Anda di halaman 1dari 40

Komisaris Utama: dr.

Seno Purnomo,
Direktur Utama: dr. Mahesa Paranadipa Maykel, M.H.Kes,
Direktur Keuangan & Administrasi: Dewi Poernomo Sari, SE, MM

Pemimpin Redaksi: DR. Dr. Aida SD Hoemardani, SpKK(K), FINSDV, FAADV,


Wakil Pemimpin Redaksi: dr. Mahesa Paranadipa Maykel, M.H.Kes,
Sekretaris Direktur: Indah Permata Sari, SE

Redaksi: dr. Muhamad Angki Firmansyah, dr. Maria Florencia Deslivia, dr. Hayatun Nufus, Sp.PD,
dr. Hari Nugroho, Sp.OG, dr. Gita Nurul Hidayah, dr. Risca Marcelena, dr. Frans Liwang, dr. Naldo Sofian,
dr. Husniah, Sp.ak, Kepala Divisi Penelitian : dr. Ekasakti Octohariyanto, MPd, Ked., Desain Grafis : Nanung Haryanto,
Pemasaran : Devina Aviani, Dian Awaludin, Eko Yuli S., S.Farm, Apt., Sirkulasi : Endang Kusnaran,
Keuangan : Kartini, Muhamad Nuh

Kontributor:
dr. Pribakti B., dr. Denny Khusen

Koresponden:
Drs. Zainul Kamal (Jogjakarta), dr. Darmono S.S (Semarang), dr. Dwicha Rahmawansa S. (Surabaya),
dr. Laurentius A. Pramono (Jakarta), dr. Nyityasmono Tri Nugroho, Sp.B (Jerman)

Alamat Redaksi & Sirkulasi:


RUKO MITRA MATRAMAN BLOK B-10
Jl. Matraman Raya, Jakarta Timur 13150, Telp. (021) 2298 5159, Fax. 3190 6649, PO. BOX. 1202/JKS 12012.
E-mail : medika_gp@yahoo.co.id, Rekening Bank a/n PT. Medika Media Mandiri :
BANK CENTRAL ASIA KCU Wahid Hasyim, Jl KH. Wahid Hasyim No.183 A-B, Jakarta Pusat 10240, No. AC: 028 311 2541

Diterbitkan oleh:
PT. Medika Media Mandiri
Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Kecil : Nomor: 117/24.1PK/31.75.01/-1.824.27/e/2016.

REDAKSI KEHORMATAN DAN MITRA BESTARI

Dr. Bisono, Bagian Ilmu Bedah-RSCM/FKUI Jakarta.


Dr. Moh. Adib Khumaidi, SpOT, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan UMJ, Bagian Bedah
Orthopedi dan Traumatologi RSUD Cengkareng, Banten.
Dr. Otte J. Rachman, Bagian Kardiologi RSCM/FKUI Jakarta.
Prof. Dr. Arjatmo Tjokronegoro, PhD, Bagian Biologi FKUI Jakarta.
Prof. Dr. dr. Budi Santoso, Sp OG(K), Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD dr. Soetomo.
Prof. DR. dr. Fachmi Idris, M.Kes, Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas,
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Prof. Dr. Hadiarto, Bagian Paru RS Persahabatan, FKUI Jakarta.
Prof. DR. Iskandar Wahidiyat, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM/FKUI Jakarta.
Prof. Dr. Junus Alkatiri, Bagian Penyakit Dalam, FK UNHAS Ujung Pandang.
Prof. M. Thaha MD, PhD, FINASIM, FACP, FASN, FK UNAIR Surabaya.
Prof. Dr. Urip Harahap, Apt, Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Prof. DR. R. Utji, Bagian Mikrobiologi, FKUI Jakarta.

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 1


SYARAT PENULISAN NASKAH

Pedoman Umum KORESPONSDENSI merupakan rubrik surat menyurat mengenai materi


- Naskah yang diterima adalah karangan asli yang hanya ditujukan yang pernah dipublikasikan dalam MEDIK A, komentar tentang
kepada MEDIKA dan belum pernah dipublikasikan (kecuali abstrak kejadian dalam dunia kedokteran dan kesehatan, atau komentar
atau laporan yang disajikan dalam temu ilmiah). terhadap Redaksi MEDIKA. Surat diharapkan sampai di meja redaksi
- Semua makalah yang ditujukan kepada jurnal ini akan melalui dua minggu setelah publikasi materi yang dibahas dan teks tidak
proses tanggapan ilmiah dari mitra bestari (peer reviewer) melebihi 250 kata. Koresponsdensi umum yang tidak terkait materi
dan/atau tanggapan editorial. dalam jurnal juga dapat diterima dan maksimal terdiri dari 400 kata.
Dewan Redaksi berhak melakukan suntingan naskah dalam rupa, PENGEMBANGAN PROFESI membahas masalah-masalah kesehatan
gaya, bentuk, dan kejelasan, tanpa mengubah isi. yang ditemukan dalam praktik dokter secara interaktif.
- Naskah yang tidak dimuat akan dikembalikan jika sebelumnya ada DARI LAPANGAN merupakan ulasan berbasis bukti lapangan tentang,
permintaan. topik-topik yang relevan dengan praktik kedokteran, pelayanan
Naskah dialamatkan kepada Redaksi Jurnal Kedokteran Indonesia primer umum, dan spesialis.
MEDIKA: RUKO MITRA MATRAMAN BLOK B-10, Jl. Matraman Raya - Naskah memuat antara lain: masalah, strategi penyelesai an,
Jakarta Timur 13150; e-mail: medika_gp@yahoo.co.id atau kendala, pendekatan yang digunakan, keberhasilan, kegagalan,
redaksi@jurnalmedika.com. Telp: 021-2298 5159. simpulan, dan rekomendasi.
Naskah yang dikirimkan dan urutan nama penulis dianggap sudah - Teks tidak melebihi 2500 kata ditambah sedikit gambar dan tabel.
mendapat persetujuan publikasi dari semua penulis. - Tidak diperlukan abstrak
- Naskah disampaikan dalam bentuk CD atau disket progra m Tulisan yang Diolah Redaksi
MS-WORD atau yang kompatibel dan 2 (dua) berkas salinan (print KEGIATAN berisi reportase mengenai berbagai kegiatan, seminar,
out) yang tersusun sesuai urutan: 1) halaman judul; 2) abstrak kongres, dan berbagai acara yang berkaitan dengan dunia kedok-
Indonesia dan Inggris; 3) isi; 4) ucapan terima kasih; 5) daftar teran/kesehatan.
pustaka; 6) tabel; 7) gambar dan keterangan. PROFIL
Penulis Berita tentang tokoh kedokteran/kesehatan atau institusi kesehatan
- Pencantuman nama penulis berdasarkan kontribusi yang yang diberitakan karena adanya kejadian ataupun prestasi yang
bermakna dalam: istimewa.
- Konsep, desain. analisis, dan interpretasi data; SARIPATI berisi abstrak tentang artikel yang menarik dan baru dari
- Penulisan makalah atau revisi kritis bagian isi; berbagai jurnal ilmiah kedokteran yang menjadi referensi.
- Pembuatan makalah versi terakhir yang dipublikasikan; EDITORIAL berisi bahasan tentang sebuah artikel yang secara
- Setiap perubahan dalam pencantuman nam penulis setelah bersamaan di muat di MEDIKA. Bahasan mengenai substansi, konsep,
naskah diserahkan harus menyertakan persetujuan tertulis oleh metodologi, atau pengambilan simpulan.
semua penulis. Kolom
Hak Cipta Tulisan yang mirip TOPIK, lebih supervisial, tanpa daftar pustaka.
- Hak cipta seluruh isi naskah yang telah dipublikasikan beralih Ditulis dengan bahasa yang agak pribadi dibanding TOPIK.
kepada penerbit MEDIKA dan seluruh isinya tidak boleh Tabel dan Gambar
direproduksi dalam bentuk apapun tanpa izin penerbit. - Tabel dan gambar disajikan dalam lembar terpisah, dan disebutkan
- Seluruh pernyataan dalam naskah merupakan tanggung jawab letaknya dalam narasi makalah.
penulis. - Tabel dibuat sederhana, tanpa garis vertikal.
Teks - Judul tabel diletakkan di atas, tanpa titik, dan diidentifikasi dengan
- Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia yang baku, atau, dalam angka Arab.
keadaan tertentu dapat ditulis dalam Bahasa Inggris dengan ejaan - Setiap singkatan dalam tabel diberi keterangan sesuai urutan
Amerika. alfabet berupa catatan kaki di bawah tabel.
- Naskah diformat dengan ukuran kertas letter (8 x 11 inci atau 21,8 - Ilustrasi dan gambar elektronik harus dibuat dengan resolusi yang
x 28,2 cm); diketik dengan spasi ganda; dengan huruf Times New cukup tinggi dan diberi angka Arab dengan keterangan yang ditulis
Roman ukuran 12. di bawahnya.
- Satuan ukuran yang dipakai menggunakan Sistem Internasional (SI). - Foto diberikan dalam kertas kilap (glossy) dan diberi keterangan
- Semua teks dibuat dalam dokumen elektronik (WORD atau PDF). seperti gambar. Foto dikirimkan dalam kemasan yang baik,
- Kecuali untuk unit pengukuran, penggunaan singkatan sangat tidak kerusakan bukan tanggung jawab redaksi.
dianjurkan kecuali didahului kepanjangannya pada kemunculan - Fo to pasien harus disamarkan identitasnya atau disertai
pertama. persetujuan tertulis dari yang bersangkutan
Naskah dari Luar Nama Obat
ARTIKEL PENELITIAN merupakan laporan hasil penelitian kesehatan - Harus menggunakan nama generik.
dan kedokteran dasar. - Bila merek tertentu digunakan dalam penelitian, cantumkan nama
- Susunan dimulai dari Judul; Abstrak; Pendahuluan; Metodologi; merek dan produsennya dalam tanda kurung mengikuti penulisan
Hasil; Diskusi; Kesimpulan; dan Ucapan Terima Kasih. pertama nama generik pada bagian
- Teks tidak melebihi 2700–3500 kata (15–20 halaman). Metode Statistik
- Abstrak berbahasa Indonesia dan Inggris (masing-masing - Metode statistik yang digunakan harus diterangkan dalam bab
maksimal 200 kata); disusun dalam satu alinea dengan struktur Metodologi dan untuk metode yang jarang digun akan harus
latar belakang, metode, hasil, dan simpula n, tanpa disertai diterangkan secara detail serta diberi keterangan rujukannya.
subjudul tersebut; disertai 3–10 kata kunci. - Panduannya tercantum di Bailar JC III, Mosteller F. Guidelines for
- Jumlah keseluruhan tabel dan gambar maksimal 5 (lima) buah. statistical reporting - articles for medical journals: amplifications
- Daftar pustaka tidak melebihi 30 buah. and explanations. Ann Intern Med 1988;108:266–73.
ARTIKEL KONSEP merupakan tulisan kajian literatur yang komprehensif Daftar Pustaka
dan ilmiah dari sebuah topik, dengan penekanan pada perkembangan - Usia rujukan diutamakan tidak lebih dari lima tahun.
dalam lima tahun terakhir. - Daftar rujukan disusun sesuai ketentuan Vancouver.
- Tulisan dapat menjelaskan konsep dasar, deteksi atau identifikasi - Rujukan diberi nomor sesuai urutan pemunculan dalam makalah.
masalah, atau intervensi terapi terkini yang berkembang. - Nama jurnal disingkat sesuai Index Medicus.
- Teks tidak melebihi 3500 kata (20 halaman). - Cantumkan semua penulis bila berjumlah enam orang atau
- Gambar dan tabel maksimal 6 (enam) buah. kurang; tetapi bila tujuh orang atau lebih, cantumkan enam nama
- Daftar pustaka yang dimuat tidak melebihi 100 buah. pertama dan diikuti dengan “et al.”
- Tidak memerlukan abstrak.
STUDI KASUS merupakan laporan kasus yang menarik, yang mungkin
ditemui dokter umum, dengan kesulitan diagnosis, serta memberikan
suatu pembelajaran. Lebih disukai jika memiliki ilustrasi yang baik. Semua Naskah yang Dimuat Dalam Majalah Medika
Harus disertakan surat persetujuan publikasi dari pasien atau
keluarganya secara tertulis atau secara elektronik. tidak Diperbolehkan Disalin atau Diperbanyak
FOKUS merupakan uraian yang terfokus terhadap hal/masalah Tanpa Seizin Majalah Medika.
tertentu, seperti politik kesehatan, kebijakan kesehatan, atau hal
terkini tentang kesehatan.

2 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019


DAFTAR ISI

EDITORIAL
Preeklampsia dan Target Penurunan Angka Kematian Ibu
Berdasarkan SDGs (MP) ......................................................................................... 4

ARTIKEL PENELITIAN
Hubungan Leukosituria dan Bakteriuria dengan Kelahiran Prematur
dan Aterm pada Preeklamsia di RSUD Ulin Banjarmasin
(HERMIN S, PRIBAKTI B.) .......................................................................................... 5

Mewaspadai Lebih Dini Oklusi Vena Retina Sentral


(PANDE MADE GUSTIANA) ....................................................................................... 10

TINJAUAN PUSTAKA
Konjungtivitis Vernal
(MADE DESSY GANGGA AYU CINTHIADEWI) ............................................................... 18

Skrining Penyakit Arteri Perifer di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama di


Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur (Sebuah Perbandingan
Faktor Risiko Simptomatik dan Asimptomatik Pada Penyakit Arteri Perifer)
(NALDO SOFIAN, STEPHANIE WIBISONO) ................................................................... 26

LAPORAN KASUS
Hipertiroid dan Lupus Eritematosus Sistemik
(ANIK WIDIJANTI, ELLA MELISSA L.) .............................................................................. 34

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 3


EDITORIAL

Preeklampsia dan Target Penurunan


Angka Kematian Ibu Berdasarkan SDGs
ecara global, angka kematian ibu di tahun 2013 Penanda keparahan di preeklampsia adalah ditandai
S sebesa r 210 kematian ibu per 100.000 kelahiran
hidup atau sekitar 800 perempuan meninggal per hari
dengan tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih, pro -
teiunuria 2+, terjadinya kejang (eklampsia), gangguan
karena komplikasi kehamilan atau persalinan dan 99% penglihatan, nyeri abdomen atas, terjadi trombositopenia,
terjadi di negara berkembang. Kondisi ini masih sangat hemolisis, pertumbuhan janin terhambat, edema paru,
jauh dari target Millenium Development Goals (MDGs). dan oliguria. Proteinuria dan hipertensi adalah manifes-
Komplikasi u tama yang menjelaskan hampir 75% tasi klinis yang dominan pada preeklampsia karena ginjal
kematian ibu adalah perdarahan 27%, preeklampsia dan menjadi target penyakit pada beberapa organ seperti
eklampsia 14%, infeksi 11%, partus macet 9%, dan kegagalan ginjal, kerusakan pada organ hati, dan terjadi-
komplikasi abortus 8%. Pada tahun 2014, di Asia nya perdarahan intracranial. Sedangkan kejang pada
Tenggara kematian ibu yang diakibatkan oleh pre- pasien preeklampsia meningkatkan angka kematian ibu
eklampsia sebesar 17% dan di Indonesia sebesar 25%. dan kematian janin dikarenakan terjadinya kolaps sirku-
Penyebab kematian ibu akibat preeklampsia dan lasi. Keterlibatan hepar pada preeklampsia-eklampsia
eklampsia di Indonesia masih cukup tinggi dibanding- adalah hal yang serius dan disertai dengan keterlibatan
kan dengan di Asia Tenggara atau dunia. organ lain terutama ginjal dan otak, bersama dengan
Di tahun 2015, sebanyak 193 negara sepakat me- hemolisis dan trombositopenia. Keadaan ini yang disebut
rubah Tujuan Pembangunan Millenial (MDGs) menjadi sindrom hemolisis elevated liver low platelet (HELLP).
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Di dalam Sindrom HELLP merupakan prediktor kuat terjadinya
target SDGs, kematian ibu diharapkan turun di bawah 70 kematian pada ibu hamil yang mengalami preeklampsia
per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2030. Dari data berat. Selama perjalanan klinis sindrom HELLP, kondisi
Riskesdas tahun 2018, dilaporkan penurunan jumlah ibu dan janin memburuk secara progresif dan terkadang
absolut kematian ibu dari 4.999 Ibu (tahun 2015) men- terjadi secara tiba-tiba. Oleh karena itu, pelayanan rawat
jadi 4.295 Ibu (tahun 2017). Penurunan jumlah absolut inap yang cepat dan observasi di pelayanan kesehatan
kematian bayi dari 33.278 bayi (tahun 2015) menjadi dan diharuskan untuk terminasi kehamilan. Penilaian
27.875 bayi (tahun 2017) di seluruh Indonesia. Namun dan stabilisasi pada kondisi ibu, khususnya kelainan
angka ini masih di atas target SDGs tentunya. koagulasi adalah yang paling penting dan rujukan ke
Preklampsia merupakan gangguan dengan etiologi pusat perawatan tersier yang harus dipertimbangkan
yang tidak diketahui secara khusus pada perempuan dan pentingnya antenatal care dan mengontrol tekanan
hamil. Bentuk sindrom ini ditandai oleh hipertensi, dan darah agar tidak terjadi sindom HELLP. Antenatal care
proteinuria yang terjadi setelah minggu ke-20 kehamilan. memiliki tujuan khusus untuk mengenali tanda penyulit
Eklampsia adalah preeklampsia yang ditandai den- gan kehamilan, persalinan dan nifas serta mengobati
adanya kejang. Eklampsia yang tidak dikendalikan penyakit yang dialami ibu hamil.
denga n baik akan dapat mengakibatkan kecacatan Di dalam edisi kali ini, Jurnal MEDIKA menghadirkan
menetap atau bahkan dapat menyebabkan kematian artikel penelitian berjudul “Hubungan Leukositoria dan
ibu dan bayi. Kejadian preeklampsia dan eklampsia Bakteriuria Dengan Kelahiran Prematur dan Aterm Pada
berkisar 5 – 10% dari seluruh kehamilan. Faktor risiko Preeklampsia di RSUD Ulin Banjarmasin”. Penelitian
untuk terjadinya preeklampsia adalah usia ibu (kurang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan leukosituria
dari 16 tahun atau lebih dari 45 tahun), primigravida, dan bakteriuria dengan kejadian kelahiran prematur
adanya hipertensi sebelum kehamilan, kehamilan pada preeklampsia. Tentunya diharapkan dengan
ganda, kehamilan mola, obesitas, riwayat preeklampsia hadirny a artikel penelitian ini dapat menambah
pada kehamilan sebelumnya. Di antara faktor-faktor wawasan dan pemahaman terkait preeklampsia dan
yang ditemukan, sulit ditentukan faktor yang menjadi upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah
penyebab utama dari preklampsia dan eklampsia ini. kondisi lebih buruk dari ibu dan janin. (MP)

4 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019


ARTIKEL PENELITIAN

Hubungan Leukosituria dan Bakteriuria


dengan Kelahiran Prematur dan Aterm
pada Preeklamsia di RSUD Ulin
Banjarmasin

Abstrak
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyakit yang sering ditemukan pada ibu hamil, namun
kebanyakan tidak diobati karena dianggap suatu penyakit yang biasa. Ibu hamil dengan ISK pada
umumnya akan merasa terganggu jika disertai dengan manifestasi klinis nyeri saat berkemih. ISK
dapat terjadi pada ibu hamil dengan preeklamsia. Tatalaksana pasien dengan preeklamsia,
dilakukan pemeriksaan urin lengkap (+sedimen). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah
terdapat hubungan leukosituria dan bakteriuria dengan kelahiran prematur pasien dengan
preeklamsia di RSUD Ulin Banjarmasin. Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik
secara retrospektifberupa cross sectional. Data hasil pemeriksaan urin lengkap (+ sedimen) diambil
dari rekam medis pasien preeklamsia kelahiran prematur dan aterm yang rawat inap di RSUD Ulin
Banjarmasin periode Januari 2017 – Desember 2017, dengan menggunakan metode nonpropability
dan metode purposive sampling. Data dianalisa dengan menggunakan SPSS bivariat chi square.
Penghitungan OR (Odds Ratio) dan CI (confidence interval) dengan menggunakan binarry logistic.
Hasil penelitian terdapat hubungan bermakna leukositoria, bakteriuria dan usia <30 tahun dengan
kelahiran prematur pada preeklamsiayang ditunjukkan P value kurang dari 0,05. Untuk leukosituria
nilai OR =5.850 pada preklamsia lahir preterm meningkat 6 kali lipat dibanding pada preeklamsia
lahir aterm dengan 95% CI (2.905-11.783). Untuk bakteriuria nilai OR =10.810 artinya pada
preeklamsia lahir preterm 11 kali lipat meningkat dibandingkan dengan preeklamsia lahiraterm
dengan 95% CI (4.045-28.893). Untuk usia pasien rata-rata lahir preterm < 30 tahun sebesar 44%
dan usia >30 tahun sebesar 59.4% diperoleh OR=1.869 artinya pada pasienusia <30 tahun lahir
preterm sebanyak 2 kali dibandingkan usia pasien >30 tahun dengan 95% CI (1.056 - 3.310).
Kesimpulan: Terdapat hubungan leukosituria dan bakteriuria dengan kelahiran prematur
preeklamsia.

