daftar isi
45 Dari Redaksi
46 Petunjuk Penulisan
Leading Article
61 Systemic Mastocytosis
Medical Review
74 Calender Events
Meet the Expert
Radang Sendi
SUMBANGAN TULISAN
Redaksi menerima partisipasi berupa tulisan, foto dan materi
lainnya sesuai dengan misi majalah ini. Redaksi berhak mengedit atau mengubah tulisan/susunan bahasa tanpa mengubah isi
yang dimuat apabila dipandang perlu.
MEDICINUS
dari redaksi
45
MEDICINUS
Petunjuk Penulisan
46
the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg
1993;325-33
11. Nomor halaman dalam angka romawi
Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr; 9(2):xi-xii
Buku dan monograf lain
12. Penulis perseorangan
Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed.
Albany (NY):Delmar Publishers; 1996
13. Editor sebagai penulis
Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New
York:Churchill Livingstone; 1996
14. Organisasi sebagai penulis
Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid program.
Washington:The Institute; 1992
15. Bab dalam buku
Catatan: menurut pola Vancouver ini untuk halaman diberi tanda p, bukan
tanda baca titik dua seperti pola sebelumnya).
Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM,
editors. Hypertension: Patophysiology, Diagnosis and Management. 2nded.
New York:Raven Press; 1995.p.465-78
16. Prosiding konferensi
Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neurophysiology.
Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996
17. Makalah dalam konferensi
Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992
Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam:North-Hollan; 1992.p.1561-5
18. Laporan ilmiah atau laporan teknis
Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor:
Smith P, Golladay K. Payment for durable medi-cal equipment billed during
skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.:
HHSIGOEI69200860
Diterbitkan oleh unit pelaksana:
Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services Research: Work
Force and Education Issues. Washington:National Academy Press; 1995. Contract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy
and Research
19. Disertasi
Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The elderys access and utilization
[dissertation]. St. Louis (MO): Washington Univ.; 1995
20. Artikel dalam koran
Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21; Sept A:3 (col.5)
21. Materi audio visual
HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): MosbyYear Book; 1995
Materi elektronik
22. Artikel jurnal dalam format elektronik
Morse SS. Factors in the emergence of infection diseases. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 jan-Mar [cited 1996 Jun 5];1(1):[24 screens]. Available from:
URL:HYPERLINK
23. Monograf dalam format elektronik
CDI, Clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT,
maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San
Diego: CMEA; 1995
24. Arsip komputer
Hemodynamics III: The ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando [FL]: Computerized Educational Systems
leading article
Rudy Hidayat
Abstrak. Hiperurisemia dapat menimbulkan manifestasi gout di berbagai jaringan, mulai dari sendi, ginjal, jantung , mata dan organ
lain. Artritis gout merupakan manifestasi yang paling banyak, dan perlu penanganan yang komprehensif dan jangka panjang. Upaya
mengatasi serangan akut, mencegah serangan berulang dan mencegah berbagai komplikasi lainnya hingga kecacatan menjadi fokus
perhatian. Dalam upaya pencegahan komplikasi, selain edukasi yang tepat serta mengubah pola hidup, diperlukan beberapa uratelowering agent seperti allopurinol atau probenesid.
Epidemiologi
Patogenesis Gout
Pendahuluan
MEDICINUS
47
51
MEDICINUS
48
Penyebab hiperurisemia
sebagai suatu proses
metabolik yang bisa
menimbulkan manifestasi
gout, dibedakan menjadi
penyebab primer pada
sebagian besar kasus,
penyebab sekunder dan
idiopatik. Penyebab primer
berarti tidak penyakit atau
sebab lain, berbeda
dengan kelompok sekunder
yang didapatkan adanya
penyebab yang lain, baik
genetik maupun metabolik.
Gambaran Klinik
Gout dan Hiperurisemia
Gambaran klinik dapat berupa:1,5
1. Hiperurisemia asimptomatik
Hiperurisemia asimptomatik adalah keadaan hiperurisemia
(kadar asam urat serum tinggi) tanpa adanya manifestasi klinik
gout. Fase ini akan berakhir ketika muncul serangan akut arthritis gout, atau urolitiasis, dan biasanya setelah 20 tahun keadaan
hiperurisemia asimptomatik. Terdapat 10-40% subyek dengan
gout mengalami sekali atau lebih serangan kolik renal, sebelum
adanya serangan arthritis.1,2
2. Arthritis gout, meliputi 3 stadium:
2.1. Artritis gout akut
Serangan pertama biasanya terjadi antara umur 40-60 tahun
pada laki-laki, dan setelah 60 tahun pada perempuan. Onset
sebelum 25 tahun merupakan bentuk tidak lazim arthritis
gout, yang mungkin merupakan manifestasi adanya gangguan enzimatik spesifik, penyakit ginjal atau penggunaan
siklosporin. Pada 85-90% kasus, serangan berupa arthritis
monoartikuler dengan predileksi MTP-1 yang biasa disebut
podagra.2 Gejala yang muncul sangat khas, yaitu radang sendi yang sangat akut dan timbul sangat cepat dalam waktu
singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apapun, kemudian
bangun tidur terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan. Keluhan monoartikuler berupa nyeri, bengkak, merah
dan hangat, disertai keluhan sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah, disertai lekositosis dan peningkatan
laju endap darah. Sedangkan gambaran radiologis hanya didapatkan pembengkakan pada jaringan lunak periartikuler.
Keluhan cepat membaik setelah beberapa jam bahkan tanpa
terapi sekalipun.1,2,5
Pada perjalanan penyakit selanjutnya, terutama jika tanpa
terapi yang adekuat, serangan dapat mengenai sendi-sendi
yang lain seperti pergelangan tangan/kaki, jari tangan/kaki,
lutut dan siku, atau bahkan beberapa sendi sekaligus. Serangan menjadi lebih lama durasinya, dengan interval serangan
yang lebih singkat, dan masa penyembuhan yang lama. Faktor pencetus serangan akut antara lain trauma lokal, diet
tinggi purin, minum alkohol, kelelahan fisik, stress, tindakan
operasi, pemakaian diuretik, pemakaian obat yang meningkatkan atau menurunkan asam urat. Diagnosis yang definitif/gold standard, yaitu ditemukannya kristal urat (MSU) di
cairan sendi atau tofus.1,2,5
Untuk memudahkan penegakan diagnosis arthritis gout
akut, dapat digunakan kriteria dari ACR (American College of
Rheumatology) tahun 1977:1
A. Ditemukannya kristal urat di cairan sendi, atau
B. Adanya tofus yang berisi kristal urat, atau
C. Terdapat 6 dari 12 kriteria klinis, laboratoris dan radiologis
berikut:
1. Terdapat lebih dari satu kali serangan arthritis akut
2. Inflamasi maksimal terjadi dalam waktu satu hari
3. Arthritis monoartikuler
4. Kemerahan pada sendi
5. Bengkak dan nyeri pada MTP-1
6. Artritis unilateral yang melibatkan MTP-1
7. Artritis unilateral yang melibatkan sendi tarsal
8. Kecurigaan adanya tofus
9. Pembengkakan sendi yang asimetris (radiologis)
10. Kista subkortikal tanpa erosi (radiologis)
11. Kultur mikroorganisme negative pada cairan sendi
Yang harus menjadi catatan, adalah diagnosis gout tidak bisa
digugurkan meskipun kadar asam urat darah normal.2,5,7
2.2. Stadium interkritikal
Stadium ini merupakan kelanjutan stadium gout akut, dimana secara klinik tidak muncul tanda-tanda radang akut, meskipun pada aspirasi cairan sendi masih ditemukan kristal
urat, yang menunjukkan proses kerusakan sendi yang terus
berlangsung progresif. Stadium ini bisa berlangsung beberapa tahun sampai 10 tahun tanpa serangan akut. Dan tanpa
tata laksana yang adekuat akan berlanjut ke stadium gout
kronik.5
2.3. Artritis gout kronik = kronik tofaseus gout
Stadium ini ditandai dengan adanya tofi dan terdapat di
poliartikuler, dengan predileksi cuping telinga, MTP-1, olekranon, tendon Achilles dan jari tangan. Tofi sendiri tidak
menimbulkan nyeri, tapi mudah terjadi inflamasi di sekitarnya, dan menyebabkan destruksi yang progresif pada
sendi serta menimbulkan deformitas. Selain itu tofi juga sering pecah dan sulit sembuh, serta terjadi infeksi sekunder.
Kecepatan pembentukan deposit tofus tergantung beratnya
dan lamanya hiperurisemia, dan akan diperberat dengan
gangguan fungsi ginjal dan penggunaan diuretik.1,2 Pada
beberapa studi didapatkan data bahwa durasi dari serangan akut pertama kali sampai masuk stadium gout kronik
berkisar 3-42 tahun, dengan rata-rata 11,6 tahun.1,2 Pada stadium ini sering disertai batu saluran kemih sampai penyakit
ginjal menahun/gagal ginjal kronik.5 Timbunan tofi bisa
ditemukan juga pada miokardium, katub jantung, system
konduksi,beberapa struktur di organ mata terutama sklera,
dan laring.1,2
Pada analisa cairan sendi atau isi tofi akan didapatkan Kristal
MSU, sebagai kriteria diagnostik pasti. Gambaran radiologis
didapatkan erosi pada tulang dan sendi dengan batas sklerotik dan overhanging edge.1,2
3. Penyakit ginjal
Sekitar 20-40% penderita gout minimal mengalamai albuminuri
sebagai akibat gangguan fungsi ginjal. Terdapat tiga bentuk kelainan ginjal yang diakibatkan hiperurisemia dan gout:1
1. Nefropati urat, yaitu deposisi kristal urat di interstitial medulla
dan pyramid ginjal, merupakan proses yang kronik, ditandai
dengan adanya reaksi sel giant di sekitarnya.
2. Nefropati asam urat, yaitu presipitasi asam urat dalam jumlah
yang besar pada duktur kolektivus dan ureter, sehingga menimbulkan keadaan gagal ginjal akut. Disebut juga sindrom
lisis tumor, dan sering didapatkan pada pasien leukemia dan
limfoma pasca kemoterapi.
3. Nefrolitiasis, yaitu batu ginjal yang didapatkan pada 10-25%
dengan gout primer.
Penatalaksanaan
Tujuan terapi gout adalah:
1. Menghentikan serangan akut secepat mungkin
2. Mencegah serangan akut berulang
3. Mencegah komplikasi akibat timbunan Kristal urat di sendi, ginjal atau tempat lain
Modalitas yang tersedia untuk terapi gout dan hiperurisemia:
1. Edukasi
Sebagian besar kasus gout dan hiperurisemia (termasuk hiperurisemia asimptomatik) mempunyai latar belakang penyebab
primer, sehingga memerlukan pengendalian kadar asam urat
MEDICINUS
49
MEDICINUS
50
kan.9,11,12
Sedangkan jenis urate lowering agent yang kedua yaitu golongan
uricosuric agent, bekerja dengan cara menghambat reabsorsi urat
di tubulus renalis. Yang paling sering dipakai adalah probenesid
dan sulfinpirazon. Probenesid dengan dosis 0,5-3 gram dibagi
2-3 kali perhari. Sedangkan sulfinpirazon diberikan dengan dosis 300-400 mg dibagi 3-4 kali perhari. Pemakaian obat urikosurik
ini lebih diindikasikan pada keadaan dengan ekskresi asam urat
di urin <800 mg perhari, dan dengan fungsi ginjal yang masih
baik (creatinine clearance >80ml/menit). Risiko batu ginjal semakin
besar pada kadar asam urat di urin yang tinggi. Pada beberapa
kasus yang sulit dikendalikan dengan obat tunggal, kombinasi
uricosuric agent dan xanthine oxidase inhibitor dapat dibenarkan.1,8,9
Kesimpulan
Gout dengan latar belakang masalah gangguan metabolik yaitu hiperurisemia, masih menjadi masalah yang serius. Hal ini karena
manifestasinya yang tidak hanya terbatas pada sendi, namun juga
bisa menimbulkan gangguan fungsi ginjal hingga kondisi gagal ginjal kronik, jantung dan mata. Penegakkan diagnosis dan penanganan
yang tepat diperlukan untuk meminimalisir berbagai komplikasi
akibat keadaan ini. Edukasi yang baik dan perubahan pola hidup termasuk diet harus dilakukan. Selanjutnya diperlukan juga terapi farmakologis untuk serangan akut, terapi pencegahan, dan terapi jangka
panjang berupa urate-lowering agent, baik golongan xanthine oxidase
inhibitor maupun uricosuric agent.
Daftar Pustaka
1. Wortmann RL. Gout and hyperuricemia. In: Firestein GS, Budd RC, Harris
ED, Rudy S, Sergen JS, editors. Kelleys Textbook of Rheumatology. 8thed.
Philadelphia:Saunders; 2009.p.1481-506
2. Edward NL. Gout: Clinical features. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White
PH, Editors. 3thed. New York:Springer; 2008.p.241-9
3. Putra TR. Hiperurisemia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta:Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.hal.1213-17
4. Poor G, Mituszova M. History, Classification and epidemology of crystalrelated artropathies. In: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME,
Weisman MH, Editors. Rheumatology. 3rded. Edinburg: Elsevier; 2003.p.18931901
5. Tehupeiroy ES. Artrtritis pirai (artritis gout). Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
ke-4. Jakarta:Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.hal.1218-20
6. Choi HK. Gout : Epidemology, pathology and pathogenesis. In: Klippel
JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH, Editors. 13thed. New York:Springer;
2008.p.250-7
7. Gibson T. Clinical features of gout. In: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS,
Weinblatt ME, Weisman MH, Editors. Rheumatology. 3rded. Edinburg: Elsevier; 2003.p.1919-28
8. Terkeltaub RA. Gout: treatment. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White
PH, Editors. 13thed. New York:Springer;2008.p.258-262
9. Emmerson BT. The Management of gout. In: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH, Editors. Rheumatology. 3rded. Edinburg:
Elsevier; 2003.p.1925-36
10. Terkeltaub R, Schumacher H, Sundy J, Murphy F, Bookbinder S, Biedermann
S, et al. Placebo-controlled pilot study of rilonacept (IL-1 Trap), A long acting
IL-1 inhibitor, in refractory chronic active gouty arthritis. Annual Scientific
Meeting 2007; American College of Rheumatology
11. Becker MA, Schumache HR, Wortmann RL, MacDonald PA, Eustace D, Palo
WA, et al. Febuxostat compared with Allopurinol in Patients with Hyperuricemia and Gout. NEJM 2005; 353(23):2450-61
12. Chohan S, Becker MA. Update on emerging urate-lowering therapies. Current
Opinion in Rheumatology 2009; 21(2):143-9
MEDICINUS
IKLAN PROBENID
7
MEDICINUS
profil product
Citicoline
Citicoline
ORAL
Pengantar
Citicoline adalah suatu molekul organik kompleks yang merupakan
molekul pengantara dalam biosintesis phosphatidylcholine, suatu komponen utama membran sel saraf. Percobaan pemberian citicoline eksogen
pada hewan dan pada percobaan klinis pada manusia menunjukkan
bahwa citicoline dapat memberikan efek kolinergik dan neuroprotektif.
