashan :Pengaruh Pemberian Suplemen Oral Asam Lemak Omega-3 Terhadap Nilai Tear
Break Up Time Pada Pasien Meibomian gland Dysfunction

Latar Belakang kelenjar meibomian kelopak mata atas


dan bawah.4,5,6,7
Permukaan bola mata ditutupi oleh
suatu lapisan tipis air mata yang Gangguan pada fungsi kelenjar
disebut tear film.1Tear film terdiri dari meibomian disebut dengan Meibomian
tiga komponen utama, dari anterior ke Gland Dysfunction (MGD).MGD
posterior yaitu lapisan lipid, akuos dan dapatdiakibatkan gangguan komposisi
musin.2 Lipid disekresikan oleh lipid atau obstruksi aliran kelenjar
kelenjar meibom, kelenjar zeiss dan meibomian. Gangguan komposisi
moll. Akuos disekresikan oleh kelenjar lapisan lipid dapat mengganggu
lakrimalis utama, kelenjar Krause dan stabilitas tear film. Obstruksi
Wolfring. Sedangkan musin menyebabkan sekresi lipid berkurang
disekresikan oleh sel goblet sehingga dapat menyebabkan
konjungtiva, sel berlapis gepeng peningkatan evaporasi (penguapan)
konjungtiva, dan sel epitel kornea.2,3 tear film.Kedua hal tersebut dapat
mengakibatkan kerusakan dan iritasi
Evaporative dry eye terjadi disebabkan epitel permukaan okular.International
karena defisiensi lipid dari kelenjar Workshop of Meibomian Gland
meibomianatau disebabkan karena Dysfunctionmengklasifikasikan MGD
tidak adekuatnya kedipan kelopak mata menjadi dua kategori yaitu :low
seperti kurangnya frekuensi kedipan delivery dan high delivery. Low
atau kedipan kelopak mata yang tidak delivery MGD dikategorikan menjadi
sempurna.Lipid tear film disekresikan dua subtipe yaitu hiposekresi dan
oleh kelenjar meibomian secara primer obstruksi. MGD hipersekresi (high
dan sekunder oleh kelenjar Zeiss dan delivery) berkaitan dengan kelainan
Moll.4Lipid tear filmmempunyai dermatologic seperti acne dan
melting point pada suhu antara 32 – seborrheic dermatitis.8,9
350C, mengandung 77 % wax esters
(Wes) dan 8% cholesteryl esters MGD dapat diartikan sebagai obstruksi
(CEs), 9% diglycerides dan kelenjar meibomian yang progresif
triglycerides dan hidrokarbon serta yang disebabkan keratinisasi duktus
terdiri atas 2 lapisan yaitu polar dan atau penebalan sekresi.Para ahli
nonpolar.5,7 menyatakan bahwa MGD berkaitan
dengan usia, disertai dengan
Kelenjar meibomian tersusun dalam peningkatan prevalensi terjadinya
satu barisan didalam kelopak mata mulai dari 0% pada pasien dekade
bagian tarsal plate pada kelopak mata pertama kehidupan hingga 68% pada
atas dan bawah.Kelenjar meibomian pasien dengan usia lebih dari 60
pada kelopak mata atas lebih banyak tahun.5Prevalensi MGD pada beberapa
dari segi jumlah dibandingkan pada penelitian bervariasi pada rentang
kelopak mata bawah.Sehingga antara 3,5% hingga 70%, dimana
kapasitas sekresi kelenjar meibomian prevalensi tertinggi didapatkan pada
pada kelopak mata atas lebih besar penelitian pada populasi Asia. Pada
dibandingkan dengan kelenjar Bangkok Study didapatkan prevalensi
meibomian kelopak mata bagian MGD sebesar 46,2%. Prevalensi
bawah.Walaupun demikian, belum ada sebesar 60,8% pada Shihpai Eye Study,
penelitian atau evaluasi mengenai 69,3 % pada Beijing Eye Study, serta
perbedaan kapasitas sekresi antara prevalensi sebesar 3,5% pada Salisbury

