Artikel CME
Continuing
Medical
Education
7
Diagnosis dan Tata Laksana
Vertigo pada Sindrom Stroke
14
40
48
TINJAUAN PUSTAKA
LAPORAN KASUS
BERITA TERKINI
Tumor Phyllodes
Pasien Geriatri
DAFTAR ISI
5
ISSN: 0125-913X
EDITORIAL
ARTIKEL
7
14
19
25
33
Nomor Ijin
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976
37
Penerbit
Kalbe Farma
40
Tumor Phyllodes
Azamris
Pencetak
PT. Dian Rakyat
43
http://www.kalbemed.com/CDK.aspx
Alamat Redaksi
Gedung KALBE
Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4
Cempaka Putih, Jakarta 10510
Tlp: 021-420 8171
Fax: 021-4287 3685
E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id
http://twitter.com/CDKMagazine
BERITA TERKINI
48
68
50
52
54
57
59
61
63
66
Susunan Redaksi
70
Praktis
Ketua Pengarah
dr. Boenjamin Setiawan, PhD
73
Opini
76
Agenda
Pemimpin Umum
dr. Kupiya Timbul Wahyudi
77
Indeks
Ketua Penyunting
Dr. dr. Budi Riyanto W., SpS
Dewan Redaksi
dr. Karta Sadana, MSc, SpOk
dr. Artati
dr. Esther Kristiningrum
dr. Dedyanto Henky
dr. Yoska Yasahardja
dr. Albertus Agung Mahode
Tata Usaha
Dodi Sumarna
BUKU
Penulis/Editor Tunggal
1. Hoppert M. Microscopic techniques in biotechnology. Weinheim: Wiley-VCH;
2003.
2. Storey KB, editors. Functional metabolism: regulation and adaptation. Hoboken
(NJ): J. Wiley & Sons; 2004.
MAKALAH KONFERENSI
Christensen S, Oppacher F. An analysis of Kozas computational effort statistic for genetic
programming. In: Foster JA, Lutton E, Miller J, Ryan C, Tettamanzi AG, editors. Genetic
programming: EuroGP 2002: Proceedings of the 5th European Conference on Genetic
Programming; 2002 Apr 3-5; Kinsdale, Ireland. Berlin: Springer; 2002. p. 182-91.
TABEL/GRAFIK/GAMBAR/BAGAN
Tabel/grafik/gambar/bagan yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dan dikirimkan
terpisah dalam format JPG (resolusi minimal 150 dpi dengan ukuran sebenarnya). Keterangan
pada tabel/grafik/gambar/bagan sedapat-dapatnya dituliskan dalam bahasa Indonesia.
PENGIRIMAN NASKAH
Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk softcopy / CD atau melalui e-mail ke alamat:
DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka disusun menurut aturan Vancouver. Rujukan diberi nomor urut sesuai
pemunculannya di dalam naskah. Jika penulis enam orang atau kurang, cantumkan semua;
bila tujuh atau lebih, tuliskan enam yang pertama dan tambahkan et al.
Kepustakaan maksimal berjumlah 20 buah, terbitan 10 tahun terakhir. Diupayakan lebih
banyak kepustakaan primer (dari jurnal, proporsi minimal 40%) dibanding kepustakaan
sekunder.
Redaksi CDK
Jl. Letjen Suprapto Kav. 4
Cempaka Putih, Jakarta 10510
E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id
Tlp: (62-21) 4208171 Fax: (62-21) 42873685
Seluruh pernyataan dalam naskah merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi berhak
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Naskah yang tidak diterbitkan
dikembalikan ke pengarang jika ada permintaan.
Standar
1. Halpern SD, Ubel PA.Solid-organ transplantation in HIV-infected patients. N Engl J
Med. 2002;347:284-7.
2. Skalsky K, Yahav D, Bishara J, Pitlik S, Leibovici L, Paul M. Treatment of human
brucellosis: systematic review and meta-analysis of randomised controlled trials.