Kata Kunci: Preeklamsia, Preterm , Infeksi Saluran Kemih

Abstract
Urinary tract infection (UTI) is a disease that is often found in pregnant women, but mostare not treated
HERMIN S,
because it is considered a common disease. UTI may occur in pregnant women with preeclampsia.
PRIBAKTI B. Management of patients with preeclampsia is performcomplete urine examination. The purpose of this
study is to determine whether there is a correlation of leukocituria and bacteriuria with preterm delivery
Departemen Obstetri dan of patients with preeclampsia at RSUD Ulin Banjarmasin. This study uses retrospective observational
Ginekologi Fakultas analytic (cross sectional). The complete urine laboratory data (+ sediments) was taken from the medical
Kedokteran Universitas record of Inpatients with preeclampsia preterm and aterm birth in RSUD Ulin Banjarmasin from January
Lambung Mangkurat until December 2017, using nonpropability and purposive sampling methods. Data were analysis using
Banjarmasin SPSS bivariate chi square. Calculation of OR (Odds Ratio) and CI (confidence interval ) by using

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 5


Hubungan Leukosituria dan Bakteriuria dengan Kelahiran Prematur dan Aterm pada Preeklamsia di RSUD Ulin Banjarmasin. 5–9

binarrylogis tic. The results of this study showed a significant 1,8% - 18%. Di Amerika Serikat angka kejadian PE
correlation of leukocituria,bacteriuria and age <30 years with berkisar 3,4%, dan meningkat 1,5-2x lipat pada ibu
preterm birth with P value < 0.05. For leukocituria the OR = 5,850
nulipara.6 Penyebab PE antara lain adalah me-
in preeclampsia preterm birth 6 times increased in comparison to
preeclampsia aterm birth with 95% CI (2,905-11,783). For miliki riwayat preeklamsia, nulliparitas, usia ibu
bacteriuria the OR = 10,810 means that preeclampisa preterm >40 tahun, kehamilan kembar, penyakit komorbid
birth was 11 times increased in comparison to preeclampsia aterm yang menyertai kehamilan seperti Diabetes
birth with 95% CI (4,045-28,893). For the mean age of patients Melitus Gestasional, obesitas, gagal ginjal maupun
preterm birth <30 years are 44% and age> 30 years are 59.4%
berkaitan dengan radikal bebas.7
obtained OR= 1.869, it means that age <30 years of preterm birth
2 times in comparison to age> 30 years with 95% CI (1.056 - 3.310).
ISK dapat terjadi pada ibu hamil dengan
Conclusion: There is a correlation of leukocituria and bacteriuria preeklamsia. Dilaporkan ISK secara signifikan lebih
with preeclampsia preterm births. sering terjadi pada wanita hamil dengan PE
dibandingkan dengan hamil tanpa PE.Pada tata-
Keywords: Preeclampsia, Preterm, Urinary Tract Infection laksana pasien ISK asimptomatik, pemeriksaan
kultur urin merupakan “gold standar”. Dikatakan
bacteriuria asimptomatik positif jika pada kultur
Pendahuluan urin didapatkan 105 pembentuk koloni unit per
nfeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyakit militer (CFU /ml). Hanya saja dilapangan terdapat
I yang sering ditemukan pada ibu hamil. Penyakit
ini kebanyakan tidak diobati karena dianggap
kendala dalam penegakan diagnosis ISK dengan
pemeriksaan kultur urin, selain biaya yang relatif
suatu hal yang biasa dan akan hilang dengan mahal juga butuh waktu yang lama. Padahal di-
sendirinya. Ibu hamil dengan ISK pada umumnya mung kinkan pemeriksaan urin lengkap (+sedi-
akan merasa terganggu jika disertai dengan men) dapat menjadi salah satu alternatif pene-
manifestasi klinis yang menganggu aktivitas.1 ISK gakan diagnosis ISK dalam kehamilan dengan
pada kehamilan dibagi dua yaitu asimptomatik hasil terlihat peningkatan leukosit dan terdapat
dan simptomatik. ISK asimptomatik pada tidaknya bakteri pada urin.8
kehamilan bila tidak diobati dapat menyebabkan Berdasarkan teori menjelaskan bahwa terjadi-
prognosis yang buruk pada bayi karena banyak nya kelahiran prematur pada PE akibat terjadinya
terjadi persalinan premature.2 ISK pada kehamilan spasmus pembuluh darah sehingga aliran darah
bila tidak diobati sekitar 30% akan menyebabkan ke plasenta menurun yang mengakibatkan gang-
sistitis dan 50% pielonefritis pada ibu hamil.3 guan fungsi plasenta dan spasme arteriol pada tali
Insiden terjadinya ISK selama kehamilan pusat . Jika spasme berlangsung lama selain akan
meningkat sesuai dengan usia kehamilan ibu mengganggu pertumbuhan janin juga pening -
denga n prevalensi ISK pada kehamilan di Asia katan tonus dan kepekaan uterus menimbulkan
sebesar 28,7%, 30,1% pada orang kulit hitam dan rangsangan terjadinya persalinan prematur.9
41,1% Hispanik. Pasien hamil memiliki 5 kali lipat Persalinan prematur juga dapat disebabkan
risiko peningkatan kejadian bakteriuria dibanding- oleh infeksi selaput ketuban akibat ISK. Proses
kan dengan pasien tidak hamil.4 infeksi diawali dengan adanya pengeluaran pro-
Preeklampsia (PE) adalah salah satu penyebab duk sebagai hasil dari aktifasi monosit, interleukin-1
utama morbiditas dan mortalitas ibu dan perina- (IL-1), tumor necrosis faktor (TNF), interleukin-6 (IL-6),
tal di negara berkembang. PE didefinisikan seba- sitokin-sitokin yang diekspresikan tubuh ber -
gai adanya peningkatan tekanan darah pada ibu hubungan dengan persalinan prematur. Platelet
hamil sebesar 140 mmHg untuk tekanan sistolik, Activating Factor (PAF) ditemukan dalam cairan
dan 90 mmHg untuk tekanan diastolik, pada ibu ketuban bekerja. PAF secara sinergistik dengan
hamil dengan usia kehamilan diatas 20 minggu.5 aktivitas jalinan kerja sitokin (cytokine network). PAF
WHO memperkirakan kasus PE tujuh kali lebih ini diperkirakan dihasilkan dalam paru dan ginjal
tinggi di negara berkembang daripada di negara janin sehingga janin memainkan peran sinergistik
maju. Prevalensi PE di negara maju adalah 1,3% - dalam mengawali proses persalinan prematur
6%, sedangkan di negara berkembang adalah yang disebabkan karena infeksi. Saat ini yang

6 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019


HERMIN S, PRIBAKTI B. 5–9

menjadi pertanyaan adalah bagaimana jalur lengkap (+sedimen) yang meliputi leukosit uria
infeksi kedalam air ketuban dengan selapu t dan bakteriuria.
ketuban yang u tuh? Ternyata E-coli sebagai Adapun kriteria inklusi: pasien PE lahir
penyebab terbanyak ISK dalam kehamilan bisa preterm umur kehamilan < 37 minggu dan PE lahir
menembus melalui selaput ketuban (membran aterm umur kehamilan <37 minggu, jumlah lekosit
khorioamnion) yang masih u tuh. Dengan dan ada tidaknya bakteri di sedimen pada
demikian selaput ketuban utuh pada servik tidak pemeriksaan urin lengkap (+sedimen) yang ter-
bisa dipakai sebagai barier terhadap invasi kuman catat di rekam medis. Untuk kriteria eksklusi: bila
dari bawah.4 data hasil pemeriksaan urin lengkap (+sedimen)
Sampai saat ini belum ada penelitian bahwa ISK tidak tercantum secara lengkap atau tidak jelas.
menjadi salah satu faktor risiko yang menyebab- Kelompok kontrol adalah pasien dengan diagnosis
kan terjadinya kelahiran prematur pada pasien PE kelahiran aterm yang mempunyai data
hamil dengan PE. Untuk itu dilakukan penelitian. pemeriksaan urin lengkap (+sedimen) di rekam
Adapun tujuan penelitian ini peneliti ingin menge- medis. Pemeriksaan jumlah leukosit dan ada
tahui hubungan peningkatan leukosit dan adanya tidaknya bakteri dengan menggunakan metode
bakteri pada pemeriksaan urin lengkap (+sedi- manual mikroskop. Nilai normal leukosit (sedi-
men) pada pasien yang terdiagnosis hamil dengan men) urinalisa: 0-3, sedangkan nilai normal bakteri
PE yang lahir prematur dibandingkan dengan lahir pada urinalisa: negatif. Data kemudian dianalisa
aterm. Manfaat dari hasil penelitian ini dapat di- dengan menggunakan SPSS dimana merupakan
gunakan sebagai dasar penelitian lanjut manfaat analisis bivariat dengan menggunakan chi square.
pemeriksaan urin lengkap (+sedimen) terhadap Penghitungan OR (Odds Ratio) dan CI (confidence
peningkatan persalinan prematur pada kehamilan interval) menggunakan binarry logistic dan P value
dengan PE. kurang dari 0,05 dianggap bermakna secara
statistik.
Bahan dan Metode
Penelitian ini menggunakan metode observa- Hasil Penelitian
sional analitik secara retrospektif berupa cross Sebanyak 204 sampel penelitian yang meme-
sectional. Metode penelitian ini dimaksud menilai nuhi kriteria inklusi yang terbagi menjadi dua
variabel terikat dan variabel bebas pada waktu bagian yaitu pasien dengan PE kelahiran preterm
tertent u. Variabel bebas dalam penelitian ini sebanyak 102 sampel dan pasien PE kelahiran
adalah jumlah leukosit urin dan bakteriuria dan aterm sebanyak 102 sampel. Berdasarkan karak-
variabel terikatnya adalah pasien PE lahir preterm teristik sampel penelitian dan hubungan antar
dan preeklamsia lahir aterm. Data diambil dari variabel yang merupakan faktor risiko lahir
hasil laboratorium urin lengkap (+ sedimen) dari pretem dan usia pasien PE dapat dilihat pada tabel
rekam medis pasien hamil preterm dan aterm 1,2 dan 3.
dengan PE yang rawat inap di RSUD.Ulin Banjar- Tabel 1, menunjukkan terdapat hubungan sig-
masin pada periode Januari 2017–Desember 2017. nifikan leukosituria pada pasien PE lahir preterm.
Sampel penelitian dipilih dengan metode Nilai OR sebesar 5.850 menunjukkan terjadinya
pembatasan waktu. Teknik pengambilan sampel lekosituria pada PE lahir preterm meningkat 6 kali
denga n menggunakan metode nonpropability lipat dibandingkan lahir aterm dengan 95% CI
diikuti metode purposive sampling. Sebanyak 204 (2.905 - 11.783)
sampel yang memenuhi kriteria Inklusi dibagi Tabel 2, menunjukkan terdapat hubungan sig-
menjadi 2 bagian yaitu 102 sampel urin lengkap nifikan bakteriuria pada PE lahir preterm dengan P
(+sedimen) pasien dengan PE lahir preterm dan value kurang dari 0,05. Nilai OR sebesar 10.810
102 sampel urin lengkap pasien PE lahir aterm. menunjukkan bakteriuria pada PE lahir preterm
Data pasien yang ditetapkan sebagai sampel meningkat 11 kali lipat dibandingkan dengan PE
diambil dari rekam medis berupa identitas pasien lahir aterm dengan 95% CI (4.045 - 28.893).
(usia), dan hasil laboratorium pemeriksaan urin Tabel 3, usia rata-rata pasien preeklamsia pada

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 7


Hubungan Leukosituria dan Bakteriuria dengan Kelahiran Prematur dan Aterm pada Preeklamsia di RSUD Ulin Banjarmasin. 5–9

Tabel 1. Kejadian leukosituria berdasarkan karakteristik sampel penelitian

Tabel 2. Kejadian bakteriuria berdasarkan karakteristik sampel penelitian

Tabel 3. Rata-rata usia pasien sampel penelitian

sampel penelitian dengan PE kelahiran preterm dengan PE lahir aterm dengan 95% CI ( 4.045 -
dan kelahiran aterm dengan usia < 30 tahun sebe- 28.893). Didapatkan OR =1,869 menunjukkan usia
sar 44% dan usia > 30 tahun sebesar 59.4%. pasien PE kelahiran perterm usia<30 tahun
Didapatkan OR sebesar 1,869 menunjukkan pada meningkat sebanyak 2 kali dibandingkan usia >30
pasien usia <30 tahun meningkat sebanyak 2 kali tahun dengan 95% CI (1.056 -3.310).
dibandingkan usia >30 tahun dengan 95% CI Hubungan ISK pada kejadian PE telah diteliti
(1.056 - 3.310). Easter SR dkk (2015) dengan 129 wanita yang dari
235 pasien yang terdiagnosa PE pada trimester
Pembahasan ketiga.10 Izadi BT dkk (2015) dalam penelitiannya
Pada hasil penelitian ini didapatkan hubungan bahwa ISK secara signifikan lebih sering terjadi
signifikan antara leukositoria,bakteriuria dan usia pada wanita hamil dengan PE dibandingkan
<30 tahun pada PE kelahiran preterm tampak dengan hamil normal.11 Hasil yang sama pada
pada tabel 1,2, dan 3 yang menunjukkan P value penelitian dilakukan Anselmus AP dkk (2015) di
kurang dari 0,05. Nilai OR = 5.850 menunjukkan ruangan bersalin dan poli hamil RS M Soewandi
lekosituria pada PE lahir preterm meningkat 5 kali Surabaya menunjukkan terjadi peningkatan
lipat dibanding pada PE lahir aterm dengan 95 % insiden ISK sebanyak 6,22 kali lebih tinggi pada
CI (2.905- 11.783). Sedangkan Nilai OR = 10.810 pasien dengan PE dibandingkan hamil tanpa PE.
menunjukkan bakteriuria pada PE lahir preterm Skrining bakteriuria dapat ditambahkan pada
sebanyak 11 kali lipat meningkat dibandingkan pemeriksaan ru tin semua ibu hamil untuk

8 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019


HERMIN S, PRIBAKTI B. 5–9

mengurangi resiko persalinan premature pada an urin lengkap (+ sedimen) pada kunjungan per-
pasien hamil dengan PE.12 tama dan mengulanginya di trimester dua dan tiga
Pada penelitian ini diambil rata-rata usia pasien ibu hamil untuk menentukan ada tidaknya ISK.
pada PE lahir preterm dimana pada sampel ter-
muda berumur 18 tahun dan sampel usia tertua Daftar Pustaka
1. Cunningham F,Leveno K,Bloom S,Spong CY,Dashe J, Cashe,
yaitu 42 tahun. Untuk mendapatkan nilai rata-rata
Hoffman.2018. Renal and Urinary Tract Disorders. William
usia pasien pada persalinan preterm, maka usia Obstetrics 25/E: McGraw-Hill Education. p. 1600-26.
tertua dikurang usia termuda yaitu 42-18 tahun 2. McCormick T, Ashe RG. Kearny PM. 2008. Urinary Tract
didapatkan 24 tahun. Sampel 24 tahun ini dibagi Infection in Pregnancy. The Obstetrician&Gynecolgist.10 (3)
dua kemudian ditambahkan dengan usia termuda p.156-62.
yaitu 18 dan didapatkan rata-rata usia sampel 30 3. Lessabdra M, Rasia, Guillherme, and Comparsi, Eduardo.
2016. Urinary Tract Infection in Pregnancy: Review of Clinical
tahun. Untuk itu, sampel dibagi menjadi dua yaitu
Management. J Clin Nephrol Res 3(1): 1030.
usia <30 tahun dan usia> 30 tahun. Usia rata-rata 4. Berghella V.Preterm Labor. 2017. Obstetric Evidance Based
pasien preeklamsia pada sampel penelitian de- Guidelines. Third Edition.p.213-27.
ngan PE lahir preterm dan PE lahir aterm dengan 5. Roberts, James M, August Phyl lis A, Bakris, George,
usia < 30 tahun sebesar 44% dan usia > 30 tahun Barton,John R..2013. Prediction of Preeclampsia. Hypertension
in Pregnancy. American Col lege o f Obstetricians and
sebesar 59.4%. OR menunjukkan usia <30 tahun
Gynecologist. Washington. p. 21-23.
meningkat sebanyak 2 kali dibandingkan usia >30 6. Pribakti B, 2017. Infeksi Saluran Kemih Pada Kehamilan. Kapita
tahun. 95% CI (1.056 - 3.310). Selekta Uroginekologi. PT.Grafika Wangi Kalimantan.H.27-39.
Keterbatasan penelitian ini adalah penelitian 7. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.2016.
bersifat retrospektif dengan mengambil data hasil Diagnosis dan Tata Laksana Pre-Eklamsia. Pedoman Nasional
pemeriksaan urin lengkap (+ sedimen) berupa Pelayanan Kedokteran. POGI. Jakarta. H. 6-7.
8. Minardi D,2011.Urinary tract infections in women: Etiology and
leukosituria dan bakteriuria sehingga menimbul-
Treatment Options. Int J Gen Med. P 333-343.
kan bias yang diperoleh dari beberapa flora yang 9. Mutianingsih R.2013.Hubungan Preeklamsi Berat dengan
berada di dekat saluran kemih dan penggunaan kelahiran preterm di rumah sakit umum propinsi NTB, Naskah
alat kateter yang dapat menyebabkan hasil positif Publikasi. Universitas Nahlatul Watahan Mataram.
pemeriksaan jumlah leukosit dan terdapatnya 10. Easter S.R, Cantownwine D.E. Chloe A,Zera, Li m H.K, Samuel.
2015. Urinary Tract Infection during Pregnancy, Angiogenic
bakteriuria.
Factor Profiles, and Risk of Preeclampsia.p.2-30.
11. Izadi B, Rostami,Zahra, Jalilian, Nasrin, Khazaei, Sadigheh,
Kesimpulan dan Saran Amiri Amir, Madani, S.H, and Far, M.R. 2015. Urinary Tract
Terdapat hubungan leukosituria dan bakteri- Infection (UTI) as a Risk Factor of Severe Preeclampsia.
uria dengan kejadian kelahiran prematur pada PE. 8(9):1916-9376.
Untuk itu dengan mempertimbangkan pentingnya 12. Anselmus AP, Ery GD, 2015. Hubungan Infeksi Saluran Kemih
dengan kejadian preeklamsia di ruang bersalin dan poli hamil
pencegahan terjadinya kelahiran prematur, maka
RSUD DR M Soewandi Surabaya. Abstrak. Thesis Universitas
peneliti menyarankan untuk dilakukan pemeriksa- Airlangga.

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 9


ARTIKEL PENELITIAN

Mewaspadai Lebih Dini Oklusi Vena


Retina Sentral

Abstrak
Retinal vein occlusion (RVO) merupakan suatu penyakit yang diakibatkan adanya sumbatan baik
partial ataupun complete pada vena retina yang mengakibatkan gangguan aliran darah di dalam
bola mata. Sumbatan pada vena retina yang terjadi pada bagian posterior optic disc disebut Central
Retinal Vein Occulsion (CRVO) dan sumbatan yang partial ataupun complate pada cabang dari vena
retina sentral disebut Branch Retinal Vein Ocllusion (BRVO). Faktor risiko utama pada CRVO dan BRVO
adalah usia. Dimana muncul terutama pada individu dengan umur lebih dari 65 tahun. Tanda
utama dari oklusi vena retina sentral adalah adanya penurunan tajam pengelihatan tanpa disertai
rasa sakit. Kondisi ini dapat berlangsung progresif hingga menyebabkan hilangnya pengelihatan.
Tatalaksana oklusi vena retina sentral terdiri dari pengobatan farmakologi dan penanganan bedah.
Bedah laser adalah pilihan terapi yang dapat dipilih untuk digunakan pada pasien dengan CRVO.