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 83


Haves Ashan :Pengaruh Pemberian Suplemen Oral Asam Lemak Omega-3 Terhadap Nilai Tear
Break Up Time Pada Pasien Meibomian gland Dysfunction

Eye Evaluation.10MGD merupakan adanya lipid (meibum) yang berwarna


salah satu penyebab utama rasa tidak putih dan menebal. Proses obstruksi
nyaman pada mata, defisiensi tear film, pada MGD disebabkan
dan peningkatan evaporasi, yang hiperkeratinisasi epitel duktus dan
kemungkinan disebabkan menurunnya terjadinya peningkatan viskositas lipid
ketebalan lapisan lipid tear film.5 akibat meningkatnya melting poit yang
disebabkan penurunan kadar asam
Pada beberapa waktu belakangan ini, lemak unsaturated. Konsekuensi akibat
beberapa penelitian telah berkurangnya lipid pada tear film dapat
memperlihatkan pengaruh konsumsi terjadi peningkatan evaporasi yang
suplemen asam lemak esensial dalam dapat menyebabkan terjadinya
diet sehari –hari terhadap tear evaporative dry eye, hiperosmolaritas
film.Omega-3 dan omega-6 termasuk dan ketidakstabilan tear film, serta
asam lemak esensial yang tidak dapat dapat menimbulkan inflamasi pada
diproduksi oleh tubuh, dan harus permukaan okular. Berdasarkan hal
diperoleh dari konsumsi diet sehari – tersebut diatas, timbul pertanyaan
hari. Perbandingan konsumsi diet apakah terapi dengan menggunakan
omega-3 dan omega-6 adalah 1 : 2,3, suplemen oral omega-3 dapat
tetapi akibat proses industrialisasi dan memperbaiki sekresi lipid sehingga
tingginya konsumsi omega-6 dalam dapat mencegah terjadinya evaporative
diet menyebabkan terjadinya dry eye, yang dapat dinilai dengan
imbalance pada beberapa populasi. pemeriksaan Tear Break Up Time
Asam lemak omega-3antara lain terdiri (TBUT).
atas alpha-linoleic acid (ALA),
eicosapentaenoic acid (EPA),
Tujuan Penelitian
dandocosahexaenoic acid
(DHA).International Society for The
Study of Fatty Acids and Lipids Tujuan Umum
merekomendasikan untuk
mengkonsumsi sedikitnya 500 mg EPA Menilai pengaruh pemberian asam
dan DHA setiap hari. Asam lemak lemak omega-3 terhadapgrade nilai
omega-3 diperkirakan memperbaiki TBUTpada pasien Meibomian Gland
kondisi gejala dry eye melalui Dysfunction.
mekanisme memperbaiki lapisan lipid
pada tear film dengan menghilangkan
Tujuan Khusus
meibomianitis dan meningkatkan
sekresi tear film dari kelenjar
1. Menilaiperubahan grade TBUT
lakrimalis. Pada pasien MGD terjadi
setelah dilakukan penekanan
penurunan kadar asam lemak
orifisium kelenjar meibomian
unsaturated yang dapat menyebabkan
dengan cotton budpada pasien
terjadinya peningkatan melting
MGD.
point,yang berakibat terjadinya
2. Menilai perubahangrade TBUT
penebalan lipid pada duktus sentral.11,12
setelah pemberian asam lemak
RumusanMasalah
omega-3 pada pasien MGD.
Meibomian Gland Dysfunction (MGD)
paling utama disebabkan karena
obstruksi duktus terminal akibat

84 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Haves Ashan :Pengaruh Pemberian Suplemen Oral Asam Lemak Omega-3 Terhadap Nilai Tear
Break Up Time Pada Pasien Meibomian gland Dysfunction

1. Sebagai dasar pertimbangan


pemberian suplemen oral omega-3
pada pasien MGD.
Manfaat Penelitian 2. Sebagai dasar untuk penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan
Dari penelitian ini diharapkan : pemberian omega-3 pada pasien
MGD.