BMJ. 2008; 36(7646):701-4.
3. Rose ME, Huerbin MB, Melick J, Marion DW, Palmer AM, Schiding JK, et al. Regulation
of interstitial excitatory amino acid concentrations after cortical contusion injury.
Brain Res. 2002;935(1-2):40-6.
Jurnal Elektronik
Sillick TJ, Schutte NS. Emotional intelligence and self-esteem mediate between
perceived early parental love and adult happiness. E-Jnl Appl Psych [serial on the
Internet]. 2006 [cited 2010 Aug 6];2(2):38-48. Available from: http://ojs.lib.swin.edu.au/
index.php/ejap/article/view/71/100.
Mengingat saat ini CDK sudah dapat diakses lewat internet (online), tentu naskah yang telah
diterbitkan akan dapat lebih mudah diunduh dan dimanfaatkan oleh kalangan yang lebih
luas.
Korespondensi selanjutnya akan dilakukan melalui e-mail. Untuk keperluan administrasi,
mohon disertakan juga curriculum vitae, no. Rek. Bank, dan (bila ada) no./alamat NPWP.
Editorial
Akreditasi IDI
Artikel CME
Continuing
Medical
Education
887
Principles of Drug Use in
the Elderly
r*44/9r$%,WPMOPr%FTFNCFSrIUUQXXXLBMCFNFEDPN$%,BTQY
&
894
919
938
SELAMATTAHUN BARU
1 Januari 2014
TINJAUAN PUSTAKA
BERITA TERKINI
TEKNIK
Sejawat pasti pernah menangani kasus vertigo, baik di klinik maupun di rumah sakit, bahkan
mungkin di UGD (unit gawat darurat) karena keluhan ini merupakan salah satu yang paling sering,
mencakup 3 5% kunjungan ke rumah sakit dan seperempatnya melalui UGD. Meskipun keluhan
ini kelihatannya ringan, tetapi dapat merupakan gejala awal dari penyakit susunan saraf pusat yang
lebih serius. Karena itu, langkah diagnostik awal yang tepat sangat diperlukan. Bahasan mengenai
vertigo secara menyeluruh dapat Sejawat ikuti pada edisi ini dengan harapan dapat menyegarkan
kembali pengetahuan demi penanganan pasien yang lebih tepat dan cepat.
Beberapa masalah geriatri ikut melengkapi bahasan, antara lain masalah pneumonia pada geriatri,
masalah yang serius mengingat pneumonia merupakan salah satu pembunuh utama di kalangan
orang tua, disambung dengan bahasan mengenai gagal jantung. Di samping itu, yang tidak kurang
pentingnya adalah mengenali faktor-faktor risiko gangguan fungsi kognitif di kalangan lanjut usia.
Seperti biasa, dilengkapi dengan berita terkini, selamat membaca.
Redaksi
REDAKSI KEHORMATAN
Prof. dr. Abdul Muthalib, SpPD-KHOM
Jakarta
Mangunkusumo, Jakarta
Jakarta
Indonesia, Jakarta
Soetomo, Surabaya
Indonesia/RSUPN
Jakarta
Kita, Jakarta
Mangunkusumo, Jakarta
TINJAUAN PUSTAKA
ABSTRACT
Pneumonia menjadi salah satu masalah kesehatan utama pada geriatri. Karakteristik pneumonia pada pasien geriatri adalah presentasi
klinisnya yang khas. Perubahan status imunologi akibat proses penuaan memberi konsekuensi penting terhadap cadangan fungsional paru,
kemampuan untuk mengatasi penurunan komplians paru dan peningkatan resistensi saluran napas terhadap infeksi. Saat timus mengalami
involusi karena pengaruh usia, terjadi penurunan produksi sel T naif, perubahan fungsi sel T memori, pergeseran profil sitokin dari Th1 ke Th2.