Kata kunci: Oklusi vena retina sentral, RVO, anti-VEGF, bedah laser

Abstract
Retinal vein occlusion (RVO) is a disease caused by either partial or complete blockage of the retinal vein
which results in impaired blood flow in the eyeball. Blockage in the retinal vein that occurs in the posterior
optic disc is called Central Retinal Vein Occlusion (CRVO) and partial or complate blockage in the branches
of the central retinal vein called the Branch Retinal Vein Ocllusion (BRVO). The main risk factors for CRVO
and BRVO are age. Where it appears especially in individuals over the age of 65 years. The main sign of
central retinal vein occlusion is decrease in visual acuity without pain. This condition can progressively
leading to loss of vision. Management of central retinal vein occlusion consists of pharmacological
treatment and surgical treatment. Laser surgery is a therapeutic choice that can be chosen for use in
patients with CRVO.

Keywords: Central retinal vein occlusion, RVO, anti-VEGF, laser surgery

Pendahuluan
klusi vena retina sentral merupakan suatu keadaan dimana terjadi penu-
O runan aliran darah yang diakibatkan adanya sumbatan pada vena retina
sentral sehingga menyebabkan gangguan pada bagian dalam retina.
Penyumbatan vena retina dapat terjadi pada suatu cabang kecil ataupun
pembuluh vena utama sehingga memberi gejala sesuai dengan daerah yang
PANDE MADE terkena.1 Retina merupakan bagian yang paling penting dari mata dimana
GUSTIANA retina berfungsi menerima rangsang cahaya dan merubahnya menjadi impuls
saraf yang diteruskan ke kortek cerebri.2 Tanda utama dari oklusi vena retina
Fakultas Kedokteran sentral adalah adanya penurunan tajam pengelihatan tanpa disertai rasa sakit.
Universitas Warmadewa Kondisi ini dapat berlangsung progresif hingga menyebabkan kehilangan

10 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019


PANDE MADE GUSTIANA. 10–17

pengelihatan yang berat pada mata yang terkena.3 CRVO ditemukan edema makula yang berkem-
bang dalam waktu 2 bulan, dimana 50% penderita
1.2 Definisi BRVO dan 100% penderita CRVO mengalami
Oklusi vena retina atau RVO (Retinal Vein gangguan penglihatan akibat edema makula.4
Occlusion) adalah adanya sumbatan baik partial
ataupun complete dari vena retina yang mengaki- 1.4 Patofisiologi
batkan gangguan aliran darah di dalam bola mata. Patofisiologi retinal vein occlusion (RVO) terdiri
Oklusi vena retina diklasifikasikan berdasarkan dari tiga komponen berdasarkan Triad Virchow,
lokasi sumbatannya. Sumbatan pada vena retina yaitu abnormalitas dinding pembuluh darah,
yang terjadi pada bagian posterior optic disc perubahan dalam darah (misalnya, kelainan
disebu t Central Retinal Vein Occulsion (CRVO) dan viskositas dan koagulasi), dan perubahan dalam
sumbatan yang partial ataupun complate pada aliran darah.5
cabang dari vena retina sentral disebut Branch
Retinal Vein Ocllusion (BRVO). Oklusi vena retina
melibatkan beberapa mekanisme, diantaranya
adanya penurunan seluruh ataupun sebagian
aliran darah vena pada sirkulasi retina disertai
dengan berbagai tingkat kebocoran vaskular
retina, yang mengarah pada edema makula dan
peningkatan tekanan intravena, sehingga akhirnya
menyebabkan perdarahan intraretinal dan
kebutaan.1

1.3 Epidemiologi
Pada tahun 2008, Amerika Serikat melaporkan
terdapat 500 kasus baru CRVO per 100.000 pen-
duduk dan 1.800 kasus BRVO per 100.000 pen-
duduk. Baik CRVO maupun BRVO memiliki pening-
katan angka kejadian dan prevalensi seiring ber-
tambahnya usia. Data di Australia menunjukkan Gambar 1. Anatomi Bola Mata
bahwa prevalensi RVO adalah 0,7% bagi mereka (Dikutip dari kepustakaan 15)
yang usianya lebih muda dari 60 tahun, 1,2%
untuk usia 60-69 tahun, 2,1% untuk usia 70-79
tahun, dan meningkat menjadi 4,6% pada orang 1.4.1 Abnormalitas dinding pembuluh darah
yang berusia 80 tahun atau lebih. Kebanyakan CRVO biasanya terjadi di area lamina cribrosa.
pasien yang menderita oklusi vena retina ditemu- Di area ini vena dan arteri memiliki kesamaan
kan unilateral. Pada CRVO, yang bersifat bilateral pada lapisan adventisial. Oleh karena itu meka-
ditemukan dibawah 10%. Sedangkan pada BRVO nisme penyempitan vena yang berdinding tipis
hanya 5% pasien menderita pada kedua mata saat yang diakibatkan karena adanya arteriosklerosis,
didiagnosis.4 dan ini dihubungkan dengan dinding arteri yang
Gangguan pengelihatan lebih sering terjadi kaku dan tebal, dipercaya memainkan peran
pada CRVO daripada BRVO. Edema makula adalah dalam patogenesis CRVO.5
penyebab utama gangguan penglihatan. Diper-
kirakan sekitar 11.600 orang dengan BRVO dan 1.4.2 Perubahan dalam darah
5.700 orang dengan CRVO menderita gangguan a) Thrombosis
pengelihatan karena edema makula setiap tahun Thrombosis dan trombofilia memiliki dampak
di Inggris dan Wales. Berdasarkan data insiden terkecil dari ketiga komponen Triad Vircho w.
tahunan, 85% penderita BRVO dan 75% penderita Meskipun demikian, trombo filia memainkan

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 11


Mewaspadai Lebih Dini Oklusi Vena Retina Sentral. 10–17

peran dalam beberapa kasus RVO. Trombofilia Oklusi pada vena retina dapat menyebabkan
adalah kelainan pembekuan darah dimana terjadi terjadinya iskemia pada jaringan retina. Bila
peningkatan risiko terjadinya pembekuan darah, terjad i iskemia retina, akan mengakibatkan
akibat mu tasi genetic pada gen prokoagulan pengeluaran Vascular Endothelial Growth Factor
faktor V. Mutasi genetik tersebut menghasilkan (VEGF). Dimana VEGF ini berfungsi membuat
resistensi terhadap efek dari protein aktif C yang pembuluh darah baru dan mengembalikan suplai
berfungsi sebagai antikoagulan faktor dan ini oksigen bila terjadi keadaan hipoksia jaringan. Bila
menyebabkan terjadinya trombofilia.6 terjadi pengeluaran VEGF berlebihan akan
mengakibatkan terjadinya kenaikan permeabilitas
b) Viskositas vaskular yang berakibat edema makula dan perda-
Viskositas adalah resistensi terhadap aliran rahan retina, serta terbentuknya neovaskularisasi
cairan yang disebabkan oleh gesekan antara dua di iris dan retina yang mengakibatkan perdarahan
lapisan cairan yang berdekatan. Viskositas ter- vitreous dan glaukoma neovaskular.7
gantung pada suhu, dimana viskositas meningkat
saat suhu menurun. Penyebab utama viskositas 1.5 Etiologi dan Faktor Risiko
darah adalah hematokrit dan plasma fibrinogen. Etiologi yang tepat dari RVO masih sulit
Semakin besar jumlah sel darah merah per satuan dimengerti, dan hal ini cenderung berhubungan
volume, semakin besar agregasi sel darah merah. dengan adanya thrombosis. Pada CRVO penyum-
Fibrinogen adalah molekul penghubung dalam batan terjadi pada aliran vena di daerah lamina
agregasi sel darah merah. Viskositas darah cribrosa. Dimana pembentukan thrombus yang
meningkat bila hematokrit meningkat. Karena terjadi di vena retina sentral menyebabkan ter-
sirkulasi vena retina ditandai dengan aliran yang ganggunya aliran darah. Sementara, pada BRVO
rendah dan resistensi pembuluh darah yang tinggi penyumbatan biasanya terjadi dipersilangan
dimana ini terutama dipengaruhi oleh viskositas arteriovenous.7 Adapaun beberapa faktor risiko
darah. Agregasi eritrosit adalah hal u tama yang menyebabkan terjadinya CRVO, yaitu:
penentu viskositas darah pada aliran rendah dan
telah ditemukan meningkat di CRVO pada 1) Umur
beberap a studi. Stagnasi aliran darah dapat Faktor risiko u tama pada CRVO dan BRVO
menjadi penyebab adanya trombosis dalam RVO adalah usia. RVO muncul terutama pada individu
dan dapat memperburuk iskemia bila RVO telah dengan umur yang lebih tua, lebih dari 50% kasus
terjadi.6 terjadi pada orang dengan umur lebih dari 65
tahun. Meskipun CRVO dapat terjadi pada usia
1.4.2 Perubahan dalam aliran darah yang lebih muda dan menyebabkan kehilangan
Pada kasus CRVO, thrombosis yang terdapat penglihatan yang parah, 90% pasien dengan umur
pada vena retina sentral menyebabkan berku- lebih dari 50 tahun ditemukan pada saat terjadi-
rangnya kecepatan aliran darah di vena retina nya onset penyakit.8
sentr al dan arteri pada mata, dibandingkan
dengan mata yang normal. Kecepatan berkurang 2) Hipertensi dan Diabetes Mellitus
lebih banyak dalam vena retina sentral daripada Hipertensi sistemik adalah faktor risiko inde-
arteri retina sentral dan lebih rendah pada mata penden terkuat yang berkaitan dengan semua
dengan CRVO iskemik. Menurut hipotesis semakin jenis RVO, terutama pada kelompok usia yang
ke anterior thrombus semakin lamban perfusi dari lebih tua diatas 50 tahun. Hipertensi yang tidak
retina dan semakin iskemik tempat terjadinya terkontrol atau baru didiagnosis sering terjadi
oklusi tersebut. Sama seperti CRVO, hal ini juga dalam RVO, dan kekambuhan RVO pada mata
berlaku pada kasus BRVO, dimana terjadi yang terkena atau pada mata normal juga muncul
pengurangan aliran, kecepatan, dan volume darah pada hipertensi yang tidak terkontrol dengan baik.
pada cabang vena retina dan daerah retina yang Sebuah studi juga menyebutkan adanya hubung-
terkena.6 an erat antara hipertensi dengan CRVO dan BRVO.

12 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019


PANDE MADE GUSTIANA. 10–17

Hubungan diabetes mellitus dengan RVO lebih antiphospholipid dengan CRVO.7


lemah dan belum ditemukan konsisten pada
semua studi. Hubungannya dengan CRVO 5) Kontrasepsi Oral dan Merokok
mungkin lebih kuat daripada dengan BRVO.7
1.6 Klasifikasi CRVO
3) Glaukoma Sudut Terbuka 1. Non-Ischemic CRVO
Peningkatan tekanan intraokuler jarang men- CRVO non-iskemia adalah tipe yang paling
jadi penyebab oklusi vena sentral namun memiliki umum ditemukan dengan presentase sekitar 75%
potensi yang penting. Sering ditemukan pasien dari semua kasus CRVO.9 Karakteristik CRVO tipe
yang mengalami CRVO juga disertai peningkatan ini adalah adanya vena retina sentral yang me-
tekanan intraokuler atau glaukoma sudut terbuka lebar dan berkelok-kelok, dimana ini disebabkan
pada mata yang terkena saja atau di kedua mata. adanya sumbatan pada salah satu pembuluh
CRVO juga bisa diikuti pendangkalan sementara darah vena retina sentral. Perubahan lain yang
dari ruang anterior chamber, dalam beberapa dapat terjadi adalah adanya perdarahan berben-
kasus, dapat mengarah ke glaukoma sudu t tuk api (flame shape) atau perdarahan berbentuk
tertutup.8 titik (do t/blo t) pada semua kuadran retina.
Perdarahan ini disebabkan oklusi pada vena retina
4) Kelainan Hematologi dan Kondisi Sistemik sentral yang mengakibatkan peningkatan VEGF
Lainnya yang selanjutnya melemahkan dinding pembuluh
Kondisi yang menyebabkan peningkatan darah vena dan meningkatakan permeabilitas
viskositas darah seperti myeloproliferative disorders vaskular, dimana ini menyebabkan bocornya
jarang terjadi tetapi diketahui memiliki hubungan pembuluh darah vena dan merembesnya cairan
dengan CRVO. Demikian pula, sejumlah gangguan plasma dan darah ke retina.7 Karakteristik lainnya,
inflamasi sistemik langka yang menyebabkan yaitu edema makula dan optic disc yang juga
vaskulitis sistemik seperti penyakit Behcet dan diakibat kan merembesnya cairan plasma dan
poliarteritis nodosa juga menyebabkan vaskulitis darah ke jaringan retina.7 CRVO non-iskemia dapat
pada retina yang selanjutnya mengarah ke RVO, berubah menjadi CRVO iskemia pada 15% kasus
terutama pada kelompok usia yang lebih muda. dalam 4 bulan dan pada 34% kasus dalam 3 tahun.
Pada antiphospholipid syndrome (APS) antibodi Adanya cotton woll spot dapat dijumpai pada CRVO
terhad ap fosfolipid mengaktifkan kaskade tipe ini. Cotton woll spot atau disebut juga eksudat
koagulas i dan menyebabkan thrombosis pada lunak merupakan daerah infark atau jaringan yang
arteri dan vena. Penelitian lebih lanjut menun- mati akibat iskemia pada lapisan serabut saraf
jukkan hubungan yang signifikan antara sindrom retina karena adanya gangguan vaskularisasi

Gambar 2. A; Non ischemic CRVO. B; Cotton woll spot (ditunjuk panah)


(Dikutip dari kepustakaan 5 dan 9)

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 13


Mewaspadai Lebih Dini Oklusi Vena Retina Sentral. 10–17

ataupun adanya sumbatan pada pembuluh darah 1.7 Diagnosis


retina. Spo t iskemia ini berwarna pu tih dan 1.7.1 Gejala dan Tanda Klinis
muncul di superfisial dari retina dan berukuran ¼ Penderita CRVO non-iskemia biasanya memiliki
atau kurang dari ukuran area optic disc.10 gejala yang ringan, dengan keluhan kabur pada
salah satu mata. Penurunan tajam pengelihatan
2. Ischemic CRVO yang ringan sampai sedang pada salah satu mata
CRVO iskemia ditemukan sekitar 25% dari dengan visus biasanya 6/60 (20/200) atau lebih.
semua kasus CRVO. Beberapa karateristik pada Pada pasien CRVO non-iskemia juga kadang
CRVO tipe ini adalah ditemukan adanya vena ditemukan relative afferent pupillary defect (RAPD)
retina sentral yang sangat melebar dan berkelok- ringan atau kadang tidak ditemukan sama sekali.
kelok. Adanya perdarahan flame shape dan Sedangkan, pada penderita CRVO iskemia biasa-
dot/blot berat pada semua kuadran retina yang nya mengeluh pandangan kabur tiba-tiba tanpa
tersebar sampai ke perifer juga ditemukan pada disertai nyeri. Penurunan tajam penglihatan yang
tipe ini. Edema macula dan optic disc yang berat berat dengan visus dibawah 6/60. Adanya RAPD
disertai kemerahan yang diakibatkan penum - yang jelas terlihat pada pupil saat disinari cahaya.
pukan cairan dan darah pada jaringan retina. Pada CRVO iskemia yang sudah terjadi neovascu-
Adanya cotton woll spot yang sangat jelas dapat lariztion akan terdapat peningkatan tekanan
dijumpai pada CRVO tipe ini. Prognosis pada tipe intraokuler dan adanya glaukoma neovaskular.8,9
ini biasanya buruk akibat adanya iskemia pada
macula. Pada 50% kasus ischemic CRVO dapat 1.7.2 Pemeriksaan Penunjang
muncul Rubeosis Iridis antara 2 sampai 4 bulan. Pemeriksaan funduscopy CRVO non-iskemia
Rubeosis Iridis adalah suatu keadaan dimana akan terlihat gambaran vena retina sentral yang
munculnya neovaskularisasi pada iris. Neovas - melebar dan berkelok-kelok, perdarahan flame
culariztion adalah pembuluh darah baru yang shape atau dot/blot, dan edema makula dan optic
muncul sebagai respon dari adanya VEGF akibat disc. Sedangkan, funduscopy CRVO iskemia
iskemia jaringan retina. Pembuluh darah baru ini menunjukkan adanya vena retina sentral yang
sangat rapuh dan mudah pecah sehingga dapat sangat melebar dan berkelok-kelok, perdarahan
menimbulkan pendarahan pada retina dan vitre- flame shape dan dot/blot berat pada semua kuad-
ous. Pembuluh darah baru ini dapat muncul pada ran retina yang tersebar sampai ke perifer retina,
retina, iris, dan sekitarnya dan dapat menutup edema makula dan optic disc yang berat, cotton
sudut anterior mata (anterior chamber) sehingga woll spot, rubeosis iridis dan neovascularization
menyebabkan gangguan pada aliran aqueous pada kasus-kasus retina yang sangat iskemik.8,9
humor, serta menyebabkan peningkatan tekanan Pada CRVO non-iskemia, fundus fluorescein
intraokular yang disebut Glaucoma neovascular.9 angiography (FFA) menunjukkan adanya gambaran

Gambar 3. A; Fotografi Funduscopy Ischemic CRVO. B; Rubeosis Iridis


(Dikutip dari kepustakaan 9 dan 16 )

14 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019


PANDE MADE GUSTIANA. 10–17

Gambar 4. Pengelihatan pada penderita CRVO


(Dikutip dari kepustakaan 15)

pelebaran dan berkeloknya vena retina, tidak anti-inflamasi dari steroid menekan VEGF dan fak-
adanya daerah iskemia dan adanya perdarahan tor inflamasi lainnya (misalnya interleukin-1 atau
pada retina. Pada CRVO iskemia, pembuluh kapiler prostaglandin). Injeksi intravitreal kortikosteroid
sulit terlihat karena daerah tersebut sudah ditu- dilakukan dengan menyuntikan obat golongan
tupi perdarahan retina yang luas. Selain itu, pada steroid ke bagian belakang bola mata tepatnya ke
CRVO iskemia juga ditemukan adanya edema daerah vitrous. Dalam studi SCORE-CRVO pada sat
makula berat yang dapat diketahui bila pada FFA tahun, 27% pasien yang diobati dengan 1 mg
terlihat adanya akumulasi fluoresin pada daerah triamsinolon dan 26% dengan 4 mg triamsinolon
retina. CRVO dikatakan mendapat perfusi yang mengalami perbaikan pengelihatan pada tes
masih mencukupi bila area iskemia pada retina membaca ETDRS chart dibandingkan dengan 7%
ukurannya kurang dari 10 kali diameter optic disc. pasien dalam kelompok observasi. Sebuah studi
CRVO dikatakan tidak mendapat perfusi bila tentang pemberian fluosinolon asetonid selama
daerah iskemia pada retina ukurannya lebih dari 36 bulan menunjukkan peningkatan ketajaman
10 kali diameter optic disc dan ini ditemukan pada visual dan perbaikan anatomi pada edema
ischemic CRVO. 9,11 Pada pemeriksaan optical makula. Evaluasi injeksi deksametason intravitreal
coherence tomography (OCT) pada CRVO iskemia untuk penatalaksanaan CRVO juga meningkatkan
dan non-iskemia ditemukan adanya pembeng- hasil ketajaman penglihatan selama periode 6
kakan pada macula. Dimana pada CRVO iskemia bulan.8
edema macula lebih persisten dan disertai retinal
detachment.12 2) Anti-VEGF Intravitreal
Penggunaan obat-obat injeksi anti-VEGF secara
1.8 Penatalaksanaan intravitreal dilaporkan memeberikan hasil berupa
Pengobatan oklusi vena retina terdiri dari perbaikan tajam pengelihatan karena berku-
pengobatan farmakologi dan penanganan bedah. rangnya edema makula. Bevacizumab salah satu
Pengobatan sistemik dengan menggunakan vaso- anti-VEGF yang terbentuk dari antibodi monok-
dilator dan anti koagulasi pada CRVO terbukti ti- lonal manusia dimana berfungsi mengikat semua
dak memberikan manfaat. Penggunaan obat-obat bentuk VEGF-A, pertama kali dilaporkan menun-
sistemik selain untuk mengontrol hipertensi dila- juk kan keberhasilan jangka pendek dalam
porkan juga tidak memberikan banyak manfaat.10 mengoba ti edema makula pada CRVO oleh
Rosenfeld pada tahun 2005 dan sejak itu telah
1.8.1 Pengobatan Farmakologi CRVO banyak digunakan sebagai perawatan off label
1) Kortikosteroid Intravitreal pada RVO. Pada beberapa kasus edema makula
Mekanisme kerja steroid multifaktorial dan karena RVO yang diobati dengan bevacizumab,
tidak sepenuhnya dipahami. Menurut teori, efek menunjukkan peningkatan ketajaman visual

