Anda di halaman 1dari 48

perubahan pola hidup termasuk

diet harus dilakukan.


Pada leading article yang kedua
membahas tentang terapi citicoline
pada penderita Stroke. Citicoline
yang berperan dalam meningkatkan fosfatidilkholin yang dibutuhkan mempertahankan keutuhan fosfolipid membran sel dan
glutamin telah teruji melalui berbagai penelitian baik pada hewan
maupun pada manusia dalam
penanganan stroke.
Pada edisi kali ini, kami menampilkan 2 buah rubrik leading
article yang pertama mengenai
Gout dan Hiperurisemia. Gout
dengan latar belakang masalah
gangguan metabolik yaitu hiperurisemia, masih menjadi masalah yang serius. Hal ini karena
manifestasinya yang tidak terbatas pada sendi, namun juga bisa
menimbulkan gangguan fungsi
ginjal hingga kondisi gagal ginjal
kronik, jantung dan mata. Dengan
adanya edukasi yang baik dan

Kami tetap menyajikan berbagai article case report dan medical


review yang bisa menambah wawasan untuk kalangan dokter.
Kami juga menampilkan beberapa liputan acara simposium
antara lain Citicoline in Vascular
Disease: An Overview dan Comprehensive Management of Cardiovascular Disease in Daily Practice.
Selamat membaca!!!!
REDAKSI

daftar isi
45 Dari Redaksi
46 Petunjuk Penulisan
Leading Article

47 Gout dan Hiperurisemia


55 Efek Terapi Citicoline terhadap Perbaikan
Struktur dan Fungsi Membran Sel Otak pada
Penderita Stroke
Original Article (Case Report)

58 Ekstraksi Benda Asing Laring (Rotan)


dengan Neuroleptik

61 Systemic Mastocytosis
Medical Review

65 Peran Adiponektin terhadap Kejadian


Resistensi Insulin pada Sindrom Metabolik

Ketua Pengarah/Pemimpin Redaksi Dr. Raymond R. Tjandrawinata


Redaktur Pelaksana Dwi Nofiarny, Pharm., Msc.
Staf Redaksi dr. Della Manik Worowerdi Cintakaweni, dr. Lydia Fransisca Hermina
Tiurmauli Tambunan, Liana W Susanto, M biomed., dr. Lubbi Ilmiawan, dr. Novita
Pangindo Manoppo, dr. Prihatini, Puji Rahayu, Apt., dr. Ratna Kumalasari, Tri Galih
Arviyani, SKom.
Peer Review Prof.Arini Setiawati, Ph.D, Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D, Prof.Dr.Med.
Puruhito,M.D.,F.I.C.S., F.C.T.S, Prof DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK
Redaksi/Tata Usaha Jl. RS Fatmawati Kav 33, Cilandak, Jakarta Selatan
Tel. (021) 7509575, Fax. (021) 75816588, Email: medical@dexa-medica.com

71 Nyeri dan Sistem Imun: Sejauh Mana


Keterkaitannya - Suatu Tinjauan Molekuler

74 Calender Events
Meet the Expert

76 dr. Salim M. Harris, SpS(K)


79 Symposium Events
86 Literatur Services
87 Events

Radang Sendi
SUMBANGAN TULISAN
Redaksi menerima partisipasi berupa tulisan, foto dan materi
lainnya sesuai dengan misi majalah ini. Redaksi berhak mengedit atau mengubah tulisan/susunan bahasa tanpa mengubah isi
yang dimuat apabila dipandang perlu.

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

dari redaksi

45

instructions for authors

MEDICINUS

Petunjuk Penulisan

46

Redaksi menerima tulisan asli/tinjauan pustaka, penelitian atau laporan kasus


dengan foto-foto asli dalam bidang Kedokteran dan Farmasi.
1. Tulisan yang dikirimkan kepada Redaksi adalah tulisan yang belum pernah
dipublikasikan di tempat lain dalam bentuk cetakan.
Keaslian dan keakuratan informasi dalam tulisan menjadi tanggungjawab penulis
2. Tulisan berupa ketikan dan diserahkan dalam bentuk disket, diketik di program MS Word dan print-out dan dikirimkan ke alamat redaksi atau melalui
e-mail kami.
3. Pengetikan dengan point 12 spasi ganda pada kertas ukuran kuarto (A4) dan
tidak timbal balik.
4. Semua tulisan disertai abstrak dan kata kunci (key words). Abstrak hendaknya
tidak melebihi 200 kata.
5. Judul tulisan tidak melebihi 16 kata, bila panjang harap di pecah menjadi anak
judul.
6. Nama penulis harap di sertai alamat kerja yang jelas.
7. Harap menghindari penggunaan singkatan-singkatan
8. Penulisan rujukan memakai sistem nomor (Vancouver style), lihat contoh penulisan daftar pustaka.
9. Bila ada tabel atau gambar harap diberi judul dan keterangan yang cukup.
10. Untuk foto, harap jangan ditempel atau di jepit di kertas tetapi dimasukkan ke
dalam sampul khusus. Beri judul dan keterangan yang lengkap pada tulisan.
11. Tulisan yang sudah diedit apabila perlu akan kami konsultasikan kepada peer
reviewer.
12. Tulisan disertai data penulis/curriculum vitae, juga alamat email (jika ada),
no. telp/fax yang dapat dihubungi dengan cepat.
Contoh Penulisan Daftar Pustaka
Daftar pustaka di tulis sesuai aturan Vancouver, diberi nomor sesuai urutan pemunculan dalam keseluruhan tulisan, bukan menurut abjad. Bila nama penulis lebih
dari 6 orang, tulis nama 6 orang pertama diikuti et al. Jumlah daftar pustaka dibatasi tidak lebih dari 25 buah dan terbitan satu dekade terakhir.
Artikel dalam jurnal
1. Artikel standar
Vega KJ,Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased
risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996; 124(11):980-3. Lebih
dari 6 penulis: Parkin DM, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E,
et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 years follow-up. Br J
Cancer 1996; 73:1006-12
2. Suatu organisasi sebagai penulis
The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress
Testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996; 164:282-4
3. Tanpa nama penulis
Cancer in South Africa (editorial). S Afr Med J 1994; 84:15
4. Artikel tidak dalam bahasa Inggris
Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos
tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996; 116:41-2
5. Volum dengan suplemen
Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82
6. Edisi dengan suplemen
Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Womens psychological reactions to breast
cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl 2):89-97
7. Volum dengan bagian
Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin
dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6
8. Edisi dengan bagian
Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap lacerations of the
leg in ageing patients. N Z Med J 1990; 107(986 Pt 1):377-8
9. Edisi tanpa volum
Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995; (320):110-4
10. Tanpa edisi atau volum
Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of the cancer patient and

the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg
1993;325-33
11. Nomor halaman dalam angka romawi
Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr; 9(2):xi-xii
Buku dan monograf lain
12. Penulis perseorangan
Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed.
Albany (NY):Delmar Publishers; 1996
13. Editor sebagai penulis
Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New
York:Churchill Livingstone; 1996
14. Organisasi sebagai penulis
Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid program.
Washington:The Institute; 1992
15. Bab dalam buku
Catatan: menurut pola Vancouver ini untuk halaman diberi tanda p, bukan
tanda baca titik dua seperti pola sebelumnya).
Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM,
editors. Hypertension: Patophysiology, Diagnosis and Management. 2nded.
New York:Raven Press; 1995.p.465-78
16. Prosiding konferensi
Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neurophysiology.
Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996
17. Makalah dalam konferensi
Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992
Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam:North-Hollan; 1992.p.1561-5
18. Laporan ilmiah atau laporan teknis

Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor:
Smith P, Golladay K. Payment for durable medi-cal equipment billed during
skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.:
HHSIGOEI69200860

Diterbitkan oleh unit pelaksana:
Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services Research: Work
Force and Education Issues. Washington:National Academy Press; 1995. Contract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy
and Research
19. Disertasi
Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The elderys access and utilization
[dissertation]. St. Louis (MO): Washington Univ.; 1995
20. Artikel dalam koran
Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21; Sept A:3 (col.5)
21. Materi audio visual
HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): MosbyYear Book; 1995
Materi elektronik
22. Artikel jurnal dalam format elektronik
Morse SS. Factors in the emergence of infection diseases. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 jan-Mar [cited 1996 Jun 5];1(1):[24 screens]. Available from:
URL:HYPERLINK
23. Monograf dalam format elektronik
CDI, Clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT,
maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San
Diego: CMEA; 1995
24. Arsip komputer
Hemodynamics III: The ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando [FL]: Computerized Educational Systems

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

leading article

Rudy Hidayat

Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUPNCM Jakarta

Abstrak. Hiperurisemia dapat menimbulkan manifestasi gout di berbagai jaringan, mulai dari sendi, ginjal, jantung , mata dan organ
lain. Artritis gout merupakan manifestasi yang paling banyak, dan perlu penanganan yang komprehensif dan jangka panjang. Upaya
mengatasi serangan akut, mencegah serangan berulang dan mencegah berbagai komplikasi lainnya hingga kecacatan menjadi fokus
perhatian. Dalam upaya pencegahan komplikasi, selain edukasi yang tepat serta mengubah pola hidup, diperlukan beberapa uratelowering agent seperti allopurinol atau probenesid.

Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar


asam urat darah diatas normal. Secara biokomiawi akan terjadi hipersaturasi yaitu kelarutan asam urat di serum yang melewati ambang
batasnya. Batasan hiperurisemia secara ideal yaitu kadar asam urat
diatas 2 standar deviasi hasil laboratorium pada populasi normal.1,2
Namun secara pragmatis dapat digunakan patokan kadar asam urat
>7 mg% pada laki-laki, dan >6 mg% pada perempuan, berdasarkan
berbagai studi epidemologi selama ini. Keadaan hiperurisemia akan
beresiko timbulnya arthritis gout, nefropati gout, atau batu ginjal.
Hiperurisemia dapat terjadi bisa terjadi akibat peningkatan metabolisme asam urat (overproduction), penurunan ekskresi asam urat urin
(underexcretion), atau gabungan keduanya.1,3
Sedangkan gout (pirai) adalah penyakit yang sering ditemukan,
merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi
kristal monosodium urat pada jaringan, akibat gangguan metabolism
berupa hiperurisemia. Manifestasi klinik deposisi urat meliputi arthritis gout, akumulasi kristal di jaringan yang merusak tulang (tofus), batu urat, dan nefropati gout.1,4,5

undersecretion pada 80-90% kasus dan overproduction pada 10-20% kasus.1,3,4,6


Sedangkan kelompok hiperurisemia dan gout sekunder, bisa
melalui mekanisme overproduction, seperti ganguan metabolism purin pada defisiensi enzim gucose-6-phosphatase atau fructose-1-phospate
aldolase. Hal yang sama juga terjadi pada keadaan infark miokard,
status epileptikus, penyakit hemolisis kronis, polisitemia, psoriasis, keganasan mieloproliferatif dan limfoproliferatif; yang meningkatkan pemecahan ATP dan asam nukleat dari inti sel. Sedangkan
mekanisme undersecretion bisa ditemukan pada keadaan penyakit
ginjal kronik, dehidrasi, diabetes insipidus, peminum alkohol, myxodema, hiperparatiroid, ketoasidosis dan keracunan berilium. Selain
itu juga dapat terjadi pada pemakaian obat seperti diuretik, salisilat
dosis rendah, pirazinamid, etambutol dan siklosporin.1,3,4,6
Hiperurisemia diketahui juga berkaitan dengan adanya berbagai
keadaan gangguan metabolik seperti diabetes melitus, hipertrigliseridemia, obesitas, sindrom metabolik, dan hipotiridism.1 Dan sebaliknya hiperurisemia diduga menjadi faktor risiko hipertensi, aterosklerosis dan penyakit jantung koroner.1,6

Epidemiologi

Patogenesis Gout

Pendahuluan

Prevalensi hiperurisemia kira-kira 2,6-47,2% yang bervariasi pada


berbagai populasi. Sedangkan prevalensi gout juga bervariasi antara
1-15,3%. Pada suatu studi didapatkan insidensi gout 4,9% pada kadar
asam urat darah >9 mg/dL, 0,5% pada kadar 7-8,9%, dan 0,1% pada
kadar <7 mg/dL. Insidensi kumulatif gout mencapai angka 22% setelah 5 tahun, pada kadar asam urat >9 mg/dL.1,4

Penyebab Hiperurisemia dan Gout


Penyebab hiperurisemia sebagai suatu proses metabolik yang bisa
menimbulkan manifestasi gout, dibedakan menjadi penyebab
primer pada sebagian besar kasus, penyebab sekunder dan idiopatik. Penyebab primer berarti tidak penyakit atau sebab lain, berbeda
dengan kelompok sekunder yang didapatkan adanya penyebab yang
lain, baik genetik maupun metabolik. Pada 99% kasus gout dan hiperurisemia dengan penyebab primer, ditemukan kelainan molekuler
yang tidak jelas (undefined) meskipun diketahui adanya mekanisme

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

Kadar asam urat dalam serum merupakan hasil keseimbangan antara


produksi dan sekresi. Dan ketika terjadi ketidakseimbangan dua
proses tersebut maka terjadi keadaan hiperurisemia, yang menimbulkan hipersaturasi asam urat yaitu kelarutan asam urat di serum
yang telah melewati ambang batasnya, sehingga merangsang timbunan urat dalam bentuk garamnya terutama monosodium urat di
berbagai tempat/jaringan.1,5 Menurunnya kelarutan sodium urat
pada temperatur yang lebih rendah seperti pada sendi perifer tangan dan kaki, dapat menjelaskan kenapa kristal MSU (monosodium
urat) mudah diendapkan di pada kedua tempat tersebut. Predileksi
untuk pengendapan kristal MSU pada metatarsofalangeal-1 (MTP-1)
berhubungan juga dengan trauma ringan yang berulang-ulang pada
daerah tersebut.5
Awal serangan gout akut berhubungan dengan perubahan kadar
asam urat serum, meninggi atau menurun. Pada kadar asam urat yang
stabil jarang muncul serangan. Pengobatan dengan allopurinol pada

MEDICINUS

Kata kunci: hiperurisemia, gout, artritis, urate-lowering agent

47
51

MEDICINUS

48

awalnya juga dapat menjadi faktor


yang mempresipitasi serangan gout
akut.
Penurunan
asam urat serum
dapat mencetuskan
pelepasan
kristal
monosodium urat
dari depositnya di
sinovium atau tofi
(crystals shedding).
Pelepasan
kristal
MSU akan merangsang proses inflamasi dengan mengaktifkan kompleman
melalui jalur klasik
maupun alternatif.
Sel makrofag (paling penting), netrofil dan sel radang
lain juga teraktivasi,
yang akan menghasilkan mediatormediator kimiawi
yang juga berperan
pada proses inflamasi.1,5

Penyebab hiperurisemia
sebagai suatu proses
metabolik yang bisa
menimbulkan manifestasi
gout, dibedakan menjadi
penyebab primer pada
sebagian besar kasus,
penyebab sekunder dan
idiopatik. Penyebab primer
berarti tidak penyakit atau
sebab lain, berbeda
dengan kelompok sekunder
yang didapatkan adanya
penyebab yang lain, baik
genetik maupun metabolik.

Gambaran Klinik
Gout dan Hiperurisemia
Gambaran klinik dapat berupa:1,5
1. Hiperurisemia asimptomatik
Hiperurisemia asimptomatik adalah keadaan hiperurisemia
(kadar asam urat serum tinggi) tanpa adanya manifestasi klinik
gout. Fase ini akan berakhir ketika muncul serangan akut arthritis gout, atau urolitiasis, dan biasanya setelah 20 tahun keadaan
hiperurisemia asimptomatik. Terdapat 10-40% subyek dengan
gout mengalami sekali atau lebih serangan kolik renal, sebelum
adanya serangan arthritis.1,2
2. Arthritis gout, meliputi 3 stadium:
2.1. Artritis gout akut
Serangan pertama biasanya terjadi antara umur 40-60 tahun
pada laki-laki, dan setelah 60 tahun pada perempuan. Onset
sebelum 25 tahun merupakan bentuk tidak lazim arthritis
gout, yang mungkin merupakan manifestasi adanya gangguan enzimatik spesifik, penyakit ginjal atau penggunaan
siklosporin. Pada 85-90% kasus, serangan berupa arthritis
monoartikuler dengan predileksi MTP-1 yang biasa disebut
podagra.2 Gejala yang muncul sangat khas, yaitu radang sendi yang sangat akut dan timbul sangat cepat dalam waktu
singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apapun, kemudian
bangun tidur terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan. Keluhan monoartikuler berupa nyeri, bengkak, merah
dan hangat, disertai keluhan sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah, disertai lekositosis dan peningkatan
laju endap darah. Sedangkan gambaran radiologis hanya didapatkan pembengkakan pada jaringan lunak periartikuler.
Keluhan cepat membaik setelah beberapa jam bahkan tanpa
terapi sekalipun.1,2,5
Pada perjalanan penyakit selanjutnya, terutama jika tanpa
terapi yang adekuat, serangan dapat mengenai sendi-sendi
yang lain seperti pergelangan tangan/kaki, jari tangan/kaki,
lutut dan siku, atau bahkan beberapa sendi sekaligus. Serangan menjadi lebih lama durasinya, dengan interval serangan

yang lebih singkat, dan masa penyembuhan yang lama. Faktor pencetus serangan akut antara lain trauma lokal, diet
tinggi purin, minum alkohol, kelelahan fisik, stress, tindakan
operasi, pemakaian diuretik, pemakaian obat yang meningkatkan atau menurunkan asam urat. Diagnosis yang definitif/gold standard, yaitu ditemukannya kristal urat (MSU) di
cairan sendi atau tofus.1,2,5
Untuk memudahkan penegakan diagnosis arthritis gout
akut, dapat digunakan kriteria dari ACR (American College of
Rheumatology) tahun 1977:1
A. Ditemukannya kristal urat di cairan sendi, atau
B. Adanya tofus yang berisi kristal urat, atau
C. Terdapat 6 dari 12 kriteria klinis, laboratoris dan radiologis
berikut:
1. Terdapat lebih dari satu kali serangan arthritis akut
2. Inflamasi maksimal terjadi dalam waktu satu hari
3. Arthritis monoartikuler
4. Kemerahan pada sendi
5. Bengkak dan nyeri pada MTP-1
6. Artritis unilateral yang melibatkan MTP-1
7. Artritis unilateral yang melibatkan sendi tarsal
8. Kecurigaan adanya tofus
9. Pembengkakan sendi yang asimetris (radiologis)
10. Kista subkortikal tanpa erosi (radiologis)
11. Kultur mikroorganisme negative pada cairan sendi
Yang harus menjadi catatan, adalah diagnosis gout tidak bisa
digugurkan meskipun kadar asam urat darah normal.2,5,7
2.2. Stadium interkritikal
Stadium ini merupakan kelanjutan stadium gout akut, dimana secara klinik tidak muncul tanda-tanda radang akut, meskipun pada aspirasi cairan sendi masih ditemukan kristal
urat, yang menunjukkan proses kerusakan sendi yang terus
berlangsung progresif. Stadium ini bisa berlangsung beberapa tahun sampai 10 tahun tanpa serangan akut. Dan tanpa
tata laksana yang adekuat akan berlanjut ke stadium gout
kronik.5
2.3. Artritis gout kronik = kronik tofaseus gout
Stadium ini ditandai dengan adanya tofi dan terdapat di
poliartikuler, dengan predileksi cuping telinga, MTP-1, olekranon, tendon Achilles dan jari tangan. Tofi sendiri tidak
menimbulkan nyeri, tapi mudah terjadi inflamasi di sekitarnya, dan menyebabkan destruksi yang progresif pada
sendi serta menimbulkan deformitas. Selain itu tofi juga sering pecah dan sulit sembuh, serta terjadi infeksi sekunder.
Kecepatan pembentukan deposit tofus tergantung beratnya
dan lamanya hiperurisemia, dan akan diperberat dengan
gangguan fungsi ginjal dan penggunaan diuretik.1,2 Pada
beberapa studi didapatkan data bahwa durasi dari serangan akut pertama kali sampai masuk stadium gout kronik
berkisar 3-42 tahun, dengan rata-rata 11,6 tahun.1,2 Pada stadium ini sering disertai batu saluran kemih sampai penyakit
ginjal menahun/gagal ginjal kronik.5 Timbunan tofi bisa
ditemukan juga pada miokardium, katub jantung, system
konduksi,beberapa struktur di organ mata terutama sklera,
dan laring.1,2
Pada analisa cairan sendi atau isi tofi akan didapatkan Kristal
MSU, sebagai kriteria diagnostik pasti. Gambaran radiologis
didapatkan erosi pada tulang dan sendi dengan batas sklerotik dan overhanging edge.1,2

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

Gambar 2. Kristal MSU pada cairan sendi, dengan mikroskop terpolarisasi


(Sumber: www.answer.com/topic/gout. cited at May 5th 2009)

3. Penyakit ginjal
Sekitar 20-40% penderita gout minimal mengalamai albuminuri
sebagai akibat gangguan fungsi ginjal. Terdapat tiga bentuk kelainan ginjal yang diakibatkan hiperurisemia dan gout:1
1. Nefropati urat, yaitu deposisi kristal urat di interstitial medulla
dan pyramid ginjal, merupakan proses yang kronik, ditandai
dengan adanya reaksi sel giant di sekitarnya.
2. Nefropati asam urat, yaitu presipitasi asam urat dalam jumlah
yang besar pada duktur kolektivus dan ureter, sehingga menimbulkan keadaan gagal ginjal akut. Disebut juga sindrom
lisis tumor, dan sering didapatkan pada pasien leukemia dan
limfoma pasca kemoterapi.
3. Nefrolitiasis, yaitu batu ginjal yang didapatkan pada 10-25%
dengan gout primer.

Penatalaksanaan
Tujuan terapi gout adalah:
1. Menghentikan serangan akut secepat mungkin
2. Mencegah serangan akut berulang
3. Mencegah komplikasi akibat timbunan Kristal urat di sendi, ginjal atau tempat lain
Modalitas yang tersedia untuk terapi gout dan hiperurisemia:
1. Edukasi
Sebagian besar kasus gout dan hiperurisemia (termasuk hiperurisemia asimptomatik) mempunyai latar belakang penyebab
primer, sehingga memerlukan pengendalian kadar asam urat

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

Sebagian besar kasus gout


dan hiperurisemia (termasuk
hiperurisemia asimptomatik)
mempunyai latar belakang
penyebab primer, sehingga
memerlukan pengendalian
kadar asam urat jangka
panjang. Perlu compliance
yang baik dari pasien untuk
mencapai tujuan terapi di
atas, dan hal itu hanya
didapat dengan edukasi
yang baik. Pengendalian diet
rendah purin juga menjadi
bagian tata laksana yang
penting.

MEDICINUS

Gambar 1. Terbentuknya tofi di berbagai tempat (Sumber: www.goutpal.


com/tophi.html. cited at May 5th 2009)

jangka panjang. Perlu compliance yang baik dari pasien untuk


mencapai tujuan terapi di atas, dan hal itu hanya didapat dengan
edukasi yang baik. Pengendalian diet rendah purin juga menjadi
bagian tata laksana yang penting.1,5
2. Terapi serangan akut: kompres dingan, kolkisin, OAINS, steroid, ACTH
Pada keadaan serangan akut pemberian kompres dingin dapat
membantu mengurangi keluhan nyeri. Semua yang meningkatkan dan menurunkan asam urat harus dikendalikan. Tidak
diperbolehkan minum alkohol. Penggunakan obat penurun asam
urat dihindari, kecuali sebelumnya sudah mengkonsumsinya secara rutin, maka harus diteruskan dan tidak boleh dihentikan.1
Kolkisin mempunyai efek anti inflamasi yang kuat, namun batas
amannya sangat sempit, dan sering menimbulkan efek samping.
Secara tradisional dulu kolkisin digunakan pada serangan akut
arthritis dengan dosis 0,5-0,6 mg tiap jam peroral sampai terjadi
tiga hal yaitu keluhan arthritis membaik; muncul efek samping
mual, muntah, diare; atau sudah mencapai dosis maksimal sebanyak 10 dosis. Saat ini para ahli lebih menganjurkan pemberian
tiap 2-6 jam sehingga tidak menimbulkan banyak efek samping,
dan lebih berharap pada efek prevensi serangan berikutnya. Pemberian kolkisin intravena menjadi alternatif, namun dengan risiko
efek samping yang lebih besar. Hati-hati pada gangguan fungsi
ginjal.1,8
Terapi dengan obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) menjadi
pilihan utama untuk diberikan pada serangan akut dengan dosis
yang optimal, dengan syarat fungsi ginjal yang masih baik.6 Jenis
OAINS termasuk yang selektif COX-2 tidak terlalu berpengaruh
terhadap respon klinik, tapi sebaiknya digunakan yang jenis dengan onset kerja cepat, dan dengan pertimbangan efek sampingnya.1,8
Pemakaian kortikosteroid intrartikuler cukup bermanfaat pada
arthritis monoartikuler atau yang melibatkan bursa. Sedangkan
kortikosteroid
sistemik
dapat digunakan
terutama pada
gangguan
fungsi
ginjal,
atau intoleran
dengan kolkisin dan OAINS.
Dosis
steroid
yang diperlukan sesuai dengan prednisone
20-60 mg perhari.1,8 Adrenocorticotropic
(ACTH) injeksi
intramuskuler
dapat mengatasi
serangan
akut pada pemberian pertama
kali, meskipun
kadang-kadang
diperlukan pengulangan 24-48
jam kemudian.1
3. Kontrol hiperurisemia:
xanthine oxidase inhibitors,
urikosurik
1,5
agent

49

MEDICINUS

50

Gout dengan latar belakang


masalah gangguan metabolik
yaitu hiperurisemia, masih
menjadi masalah yang serius.
Hal ini karena manifestasinya yang tidak hanya terbatas pada sendi, namun juga
bisa menimbulkan gangguan
fungsi ginjal hingga kondisi
gagal ginjal kronik, jantung
dan mata. Penegakan diagnosis dan penanganan yang
tepat diperlukan untuk meminimalisir berbagai komplikasi akibat keadaan ini.
Kontrol hiperurisemia dilakukan dengan diet rendah purin, serta
menghindari obat-obatan yang meningkatkan kadar asam urat
serum terutama diuretik.1,8 Selanjutkan diperlukan urate lowering
agent seperti golongan xanthine oxidase inhibitor, maupun uricosuric
agent, dengan catatan tidak boleh dimulai pada saat serangan akut.
Pada hiperurisemia asimptomatik terapi farmakologik dimulai
jika kadar asam urat serum >9 mg/dL. Sedangkan pada penderita gout telah diketahui bahwa pemberian urate lowering agent juga
menjadi faktor pencetus serangan akut, sehingga diberikan juga
kolkisin dosis prevensi 0,6 mg 1-3 kali perhari, atau OAINS dosis
rendah, dan dimulai setelah tidak adanya tanda-tanda inflamasi
akut.1,8,9 Rilonacept, suatu inhibitor IL-1 sedang dikembangkan sebagai obat pencegah serangan akut pada awal terapi penurun
asam urat.10 Target terapi adalah menurunkan kadar asam urat
serum sampai di bawah 6,8 mg/dL (lebih baik sampai 5-6 mg/
dL).1,8,9
Jenis urate lowering agent yang pertama yaitu golongan xanthine
oxidase inhibitor dengan cara kerja penghambatan oksidasi hipoxantin menjadi xantin, dan xantin menjadi asam urat. Obat yang
termasuk golongan ini adalah allopurinol. Diberikan mulai dosis 100 mg/hari dan dinaikkan tiap minggu sampai tercapai target (rata-rata diperlukan minimal 300 mg/hari). Pada gangguan
fungsi ginjal dosis harus disesuaikan.1 Jenis obat yang lain seperti
febuxostat, non-purine xanthine oxidase inhibitor yang juga cukup
poten, maupun pegylated recombinant uricase, masih dikembang-

kan.9,11,12
Sedangkan jenis urate lowering agent yang kedua yaitu golongan
uricosuric agent, bekerja dengan cara menghambat reabsorsi urat
di tubulus renalis. Yang paling sering dipakai adalah probenesid
dan sulfinpirazon. Probenesid dengan dosis 0,5-3 gram dibagi
2-3 kali perhari. Sedangkan sulfinpirazon diberikan dengan dosis 300-400 mg dibagi 3-4 kali perhari. Pemakaian obat urikosurik
ini lebih diindikasikan pada keadaan dengan ekskresi asam urat
di urin <800 mg perhari, dan dengan fungsi ginjal yang masih
baik (creatinine clearance >80ml/menit). Risiko batu ginjal semakin
besar pada kadar asam urat di urin yang tinggi. Pada beberapa
kasus yang sulit dikendalikan dengan obat tunggal, kombinasi
uricosuric agent dan xanthine oxidase inhibitor dapat dibenarkan.1,8,9

Kesimpulan
Gout dengan latar belakang masalah gangguan metabolik yaitu hiperurisemia, masih menjadi masalah yang serius. Hal ini karena
manifestasinya yang tidak hanya terbatas pada sendi, namun juga
bisa menimbulkan gangguan fungsi ginjal hingga kondisi gagal ginjal kronik, jantung dan mata. Penegakkan diagnosis dan penanganan
yang tepat diperlukan untuk meminimalisir berbagai komplikasi
akibat keadaan ini. Edukasi yang baik dan perubahan pola hidup termasuk diet harus dilakukan. Selanjutnya diperlukan juga terapi farmakologis untuk serangan akut, terapi pencegahan, dan terapi jangka
panjang berupa urate-lowering agent, baik golongan xanthine oxidase
inhibitor maupun uricosuric agent.