Pada imunitas humoral terjadi penurunan jumlah sel B dan reseptornya, penurunan formasi germinal center, disfungsi generasi dari limfosit B
primer, gangguan produksi sel B memori, peningkatan autoantibodi. Manajemen penting pada pasien geriatri meliputi terapi antibiotik dan
pertimbangan perawatan di ICU, serta pencegahan episode ulangan.
Kata kunci: geriatri, imunologi, pneumonia
ABSTRAK
Pneumonia becomes one of the major health problems in the elderly. A characteristic of pneumonia in geriatric patients is its typical clinical
presentation. Immunological status changes due to the aging process to give an important consequence of the pulmonary functional reserve,
ability to cope with decreased lung compliance and increased airway resistance to infection. Thymus involution due to aging decreases nave
T cells production, changes memory T cell function, shifts the cytokine profile from Th1 to Th2. In humoral immunity, there are decrease of B
cells and its receptors, decrease of germinal center formation, dysfunctional generation of primary B lymphocytes, impaired memory B cell
production, and increase of autoantibodies. Management includes antibiotic therapy and considerations for ICU treatment, and prevention of
further infection. Rizki Maulidya Putri, Helmia Hasan. Immunologic Aspects of Pneumonia in Geriatrics.
Key words: geriatric, immunology, pneumonia
PENDAHULUAN
Pneumonia dapat menjadi salah satu masalah
kesehatan utama pada geriatri. Proses
penuaan sistem organ (di antaranya sistem
respirasi, sistem imun, sistem pencernaan)
dan faktor komorbid banyak berperan
pada peningkatan frekuensi dan keparahan
pneumonia pasien geriatri. Karakteristik
dominan pneumonia pada pasien geriatri
adalah presentasi klinisnya yang khas, yaitu
jatuh dan bingung, sedangkan gejala klasik
pneumonia sering tidak didapatkan.1-5
Kelompok geriatri adalah semua orang yang
berusia 60 tahun atau lebih (WHO)6; yang
dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang
yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.7
Pada populasi geriatri Amerika, pneumonia
Alamat korespondensi
14
email: huseinalbar@yahoo.com
TINJAUAN PUSTAKA
RSUP Dr. Kariadi Semarang melaporkan
bahwa 16,6% pasien geriatri dirawat dengan
diagnosis pneumonia, masih di bawah angka
kasus tuberkulosis pada geriatri.4
PATOFISIOLOGI
Pertambahan usia, ditambah dengan faktor
lingkungan,
menyebabkan
perubahan
anatomi fisiologi tubuh. Pada tingkat awal,
mungkin merupakan homeostasis normal,
kemudian berkelanjutan dan mengarah
pada reaksi adaptasi yang merupakan proses
homeostasis abnormal. Tahap paling akhir
terjadi kematian sel. Salah satu sistem organ
yang mengalami perubahan anatomi
fisiologi adalah sistem pernapasan.4
Pasien geriatri lebih mudah terinfeksi
pneumonia karena adanya gangguan refleks
muntah, melemahnya imunitas, gangguan
respons pengaturan suhu dan berbagai
derajat kelainan kardiopulmoner. Kelainan
sistem saraf pusat dan refleks muntah juga
turut berperan mengakibatkan pneumonia
aspirasi. Selain itu, kelainan kardiopulmoner
secara langsung mempengaruhi penurunan
fungsi jantung dan paru.13
Gangguan respons pengaturan suhu terkait
proses penuaan meliputi gangguan respons
simpatoneural - vasomotor yang terjadi
bersama gangguan produksi panas tubuh
dan gangguan persepsi suhu.14 Selain itu suhu
basal tubuh pada lanjut usia lebih rendah
dibanding pada dewasa muda.15
Sistem imunitas humoral tergantung pada
keutuhan fungsi limfosit B. Pasien geriatri
memiliki banyak gangguan sistemik yang
dapat mengganggu fungsi limfosit B
sehingga menurunkan produksi antibodi.
