Contribution
MEDICINUS Editors receive original papers/articles of literature re- Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nur-
view, research or case reports with original photographs in the field ses. 2nd ed. Albany (NY):Delmar Publishers; 1996
of Medicine and Pharmacy. 13. Editor(s), compiler(s) as author
1. The article that is sent to the Editor are any papers/articles that Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery peo-
have not been published elsewhere in print. Authenticity and ac- ple. New York:Churchill Livingstone; 1996
curacy of the information to be the responsibility of the author(s). 14. Organization(s) as author
2. The paper should be type in MS Word program and sent to our Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid
editorial staff via e-mail: medical@dexa-medica.com program. Washington:The Institute; 1992
3. Should be type with Times New Roman font, 12 point, double 15. Chapter in a book
space on quarto size paper (A4) and should not two side of print- Note: This Vancouver patterns according to the page marked with
ing. p, not a colon punctuation like the previous pattern).
4. The paper should be max. 8 pages. Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH,
5. All type of articles should be completed with abstract and key- Brenner BM, editors. Hypertension: Patophysiology, Diagnosis
word. Abstract should not exceed 200 words. and Management. 2nd ed. New York:Raven Press; 1995.p.465-78
6. The title does not exceed 16 words, if more please make it into 16. Conference proceedings
sub title. Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neu-
7. The author’s name should be completed with correct address. rophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of
8. Please avoid using abbreviations, acronyms. EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan.
9. Writing system using a reference number (Vancouver style) Amsterdam:Elsevier; 1996
10. If there are tables or images please be given a title and descrip- 17. Conference paper
tion. Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, pri-
11. The papers that have been edited if necessary will be consulted vacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P,
to the peer reviewer. Piemme TE, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World
12. The papers should be given with data of the authors / curriculum Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Swit-
vitae, and the email address (if any), telphone number / fax that zerland. Amsterdam:North-Hollan; 1992.p.1561-5
can be contacted directly. 18. Scientific or technical report
Issued by funding/sponsoring agency:
Articles in Journals Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equipment billed
1. Standard journal article during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.
Vega KJ, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and In-
an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med spections; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860
1996; 124(11):980-3. More than six authors: Parkin DM, Clayton Issued by performing agency:
D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leu- Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services Re-
kaemia in Europe after Chernobyl: 5 years follow-up. Br J Cancer search: Work Force and Education Issues. Washington:National
1996; 73:1006-12 Academy Press; 1995. Contract No.: AHCPR282942008. Spon-
2. Organization as author sored by the Agency for Health Care Policy and Research
The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Ex- 19. Dissertation
ercise Stress Testing. Safety and performance guidelines. Med J Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The eldery’s access
Aust 1996; 164:282-4 and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington Univer-
3. No author given sity; 1995
21st century heart solution may have a sting in the tail. BMJ 2002; 20. Newspaper article
325(7357):184 Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates
4. Article not in English 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21;
Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar Sept A:3 (col.5)
seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 21. Audiovisual material
1996; 116:41-2 HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis
5. Volume with supplement (MO): Mosby-Year Book; 1995
Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel carcinogenicity
and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 electronic material
Suppl 1:275-82 22. Journal article on the Internet
6. Issue with supplement Abood S. Quality improvement initiative in nursing homes: the
Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women’s psychological reac- ANA acts in an advisory role. Am J Nurs [serial on the Internet].
tions to breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl 2):89-97 2002 Jun [cited 2002 Aug 12]; 102(6):[about 3 p.]. Available from:
7. Volume with part http://www.nursingworld.org/AJN/2002/june/Wawatch.htm
Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in 23. Monograph on the Internet
non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem Foley KM, Gelband H, editors. Improving palliative care for can-
1995;32(Pt 3):303-6 cer [monograph on the Internet]. Washington: National Academy
8. Issue with no volume Press; 2001 [cited 2002 Jul 9]. Available from: http://www.nap.
Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap lacera- edu/books/0309074029/html/
tions of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990; 107(986 Pt 24. Homepage/Web site
1):377-8 Cancer-Pain.org [homepage on the Internet]. New York: Associa-
9. Issue with no volume tion of Cancer Online Resources, Inc.; c2000-01 [updated 2002
Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthro- May 16; cited 2002 Jul 9]. Available from: http://www.cancer-
desis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995; (320):110-4 pain.org/
10. No volume or issue 25. Part of a homepage/Web site
Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of the cancer pa- American Medical Association [homepage on the Internet]. Chi-
tient and the effects of blood transfusion on antitumor responses. cago: The Association; c1995-2002 [updated 2001 Aug 23; cited
Curr Opin Gen Surg 1993:325-33 2002 Aug 12]. AMA Office of Group Practice Liaison; [about 2
11. Pagination in roman numerals screens]. Available from: http://www.ama-assn.org/ama/pub/
Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and he- category/1736.html
matology. Introduction Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr; 26. CD-ROM
9(2):xi-xii Anderson SC, Poulsen KB. Anderson’s electronic atlas of hema-
tology [CD-ROM]. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
Books and Other monographs 2002
12. Personal author(s)
perlu pengobatan rumatan jangka panjang • Berikan obat kejang lewat anus
setiap hari, dan 7) Kapan anak perlu dirujuk ke • Dampingi anak sampai betul-betul sadar
Rumah Sakit?
Ajarkan cara pemberian diazepam rektal ke-
1. Tatalaksana penghentian kejang yang pada anggota keluarga di rumah. Bila kejang
salah di rumah. masih berlangsung setelah pemberian diaze-
pam rektal, pemberian dapat diulang sekali lagi
Keluarga yang anaknya mengalami kejang dengan interval 5 menit. Bila tidak berhenti se-
demam sebaiknya di rumah tersedia obat dia- baiknya anak di bawa ke rumah sakit. Orangtua
zepam rektal untuk menghentikan kejang. Bila sebaiknya mengetahui pada suhu berapa anak
anak kejang sebaiknya keluarga tidak perlu kejang, sehingga keluarga dapat bersiap-siap
panik. Tatalaksana kejang di rumah dilakukan sebelum anak kejang.
dengan pemberian diazepam rektal 5 mg un-
tuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg 2. Usia anak di bawah 1 tahun
atau diazepam rektal 10 mg untuk anak dengan
berat badan lebih dari 10 kg. Cara pemberian Kejang demam yang terjadi pada anak di bawah
diazepam rektal sebaiknya diajarkan dengan
usia 1 tahun, harus dipikirkan kemungkinan
baik kepada orangtua sehingga tatalaksana di
anak mengalami infeksi SSP. Untuk menying-
rumah dapat dilakukan dengan baik. Pada saat
kirkan kemungkinan tersebut perlu dilakukan
anak kejang, sebaiknya orangtua :
tindakan fungsi lumbal. Curiga adanya infeksi
SSP bila anak pasca kejang tidak sadar, atau
• Jangan panik
UUB (Ubun-Ubun Besar) membonjol. American
• Pastikan udara jalan napas lancar, mulut tidak
tersumbat Academic Pediatric (1996) menganjurkan tinda-
• Jauhkan dari benda-benda berbahaya kan fungsi lumbal dilakukan pada usia 12 bulan
• Baringkan anak di tempat yang datar/lunak, sangat dianjurkan, usia 12–18 bulan dianjurkan
dan miringkan pada 1 sisi tubuhnya. sedangkan anak usia lebih dari 18 bulan diper-
• Longgarkan pakaian/apapun di sekitar leher timbangkan. Sedangkan saat ini fungsi lumbal
• Anak jangan diikat atau memasukkan sesuatu dianjurkan bila klinis anak dicurigai mengalami
diantara rahang mulut infeksi SSP.
3. Kejang berlangsung lebih dari 5 menit dangkan anak kejang demam dengan disertai
atau berulang lebih dari 2 kali kelainan neurologis nyata seperti palsi serebral,
atau kejang demam yang sering berulang perlu
Umumnya kejang akan berlangsung selama dipertimbangkan untuk pemberian obat ru-
kurang dari 5 menit dan berlangsung satu kali matan yang diminum setiap hari. Obat yang
sehari. Bila kejang berlangsung lebih dari 5 diberikan adalah asam valproat dengan dosis
menit, atau berulang sebaiknya kita berhati 20–40 mg/kgbb perhari atau fenobarbital 4–5
hati untuk kemungkinan terjadinya kejang lama mg/kgbb per hari. Obat akan diminum selama
atau status konvulsivus. Pada keadaan tersebut satu tahun.
sebaiknya anak di bawa ke rumah sakit untuk
mendapat pengobatan lebih lanjut atau perlu 6. Kapan anak perlu dirujuk ke rumah sakit?
mendapat obat penghenti kejang yang bekerja
lebih lama seperti fenobarbital atau fenitoin Umumnya kejang demam dapat berulang
intravena. Selain mencari penyebab terjadinya setiap hari dan berlangsung singkat. Keadaan
kejang demam. Adapun kejang demam dapat yang mengindikasikan anak perlu dibawa ke ru-
sering berulang bila didapatkan faktor risiko: mah sakit adalah :
adanya kejang demam pada keluarga inti (ayah,
ibu atau anak), kejang berlangsung di bawah A. Kejang berlangung lebih dari 5 menit atau
usia 18 bulan, suhu yang tiba-tiba meningkat berulang lebih dari 2 kali
tinggi dengan cepat atau suhu saat kejang B. Kejang disertai demam di atas 390C
tidak tinggi di atas 38,50C. C. Kejang demam separuh tubuh
D. Pasca kejang anak tidak sadar atau lumpuh
4. Kejang berubah bentuk sebagian tubuh
Umumnya bentuk kejang pada anak kejang de- Dari uraian di atas, terlihat bahwa kejang de-
mam adalah kejang kaku seluruh tubuh, atau mam sebenarnya mempunyai prognosis baik
kejang tonik–klonik (klojotan seluruh tubuh), dan tidak sering berulang. Walaupun demikian
Bila kejang berubah bentuk menjadi kejang be- beberapa hal di atas perlu diwaspadai agar
ngong, kaget atau bentuk lain, perlu dipikirkan prognosis anak dapat baik sesuai dengan po-
bahwa anak mengalami epilepsi. Untuk mem- tensi genetiknya.
bedakannya sebaiknya dilakukan pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG) pada anak segera
daftar pustaka
setelah kejang. Adanya gambaran gelombang
epileptiform pada hasil EEG menunjukkan ke-
mungkinan anak menderita epilepsi dan bukan
kejang demam. 1. Shinnar S. Febrile seizures.
Swaiman’s Pediatric Neurology.
5. Anak perlu pengobatan rumatan jangka 2012.hal 790–7.
panjang setiap hari
ABSTRAK
punyai hubungan terhadap angka mortalitas to be tested its impact to stroke mortality rate.
adalah kejadian stroke, usia penderita stroke dan Dependent variables were patient outcome (live
komplikasi. or death), whereas independent variables were
gender, age, and history of diabetes mellitus, hy-
Kata Kunci. pertension, dyslipidemia, ischemic heart disease,
Stroke, outcome, laki-laki dan perempuan, atrial fibrillation, and complications. Medical re-
Chi-Square. cord data were analyzed using Chi-Square and lo-
gistic regression in SPSS program to see p value,
ABSTRACK odds ratio and 95% confidence interval.
Background Result
This study show that the mortality rate of stroke
Stroke is medical and major world health prob- patients in Bethesda Hospital are 9% for female
lem in this modern society due to its high mortal- compared with only 4% in male. Mortality rate re-
ity rate. Knowing both male and female ischemic current stroke is higher than first stroke. Most of
stroke patient mortality rate and risk factors is stroke patient have age more than 60 years old.
expected to give benefits for stroke prevention, Based on the analysis result with Chi-Square test
control, management and patient care. and Logistic Independent risk factors that affects
mortalities are the incident of recurrence (OR=
Purpose. This research main purpose is to deter- 4,086; 95%CI=1,067-5,692; p=0,005), age of stroke
mine the risk of stroke for both male and female patient (OR= 7,385; 95%CI=2,016-9,999; p=0,022)
according to mortality rate and for knowing the and complication (OR=17,944; 95%CI=6,711-
impact of stroke risk factors to stroke patient 53,459; p=0,05) .
mortality rate.
Conclusion.
Research method. Stroke patients mortality rate in Bethesda Hos-
This research is analytic descriptive and retro- pital at 2013 was higher on female 9% than male
spective cohort studies. 200 samples from medi- 4%. Risk factors which associated to mortality
cal records were collected retrospectively. Two rate were incident of stroke, age of stroke pa-
hundred samples were determined by categori- tients and complication.
cal descriptive standard formula. Medical record
data are analyzed based on determined variables Keyword. Stroke, outcome, male and female,
Chi-Square
PENDAHULUAN
Stroke merupakan salah satu masalah medis bagi masyarakat modern saat ini.1 Di Amerika Serikat,
stroke menduduki peringkat kedua sebagai penyebab utama mortalitas. Setiap tahun stroke di
Amerika mengakibatkan 150.000 mortalitas.2 Berdasarkan data South East Medical Information Center
(SEAMIC) menunjukkan bahwa angka mortalitas terbesar terjadi di Indonesia.3 Di Indonesia, stroke
menduduki peringkat ketiga setelah penyakit jantung dan kanker sebagai penyebab kematian di-
mana 28,5% dari total pasien stroke mengalami mortalitas.4
Banyak faktor risiko berpengaruh dalam terjadinya stroke dan kematian pasien stroke. Faktor risiko
stroke ada yang dapat diubah dan ada yang tidak dapat diubah. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
adalah usia, jenis kelamin, ras, riwayat keluarga, riwayat stroke sebelumnya. Sedangkan faktor risiko
yang dapat diubah adalah hipertensi, diabetes, kolesterol tinggi, kegemukan, merokok, dan atrial
fibrilasi.5 Pada usia muda insiden terserang stroke lebih tinggi terjadi pada laki-laki, namun pada usia
tua insiden terserang stroke jauh lebih tinggi pada perempuan.6 Laki-laki memiliki risiko lebih tinggi
terserang stroke daripada perempuan namun dengan outcome pasien stroke (mortalitas) dan
risiko untuk mengalami kecacatan yang lebih seberapa besar pengaruh hubungan tersebut
berat dan mortalitas terjadi lebih tinggi terjadi terhadap kejadian kematian pasien stroke.
pada perempuan dan perempuan memiliki fak-
tor risiko yang berbeda dibandingkan laki-laki.7 Hasil Penelitian
Banyak perempuan yang meremehkan faktor Pada penelitian dengan menggunakan data
risiko stroke, banyak perempuan sering tidak rekam medis pasien stroke di RS Bethesda
mampu mengidentifikasi kondisi kesehatan Yogyakarta tahun 2013 sebanyak 731 kasus
dan tidak melakukan pencegahan primer un- stroke. Berdasarkan rumus perhitungan besar-
tuk mencegah terjadinya stroke.7 Berdasarkan nya sampel penelitian jumlah pasien yang di-
kejadian stroke dan mortalitas stroke yang gunakan dalam penelitian sebanyak 200 orang
tinggi dan untuk memperkuat upaya pengen- dengan teknik “Systematic Sampling”. Dari hasil
dalian dan mengurangi beban akibat stroke, penelitian pasien stroke di RS Bethesda pada ta-
masyarakat perlu mengetahui faktor risiko se- hun 2013 didapatkan hasil sebagai berikut:
perti tekanan darah tinggi, diabetes dan koles-
terol darah yang tinggi.8 1. Analiasi Univariat Karakteristik Dasar
Pasien
METODE PENELITIAN
Analisis deskriptif yang dilakukan pada selu-
Penelitian ini dengan menggunakan ranca- ruh pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan
ngan penelitian deskriptif kategorikal dengan kriteria eksklusi pada penelitian memberikan
pendekatan kohort-retrospektif. Subjek diamati gambaran karakteristik dasar seperti pada tabel
dalam kurun waktu tertentu terhadap faktor 6 di atas. Diketahui bahwa dari sejumlah 200
risiko kemudian dinilai efek yang terjadi. Pada pasien stroke terbagi menjadi 100 pasien stroke
studi kohort-retrospektif faktor risiko dan efek laki-laki (50%) dan 100 pasien stroke perempuan
telah terjadi pada masa yang lalu. (50%). Dilihat dari kejadian stroke, stroke seran-
gan pertama lebih banyak daripada stroke seran-
Pengambilan data rekam medik yang lengkap gan ulang 72%.
mengenai faktor risiko dan efek yang ditimbul-
kan.9 Sampel diambil dari data rekam medis Berdasarkan usia pasien stroke di RS Bethesda
pasien stroke di RS Bethesda. Data 200 sampel pada tahun 2013 usia lebih tinggi pada usia >60
diambil dari data rekam medik pasien stroke tahun 62,5%. Dari tabel tersebut juga didapat-
di RS Bethesda yang memenuhi kriteria inklusi kan bahwa riwayat hipertensi sebanyak 47,5%,
dan eksklusi yaitu 100 sampel laki-laki dan 100 riwayat dislipidemia sebanyak 39%, riwayat IHD
sampel perempuan. Besarnya sampel peneli- (ischemic heart disease) sebanyak 8%, riwayat AF
tian untuk mendapatkan data mortalitas pasien (atrial fibrilasi) sebanyak 1,5% dan komplikasi
stroke dihitung dengan rumus standar peneli- terbanyak adalah pneumonia 7%.
tian deskriptif kategorikal.10
2. Analisis Bivariat Hubungan Variabel Bebas
Data diolah melalui analisis secara deskrip- dengan Variabel Dependen
tif dan analitis statistik secara komputerisasi.