Sebagai suatu suplemen makanan, citicoline menunjukkan kegunaan
untuk meningkatkan integritas struktural dan fungsional membran sel
saraf dan membantu perbaikan membran sel. Beberapa percobaan klinis
pada hewan dan manusia mengindikasikan bahwa potensi ini dapat
membantu pemulihan difisiensi kognitif, rehabilitasi stroke, pemulihan
dari lesi pada otak dan sumsum tulang belakang, penyakit neurologis,
dan beberapa kondisi mata.1
Biokimia
Citicoline tergolong dalam kelompok vitamin B. Molekul ini dapat
menjalani 3 jalur yang berbeda dalam metabolismenya dalam tubuh.
1. Sintesa membran sel fosfolipid melalui pembentukan phosphatidylcholine.
2. Sintesis asetilkolin.
3. Oksidasi menjadi "betaine", yang berfungsi sebagai donor metil.1
Pada proses sintesa membran sel fosfolipid, pembentukan citicoline
dari choline adalah "rate limiting step". Artinya seluruh sintesa membran sel akan segera terhambat apabila proses ini lambat atau terhenti.
Citicoline yang diabsorbsi dalam pencernaan akan diserap dalam bentuk choline dan cystidine. Choline yang diserap akan menjadi cadangan
choline tubuh untuk mempertahankan membran sel dan juga mencegah disintegrasinya.1
Farmakokinetik
Bioavaibilitas citicoline oral lebih dari 90%.1 Studi pada farmakokinetik
Prekursor phospholipid
Mekanisme dari peranan citicoline sebagai prekursor membran sel telah
banyak dipelajari dalam percobaan dengan hewan. Otak menggunakan
citicholine lebih banyak untuk sintesa asetilkolin daripada untuk pembentukan phosphatidylcholine. Bahkan dalam keadaan tingkat choline
yang rendah di otak, phospatidylcholine dapat dihidrolisa untuk mendapatkan tambahan choline. Tambahan choline eksogen dapat melindungi
struktur dan integritas membran sel.1
Perbaikan membran sel neuron
Citicoline telah banyak diteliti sebagai terapi untuk pasien stroke. Terdapat 3 teori yang dipostulatkan mengenai bagaimana citicoline dapat
membantu penderita stroke.
1. Perbaikan membran sel saraf melalui peningkatan sintesis phosphatidylcholine.
2. Perbaikan neuron kolinergik yang rusak melalui potensiasi dari
produksi asetilkolin.
3. Pengurangan dari penumpukan asam lemak bebas pada fokusfokus kerusakan akibat stroke.1
Selain phosphatidylcholine, citicoline juga merupakan molekul
penengah pada sintesis sphingomyelin, suatu molekul struktural membran sel saraf lainnya. Pada suatu studi, citicoline menunjukkan kemampuan untuk memulihkan kerusakan spinghomyelin setelah suatu
keadaan ischemia.1
Pengaruh pada Neurotransmitter
Pada manusia, citicoline diduga dapat meningkatkan kadar neurotransmitter norepinefrin. Pada suatu studi, metabolit dari norepinefrin meningkat setelah seorang subjek menerima citicoline.1 Pada tikus, citicoline
meningkatkan norepinefrin pada cortex cerebri dan hipocampus, dopamin
pada corpus striatum, serotonin meningkat pada cortex cerebri, striatum dan
hipothalamus, dan diduga juga meningkatkan pelepasan acetylcholine.4
Penggunaan Klinis
Rehabilitasi Pasca Stroke
Pada keadaan stroke dan dalam pemulihannya, seringkali sintesis
membran sel terganggu, termasuk pembentukan phosphatidylcholine.
Citicoline agaknya membantu dengan meningkatkan pembentukan
phosphatidylcholine dengan menyediakan choline.3
MEDICINUS
53
MEDICINUS
Citicoline
54
Stroke Iskemia
Terdapat beberapa uji klinis yang membuktikan bahwa citicoline dapat
memberikan manfaat pada pasien stroke iskemik. Citicoline dapat meningkatkan pemulihan kesadaran dan tingkat kesadaran pada pasien
pasca stroke pada 2 minggu masa pemulihan.4
Uji klinis lainnya mendapatkan hasil serupa, yakni peningkatan fungsi
saraf pada pasien pasca stroke berupa peningkatan kekuatan otot, ambulasi dan kognisi. Pada studi ini disimpulkan bahwa pemberian citicoline pada
24 jam pasca stroke dapat meningkatkan pemulihan setelah 3 bulan.5
Studi lainnya juga mendapatkan hasil bahwa terapi dengan citicoline dapat membantu kemungkinan penyembuhan dan pemulihan pasien pasca stroke hingga hampir 2 kali lipat dalam waktu 12 minggu.1
Stroke Hemoragis
Keamanan dan efektivitas citicoline diperiksa pada suatu uji klinis
terhadap stroke hemoragis. Pasien yang diberikan citicoline tidak menunjukkan adanya efek samping yang berarti dibandingkan dengan
placebo. Pada studi ini, citicoline dapat membantu pasien memperoleh
kemandiriannya pasca stroke.1
Defisiensi Kognitif
Pada uji klinis, beberapa pasien manula yang mengalami gangguan
ingatan ringan hingga sedang mengalami perbaikan dalam kemampuan kognitifnya, terutama dalam kemampuan untuk memperhatikan.
Efek ini diduga berkaitan dengan neurotransmitter dopamine. Citicoline
juga menunjukkan potensi untuk meningkatkan kemampuan verbal
pada pasien usia lanjut dengan dosis sekitar 2.000 mg citicoline per hari
dan terbukti bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan mengingat
pasien lanjut usia apabila diberikan secara oral selama 1 bulan. Secara
umum dikatakan bahwa citicoline meningkatkan ingatan dan perilaku
yang berkenaan dengan ingatan.1
Alzheimer's Disease
Citicoline menunjukkan kemampuan untuk meningkatkan kemampuan kognitif, terutama kemampuan orientasi spasial temporal pada
penderita Alzheimer's Disease. Pada uji klinis lainnya, citicoline menurunkan kadar IL 1 beta pada penderita AD setelah penggunaan citicoline selama 3 bulan.1
Terapi pada Kerusakan Sistem Saraf
Citicoline diharapkan mampu membantu rehabilitasi memori pada pasien dengan luka pada kepala dengan cara membantu dalam pemulihan
darah ke otak. Studi klinis menunjukkan peningkatan kemampuan kognitif dan motorik yang lebih baik pada pasien yang terluka di kepala
dan mendapatkan citicoline. Citicoline juga meningkatkan pemulihan
ingatan pada pasien yang mengalami gegar otak.1
ORAL
Toksisitas
Citicoline merupakan molekul yang relatif aman untuk dikonsumsi. Pada
manusia, gejala-gejala yang pernah dilaporkan hanya berkaitan dengan
pencernaan seperti diare dan beberapa gangguan vaskular ringan seperti sakit kepala. Pada kasus yang diteliti, tidak ada perubahan yang
berarti dalam hematologi, biokimia, ataupun uji neurologi.
Pada percobaan dengan hewan, tidak dapat ditemukan gejala sakit
yang dapat diamati setelah penggunaan citicoline melalui rute oral, meskipun dengan dosis terbanyak yang masih mungkin.1
Dosis
Dosis yang dianjurkan untuk penggunaan secara klinis adalah antara
500 mg hingga 2.000 mg tiap hari.
Referensi
leading article
Jan S Purba
Abstract. Strokes lead to death or permanent disabilities for millions of people every year when an interruption of the flow of blood
to brain cells deprives them of vital oxygen and nutrients. Deprivation of oxygen and nutrients results in a series of biochemical
events, leading eventually to cell death and often devastating functional neurological disturbances. Damaging and dying brain cells
are very actively using an internal communications network. Most drugs work by interfering with molecules that play important roles
within these networks. Citicoline is an essential intermediate in the biosynthesis of phosphatidylcholine, an important component of
the neural cell membrane as a part of internal communication network. Produced endogenously, citicoline serves as a choline donor
in the metabolic pathways for biosynthesis of acetylcholine and neuronal membrane phospholipids, chiefly phosphatidylcholine. The
principal components of citicoline, choline and cytidine, are readily absorbed in the GI tract and easily cross the blood-brain barrier.
Exogenous citicoline, has been researched in animal experiments and human clinical trials that provide evidence of its cholinergic and
neuroprotective actions.
MEDICINUS
55
11
57
Abstrak. Stroke yang diakibatkan oleh interupsi aliran darah ke otak menyebabkan angka kematian dan kecacatan dari jutaan manusia. Interupsi aliran darah ini kecuali mengakibatkan kekurangan oksigen dan nutrisi akan mengakibatkan berjenis reaksi biokimiawi
sebagai penyebab kematian sel. Kematian sel ini mengakibatkan tanda-tanda klinis berupa gangguan neurologik.
Citicoline yang merupakan bahan dasar yang essensial dibutuhkan untuk biosintesis fosfatidilkholine, komponen dari struktur membran neuron untuk dapat berfungsi dalam komunikasi internal dari sistem susunan saraf pusat. Citicoline berperan terhadap pembentukan kholin berguna sebagai biosintesis asetilkholin dan fosfolipid membran neuron dalam hal ini fosfotidilkholine. Citicoline
di absorsi di saluran pencernaan dan bisa melewati sawar darah otak. Pemberian citicoline pada penelitian hewan maupun manusia
terbukti berperan sebagai kholinergi dan neuroprotektor yang efektif.
Pendahuluan
Stroke merupakan tanda klinis yang disebabkan oleh terhambatnya
atau terputusnya aliran darah ke otak sehingga kebutuhan nutrisi
serta oksigen terganggu atau terputus. Stroke bisa diakibatkan oleh
penyumbatan pembuluh darah di otak yang disebut sebagai stroke
iskemik atau bisa akibat pecahnya pembuluh darah di otak yang dikenal sebagai stroke hemorhagik. Akibat terputusnya suplai ini maka
sel saraf akan menjadi mati apakah dalam bentuk nekrosis ataupun
juga apoptosis.1 Kematian sel ini mengakibatkan tanda-tanda klinis
berupa gangguan neurologik.
Menurut statistik stroke menyebabkan angka kematian diurutan
nomor tiga di dunia setelah penyakit jantung dan kanker. Dari perhitungan statistik angka kecacatan yang permanen mencapai 70%
mengalami kecacatan yang ringan dan sisanya sekitar 30% hidup
penderita tergantung dari bantuan pihak kedua.2 Walaupun berat
otak hanya sekitar 2% dari berat keseluruhan tubuh akan tetapi otak
membutuhkan bahan energi sekitar 20% dari kebutuhan tubuh keseluruhan.
Secara neuro anatomik daerah otak yang diakibatkan iskemik
dibedakan atas dua bagian yakni core daerah yang infark, serta daerah disekitar core yang disebut sebagai penumbra.3 Kematian sel pada
core dan penumbra mempunyai karakteristik yang berbeda yang bisa
akibat nekrosis atau apoptosis.1 Secara fisiologik akibat perfusi yang
defisit di daerah core menyebabkan gagalnya proses metabolisme
serta keseimbangan ion yang berawal dari gangguan suplai energi sel
otak. Kesemuanya ini mengakibatkan kehilangan integritas sel dalam
beberapa menit setelah onset stroke. Pada penumbra beberapa residu
perfusi masih berfungsi melalui sirkulasi kolateral akan tetapi juga
tidak memungkinkan mempertahankan metabolisme secara penuh.
Hal ini mengakibatkan bertambahnya volume infark dalam kurun
waktu yang lama.3
MEDICINUS
56
dilkholin,
2) terjadi pemecahan asam lemak bebas di sekitar trauma yang
nantinya sebagai penyebab edema dan inflamasi,
3) kehilangan asetilkholin yang berperan sebagai neurotransmisi
antar sel di SSP.21,22
Terbentuknya asam arakhidonik serta terjadinya kerusakan fosfolipid yang disebabkan oleh aktivasi enzim fosfolipase yang ditemukan pada iskemik mengakibatkan kerusakan yang berlanjut dari sel
neuron.22-24
Tingkat awal dari inflamasi dimulai beberapa jam sesudah onset iskemik melalui ekspresi adesi molekul di endotelium
pembuluh darah. Hal ini ditandai dengan
keberadaan leukosit di sirkulasi darah.
Leukosit bergerak melewati endotelium
keluar dari sirkulasi dan penetrasi kejaringan parenkhim otak yang mengakibatkan reaksi inflamasi.13-15 Bagian
mayoritas dari inflamasi ditentukan oleh
populasi dari sel mikroglia yang disebut
juga sebagai efektor imun dari susunan saraf pusat (SSP). Mikroglia
adalah fagositik aktif yang mensekresi proinflamasi serta bermacam
enzim. Inhibisi terhadap aktivitas mikroglia berefek protektif pada
stroke eksperimental16 dan pemberian sitokin antagonis bisa mengurangi volume infark pada hewan percobaan.17 Kelompok sitokin yang
bersifat sebagai antiinflamasi seperti tumor growth factor-1 beta (TGF-1
beta), IL-10 sebagai neuroprotektif juga menjadi aktif terhadap stimulasi mikroglia.18-20
Di pihak lain secara molekuler patologis akibat iskemik maka terjadi:
1). kerusakan fosfolipid pada membran sel atau kehilangan fosfati-
Kesimpulan
Proses kematian sel saraf akibat terhambatnya aliran darah ke otak
untuk suplai nutrisi dan oksigen berefek pada terjadinya proses biokimiawi di sel otak. Proses biokimiawi ini berupa terjadinya pemecahan fosfolipid, aktivasi enzim serta terbentuknya aksidan. Tanpa
penanggulangan yang cepat dan tepat akan proses biokimiawi ini
akan berjlanjut secara berantai sehingga kematian sel berupa nekrosis
dan apoptosis akan berlanjut.
Citicoline yang berperan dalam meningkatkan fosfatidilkholin
yang dibutuhkan mempertahankan keutuhan fosfolipid membran
sel dan glutamin telah teruji melalui berbagai penelitian baik pada
hewan maupun pada manusia dalam penanganan stroke.