Gangguan ini juga menjadi faktor predisposisi
infeksi mikroorganisme patogen yang
merupakan penyebab umum pneumonia
bakterial.13 Sekali mikroorganisme patogen
berada di alveolus, mediator proinflamasi
akan dilepaskan dan respons inflamasi terpicu
sehingga menimbulkan manifestasi klinis.3
RESPONS IMUN PADA PNEUMONIA
Respons imun terhadap infeksi bakteri
Bakteri ekstraseluler dapat hidup dan
berkembang biak di luar sel pejamu, misalnya
pada sirkulasi, jaringan ikat, lumen saluran
napas dan saluran cerna. Penyakit yang
ditimbulkan oleh bakteri ekstraseluler dapat
menyimpulkan
bahwa
penambahan
usia membawa perubahan penting pada
respons imun alami dan adaptif, disebut
immunosenescence.
Konsekuensi
klinis
immunosenescence meliputi peningkatan
kerentanan terhadap infeksi, keganasan
dan
penyakit
autoimun,
penurunan
respons vaksinasi serta gangguan proses
penyembuhan luka pada pasien geriatric.18
Immunosenescence
karena
deregulasi
imunitas adalah proses yang sangat kompleks
dan perlu dipahami dengan baik. Proses
penuaan normal ditentukan secara genetik,
namun faktor eksternal dapat mempengaruhi
immunosenescence. Sistem imunitas tubuh
pada dewasa tua adalah hasil proses renovasi
berkelanjutan. Stres oksidatif diyakini menjadi
faktor utama percepatan penuaan melalui
peningkatan kecepatan pemendekan telomer
karena kerusakan DNA. Kerusakan tersebut
berupa kegagalan aktivitas enzim telomerase
untuk menambahkan urutan telomer ulangan
sampai akhir kromosom.19
Dampak proses penuaan terhadap
imunitas alami
Perubahan imunitas sistemik yang berkaitan
dengan usia lanjut dapat diamati dari
perubahan-perubahan pada imunitas alami
dan imunitas adaptif. Imunitas alami adalah
elemen kunci respons imun terdiri dari
beberapa komponen seluler seperti makrofag,
sel NK dan neutrofil yang menjadi pertahanan
lini pertama terhadap invasi mikroba patogen.
Fungsi sel-sel tersebut menurun sejalan
usia. Walaupun produksinya meningkat
pada pasien geriatri, kemampuan makrofag
mensekresi TNF yang merupakan sitokin proinflamasi utama telah berkurang.19
Studi pada manusia sehat telah menunjukkan
penurunan fungsi ekspresi toll-like receptors
(TLRs) yang terkait usia, mengakibatkan
penurunan produksi sitokin pro-inflamasi
dan kemokin serta deregulasi sistem imunitas
adaptif. Modulasi sistem imunitas alami, baik
dengan ligan TLRs atau produk aktivasi TLRs,
dapat meningkatkan ketahanan terhadap
penyakit, meningkatkan respons imun dan
meningkatkan efektivitas vaksinasi pada
orang tua.19,20
Proses penuaan meredam sel stroma
sumsum tulang untuk menyekresi (IL-7).
Interleukin-7 merupakan sitokin penting
15
TINJAUAN PUSTAKA
dalam mengembangkan limfosit. Interaksi
antara TLRs dan patogen menstimulasi sekresi
berbagai peptida antibakteri dan memicu
respons inflamasi melalui sekresi sitokin dan
kemokin. Ligan TLRs juga dapat meningkatkan
produksi IL-2. Akibat proses penuaan tersebut,
efikasi kemotaksis dan kegiatan fagositik
neutrofil menurun, mengurangi kemampuan
makrofag dan neutrofil untuk menghilangkan
mikroba dan menghancurkan sel-sel
kanker.19,20
16
TINJAUAN PUSTAKA
sel memori CD27+, ditambah peningkatan
signifikan sel memori tanpa energi pada
down-regulation CD27 (CD27-) yang mengisi
ruang imunologi B pada orang tua. Reservoir
sel B naif mungkin menjadi salah satu faktor
yang berperan dalam menjaga pertahanan
melawan infeksi baru. Hilangnya sel B naif
merupakan ciri immunosenescence.19
Kualitas respons imun humoral menurun
sesuai usia. Perubahan ini ditandai dengan
respons antibodi yang lebih rendah dan
penurunan produksi antibodi berafinitas
tinggi. Penurunan proliferasi sel B karena usia
menurunkan aktivasi sel B dan membuat
defek pada afinitas reseptor dan sinyal
permukaan sel B. Sel Th CD4+ membantu
secara tidak adekuat di pusat-pusat germinal
dan menghasilkan antibodi berafinitas rendah
akibat penurunan pelepasan IL-2 dan IL-4.19
Sel B progenitor mengalami maturasi dan
diferensiasi dalam jaringan limfoid sekunder,
seperti limpa dan kelenjar getah bening.