Daftar Pustaka

1. Wortmann RL. Gout and hyperuricemia. In: Firestein GS, Budd RC, Harris
ED, Rudy S, Sergen JS, editors. Kelleys Textbook of Rheumatology. 8thed.
Philadelphia:Saunders; 2009.p.1481-506
2. Edward NL. Gout: Clinical features. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White
PH, Editors. 3thed. New York:Springer; 2008.p.241-9
3. Putra TR. Hiperurisemia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta:Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.hal.1213-17
4. Poor G, Mituszova M. History, Classification and epidemology of crystalrelated artropathies. In: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME,
Weisman MH, Editors. Rheumatology. 3rded. Edinburg: Elsevier; 2003.p.18931901
5. Tehupeiroy ES. Artrtritis pirai (artritis gout). Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
ke-4. Jakarta:Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.hal.1218-20
6. Choi HK. Gout : Epidemology, pathology and pathogenesis. In: Klippel
JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH, Editors. 13thed. New York:Springer;
2008.p.250-7
7. Gibson T. Clinical features of gout. In: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS,
Weinblatt ME, Weisman MH, Editors. Rheumatology. 3rded. Edinburg: Elsevier; 2003.p.1919-28
8. Terkeltaub RA. Gout: treatment. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White
PH, Editors. 13thed. New York:Springer;2008.p.258-262
9. Emmerson BT. The Management of gout. In: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH, Editors. Rheumatology. 3rded. Edinburg:
Elsevier; 2003.p.1925-36
10. Terkeltaub R, Schumacher H, Sundy J, Murphy F, Bookbinder S, Biedermann
S, et al. Placebo-controlled pilot study of rilonacept (IL-1 Trap), A long acting
IL-1 inhibitor, in refractory chronic active gouty arthritis. Annual Scientific
Meeting 2007; American College of Rheumatology
11. Becker MA, Schumache HR, Wortmann RL, MacDonald PA, Eustace D, Palo
WA, et al. Febuxostat compared with Allopurinol in Patients with Hyperuricemia and Gout. NEJM 2005; 353(23):2450-61
12. Chohan S, Becker MA. Update on emerging urate-lowering therapies. Current
Opinion in Rheumatology 2009; 21(2):143-9

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

IKLAN PROBENID
7

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

profil product

Citicoline

Citicoline

ORAL

citicoline menunjukkan bahwa pada orang dewasa yang sehat, citicoline


diserap secara cepat dan tidak lebih dari 1% yang dapat ditemukan
dalam feces. Kadar citicoline dalam darah akan meningkat dengan karakteristik bifasik, yakni 1 jam setelah ingesti secara oral dan 24 jam
setelah dosis tersebut diberikan.2

Pengantar
Citicoline adalah suatu molekul organik kompleks yang merupakan
molekul pengantara dalam biosintesis phosphatidylcholine, suatu komponen utama membran sel saraf. Percobaan pemberian citicoline eksogen
pada hewan dan pada percobaan klinis pada manusia menunjukkan
bahwa citicoline dapat memberikan efek kolinergik dan neuroprotektif.
Sebagai suatu suplemen makanan, citicoline menunjukkan kegunaan
untuk meningkatkan integritas struktural dan fungsional membran sel
saraf dan membantu perbaikan membran sel. Beberapa percobaan klinis
pada hewan dan manusia mengindikasikan bahwa potensi ini dapat
membantu pemulihan difisiensi kognitif, rehabilitasi stroke, pemulihan
dari lesi pada otak dan sumsum tulang belakang, penyakit neurologis,
dan beberapa kondisi mata.1

Biokimia
Citicoline tergolong dalam kelompok vitamin B. Molekul ini dapat
menjalani 3 jalur yang berbeda dalam metabolismenya dalam tubuh.
1. Sintesa membran sel fosfolipid melalui pembentukan phosphatidylcholine.
2. Sintesis asetilkolin.
3. Oksidasi menjadi "betaine", yang berfungsi sebagai donor metil.1
Pada proses sintesa membran sel fosfolipid, pembentukan citicoline
dari choline adalah "rate limiting step". Artinya seluruh sintesa membran sel akan segera terhambat apabila proses ini lambat atau terhenti.
Citicoline yang diabsorbsi dalam pencernaan akan diserap dalam bentuk choline dan cystidine. Choline yang diserap akan menjadi cadangan
choline tubuh untuk mempertahankan membran sel dan juga mencegah disintegrasinya.1

Farmakokinetik
Bioavaibilitas citicoline oral lebih dari 90%.1 Studi pada farmakokinetik

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

Prekursor phospholipid
Mekanisme dari peranan citicoline sebagai prekursor membran sel telah
banyak dipelajari dalam percobaan dengan hewan. Otak menggunakan
citicholine lebih banyak untuk sintesa asetilkolin daripada untuk pembentukan phosphatidylcholine. Bahkan dalam keadaan tingkat choline
yang rendah di otak, phospatidylcholine dapat dihidrolisa untuk mendapatkan tambahan choline. Tambahan choline eksogen dapat melindungi
struktur dan integritas membran sel.1
Perbaikan membran sel neuron
Citicoline telah banyak diteliti sebagai terapi untuk pasien stroke. Terdapat 3 teori yang dipostulatkan mengenai bagaimana citicoline dapat
membantu penderita stroke.
1. Perbaikan membran sel saraf melalui peningkatan sintesis phosphatidylcholine.
2. Perbaikan neuron kolinergik yang rusak melalui potensiasi dari
produksi asetilkolin.
3. Pengurangan dari penumpukan asam lemak bebas pada fokusfokus kerusakan akibat stroke.1
Selain phosphatidylcholine, citicoline juga merupakan molekul
penengah pada sintesis sphingomyelin, suatu molekul struktural membran sel saraf lainnya. Pada suatu studi, citicoline menunjukkan kemampuan untuk memulihkan kerusakan spinghomyelin setelah suatu
keadaan ischemia.1
Pengaruh pada Neurotransmitter
Pada manusia, citicoline diduga dapat meningkatkan kadar neurotransmitter norepinefrin. Pada suatu studi, metabolit dari norepinefrin meningkat setelah seorang subjek menerima citicoline.1 Pada tikus, citicoline
meningkatkan norepinefrin pada cortex cerebri dan hipocampus, dopamin
pada corpus striatum, serotonin meningkat pada cortex cerebri, striatum dan
hipothalamus, dan diduga juga meningkatkan pelepasan acetylcholine.4

Penggunaan Klinis
Rehabilitasi Pasca Stroke
Pada keadaan stroke dan dalam pemulihannya, seringkali sintesis
membran sel terganggu, termasuk pembentukan phosphatidylcholine.
Citicoline agaknya membantu dengan meningkatkan pembentukan
phosphatidylcholine dengan menyediakan choline.3

MEDICINUS

Mekanisme Aksi Citicoline

53

MEDICINUS

Citicoline

54

Stroke Iskemia
Terdapat beberapa uji klinis yang membuktikan bahwa citicoline dapat
memberikan manfaat pada pasien stroke iskemik. Citicoline dapat meningkatkan pemulihan kesadaran dan tingkat kesadaran pada pasien
pasca stroke pada 2 minggu masa pemulihan.4
Uji klinis lainnya mendapatkan hasil serupa, yakni peningkatan fungsi
saraf pada pasien pasca stroke berupa peningkatan kekuatan otot, ambulasi dan kognisi. Pada studi ini disimpulkan bahwa pemberian citicoline pada
24 jam pasca stroke dapat meningkatkan pemulihan setelah 3 bulan.5
Studi lainnya juga mendapatkan hasil bahwa terapi dengan citicoline dapat membantu kemungkinan penyembuhan dan pemulihan pasien pasca stroke hingga hampir 2 kali lipat dalam waktu 12 minggu.1
Stroke Hemoragis
Keamanan dan efektivitas citicoline diperiksa pada suatu uji klinis
terhadap stroke hemoragis. Pasien yang diberikan citicoline tidak menunjukkan adanya efek samping yang berarti dibandingkan dengan
placebo. Pada studi ini, citicoline dapat membantu pasien memperoleh
kemandiriannya pasca stroke.1
Defisiensi Kognitif
Pada uji klinis, beberapa pasien manula yang mengalami gangguan
ingatan ringan hingga sedang mengalami perbaikan dalam kemampuan kognitifnya, terutama dalam kemampuan untuk memperhatikan.
Efek ini diduga berkaitan dengan neurotransmitter dopamine. Citicoline
juga menunjukkan potensi untuk meningkatkan kemampuan verbal
pada pasien usia lanjut dengan dosis sekitar 2.000 mg citicoline per hari
dan terbukti bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan mengingat
pasien lanjut usia apabila diberikan secara oral selama 1 bulan. Secara
umum dikatakan bahwa citicoline meningkatkan ingatan dan perilaku
yang berkenaan dengan ingatan.1
Alzheimer's Disease
Citicoline menunjukkan kemampuan untuk meningkatkan kemampuan kognitif, terutama kemampuan orientasi spasial temporal pada
penderita Alzheimer's Disease. Pada uji klinis lainnya, citicoline menurunkan kadar IL 1 beta pada penderita AD setelah penggunaan citicoline selama 3 bulan.1
Terapi pada Kerusakan Sistem Saraf
Citicoline diharapkan mampu membantu rehabilitasi memori pada pasien dengan luka pada kepala dengan cara membantu dalam pemulihan
darah ke otak. Studi klinis menunjukkan peningkatan kemampuan kognitif dan motorik yang lebih baik pada pasien yang terluka di kepala
dan mendapatkan citicoline. Citicoline juga meningkatkan pemulihan
ingatan pada pasien yang mengalami gegar otak.1

ORAL

Penelitian hewan menunjukkan pemulihan dari kerusakan saraf


tulang belakang akibat trauma yang lebih baik apabila hewan tersebut
diberikan citicoline.1
Kelainan Bipolar dan pemakaian Napza
Citicoline dapat memperbaiki memori dan mengurangi pengunaan
kokain pada pasien yang menderita kelainan bipolar (bipolar disorder)
akibat pemakaian kokain. Dosis yang digunakan bertingkat dari 500
mg pada minggu pertama, 1.000 mg pada minggu kedua, 1.500 mg
pada minggu ketiga dan 2.000 mg pada minggu ke 6 hingga 12.1
Kondisi Lainnya
Suatu studi klinis menunjukkan bahwa citicoline dapat mengurangi gejala bradykinesia dan kekakuan pada pasien penderita Parkinsons disease
yang diberikan citicoline setiap harinya.1 Citicoline juga dapat meningkatkan fungsi retina dan fungsi penglihatan pada pasien dengan glaucoma.1 Percobaan pada hewan menunjukkan efek perlindungan citicoline terhadap neuropati berupa hipersensitivitas dan hiposensitivitas
yang disebabkan diabetes.6

Toksisitas
Citicoline merupakan molekul yang relatif aman untuk dikonsumsi. Pada
manusia, gejala-gejala yang pernah dilaporkan hanya berkaitan dengan
pencernaan seperti diare dan beberapa gangguan vaskular ringan seperti sakit kepala. Pada kasus yang diteliti, tidak ada perubahan yang
berarti dalam hematologi, biokimia, ataupun uji neurologi.
Pada percobaan dengan hewan, tidak dapat ditemukan gejala sakit
yang dapat diamati setelah penggunaan citicoline melalui rute oral, meskipun dengan dosis terbanyak yang masih mungkin.1

Dosis
Dosis yang dianjurkan untuk penggunaan secara klinis adalah antara
500 mg hingga 2.000 mg tiap hari.

Referensi

1. Anonim. Citicoline monograph. Alternative Medicine Review 2008; 13:50-7


2. Rao AM, Hatcher JF, Dempsey RJ. CDP-choline: neuroprotection in transient
forebrain ischemia of gerbils. J Neurosci Res 1999; 58:697-705
3. Adibhatla RM, Hatcher JF, Dempsey RJ. Cytidine-5-disphosphocholine affects
CTP-phosphocholine cytidylyltransferase and lyso-phosphatidylcholine after
transient brain ischemia. J Neurosci Res 2004; 76:390-6
4. Tazaki Y, Sakai F, Otomo E, et al. Treatment of 21. Acute cerebral infarction with a choline precursor in a multicenter double-blind placebo-controlled
study. Stroke 1988; 19:211-6
5. Davalos A, Castillo J, Alvarez-Sabin J, et al. Oral 22. Citicoline in acute ischemic stroke:
an individualpatient data pooling analysis of clinical trials. Stroke 2002; 33:2850-7
6. Kamei J, Ohsawa M, Miyata S, Endo K, Hayakawa H. Effects of cytidine 5'-diphosphocholine (CDP-choline) on the thermal nociceptive threshold in streptozotocin-induced diabetic mice. Eur J Pharmacol. 2008 Nov 19; 598(1-3):32-6

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

leading article

Jan S Purba

Abstract. Strokes lead to death or permanent disabilities for millions of people every year when an interruption of the flow of blood
to brain cells deprives them of vital oxygen and nutrients. Deprivation of oxygen and nutrients results in a series of biochemical
events, leading eventually to cell death and often devastating functional neurological disturbances. Damaging and dying brain cells
are very actively using an internal communications network. Most drugs work by interfering with molecules that play important roles
within these networks. Citicoline is an essential intermediate in the biosynthesis of phosphatidylcholine, an important component of
the neural cell membrane as a part of internal communication network. Produced endogenously, citicoline serves as a choline donor
in the metabolic pathways for biosynthesis of acetylcholine and neuronal membrane phospholipids, chiefly phosphatidylcholine. The
principal components of citicoline, choline and cytidine, are readily absorbed in the GI tract and easily cross the blood-brain barrier.
Exogenous citicoline, has been researched in animal experiments and human clinical trials that provide evidence of its cholinergic and
neuroprotective actions.

MEDICINUS

Departemen Neurologi, RSUPNCM/FKUI


Jkarta

55
11
57

Abstrak. Stroke yang diakibatkan oleh interupsi aliran darah ke otak menyebabkan angka kematian dan kecacatan dari jutaan manusia. Interupsi aliran darah ini kecuali mengakibatkan kekurangan oksigen dan nutrisi akan mengakibatkan berjenis reaksi biokimiawi
sebagai penyebab kematian sel. Kematian sel ini mengakibatkan tanda-tanda klinis berupa gangguan neurologik.
Citicoline yang merupakan bahan dasar yang essensial dibutuhkan untuk biosintesis fosfatidilkholine, komponen dari struktur membran neuron untuk dapat berfungsi dalam komunikasi internal dari sistem susunan saraf pusat. Citicoline berperan terhadap pembentukan kholin berguna sebagai biosintesis asetilkholin dan fosfolipid membran neuron dalam hal ini fosfotidilkholine. Citicoline
di absorsi di saluran pencernaan dan bisa melewati sawar darah otak. Pemberian citicoline pada penelitian hewan maupun manusia
terbukti berperan sebagai kholinergi dan neuroprotektor yang efektif.

Pendahuluan
Stroke merupakan tanda klinis yang disebabkan oleh terhambatnya
atau terputusnya aliran darah ke otak sehingga kebutuhan nutrisi
serta oksigen terganggu atau terputus. Stroke bisa diakibatkan oleh
penyumbatan pembuluh darah di otak yang disebut sebagai stroke
iskemik atau bisa akibat pecahnya pembuluh darah di otak yang dikenal sebagai stroke hemorhagik. Akibat terputusnya suplai ini maka
sel saraf akan menjadi mati apakah dalam bentuk nekrosis ataupun
juga apoptosis.1 Kematian sel ini mengakibatkan tanda-tanda klinis
berupa gangguan neurologik.
Menurut statistik stroke menyebabkan angka kematian diurutan
nomor tiga di dunia setelah penyakit jantung dan kanker. Dari perhitungan statistik angka kecacatan yang permanen mencapai 70%
mengalami kecacatan yang ringan dan sisanya sekitar 30% hidup
penderita tergantung dari bantuan pihak kedua.2 Walaupun berat
otak hanya sekitar 2% dari berat keseluruhan tubuh akan tetapi otak
membutuhkan bahan energi sekitar 20% dari kebutuhan tubuh keseluruhan.
Secara neuro anatomik daerah otak yang diakibatkan iskemik

Vol. 21, No.4, Edisi November - Desember 2008

dibedakan atas dua bagian yakni core daerah yang infark, serta daerah disekitar core yang disebut sebagai penumbra.3 Kematian sel pada
core dan penumbra mempunyai karakteristik yang berbeda yang bisa
akibat nekrosis atau apoptosis.1 Secara fisiologik akibat perfusi yang
defisit di daerah core menyebabkan gagalnya proses metabolisme
serta keseimbangan ion yang berawal dari gangguan suplai energi sel
otak. Kesemuanya ini mengakibatkan kehilangan integritas sel dalam
beberapa menit setelah onset stroke. Pada penumbra beberapa residu
perfusi masih berfungsi melalui sirkulasi kolateral akan tetapi juga
tidak memungkinkan mempertahankan metabolisme secara penuh.
Hal ini mengakibatkan bertambahnya volume infark dalam kurun
waktu yang lama.3

Peran Eksitatorik pada Patologi Kematian Neuron


Gangguan potensial elektris berupa depolarisasi dari neuron dan glia
sebagai akibat dari defisit enegi secara local, menyebabkan terjadinya
aktivasi dari voltage-gated kanal Ca++ di neuron serta diiringi oleh
sekresi asam amino eksitatorik ke ekstra seluler dalam hal ini ke sinapsis. Akibatnya reseptor glutamat N-metil-D-aspartat (NMDA) dan

-amino-3-hidroksi-5-metil-4-isoksasolproprionat (AMPA) menjadi


aktif memacu Ca++ masuk ke dalam sel. Selanjutnya reseptor metabotropik glutamat juga menjadi aktif dengan memblok induksi fosfolipase C dan inositol trifosfat menyebabkan mobilisasi Ca++ yang telah
tersimpan di dalam sel. Untuk seterusnya aktivasi reseptor AMPA
yang berlebihan juga mengakibatkan gangguan homeostasis diiringi
masuknya cairan H2O ke dalam sel sebagai penyebab edema toksik.
Kesemuanya ini merupakan faktor penyebab sel lisis yang disebut
sebagai nekrosis. Selain itu secara molekuler aktivasi dari fosfolipase,
hidroksil fosfolipid skresi asam arakhidonik serta peroksidase lipid
berperan juga sebagai penyebab dari kematian sel pada stroke.4,5 Keberadaan asam arakhidonik serta metabolismenya akan menyebabkan terbentuknya oksidan reactive species (ROS) beserta jajarannya4,5,6
memicu terjadinya apoptosis.7
Kejadian ini terjadi pada sel-sel di core sementara sel di penumbra
kondisinya agak berbeda dengan yang ditemukan di core di mana kematian sel di penumbra sering akibat terjadinya apoptosis dan inflamasi.8,9

MEDICINUS

Peran Oksigen dan Radikal Bebas

56

Konsekuensi dari iskemik dan gangguan reperfusi ini mengakibatkan


terbentuknya radikal bebas seperti superoksida, hidrogen peroksida,
dan radikal hidroksil. Nitric oxide (NO)
sendiri terbentuk melalui aktivasi NOS.
Sumber lain akibat pemecahan produksi
adenosine diphosphate (ADP) melalui oksidasi xantine dan reaksi iron-catalysed Haber-Weiss. Radikal bebas yang beragam ini
akan bereaksi dengan komponen seluler
seperti karbohidrat, asam amino, DNA,
fosfolipid mengakibatkan percepatan kematian sel-sel tersebut.10 Selanjutnya akibat hipoksia dan keseimbangan ion Ca++
yang terganggu serta keberadaan radikal
bebas akan merusak fungsi mitokhondria di neuron. Insufisiensi adenosine three
phosphate (ATP) sebagai sumber energi
juga akan mengakibatkan pembengkakan
mitokhondria yang selanjutnya akan
menyebabkan terbentuknya radikal bebas
sebagai pemicu terjadinya apoptosis.8,11,12

Inflamasi pada Insufisiensi Energi


dan Oksigen

dilkholin,
2) terjadi pemecahan asam lemak bebas di sekitar trauma yang
nantinya sebagai penyebab edema dan inflamasi,
3) kehilangan asetilkholin yang berperan sebagai neurotransmisi
antar sel di SSP.21,22
Terbentuknya asam arakhidonik serta terjadinya kerusakan fosfolipid yang disebabkan oleh aktivasi enzim fosfolipase yang ditemukan pada iskemik mengakibatkan kerusakan yang berlanjut dari sel
neuron.22-24

Peran Citicoline sebagai Neuroprotektif


Salah satu tindakan untuk mencegah kerusakan sel otak akibat
iskemik selain memperbaiki sirkulasi ke daerah yang infark juga dengan menjaga keutuhan dan memperbaiki komponen membran sel itu
sendiri, mencegah enzim fosfolipase yang berperan dalam pemecahan fosfolipid dan pembentukan asam arakhidonat serta mencegah
pembentukan radikal bebas. Memperbaiki komponen membran berarti juga menurunkan kegiatan aktivitas fosfolipase dengan demikian menjaga keutuhan fosfolipid dan meningkatkan pembentukan
fosfotidilkholin sebagai komponen dari sel membran. Seperti disebut
di atas iskemik mengakibatkan kerusakan fosfolipid pada membran
sel atau kehilangan fosfatidilkholin, terbentuknya asam arakhidonik
akibat pemecahan asam lemak bebas di
sekitar trauma yang nantinya sebagai
penyebab edema dan inflamasi. Selain itu
terjadi kehilangan asetilkholin yang berperan sebagai neurotransmisi antar sel di
SSP. Pemberian citicoline pada hewan percobaan mengurangi edema serta meminimalkan pemecahan fosfolipid yang berarti
25
menekan pemecahan asam lemak bebas
terutama asam arakhidonik.21,22 Dengan
mencegah pelepasan asam arakhidonik
berarti juga mencegah proses inflamasi.
Citicoline merupakan bahan dasar dari biosintese turunan fosfotidilkholine dari fosfolipid di sel membran.25 Citicoline berfungsi
untuk menekan pelepasan asam arakhidonik dan mencegah kerusakan fosfolipid
5,22a
setelah terjadi iskhemik.5,22a Citicholine bisa
meningkatkan sintese fosfatidilkholin26
dan sfingomielin pada sel dengan kondisi
iskhemik22a,23,24 serta menekan aktivitas
26
fosfolipase A2.27 Aktivitas dari fosfolipase
yang meningkat saat iskemik diakibatkan
oleh lepasnya gutamat yang menstimulasi reseptor NMDA di post sinaptik men22a,23,24
gakibatkan peningkatan intraseluler Ca++
sehingga terjadi hidrolisis dari fosfolipid
serta lepasnya asam lemak bebas.28
Selanjutnya citicoline dalam proses me27
tabolismenya akan membentuk kolin, di
mana kolin nantinya akan dirubah menjadi glutation. Glutation adalah salah satu
antioksidan endogen primer dalam tubuh
yang berperan sebagai sistem pertahanan sel otak terhadap serangan
radikal bebas. Reduksi jumlah antioksidan glutation ternyata memang ditemukan pada serebral iskemik.29
Proses metabolisme asam arakhidonat pada kondisi iskemik menstimulasi pembentukan radikal bebas serta menekan kegiatan dari
antioksidan endogen. Pemberian citicoline berguna sebagai neuroproteksi pada iskemik karena bersifat sebagai bahan pengadaan kardiolipin dan sfingomielin, sumber fosfatidilkholin serta stimulasi sintesis
glutation sebagai endogen antioksidan, dan menjamin keseimbangan
aktivitas Na+K+-ATPase.30
Dari penjelasan di atas dan dari hasil beberapa penelitian mem-

Citicoline merupakan bahan


dasar dari biosintese turunan
fosfotidilkholine dari
fosfolipid di sel membrane.
Citicoline berfungsi untuk
menekan pelepasan asam
arakhidonik dan mencegah
kerusakan fosfolipid setelah
terjadi iskhemik.
Citicholine bisa meningkatkan
sintese fosfatidilkholin dan
sfingomielin pada sel dengan
kondisi iskhemik
serta
menekan aktivitas fosfolipase
A2.

Tingkat awal dari inflamasi dimulai beberapa jam sesudah onset iskemik melalui ekspresi adesi molekul di endotelium
pembuluh darah. Hal ini ditandai dengan
keberadaan leukosit di sirkulasi darah.
Leukosit bergerak melewati endotelium
keluar dari sirkulasi dan penetrasi kejaringan parenkhim otak yang mengakibatkan reaksi inflamasi.13-15 Bagian
mayoritas dari inflamasi ditentukan oleh
populasi dari sel mikroglia yang disebut
juga sebagai efektor imun dari susunan saraf pusat (SSP). Mikroglia
adalah fagositik aktif yang mensekresi proinflamasi serta bermacam
enzim. Inhibisi terhadap aktivitas mikroglia berefek protektif pada
stroke eksperimental16 dan pemberian sitokin antagonis bisa mengurangi volume infark pada hewan percobaan.17 Kelompok sitokin yang
bersifat sebagai antiinflamasi seperti tumor growth factor-1 beta (TGF-1
beta), IL-10 sebagai neuroprotektif juga menjadi aktif terhadap stimulasi mikroglia.18-20
Di pihak lain secara molekuler patologis akibat iskemik maka terjadi:
1). kerusakan fosfolipid pada membran sel atau kehilangan fosfati-

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

Kesimpulan
Proses kematian sel saraf akibat terhambatnya aliran darah ke otak
untuk suplai nutrisi dan oksigen berefek pada terjadinya proses biokimiawi di sel otak. Proses biokimiawi ini berupa terjadinya pemecahan fosfolipid, aktivasi enzim serta terbentuknya aksidan. Tanpa
penanggulangan yang cepat dan tepat akan proses biokimiawi ini
akan berjlanjut secara berantai sehingga kematian sel berupa nekrosis
dan apoptosis akan berlanjut.
Citicoline yang berperan dalam meningkatkan fosfatidilkholin
yang dibutuhkan mempertahankan keutuhan fosfolipid membran
sel dan glutamin telah teruji melalui berbagai penelitian baik pada
hewan maupun pada manusia dalam penanganan stroke.

Daftar Pustaka

1. Kristal BS and Brown AM. Apoptogenic Ganglioside GD3 Directly Induces


the Mitochondrial Permeability Transition. Biol Chem, 1999; 274: 2316923175.
2. Asia Pacific Consensus Forum on Stroke Management. Organizing Committees (Program, Advisory, and Local). Stroke 29:1730-1736, 1998.
3. Astrup J, Siesjo BK, Symon L. Thresholds of ischemia; the ischemic penumbra. Stroke 1981; 12: 723-725.
4. Rao AM, Hatcher JF, Kindy MS, Dempsey RJ. Arachidonic acid and leukotriene
C4: role in transient cerebral ischemia of gerbils. Neurochem Res 1999;
24:12251232.
5. Rao AM, Hatcher JF, Dempsey RJ. Neuroprotection by group I metabotropic
glutamate receptor antagonists in forebrain ischemia of gerbil. Neurosci
Lett. 2000; 293: 14.
6. Katsuki H, Okuda S. Arachidonic acid as a neurotoxic and neurotrophic substance. Prog Neurobiol. 1995; 46: 607636.
7. Urabe T, Yamasaki Y, Hattori N, Yoshikawa M, Uchida K, Mizuno Y. Accumulation of 4-hydroxynonenal-modified proteins in hippocampal CA1 pyramidal neurons precedes delayed neuronal damage in the gerbil brain. Neuroscience. 2000; 100: 241250.
8. Dirnagl U, Iadecola C, Moskowitz MA. Pathobiology of ischaemic stroke: an
integrated view. Trends Neurosci 1999;22:391-397.
9. Lo EH, Dalkara T, Moskowitz MA. Mechanisms, challenges and opportunities
in stroke. Nat Rev Neurosci. 2003;4:399-414.
10. Adibhatla RM, Hatcher JF, Larsen EC, Chen X, Sun D, Tsao FH. CDP-choline
significantly restores phosphatidylcholine levels by differentially affecting phospholipase A2 and CTP: phosphocholine cytidylyltransferase after
stroke. J Biol Chem. 2006;281:6718-6725
11. Sims NR and Anderson MF. Mitochondrial contributions to tissue damage in
stroke. Neurochem Int 2002; 40: 511-526
12. Kamiya T, Jacewicz M, Nowak TS, Jr, and Pulsinelli WA. Cerebral Blood Flow
Thresholds for mRNA Synthesis After Focal Ischemia and the Effect of MK801. Stroke 2005; 36: 2463 - 2467
13. Becker KJ. Targeting the central nervous system inflammatory response in
ischemic stroke. Curr Opin Neurol. 2001;14:349-353
14. Emsley HC, Tyrrell PJ. Inflammation and infection in clinical stroke. J Cer-

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

ebral Blood Flow Metab 2002; 22: 1399-1419.