Daftar Pustaka
MEDICINUS
buktikan bahwa penggunaan citicoline pada penderita stroke mendasar pada efek sebagai neuroprotektor serta radikal bebas yang diakibatkan oleh iskemik.31-34
57
case report
original article
M. Fadjar Perkasa
MEDICINUS
Abstrak. Dilaporkan satu kasus benda asing supraglotis (rotan) yang berhasil di ekstraksi dengan cunam/forceps lurus dengan neuroleptic anesthesia. Penderita mengeluh suara parau (disfonia), namun tidak sesak sejak tertelan rotan yang secara
tidak sengaja masuk melalui rongga hidung kemudian tertelan.
Pada pemeriksaan laringoskopi indirek tampak benda asing yaitu rotan tertancap pada commissura anterior yang arahnya
sejajar dengan plica vocalis kanan.
Evaluasi nasoendoskopi memperlihatkan bahwa plica vocalis dapat bergerak baik dan menutup rapat dengan keluhan disfoni
berkurang tanpa komplikasi. Penderita dipulangkan disfonia berkurang tanpa komplikasi. Penderita dipulangkan pada hari
kedua pascaoperasi dalam keadaan baik.
58
Pendahuluan
Benda asing jalan napas merupakan masalah klinis yang memiliki
tantangan tersendiri, meskipun belakangan ini telah terjadi kemajuan
besar dalam teknik anestesi dan instrumentasi, ekstraksi benda asing
jalan napas bukanlah merupakan suatu prosedur yang mudah dan
tetap memerlukan keterampilan serta pengalaman dari dokter yang
melakukannya.1
Benda asing dalam suatu organ dapat terbagi atas benda asing eksogen (dari luar tubuh) dan benda asing endogen (dari dalam tubuh)
yang dalam keadaan normal benda tersebut tidak ada.2
Secara statistik, persentase aspirasi benda asing berdasarkan
letaknya masing-masing adalah; hipofaring 5%, laring/trakea 12%,
dan bronkus sebanyak 83%. Kebanyakan kasus aspirasi benda asing
terjadi pada anak usia <15 tahun; sekitar 75% aspirasi benda asing terjadi pada anak usia 13 tahun. Rasio laki-laki banding wanita adalah
1,4 : 1.3-5
Pada benda asing laring, dapat dipergunakan kateter insuflasi
yang dipasang melalui hidung dengan bagian ujung di dalam hipofaring untuk mempertahankan keadaan anestesia dan oksigenasi. Ujung
laringoskop kemudian ditempatkan pada vallecula untuk melihat seluruh struktur laring dan untuk melihat benda asing di dalam laring,
sehingga dapat dikeluarkan dengan menggunakan forceps yang sesuai.
Setelah tindakan ekstraksi benda asing, laring dievaluasi kembali untuk mencari kemungkinan adanya benda asing lainnya.3
Faktor-Faktor Predisposisi2
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing ke
dalam saluran napas, antara lain:
Faktor individual; umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi sosial,
tempat tinggal.
Kegagalan mekanisme proteksi yang normal, antara lain; keadaan tidur, kesadaran menurun, alkoholisme dan epilepsi.
Faktor fisik; kelainan dan penyakit neurologik.
Proses menelan yang belum sempurna pada anak.
Faktor dental, medical dan surgical, misalnya tindakan bedah, eks-
traksi gigi, belum tumbuhnya gigi molar pada anak usia kurang
dari 4 tahun
Faktor kejiwaan, antara lain; emosi, gangguan psikis
Ukuran, bentuk dan sifat benda asing
Faktor kecerobohan, antara lain; meletakkan benda asing di mulut, persiapan makanan yang kurang baik, makan atau minum
tergesa-gesa, makan sambil bermain, memberikan kacang atau
permen pada anak yang gigi molarnya belum tumbuh.
Patogenesis3
Setelah benda asing teraspirasi, maka benda asing tersebut dapat tersangkut pada 3 tempat anatomis yaitu, laring, trakea atau bronkus.
Dari semua aspirasi benda asing, 8090% diantaranya terperangkap di bronkus dan cabang-cabangnya.
Pada orang dewasa, benda asing bronkus cenderung tersangkut
di bronkus utama kanan, karena sudut konvergensinya yang
lebih kecil dibandingkan bronkus utama kiri.
Benda asing yang lebih besar lebih banyak tersangkut di laring
atau trakea.
Gejala Klinis1-4,6
Gejala sumbatan benda asing di dalam saluran napas tergantung
pada lokasi benda asing, derajat sumbatan (total atau sebagian), sifat,
bentuk dan ukuran benda asing. Benda asing yang masuk melalui
hidung dapat tersangkut di hidung, nasofaring, laring, trakea dan
bronkus. Benda yang masuk melalui mulut dapat tersangkut di orofaring, hipofaring, tonsil, dasar lidah, sinus piriformis, esofagus atau
dapat juga tersedak masuk ke dalam laring, trakea dan bronkus. Gejala yang timbul bervariasi, dari tanpa gejala hingga kematian sebelum diberikan pertolongan akibat sumbatan total.
Seseorang yang mengalami aspirasi benda asing saluran napas
akan mengalami 3 stadium. Stadium pertama merupakan gejala permulaan yaitu batuk-batuk hebat secara tiba-tiba (violent paroxysms of
coughing), rasa tercekik (choking), rasa tersumbat di tenggorok (gagging) dan obstruksi jalan napas yang terjadi dengan segera. Pada sta-
Laporan Kasus
dium kedua, gejala stadium permulaan diikuti oleh interval asimtomatis. Hal ini karena benda asing tersebut tersangkut, refleks-refleks
akan melemah dan gejala rangsangan akut menghilang. Stadium
ini berbahaya, sering menyebabkan keterlambatan diagnosis atau
cenderung mengabaikan kemungkinan aspirasi benda asing karena
gejala dan tanda yang tidak jelas. Pada stadium ketiga, telah terjadi
gejala komplikasi dengan obstruksi, erosi atau infeksi sebagai akibat
reaksi terhadap benda asing, sehingga timbul batuk-batuk, hemoptisis, pneumonia dan abses paru.
Benda asing di laring dapat menutup laring, tersangkut di antara
pita suara atau berada di subglotis. Gejala sumbatan laring tergantung pada besar, bentuk dan letak (posisi) benda asing.
Sumbatan total di laring akan menimbulkan keadaan yang gawat
biasanya kematian mendadak karena terjadi asfiksia dalam waktu
singkat. Hal ini disebabkan oleh timbulnya spasme laring dengan gejala antara lain disfonia sampai afonia, apnea dan sianosis.
Sumbatan tidak total di laring dapat menyebabkan disfonia sampai
afonia, batuk yang disertai serak (croupy cough), odinofagia, mengi, sianosis, hemoptisis, dan rasa subjektif dari benda asing (penderita akan
menunjuk lehernya sesuai dengan letak benda asing tersebut tersangkut) dan dispnea dengan derajat bervariasi. Gejala ini jelas bila benda
asing masih tersangkut di laring, dapat juga benda asing sudah turun
ke trakea, tetapi masih menyisakan reaksi laring oleh karena adanya
edema.
Nama
Umur
Jenis kelamin
Alamat
MRS tanggal
Pemeriksaan Fisis
Keadaan umum
: baik/gizi cukup/ sadar
stridor (-); sesak (-);
Otoskopi
: kesan normal tidak ada kelainan
Rhinoskopi anterior
: kesan normal
Faringoskopi
: kesan normal
Laringoskopi indirek
:
Epiglottis; Plica ariepiglotica; vallecula; arytenoid: kesan normal.
Plica vocalis: tampak benda asing (rotan) tertancap pada komisura
anterior yang arahnya sejajar plica vocalis dengan tepi bebas berada di rima glottis.
Plica ventricularis: udem (+), hiperemis (+)
Fiber endoskopi
Epiglottis
: edema (-), hiperemis (-).
Plica ariepiglotica : edema (-), hiperemis (-).
Arytenoid
: edema (-) hiperemis (-).
Plica vocalis
: tampak benda asing (rotan) tertancap pada
komisura anterior sejajar dengan plica vocalis kanan, posisinya di
antara plica vocalis dan plica ventricularis dan tepi bebas berada di
glotis, rotan tersebut menghambat pergerakan plica vocalis sehingga tidak dapat menutup dengan rapat.
Plica ventricularis : edema (+), hiperemis (+)
Penatalaksanaan2,3,6
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: dalam batas normal, kecuali leukosit 21.000/mm3.
Pemeriksaan radiologis: foto polos posisi PA dan lateral.
Kesimpulan: tidak tampak bayangan benda asing.
MEDICINUS
Pemeriksaan Penunjang1-4,6
Untuk dapat menanggulangi kasus aspirasi benda asing dengan cepat dan tepat, perlu diketahui dengan baik lokasi tersangkutnya benda asing tersebut. Secara prinsip benda asing di saluran napas dapat
ditangani dengan pengangkatan segera secara endoskopik dengan
trauma minimum. Umumnya penderita dengan aspirasi benda asing
datang ke rumah sakit setelah melalui fase akut, sehingga pengangkatan secara endoskopik harus dipersiapkan seoptimal mungkin, baik
dari segi alat maupun personal yang telah terlatih. Penderita dengan
benda asing di laring harus mendapat pertolongan segera, karena asfiksia dapat terjadi dalam waktu hanya beberapa menit.
Cara lain untuk mengeluarkan benda asing yang menyumbat
laring secara total ialah dengan cara perasat dari Heimlich (Heimlich
maneuver), dapat dilakukan pada anak maupun dewasa. Menurut teori Heimlich, benda asing yang masuk ke dalam laring ialah pada saat
inspirasi. Dengan demikian paru penuh dengan udara, diibaratkan
sebagai botol plastik yang tertutup, dengan menekan botol itu, maka
sumbatnya akan terlempar keluar.
Komplikasi perasat Heimlich adalah kemungkinan terjadinya
ruptur lambung atau hati dan fraktur kosta. Oleh karena itu pada
anak sebaiknya cara menolongnya tidak dengan menggunakan kepalan tangan tetapi cukup dengan dua buah jari kiri dan kanan.
Pada sumbatan benda asing tidak total di laring perasat Heimlich tidak dapat digunakan. Dalam hal ini penderita dapat dibawa
ke rumah sakit terdekat yang memiliki fasilitas endoskopik berupa
laringoskop dan bronkoskop.
: Tn. S
: 27 tahun
: laki-laki
: Kendari
: 18 Desember 2007
59
Diagnosis
Post Op hari II
Penatalaksanaan
MEDICINUS
60
Jalannya Operasi
Penderita baring terlentang dalam anestesi neuroleptik dan pengawasan jalan napas oleh anastesi.
Disinfeksi lapangan operasi dengan betadine dan alkohol 70%.
Pasang laringoskop suspensi trans oral hingga tampak daerah
supraglotik.
Tampak benda asing berupa dahan rotan berwarna kecoklatan,
panjang sekitar 2,5 cm, beruas-ruas (3 ruas) dari masing-masing
ruas terdapat duri-duri kecil, benda asing tampak di superior
plica vocalis tertancap pada comissura anterior sejajar dengan plica
vocalis kanan dengan salah tepi bebasnya berada pada rima glottis.
Plica ventricularis tampak sedikit edema dan hiperemis, perdarahan tidak ada.
Forceps dimasukkan lalu benda asing dijepit dan dicoba ditarik
keluar, pada percobaan pertama benda asing tidak berhasil ditarik keluar, dicoba lagi, benda asing dijepit dan ditarik ke arah bawah, benda asing patah, dengan bagian sisanya masih tertancap
pada comissura anterior, akhirnya benda asing dapat dikeluarkan
seluruhnya.
Evaluasi ulang tidak tampak lagi benda asing, plica ventricularis; laserai (-), perdarahan (-)
Operasi selesai.
Post Op Ekstraksi
Instruksi Post Op
Post Op hari I
Instruksi Perawatan
Instruksi Perawatan
Af infus
Ganti obat oral
Cefadroxyl 3x500 mg
Methylprednisolone 3x4 mg
Asam Mefenamat 3x500
mg
Diskusi
Dilaporkan satu kasus benda asing supraglotik yang berhasil diekstraksi dengan cunam/forceps lurus dengan anestesi neuroleptik.
Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis terdapat riwayat aspirasi benda asing berupa rotan yang secara tidak
sengaja masuk melalui rongga hidung, kemudian tertelan dan sejak
itu penderita mengeluh disfoni, namun tidak sesak. Pada pemeriksaan laringoskopi indirek tampak benda asing (rotan) tertancap pada
komisura anterior yang arahnya sejajar plica vocalis kanan dengan tepi
bebas berada di rima glottis, rotan tersebut menghambat pergerakan
plica vocalis sehingga tidak dapat menutup dengan rapat, plica ventricularis mengalami udem dan hiperemis. Pada pemeriksaan foto
cervicothoracal baik posisi PA dan Lateral yang dilakukan sebelum
operasi, tidak terlihat bayangan benda asing (rotan) karena sifatnya
yang radiolusen.
Dilakukan laringoskopi direk dan ekstraksi benda asing menggunakan cunam/forceps lurus dengan anestesi neurolepsis, dengan pertimbangan bahwa benda asing tersebut dikhawatirkan dapat terlepas
dan masuk ke subglotik bahkan akibat insersi ETT apabila dilakukan
general anestesi, disamping itu anestesi neurolepsis membuat penderita masih memberikan respon terhadap nyeri dan dapat mengikuti
perintah, setelah penderita pulih dari neurolepsis, keluhan disfonia
sudah berkurang.
Sehari setelah tindakan ekstraksi, keluhan disfoni penderita sudah jauh berkurang tanpa adanya komplikasi, hal ini ditunjukkan
melalui evaluasi nasoendoskopi yang memperlihatkan bahwa plica
vocalis dapat bergerak dengan baik dan menutup rapat, meskipun
plica ventricularis masih sedikit udem dan hiperemis. Penderita dipulangkan pada hari kedua pasca operasi, dalam keadaan baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Merchant SN, Kirtane MV, Shah KL, Karnk PP. Foreign bodies in the bronchi (a 10 years review of 132 cases). Journal of Postgraduate Medicine
1984; 30(4):219-23 or Available at http://www.jpgmonline.com/article.
asp?issn=0022-3859;year=1984;volume=30;issue=4;spage=219;epage=23;
aulast=Merchant;type=0
2. Junizaf MH. Benda asing di saluran napas. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THTKL. Jakarta:FKUI, 2004.h.21331
3. Murray AD. Foreign bodies of airway. 2006. Available at http://emedicine.
medscape.com/article/872498-overview
4. Callender T. Laryngo-tracheo-bronchial foreign bodies, 1992. Available at
http://www.bcm.edu/oto/grand/2192.html
5. Giannoni CM. Foreign bodies aspiration. 1994. Available at http://www.bcm.
edu/oto/grand/31094.html
6. Stewart C. Foreign bodies of the airway: recognition and emergency management. 2002. Available at http://www.strosmith.netcom
Nasoendoskopi
Epiglottis
Arytenoid
Rima glottis
Plica vocalis
Plica ventricularis
case report
original article
Abstrak. Seorang wanita 49 tahun mengalami muntah darah, rasa tidak enak diperut, mual, perut sebah dan membesar, asites
permagna dan penurunan berat badan. Retraksi mamma kiri sekitar puting susu dan pembesaran kelenjar limfe ketiak kiri
yang pada pemeriksaan patologi anatomi didiagnosis sebagai fibrosis menahun, mastocytosis kulit di abdomen (cutaneus
mastocytosis). Pemeriksaan radiologi menunjukkan lesi osteolisis tulang pada kosta 11 dan 12, klavikula, korpus vertebra,
dan pelvis. Kelainan laboratorium adalah peningkatan laju endap darah, globulin dan ureum darah, penurunan ringan albumin
darah. Pada endoskopi gastrointestinal penuh cairan sehingga tidak dapat dibiopsi.