Organ ini menyediakan struktur yang
sangat terorganisir untuk sel T dan sel B
dalam berinteraksi dengan satu sama lain
dan dengan antigen presenting cell (APC),
sel dendritik serta makrofag. Pengurangan
korteks limfosit seluler dan pusat germinal
karena pengaruh usia serta peningkatan
jaringan adiposa menurunkan kemampuan
menyediakan lingkungan yang tepat untuk
kelangsungan respons imun.19
Didapatkan peningkatan frekuensi sel B,
peningkatan CD4+ memori, peningkatan
ekspresi penanda penuaan p16INK4a pada sel
B dan CD8+, disertai penurunan jumlah sel T,
CD4+ naif, CD8+, dan IgM yang memproduksi
sel B dalam kelenjar getah bening pasien
geriatri. Penempatan sel B imatur ke organ
limfoid sekunder telah terbukti menurunkan
kelangsungan hidup sel B, sehingga
mengurangi kemungkinan antigen akan
dikenali oleh sel B spesifik antigen dan
mungkin juga mengurangi timbunan sel B
naif. Hal ini menyebabkan hilangnya sel B naif
dan peningkatan sel memori pada dewasa
DAFTAR PUSTAKA
1.
Janssens JP, Krause KH. Pneumonia in the very old. Lancet Infect Dis 2004; 4(2): 112-24.
2.
Pink K, Hope-Gill B. Nonobstructive lung disease and thoracic tumors. In: Fillit HM, Rockwood K, Woodhouse K. Brocklehursts Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology, 7th ed.
Saunders Elsevier, 2010; 50: 376-84.
3.
Marrie TJ. Pneumonia. In: Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S. Hazzards Geriatric Medicine and Gerontology, 6th ed. McGraw Hill, 2009; 126: 1531-45.
17
TINJAUAN PUSTAKA
4.
Rahmatullah P. Penyakit paru pada usia lanjut. Dalam: Martono H, Pranarka K. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), edisi 4. Balai Penerbit FK UI, 2009; 466-73.
5.
Riquelme R, Torres A, El-Ebiary M, Mensa J, Estruch R, Ruiz M, Angrill J, Soler N. Community-acquired pneumonia in the elderly, clinical and nutritional aspects. Am J Respir Crit Care Med
1997: 156: 1908-1914.
6.
Peji T, orevi I, Stankovi I, Borovac DN, Petkovi TR. Prognostic mortality factors of community-acquired pneumonia in the elderly. Acta Facultatis Medicae Naissensis 2011: 28(2):
71-76.
7.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Usia Lanjut.
8.
Hoyert DL, Kung HC, Smith BL. Deaths preliminary data for 2003. Natl Vital Stat. Rep 2005; 53(15): 1-48.
9.
Loeb M. Pneumonia in older persons. Clinical Infectious Diseases 2003; 37: 1335-39.
10. High KP. Infection in elderly. In: Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S. Hazzards Geriatric Medicine and Gerontology, 6th ed. McGraw Hill, 2009; 124: 1507-15.
11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia komuniti, pedoman dan penatalaksanaan di Indonesia.. Balai Penerbit FK UI, 2003.