15. Del Zoppo G, Ginis I, Hallenbeck JM, Iadecola C, Wang X, and Feuerstein GZ.
Inflammation and stroke: putative role for cytokines, adhesion molecules
and iNOS in brain response to ischemia. Brain Pathol 10: 95-112, 2000.
16. Yrjnheikki J, Tikkat, Keinnen R, Goldsteins G, Chan PH and Koistinaho K.
A tetracycline derivative, minocycline, reduces inflammation and protects
against focal cerebral ischemia with a wide therapeutic window. Proc Natl
Acad Sci U S A. 1999; 96: 13496-13500.
17. Nawashiro H, Tasaki K, Ruetzler CA, Hallenbeck JM. TNF- pretreatment induces protective effects against focal cerebral ischemia in mice. J Cereb
Blood Flow Metab 1997; 17: 483-490
18. Bogdan C., Paik, J., Vodovotz, Y., and Nathan, C. IL-10 reduces rat brain
injury following focal stroke J Biol Chem1992; 267: 23301-23308
19. Strle K, Zhou J H, Shen W H, et al. Interleukin-10 in the brain. Crit Rev Immunol 2001;21:427-449
20. Prehn JH. Transforming growth factor beta 1 prevents glutamate neurotoxicity in rat neocortical cultures and protects mouse neocortex from ischaemic
injury in vivo. J Cereb Blood Flow Metab 1993;13:521-525.
21. Weiss GB. Metabolism and actions of CDP-choline as an exogenous compound and administered exogenously as citicoline. Life Sciences 1995; 56;
637-660.
22. Rao AM, Hatcher JF, Dempsey RJ. CDP-choline: neuroprotection in transient
forebrain ischemia of gerbils. J Neurosci Res 1999; 58: 697-705.
22a.Rao AM, Hatcher JF, Dempsey RJ. Lipid metabolism in ischemic neuronal
death. Recent Res Devel Neurochem. 1999; 2: 533549.
23. Stoffel W, Melzner I. Studies in vitro on the biosynthesis of ceramide and
sphingomyelin: a reevaluation of proposed pathways. Hoppe Seylers Z Physiol Chem 1980; 361: 755771.
24. Vos JP, Dehaas CGM, Vangolde LMG, Lopescardozo M. Relationships between
phosphatidylcholine, phosphatidylethanolamine, and sphingomyelin metabolism in cultured oligodendrocytes. J Neurochem 1997; 68: 12521260.
25. de la Morena E. Efficacy of CDP-choline in the treatment of senile alterations
in memory. Ann N Y Acad Sci 1991; 640: 233-236.
26. Cui Z, Houweling M, Chen MH, et al. A genetic defect in phosphatidylcholine
biosynthesis triggers apoptosis in Chinese hamster ovary cells. J Biol Chem
1996; 271: 1466814671.
27. Arrigoni E, Averet N, Cohadon F. Effects of CDP-choline on phospholipase A2
and cholinephosphotransferase activities following a cryogenic brain injury
in the rabbit. Biochem Pharmacol 1987; 36: 36973700.
28. Hofmann K, Dixit VM. Ceramide in apoptosis: does it really matter? Trends
Biochem Sci 1998; 23: 374377.
29. Shivakumar BR, Kolluri SV, Ravindranath V. Glutathione and protein thiol
homeostasis in brain during reperfusion after cerebral ischemia. J Pharmacol
Exp Ther 1995; 274: 11671173.
30. Adibhatla RM, Hatcher JF. Citicoline Mechanisms and Clinical Efficacy in Cerebral Ischemia. J Neurosci Res 2002; 70:133139.
31. Adibhatla RM, Hatcher JF, Dempsey RJ. Effects of citicoline on phospholipids
and glutathione levels in transient cerebral ischemia. Stroke 2001; 32: 23762381.
32. Adibhatla RM, Hatcher JF, Dempsey RJ. Citicolone : neuroprotective mechanisms in cerebral ischemia. J Neurochem 2002; 80: 12-23.
33. Davalos A, Castillo J, Alvarez-Sabin J et al. Oral citicoline in acute ischemic
stroke. An individual patient data pooling analysis of clinical trials. Stroke
2002; 33: 2850-2857.
34. Conant R and Schauss AG. Therapeutic applications of citicoline for stroke
and cognitive dysfunction in the elderly: A Review of the Literature. Alternative Med Rev 2004; 9: 17-31

MEDICINUS

buktikan bahwa penggunaan citicoline pada penderita stroke mendasar pada efek sebagai neuroprotektor serta radikal bebas yang diakibatkan oleh iskemik.31-34

57

case report

original article

M. Fadjar Perkasa

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran UNHAS /


RS. dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar

MEDICINUS

Abstrak. Dilaporkan satu kasus benda asing supraglotis (rotan) yang berhasil di ekstraksi dengan cunam/forceps lurus dengan neuroleptic anesthesia. Penderita mengeluh suara parau (disfonia), namun tidak sesak sejak tertelan rotan yang secara
tidak sengaja masuk melalui rongga hidung kemudian tertelan.
Pada pemeriksaan laringoskopi indirek tampak benda asing yaitu rotan tertancap pada commissura anterior yang arahnya
sejajar dengan plica vocalis kanan.
Evaluasi nasoendoskopi memperlihatkan bahwa plica vocalis dapat bergerak baik dan menutup rapat dengan keluhan disfoni
berkurang tanpa komplikasi. Penderita dipulangkan disfonia berkurang tanpa komplikasi. Penderita dipulangkan pada hari
kedua pascaoperasi dalam keadaan baik.

58

Kata kunci : benda asing rotan, neuroleptic anesthesia, nasoendoskopi

Pendahuluan
Benda asing jalan napas merupakan masalah klinis yang memiliki
tantangan tersendiri, meskipun belakangan ini telah terjadi kemajuan
besar dalam teknik anestesi dan instrumentasi, ekstraksi benda asing
jalan napas bukanlah merupakan suatu prosedur yang mudah dan
tetap memerlukan keterampilan serta pengalaman dari dokter yang
melakukannya.1
Benda asing dalam suatu organ dapat terbagi atas benda asing eksogen (dari luar tubuh) dan benda asing endogen (dari dalam tubuh)
yang dalam keadaan normal benda tersebut tidak ada.2
Secara statistik, persentase aspirasi benda asing berdasarkan
letaknya masing-masing adalah; hipofaring 5%, laring/trakea 12%,
dan bronkus sebanyak 83%. Kebanyakan kasus aspirasi benda asing
terjadi pada anak usia <15 tahun; sekitar 75% aspirasi benda asing terjadi pada anak usia 13 tahun. Rasio laki-laki banding wanita adalah
1,4 : 1.3-5
Pada benda asing laring, dapat dipergunakan kateter insuflasi
yang dipasang melalui hidung dengan bagian ujung di dalam hipofaring untuk mempertahankan keadaan anestesia dan oksigenasi. Ujung
laringoskop kemudian ditempatkan pada vallecula untuk melihat seluruh struktur laring dan untuk melihat benda asing di dalam laring,
sehingga dapat dikeluarkan dengan menggunakan forceps yang sesuai.
Setelah tindakan ekstraksi benda asing, laring dievaluasi kembali untuk mencari kemungkinan adanya benda asing lainnya.3

Faktor-Faktor Predisposisi2
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing ke
dalam saluran napas, antara lain:
Faktor individual; umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi sosial,
tempat tinggal.
Kegagalan mekanisme proteksi yang normal, antara lain; keadaan tidur, kesadaran menurun, alkoholisme dan epilepsi.
Faktor fisik; kelainan dan penyakit neurologik.
Proses menelan yang belum sempurna pada anak.
Faktor dental, medical dan surgical, misalnya tindakan bedah, eks-

traksi gigi, belum tumbuhnya gigi molar pada anak usia kurang
dari 4 tahun
Faktor kejiwaan, antara lain; emosi, gangguan psikis
Ukuran, bentuk dan sifat benda asing
Faktor kecerobohan, antara lain; meletakkan benda asing di mulut, persiapan makanan yang kurang baik, makan atau minum
tergesa-gesa, makan sambil bermain, memberikan kacang atau
permen pada anak yang gigi molarnya belum tumbuh.

Patogenesis3
Setelah benda asing teraspirasi, maka benda asing tersebut dapat tersangkut pada 3 tempat anatomis yaitu, laring, trakea atau bronkus.
Dari semua aspirasi benda asing, 8090% diantaranya terperangkap di bronkus dan cabang-cabangnya.
Pada orang dewasa, benda asing bronkus cenderung tersangkut
di bronkus utama kanan, karena sudut konvergensinya yang
lebih kecil dibandingkan bronkus utama kiri.
Benda asing yang lebih besar lebih banyak tersangkut di laring
atau trakea.

Gejala Klinis1-4,6
Gejala sumbatan benda asing di dalam saluran napas tergantung
pada lokasi benda asing, derajat sumbatan (total atau sebagian), sifat,
bentuk dan ukuran benda asing. Benda asing yang masuk melalui
hidung dapat tersangkut di hidung, nasofaring, laring, trakea dan
bronkus. Benda yang masuk melalui mulut dapat tersangkut di orofaring, hipofaring, tonsil, dasar lidah, sinus piriformis, esofagus atau
dapat juga tersedak masuk ke dalam laring, trakea dan bronkus. Gejala yang timbul bervariasi, dari tanpa gejala hingga kematian sebelum diberikan pertolongan akibat sumbatan total.
Seseorang yang mengalami aspirasi benda asing saluran napas
akan mengalami 3 stadium. Stadium pertama merupakan gejala permulaan yaitu batuk-batuk hebat secara tiba-tiba (violent paroxysms of
coughing), rasa tercekik (choking), rasa tersumbat di tenggorok (gagging) dan obstruksi jalan napas yang terjadi dengan segera. Pada sta-

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

Laporan Kasus

dium kedua, gejala stadium permulaan diikuti oleh interval asimtomatis. Hal ini karena benda asing tersebut tersangkut, refleks-refleks
akan melemah dan gejala rangsangan akut menghilang. Stadium
ini berbahaya, sering menyebabkan keterlambatan diagnosis atau
cenderung mengabaikan kemungkinan aspirasi benda asing karena
gejala dan tanda yang tidak jelas. Pada stadium ketiga, telah terjadi
gejala komplikasi dengan obstruksi, erosi atau infeksi sebagai akibat
reaksi terhadap benda asing, sehingga timbul batuk-batuk, hemoptisis, pneumonia dan abses paru.
Benda asing di laring dapat menutup laring, tersangkut di antara
pita suara atau berada di subglotis. Gejala sumbatan laring tergantung pada besar, bentuk dan letak (posisi) benda asing.
Sumbatan total di laring akan menimbulkan keadaan yang gawat
biasanya kematian mendadak karena terjadi asfiksia dalam waktu
singkat. Hal ini disebabkan oleh timbulnya spasme laring dengan gejala antara lain disfonia sampai afonia, apnea dan sianosis.
Sumbatan tidak total di laring dapat menyebabkan disfonia sampai
afonia, batuk yang disertai serak (croupy cough), odinofagia, mengi, sianosis, hemoptisis, dan rasa subjektif dari benda asing (penderita akan
menunjuk lehernya sesuai dengan letak benda asing tersebut tersangkut) dan dispnea dengan derajat bervariasi. Gejala ini jelas bila benda
asing masih tersangkut di laring, dapat juga benda asing sudah turun
ke trakea, tetapi masih menyisakan reaksi laring oleh karena adanya
edema.

Nama
Umur
Jenis kelamin
Alamat
MRS tanggal

Pemeriksaan Fisis
Keadaan umum
: baik/gizi cukup/ sadar

stridor (-); sesak (-);
Otoskopi
: kesan normal tidak ada kelainan
Rhinoskopi anterior
: kesan normal
Faringoskopi
: kesan normal
Laringoskopi indirek
:
Epiglottis; Plica ariepiglotica; vallecula; arytenoid: kesan normal.
Plica vocalis: tampak benda asing (rotan) tertancap pada komisura
anterior yang arahnya sejajar plica vocalis dengan tepi bebas berada di rima glottis.
Plica ventricularis: udem (+), hiperemis (+)

Pada kasus benda asing di saluran napas dapat dilakukan pemeriksaan


radiologis dan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis.
Benda asing yang bersifat radioopak dapat dibuat rongent foto segera
setelah kejadian, benda asing radiolusen dibuatkan rongent foto setelah
24 jam kejadian, karena sebelum 24 jam kejadian belum menunjukkan
gambaran radiologis yang berarti. Biasanya setelah 24 jam baru tampak tanda-tanda atelektasis atau emfisema.
Video fluoroskopi merupakan cara terbaik untuk melihat saluran
napas secara keseluruhan, dapat mengevaluasi pada saat ekspirasi
dan inspirasi dan adanya obstruksi parsial.
Pemeriksaan laboratorium darah diperlukan untuk mengetahui
adanya gangguan keseimbangan asam basa, serta tanda-tanda infeksi
saluran napas.

Fiber endoskopi
Epiglottis
: edema (-), hiperemis (-).
Plica ariepiglotica : edema (-), hiperemis (-).
Arytenoid
: edema (-) hiperemis (-).
Plica vocalis
: tampak benda asing (rotan) tertancap pada
komisura anterior sejajar dengan plica vocalis kanan, posisinya di
antara plica vocalis dan plica ventricularis dan tepi bebas berada di
glotis, rotan tersebut menghambat pergerakan plica vocalis sehingga tidak dapat menutup dengan rapat.
Plica ventricularis : edema (+), hiperemis (+)

Penatalaksanaan2,3,6

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

Benda Asing Supraglottik (rotan)

Gambar: Skematis posisi benda asing dengan pemeriksaan laring-oskopi indi


rek (kanan) dan penampang sagital laring (kiri).

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: dalam batas normal, kecuali leukosit 21.000/mm3.
Pemeriksaan radiologis: foto polos posisi PA dan lateral.
Kesimpulan: tidak tampak bayangan benda asing.

MEDICINUS

Seorang pria 27 tahun, datang dengan suara serak yang dialami


sejak 1 bulan lalu setelah tertelan rotan saat menebang dahan rotan.
Pada awalnya rotan masuk ke dalam rongga hidung kanan, kemudian penderita mencoba mengeluarkan dahan rotan tersebut dengan
cara memotong hingga sependek mungkin, akibatnya terjadi perdarahan hidung di mana masih ada sisa potongan dahan rotan dalam
rongga hidung kanan. Beberapa saat kemudian penderita menelan
bekuan darah, dan sejak saat itu suaranya menjadi serak, batuk tidak
ada, sesak tidak ada, nyeri saat berbicara hanya pada awalnya, namun perlahan menghilang.
Keluhan hidung dan telinga tidak ada.

Pemeriksaan Penunjang1-4,6

Untuk dapat menanggulangi kasus aspirasi benda asing dengan cepat dan tepat, perlu diketahui dengan baik lokasi tersangkutnya benda asing tersebut. Secara prinsip benda asing di saluran napas dapat
ditangani dengan pengangkatan segera secara endoskopik dengan
trauma minimum. Umumnya penderita dengan aspirasi benda asing
datang ke rumah sakit setelah melalui fase akut, sehingga pengangkatan secara endoskopik harus dipersiapkan seoptimal mungkin, baik
dari segi alat maupun personal yang telah terlatih. Penderita dengan
benda asing di laring harus mendapat pertolongan segera, karena asfiksia dapat terjadi dalam waktu hanya beberapa menit.
Cara lain untuk mengeluarkan benda asing yang menyumbat
laring secara total ialah dengan cara perasat dari Heimlich (Heimlich
maneuver), dapat dilakukan pada anak maupun dewasa. Menurut teori Heimlich, benda asing yang masuk ke dalam laring ialah pada saat
inspirasi. Dengan demikian paru penuh dengan udara, diibaratkan
sebagai botol plastik yang tertutup, dengan menekan botol itu, maka
sumbatnya akan terlempar keluar.
Komplikasi perasat Heimlich adalah kemungkinan terjadinya
ruptur lambung atau hati dan fraktur kosta. Oleh karena itu pada
anak sebaiknya cara menolongnya tidak dengan menggunakan kepalan tangan tetapi cukup dengan dua buah jari kiri dan kanan.
Pada sumbatan benda asing tidak total di laring perasat Heimlich tidak dapat digunakan. Dalam hal ini penderita dapat dibawa
ke rumah sakit terdekat yang memiliki fasilitas endoskopik berupa
laringoskop dan bronkoskop.

: Tn. S
: 27 tahun
: laki-laki
: Kendari
: 18 Desember 2007

59

Diagnosis

Post Op hari II

Benda asing supraglotik (rotan)

Penatalaksanaan

MEDICINUS

Ekstraksi benda asing supraglotik dengan bantuan endoskop rigid


dengan neuroleptic anesthesia.

60

Jalannya Operasi
Penderita baring terlentang dalam anestesi neuroleptik dan pengawasan jalan napas oleh anastesi.
Disinfeksi lapangan operasi dengan betadine dan alkohol 70%.
Pasang laringoskop suspensi trans oral hingga tampak daerah
supraglotik.
Tampak benda asing berupa dahan rotan berwarna kecoklatan,
panjang sekitar 2,5 cm, beruas-ruas (3 ruas) dari masing-masing
ruas terdapat duri-duri kecil, benda asing tampak di superior
plica vocalis tertancap pada comissura anterior sejajar dengan plica
vocalis kanan dengan salah tepi bebasnya berada pada rima glottis.
Plica ventricularis tampak sedikit edema dan hiperemis, perdarahan tidak ada.
Forceps dimasukkan lalu benda asing dijepit dan dicoba ditarik
keluar, pada percobaan pertama benda asing tidak berhasil ditarik keluar, dicoba lagi, benda asing dijepit dan ditarik ke arah bawah, benda asing patah, dengan bagian sisanya masih tertancap
pada comissura anterior, akhirnya benda asing dapat dikeluarkan
seluruhnya.
Evaluasi ulang tidak tampak lagi benda asing, plica ventricularis; laserai (-), perdarahan (-)
Operasi selesai.
Post Op Ekstraksi

Instruksi Post Op

KU: baik, sadar


Tensi: 110/70 mmHg; Nadi: 80x/
menit
P: 20 x/menit; S: 37,2C
Perdarahan (-), batuk (-), lendir
(-)
Disfonia berkurang, sesak (-)

Post Op hari I

Awasi tanda vital & perdarahan (-)


IVFD RL: D5% 20 tts/mnt
Inj. Cefotaxim 1 g/8 jam/IV
Inj. Dexamethazone 1
amp/8 jam / IV
Inj. Tragesic 1 amp/8 jam/IV
Inj. Ulsicur 1 amp/8 jam/IV
Vocal rest
Diet biasa TKTP

Instruksi Perawatan

Tanggal 19 Desember 2007


KU: baik, sadar
Tensi: 110/70 mmHg; Nadi: 82
x/menit
P: 18 x/menit; S: 36,8C
perdarahan (-), batuk (-), lendir
(-)
Disfonia berkurang, sesak (-)

Rencana evaluasi nasoendoskopi


IVFD RL: D5% 20 tts/mnt
Inj. Cefotaxime 1 g/8 jam/IV
Inj. Dexamethazone 1
amp/8 jam/IV
Inj. Tragesic 1 amp/8 jam/IV
Inj. Ulsicur 1 amp/8 jam/IV
Vocal rest
Diet biasa TKTP

Tanggal: 20 Desember 2007


Ku: Baik, sadar
Tensi: 110/70 mmHg; Nadi: 82
x/menit
P: 20 x/menit; S: 37C
Perdarahan (-), batuk (-), lendir
(-)
Disfoni minimal, sesak (-)

Instruksi Perawatan

Af infus
Ganti obat oral
Cefadroxyl 3x500 mg
Methylprednisolone 3x4 mg
Asam Mefenamat 3x500
mg

Diskusi
Dilaporkan satu kasus benda asing supraglotik yang berhasil diekstraksi dengan cunam/forceps lurus dengan anestesi neuroleptik.
Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis terdapat riwayat aspirasi benda asing berupa rotan yang secara tidak
sengaja masuk melalui rongga hidung, kemudian tertelan dan sejak
itu penderita mengeluh disfoni, namun tidak sesak. Pada pemeriksaan laringoskopi indirek tampak benda asing (rotan) tertancap pada
komisura anterior yang arahnya sejajar plica vocalis kanan dengan tepi
bebas berada di rima glottis, rotan tersebut menghambat pergerakan
plica vocalis sehingga tidak dapat menutup dengan rapat, plica ventricularis mengalami udem dan hiperemis. Pada pemeriksaan foto
cervicothoracal baik posisi PA dan Lateral yang dilakukan sebelum
operasi, tidak terlihat bayangan benda asing (rotan) karena sifatnya
yang radiolusen.
Dilakukan laringoskopi direk dan ekstraksi benda asing menggunakan cunam/forceps lurus dengan anestesi neurolepsis, dengan pertimbangan bahwa benda asing tersebut dikhawatirkan dapat terlepas
dan masuk ke subglotik bahkan akibat insersi ETT apabila dilakukan
general anestesi, disamping itu anestesi neurolepsis membuat penderita masih memberikan respon terhadap nyeri dan dapat mengikuti
perintah, setelah penderita pulih dari neurolepsis, keluhan disfonia
sudah berkurang.
Sehari setelah tindakan ekstraksi, keluhan disfoni penderita sudah jauh berkurang tanpa adanya komplikasi, hal ini ditunjukkan
melalui evaluasi nasoendoskopi yang memperlihatkan bahwa plica
vocalis dapat bergerak dengan baik dan menutup rapat, meskipun
plica ventricularis masih sedikit udem dan hiperemis. Penderita dipulangkan pada hari kedua pasca operasi, dalam keadaan baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Merchant SN, Kirtane MV, Shah KL, Karnk PP. Foreign bodies in the bronchi (a 10 years review of 132 cases). Journal of Postgraduate Medicine
1984; 30(4):219-23 or Available at http://www.jpgmonline.com/article.
asp?issn=0022-3859;year=1984;volume=30;issue=4;spage=219;epage=23;
aulast=Merchant;type=0
2. Junizaf MH. Benda asing di saluran napas. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THTKL. Jakarta:FKUI, 2004.h.21331
3. Murray AD. Foreign bodies of airway. 2006. Available at http://emedicine.
medscape.com/article/872498-overview
4. Callender T. Laryngo-tracheo-bronchial foreign bodies, 1992. Available at
http://www.bcm.edu/oto/grand/2192.html
5. Giannoni CM. Foreign bodies aspiration. 1994. Available at http://www.bcm.
edu/oto/grand/31094.html
6. Stewart C. Foreign bodies of the airway: recognition and emergency management. 2002. Available at http://www.strosmith.netcom

Nasoendoskopi
Epiglottis
Arytenoid
Rima glottis
Plica vocalis
Plica ventricularis

: hiperemis (-); udem (-)


: hiperemis (-); udem (-), gerakan baik
: celah 3 mm
: hiperemis (-); udem (-); gerakan baik (-)
: hiperemis (+); udem (-)

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

case report

original article

Anik Widijanti*, Sri Sulistyandari**, Hani Susianti*, Siti Fatonah**

* Staff Medik Laboratorium Patologi Klinik RS Saiful Anwar/FK Unibraw Malang


** PPDS Laboratorium Patologi Klinik RS Saiful Anwar/FK Unibraw Malang

Abstrak. Seorang wanita 49 tahun mengalami muntah darah, rasa tidak enak diperut, mual, perut sebah dan membesar, asites
permagna dan penurunan berat badan. Retraksi mamma kiri sekitar puting susu dan pembesaran kelenjar limfe ketiak kiri
yang pada pemeriksaan patologi anatomi didiagnosis sebagai fibrosis menahun, mastocytosis kulit di abdomen (cutaneus
mastocytosis). Pemeriksaan radiologi menunjukkan lesi osteolisis tulang pada kosta 11 dan 12, klavikula, korpus vertebra,
dan pelvis. Kelainan laboratorium adalah peningkatan laju endap darah, globulin dan ureum darah, penurunan ringan albumin
darah. Pada endoskopi gastrointestinal penuh cairan sehingga tidak dapat dibiopsi.
Gambaran radiologi, patologi anatomi, laboratorium dan sumsum tulang menunjukkan tidak ada keganasan atau metastase
tulang maupun mieloma multipel. Dari data-data tersebut mengindikasikan bahwa pasien menderita systemic mastocytosis.

Pendahuluan
Mastocytosis adalah suatu penyakit heterogenus yang ditandai dengan
pertumbuhan abnormal dan akumulasi sel mast pada satu atau banyak
organ tubuh, seperti kulit, sumsum tulang, organ internal misalnya
hati, gastrointestinal, limfa dan kelenjar limfe.1-8 Mastocytosis merupakan kasus yang jarang terjadi, sekitar 80% adalah cutaneus mastocytosis,
biasanya pada anak di mana 80% terjadi pada usia kurang dari 6 bulan.
Pada orang dewasa biasanya terjadi pada usia dekade 3 atau 4, sedangkan systemic mastocytosis (SM) umumnya melibatkan banyak organ dan
terjadi pada usia dekade tiga. Ekstra cutaneus mastocytoma tanpa SM
dan tanpa lesi kulit, tumor sel mast unifokal dengan pertumbuhan nondestruktif dan low grade cytology, merupakan kasus yang sangat jarang
dan ini banyak terjadi pada paru.3,8
Gambaran klinik mastocytosis sangat bervariasi, dibagi menjadi sistemik atau lokal. Efek sistemik dari kelainan ini adalah pelepasan mediator sel mast ke dalam sirkulasi. Gejala klinik dari pelepasan mediator antara lain adalah anafilaksis, flushing, pruritus, hipotensi, syncope,
palpitasi, takikardia, dan urtikaria. Gejala gastrointestinal meliputi
mual, muntah, cramp abdominal, kembung dengan/atau tanpa diare.
Penyakit tukak peptik yang disebabkan sekresi asam lambung akibat
hiperhistamin dapat terjadi pada 50% penyakit SM. Malabsorbsi lebih
jarang terjadi, kalaupun ada biasanya ringan. Kelainan lokal biasanya
karena pengumpulan sel mast pada organ spesifik dan menyebabkan
disfungsi organ tersebut, jika berat dapat diikuti fibrosis dan kegagalan sumsum tulang dengan segala akibatnya.1 Kekambuhan dipicu
oleh berbagai rangsangan seperti panas, dingin, tekanan, alkohol dan
obat-obatan seperti opiat, antiinflamasi nonsteroid dan estrogen. Penderita yang penyakitnya agresif sering mengalami limfadenopati yang
tidak diketahui sebabnya, pembesaran lien atau hepar yang dapat juga

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

asimptomatik. Organ yang paling sering terkena SM adalah kulit, sumsum tulang, kelenjar limfe, lien, hati, dan gastrointestinal. Prognosis
mastocytosis tergantung pada luasnya penyakit dan hubungannya dengan kelainan hematologi.1
Klasifikasi mastocytosis menurut WHO yaitu: 1. cutaneus mastocytosis, 2. indolent systemic mastocytosis (ISM), 3. systemic mastocytosis with an
associated clonal hematologic nonmast cell lineage disease (SM-AHNMD), 4.
aggresive systemic mastocytosis (ASM), 5. mast cell leukemia (MCL), 6. mast
cell sarcoma (MCS), 7. extracutaneous mastocytoma.1,3,4,9
Diagnosis SM ditegakkan berdasarkan kriteria WHO, yaitu adanya
1 kriteria mayor dan 1 kriteria minor atau 3 kriteria minor.1,4,9 Kriteria
mayor adalah ditemukannya akumulasi sel mast multipel pada sumsum tulang atau jaringan lain selain kulit pada pemeriksaan biopsi.
Terdapat multifocal dense agregates (15 atau lebih sel mast) pada sections
tulang atau jaringan extracutaneus. Yang dapat juga dikonfirmasi dengan pengukuran enzim tryptase dengan pemeriksaan imunohistokimia
pada jaringan yang terkena. Sedangkan kriteria minor adalah sebagai
berikut:1,4,9
1. Pada biopsi sumsum tulang didapatkan sel mast lebih dari 25%
spindle shape (elongated) atau pada hapusan sumsum tulang lebih
dari 25% sel mast atipikal.
2. Deteksi mutasi Kit dari kodon 816 pada gen receptor. Dapat ditemukan pada darah tepi, sumsum tulang atau organ internal yang
lain.
3. Sel mast pada sumsum tulang, darah atau organ internal mengekspresikan CD 117 dengan CD2 atau CD25.
4. Total tryptase serum >20 ng/ml (tidak bisa dipakai pada penderita
SM yang berhubungan dengan penyakit clonal hematologic nonmast
cell lineage).

MEDICINUS
MEDICINUS

Abstract. A 49 year-old woman suffered hematemesis, abdominal discomfort, nausea, bloating, ascites permagna, and weight
loss. Also found retracted papilla mamma, left axilla limphadenopathy diagnosed as chronic fibrosis by anatomic pathologist,
and abdominal cutaneus mastocytosis. Radiology examinations show osteolytic bone lesions in 11th and 12th costae, both
clavicles, corpus vertebrae and pelvic. Laboratory examination presented increased erythrocyte sedimentation rate, blood
urea nitrogen, increased alfa-1, alfa-2 and gamma globulin, decreased in blood albumin. Endoscopic examinations presented
fluid accumulation in gastrointestinal tract, failed to gastrointestinal tract biopsy.
Laboratory examination, radiologic examination, abdomen ultrasonograph, and anatomy pathologic examination was excluded bone malignancy and/or metastatic, also multiple myeloma. These data highly indicated the diagnosis of systemic
mastocytosis.

61
17

Pada laporan kasus ini akan dibahas penderita yang mengindikasikan systemic mastocytosis, penegakkan diagnosisnya berdasarkan
kondisi klinis dan pemeriksaan penunjang terkait.

Gambar 3. Jaringan fibrosis berwarna coklat pada


kulit dinding perut

Kasus
Wanita 49 tahun berobat dengan keluhan perut tidak enak, membesar,
sebah, mual, muntah sejak 2 bulan, sudah berobat ke poliklinik rumah
sakit beberapa kali, diberi obat namun keluhan tetap ada. Dua minggu
sebelum masuk rumah sakit yang terakhir penderita mengeluh muntah darah berwarna merah kehitaman satu kali dan perut membesar
serta sebah dan mual. Penderita juga mengeluh berat badannya menurun akhir-akhir ini. Pemeriksaan fisik pada penderita didapatkan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi
84 kali/menit, frekuensi napas 38 kali/menit dan suhu tubuh 37,5C.
Pada pemeriksaan mata, konjungtiva tidak anemis, tidak ikterus, tidak
sianosis. Pemeriksaan leher tidak ada kelainan, pada dada didapatkan
pembesaran kelenjar ketiak kiri dengan fibrosis, mamma kiri terdapat
retraksi pada puting susu. Pemeriksaan fisik (auskultasi dan palpasi
serta perkusi) paru dan jantung dalam batas normal.

MEDICINUS

Thorax Foto PA
Trachea ditengah, Cor tidak
membesar
Pulmo tidak ada infiltrat
Kedua sinus phrenicus tajam
Tulang: tampak lesi osteolitik multipel merata di costae
11,12 dan ujung lateral klavikula kanan dan kiri
Kesimpulan:
Suspect malignancy
DD multiple myeloma

62

Gambar 1. Pembesaran kelenjar ketiak kiri dengan fibrosis

Hasil foto lumbosakral AP, lateral


dan pelvis AP:
Tampak lesi osteolisis multipel,
kecil-kecil, bulat, tersebar di korpus
vertebra, tulang pelvis dan costae
11,12. Alignment, pedicle, trabekulasi: baik, intervertebra space tidak
menyempit, sehingga disimpulkan
sebagai menyokong gambaran multiple myeloma.

Gambar 2. Retraksi pada papilla mammae kiri

Pemeriksaan abdomen didapatkan beberapa jaringan fibrosis kulit


dengan warna kecoklatan. Pemeriksaan hepar dan lien tidak teraba,
didapatkan juga asites, bising usus normal.

Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar hemoglobin


12.3 mg/dl, leukosit 7430 per cmm, trombosit 359.000 per cmm, laju
endap darah 110 mm/jam, retikulosit 0.79%, hematokrit 38.2%. Hitung jenis 1/1/0/82/10/6, dengan evaluasi hapusan darah eritrosit
normokrom normositer, leukosit kesan jumlah normal dengan limfosit

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

an kulit daerah fibrosis dan biopsi tulang. Dari usulan tersebut ternyata
baru dilakukan biopsi kulit dengan hasil sebagai berikut.
Hasil biopsi jaringan kulit di daerah abdomen didapatkan jaringan kulit fibrosis, epidermis utuh, di bagian dermis dan subkutis terdapat kelompok-kelompok longgar sel radang mononuklear, di antaranya terdapat sel
ukuran sedang-besar, inti di tepi dengan sitoplasma luar bergranula kemerahan. Sebagai kesimpulan nodul kulit abdomen yang dibiopsi adalah mastocytosis, diusulkan evaluasi hapusan darah dan sumsum tulang.