Gambaran radiologi, patologi anatomi, laboratorium dan sumsum tulang menunjukkan tidak ada keganasan atau metastase
tulang maupun mieloma multipel. Dari data-data tersebut mengindikasikan bahwa pasien menderita systemic mastocytosis.
Pendahuluan
Mastocytosis adalah suatu penyakit heterogenus yang ditandai dengan
pertumbuhan abnormal dan akumulasi sel mast pada satu atau banyak
organ tubuh, seperti kulit, sumsum tulang, organ internal misalnya
hati, gastrointestinal, limfa dan kelenjar limfe.1-8 Mastocytosis merupakan kasus yang jarang terjadi, sekitar 80% adalah cutaneus mastocytosis,
biasanya pada anak di mana 80% terjadi pada usia kurang dari 6 bulan.
Pada orang dewasa biasanya terjadi pada usia dekade 3 atau 4, sedangkan systemic mastocytosis (SM) umumnya melibatkan banyak organ dan
terjadi pada usia dekade tiga. Ekstra cutaneus mastocytoma tanpa SM
dan tanpa lesi kulit, tumor sel mast unifokal dengan pertumbuhan nondestruktif dan low grade cytology, merupakan kasus yang sangat jarang
dan ini banyak terjadi pada paru.3,8
Gambaran klinik mastocytosis sangat bervariasi, dibagi menjadi sistemik atau lokal. Efek sistemik dari kelainan ini adalah pelepasan mediator sel mast ke dalam sirkulasi. Gejala klinik dari pelepasan mediator antara lain adalah anafilaksis, flushing, pruritus, hipotensi, syncope,
palpitasi, takikardia, dan urtikaria. Gejala gastrointestinal meliputi
mual, muntah, cramp abdominal, kembung dengan/atau tanpa diare.
Penyakit tukak peptik yang disebabkan sekresi asam lambung akibat
hiperhistamin dapat terjadi pada 50% penyakit SM. Malabsorbsi lebih
jarang terjadi, kalaupun ada biasanya ringan. Kelainan lokal biasanya
karena pengumpulan sel mast pada organ spesifik dan menyebabkan
disfungsi organ tersebut, jika berat dapat diikuti fibrosis dan kegagalan sumsum tulang dengan segala akibatnya.1 Kekambuhan dipicu
oleh berbagai rangsangan seperti panas, dingin, tekanan, alkohol dan
obat-obatan seperti opiat, antiinflamasi nonsteroid dan estrogen. Penderita yang penyakitnya agresif sering mengalami limfadenopati yang
tidak diketahui sebabnya, pembesaran lien atau hepar yang dapat juga
asimptomatik. Organ yang paling sering terkena SM adalah kulit, sumsum tulang, kelenjar limfe, lien, hati, dan gastrointestinal. Prognosis
mastocytosis tergantung pada luasnya penyakit dan hubungannya dengan kelainan hematologi.1
Klasifikasi mastocytosis menurut WHO yaitu: 1. cutaneus mastocytosis, 2. indolent systemic mastocytosis (ISM), 3. systemic mastocytosis with an
associated clonal hematologic nonmast cell lineage disease (SM-AHNMD), 4.
aggresive systemic mastocytosis (ASM), 5. mast cell leukemia (MCL), 6. mast
cell sarcoma (MCS), 7. extracutaneous mastocytoma.1,3,4,9
Diagnosis SM ditegakkan berdasarkan kriteria WHO, yaitu adanya
1 kriteria mayor dan 1 kriteria minor atau 3 kriteria minor.1,4,9 Kriteria
mayor adalah ditemukannya akumulasi sel mast multipel pada sumsum tulang atau jaringan lain selain kulit pada pemeriksaan biopsi.
Terdapat multifocal dense agregates (15 atau lebih sel mast) pada sections
tulang atau jaringan extracutaneus. Yang dapat juga dikonfirmasi dengan pengukuran enzim tryptase dengan pemeriksaan imunohistokimia
pada jaringan yang terkena. Sedangkan kriteria minor adalah sebagai
berikut:1,4,9
1. Pada biopsi sumsum tulang didapatkan sel mast lebih dari 25%
spindle shape (elongated) atau pada hapusan sumsum tulang lebih
dari 25% sel mast atipikal.
2. Deteksi mutasi Kit dari kodon 816 pada gen receptor. Dapat ditemukan pada darah tepi, sumsum tulang atau organ internal yang
lain.
3. Sel mast pada sumsum tulang, darah atau organ internal mengekspresikan CD 117 dengan CD2 atau CD25.
4. Total tryptase serum >20 ng/ml (tidak bisa dipakai pada penderita
SM yang berhubungan dengan penyakit clonal hematologic nonmast
cell lineage).
MEDICINUS
MEDICINUS
Abstract. A 49 year-old woman suffered hematemesis, abdominal discomfort, nausea, bloating, ascites permagna, and weight
loss. Also found retracted papilla mamma, left axilla limphadenopathy diagnosed as chronic fibrosis by anatomic pathologist,
and abdominal cutaneus mastocytosis. Radiology examinations show osteolytic bone lesions in 11th and 12th costae, both
clavicles, corpus vertebrae and pelvic. Laboratory examination presented increased erythrocyte sedimentation rate, blood
urea nitrogen, increased alfa-1, alfa-2 and gamma globulin, decreased in blood albumin. Endoscopic examinations presented
fluid accumulation in gastrointestinal tract, failed to gastrointestinal tract biopsy.
Laboratory examination, radiologic examination, abdomen ultrasonograph, and anatomy pathologic examination was excluded bone malignancy and/or metastatic, also multiple myeloma. These data highly indicated the diagnosis of systemic
mastocytosis.
61
17
Pada laporan kasus ini akan dibahas penderita yang mengindikasikan systemic mastocytosis, penegakkan diagnosisnya berdasarkan
kondisi klinis dan pemeriksaan penunjang terkait.
Kasus
Wanita 49 tahun berobat dengan keluhan perut tidak enak, membesar,
sebah, mual, muntah sejak 2 bulan, sudah berobat ke poliklinik rumah
sakit beberapa kali, diberi obat namun keluhan tetap ada. Dua minggu
sebelum masuk rumah sakit yang terakhir penderita mengeluh muntah darah berwarna merah kehitaman satu kali dan perut membesar
serta sebah dan mual. Penderita juga mengeluh berat badannya menurun akhir-akhir ini. Pemeriksaan fisik pada penderita didapatkan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi
84 kali/menit, frekuensi napas 38 kali/menit dan suhu tubuh 37,5C.
Pada pemeriksaan mata, konjungtiva tidak anemis, tidak ikterus, tidak
sianosis. Pemeriksaan leher tidak ada kelainan, pada dada didapatkan
pembesaran kelenjar ketiak kiri dengan fibrosis, mamma kiri terdapat
retraksi pada puting susu. Pemeriksaan fisik (auskultasi dan palpasi
serta perkusi) paru dan jantung dalam batas normal.
MEDICINUS
Thorax Foto PA
Trachea ditengah, Cor tidak
membesar
Pulmo tidak ada infiltrat
Kedua sinus phrenicus tajam
Tulang: tampak lesi osteolitik multipel merata di costae
11,12 dan ujung lateral klavikula kanan dan kiri
Kesimpulan:
Suspect malignancy
DD multiple myeloma
62
an kulit daerah fibrosis dan biopsi tulang. Dari usulan tersebut ternyata
baru dilakukan biopsi kulit dengan hasil sebagai berikut.
Hasil biopsi jaringan kulit di daerah abdomen didapatkan jaringan kulit fibrosis, epidermis utuh, di bagian dermis dan subkutis terdapat kelompok-kelompok longgar sel radang mononuklear, di antaranya terdapat sel
ukuran sedang-besar, inti di tepi dengan sitoplasma luar bergranula kemerahan. Sebagai kesimpulan nodul kulit abdomen yang dibiopsi adalah mastocytosis, diusulkan evaluasi hapusan darah dan sumsum tulang.
Penderita kemudian dirujuk ke rumah sakit Saiful Anwar untuk
perawatan lebih lanjut. Untuk menetapkan diagnosis pasti, direncanakan biopsi pada gastrointestinal dengan bantuan endoskopi, atau biopsi tulang dan aspirasi sumsum tulang. Waktu dilakukan endoskopi
pada gastrointestinal untuk mengambil jaringan biopsi, ternyata pengambilan biopsi gagal, di mana gaster penuh cairan (diduga akibat adanya fibrosis yang menyebabkan obstruksi gastrointestinal). Rencananya sesudah dilakukan dekompresi dan sesudah cairan gastrointestinal
dikeluarkan, akan dilakukan endoskopi ulang untuk mengambil biopsi
jaringan. Pemeriksaan yang sudah dilakukan adalah aspirasi sumsum
tulang dengan hasil normal. Sebelum dilakukan biopsi ulang saluran
gastrointestinal dengan endoskopi maupun biopsi tulang, ternyata
penderita sudah meninggal dunia, sehingga diagnosis ystemic mastocytosis secara pasti belum bisa ditegakkan, jadi masih suspek diagnosis
saja.
MEDICINUS
Gambar 3,4: Aspirasi sumsum tulang, normoselular dan tidak ditemukan mastosit
Pembahasan
Pada awalnya diagnosis pada pasien ini sangat membingungkan karena terdapat ketidaksesuaian antara gejala klinik, keluhan penderita
dengan hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, patologi
anatomi dan radiologi. Setelah dikonsultasikan ke bagian patologi
klinik maka dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan perhatian
khusus, hasilnya menunjukkan gambaran seperti di atas, jadi kemungkinan kesalahan pemeriksaan laboratorium dapat disingkirkan.
Penderita dengan klinis gambaran radiologi osteolitik tulang dengan laju endap darah meningkat, maka dicurigai mieloma multipel atau
keganasan mammae yang metastase ke tulang, lalu dilakukan elektroforesis protein dan juga diikuti aspirasi sumsum tulang. Elektroforesis
protein menunjukkan penurunan albumin, peningkatan alfa 1, alfa 2,
gamma globulin, sehingga menggambarkan suatu inflamasi menahun. Tidak menunjukkan adanya gammopati monoklonal, selain itu
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang juga normal, sehingga kemungkinan mieloma multipel dan metastase tulang dapat disingkirkan.
Kelainan tulang pada SM dapat berupa osteosklerosis maupun
osteoporosis, bahkan dapat juga sampai patah tulang, kelainan tulang
terjadi pada sekitar 10% SM. Sel mast melepaskan bahan vasoaktif seperti histamin yang akan merangsang osteoblas. Osteoporosis merupakan akibat sekunder dari pelepasan heparin dan prostaglandin D2
dari sel mast, yang akan menginduksi resorpsi tulang oleh osteoklas.
Pemeriksaan kelainan tulang dapat dilakukan dengan bone scan, magnetic resonance imaging (MRI), foto rontgen, penanda tulang.10-13 Pada
penderita ini terdapat gambaran lisis tulang pada kosta 11,12, clavicula
dan pelvis, gambarannya lebih ke osteoporosis.
Penderita mengalami muntah darah dengan asites, maka dicari
kemungkinan penyakit hati dan saluran empedu. Namun ternyata
hasil pemeriksaan laboratorium dan USG abdomen tidak mendukung
ke arah sana. Kelainan penderita berupa fibrosis di gastrointestinal,
63
MEDICINUS
64
gastrointestinal.
Pasien didiagnosis indolent SM jika tidak ada B atau C finding dan tidak
ada hubungan dengan kelainan clonal hematologi. Smoldering SM jika SM
dengan 2 atau lebih B finding tetapi tidak ada C finding. Aggressive SM jika
SM dengan 1 atau lebih C finding tetapi tidak ada hubungannya dengan
kelainan hematologi dan tidak ada mast cell leucaemia.1,3 Pada kasus ini
memenuhi 1 atau lebih C finding tetapi tidak ada kelainan hematologi.
Penderita terdapat fibrosis kelenjar limfe, kulit, osteolisis tulang, fibrosis gastrointestinal, muntah darah yang kemungkinan karena tukak
lambung dengan atau fibrosis gastrointestinal, fibrosis daerah portal
atau infiltrasi sel mast pada vena porta karena adanya asites permagna
dan kelainan faal hatinya sendiri ringan. Jadi kemungkinan terdapat
infiltrasi sel mast di berbagai organ kelenjar limfe, kulit, tulang, daerah
hati dan vena porta serta gastrointestinal, mengindikasikan suatu SM
meskipun yang sudah dibuktikan di kulit dan kemungkinan jaringan
limfe ketiak serta mammae.
Pada kelenjar di ketiak dan mammae kiri didapatkan gambaran
fibrosis menahun dengan infiltrasi sel mononuklear yang kemungkinan besar adalah sel mast, namun sayang pada waktu FNAB tidak
dilakukan pengecatan khusus untuk sel mast. Pada pembesaran kelenjar limfe biasanya terdapat infiltrat menyeluruh atau para kortikal. Ini
disebabkan karena hiperplasia dari germinal centers dan pembuluh darah, eosinofilia, plasmasitosis dan fibrosis.3 Pengecatan sel mast hanya
dilakukan sesudah permintaan khusus pada biopsi kulit. Biopsi tulang
dan endoskopi ulang untuk pengambilan jaringan dan pemeriksaan sel
mast di kedua tempat tersebut belum sempat dilakukan karena penderita meninggal dunia.