Analisis deskriptif meliputi karakteristik dasar Dari hasil analisis bivariat seperti yang tercan-
seluruh pasien stroke iskemik berupa jenis tum pada tabel 7 mengenai hubungan antara
kelamin, kejadian stroke, usia, riwayat hiperten- karakteristik subjek terhadap outcome (hidup/
si, diabetes, dislipidemia, atrial fibrilasi, ischemic mati), terbukti bahwa usia > 60 tahun dengan p
heart disease dan komplikasi. Analisis statistik = 0,022 berpengaruh secara signifikan terhadap
meliputi uji Chi-Square dan Regresi logistik de- outcome pasien stroke. Usia > 60 tahun memi-
ngan menggunakan nilai α sebesar 5% (0,05) un- liki risiko mortalitas 7,385 atau 7 kali lebih tinggi
tuk menilai hubungan antara karakteristik dasar dibanding dengan usia ≤ 60 tahun. Selain usia,
3. Analisis Multivariat
PEMBAHASAN
dengan penelitian yang dilakukan oleh Maranatha (2013) bahwa tahun 2012 di Rumah Sakit Bethes-
da bahwa angka mortalitas perempuan lebih tinggi dibanding dengan laki-laki.11
Berdasarkan hasil analisis statistik antara usia pasien terhadap outcome (hidup/mati) p < 0,05
(OR=7,385; 95% CI=2,016-9,999; p=0,022) yang berarti bahwa ada pengaruh usia dengan outcome
pasien stroke di RS Bethesda. Usia > 60 tahun berpengaruh terhadap mortalitas 7,385 atau 7,4 kali
lebih tinggi daripada pasien stroke usia ≤ 60 tahun. Pada penelitian pasien stroke di RS Bethesda
yang meninggal paling banyak terjadi pada setelah stroke merupakan komplikasi yang ber-
pasien usia > 60 tahun dan perempuan lebih bahaya dan pneumonia berpengaruh secara
banyak dibanding laki-laki. Hal ini karena pada signifikan dalam 30 hari terhadap mortalitas
umumnya perempuan terserang pada usia lebih pasien stroke.24
tua.18
Berbagai laporan penelitian menjelaskan ada-
Kejadian ini beralasan karena terkait faktor hor- nya faktor-faktor yang menyebabkan mortalitas
mon perempuan yang juga turut berpengaruh dan ketahanan hidup pasien stroke. Salah satu
pada timbulnya gangguan vaskuler pada per- faktornya adalah serangan stroke. Dari hasil pe-
empuan.19 Hasil ini sesuai dengan penelitian nelitian didapatkan hasil yaitu kejadian stroke
yang telah dilakukan oleh Amran (2012),20 bah- serangan pertama lebih besar dibandingkan
wa kejadian pasien stroke meninggal terbanyak dengan stroke berulang. Kejadian stroke ber-
adalah pada usia > 70 tahun. Hal ini sesuai juga pengaruh secara signifikan p < 0,05 (OR= 4,086;
penelitian di China, pasien stroke iskemik usia 95%CI=1,067-5,692; p=0,005) terhadap outcome
rata-rata 65±13,5 tahun dengan mortalitas per- (hidup/mati) pasien stroke.
empuan 1,23 kali lebih tinggi dari pada laki-laki.21
Pada 30 hari setelah serangan stroke pertama
Insiden terjadinya mortalitas pada perempuan kali, 83% mortalitas disebabkan langsung oleh
usia tua lebih banyak daripada laki-laki.13 Ber- efek gangguan fungsi neurologi dan 6,5% karena
dasarkan hasil regresi logistik jenis kelamin pe- penyebab lainnya sedangkan 2,6% terjadi karena
rempuan dengan usia > 50 tahun berpengaruh kejadian stroke berulang. Berdasarkan penelitian
secara independent sebagai faktor prediktor stroke serangan ulang lebih tinggi mortalitasnya
mortalitas. Hal ini terkait dengan faktor hormo- dibanding dengan stroke serangan pertama.
nal pada perempuan dimana pada perempuan Stroke serangan ulang berpengaruh 4,086 atau
muda terlindungi oleh reproductive hormone, 4 kali lebih tinggi dibanding dengan stroke per-
estrogen terbukti ampuh sebagai neuroprotek- tama hal ini terkait dengan komplikasi pasien
tif. Perempuan berbeda dengan laki-laki karena stroke dimana komplikasi berpengaruh 18 kali
adanya efek hormon seksual, perbedaan hemo- lebih tinggi menyebabkan mortalitas pada
statis dan perbedaan respon inflamasi berpen- pasien.
garuh terhadap keparahan pada perempuan.22
Faktor prognosis yang secara signifikan me-
Berdasarkan hasil analisis komplikasi terhadap nyebabkan mortalitas pasien stroke ada-
outcome didapatkan nilai p < 0,05 (OR=17,944; lah usia, Indeks Massa Tubuh (IMT) dan tipe
95%CI=6,711-53,459; p=0,001) sehingga komp- stroke.26 Sementara pada perempuan berbeda:
likasi penyakit yang diderita oleh pasien stroke perbedaan genetik pada kekebalan, koagulasi,
di Rumah Sakit Bethesda berpengaruh terhadap faktor hormonal, faktor reproduksi, dan faktor
outcome pasien stroke di Rumah Sakit Bethesda sosial dapat mempengaruhi risiko stroke dan
pada tahun 2013. Pasien dengan komplikasi me- mempengaruhi outcome/hasil stroke.27
nyebabkan mortalitas 17,944 atau 18 kali lebih
tinggi daripada pasien stroke tanpa komplikasi. Beberapa faktor risiko seperti jenis kelamin, ri-
Komplikasi terbanyak dalam penelitian ini ada- wayat hipertensi, riwayat dislipidemia, riwayat
lah pneumonia. IHD, riwayat dan AF (p > 0,05) tidak berpengaruh
secara signifikan dengan outcome (hidup/mati)
Hal ini sesuai dengan penelitian bahwa pneu- pada pasien stroke iskemik. Hal ini dikarenakan
monia meningkatkan mortalitas pada pasien kurangnya sampel yang diambil dalam peneli-
dengan stroke akut < 30 hari setelah serangan tian dan adanya pengaruh faktor lain yang da-
stroke.23 Penelitian serupa yang dilakukan oleh pat menyebabkan mortalitas yang tidak diteliti
Li et al (2013) ditemukan bahwa pneumonia dalam penelitian ini.
KESIMPULAN
Angka mortalitas stroke pada perempuan lebih besar (9%) dibanding laki-laki laki-laki (4%). Fak-
tor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap mortalitas pasien stroke adalah usia, kejadian stroke
pertama dan komplikasi. Sedangkan faktor risiko yang lain seperti jenis kelamin, riwayat hipertensi,
riwayat dislipidemia, dan riwayat IHD tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kematian pasien
stroke.
daftar pustaka
1. Junaidi, Iskandar. STROKE, Waspadai Ancamannya. 14. Putaala J, Curtze S, Hiltunen S, Tolppanen H, Karte
Dorce Tandung. ed. Yogyakarta: ANDI, 2011. M, Tatlisumak T. Causes of death and predictors of
2. Goldszmidt, A.J. & Caplan, L.R Esensial Stroke. Ja- 5-year mortality in young adults after firstever is-
karta: EGC, 2013. chemic stroke: the Helsinki Young Stroke Registry.
3. Dinata, C., Safrita, Y., & Sastri, S. Gambaran Fak- Stroke 2009; 40: 2698–270.
tor Risiko dan Tipe Stroke pada Pasien Rawat Inap 15. Pinzon, R. & Asanti, L. Awas Stroke! Pengertian, Ge-
di Bagian Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Solok jala, Tindakan, Perawatan, & Pencegahan.Yogyakarta:
Selatan Periode 1 Januari 2010 - 31 Juni 2012. Jurnal ANDI, 2010
Kesehatan Andalas, 2013; 2, p.57-61. 16. Wahjoepramono, Eka J. Stroke Tata Laksana Fase
4. Sutrisno. Alfred. Stroke? You Must Know Before you Akut. Jakarta : Universitas Pelita Harapan, 2005
Get It!. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007. 17. Vuković, V., Galinović, I., Lovrencić-Huzjan, A., Budisić,
5. Bethesda Stroke Center., 2013. Faktor Risiko Stroke. M., Demarin, V. Women and stroke: how much do
Available at: http://www.stroke bethesda.com/con- women and men differ? A review--diagnostics, clini-
tent/view/23342 cal differences, therapy and outcome.Coll Antropol,
6. Carnethon M, Lloyd JD, Adams R, Simone G, Fer- 2009; 33, pp.977-84
guson B, Flegal K. Heart disease and stroke sta- 18. Roquer J, Campello AR, Gomis M. Sex differences in
tistics-2009 Update : A report from the American first ever acute stroke. Stroke. 2003;34:1581-85
Heart Association Statistics Committee and stroke 19. Ganiswara, S. Obat Otonom. dalam Farmakologi dan
statistics subcommittee. Circulation, 2009; 119:e21- Terapi ed.5. editor: Sulistia ganiswara. Jakarta: Depa-
e181. tremen farmakologi dn Terapeutik Fakultas Kedok-
7. Dearborn, J. & Mc Cullough, L. Perception of risk teran Universitas Sumatera Utara, 2007; 36, p.56,57.
amd knowledge of risk factor in women at high risk 20. Amran. Analisis Faktor Risiko Kematian Penderita
for stroke. Stroke, 2009; 40, p.1181–1186. Stroke. Sulawesi utara : Dinas Kesehatan,2012.
8. Departemen Kesehatan RI. 8 dari 1000 Orang di In- 21. Kong, F., Tao, W., Hao, Z., &Liu, M. Predictors of
donesia Terkena Stroke. Depkes, 2011. One-Year Disabilityand Death in Chinese Hospital-
9. Sastroasmoro, S & Ismael, S. Dasar-dasar Metodolo- ized Women after Ischemic Stroke. Cerebrovasc
gi Penelitian Klinis. Jakarta : Sagung Seto, 2011. Dis,2009;29, p.255–262.
10. Dahlan, Sopiyudin. M. Membuat Proposal Pe- 22. Sánchez, M., Balanca, F., Domínguez, F., Casarrubios,
nelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan. Seri O., Amar,A., Abildúa, A., Freire, L. Young women have
Evidence Based Medicine Seri 3 Edisi 2. Jakarta : Sa- poorer outcomes than men after stroke. Cerebrovasc
gung Seto, 2010. Dis, 2011; 31, pp.455-63.
11. Maranatha, A. Mortalitas Stroke dan Faktor predik- 23. Annette I; Grethe A; Heidi H; Marie L; Svendsen; Søren
tornya Untuk Stroke Iskemik di RS Bethesda Yogya- P. In-Hospital Medical Complications, Length of Stay,
karta Tahun 2011 sampai 2012. Skripsi, Universitas and Mortality Among Stroke Unit Patients. Stroke,
Gajah Mada, 2013. 2014; 42 p. 3214-3218
12. Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indo- 24. Li-F, Cheng-Y, Li-C, Ping-H, Shu-J, Shih C, Mei K, Yi-C,
nesia 2008. Jakarta: Depkes RI, 2009. Yu-C, Wei-S. Bacterial pneumonia following acute
13. Wang J., Ning X., Li Y., Jun T., Homg F., Changqing ischemic stroke. Journal of the Chinese Medical As-
Z., Wenjuan Z., Ta-Chen S. Sex Differences in Trends sociation, 2013 ;76 p.78-82
of Incidence and Mortality of First-Ever Stroke in
Rural Tianjin, China, From 1992 to 2012.StrokeAHA,
2014; 45, pp:1626-1631.
3 SKP
Pilih Benar (B) atau Salah (S) pada pernyataan di bawah dengan membubuhkan tanda (√) di samping kanan.
No. Pernyataan B S
1 Di Indonesia stroke menduduki peringkat ketiga setelah penyakit jantung dan kanker.
Sebanyak 28,5% pasien stroke mengalami morbiditas akibat stroke
2 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bahaya penyakit stroke pada laki-
laki dan perempuan dilihat dari angka morbiditasnya dan mengetahui pengaruh faktor-
faktor risiko stroke terhadap angka morbiditas penderita stroke.
3 Variabel tetap yang diuji dalam penelitian ini adalah outcome (hidup / mati) pasien,
sedangkan variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis kelamin, usia, riwayat;
diabetes melitus, hipertensi, dislipidemia, ischemic heart disease, atrial fibrilasi, dan
komplikasi.
4 Dari analisis univariat karakteristik dasar pasien pada penelitian tersebut, dilihat dari
kejadian stroke, stroke serangan pertama lebih sedikit daripada stroke serangan ulang
72%.
5 Dari hasil penelitian di atas terlihat bahwa angka mortalitas pasien stroke iskemik lebih
tinggi pada laki-laki dibanding perempuan
6 Faktor prognosis yang secara signifikan menyebabkan mortalitas pasien stroke adalah
usia, Indeks Massa Tubuh (IMT) dan tipe stroke
7 Pada penelitian tersebut, angka mortalitas stroke pada laki-laki lebih besar 9%
dibanding perempuan 4%.
8 Faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap mortalitas pasien stroke adalah usia,
kejadian stroke pertama dan komplikasi
9 Usia ≤60 tahun memiliki risiko mortalitas 7,385 atau 7 kali lebih tinggi dibanding dengan
usia >60 tahun.
10 Pada penelitian ini faktor risiko yang lain seperti jenis kelamin, riwayat hipertensi,
riwayat dislipidemia, dan riwayat IHD (ischemic heart disease) juga berpengaruh secara
signifikan terhadap kematian pasien stroke.
KETERANGAN:
- Tandai (√) pada jawaban yang dipilih.
- Sasaran dari artikel dan kuis CME ini adalah untuk dokter umum/dokter spesialis.
- Dokter akan memperoleh jumlah SKP yang tertera di bagian atas dan akan mendapatkan
sertifikat jika jumlah jawaban benar ≥ 60%.
- Sertifikat akan dikirimkan setelah dokter mengerjakan setiap artikel CME dalam satu edisi
terbit.
- Masa berlaku kuis CME untuk setiap edisi adalah 3 tahun setelah artikel diterbitkan, sehingga
jawaban yang diterima melewati batas waktu tersebut, tidak akan memperoleh SKP.
- Artikel dan kuis CME setiap edisinya juga bisa diakses langsung di http://cme.medicinus.co/
Ekuivalensi Farmakokinetik
Dua Sediaan Kapsul
Pregabalin 150 mg
Raymond R. Tjandrawinata1, Effi Setiawati2, Ratih Sofia Ika Putri2,
Vincent Angga Gunawan2, Fenny Ong1, Liana W Susanto1, Dwi
Nofiarny1
1
Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences, Cikarang, West Java, Indonesia; 2PT Equilab
International Bioavailability and Bioequivalence Laboratory, Jakarta, Indonesia
ABSTRACT
PURPOSE
This study was conducted to assess the pharmacokinetic equivalence of pregabalin 150 mg capsules
manufactured by PT Dexa Medica against the reference product manufactured by Pfizer Manufac-
turing Deutschland GmbH, Germany.
METHODS
This was a randomized, open-label, two-period, two-sequence, and crossover study under fasting
condition with a 1-week washout period. Plasma concentrations of pregabalin from 20 subjects
were measured by a validated liquid chromatography with tandem mass spectrometry detection
(LC-MS/MS) method. Pharmacokinetic parameters evaluated in this study were area under plasma
concentration-time curve from time zero to the last observed quantifiable concentration (AUC0-t),
AUC from time zero to infinity (AUC0-∞), maximum plasma concentration (Cmax), time to maximum
plasma concentration (tmax), and terminal half-life (t1/2). The 90% confidence intervals (CIs) for geo-
metric mean ratios (GMRs) of test /reference formulations were calculated for AUC and Cmax pa-
rameters; while the differences of tmax and of t1/2 were analyzed between-group using Wilcoxon
matched-pairs test and Student’s paired t-test, respectively.
RESULTS
The mean (SD) AUC0-t, AUC0-∞, Cmax, and t1/2 of pregabalin from test formulation were 27845.86
(4508.27) ng.h/mL, 28311.70 (4790.55) ng.h/mL, 3999.71 (801.52) ng/mL, and 5.66 (1.20) h, respectively;
while the mean (SD) AUC0-t, AUC0-∞, Cmax, and t1/2 of pregabalin from reference formulation were
27398.12 (4266.28) ng.h/mL, 27904.24 (4507.31) ng.h/mL, 3849.50 (814.50) ng/mL, and 5.87 (1.25) h, re-
spectively. The median (range) tmax of pregabalin from test formulation and reference formulation
were 1.00 (0.67–2.00) h and 1.00 (0.67–3.00) h, respectively. The 90% CIs for GMRs of test /reference
formulations of pregabalin were 101.54% (98.75%–104.41%) for AUC0-t, 101.35% (98.66%–104.11%) for
AUC0-∞, and 104.19 (98.75%–109.93%) for Cmax.
CONCLUSION
The study demonstrated that the two formulations of pregabalin capsule studied were bioequiva-
lent.
ABSTRAK
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekuivalensi farmakokinetik sediaan pregabalin kapsul 150 mg
produksi PT Dexa Medica dengan produk pembanding produksi Pfizer Manufacturing Deutschland
GmbH, Germany.
Metode
Penelitian ini merupakan uji dengan desain terbuka, acak, dan menyilang, dalam kondisi puasa,
dan terdiri dari 2 periode berturutan dengan interval (washout) 1 minggu. Kadar pregabalin dalam
plasma dari 20 subjek ditentukan menggunakan metode kromatografi cair yang di-tandem dengan
detektor spektroskopi masa (LC-MS/MS) yang tervalidasi. Parameter farmakokinetik yang dievalu-
asi dalam uji ini adalah: area-di-bawah-kurva konsentrasi plasma vs waktu pada waktu ke-0 sampai
waktu terakhir dengan konsentrasi pregabalin yang masih dapat diamati secara kuantatif (AUC0-t),
AUC pada waktu ke-0 sampai waktu tak terhingga (AUC0-∞), kadar puncak dalam plasma (Cmax),
waktu untuk mencapai kadar puncak (tmax), dan waktu paruh (t1/2). Rasio rerata geometric (GMR)
dari formulasi uji/ pembanding dengan tingkat kepercayaan 90% (CIs) parameter AUC dan Cmax,
dihitung; sedangkan perbedaan tmax dan t1/2, masing-masing dianalisis antar-group menggunakan
uji Wilcoxon matched-pairs, dan uji t- berpasangan.
Hasil Penelitian
Nilai rerata (standar deviasi [SD]) AUC0–t, AUC0–∞, Cmax, dan t1/2 pregabalin dari formulasi Uji ber-
turut-turut adalah 27,845.86 (4,508.27) ng∙h/mL, 28,311.70 (4,790.55) ng∙h/mL, 3,999.71 (801.52) ng/mL,
dan 5.66 (1.20) jam; sedangkan nilai rerata (SD) AUC0–t, AUC0–∞, Cmax, dan t1/2 pregabalin dari for-
mulasi Pembanding berturut-turut adalah 27,398.12 (4,266.28) ng∙h/mL, 27,904.24 (4,507.31) ng∙h/mL,
3,849.50 (814.50) ng/mL, dan 5.87 (1.25) jam. Nilai median (rentang) tmax pregabalin dari formulasi
Uji dan Pembanding, masing-masing adalah 1.00 (0.67–2.00) jam dan 1.00 (0.67–3.00) jam. Nilai GMR
(90%CI) dari formulasi Uji/Pembanding pregabalin adalah 101.54% (98.75%–104.41%) untuk AUC0–t,
101.35% (98.66%–104.11%) untuk AUC0–∞, dan 104.19% (98.75%–109.93%) untuk Cmax.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa dua formulasi kapsul pregabalin (uji dan pembanding) bioekui-
valen.
PENDAHULUAN
Pregabalin digunakan dalam kombinasi dengan cara signifikan, tetapi dosisnya perlu disesuai-
antikonvulsan lain untuk pengobatan kejang kan dengan kreatinin klirens. Secara farma-
parsial. Pregabalin juga diindikasikan untuk kokinetik, pregabalin tidak banyak berinteraksi
nyeri neuropati, termasuk postherpetic neural- dengan obat lain karena tidak dimetabolisme di
gia, juga untuk ansietas dan fibromyalgia. Pre- hati oleh isoenzim sitokrom P-450.1,3,4
gabalin efektif pada rentang dosis 150–600 mg/
hari, yang diberikan dalam 2–3 dosis terbagi. Berdasarkan penilaian World Health Organiza-
tion (WHO), delapan dari seribu orang di dunia
Efek analgesik dan antikolvusan pregabalin ter- mengalami epilepsi.7 Prevalensi tersebut bah-
jadi melalui ikatan molekul obat tersebut den- kan lebih tinggi lagi pada negara berkembang.
gan subunit α2-δ dari voltage-gated calcium Lebih dari separuh pasien epilepsi di dunia
channel sistem saraf pusat (SSP) dengan afinitas diperkirakan berada di Asia.8-10 Keadaan terse-
kuat. Pregabalin menghambat sekresi neuro- but menimbulkan kebutuhan yang tinggi akan
transmiter yang bergantung kalsium dengan obat-obat antiepilepsi, seperti pregabalin. Ke-
mengatur fungsi channel kalsium. Hal ini secara tersediaan obat yang terjangkau oleh pasien di
struktural berhubungan dengan penghambat- lapangan merupakan salah satu masalah yang
an neurotransmitter SSP asam γ-aminobutirat paling umum dalam penanganan penyakit.11
(GABA), walaupun pregabalin tidak berikatan se- Oleh karena itu, produk generik sangatlah dibu-
cara langsung dengan reseptor GABAA, GABAB, tuhkan untuk memenuhi kebutuhan pasien.
atau benzodiazepine, serta tidak meningkatkan Produk generik tidak hanya diperlukan untuk
respon GABAA , dan tidak mengubah konsen- memenuhi ketersediaan obat di pasar dan me-
trasi GABA dalam otak atau mempengaruhi up- nawarkan harga yang lebih kompetitif, produk
take atau degradasi GABA.2-4 generik juga harus menunjukkan ekuivalensi
terapetik dengan produk pembanding (inova-
Pregabalin memiliki farmakokinetik yang linear tor).
pada rentang dosis harian yang dianjurkan. Va-
riasi farmakokinetik antar subjek yang rendah, Ekuivalensi terapetik berarti bahwa manfaat
dengan koefiesien variasi (CV) dibawah 15%.5 dan efek samping antar kedua produk atau for-
Pregabalin sangat cepat diabsorbsi setelah mulasi yang dibandingkan tersebut, sebanding
pemberian oral dan mencapai konsentrasi plas- (tidak berbeda), dan ini berarti kedua produk
ma maksimal (Cmax) dalam waktu sekitar 1,5 tersebut dapat saling menggantikan.12,13
jam, dengan bioavaibilitas oral lebih dari 90%
dan tidak bergantung dosis. Untuk memastikan ekuivalensi terapetik, uji
ekuivalensi farmakokinetik dapat dilakukan.