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 15


Mewaspadai Lebih Dini Oklusi Vena Retina Sentral. 10–17

setela h follow up selama 12 bulan. 7 Sebagian adanya neovaskularisasi iris. Oleh karena itu, pe-
besar studi telah menggunakan bevacizumab mantauan ketat pasien berisiko tinggi neo vasku-
dengan dosis dari 1,0 hingga 2,5 mg. Bevacizumab larisasi iris diperlukan. Peneliti CVOS merekomen-
juga telah dilaporkan sebagai pengobatan yang dasikan menunggu sampai pemeriksaan gonios-
berhasil untuk reubeosis iridis dan glaukoma kopi memperlihatkan adanya neovaskularisasi iris
neovask ular. 5 Obat anti-VEGF lain, aflibercept pada arah jam 2 sebelum melakukan PRP.8
(juga disebut VEGF Trap), juga telah terbukti efektif
dalam pengobatan kehilangan penglihatan dan 2) Pars Plana Vitrectomy
edema makula pada CRVO.8 Pars plana vitrectomy dilakukan untuk mem-
buang vitreous yang keruh, menghilangkan traksi
1.8.2 Penanganan Bedah CRVO pada retina, mengelupas jaringan ikat dari per-
1) Bedah Laser mukaan retina, dan pengambilan benda asing di
Bedah laser adalah metode yang telah di - retina.10 Vitrektomi disertai mengelupas Internal
tetapkan untuk digunakan pada pasien dengan Limiting Membrane (ILM) retina telah disarankan
RVO. Dua teknik utama laser yang dapat diguna- untuk proses penyembuhan yang cepat dari
kan, yaitu: Macular Grid Photocoagulation untuk kerusakan retina dan edema makula pada pasien
pengobatan edema makula, dan Panretinal Laser dengan CRVO. Menghilangkan ILM retina dapat
Photocoagulation (PRP) untuk pengobatan neo- mendekompresi edema retina dan memfasilitasi
vaskularisasi retina dan/atau optic disc.5 Macular pelepasan cairan ekstraseluler dan darah ke da-
Grid Photocoagulation diyakini meningkatkan lam vitreous, yang dapat membantu memulihkan
migrasi dan proliferasi sel epitel pigmen retina dan ketebalan retina normal, mengurangi kekeruhan
sel endotel, sehingga mengurangi pengeluaran dalam retina yang mengganggu transmisi cahaya
cairan. Grid laser terutama digunakan di area den- ke pho toreseptor. Vitrektomi tanpa menghi-
gan kebocoran yang difus dan tanpa kebocoran langkan ILM dapat memberikan penyembuhan
fokal. Teknik grid terdiri dari pembuatan luka edema makular dengan menghapus VEGF dan
bakar dengan laser, dimana diameter luka bakar- sitokin lainnya dalam rongga vitreous. Vitrektomi
nya berukuran 50-200 μm, yang menghasilkan juga meningkatkan transportasi oksigen ke retina
pola luka bakar yang sama. 13 Panretinal Laser yang hipoksia dan menghentikan neovaskularisasi
Photocoagulation dilakukan untuk mencegah yang disebabkan oleh hipoksia di jaringan
terbentuknya zat-zat vasoaktif terutama VEGF dan retina.14
menghilangkannya, sehingga mencegah timbul-
nya neovaskularisasi serta mengakibatkan regresi 1.9 Kesimpulan
pembuluh darah baru.10 Teknik PRP dilakukan de- Oklusi vena retina sentral merupakan suatu
ngan cara membuat luka bakar (spot) berukuran keadaan dimana terjadi penurunan aliran darah
500 mikron pada retina dan jumlah luka bakar yang diakibatkan adanya sumbatan pada vena
sebanyak 1.200-1.500 spot.13 retina sentral. Faktro risiko penyakit ini antara lain
Beberapa modifikasi dalam teknik laser argon disebabkan oleh umur, hipertensi, diabetes
yang menyerupai laser PRP diadopsi untuk mel litu s, glaukoma sudu t terbuka, kelainan
mengurangi efek buruk dari paparan PRP. Jenis hematologi, kondisi sistemik lainnya, kontrasepsi
laser lain yang telah digunakan untuk PRP seperti oral, dan merokok. CRVO terbagi dalam dua jenis
laser warna orange (600-nm), merah (630-nm) dan yaitu, non-ischemic CRVO dan ischemic CRVO.
laser warna kuning (580-nm), laser kripton, laser Dimana non-ischemic CRVO ditandai dengan gejala
dioda, dan Nd:YAG laser frekuensi ganda.13 Dalam kabur pada salah satu mata dan penurunan tajam
Central Vein Occlusion Study (CVOS), PRP profilaksis pengelihatan yang ringan sampai sedang. Ischemic
tidak menghasilkan penurunan yang signifikan CRVO ditandai dengan gejala pandangan kabur
secara statistik terhadap kejadian neovaskular- tiba-tiba tanpa disertai nyeri dan penurunan tajam
isasi iris. Faktanya, 20% dari peserta yang telah pengelihatan yang berat. Pengobatan oklusi vena
menerima PRP pro filaksis masih ditemukan retina terdiri dari pengobatan farmakologi dengan

16 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019


PANDE MADE GUSTIANA. 10–17

injeksi intravitreal anti VEGF dan kortikosteroid 7. Karia Niral. Retinal Vein Occlusion: Pathophysiology And
serta penanganan bedah menggunakan bedah Treatment Options. Dove Press Journal: Clinical Ophthal -
mology 2010. p809–816.
laser dan pars plana vitrectomy.
8. American Academy of Ophthalmology, The Eye MD Asso -
ciation. Central Retinal Vein Occlusion. 2014‐2015. p127-133.
Daftar Pustaka 9. Manoj S. et al. Retinal Vein Occlusion. Kerala Journal of
1. American Academy o f Ophthalmology, The Eye MD Ophthalmology Vol. XXV, No.4. December 2013.p319-333.
Association. Retinal Vein Occlusions Preferred Practice 10. Suhardjo SU, Agni N A. Retina Dan Viterous. Buku Ilmu
Pattern. September 2015. P190-199. Kesehatan Mata Edisi Ke 3. Departemen Ilmu Kesehatan Mata
2. Basri Saiful. Oklusi Arteri Retina Sentral. Indonesia: Jurnal FK UGM Yogyakarta. Juni 2017.p138.
Kedokteran Syiah Kuala Volume 14 Nomor 1. April 2014: p50-61. 11. Morris Rodney. Retinal Vein Occulsion. Kerala Journal of
3. Kolar P. Definition and Classification of Retinal Vein Occlusion. Ophthalmology. January-April 2016 Volume 28: p4-13.
International Journal of Ophthalmic Research 2016; 2(2): 124- 12. Noma H. Clinical Diagnosis in Central Retinal Vein Occlusion.
129. Available from: URL: http: //www.ghrnet.org/index.php/ Journal of Medical Diagnostic Methods. Juni 2013. Volume 2:
ijor/article/view/1499 p1-4.
4. The Royal College Of Ophthalmologists. Retinal Vein Occlusion 13. Kozak Igor, Luttrull K J. Modern Retinal Laser Therapy. Saudi
(RVO) Guidelines. July 2015. P6-38. Available from: URL: Journal of Ophthalmology. 2015. p137–146.
https://www.rcophth.ac.uk/wp-content/uploads/2015/07/ 14. Berker Nilufer, Batman Cosar. Surgical Treatment Of Central
Retinal-Vein-Occlusion-RVO-Guidelines-July-2015.pdf. Retinal Vein Occlusion. Acta Ophthalmologica. 2008: 86:
5. Rehak M, Wiedemann P. Retinal Vein Thrombosis: p245–252.
Pathogenesis And Management. Journal of Thrombosis and 15. Science Of CRVO. The Angiogenesis Foundation. http://
Haemostasis. 2010; 8: 1886–1894. www.noweyeknow.com/static/media/downloadables/crvo/CR
6. Browning, David J. Retinal Vein Occlusions Evidence-Based VO_Brochure.pdfDikutip tanggal 25 Januari 2019).
Management. USA: 2012. p33-72. Available from: https:// 16. Bowling B. Pterygium. Kanski’s Clinical Ophthalmology. Eighth
www.springer.com/gp/book/9781461434382. Edition. USA : Elsevier Limited; 2016. p:544.

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 17


TINJAUAN PUSTAKA

Konjungtivitis Vernal

Abstrak
Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva. Konjungtivitis vernal adalah peradangan
konjungtiva bilateral dan berulang yang khas, dan merupakan suatu reaksi alergi. Konjungtivitis
vernal terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe I yang mengenai kedua mata, sering terjadi pada
orang dengan riwayat keluarga yang kuat alergi. Kondisi ini paling sering terjadi pada anak umur
antara 3-25 tahun dengan prevalensi pada kedua jenis kelamin sama dan sering terjadi pada anak
dengan riwayat eksema, asma, atau alergi musiman, biasanya kambuh setiap musim semi dan
hilang pada musim gugur dan musim dingin.
Penyebaran konjungtivitis vernalis merata di dunia. Terdapat sekitar 0,1% hingga 0,5% pasien
dengan masalah tersebut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada iklim panas (seperti di Italia, Yunani,
Israel, dan sebagian Amerika Selatan) daripada iklim dingin (seperti di Amerika Serikat, Swedia,
Rusia dan Jerman). Terdapat dua bentuk penyakit ini, yaitu: palpebral dan limbal, yang perbedaan
utamanya terletak pada lokasi.
Medikasi yang dipakai terhadap gejala hanya memberikan hasil jangka pendek, karena dapat
berbahaya jika dipakai untuk jangka panjang. Penggunaan steroid berkepanjangan ini harus
dihindari karena bisa terjadi infeksi virus, katarak, hingga ulkus kornea oportunistik.

Kata Kunci: Konjungtivitis Vernal, Konjungtivitis Musiman

Abstract
Conjunctivitis is an inflammation of the conjunctiva. Vernal conjunctivitis is a bilateral conjunctival
inflammation, typically recurrent, and an allergic reaction. Vernal conjunctivitis caused by type I
hypersensitivity reaction that attacked both eyes, often in people with family history of allergy. This
condition often occur to child between 3 to 25 years old with the same prevalence to both gender, and
especially in a patient with history of eczema, asthma, or seasonal allergy and often reoccur every spring,
and disappear in fall or winter.
The dispersion of vernal conjunctivitis is equal in the world. There are about 0.1% to 0.5% patients with
vernal conjunctivitis. This disease often occur in a summer climate (such as in Italy, Greece, Israel, and
some part of South America), than in a cold climate (such as in United States of America, Sweden, Rusia,
and Germany). There are two types of this disease, which is palpebral and limbal type. The difference of
MADE DESSY the two is the location.
GANGGA AYU The medication for the patient can only give a short term result, because of the side effect that can be
CINTHIADEWI danger for a long term use. The use of steroid in a long term must be avoided, as it can cause viral
infection, cataract, to opportunistic corneal ulcer.
Fakultas Kedokteran,
Universitas Udayana Keywords: Vernal Conjunctivitis, Seasonal Conjunctivitis

18 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019


MADE DESSY GANGGA AYU CINTHIADEWI. 18–25

Pendahuluan vernalis biasanya kambuh setiap musim semi dan


onjungtivitis adalah peradangan selapu t hilang pada musim gugur dan musim dingin.
K bening yang menutupi bagian putih mata dan
bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut
Banyak anak tidak mengalaminya lagi pada umur
dewasa muda.1
menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, Penyebaran konjungtivitis vernalis merata di
salah satunya adalah mata merah. Konjungtivitis dunia, terdapat sekitar 0,1% hingga 0,5% pasien
dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau dengan masalah tersebut. Penyakit ini lebih sering
kontak dengan benda asing, misalnya kontak terjadi pada iklim panas (misalnya di Italia, Yunani,
lensa.1 Israel, dan sebagian Amerika Selatan) daripada
Konjungtivitis alergi merupakan bentuk radang iklim dingin (seperti Amerika Serikat, Swedia, Rusia
konjungtiva akibat reaksi alergi terhadap non - dan Jerman). 6 Umumnya terdapat riwayat ke -
infeksi, dapat berupa reaksi cepat seperti alergi luarga yang bersifat alergi atopik (turunan). Sekitar
biasa dan reaksi terlambat sesudah beberapa hari 65% pasien yang menderita konjungtivitis vernalis
kontak seperti pada reaksi terhadap obat, bakteri, memiliki satu atau lebih sanak keluarga setingkat
dan toksik. Merupakan reaksi antibodi humoral yang memiliki penyakit turunan (misalnya asma,
terhadap alergen. Biasanya dengan riwayat atopi.1 hay fever, iritasi kulit turunan atau alergi selaput
Konjungtivitis alergi biasanya mengenai kedua lendir hidung permanen). Penyakit-penyakit
mata. Tandanya, selain mata berwarna merah, turunan ini umumnya ditemukan pada pasien itu
mata juga akan terasa gatal. Gatal ini juga sering- sendiri.5
kali dirasakan dihidung. Produksi air mata juga Semua penelitian tentang penyakit ini me -
berlebihan sehingga mata sangat berair.1 laporkan bahwa biasanya kondisi akan memburuk
Konjungtiva banyak sekali mengandung sel pada musim semi dan musim panas di belahan
dari sistem kekebalan (sell mast) yang melepas- bumi utara, itulah mengapa dinamakan konjungti-
kan senyawa kimia (mediator) dalam merespon vitis ”vernalis” (atau musim semi). Di belahan bumi
terhadap berbagai rangsangan (seperti serbuk selatan penyakit ini lebih menyerang pada musim
sari atau debu tungau). Mediator ini menyebab- gugur dan musim dingin. Akan tetapi, banyak
kan radang pada mata, yang mungkin sebentar pasien mengalami gejala sepanjang tahun, mung-
atau bertahan lama. Sekitar 20% dari orang me- kin disebabkan berbagai sumber alergi yang silih
miliki tingkat konjungtivitis alergi. Konjungtivitis berganti sepanjang tahun.5
alergi yang musiman dan yang berkelanjutan
adalah jenis yang paling sering dari reaksi alergi Tinjauan Pustaka
pada mata. Konjungtivitis alergi yang musiman
sering disebabkan oleh serbuk sari pohon atau 2.1 Anatomi, Vaskularisasi, dan Histologi
rumput, oleh karenanya jenis ini timbul khusus- Konjungtiva
nya pada musim semi atau awal musim panas. Konjungtiva merupakan membran halus yang
Serbuk sari gulma bertanggung jawab pada melapisi kelopak mata dan melapisi permukaan
gejala alergi mata merah pada musim panas dan sklera yang terpajan dengan lingkungan luar.1
awal musim gugur. Alergi mata merah yang ber- Konjungtiva adalah membran mukosa yang trans-
kelanjutan terjadi sepanjang tahun; paling sering paran dan tipis yang membungkus permukaan
disebabkan oleh tungau debu, bulu hewan, dan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)
bulu unggas.1 dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bul-
Konjungtivitis vernalis adalah bentuk konjungti- baris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit
vitis alergi yang lebih serius dimana penyebabnya pada tepi kelopak (persambungan mukokutan)
tidak diketahui. Konjungtivitis vernalis paling dan dengan epitel kornea di limbus. Konjungtiva
sering terjadi pada anak umur antara 3-25 tahun terdiri dari tiga bagian:2
dengan prevalensi pada kedua jenis kelamin sama a. Konjungtiva palpebralis merupakan konjung-
dan sering terjadi pada anak dengan riwayat tiva yang melapisi permukaan posterior ke-
eksema, asma, atau alergi musiman. Konjungtivitis lopak mata dan melekat ke tarsus. Konjungtiva

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 19


Konjungtivitis Vernal. 18–25

ini pada tepi superior dan inferior tarsus akan 1. Arteri Palpebralis
melipat ke posterior (pada fornices superior Pleksus post tarsal dari palpebra, yang di -
dan inferior) dan membungkus jaringan perdarahi oleh arkade marginal dan perifer dari
episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris. palpebra superior akan memperdarahi konjung-
b. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke sep- tiva palpebralis.
tum orbitale di forniks dan melipat berkali-kali. Arteri yang berasal dari arkade marginal
Pelipatan ini memungkinkan bola mata berge- palpebra akan melewati tarsus, mencapai ruang
rak dan memperbesar permukaan konjungtiva. subkonjungtiva pada daerah sulkus subtarsal
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke kapsul membentuk pembuluh darah marginal dan tarsal.
tenon dan sclera di bawahnya, kecuali di limbus Pembuluh darah dari arkade perifer palpebra
(tempat kapsul Tenon dan konjungtiva me - akan menembus otot Muller dan memperdarahi
nyatu sejauh 3 mm). Lipatan konjungtiva sebagian besar konjungtiva forniks. Arkade ini
bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak akan memberikan cabang desenden untuk
(plika semilunaris) terlelak di kanthus internus menyuplai konjungtiva tarsal dan juga akan
dan membentuk kelopak mata ketiga pada mengad akan anastomose dengan pembuluh
beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil darah dari arkade marginal serta cabang asenden
semacam daging (karunkula) menempel super- yang melalui forniks superior dan inferior untuk
fisial ke bagian dalam plika semilunaris dan kemudian melanjutkan diri ke konjungtiva bulbi
merupakan zona transisi yang mengandung sebagai arteri konjungtiva posterior.2
baik elemen kulit dan membran mukosa.
c. Konjungtiva forniks struktumya sama dengan 2. Arteri Siliaris Anterior
konjungtiva palpebra. Tetapi hubungan dengan Arteri siliaris anterior berjalan sepanjang
jaringan dibawahnya lebih lemah dan mem- tendon otot rektus dan mempercabangkan diri
bentuk lekukan-lekukan. Juga mengandung sebagai arteri konjungtiva anterior tepat sebelum
banyak pembuluh darah. Oleh karena itu, menembus bola mata. Arteri ini mengirim
pembengkakan pada tempat ini mudah terjadi cabangnya ke pleksus perikorneal dan ke daerah
bila terdapat peradangan mata. konjungtiva bulbi sekitar limbus. Pada daerah ini,
terjadi anastomose antara pembuluh darah
konjungtiva anterior dengan cabang terminal dari
pembuluh darah konjungtiva posterior, mengha-
silkan daerah yang disebut Palisades of Busacca.2

Secara histologis, konjungtiva terdiri atas lapisan:3


a. Lapisan epitel konjungtiva, terdiri dari dua
hingga lima lapisan sel epitel silinder ber-
tingkat, superficial dan basal. Lapisan epitel
konjungtiva di dekat limbus, di atas karankula,
dan di dekat persambungan mukokutan pada
Gambar 1. Anatomi Konjungtiva tepi kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel
Sumber: Azari, Barney, 2013 skuamosa.
b. Sel-sel epitel superfisial, mengandung sel-sel
goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus.
Pembuluh darah okular berasal dari arteri Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan
oftalmika, yang merupakan cabang dari arteri diperlukan untuk dispersi lapisan air mata
karotis interna. Arteri oftalmika bercabang men- secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel
jadi arteri retina sentralis, arteri siliaris posterior, epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel-
dan beberapa arteri silaris anterior. Vaskularisasi se l superficial dan di dekat limbus dapat
konjungtiva berasal dari 2 sumber, yaitu:2 mengandung pigmen.

20 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019


MADE DESSY GANGGA AYU CINTHIADEWI. 18–25

kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma.


Sebagian besar kelenjar krause berada di for-
niks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Ke-
lenjar wolfring terletak ditepi atas tarsus atas.