Pada tulang biasanya terjadi osteosklerosis, tetapi dapat juga kombinasi dengan lesi osteolisis,3 hal tersebut sesuai dengan kasus ini di
mana terdapat lisis tulang pada kosta 11,12, klavikula, korpus vertebra dan pelvis. Pada penderita tidak terdapat kelainan gambaran darah tepi dan ini sesuai dengan hasil aspirasi sumsum tulang di mana
sumsum tulang masih normal. Serum tryptase, deteksi mutasi, maupun
penanda resorpsi dan pembentukan tulang, MRI belum dilakukan,
karena alasan/keterbatasan tertentu.
Daftar Pustaka
1. Worobec AS, Metcalfe DD. Systemic mastocytosis. In: Greer JP, Foerster J,
Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, 11th eds. Wintrobes Clinical
Hematology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2004.p. 2285-2300
2. Marbello L, Anghilieri M, Nosari A, Minola E, Cairoli R, Ricci F, et al. Aggressive
systemic mastocytosis mimicking sclerosing cholangitis. Haematologia 2004;
89(10):e119-e123
3. WHO classification of tumours, tumours of haematopoietic and lymphoid tissues. IARC Press, 2001
4. Gould N. Diagnosis and classification of mastocytosis. 2006-2008 The Mastocytosis Society, Inc. Available from http://www.tmsforacure.org
5. Zettinig G, Becherer A, Szabo M, et al. FDG positron emission tomography in
patients with systemic mastocytosis. ARJ 2002; 179:1235-7
6. Metcalfe DD. The liver, spleen, and lymph nodes in mastocytosis. Mast Cell
Physiology Section, Laboratory of Clinical Investigation, National Institute of
Allergy and Infectious Diseases, National Institutes of Health, Bethesda, Maryland, USA. J Invest Dermatol 1991; 96:455-65
7. Pardanani A, Jin-Young Baek, Chin-Yang Li, Butterfield JH, Tefferi A. Systemic
mast cell dissease without associated hematologic disorder: a combined retrospective and prospective study. Mayo Clin Proc 2002; 77:1169-75
8. Viegas M, Horwitz M, Awan S, Chatoo M. Systemic mastocytosis diagnosed
following bone biopsy during total knee replacement: a case report. Journal
of Orthopedic Surgery 2005; 2(2). Available from http://www.ispub.com
9. Ray S. Final diagnosissystemic mastocytosis. Available from: http://path.
upcm.edu/cases/case409/dx.html
10. Yohansson C, Roupe G, Lindstedt, Mellstrom D. Bone density, bone markers
and bone radiological features in mastocytosis. Age and Ageing 1996; 25:1-7
11. Cook JV and Chandy J. Systemic mastocytosis affecting the skeleletal system.
The Journal of Bone and Joint Surgery 1989; 71-B:536
12. Deb A, Tefferi A. Systemic mastocytosis. N Eng J Med 2003; 349:7
13. Chen CC, Andrich MP, Mican JAM, Metcalfe DD. A retrospective analysis of
bone scan abnormalities in mastocytosis: correlation with disease category
and prognosis. The Journal of Nuclear Medicine 1994; 35:1471-4
14. Akin C. Molecular diagnosis of mast cell disorders. JMD 2006; 8(4):412-8
15. Avila NA, Worobec AS, Ling A, Hijazi Y, Metcalfe DD. Pulmonary and ovarian
manifestations of system in mastocytosis. ARJ 1996; 166:969-70
16. Schmidt M, Dercken C, Loke O, Reimann S, Diederich S, Blasius S, et al. Pulmonary manifestation of systemic mast cell disease. Eur Respir J 2000; 15:623-5
medical review
Olly Renaldi
Pendahuluan
Sindrom metabolik adalah kondisi yang dicirikan dengan obesitas
sentral, hipertensi, resistensi insulin dan dislipidemia aterogenik.
Sindrom ini merupakan gangguan mayor dan prevalensinya semakin meningkat di dunia berkembang. Dua faktor risiko utama
perkembangan sindrom metabolik terlepas dari faktor genetik
adalah kelebihan berat badan atau obesitas dan tidak adanya aktivitas.1
Obesitas adalah faktor risiko utama resistensi insulin, diabetes
melitus tipe 2, penyakit jantung, masalah ortopedik, dan banyak
penyakit kronik lainnya. Kejadian obesitas secara dramatis meningkat dan telah menjadi epidemik di dunia barat. Penyebab sindrom ini multifaktor. Faktor tersebut meliputi genetik, lingkungan,
sosial ekonomi, dan pengaruh kebiasaan kurang aktivitas. Hal ini
berkaitan dengan peningkatan terhadap morbiditas dan mortalitas.
Obesitas merupakan akibat dari gangguan keseimbangan energi
positif kronik. Keseimbangan ini diatur oleh hubungan yang kompleks antara jaringan endokrin dan sistim saraf pusat. Jaringan
lemak bertambah, sebagai organ endokrin aktif dengan aktivitas
metabolik tinggi.
Adiposit menghasilkan dan mensekresi beberapa protein yang
berperan sebagai hormon. Hormon tersebut bertanggung jawab
terhadap pengaturan asupan dan pengeluaran energi. Hormon
yang dikenal sebagai adiponektin, berperan penting dalam proses
radang, dan aterosklerotik. Adiponektin merupakan salah satu
dari banyak faktor spesifik jaringan adiposa. Adiponektin berperan memperbaiki sensitivitas insulin dan menghambat peradangan vaskuler. Adiponektin berhubungan terbalik dengan leptin.
Kadar adiponektin di dalam plasma secara bermakna menurun pada
subyek yang mengalami obesitas, resistensi insulin, dan pengidap
diabetes melitus tipe 2. Kadar hormon ini meningkat setelah penurunan berat badan. Dua penelitian kasus-kontrol terhadap Indian
Pima dan Kaukasia sehat menyimpulkan bahwa kadar adiponektin plasma yang rendah berhubungan dengan peningkatan risiko
diabetes melitus tipe 2.2-4 Hipoadiponektinemia berperan terhadap resistensi insulin dan mempercepat aterogenesis. Penurunan
kadarnya diyakini berperan dalam patogenesis penyakit kardiovaskuler yang berhubungan dengan obesitas dan komponen lain
Pembahasan
A. Resistensi Insulin
Resistensi insulin dikenali sebagai kerusakan mendasar yang terjadi pada obesitas, sindrom metabolik dan diabetes melitus tipe 2.
Studi terbaru menunjukkan bahwa jaringan adiposa dan hormon
yang dihasilkan dari jaringan adiposa dan sitokin inflamasi berperan penting pada sensitivitas insulin in vitro. Disfungsi jaringan
adiposa dapat menyebabkan resistensi insulin sistemik.6
Telah diketahui bahwa resistensi insulin merupakan dasar abnormalitas primer yang memulai dan berkontribusi pada sebagian
besar gangguan metabolik dan gangguan lainnya yang terlihat
pada sindrom metabolik. Resistensi insulin dan sindrom metabolik juga ditemukan sebagai hasil lipotoksisitas di berbagai organ,
termasuk pankreas, otot skeletal dan miokardium. Terdapat bukti
yang mengatakan bahwa adiposit mensekresi dan atau mempengaruhi aksi beberapa sitokin, termasuk adiponektin, leptin, tissue
factor, angiotensinogen, lipoprotein lipase (LPL), IL-6, plasminogen
activator inhibitor factor 1 (PAI-1) dan lain-lain. Oleh karena itu, ada
kemungkinan bahwa peningkatan adiposit visceral (obesitas visceral) bertanggung jawab pada resistensi insulin melalui lipotoksisitas
dan dilepaskannya asam lemak bebas sirkulasi portal. Begitu juga
dengan aksi sejumlah sitokin yang dilepaskan atau yang dimodulasi oleh adiposit. Bukti lain menunjukkan terdapat peningkatan
stres oksidatif vaskular secara signifikan pada sindrom metabolik
dan sejumlah subjek dengan sindrom metabolik mengalami disfungsi endotel pada tahap awal proses tersebut. Sejumlah abnormalitas yang berkaitan dengan sindrom metabolik dengan sendirinya dapat menyebabkan reaksi inflamasi di tingkat vaskular. Hal
ini menimbulkan efek tidak langsung atau mungkin bahwa resistensi insulin dan sindrom metabolik sendiri merupakan hasil reaksi
inflamasi. Resistensi insulin memegang peranan penting pada sindrom metabolik.7
MEDICINUS
Abstrak. Adiposit menghasilkan dan mensekresi beberapa protein yang berperan sebagai hormon. Hormon yang dikenal
sebagai adiponektin, berperan penting dalam proses radang, dan aterosklerotik. Adiponektin merupakan salah satu dari
banyak faktor spesifik jaringan adiposa. Adiponektin berperan memperbaiki sensitivitas insulin dan menghambat peradangan
vaskuler. Kadar adiponektin di dalam plasma secara bermakna menurun pada subyek yang mengalami obesitas, resistensi
insulin, dan pengidap diabetes melitus tipe 2. Adiponektin berperan dalam memodulasi sensitivitas insulin dengan menstimulasi peningkatan penggunaan glukosa dan oksidasi asam lemak melalui posforilasi dan aktivasi AMPK di otot dan hati
65
digunakan untuk mendeteksi resistensi insulin secara klinis. Yang paling banyak dipakai dalam penelitian dengan pengukuran yang spesifik adalah cara klem euglikemik hiperinsulinemik. Cara kedua yang
kurang invasif adalah dengan metode frequently sampled intravenous
glucose tolerance test (FSIVGTT). Cara ketiga merupakan cara yang paling mudah secara klinis adalah pengukuran insulin puasa.9
Metode lain yang sering digunakan adalah metode homeostasis
model assesment (HOMA) yang menggunakan insulin puasa dan glukosa puasa dalam menetapkan resistensi insulin dan sekresi insulin.
Cara ini lebih sederhana, berdasarkan kadar glukosa dan insulin puasa, berkorelasi kuat dengan klem glukosa baik pada pengidap diabetes
melitus tipe 2 (r = 0,83) maupun non diabetes (r=0,92).10
Rumus HOMA untuk menentukan resistensi insulin adalah yang
berikut:
HOMA IR = Insulin puasa (U/ml) x glukosa puasa (mmol/l)
22,5
Rumus HOMA untuk menentukan fungsi sel :11
HOMA sel = 20 x insulin puasa (U/ml)
Glukosa puasa (mmol/l) -3,5
MEDICINUS
Batas nilai HOMA IR setelah divalidasi dengan metode klem euglikemik hiperinsulinemik pada orang normal tanpa gangguan metabolik dan tidak obesitas sebesar 2,77. Metode HOMA IR juga dapat
digunakan untuk penetapan resistensi insulin dalam skala besar atau
penelitian epidemiologik.10
66
B. Adiponektin
Adiponektin merupakan produk gen adiposa yang sebagian besar
merupakan gen transkripsi 1 (ap M1) yang secara khusus dan diekspresikan secara berlebihan oleh jaringan adiposa putih, yang terdiri
dari 244 protein asam amino dengan struktur kolagen VIII, X dan komplemen C1q. Protein ini dapat diidentifikasi kedalam tiga kelompok
melalui pendekatan yang berbeda, dikenal sebagai gelatin-binding protein (GBP28), adipocyte complement-related protein 30 kDa (Acrp30) atau
AdipoQ pada tikus.12
Sirkulasi adiponektin dalam darah berupa low molecular weight
(LMW) dan high molecular weight (HMW), full length protein dan globular C terminal domain. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa
adiponektin HMW berpartisipasi aktif dalam perbaikan sensitivitas
insulin dalam metabolisme lipid dan glukosa, sebagai globular domain
adiponektin terlibat dalam stimulasi oksidasi asam lemak bebas otot
skelet. Mutasi residu glisin yang jarang dalam collagenous domain gen
adiponektin dan kekurangan sekresi adiponektin HMW berhubungan
dengan risiko mengalami diabetes melitus tipe 2.13-16
Terdapat 2 reseptor adiponektin yaitu AdipoR1 yang diekspresikan
di otot skeletal, memiliki afinitas yang tinggi terhadap adiponektin
globular dan afinitas yang rendah terhadap adiponektin full length. AdipoR2 diekspresikan di hati dan memiliki afinitas
yang sedang terhadap ke 2 bentuk adiponektin. Kerja adiponektin terhadap metabolisme glukosa dimediasi oleh stimulasi AMP activated kinase (AMPK), yang akan
meningkatkan oksidasi asam lemak bebas
dan ambilan glukosa. Kadar adiponektin yang rendah pada penderita obesitas
dan diabetes, mungkin karena kegagalan
respon perifer terhadap adiponektin. Penurunan AdipoR1 dan AdipoR2 pada otot
skelet tikus, berhubungan dengan penurunan ikatan adiponektin globular dan
penurunan aktivasi AMPK.13,16,17
Kadar adiponektin plasma ditemukan
19
menurun pada penderita diabetes dibandingkan penderita nondiabetes. Kadar
dan inhibisi ACC. Proses aktivasi AMPK ini juga ikut terlibat
dalam proses ambilan glukosa yang distimulasi oleh domain globular adiponektin pada adiposit primer pada tikus percobaan.23
Gambar 2. Aktivasi adiponektin terhadap AMPK dan PPAR di dalam hati dan
otot skelet. Adiponektin globular dan bentuk utuh akan mengaktivasi AMPK,
kemudian menstimulasi fosforilasi ACC, oksidasi asam lemak dan ambilan glukosa. Adiponektin juga mengaktivasi PPAR, menstimulasi oksidasi asam lemak dan menurunkan kandungan trigliserida di otot. Di dalam hati, adiponektin bentuk utuh mengaktivasi AMPK, mereduksi molekul-molekul yang terlibat
dalam proses glukoneogenesis dan meningkatkan fosforilasi ACC serta oksidasi asam lemak. Adiponektin juga mengaktivasi PPAR, menstimulasi oksidasi
asam lemak dan menurunkan kadar trigliserida dalam hati. Hal ini menyebabkan peningkatan sensitivitas insulin.23
Pengaruh adiponektin pada metabolisme trigliserida adalah dengan melibatkan perubahan intrinsik pada metabolisme lemak di otot
skelet dan berpengaruh terhadap aktivitas lipoprotein lipase di
otot skelet dan adiposit. Adiponektin dapat menurunkan akumulasi trigliserida di otot skelet dengan meningkatkan oksidasi asam
lemak melalui aktivasi acetyl coA oxidase, Carnitine Palmytoyl Transferase-1 (CPT-1) dan AMP kinase. Adiponektin juga dapat menstimulasi Lipoprotein Lipase (LPL), yang merupakan enzim lipolitik
yang dapat mengkatabolis VLDL melalui peningkatan ekspresi
Peroxisome Proliferators Activator Receptor (PPAR) di hati dan
adiposit. Pada tingkat hepatik, adiponektin dapat menurunkan
suplai Non Esterified Fatty Acid (NEFA) ke hati pada proses glukoneogenesis, sehingga terjadi penurunan sintesis trigliserida. Kadar
adiponektin yang rendah dan dislipidemia pada penderita diabetes
melitus tipe 2 berhubungan dengan kadar LPL.22, 24
Efek adiponektin berpengaruh terhadap pengaturan aktivitas lipase hepatik pada penderita diabetes melitus tipe 2. Efek
adiponektin pada aktivitas lipase hepatik inilah yang menjelaskan
kerja adiponektin dalam meningkatkan kadar kolesterol HDL.25
Familial Combined Hyperlipidemia (FCH) merupakan hiperlipidemia genetik yang paling banyak dijumpai pada manusia. Sekitar 20% penderita penyakit kardiovaskuler berhubungan dengan
FCH. Pada FCH ditandai dengan peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida dan atau apolipoprotein B (apoB). Fenotip lain FCH
menunjukkan adanya penurunan kadar HDL kolesterol, yang berhubungan dengan obesitas dan resistensi insulin.26
B.1.b. Terhadap Sensitivitas Insulin
Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa adiponektin berfungsi sebagai insulin sensitizer dengan menurunkan kadar glukosa hepatik. Kadar adiponektin berkorelasi dengan basal dan
penekanan produksi glukosa endogen oleh insulin. Pada hipoadi-
MEDICINUS
adiponektin juga mengalami penurunan pada subyek obesitas nondiabetes. Kadar adiponektin yang rendah merupakan faktor risiko independen menjadi diabetes melitus tipe 2. Kadar adiponektin yang rendah ini ditemukan sebelum manifestasi diabetes melitus tipe 2 terjadi.