KERANGKA KONSEP

Kerangka Konsep

 Penurunan intake omega-3 :


- penurunan kadar asam lemak
Kelenjar Meibomian  Faktor resiko :
- usia tua (proses hiperkeratinisasi
duktus)
- gangguan hormonal
Obstruktif Meibomian Gland
Dysfunction

Defisiensi omega 3 :
Penurunan sekresi lipid kelenjar
-peningkatan melting point lipid
meibomian
-peningkatan viskositas lipid
-gangguan integritas lapisan polar
dan nonpolar lipid
Gangguan lapisan polar dan nonpolar
lipid tear film

peningkatan evaporasi
Penurunan nilai TBUT

Pelepasan obstruksi + Pemberian


Suplemen Oral Omega 3
Perbaikan sekresi lipid kelenjar
meibomian

Perbaikan integritas lapisan polar dan


nonpolar lipid

Perbaikan nilai TBUT

Hipotesa Terdapat perbaikan grade nilai TBUT


dengan pemberian suplemen oral
omega-3 pada pasien MGD.

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 85


Haves Ashan :Pengaruh Pemberian Suplemen Oral Asam Lemak Omega-3 Terhadap Nilai Tear
Break Up Time Pada Pasien Meibomian gland Dysfunction

Metode Penelitian Dengan memperkirakan kejadian drop


out sekitar 10% maka total jumlah
sampel yang diperlukan dihitung
Jenis Penelitian
menggunakan rumus :
Jenis penelitian adalah
experimentalstudy. n` = _n_
(1-f)
Populasi n = besar sampel yang dihitung
Populasi penelitian adalah semua f = perkiraan proporsi drop out
pasien berusia >40 tahun yang berobat
ke poliklinik mata RSUP Dr. M. Berdasarkan rumus diatas total jumlah
Djamil. sampel adalah
n` = 13_
Sampel Penelitian
1-0,1
Sampel diambil dengan cara konsekutif
n` = 14,44 ~ 15 sampel
yaitu : semua pasienberusia > 40 tahun
yang berobat ke poliklinik mata RSUP
Total sampel keseluruhan = 30 sampel.
Dr. M. Djamil dengan hasil
Sampel dibagi menjadi 2 kelompok
pemeriksaan TBUT < 10 detik yang
yaitu : kelompok A dan B (masing –
memenuhi kriteria inklusi.
masing 15 sampel).
Perhitungan besar sampel
Perhitungan sampel Tempat dan waktu penelitian
denganmenggunakan rumus:
Poliklinik Mata RSUP. Dr. M.Djamil
n1 = n2 = zα2(P1Q1 + P2Q2) Padang& RS.Jejaring.Waktu: 1bulan
d2 atau sampai mencukupi jumlah sampel.
n1 = n2= jumlah sampel
zα2 = tingkat kemaknaan Kriteria Inklusi:
P1 = proporsi kasus dari kepustakaan Semua pasien berusia > 40 tahun
P2 = proporsi berdasarkan clinical dengan hasil pemeriksaan TBUT < 10
judgement peneliti detik.Bersedia dan setuju ikut serta
Q = (1-P) dalam penelitian dan menyanggupi
d = tingkat ketepatan absolut yang untuk mematuhi aturan penelitian yang
dikehendaki akan dilakukan.
P1 = 0,03; P2 = 0,03; zα = 1,96; d
=0,10
Kriteria Eksklusi:
Pasien yang sedang mengkonsumsi
obat – obatan antikoagulan atau anti
Berdasarkan rumus diatas jumlah platelet (seperti aspirin,
sampel minimal adalah warfarin).Pasien yang sedang
mengkonsumsi obat – obatan seperti
n1 = n2 = n = 1,962 (0,03x 0,97) + (0,03x 0,97)loratadin, kortikosteroid, antaside
0,01 (ranitidin).Pasien dengan gangguan
n = 13,041 ~ 13 sampel hepar, ginjal dan wanita hamil. Pasien
dengan kelainan anatomi dan fungsi