Penderita kemudian dirujuk ke rumah sakit Saiful Anwar untuk
perawatan lebih lanjut. Untuk menetapkan diagnosis pasti, direncanakan biopsi pada gastrointestinal dengan bantuan endoskopi, atau biopsi tulang dan aspirasi sumsum tulang. Waktu dilakukan endoskopi
pada gastrointestinal untuk mengambil jaringan biopsi, ternyata pengambilan biopsi gagal, di mana gaster penuh cairan (diduga akibat adanya fibrosis yang menyebabkan obstruksi gastrointestinal). Rencananya sesudah dilakukan dekompresi dan sesudah cairan gastrointestinal
dikeluarkan, akan dilakukan endoskopi ulang untuk mengambil biopsi
jaringan. Pemeriksaan yang sudah dilakukan adalah aspirasi sumsum
tulang dengan hasil normal. Sebelum dilakukan biopsi ulang saluran
gastrointestinal dengan endoskopi maupun biopsi tulang, ternyata
penderita sudah meninggal dunia, sehingga diagnosis ystemic mastocytosis secara pasti belum bisa ditegakkan, jadi masih suspek diagnosis
saja.

MEDICINUS

atipikal dan hipersegmentasi, trombosit dalam jumlah normal dengan


ditemukan trombosit besar. Pada pemeriksaan urinalisis didapatkan
urine warna kuning jernih, berat jenis 1.020, derajat keasaman 6.0, albuminuria negatif, reduksi negatif, urobilinuria negatif, bilirubinuria
negatif. Pada pemeriksaan sedimen didapatkan leukosit 4-6 per lapang
pandang besar, eritrosit 1-2 per lapang pandang besar, ditemukan epitel dan bakteri.
Pada pemeriksaan kimia klinik didapatkan kadar gula darah normal, ureum 76 mg/dl, kreatinin 0.94 mg/dl, asam urat 8.5 mg/dl,
protein total 7.34 g/dl, albumin 3.36 g/dl, globulin 4.18 g/dl, alkali
fosfatase 196 mU/ml, SGOT 26 U/L, SGPT 23 U/L, gamma glutamyl
transferase 14 U/L, bilirubin total 0.46 mg/dl, bilirubin direct 0.18 mg/
dl, bilirubin indirect 0.28 mg/dl, kalsium total 8.63 mg/dl. Pemeriksaan alfa feto protein 8.74 IU/ml. Pada analisa cairan asites didapatkan
cairan jernih berwarna kuning, dengan hitung eritrosit 250 per cmm,
leukosit 120 per cmm, sel polinuklear 4% dan sel mononuklear 96%,
protein 4230 mg/dl, glukosa 118 mg/dl, trigliserida 22 mg/dl, kolesterol 79 mg/dl, LDH 324 /L, tes rivalta positif.
Dari hasil pemeriksaan radiologi ditemukan lesi osteolitik pada tulang dan adanya peningkatan ringan kadar globulin darah, penurun-an
ringan kadar albumin darah, laju endap darah meningkat, maka dilakukan elektroforesis protein. Hasil elektroforesis protein menunjukkan
penurunan albumin dengan peningkatan alfa 1, alfa 2, dan gamma
globulin, sehingga menggambarkan suatu inflamasi menahun.

Gambar 3,4: Aspirasi sumsum tulang, normoselular dan tidak ditemukan mastosit

Pembahasan

Hasil USG abdomen didapatkan hepar tidak membesar, sudut tajam,


permukaan rata, intensitas echo tidak meningkat, homogen, tidak tampak
nodul, kista, kalsifikasi, sistem porta, vaskular tidak melebar. Gall Bladder
tidak membesar, dinding tidak menebal, tidak tampak nodul dan batu.
Lien maupun pankreas tidak membesar, permukaan rata, intensitas echo
tidak meningkat, homogen, tidak tampak nodul, kista, kalsifikasi. Ginjal
kanan dan kiri tidak membesar, tepi reguler, intensitas echo tidak meningkat, batas korteks dengan medula jelas, tidak nampak nodul, kista, batu, sinus renalis tidak melebar. Uterus tidak nampak nodul, anteversi centroposisi.
Cavum Douglas terisi cairan. Tampak cairan bebas dalam cavum abdomen
permagna, sehingga disimpulkan sebagai ascites permagna.
Hasil FNAB mammae kanan kiri dan aksila kiri didapatkan fragmen
jaringan fibrosis bercampur dengan kelompok jaringan lemak matur
dan sel radang mononuklear. Tidak didapatkan sel ganas, disimpulkan
sebagai fibrosis beradang menahun, diusulkan biopsi terbuka pada
kedua mammae.
Setelah pemeriksaan laboratorium, hasil konsultasi, melihat klinis
serta radiologis penderita, kami usulkan untuk dilakukan biopsi jaring-

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

Pada awalnya diagnosis pada pasien ini sangat membingungkan karena terdapat ketidaksesuaian antara gejala klinik, keluhan penderita
dengan hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, patologi
anatomi dan radiologi. Setelah dikonsultasikan ke bagian patologi
klinik maka dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan perhatian
khusus, hasilnya menunjukkan gambaran seperti di atas, jadi kemungkinan kesalahan pemeriksaan laboratorium dapat disingkirkan.
Penderita dengan klinis gambaran radiologi osteolitik tulang dengan laju endap darah meningkat, maka dicurigai mieloma multipel atau
keganasan mammae yang metastase ke tulang, lalu dilakukan elektroforesis protein dan juga diikuti aspirasi sumsum tulang. Elektroforesis
protein menunjukkan penurunan albumin, peningkatan alfa 1, alfa 2,
gamma globulin, sehingga menggambarkan suatu inflamasi menahun. Tidak menunjukkan adanya gammopati monoklonal, selain itu
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang juga normal, sehingga kemungkinan mieloma multipel dan metastase tulang dapat disingkirkan.
Kelainan tulang pada SM dapat berupa osteosklerosis maupun
osteoporosis, bahkan dapat juga sampai patah tulang, kelainan tulang
terjadi pada sekitar 10% SM. Sel mast melepaskan bahan vasoaktif seperti histamin yang akan merangsang osteoblas. Osteoporosis merupakan akibat sekunder dari pelepasan heparin dan prostaglandin D2
dari sel mast, yang akan menginduksi resorpsi tulang oleh osteoklas.
Pemeriksaan kelainan tulang dapat dilakukan dengan bone scan, magnetic resonance imaging (MRI), foto rontgen, penanda tulang.10-13 Pada
penderita ini terdapat gambaran lisis tulang pada kosta 11,12, clavicula
dan pelvis, gambarannya lebih ke osteoporosis.
Penderita mengalami muntah darah dengan asites, maka dicari
kemungkinan penyakit hati dan saluran empedu. Namun ternyata
hasil pemeriksaan laboratorium dan USG abdomen tidak mendukung
ke arah sana. Kelainan penderita berupa fibrosis di gastrointestinal,

63

MEDICINUS

64

yang dibuktikan dengan adanya muntah darah, asites, dan obstruksi


gastrointestinal. Obstruksi gastrointestinal dapat dilihat sewaktu endoskopi di mana lambung penuh cairan, sehingga gagal untuk melakukan biopsi jaringan guna pemeriksaan patologi anatomi. Hal ini sesuai
dengan kepustakaan di mana gejala gastrointestinal untuk SM meliputi mual, muntah, rasa penuh di perut, tukak lambung. Bahkan kelainan dapat juga menyebabkan sclerosing cholangitis. Tukak lambung
dapat terjadi pada lebih dari 50% kasus SM. Tukak lambung dapat terjadi karena pelepasan histamin oleh mastosit, selain histamin mastosit
juga melepaskan berbagai mediator seperti prostaglandin, leukotrien,
triptase, plasminogen aktivator jaringan, heparin, TNF- (tumor necrosing factor alfa). SM dapat juga terjadi malabsorbsi meskipun jarang,
terutama jika penyakit menjadi progresif.1,2,9 SM dapat terjadi fibrosis
hati, namun jarang sampai keseluruhan sel hati menjadi sirosis.3 Hal ini
sesuai dengan kasus kami di mana hanya terdapat sedikit kelainan faal
hati meskipun sudah terjadi asites permagna. Asites ini mungkin karena
fibrosis pada pembuluh darah vena porta (portal fibrosis) dan venopati
yang diikuti obstruksi vena akibat infiltrat sel mast.1 SM dapat juga
memberi manifestasi pada paru, ovarium dan organ lain, meskipun kasus pada paru dan ovarium merupakan kasus yang sangat jarang.3,15,16
Penderita mengalami pembesaran kelenjar limfe ketiak kiri dengan mammae kiri retraksi pada puting susu, gambaran osteolitik tulang,
maka dicurigai suatu karsinoma mammae yang sudah metastase, namun
ternyata hasil pemeriksaan FNAB menunjukkan fibrosis menahun, sehingga tidak mendukung sebagai karsinoma mammae, tetapi lebih mendukung ke arah mastositosis. Meskipun diusulkan untuk biopsi mammae
langsung dari potongan jaringan, tetapi belum sempat dilaksanakan.
Diagnosa SM menurut WHO harus memenuhi satu kriteria mayor
dan 1 kriteria minor atau 3 kriteria minor.1,4,9 Kriteria mayor adalah
pe-nemuan akumulasi sel mast multipel pada sumsum tulang atau jaringan lain selain kulit pada biopsi. Terdapat multifocal dense agregates
(15 atau lebih sel mast) pada sections tulang atau jaringan extracutaneus.
Yang dikonfirmasi pemeriksaan tryptase jaringan dengan imunohistokimia. Sedangkan kriteria minor adalah sebagai berikut:1,4,9,14
1. Pada biopsi sumsum tulang didapatkan sel mast lebih dari 25%
spindle shape (elongated) atau pada hapusan sumsum tulang lebih
dari 25% sel mast atipikal.
2. Deteksi mutasi Kit dari kodon 816 pada gen reseptor. Dapat ditemukan pada darah tepi, sumsum tulang atau organ internal yang lain.
3. Sel mast pada sumsum tulang, darah atau organ internal mengekspresikan CD 117 dengan CD2 atau CD25.
4. Total tryptase serum >20 ng/ml (tidak bisa dipakai pada penderita
dengan systemic mastocytosis yang berhubungan dengan penyakit
clonal hematologic nonmast cell lineage.
Terdapat juga kriteria diagnosis berdasar pada B atau C finding
yaitu:1,3
B findings:
1. Sumsum tulang menunjukkan infiltrasi sel mast lebih dari 30%
atau serum tryptase total lebih dari 200 ng/ml.
2. Gejala displasia/mieloproliferasi pada non-mast cell lineage tetapi tidak cukup untuk diagnosis neoplasma hematopoiesis sesuai kriteria
WHO.
3. Hematomegali tanpa kegagalan fungsi hati, atau splenomegali tanpa hipersplenisme atau limfadenopati.
C findings:
1. Disfungsi sumsum tulang dengan manifestasi sitopenia (ANC
kurang dari 1.0 cmm atau kadar hemoglobin kurang dari 10 g/dl
atau trombosit kurang dari 100.000 cmm) tetapi tidak ada non-mast
cell yang sesungguhnya.
2. Hepatomegali palpable dengan kegagalan fungsi hati, asites atau hipertensi portal.
3. Kelainan tulang dengan foci besar dari osteolisis atau patah tulang
patologis.
4. Splenomegali palpable dengan hipersplenisme.
5. Malabsorbsi dengan penurunan berat badan karena mastocytosis

gastrointestinal.
Pasien didiagnosis indolent SM jika tidak ada B atau C finding dan tidak
ada hubungan dengan kelainan clonal hematologi. Smoldering SM jika SM
dengan 2 atau lebih B finding tetapi tidak ada C finding. Aggressive SM jika
SM dengan 1 atau lebih C finding tetapi tidak ada hubungannya dengan
kelainan hematologi dan tidak ada mast cell leucaemia.1,3 Pada kasus ini
memenuhi 1 atau lebih C finding tetapi tidak ada kelainan hematologi.
Penderita terdapat fibrosis kelenjar limfe, kulit, osteolisis tulang, fibrosis gastrointestinal, muntah darah yang kemungkinan karena tukak
lambung dengan atau fibrosis gastrointestinal, fibrosis daerah portal
atau infiltrasi sel mast pada vena porta karena adanya asites permagna
dan kelainan faal hatinya sendiri ringan. Jadi kemungkinan terdapat
infiltrasi sel mast di berbagai organ kelenjar limfe, kulit, tulang, daerah
hati dan vena porta serta gastrointestinal, mengindikasikan suatu SM
meskipun yang sudah dibuktikan di kulit dan kemungkinan jaringan
limfe ketiak serta mammae.
Pada kelenjar di ketiak dan mammae kiri didapatkan gambaran
fibrosis menahun dengan infiltrasi sel mononuklear yang kemungkinan besar adalah sel mast, namun sayang pada waktu FNAB tidak
dilakukan pengecatan khusus untuk sel mast. Pada pembesaran kelenjar limfe biasanya terdapat infiltrat menyeluruh atau para kortikal. Ini
disebabkan karena hiperplasia dari germinal centers dan pembuluh darah, eosinofilia, plasmasitosis dan fibrosis.3 Pengecatan sel mast hanya
dilakukan sesudah permintaan khusus pada biopsi kulit. Biopsi tulang
dan endoskopi ulang untuk pengambilan jaringan dan pemeriksaan sel
mast di kedua tempat tersebut belum sempat dilakukan karena penderita meninggal dunia.
Pada tulang biasanya terjadi osteosklerosis, tetapi dapat juga kombinasi dengan lesi osteolisis,3 hal tersebut sesuai dengan kasus ini di
mana terdapat lisis tulang pada kosta 11,12, klavikula, korpus vertebra dan pelvis. Pada penderita tidak terdapat kelainan gambaran darah tepi dan ini sesuai dengan hasil aspirasi sumsum tulang di mana
sumsum tulang masih normal. Serum tryptase, deteksi mutasi, maupun
penanda resorpsi dan pembentukan tulang, MRI belum dilakukan,
karena alasan/keterbatasan tertentu.

Daftar Pustaka

1. Worobec AS, Metcalfe DD. Systemic mastocytosis. In: Greer JP, Foerster J,
Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, 11th eds. Wintrobes Clinical
Hematology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2004.p. 2285-2300
2. Marbello L, Anghilieri M, Nosari A, Minola E, Cairoli R, Ricci F, et al. Aggressive
systemic mastocytosis mimicking sclerosing cholangitis. Haematologia 2004;
89(10):e119-e123
3. WHO classification of tumours, tumours of haematopoietic and lymphoid tissues. IARC Press, 2001
4. Gould N. Diagnosis and classification of mastocytosis. 2006-2008 The Mastocytosis Society, Inc. Available from http://www.tmsforacure.org
5. Zettinig G, Becherer A, Szabo M, et al. FDG positron emission tomography in
patients with systemic mastocytosis. ARJ 2002; 179:1235-7
6. Metcalfe DD. The liver, spleen, and lymph nodes in mastocytosis. Mast Cell
Physiology Section, Laboratory of Clinical Investigation, National Institute of
Allergy and Infectious Diseases, National Institutes of Health, Bethesda, Maryland, USA. J Invest Dermatol 1991; 96:455-65
7. Pardanani A, Jin-Young Baek, Chin-Yang Li, Butterfield JH, Tefferi A. Systemic
mast cell dissease without associated hematologic disorder: a combined retrospective and prospective study. Mayo Clin Proc 2002; 77:1169-75
8. Viegas M, Horwitz M, Awan S, Chatoo M. Systemic mastocytosis diagnosed
following bone biopsy during total knee replacement: a case report. Journal
of Orthopedic Surgery 2005; 2(2). Available from http://www.ispub.com
9. Ray S. Final diagnosissystemic mastocytosis. Available from: http://path.
upcm.edu/cases/case409/dx.html
10. Yohansson C, Roupe G, Lindstedt, Mellstrom D. Bone density, bone markers
and bone radiological features in mastocytosis. Age and Ageing 1996; 25:1-7
11. Cook JV and Chandy J. Systemic mastocytosis affecting the skeleletal system.
The Journal of Bone and Joint Surgery 1989; 71-B:536
12. Deb A, Tefferi A. Systemic mastocytosis. N Eng J Med 2003; 349:7
13. Chen CC, Andrich MP, Mican JAM, Metcalfe DD. A retrospective analysis of
bone scan abnormalities in mastocytosis: correlation with disease category
and prognosis. The Journal of Nuclear Medicine 1994; 35:1471-4
14. Akin C. Molecular diagnosis of mast cell disorders. JMD 2006; 8(4):412-8
15. Avila NA, Worobec AS, Ling A, Hijazi Y, Metcalfe DD. Pulmonary and ovarian
manifestations of system in mastocytosis. ARJ 1996; 166:969-70
16. Schmidt M, Dercken C, Loke O, Reimann S, Diederich S, Blasius S, et al. Pulmonary manifestation of systemic mast cell disease. Eur Respir J 2000; 15:623-5

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

medical review

Olly Renaldi

Divisi Metabolik Endokrin Bagian Ilmu Penyakit Dalam


FK UGM/ RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Pendahuluan
Sindrom metabolik adalah kondisi yang dicirikan dengan obesitas
sentral, hipertensi, resistensi insulin dan dislipidemia aterogenik.
Sindrom ini merupakan gangguan mayor dan prevalensinya semakin meningkat di dunia berkembang. Dua faktor risiko utama
perkembangan sindrom metabolik terlepas dari faktor genetik
adalah kelebihan berat badan atau obesitas dan tidak adanya aktivitas.1
Obesitas adalah faktor risiko utama resistensi insulin, diabetes
melitus tipe 2, penyakit jantung, masalah ortopedik, dan banyak
penyakit kronik lainnya. Kejadian obesitas secara dramatis meningkat dan telah menjadi epidemik di dunia barat. Penyebab sindrom ini multifaktor. Faktor tersebut meliputi genetik, lingkungan,
sosial ekonomi, dan pengaruh kebiasaan kurang aktivitas. Hal ini
berkaitan dengan peningkatan terhadap morbiditas dan mortalitas.
Obesitas merupakan akibat dari gangguan keseimbangan energi
positif kronik. Keseimbangan ini diatur oleh hubungan yang kompleks antara jaringan endokrin dan sistim saraf pusat. Jaringan
lemak bertambah, sebagai organ endokrin aktif dengan aktivitas
metabolik tinggi.
Adiposit menghasilkan dan mensekresi beberapa protein yang
berperan sebagai hormon. Hormon tersebut bertanggung jawab
terhadap pengaturan asupan dan pengeluaran energi. Hormon
yang dikenal sebagai adiponektin, berperan penting dalam proses
radang, dan aterosklerotik. Adiponektin merupakan salah satu
dari banyak faktor spesifik jaringan adiposa. Adiponektin berperan memperbaiki sensitivitas insulin dan menghambat peradangan vaskuler. Adiponektin berhubungan terbalik dengan leptin.
Kadar adiponektin di dalam plasma secara bermakna menurun pada
subyek yang mengalami obesitas, resistensi insulin, dan pengidap
diabetes melitus tipe 2. Kadar hormon ini meningkat setelah penurunan berat badan. Dua penelitian kasus-kontrol terhadap Indian
Pima dan Kaukasia sehat menyimpulkan bahwa kadar adiponektin plasma yang rendah berhubungan dengan peningkatan risiko
diabetes melitus tipe 2.2-4 Hipoadiponektinemia berperan terhadap resistensi insulin dan mempercepat aterogenesis. Penurunan
kadarnya diyakini berperan dalam patogenesis penyakit kardiovaskuler yang berhubungan dengan obesitas dan komponen lain

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

dari sindrom metabolik.4,5 Penelitian terbaru juga menyimpulkan


peran adiponektin dalam regulasi aksi insulin, homeostasis energi,
obesitas dan resistensi insulin.

Pembahasan
A. Resistensi Insulin
Resistensi insulin dikenali sebagai kerusakan mendasar yang terjadi pada obesitas, sindrom metabolik dan diabetes melitus tipe 2.
Studi terbaru menunjukkan bahwa jaringan adiposa dan hormon
yang dihasilkan dari jaringan adiposa dan sitokin inflamasi berperan penting pada sensitivitas insulin in vitro. Disfungsi jaringan
adiposa dapat menyebabkan resistensi insulin sistemik.6
Telah diketahui bahwa resistensi insulin merupakan dasar abnormalitas primer yang memulai dan berkontribusi pada sebagian
besar gangguan metabolik dan gangguan lainnya yang terlihat
pada sindrom metabolik. Resistensi insulin dan sindrom metabolik juga ditemukan sebagai hasil lipotoksisitas di berbagai organ,
termasuk pankreas, otot skeletal dan miokardium. Terdapat bukti
yang mengatakan bahwa adiposit mensekresi dan atau mempengaruhi aksi beberapa sitokin, termasuk adiponektin, leptin, tissue
factor, angiotensinogen, lipoprotein lipase (LPL), IL-6, plasminogen
activator inhibitor factor 1 (PAI-1) dan lain-lain. Oleh karena itu, ada
kemungkinan bahwa peningkatan adiposit visceral (obesitas visceral) bertanggung jawab pada resistensi insulin melalui lipotoksisitas
dan dilepaskannya asam lemak bebas sirkulasi portal. Begitu juga
dengan aksi sejumlah sitokin yang dilepaskan atau yang dimodulasi oleh adiposit. Bukti lain menunjukkan terdapat peningkatan
stres oksidatif vaskular secara signifikan pada sindrom metabolik
dan sejumlah subjek dengan sindrom metabolik mengalami disfungsi endotel pada tahap awal proses tersebut. Sejumlah abnormalitas yang berkaitan dengan sindrom metabolik dengan sendirinya dapat menyebabkan reaksi inflamasi di tingkat vaskular. Hal
ini menimbulkan efek tidak langsung atau mungkin bahwa resistensi insulin dan sindrom metabolik sendiri merupakan hasil reaksi
inflamasi. Resistensi insulin memegang peranan penting pada sindrom metabolik.7

MEDICINUS

Abstrak. Adiposit menghasilkan dan mensekresi beberapa protein yang berperan sebagai hormon. Hormon yang dikenal
sebagai adiponektin, berperan penting dalam proses radang, dan aterosklerotik. Adiponektin merupakan salah satu dari
banyak faktor spesifik jaringan adiposa. Adiponektin berperan memperbaiki sensitivitas insulin dan menghambat peradangan
vaskuler. Kadar adiponektin di dalam plasma secara bermakna menurun pada subyek yang mengalami obesitas, resistensi
insulin, dan pengidap diabetes melitus tipe 2. Adiponektin berperan dalam memodulasi sensitivitas insulin dengan menstimulasi peningkatan penggunaan glukosa dan oksidasi asam lemak melalui posforilasi dan aktivasi AMPK di otot dan hati

65

digunakan untuk mendeteksi resistensi insulin secara klinis. Yang paling banyak dipakai dalam penelitian dengan pengukuran yang spesifik adalah cara klem euglikemik hiperinsulinemik. Cara kedua yang
kurang invasif adalah dengan metode frequently sampled intravenous
glucose tolerance test (FSIVGTT). Cara ketiga merupakan cara yang paling mudah secara klinis adalah pengukuran insulin puasa.9
Metode lain yang sering digunakan adalah metode homeostasis
model assesment (HOMA) yang menggunakan insulin puasa dan glukosa puasa dalam menetapkan resistensi insulin dan sekresi insulin.
Cara ini lebih sederhana, berdasarkan kadar glukosa dan insulin puasa, berkorelasi kuat dengan klem glukosa baik pada pengidap diabetes
melitus tipe 2 (r = 0,83) maupun non diabetes (r=0,92).10
Rumus HOMA untuk menentukan resistensi insulin adalah yang
berikut:
HOMA IR = Insulin puasa (U/ml) x glukosa puasa (mmol/l)
22,5
Rumus HOMA untuk menentukan fungsi sel :11
HOMA sel = 20 x insulin puasa (U/ml)
Glukosa puasa (mmol/l) -3,5

MEDICINUS

Batas nilai HOMA IR setelah divalidasi dengan metode klem euglikemik hiperinsulinemik pada orang normal tanpa gangguan metabolik dan tidak obesitas sebesar 2,77. Metode HOMA IR juga dapat
digunakan untuk penetapan resistensi insulin dalam skala besar atau
penelitian epidemiologik.10

66

Gambar 1. Patogenesis resistensi insulin dan toleransi glukosa.8

Mekanisme utama untuk terjadinya resistensi insulin belum


sepenuhnya diketahui tapi telah banyak dipelajari akhir-akhir ini.
Melihat jalurnya mulai dari sel sampai ambilan glukosa faktorfaktor yang berperan untuk terjadinya resistensi insulin adalah :
A.1. Perubahan pada pemecahan proinsulin
Di dalam sel pulau Langerhans proinsulin dibentuk sebagai
peptida rantai panjang. Sebelum insulin disekresikan, C-peptide
berhubungan dengan rantai-A dan rantai-B dari insulin, yang
terpisah dari proinsulin. Insulin dengan struktur yang terdiri
dari dua rantai peptida dihubungkan oleh jembatan sulfur. Saat
sekresi insulin distimulasi oleh peningkatan kadar gula darah,
insulin dan C-peptide disekresikan. Pada diabetes melitus tipe 2
selalu hanya satu dari dua tempat ikatan C-peptide yang lepas,
C-peptida yang tersisa berhubungan dengan rantai-A atau rantai-B. Produk yang terbentuk kurang efektif ikatannya dengan
reseptor insulin. Dibutuhkan peningkatan jumlah insulin untuk
mendapatkan efek yang sama dari insulin.8
A.2. Perubahan pada tempat ikatan insulin
Insulin berikatan dengan reseptor insulin yang menyebabkan peningkatan
transpor glukosa ke dalam sel. Pada
beberapa keadaan seperti pada acanthosis nigricans terdapat antibodi yang
menempati reseptor insulin sehingga
terjadi resistensi insulin.8
A.3. Perubahan pada reseptor insulin
Perubahan struktur dari reseptor insulin yang menginduksi resistensi
insulin sangat jarang. Pada beberapa
keadaan metabolik fosforilasi serin
meningkat, menyebabkan hambatan
atau penurunan fosforilasi tyrosine
dan mengurangi transfer pesan insulin
yang diekspresikan sebagai resistensi
insulin.8

Banyak sekali variasi prosedur yang

B. Adiponektin
Adiponektin merupakan produk gen adiposa yang sebagian besar
merupakan gen transkripsi 1 (ap M1) yang secara khusus dan diekspresikan secara berlebihan oleh jaringan adiposa putih, yang terdiri
dari 244 protein asam amino dengan struktur kolagen VIII, X dan komplemen C1q. Protein ini dapat diidentifikasi kedalam tiga kelompok
melalui pendekatan yang berbeda, dikenal sebagai gelatin-binding protein (GBP28), adipocyte complement-related protein 30 kDa (Acrp30) atau
AdipoQ pada tikus.12
Sirkulasi adiponektin dalam darah berupa low molecular weight
(LMW) dan high molecular weight (HMW), full length protein dan globular C terminal domain. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa
adiponektin HMW berpartisipasi aktif dalam perbaikan sensitivitas
insulin dalam metabolisme lipid dan glukosa, sebagai globular domain
adiponektin terlibat dalam stimulasi oksidasi asam lemak bebas otot
skelet. Mutasi residu glisin yang jarang dalam collagenous domain gen
adiponektin dan kekurangan sekresi adiponektin HMW berhubungan
dengan risiko mengalami diabetes melitus tipe 2.13-16
Terdapat 2 reseptor adiponektin yaitu AdipoR1 yang diekspresikan
di otot skeletal, memiliki afinitas yang tinggi terhadap adiponektin
globular dan afinitas yang rendah terhadap adiponektin full length. AdipoR2 diekspresikan di hati dan memiliki afinitas
yang sedang terhadap ke 2 bentuk adiponektin. Kerja adiponektin terhadap metabolisme glukosa dimediasi oleh stimulasi AMP activated kinase (AMPK), yang akan
meningkatkan oksidasi asam lemak bebas
dan ambilan glukosa. Kadar adiponektin yang rendah pada penderita obesitas
dan diabetes, mungkin karena kegagalan
respon perifer terhadap adiponektin. Penurunan AdipoR1 dan AdipoR2 pada otot
skelet tikus, berhubungan dengan penurunan ikatan adiponektin globular dan
penurunan aktivasi AMPK.13,16,17
Kadar adiponektin plasma ditemukan
19
menurun pada penderita diabetes dibandingkan penderita nondiabetes. Kadar

Pemberian adiponektin pada


percobaan binatang dapat
meningkatkan oksidasi asam
lemak, menurunkan penyimpanan trigliserida dalam hati
dan otot, menurunkan kadar
trigliserida serum dan kadar
asam lemak bebas serta memperbaiki hiperglikemia.