Ekspresi reseptor adiponektin di otot pada penderita diabetes
melitus tipe 2 tidak mengalami perubahan, tetapi terjadi gangguan oksidasi asam lemak bebas yang disebabkan adanya
kerusakan pada AMPK downstream signalling yang dapat menurunkan sensitivitas adiponektin. Penurunan ekspresi AdipoR1
disebabkan akibat kegagalan respon adiponektin globular.16,18
Pemberian adiponektin pada hewan coba dapat meningkatkan oksidasi asam lemak, menurunkan penyimpanan
trigliserida dalam hati dan otot, menurunkan kadar trigliserida serum dan kadar asam lemak bebas serta memperbaiki
hiperglikemia.19 Pengobatan dengan PPAR agonis reseptor
seperti thiazolidinedione dapat meningkatkan sirkulasi kadar
adiponektin pada pengidap diabetes melitus tipe 2 dan khususnya bentuk high molecular weight, yang berhubungan dengan penekanan produksi glukosa hati dan memperbaiki sensitivitas insulin. Penurunan berat badan akan meningkatkan
kadar adiponektin HMW. Pemberian thiazolidinedione juga
dapat menurunkan lipid intramyoseluler pada tikus diabetes
obesitas. Thiazolidinedione juga meregulasi oksidasi asam lemak
bebas di jaringan adiposit (bukan di otot skelet) penderita diabetes melitus tipe 2. Polimorfisme adiponektin dipengaruhi oleh kadar
adiponektin dan respon glikemik pada penderita diabetes melitus tipe
2. Single nucloeotide polymorphism (SNP) gen adiponektin berhubungan
dengan beberapa penderita diabetes melitus tipe 2. Penelitian sebelumnya menunjukkan SNP45 dan SNP276 berhubungan dengan penderita
diabetes melitus tipe 2 di Jepang.13,16,20,21
Adiponektin akan terakumulasi pada dinding pembuluh darah
yang luka dan kadarnya bergantung pada besarnya hambatan TNF
pada sel endotelial aorta dan penurunan produksi TNF di dalam
makrofag, adiponektin diperkirakan memiliki efek anti aterogenik dan
anti inflamasi. Kadar plasma adiponektin ditemukan menurun pada
subyek obesitas, penderita non-insulin-dependent diabetes mellitus, resistensi insulin, dislipidemia dan penyakit kardiovaskular.12
Ekspresi adiponektin yang rendah disebabkan oleh TNF dan glukokortikoid yang kadarnya meningkat pada subyek obesitas dan diabetes melitus tipe 2. Ekspresi adiponektin yang berlebihan ditemukan
pada subyek dengan sensitivitas insulin yang meningkat.13
67
Hipertrigliseridemia merupakan
ciri klinis utama dari sindrom
resistensi insulin dan seringkali
disertai peningkatan kadar
Plasminogen Activator Inhibition 1 (PAI-1) plasma. Hipertrigliseridemia merupakan bagian pada
proses perkembangan aterosklerosis
bersama-sama dengan disregulasi
protein yang berasal dari adiposit
seperti peningkatan PAI-1 dan
hipoadiponektinemia.30
MEDICINUS
68
Gambar 3. Mekanisme kerja adiponektin. Dalam otot skelet, adiponektin meningkatkan fosforilasi reseptor insulin, sehingga dapat meningkatkan sensitivitas insulin. Efek ini juga dapat meningkatkan oksidasi asam lemak melalui
aktivasi 5 AMP Kinase. Penurunan asam lemak bebas di dalam hati dan peningkatan oksidasi asam lemak menyebabkan penurunan keluaran glukosa hepatik
dan sintesis trigliserida VLDL. Pada endotel vaskular, adiponektin menurunkan
adesi monosit terhadap endotel, menekan pembentukan sel busa oleh makrofag dan menghambat proliferasi dan migrasi sel otot polos.29
Penurunan kadar
adiponektin dalam plasma
(hipoadiponektinemia)
berkaitan dengan peningkatan
Indeks Massa Tubuh (IMT),
penurunan sensitivitas insulin,
profil lemak dalam plasma yang
aterogenik, peningkatan kadar
penanda inflamasi, dan
peningkatan risiko untuk
penyakit kardiovaskular. Oleh
karena itu, kadar adiponektin
dapat digunakan sebagai suatu
indikator yang menjanjikan
untuk sindrom metabolik.27
aorta pada tikus yang mengalami defisiensi apolipoprotein E setelah 2 minggu pemberian injeksi adiponektin. Adiponektin adalah
mediator terjadinya resistensi insulin dan aterosklerosis.33
Mekanisme adiponektin memperbaiki sensitivitas insulin
sangatlah kompleks. Data penelitian menunjukkan, pada binatang penurunan resistensi insulin oleh adiponektin disebabkan asam lemak bebas dan perubahan kandungan trigliserida
otot. Tikus yang mendapat injeksi adiponektin menghasilkan
penurunan kadar asam lemak bebas melalui peningkatan oksidasi asam lemak bebas dalam sel otot. Adiponektin juga menurunkan kadar trigliserida hati dan otot melalui peningkatan
ekspresi gen peroxisome proliferator activated receptor (PPAR)
dan . Peningkatan kadar trigliserida mempengaruhi aktivasi
stimulasi insulin terhadap phosphatidylinositol 3 kinase dan
translokasi glucosa transporter protein 4 (GLUT 4) dan ambilan
glukosa, yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin, sehingga terjadi penurunan kadar asam lemak bebas dan trigliserida jaringan. Dalam hal ini adiponektin akan memperbaiki
sensitivitas insulin. Adiponektin juga meningkatkan stimulasi
molekul tyrosine phosphorylation of signaling, reseptor insulin, insulin receptor substrate 1 dan aktin otot skelet.22
Adiposit merupakan organ endokrin yang aktif mensekresi
asam lemak bebas dan menghasilkan sitokin dan hormon diantaranya TNF, interleukin, plasminogen activator inhibitor type
1, leptin, adiponektin dan resistin. Adiposit memegang peranan
penting dalam pengaturan nafsu makan, pelepasan energi, resistensi insulin dan proses aterogenik. Adiponektin bersifat sebagai insulin sensitizing dan antiaterogenik.33
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa adiponektin memegang peranan penting pada subyek obesitas yang mengalami resistensi insulin. Kadar adiponektin berhubungan dengan
sensitivitas insulin. Percobaan pemberian adiponektin globular
pada tikus memperbaiki sensitivitas terhadap insulin, penurunan asam lemak bebas dan trigliserida di otot dan hati serta
menyebabkan penurunan berat badan.33
Adiponektin globular dan full length meningkatkan fosforilasi AMP activated kinase, merupakan enzim yang memegang
peranan terhadap insulin sensitizing dan penurunan kadar glukosa. Adiponektin dapat meningkatkan aktivitas peroxisome
proliferator activated receptor , sehingga menurunkan produksi
glukosa hati, meningkatkan ambilan glukosa dan oksidasi asam
lemak bebas di otot.34
MEDICINUS
69
MEDICINUS
70
Kesimpulan
Adiponektin berperan dalam memodulasi sensitivitas insulin dengan
menstimulasi peningkatan penggunaan glukosa dan oksidasi asam lemak melalui fosforilasi dan aktivasi AMPK di otot dan hati.
Daftar Pustaka
1. Martin B, Watkins III JB, Ramsey JW. Evaluating metabolic syndrome in a medical
physiology laboratory. Adv Physiolo Educ 2004; 28:195-8
2. Alice SR, Dora MB, Barbara JN, Madhur S, Ronald LG, Grady SM, et al. Plasma adiponectin and leptin levels, body compositions and glucose utilization in adult
women with wide ranges of age and obesity. Diabetes Care 2003; 26:2383-8
3. Roberto B, Sabrina A, Claudia D, Maria GF, Giovanni P, Riccardo V and Lucia
F. Adiponectin Relationship with Lipid Metabolism Is Independent of Body Fat
Mass: Evidence from Both Cross-Sectional and Intervention Studies. J Clin Endocrinol Metab. 2004; 89(6):2665-71
4. Vendrell J, Broch M, Vilarrasa N, Molina A, Gmez JM , Gutirrez C, et al. Resistin, adiponectin, ghrelin, leptin, and proinflammatory cytokines: relationships
in obesity. Obes Res. 2004; 12:962-71
5. Wasim H, Al-Daghri NM, Chetty R, Mc Teran PG, Barnett AH, Kumar S. Relationship of serum adiponectin and resistin to glucose intolerance and fat topography in South Asians. Cardiovascular Diabetology 2006; 5:10
6. Ruan H and Lodish HF. Regulation of insulin sensitifity by adipose tissue derived hormones and inflammatory cytokines. Cur Opion Lipidol. 2004; 15: 297302
7. Kern PA, Gina B Di G, Tong Lu, Rassouli N, and Ranganathan G. Adiponectin
expression from human adipose tissue: relation to obesity, insulin resistance,
and tumor necrosis factor- expression. Diabetes 2003; 52:1779-85
8. Krans HM. Insulin resistance and metabolic syndrome. In: Adi S, Tjokroprawiro A, Hendromartono, Sutjahjo A, Pranoto A, Murtiwi S, Wibisono, ed.
Naskah Lengkap The Mets-The 3rd Stage of Obesity:Prevention and Treatment.
Surabaya:Perkeni, 2007.p.126-134
9. Cefalu WT. Insulin resistance: cellular and clinical concepts. EBM 2001; 266:1326
10. Bonora E, Targher G, Alberiche M. Homeostasis model assessment closely mirrors the glucose clamp technique in the assessment of insulin sensitivity. Studies in subjects with various degrees of glucose tolerance and insulin sensitivity.
Diabetes Care 2000; 23:57-63
11. Mattew DR, Hosker JP, Rudenski AS, Naylor BA. Homeostasis model assessment: insulin resistance and -cell function from fasting plasma glukose and
insulin concentration in man. Diabetologia 1985; 28:412-9
12. Matsubara M, Maruoka S, and Katayose S. Inverse relationship between plasma
adiponectin and leptin concentrations in normal weight and obese women. Eur
J Endocrinology 2002; 147:17380
13. Dyck DJ, Heigenhauser GJF, and Bruce CR. The role of adipokines as regulators
of skeletal muscle fatty acid metabolism and insulin sensitivity. Acta Physiol;
2006; 186:5-16
14. Fisher FFM, Trujillo ME, Hanif W. Serum high Molecular Weight Complex of Adiponectin Correlates Better With Glucose Tolerance than Total Serum Adiponectin in Indo-Asian Males. Diabetologia 2005; 48:10847
15. Peake PW, Kriketos AD, Campbell LV, Shen Y, and Charlesworth JA. The metabolism of isoforms of human adiponectin: studies in human subjects and in
experimental animals. Eur J Endocrinol 2005; 153:40917
16. Rattarasarn C. Physiological and pathophysiological regulation of regional adipose tissue in the development of insulin resistance and type 2 diabetes. Acta
Physiol. 2006; 186:8710
17. Vettor R, Milan G, Rossato M and Federspil G. Adipocytokines and insulin resistance. Aliment Pharmacol Ther 2005; 22(2):3-10
18. Arner P. Insulin resistance in type 2 diabetes role of the adipokines. Current
Molecular Medicine 2005; 5:333-9
19. Yamauchi T, Komon J, Waki H. The fat derived hormone adiponectin reverses
insulin resistance associated with both lipoatrophy and obesity. Nat Med 2001;
7: 9416
20. Boden G, Homko C, Mozzoli M, Showe LC, Nichols C and Cheung P. Thiazolidinediones upregulate fatty acid uptake and oxidation in adipose tissue of diabetic
patients. Diabetes 2005; 54: 8805
21. Hara K, Boutin P, Mori Y. Genetic variation in the gene encoding adiponectin is
associated with an increased risk of type 2 diabetes in the Japanese population.
Diabetes 2002; 51:53640
22. Chan DC, Watts GF, Uchida Y, Sakai N, Yamashita S. Adiponectin and other
adipocytokines as predictors of markers of triglyseride rich lipoprotein metabolism. Clin Chem 2005; 51: 578-85
23. Kadowaki T and Yamauchi T. Adiponectin and adiponectin receptors. Endocr
Rev 2005; 26:439-51
24. Eynatten VM, Schneider JG, Humpert PM, Rudofsky G, Schmidt N, Barosch P.
Decreased plasma lipoprotein lipase in hypoadiponectinemia. Diabetes Care
2004; 27:2925-9
25. Schneider JG, Eynatten VM, Schiekofer S, Nawroth PP, Dugi KA. Low plasma
adiponectin levels are associated with increased hepatic lipase activity in vivo.