2.2. Definisi
Konjungtivitis vernal adalah peradangan kon-
jungtiva bilateral dan berulang (recurrence) yang
khas, dan merupakan suatu reaksi alergi. Penyakit
ini juga dikenal sebagai “catarrh musim semi” dan
“konjungtivitis musiman” atau “konjungtivitis mu-
sim kemarau”. Di belahan bumi selatan penyakit
Gambar 2. Vaskularisasi Konjungtiva ini lebih menyerang pada musim gugur dan mu-
Sumber: Oftalmologi Umum sim dingin. Akan tetapi, banyak pasien mengalami
gejala sepanjang tahun, mungkin disebabkan
c. Stroma konjungtiva, dibagi menjadi lapisan berbagai sumber alergi yang silih berganti sepan-
adenoid (superficial ) dan lapisan fibrosa jang tahun.1
(profun dus). Lapisan adenoid mengandung
jaringan limfoid dan dibeberapa tempat dapat 2.3. Etiologi dan Predisposisi
mengandung struktur semacam folikel tanpa Konjungtivitis vernal terjadi akibat reaksi
sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak hipersensitivitas tipe I yang mengenai kedua mata,
berkembang sampai setelah bayi berumur 2 sering terjadi pada orang dengan riwayat keluarga
atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa yang kuat alergi.3
konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat Mengenai pasien usia muda 3-25 tahun dan
papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian kedua jenis kelamin sama. Biasanya pada laki-laki
menjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari mulai pada usia dibawah 10 tahun. Penderita kon-
jaringan penyambung yang melekat pada jungtivitis vernal sering menunjukkan gejala-gejala
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran alergi terhadap tepung sari rumput-rumputan.3
reksi papiler pada radang konjungitiva. Lapisan Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi
fibrosa tersusun longgar pada bola mata. seperti berikut:3
d. Kelenjar air mata aksesori (kelenjar Krause dan l Tipe I : Reaksi Anafilaksi
wolfring), yang struktur dan fungsinya mirip Di sini antigen atau alergen bebas akan bereak-
si dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat
pada sel mast atau sel basofil dengan akibat
terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan
reaksi tipe cepat.
l Tipe II : Reaksi Sitotoksik
Di sini antigen terikat pada sel sasaran.
Antibodi dalam hal ini IgE dan IgM dengan adanya
komplemen akan diberikan dengan antigen,
sehingga dapat mengakibatkan hancurnya sel
tersebu t. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat
menurut Smolin (1986), reaksi allografi dan ulkus
Mooren merupakan reaksi jenis ini.
l Tipe III : Reaksi Imun Kompleks
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan
Gambar 3. Histologi Normal Konjungtiva komplemen membentuk kompleks imun. Keada-
Sumber : Kanski’s Clinical Ophthalmology, 8th Edition, 2016 an ini menimbulkan neurotrophichemotactic factor

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 21


Konjungtivitis Vernal. 18–25

yang dapat menyebabkan terjadinya peradangan


atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada
pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di
kornea dapat berupa keratitis herpes simpleks,
keratitis karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas)
dan jamur. Reaksi demikian juga terjadi pada
keratitis Herpes simpleks.
l Tipe IV : Reaksi Tipe Lambat
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III
yang berperan adalah antibodi (imunitas humo-
ral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah
limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler.
Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi
dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya Gambar 4. Cobblestone pada Konjungtivitis
mediator (limfokin) yang jumpai pada reaksi Vernal Bentuk Palpebra
penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis Sumber: Kanski’s Clinical Ophthalmology, 8th Edition, 2016
flikten, keratitis Herpes simpleks dan keratitis
diskiformis.

2.4. Manifestasi Klinis


Gejala yang mendasar adalah rasa gatal, mani-
festasi lain yang menyertai meliputi mata berair,
sensitif pada cahaya, rasa pedih terbakar, dan
perasaan seolah ada benda asing yang masuk.
Penyakit ini cukup menyusahkan, muncul ber-
ulang, dan sangat membebani aktivitas penderita
sehingga menyebabkan ia tidak dapat beraktivitas
normal.4

Terdapat dua bentuk klinik, yaitu:2 Gambar 5. Trantas Dot pada Konjungtivitis
l Bentuk palpebra, terutama mengenai konjung- Vernal Bentuk Limbal
tiva tarsal superior. Terdapat pertumbuhan papil Sumber: Kanski’s Clinical Ophthalmology, 8th Edition, 2016
yang besar (cobble stone) yang diliputi sekret yang
mukoid. Konjungtiva tarsal bawah hiperemi dan
edema, dengan kelainan kornea lebih berat diban- lainnya. Kadangkala, eosinofil (warna kemerahan)
ding bentuk limbal. Secara klinik papil besar ini tam- tampak kuat di antara sel-sel jaringan epitel.
pak sebagai tonjolan bersegi banyak dengan permu- Perubahan yang menonjol dan parah terjadi pada
kaan yang rata dan dengan kapiler ditengahnya. substansi propria (jaringan urat). Pada tahap awal
l Bentuk limbal, hipertrofi papil pada limbus su- jaringan terinfiltrasi dengan limfosit, sel plasma,
perior yang dapat membentuk jaringan hiperpla- eosinofil, dan basofil. Sejalan dengan perkem-
stik gelatin, dengan Trantas dot yang merupakan bangan penyakit, semakin banyak sel yang ber-
degenerasi epitel kornea atau eosinofil di bagian akumulasi dan kolagen baru terbentuk, sehingga
epitel limbus kornea, terbentuknya pannus, den- menghasil kan bongkol-bongkol besar pada
gan sedikit eosinofil. jaringan yang timbul dari lempeng tarsal. Terkait
dengan perubahan-perubahan tersebut adalah
2.5. Patofisiologi adanya pembentukan pembuluh darah baru
Pada bentuk palpebral, jaringan epitel mem- dalam jumlah yang banyak. Peningkatan jumlah
besar pada beberapa area dan menular ke area kolagen berlangsung cepat dan menyolok.6

22 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019


MADE DESSY GANGGA AYU CINTHIADEWI. 18–25

Pada bentuk limbal terdapat perubahan yang 10 subjek kontrol telah menemukan bahwa
sama, yaitu: perkembangbiakan jaringan ikat, terdapat korelasi yang signifikan antara air mata
peningkatan jumlah kolagen, dan infiltrasi sel dengan level kandungan serum pada kedua mata.
plasma, limfosit, eosinofil dan basofil ke dalam Kandungan IgE pada air mata diperkirakan mun-
stroma. Penggunaan jaringan yang dilapisi plastik cul dari serum kedua mata, kandungan IgE dalam
yang ditampilkan melalui mikroskopi cahaya dan serum (1031ng/ml) dan pada air mata (130ng/ml)
elektron dapat memungkinkan beberapa obser- dari pasien konjungtivitis vernal melebihi kan-
vasi tambahan. Basofil sebagai ciri tetap dari dungan IgE dalam serum (201ng/ml) dan pada air
penyakit ini, tampak dalam jaringan epitel seba- mata (61ng/ml) dari orang normal. Butiran anti-
gaimana juga pada substansi propria. Walaupun bodi IgE secara spesifik ditemukan pada air mata
sebagian besar sel merupakan komponen normal lebih banyak daripada bu tiran antibodi pada
dari substansi propia, namun tidak terdapat serum. Selain itu, terdapat 18 dari 30 pasien yang
jaringan epitel konjungtiva normal.6 memiliki level antibodi IgG yang signifikan yang
Walaupun karakteristik klinis dan patologi kon- menjadi butiran pada air matanya. Orang normal
jungtivitis vernal telah digambarkan secara luas, tidak memiliki jenis antibodi ini pada air matanya
namun patogenesis spesifik masih belum dikenali. maupun serumnya. Hasil pengamatan ini me -
nyimpulkan bahwa baik IgE- dan IgG- akan men-
2.6. Pemeriksaan Penunjang jadi perantara mekanisme imun yang terlibat
Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan dalam patogenesis konjungtivitis vernal, dimana
Giemsa terdapat banyak eosinofil dan granula sistesis lokal antibodi terjadi pada jaringan permu-
eosino filik bebas. Pada pemeriksaan darah kaan mata. Kondisi ini ditemukan negatif pada
ditemuk an eosinofilia dan peningkatan kadar orang-orang yang memiliki alergi udara, tetapi
serum IgE.4 pada penderita konjungtivitis vernal lebih banyak
Pada konjungtivitis vernal, terdapat sebagian berhubungan dengan antibodi IgG dan mekanis-
besar sel yang secara rutin tampak dalam jaringan me lainnya daripada antibodi IgE.4,6
epitel. Pengawetan yang lebih baik adalah meng- Kandungan histamin pada air mata dari sem-
gunakan glu taraldehyde, lapisan plastik, dan bilan pasien konjungtivitis vernal (38ng/ml) secara
ditampilkan pada media sehingga dapat memung- signifikan lebih tinggi daripada kandungan
kinkan untuk menghitung jumlah sel ukuran 1μ histamin air mata pada 13 orang normal (10ng/ml,
berdasarkan jenis dan lokasinya. Jumlah rata-rata P<0.05). Hal ini sejalan dengan pengamatan meng-
sel per kubik milimeter tidak melampaui jumlah gunakan mikroskopi elektron yang diperkirakan
normal. Diperkirakan bahwa peradangan sel menemukan tujuh kali lipat lebih banyak sel mas-
secara maksimum seringkali berada dalam kondisi tosit dalam substantia propia daripada dengan
konjungtiva normal. Jadi, untuk mengakomodasi pengamatan yang menggunakan mikroskopi
lebih banyak sel dalam proses peradangan kon- cahaya. Sejumlah besar sel mastosit ini terdapat
jungtivitis vernal, maka jaringan akan membesar pada air mata dengan level histamin yang lebih
dengan cara peningkatan jumlah kolagen dan tinggi.4,6
pembuluh darah.3,4 Kikisan konjungtiva pada daerah-daerah yang
Jaringan tarsal atas yang abnormal ditemukan terinfeksi menunjukkan adanya banyak eosinofil
dari empat pasien konjungtivitis vernal yang dan butiran eosinofilik. Ditemukan lebih dari dua
terkontaminasi dengan zat imun, yaitu: dua dari eosinofil tiap pembesaran 25x dengan sifat khas
empat pasien mengandung spesimen IgA-, IgG-, penyakit (pathognomonic) konjungtivitis vernal.
dan IgE- secara berlebih yang akhirnya mem - Tidak ditemukan adanya akumulasi eosinofil pada
bentuk sel plasma. Sel-sel tersebut tidak ditemu- daerah permukaan lain pada level ini.4
kan pada konjungtiva normal dari dua pasien
lainnya.3,4 2.7. Diferensial Diagnosis
Kandungan IgE pada air mata yang diambil dari Walaupun secara prinsip konjungtivitis vernal
sampel serum 11 pasien konjungtivitis vernal dan sangat berbeda dengan trakhom dan konjungtivi-

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 23


Konjungtivitis Vernal. 18–25

tis demam rumput, namun seringkali gejalanya Tabel 1. Diagnosis Banding Trakoma, Konjung-
membingungkan dengan dua penyakit tersebut. tivitis Folikularis, dan Konjungtivitis Vernal
Trakhom ditandai dengan banyaknya serabut-
serabut sejati yang terpusat, sedangkan pada kon-
jungtivitis vernal jarang tampak serabut sejati.
Pada trakhom, eosinofil tidak tampak pada kikisan
konjungtiva maupun pada jaringan, sedangkan
pada konjungtivitis vernal, eosinofil memenuhi
jaringan. Trakhom meninggalkan parut-parut
pada tarsal, sedangkan konjungtivitis vernal tidak,
kecuali bila terlambat ditangani.3
Tanda konjungtivitis demam rumput adalah
edema, sedangkan tanda konjungtivitis vernal
adalah infiltrasi selular. Demam rumput memiliki
karakteristik sedikit eosinofil, tidak ada sel masto-
sit pada jaringan epitel, tidak ada peningkatan sel
mastosit pada substantia propria, dan tidak
terdapat basofil, sedangkan konjungtivitis vernal
memiliki karakteristik adanya tiga serangkai, yaitu:
sel mastosit pada jaringan epitel, adanya basofil,
dan adanya eosinofil pada jaringan.3

2.8. Komplikasi
Dapat menimbulkan keratitis epitel atau ulkus
kornea superfisial sentral atau parasentral, yang
dapat diiku ti dengan pembentukan jaringan
sikatrik s yang ringan. Penyakit ini juga dapat
menyebabkan penglihatan menurun. Kadang-
kadang didapatkan panus, yang tidak menutupi
seluruh permukaan kornea. Perjalanan penyakit-
nya sangat menahun dan berulang, sering menim-
bulkan kekambuhan terutama di musim panas.1

2.9. Penatalaksanaan
Biasanya penyakit ini akan sembuh sendiri.
Tetapi medikasi yang dipakai terhadap gejala
hanya memberikan hasil jangka pendek, karena
dapat berbahaya jika dipakai untuk jangka pan-
jang. Penggunaan steroid berkepanjangan ini
harus dihindari karena bisa terjadi infeksi virus,
katarak, hingga ulkus kornea oportunistik.1,6
l Farmakologi
- Natrium kromoglikat 2% topikal dapat yang baik untuk kasus sedang sampai berat.
diberikan 4 kali sehari untuk mencegah Bila tidak ada hasil dapat diberikan radiasi,
degranulasi sel mast. atau dilakukan pengangkatan giant papil.
- Anti histamin dan steroid sistemik dapat - Antibiotik dapat diberikan untuk mencegah
diberikan pada kasus yang berat. infeksi sekunder disertai dengan sikloplegik.
- Cromolyn topical adalah agen profilaktik - Anti-radang non-steroid yang lebih baru,

24 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019


MADE DESSY GANGGA AYU CINTHIADEWI. 18–25

seperti kerolac dan iodo xamine, cukup Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan
bermanfaat mengurangi gejala. Giemsa terdapat banyak eosinofil dan granula
eosinofilik bebas. Dapat menimbulkan keratitis
l Non Farmakologi epitel atau ulkus kornea superfisial sentral atau
Penderita diusahakan untuk menghindari para sentral, yang dapat diiku ti dengan pem -
menggosok-gosok karena akan menyebabkan bentuka n jaringan sikatriks yang ringan. Juga
iritas i berlanju t. Kompres dingin dapat juga kadang-kadang didapatkan panus, yang tidak
digunakan untuk menghilangkan edema. Selain menutupi seluruh permukaan kornea. Perjalanan
itu, tidur di tempat ber AC dapat menyamankan penyakitnya sangat menahun, bertahun-tahun.
pasien. Lebih baik apabila penderita pindah ke Penyakit ini sering menimbulkan kekambuhan
tempat beriklim sejuk dan lembab. terutama di musim panas.
Penyakit ini biasanya sembuh sendiri tanpa
2.10. Prognosis diobati. Dapat diberi obat kompres dingin,
Kondisi ini dapat terus berlanjut dari waktu ke natrium karbonat dan obat vasokonstriktor.
waktu, dan semakin memburuk selama musim- Kelainan kornea dan konjungtiva dapat diobati
musim tertentu.1 dengan natrium cromolyn topikal. Bila terdapat
tukak maka diberi antibiotik untuk mencegah
Kesimpulan infeksi sekunder disertai dengan sikloplegik. Lebih
Konjungtivitis vernal adalah peradangan kon- baik penderita pindah ke tempat beriklim sejuk
jungtiva bilateral dan berulang (recurrence) yang dan lembab.
khas, dan merupakan suatu reaksi alergi. Penyakit
ini juga dikenal sebagai “catarrh musim semi” dan Daftar Pustaka
“konjungtivitis musiman” atau “konjungtivitis 1. American Academy of Ophthalmology: Basic and clinical
musim kemarau”. science course. America. 2016-1017.
Konjungtivitis vernal terjadi akibat reaksi 2. Bowling B. The Glaucomas, in Kanski’s Clinical Ophthal-
hipersensitivitas tipe I yang mengenai kedua mata, mology. Eight edition. Elsevier. London. 2016.
sering terjadi pada orang dengan riwayat keluarga 3. Suhardji SU, Agni A.N. Buku Ilmu Kesehatan Mata. Edisi ke
yang kuat alergi. 3. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Universitas Gadjah
Terdapat dua bentuk penyakit ini, yaitu: Mada. Yogyakarta. 2017.
palpebral dan limbal, yang perbedaan utamanya 4. Budiono, S., Saleh, TT., Moestijab, Eddyanto. 2013. Buku Ajar
terletak pada lokasi. Bentuk palpebra, terutama Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya: Airlangga University Press.
mengenai konjungtiva tarsal superior. Terdapat 5. Anonim. Konjungtivitis Vernal. Diakses tanggal 23 Agustus
pertumbuhan papil yang besar (cobble stone) yang 2018. Dari: http://francichandra.wordpress.com/2010/
diliputi sekret yang mukoid. Bentuk limbal, hiper- 04/07/konjungtivitis-vernal/
trofi papil pada limbus superior yang dapat mem- 6. PubMedVernal Keratoconjunctivitis. Diunduh dari
bentuk jaringan hiperplastik gelatin, dengan http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1705659/. (
Trantas dot yang merupakan degenerasi epitel kor- Diakses 23 Agustus 2018).
nea atau eosinofil di bagian epitel limbus kornea,
terbentuknya pannus, dengan sedikit eosinofil.

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 25


TINJAUAN PUSTAKA

Skrining Penyakit Arteri Perifer di Fasilitas


Kesehatan Tingkat Pertama di Kabupaten
Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur
(Sebuah Perbandingan Faktor Risiko Simptomatik
dan Asimptomatik Pada Penyakit Arteri Perifer)

Abstrak
Tujuan: Menilai faktor risiko berbeda pada PAP simptomatik dan asimptomatik.
Metode: Kami menilai 332 subjek dengan tekanan darah normal dan riwayat hipertensi yang
berkunjung pada puskesmas kami pada 3 wilayah kerja berbeda sesudah mengeksklusi mereka
dengan data yang tidak lengkap, sedang menggunakan obat antihipertensi, diduga batu ginjal dan
kemungkinan penyebab hipertensi sekunder lainnya. Sesudah pencatatan riwayat rekam medis,
indeks brakialis - pergelangan kaki termodifikasi (IBA m ) pengukuran dilakukan dengan
sphygmomanometer oleh tenaga kesehatan terlatih dengan pasien supinasi selama 5 menit.
Hasil: Kami mendapati dominasi perempuan dan petani dimana 31.2% keseluruhan subjek kami
adalah perokok dan 58% sering mengonsumsi NSAID atau steroid. Terdapat 49.6% subjek dengan
hipertensi dan 30.3% di antaranya baru terdiagnosis. Pada pasien simptomatik, kami mendapati
faktor risiko independennya mencakup lama riwayat hipertensi (p=0.031), terutama pada mereka
yang mengalami hipertensi selama 5-10 tahun (p = 0.037; OR = 0.227), tetapi tidak pada yang lebih
dari 10 tahun (p = 0.298; OR: 2.507). Pada yang asimptomatik, faktor risiko ditemukan lebih
banyak, mencakup jenis kelamin (p = 0.018; OR: 0.274 untuk laki-laki), riwayat hipertensi dalam
keluarga (p = 0.001; OR 6.513), riwayat lebih dari 10 tahun hipertensi (p = 0.008; OR: 8.136),
hiperurisemia(p = 0.005; OR: 0.23), dan proteinuria (p value = 0.037; OR 2.801).
Kesimpulan: Pada pasien PAD simptomatik, hipertensi dam hiperurisemia cenderung mengurangi
risiko PAD, sedangkan pada pasien asimptomatik, perempuan, riwayat keluarga dengan hipertensi,
dan proteinuria menjadikan mereka sebagai faktor risiko signifikan.