Pemberian bersama makanan akan mengurangi Sesuai dengan Pedoman uji bioekuivalensi
dan menunda absorpsi pregabalin, menyebab- BPOM RI (2004), dua produk obat disebut bi-
kan sekitar 25% sampai 30% penurunan pada oekuivalen jika keduanya mempunyai ekuiva-
Cmax dan peningkatan tmax sekitar 3 jam, teta- lensi farmaseutik atau merupakan alternative
pi tidak signifikan secara klinis. Oleh karena itu, farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis
pregabalin tetap dapat diberikan bersama de- molar yagn sama akan menghasilkan bioavaila-
ngan atau tanpa makanan. Pregabalin tidak teri- bilitas yagn sebanding sehingga efeknya akan
kat pada protein plasma, dan uji pre-klinik me- sama, dalam hal efikasi maupu keamanan.14 Tu-
nunjukkan bahwa molekul obat tersebut dapat juan dari uji ini adalah untuk mengetahui apa-
melewati sawar darah otak maupun plasenta.6 kah formulasi Pregabalin kapsul 150 mg yang
Lebih dari 90% dosis yang diberikan diekskresi diproduksi PT Dexa Medica, Palembang, Indo-
melalui urin dalam bentuk utuh, dengan waktu nesia bioekuivalen dengan formulasi Pregabalin
paruh (t1/2) 4.8–6.3 jam pada subjek dengan produk pembanding (produksi Pfizer Manufac-
fungsi ginjal normal. Ras dan jenis kelamin tidak turing Deutschland GmbH, Jerman).
mempengaruhi farmakokinetik pregabalin se-
Subjek dan Desain Penelitian Formulasi Uji, Leptica® (PT Dexa Medica), dan
formulasi pembanding, Lyrica® (Pfizer Inc.), pada
Sebelum penelitian dimulai, protokol, lembar penelitian ini mengandung pregabalin 150 mg.
informasi dan formulir informed consent telah Dalam uji dengan desain menyilang, setiap sub-
disetujui oleh Komite Etik Penelitian Kedok- jek diberikan formulasi uji dan pembanding se-
teran, Universitas Indonesia. Informed consent cara acak berdasarkan kode randomisasi yang
tertulis telah diperoleh dari masing-masing telah disiapkan sebelumnya menggunakan
subjek penelitian sebelum skrining. Pelak- alokasi blok permutasi dan Tabel Nomor Acak
sanaan penelitian memenuhi kaidah Deklarasi Dixon dan Massey.18 Dengan desain terbuka,
Helsinki,15 Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB)/Good baik subjek maupun peneliti mengetahui apa-
Clinical Practice (GCP),16 dan Good Laboratory kah subjek diberikan obat formulasi uji atau
Practice.17 pembanding.
Penelitian ini merupakan uji dengan desain ter- Fase Pengobatan dan Pengambilan darah
buka (open-label), acak, dan menyilang, dalam
kondisi puasa, dan terdiri dari 2 periode bertu- Subjek diminta untuk berpuasa sekitar 10 jam
rutan dengan interval (washout) 1 minggu, dan sebelum pemberian obat. Sejumlah 10 ml darah
melibatkan 24 subjek. Kriteria inklusi penelitian diambil dari setiap subjek 1 jam sebelum pem-
adalah: pria atau wanita sehat yang berusia berian obat. Setelah itu, subjek diberikan obat,
antara 18–55 tahun; rentang Body Mass Index dalam kondisi duduk. Obat uji atau pemband-
(BMI) 18–25 kg/m2; tanda vital normal; bukan ing diberikan dengan 200 ml air dan ditelan
perokok atau merokok hanya kurang dari 10 tanpa dikunyah. Kemudian, 5 ml darah diambil
batang sehari. Kriteria eksklusi: wanita hamil setelah 20 dan 40 menit, dan setelah 1, 1.5, 2,
atau menyusui; diketahui memiliki kontrain- 2.5, 3, 4, 6, 9, 12, 24, dan 36 jam pemberian obat.
dikasi atau hipersensitif terhadap pregabalin; Sampel darah diambil dari vena lengan bawah,
memiliki gangguan hati atau ginjal; hasil positif menggunakan jarum 22 G dan tabung vakum
untuk antigen hepatitis B/ hepatitis B surface yang mengandung sitrat atau syringe sekali
antigen (HBsAg), virus anti-hepatitis C/anti-hep- pakai. Sampel dikumpulkan dalam tabung poli-
atitis C virus (HCV), dan/atau anti–human immu- propilen yang mengandung sitrat, sebelum sen-
nodeficiency virus (anti-HIV); abnormalitas elek- trifugasi pada 1538 RCF selama 15 menit untuk
trokardiografi (EKG)/electrocardiography (ECG); memisahkan plasma. Semua sampel plasma
penyakit kronis lainnya; penyakit gastrointesti- dipindahkan pada tabung bersih dan kemudian
nal; riwayat anafilaksis; riwayat penyalahgunaan disimpan dalam suhu −20°C±5°C hingga dilaku-
obat dan alkohol dalam waktu 12 bulan sebe- kan pengujian.
lum skrining; riwayat perdarahan, koagulasi,
atau kelainan darah yang signifikan secara klinis Selama waktu sampling, makan siang dan
lainnya; kelainan neurologi; konsumsi obat atau malam untuk subjek berturut-turut disedia-
suplemen makanan, atau obat herbal dalam 14 kan pada 4 jam dan 10 jam setelah pemberian
hari sejak hari pertama obat uji diberikan; dan obat. Makanan atau minuman mengandung
berpartisipasi dalam penelitian klinis lainnya xantin, dan jus buah tidak diperbolehkan un-
dalam 90 hari terakhir. tuk diminum dalam 24 jam sebelum dan selama
waktu sampling. Makanan dan aktivitas fisik se-
Pemeriksaan skrining dilakukan dalam waktu 14 lama waktu sampling juga diseragamkan. Sete-
hari sebelum hari pertama pemberian obat. Tes lah 1 minggu periode washout, prosedur yang
kehamilan, untuk subjek wanita, dilakukan saat sama diulangi untuk formulasi alternate, yaitu
skrining dan sebelum penerimaan obat pada : jika pada periode pertama, subjek mendapat
setiap periode.
produk Uji, maka pada periode kedua, subjek tersebut akan mendapat produk pembanding; dan
sebaliknya.
Masing-masing sampel plasma disiapkan dalam tube yang sesuai, dan ditambahkan larutan gaba-
pentin sebagai standar internal sebelum proses ekstraksi pengendapan protein.19,20 Ekstraksi dilaku-
kan menggunakan asam trikloroasetat hingga dihasilkan supernatant, yang kemudian dianalisis
menggunakan kromatografi cair kinerja-ultra yang ditandem dengan detektor spektrometri massa
(UPLC-MS/MS) (Acquity® UPLC H-Class system with Xevo® TQD Detector; Waters Corp, Milford, MA,
USA).
Kolom kromatografi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Acquity UPLC® C18 (1.7 μm, 2.1×50
mm; Waters Corp). Fase gerak yang digunakan adalah asam format 0.1% dalam air dan asam format
0.1% dalam methanol, dengan komposisi yang diatur dalam kondisi gradien, dan laju alir pada 0.3
mL/min. Sejumlah 2 µL sampel disuntikkan ke dalam sistem kromatografi. Sebelum digunakan untuk
pemeriksaan kadar pregabalin dalam darah, sistem UPLC-MS/MS tersebut telah divalidasi dengan
sensitivitas, spesifisitas, linieritas, akurasi dan presisi within and between days yang memadai. Data
validasi ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Data validasi metode analisis yang digunakan untuk penetapan pregabalin dalam plasma
manusia menggunakan UPLC-MS/MS dengan gabapentin sebagai internal standar
diperlukan penelitian klinis berpembanding Tabel Diletti et al.27 Variasi intrasubjek (Koefisein
lainnya untuk membuktikan keamanan dan efi- Variasi, CV) untuk parameter AUC0-t adalah
kasi. Dengan demikian, pemilihan produk pem- 5.09%. Berdasarkan CV tersebut, sample size
banding dalam suatu uji bioekuivalensi menjadi sebesar 20 subjek memberikan power statistik
penting. Produk pembanding sebaiknya telah yang memadai bagi kesimpulan hasil penelitian.
melalui uji preklinis dan klinis yang membuk-
tikan keamanan dan efikasi-nya.22,23 Oleh ka- Dalam penelitian ini, obat uji diberikan sebagai
rena hasil dari uji bioekuivalensi suatu produk sediaan dosis tunggal seperti yang dianjurkan
generik tidak dapat digeneralisasi untuk obat dalam pedoman uji bioavaibilitas dan bioekui-
generik lain yang mengandung zat aktif yang valensi12 karena lebih sensitif (dibandingkan do-
sama, maka studi ini tetap diperlukan meskipun sis berulang) dalam hal menilai pelepasan kan-
telah terdapat beberapa publikasi uji bioekuiva- dungan obat menuju sirkulasi sistemik. Untuk
lensi terhadap formulasi kapsul pregabalin lain- pengujian dosis tunggal, perhitungan total pa-
nya.20,24 paran formulasi uji akan mencakup AUC0–t dan
AUC0–∞; sedangkan puncak paparan akan ter-
Tujuan yang lebih luas dari suatu uji bioekui- diri dari Cmax, yang diperoleh secara langsung
valensi yang terpercaya adalah untuk menye- dari data pengukuran konsentrasi obat dalam
diakan produk generik yang tidak hanya me- sirkulasi sistemik. Hasil penelitian ini menunjuk-
nawarkan harga lebih kompetitif, tetapi juga kan bahwa 90% CIs GMR dari AUC0–t , AUC0–∞,
menunjukkan kesamaan kualitas dengan for- dan Cmax pregabalin termasuk dalam rentang
mulasi pembanding, terutama dalam hal kea- penerimaan bioekuivalensi (80.00%–1 25.00%).
manan dan efikasi. Penyediaan produk generik
sangat mendukung aplikasi dari konsep farma- Selain AUC dan Cmax, dalam penelitian ini juga
koekonomi. Menurut Arenas-Guzman et al,25 dilaporkan nilai tmax dan t1/2 pregabalin. Me-
farmakoekonomi merupakan cabang dari ilmu dian (rentang) dari tmax untuk formulasi uji
ekonomi yang berkaitan dengan penggunaan dan pembanding pregabalin, masing-masing,
paling efisien dan ekonomis dari zat farmasi un- adalah 1.00 (0.67–2.00) jam dan 1.00 (0.67–3.00)
tuk menghasilkan nilai maksimal pada pasien, jam. Kedua nilai tersebut tidaklah signifikan se-
asuransi kesehatan, dan masyarakat umum. cara statistik. Sementara itu, rerata (SD) dari t1/2
Saat ini, praktisi kesehatan dianjurkan untuk untuk formulasi uji dan pembanding pregaba-
membuat kebijakan dan keputusan klinis juga lin, masing-masing, adalah 5.66 (1.20) jam dan
berdasarkan pertimbangan aspek ekonomi dan 5.87 (1.25) jam. Nilai tersebut sedikit lebih ren-
bukan hanya berdasarkan pertimbangan aspek dah dibandingkan dengan nilai yang terdapat
klinis (clinical outcomes). Salah satu penilaian pada literatur; tetapi keduanya tersebut tidak
mendasar adalah taksiran biaya pengobatan berbeda signifikan, yang berarti menunjukkan
langsung, diantaranya harga obat.26 Keberadaan similaritas antara formulasi uji dan pembanding
produk generik dapat memberikan manfaat far- dalam hal eliminasi obat dari tubuh.
makoekonomi berdasarkan perspektif pasien
dan penyedia layanan kesehatan karena mem- KESIMPULAN
berikan mereka suatu alternatif produk ketika
mereka perlu memilih pengobatan paling ra- Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpul-
sional. kan bahwa kapsul pregabalin 150 mg produksi
PT Dexa Medica bioekuivalen dengan produk
Uji bioekuivalensi ini dilakukan pada subjek se- pembanding produksi Pfizer Manufacturing
hat dengan tujuan untuk meminimalkan variasi Deutschland GmbH, Germany.
farmakokinetik, yang dapat timbul jika dilaku-
kan pada pasien dengan penyakit atau pengo-
batan lainnya (concomitant illness and medica-
tion). Jumlah subjek ditetapkan berdasarkan
Terimakasih dan penghargaan yang mendalam kami ucapkan kepada subjek yang telah berpartisi-
pasi dalam penelitian ini. Kami juga mengucapkan terimakasih atas bantuan dr. Danang Agung Yu-
naido dalam hal penanganan subjek penelitian, dan kepada Indah Abdilah, Apt., dalam menyiapkan
naskah.
Naskah ini merupakan penulisan ulang dalam Bahasa Indonesia dari naskah kami untuk penelitian
yang sama, yang sebelumnya telah dipublikasi dalam journal Clinical Pharmacology: Advances and
Applications. 2015:7 69–75.
daftar pustaka
1. Sweetman SC, editor. Martindale: The Complete Drug Reference. tion of Pharmaceuticals for Human Use; 1996. Available from:
36th ed. London: Pharmaceutical Press (PhP); 2009. http://www.ich.org/fileadmin/Public_Web_Site/ICH_Products/
2. American Society of Health-System Pharmacists, McEvoy GK, Guidelines/Efficacy/E6/E6_R1_Guideline.pdf. Accessed Septem-
Snow EK, eds. AHFS Drug Information 2013. Bethesda, Maryland: ber 12, 2014.
Board of the American Society of Health-System Pharmacists; 17. Chemicals Group and Management Committee, Environment
2013. Directorate. OECD Series on Principles of Good Laboratory Prac-
3. Finnerup NB, Jensen TS. Clinical use of pregabalin in the man- tice and Compliance Monitoring, Number 1 – OECD Principles on
agement of central neuropathic pain. Neuropsychiatr Dis Treat. Good Laboratory Practice. Paris: Organisation for Economic Co-
2007;3(6): 885–891. operation and Development; 1998. Available from: http://www.
4. Blommel ML, Blommel AL. Pregabalin: an antiepileptic agent use- oecd.org/officialdocuments/publicdisplaydocumentpdf/?cote
ful for neuropathic pain. Am J Health Syst Pharm. 2007;64(14): =env/mc/chem(98)17&doclanguage=en. Accessed September
1475–1482. 12, 2014.
5. Bockbrader HN, Burger P, Knapp L, Corrigan BW. Population phar- 18. Dixon WJ, Massey FJ. Introduction to Statistical Analysis. 3rd ed.
macokinetics of pregabalin in healthy subjects and patients with New York, NY: McGraw-Hill; 1969.
chronic pain or partial seizures. Epilepsia. 2011;52(2):248–257. 19. Mandal U, Sarkar AK, Gowda KV, et al. Determination of pre-
6. Ben-Menachem E. Pregabalin pharmacology and its relevance to gabalin in human plasma using LC-MS/MS. Chromatographia.
clinical practice. Epilepsia. 2004;45(6):13–18. 2008;67(3–4): 237–243.
7. who.int [homepage on the Internet]. Epilepsy. Fact sheet number 20. Quiñones L, Sasso J, Tamayo E, et al. A comparative bioavailability
999. World Health Organization; 2015 [cited September 12, 2014]. study of two formulations of pregabalin in healthy Chilean volun-
Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/ teers. Ther Adv Chronic Dis. 2010;1(4):141–148.
fs999/en/. Accessed March 11, 2015. 21. Kesselheim AS, Misono AS, Lee JL, et al. Clinical equivalence of
8. Commission on Tropical Diseases of the International League generic and brand-name drugs used in cardiovascular disease: a
against Epilepsy. Relationship between epilepsy and tropical dis- systematic review and meta-analysis. JAMA. 2008;300(21):2514–
eases. Epilepsia. 1994;35(1):89–93. 2526.
9. Burneo JG, Tellez-Zenteno J, Wiebe S. Understanding the burden 22. Thiessen JJ. Chapter 8: Bioavailability and bioequivalence. In: du
of epilepsy in Latin America: a systematic review of its prevalence Souich P, Orme M, Erill S, editors. The IUPHAR Compendium of
and incidence. Epilepsy Res. 2005;66(1–3):63–74. Basic Principles for Pharmacological Research in Humans. Kan-
10. Preux PM, Druet-Cabanac M. Epidemiology and aetiology of epi- sas City, KS: International Union of Pharmacology (IUPHAR );
lepsy in sub-Saharan Africa. Lancet Neurol. 2005;4(1):21–31. 2004:55–66. Available from: http://www.iuphar.org/pdf/hum_55.
11. Mac TL, Tran DS, Quet F, Odermatt P, Preux PM, Tan CT. Epidemi- pdf. Accessed September 12, 2014.
ology, aetiology, and clinical management of epilepsy in Asia: a 23. Jang KH, Seo JH, Yim SV, Lee KT. Rapid and simple method for
systematic review. Lancet Neurol. 2007;6(6):533–543. the determination of pregabalin in human plasma using liquid
12. Center for Drug Evaluation and Research. Guidance for Industry: chromatography-tandem mass spectrometry (LC-MS/MS): ap-
Bioavailability and Bioequivalence Studies for Orally Administered plication to a bioequivalence study of Daewoong pregabalin
Drug Products – General Considerations. Washington, DC: Food capsule to Lyrica® capsule (pregabalin 150 mg). J Pharm Invest.
and Drug Administration, US Department of Health and Human 2011;41(4):255–262.
Services; 2003. Available from: http://www.fda.gov/downloads/ 24. Center for Veterinary Medicine. Guidance for industry: Bioequiva-
Drugs/Guidances/ucm070124.pdf. Accessed September 12, 2014. lence Guidance. Washington, DC: Food and Drug Administration,
13. Committee for Medicinal Products for Human Use. Guideline on US Department of Health and Human Services; 2006. Available
the Investigation of Bioequivalence. London: European Medi- from:
cines Agency; 2010. Available from: http://www.ema.europa.eu/ 25. http://www.fda.gov/downloads/AnimalVeterinary/Guid-
docs/en_GB/document_library/Scientific_guideline/2010/01/ anceComplianceEnforcement/GuidanceforIndustr y/
WC500070039.pdf. Accessed September 12, 2014. ucm052363.pdf. Accessed September 12, 2014.
14. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM 26. Arenas-Guzman R, Tosti A, Hay R, Haneke E; National Institute
RI). Pedoman uji bioekuivalensi [Guideline for bioequiva- for Clinical Excellence. Pharmacoeconomics – an aid to better
lence studies]. Jakarta: BPOM RI; 2004. Bahasa. Available from: decision-making. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2005;19 Suppl
http://jdih.pom.go.id/produk/PERATURANKEPALABPOM/PER 1: S34–S39.
KBPOM_NO.HK.00.05.3.1818 TH 2005_Tentang PEDOMANUJI BI- 27. Trask LS. Pharmacoeconomics: principles, methods, and applica-
OEKIV_2005.pdf. Accessed March 30, 2015. tions. In: DiPiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey
15. wma.net [homepage on the Internet]. World Medical Association M, editors. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. 8th
Declaration of Helsinki. Ethical principles for medical research in- ed. New York: McGraw-Hill Global Education Holdings. Available
volving human subjects. World Medical Association; 2013 [cited from: http://accesspharmacy.mhmedical.com/content.aspx?boo
September 12, 2014]. Available from: http://www.wma.net/ kid=462§ionid=41100767. Accessed February 26, 2015.
en/30publications/10policies/b3/. Accessed March 11, 2015. 28. Diletti E, Hauschke D, Steinijans VW. Sample size determination
16. ICH Expert Working Group. Guideline for Good Clinical Practice – for bioequivalence assessment by means of confidence intervals.