86 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Haves Ashan :Pengaruh Pemberian Suplemen Oral Asam Lemak Omega-3 Terhadap Nilai Tear
Break Up Time Pada Pasien Meibomian gland Dysfunction

kelopak mata, seperti malposisi konjungtiva : ada/ tidaknya tanda


kelopak mata, lagoftalmus, blefaritis, infeksi, kornea : ada/ tidaknya tanda
gangguan neuromuskular yang infeksi, sikatrik kornea.Subjek
mempengaruhi reflek mengedip seperti penelitian dibagi menjadi dua
parkinson dan Bell’s Palsy, trauma kelompok yaitu kelompok A dan
lokal pada bola mata termasuk bedah B.Kelompok A :perlakuan
orbita dan radiasi.Pasien dengan infeksi penekananorifisium kelenjar
mata yang masih aktif.Pasien dalam meibomian.Kelompok B :waktu
kondisi demam (suhu ≥ 380C) saat perdarahan normal + penekanan
dilakukan pemeriksaan TBUT pertama orifisium kelenjar meibomian +
kali. suplemen oral omega-3dengan dosis
2000mg/ hari.Dilakukan pemeriksaan
TBUT kedua mata, bila hasil TBUT <
Bahan dan alat yang digunakan
10 detik, pasien dimasukkan kedalam
Slit lamp, flourescen eye drop,
subjek penelitian. Setelah dilakukan
artificial tears, cotton bud, kapas mata,
pemeriksaan TBUT, mata pasien
stopwatch, kapas alkohol, pantocain
dibilas dengan artificial tear hingga
eye drop.
bersih.Hasil TBUT yang diambil
adalah yang paling rendah dari kedua
Prosedur kerja mata.Pada hari ke-15 dan 30dilakukan
Pasien yang berobat kePoliklinik Mata pemeriksaan TBUT(dengan mengulang
RSUP Dr. M. djamil dilakukan prosedur no.5) pada kedua kelompok.
anamnesa mengenai keluhan matanya
antara lain :ada rasa kering/ pedih/ Semua hasil pemeriksaan dicatat dalam
seperti kelilipan atau terkalang-kalang status khusus penelitian.
pada mata, ada/tidaknya mata merah
tanpa infeksi permukaan mata, sedang Anamnesa :
dalam pengobatan dengan
menggunakan obat anti koagulan/ anti Status
OD OS
platelet seperti aspirin, warfarin.Ada Oftalmologi
riwayat penyakit lain seperti Bell’s Visus
Palsy, Parkinson. Ada riwayat trauma Palpebra
pada kelopak mata.Ada riwayat operasi Konjungtiva
pada kelopak mata Kornea
COA
Dijelaskan mengenai tujuan dan Iris
manfaat penelitian. Bila pasien setuju, Pupil
kemudian dilakukan pemeriksaan visus Lensa
menggunakan snellen chart di TIO
poliklinik mata.Pemeriksaan slit lamp
untuk menilai keadaan permukaan bola
mata. Yang dinilai antar lain ; palpebra
: orifisum kelenjar meibomian,

Alur Penelitian

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 87


Haves Ashan :Pengaruh Pemberian Suplemen Oral Asam Lemak Omega-3 Terhadap Nilai Tear
Break Up Time Pada Pasien Meibomian gland Dysfunction

S A M P EL
Informed Concent

Anamnesa (rasa kering/pedih/ kelilipan pada


EKSKLUSI mata, mata merah/tidak, sekret, terapi anti
koagulan/ anti platelet, riwayat penyakit
lain, riwayat trauma, riwayat operasi
kelopak mata)