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

B.1. Mekanisme Kerja Adiponektin


B.1.a. Terhadap Metabolisme Lemak dan Karbohidrat
Di samping memiliki pengaruh terhadap metabolisme glukosa
dan sensitivitas insulin, adiponektin dapat memodulasi kadar
lipid dalam plasma. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa
adanya korelasi negatif antara adiponektin dengan trigliserida
dan small dense LDL (sdLDL) dan memiliki korelasi positif dengan
kolesterol HDL (HDL-C). Adiponektin juga mengatur metabolisme lipoprotein kaya trigliserida. Adiponektin meningkatkan
oksidasi asam lemak dalam sirkulasi dan di otot skelet melalui
aktivasi AMP kinase, sehingga pada kadar adiponektin yang rendah akan terjadi akumulasi trigliserida.22
Adiponektin globular dan adiponektin yang utuh akan menstimulasi fosforilasi dan aktivasi AMPK di otot skelet, sementara
adiponektin yang utuh melakukannya di hati. Selain mengaktivasi AMPK, adiponektin menstimulasi fosforilasi Acetyl Coenzyme
Carboxylase (ACC), pembakaran asam lemak, ambilan glukosa,
produksi laktat di miosit dan juga menstimulasi fosforilasi ACC
serta menyebabkan reduksi molekul-molekul yang terlibat dalam
proses glukoneogenesis di hati. Stimulasi pemakaian glukosa dan
pembakaran asam lemak oleh adiponektin terjadi melalui aktivasi
AMPK.23
Domain globular adiponektin akan meningkatkan oksidasi
asam lemak di otot dan transpor glukosa melalui aktivasi AMPK

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

dan inhibisi ACC. Proses aktivasi AMPK ini juga ikut terlibat
dalam proses ambilan glukosa yang distimulasi oleh domain globular adiponektin pada adiposit primer pada tikus percobaan.23

Gambar 2. Aktivasi adiponektin terhadap AMPK dan PPAR di dalam hati dan
otot skelet. Adiponektin globular dan bentuk utuh akan mengaktivasi AMPK,
kemudian menstimulasi fosforilasi ACC, oksidasi asam lemak dan ambilan glukosa. Adiponektin juga mengaktivasi PPAR, menstimulasi oksidasi asam lemak dan menurunkan kandungan trigliserida di otot. Di dalam hati, adiponektin bentuk utuh mengaktivasi AMPK, mereduksi molekul-molekul yang terlibat
dalam proses glukoneogenesis dan meningkatkan fosforilasi ACC serta oksidasi asam lemak. Adiponektin juga mengaktivasi PPAR, menstimulasi oksidasi
asam lemak dan menurunkan kadar trigliserida dalam hati. Hal ini menyebabkan peningkatan sensitivitas insulin.23

Pengaruh adiponektin pada metabolisme trigliserida adalah dengan melibatkan perubahan intrinsik pada metabolisme lemak di otot
skelet dan berpengaruh terhadap aktivitas lipoprotein lipase di
otot skelet dan adiposit. Adiponektin dapat menurunkan akumulasi trigliserida di otot skelet dengan meningkatkan oksidasi asam
lemak melalui aktivasi acetyl coA oxidase, Carnitine Palmytoyl Transferase-1 (CPT-1) dan AMP kinase. Adiponektin juga dapat menstimulasi Lipoprotein Lipase (LPL), yang merupakan enzim lipolitik
yang dapat mengkatabolis VLDL melalui peningkatan ekspresi
Peroxisome Proliferators Activator Receptor (PPAR) di hati dan
adiposit. Pada tingkat hepatik, adiponektin dapat menurunkan
suplai Non Esterified Fatty Acid (NEFA) ke hati pada proses glukoneogenesis, sehingga terjadi penurunan sintesis trigliserida. Kadar
adiponektin yang rendah dan dislipidemia pada penderita diabetes
melitus tipe 2 berhubungan dengan kadar LPL.22, 24
Efek adiponektin berpengaruh terhadap pengaturan aktivitas lipase hepatik pada penderita diabetes melitus tipe 2. Efek
adiponektin pada aktivitas lipase hepatik inilah yang menjelaskan
kerja adiponektin dalam meningkatkan kadar kolesterol HDL.25
Familial Combined Hyperlipidemia (FCH) merupakan hiperlipidemia genetik yang paling banyak dijumpai pada manusia. Sekitar 20% penderita penyakit kardiovaskuler berhubungan dengan
FCH. Pada FCH ditandai dengan peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida dan atau apolipoprotein B (apoB). Fenotip lain FCH
menunjukkan adanya penurunan kadar HDL kolesterol, yang berhubungan dengan obesitas dan resistensi insulin.26
B.1.b. Terhadap Sensitivitas Insulin
Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa adiponektin berfungsi sebagai insulin sensitizer dengan menurunkan kadar glukosa hepatik. Kadar adiponektin berkorelasi dengan basal dan
penekanan produksi glukosa endogen oleh insulin. Pada hipoadi-

MEDICINUS

adiponektin juga mengalami penurunan pada subyek obesitas nondiabetes. Kadar adiponektin yang rendah merupakan faktor risiko independen menjadi diabetes melitus tipe 2. Kadar adiponektin yang rendah ini ditemukan sebelum manifestasi diabetes melitus tipe 2 terjadi.
Ekspresi reseptor adiponektin di otot pada penderita diabetes
melitus tipe 2 tidak mengalami perubahan, tetapi terjadi gangguan oksidasi asam lemak bebas yang disebabkan adanya
kerusakan pada AMPK downstream signalling yang dapat menurunkan sensitivitas adiponektin. Penurunan ekspresi AdipoR1
disebabkan akibat kegagalan respon adiponektin globular.16,18
Pemberian adiponektin pada hewan coba dapat meningkatkan oksidasi asam lemak, menurunkan penyimpanan
trigliserida dalam hati dan otot, menurunkan kadar trigliserida serum dan kadar asam lemak bebas serta memperbaiki
hiperglikemia.19 Pengobatan dengan PPAR agonis reseptor
seperti thiazolidinedione dapat meningkatkan sirkulasi kadar
adiponektin pada pengidap diabetes melitus tipe 2 dan khususnya bentuk high molecular weight, yang berhubungan dengan penekanan produksi glukosa hati dan memperbaiki sensitivitas insulin. Penurunan berat badan akan meningkatkan
kadar adiponektin HMW. Pemberian thiazolidinedione juga
dapat menurunkan lipid intramyoseluler pada tikus diabetes
obesitas. Thiazolidinedione juga meregulasi oksidasi asam lemak
bebas di jaringan adiposit (bukan di otot skelet) penderita diabetes melitus tipe 2. Polimorfisme adiponektin dipengaruhi oleh kadar
adiponektin dan respon glikemik pada penderita diabetes melitus tipe
2. Single nucloeotide polymorphism (SNP) gen adiponektin berhubungan
dengan beberapa penderita diabetes melitus tipe 2. Penelitian sebelumnya menunjukkan SNP45 dan SNP276 berhubungan dengan penderita
diabetes melitus tipe 2 di Jepang.13,16,20,21
Adiponektin akan terakumulasi pada dinding pembuluh darah
yang luka dan kadarnya bergantung pada besarnya hambatan TNF
pada sel endotelial aorta dan penurunan produksi TNF di dalam
makrofag, adiponektin diperkirakan memiliki efek anti aterogenik dan
anti inflamasi. Kadar plasma adiponektin ditemukan menurun pada
subyek obesitas, penderita non-insulin-dependent diabetes mellitus, resistensi insulin, dislipidemia dan penyakit kardiovaskular.12
Ekspresi adiponektin yang rendah disebabkan oleh TNF dan glukokortikoid yang kadarnya meningkat pada subyek obesitas dan diabetes melitus tipe 2. Ekspresi adiponektin yang berlebihan ditemukan
pada subyek dengan sensitivitas insulin yang meningkat.13

67

ponektinemia menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Kadar


adiponektin yang rendah pada pengidap yang mengalami resistensi insulin, terlepas apakah termasuk kategori obesitas atau tidak.
Temuan ini menunjukkan bahwa hipoadiponektinemia memberikan kontribusi secara langsung terhadap perubahan pengaturan
homeostasis glukosa dan penurunan sensitivitas insulin hepatik
pada pengidap diabetes.27
Sel yang memiliki kadar peroxisome proliferator activated receptor
(PPAR) tertinggi adalah adiposit, sehingga adiposit merupakan sel
kandidat yang baik dalam pencarian mediator untuk kerja agonis
PPAR. Adiponektin adalah protein yang disekresikan secara spesifik oleh adiposit. Kadarnya akan meningkat sebagai respon terhadap adanya paparan agonis PPAR sehingga kadar adiponektin
dalam serum akan meningkat secara signifikan.28

Hipertrigliseridemia merupakan
ciri klinis utama dari sindrom
resistensi insulin dan seringkali
disertai peningkatan kadar
Plasminogen Activator Inhibition 1 (PAI-1) plasma. Hipertrigliseridemia merupakan bagian pada
proses perkembangan aterosklerosis
bersama-sama dengan disregulasi
protein yang berasal dari adiposit
seperti peningkatan PAI-1 dan
hipoadiponektinemia.30

MEDICINUS

kerusakan vaskular aterosklerotik.30


Hipertrigliseridemia merupakan ciri klinis utama dari sindrom
resistensi insulin dan seringkali disertai peningkatan kadar Plasminogen Activator Inhibition 1 (PAI-1) plasma. Hipertrigliseridemia
merupakan bagian pada proses perkembangan aterosklerosis bersama-sama dengan disregulasi protein yang berasal dari adiposit
seperti peningkatan PAI-1 dan hipoadiponektinemia.30 Peningkatan kadar adiponektin berkaitan dengan kontrol glikemik dan
profil lipid yang baik serta mengurangi inflamasi pada penderita
diabetes.31

68

Gambar 3. Mekanisme kerja adiponektin. Dalam otot skelet, adiponektin meningkatkan fosforilasi reseptor insulin, sehingga dapat meningkatkan sensitivitas insulin. Efek ini juga dapat meningkatkan oksidasi asam lemak melalui
aktivasi 5 AMP Kinase. Penurunan asam lemak bebas di dalam hati dan peningkatan oksidasi asam lemak menyebabkan penurunan keluaran glukosa hepatik
dan sintesis trigliserida VLDL. Pada endotel vaskular, adiponektin menurunkan
adesi monosit terhadap endotel, menekan pembentukan sel busa oleh makrofag dan menghambat proliferasi dan migrasi sel otot polos.29

B.2. Adiponektin dan Diabetes melitus tipe 2


Pada penderita diabetes melitus tipe 2 terjadi penurunan kadar adiponektin yang bermakna dalam plasma. Meskipun kadar adiponektin dalam plasma berkorelasi negatif dengan Indeks Massa Tubuh
(IMT). Penderita diabetes memiliki kadar adiponektin plasma yang
lebih rendah dibandingkan dengan non diabetes, terlepas adanya
faktor IMT. Insulin mengatur pengeluaran berbagai macam protein
dari jaringan adiposa. Peningkatan insulin plasma pada penderita
diabetes ini bertanggung jawab terhadap penurunan konsentrasi
adiponektin plasma. Resistensi insulin kronik pada penderita diabetes melitus tipe 2 bisa berkaitan dengan penurunan adiponektin
dalam plasma. Produksi TNF yang berlebihan oleh jaringan adiposa menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Penurunan kadar
adiponektin plasma berperan kausatif terhadap perkembangan resistensi insulin.30
Pada penelitian sebelumnya kadar adiponektin plasma ditemukan lebih rendah pada penderita diabetes dengan penyakit arteri
koroner. Penelitian ini menunjukkan bahwa adiponektin memiliki
sifat anti-aterogenik yang memegang peranan pada perkembangan

C. Peran Adiponektin terhadap Resistensi Insulin


C.1. Efek Farmakologis Adiponektin pada Resistensi Insulin
Adanya bukti klinis yang menunjukkan hubungan penurunan kadar adiponektin dengan obesitas dan resistensi insulin. Hal ini mendorong para klinisi melakukan percobaan pemberian adiponektin
pada tikus guna melihat efek penurunan berat badan, penurunan
kadar glukosa, penurunan kadar asam lemak bebas dan trigliserida. Tikus tersebut mengkonsumsi lemak atau sukrosa yang tinggi.
Pemberian rekombinan adiponektin dapat mengurangi kadar glukosa serum pada tikus tanpa disertai stimulasi sekresi insulin dan
peningkatan insulin untuk menekan produksi glukosa. Adiponektin juga menstimulasi 5 AMP activated protein kinase di dalam otot
dan hati. Aksi kerja adiponektin pada metabolisme glukosa dimediasi oleh peningkatan 5 AMP activated protein kinase yang akan
oksidasi asam lemak dan ambilan glukosa.19,32
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa ekspresi mRNA
adiponektin adiposa dan kadar adiponektin plasma menurun pada
tikus dan monyet yang gemuk. Kadar adiponektin yang rendah
ini didahului oleh penurunan sensitivitas insulin dan berkembang
menjadi diabetes melitus tipe 2.32
C.2. Hubungan Adiponektinemia dengan Resistensi Insulin
Kadar adiponektin berhubungan negatif dengan indeks massa tubuh. Hubungan negatif ini lebih kuat pada adiposit visceral dibandingkan adiposit subkutan. Mekanisme ini mungkin berhubungan
dengan sekresi TNF jaringan adiposa visceral yang berlebihan yang
menghambat aktivitas adiponektin dan menyebabkan berkurangnya produksi adiponektin. Kadar adiponektin yang rendah juga
terjadi pada penderita dengan resistensi insulin, toleransi glukosa
terganggu, diabetes melitus tipe 2, hipertensi dan dislipidemia. Pen-

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

C.3. Mekanisme Adiponektin terhadap Peningkatan Sensitivitas Insulin


Terdapat perbaikan resistensi insulin setelah pemberian adiponektin. Hal ini ditunjukkan dengan dengan hambatan formasi plak

Penurunan kadar
adiponektin dalam plasma
(hipoadiponektinemia)
berkaitan dengan peningkatan
Indeks Massa Tubuh (IMT),
penurunan sensitivitas insulin,
profil lemak dalam plasma yang
aterogenik, peningkatan kadar
penanda inflamasi, dan
peningkatan risiko untuk
penyakit kardiovaskular. Oleh
karena itu, kadar adiponektin
dapat digunakan sebagai suatu
indikator yang menjanjikan
untuk sindrom metabolik.27

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

aorta pada tikus yang mengalami defisiensi apolipoprotein E setelah 2 minggu pemberian injeksi adiponektin. Adiponektin adalah
mediator terjadinya resistensi insulin dan aterosklerosis.33
Mekanisme adiponektin memperbaiki sensitivitas insulin
sangatlah kompleks. Data penelitian menunjukkan, pada binatang penurunan resistensi insulin oleh adiponektin disebabkan asam lemak bebas dan perubahan kandungan trigliserida
otot. Tikus yang mendapat injeksi adiponektin menghasilkan
penurunan kadar asam lemak bebas melalui peningkatan oksidasi asam lemak bebas dalam sel otot. Adiponektin juga menurunkan kadar trigliserida hati dan otot melalui peningkatan
ekspresi gen peroxisome proliferator activated receptor (PPAR)
dan . Peningkatan kadar trigliserida mempengaruhi aktivasi
stimulasi insulin terhadap phosphatidylinositol 3 kinase dan
translokasi glucosa transporter protein 4 (GLUT 4) dan ambilan
glukosa, yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin, sehingga terjadi penurunan kadar asam lemak bebas dan trigliserida jaringan. Dalam hal ini adiponektin akan memperbaiki
sensitivitas insulin. Adiponektin juga meningkatkan stimulasi
molekul tyrosine phosphorylation of signaling, reseptor insulin, insulin receptor substrate 1 dan aktin otot skelet.22
Adiposit merupakan organ endokrin yang aktif mensekresi
asam lemak bebas dan menghasilkan sitokin dan hormon diantaranya TNF, interleukin, plasminogen activator inhibitor type
1, leptin, adiponektin dan resistin. Adiposit memegang peranan
penting dalam pengaturan nafsu makan, pelepasan energi, resistensi insulin dan proses aterogenik. Adiponektin bersifat sebagai insulin sensitizing dan antiaterogenik.33
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa adiponektin memegang peranan penting pada subyek obesitas yang mengalami resistensi insulin. Kadar adiponektin berhubungan dengan
sensitivitas insulin. Percobaan pemberian adiponektin globular
pada tikus memperbaiki sensitivitas terhadap insulin, penurunan asam lemak bebas dan trigliserida di otot dan hati serta
menyebabkan penurunan berat badan.33
Adiponektin globular dan full length meningkatkan fosforilasi AMP activated kinase, merupakan enzim yang memegang
peranan terhadap insulin sensitizing dan penurunan kadar glukosa. Adiponektin dapat meningkatkan aktivitas peroxisome
proliferator activated receptor , sehingga menurunkan produksi
glukosa hati, meningkatkan ambilan glukosa dan oksidasi asam
lemak bebas di otot.34

Gambar 4. Peranan reseptor adiponektin34

MEDICINUS

derita diabetes dengan makroangiopati memiliki kadar adiponektin


yang rendah dan ditemukan lebih rendah pada populasi Pima Indians dengan prevalensi obesitas dan diabetes melitus tipe 2. Kadar
adiponektin yang rendah juga berhubungan dengan penyakit jantung koroner dan infark miokard.22
Penelitian pada binatang roden menghasilkan hipotesis bahwa
adiponektin memiliki fungsi sebagai insulin sensitizer dengan menurunkan glukosa hepar dan memiliki peranan pada pengaturan
homeostasis glukosa. Data ini didukung oleh penelitian pada manusia bahwa kadar adiponektin berhubungan dengan penekanan
produksi glukosa. Hipoadiponektinemia berhubungan dengan resistensi insulin seperti yang telah terbukti pada diabetes gestasional,
lipodistropi diabetes dan pada diabetes melitus tipe 2. Kadar adiponektin yang rendah ditemukan pada orang obesitas. Temuan ini
menunjukkan bahwa hipoadiponektinemia menimbulkan perubahan pada regulasi homeostasis glukosa dan penurunan sensitivitas
insulin pada penderita diabetes.27
Pada studi genetik penderita diabetes dengan kadar adiponektin
yang rendah dan mengalami resistensi insulin telah dianalisis oleh
Trujillo dan Scherer (2005), ditemukannya lokus pada kromosom
3 (3q27, gen kode pada adiponektin) sebagai lokus pada penderita
diabetes dan sindrom metabolik. Sehingga kadar adiponektin yang
rendah merupakan prediktor diabetes melitus tipe 2.27
Studi lain menunjukkan bahwa adiponektin dapat memodulasi
sensitivitas insulin dengan menstimulasi peningkatan penggunaan
glukosa dan oksidasi asam lemak melalui fosforilasi dan aktivasi
AMPK di otot dan hati.33
Penurunan kadar plasma adiponektin pada obesitas visceral
menyebabkan peningkatan produksi TNF, yang menimbulkan hambatan aktivasi adiponektin dan menurunkan kadar adiponektin.33

69

MEDICINUS

70

Sekresi adiponektin menurun pada subyek obesitas. Kadar yang


rendah ini berhubungan dengan resistensi insulin dan berkembang
menjadi diabetes. Sekresi adiponektin yang menurun disebabkan
oleh adipositokin pro inflamatori seperti IL-6.35
Kadar adiponektin plasma menurun secara bermakna pada
subjek diabetes dengan penyakit arteri koroner (CAD). Berbeda
dengan ini, kadar plasma leptin tidak berbeda pada subjek diabetes dengan dan tanpa CAD.30 Penurunan kadar adiponektin dalam
plasma (hipoadiponektinemia) berkaitan dengan peningkatan
Indeks Massa Tubuh (IMT), penurunan sensitivitas insulin, profil
lemak dalam plasma yang aterogenik, peningkatan kadar penanda
inflamasi, dan peningkatan risiko untuk penyakit kardiovaskular.
Oleh karena itu, kadar adiponektin dapat digunakan sebagai suatu
indikator yang menjanjikan untuk sindrom metabolik.27
Konsentrasi adiponektin plasma berkolerasi negatif dengan kadar insulin puasa dalam plasma. Profil kadar adiponektin plasma
harian menyatakan bahwa kadar adiponektin tidak terpengaruh
oleh asupan makanan, berbeda dengan peningkatan kadar insulin
plasma.30 Adiponektin memiliki sifat antiaterogenik yang potensial, sehingga penurunan adiponektin plasma pada subjek diabetes
dapat memainkan peran pada perkembangan kerusakan vaskular
aterosklerotik.
Kadar adiponektin plasma berkolerasi secara bebas dengan kadar trigliserida melalui analisis regresi ganda. Hipertrigliseridemia
merupakan satu ciri klinis utama dari sindrom resistensi insulin
dan seringkali disertai dengan peningkatan kadar PAI-1 plasma.
Hipertrigliseridemia dapat mengambil bagian pada perkembangan
aterosklerosis bersama-sama dengan disregulasi protein-protein
yang berasal dari adiposit, seperti peningkatan PAI-1 dan hipoadiponektinemia.30

Kesimpulan
Adiponektin berperan dalam memodulasi sensitivitas insulin dengan
menstimulasi peningkatan penggunaan glukosa dan oksidasi asam lemak melalui fosforilasi dan aktivasi AMPK di otot dan hati.

Daftar Pustaka

1. Martin B, Watkins III JB, Ramsey JW. Evaluating metabolic syndrome in a medical
physiology laboratory. Adv Physiolo Educ 2004; 28:195-8
2. Alice SR, Dora MB, Barbara JN, Madhur S, Ronald LG, Grady SM, et al. Plasma adiponectin and leptin levels, body compositions and glucose utilization in adult
women with wide ranges of age and obesity. Diabetes Care 2003; 26:2383-8
3. Roberto B, Sabrina A, Claudia D, Maria GF, Giovanni P, Riccardo V and Lucia
F. Adiponectin Relationship with Lipid Metabolism Is Independent of Body Fat
Mass: Evidence from Both Cross-Sectional and Intervention Studies. J Clin Endocrinol Metab. 2004; 89(6):2665-71
4. Vendrell J, Broch M, Vilarrasa N, Molina A, Gmez JM , Gutirrez C, et al. Resistin, adiponectin, ghrelin, leptin, and proinflammatory cytokines: relationships
in obesity. Obes Res. 2004; 12:962-71
5. Wasim H, Al-Daghri NM, Chetty R, Mc Teran PG, Barnett AH, Kumar S. Relationship of serum adiponectin and resistin to glucose intolerance and fat topography in South Asians. Cardiovascular Diabetology 2006; 5:10
6. Ruan H and Lodish HF. Regulation of insulin sensitifity by adipose tissue derived hormones and inflammatory cytokines. Cur Opion Lipidol. 2004; 15: 297302
7. Kern PA, Gina B Di G, Tong Lu, Rassouli N, and Ranganathan G. Adiponectin
expression from human adipose tissue: relation to obesity, insulin resistance,
and tumor necrosis factor- expression. Diabetes 2003; 52:1779-85
8. Krans HM. Insulin resistance and metabolic syndrome. In: Adi S, Tjokroprawiro A, Hendromartono, Sutjahjo A, Pranoto A, Murtiwi S, Wibisono, ed.
Naskah Lengkap The Mets-The 3rd Stage of Obesity:Prevention and Treatment.
Surabaya:Perkeni, 2007.p.126-134
9. Cefalu WT. Insulin resistance: cellular and clinical concepts. EBM 2001; 266:1326

10. Bonora E, Targher G, Alberiche M. Homeostasis model assessment closely mirrors the glucose clamp technique in the assessment of insulin sensitivity. Studies in subjects with various degrees of glucose tolerance and insulin sensitivity.
Diabetes Care 2000; 23:57-63
11. Mattew DR, Hosker JP, Rudenski AS, Naylor BA. Homeostasis model assessment: insulin resistance and -cell function from fasting plasma glukose and
insulin concentration in man. Diabetologia 1985; 28:412-9
12. Matsubara M, Maruoka S, and Katayose S. Inverse relationship between plasma
adiponectin and leptin concentrations in normal weight and obese women. Eur
J Endocrinology 2002; 147:17380
13. Dyck DJ, Heigenhauser GJF, and Bruce CR. The role of adipokines as regulators
of skeletal muscle fatty acid metabolism and insulin sensitivity. Acta Physiol;
2006; 186:5-16
14. Fisher FFM, Trujillo ME, Hanif W. Serum high Molecular Weight Complex of Adiponectin Correlates Better With Glucose Tolerance than Total Serum Adiponectin in Indo-Asian Males. Diabetologia 2005; 48:10847
15. Peake PW, Kriketos AD, Campbell LV, Shen Y, and Charlesworth JA. The metabolism of isoforms of human adiponectin: studies in human subjects and in
experimental animals. Eur J Endocrinol 2005; 153:40917
16. Rattarasarn C. Physiological and pathophysiological regulation of regional adipose tissue in the development of insulin resistance and type 2 diabetes. Acta
Physiol. 2006; 186:8710
17. Vettor R, Milan G, Rossato M and Federspil G. Adipocytokines and insulin resistance. Aliment Pharmacol Ther 2005; 22(2):3-10
18. Arner P. Insulin resistance in type 2 diabetes role of the adipokines. Current
Molecular Medicine 2005; 5:333-9
19. Yamauchi T, Komon J, Waki H. The fat derived hormone adiponectin reverses
insulin resistance associated with both lipoatrophy and obesity. Nat Med 2001;
7: 9416
20. Boden G, Homko C, Mozzoli M, Showe LC, Nichols C and Cheung P. Thiazolidinediones upregulate fatty acid uptake and oxidation in adipose tissue of diabetic
patients. Diabetes 2005; 54: 8805
21. Hara K, Boutin P, Mori Y. Genetic variation in the gene encoding adiponectin is
associated with an increased risk of type 2 diabetes in the Japanese population.
Diabetes 2002; 51:53640
22. Chan DC, Watts GF, Uchida Y, Sakai N, Yamashita S. Adiponectin and other
adipocytokines as predictors of markers of triglyseride rich lipoprotein metabolism. Clin Chem 2005; 51: 578-85
23. Kadowaki T and Yamauchi T. Adiponectin and adiponectin receptors. Endocr
Rev 2005; 26:439-51
24. Eynatten VM, Schneider JG, Humpert PM, Rudofsky G, Schmidt N, Barosch P.
Decreased plasma lipoprotein lipase in hypoadiponectinemia. Diabetes Care
2004; 27:2925-9
25. Schneider JG, Eynatten VM, Schiekofer S, Nawroth PP, Dugi KA. Low plasma
adiponectin levels are associated with increased hepatic lipase activity in vivo.
Diabetes Care 2005; 28: 2181-6
26. van der Vleuten GM, van Tits LJH, den Heijer M, Lemmers H, Stalenhoef AFH,
and de Graaf J. Decreased adiponectin levels in familial combined hyperlipidemia patients contribute to the atherogenic lipid profile. J Lipid Res 2005; 46:
2398-404
27. Trujillo ME, Scherer PE. Adiponectin - journey from an adipocyte secretory protein to bio marker of the metabotic syndrome. J Intern Med 2005; 257:167-75
28. Bouskila M, Pajvani UB and Scherer PE. Adiponectin: a relevant player in PPAR
agonist mediated improvements in hepatic insulin sensitivity? Int J Obesity
2005; 29:S17-S23
29. Chandran M, Philips SA, Ciaraldi T, Henry RR. Adiponectin: more than just another fat cell hormone? Diabetes Care 2003; 26:2442-50
30. Hotta K, Funahashi T, Arita Y, Takahashi M, Matsuda M, Okamoto Y, et al. Plasma concentrations of a novel, adipose-specific protein, adiponectin, in type 2
diabetic patients. Arterioscler Thromb & Vasc Biol. 2000; 20(6):1595-9
31. Schulze MB, Rimm EB, Shai I, Rifai N, Hu FB. Relationship between adiponectin
and glicemic control, blood lipids, and inflammatory penandas in men with type
2 diabetes. Diabetes Care 2004; 27:1680-7
32. Haluzik M, Parizkova J, Haluzik MM. Adiponectin and its role in the obesity
induced insulin resistance and related complications. Physiol Res 2004; 123-9
33. Okamoto Y, Kihara S, Funahashi T, Matsuzawa Y, Libby P. Adiponectin: a key
adipocytokine in metabolic syndrome. Clin Scien. 2006; 110:267-78
34. Goldfine AB and Kahn CR. Adiponectin: linking the fat cell to insulin sensitivity.
The Lancet 2003; 362:1431-2
35. Kopp HP, Krzyzanowska K, Mohlig M, Spranger J, Pfeiffer AFH and Schernthaner
G. Effects of marked weight loss on plasma levels of adiponectin, markers of
chronic subclinical inflammation and insulin resistance in morbidly obese women. Int J Obes 2005; 29:766-71

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

medical review

Jan S Purba

Abstract. Pain, as defined by International Association for Study of Pain (IASP), can be defined as an unpleasant sensory and
emotional experience associated with actual or potential tissue damage or described in terms of such damage. Pain can be
clinically classified as either nociceptive or neuropathic, although in practice these may coexist. Pain was classically viewed
as being mediated solely by neurons. However, it is now recognized that pain and its modulation are not solely mediated by
neurons but also involved in neuroimmune interaction. The immune system is involved especially when nerve damage is due to
an infectious process or an autoimmune condition. Non-neuronal cells include immune cells in the periphery and glia (astrocyte
and microglia) within the brain and spinal cord. Astrocytes and microglia have not only generally been viewed as cells with
the major function of activation in response to centrifugal hyperalgesia circuitry but they are also immunocompetent cells
and thus can respond like immune cells within the central nervous system. Many of the substances that can be released from
astrocytes and microglia are known to be key mediators of hyperalgesia, including nitric oxide (NO), excitatory amino acids
(both N-methyl-D-aspartate and non-NMDA agonists), interleukin (IL)-1, IL-6, tumor necrosis factor (TNF), prostaglandins, and
nerve growth factor (NGF). The current pharmacological mainstays of clinical management for neuropathic pain are tricyclic
antidepressants and certain anticonvulsants. Opioids are still the drugs of choice although they are generally considered to be
less effective in neuropathic pain than in inflammatory pain. Drugs that target the glia and its released chemical substances
are predicted to be powerful remedies for pain problems.
Abstrak. Nyeri, seperti yang didefinisikan oleh International Association for Study of Pain (IASP), adalah suatu pengalaman
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Nyeri diartikan hanya berhubungan secara langsung dengan neuron. Dalam
penemuan akhir-akhir ini dinyatakan adanya keterlibatan sistem imun dengan neuron. Hal ini diakibatkan peran glia yang
mensekresi mediator inflamasi serta asam amino eksitatorik sebagai mediator hiperalgesia seperti NO, asam amino eksitatorik, NMDA dan agonist non-NMDA, IL-1, IL-6, TNF, prostaglandins, and NGF. Penanggulangan nyeri terutama nyeri neuropatik adalah dengan antidepresan trisiklik dan kelompok antikonvulsan. Terapi dengan opioids juga dilakukan walaupun secara
umum kurang efektif terutama untuk nyeri neuropatik. Obat-obat yang targetnya adalah glia dengan mediator proinflamasi
diperkirakan sangat bermanfaat.