ICH Harmonised Tripartite Guideline. Geneva: International Con- Int J Clin Pharmacol Ther Toxicol. 1991;29(1):1–8.
ference on Harmonisation of Technical Requirements for Registra-
ABSTRAK ABSTRACT
Multipel Mieloma (MM) adalah penyakit yang di- Multiple myeloma (MM) is a plasma cell malignancy,
sebabkan karena pertumbuhan sel plasma berle- which generate immuno-globulin, with many clini-
bihan. Kelainannya sangat bervariasi tergantung cal manifestation. While chronic hepatitis C may be
pada sistem organ yang terserang. Sedangkan hep- classified as intrahepatic or extrahepatic. Extrahe-
atitis C kronis bisa bermanifestasi pada intrahepatik patic manifestation is associated with Sjögren syn-
dan ekstrahepatik. Kelainan ekstrahepatik berkaitan drome, chronic dermatologic lesion, cryoglobuline-
dengan sindrom Sjögren, penyakit kulit kronis, cry- mia, diabetes, and etc.
oglobulinemia, diabetes mellitus, dan lain-lain.
77-year-old female presents with a complaint of di-
Kasus wanita 77 tahun dengan keluhan diare cair,
arrhea, liquid in consistency, >5 times/day, nausea
frekuensi lebih dari 5 kali, tanpa mual dan muntah.
and vomiting. The patient had a history of hepati-
Pasien juga menderita hepatitis C selama 8 tahun,
tis C for 8 years and diabetes mellitus with rib pain.
riwayat DM dengan nyeri tulang rusuk. Pemeriksaan
fisik, didapatkan keadaan umum sedang, kepala- Physical examination: patient appeared moderately
leher, paru-jantung dan ekstremitas normal, hep- ill, head-neck, lung-heart and extremities were nor-
ar-lien tidak teraba, bising usus normal. Penderita mal. Liver and spleen were not palpable and bowel
mengalami pansitopenia, coomb’s test direct negatif, sound was normal. Laboratory examination: pan-
peningkatan enzim transaminase, LED mening- sitopeni, increased ESR, peripheral blood smear
kat, leukosituria, anti-HCV positif, AFP meningkat showed normochromic anisocytosis erythrocytes,
ringan, HbA1c 5,6% (normal). Hasil elektroforesa leukopenia and thrombocytopenia. Direct coomb’s
protein mengesankan suatu monoklonal gam- test was negative and anti-HCV was positive, in-
mopati di area β globulin, Bone Marrow Aspiration creased transaminase, mild increased of AFP and
(BMA) sel plasma 80 %, pemeriksaan immunofiksasi HbA1c 5.6%. Urinalysis showed cloudy urine, leu-
ditemukan monoklonal IgA lamda. kocyturia. Serum protein electrophoresis gave an
impression of monoclonal β-globulin. Bone Marrow
Kesimpulan pasien adalah suatu multipel mieloma Aspiration (BMA) and protein immunofixation were
pada pasien hepatitis C kronis, di mana hubungan performed with the result of MM and a monoclonal
antara kedua penyakit tersebut belum secara pasti IgA-lambda, respectively.
diketahui.
This case showed multiple myeloma on chronic
Kata kunci: hepatitis C patient, but the relationship between
Hepatitis C kronis; multipel mieloma these two diseases is still has to be clarified.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan Keganasan sel plasma dikenal sebagai neoplas-
pada 15% pasien kadang terdapat sel plasma. HCV digunakan untuk mengetahui adanya virus
Pada penyakit yang lebih lanjut terdapat netro- ini dalam tubuh pasien terutama dalam serum
peni dan trombositopenia. Peningkatan LED, sehingga memberikan gambaran infeksi sebe-
kalsium serum (45% kasus), ureum-kreatinin narnya. Jumlah HCV dalam serum maupun hati
(20% kasus). Albumin serum rendah ditemukan relatif sangat kecil sehingga diperlukan teknik
pada penyakit lanjut.1,7 amplifikasi agar dapat terdeteksi. Teknik poly-
merase chain reaction (PCR) dimana gen HCV di-
Pada pasien ini terdapat nyeri tulang rusuk, da- gandakan oleh enzim polimerase untuk menen-
rah rutin terdapat pansitopeni, rouleux forma- tukan adanya HCV (secara kualitatif ) maupun
tion, pada sumsum tulang sel plasma > 80%, menentukan jumlah virus dalam serum (kuanti-
elektroforesa protein mengesankan suatu mo- tatif ). Teknik ini juga dipakai dalam menentukan
noklonal β-globulin, immunofiksasi menunjuk- genotipe HCV.6,8
kan suatu monoklonal IgA lambda. Berdasarkan
hasil pemeriksaan darah tepi, sumsum tulang, Pada pasien terdapat riwayat hepatitis C sudah
gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain 8 tahun, SGOT 76 U/L, SGPT 61 U/L, gamma GT
menunjukkan suatu MM.1,4 43 U/L, imunoserologi menunjukkan anti-HCV
positif, AFP 13,85 ng/ml. Dari hasil laboratorium
Hepatitis C adalah infeksi yang terutama me- dan pemeriksaan klinis pasien menunjukkan
nyerang organ hati yang disebabkan oleh virus suatu hepatitis C kronis.
hepatitis C (HCV). Umumnya infeksi akut tidak
memberi gejala atau hanya gejala minimal. Ha- Beberapa manifestasi ekstrahepatik (EHM) di-
nya 20%–30% kasus yang menunjukkan tanda- laporkan dapat terjadi pada infeksi Hepatitis C
tanda hepatitis akut pada 7-8 minggu (berkisar Virus (HCV). Menurut studi yang berbeda, 40%-
2-26 minggu) setelah terjadi paparan virus hep- 74% dari pasien yang terinfeksi HCV mungkin
atitis C, sehingga sulit menentukan perjalanan berkembang menjadi setidaknya satu dari EHM
penyakit akibat infeksi HCV. Beberapa laporan selama perjalanan penyakit. Selanjutnya, sin-
menunjukkan pasien dengan infeksi hepatitis C drom EHM bisa mewakili sinyal pertama dari
akut, didapatkan gejala malaise, mual-mual dan infeksi HCV, karena banyak pasien tidak men-
ikterus seperti halnya hepatitis akut karena vi- unjukkan gejala hepatik. Pascual dkk, pertama
rus hepatitis lain. Enzim ALT (SGPT) meningkat kali menjelaskan hubungan antara HCV dan
sampai beberapa kali nilai normal tetapi tidak EHM pada tahun 1990, melaporkan dua pasien
lebih dari 1000 U/L. Infeksi menjadi kronik pada dengan mixed cryoglobulinemia. Di mana dapat
70%–90% kasus dan tidak menimbulkan gejala melibatkan semua organ dan sistem misalnya
apapun walaupun proses kerusakan hati terus ginjal, kulit, tiroid, mata, sendi dan sistem saraf.
berjalan. Hilangnya HCV setelah tejadinya hepa- Patofisiologi gangguan ekstra hepatik ini belum
titis kronik sangat jarang terjadi. Diperlukan diketahui pasti, namun dihubungkan dengan
waktu 20-30 tahun untuk terjadinya sirosis hati kemampuan HCV untuk menginfeksi sel-sel
yang akan terjadi pada 15%-20% pasien hepati- limfoid sehingga mengganggu respons sistem
tis C kronis.5,8 imunologis. Sel-sel limfoid yang terinfeksi juga
dapat berubah sifatnya menjadi ganas, seperti
Infeksi oleh HCV dapat diidentifikasi dengan laporan kejadian limfoma non-Hodgkin pada
memeriksa antibodi yang dibentuk tubuh ter- pasien dengan infeksi HCV cukup tinggi.8,9,10
hadap HCV. Antibodi ini bertahan lama (18-20
tahun) dan tidak mempunyai arti protektif. Mixed cryoglobulinemia (MC) adalah sindrom
Umumnya deteksi dilakukan dengan teknik en- yang paling dikenal dan dipelajari berhubun-
zyme immuno assay (EIA). Antibodi terhadap gan dengan infeksi HCV. Cryoglobulins adalah
HCV dapat dideteksi pada minggu keempat Ig precipitate reversibel pada suhu lebih ren-
sampai kesepuluh dengan sensitivitas menca- dah dari 37°C. Cryoglobulins diklasifikasi oleh
pai 9% dan spesifisitas lebih dari 90%. Negatif Brout et al, berdasarkan pada Ig clonality se-
palsu dapat terjadi pada pasien dengan defi- perti pada tabel 1. Infeksi HCV berhubungan
sisiensi imun seperti pada pasien HIV, gagal kuat dengan tipe II dan III.9,10
ginjal, atau pada krioglobulinemia. Deteksi RNA
Mixed cryoglobulinemia adalah vaskulitis siste- (bagian kedua dari HCV envelope) yang me-
mik yang ditandai oleh deposit imunkompleks nyebabkan aktivasi dari limfosit. Awalnya, hanya
pada pembuluh darah kecil dan sedang yang poliklonal cryoglobulins yang diproduksi, maka
menyebabkan manifestasi klinis. Cryoglobulins klon sel B yang dominan muncul, menghasil-
dapat ditemukan pada pasien dengan infek- kan Ig monoklonal.9,11 Pada pasien terdapat ri-
si HCV sekitar 19%-50% sesuai dengan studi wayat hepatitis C kronis dengan hasil serologi
yang berbeda. Prevalensi MC meningkat sesuai hepatitis anti-HCV positif hal ini menunjukkan
lamanya penyakit. Beberapa studi dari pasien suatu hepatitis C kronis. Dari hasil laboratorium
dengan HCV kronis dan MC menunjukkan bah- darah rutin, hasil BMP, elektroforesa protein
wa lamanya penyakit biasanya dua kali lebih dan immunofiksasi adalah suatu MM. Apakah
lama dibandingkan pasien tanpa MC. Cryoglo- terdapat hubungan antara hepatitis C kronis
bulins biasanya ditemukan pada konsentrasi dengan MM harus diperiksa lebih lanjut lagi
rendah dan 90% pasien memiliki sedikit atau karena dari beberapa kepustakaan masih be-
tanpa manifestasi klinis. Hanya sebagian kecil lum jelas bagaimana mekanismenya. Sehingga
pasien dengan MC berhubungan dengan HCV pada pasien ini kemungkinan hepatitis C kronis
(< 15%) memiliki gejala penyakit.9,11 dengan MM merupakan suatu penyakit yang
berdiri sendiri-sendiri, bukan sesuatu yang ber-
Lymphoproliferasi sel B mewakili pemicu pato- hubungan.
logis. Ini memperjelas bahwa HCV menunjuk-
kan tropism yang tinggi untuk limfosit perifer, KESIMPULAN DAN SARAN
yang dapat melayani sebagai reservoir dan
tempat untuk replikasi. Flint dkk menjelaskan Telah dilaporkan wanita 77 tahun dengan MM
bahwa virus C mengikat tetraspanin CD81 ligan dan hepatitis C kronis. MM dan hepatitis C pada
pada permukaan B-limfosit melalui protein E2 pasien merupakan penyakit yang berdiri sendiri
atau tidak saling berhubungan.
daftar pustaka
1. Rajkumar SV, Kumar S, et al. Multiple Myeloma : Treatment 7. Syahrir Mediarty. Mieloma Multipel dan Penyakit
Option for Refractory of Relapsed Disease. Pre Oncology Gamopati Lain. Dalam : Sudoyo AW et al, editor. Buku
e-Rounds. Maret 2008; 111(2): 1-16 Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Internal Publishing
2. Kyle Robert A, Rajkumar SV. Recognition of Monoclonal Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2006. Hal : 1283
Proteins. Official reprint from up to date. www.uptodate. – 1292
com. 4 Oktober 2010 up date Januari 2011 8. Gani Rino A. Hepatitis C. Dalam : Sudoyo AW et al, edi-
3. Greipp PR, Foncea R. Wintrobe’s Clinical Hematology. tor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Internal
12th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkin 2009. Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2006.
Chapter 97. Practical Aspects of the Clinical Approach to Hal : 662 – 667
Patients with Monoclonal Immunoglobulin Disorders. p 9. Galossi A, Guarisco R, Bellis L, Puoti C. Extrahepatic
2342-2351. Manifestations of Chronic HCV Infection . Journal Gas-
4. Dispenzieri A, Lacy MQ, Greipp PR. Wintrobe’s Clinical He- trointestinal Liver Disease. March 2007; 16 (1) : 65–73
matology. 12th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & 10. Franciscus Alan. An Overview of Ekstrahepatic Manifes-
Wilkin 2009. Chapter 99. Multiple Myeloma. P 2372-2438. tation of Hepatitis C. HCSP fact sheet. May 2012; 6 : 1 – 5
5. Rosen RH. Chronic Hepatitis C Infection. The New England 11. Lakatos PL, Fekete S, Horanyi M, Fischer S, Abonyl ME.
Journal of Medicine. June 23, 2011; 364 : 2429 - 38 Development of Multiple Myeloma in a Patient with
6. Marc GG, Doris B. Strader, David L. Thomas, and Leonard B. Chronic Hepatitis C : A Case Report and Riview of The
Seeff. Diagnosis, Management and Treatment of Hepatitis Literature. World Journal Gastroenterology. April 14,
C: An update. Hepatology. 2009 ; 49 (4) : 1335 – 74 2006; 12 (14) : 2297 – 2300
ABSTRAK ABSTRACT
Sediaan obat bentuk tablet saat ini masih meru- Tablet is the most widely used solid dosage
pakan bentuk sediaan yang paling banyak dihasil- form. Direct compression (DC) is by far the sim-
kan oleh industri farmasi dan paling luas diguna- plest method of tablet production. DC formula-
kan di masyarakat. Dalam perkembangannya, tions can be developed with minimal numbers
metode pembuatan sediaan tablet menuntut of excipients. These materials will be responsi-
adanya bahan-bahan tambahan yang lebih ble for flow and compaction properties. It is dif-
fungsional. Salah satu metode pembuatan ta- ficult to find a kind of excipient with ideal char-
blet yang relatif banyak digunakan adalah me- acteristic and a lot of functions. Co-processing
tode kempa langsung. Syarat bahan tambahan of excipient is an novel method used in the
untuk dapat digunakan pada metode kempa preparation of tablet dosage forms, in which
langsung adalah memiliki sifat alir dan kom- only physical modification of excipients is done
paktibilitas yang baik. Sukar untuk memper- without changing its chemical nature. the aim
oleh satu bahan tambahan dengan karakteristik of this technique is improving the properties
yang ideal dan memiliki banyak fungsi, oleh of the excipients compared to those with indi-
karena itu, saat ini, berkembang dengan pesat vidual physical mixture. This is turn has lead to
pembuatan bahan tambahan dalam bentuk ba- an increase research in co-processed excipients
han ko-proses, yaitu menggabungkan dua atau development.
lebih macam bahan tambahan dengan proses
yang sesuai, yang dapat menghasilkan bahan Key words: tablet, direct compression, co-pro-
tambahan dengan sifat unggul dibandingkan cessed excipient.
dengan sifat fisik masing-masing komponen.
Saat ini telah banyak dikenal bahan ko-proses
untuk pembuatan tablet dengan metode kem-
pa langsung, dan perkembangan bahan ko-
proses masih sangat diperlukan untuk menca-
pai efisiensi dan efektivitas pembuatan sediaan
tablet di industri farmasi.
Berdasarkan sifat alir dan kompaktibilitas bahan Terdapat tiga tahap dalam pembuatan tablet
aktif, dikenal ada dua macam metode pembua- dengan metode kempa langsung yaitu (1) Pe-
tan tablet, yaitu metode kempa langsung dan nimbangan bahan (bahan aktif dan bahan tam-
metode granulasi. Metode granulasi ada dua bahan); (2) Pencampuran bahan aktif dengan se-
macam, yaitu metode granulasi kering dan me- mua bahan tambahan; dan (3) Kompresi tablet.
BAHAN KO-PROSES
Saat ini telah banyak tersedia bahan tambahan dalam bentuk bahan ko-proses. Bahan ko-proses
adalah bahan yang diperoleh dari menggabungkan dua atau lebih macam bahan tambahan dengan
proses yang sesuai, yang dapat menghasilkan bahan tambahan dengan sifat unggul dibandingkan
dengan sifat fisik masing-masing komponen. Tujuan utama pembuatan bahan ko proses adalah
untuk mendapatkan produk dengan nilai tambah yang terkait dengan perbandingan antara fung-
sionalitas dan harga.2 Perkembangan bahan tambahan tentunya tidak sama dengan perkembangan
produk obat. Urutan perkembangan bahan tambahan baru dapat dilihat pada Gambar 1.3
Menurut Chougule et al.3 menggunakan bahan ko proses memberikan beberapa keuntungan pada
sediaan, antara lain: (1) meningkatkan sifat alir, dengan adanya kontrol ukuran partikel yang opti-
mal serta distribusi ukuran partikel yang merata, memastikan bahwa sifat alir menjadi lebih unggul
dengan menggunakan bahan ko proses, (2) meningkatkan kompresibilitas bahan, (3) potensi dilusi
(kemampuan bahan untuk mempertahankan kompresibilitasnya bahkan ketika bahan tersebut di-
encerkan dengan bahan lain) yang baik. Kebanyakan bahan aktif memiliki kompresibilitas yang jelek,
dan sebagai hasilnya bahan tambahan harus memiliki kompresibilitas yang lebih baik dari bahan ak-
tif, (4) variasi berat yang lebih kecil, dan (5) mengurangi sensitivitas lubrikan. Selain itu, pembuatan
bahan ko-proses juga disenangi karena hanya terjadi modifikasi secara fisika dan tidak mengubah
struktur kimia.4
Keterbatasan bahan ko-proses karena rasio dari bahan yang digunakan dalam campuran adalah
tetap, tetapi rasio tetap ini mungkin tidak menjadi pilihan yang optimal untuk active pharmaceutical
ingredients (API) dan dosis per tablet yang sedang dikembangkan. Selain itu bahan ko-proses belum
banyak dituliskan dalam farmakope.
METODOLOGI PROSES PEMBUATAN BAHAN KO-PROSES
Proses untuk mengembangkan bahan ko-proses secara umum, melibatkan langkah-langkah seba-
gai berikut,6 dengan skema umum seperti pada gambar 2.7
1. Mengidentifikasi kelompok bahan tambahan untuk dibuat menjadi bahan ko-proses, mempela-
jari karakteristik dan persyaratan fungsi.
2. Memilih proporsi berbagai bahan tambahan.
3. Menentukan ukuran partikel yang diper- 1. Semprot kering (spray drying), teknik ini
lukan untuk bahan ko-proses. Hal ini sa- melibatkan atomisasi larutan atau dispersi
ngat penting pada saat pembuatan ba- homogen dari bahan-bahan tambahan
han ko-proses yang melibatkan salah satu yang akan dibuat bahan ko-proses dalam
komponen diproses dalam fase terdispers. bentuk tetesan. Peningkatan luas permu-
Ukuran akhir partikel bahan ko-proses diten- kaan tetesan dan temperatur menyebabkan
tukan oleh ukuran partikel bahan awal. terbentuknya partikel yang sferis.
4. Memilih proses pengeringan yang sesuai , 2. Fluid bed spray granulation, melibatkan pe-
misalnya semprot kering (spray drying). nyemprotan larutan dari salah satu bahan
5. Pengembangan parameter untuk kontrol tambahan pada bahan tambahan yang lain,
produksi dalam mengendalikan variasi antar pengeringan, dan pengayakan untuk men-
batch. dapatkan ukuran granul yang diinginkan.
3. Granulasi basah (wet granulation), merupa-
ka cara yang sederhana, dimana campuran
bahan-bahan yang akan dibuat bahan
ko-proses ditambah dengan cairan pem-
bentuk granul, pengayakan massa basah,
pengeringan, dan akhirnya pengayakan
granul kering. Metode ini termasuk me-
tode yang relatif murah untuk pembuatan
bahan ko-proses dan dapat menggunakan
peralatan pada umumnya.
4. Granulasi kering (dry granulation/roller
compaction), pada metode ini campuran
bahan-bahan yang akan dibuat bahan
ko-proses ditekan dengan tekanan tert-
entu menggunakan roller compactor untuk
menghasilkan suatu lembaran dari massa
yang kompak, kemudian dihalus untuk
menghasilkan granul. Metode ini sesuai
untuk bahan yang sensitif terhadap panas
dan lembap.