Pemeriksaan Segmen Anterior (dilatasi orifisum kelenjar


meibomian, hiperemis konjungtiva, sikatrik/infeksi kornea)

Kelompok A Kelompok B

Pengeluaran sekret orifisium Pengeluaran sekret orifisium kelenjar


kelenjar meibomian dengan cotton meibomian dengan cotton bud
bud

Hasil
Pemeriksaan TBUT Waktu
TBUT >
Perdarahan
10 detik
Normal
Hasil TBUT < 10 detik

Kelompok A Kelompok B

Suplemen oral omega-


3 2000mg/hari

Pemeriksaan TBUT hari ke- 15, dan 30.

Pengolahan dan analisa data


Pengolahan data dilakukan secara Karakteristik Hasil Penelitian
komputerisasi dengan menggunakan
program Statistical Program for Social Subjek penelitian yang dipilih adalah
Science (SPSS) versi 16.0.Data penderita meibomian gland dysfunction
dipresentasikan dalam bentuk tabel dan (MGD).Sampel penelitian adalah
grafik.Data dianalisa secara statistik semua penderita MGD yang datang
menggunakan uji Chi-square berobat ke bagian mata RSUP Dr. M.
Djamil Padang.Jumlah pasien MGD
yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi berjumlah 30 orang.

Tabel 1. Distribusi frekuensi subjek


Hasil Penelitian penelitian berdasarkan usia dan
jenis kelamin.

88 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Haves Ashan :Pengaruh Pemberian Suplemen Oral Asam Lemak Omega-3 Terhadap Nilai Tear
Break Up Time Pada Pasien Meibomian gland Dysfunction

Karakteristik Frekuensi Karakteristik TBUT Frekuensi


Pasien n (%)
n (%) Mata yang terlibat dengan
Usia (tahun) 13 43,30 TBUT terendah
40-49 15 50,00 Kanan 9 30,00
50-59 0 0 Kiri 21 70,00
60-69 2 2 Grade TBUT
70-79 Grade I 27 90,00
Jenis kelamin Grade II 3 10,00
Pria 6 20,00 Grade III 0 0
Wanita 24 80,00 Grade IV 0 0
% = persentase dari jumlah total penderita % = persentase dari jumlah total penderita
MGD MGD

Pada tabel 1 terlihat gambaran Pada tabel 2, distribusi penderita MGD


distribusi frekuensi penderita MGD berdasarkan mata yang terlibat dengan
berdasarkan usia terbanyak adalah yang nilai TBUT yang terendah didapatkan
berumur 50-59 tahun (50,00%) dan lebih banyak pada mata kiri (70,00%)
jenis kelamin terbanyak adalah wanita dibandingkan mata kanan (30,00%).
(80,00%). Berdasarkan grade TBUT, didapatkan
Tabel 2.Distribusi frekuensi MGD pada distrbusi frekuensi terbanyak pada
mata yang terlibat dengan nilai grade I yaitu 90,00%.
TBUT terendah dan grade TBUT
pada awal pemeriksaan.

Tabel 3.Perbandingan grade nilai TBUT sebelum perlakuan dan setelah perlakuan pada
hari ke 15.

Sebelum perlakuan Setelah perlakuan


hari ke 15
n=15 % n=15 %
Kelompok A
Grade I 13 86,70 9 60,00
Grade II 2 13,30 6 40,00
Grade III 0 0,00 0 0
Grade IV 0 0,00 0 0
Total 15 100,00 15 100,00 p=0.015
Kelompok B
Grade I 14 93,30 6 40,00
Grade II 1 6,70 9 60,00
Grade III 0 0 0 0
Grade IV 0 0 0 0
Total 15 100,00 15 100,00 p=0.008