NALDO SOFIAN1, Kata Kunci: PAP, ankle brachial index, klaudikasio, penapisan
STEPHANIE
WIBISONO2 Abstract
Objectives: To assess different risk factors both symptomatic and asymptomatic peripheral artery disease
1Dokter Umum Pasca PTT (PAD).
Pusat di Puskesmas Methods: We took 332 subjects with both normal and history of hypertension visiting our primary health
Magepanda*, care services as our study samples from 3 rural areas after excluding incomplete data, currently took
2Dokter Umum Pasca PTT antihypertensive medication, suspected renal stones and other secondary hypertension cause, After some
Pusat di Puskesmas medical history record, modified ankle brachial index (ABIM) measurement had been done using
Wolofeo* sphygmomanometer by trained medical staffs while subjects were lying supine after 5 minutes rest.
Puskesmas di Kabupaten Results: We found females and farmers predominance while 31.2% of our subjects are smokers and 58%
Sikka ,Flores, Nusa often consumed NSAID or steroid. We have 49.6% subjects with hypertension and 30.3% of them were
Tenggara Timur,
newly diagnosed. In symptomatic subjects, we found out independent significant risk factors: duration of
Indonesia.
hypertension (p = 0.031), especially for 5-10 years (p = 0.037; OR = 0.227 ), but not for more than 10 years

26 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019


NALDO SOFIAN, STEPHANIE WIBISONO. 26–33

(p = 0.298; OR: 2.507). Uric acid has similar significance (p value = Lamanya seseorang menderita diabetes itu
0.019; OR = 0.206) However, we found more in asymptomatic PAD, sendiri seringkali dikaitkan dengan derajat
including gender (p = 0.018; OR: 0.274 for male), medical history of
beratnya PAP dibanding dengan kadar gula
hypertension in family (p = 0.001; OR 6.513), more than 10-year
history of hypertension (p = 0.008; OR: 8.136), hyperuricemia darahnya. Selain itu, proses aterosklerosis akan
(p = 0.005; OR: 0.23), and presence of proteinuria (p value = 0.037; tampak tidak bergejala, sama seperti pada
OR 2.801), respectively. penyakit jantung koroner, meskipun faktor risiko
Conclussion: In symptomatic PAD, hypertension and hyperuricemia dan temuan pemeriksaan yang cermat telah
seems to protect PAD while asymptomatics, female, hypertension
mendapati tanda dini yang luput dari perhatian
history in family, and proteinuria have been significant risk factors.
klinisi. Melihat fakta demikian, kondisi asimpto-
Keywords: Peripheral artery disease, ankle brachial index, matik sekalipun sudah dapat terbentuk meski
claudication, screening dengan faktor risiko yang, mungkin, sama. Dari
data-data yang ada, dalam hal pengetahuan dan
pertimbangan penulis yang diterapkan pada PAP,
Pendahuluan keduanya,baik yang bergejala dan tidak bergejala,
enyakit arteri perifer (PAP) merupakan suatu belum diketahui dan dapat menjadi sebuah
P kondisi penyempitan pembuluh darah arteri
perifer termasuk di tungkai, perut, lengan, dan
rangkaian patofisiologi terjadinya gejala pada PAP.
Kami menduga bahwa proses terjadinya ateros-
kepala. Bagian yang paling sering terkena adalah klerosis yang awalnya bersifat asimptomatik
di bagian tungkai kaki. Proses aterosklerosis akibat sejumlah faktor risiko, dapat berlanjut
sebagai penyebab utama, menghasilkan obstruksi menjadi simptomatik oleh karena faktor risiko
pada beberapa bagian organ yang penting. 1 yang sama atau berbeda. Kondisi ini layak diteliti
Penyakit arteri perifer sekarang lebih dikenal mengingat studi terdahulu tersebut mencermin-
sebagai penyakit vaskular, penyakit arteri oklusi, kan faktor risiko yang cukup prevalen diidap oleh
dan penyakit tungkai bawah.2 masyarakat di Indonesia.
Diperkirakan sekitar lebih dari 200 juta orang Menilai keberadaan PAP itu sendiri cukup
menderita PAP di seluruh dunia, dengan spektrum rumit. Gejala PAP yang paling umum adalah
klinis dari tanpa gejala sampai gejala yang berat.2 klaudikasio intermiten, namun pengukuran secara
PAP ini sangat jarang ditemukan pada usia muda, non-invasif, seperti indeks pergelangan kaki-
prevalensi PAP sendiri meningkat tajam dengan brachial (ankle brachial index), menunjukkan
beranjaknya umur. Allison,dkk.3 memperkirakan bahwa PAP dapat tidak bergejala, beberapa yang
bahwa prevalensi pada beberapa etnik (ras) lebih sering terjadi pada populasi dibanding
tertentu di Amerika, diantaranya Kelompok Non klaudikasio intermiten. Oleh karena itu, sangat
Hispanik, Asia-Afrika, Hispanik, Asia-Amerika, dan dibutuhkan untuk penilaian lebih lanjut faktor
Penduduk asli Amerika. Diabetes merupakan risiko pada PAP baik secara simtomatik maupun
salah satu faktor resiko terpenting dari PAP di asimtomatik.
antara Ras Asia berdasarkan studi populasi dari
sekitar 3.280 penduduk di Malaysia (78.7% respon) Metode
dengan range usia antara 40-80 tahun di Singa- Responden diperoleh secara consecu tive
pura yang diteliti.4 Tidak didapatkannya data di sampling di wilayah kerja 3 Puskesmas di Kabu-
Indonesia. paten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur selama 5
Analisis lebih lanjut mengenai faktor risiko bulan ( Januari – Mei 2017). Penelitian dilakukan
yang dapat dimodifikasi pada PAP sudah terhadap semua orang dewasa (>18 tahun) yang
ditemukannya mekanisme yang sama dengan datang berobat dan kontak dengan tenaga
proses aterosklerosis, termasuk usia lebih dari 60 kesehatan, baik di poliklinik maupun program
tahun, perokok, dislipidemia. 5 dan diabetes kerja luar (penyuluhan, puskesmas keliling, dsb).
melitus (DM). PAP lebih sering ditemukan pada Subjek yang dieksklusi adalah yang dicurigai
usia yang lebih tua,dan meningkat sebanyak 1.5-2 menderita hipertensi sekunder seperti pada
kali,pada setiap kenaikan usia, selama 10 tahun. mereka dengan riwayat batu ginjal, kehamilan,

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 27


Skrining Penyakit Arteri Perifer di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama di Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur
(Sebuah Perbandingan Faktor Risiko Simptomatik dan Asimptomatik Pada Penyakit Arteri Perifer). 26–33

konsumsi obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) yang dihisap dengan durasi merokok mereka da-
dan steroid dalam 24 jam terakhir. Perbedaan lam tahun, berturut-turut kurang dari 20, 20 – 400,
tekanan darah sistolik > 20 mmHg antar ateri dan lebih dari 400. 8 Kami juga memeriksakan
brachialis juga kami ekslusikan. urinalisis menggunakan panel stik urin 10 peme-
Komorbiditas yang dikaji mencakup stroke, riksaan. Untuk mencegah pembacaan negatif atau
diabetes mellitus, riwayat sindrom koroner akut, positif palsu pada keasaman urin dan berat
hiperkolesterolemia, dan hiperurisemia. Beberapa jenisnya disertai dengan keharusan subjek untuk
pemeriksaan fisik pun kami lakukan: pengukuran minum segelas air (+ 240 ml ) sebelum peme -
tekanan darah dengan sphygmomanometer raksa riksaan. Urin ditampung pada gelas plastik steril
3 menit sesudah pasien supinasi di tempat tidur, bersih.
termasuk kedua lengan dan tungkai (terutama Data ini kami masukkan dalam SPSS 20.0 untuk
palpasi arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior). dianalisis lebih lanjut dengan chi-square, exact
Kami juga mengukur indeks masa tubuh subjek fisher bagi yang tidak memenuhi kriteria chi-
dengan mengukur tinggi dan berat badan subjek square, dan regresi logistik untuk analisis faktor
menggunakan pengukur standar. Pulsasi yang risiko multiple dengan menggunakan nilai P < 0.05
teraba pertama kali sesudah tekanan manset dan interval kepercayaan 95% yang tidak melewati
diturunkan merupakan tekanan sistoliknya. IBAm 1.0 sebagai faktor risiko signifikan.Adapun faktor
kami definisikan sebagai hasil bagi tekanan arteri risiko dengan nilai p kurang dari 0.25 dimasukkan
brachialis tertinggi dibagi dengan tekanan arteri dalam analisis regresi logistik sebagai syarat
terendah pada masing-masing kaki. Kami meng- seleksi sebelum mendapatkan faktor risiko inde-
kategorikan hipertensi6 sebagai berikut: normal penden signifikan.9
(kurang dari120/80 mmHg), pre-hipertensi (120- Kelayakan studi secara etik dilakukan dengan
130/80-89 mmHg), hipertensi grade I (140-159/90- beberapa cara. Subjek turut menandatangani
99 mmHg), hipertensi grade II (160 – 180/100-110 lembar jawaban tersebut sebagai bentuk informed
mmHg), dan krisis hipertensi (lebih dari 180/110 consent dan data akan dimusnahkan pasca peng-
mmHg). olahan analisis statistik. Studi ini telah mendapat
Beberapa definisi dinyatakan lagi dalam studi rekomendasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten
ini. Kami menggunakan kriteria Asia untuk Indeks Sikka dan atas seizin lembaga berwenang
Massa Tubuh (IMT) (18.5 – 22.9 kg/m2) sebagai (Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Sikka).
acuan normal. PAP dinyatakan dengan nilai Tidak ada konflik kepentingan dan subjek telah
kurang dari 0.9 pada pengukuran IBAm. Batasan bersedia dilakukan rangkaian prosedur penelitian
200 mg/dl menjadi batasan gula darah sewaktu ini, mencakup wawancara, pemeriksaan fisik, dan
normal. Selain itu, kami juga mengambil definisi sampel darah.
hiperurisemia sesuai jenis kelamin dimana kadar
lebih dari 7.0 mg/dl bagi laki-laki atau 6.0 mg/dl Hasil
bagi perempuan menjadi syarat hiperurisemia. Kami telah mengeksklusi 2 subjek dengan
Adapun kolesterol total kami batasi sampai 200 riwayat batu ginjal, 3 kasus gawat darurat, dan 34
mg/dl sebagai batas maksimal. Riwayat hipertensi subjek dengan data yang tidak lengkap sebelum
kami gunakan 140/90 sebagai cut off tekanan kami mendapati 332 subjek yang memberikan
darah normal pada mereka yang tidak paham konsen untuk bergabung dalam studi kami dan
akan definisi hipertensi.7 Dilakukan pengukuran telah terkonfirmasi seluruh persyaratan yang ada.
minimal 2 kali pada hari yang berbeda atau Subjek kami didominasi wanita (pria vs wa -
memang terkonfirmasi pada catatan rekam medis nita–117 [35.1%] vs 216 [64.9%]) dan kebanyakan
jika yang bersangku tan pernah datang ke telah menikah (98.5%). Mereka umumnya bekerja
puskesmas. Riwayat merokok mereka pun kami sebagai petani (71.2%). guru (4.2%), dan pedagang
kategorikan sebagai ringan, sedang, dan berat (0.6%).Lain-lain tertera dalam tabel 1.
sesuai denga indeks brinkman (IB) yang terhitung Secara deskriptif, kami mendapati gambaran
dengan mengalikan jumlah maksimal rokok harian umum subjek kami. Rerata umur subjek mencapai

28 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019


NALDO SOFIAN, STEPHANIE WIBISONO. 26–33

Tabel 1. Jumlah subjek dengan PAP (IBAm <0.9) dan Tabel 3. Analisis Faktor Risiko PAP Simptomatik
Normal

Tabel 2. Analisis Faktor Risiko pada PAP Asimptomatik

normal), sedangkan hanya 135 (40.5%) di antara


mereka yang simptomatik, tetapi mereka hanya
terdiri dari 87 (26.1%) dari total subjek kami yang
benar-benar memiliki klaudikasio intermiten.
Klasifikasi rinci rerata IBAm pada kaki kiri sedikit
lebih rendah dibandingkan dengan kaki kanan
(1.0064 vs 1.0071). Analisis lebih lanjut men -
dapati bahwa klaudikasio lebih banyak terjadi
pada mereka dengan IBA m tibialis posterior
lebih rendah dibandingkan arteri lainnya. (0.89
vs 0.93 [arteri tibalis posterior kanan]; 0.97
pada kedua arteri dorsalis pedis) Hanya saja,
be be rapa dari mereka yang tidak bergejala
57.47 tahun (28-87 tahun) dan IB rerata 212.48 bahkan memiliki IBA m lebih rendah dari atau
batang rokok-tahun. Status nutrisi subjek kami sama dengan 0.61.
juga baik (19.79 kg/m 2 ). Di antara seluruh Kami menstratifikasi risiko melalui penilaian
pemeriksaan darah sederhana, asam urat odds ratio pada variabel kami. Pada kasus asimp-
memiliki rerata nilai tertinggi pada subjek kami tomatik, kami mendapati temuan signifikan pada
(6.9 mg/dl ), sedangkan rerata gula darah dan semua pemeriksaan laboratorium. Faktor risiko
kolesterol umumnya dalam batas normal (104 lainnya mencakup jenis kelamin (OR 0.361 [0.202 –
mg/dl dan 196 mg/dl). 0.644]), riwayat hipertensi dalam keluarga (OR
Luaran utama kami, IBAm, ditemukan rerata 4.109 [2.280 – 7.404]), keberadaan komorbiditas
mencapai 0.94 – 0.99 baik pada kaki kiri maupun apapun (;OR 4.152 [1.997 – 8.629]), dan diagnosis
kanan. Kami menemukan 105 (31.5%) dengan hipertensi (OR 2.248 [1.347 – 3.750]). Sedikit per-
IBAm kurang dari 0.9 (vs 224 [67.3%] dalam batas bedaan terlihat pada PAP simptomatik, yaitu di-

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 29


Skrining Penyakit Arteri Perifer di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama di Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur
(Sebuah Perbandingan Faktor Risiko Simptomatik dan Asimptomatik Pada Penyakit Arteri Perifer). 26–33

dapatnya jenis kelamin (0.002 ;OR 0.303 [0.140 – derungan risiko kejadian gangguan kardiovaskular
0.656]), penggunaan analgesik (OR 0.45 [0.27 – yang lebih tinggi dibandingkan dengan definisi
1.001]), dan proteinuria (OR 2.667 [1.281 – 5.553]) umum. 13 Dengan demikian, pengukuran IBA m
sebagai faktor risiko signifikan. secara palpasi pada perawatan primer pada
pasien dengan risiko kardio vaskular adalah
Diskusi metode yang cukup sensitif untuk dipertim -
Seperti yang telah kita ketahui, pengukuran bangkan.14
IBA m telah terbukti menjadi faktor prognostik Berdasarkan fakta ini, penelitian kami melaku-
untuk kejadian iskemik kardiovaskular dalam kan penilaian terhadap PAP dengan mengukur
penetapan uji prospektif klinis, Jika dilakukan IBAm baik pada pasien simtomatik maupun asim-
dengan melakukan perabaan pulsasi pada lokasi tomatik, menanyakan gejala iskemik umum se-
anatomis, 10 namun nilainya dalam pelayanan perti (nyeri betis berhubungan dengan intensitas
tingkat primer belum dapat ditentukan. Pengu- berjalan), membandingkan prevalensinya,dan
kuran IBAm dilakukan setelah pasien beristirahat menyimpulkannya. Tidak ada klasifikasi lebih jauh
dalam posisi terlentang selama 10 menit. Namun, karena kami menganggap PAP derajat berat
metode yang berbeda dilaporkan untuk per - sebagai keadaan gawat darurat dan dieksklusi.
hitungan IBAm. Dalam penelitian ini, seperti yang Pengukuran spesifik kami menunjukkan bahwa
disarankan oleh American Heart Association (AHA), arteri tibialis posterior merupakan predileksi PAP,
IBA ditentukan dengan membagi tekanan sistolik baik asimptomatik ataupun simptomatik, masing-
tertinggi pada pergelangan kaki dengan tekanan masing memiliki prevalensi 39,1% dan 17,2%.
sistolik tertinggi pada arteri brachialis,5,11 tetapi Keduanya juga memiliki IBAm lebih rendah diban-
akan lebih sensitif jika menggunakan tekanan ding kan dengan lokasi arteri dorsalis pedis,
darah terendah pada kaki sehingga inilah yang di- bahkan berbeda signifikan jika dibandingkan pada
maksud sebagai IBAm (Hasil modifikasi vs standar simptomatik PAP. Sepengetahuan kami, tidak ada
= Sensitivitas 84% vs 69%; Spesifisitas = 68% vs studi perbandingan untuk menyaring detail
83%; Nilai prediksi positif = 16% vs 26%; Nilai semacam itu. Kami mengakui bahwa menilai arteri
prediksi negative = 98% vs 87%).11 Jika doppler- tibialis dengan menggunakan metode pulsasi
ultrasound tidak tersedia di sebagian besar cukup sulit, bisa saja secara keliru pada saat
perawatan kesehatan primer, metode palpasi diukur pulsasi yang terasa adalah pulsasi jari kita,
lebih diutamakan. Nilai diagnostik ABI standar sehingga setidaknya dilakukan dua kali untuk me-
(menggunakan bantuan Doppler ultrasound) mastikan tekanan darah akurat dan mengurangi
dibuktikan oleh meta-analisis dari Xu D, et al kemungkinan biasnya. Bila kita menganggap hasil
(2013) memiliki OR diagnostik 15.33 (95%IK 9.39- ini benar sebagaimana mestinya, arteri di per-
25.0), sensitivitas sebanyak 75% (95% CI: 71-79%), gelangan kaki rentan terhadap turbulensi material
spesifisitas 86% (95% CI 83-90%), rasio kecen - dan deposisi debris, lipid, hingga beragam zat
derungan positif = 4,18 (2.14 – 8.14) dan rasio pada dindingnya. Namun, umumnya kami me-
kecenderungan negatif 0,29 (0,18-0,47).12 Hasil nemu kan prevalensi yang serupa untuk kedua
berbeda justru dibuktikan oleh Migliacci R, et al kaki untuk PAP asimtomatik sementara kaki kiri
(2008) akan nilai diagnostik metode palpasi yang memiliki prevalensi PAP lebih banyak daripada
tampak lebih sensitif. Penelitian mereka men - yang kanan (14,9% vs 10,3%).
dapati sensitivitas 88% (95% IK: 65–100), specificity Hipertensi kronis, baik yang tidak diobati dan
82% (77–88), positive predictive value 18% (6–29), tidak terkontrol dapat mencerminkan perkem-
negative predictive value 99% (98–100), positive bangan aterosklerosis, membuat lumen arteri
likelihood ratio = 4.98 (3.32–7.48) dan negative semakin kecil dan kaku. Penyempitan pembuluh
likelihood ratio = 0.15 (0.02–0.95) sehingga dapat darah mengurangi perfusi organ perifer dan
dikatakan memang metode palpasi ada tempat- menyebabkan kerusakan parah pada pembuluh
nya dalam praktik klinis kita. Imbas dari peng- darah sebelum adanya deposit lipid di dinding-
gunaan IBAm dinyatakan justru memiliki kecen- nya.15 Kram otot sering disalah artikan dianggap

30 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019


NALDO SOFIAN, STEPHANIE WIBISONO. 26–33

sebagai masalah muskuloskeletal. Mereka yang secara signifikan (OR ≈ 0,2 [95% CI = (0,055 - 0,773
menderita PAP sebanyak 55% memiliki hipertensi. dalam gejala); (0,083 - 0,636 asimtomatik)]).
Analisis multivariat menunjukkan bahwa adanya Temuan ini mendukung pendapat adanya
peningkatan risiko odd ratio untuk PAP sebanyak kemungkinan peran protektif dari hiperurisemia
1,3 (95% CI 1,2 - 1,5) untuk setiap peningkatan pada sel-sel tubuh. Asam urat memiliki potensi
tekanan darah sistolik 10 mmHg.15 Ini menjadi sebagai antioksidan mengingat ia merupakan
saran bagi kita untuk memantau arteri perifer produk sampingan dari hydrogen peroksida pasca
juga. Melalui alat apapun, IBAm adalah yang paling pengolahan hipoxantine dan xanthine. Hanya
layak, sebagai penapisan komplikasi hipertensi saja, memang peranannya tidak sepenuhnya
yang potensial. Sebaliknya, hipertensi dapat demikian karena ia juga memediasi pembentukan
melindungi perkembangan PAP simtomatik radikal bebas dari aminokarbonil terhadap low
karena penelitian kami menemukan bahwa dalam density lipopro tein (LDL) serta menghambat
5-10 tahun riwayat hipertensi (p = 0,037; OR = nitrogen oxide synthase. Dominasi kerusaanannya
0,227 [0,056 - 0,915]) dan tidak ada hasil signifikan ada pada epitel vaskular renal sehingga pada
yang lebih jauh dari 10 tahun (p = 0.298; OR = beberapa kelompok populasi, temuan hiperuri-
0.2507 [0.444 - 14.166]). Menariknya, gejala semia dapat tidak bermakna terhadap beberapa
asimtomatik tersebut berisiko lebih besar pada 10 parameter kardiovaskular walaupun sebagian
tahun yang memiliki riwayat hipertensi (p value = besar mendukung efek hiperurisemia terhadap
0,008; OR = 8.136 [1.737 - 38.111]) daripada tahun- kejadian kerusakan vaskular.17 Mengukur asam
tahun yang lebih rendah (Tabel 4). Ini berarti urat secara acak mungkin penyebabnya juga oleh
bahwa hipertensi sebelum berkembangnya PAP karena menyiratkan metode yang berbeda
seakan-akan membuat pembuluh darah kolateral dibandingkan dengan penelitian sebelumnya dan
dalam kondisi iskemik atau sebagai mekanisme tidak mencerminkan implikasi kronis yang
kompensasi untuk mencukupi perfusi jaringan. disebabkan oleh hiperurisemia Oleh karena itu,
Namun, hipotesis ini masih perlu dibuktikan lebih temuan tersebut perlu dikonfirmasi ulang.
lanjut. Tampaknya wanita lebih rentan terhadap
Berbeda dengan faktor risiko lainnya, hiperuri- gangguan fungsional pada PAP dibandingkan pria.
semia dapat secara langsung menghambat Namun, kualitas hidup lebih berdampak pada
pengu kuran IBA m . Beberapa penelitian meng - wanita dengan PAP. Hal ini ditunjukkan melalui
klaim bahwa hiperurisemia sebagai faktor risiko studi tentang jarak berjalan yang lebih rendah
sementara, yang lain menyarankan bahwa iskemia pada wanita dengan PAP jika dibandingkan
anggota badan bagian bawah dapat menyebab- pria dengan PAP, sekalipun perbedaanya hanya
kan kenaikannya, antara lain hipertensi, gagal 8-10%.18 Semua ini sesuai dengan temuan kami,
ginjal, dan gangguan metabolik.15 Terlepas dari bahwa wanita lebih rentan terdampak PAP,
fakta tersebut, hal ini berkorelasi baik dengan berdasarkan sebanyak 0,274 (0,094 - 0,798) risiko
status fungsional sirkulasi yang buruk pada arteri PAP pria dibandingkan wanita (p = 0,018) sekali-
perifer. Peradangan yang terus-menerus pada pun jumlah subjek laki-laki pada penelitian kami
gout telah diteliti oleh peneliti Inggris di antara hanya sepertiga dari keseluruha.
8.386 pasien berusia lebih dari 50 tahun dalam Riwayat keluarga juga memiliki korelasi dengan
percobaan terkontrol secara acak. Ini membukti- PAP. Hal ini dijelaskan dengan baik dalam varian
kan bahwa pengendapan kristal gout, non-akut genetik tertentu, namun tidak terdapat penelitian
dapat mempotensiasi penyakit serebrovaskular besar lebih lanjut. Pasien yang menderita PAP usia
lebih jauh, namun tidak ada penjelasan atau dini, tepatnya kurang dari 49 tahun, ditemukan
pembuktian spesifik,karena komplikasinya, yang odds ratio sebanyak 1,1 - 1,3. Mereka yang memiliki
telah dipublikasikan dalam penelitian besar. 16 kecenderungan riwayat keluarga mungkin
Namun, kami menemukan hasil yang kontradiktif. memiliki odds ratio yang sama dengan perokok,
Pada kedua PAP baik yang simtomatik dan asimp- hipertensi, dan diabetes. 19 Kami menganggap
tomatik, hiperuricemia mengurangi risikonya masalah ini sebagai sesuatu yang baru, sehingga