Pendahuluan
Nyeri, seperti yang didefinisikan oleh IASP, adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan
dalam bentuk kerusakan tersebut.
Secara klinik, nyeri dapat diklasifikasikan kedalam nyeri nosiseptif
dan nyeri neuropatik atau bisa juga kombinasi.1 Secara patologik, nyeri
nosiseptif terjadi akibat kerusakan atau cedera jaringan misalnya pada
pasca bedah ataupun cedera, akibat kemikalien, termal, osteoartritis
sehingga menyebabkan iritasi pada ujung saraf sensorik di perifer, di
mana lokasi nyeri yang jelas. Berbeda dengan nyeri neuropatik yang
diakibatkan oleh lesi, jaringan saraf memperlihatkan tanda-tanda
gangguan sensorik berupa alodinia atau juga hiperalgesia dengan
lokasi yang kurang jelas.2 Kornu dorsalis di medula spinalis merupakan lokasi dimana modulasi nyeri dari perifer ditransmisikan menuju
otak. Sebagaimana diketahui bahwa timbulnya nyeri bukan hanya
dimediasi oleh neuron akan tetapi juga melibatkan sistem imun yang
disebut dengan interaksi neuroimun.3-5 Sistem imun akan menjadi aktif

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

jika terjadi kerusakan jaringan baik dalam keadaan yang steril maupun
akibat adanya infeksi seperti herpes zoster, atau juga penyakit-penyakit autoimun seperti Guillain-Barre Syndrome (GBS). Sistem imun juga
menjadi aktif jika terjadi kerusakan jaringan karena materi kerusakan
sel ini juga dianggap sebagai imunostimulus. Komponen yang bukan
bagian dari jaringan saraf di perifer seperti makrofag berperan sebagai
sistem imun di perifer sementara di jaringan saraf yang berperan sebagai sistem adalah adalah sel glia.6

Reaksi Imun terhadap Kerusakan Jaringan


Peran sel glia dan glutamate pada patologi nyeri kronik neuropatik telah terbukti. Sel glia disamping sel pendukung neuron juga berperan
sebagai sel yang menyekresi neurotransmiter asam amino eksitatorik
misalnya glutamat.7 Glutamat ini akan berpasangan dengan reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) dan -amino-3-hidroksi-5-metil-4isoksasolproprionat (AMPA) pada postsynaptic yang mengakibatkan
tanda-tanda patologi spesifik dari nyeri neuropatik. Selain itu sel glia
merupakan komponen sel imun di otak yang memproduksi mediator

MEDICINUS

Departemen Neurologi RSCM/FKUI


Jakarta

71
27

MEDICINUS

72
66

inflamasi sebagai reaksi terhadap adanya antigen baik yang berasal


dari eksternal maupun internal otak sebagai akibat kerusakan jarigan saraf.8-10 Di daerah dimana terjadinya kerusakan jaringan sistem
imun disekitarnya akan menjadi aktif dan terjadinya proses regenerasi
non-neuronal element seperti sel Schwann, histamin neutrofil dan
makrofag serta sel T yang sekaligus menyekresi mediator proinflamasi
(TNF-{alpha}, IL-1{beta}, IL-6, CCL2, histamin, PGE2, dan NGF).11 Nyeri patologik merupakan reaksi tubuh terhadap kerusakan jaringan tubuh atau jaringan saraf baik di perifer maupun di sentral yang bisa
dimediasi oleh sistem imun. Reaksi imun akan muncul jika jaringan
secara langsung kontak atau terpapar dengan antigen berupa mikroorganisme, toksin, bahan kimia, termal yang mengakibatkan terjadinya
inflamasi.12 Kejadian ini memberikan reaksi berupa peningkatan suhu
tubuh, perubahan kadar ion-ion di plasma, perobahan komposisi darah seperti peningkatan jumlah leukosit, menjadi sakit atau merasa
nyeri. Reaksi selanjutnya bisa terjadi perubahan perilaku, perubahan
reaksi hormonal misalnya meningkatnya aktivitas aksis HPA serta
hormon-hormon simpatetik.13,14 Reaksi nyeri terhadap aksis sistem
imunotak akan menginisiasi mediator proinflamasi melalui sel-sel
imun yang teraktivasi.15 Pada proses inflamasi, akibat kerusakan jaringan maka leukosit akan bermigrasi ke jaringan tersebut. Leukosit
ini bisa menyekresi peptida opioid yang selanjutnya berikatan dengan
reseptor opioid pada ujung saraf terminal di daerah yang terinflamasi
tersebut. Tujuannya adalah untuk menghilangkan nyeri inflamasi. Migrasi leukosit ini dikontrol oleh kemokin dan molekul adesi. Kelompok
neurokin seperti substansi P (SP) juga berperan dalam distribusi nyeri
karena sinyal nyeri akan menyebabkan sekresi SP serta asam amino
eksitatorik. Aktivitas reseptor natural killer-1 (NK-1) oleh SP dan reseptor AMPA oleh asam amino eksitatorik menyebabkan terrjadinya depolarisasi pada elektrik potensial.9,10 Timbulnya rasa sakit merupakan
respons dari komunikasi antara sistem imun dengan otak ditandai oleh
sekresi mediator proinflamasi sitokin akibat sel imun yang teraktivasi.
Beberapa diantara mediator proinflamasi antara lain NGF, NO, prostanoid, bradikinin, IL-1, IL-6 dan TNF dan histamin. Neutrofil adalah
sel inflamasi yang paling cepat memasuki jaringan yang mengalami
cedera.16 Kerusakan jaringan saraf perifer ataupun kerusakan jaringan
lainnya mengakibatkan makrofag teraktivasi dengan demikian akan
menyekresi sitokin proinflamasi (lihat gambar). Inilah yang terjadi
sepanjang proses degenerasi Walerian oleh sel Schwann.17 Selain itu sel
T dan sel B juga menyekresi mediator inflamasi sitokin yang berkontribusi untuk innate imunity.15

sakan jaringan atau cedera, inflamasi, yang bisa mengakibatkan nyeri


neuropatik. Mekanisme nyeri neuropatik di perifer muncul berupa a)
ectopic discharges dan ephatic condition, b) pertumbuhan sprouting kolateral, c) coupling antara sistem saraf sensorik dengan saraf simpatetik.
Coupling ke saraf simpatetik diakibatkan oleh kerusakan jaringan saraf
di mana dalam proses regenerasi bertumbuh menyimpang dari jalur
anatomik aslinya. Pada bagian sentral ditemukan beberapa perubahan
antara lain a) terjadinya reorganisasi secara anatomik dari sumsum tulang belakang, b) hipereksitabilitas dari sumsum tulang serta c) perubahan pada sistem opioid endogen.2

Sistem Imun dengan Susunan Saraf Pusat


Imunosit akan bermigrasi dari sistem sirkulasi ke jaringan yang mengalami inflamasi melalui beberapa tahapan seperti rolling, adhesion, dan
transmigrasi lewat dinding pembuluh darah. Proses ini berjalan atas
keberadaan intracellular adhesion molecule1 (ICAM-1) pada leukosit dan
lapisan endotelium pembuluh darah. ICAM-1 merupakan perantara
atau stimulasi produksi opioid yang seterusnya mengakibatkan analgesia terhadap nyeri yang diakibatkan oleh inflamasi.19 Ada beberapa
mekanisme masuknya sitokin ke jaringan otak untuk mencapai reseptornya di otak antara lain 1) transport secara aktif, 2) masuk ke dalam
otak di mana tidak ditemukan sawar darah otak, 3) melalui ikatan dengan reseptor di dinding pembuluh darah yang kesemuanya ini akan
mengubah aktivitas neuron.19

Sistem Imun sebagai Induksi Nyeri


Beberapa penelitian yang berkembang terakhir ini terutama mengenai
hubungan nyeri dan sistem imun yakni dengan ditemukannya mediator inflamasi seperti TNF, IL-1, IL-6, NGF dan prostaglandin E2 pada
eksudat inflamasi.20 Mediator ini bisa mengakibatkan nyeri berupa hiperalgesia. Pada hewan percobaan, hiperalgesia dapat dipicu dengan
penyuntikan lipopolisakarida ke peritoneum yang selanjutnya diketahui bahwa lipopolisakarida ini akan menstimulasi makrofag untuk
menyekresi proinflamasi sitokin.15, 21
Seperti telah disebutkan di atas beberapa mediator proinflamasi
seperti NGF, NO, IL-1, IL-6 dan TNF akan disekresi oleh sistem imun
sebagai reaksi akibat kerusakan atau cedera sel.6,8, 22 Mediasi proinflamasi ini akan menimbulkan nyeri. Pada hewan percobaan dengan
pemberian NGF secara sistemik akan mengakibatkan hiperalgesia dan
sebaliknya dengan memberikan antagonist akan menghilangkan hiperalgesia tersebut.6,23 Ditemukan juga bahwa sekitar 50% afinitas reseptor NGF (reseptor tirosin kinase A, TrkA) merupakan gen ekspresi nosiseptor seperti brain-derived neurotrophic factor (BDNF) dan substansi P
yang kesemuanya akan berperan dalam terjadinya nyeri.24 NO merupakan mediator penting atas terjadinya hiperalgesia yang diinduksi oleh
jaringan yang terinflamasi.25, 26 Hal ini dibuktikan dengan memberikan
antagonis NO akan menghilangkan hiperalgesia.27 Demikian juga IL-1
berpotensi sebagai mediator proinflamasi pada nyeri neuropatik. Pemberian antagonist IL-1 akan menurunkan perilakun nyeri neuropatik
pada hewan percobaan tersebut.20 Walaupun demikian mekanisme
aksi dari IL-1 di perifer masih belum jelas. Kemungkinan mekanismenya adalah adanya sinyal kaskade yang kompleks yang akan mengarah pada produksi komponen pronosiseptif atau sel Schwann.21, 22 TNF
juga merupakan mediator proinflamasi yang diduga berperan dalam
terjadinya nyeri neuropatik. Hal ini dibuktikan adanya korelasi antara
ekspresi TNF dengan alodinia atau hiperalgesia pada nyeri neuropatik.11,12 Terjadinya alodinia atau hiperalgesia bisa diperberat dengan
menambahkan TNF sementara dengan memberikan antagonis TNF
akan memperingan alodinia dan hiperalgesia.27-29

Glia sebagai Modulasi Nyeri


Gambar. Reaksi sel glia terhadap patogen (diambil dari Clifford J. Woolf, MD
Pain: Moving from Symptom Control toward Mechanism-Specific Pharmacologic Management. Ann Intern Med. 2004;140:441-451)

Susunan saraf pusat dan saraf perifer termodulasi akibat keru-

Neuron bukanlah satu-satunya jenis sel yang bertanggungjawab terhadap terjadinya nyeri akan tetapi sel glia pada sumsum tulang belakang
juga sangat penting sebagai transmisi menuju sentral di mana stimulus
diterjemahkan sebagai nyeri.9,10 Astrosit dan mikroglia bukan hanya
berfungsi sebagai sel yang mengatur respons terhadap sirkuit secara

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

Strategi Penanggulangan
Meregulasi aktivitas sel glia merupakan terapi yang efektif terhadap
nyeri neuropatik. Hal ini akibat aktivasi glia pada kornu dorsalis, bagian dari medula spinalis, yang berperan dalam kegiatannya menyekresi
mediator proinflamasi sitokin sebagai penyebab terjadinya nyeri neuropatik. Sampai sekarang obat-obat analgesik terfokus pada saraf perifer dan kornu dorsalis. Akan tetapi efek analgesik untuk nyeri kronik
juga berefek terhadap susunan saraf pusat seperti opioid, antidepresan
dan antikonvulsan.1,33 Walaupun terapi nyeri tidak dikembangkan atas
dasar pendekatan mekanisme yang rasional namun jenis obat-obat seperti disebutkan di atas secara umum digunakan untuk terapi nyeri kronik. Penggunaan opioid tetap mempunyai efek yang tidak diketahui
dengan jelas dari subtipe yang mana yang berperan sebagai terapeutik
karena mempunyai multipel subtipe dari reseptor yang dikenal seperti
1, 2 and 3.18,34,35 Penggunaan obat antidepresan utamanya karena
obat ini berperan untuk inhibisi pembentukan monoamine oxidase
(MAO) yang diduga berperan dalam kanal natrium (Na+).36 Sementara
pengguaan antikonvulsan terutama untuk nyeri kronik seperti nyeri
neuropatik yang berfokus pada reseptor NMDA dengan pengaturan
kanal kalsium (Ca++).37

Kesimpulan
Nyeri secara umum baik nosiseptif, neuropatik maupun yang berkaitan dengan psikologik mencakup proses patologis yang sangat luas.
Oleh sebab itu dalam penanggulangannya membutuhkan pengetahuan yang mencakup areal tadi. Berkembangnya penelitian tentang
nyeri membutuhkan keterlibatan secara multidisipilin dalam penanganannya. Pendalaman tentang peran imun terhadap nyeri membuat
berkembangnya penelitian tentang sel glia yang merupakan sel imun
di otak. Makrofag di perifer identik dengan sel glia di otak yang akan
menyekresi mediator proinflamasi serta asam amino eksitatorik sebagai mediator hiperalgesia seperti NO, asam amino eksitatorik,
NMDA dan agonist non-NMDA, IL-1, IL-6, TNF, prostaglandin, dan
NGF. Arahan strategi terapi mendasar pada proses patologi yang berlangsung di sel dan jaringan tersebut. Obat-obat yang targetnya adalah
glia dengan mediator proinflamasi diperkirakan sangat bermanfaat.
Dengan demikian penanggulangan nyeri terutama nyeri neuropatik
didasari oleh cara kerja obat antidepresan trisiklik dan kelompok antikonvulsan. Terapi dengan opioids juga dilakukan walaupun secara
umum kurang efektif terutama untuk nyeri neuropatik.

Daftar Pustaka

1. Goucke CR. The management of persistent pain. Med J Aust 2003; 178(9):4447
2. Bridges D, Thompson SWN, Rice ASC. Mechanisms of neuropathic pain. Br J
Anaesth 2001; 87(1):12-26
3. Machelska H, Stein C. Pain control by immune-derived opioids. Clin Exp Pharmacol Physiol 2000; 27(7):533-6
4. Watkins LR, Maier SF. The pain of being sick: implications of immune-to-brain
communication for understanding pain. Annu Rev Psychol 2000; 51: 29-57
5. DeLeo JA, Yezierski RP. The role of neuroinflammation and neuroimmune ac-

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

tivation in persistent pain. Pain 2001; 90:1-6


6. McMahon SB, Cafferty WB, Marchand F. Immune and glial cell factors as pain
mediators and modulators. Exp Neurol 2005; 192:444-62
7. Watkins LR, Milligan ED, Maier SF. Glial proinflammatory cytokines mediate
exaggerated pain states: implications for clinical pain. Adv Exp Med Biol
2003; 521:1-21
8. Zielasek J, Hartung HP. Molecular mechanisms of microglial activation. Adv
Neuroimmunol 1996; 6:191-22
9. Watkins LR, Milligan ED, Maier SF. Glial activation: a driving force for pathological pain. Trends Neurosci 2001; 24:450-5
10. Watkins LR, Linda R, Maier SF: Beyond neurons: Evidence that immune and glial
cells contribute to pathological pain states. Physiol. Rev 2002; 82:981-1011
11. Watkins LR, Wiertelak EP, Goehler LE, Smith KP, Martin D, Maier SF. Characterization of cytokine-induced hyperalgesia. Brain Res 1994; 654:15-26
12. Zuo Y, Perkins NM, Tracey DJ, Geczy CL. Inflammation and hyperalgesia induced by nerve injury in the rat: a key role of mast cells. Pain 2003; 105:
467-79
13. Moalem G, Xu K, Yu L. T lymphocytes play a role in neuropathic pain following
peripheral nerve injury in rats. Neuroscience 2004; 129:767-77
14. Maier SF, Watkins LR. Cytokines for psychologists: implications of bidirectional immune-to-brain communication for understanding behavior, mood,
and cognition. Psychol Rev 1998; 105:83-107
15. Mason P. Lipopolysaccharide induces fever and decreases tail flick latency in
awake rats. Neurosci Lett 1993; 154:134-6
16. Perkins NM, Tracey DJ. Hyperalgesia due to nerve injury: role of neutrophils.
Neuroscience 2000; 101:745-57
17. Perrin FE, Lacroix S, Aviles-Trigueros M, David S. Involvement of monocyte chemoattractant protein-1, macrophage inflammatory protein-1 and
interleukin-1 in Wallerian degeneration. Brain 2005; 128:854-66
18. Fundytus
ME,
Schiller
PW,
Shapiro
M,
Weltrowska
G,
Coderre
TJ.
Attenuation
of
morphine
tolerance
and
dependence
with the highly selective delta-opioid receptor antagonist TIPP.
Eur J Pharmacol 1995; 286:105-8
19. Maier SF, Watkins LR. Immune-to-central nervous system communication and
its role in modulating pain and cognition: Implications for cancer and cancer
treatment. Brain Behav Immun 2003; 17:S125-S31
20. Bennett GJ. Does a neuroimmune interaction contribute to the genesis of painful peripheral neuropathies? Proc Natl Acad Sci USA 1999; 96:7737-8
21. Watkins LR, Deak T, Silbert L, et al. Evidence for involvement of spinal cord
glia in diverse models of hyperalgesia. Soc Neurosci Abstr 1995; 21:897
22. Vitkovic L, Bockaert J, Jacque C. Inflammatory cytokine: neuromodulators in
normal brain? J Neurochem 2000; 74:457-71
23. Shu XQ, Mendell LM. Neurotrophins and hyperalgesia. Proc Natl Acad Sci USA
1999; 96:7693-6
24. Thompson SW, Bennett DL, Kerr BJ, Bradbury EJ, McMahon SB. Brain-derived
neurotrophic factor is an endogenous modulator of nociceptive responses in
the spinal cord. Proc Natl Acad Sci USA 1999; 96:7714-8
25. Omote K, Hazama K, Kawamata T, et al. Peripheral nitric oxide in carrageenaninduced inflammation. Brain Res 2001; 912:171-5
26. Thomsen LL, Olesen J. Nitric oxide in primary headaches. Curr Opin Neurol
2001; 14:315-21
27. Schafers M, Svensson CI, Sommer C, Sorkin LS. Tumor necrosis factor- induces mechanical allodynia after spinal nerve ligation by activation of p38
MAPK in primary sensory neurons. J Neurosci 2003; 23:2517-21
28. Sommer C, Lindenlaub T, Teuteberg P, Schafers M, Hartung T, Toyka KV. Anti-TNF-neutralizing antibodies reduce pain-related behavior in two different
mouse models of painful mononeuropathy. Brain Res 2001; 913:86-9
29. Schafers M, Brinkhoff J, Neukirchen S, Marziniak M, Sommer C. Combined
epineurial therapy with neutralizing antibodies to tumor necrosis factor- and
interleukin-1 receptor has an additive effect in reducing neuropathic pain in
mice. Neurosci Lett 2001; 310:113-6
30. Tsuda M, Mizokoshi A, Shigemoto-Mogami Y, Koizumi S, Inoue K. Activation
of p38 mitogen-activated protein kinase in spinal hyperactive microglia contributes to pain hypersensitivity following peripheral nerve injury. Glia 2004;
45:89-95
31. Watkins LR, Maier SF. Implications of immune-to-brain communication for
sickness and pain. Proc Natl Acad Sci USA 1999; 96:7710-3
32. Tyor WR, Glass JD, Griffin JW, et al. Cytokine expression in the brain during the
acquired immunodeficiency syndrome. Ann Neurol 1992; 31:349-60
33. Fields
HL,
Basbaum
A.
Central
nervous
system
mechanisms of pain modulation. In: Wall PD, Melzack R, editors.
Textbook of Pain. Edinburgh: Churchill Livingstone; 1994:243-57
34. Abdelhamid EE, Sultana M, Portoghese PS, Takemori AE. Selective blockage of delta opioid receptors prevents the development
of
morphine
tolerance
and
dependence
in
mice.
J Pharmacol Exp Ther 1991; 258:299-303
35. Riba P, Ben Y, Smith AP, Furst S, Lee NM. Morphine tolerance in spinal cord
is due to interaction between mu- and delta-receptors. J Pharmacol Exp Ther
2002; 300:265-72
36. McQuay HJ, Tramer M, Nye BA, Carroll D, Wiffen PJ, Moore RA. A systematic
review of antidepressants in neuropathic pain. Pain 1996; 68:217-27
37. Sindrup SH, Jensen TS. Efficacy of pharmacological treatments of neuropathic
pain: an update and effect related to mechanism of drug action. Pain 1999;
83:389-400

MEDICINUS

sentrifugal penyebab hiperalgesia akan tetapi juga berperan sebagai


sel-sel imun di otak. Mikroglia berperan sebagai makrofag di mana
p38 sebagian dari kinase dari kelompok mitogen activated protein (MAP)
akan menjadi aktif di kornu dorsalis jika terjadi cedera pada jaringan
saraf. Jika glia diaktivasi mengakibatkan p38 menjadi aktif sehingga
berbagai substansi kimia akan tersekresi serta memperberat nyeri.27,29,30
Mikroglia ini bisa juga teraktivasi tidak hanya oleh kerusakan jaringan
saraf sentral akan tetapi juga akibat, invasi mikrobilia dan dalam berbagai kondisi nyeri, yang disebabkan meningkatnya sekresi mediator
inflamasi. Dikenal berbagai jenis substansi yang disekresi astrosit dan
mikroglia sebagai mediator penyebab hiperalgesia seperti disebut di
atas. Astrosit dan mikroglia di medula spinalis berperan sebagai mediator terjadinya hiperalgesia. Astrosit dan mikroglia ini mempunyai
reseptor spesifik terhadap beberapa jenis antigen seperti beberapa jenis
bakteria dan virus.31 Infasi dari virus atau bakteri akan mengaktifkan
astrosit dan mikroglia.32

73

calender events

MEDICINUS

1. 7th Asian Oceanian Congress of NeuroRadiology (AOCNR)


Tanggal: 9-11 July 2009
Tempat: Bali International Convention Center,
Nusa Dua, Bali
Sekretariat:
INDONESIAN SOCIETY of NEURORADIOLOGY
Department Radiological Dr. Soetomo General
Hospital
Jl. Prof. DR. Moestopo No. 6-8, Surabaya
atau
PT. Global Echo Organizer Convex
Jl. Kebon Sirih Timur 4, Jakarta Pusat - Indonesia
Telp.: +62-21-3149318 / 3149319
Mobile: +62-21-32244117-118-119
Faks: +62-21-3153392

74

2. 3rd Congress of the Indonesian Spine Society


(ISS)
Tanggal: 17-18 Juli 2009
Tempat: Mercure Convention Centre, Ancol,
Jakarta
Sekretariat:
ISS Cabang Jakarta - Rumah Sakit Gading Pluit Lt. 7
Ruang 706
Jl. Boulevard Timur Raya Kelapa Gading
Jakarta Utara 14250
Telp.: 021-4520201 ext 8706
Faks: 021-45866059
3.








7th National Biennial Meeting PERDOSSI


Tanggal: 24-26 Juli 2009
Tempat: The Grand Aston Hotel, Medan
Sekretariat:
PERDOSSI cabang Medan
Dept. Neurologi FKUSU RSUP H. Adam Malik Lt.
2, Jl. Bunga Lau No. 17, Medan - Indonesia
Telp.: 061-8360885
Fax: 061-8360885 / 8214754
E-mail: perdossi_mdn@yahoo.com
Contact Person: dr. Aldy S Rambe, SpS
(08126022270); dr. Alfansuri Kadri
(08126010064)

4. KONAS PERKENI VIII


Topik: Perkembangan Endokrinologi Mutakhir dan Terintegrasi untuk Meningkatkan
Pelayanan pada Masyarakat
Tanggal: 29 Juli-01 Agustus 2009
Tempat: Hotel Discovery Kartika Plaza, Kuta, Bali
Sekretariat:
Divisi Endokrinologi dan Metabolisme
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNUD/RS Sanglah (Gedung Angsoka Lt. IV)
Jl. Diponegoro, Denpasar, Bali
Telp.: 0361-7872587 / 246274

Faks: 0361-235982

E-mail: perkeni_bali@yahoo.com

Website: http://www.konasperkeni2009.com
5. 16th International Symposium on Critical
Care and Emergency Medicine 2009
Tanggal: 30 Juli-1 Agustus 2009
Tempat: Grand Hyatt Hotel, Nusa Dua, Bali
Sekretariat:
CITRA EVENT ORGANISER
Jl. Raya Kalibata No. 5 Pancoran

Jakarta Selatan 12750, INDONESIA


E-mail: qcitra@yahoo.com
Website: http://www.criticalcare2009.org
Contact Person: Eggy (+628568111077);
Henny (+628174955654)

6. 4th National Symposium on Vascular Medicine


Topik: Integrative approach on vascular
disease: from prevention to intervention
Tanggal: 30 Juli-1 Agustus 2009
Tempat: Ritz Carlton Hotel, Jakarta
Sekretariat:
Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan
Kita, Jl. S. Parman Kav. 87 Slipi, Jakarta
Telp.: 021-5684085 / 5684093 (ext 2831)
Faks: 021-56963795
7. KOGI XIV Surabaya

Topik: Carring with Science Bring POGI to
the Global Community

Tanggal: 6-9 Agustus 2009

Tempat: Shangri-La Hotel, Surabaya

Sekretariat:

POGI cabang Surabaya

Department/SMF Obstetri Ginekologi

FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo

Jl. Mayjend. Prof. dr. Moestopo 6-8 Surabaya

60286, Jawa Timur, Indonesia
Telp.: +62-21-5031304
Faks: +62-31-5037732
8. PIN PB PAPDI VII Medan

Topik: Updated in Diagnostic Procedure
and Treatment in Internal Medicine

Tanggal: 7-9 Agustus 2009
Tempat: Grand Aston City Hall, Medan

Sekretariat:

PAPDI Cabang Sumatera Utara

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam

FK USU/RSUP H. Adam Malik

Jl. Bunga Lau No. 17, Medan 20136

Sumatera Utara - Indonesia

Telp.: 061-8363009

Faks: 061-8363009

atau

PB PAPDI

Departemen Ilmu Penyakit Dalam

FKUI/RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo

Jl. Salemba Raya No. 6, Jakarta 10430

Telp.: 021-31931384 / 31930808 ext 6703

Fax: 021-3148363
9. 9th International Congress on AIDS in Asia
and the Pacific (ICAAP 9)

Tanggal: 9-13 Agustus 2009

Tempat: Bali International Convention Centre,
Nusa Dua, Bali

Sekretariat:

The 9th ICAAP Secretariat

Menara Eksekutif 8th floor, Jl. MH Thamrin
Kav. 9, Jakarta 10330, Indonesia

Telp.: +62-21-39838845 / 46

Faks: +62-21-39838847

10. The 5th International Congress of Asia Pacific Hernia Society (APHS) 2009

Tanggal: 15-17 Oktober 2009


Tempat: Discovery Kartika Plaza, Bali
Sekretariat:
Pharma-Pro (Medical Conference Organiser)
Taman Palem Lestari, Perkantoran Fantasi Blok
W/29, Jl. Kamal Raya Outer Ring Road, Cengkareng, JAKARTA 11830
Telp.: +62-21-55960180
Faks: +62-21-55960179
E-mail: pharmapro@cbn.net.id
Website: http://www.pharma-pro.com

11. Seminar dan Workshop Laparoskopi untuk


Infertilitas

Tanggal: 17-19 Oktober 2009

Tempat: Auditorium Sarwono Lt. 1 Gedung A/
Public Wing RSCM

Sekretariat:

RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo

Telp.: 021-3928720, 68275657

Faks: 021-3928719

Contact Person: Sdr. Rima/Frany

12. Asia Pacific Conference of Gynecologic
Surgery

Tanggal: 28-31 Oktober 2009

Tempat: Novotel Hotel, Mangga Dua, Jakarta

Sekretariat:

POGI Jaya

Klinik Raden Saleh

Jl. Raden Saleh Raya No. 49, Jakarta Pusat

Telp.: 021-3148858

Faks: 021-3148858

Contact Person: Wiwin, Iin dan Lucky (Telp.:
021-3148858)
13. PIT X PERDOSKI
Menyikapi Perkembangan Bioteknologi
Infeksi Kulit dalam Rangka Meningkatkan
Profesionalisme dan Kompetensi Dokter
Spesialis Kulit dan Kelamin

Tanggal: 29-31 Oktober 2009
Tempat: Hotel Sol Elite Marbella, Anyer, Banten

Sekretariat:

SMF Kulit dan Klelamin RSUD TANGERANG

Jl. A. Yani No. 9, Tangerang

Banten, Indonesia

atau

PP PERDOSKI

Department I.K. Kulit & Kelamin

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo

Jl. Diponegoro 71, Jakarta 10430

Telp.: 021-3904517 / 5523507 ext. 330 /

5526686 ext. 330

14. Kongres Nasional PDSKJI 2009

Topik: Revitalisasi Profesionalisme Organisasi PDSKJI

Tanggal: 2-4 November 2009

Tempat: Manado Convention Center, SULUT

Sekretariat:

Perhimpunan Dokter Spesialis Jiwa Indonesia
(PDSKJI)

Bagian Ilmu Penyakit Jiwa FKUI/RSCM

RS. Jiwa Soeharto Heerdjan Jakarta

Jl. Prof. DR. Latumeten No. 1, Jakarta Barat

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

75

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

meet the expert

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia Cabang Jakarta

MEDICINUS

76

ada kesempatan ini kami


berkesempatan berbincangbincang dengan Dr. Salim
Harris, SpS(K), yaitu Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia Cabang Jakarta untuk
periode 2007-2011. Ditemui saat
acara Simposium & Workshop
Citicoline in Vascular Disease: An
Overview yang diadakan pada
tanggal 2 Mei 2009 yang bertempat di Hotel Le Meridien. Pada
acara ini Dr. Salim Harris berpartisipasi sebagai pembicara.
Berikut wawancara kami dengan
Dr. Salim Harris, SpS (K) sebelum
acara dimulai.
Redaksi MEDICINUS (RM):
Mengapa Dr. Salim lebih memilih
spesialisasi di bidang Neuro?
Dr. Salim Harris (SH): Sebenarnya ini pertanyaan yang
gampang tapi jawabnya susah.
Memang sejujurnya sih kalau
berbicara mengapa saya memilih neurologi padahal sebelumnya saya tidak terpikir untuk
menjadi seorang Neurologist.
Jadi terpikir saja tidak bagaimana saya
harus memilih. Mungkin ditengah jalan
Allah memberi petunjuk dan semua itu ada
hikmahnya jadi apabila makna tersebut ditanamkan dalam diri kita insya Allah tidak
ada yang tidak indah. Jadi kembali kepada
permasalahan kenapa saya memilih menjadi seorang Neurologist. Terus terang saya
katakan saya tidak pernah berpikir untuk
bisa menjadi Neurologist apalagi menjadi seorang Konsultan Serebrovaskular
(Stroke). Apalagi menjadi seorang dosen
Fakultas Kedokteran Indonesia (FKUI),
tidak terpikirkan. Mungkin itu memang
sudah jalan Tuhan untuk ke arah situ. Dan
saya memang tidak memfokuskan ke arah
situ. Memang sedikit kompleks ya. Karena
pada saat itu memang ada keterlambatan
mau masuk ke bagian atau spesialisasi
mana nih sebenarnya. Kemudian akhirnya

tekuni sehingga dimanapun saya


berada itu pasti saya tekuni. Itu
prinsip hidup saya. Saya tidak
akan pernah melihat itu dalam
bentuk porsi kecil tapi semua
yang kecil itu akan menjadi suatu
potensi yang sangat besar. Jadi
tidak ada manusia atau hewan
yang tidak bermanfaat buat kehidupan manusia. Karena itu kita
harus saling tolong menolong,
bekerjasama dan saling silaturahmi. Sehingga tidak mustahil apa
yang kamu lihat tidak bermanfaat
sekarang akan menjadi penolong
kita dikemudian hari nanti.