Berdasarkan tabel 3, pada subjek 15.Secara statistik perbedaan ini


penelitian kelompok A didapatkan bermakna.Pada kelompok B, grade I
grade I MGD sebelum perlakuan lebih MGD juga terdapat pada saat sebelum
banyak dibandingkan setelah perlakuan perlakuan. Setelah perlakuan hari ke
pada hari ke 15. Grade II MGD 15, grade II MGD didapatkan lebih
pada kelompok A didapatkan lebih banyak pada subjek penelitian
banyak setelah perlakuan hari ke

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 89


Haves Ashan :Pengaruh Pemberian Suplemen Oral Asam Lemak Omega-3 Terhadap Nilai Tear
Break Up Time Pada Pasien Meibomian gland Dysfunction

kelompok B. Dengan uji statistik perbedaan ini bermakna.


Tabel 4.Perbandingan grade nilai TBUT sebelum perlakuan dan setelah perlakuan pada
hari ke 30.

Sebelum perlakuan Setelah perlakuan


hari ke 30
n=15 % n=15 %
Kelompok A
Grade I 13 86,70 8 53,30
Grade II 2 13,30 7 46,70
Grade III 0 0,00 0 0
Grade IV 0 0,00 0 0
Total 15 100,00 15 100,00 p=0.009
Kelompok B
Grade I 14 93,30 0 00,00
Grade II 1 6,70 13 86,70
Grade III 0 0 2 13,30
Grade IV 0 0 0 0
Total 15 100,00 15 100,00 p=0.003

Pada tabel 4, subjek penelitian subjek penelitian dengan derajat MGD


kelompok A dengan derajat MGD grade I.Subjek penelitian dengan grade
grade I didapatkan terbanyak pada II MGD didapatkan lebih banyak pada
sebelum perlakuan. Sedangkan, subjek kelompok B setelah perlakuan hari 30.
penelitian dengan grade II TBUT pada Subjek penelitian dengan grade III
kelompok A didapatkan paling banyak MGD pada kelompok B didapatkan
pada setelah perlakuan hari ke 30. pada setelah perlakuan pada hari 30,
Dengan uji statistik perbedaan ini dimana tidak didapatkan pada sebelum
bermakna. Pada kelompok B, setelah perlakuan.Secara statistik, perbedaan
perlakuan hari ke 30, tidak didapatkan ini bermakna.
Tabel 5. Perbandingan grade nilai TBUT setelah perlakuan hari ke 15 dan setelah perlakuan
pada hari ke 30.
Sebelum perlakuan Setelah perlakuan
hari ke 30
n=15 % n=15 %
Kelompok A
Grade I 9 60,00 8 53,30
Grade II 6 40,00 7 46,70
Grade III 0 0,00 0 0
Grade IV 0 0,00 0 0
Total 15 100,00 15 100,00 p=0.073
Kelompok B
Grade I 6 40,00 0 00,00
Grade II 9 60,00 13 86,70
Grade III 0 0 2 13,30
Grade IV 0 0 0 0 p=0.030
Total 15 100,00 15 100,00
Berdasarkan tabel 5, subjek penelitian kelompok A didapatkan dengan jumlah
dengan grade I dan II MGD pada yang hampir sama pada perlakuan hari

90 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Haves Ashan :Pengaruh Pemberian Suplemen Oral Asam Lemak Omega-3 Terhadap Nilai Tear
Break Up Time Pada Pasien Meibomian gland Dysfunction

ke 15 dan hari ke 30. Secara statistik, kelompok B setelah perlakuan hari ke


perbedaan ini tidak bermakna.Pada 30. Subjek penelitian grade III MGD
kelompok B, subjek penelitian dengan didapatkan pada kelompok B setelah
grade I MGD tidak didapatkan setelah perlakuan hari ke 30.Dengan uji
perlakuan hari ke 30. Grade II MGD statistik perbedaan ini bermakna.
didapatkan lebih banyak pada

Tabel 6. Perbandingan grade perbaikan TBUT setelah perlakuan hari ke 15dan setelah
perlakuan hari ke 30