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 31


Skrining Penyakit Arteri Perifer di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama di Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur
(Sebuah Perbandingan Faktor Risiko Simptomatik dan Asimptomatik Pada Penyakit Arteri Perifer). 26–33

kami tidak bertanya mengenai riwayat keluarga hipertensi dalam keluarga dan jenis kelamin
yang menderita PAP. Selain itu, populasi penelitian (perempuan) harus dicatat dalam skrining PAP
kami belum banyak mengenal diagnosis PAP. karena memiliki risiko lebih tinggi pada PAP
Sebaliknya, hipertensi sudah lama dikenal sebagai asimptomatik dalam populasi penelitian kami. Ini
faktor risiko yang kuat dan memang memenga- memerlukan penyelidikan lebih lanjut untuk
ruhi PAP pertanyaan tentang hipertensi dalam mengungkapkan sepenuhnya tentang PAP.
keluarga lebih valid dan signifikan (p = 0,01; OR =
6,513 (95% CI [2.165 - 19.590]). Kelemahan
Proteinuria merupakan faktor risiko lain yang Kami telah mengumpukan jumlah sampel yang
menarik. Studi kami menemukan hubungan yang cukup untuk analisis. Namun, kesulitan untuk
signifikan (p = 0,037) dan risiko untuk menjadi PAD follow up dan menyulitkan konfirmasi beberapa
(OR = 2,801 [95% CI = 1,063 - 7,377]). Proteinuria parameter untuk menentukan kronisitasnya,
dihasilkan karena ada kebocoran ginjal, ditemu- seperti masalah hiperurisemia, merokok, dan
kan pada pasien dengan kerusakan fungsi ginjal. hipertensi. Ditambah dengan dominasi wanita
Apakah proteinuria ini bermakna apa tidak, belum sangat besar pada studi ini.
ada studi lanjutan mengenai ini, tetapi IBAm telah
banyak diteliti dalam penyakit gagal ginjal kronis Daftar Pustaka
1. About Peripheral artery disease (PAD). Dalam: American Heart
dan juga dipadukan sebagai masalah yang
Association; 2017 [cited 2017 Dec 26]. Tersedia di:
berkaitan dengan albuminuria sebagai disfungsi http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/VascularHealth/
endotel umum dan aterosklerosis oleh Pranay S, PeripheralArteryDisease/About-Peripheral-Artery-Disease-
dkk (2014). Penelitian lainnya yang sama adalah PAD_UCM_301301_Article.jsp#
tentang kalsifikasi arteri medial oleh albuminuria 2. Criqui MH, Aboyans V. Epidemiology of Peripheral Artery Disease.
yang dapat menghasilkan bias hasil IBAm, yang Circ Res. 2015 Apr 24;116(9):1509–26.
3. Allison MA, Ho E, Denenberg JO, Langer RD, Newman AB,
seharusnya normal. 20 Dengan kata lain, pro -
Fabsitz RR, et al. Ethnic-Specific Prevalence of Peripheral Arterial
teinuria dan IBAm dapat memiliki hubungan baik Disease in the United States. Am J Prev Med. 2007
secara statistik maupun klinis. Apr;32(4):328–33.
Sepengetahuan kami, inilah studi pertama 4. Tavintharan S, Ning Cheung, Su Chi Lim, Tay W, Shankar A,
yang mencoba menilai perbedaan faktor risiko Shyong Tai E, et al. Prevalence and risk factors for peripheral
artery disease in an Asian population with diabetes mellitus. Diab
pada kedua kelompok pada sebuah populasi di
Vasc Dis Res. 2009 Apr;6(2):80–6.
Indonesia. Memilih kandidat skrining PAP untuk 5. Amjad Al Mahameed. Peripheral Arterial Disease. Dalam:
mencegah mortalitas dan morbiditas lebih lanjut, Cleveland Clinic [Internet]. The Cleveland Clinic Foundation;
bahkan untuk menyaring penyakit aterosklerosis 2009 [Diakses 26 Desember 2016]. Tersedia di:
progresif lainnya secara efisien itu penting, se- http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/disease
hingga berdasarkan hasil ini, wanita dan mereka management/cardiology/peripheral-arterial-disease/#top
6. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA,
yang memiliki riwayat hipertensi keluarga harus
Izzo JL, et al. Seventh report of the Joint National Committee on
diprioritaskan dalam skrining untuk mendeteksi prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood
PAP asimptomatik sehingga berhasil mencegah pressure. Hypertension [Online]. 6 November 2003 [Diakses 1
perkembangan PAP lebih awal, termasuk skrining Februari 2018]; 42:1206-52.
proteinuria untuk menilai kerusakan ginjal lebih 7. Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suastika K,
Manaf A, et al. Konsensus pengelolaan dan pencegahan
lanjut. 20 Hipertensi dapat mempercepat per -
diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia. Juli 2015. PB PERKENI.
kembangan PAP mesikipun tanpa gejala. 14 8. Djojodibroto RD. Respirologi. Jakarta: EGC.h60, 2009.
Dengan demikian, kami menemukan beberapa 9. Dahlan MS. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Edisi ke-
perbedaan faktor risiko antara PAP simtomatik 6. Jakarta: Epidemiologi Indonesia, 2017
dan asimtomatik, baik dari segi variabilitas dan 10. Espinola-Klein C, Rupprecht HJ, Bickel C, Lackner K, Savvidis S,
intensitasnya. Kedua kelompok memerlukan kon- Messow CM, et al. Different calculations of ankle brachial index
and their impact on cardiovascular risk prediction. Circulation
firmasi lebih lanjut mengenai peran hyperu ri -
[Online], 7 Juli 2008 [Diakses 6 Mei 2018]; 118: 961-7.
cemia sebagai faktor risiko pelindung atau 11. Oksala NKJ, Viljamaa J, Saimanen E, Venermo N. Modified ankle-
destruktif, dan juga lamanya hipertensi. Riwayat brachial index detects more patients at risk in a Finnish primary

32 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019


NALDO SOFIAN, STEPHANIE WIBISONO. 26–33

health care. Eur J Vasc Endovasc Surg [Onine]. 6 Desember hyperuricemia, and vascular diseases. Biosci [Online]. 1 Juli
2009 [Diakses 1 Mei 2018]; 39: 227-33. 2012 [Diakses 5 Mei 2018]; 17:656-69.
12. Xu D, Li J, Zou L, Xu Yawei, Hu D, Pagoto SL, et al. Sensitivity and 18. Collins TC, Suarez-Almazor M, Bush RL, Petersen NJ. Gender
specificity of the ankle-brachial index to diagnose peripheral and Peripheral Arterial Disease. J Am Board Fam Med. 1 Maret
artery disease: a structured review. Vascular Medicine [Online]. 2006;19(2):132–40.
2010 [Diakses 6 Mei 2018]; 15(5): 361-9. 19. Wassel CL, Loomba R, Ix JH, Allison MA, Denenberg JO, Criqui
13. Migliacci R, Nasorri R, Ricciarini P, Gresele P. Ankle-Brachial MH. Family History of Peripheral Artery Disease Is Associated With
Index measured by palpation for the diagnosis of peripheral Prevalence and Severity of Peripheral Artery Disease. J Am Coll
artery disease. Family Practice [Online]. 22 Mei 2008 [Diakses 26 Cardiol. September 2011;58(13):1386–92.
Desember 2017]; 25: 228-32. 20. Garimella PS, Hirsch AT. Peripheral Artery Disease and Chronic
14. Carmo G, Mandil A, Nascimento B, Arantes B, Bittencourt J, Kidney Disease: Clinical Synergy to Improve Outcomes. Adv
Falqueto E, et al. Can we measure the ankle-brachial index using Chronic Kidney Dis. November 2014;21(6):460–71.
only a stethoscope? A pilot study. Fam Pract. 24 November 2008; 21. Fo wler B, Jamrozik K, Norman P, Allen Y. Prevalence o f
26(1):22–6. peripheral arterial disease: persistence of excess risk in former
15. Blood Pressure Association. Peripheral artery disease and high smokers. Aust N Z J Public Health. 2002 Jun;26(3):219–24.
blood pressure. Blood Pressure UK [Internet]. 2008; Tersedia di: 22. Yang S, Wang S, Yang B, Zheng J, Cai Y, Yang Z. Alcohol
http://www.bloodpressureuk.org/BloodPressureandyou/Your Consumption Is a Risk Factor for Lower Extremity Arterial Disease
body/Peripheralarterydisease. in Chinese Patients with T2DM. J Diabetes Res. 2017;2017:1–6.
16. Jonathan S Coblyn. Is gout associated with vascular disease ? 23. Langlois M, De Bacquer D, Duprez D, De Buyzere M, Delanghe
Dalam: New England Journal of Medicine [Internet]. 2015 [cited J, Blaton V. Serum uric acid in hypertensive patients with and
2018 Jan 15]. Tersedia di: 3.https://www.jwatch.org/ withou t peripheral arterial disease. Atherosclerosis. Mei
na37335/2015/03/24/gout-associated-with-vascular-disease. 2003;168(1):163–8.
17. Jin M, Yang F, Yang I, Yin Y, uo JJ, Wang H, et al. Uric acid,

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 33


LAPORAN KASUS

Hipertiroid dan
Lupus Eritematosus Sistemik

Abstrak
Penyakit au toimun dapat terjadi secara sistemik atau spesifik pada organ tertentu dan
bahkan ditemukan bersamaan dengan penyakit autoimun lainnya pada individu yang sama.
Hubungan antara SLE dengan abnormalitas pada tiroid pertama kali dijelaskan pada tahun 1961
oleh White dan kawan kawan. dan Hijmans dan kawan kawan. yang menunjukkan bahwa gangguan
tiroid lebih sering didapatkan pada pasien SLE dibandingkan dengan populasi umumnya. Chan dan
kawan kawan (2001) dan Joshi dan kawan kawan.(1998) melaporkan bahwa sebagian besar disfungsi
tiroid yang didapatkan adalah hipotiroid (73,2%) diikuti oleh hipotiroid subklinis (17,1%) dan hiper-
tiroid (7,3%). Koeksistensi dari SLE dan tirotoksikosis jarang dijumpai sampai saat ini. Pada beber-
apa kasus dapat dijumpai tirotoksikosis mendahului manifestasi SLE, kasus lainnya didapatkan
manifestasi SLE muncul terdahulu dan pada kasus lainnya didapatkan keduanya muncul
bersamaan. Penelitian Porkodi dan kawan kawan. menunjukkan dari 20 pasien SLE dengan dis-
fungsi tiroid didapatkan pasien disfungsi tiroid yang mendahului SLE sebanyak 30%, setelah SLE
40% dan bersamaan dengan SLE sebanyak 30%.
Kami laporkan kasus seorang perempuan dengan SLE dan hipertiroid yang disertai sepsis karena
suspek infeksi saluran kemih. Hipertiroid pada pasien ini kemungkinan koeksistensi dari SLE den-
gan tirotoksikosis atau kelainan autoimun tiroid yang terjadi pada SLE. Kelainan hematologi yang
terjadi pada pasien ini dapat disebabkan oleh perjalanan penyakit SLE itu sendiri dan kemunkinan
adanya defisiensi nutrisi. Pemeriksaan lebih lanjut disarankan pemeriksaan pemantauan analisis
gas darah, kultur urin dan darah, elektroforesis protein, foto thorax, thyroid uptake, TSHR-Ab, evalu-
asi hapusan darah, SI dan TIBC.

Kata kunci: SLE, hipertiroid, koeksistensi, autoimun

Abstact
A 27-years-old woman was admitted to Hospital with chief complaint of diarrhea. Patient was diarrhea
since 3 days before admission, five times a day, accompanied with nausea & vomitting. She also com-
plained fever since 5 days ago accompanied with productive cough & pain when swallowing. Urination is
within normal limit. History of past illness: productive cough but self limiting, No TB contact, decreased
body weight since 4 months ago, appendicitis & appendectomi 9 months ago. In physical examination:
moderately ill, GCS 456. BP: 130/70 mmHg, HR: 140 bpm irreguler, RR: 20x/mnt, Tax: 40°C, oral ulcer (+),
in colli anterior: thyroid gland enlargement 4x4x5, painless, unfixed, abdomen: epigastric tenderness (+).
Laboratory finding showed normochromic normocytic anemia, thrombocytopenia, hypoalbuminemia,
hyponatremia, elevated blood T3 & T4, decreased blood TSH, positive ANA test & IgM Anti-dsDNA (weak
positive), positive Direct Coombs test, metabolic acidosis, proteinuria trace, ketonuria, leukocyturia,
hematuria, nitrite-uria. Accompanied with clinical, physical & other examination showed a SLE with
ANIK WIDIJANTI, hyperthyroid & sepsis e.c susp UTI. Hyperthyroidism in this patient might be coexistence of SLE &
ELLA MELISSA L. thyrotoxicosis or autoimmune thyroid disorders in SLE. Hematological disorders in this patient might be
due to SLE, chronic disease and nutritional deficiencies. Further suggestion examination are BGA
Laboratorium PK RSUD monitoring, urine & blood culture, chest x-ray, thyroid uptake, TSHR-Ab, blood smear, SI, TIBC.
Dr Saiful Anwar/FKUB
Malang
Key words: SLE, hyperthyroid, hematological disorders

34 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019


ANIK WIDIJANTI, ELLA MELISSA L. 34–40

Pendahuluan pasien SLE awalnya diterapi karena disfungsi


enyakit autoimun merupakan suatu penyakit tiroidnya sebelum diagnosis lupus ditegakkan dan
P yang berkaitan dengan genetik, hormonal dan
faktor-faktor lingkungan. Penyakit au toimun
sebaliknya.5 Penyakit tiroid sulit didiagnosis pada
pasien SLE karena gejala yang saling tumpang
dapat terjadi secara sistemik atau spesifik pada tindih antara penyakit tiroid dengan lupus di mana
organ tertentu, juga dapat ditemukan bersamaan pada keduanya dapat dijumpai kelelahan, edema
terjadi kelainan autoimun di beberapa organ pada lokal, kelemahan, mialgia, atralgia dan berbagai
individu yang sama. Angka kejadian penyakit keluhan-keluhan tidak spesifik lainnya.6 Koeksis-
autoimun seperti systemic lupus erythematosus tensi dari SLE dan tirotoksikosis jarang dijumpai
(SLE) telah banyak dilaporkan. Kakehasi dkk sampai saat ini. Pada beberapa kasus dapat
melaporkan pada SLE didapatkan 17 % dengan dijumpai manifestasi tirotoksikosis mendahului
kelainan fungsi tiroid yang terdiri dari 10 % SLE, kasus lainnya didapatkan manifestasi SLE
subklinis hipotiroid, 2 % subklinis hipertiroid, 4 % muncul terdahulu dan pada kasus lainnya
hipotiroid primer, serta 1 % serum tiroksin di- didapat kan keduanya muncul bersamaan. 7
bawah normal. Sehingga disimpulkan bahwa pada Penelitian Porkodi dkk. menunjukkan dari 20
sLE sering ditemukan kelainan fungsi tiroid, tetapi pasien SLE dengan disfungsi tiroid didapatkan
tak ada hubungan antara aktifitas SLE secara klinis pasien disfungsi tiroid yang mendahului SLE
dengan kelainan fungsi tiroid.1 Kejadian penyakit sebanyak 30%, setelah SLE 40% dan bersamaan
autoimun SLE dengan abnormalitas tiroid per- dengan SLE sebanyak 30%. 2 Pada beberapa
tama kali dilaporkan pada tahun 1961 oleh White penelitian menunjukan bahwa kelainan fungsi
dkk (dan kawan kawan) & Hijmans dkk. Penelitian tiroid lebih banyak pada hipotiroid dibanding
tersebut menunjukkan bahwa gangguan tiroid dengan hipertiroid.1-5
lebih sering didapatkan pada pasien SLE di - Kami laporkan kasus seorang perempuan 27
bandingkan dengan pada populasi umum.dikutip1,2 tahun dengan SLE dan hipertiroid yang disertai
Peneliti lain melaporkan terjadinya kelainan fungsi sepsis.
tiroid pada 13,1 % SLE, dan 5,1 % pada RA (rema-
toid arthritis). Hipertiroid lebih jarang dan terjadi Kasus
pada kelompok usia lebih muda, diikuti subklinis Wanita 27 tahun datang ke RS. dengan keluhan
hipo titoid pada usis lebih tua, dan klinikal diare, lima kali sehari selama 3 hari disertai
hipotiroid pada usia tua.2 Chan dkk. (2001)¸ Joshi dengan mual dan muntah. Selain itu pasien juga
dkk. (1998) melaporkan bahwa sebagian besar mengalami demam selama 5 hari disertai dengan
disfungsi tiroid yang didapatkan adalah hipotiroid batuk produktif dan nyeri telan. Pasien memiliki
(73,2%) diikuti oleh hipotiroid subklinis (17,1%) riwayat batuk produktif yang sembuh sendiri,
dan hipertiroid klinis (7,3%).dikutip 2 tidak ada kontak TB, riwayat penurunan berat
Hubungan antara SLE dengan kelainan tiroid badan sejak 4 bulan yang lalu dan riwayat radang
autoimun dapat saling berhubungan mengingat usus buntu dan diakhiri dengan operasi usus
au toimunitas berperan penting pada kedua buntu pada 9 bulan yang lalu.
kelainan tersebut. Dilaporkan prevalensi tiroid Pemeriksaan fisik pasien tampak sakit sedang
antibodi lebih sering ditemukan pada pasien SLE dengan GCS 456, tekanan darah 130/70 mmHg,
dibanding kontrol sehat, sehingga mengesankan nadi cepat (140x/menit), frekuensi nafas 20 kali
bahwa SLE dapat dihubungkan dengan pening- per menit, suhu 40 o C, status gizi dalam batas
katan resiko autoimunitas tiroid.3 Topik mengenai normal, pada cavum oris didapatkan oral ulcer,
apakah SLE merupakan faktor risiko tersendiri dari pada colli anterior terdapat pembesaran kelenjar
kelainan tiroid atau merupakan penemuan yang tiroid (4x4x5cm), tidak nyeri, unfixed. Pada abdo-
tidak disengaja karena kesamaan faktor risiko men didapatkan nyeri epigastrium. Pemeriksaan
yaitu keduanya paling sering didapatkan pada laboratorium pada awal masuk RS (7 Oktober)
kelompok usia wanita muda sampai saat ini masih didapatkan anemia ringan (borderline) normo -
tetap menjadi bahan diskusi. 4 Sebagian besar krom normositer (Hb 11 g/dL, MCV 83,7 fL, MCH