Diabetes Care 2005; 28: 2181-6
26. van der Vleuten GM, van Tits LJH, den Heijer M, Lemmers H, Stalenhoef AFH,
and de Graaf J. Decreased adiponectin levels in familial combined hyperlipidemia patients contribute to the atherogenic lipid profile. J Lipid Res 2005; 46:
2398-404
27. Trujillo ME, Scherer PE. Adiponectin - journey from an adipocyte secretory protein to bio marker of the metabotic syndrome. J Intern Med 2005; 257:167-75
28. Bouskila M, Pajvani UB and Scherer PE. Adiponectin: a relevant player in PPAR
agonist mediated improvements in hepatic insulin sensitivity? Int J Obesity
2005; 29:S17-S23
29. Chandran M, Philips SA, Ciaraldi T, Henry RR. Adiponectin: more than just another fat cell hormone? Diabetes Care 2003; 26:2442-50
30. Hotta K, Funahashi T, Arita Y, Takahashi M, Matsuda M, Okamoto Y, et al. Plasma concentrations of a novel, adipose-specific protein, adiponectin, in type 2
diabetic patients. Arterioscler Thromb & Vasc Biol. 2000; 20(6):1595-9
31. Schulze MB, Rimm EB, Shai I, Rifai N, Hu FB. Relationship between adiponectin
and glicemic control, blood lipids, and inflammatory penandas in men with type
2 diabetes. Diabetes Care 2004; 27:1680-7
32. Haluzik M, Parizkova J, Haluzik MM. Adiponectin and its role in the obesity
induced insulin resistance and related complications. Physiol Res 2004; 123-9
33. Okamoto Y, Kihara S, Funahashi T, Matsuzawa Y, Libby P. Adiponectin: a key
adipocytokine in metabolic syndrome. Clin Scien. 2006; 110:267-78
34. Goldfine AB and Kahn CR. Adiponectin: linking the fat cell to insulin sensitivity.
The Lancet 2003; 362:1431-2
35. Kopp HP, Krzyzanowska K, Mohlig M, Spranger J, Pfeiffer AFH and Schernthaner
G. Effects of marked weight loss on plasma levels of adiponectin, markers of
chronic subclinical inflammation and insulin resistance in morbidly obese women. Int J Obes 2005; 29:766-71
medical review
Jan S Purba
Abstract. Pain, as defined by International Association for Study of Pain (IASP), can be defined as an unpleasant sensory and
emotional experience associated with actual or potential tissue damage or described in terms of such damage. Pain can be
clinically classified as either nociceptive or neuropathic, although in practice these may coexist. Pain was classically viewed
as being mediated solely by neurons. However, it is now recognized that pain and its modulation are not solely mediated by
neurons but also involved in neuroimmune interaction. The immune system is involved especially when nerve damage is due to
an infectious process or an autoimmune condition. Non-neuronal cells include immune cells in the periphery and glia (astrocyte
and microglia) within the brain and spinal cord. Astrocytes and microglia have not only generally been viewed as cells with
the major function of activation in response to centrifugal hyperalgesia circuitry but they are also immunocompetent cells
and thus can respond like immune cells within the central nervous system. Many of the substances that can be released from
astrocytes and microglia are known to be key mediators of hyperalgesia, including nitric oxide (NO), excitatory amino acids
(both N-methyl-D-aspartate and non-NMDA agonists), interleukin (IL)-1, IL-6, tumor necrosis factor (TNF), prostaglandins, and
nerve growth factor (NGF). The current pharmacological mainstays of clinical management for neuropathic pain are tricyclic
antidepressants and certain anticonvulsants. Opioids are still the drugs of choice although they are generally considered to be
less effective in neuropathic pain than in inflammatory pain. Drugs that target the glia and its released chemical substances
are predicted to be powerful remedies for pain problems.
Abstrak. Nyeri, seperti yang didefinisikan oleh International Association for Study of Pain (IASP), adalah suatu pengalaman
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Nyeri diartikan hanya berhubungan secara langsung dengan neuron. Dalam
penemuan akhir-akhir ini dinyatakan adanya keterlibatan sistem imun dengan neuron. Hal ini diakibatkan peran glia yang
mensekresi mediator inflamasi serta asam amino eksitatorik sebagai mediator hiperalgesia seperti NO, asam amino eksitatorik, NMDA dan agonist non-NMDA, IL-1, IL-6, TNF, prostaglandins, and NGF. Penanggulangan nyeri terutama nyeri neuropatik adalah dengan antidepresan trisiklik dan kelompok antikonvulsan. Terapi dengan opioids juga dilakukan walaupun secara
umum kurang efektif terutama untuk nyeri neuropatik. Obat-obat yang targetnya adalah glia dengan mediator proinflamasi
diperkirakan sangat bermanfaat.
Pendahuluan
Nyeri, seperti yang didefinisikan oleh IASP, adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan
dalam bentuk kerusakan tersebut.
Secara klinik, nyeri dapat diklasifikasikan kedalam nyeri nosiseptif
dan nyeri neuropatik atau bisa juga kombinasi.1 Secara patologik, nyeri
nosiseptif terjadi akibat kerusakan atau cedera jaringan misalnya pada
pasca bedah ataupun cedera, akibat kemikalien, termal, osteoartritis
sehingga menyebabkan iritasi pada ujung saraf sensorik di perifer, di
mana lokasi nyeri yang jelas. Berbeda dengan nyeri neuropatik yang
diakibatkan oleh lesi, jaringan saraf memperlihatkan tanda-tanda
gangguan sensorik berupa alodinia atau juga hiperalgesia dengan
lokasi yang kurang jelas.2 Kornu dorsalis di medula spinalis merupakan lokasi dimana modulasi nyeri dari perifer ditransmisikan menuju
otak. Sebagaimana diketahui bahwa timbulnya nyeri bukan hanya
dimediasi oleh neuron akan tetapi juga melibatkan sistem imun yang
disebut dengan interaksi neuroimun.3-5 Sistem imun akan menjadi aktif
jika terjadi kerusakan jaringan baik dalam keadaan yang steril maupun
akibat adanya infeksi seperti herpes zoster, atau juga penyakit-penyakit autoimun seperti Guillain-Barre Syndrome (GBS). Sistem imun juga
menjadi aktif jika terjadi kerusakan jaringan karena materi kerusakan
sel ini juga dianggap sebagai imunostimulus. Komponen yang bukan
bagian dari jaringan saraf di perifer seperti makrofag berperan sebagai
sistem imun di perifer sementara di jaringan saraf yang berperan sebagai sistem adalah adalah sel glia.6
MEDICINUS
71
27
MEDICINUS
72
66
Neuron bukanlah satu-satunya jenis sel yang bertanggungjawab terhadap terjadinya nyeri akan tetapi sel glia pada sumsum tulang belakang
juga sangat penting sebagai transmisi menuju sentral di mana stimulus
diterjemahkan sebagai nyeri.9,10 Astrosit dan mikroglia bukan hanya
berfungsi sebagai sel yang mengatur respons terhadap sirkuit secara
Strategi Penanggulangan
Meregulasi aktivitas sel glia merupakan terapi yang efektif terhadap
nyeri neuropatik. Hal ini akibat aktivasi glia pada kornu dorsalis, bagian dari medula spinalis, yang berperan dalam kegiatannya menyekresi
mediator proinflamasi sitokin sebagai penyebab terjadinya nyeri neuropatik. Sampai sekarang obat-obat analgesik terfokus pada saraf perifer dan kornu dorsalis. Akan tetapi efek analgesik untuk nyeri kronik
juga berefek terhadap susunan saraf pusat seperti opioid, antidepresan
dan antikonvulsan.1,33 Walaupun terapi nyeri tidak dikembangkan atas
dasar pendekatan mekanisme yang rasional namun jenis obat-obat seperti disebutkan di atas secara umum digunakan untuk terapi nyeri kronik. Penggunaan opioid tetap mempunyai efek yang tidak diketahui
dengan jelas dari subtipe yang mana yang berperan sebagai terapeutik
karena mempunyai multipel subtipe dari reseptor yang dikenal seperti
1, 2 and 3.18,34,35 Penggunaan obat antidepresan utamanya karena
obat ini berperan untuk inhibisi pembentukan monoamine oxidase
(MAO) yang diduga berperan dalam kanal natrium (Na+).36 Sementara
pengguaan antikonvulsan terutama untuk nyeri kronik seperti nyeri
neuropatik yang berfokus pada reseptor NMDA dengan pengaturan
kanal kalsium (Ca++).37
Kesimpulan
Nyeri secara umum baik nosiseptif, neuropatik maupun yang berkaitan dengan psikologik mencakup proses patologis yang sangat luas.
Oleh sebab itu dalam penanggulangannya membutuhkan pengetahuan yang mencakup areal tadi. Berkembangnya penelitian tentang
nyeri membutuhkan keterlibatan secara multidisipilin dalam penanganannya. Pendalaman tentang peran imun terhadap nyeri membuat
berkembangnya penelitian tentang sel glia yang merupakan sel imun
di otak. Makrofag di perifer identik dengan sel glia di otak yang akan
menyekresi mediator proinflamasi serta asam amino eksitatorik sebagai mediator hiperalgesia seperti NO, asam amino eksitatorik,
NMDA dan agonist non-NMDA, IL-1, IL-6, TNF, prostaglandin, dan
NGF. Arahan strategi terapi mendasar pada proses patologi yang berlangsung di sel dan jaringan tersebut. Obat-obat yang targetnya adalah
glia dengan mediator proinflamasi diperkirakan sangat bermanfaat.
Dengan demikian penanggulangan nyeri terutama nyeri neuropatik
didasari oleh cara kerja obat antidepresan trisiklik dan kelompok antikonvulsan. Terapi dengan opioids juga dilakukan walaupun secara
umum kurang efektif terutama untuk nyeri neuropatik.
Daftar Pustaka
1. Goucke CR. The management of persistent pain. Med J Aust 2003; 178(9):4447
2. Bridges D, Thompson SWN, Rice ASC. Mechanisms of neuropathic pain. Br J
Anaesth 2001; 87(1):12-26
3. Machelska H, Stein C. Pain control by immune-derived opioids. Clin Exp Pharmacol Physiol 2000; 27(7):533-6
4. Watkins LR, Maier SF. The pain of being sick: implications of immune-to-brain
communication for understanding pain. Annu Rev Psychol 2000; 51: 29-57
5. DeLeo JA, Yezierski RP. The role of neuroinflammation and neuroimmune ac-
MEDICINUS
73
calender events
MEDICINUS
74
MEDICINUS
75
MEDICINUS
76
RM: Jadi setelah dijalani masuk di kedokteran ternyata jadi menikmatinya ya?
SH: Ya, saya jadi menikmatinya. Itu tadi
yang saya katakan bahwa apa yang saya
jalani tidak akan saya lepas. Jadi prinsip
hidup saya, apapun yang Allah berikan kepada saya akan saya jalani. Dan saya tidak
akan pernah melepas sesuatu yang sudah
saya miliki dan semudah apa yang orang
lihat karena jelek atau kurang bagus. Itu
tidak pernah. Artinya dalam segala hal,
saya akan menjaga dengan baik karena
saya tahu sekecil apapun dimata orang, itu
yang saya punya, saya miliki dan menurut saya suatu saat akan membuat orang
itu akan terkaget-kaget akan kebagusan
yang dimilikinya tersebut. Demikian juga
dalam hal ilmu Kedokteran, sekolah dan
sebagainya yang tadinya orang melihat sebelah mata sekarang orang tidak lihat sebelah mata lagi.
RM: Dengan banyaknya kegiatan yang
dokter Salim lakukan, bagaimana caranya
dokter bisa terlihat bugar seperti ini?
SH: Memang kalau kita ingin berbicara jujur, itu ada 2 hal. Yang pertama yaitu ada
hati yang punya senang. Segala hal yang
membuat kebahagiaan artinya membuat
tertawa ini semuanya akan memberikan
kebugaran. Yang kedua yaitu kebugaran
dalam bentuk yang pertama emosional
karena dia berpengaruh pada fisik, yang
kedua yaitu penyiksaan fisik dalam arti
kata bahwa fisik itu tidak boleh dikasih
terleha-leha harus dibina untuk bekerja.
Jadi fisik itu harus diolah. Inilah yang kita
kenal dengan exercise. Jadi fisik itu jangan
dimanjakan tapi buatlah fisik itu bekerja.
Harus disadari bahwasannnya fisik kita
ini akan hilang kalau kita tidak gunakan.
Kalau saya sebagai orang Islam itu ada
dikatakan NikmatKu mana lagi yang kau
MEDICINUS
77
MEDICINUS
78
kan dengan pasien kita seperti kasus sekarang. Berapa banyak foto-foto pasien saya
masukkan dan pasien yang baru-baru.
Dan otomatis pengetahuan saya bertambah lagi. Dengan adanya membaca buku
lagi, lihat literatur baru-baru lagi maka
bertambah lagi ilmunya. Jadi kalau ditanya
kegiatan ilmiah apa yang paling mengesankan? Semuanya saya katakan paling
mengesankan baik mengesankan karena
capeknya, karena ketertarikkannya, karena
adanya terobosan-terobosan baru dalam
bukunya, karena kesibukkan waktunya,
karena kepuasannya dalam memberikan
nafkah buat keluarga dengan cara halal. Itu
suatu kenikmatan yang luar biasa. Anda
bisa bayangkan anda bekerja dan belajar
setengah mati selama kurang lebih 3 hari,
2 hari membaca buku dan anda tuangkan
dalam bentuk ilmu dan dipresentasikan.
Kemudian anda diberikan honorarium dan
honorarium itu merupakan keringat anda
yang halal. Dan itu anda berikan makan
untuk anak istri. Apakah itu bukan suatu
kebahagiaan? Buat saya, itu merupakan
suatu kenikmatan dari Tuhan yang tidak
terkirakan karena Tuhan mengatakan berilah keluargamu dengan barang halal.
Jangan pernah menjadi pembicara mendapatkan slide yang sudah jadi. Kalau ada
titipan, masukkan saja titipan tersebut tapi
bikinlah sendiri slide-nya tersebut. Tidak
ada satupun slide saya yang dibuat orang,
semuanya saya bikin sendiri termasuk
adanya animasi dalam slide saya dan itu
membuat kepuasan tersendiri. Jadi kita
tahu kapan kita harus berpindah ke slide
berikut pada saat presentasi. Karena saya
yang tahu dengan baik materi yang akan
saya sajikan tersebut. Bagi saya pribadi itu
merupakan kebahagiaan.
RM: Bagaimana hubungan dokter dengan
pasien? Tentunya dokter mempunyai pengalaman yang menyenangkan dan tidak
menyenangkan. Bisa diceritakan sedikit tentang pengalaman-pengalaman tersebut?