Sebelum perlakuan Setelah perlakuan


hari ke 30
n=15 % n=15 %
Kelompok A
Grade I 13 86,70 10 66,70
Grade II 1 6,65 3 20,00
Grade III 1 6,65 2 13,30
Total 15 100,00 15 100,00 p = 0.063
Kelompok B
Grade I 9 60,00 0 00,00
Grade II 1 6,70 5 33,30
Grade III 5 33,30 10 66,70 p = 0.042
Total 15 100,00 15 100,00

Berdasarkan tabel 6, pada subjek diagnosa meibomian gland dysfunction


penelitian kelompok A didapatkan (MGD).
perbaikan grade TBUT yang kecil dari
2 detik (grade I) lebih banyak setelah Usia sampel terbanyak pada penelitian
perlakuan hari ke 15. Perbaikan grade ini didapatkan pada kelompok usia
TBUT 2-3 detik (grade II) dan lebih antara 50-59 tahun, kemudian diikiti
dari 3 detik (grade III) didapatkan lebih oleh kelompok usia 40-49 tahun.Hal ini
banyak setelah perlakuan hari ke hampir serupa dengan penelitian yang
30.Secara statistik hal ini tidak dilakukan oleh Lekhanont dan kawan –
bermakna. Pada kelompok B, kawan (2006) pada Bangkok Study, dan
perbaikan grade TBUT yang kecil dari Jie dan kawan – kawan (2009) pada
2 detik (grade I) didapatkan lebih Beijing Eye Study, dimana kedua
banyak setelah perlakuan hari ke 15, peneliti ini mendapatkan usia
sedangkan grade II dan grade III prevalensi MGD terbanyak didapatkan
didapatkan lebih banyak setelah pada usia lebih dari 40 tahun.
perlakuan hari ke 30. Dengan uji
statistik, perbedaan ini bermakna. Pada penelitian ini jumlah penderita
MGD yang paling sedikit didapatkan
pada rentang usia 70-79 tahun. Dimana
Diskusi
hal ini bertentangan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Lin dan kawan –
Penelitian ini dilaksanakanpada bulan
kawan (2003) pada Shihpai Eye Study,
November 2014 di poliklinik mata
dan Schein dan kawan – kawan (1997)
RSUP. Dr. M. Djamil Padang.Sampel
pada Salisbury Eye Evaluation, dimana
yang memenuhi kriteria inklusi dan
kedua peneliti tersebut mendapatkan
eksklusi berjumlah 30 orang dengan

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 91


Haves Ashan :Pengaruh Pemberian Suplemen Oral Asam Lemak Omega-3 Terhadap Nilai Tear
Break Up Time Pada Pasien Meibomian gland Dysfunction