5. Granulasi pelelehan (melt granulation),
melibatkan campuran antara bahan-bahan
yang akan dibuat bahan ko-proses dengan
suatu pengikat yang meleleh (pada tem-
peratur kamar berada dalam bentuk padat,
tetapi pada temperatur 50-80°C akan mele-
leh). Campuran dipanaskan sehingga ter-
bentuk agglomerate, yang kemudian didin-
ginkan pada temperatur kamar, dan pada
akhirnya diayak untuk mendapatan ukuran
granul yang sesuai. Metode ini mengelemi-
nasi penggunakan air atau pelarut, dan
Gambar 2. Skema pembuatan bahan ko-proses7 proses pengerjaannya relatif singkat de-
ngan peralatan yang sederhana.
METODE PEMBUATAN BAHAN KO-PROSES 6. Penggilingan (milling/dry grinding), metode
ini dapat dilakukan dengan menggunakan
Beberapa metode yang digunakan pada pem- peralatan seperti roller mill, ball mill, bead
buatan bahan ko-proses antara lain:7 mill, millstone mill, jet mill, dan hammer mill.
Bahan ko-proses dapat dibuat untuk tujuan tertentu dalam formulasi. Pada pembuatan tablet de-
ngan metode kempa langsung (direct compression), diperlukan bahan tambahan yang memiliki sifat
alir dan kompaktibilitas yang baik. Seringkali bahan tambahan tunggal atau campuran fisika dari be-
berapa bahan tambahan tidak memiliki kedua sifat yang diperlukan untuk pembuatan secara kempa
langsung. Memanfaatkan adanya pembuatan bahan tambahan secara ko-proses dapat diperoleh
suatu bahan tambahan yang sebenarnya merupakan penggabungan beberapa bahan tambahan
dengan metode pembuatan tertentu, yang memiliki sifat sesuai untuk metode kempa langsung.
Beberapa contoh bahan ko-proses yang digunakan untuk metode kempa langsung dapat dilihat
pada Tabel 1. 23,4,8
Bahan ko-proses yang dihasilkan, perlu dikarakterisasi,9 dengan menggunakan (1) Fourier transform
infrared spectroscopy (FTIR) untuk mengetahui ada tidaknya perubahan kimia atau adanya interaksi
yang terjadi akibat proses pembuatan bahan ko-proses; (2) Differential scanning calorimetry (DSC),
untuk mengetahui terjadinya transisi panas endotermik dan eksotermik; (3) X-ray Diffractometry
(XRD), untuk mengetahui sifat-sifat kristalinitas bahan ko-proses yang terbentuk; dan (4) Scanning
electron microscopy (SEM), untuk mengetahui morfologi, bentuk, dan ukuran partikel.
Bahan ko-proses bukan merupakan bahan baru secara proses pembuatan dan campuran bahan. Hal
baru pada bahan ko-proses adalah perluasan fungsi tanpa adanya perubahan secara kimia, yang
menyebabkan bahan ko-proses dapat masuk ke dalam pasar farmasi dengan sangat cepat. Sejalan
dengan perkembangan teknologi dalam industri farmasi, saat ini, bahan ko-proses memainkan pe-
ranan penting dalam inovasi farmasetika.
KESIMPULAN
Keberhasilan setiap bahan tambahan farmasi tergantung pada kualitas, keamanan, dan fungsionali-
tasnya. Oleh karena itu, peluang untuk meningkatkan fungsi bahan tambahan melalui pembuatan
bahan ko-proses masih perlu dikembangkan. Keuntungan dari bahan ko-proses sangat banyak, teta-
pi eksplorasi ilmiah lebih lanjut diperlukan untuk memahami mekanisme yang mendasari kinerja
bahan ko-proses.
daftar pustaka
1. Hadisoewignyo, L. dan Fudholi, A., 2013, Sediaan Solida, 6. Marwaha, M., Sandhu, D., and Marwaha R.K., 2010,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Coprocessing of Excipients: A Review on Excipient De-
2. Block, L.H., et. al., 2009, Co-processed Excipients, Pharma- velopment for Improved Tabletting Performance, Inter-
copeial Forum. 35(4): 1026-8. national Journal of Applied Pharmaceutics, 2(3): 41-47.
3. Chougule, A. S., Dikpati, A, and Trimbake, T., 2012, Formu- 7. Nachaegari, S. and Bansal, A.K., 2004, Coprocessed Ex-
lation Development Techniques of Co-processed Excipi- cipients for Solid Dosage Form, Pharmaceutical Tech-
ents, Journal of Advanced Pharmaceutical Sciences, 2(2), nology, Januari 2004, 52-64.
231-249. 8. Mroz, C., 2009, Co-Processed Excipients: Regulatory
4. Gohel, M.C., 2005, A Review of Co-Processed Directly Com- Challenges, 2nd PharmSciFair, Nice, France.
pressible Excipients, J Pharm Pahrmaceut Sci, 8(1): 76-93. 9. Gangurde, A., Patole, R.K., Sav, A.K., and Amin P.D., 2013,
5. Kumari, M.S., Prasanthi, C.H., Bhargavi, C.H.S., Kumari, M.P, A Novel Directly Compressible Co-Processed Excipient
and Ushasri, S., 2013, Reassessment of Novel Co-Processed for Sustained, Journal of Applied Pharmaceutical Sci-
Multifunctional Excipients, Int. Res J Pharm. App Sci, 3(4): ence, 3(9), 89-97.
122-128.
ABSTRACT
In the previous studies, laparoscopic myomectomy provided several advantages. Postoperative ad-
hesion is one of potential negative risk of this procedure. Recently, robot-assited laparoscopic my-
omectomy is performed to minimize postoperative complications of conventional myomectomy.
The robotic system is called da Vinci myomectomy. Da Vinci myomectomy offers some potential ben-
efits compared to conventional myomectomy.
This technique may improve efficiency, accuracy, ease, and comfort associated with the performance
of laparoscopy.
itu, kontrol perdarahan sangatlah penting. Pem- pada fibroid dengan konsistensi yang lunak,
berian obat-obatan sebelum miomektomi se- jumlah yang lebih dari 4 dan ukuran yang lebih
perti, gonadotropin-releasing hormone agonist, dari 6 cm. Penelitian lain menunjukkan bahwa
infiltrasi miometrium dengan vasopresin, dan waktu operasi yang lebih lama dan perubahan
ligasi arteri miometrial terbukti efektif mengu- operasi ke laparotomi yang lebih banyak ber-
rangi kehilangan darah saat operasi.1 hubungan dengan penggunaan GnRH pada LM
disebabkan oleh kesulitan dalam bidang pem-
Dengan cara-cara diatas akan dibutuhkan bedahan (cleavage planes).4 Penelitian yang
pengeluaran yang besar. Oleh karena itu, Lee dilakukan oleh Trivedi et al memberikan hasil
menyarankan metode pre-operatif yang lebih bahwa risiko konversi ke laparotomi meningkat
efektif untuk mengontrol perdarahan, yaitu: hampir tiga kali lipat jika ukuran fibroid lebih
2 ampul oksitosin (10 IU/ml/ampul) dimasuk- dari sebelas sentimeter atau terletak di anterior.5
kan ke larutan saline (1000 ml), yang diberikan
dengan kecepatan 40 mIU/menit. Oksitosin Terdapat keterbatasan dalam LM dan sebagian
langsung berfungsi pada myometrium melalui besar adalah masalah teknik. Mioma yang ter-
reseptor pada sel otot polos, yang menyebab- letak pada lokasi tertentu sulit untuk diangkat.
kan kontraksi uterus dan menurunkan perfusi Ketika mioma ukurannya besar atau multipel,
uterus.2 atau keduanya, waktu operasi dan jumlah darah
yang hilang mungkin tidak bisa diterima. Jika
B. Kontraindikasi dari Laparoskopik Miome- mioma tertanam secara mendalam pada mio-
ktomi metrium, perbaikan yang rapi terhadap dinding
uterus akan sulit dan ruptur uterus dapat terjadi
Kontraindikasinya, antara lain: leiomioma yang pada kehamilan selanjutnya. Oleh karena ruptur
difus; fibroid dengan jumlah lebih dari 3 dan uterus pernah dilaporkan pada pasien-pasien
masing-masing berukuran lebih dari 7 cm; uku- yang dilakukan LM, kehamilan harus dimonitor
ran uterus yang lebih dari 20 minggu; adanya 1 sama seperti pasien yang dilakukan abdominal
fibroid yang lebih dari 15 cm; dan wanita yang miomektomi.4
menginginkan histerektomi; serta kondisi me-
dis yang tidak cocok untuk anestesia umum.2 Kerugian besar yang dapat ditimbulkan oleh
miomektomi adalah risiko terjadinya perlekatan
C. Keuntungan dan Kerugian pasca-operasi. Perlekatan ini dapat mempen-
garuhi fertilitas, meningkatkan rasa sakit, dan
Laparoskopik miomektomi (LM) adalah prose- meningkatkan risiko kehamilan ektopik. Bebera-
dur yang kurang invasif untuk tatalaksana mi- pa penelitian mendemonstrasikan penurunan
oma. Tindakan ini membutuhkan ahli bedah risiko perlekatan ketika laparoskopik menggan-
dengan ketrampilan yang khusus dan sudah tikan laparotomi. Tinjauan literatur menunjuk-
terlatih. Dari penelitian yang sudah dilakukan, kan bahwa angka rata-rata perlekatan pasca
LM memberikan beberapa keuntungan seperti operasi setelah LM adalah 41% dan lebih dari
perawatan di rumah sakit yang lebih singkat, 90% pada laparotomi.4 Barrier dianggap dapat
penyembuhan post-operative yang lebih cepat, mencegah atau secara bermakna mengurangi
dan kehilangan darah lebih sedikit daripada ab- insiden terjadinya perlekatan pasca-operasi.5
dominal miomektomi.3 Waktu yang dibutuhkan
untuk operasi ini bervariasi. Fibroid bertangkai LM dapat menjadi pilihan bagi wanita dengan
dengan ukuran 8-10 cm dapat diangkat dalam fibroid dan infertilitas. Trivedi et al melapor-
waktu beberapa menit, sedangkan fibroid in- kan peningkatan angka kehamilan pada wanita
tramural yang besar dapat menghabiskan be- yang sebelumnya infertil dengan mioma yang
berapa jam untuk mengangkat dan memper- dilakukan operasi menggunakan LM. Peningka-
baiki uterus. Hasil penelitian menunjukkan LM tan sampai 50% kehamilan dicapai dengan fer-
memerlukan waktu operasi rata-rata yang lebih tilisasi invitro dengan cara donor oosit. Dari se-
lama. Peningkatan waktu operasi ini terutama mua kehamilan, 64% dilakukan operasi caesar,
31% dilahirkan secara normal, dan 5% abortus. Di Amerika, sistem da Vinci ini digunakan pada
Tidak ada kasus ruptur uterus yang dilaporkan berbagai macam bidang diantaranya ginekolo-
pada penelitian tersebut.5 gi, urologi, operasi general, dan bedah thoraks.
Lebih dari 645 sistem da Vinci digunakan di se-
D. Miomektomi dengan Teknik Robotik luruh dunia dan diantaranya sekitar 41 sistem da
Vinci digunakan di Asia. Di Korea, sistem da Vinci
Laparoskopi Robotik pertama kali digunakan di Universitas Yonsei
pada tahun 2005 untuk berbagai macam bidang
Pada tahun 1992, sistem robotik pertama kali seperti ginekologi, urologi, operasi general, dan
dipasarkan untuk penggunaan komersial, yaitu bedah thoraks. Untuk bidang ginekologi sendiri
ROBODOC. Ini adalah sebuah desain lengan sistem da Vinci ini digunakan untuk berbagai
robot dan digunakan pada operasi ortopedik spesialisasi diantaranya operasi pada kanker
panggul. ROBODOC mampu membuat irisan endometrium, mioma uteri, adenomyosis, hi-
dengan ketepatan yang tinggi pada os. femur perplasia endometrium, neoplasia servikal in-
untuk menyisipkan implan berdasarkan memori traepitelial.6
3 dimensi foto CT.6
Laparoskopi Robotik dengan Sistem da Vinci
Namun penggunaan sistem robotik pada ope-
rasi ginekologi ini baru digunakan di Amerika Sistem da Vinci adalah alat bantu pada operasi
pada tahun 2005.7 Operasi yang diasistensi oleh laparoskopi yang terdiri dari tiga komponen
robot ini merupakan salah satu inovasi terbaru utama, yaitu:10
dengan tindakan invasif minimal.8 Nama sistem
robotik ini adalah da Vinci. Banyak dokter be- 1. Tempat Operator (Surgeon Console)
dah menggunakan teknologi da Vinci ini un-
tuk menggantikan laparoskopi konvensional Komponen ini terletak agak jauh, sekitar be-
karena keuntungan pada instrumentasi per- berapa kaki dari tempat tidur pasien. Bahkan
gelangan tangan pada teknologi ini. Selain itu, menurut teori, komponen ini diletakkan di
penggunaan gambar 3 dimensi, ergonomik, dan ruangan lain yang berdampingan dengan ru-
kontrol kamera otomatis menjadi keunggulan angan operasi. Operator yang duduk di tem-
lain dari teknologi da Vinci ini. Lagi pula banyak
pat tersebut akan mampu untuk mengontrol
dokter bedah dengan kemampuan laparoskopi
alat-alat robotik, sebuah kamera, dan sebuah
yang terbatas dapat dengan sukses mengganti
sumber energi yang terdapat di pasien dengan
laparotomi dengan operasi invasif minimal den-
bantuan alat penglihatan stereoskopik, mani-
gan sistem da Vinci ini.7
pulator tangan, dan pedal kaki.
Sebenarnya keuntungan yang paling bermak-
na pada sistem robotik ini adalah visualisasi 3 2. Sistem Penglihatan (InSite® Vision System)
dimensi, keakuratan yang baik, dan gerakan
seperti pergelangan tangan pada lengan robot Komponen ini menyediakan gambaran tiga
ini yang memberikan gerakan yang cakap.6 Ka- dimensi melalui endoskop berukuran 12 mm.
rena tindakan invasif yang minimal maka dapat Sebuah endoskop berukuran 5 mm juga terse-
terjadi pemulihan yang lebih cepat dengan dia tapi hanya menyediakan gambaran dua di-
rasa sakit yang lebih minimal, kehilangan darah mensi. Oleh karena itu biasanya yang diapakai
yang lebih minimal, dan perawatan rawat inap adalah endoskop ukuran 12 mm.
post-operative menjadi lebih singkat.
3. Patient-side Cart: Lengan Robotik dan Endo
Namun laparoskopi yang diasistensi robot ini Wrist® Instrument
membutuhkan ketrampilan khusus dan tidak
mudah untuk dilakukan dalam waktu yang sing- Komponen ini terletak di dekat pasien. Saat ini
kat, apalagi pada mioma uteri yang besar dan sistemnya tersedia baik dengan tiga lengan
multiple.9 atau empat lengan. Satu lengan berguna un-
tuk memegang endoskop sedangkan dua atau tiga tangan lainnya berguna untuk memegang
EndoWrist® Instruments, yang berukuran 5 mm atau 8 mm. EndoWrist® Instruments ini merupakan
alat yang unik karena kurang memberikan rangsang balik taktil pada operator. Namun, instrument
tersebut mempunyai mekanisme gerakan menyerupai pergelangan tangan yang memungkinkan
gerakan ke tujuh sudut yang berbeda, sehingga dapat menirukan gerakan-gerakan tangan opera-
tor. Selain itu, juga dapat mengeliminasi efek titik tumpu yang ditemukan pada operasi laparoskopi
konvensional.
Gambar 1. (A) Tempat operator/Surgical console (B) Lengan robotic/Robotic arms (C) Sistem
penglihatan/Visual cart (D) Endoskop 3 dimensi (E) EndoWrist® Instruments.
EndoWrist® Instruments
Alat–alat EndoWrist® yang multifungsional ini terdiri dari forsep disektor (dissecting forceps), gun-
ting panas (hot shear), tenakulum (tenaculum), dan penggerak jarum (mega needle driver). Alat-alat
ini memungkinkan dilakukannya teknik miomektomi yang aman dan efisien dengan pergantian alat
minimal. Keuntungan forsep disektor adalah kemampuannya untuk memfasilitasi proses enukleasi
sambil menyediakan kontrol balik secara aktif selama pengaliran tenaga keluaran sedang berlang-
sung. Pada akhirnya, penggunaan alat-alat tersebut dapat meningkatkan homeostasis dengan pe-
nyebaran panas minimal, perlengketan jaringan minimal, dan juga pemanasan alat yang minimal.10
Gambar 2. (Kiri) Gerakan EndoWrist® Instruments yang menyerupai gerakan pergelangan tangan.
(Kanan) EndoWrist® Instruments yang terdiri dari : 1. tenakulum (tenaculum), 2. forsep disektor (dis-
secting forceps), 3. penggerak jarum (mega needle driver), 4. gunting panas (hot shear).
Ada satu penelitian yang dilakukan oleh Bedient dkk. untuk membandingkan pasien yang dioperasi
miomektomi dengan teknik robotik dan pasien yang dioperasi dengan teknik laparoskopi konven-
sional. Teknik robotik yang dimaksud adalah sistem da Vinci. Ada 81 pasien yang diteliti secara re-
trospektif, dimana 40 pasien menjalani operasi robotik dan sisanya 41 orang menjalani operasi lapa-
roskopi konvensional. Data-data yang dikumpulkan termasuk usia, indeks berat badan, gejala gejala
yang timbul, karakteristik fibroid (jumlah, berat, lokasi, dan temuan patologis), lama operasi, per-
darahan, komplikasi, dan lama perawatan setelah operasi. Pasien-pasien yang menjalani laparoskopi
konvensional mempunyai ukuran uterus dan fibroid yang lebih besar serta jumlah fibroid yang lebih
banyak. Dari hasil penelitian tersebut, ada perbedaan yang signifikan bahwa komplikasi intraoper-
atif lebih sedikit pada pasien yang dioperasi dengan teknik robotik. Namun, bila disesuaikan dengan
ukuran uterus, ukuran fibroid, dan jumlah fibroid, maka tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kelompok pasien miomektomi yang dioperasi dengan teknik robotik dan teknik laparoskopi konven-
sional dalam hal lama operasi, perdarahan, komplikasi intraoperatif dan setelah operasi dan rawat
inap lebih dari 2 hari.11
Akan tetapi, penelitian tersebut hanya memberikan gambaran hasil dalam jangka pendek saja.
Dampak yang terjadi setelah jangka waktu yang lama, seperti jumlah kehamilan, ruptur uterus,
dan komplikasi-komplikasi dari adhesi/perlengketan tidak dapat diteliti karena jumlah pasien yang
menginginkan kehamilan sedikit dan durasi follow-up yang pendek. Meskipun komplikasi setelah
operasi lebih sedikit pada pasien miomektomi robotik, namun perbedaan tersebut tidak signifikan
secara statistik.11
KESIMPULAN
Walaupun teknik robotik lebih baik daripada laparotomi, tapi tidak demikian bila dibandingkan de-
ngan laparoskopi konvensional. Teknik robotik mungkin mempunyai beberapa keuntungan diban-
dingkan dengan laparoskopi konvensional untuk pasien-pasien yang menjalani operasi histerektomi
yang sederhana dan radikal. Teknik robotik ini dapat mengatasi kesulitan-kesulitan pada operasi mi-
omektomi dengan teknik laparoskopi konvensional, seperti penggunaan alat-alat yang kaku untuk
melepaskan pseudokapsul dan kesulitan dalam melakukan penjahitan yang kuat lapis demi lapis
pada insisi uterus. Selain itu, dengan adanya teknik robotik, beberapa keterbatasan pada teknik lapa-
roskopi konvensional, seperti tremor, gambaran 2 dimensi, dan posisi berdiri operator yang lebih
lama dapat diatasi.
daftar pustaka
1. Wang CJ, Yuen LT, Han CM, Kay N, Lee CL, Soong YK. A tran- 7. Holloway RW, Patel SD, Ahmad S. Robotic Surgery in Gy-
sient blocking uterine perfusion procedure to decrease necology. Scandinavian journal of Surgery 2009;98:96-
operative blood loss in laparoscopic myomectomy. Chang 109
Gung Med J 2008;31:463–8. 8. Nezhat C, Saberi NS, Shahmohamady B, Nezhat F. Ro-
2. CL Lee, CJ Wang. Laparoscopic Myomectomy. Taiwan Jour- botic-Assisted Laparoscopy in Gynecological Surgery.
nal Obstetric and Gynecologic 2009 Des; 48(4):335-341 Journal of the Society of Laparoendoscopic Surgeons
3. HJ Yoon, MS Kyung, US Joong, JS Choi. Laparoscopic 2006;10:317-320
Momectomy for Large Myomas. J Korean Med Sci 2007; 9. SP Mao, HC Lai, FW Chang, MH Yu, CC Chang.Laparos-
22: 706-12 copy-Assisted Robotic Myomectomy Using the Da Vinci
4. Rock JA, Jones HW. Te Linde’s Operatif Gynecology. Tenth System. Taiwan J Obstetric Gynecology 2007;46(2):174-
edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, a 176
Wolters Kluwer Business; 2008. 10. Senapati S, Advincula AP. Surgical techniques : robot-
5. Trivedi P, Abreo M. Predisposising Factors for Fbroids and assisted laparoscopic myomectomy with the da Vinci
Outcome of Laparoscopic Myomectomy in Infertility. Jour- surgical system. J Robotic Surgery 2007; 1:69-74.
nal of Gynecological Endoscopy and Surgery 2010 Jan- 11. Bedient CE, Magrina JF, Noble BN, Kho RM. Comparison
Jun; 1(1):47-56 of robotic and laparoscopic myomectomy. American
6. YT Kim, SW Kim, YW Jung. Robotic Surgery in Gynecologic Journal of Obstetric and Gynecology. December 2009;
Field. Yonsei Med J 2008;49(6):886-890 201:566-627.