masuklah ke Neuro. Dan waktu itu masuk


ke Neuro memang peminatnya sedikit
sekali. Kemudian sayapun mengikuti ujian
masuk spesialis Neurologi ternyata hasilnya dinyatakan lulus. Jadi, ya sudah diteruskan saja.
RM: Kenikmatan apa yang Dr. Salim rasakan ketika sudah masuk di bagian Neurologi?
SH: Sejujurnya saya tidak termasuk kategori orang yang mudah bosen. Saya itu
memang orangnya ya apabila saya punya
itu, saya sudah sangat bersyukur. Kalau
bisa saya tingkatkan tapi ini tidak akan
saya lepas. Jadi prinsip hidup saya seperti
itu. Nah keberadaan seperti ini saya sadari
sekecil apapun nikmat yang ada itu, kalau
bisa kita kembangkan akan menjadi suatu
hal yang besar sekali. Jadi itu yang saya

RM: Kalau di putar kembali ke


belakang, apakah menjadi seorang dokter itu memang sudah
menjadi cita-cita dokter ?
SH: Kalau menjadi dokter citacita dari masa kecil sebetulnya
tidak ya. Sebenarnya saya itu seorang pecinta gambar. Saya lebih
menyenangi kalau berbicara soal
gambar. Sampai sekarangpun
saya masih suka menggambar.
Kalau ditanya lebih senang kemana mungkin saya lebih memilih arsitek
ketika menamatkan SMA pada saat itu.
Memang saya mempunyai nilai eksakta
yang paling tinggi waktu itu. Pada saat itu
saya tidak berpikir untuk mengambil kuliah
kedokteran. Mengapa? Banyak hal-hal yang
saya alami terhadap dokter yang ada dilingkungan saya kurang sempurna. Artinya
dokter konotasi saya hanya orang yang senang menyakiti orang sehingga orang tersebut menjadi tambah sakit ketika disuntik
segala macam. Ini saya berbicara saat saya
masih kecil ya. Sehingga saya jadi lebih
takut kepada dokter. Pendekatan zaman
dulu sekitar tahun 70-an mungkin sangat
berbeda dengan dokter sekarang. Mungkin karena faktor waktu dan sebagainya.
Karena dokter zaman dulu yang saya rasakan tidak ada komunikasi dengan keluarga
yang ada hanya mengomeli lalu mengobati

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

RM: Jadi setelah dijalani masuk di kedokteran ternyata jadi menikmatinya ya?
SH: Ya, saya jadi menikmatinya. Itu tadi
yang saya katakan bahwa apa yang saya
jalani tidak akan saya lepas. Jadi prinsip
hidup saya, apapun yang Allah berikan kepada saya akan saya jalani. Dan saya tidak
akan pernah melepas sesuatu yang sudah
saya miliki dan semudah apa yang orang
lihat karena jelek atau kurang bagus. Itu
tidak pernah. Artinya dalam segala hal,
saya akan menjaga dengan baik karena
saya tahu sekecil apapun dimata orang, itu
yang saya punya, saya miliki dan menurut saya suatu saat akan membuat orang
itu akan terkaget-kaget akan kebagusan
yang dimilikinya tersebut. Demikian juga
dalam hal ilmu Kedokteran, sekolah dan
sebagainya yang tadinya orang melihat sebelah mata sekarang orang tidak lihat sebelah mata lagi.
RM: Dengan banyaknya kegiatan yang
dokter Salim lakukan, bagaimana caranya
dokter bisa terlihat bugar seperti ini?
SH: Memang kalau kita ingin berbicara jujur, itu ada 2 hal. Yang pertama yaitu ada
hati yang punya senang. Segala hal yang
membuat kebahagiaan artinya membuat
tertawa ini semuanya akan memberikan
kebugaran. Yang kedua yaitu kebugaran
dalam bentuk yang pertama emosional
karena dia berpengaruh pada fisik, yang
kedua yaitu penyiksaan fisik dalam arti
kata bahwa fisik itu tidak boleh dikasih
terleha-leha harus dibina untuk bekerja.
Jadi fisik itu harus diolah. Inilah yang kita
kenal dengan exercise. Jadi fisik itu jangan
dimanjakan tapi buatlah fisik itu bekerja.
Harus disadari bahwasannnya fisik kita
ini akan hilang kalau kita tidak gunakan.
Kalau saya sebagai orang Islam itu ada
dikatakan NikmatKu mana lagi yang kau

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

dustakan. Pernyataan tersebut begitu


dalam maknanya. Kita mempunyai tangan
tapi kita masih saja suka menyuruh orang.
Kita mempunyai kaki tapi kita jarang pakai
kaki kita. Kita punya mata tapi yang kita
lihat cuma yang maksiat saja. Dan semua
yang kita punya kita gunakan yang hasilnya negatif. Kalau ini disadari, apabila
nikmat Allah itu diambil baru kita tahu
nikmat tersebut ada. Kamu tidak akan sadar kalau kamu mampu menikmati nikmat Allah yang berupa penglihatan apabila Allah belum cabut mata kamu menjadi
buta. Sehingga kamu rindu ingin melihat
kembali. Kamu akan rindu jalan apabila
kamu sudah lumpuh nantinya. Nah ini
yang ditanamkan di hati kita mulailah kita
nikmati bekerja, nikmati olahraga. tanpa
olahraga tidak mungkin aliran darah yang
kecil akan masuk ke yang paling kecil. Bina
badan kita, tempa badan kita. Usahakan jalan kaki minimal 1000 langkah, kemudian
carilah kesenangan, kenikmatan artinya
bukan harus diberi dengan mahal, tapi
tertawalah. Ada fase-fase disitu bahwa
Anda merasa suatu kondisi yang sangat
menyenangkan. Seper-ti bergaul, itu sebuah terapi untuk psikis kita. Kita mampu
mengembangkan psikis kita untuk dibina
kemudian fisik kita dibina karena yang selama ini kita bina adalah pikiran kita. Itu
salah satu kunci kalau menurut pandangan
saya yang pertama adalah kebahagiaan
jadi kita mesti bikin happy-happy jangan
pusing terus, kita harus tetap tersenyum,
senyumnya harus lepas. Kalau ada yang
lucu tertawalah. Yang kedua yaitu bina tubuh anda dengan cara exercise.
RM: Kalau begitu dokter rajin berolahraga
ya ?
SH: Kalau bicara soal olahraga itu bicara
soal satu target. Kalau olahraga konotasinya lebih tinggi.
EXERCISE artinya kita mampu burning yourself inside. Orang lebih senang ke
sauna ketimbang jalan kaki untuk mengeluarkan keringat. Kalau anda berjalan kaki
untuk mengeluarkan keringat dirumah
saja, seperti tadi pagi saya berjalan mutermuter di dalam rumah. Itu sudah exercise
untuk mengeluarkan keringat yang mana
dibakarnya dari dalam (burning inside).
Nah sekarang misalnya anda pergi untuk
burning outside, dipanasin di luar untuk
mengeluarkan keringat, seperti duduk santai-santai sambil disauna keluar keringat.
Itu kan berarti hanya mau keluar keringat
saja tapi bukan seperti itu seharusnya. You
have to burning yourself by exercise and then
you sweating.

RM: Kalau dokter Salim punya waktu


luang, biasanya digunakan untuk apa?
SH: Jujur saja bisa dibilang, saya praktis
tidak mempunyai waktu luang. Yang ada
dalam satu minggu itu ada satu hari untuk
keluarga. Karena waktu luang saya praktis
hanya ada buku, ngajar, laptop dan menonton TV.
RM: Bagaimana dengan anggota keluarga,
apakah tidak ada yang protes mengenai
kesibukan dokter?
SH: Dalam satu minggu itu saya tidak pernah mau lepas satu hari untuk keluarga.
Jadi satu hari itu biasanya hari minggu,
saya benar-benar gunakan untuk keluarga
dan tidak ada orang yang bisa ganggu saya
dengan kelurga. Saya berusaha hari Minggu itu adalah hari keluarga.
Setelah acara ini, sorenya saya bersama keluarga pergi bersama ke rumah kami yang
di luar kota. Di sana saya pelihara binatang. Dari semut yang paling kecil, yang
hitam itu sahabat saya. Ha..ha..ha...Jadi
kalau anda melihat beragam semut, ada
yang hitam dan kecil tapi tidak bikin gatal
itu sahabat saya. Itu semua membuat saya
mempunyai suatu kenikmatan tersendiri.
RM: Kenapa ya dok, semut-semut itu bisa
menarik perhatian dokter Salim?
SH: Saya sendiri tidak tahu, itu hobi saya
dari kecil..ha..ha..ha.
RM: Pastinya dokter Salim sering mengikuti kegiatan-kegiatan ilmiah. Dari sekian
banyaknya kegiatan ilmiah yang dokter
ikuti, yang mana yang paling berkesan untuk dokter Salim?
SH: Yang paling berkesan buat saya adalah
semua. Yang saya ikuti semuanya itu berkesan. Karena saya harus membuat sesuatu
itu begitu indah. Karena setiap orang yang
akan menjadi speaker mempunyai beban
kerja yang lebih berat dari pada audiens.
Dia harus learning. Nah disitu kenikmatannya. Kenapa nikmatnya? Nikmatnya kita
adalah learning. Jadi semakin banyak saya
bicara semakin banyak belajar. Itu adalah
salah satu kebahagiaan buat saya. Semakin
saya banyak belajar otomatis saya akan
semakin bugar. Hal ini sebenarnya yang
diexercise otaknya kan. Jadi semakin
banyak bekerja maka akan semakin bugar. Hal apa saja..ya semua. Jadi kalau
ditanya yang paling menarik yang mana
di acara kegiatan ilmiah tersebut. Saya jawab ya semuanya...karena semuanya itu
dipelajari benar-benar sehingga kita menemukan hal-hal baru yang belum dibaca
kemarin. Kemudian apa yang akan kita
pelajari tersebut? Otomastis kita hubung-

MEDICINUS

dan kemudian pasien pulang. Makanya


ketika saya menjadi dokter sekarang itu...
ya...anda boleh cek, saya menjadi dokter
mempunyai motto bahwa my patient is my
friend dan apabila saya mempunyai pasien
yang lebih tua maka saya akan menyapanya
dengan kata-kata yang lebih kekeluargaan.
Saya tidak pernah membuat suatu jarak
antara saya dengan pasien saya.
Jadi kembali ke masa kecil saya waktu itu
saya merasa riskan untuk menjadi seorang
dokter. Karena ada perasaan takut pada
dokter. Tapi diperjalanan karena orangtua saya ingin saya menjadi seorang dokter waktu itu ya saya akhirnya mengambil
kuliah dikedokteran. Jadi bisa dikatakan
orangtualah yang sebenarnya memotivasi
saya untuk masuk di kedokteran.

77

MEDICINUS

78

kan dengan pasien kita seperti kasus sekarang. Berapa banyak foto-foto pasien saya
masukkan dan pasien yang baru-baru.
Dan otomatis pengetahuan saya bertambah lagi. Dengan adanya membaca buku
lagi, lihat literatur baru-baru lagi maka
bertambah lagi ilmunya. Jadi kalau ditanya
kegiatan ilmiah apa yang paling mengesankan? Semuanya saya katakan paling
mengesankan baik mengesankan karena
capeknya, karena ketertarikkannya, karena
adanya terobosan-terobosan baru dalam
bukunya, karena kesibukkan waktunya,
karena kepuasannya dalam memberikan
nafkah buat keluarga dengan cara halal. Itu
suatu kenikmatan yang luar biasa. Anda
bisa bayangkan anda bekerja dan belajar
setengah mati selama kurang lebih 3 hari,
2 hari membaca buku dan anda tuangkan
dalam bentuk ilmu dan dipresentasikan.
Kemudian anda diberikan honorarium dan
honorarium itu merupakan keringat anda
yang halal. Dan itu anda berikan makan
untuk anak istri. Apakah itu bukan suatu
kebahagiaan? Buat saya, itu merupakan
suatu kenikmatan dari Tuhan yang tidak
terkirakan karena Tuhan mengatakan berilah keluargamu dengan barang halal.
Jangan pernah menjadi pembicara mendapatkan slide yang sudah jadi. Kalau ada
titipan, masukkan saja titipan tersebut tapi
bikinlah sendiri slide-nya tersebut. Tidak
ada satupun slide saya yang dibuat orang,
semuanya saya bikin sendiri termasuk
adanya animasi dalam slide saya dan itu
membuat kepuasan tersendiri. Jadi kita
tahu kapan kita harus berpindah ke slide
berikut pada saat presentasi. Karena saya
yang tahu dengan baik materi yang akan
saya sajikan tersebut. Bagi saya pribadi itu
merupakan kebahagiaan.
RM: Bagaimana hubungan dokter dengan
pasien? Tentunya dokter mempunyai pengalaman yang menyenangkan dan tidak
menyenangkan. Bisa diceritakan sedikit tentang pengalaman-pengalaman tersebut?
SH: Ya..kuncinya yaitu yang pertama saya
sebagai seorang profesional digerakan
pada dasar Al Quran surat Al Maidah
ayat 8. Apa itu yang dikatakan dalam surat
tersebut? Yaitu berkata jujur, berbuat jujur,
berbuat baik dan ini adalah merupakan
kunci. Kalau dikupas arti dalam surat Al
Maidah ayat 8 itu maknanya adalah Apabila kamu akan baik, kamu akan bertaqwa
kepada yang punya diri kita. Kamu harus
berbuat adil karena yang adil dan jujur itu

adalah taqwa. Nah ini adalah makna dari


Al Maidah ayat 8. Kalau pernyataan itu sudah berada di hati kita, sehingga tidak ada
kebohongan. Karena orang yang bohong
itu adalah orang yang capek. Dia harus
selalu mengingat-ingat kebohongannya.
Kalau hari ini dia bohong kepada sepuluh
orang pasien. Setelah satu minggu pasien
tersebut datang kembali dan dokter tersebut pusing karena dia harus memikirkan
apa yang mesti dikatakan kepada pasien
tersebut. Jadi pendekatan ke pasien adalah
pendekatan manusiawi yang berdasarkan
surat Al Maidah ayat 8, yaitu kejujuran, kebaikan dan keadilan.
Yang kedua tidak ada merasa kursi kita lebih tinggi dari kursi pasien kita. Karena didasari bahwa pasien itu adalah guru yang
paling tinggi. Pasien itu memberikan informasi yang kita pelajari sehingga dia yang
membimbing kita untuk menegakkan diagnosa. Tidak meremehkan pasien. Kalau
kita sudah lihat ini, kita tidak meremehkan pasien dan sudah berlaku jujur maka
jadi tinggal satu lagi, yaitu relationship.
Bagaimana anda membina relationship sehingga pasien anda merasa nyaman, yaitu
tidak mebuat seolah-olah dokter itu tangan kanannya Tuhan. Sebenarnya dokter
itu adalah profesi yang membantu pasien
untuk memberikan proses penyembuhan
yang diberikan oleh Allah SWT. Apakah
dokter bisa menyembuhkan pasien apabila pasiennya diam saja? Tentu saja dokter tidak bisa memberikan suatu diagnosa
kepada pasien apalagi mengobati kalau
pasiennya tidak mau berkomunikasi.
RM: Untuk perkembangan di neuro ini,
penyakit-penyakit apa saja yang sering
ditemui?
SH: Sekali lagi saya katakan jangan berpikir kecil kepada sesuatu yang kecil. Jangan
pernah menganggap remeh kepada sesuatu
yang anda lihat remeh. Neurologi adalah
ilmu yang mungkin sebagian kecil atau
sebagian besar dikatakan tidak berkembang itu mustahil sama sekali. Neurologi
itu perkembangannya luar biasa. Apa saja
sekarang mempunyai nilai perkembangan
yang luar biasa. Apa yang mau disebut
epilepsi, apa yang mau disebut dengan
stroke, apa yang mau disebut dengan infeksi dan semua penyakit autoimun maupun penyakit degeneratif. Itu mempunyai
suatu jendela-jendela terobosan baru yang
begitu luas dicakrawala. Coba kita umpamakan orang mengatakan dulu sakit

stroke itu mati sebelah, hopeless, tidak punya harapan. Kemudian berkembang ilmu
kedokteran sampai sekarang berkembang
yang namanya stem cell. Wow, dengan
adanya stem cell sekarang, orang mulai
pada kaget. Karena kita mampu membuat
sel otak kembali. Ini kan merupakan suatu
trobosan yang luar biasa. Kemudian dari
ilmu preventif seperti homocystein yang
dulu tidak diketahui merupakan penyebab
stroke pada anak usia 8 tahun. Pada tahun
1933 anak umur 8 tahun menderita arterosklerosis. Sekarang sudah diketahui homocystein. Darimana homocystein itu? Dari
makanan yang kita makan. Obatnya gampang sekali. Kenapa kita tahu dari dulu?
B6, B12, asam folat. Jadi seolah-olah yang
di samping kita yang kecil tidak pernah
kita sadari. Ini kan cuma B6, ini kan cuma
B12, nggak tahunya bisa mencegah begitu
dahsyatnya penyakit yang satu ini yaitu
kematian. Jadi tidak ada statement yang
mengatakan bahwa sesuatu yang kecil itu
akan selamanya kecil. Lihatlah yang kecil
itu sebagai sesuatu yang besok akan menggantikan kita. Jadi itulah filosofi hidup
yang perlu buat pribadi saya kembangkan.
RM: Pertanyaan terakhir, apakah dokter
Salim mempunyai pesan-pesan untuk para
dokter-dokter muda sebagai pengganti
dikemudian hari?
SH: Ya...pesan terakhir saya buat dokter muda yaitu sebagai seorang manusia,
dikatakan jika seorang manusia meninggal maka akan meninggalkan tiga hal yaitu
amal perbuatan, anak yang soleh dan ilmu
yang bermanfaat. Setiap saya mengajar
saya katakan saya akan mendidik kalian
sebagian daripada ilmu kedokteran untuk
menjadikan kalian dokter. Tolong amalkan
ilmu yang saya berikan pada jalan Allah.
Setidak-tidaknya kamu tidak menzalimi
pasien kamu. Sehingga saya nanti kalau
sudah meninggal saya akan mendapatkan
kiriman-kiriman pahala dari kalian. Jadi
untuk itu, yang penting sekali lagi saya
landaskan disini yang pertama jangan pernah berbicara dusta pada pasien kita. Yang
kedua jangan pernah menjanjikan yang
punya Allah. The future is Allah. Jangan bilang penyakit ini akan sembuh besok. Tapi
katakanlah insya Allah. Jadi ini kunci dari
keberhasilan yang mudah-mudahan jadi
orang-orang yang bermanfaat buat bangsa,
agama dan keluarga kita. Itu yang bisa saya
sampaikan. GLH

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

symposium events

Simposium & Workshop


Citicoline in Vaskular Disease:
An Overview
2 Mei 2009

cara Symposium & Workshop Citicoline in Vaskular Disease: An Overview


diselenggarakan oleh PT Inmark
yang bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada
tanggal 2 Mei 2009 di Hotel Le
Meridien Jakarta. Acara dimulai pukul 09.30 dan dibuka oleh
dr. Riwanti Estiasari, SpS yang
memberikan sambutan selaku
ketua panitia.
Kemudian simposium dimulai
pada pukul 09.45 WIB dengan
dua moderator yaitu dr. Yetti
Ramli, SpS (K) dan dr. M. Kurniawan, SpS. Moderator pada materi
simposium yang pertama adalah
dr. M. Kurniawan, SpS dengan
pembicara pertama dr. Salim
Haris SpS (K) yang merupakan
konsultan neurologist dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Beliau menyampaikan
materi mengenai The Role of
Citicoline in the Prevention of Cognitive Decline among Patients with
Chronic Hypertension.
Dalam materi yang disampaikan,
dr. Salim Haris, SpS (K), beliau
terlebih dahulu menjelaskan
gambaran otak manusia, fungsi
otak seperti cognitive function
yaitu ingatan (memory), perhatian
(attention), berbahasa (language),
dan executive function yaitu general information, calculation, abstract
thinking, planning and problem solving. Kemudian beliau membahas
hubungan antara cognitive decline,
chronic hipertension, dementia dan

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

obat citicoline. Kejadian penyakit


chronic hypertension merupakan
salah satu faktor yang berperan
terhadap terjadinya cognitive decline yang kemudian dapat mengarah ke demensia. Pasien dengan
cognitive decline belum tentu demensia, akan tetapi jika cognitive
decline dibiarkan terus menerus
akan menjadi demensia. Tipe dari
demensia antara lain alzeimers
dementia, vascular dementia dan
gabungan dari keduanya yaitu
mix dementia. Demensia vaskular
dapat disebabkan karena kejadian
hipertensi, lalu mengalami stroke
atau silent stroke atau atrofi yang
kemudian berlanjut mengarah ke
demensia.
Dari berbagai macam studi, dr.
Salim
Haris
menyampaikan
bahwa jika pasien mengalami
stroke, sebanyak 26-31% pasien akan mengalami demensia 3
bulan setelah serangan stroke.
Oleh karena itu dr Salim menyampaikan strategi yang dapat
dilakukan untuk mencegah kejadian demensia vaskular, yang
pertama adalah dengan pemberian obat-obat antihipertensi pada
penderita hipertensi yang dapat
mengontrol atau menurunkan
tekanan darah sehingga dapat
menurunkan insidensi demensia
vaskular, yang kedua dengan
memberikan obat-obat neuroprotective untuk mengurangi terjadinya nekrosis maupun apoptosis
sel saraf.
Dr. Salim Haris juga mengemu-

kakan sedikit tentang citicoline di


mana disebutkan bahwa citicoline
merupakan rate limiting intermediate pada biosintesis phosphatidyl
choline. Citicoline dapat memberikan benefit pada beberapa
kondisi patologis seperti pada
CNS injury di mana membran
sel mengalami kerusakan yang
menyebabkan kematian pada
sistem saraf. Dari beberapa penelitian juga disampaikan oleh dr.
Salim Haris bahwa citicoline dapat mengurangi kejadian cerebral
edema (cytotoxic edema maupun
vasogenic edema).

adanya citicoline dan choline di


dalam sel-sel otak. Enzim yang
berperan dalam sintesis Ptd Cho
adalah phosphocholine cytidylyl
transferase (CCT) di mana jika
enzim ini jumlahnya berkurang
homeostatis sel-sel otak tidak dapat dipertahankan.

Setelah materi dari dr. Salim


Haris, SpS (K), acara simposium
kembali dilanjutkan dengan materi kedua yang diberikan oleh Bapak Raymond R. Tjandrawinata,
PhD, dengan moderator dr. Yetti
Ramli, SpS (K). Bapak Raymond
merupakan Molecular Pharmacologist PT Dexa Medica Group yang
menyampaikan materi Molecular
Pharmacology of Citicoline. Bapak
Raymond mengupas mengenai
citicoline yang dipandang dari
sudut farmakologi molekularnya,
yaitu melihat farmakologi obat
secara molekular dan bagaimana
efek-efek suatu obat dilihat dari
ekspresi gen maupun ekspresi
proteinnya. Phosphatidyl choline
(Ptd Cho) akan mempertahankan
homeostasis membran sel otak.
Ptd Cho kemudian akan dipecah
menjadi choline dan menjadi substrat serta prekusor pembentukan neurotransmiter asetilkolin.
Sintesis Ptd Cho tergantung dari

Neuronal
iskemia
dapat
menyebabkan hal-hal antara
lain, meningkatkan pengeluaran protein mediator inflamasi
yaitu interleukin-1 (IL-1) dan
tumor necrosis faktor- (TNF-),
serta menstimulasi enzim phospholipase A2 (PLA2) yang akan
meningkatkan asam arakidonat.
Banyaknya TNF- akan mempengaruhi sintesis dari Ptd Cho
dengan cara menghambat aktivitas CCT melalui degradasi proteolitik dari enzim tersebut. Jika
PLA2 ditingkatkan aktivitasnya
oleh adanya TNF-, maka akan
meningkatkan jumlah asam arakidonat yang selanjutnya meningkatkan oxidative stress dan
akan segera memicu kematian
sel. Jika kita meningkatkan konsentrasi citicoline di dalam darah
maka secara otomatis PLA2 akan
terdeaktivasi dan aktivitas PLA2
akan turun sehingga jumlah asam
arakidonat juga menurun, be-

Jika terjadi iskemia di otak, maka


jumlah Ptd Cho berkurang karena
jumlah enzim CCT berkurang, hal
ini bisa terjadi karena adanya inflamasi yang banyak terjadi pada
kasus iskemia dan adanya program cell death (apoptosis).

MEDICINUS

Hotel Le Meridien, Jakarta-Pusat

79

gitu juga dengan jumlah reactive


oxygen species (ROS) yang bisa
menyebabkan kematian sel.
Citicoline yang ada di dalam darah
akan dimetabolisme menjadi Ptd
Cho yang selanjutnya akan menjadi neurotransmiter asetilkolin.
Seiring meningkatnya asetilkolin, BCL-2 juga akan meningkat
di mana BCL-2 merupakan gen
yang digunakan sebagai marker
terhadap mekanisme antiapoptosis. Jika BCL-2 meningkat maka apoptosis akan menurun sehingga
dapat melindungi otak terhadap
kematian sel.
Bapak Raymond di akhir sesinya menyimpulkan materi yang
diberikan yaitu antara lain, kejadian iskemia dapat menyebabkan kematian sel melalui program

apoptosis. Program apoptosis ini


diatur oleh adanya keseimbangan
antara hidrolisis dan sintesis dari
Ptd Cho. Enzim CCT merupakan
rate-limiting enzyme dari sintesis
Ptd Cho. Citicoline dapat meningkatkan konsentrasi Ptd Cho dengan meningkatkan ekspresi enzim
CCT. Citicoline yang diberikan dari
luar dapat melindungi sel saraf
dengan cara menekan atau menurunkan ekspresi PLA2 dan protein
yang menyebabkan apop-tosis.
Setelah kedua pembicara menyampaikan materinya, sesi
berikutnya dilanjutkan dengan
diskusi tanya jawab yang kurang
lebih berlangsung selama 30
menit. Para peserta simposium
sangat antusias ditandai dengan
begitu banyaknya para peserta
yang melontarkan pertanyaan.

Kemudian sesi berikutnya adalah


workshop, yang dimulai pukul
12.30 WIB. Sebelumnya peserta
dipaparkan suatu kasus yang
disampaikan oleh dr. Taufik
Mesiano. Mulai dari anamnesis
pasien, riwayat penyakit, penegakan diagnosis dan treatment
yang diberikan. Dalam workshop
ini peserta diharapkan tanggapannya apakah dalam penanganan kasus tersebut sudah sesuai
ataukah masih ada yang perlu
ditambahkan. Kemudian setelah
pemaparan kasus, dilanjutkan
dengan pemberian materi workshop oleh dr. Yetti Ramli, SpS (K)
yaitu How to Screen Patient Dementia. Dalam penjelasan yang
disampaikan dr. Yetti, dikemukakan dengan jelas membedakan
pasien dengan gangguan kognitif
dan pasien yang telah mengalami

demensia sampai bagaimana cara


mendeteksi pasien demensia. Dr.
Yetti juga menyampaikan beberapa alat yang dapat membantu
menegakkan diagnosis demensia. Menurut dr. Yetti, pasien
dikatakan demensia ketika sudah ada penurunan memori dan
ditambah dengan penurunan
fungsi kognitif yang lain seperti
ataksia, gangguan pendengaran,
dll. Pemeriksaan yang dilakukan
terhadap pasien demensia antara
lain dilakukan anamnesis, kemudian pemeriksaan fisik dan selanjutnya pemeriksaan neurologi.
Acara ini berakhir sekitar pukul
13.00 WIB dan ditutup oleh dr.
Kurniawan, SpS. Kemudian dilanjutkan dengan makan siang
bersama. Ana, Cosmas, Marlin

MEDICINUS

Simposium 40 Tahun Dexa Medica


Comprehensive Management of
Cardiovascular Disease
in Daily Practice

80

2 Mei 2009
Hotel JW Marriot, Jakarta

imposium ini diadakan


oleh PT Dexa Medica bekerja sama dengan Pengurus Pusat Perhimpunan Kardiovaskular Indonesia (PP PERKI)
untuk menyambut HUT Ke-40
Dexa Medica Terus Berbakti
(27 September 2009). Ada 4 sesi
dalam simposiun ini yaitu DR.
RMW Kaligis, SpJP (K), FIHA,
yang membawakan makalah
Global Risk Reduction of Cardiovascular Disease, Prof. DR. dr. Idris
Idham, SpJP (K), FIHA, FESC,
FACC, FasCC, yang menyam-

paikan makalah Changing Concept Management in Lipid Disorders


to Reduce Coronary Heart Disease,
Prof. DR. dr. Budhi Setianto,
SpJP (K), FIHA, yang mempresentasikan makalah Point to Remember, Dual Antiplatelet Agent
in CAD, dan Managing Director
Dexa Medica, Ir. Ferry Soetikno,
MBA dengan makalah berjudul
The Role of Pharmaceutical Manufacturer in Indonesia Healthcare,
serta sebagai moderator yaitu
Prof. DR. dr. Harmani Kalim,
MPH, SpJP (K), FIHA. Simpo-

sium dibuka dengan sambutan


dari Ketua PP PERKI, DR. Sunarya Soerianata, SpJP (K), FIHA,
FACC, FasCC.