usia terbanyak penderita MGD pada 4. Skuta GL, Cantor BL, Weiss JS. Basic
usia lebih dari 65 tahun. and Clinical Science Course. Orbit
Eyelids, and Lacrimal System. San
Fransisco: American Academy of
Pada penelitian ini menunjukkan Ophthalmology. Section 7: 2011-2012 :
dimana dengan pemberian omega 3, pp 141 – 147.
didapatkan hasil TBUT yang lebih baik 5. Macsai MS. The Role of Omega-3
dari segi nilai dan grade TBUT itu Dietary Supplementation in Blepharitis
and Meibomian Gland Dysfunction (An
sendiri.Hal ini dimungkinkan karena AOS Thesis). In Trans Am Ophthalmol
perananomega 3 dalam memperbaiki Soc. Volume 106. 2008 : p.336-356
susunan asam lemak pada kelenjar 6. Schenetler R, Gillan WDH, Koorsen G.
meibomian, sehingga sekresi meibom Lipid Composition of Human Meibum : a
menjadi baik pada orifisium kelenjar review*. In The South African
Optometrist. Department of Optometry,
meibomian tersebut. University of Johannesburg. 2013 : p. 86-
93.
7. Foulks GN. The Correlation Between the
Kesimpulan Tear Lipid Layer and Dry Eye Disease. In
Survey of Ophthalmology. Vol 52. No. 4.
1. Perbaikan nilai TBUT lebih baik 2007 : p.369-373.
8. Nelson JD, Shimazaki J, Benitez-del-
didapatkan pada kelompok subjek
Castillo JM, Craig JP,McCulley JP.The
penelitian dengan pemberian asam International Workshop on Meibomian
lemak omega 3. Gland Dysfunction: Report of the
2. Perubahan grade TBUT Definition and Classification
memperlihatkan hasil yang lebih Subcommittee. In Investigative
Ophthalmology & Visual Science, Special
baik pada kelompok dengan
Issue. Volume 52. No. 4. The Association
pemberian asam lemak omega 3. for Research in Vision and
Ophthalmology, Inc. 2011 : p.1930-1937
9. Nichols KK, Foulks GN, Bron AJ,
Saran Glasgow BJ, Dogru M, Tsubota K et
al.The International Workshop on
Penelitian sebaiknya dilakukan dengan Meibomian Gland Dysfunction:
jumlah sampel yang lebih banyak dan Executive Summary. In Investigative
Ophthalmology & Visual Science, Special
interval waktu yang lebih panjang
Issue. Volume 52. No. 4. The Association
sehingga hasil menjadi lebih spesifik. for Research in Vision and
Ophthalmology, Inc. 2011 : p.1922-1929
10. Schaumberg DA, Nichols JJ, Papas EB,
Daftar Pustaka Tong L, Uchino M, Nichols KK. The
1. Djalilian AR, Hamrah P, Pfugfelder SC. International Workshop on Meibomian
Dry Eye. In Cornea. 2nd edition. Vol 1. Gland Dysfunction: Report of the
Fundamentals, Diagnosis and Subcommittee on the Epidemiology of,
management. Ch 42. Elsevier Mosby. and Associated Risk Factors for, MGD. In
Philadelpia ; 2005 : p521-538 Investigative Ophthalmology & Visual
2. Gurland JE, Hamed LM, Johns KJ et al. Science, Special Issue. Volume 52. No. 4.
Tear Film. In Practical Ophthalmology A The Association for Research in Vision
Manual for Beginning Resident. 4th and Ophthalmology, Inc. 2011 : p.1994-
edition. American Academy of 2005
Ophthalmology. San Fransisco ; 1996 : 11. Geerling G, Tauber J, Baudouin C, Goto
p254-256 E, Matsumoto Y, O’Brien T, Rolando M
3. American Academy of Ophthalmology. et al. The International Workshop on
Tear Film. In: Fundamental and Meibomian Gland Dysfunction: Report of
Principles of Ophthalmology. Basic and the Subcommittee on Management and
Clinical Science Course. Section 2. San Treatment of Meibomian Gland
Fransisco; 2008-2009 : p.287-296

92 JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016


Haves Ashan :Pengaruh Pemberian Suplemen Oral Asam Lemak Omega-3 Terhadap Nilai Tear
Break Up Time Pada Pasien Meibomian gland Dysfunction

Dysfunction. In Investigative
Ophthalmology & Visual Science, Special
Issue. Volume 52. No. 4. The Association
for Research in Vision and
Ophthalmology, Inc. 2011 : p.2050-2064
12. Green-Church KB, Butovich I, Willcox
M, Borchman D, Paulsen F, Barabino S et
al. The International Workshop on
Meibomian Gland Dysfunction: Report of
the Subcommittee on Tear Film Lipids
and Lipid–Protein Interactions in Health
and Disease. In Investigative
Ophthalmology & Visual Science, Special
Issue. Volume 52. No. 4. The Association
for Research in Vision and
Ophthalmology, Inc. 2011 : p.1979-1993

JKB | ISSN : 2407-358X Periode Juli – Desember 2016 93

Anda mungkin juga menyukai