Alopesia Androgenetik
pada Laki-Laki
Desak Nyoman Trisepti Utami
Dokter umum di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Wangaya, Denpasar, Bali
Email: trisepti_utami@yahoo.com
ABSTRACT ABSTRAK
Male androgenetic alopecia, also known as male Alopesia androgenetik pada laki-laki, yang dike-
pattern baldness is the most common cause of nal dengan male pattern baldness adalah pe-
hair loss in men. It is characterized by progres- nyebab tersering kerontokan rambut pada laki-
sive hair loss from the vertex and frontal regions laki, ditandai dengan kerontokan rambut yang
of the scalp. Genetic factors and androgen play progresif pada daerah frontal dan vertex scalp.
a major role in the development of the disease. Alopesia ini berkaitan dengan faktor predispo-
Hair follicles on the scalp undergo a transforma- sisi genetik dan adanya jumlah androgen yang
tion from long growth (anagen) and short rest cukup pada sirkulasi. Siklus folikel rambut pada
(telogen) cycles, to long rest and short growth scalp mengalami transformasi dari fase pertum-
cycles. This process is coupled with progres- buhan (anagen) yang panjang dan fase istirahat
sive miniaturization of the follicle. Of the many (telogen) yang pendek, menjadi fase istirahat
treatments available, only two (minoxidil and yang panjang dan fase pertumbuhan yang pen-
finasteride) have been scientifically shown to dek. Proses ini disertai dengan miniaturisasi fo-
be useful. These therapy varies in their efficacy. likel yang progresif. Dari banyak terapi yang ter-
The role of surgical options and camouflage sedia, hanya dua yang secara ilmiah bermanfaat
agents is also important. yaitu minoxidil dan finasteride. Kedua terapi ini
memiliki keefektivitasan yang bervariasi. Pilihan
Key word: Alopecia androgenetic, male pattern pembedahan dan obat kamuflase dan juga me-
baldnes, minoksidil, finasterid miliki peranan penting.
PENDAHULUAN
Alopesia androgenetik pada laki-laki, yang dikenal dengan male pattern baldness adalah penyebab
tersering kerontokan rambut pada laki-laki.1,2,3 Ini dikhususkan karena progresi dari kerontokan
rambut yang terjadi berpola.1 Pola kerontokan berbeda dengan perempuan dan prevalensi pada
perempuan lebih rendah. Onset alopesia androgenetik sangat bervariasi, ditentukan oleh adanya
peredaran androgen yang cukup dan derajat predisposisi genetik.2 Walaupun ini merupakan fenom-
ena fisiologis, alopesia androgenetik dapat memberikan implikasi sosial yang dalam pada penderita
karena perubahan yang signifikan pada penampilan.4
Alopesia memiliki arti kerontokan rambut. An- Siklus rambut terdiri dari 3 fase yaitu fase per-
drogenetik menjelaskan dua faktor penyebab tumbuhan anagen, fase involusi katagen dan
dominan, yaitu androgen dan kerentanan ge- fase istirahat telogen. Anagen berakhir selama
netik.1 3-5 tahun, katagen 2 minggu dan telogen 3 bu-
lan. Jadi jumlah rambut anagen berbanding te-
Alopesia androgenetik pada laki-laki berkaitan logen biasanya 12:1. Rambut terlepas (eksogen)
dengan androgen.8-10 Beberapa hal yang me- terjadi pada fase telogen dan subfase telogen
nyokong hal tersebut adalah pada laki-laki yang mengikuti eksogen disebut fase laten.1
yang dikastrasi sebelum pubertas tidak pernah
Tipe 1: Tidak ada resesi; Tipe 2: Resesi temporal. Resesi ringan sepanjang garis rambut frontal; Tipe
2A: Seluruh garis rambut frontal menyusut; Tipe 3: Resesi garis rambut frontal lebih lanjut. Resesi
yang lebih dalam pada sudut garis rambut; Tipe 3A: Garis rambut lebih lanjut menyusut ke belakang;
Tipe 3V: Kerontokan rambut terutama pada vertex; Tipe 4: Kerontokan rambut frontal lebih lanjut
dan resesi temporal. Perluasan dari vertex. Terdapat rambut yang terlihat memisahkan kepala depan
dengan vertex; Tipe 4A: Kerontokan rambut berjalan cepat sampai mid coronal line; Tipe 5: Kebotakan
frontal dan area temporal melebar. Rambut yang memisahkan dua area menjadi menyempit dan
menipis; Tipe 5A : Kerontokan rambut meluas menuju vertex; Tipe 6: Kebotakan daerah frontal dan
vertex menyatu dan ukurannya meluas; Tipe 7: Rambut yang tersisa terdistribusi dalam pola seperti
mahkota di atas telinga dan leher .
PENANGANAN
Tanpa penanganan, androgenetik alopesia merupakan kondisi yang progresif. Jumlah rambut me-
nurun dengan kecepatan hampir 5% per tahun. Pilihan penanganan pada laki-laki penderita alopesia
androgenetika, yaitu: terapi obat, terapi pembedahan dan kamuflase.2,7 Saat ini hanya ada dua terapi
obat yang disetujui oleh Food and Drug Administration Amerika Serikat, yaitu: minoxidil topikal dan
finasteride oral.2,8 Tujuan utama obat ini adalah mencegah progresivitas kerontokan. Untuk menilai
efikasi, pemberian harus dilakukan sekurang-kurangnnya 6 bulan dan terapi harus dite-ruskan untuk
mempertahankan respon terapi.9
Minoxidil
Minoxidil semula adalah terapi antihipertensi tetapi selanjutnya berkembang menjadi terapi topikal un-
tuk kerontokan rambut (tersedia dalam solusio 2% dan 5%). Penggunaan minoxidil berhubungan de-
ngan vasodilatasi, angiogenesis, dan peningkatan proliferasi sel.12 Salah satu teori mengemukakan
bahwa minoxidil dimetabolisme menjadi minoxidil sulfat pada folikel rambut, bekerja sebagai agonis
kanal potasium sehingga menurunkan konsentrasi Ca2+ bebas pada sitoplasma. Ini mencegah epi-
dermal growth factor menghambat pembentukan rambut. Efek samping mencakup dermatitis kon-
tak dan kerontokan sementara selama 4 bulan pertama pemakaian.2,13
Uji klinis dengan menilai hitung jumlah rambut, berat rambut, dan fotografi, menunjukkan 60% laki-
laki mengalami perbaikan pada kebotakan di daerah vertex dengan menggunakan minoxidil 5%.
Rerata peningkatan kepadatan rambut berkisar 10%-12%. Respons pengobatan dengan minoxidil 2%
lebih rendah.8,9
Finasteride
Finasteride merupakan penghambat 5α-reduktase tipe 2. Sediaan oral dengan dosis 1 mg per hari
mampu mencegah kebotakan terus berlangsung pada laki-laki. Setelah diterapi selama 2 tahun, dua
pertiga pasien mengalami perbaikan. Pada percobaan yang lebih lama yakni 5 tahun menunjukkan
tingkat kerontokan rambut yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak diobati. Beberapa
keluhan seksual, misalnya impotensi dapat muncul, namun umumnya dapat ditoleransi. Manfaat
terapi akan menghilang dalam 12 bulan setelah terapi dihentikan. Belum diketahui secara pasti
bagaimana finasteride bekerja pada pasien yang memberi respon baik pada pengobatan. Salah satu
penelitian menyebutkan bahwa finasteride bekerja dengan cara mengaktifkan kembali folikel ram-
but hipotrofik dengan mempercepat dan memperpanjang fase anagen, namun tidak mengubah
rambut vellus menjadi rambut terminal. Meskipun tidak ada data klinis yang mendukung penggu-
naan kombinasi minoxidil topikal dan finasteride, namun kombinasi tersebut seringkali digunakan
dalam praktek klinis.8,9
Pembedahan
Variasi tehnik pembedahan sudah berkembang dalam pengobatan alopesia androgenetik pada laki-
laki, dimana transplantasi rambut adalah yang paling luas digunakan.7,9 Folikel rambut pada daerah
parietal dan oksipital yang relatif resisten terhadap androgen, dapat ditranplantasikan ke daerah
yang botak.2,7 Hasil yang bagus bisa didapatkan pada prosedur operasi, tetapi dilaporkan beberapa
potensial komplikasi seperti skar, hipoastesi pascaoperasi dan infeksi.7
Kamuflase
Cara yang paling sederhana untuk menyamarkan kerontokan rambut adalah dengan menyisir ram-
but menutupi daerah yang botak. Terapi kamuflase dilakukan dengan cara mewarnai scalp dengan
warna yang serupa dengan rambut, sehingga memberikan ilusi rambut menjadi lebih tebal. Pada
akhirnya, kerontokan rambut akan berkembang melewati poin dimana metode ini memberikan ke-
nyamanan penampilan. Kebanyakan laki-laki yang mengalami progresi dengan kamuflase memilih
menggunakan wig daripada dilakukan terapi bedah.7,8
KESIMPULAN
Alopesia androgenetik adalah kelainan kerontokan rambut yang sering dijumpai pada laki-laki. Eti-
ologi berkaitan dengan androgen dan kerentanan genetik. Kelainan ini merupakan hasil dari peru-
bahan dinamika siklus rambut dan miniaturisasi yang bertahap dari folikel rambut. Gambaran klinis
berupa kemunduran garis rambut frontal dan kebotakan pada area vertex. Obat-obatan, pembeda-
han dan kamuflase dapat menjadi pilihan penanganan. Terapi obat yang disetujui FDA yaitu minoxi-
dil dan finasteride, bertujuan untuk mencegah progresitivitas kerontokan.
daftar pustaka
1. Sinclair R. Male androgenetic alopecia. JMHG 2004; 1(4):319-327.
2. Elliis J, Sinclair R, Harrap S. Androgenetic Alopecia: pathogenesis and potential for ther-
apy. Expert Rev Mol Med 2002; 4(22):1-11
3. Bienová M, Kuerová R, Fiurásková M, Hajdúch M, Koláŕ Z. Androgenetic alopecia and
current methods of treatment. Acta Dermatovenereol APA 2005; 14(1):5-8.
4. Tsuboi R, Itami S, Inui S, Ueki R, Katsuoka K, Kurata S, et al. Guidelines for the manage-
ment of androgenetik alopesia (2010). Journal of Dermatology 2012; 39:113-120
5. Stough D, Stenn K, Haber R, Parsley W, Vogel J, Whiting D, Washenk K. Psychological
effect, pathophysiology, and management of androgenetic alopecia in men. Mayo Clin
Proc. 2005;80(10):1316-1322
6. Boldrin K. Androgenetic alopecia: exploring causes, psychological effects, with West-
ern and Chinese medicine approach. [disitasi 12 Januari 2014]. Tersedia di http://kim-
boldrini.net/wp-content/uploads/2010/12/androgenic-alopecia-research-paper.pdf
7. Sinclair R. Management of male pattern hair loss. [disitasi 12 Januari 2014]. Tersedia di
http://www.pediatricnews.com/fileadmin/qhi_archivve/ArticlePDF/CT/068010035.pdf
8. Legiawati L. Alopesia Androgenetik. MDVI 2013; 40(2): 96-101
9. Paul R, Olsen EA, Messenger AG. Hair growth disorders. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrik’s dermatology in gen-
eral medicine. Edisi ke-7 New York: McGraw Hil Companies, 2008. H. 766-9.
10. Kaufman KD. Androgens and alopecia. Mol Cell Endocrinol 2002; 198: 89-95
11. Fiurášková M, Kučerová R, Kolář Z. Pathobiology of androgenetic alopecia. Biomed Pa-
pers 2003; 147(1):37–41
12. McElwee KJ, Shapiro J. Promising therapies for treating and/or preventing androgenic
alopecia. Skin Therapy Letter 2012; 17(6):1-4
13. Meidan VM, Touitou E. Treatments for androgenetic alopecia and alopecia areata cur-
rent options and future prospects. Drugs 2001; 61(1):53-69
Perawatan pasien transplantasi ginjal membutuhkan ilmu Kami merekomendasikan penapisan kanker pada kan-
pengetahuan khusus yang mencakup ilmu di bidang ne- didat transplantasi ginjal sesuai rekomendasi penapisan
frologi, imunologi, farmakologi, endokrinologi, penyakit pada populasi umum. Kami merekomendasikan
infeksi, dan kardiologi. Oleh karena semakin banyak dan penapisan tumor ginjal pada kandidat transplantasi gin-
beragamnya sari pustaka medis, konsensus dibuat dengan jal dengan menggunakan ultrasonografi. Kami menganjur-
tujuan membantu klinisi dan paramedis untuk melakukan kan penapisan kanker urotelial dengan pemeriksaan sitologi
penatalaksanaan berbasis bukti yang bermanfaat untuk urin dan sistoskopi pada kandidat transplantasi ginjal yang
pasien. Selain itu, konsensus juga membantu kita untuk memiliki penyakit dasar ginjal yang berhubungan dengan
menilai bidang apa yang masih membutuhkan penelitian peningkatan risiko jenis kanker tersebut.
lebih lanjut.
Kami merekomendasikan penapisan terhadap kar-
Konsensus ini dibuat dengan pendekatan metodologi se- sinoma hepatoselular pada kandidat transplan yang
cara teliti : 1) identifikasi dan seleksi para perwakilan yang terinfeksi HCV dan HBV sesuai dengan panduan EORTC
ahli di bidang transplantasi (ahli penyakit ginjal, ahli bedah, (European Organisation for Research and Treatment of
ahli imunologi) dan ahli bidang metodologi; 2) identifikasi Cancer) Clinical Practice Guideline mengenai penata-
pertanyaan-pertanyaan klinis; 3) pertanyaan sistematis laksanaan karsinoma hepatoselular. Kami menyarankan
sesuai prioritas; 4) telaah sistematis dan telaah kritis; 5) for- pasien dengan kanker maupun riwayat kanker sebe-
mulasi rekomendasi dan sistem grading sesuai GRADE; 6) lumnya untuk didiskusikan dengan onkologis dan dinilai
perbandingan dengan konsensus yang sudah ada; 7) saran secara kasus per kasus. Faktor-faktor berikut harus diper-
untuk penelitian selanjutnya. timbangkan ketika menentukan waktu yang tepat untuk
penundaan menjadi daftar tunggu transplan: a) kemung-
Sistem GRADE mampu menilai kualifikasi konsensus se- kinan progresi atau kekambuhan kanker berdasarkan jenis,
hingga menjadi lebih transparan dan eksplisit. Kelebihan stadium, dan gradasi kanker; b) usia pasien; c) adanya ko-
setiap rekomendasi dinilai dengan angka 1 dan 2, angka morbiditas, untuk menentukan berapa lama penundaan
1 berarti “kami merekomendasikan” menyatakan bahwa waktu tunggu tranplantasi pasien.
sebagian besar pasien seyogyanya mendapatkan pena-
talaksanaan tersebut, dan 2 berarti “kami menyarankan” Transplantasi Ginjal bagi Pasien HIV
menyatakan bahwa penatalaksanaan lain mungkin ada
yang lebih sesuai untuk kasus lain namun hal ini bisa men- Kami merekomendasikan pasien HIV masuk dalam daftar
jadi pertimbangan. Selanjutnya, setiap rekomendasi disu- tunggu transplantasi ginjal apabila memenuhi kriteria :
sun dalam tingkatan yang sesuai dengan kualitas bukti, A
(tinggi), B (sedang), C (rendah), D (sangat rendah). 1. Kepatuhan berobat, khususnya HAART
2. CD4 > 200/uL dan stabil selama 3 bulan.
Draft konsensus ditelaah oleh para ahli di Eropa, semua 3. HIV RNA tidak terdeteksi selama 3 bulan.
anggota ERA-EDTA dan reviewer diseleksi oleh European 4. Tidak mengalami infeksi oportunistik selama 6 bulan
Society of Organ Transplantation and The Transplantation terakhir
Society. Selanjutnya, jika komentar dan masukan dari para 5. Tidak terdapat tanda-tanda progressive multifocal leu-
ahli tersebut dianggap sesuai, maka bisa diterima. Kami koencephalopathy, chronic intestinal cryptosporidiosis,
menganggap ini hal penting dalam membuat suatu kon- atau limfoma.
sensus, karena konsensus ini akan mempertimbangkan
pendapat ahli yang akan menambah kualitas konsensus ini Kami merekomendasikan untuk mendiskusikan obat anti
secara keseluruhan. retroviral yang paling tepat sebelum transplantasi dengan
tim penyakit infeksi untuk mengantisipasi adanya interaksi
obat setelah transplantasi.
Imunisasi Herpes-Varicella-Zoster (HVZ) sebelum Kami merekomendasikan bahwa wanita yang meminum
Transplantasi Ginjal alkohol > 40 g dan pria > 60 g per hari untuk menghen-
tikan atau mengurangi konsumsi alkohol. Pasien ini dapat
Kami merekomendasikan imunisasi varicella-zoster virus dimasukkan dalam daftar tunggu transplantasi ginjal den-
(VZV) pada anak-anak dan dewasa yang tidak memiliki an- gan monitor yang ketat terhadap pengurangan konsumsi
tibodi terhadap VZV, diutamakan jika masih dalam daftar alkohol. Kami merekomendasikan bahwa pasien dengan
tunggu. ketergantungan alkohol sebaiknya tidak dimasukkan
dalam daftar tunggu transplantasi ginjal.
Haemolytic Uremic Syndrome (HUS) pada Transplantasi
Ginjal Pengaruh Penggunaan Obat Terlarang dan Alkohol ter-
hadap Harapan hidup dan Graft
Kami merekomendasikan bahwa ditemukannya shiga-
toxin E-coli tipikal yang menyebabkan haemolytic uremic Kami merekomendasikan bahwa pasien dengan adiksi
syndrome (HUS) bukan merupakan kontraindikasi trans- obat-obat terlarang yang dapat menyebabkan ketidak-
plantasi ginjal baik dengan donor hidup maupun donor patuhan terhadap obat-obatan pascatransplantasi se-
jenazah. Kami menyarankan untuk mempertimbangkan baiknya tidak dimasukkan dalam daftar tunggu.
transplantasi ginjal tetap dapat dilakukan pada: 1) kandi-
dat transplantasi ginjal dengan HUS dan terbukti adanya Pengaruh Rokok terhadap Harapan Hidup dan Graft
mutasi MCP, dan 2) yang memiliki anti-CFH auto-antibody.
Kami merekomendasikan untuk menghentikan merokok
Kami merekomendasikan agar transplantasi ginjal pada sebelum transplantasi ginjal. Program berhenti merokok
pasien dengan atypical HUS (aHUS) hanya dilakukan pada sebaiknya ditawarkan.
pusat pelayanan kesehatan yang berpengalaman dalam
menangani kondisi ini dan memiliki fasilitas intervensi Transplantasi Ginjal pada Penderita Obesitas
terapi yang baik.