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 35


Hipertiroid dan Lupus Eritematosus Sistemik. 34–40

26,7 pg) dan hiponatremia (132 mmol/L), urine Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, laborato-
lengkap: agak keruh, protein trace, ketonuria 2+, rium dan pemeriksaan penunjang lainnya menun-
nitrituria, leukosituria 1+, hematuria 2+, bak - jukkan pasien SLE dengan hipertiroid dan sepsis
teriuria (?). Tanggal 10 Okrober didapatkan pening- disebabkan karena suspek Infeksi Saluran Kemih
katan T3 dan FT4, penurunan TSH, tinja lengkap (ISK). Pemeriksaan selanjutnya yang disarankan
dalam batas normal. Pada tanggal 12 Oktober adalah pemantauan analisis gas darah, kultur urin
menjadi anemia normokrom normositer (9,7 g/dL, dan darah, thyroid uptake, TSHR-Ab, evaluasi hapu-
MCV 80,4 fL, MCH 26,4), leukopenia, trombositope- san darah tepi, SI dan TIBC.
nia (115.000/μL), hipoalbuminemia (2,84 g/dL).
Tanggal 17 Oktober didapatkan ANA test positif, Diskusi
Anti-dsDNA IgM positif borderline 21 IU/mL Systemic Lupus Erythematosus adalah
(negatif <20, positif ≥20), Coomb’s test direk 1+, penyakit au toimun dimana sistem imun
analisa gas darah: asidosis metabolik. Pemeriksa- membent uk antibo di terhadap sel-sel tubuh
an USG tiroid tanggal 19 Oktober didapatkan (au toantibodi) sehingga menyebabkan infla-
struma difusa bilateral dengan peningkatan masi dan kerusakan jaringan. Penyebab SLE
vaskularisasi, curiga tiroiditis dan didapatkan masih belum diketahui dan diyakini oleh para
limfadenopati submandibula. ahli berhubungan dengan faktor genetik,
linkungan dan hormonal. Dapat terjadi pada
masa pertumbuhan sampai usia lanju t dengan
puncaknya didapatkan pada wanita usia
produkti f. Lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan dengan laki-laki (4-12:1). Orang
kulit hitam (dan kemungkinan Hispanic, Asian
dan pendud uk asli Amerika) lebih sering ter -
kena dibandingkan dengan kulit putih. Orang
yang memiliki riwayat keluarga terkena SLE
atau penyakit autoimun lainnya memiliki risiko
yang sedikit lebih tinggi untuk SLE. SLE juga
dapat terjadi dengan kondisi-kondisi autoimun
lainnya seperti tiroiditis, anemia hemolitik, idio-
pathic thrombocytopenia purpura.8
Systemic Lupus International Collaborating Clinics
(SLICC) 2012, merupakan grup internasional yang
berfokus pada penelitian klinis SLE dan merevisi
kriteria klasifikasi SLE untuk mengatasi berbagai
masalah yang muncul sejak kriteria American
College of Rheumatology (ACR) 1982 dikembang-
kan.9 Kriteria SLICC 2012 ini memerlukan minimal
satu criteria klinis dan satu criteria imunologis
untuk SLE. Adanya nefritis yang dikonfirmasi
dengan biopsy ginjal sesuai dengan lupus (disertai
dengan adanya autoantibody SLE) sudah meme-
nuhi untuk SLE.10
Dikatakan SLE apabila memenuhi Kriteria SLE
jika didapatkan ≥4 kriteria (minimal ada 1 kriteria
klinis dan 1 kriteria imunologis) atau nefritis lupus
yang sudah dibuktikan dengan biopsy dengan
ANA atau anti-DNA yang positif.10

36 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019


ANIK WIDIJANTI, ELLA MELISSA L. 34–40

Tabel Kriteria SLE menurut SLICC (2012)10 subklinis dan hipertiroid11 Pasien SLE jugan dapat
memiliki abnormalitas fungsi tiroid dengan
frekuensi yang cukup tinggi walaupun pasien
tersebut tidak memiliki klinis penyakit tiroid.
Mekanisme patogenesis yang mendasari hubung-
an tersebut juga masih belum jelas.6 Hubungan
antara SLE dengan abnormalitas pada tiroid
pertam a kali dijelaskan pada tahun 1961 oleh
White dkk. dan Hijmans dkk. Penelitian tersebu t
menunjukkan bahwa gangguan tiroid lebih sering
Pada kasus ini, didapatkan oral ulcer, leukope- didapatkan pada pasien SLE dibandingkan dengan
nia (limfopenia dan neutropenia) dan trombosi- populasi umumnya.1 Chan dkk. (2001) dan Joshi
topenia (beberapa hari setelah dirawat di RS) dan dkk. (1998) melaporkan bahwa sebagian besar
untuk criteria imunologisnya didapatkan ANA disfungsi tiroid yang didapatkan adalah hipotiroid
positif (9,8), IgM anti-dsDNA positif (21,00 IU/mL) klinis (73,2%) diikuti oleh hipotiroid subklinis
dan tes Coomb’s direk (1+) sehingga sudah (17,1%) dan hipertiroid (7,3%). 2 Porkodi dkk.
memenuhi criteria SLE menurut SLICC dan dapat (2004) menunjukkan bahwa hipertiroid pada SLE
didiagnosis sebagai SLE. terjadi pada usia yang lebih muda (rata-rata usia
Au toimunitas tiroid merupakan penyakit 27 tahun) dibandingkan dengan hipo tiroid
endokrin autoimun tersering. Graves’ Disease (GD) subklinis (rata-rata usia 28 tahun) dan hipotiroid
dan Hashimo to’s Thyroiditis (HT) merupakan klinis yang terjadi kemudian (rata-rata usia 30,4
penyakit klinis tersering dari autoimunitas tiroid. tahun).2
GD ditandai oleh hipertiroidisme karena produksi Faktor autoimunitas menjadi ciri umum pada
berlebih dari hormon tiroid yang disebabkan oleh au toimunitas tiroid dan SLE oleh karena itu
autoantibodi spesifik terhadap reseptor tiro - keduan ya dapat ditemukan bersamaan pada
tropin. HT merupakan penyakit autoimun yang seorang pasien. Adanya potensi hubungan antara
dimediasi oleh sel T (T cell-mediated) yang menye- autoimunitas tiroid dengan SLE perlu mendapat
babkan klinis hipotiroidisme karena destruksi perhatian sehingga dapat mempersiapkan
kelenjar tiroid. Karakteristik autoimunitas tiroid strategi pencegahan dan terapinya. 3 Penyakit
adalah produksi au toantibodi tiroid. Namun, tiroid sulit didiagnosis pada pasien SLE karena
mekanisme yang mendasari dimana antibodi gejala yang tumpang tindih diantara keduanya.
spesifik terhadap jaringan tiroid yang diproduksi Kelainan tiroid dapat terjadi akibat aktivitas anti-
masih belum diketahui secara pasti. Penelitian tiroid dari salah satu antibodi yang diroduksi pada
belakangan ini mengilustrasikan bahwa kedua SLE.6 Saat ini terdapat 4 kemunkinan hubungan
fakto r endogen dan eksogen mempengaruhi antara SLE dan tirotoksikosis yaitu:7
beratnya reaksi autoimun dengan meginduksi 1). Koeksistensi antara SLE dengan tirotoksikosis
respon imun.3 2). Kemunkinan SLE akibat drug-induced dengan
Kelainan tiroid sering terjadi pada SLE dan obat anti-tiroid
rheumatoid arthritis (RA). Sebagian besar diawali 3). Adanya kelainan tiroid autoimun pada pasien
dengan kelainan tiroid yang diterapi sebelum diag- SLE
nosis SLE ataupun RA ditegakkan atau sebaliknya 4). Kemungkinan perubahan serologis akibat
(vice versa). Hubungan antara penyakit tiroid drug-induced setelah pengobatan dengan
autoimun dengan SLE dan RA telah banyak diteliti propylthiouracil (ANA positif dari tipe berbeda
dan bahwa keduanya dapat memicu dan mem- tanpa adanya SLE)
perberat gejalanya. Prevalensi penyakit tiroid
autoimun pada SLE masih kontroversi dan diper- Pada pasien ini didapatkan adanya takikardia
kirakan bervariasi. Presentasi klinisnya bervariasi (140/menit), demam (40°C), diare, riwayat penu-
antar pasien seperti hipotiroid klinis, hipotiroid runan berat badan sejak 4 tahun lalu, hasil

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 37


Hipertiroid dan Lupus Eritematosus Sistemik. 34–40

pemeriksaan TSH yang kadarnya sangat rendah folipid.13 Anemia merupakan kelainan hematologi
(<0,01 μIU/mL) dengan kdar FT4 dan T3 yang yang umum terjadi pada SLE, didefinisikan sebagai
meningkat yaitu 3,03 dan 3,92. USG tiroid meun- nilai hemoglobin (Hb) <12 g/dL untuk wanita dan
jukkan struma difusa bilateral dengan peningkatan <13,5 g/dL untuk pria. Anemia ini dibagi menjadi
vaskularisasi, curiga tiroiditis. Tidak diketahui anemia of chronic disease (ACD) yang merupakan
adanya kelainan tiroid sebelumnya namun tidak bentuk tersering (60-80%), anemia defisiensi besi,
ada riwayat terapi dengan anti-tiroid sebelumnya. autoimmune hemolytic anemia (AIHA) dan anemia
Sehingga menunjukkan adanya gambaran hiper- karena insufisiensi ginjal kronis. Pada penelitian
tiroid dan dapat diperkirakan bahwa hipertiroid kohort dari 132 pasien SLE dengan anemia, ACD
pada pasien ini kemungkinan koeksistensi antara dijumpai pada 37,1% kasus, defisiensi besi pada
SLE dengan hipertiroid atau karena kelainan tiroid 35% kasus, AIHA pada 14,4% kasus dan anemia
autoimun yang terjadi pada SLE. Saran pemerik- karena sebab lain pada 12,9 kasus. ACD disebab-
saan lanjutannya adalah thyroid uptake dan thyroid kan supresi eritropoiesis sekunder akibat infla-
stimulating hormone receptor antibody (TSHR-Ab). masi kronis (normositik dan normokrom dengan
Dalam perjalananya pasien juga mengalami retikulosit yang rendah, iron serum yang rendah
suspek sepsis (kriteria lama sepsis) yang didukung sampai normal, cadangan besi yang cukup pada
gejala SIRS (Systemic Inflamatory Respone Syndrome) sumsum tulang dan kadar feritin serum yang
dengan disertai adanya sumber infeksi. Pada meningkat). Anemia defisiensi besi umumnya
pasien ditemukan adanya takikardia (140/menit), disebabkan karena menorrhagia dan kerentanan
febris (40°C), leukopenia (2.300-2630/μL), serta perdarahan saluran pencernaan akibat pengguna-
pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leu- an kortikosteroid jangka panjang.14
kosituria, nitrituria, bakteriuria serta adanya batuk
berdahak, febris dan nyeri telan maka penyebab
sepsis masih diduga antara ISK 9infeksi salurab
Kemih) atau pneumonia. Namun jika digunakan
kriteria baru dengan Sofa score masih borderline,
karena ada pemeriksaan yang belum dilakukan
seperti bilirubin darah.12
Pada pasien juga didapatkan hipoalbumin yang
dapat disebabkan karena peningkatan metabo-
lisme dari kondisi hipertiroidnya, kehilangan dari
saluran cerna (gastrointestinsl loss) yaitu diare dan
muntah serta karena peningkatan peningkatan
permeabilitas kapiler akibat sitokin-sitokin pada
kondisi SIRS dan sepsis. Pemeriksaan lanjutan
yang disarankan adalah pemantauan analisis gas
darah, kultur urin dan darah serta foto thorax dan
Gambar 1. Penyebab anemia pada SLE15
elektroforesis protein, serta procalcitonin.
Saat onset SLE, dapat dijumpai keterlibatan
satu sistem organ atau lebih dan seiring berjalan- AIHA ditandai dengan peningkatan retikulosit,
nya penyakit dapat terjadi berbagai manifestasi penurunan kadar haptoglobin, peningkatan kon-
setelah waktu tertentu. Manifestasi hematologi sentrasi bilirubin indirek, tes Coombs direk yang
pada pasien SLE (kelainan elemen darah, kelainan positif. AIHA ditemukan pada sekitar 10% pasien
faktor pembekuan dan fibrinolisis serta sistem SLE. Adaya anemia hemolitik dapat berhubungan
yang berkaitan) biasanya beragam dan seringkali dengan manifestasi penyakit yang berat seperti
menggambarkan manifestasi penyakit. Manifes- penyakit ginjal, seizure dan serositis. Adanya
tasi hematologi utama dari SLE adalah anemia, immunoglobulin dan komplemen pada eritrosit
leukopenia, trombositopenia dan antibodi antifos- biasanya dihubungkan dengan berbagai derajat

38 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019


ANIK WIDIJANTI, ELLA MELISSA L. 34–40

hemolisis, sedangkan adanya komplemen dengan peningkatan mortalitas. Penelitian


tersendiri (C3 dan/atau C4) sering tidak ber - retrospektif terkini dari 632 pasien SLE menun-
hubungan dengan hemolisis.14 jukkan bahwa prevalensi trombositopenia pada
Leukopenia merupakan tanda khas dan dapat saat diagnosis ditegakkan sekitar 58 %. Terdapat
dijumpai pada SLE yang disebabkan karena hubungan yang jelas antara trombositopenia
leucopenia, neutropenia atau kombinasi dari ke- dengan aktivitas penyakit, peningkatan mortalitas
duanya. Prevalensi limfopenia pada SLE berkisar dan hipo-komplementemia.14
antara 20-81% dan derajatnya dapat berhubung- Pada kasus ini didapatkan hasil pemeriksaan
an dengan aktivitas penyakitnya. Limfosit T dan B hematologi anemia normokrom normositik
menurun sedangkan natural killer cell biasanya (borderline) yang dalam perjalanannya menjadi
meningkat. Neutropenia umum didapatkan pada anemia (overt), leukosit dan trombosit dalam batas
SLE dengan prevalensi 47% dan dapat dimediasi normal yang kemudian menjadi limfopenia, neu-
oleh adanya antibodi anti-neutrofil. Peningkatan tropenia dan trombositopenia didukung dengan
kadar TNF-related apoptosis-inducing ligand (TRAIL) adanya SLE, hipertiroid dan kemungkinan adanya
pada SLE dapat juga menyebabkan terjadinya defisiensi nutrisi (diare, nausea, vomiting, asupan
neutropenia karena adanya apoptosis neutrofil kurang), maka kelainan hematologis pada pasien
yang berlebihan. Penyebab lain terjadinya neu- ini kemungkinan akibat SLE dan defisiensi nutrisi.
tropenia pada SLE adalah drug-induced seperti Saran pemeriksaan selanjutnya adalah evaluasi
imunosupresan, terapi kombinasi selain kortikos- hapusan darah, SI (serum Iron) dan TIBC (Total Iron
teroid, imunosupresif atau NSAIDs.14 Binding Capacity).
Prevalensi trombositopenia pada pasien SLE
berkisar antara 7-30%. Mekanisme pathogenesis Kesimpulan
yang sering terjadi adalah karena peningkatan Kami laporkan kasus perempuan berusia 27
destruksi trombosit di perifer dan adanya antibodi tahun datang ke rumah sakit dengan SLE, hiper-
anti-platelet. Adanya autoantibodi antifosfolipid tiroid dan sepsis karena suspek ISK. Hipertiroid
juga berperan pada beberapa pasien. Trombo- pada pasien ini kemungkinan koeksistensi dari SLE
sitopenia pada SLE dapat terjadi pada onset yang dengan tirotoksikosis atau kelainan autoimun
akut dan sangat berat yang biasanya berhubung- tiroid yang terjadi pada SLE. Kelainan hematologi
an dengan aktivitas penyakit dan berespon ter- yang terjadi pada pasien ini dapat disebabkan
hadap kortikosteroid. Bentuk yang kronis lebih oleh perjalanan penyakit SLE itu sendiri dan ke-
sering dijumpai dan kurang berhubungan dengan mungkinan adanya defisiensi nutrisi. Pemeriksaan
aktivitas penyakit dan biasanya kurang responsive lebih lanjut disarankan pemeriksaan pemantauan
terhadap terapi steroid. Immune thrombocytopenia analisis gas darah, kultur urin dan darah, foto
(ITP) dapat mendahului SLE pada 16% pasien dan thora x, elektroforesis protein, thyroid uptake,
biasanya muncul sekitar 10 tahun sebelum klinis TSHR-Ab, evaluasi hapusan darah, SI dan TIBC
SLE muncul. Diperkirakan 3-15% pasien denga ITP
berkembang menjadi SLE. Kadar komplemen C3 Daftar Pustaka
yang rendah (batas bawah) dijumpai pada 1. Kakehasi A M, Dias V N, Duarte J E, Lanna C D D dan
Carvalho M A P. Thyroid Abnormalities in Systemic Lupus
beberapa pasien SLE dengan trombositopenia.
Erythematosus:a Study in 100 Brazilian Patients. Rev Bras
Hal ini berhubungan dengan peningkatan risiko
Reumatol 2006 ;46(6) :375-379.
relapsnya trombositopenia pada pasien ini dan
2. Porkodi R, Ramesh S, Mahesh A, et al. Thyroid Dysfunction
memprediksi pemeriksaan C3 selanjutnya. Pasien In Systemic Lupus Erythematosus and Rheumatoid
dengan riwayat trombositopenia dan kadar Arthritis. J Indian Rheumatol Assoc 2004 ; 12 : 88-90.
komplemen yang rendah lebih sering mengalami 3. Pan X F, Gu J Q, Shan Z Y. Patients with Systemic Lupus
relaps. Trombositopenia merupakan faktor risiko Erythematosus Have Higher Prevalence o f Thyroid
tersendiri untuk peningkatan mortalitas pada SLE. Autoantibodies: A systematic Review and Meta-analysis.
Pada penelitian retrospektif dari 126 pasien SLE, Plos One 10(4):e0123291.doi:10.371/journaql.pone.
trombositopenia yang late-onset berhubungan 0123291. (2015).

Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019 39


Hipertiroid dan Lupus Eritematosus Sistemik. 34–40

4. Pyne D, Isenberg D A. Autoimmune Thyroid Disease in 10. Petri M, Orbai A M, Alarcon G S, et al. Derivation and
Systemic Lupus Erythematosus. Ann Rheum Dis 2002; Validation of Systemic Lupus International Collaborating
61:70–72. Clinics Classification Criteria for Systemic Lupus
5. Zakeri Z, Sandhoogi M. Thyroid Disorder in Systemic Lupus Erythematosus. Arthritis Rheum 2012; 64(8): 2677–2686.
Erythematosus Patients in Southeast Iran. Shiraz E-Medical 11. El-saadany H, Elkhalik M A, Moustafa T, El-bar E A. Thyroid
Journal 2010; 11 (1): 34-38. dysfunction in systemic lupus erythematosus and rheuma-
6. Al-Girgawy S A F dan Al-Shabrawy D A. Thyroid Disorders toid arthritis:Its impact as a cardiovascular risk factor. The
and Autoantibodies in Systemic Lupus Erythematosus. Egyptian Rheumatologist 2014; 36:71-78.
Egypt Rheumatol Rehab 2007; 34(3):497-508. 12. SingerM, Deutschman CS, Seymur CW, et al. The Third
7. Baleva M, Nikolov K, Manov E, et al. The Coexistence of International Consensus Definitions for Sepsis and Septic
Systemic Lupus Erythematosus and Thyrotoxicosis: The Shock (Sepsis-3). Yama 2016 ; 315(8) : 801-810.
Diagnostic Value of Antihistone Antibodies. Hindawi 13. Sasidharan P K, Bindya M, Kumar K G S. Hematological
Publishing Corporation case Reports in Rheumatology Manifestation o f SLE at Initial Presentation: Is It
2012. Article ID 517059, 4 pages doi:10.1155/2012/517059. Underestimated ?. International Scholarly Research
8. Page OT. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Centers for Network ISRN Hematology 2012; Article ID 961872, 5 pages
Disease Control and Prevention | National Center for doi:10.5402/2012/961872.
Chronic Disease Prevention and Health Promotion | Division 14. Bashal F. Hematological Disorders in Patients with Systemic
of Population Health. http://www.cdc.gov/arthritis/basics/ Lupus Erythematosus. The Open Rheumatology Jour
lupus.htm 2013;7:87-95.
9. Yu C, Gershwin M E, Chang C. Diagnostic criteria for sys-
temic lupus erythematosus: A critical review. Journal of
Autoimmunity 2014; 48-49:10-13.

40 Jurnal Kedokteran Indonesia Vol. 5, No. 1 l Januari - Maret 2019

Anda mungkin juga menyukai