Global Risk Reduction of


Cardiovascular Disease
DR. RMW Kaligis, SpJP (K),
FIHA
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian terbesar di dunia (WHO report, 2003).
Beberapa faktor risiko yang berperan antara lain tekanan darah, rokok, berat badan kurang

maupun berlebih, alkohol, kolesterol, sanitasi dan higiene, rendahnya asupan buah dan sayur,
dan aktivitas fisik. Dalam salah
satu penelitian hipertensi ditunjukkan bahwa dengan tekanan
darah sistolik yang sedikit lebih
tinggi daripada normal dan pada
umur lebih dari 60 tahun, akan
lebih berisiko terkena Ischaemic
Heart Disease (IHD). Penelitian
lain menunjukkan bahwa dengan menurunkan tekanan darah
dan kolesterol, angka kematian
akan berkurang dengan lebih

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

37

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

38

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

optimal daripada jika hanya


menurunkan salah satunya saja.
Semakin banyak faktor risiko
maka akan semakin tinggi pula
angka kejadian kardiovaskular.
Pasien penyakit kardiovaskular
kurang lebih 80% menderita hipertensi dan 90% mempunyai
lebih dari 3 faktor risiko.

Melakukan terapi hanya pada


salah satu faktor risiko tidaklah
cukup. Kurang lebih kejadian
kardiovaskular tidak dapat dihindari apabila hanya diberikan terapi statin saja (studi
4S, AFCAPS, Care, LIPID, dll),
demikian juga pemberian terapi
antihipertensi saja tidak dapat
menghindarkan kejadian kardiovaskular sebanyak dari populasi (studi SHEP, MRC-O, SystEur, PROGRESS).

Gambar 2: Dengan terapi antihipertensi


(sumber: slide Dr. Kaligis)

Oleh karena itu, strategi yang harus dilakukan untuk mengurangi


CHD maupun CVD adalah dengan memberikan terapi terhadap
semua faktor risiko. Tata laksana
hipertensi yang berlaku sekarang ini menyatakan pentingnya
penanganan semua faktor risiko
dengan strategi terapi yang tepat
(ESH/ESC 2002; WHO/ISH 2003;
JNC 7 2003; BHS IV 2005; CHEP
2006), demikian pula halnya dengan tatalaksana pencegahan penyakit CV (European Joint Task Forca
2003; JBS 2 2005). Meremehkan
faktor risiko dapat menyebabkan
terapi kardiovaskular tidak optimal. Sebaliknya, penanganan faktor risiko kardiovaskular secara
keseluruhan merupakan kunci
untuk mengurangi kejadian kardiovaskular.

Changing Concept Management in Lipid Disorders to


Reduce Coronary Heart Disease
Prof. DR. dr. Idris
Idham, SpJP (K),
FIHA, FESC, FACC,
FasCC

Gambar 1: Dengan terapi Statin

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

dapat menurunkan angka mortalitas, morbiditas, serta meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Seperti terlihat pada gambar
berikut ini:

Penyakit
kardiovaskular merupakan
penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia.
Sekitar 17 juta orang
meninggal karena
penyakit
kardiovaskular tiap tahun,
terutama
akibat
serangan
jantung
dan stroke. Adanya
peningkatan mortalitas dan morbiditas dalam age-

tiap tahunnya.

Menurut the Third Report of the NaPada simposium ini juga disam- tional Cholesterol Education Program
paikan bahwa telah terjadi peru- (NCEP) Expert Panel on Detection,
bahan konsep dalam penatalak- Evaluation, and Treatment of High
sanaan terhadap dislipidemia, Blood Cholesterol in Adults (Adult
Treatment Panel III [ATP III]) bahwa
antara lain:
1.Dulu penatalaksanaan terha- kolesterol LDL diidentifikasi sedap dislipidemia hanya ber- bagai target utama pada terapi untujuan untuk mengontrol ka- tuk menurunkan kolesterol. Studidar lipid dengan fokus yang studi yang ada memperlihatkan
hanya terbatas pada dislipi- bahwa konsentrasi kolesterol LDL
demia saja, sekarang bertujuan yang tinggi dalam darah merupauntuk mencegah kemungki- kan faktor risiko utama pada pennan terjadinya efek samping yakit kardiovaskular (PJK). Studiutama, dengan fokus bahwa studi tersebut juga menunjukkan
dislipidemia sebagai bagian bahwa penurunan kadar kolesdari risiko menyeluruh pada terol LDL akan mengurangi risiko
utama kejadian kardiovaskular.
pasien.
2. Sekarang sasaran terhadap nilai LDL bergantung pada risiko NCEP ATP III mengklasifikasikan
menyeluruh yang mungkin pasien ke dalam 3 kelompok risiko
timbul, dengan metode peng- untuk menentukan sasaran kolesgunaan obat dari awal dan se- terol LDL dan tahapan dimulaicara agresif. Dulu sasaran pen- nya pemberian obat (statin) pada
gobatan hanya pada nilai LDL ketiga kelompok risiko:
saja
dengan
Kelompok
Sasaran
Kadar
Kadar
metode pengrisiko
kolesterol
kolesterol
kolesterol
gobatan yang
LDL dan
LDL dan
konservatif.
perubahan pertimbangkan
Saat ini terapi dislipidemia memiliki target untuk
menurunkan LDL,
menurunkan TG,
dan
me-ningkatkan HDL. Namun yang juga
perlu
diperhatikan
mengenai
clinical end point
dari terapi yang
dipilih. Apakah
terapi
tersebut
selain
memiliki
efek di atas juga

gaya hidup

pemberian
obat

0-1 faktor
risiko

<160

160

190
(160-189
pemberian obat
opsional)

2 faktor
risiko

<130

130

160 (risiko
PJK <10%)
130 (risiko
PJK 10-20%)

PJK atau
risiko yang
sama
dengan
PJK

<100

100

130
(100-129
pemberian obat
opsional)

risiko 10 tahun PJK, berdasarkan ATP III.


risiko yang sama dengan PJK seperti penyakit
serebrovaskular, diabetes mellitus, aneurisma aorta.

MEDICINUS

Dr. Kaligis juga memaparkan perhitungan CV RISK dengan Framingham Heart Study Risk Scores,
yaitu dengan menggunakan
tabel dimana tiap faktor risiko
akan mempunyai score tersendiri
dan score tersebut kemudian dijumlahkan, maka akan diketahui
berapa persen kemungkinan kita
terkena penyakit kardiovaskular setelah 10 tahun kedepan.
Faktor risiko yang dinilai antara
lain umur, kolesterol LDL, HDL,
tekanan darah, diabetes, dan perokok. Faktor risiko (dislipidemia,
hipertensi,
hipoksia/iskemia,
diabetes, rokok dan obesitas) dapat menyebabkan arterosklerosis
yang kemudian menjadi kejadian
kardiovaskular (stroke, infark
miokard, gagal jantung, maupun
angina).

ing population, maka


diperkirakan
pada
tahun 2020 sekitar 25
juta orang meninggal
akibat kardiovaskular

83

Perubahan gaya hidup merupakan faktor yang sangat penting


dalam penanganan dislipidemia,
pada pasien dengan risiko penyakit kardiovaskular. Pada prinsipnya pasien dianjurkan untuk
meng-urangi berat badan, meningkatkan aktivitas fisik sesuai
dengan keadaan dan kemampuannya, dan perubahan dalam
pola diet. Pasien dianjurkan untuk
meng-urangi asupan lemak total
<200 mg/hari dan lemak jenuh
(saturated fatty acid) <7% dari total
kalori dan meningkatkan asupan
lemak tidak jenuh rantai tunggal
dan ganda (mono dan poly unsaturated fatty acid).

MEDICINUS

Points to Remember
Dual Antiplatelet in CAD
Prof. DR. dr. Budhi Setianto,
SpJP (K), FIHA

84

Atherotrombosis
merupakan
penyebab kematian paling besar
di dunia (WHO, 2001). Manifestasi klinis atherotrombosis dimulai
dari aterosklerosis kemudian
atherotrombosis dimana trombosis
ini akan menyebabkan terjadinya
angina tidak stabil, infark miokard, iskemia, stroke, dan kematian kardiovaskular lainnya. Untuk mencegah terbentuknya atau
progresi aterotrombosis inilah
peran antiplatelet dibutuhkan.
Aspirin merupakan oral antiplatelet yang bekerja menghambat enzim siklo-oksigenase pada
jalur pembentukan mediator
inflamasi sehingga tidak terbentuk tromboksan A2. Sedangkan
Clopidrogel bekerja menghambat
ikatan ADP dengan reseptornya
di platelet. Masing-masing mekanisme menghambat terjadinya
agregasi platelet sehingga diharapkan mencegah terbentuknya
arterotrombosis (primary prevention) atau menghambat progresi
atherotrombosis (secondary atau
tertiary prevention).
Penggunaan dual antiplatelet
(Aspirin + Clopidrogel) diharapkan dapat mencegah terbentuknya atherotrombosis atau menghambat progresi atherotrombosis
dengan lebih intens. Akan tetapi
hasil analisa retrospektif dari uji
klinis CHARISMA terhadap po-

pulasi pasien dengan primary prevention tidak mendukung penggunaan dual antiplatelet sebagai
primary prevention untuk pasien
dengan risiko tinggi terhadap
kejadian atherotrombosis. Pada populasi pasien dengan risiko tinggi
atherotrombosis, terjadinya kejadian kematian kardiovaskular
pada pasien yang mendapatkan
terapi aspirin+clopidrogel justru meningkat dibanding terapi
aspirin+plasebo (CV death: 3,9%
versus 2,2%, P= 0,01). Relative
risk ratio tidak berbeda bermakna
antara kelompok dual antiplatelet dengan kelompok single antiplatelet dan risiko pendarahan
pada kelompok dual antiplatelet
meningkat. Penyebab peningkatan kematian kardiovaskular
pada pasien yang menerima terapi dual antiplatelet belum dapat dijelaskan. Hasil analisa ini
merupakan hasil analisa post hoc
retrospektif. Oleh sebab itu, lebih
lanjut lagi dibutuhkan evaluasi prospektif untuk penggunaan
dual antiplatelet sebagai primary
prevention.
Tetapi penggunaan dual antiplatelet sebagai secondary prevention
masih dapat dipertimbangkan.
Uji Klinis CHARISMA menunjukkkan bahwa event rate (%)
dual antiplatelet tidak berbeda
bermakna dengan event rate (%)
single antiplatelet. Akan tetapi,
uji-uji lainnya (seperti: CLARITY,
CURE, PCI-CURE, dan CREDO)
menunjukkan event rate (%) yang
lebih rendah pada kelompok dual
antiplatelet dibandingkan dengan kelompok single antiplatelet.
Namun perlu juga diperhatian,
persentase kemungkinan pendarahan pada kelompok terapi dual
antiplatelet lebih besar daripada
terapi single antiplatelet.
Dr. Budhi juga memberikan paparan mengenai tatalaksana antitrombosis untuk pasien ACS (Acute
Coronary Syndrome), yaitu untuk
pasien yang tidak menggunakan
stent, pasien dengan Bare metal stent,
pasien dengan drug eluting stent,
dan pasien PCI (Percutaneus Coronary Intervention). Pada dasarnya
terapi dual antiplatelet pada pasien
ACS direkomendasikan, kecuali

krisis ekonomi global, terutama


pada industri-industri farmasi di
Indonesia.

terdapat risiko tinggi terhadap kejadian pendarahan.


Sebagai ringkasan, rekomendasi pemakaian dual antiplatelet
adalah sebagai berikut:
Indikasi

Durasi

Primary prevention
of CV events

Hindari

Secondary prevention of stroke

Hindari

ACS, tanpa stent

1-12 bln

Bare-metal stent

1-12 bln

Drug-eluting stent

12 bln

Pasien CAGB

Pasien DM, LM, LV


thrombus (CHF, AF)

Tiga dimensi utama dalam industri farmasi yaitu:


a) Dimensi SoSHORT
sial
b) Ekonomi
B
c) Research dan
teknologi
B

Dihentikan 5-7 hr
sebelum prosedur
bypass
Selamanya??

SORT: Strength of Recommendation


Taxonomy
ACS : Acute Coronary Syndrome
CAGB: Coronary Artery Bypass Graft

Dalam tatalaksana kedokteran,


paparan dr. Budhi Setianto di atas
dapat menjadi dasar pertimbangan praktisi, yaitu pertimbangan
risk-benefit ratio dalam pemillihan
antiplatelet untuk pencegahan
atherothrombosis.
Menutup topik dual platelet ini,
dr. Budhi juga mengungkapkan
bahwa para klinisi dan pasien
sangat tertolong dengan adanya first generic clopidrogel (VACLO, Dexa Medica) yang telah
dibuktikan bioekivalen dengan
PLAVIX, Sanovi Aventis dalam
studi BABE.

The Role of Pharmaceutical


Manufacturer in Indonesia
Healthcare
Ir. Ferry Soetikno, MBA
Saat ini dunia sedang mengalami krisis ekonomi global. Hal
ini menyebabkan terjadinya banyak pemutusan hubungan kerja
terhadap
karyawan-karyawan
industri. Beberapa negara yang
terlihat terkena dampak dari
krisis ekonomi global ini antara
lain negara-negara di Eropa,
Amerika, China, dan Kamboja
yang membawa dampak terjadinya job crisis di negara-negara
tersebut. Diharapkan Indonesia
tidak terkena imbas dari adanya

a) Dimensi sosial
Konsumsi obat per
C
kapita tiap negara
dari tahun ke tahun
semakin meningkat.
Hal ini karena semakin me-ningkatnya penyakit-penya-kit degenerasi di kalangan
masyarakat. Jika dilihat dari
tahun 2005, maka kemungkinan 25 tahun ke depan akan
terjadi peningkatan risiko
masyarakat menderita penyakit-penyakit degenerasi.
Dengan semakin meningkatnya risiko terkena penyakitpenyakit tersebut, maka usia
harapan hidup masyarakat
akan semakin tinggi sehingga kebutuhan masyarakat
akan obat pun semakin meningkat. Masyarakat tidak
hanya membutuhkan obat
yang ala kadarnya (misalnya: dulu ketika terkena penyakit tertentu, maka hanya
diberikan antibiotik) namun
membutuhkan obat yang
lebih tepat untuk mengobati
penyakitnya.
A

Dengan melihat kebutuhan


masyarakat akan obat-obatan
mulai saat ini hingga beberapa waktu ke depan, industri
farmasi diharapkan mampu
untuk memenuhi kebutuhan
akan obat. Industri farmasi
sudah selayaknya melakukan product selection dalam
memproduksi obat-obatan.
Product selection dalam industri farmasi terdiri dari
original products dan generic.
Original products berkaitan
dengan obat-obat original
yang dipasarkan kepada
masyarakat, biasanya dikenal

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

liabilitas (tanggungan). Jika


salah menilai maka hal tersebut dapat mengganggu jalannya usaha industri farmasi.
Pabrik dan sumber daya
manusia merupakan sebuah
aset bagi industri farmasi
yang perlu terus dibangun.
Selain investasi, industri farmasi diharapkan memiliki
komitmen dalam menjalankan
usahanya sesuai dengan
GMP dengan menghasilkan
produk-produk farmasi yang
terjamin kualitasnya. Dengan
produk yang terjamin kualitasnya maka industri farmasi
dapat melakukan ekspor ke
negara luar. Peran industri
farmasi dalam melakukan
ekspor merupakan bentuk
keikutsertaan industri farmasi dalam membangun
perekonomian negara karena
ekspor yang dilakukannya
termasuk dalam ekspor non
migas.

c) Dimensi research dan teknologi


Saat ini kebanyakan obat
yang dipasarkan di masyarakat merupakan obat-obat
paten milik Multi National
Companies (MNC). Hak paten
merupakan intellectual property right. Industri farmasi
di Indonesia belum banyak
yang menghasilkan produk
baru yang memiliki hak
paten. Adapun kebanyakan
produknya adalah me too
products. Semakin banyaknya
me too products, maka semakin
tinggi persaingan di pasaran.
Dalam mengatasi hal ini, industri farmasi membutuhkan
suatu strategi baru agar tetap
mampu menghasilkan output.
Salah satu strategi yang dipakai oleh PT Dexa Medica yaitu
strategic alliance. Strategic alliance merupakan suatu strategi
mengadakan hubungan aliansi dengan MNC. Modal utama
dalam melakukan strategi ini
adalah TRUST. Dexa Medica dalam hal ini telah banyak menjalin aliansi dengan
MNC seperti Pfizer, Novartis,
Menarini, Sanofi Aventis
dan lainnya. Salah satu ben-

tuk strategi aliansi PT Dexa


Medica yaitu dengan Sanofi
Aventis dengan meluncurkan
VACLO sebagai first generic to
launch setelah original product
dari Pfizer kehilangan patennya. Sebagai bukti bahwa VACLO memiliki kualitas yang
sama dengan original productnya ditunjukkan melalui uji
bioekuivalensi (BE).
Peran lain dalam dimensi
research dan teknologi ini
adalah pengembangan New
Drugs Delivery System (NDDS)
dan obat-obat yang berbahan
baku dari alam (Dexa Laboratory of Biomolecular and Sciences).

Mengakhiri presentasinya, Pak


Ferry memperlihatkan foto-foto
beberapa prestasi yang telah
diraih PT Dexa Medica hingga
saat ini, diantaranya yaitu, saat
PT Ferron Par Pharmaceutical
melakukan ekspor untuk pertama kalinya ke United Kingdom.
Merupakan suatu prestasi yang
membanggakan karena PT Dexa
Medica terbukti mampu menembus regulasi yang sangat ketat
yang berlaku di negara tersebut.
Sebagai kesimpulan dari materi
yang disampaikan yaitu:
1. Industri farmasi mempunyai
peran penting dalam pelayanan kesehatan.
2. Tiga dimensi yang telah dijelaskan sebelumnya masih
memiliki banyak tantangan
yang harus dihadapi.
Lydia, Meta, Mita, Natalia

MEDICINUS

dengan sebutan obat paten.


Tentunya harga dari obatobat tersebut cukup tinggi,
sehingga hanya masyarakat
golongan menengah ke atas
yang dapat menggunakan
obat-obatan tersebut. Oleh
karena itu dibutuhkan obatobatan dengan kualitas sama
dengan harga yang relatif
rendah sehingga dapat menjadi konsumsi seluruh lapisan masyarakat terutama
masyarakat menegah ke bawah. Disinilah industri farmasi menjalankan perannya
dalam dimensi sosial, yaitu
dengan menghasilkan obatobatan generic yang memiliki
kualitas sama dengan original products namun dengan
harga yang relatif rendah.
Adapun definisi dari obat
generic adalah obat-obatan
yang telah kehilangan masa
patennya (off patent). Kebutuhan akan obat generic ini
dalam setiap tahunnya meningkat sebesar 10%. Hal ini
menunjukkan bahwa obatobat generik mulai mendapat kepercayaan dari dokter
dan pasien yang menggunakannya. Di Indonesia obat
generik terdiri dari branded
generic dan obat generik berlogo. Pak Ferry mengharapkan agar para dokter sebagai
orang yang berada di garis
depan
bertemu
dengan
pasien menyampaikan dan
meyakinkan pasien bahwa
obat-obat generik memiliki
kualitas sebaik obat-obat
original products.
b) Dimensi ekonomi

Dalam dimensi ekonomi,
industri farmasi memiliki
peran dalam melakukan investasi dan komitmen. Bentuk investasi yang dilakukan
oleh industri farmasi berupa
pembangunan pabrik dengan mengikuti kaidah-kaidah
GMP (Good Manufacturing
Practice). Dalam hal investasi, penting bagi industri farmasi untuk melihat kapasitas
yang dimilikinya. Industri
farmasi harus mampu menilai kapasitas yang dimilikinya sebagai sebuah aset atau

85

literatur services

Pembaca yang budiman,


Jurnal MEDICINUS melayani permintaan literatur services hanya dengan melalui Tim Promosi Dexa Medica Group.
Di bawah ini akan diberikan daftar isi beberapa jurnal terbaru yang dapat anda pilih. Bila anda menginginkannya, mohon halaman
ini difotokopi, artikel yang dimaksud diberi tanda dan dikirimkan ke atau melalui Tim Promosi.

o Triple-combination

pharmacotherapy

for

o Novel agents on the horizon for cancer therapy. Ca Cancer J Clin 2009; 59:111-37

medically ill smokers. A randomized trial.


Annals of Internal Medicine 2009; 150:447-54

o Intravenous

o Growth

pubertal children born small for gestational

esomeprazole for prevention

age. Diabetes Care 2009; 32:714-9

of recurrent peptic ulcer bleeding. A randomized trial. Annals of Internal Medicine

MEDICINUS

86

o Insulin therapy and glycemic control in hos-

2009; 150:455-64

pitalized patients with diabets during en-

Abnormal functional specialization within

teral nutrition therapy. Diabetes Care 2009;

medial prefrontal cortex in high-function-

32:594-6

ing autism: a multi-voxel similarity analysis.

o A

o Blood

omized, controlled trial. Hypertension 2009;

ammonia levels in liver cirrhosis: a

53:646-53

clue for the presence of portosystemic collateral veins. BMC Gastroenterology 2009;

simplified approach to the treatment of

uncomplicated hypertension: A cluster rand-

Brain 2009; 132:869-78

factors and adipocytokines in pre-

Cardiac outcomes after screening for asymp-

9:21

tomatic coronary artery disease in patients

Spinal cord stimulation in the treatment of

with type 2 diabetes: The DIAD study: a

refractory angina: systemic review and me-

randomized controlled trial. JAMA 2009;

ta-analysis of randomized controlled trials.


BMC Cardiovascular Disorders 2009; 9:13

o 
A systemic review and meta-analysis: probiotics in the treatment of irritable bowel syndrome. BMC Gastroenterology 2009; 9:15

o Meta-analysis

of duloxetine vs pregabalin

and gabapentin in the treatment of diabetic


peripheral neuropathic pain. BMC Neurology

301(15):1547-55

o 
Cognitive function at 3 years of age after fetal exposure to antiepileptic drugs. The New
England Journal of Medicine 2009; 360:1597605

o 
Valsartan for prevention of recurrent atrial
fibrillation. The New England Journal of Medicine 2009; 360:1606-17

2009; 9:6

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

events

timuno terpilih sebagai


Most Recommended Brand
(produk yang paling direkomendasikan
konsumen)
untuk kategori Sistem Imunitas
Anak. Penghargaan ini dalam
ajang Word of Mouth Marketing Award 2009 diberikan oleh
onbee Marketing Research (Octovate Consulting Group) dan Majalah SWA.
Penyerahan dilakukan di
Hotel Shangri-La, Jakarta, Kamis, 16 April 2009 oleh pimpinan onbee Marketing Research
didampingi pimpinan Majalah
SWA kepada Head of Marketing & Sales OTC PT Dexa Medica, Sylvia A. Rizal, mewakili
Managing Director PT Dexa
Medica Ferry Soetikno.
Penghargaan ini didasarkan
pada hasil survei Word of Mouth
Marketing Index (WOMMI) yang
dilakukan oleh onbee dan Ma-

jalah SWA. Survei WOMMI baru


kali pertama dilakukan di Indonesia.
Survei tersebut melibatkan
1.850 responden (1.000 random
sampling dan 850 booster sampling) di Jabodetabek (Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Bandung, Surabaya, Medan,
dan Makassar. Usia Responden
15-55 tahun dengan tingkat sosial ekonomi dari A sampai E.
Survei
dilakukan
dengan mengukur empat variabel
utama, yaitu talking (tingkat
merek tersebut dibicarakan oleh
konsumen), promoting (tingkat
merek tersebut dipromosikan
oleh konsumen), selling (tingkat merek tersebut dijual/direkomendasikan oleh konsumen)
dan social network (jaringan sosial yang dimiliki konsumen).

Corporate Communications Dexa


Medica

Head of Marketing and Sales OTC PT Dexa Medica, Sylivia A. Rizal, saat
menerima penghargaan Most Recommended Brand 2009 untuk STIMUNO,
yang diberikan oleh onbee Marketing Research.

87

BOSKA, Best Brand 2009 di Afrika Barat

OSKA meraih penghargaan sebagai merek terbaik di seluruh Afrika


Barat tahun 2009 (The West African Branding Excellence Awards
2009). Boska menjadi pemenang
penghargaan kategori pain reliever. Penghargaan diberikan
oleh The Institute of Brand Management of Nigeria (IBMN) di
Sheraton Hotel and Towers, Ikeja,
Lagos, Nigeria, pada 8 April
2009.
Penghargaan ini merupakan
pertama kalinya diberikan oleh
IBMN kepada berbagai produk
dan jasa mulai dari FMCG (Fast
Moving Consumer Goods), OTC
(Over The Counter) products,
print & electronic media, local
airline, perbankan, hingga courier service. Hadir pada acara
penghargaan tersebut adalah
Chief Regulatory Officer NafdacNational Agency for Food and
Drug Administration & Control
(Badan POM Nigeria), Dr. Mat-

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

Sertifikat West Africa's Best Pain Reliever Brand of The Year 2009 yang
diterima BOSKA dari The Institute of Brand Management of Nigeria.

ty O. N. Udoye BSc., MSc., PhD,


mewaki-li Director General NAFDAC, Dr. Paul Orhii.
BOSKA produk dari Dexa
Medica berkhasiat sebagai antianalgesik untuk menyembuhkan
sakit kepala, demam serta rasa

nyeri di badan, yang telah dipasarkan ke luar negeri, yaitu


Nigeria, sejak tahun 1998. Tablet BOSKA bertanda bintang 5,
melambangkan tingginya kualitas BOSKA.
Konsumen di Nigeria yang te-

MEDICINUS

Stimuno Terpilih Sebagai Most Recommended Brand 2009

lah mengkonsumsi BOSKA mengakui efektivitas yang dirasakan


secara cepat. Kepuasan pelanggan
dan kualitas yang telah teruji ini,
menjadikan Brand BOSKA kuat
dan semakin dipercaya.
BOSKA juga peduli terhadap brand social responsibility,
terbukti dengan mengadakan
Boska Football Cup di kalangan
muda kota Lagos sejak 2007-2009
dan di kota Kano pada tahun ini.
Merupakan rekor kompetisi yg
melibatkan tim terbanyak di Nigeria.
Penghargaan untuk produkproduk OTC diberikan berdasarkan penilaian yang meliputi tingkat consumer acceptance,
quality reliability, market share
dominace, optimum satisfaction,
juga resilience value and durability.
Selama ini, BOSKA memang telah dikenal sebagai produk yang
memenuhi semua kriteria penilaian tersebut. Corporate Communications Dexa Medica

Ibu Negara Ani Yudhoyono Singgah di Stand OGBdexa

tand OGBdexa di IndoMedica Expo, Jakarta Convention Center (JCC) Hall B,


Senayan, mendapat kunjungan
Ibu Negara, Ani Yudhoyono,
pada Jumat, 8 Mei 2009. Ibu Negara didampingi oleh Menteri
Pendidikan Nasional, Bambang
Soedibyo, Gubernur DKI Jakarta,
Fauzi Bowo, Ketua Solidaritas
Istri Kabinet Indonesia Bersatu
(SIKIB), Ny. Hendarman Supandji, dan Ketua Umum Pengurus
Besar Ikatan Dokter Indonesia
(PB IDI), DR. Dr. Fachmi Idris,
M.Kes.

MEDICINUS

Kunjungan tersebut dilakukan


setelah Ibu Negara menyerahkan
penghargaan Dokter Kecil Award

88

2009 di tempat yang sama. Ketika


singgah ke stand OGBdexa, Head
of Marketing & Sales OGBdexa,
Tarcisius T. Randy, dan Head
of Marketing & Sales OTC Dexa
Medica, Sylvia A. Rizal, sempat
berbincang-bincang sejenak dengan Ibu Negara.
Stand OGBdexa menginformasikan
kegiatan edukasi, kegiatan sosial
pengobatan gratis, penyuluhan
kesehatan kepada masyarakat
luas dan ragam penghargaan
yang diperoleh Dexa Medica. IndoMedica Expo yang diselenggarakan oleh PB IDI berakhir hari
Minggu, 10 Mei 2009. Corporate

Communications Dexa Medica

Ibu Negara Ani Yudhoyono mendapat penjelasan tentang OGB dan


Stimuno saat berkunjung ke stand OGBdexa pada acara IndoMedica
Expo 2009, di Jakarta.

Pakar Berbagai Negara Hadir di Indonesian


Digestive Disease Week 2009

ejumlah pakar dari berbagai Negara (USA, Jepang,


India, dan Indonesia) hadir
dalam Indonesian Digestive Disease
Week (IDDW) 2009 yang berlangsung mulai 14-16 Mei 2009 di Jakarta.

Pada 14 Mei 2009, dilangsungkan The 5th International Endoscopy


Workshop yang berlangsung di
Auditorium Bagian Ilmu Penyakit
Dalam, FKUI/RS. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Program ini
menyajikan live demonstration tin-

Prof. Roy Soetikno bersama sejumlah pakar melakukan live demonstration


tindakan operasi menggunakan teknik Endoscopy, pada The 5th International
Endoscopy Workshop, di Jakarta.

dakan operasi dengan teknik Endoscopy.


Tampil antara lain, Prof. Roy
Soetikno (USA) bersama sejumlah pakar lain seperti Prof D.
Nageshwar Reddy, MD (India),
dr.
Marcellus
Simadibrata,
PhD, SpPD-KGEH (Indonesia)
melakukan live demonstration
tindakan operasi menggunakan
teknik Endoscopy, dihadapan
sekitar 50 dokter, yang melihat
secara langsung melalui layar
lebar di Auditorium Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Pada sesi pertama dilakukan
live demonstration: Diagnostic
Upper GI Endoscopy & Colonoscopy, Sclerotherapy/Ligation of
Esophageal Varices and Fundal
Varices Histoacryl Injection. Prof.
Roy dan Prof. Reddy melakukan demo bergantian, sambil
melakukan tanya-jawab dengan para dokter yang antusias

menyaksikan jalannya operasi


dari layar lebar. Sebuah kemajuan
teknologi kedokteran, di mana
dalam proses operasi, pasien tidak
perlu dilakukan pembedahan.
Prof. Roy Soetikno selain melakukan live demonstration, juga diminta memberikan komentar saat
dr. Marcellus live demonstration,
melakukan tindakan Endoscopy kepada pasien yang menderita hepatic
chirrosis, pada live demonstration sesi
ke dua.
Ada empat sesi live demonstration
dalam program dari The 5th International Endoscopy Workshop 2009 ini.
Dr.H.Chudahman Manan, SpPDKGEH ikut memandu jalannya live
demonstration yang berlangsung
hingga sore hari. Kegiatan IDDW
2009 selanjutnya pada 15-16 Mei
2009 berupa Simposium dan Plenary Lecture. Corporate Communications Dexa Medica

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

IKLAN KEPPRA

IKLAN HOSPITAL EXPO

Anda mungkin juga menyukai