Kami merekomendasikan pasien dengan BMI > 30 kg/m2
Kami tidak merekomendasikan transplantasi ginjal dengan untuk mengurangi berat badan sebelum transplantasi gin-
donor hidup yang memiliki hubungan genetik dengan jal.
resipien yang dicurigai terdapat aHUS sebagai penyebab
penyakit ginjal tahap akhir kecuali bisa dibuktikan bahwa Transplantasi Ginjal pada Pasien Hiperparatiroidisme
donor tidak membawa gen tersebut. Kami merekomen- Sekunder Tidak Terkontrol?
dasikan untuk melakukan evaluasi terhadap donor yang
tidak memiliki hubungan genetik dengan resipien yang Kami merekomendasikan untuk tetap menjalani transplan-
menderita aHUS secara kasus per kasus. Evaluasi ini dilaku- tasi dengan donor jenazah meskipun terdapat hiperparati-
kan setelah memberikan konseling kepada donor dan re- roidisme sekunder yang tidak terkontrol. Namun demikian,
sipien mengenai risiko rekurensi pada graft. pasien dalam daftar tunggu transplantasi, sebaiknya di-
lakukan usaha maksimal dalam penatalaksanaan penyakit
Glomerulosklerosis Fokal Segmental (GSFS) pada tulang dan mineral sesuai panduan, termasuk paratiroidek-
Transplantasi Ginjal tomi bila ada indikasi.
Kami merekomendasikan bahwa GSFS primer bukan me- Penapisan Bagi Pasien Kardiovaskular pada Resipien
rupakan kontraindikasi transplantasi ginjal baik dengan
donor hidup atau donor jenazah. Kami merekomendasikan Kami merekomendasikan bahwa data klinis dasar,
untuk memberikan informasi kepada resipien dan donor pemeriksaan fisik, EKG, rontgen toraks sudah cukup untuk
mengenai risiko kekambuhan GSFS pada graft. pasien risiko rendah yang asimtomatik. Kami merekomen-
dasikan untuk melakukan tes uji latih dan ekokardiografi
pada pasien asimtomatik yang masuk dalam risiko tinggi
Kami merekomendasikan bahwa apabila graft pertama ga- (usia tua, diabetes, riwayat penyakit kardiovaskular). Pada
gal akibat kekambuhan GSFS, untuk transplantasi kedua, pasien dengan hasil tes negatif, tidak diindikasikan untuk
baik itu dari donor hidup atau donor jenazah, hanya di- pemeriksaan penapisan lebih lanjut.
lakukan setelah ada evaluasi paripurna terhadap risiko dan
manfaat serta mendiskusikan hal ini dengan baik kepada Kami merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan
donor dan resipien. Kami menyarankan untuk mengguna- lebih lanjut dengan metode yang tidak invasif (pemerik-
kan protokol penatalaksanaan terbaru dalam kasus GSFS saan viabilitas miokard atau dobutamin stress echocardi-
rekuren. Kami juga menyarankan pemeriksaan genotip ography) pada kandidat transplantasi ginjal dengan risiko
tinggi dan hasil uji latih positif atau tidak konklusif. Kami
pada anak-anak sindrom nefrotik dengan resisten steroid
merekomendasikan untuk melakukan angiografi koroner
sebelum masuk dalam daftar tunggu transplantasi ginjal. pada kandidat transplantasi ginjal yang memiliki hasil tes
positif adanya iskemia kardiak. Penatalaksanaan selan-
Strategi untuk Menghentikan Konsumsi Alkohol Disa- jutnya berdasarkan konsensus kardiovaskular terkini.
rankan sesuai dengan WHO Clinical Practice Guidelines.
Nefrektomi pada Kandidat Transplantasi Ginjal sipien memiliki antibodi HLA terhadap antigen tersebut
diatas. Kami tidak merekomendasikan pemeriksaan rutin
Kami merekomendasikan untuk dilakukan nefrektomi se- Major Histocompatibility Complex Class I related chain-A
belum transplantasi pada pasien dengan penyakit ginjal (MICA) dan antigen non-HLA lainnya baik itu pada donor
polikistik autosomal bila terdapat komplikasi berat yang maupun resipien.
simtomatik dan berulang (perdarahan, infeksi, batu salur-
an kemih). Kami merekomendasikan nefrektomi unilateral Pemeriksaan pada Calon Resipien dengan HLA yang
pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik autosomal Tersensitisasi untuk Meningkatkan Keberhasilan
apabila tidak terdapat ruang yang cukup untuk ginjal Transplantasi Ginjal
transplantasi. Tidak direkomendasikan untuk melakukan
nefrektomi rutin, kecuali pada kasus-kasus infeksi saluran Kami merekomendasikan untuk menyusun suatu program
kemih bagian atas yang berulang atau jika penyebab dasar untuk pemilihan donor dimana calon resipien tidak memi-
penyakit ginjal merupakan faktor predisposisi kanker trak- liki antibodi terhadap donor. Untuk resipien dengan donor
tus urogenital. jenazah, hal ini dapat dicapai dengan program yang me-
maksimalkan kesesuaian antigen HLA resipien dan donor.
II. PEMERIKSAAN IMUNOLOGIS DONOR DAN RESIPIEN Pada donor hidup hal ini dapat dicapai dengan program
paired exchange. Kami merekomendasikan untuk melaku-
Pelaksanaan Pemeriksaan HLA Typing pada Donor dan kan transplantasi ginjal dengan pasien yang memiliki anti-
Resipien bodi spesifik donor hanya apabila hal tersebut diatas tidak
dapat dilakukan dan telah dilakukan intervensi yang benar.
Kami menyarankan untuk melakukan sekurang-kurangnya
satu kali pemeriksaan HLA typing pada donor dan resipien Perlu atau Tidaknya Tindakan Nefrektomi pada Pasien
untuk menghindari kesalahan klasifikasi antigen HLA. Kami Gagal Allograft
menyarankan pemeriksaan HLA typing dua kali, sebaiknya
dengan sampel yang berbeda dan diambil dalam waktu Tidak ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan
yang berbeda untuk menghindari kesalahan pengambilan. apakah lebih baik dilakukan nefrektomi terhadap ginjal
transplantasi atau tidak. Kami merekomendasikan untuk
Pada pasien yang yang mengalami sensitisasi, kami mere- melakukan nefrektomi pada kondisi-kondisi berikut: re-
komendasikan pemeriksaan serologis tambahan pada sel jeksi klinis, inflamasi kronik sistemik tanpa penyebab yang
donor untuk dilakukan cross-match untuk mengecek adan- jelas, atau infeksi rekuren yang bersifat sistemik. Kami me-
ya ekspresi antigen HLA yang sesuai pada sel target. Untuk nyarankan untuk melanjutkan imunosupresan dosis ren-
pasien dengan sensitisasi berat dan memiliki antibodi sp- dah dan menghindari nefrektomi apabila masih terdapat
esifik alel, kami menyarankan untuk mempertimbangkan produksi urin >500 ml/hari dan tidak terdapat tanda-tanda
pemeriksaan molecular typing beresolusi tinggi pada do- inflamasi.
nor dan resipien.
Jenis Teknik Cross-match untuk Calon Donor dan Re-
Optimalisasi HLA Matching pada Resipien Transplan- sipien Transplantasi Ginjal agar Memperoleh Hasil Op-
tasi Ginjal timal
Kami menyarankan untuk mencocokkan HLA-A, -B dan – Kami merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan
DR jika memungkinkan. Kami merekomendasikan untuk complement dependent cytotoxic (CDC) pada pasien de-
mencocokkan efek HLA matching dengan lain yang akan ngan HLA yang tersensitisasi untuk menghindari rejeksi
meningkatkan prognosis pasien dan graft dalam memu- hiperakut. Kami menyarankan bahwa pada pasien dengan
tuskan calon ginjal yang akan ditransplantasi. antibodi HLA negatif, tidak diperlukan pemeriksaan cross-
match, kecuali sensitisasi HLA telah terjadi sejak penapisan
Kami merekomendasikan untuk mengutamakan kombina- terakhir.
si HLA donor dan resipien yang identik.Kami menyarankan
untuk lebih mengutamakan HLA-DR matching disband- Kami tidak merekomendasikan untuk pemeriksaan Lu-
minex cross match, atau cross match sel endotel karena
ing HLA-A dan HLA-B matching. Kami merekomendasikan
manfaat tambahan dari pemeriksaan ini masih membutuh-
untuk menekankan bahwa HLA matching pada pasien de-
kan evaluasi lebih lanjut. Kami merekomendasikan bahwa
ngan usia lebih muda, untuk menghindari sensitisasi HLA
hasil positif cross match CDC hanya bisa benar-benar di-
yang dapat mempengaruhi transplantasi berikutnya.
anggap positif apabila terdapat donor specific antibody.
Pemeriksaan HLA Antigen dan non-HLA Antigen seba-
Jenis Pemeriksaan bagi Kandidat Transplantasi dengan
gai Tambahan Pemeriksaan HLA-A, -B dan –DR pada
Donor Inkompatibel ABO untuk Memperbaiki Hasil
Kandidat Transplantasi
Akhir
Kami merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan
Kami merekomendasikan untuk menekan produksi dan
HLA-DQ, HLA-DP dan HLA-C pada donor saja apabila re-
pembersihan antibodi ABO sebelum transplantasi secara
bersamaan dengan menggunakan protokol yang sama mengenai penggunaan mesin preservasi ginjal hingga ada
dan sudah tervalidasi. Kami merekomendasikan transplan- bukti yang mendukung.
tasi pada pasien dengan inkompatibel ABO hanya jika ti-
ter antibodi setelah intervensi lebih rendah dari 1:8. Kami Batasan Waktu Cold Ischemic Time dimana Organ Do-
menyarankan untuk mempertimbangkan program paired nor Sebaiknya Tidak Digunakan Lagi
exchange jika tersedia.
Kami menyarankan cold ischemic time sesingkat mungkin.
Pengaruh Pemberian Kembali Antigen HLA yang tidak Kami merekomendasikan cold ischemic time kurang dari
Cocok pada Pasien yang telah Menjalani Transplantasi 24 jam dengan donor jenazah akibat kematian otak. Kami
Sebelumnya merekomendasikan cold ischemic time kurang dari 12 jam
dengan donor jenazah dengan penyebab kematian ga-
Kami merekomendasikan bahwa ketidaksesuaian HLA gal jantung. Kami merekomendasikan bahwa keputusan
bukan kontraindikasi untuk transplantasi apabila tidak ter- menggunakan ginjal donor dengan cold ischemic time
dapat antibodi terhadap HLA yang mengalami ketidakco- lebih dari 36 jam sebaiknya berdasarkan kasus per kasus.
cokan berulang. Kami meyarankan bahwa adanya antibodi
terhadap HLA yang mengalami ketidakcocokan berulang Kriteria Donor Hidup untuk Mengoptimalkan Risiko/
yang dapat dideteksi dengan menggunakan teknik lain se- Keuntungan dari Ginjal yang Didonorkan
lain CDC dianggap sebagai faktor risiko dan bukan meru-
pakan kontraindikasi. Hal-hal Umum
III. EVALUASI, SELEKSI, DAN PERSIAPAN DONOR JENA- Kami merekomendasikan kepada calon donor untuk
ZAH DAN DONOR HIDUP melakukan olah raga secara reguler, menurunkan berat
badan, dan menghentikan kebiasaan merokok. Kami mere-
Kami merekomendasikan bahwa sebelum memutuskan komendasikan bahwa risiko pendonoran ginjal sebaiknya
bahwa ginjal yang berasal dari donor jenazah tidak cocok didiskusikan dengan donor dan mempertimbangkan sisi
untuk transplantasi satu ginjal, transplantasi kedua ginjal donor dan resipien. Idealnya, hal ini sebaiknya dilakukan
dari satu donor jenazah untuk satu resipien (dual kidney dengan menggunakan daftar yang sudah terstandardisasi
transplantation) dapat dipertimbangkan. Kami menyaran- untuk memastikan bahwa semua aspek yang terkait sudah
kan bahwa pada donor jenazah dimana tidak terdapat ke- didiskusikan.
jelasan mengenai kualitas ginjal, keputusan untuk apakah
tidak memakai kedua ginjal tersebut atau menggunakan- Kami menyarankan bahwa donor sebaiknya dievaluasi
nya untuk transplantasi dengan satu atau kedua ginjal, oleh klinisi yang tidak masuk dalam tim transplantasi dan
adalah berdasarkan evaluasi klinis dan anamnesis resipien tidak terlibat dalam penanganan resipien, dan jika me-
dan donor, dan jika memungkinkan, pengkajian yang ter- mungkinkan juga dievaluasi oleh psikolog. Kami mereko-
standardisasi terhadap biopsi pre-transplantasi donor. mendasikan bahwa proses donasi dihentikan apabila ter-
dapat keraguan terhadap keselamatan resipien, khususnya
Kami merekomendasikan bahwa sebelum memutuskan pada donor usia muda, atau jika manfaat untuk resipien
sebuah ginjal yang berasal dari donor anak-anak tidak di- dianggap kurang.
gunakan karena dianggap tidak memenuhi syarat untuk
transplantasi tunggal pada resipien dewasa, transplan- Kami merekomendasikan bahwa bila terdapat lebih dari
tasi dengan metoda en bloc bisa dipertimbangkan. Kami satu faktor risiko donor (hipertensi, obesitas, proteinuria,
menyarankan untuk selalu mempertimbangkan metode toleransi glukosa terganggu, hematuria) secara bersa-
transplantasi en bloc untuk donor dengan berat kurang maan, tidak dianjurkan untuk mendonasi.
dari 10 kg.
Hipertensi
Jenis Cairan Perfusi Ginjal Terbaik untuk Preservasi
Ginjal Resipien dengan Donor Jenazah Kami merekomendasikan bahwa donor dengan tekanan
darah <140/90 mmHg dengan pemeriksaan tekanan
Tidak terdapat bukti yang cukup mengenai cairan daarah sekurang-kurangnya tiga kali dalam waktu yang
preservasi apa yang lebih baik untuk mengurangi risiko de- berbeda, dan tanpa obat antihipertensi, dianggap nor-
layed graft function. Kami merekomendasikan untuk tidak motensi. Kami menyarankan melakukan pemeriksaan te-
menggunakan Eurocollins sebagai cairan preservasi ginjal kanan darah ambulasi bagi pasien yang memiliki tekanan
karena memiliki risiko tinggi delayed graft function. darah tinggi saat di tempat praktik (tekanan darah > 140/90
mmHg) atau yang sedang dalam pengobatan hipertensi.
Preservasi Ginjal dengan Menggunakan Mesin atau
dengan Cara Manual? Kami menyarankan bahwa hipertensi primer yang terkon-
trol, yang telah dinilai dengan pemeriksaan tekanaan
Data yang mendukung keuntungan mesin preservasi gin- darah ambulasi <130/85 mmHg, dengan maksimal 2 obat
jal dibanding dengan wadah penyimpanan dengan suhu antihipertensi (termasuk diuretik) bukan merupakan kon-
dingin tidak konsisten. Tidak ada rekomendasi yang kuat
traindikasi donor. Kami merekomendasikan bahwa pada Risiko Kehamilan pada Wanita Pendonor Ginjal
calon donor dengan hipertensi dan terdapat kelainan tar-
get organ seperti hipertrofi ventrikel, retinopati hipertensi, Kami merekomendasikan untuk menginformasikan ke-
dan mikroalbuminuria, tidak disarankan untuk mendonasi. pada wanita dengan usia produktif, karena mereka meru-
pakan pilihan dari subpopulasi yang sehat, donasi akan
Obesitas meningkatkan risiko rendahnya kehamilan dibandingkan
populasi umum.
Kami menyarankan bahwa IMT diatas 35 kg/m2 merupakan
kontraindikasi mendonasi. Kami merekomendasikan un- Metode Nefrektomi Terbaik untuk Donor dan Resipien
tuk melakukan konseling pengendalian berat badan un-
tuk pasien berat badan berlebih baik sebelum dan setelah Kami menyarankan metode minimal invasif atau lapa-
transplantasi. roskopi dibanding dengan teknik pembedahan subkostal
peritoneal. Pilihan antara minimal invasif atau laparoskopi
Toleransi Glukosa Terganggu sebaiknya didasarkan atas keahlian di masing-masing dae-
rah.
Kami merekomendasikan bahwa diabetes mellitus meru-
pakan kontraindikasi mendonasi. Kami menyarankan PENATALAKSANAAN PERIOPERATIF RESIPIEN TRANS-
bahwa toleransi glukosa terganggu bukanlah merupakan PLANTASI GINJAL
kontraindikasi absolut mendonasi.
Indikasi Hemodialisis Tambahan pada Resipien Sebe-
Proteinuria lum Prosedur Transplantasi
Kami merekomendasikan untuk pemeriksaan proteinuria Kami merekomendasikan untuk tidak melakukan hemodi-
kuantitatif pada calon donor. Kami merekomendasikan alisisis inisiasi secara rutin sebelum prosedur transplantasi
bahwa bila terdapat proteinuria berat (total protein 24 jam kecuali terdapat indikasi klinis yang jelas. Jika hemodialisis
>300 mg atau rasio protein kreatinin urin sewaktu >300 diperlukan sesaat sebelum prosedur transplantasi, kami
mg/g (>30 mg/mmol). Kami merekomendasikan bahwa merekomendasikan untuk tidak melakukan ultrafiltrasi ke-
calon donor dengan proteinuria persisten <300 mg/24 cuali terdapat tanda-tanda kelebihan cairan.
jam (lebih dari 3 kali pemeriksaan dengan interval 3 bu-
lan) sebaiknya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan Apakah Mengukur Tekanan Vena Sentral sebagai Alat
pemeriksaan kuantitatif mikroalbuminuria untuk menilai untuk Menilai Status Volume pada Resipien dapat Me-
faktor risiko calon donor. Kami menyarankan untuk mem- ningkatkan Hasil Akhir Setelah Transplantasi?
pertimbangkan mikroalbuminuria persisten (lebih dari 3
kali pemeriksaan dengan 3 bulan interval) (30-300 mg/24 Kami menyarankan bahwa tekanan vena sentral diukur
jam) merupakan faktor risiko tinggi mendonasi. dan dikoreksi segera setelah operasi untuk menghindari
hipovolemia dan delayed graft function.
Hematuria
Penggunaan Cairan Intravena Selain NaCl 0,9% Selama
Kami merekomendasikan bahwa hematuria glomerular Prosedur Operasi bagi Pasien dan/atau Graft pada Re-
merupakan kontraindikasi mendonasi, karena hal ini meru- sipien
pakan indikasi adanya gangguan ginjal pada calon donor.
Namun, kami memberi pengecualian pada penyakit thin Tidak ada bukti klinis yang mendukung suatu cairan tert-
basement membrane. entu (kristaloid dibanding koloid, cairan NaCl 0,9% diban-
ding Ringer) untuk penatalaksanaan volume pada resipien
Usia tua selama prosedur operasi transplantasi ginjal. Melihat be-
berapa data yang ada pada studi umum, dan dihubungkan
Kami merekomendasikan bahwa usia tua bukan merupa- dengan konsensus gangguan ginjal akut (GGA), kami men-
kan kontraindikasi mendonasi ginjal. yarankan untuk berhati-hati dalam penggunaan starch un-
tuk penatalaksanaan perioperatif pasien transplantasi gin-
Seberapa buruk fungsi ginjal yang dianggap kontrain- jal, meskipun data spesifik mengenai penggunaan starch
dikasi mendonasi? untuk penatalaksanaan perioperatif pada resipien trans-
plantasi ginjal masih kurang. Kami merekomendasikan
Kami merekomendasikan bahwa semua calon donor harus untuk memonitor adanya asidosis metabolik jika hanya
diperiksakan laju filtrasi glomerulus (LFG). Kami mereko- menggunakan cairan NaCl 0,9% selama perioperatif dan
mendasikan bahwa pada kasus dimana diperlukan nilai pascaoperatif.