SH: Ya..kuncinya yaitu yang pertama saya
sebagai seorang profesional digerakan
pada dasar Al Quran surat Al Maidah
ayat 8. Apa itu yang dikatakan dalam surat
tersebut? Yaitu berkata jujur, berbuat jujur,
berbuat baik dan ini adalah merupakan
kunci. Kalau dikupas arti dalam surat Al
Maidah ayat 8 itu maknanya adalah Apabila kamu akan baik, kamu akan bertaqwa
kepada yang punya diri kita. Kamu harus
berbuat adil karena yang adil dan jujur itu
stroke itu mati sebelah, hopeless, tidak punya harapan. Kemudian berkembang ilmu
kedokteran sampai sekarang berkembang
yang namanya stem cell. Wow, dengan
adanya stem cell sekarang, orang mulai
pada kaget. Karena kita mampu membuat
sel otak kembali. Ini kan merupakan suatu
trobosan yang luar biasa. Kemudian dari
ilmu preventif seperti homocystein yang
dulu tidak diketahui merupakan penyebab
stroke pada anak usia 8 tahun. Pada tahun
1933 anak umur 8 tahun menderita arterosklerosis. Sekarang sudah diketahui homocystein. Darimana homocystein itu? Dari
makanan yang kita makan. Obatnya gampang sekali. Kenapa kita tahu dari dulu?
B6, B12, asam folat. Jadi seolah-olah yang
di samping kita yang kecil tidak pernah
kita sadari. Ini kan cuma B6, ini kan cuma
B12, nggak tahunya bisa mencegah begitu
dahsyatnya penyakit yang satu ini yaitu
kematian. Jadi tidak ada statement yang
mengatakan bahwa sesuatu yang kecil itu
akan selamanya kecil. Lihatlah yang kecil
itu sebagai sesuatu yang besok akan menggantikan kita. Jadi itulah filosofi hidup
yang perlu buat pribadi saya kembangkan.
RM: Pertanyaan terakhir, apakah dokter
Salim mempunyai pesan-pesan untuk para
dokter-dokter muda sebagai pengganti
dikemudian hari?
SH: Ya...pesan terakhir saya buat dokter muda yaitu sebagai seorang manusia,
dikatakan jika seorang manusia meninggal maka akan meninggalkan tiga hal yaitu
amal perbuatan, anak yang soleh dan ilmu
yang bermanfaat. Setiap saya mengajar
saya katakan saya akan mendidik kalian
sebagian daripada ilmu kedokteran untuk
menjadikan kalian dokter. Tolong amalkan
ilmu yang saya berikan pada jalan Allah.
Setidak-tidaknya kamu tidak menzalimi
pasien kamu. Sehingga saya nanti kalau
sudah meninggal saya akan mendapatkan
kiriman-kiriman pahala dari kalian. Jadi
untuk itu, yang penting sekali lagi saya
landaskan disini yang pertama jangan pernah berbicara dusta pada pasien kita. Yang
kedua jangan pernah menjanjikan yang
punya Allah. The future is Allah. Jangan bilang penyakit ini akan sembuh besok. Tapi
katakanlah insya Allah. Jadi ini kunci dari
keberhasilan yang mudah-mudahan jadi
orang-orang yang bermanfaat buat bangsa,
agama dan keluarga kita. Itu yang bisa saya
sampaikan. GLH
symposium events
Neuronal
iskemia
dapat
menyebabkan hal-hal antara
lain, meningkatkan pengeluaran protein mediator inflamasi
yaitu interleukin-1 (IL-1) dan
tumor necrosis faktor- (TNF-),
serta menstimulasi enzim phospholipase A2 (PLA2) yang akan
meningkatkan asam arakidonat.
Banyaknya TNF- akan mempengaruhi sintesis dari Ptd Cho
dengan cara menghambat aktivitas CCT melalui degradasi proteolitik dari enzim tersebut. Jika
PLA2 ditingkatkan aktivitasnya
oleh adanya TNF-, maka akan
meningkatkan jumlah asam arakidonat yang selanjutnya meningkatkan oxidative stress dan
akan segera memicu kematian
sel. Jika kita meningkatkan konsentrasi citicoline di dalam darah
maka secara otomatis PLA2 akan
terdeaktivasi dan aktivitas PLA2
akan turun sehingga jumlah asam
arakidonat juga menurun, be-
MEDICINUS
79
MEDICINUS
80
2 Mei 2009
Hotel JW Marriot, Jakarta
maupun berlebih, alkohol, kolesterol, sanitasi dan higiene, rendahnya asupan buah dan sayur,
dan aktivitas fisik. Dalam salah
satu penelitian hipertensi ditunjukkan bahwa dengan tekanan
darah sistolik yang sedikit lebih
tinggi daripada normal dan pada
umur lebih dari 60 tahun, akan
lebih berisiko terkena Ischaemic
Heart Disease (IHD). Penelitian
lain menunjukkan bahwa dengan menurunkan tekanan darah
dan kolesterol, angka kematian
akan berkurang dengan lebih
MEDICINUS
37
MEDICINUS
38
dapat menurunkan angka mortalitas, morbiditas, serta meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Seperti terlihat pada gambar
berikut ini:
Penyakit
kardiovaskular merupakan
penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia.
Sekitar 17 juta orang
meninggal karena
penyakit
kardiovaskular tiap tahun,
terutama
akibat
serangan
jantung
dan stroke. Adanya
peningkatan mortalitas dan morbiditas dalam age-
tiap tahunnya.
Menurut the Third Report of the NaPada simposium ini juga disam- tional Cholesterol Education Program
paikan bahwa telah terjadi peru- (NCEP) Expert Panel on Detection,
bahan konsep dalam penatalak- Evaluation, and Treatment of High
sanaan terhadap dislipidemia, Blood Cholesterol in Adults (Adult
Treatment Panel III [ATP III]) bahwa
antara lain:
1.Dulu penatalaksanaan terha- kolesterol LDL diidentifikasi sedap dislipidemia hanya ber- bagai target utama pada terapi untujuan untuk mengontrol ka- tuk menurunkan kolesterol. Studidar lipid dengan fokus yang studi yang ada memperlihatkan
hanya terbatas pada dislipi- bahwa konsentrasi kolesterol LDL
demia saja, sekarang bertujuan yang tinggi dalam darah merupauntuk mencegah kemungki- kan faktor risiko utama pada pennan terjadinya efek samping yakit kardiovaskular (PJK). Studiutama, dengan fokus bahwa studi tersebut juga menunjukkan
dislipidemia sebagai bagian bahwa penurunan kadar kolesdari risiko menyeluruh pada terol LDL akan mengurangi risiko
utama kejadian kardiovaskular.
pasien.
2. Sekarang sasaran terhadap nilai LDL bergantung pada risiko NCEP ATP III mengklasifikasikan
menyeluruh yang mungkin pasien ke dalam 3 kelompok risiko
timbul, dengan metode peng- untuk menentukan sasaran kolesgunaan obat dari awal dan se- terol LDL dan tahapan dimulaicara agresif. Dulu sasaran pen- nya pemberian obat (statin) pada
gobatan hanya pada nilai LDL ketiga kelompok risiko:
saja
dengan
Kelompok
Sasaran
Kadar
Kadar
metode pengrisiko
kolesterol
kolesterol
kolesterol
gobatan yang
LDL dan
LDL dan
konservatif.
perubahan pertimbangkan
Saat ini terapi dislipidemia memiliki target untuk
menurunkan LDL,
menurunkan TG,
dan
me-ningkatkan HDL. Namun yang juga
perlu
diperhatikan
mengenai
clinical end point
dari terapi yang
dipilih. Apakah
terapi
tersebut
selain
memiliki
efek di atas juga
gaya hidup
pemberian
obat
0-1 faktor
risiko
<160
160
190
(160-189
pemberian obat
opsional)
2 faktor
risiko
<130
130
160 (risiko
PJK <10%)
130 (risiko
PJK 10-20%)
PJK atau
risiko yang
sama
dengan
PJK
<100
100
130
(100-129
pemberian obat
opsional)
MEDICINUS
Dr. Kaligis juga memaparkan perhitungan CV RISK dengan Framingham Heart Study Risk Scores,
yaitu dengan menggunakan
tabel dimana tiap faktor risiko
akan mempunyai score tersendiri
dan score tersebut kemudian dijumlahkan, maka akan diketahui
berapa persen kemungkinan kita
terkena penyakit kardiovaskular setelah 10 tahun kedepan.
Faktor risiko yang dinilai antara
lain umur, kolesterol LDL, HDL,
tekanan darah, diabetes, dan perokok. Faktor risiko (dislipidemia,
hipertensi,
hipoksia/iskemia,
diabetes, rokok dan obesitas) dapat menyebabkan arterosklerosis
yang kemudian menjadi kejadian
kardiovaskular (stroke, infark
miokard, gagal jantung, maupun
angina).
83
MEDICINUS
Points to Remember
Dual Antiplatelet in CAD
Prof. DR. dr. Budhi Setianto,
SpJP (K), FIHA
84
Atherotrombosis
merupakan
penyebab kematian paling besar
di dunia (WHO, 2001). Manifestasi klinis atherotrombosis dimulai
dari aterosklerosis kemudian
atherotrombosis dimana trombosis
ini akan menyebabkan terjadinya
angina tidak stabil, infark miokard, iskemia, stroke, dan kematian kardiovaskular lainnya. Untuk mencegah terbentuknya atau
progresi aterotrombosis inilah
peran antiplatelet dibutuhkan.
Aspirin merupakan oral antiplatelet yang bekerja menghambat enzim siklo-oksigenase pada
jalur pembentukan mediator
inflamasi sehingga tidak terbentuk tromboksan A2. Sedangkan
Clopidrogel bekerja menghambat
ikatan ADP dengan reseptornya
di platelet. Masing-masing mekanisme menghambat terjadinya
agregasi platelet sehingga diharapkan mencegah terbentuknya
arterotrombosis (primary prevention) atau menghambat progresi
atherotrombosis (secondary atau
tertiary prevention).
Penggunaan dual antiplatelet
(Aspirin + Clopidrogel) diharapkan dapat mencegah terbentuknya atherotrombosis atau menghambat progresi atherotrombosis
dengan lebih intens. Akan tetapi
hasil analisa retrospektif dari uji
klinis CHARISMA terhadap po-
pulasi pasien dengan primary prevention tidak mendukung penggunaan dual antiplatelet sebagai
primary prevention untuk pasien
dengan risiko tinggi terhadap
kejadian atherotrombosis. Pada populasi pasien dengan risiko tinggi
atherotrombosis, terjadinya kejadian kematian kardiovaskular
pada pasien yang mendapatkan
terapi aspirin+clopidrogel justru meningkat dibanding terapi
aspirin+plasebo (CV death: 3,9%
versus 2,2%, P= 0,01). Relative
risk ratio tidak berbeda bermakna
antara kelompok dual antiplatelet dengan kelompok single antiplatelet dan risiko pendarahan
pada kelompok dual antiplatelet
meningkat. Penyebab peningkatan kematian kardiovaskular
pada pasien yang menerima terapi dual antiplatelet belum dapat dijelaskan. Hasil analisa ini
merupakan hasil analisa post hoc
retrospektif. Oleh sebab itu, lebih
lanjut lagi dibutuhkan evaluasi prospektif untuk penggunaan
dual antiplatelet sebagai primary
prevention.
Tetapi penggunaan dual antiplatelet sebagai secondary prevention
masih dapat dipertimbangkan.
Uji Klinis CHARISMA menunjukkkan bahwa event rate (%)
dual antiplatelet tidak berbeda
bermakna dengan event rate (%)
single antiplatelet. Akan tetapi,
uji-uji lainnya (seperti: CLARITY,
CURE, PCI-CURE, dan CREDO)
menunjukkan event rate (%) yang
lebih rendah pada kelompok dual
antiplatelet dibandingkan dengan kelompok single antiplatelet.
Namun perlu juga diperhatian,
persentase kemungkinan pendarahan pada kelompok terapi dual
antiplatelet lebih besar daripada
terapi single antiplatelet.
Dr. Budhi juga memberikan paparan mengenai tatalaksana antitrombosis untuk pasien ACS (Acute
Coronary Syndrome), yaitu untuk
pasien yang tidak menggunakan
stent, pasien dengan Bare metal stent,
pasien dengan drug eluting stent,
dan pasien PCI (Percutaneus Coronary Intervention). Pada dasarnya
terapi dual antiplatelet pada pasien
ACS direkomendasikan, kecuali
Durasi
Primary prevention
of CV events
Hindari
Hindari
1-12 bln
Bare-metal stent
1-12 bln
Drug-eluting stent
12 bln
Pasien CAGB
Dihentikan 5-7 hr
sebelum prosedur
bypass
Selamanya??
a) Dimensi sosial
Konsumsi obat per
C
kapita tiap negara
dari tahun ke tahun
semakin meningkat.
Hal ini karena semakin me-ningkatnya penyakit-penya-kit degenerasi di kalangan
masyarakat. Jika dilihat dari
tahun 2005, maka kemungkinan 25 tahun ke depan akan
terjadi peningkatan risiko
masyarakat menderita penyakit-penyakit degenerasi.
Dengan semakin meningkatnya risiko terkena penyakitpenyakit tersebut, maka usia
harapan hidup masyarakat
akan semakin tinggi sehingga kebutuhan masyarakat
akan obat pun semakin meningkat. Masyarakat tidak
hanya membutuhkan obat
yang ala kadarnya (misalnya: dulu ketika terkena penyakit tertentu, maka hanya
diberikan antibiotik) namun
membutuhkan obat yang
lebih tepat untuk mengobati
penyakitnya.
A
MEDICINUS
85
literatur services
o Triple-combination
pharmacotherapy
for
o Novel agents on the horizon for cancer therapy. Ca Cancer J Clin 2009; 59:111-37
o Intravenous
o Growth
MEDICINUS
86
2009; 150:455-64
32:594-6
o A
o Blood
53:646-53
clue for the presence of portosystemic collateral veins. BMC Gastroenterology 2009;
9:21
o
A systemic review and meta-analysis: probiotics in the treatment of irritable bowel syndrome. BMC Gastroenterology 2009; 9:15
o Meta-analysis
of duloxetine vs pregabalin
301(15):1547-55
o
Cognitive function at 3 years of age after fetal exposure to antiepileptic drugs. The New
England Journal of Medicine 2009; 360:1597605
o
Valsartan for prevention of recurrent atrial
fibrillation. The New England Journal of Medicine 2009; 360:1606-17
2009; 9:6
events
Head of Marketing and Sales OTC PT Dexa Medica, Sylivia A. Rizal, saat
menerima penghargaan Most Recommended Brand 2009 untuk STIMUNO,
yang diberikan oleh onbee Marketing Research.
87
Sertifikat West Africa's Best Pain Reliever Brand of The Year 2009 yang
diterima BOSKA dari The Institute of Brand Management of Nigeria.
MEDICINUS
MEDICINUS
88
MEDICINUS
IKLAN KEPPRA