LFG yang sebenarnya atau apabila penilaian LFG dengan
menggunakan metode estimasi dianggap kurang aku- Penggunaan Dopaminergik (dopamine atau sejenis-
rat, maka disarankan untuk melakukan pemeriksaan LFG nya) dalam Meningkatkan Early Graft Function
dengan menggunakan metode eksogen klirens. Kami
merekomendasikan bahwa semua calon donor sebaiknya Kami tidak merekomendasikan penggunaan ‘dosis renal’ do-
memiliki LFG yang diprediksi akan tetap baik selama masa paminergik pada periode awal pascaoperatif, karena tidak
hidup pendonor. berpengaruh terhadap fungsi graft atau harapan hidup.
Apakah Kita Sebaiknya Menggunakan Obat Antitrom- ing absolute risk of cancer after kidney transplantation: a cohort study of 15,183 recipients. Am J
Transplant 2007; 7: 2140–2151
botik untuk Penatalaksanaan Perioperatif? 13. Villeneuve PJ, Schaubel DE, Fenton SS, Shepherd FA, Jiang Y, Mao Y. Cancer incidence among Cana-
dian kidney transplant recipients. Am J Transplant 2007; 7: 941–948
14. Stewart JH, Vajdic CM, van Leeuwen MT et al. The pattern of excess cancer in dialysis and trans-
plantation. Nephrol Dial Transpl 2009; 24: 3225–3231
Kami tidak merekomendasikan penggunaan rutin low mo- 15. Buzzeo BD, Heisey DM, Messing EM. Bladder cancer in renal transplant recipients. Urology 1997;
50: 525–528
lecular weight heparin (LMWH), unfractionated heparin atau 16. Gulanikar AC, Daily PP, Kilambi NK, Hamrick-Turner JE, Butkus DE. Prospective pretransplant ultra-
aspirin sebelum transplantasi untuk mencegah trombosis sound screening in 206 patients for acquired renal cysts and renal cell carcinoma. Transplantation
1998; 66: 1669–1672
pada graft. 17. Maisonneuve P, Agodoa L, Gellert R et al. Cancer in patients on dialysis for end-stage renal disease:
an International Collaborative Study. Lancet 1999; 354: 93–99
18. Fischereder M, Jauch KW. Prevalence of cancer history prior to renal transplantation. Transpl Int
2005; 18: 779–784
Efek Penggunaan Stent JJ pada Resipien saat Operasi 19. Schwarz A, Vatandaslar S, Merkel S, Haller H. Renal cell carcinoma in transplant recipients with
acquired cystic kidney disease. Clin J Am Soc Nephrol 2007; 2: 750–756
terhadap Prognosis Transplantasi Ginjal 20. Lemy A, Wissing KM, Rorive S et al. Late onset of bladder urothelial carcinoma after kidney trans-
plantation for end-stage aristolochic acid nephropathy: a case series with 15-year followup. Am J
Kidney Dis 2008; 51: 471–477
Kami merekomendasikan bahwa dengan pemasangan 21. Klatte T, Seitz C, Waldert M et al. Features and outcomes of renal cell carcinoma of native kidneys
in renal transplant recipients. BJU Int 2010; 105: 1260–1265
stent JJ, maka perlu pemberian rutin profilaksis pada trans- 22. Veroux M, Giuffrida G, Gagliano M et al. Evaluation of thyroid disease in kidney transplantation
candidates: management and follow-up. Transplant Proc 2009; 41: 1142–1144
plantasi ginjal dewasa. Kami menyarankan pemberian co- 23. Karamchandani D, Arias-Amaya R, Donaldson N, Gilbert J, Schulte KM. Thyroid cancer and renal
transplantation: a metaanalysis. Endocr-Relat Cancer 2010; 17: 159–167
trimoxazole sebagai antibiotik profilaksis. Kami menyaran- 24. Penn I. Occurrence of cancers in immunosuppressed organ transplant recipients. Clin Transplant
kan untuk pencabutan stent JJ dalam waktu 4 sampai 6 1998; 147–158
25. Chapman JR, Sheil AG, Disney AP. Recurrence of cancer after renal transplantation. Transplant Proc
minggu. 2001; 33: 1830–1831
26. Penn I. Evaluation of transplant candidates with pre-existing malignancies. Ann Transplant 1997;
2: 14–17
27. Mulley W. The KHA-CARI Guidelines. Recipient assessment for transplantation: Malignancy.
Waktu yang Tepat untuk Pencabutan Kateter pada Re- KHA-CARI; 2011. Retrieved from: http://www.cari.org.au/TRANS_recipient_assessment/Malig-
nancy_31_Aug_2011.pdf
sipien Transplantasi Ginjal Pasca-Operasi 28. Dudley C, Harden P. Renal Association Clinical Practice Guideline on the assessment of the poten-
tial kidney transplant recipient. Nephron Clin Pract 2011; 118: s209–s224
29. Karam G, Kälbe T, Alcarez A et al. Guidelines on Renal Transplantation. The European Association of
Kami menyarankan pencabutan kateter sesegera mungkin Urology; 2009. Retrieved from: http://www.uroweb.org/gls/pdf/26_Renal_Transplant_LR.pdf
30. Trullas JC, Cofan F, Tuset M et al. Renal transplantation in HIV-infected patients: 2010 update. Kid-
setelah transplantasi, mengurangi risiko kebocoran urin ney Int 2011; 79: 825–843
31. EBPG Expert Group on Renal Transplantation. I.4 Contraindications for transplantation. Nephrol
dan infeksi traktus urinarius. Kami merekomendasikan un- Dial Transpl 2000; 15:5–6
32. Swanson SJ, Kirk AD, Ko CW, Jones CA, Agodoa LY, Abbott KC. Impact of HIV seropositivity on graft
tuk memonitor kejadian efek samping (infeksi traktus uri- and patient survival after cadaveric renal transplantation in the United States in the pre highly
narius, kebocoran urin) di tempat masing-masing, sehing- active antiretroviral therapy (HAART) era: an historical cohort analysis of the United States Renal
Data System. Tranplant Infect Dis 2002; 4: 144–147
ga dapat memberikan saran kapan sebaiknya pencabutan 33. Abbott KC, Swanson SJ, Agodoa LY, Kimmel PL. Human immunodeficiency virus infection and kid-
ney transplantation in the era of highly active antiretroviral therapy and modern immunosuppres-
kateter dilakukan. sion. J Am Soc Nephrol 2004; 15: 1633–1639
34. Gruber SA, Doshi MD, Cincotta E et al. Preliminary experience with renal transplantation in HIV+
recipients: low
acute rejection and infection rates. Transplantation 2008; 86:269–274
Acknowledgement 35. Kumar MS, Sierka DR, Damask AM et al. Safety and success of kidney transplantation and concomi-
tant immunosuppression in HIV-positive patients. Kidney Int 2005; 67: 1622–1629
36. Landin L, Rodriguez-Perez JC, Garcia-Bello MA et al. Kidney transplants in HIV-positive recipients
Kami sangat berterima kasih kepada para ahli; Daniel under HAART. A comprehensive review and meta-analysis of 12 series. Nephrol Dial
Transpl 2010; 25: 3106–3115
Abramovicz (Transplantation work group Co-chair), Wim 37. Locke JE, Montgomery RA, Warren DS, Subramanian A, Segev DL. Renal transplant in HIV-positive
patients: long-term outcomes and risk factors for graft loss. Arch Surg 2009; 144: 83–86
Van Biesen (ERBP Advisory Board Chairman), Pierre Cochat 38. Mazuecos A, Fernandez A, Andres A et al. HIV infection and renal transplantation. Nephrol Dial
Transpl 2011; 26: 7
(Transplantation work group Co-chair) dan Raymond Van- 39. Qiu J, Terasaki PI, Waki K, Cai J, Gjertson DW. HIV-positive renal recipients can achieve survival rates
similar to those of HIV-negative patients. Transplantation 2006; 81: 1658–1661
holder (President of ERA-EDTA) yang telah meluangkan 40. Roland ME. Solid-organ transplantation in HIV-infected patients in the potent antiretroviral therapy
waktunya untuk memberi masukan kepada kami. Mereka era. Top HIV Med 2004; 12: 73–76
41. Stock PG, Barin B, Murphy B et al. Outcomes of kidney transplantation in HIV-infected recipients. N
sangat membantu hasil akhir konsensus ini. Kami meng- Engl J Med 2010; 363:2004–2014
42. Touzot M, Pillebout E, Matignon M et al. Renal transplantation in HIV-infected patients: the Paris
harapkan konsensus ini dapat membantu dokter dan para- experience. Am J Transplant 2010; 10: 2263–2269
43. Tricot L, Teicher E, Peytavin G et al. Safety and efficacy of raltegravir in HIV-infected transplant pa-
medik untuk meningkatkan kualitas pelayanan pasien. tients cotreated with immunosuppressive drugs. Am J Transplant 2009; 9: 1946–1952
44. Yoon SC, Hurst FP, Jindal RM et al. Trends in renal transplantation in patients with human immuno-
deficiency virus Transplantation 2011; 91: 5
45. Gracey D. The CARI Guidelines. Recipient assessment for trans- Q2 plantation: HIV, HBV and HCV
daftar pustaka
infection. 2011. DOI:
46. Furth SL, Hogg RJ, Tarver J et al. Varicella vaccination in children with chronic renal failure. A report
of the Southwest Pediatric Nephrology Study Group. Pediatr Nephrol 2003; 18: 33–38
47. Crespo JF, Gorriz JL, Avila A et al. Prevalence of past varicella zoster virus infection in candidates for
kidney transplantation: vaccination in seronegative patients. Transplant Proc 2002; 34: 77
1. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Transplant Work Group. KDIGO clinical prac- 48. Geel AL, Landman TS, Kal JA, van Doomum GJ, Weimar W. Varicella zoster virus serostatus before
tice guideline for the care of kidney transplant recipients. Am J Transplant 2009; 9: s1–s157 and after kidney transplantation, and vaccination of adult kidney transplant candidates. Trans-
2. Heemann U, Abramowicz D, Spasovski G, Vanholder R. European Renal Best Practice Work Group on plant Proc 2006; 38: 3418–3419
Kidney Transplantation. Endorsement of the Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) 49. Giacchino R, Marcellini M, Timitilli A et al. Varicella vaccine in children requiring renal or hepatic
guidelines on kidney transplantation: a European Renal Best Practice (ERBP) position statement. transplantation. Transplantation 1995; 60: 1055–1056
Nephrol Dial Transpl 2011; 26: 2099–2106 50. Webb NJ, Fitzpatrick MM, Hughes DA et al. Immunisation against varicella in end stage and pre-
3. Counsell C. Formulating questions and locating primary studies for inclusion in systematic reviews. end stage renal failure. Trans-Pennine Paediatric Nephrology Study Group. Arch Dis Child 2000;
Ann Intern Med 1997; 127: 380–387 82: 141–143
4. Shea BJ, Grimshaw JM, Wells GA et al. Development of AMSTAR: a measurement tool to assess the 51. Broyer M, Tete MJ, Guest G, Gagnadoux MF, Rouzioux C. Varicella and zoster in children after kidney
methodological quality of systematic reviews. BMC Med Res Methodol 2007; 7: 10 transplantation: longterm results of vaccination. Pediatrics 1997; 99: 35–39
5. Higgins JPT, Altman DG. Chapter 8: Assessing risk of bias in included studies. In: Higgins JPT, Green 52. Kitai IC, King S, Gafni A. An economic evaluation of varicella vaccine for pediatric liver and kidney
S (eds). Cochrane Handbook for Systematic Reviews of Interventions. Version 5.0.1. The Cochrane transplant recipients. Clin Infect Dis 1993; 17: 441–447
Collaboration, 2008 53. Olson AD, Shope TC, Flynn JT. Pretransplant varicella vaccination is cost-effective in pediatric renal
6. Wells GA, Shea BJ, O’Connell D et al. The Newcastle-Ottawa Scale (NOS) for assessing the quality transplantation. Pediatr Transplant 2001; 5: 44–50
of nonrandomized studies in meta-analyses. Department of Epidemiology and Community Medi- 54. Chadban SJ, Barraclough KA, Campbell SB et al. KHA-CARI guideline: KHA-CARI adaptation of the
cine, University of Ottawa, Canada. Retrieved from: www.ohri.ca/programs/clinical_epidemiology/ KDIGO Clinical Practice Guideline for the Care of Kidney Transplant Recipients. Nephrology
oxford.asp 2012; 17: 204–214
7. Guyatt GH, Oxman AD, Kunz R et al. Going from evidence to recommendations. Br Med J 2008; 336: 55. Artz MA, Steenbergen EJ, Hoitsma AJ, Monnens LAH, Wetzels JFM. Renal transplantation in patients
1049–1051 with hemolytic uremic syndrome: high rate of recurrence and increased incidence of acute rejec-
8. Balshem H, Helfand M, Schunemann HJ et al. GRADE guidelines: 3. Rating the quality of evidence. J tions. Transplantation 2003; 76: 821–826
Clin Epidemiol 2011; 64: 401–406 56. Ferraris JR, Ramirez JA, Ruiz S et al. Shiga toxin-associated hemolytic uremic syndrome: absence of
9. Kasiske BL, Snyder JJ, Gilbertson DT, Wang C. Cancer after kidney transplantation in the United recurrence after renal transplantation. Pediatr Nephrol 2002; 17: 809–814
States. Am J Transplant 2004; 4: 905–913 57. Loirat C, Niaudet P. The risk of recurrence of hemolytic uremic syndrome after renal transplantation
10. Kessler M, Jay N, Molle R, Guillemin F. Excess risk of cancer in renal transplant patients. Transpl Int in children. Pediatr Nephrol 2003; 18: 1095–1101
2006; 19: 908–914 58. Bresin E, Daina E, Noris M et al. Outcome of renal transplantation in patients with non-Shiga toxin-
11. Vajdic CM, McDonald SP, McCredie MR et al. Cancer incidence before and after kidney transplanta- associated hemolytic uremic syndrome: prognostic significance of genetic background. Clin J Am
tion. JAMA 2006; 296: 2823–2831 Soc Nephrol 2006; 1: 88–99
12. Webster AC, Craig JC, Simpson JM, Jones MP, Chapman JR. Identifying high risk groups and quantify- 59. Noris M, Caprioli J, Bresin E et al. Relative role of genetic complement abnormalities in sporadic and
familial aHUS and their impact on clinical phenotype. Clin J Am Soc Nephrol 2010; 5:
Pilihan terapi bagi pasien gagal ginjal dianta- akan melewati tubes menunju dialyzer untuk
ranya hemodialisis (HD), peritoneal dialisis dan difiltrasi. Kemudian darah yang sudah bersih
transplantasi ginjal. Setiap terapi memiliki kel- akan mengalir melalui satu set tubes yang lain
ebihan dan kekurangan. Pasien berhak menen- untuk kembali ke dalam tubuh.
tukan terapi yang akan dipilihnya. Terapi yang
menjadi pilihan akan memberikan dampak Terapi HD di Indonesia biasa dilakukan dua kali
pada kehidupan sehari-hari pasien. seminggu dengan durasi 5 jam setiap sesi. Be-
berapa klinik atau rumah sakit tertentu men-
1. HEMODIALISIS (HD) etapkan jadwal terapi 3 kali seminggu dengan
durasi 4 jam setiap sesi. Kendala yang sering ter-
Hemodialisis bekerja dengan cara membersih- jadi pada terapi HD yakni, komplikasi pasien HD
kan dan memfiltrasi darah di dalam tubuh dari (berpotensi mengalami hipotensi, kram otot,
sisa-sisa metabolisme yang berbahaya, garam mual, muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit
yang berlebih dan cairan yang berlebih meng- punggung, gatal, demam dan menggigil) dan
gunakan sebuah mesin. Terapi ini dapat meng- besarnya biaya HD.
gantikan fungsi ginjal dalam menjaga tekanan
darah dan keseimbangan unsur-unsur penting Kepatuhan pasien HD
seperti kalium, natrium, kalsium dan bikarbonat.
sumsi cairan dan (4) pengawasan pola makan paru-paru ; hipertensi; sesak nafas, menggigil,
sehari-hari. cemas, kejang otot bahkan kematian men-
dadak.
Pasien HD dianjurkan untuk menjalani diet ma-
kanan dan membatasi konsumsi cairan. Dengan Ketidakpatuhan pasien HD
melakukan diet yang benar akan membantu
mengurangi sisa-sisa metabolisme tubuh yang Seringkali pasien HD tidak patuh dalam men-
ada dalam darah. Pasien disarankan untuk jalani terapi. Bentuk ketidakpatuhan pasien
berkonsultasi dengan ahli gizi dalam pemilihan HD antara lain: “Mangkir” dari jadwal terapi
makanan sehari-hari. Ada beberapa hal yang setidaknya sekali dalam sebulan dapat memper-
perlu diperhatikan dalam pemilihan makanan besar risiko kematian 25%-30%. Mempersingkat
bagi para pasien HD, antara lain: durasi HD juga sering terjadi yang berdampak
pada penurunan efektivitas terapi dan menu-
1. Mengkonsumsi protein dalam jumlah yang runkan jumlah dosis dialisa yang disalurkan ke
seimbang, seperti daging, ikan dan ayam. dalam tubuh. Kondisi ini dapat memperbesar
2. Salah satu suplemen yang dapat digunakan risiko kematian dan tekanan darah tinggi pada
pada pasien gagal ginjal terkait dengan ke- pasien. Mempersingkat durasi HD lebih dari 10
butuhan protein adalah penggunaan asam menit dan dilakukan lebih dari satu kali juga da-
amino ketoanalog yang dalam metabolis- pat memperbesar risiko kematian pasien.
menya tidak menghasilkan nitrogen atau
urea yang dapat memperberat fungsi gin- PERITONEAL DIALISIS
jal. Penggunaan asam amino ketoanalog ini
terbukti secara klinis memperbaiki keadaan Peritoneal dialisis merupakan terapi dialisis lain
uremia, peningkatan bersihan kreatinin yang menggunakan prosedur yang berbeda
dan memperlambat progresifitas gagal gin- dengan HD. Peritoneal dialisis ini memiliki tujuan
jal kronik. yang sama dengan HD, yaitu membersihkan da-
3. Mengontrol jumlah asupan kalium. Kalium rah dari sisa metabolisme tubuh dan menge-
merupakan mineral yang terdapat dalam luarkan cairan yang berlebih dari dalam tubuh.
pengganti garam; beberapa buah seperti Peritoneal dialisis menggunakan lapisan perut
pisang, jeruk; sayuran; coklat; dan kacang. pasien untuk memfiltrasi darah. Lapisan ini dise-
4. Hindari makanan yang mengandung ba- but dengan membran peritoneal dan berperan
nyak garam karena akan membuat pasien sebagai ginjal buatan.
merasa haus dan membuat tubuh mereten-
si cairan. Ada 3 tipe peritoneal dialisis yaitu:
5. Batasi konsumsi makanan-makanan se-
perti susu, keju, kacang, kacang kering dan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
minuman bersoda. Makanan-makanan (CAPD)
tersebut mengandung banyak fosfor.
Fosfor yang berlebih di dalam darah me- CAPD tidak membutuhkan mesin. Dengan me-
nyebabkan penarikan kalsium dari tulang, tode ini darah pasien akan selalu dibersihkan.
sehingga tulang lemah dan keropos yang Larutan dialisis akan melewati kateter masuk ke
dapat memicu timbulnya artritis. dalam perut dan dibiarkan di dalam perut se-
Konsumsi cairan yang dianjurkan bagi para lama beberapa jam (4-6 jam atau lebih) dengan
pasien HD adalah tidak lebih dari 500 ml sehari. kondisisi kateter disegel. Setelah itu, larutan di-
Hal ini karena pasien HD mengeluarkan urin tak alisis dikeluarkan ke dalam kantong kosong se-
lebih dari 200-300 ml setiap harinya. Jika terjadi bagai tempat pembuangan. Kemudian, pasien
konsumsi cairan yang berlebih maka pasien HD akan diberikan larutan dialisis baru untuk me-
dapat mengalami komplikasi yang disebut pul- ngulangi proses pembersihan kembali. Dengan
monary edema yaitu kondisi cairan memasuki CAPD, kebanyakan pasien akan mengganti laru-
Transplantasi ginjal
daftar pustaka
Thanks to Reviewers:
Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D.;
Prof. Arini Setiawati, Ph.D.;
Prof. Dr. Med. Puruhito, M.D., F.I.C.S., F.C.T.S