12. Kaplan V, Angus DC, Griffin MF, Clermont G, Scott Watson R, Linde-Zwirble WT. Hospitalized community-acquired pneumonia in the elderly: age- and sex-related patterns of care and
outcome in the United States. Am. J. Respir. Crit Care Med 2002; 165(6): 766-772.
13. Cunha BA. Pneumonia in the elderly. Clin Microbiol Infect 2001; 7: 581-88.
14. Frank SM, Raja SN, Bulcao C, Goldstein DS. Age-related thermoregulatory differences during core cooling in humans. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 2000; 279: R349-R354.
15. Rosen S, Koretz B, Reuben DB. Presentation of disease in old age. In: Brocklehursts Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology, 7th ed. Saunders Elsevier, 2010; 34: 205-210.
16. Sharma G, Goodwin J. Effect of aging on respiratory system physiology and immunology. Clinical Interventions in Aging 2006; I(3): 253-260.
17. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi infeksi. Dalam: Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar, ed 9. Balai Penerbit FK UI, 2010; 15: 399-449.
18. Busse PJ. Age-related changes in immune function: Effect on airway inflammation. J Allergy Clin Immunol 2010; 691-99.
19. Ongradi J, Kovesdi V. Factors that may impact on immunosenescence: appraisal. Immunity and Ageing 2010; 7: 7.
20. Meyer KC. Aging. Proc Am Thorac Soc 2005; 2: 433-39.
21. Fulop T, Le Page A, Garneau H, Azimi N, Baehl S, Dupuis G, Pawelec G, Larbi A. Aging, immunosenescence and membrane rafts: the lipid connection. Longevity & Healthspan, 2012; 1: 6.
22. Lee M, Shin MS, Kang I. T-cell biology in aging, with a focus on lung disease. J Gerontol A Bio Sci Med Sci, 2012; 67A(3): 254-263.
23. Marrie TJ. Community-acquired pneumonia in the elderly. Clinical Infectious Disease 2000; 31: 1066-78.
24. Van der Steen JT, Ooms ME, van der Wal G, Ribbe MW. Pneumonia: the demented patients best friend? Discomfort after starting or withholding antibiotic treatment. J Am Geriatr Soc
2002; 50: 1681-88.
25. Morrison RS, Siu AL. Survival in end-stage dementia following acute illness. JAMA 2000; 284: 47-52.
26. Kaplan V, Angus DC, Griffin MF, Clermont G, Scott Watson R, Linde-Zwirble WT. Hospitalized community-acquired pneumonia in the elderly: ageand sex-related patterns of care and
outcome in the United States. Am J Respir Crit Care Med 2002; 165: 76672.
27. Chelluri L, Grenvik A, Silverman M. Intensive care for critically ill elderly: mortality, costs, and quality of life. Review of the literature. Arch Intern Med 1995; 155: 101322.
18
TINJAUAN PUSTAKA
ABSTRAK
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung; prevalensinya meningkat sesuai usia. Penyebab gagal jantung pada lanjut
usia lebih multifaktorial dan sering disertai dengan gejala yang tak khas. Tatalaksana meliputi cara non farmakologis berupa edukasi, diet, latihan
fisik dan dukungan keluarga ditambah dengan cara medikamentosa untuk mencegah remodeling dan mengurangi gejala.
Kata kunci: gagal jantung, remodeling, geriatri
ABSTRACT
Heart failure is an end-stage for all heart diseases, its prevalence increases as population gets older. The causes among elderly are multifactorial,
and often without typical signs and symptoms. The management consists of non pharmacological measures i.e education, diet and physical
exercise, and medication to prevent remodelling and to alleviate symptoms. Ervinaria Uly Imaligy. Heart Failure in Geriatrics.
Key words: heart failure, remodeling, geriatrics
PENDAHULUAN
Di Asia, saat ini terjadi perkembangan
ekonomi secara cepat, kemajuan industri,
urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti
peningkatan konsumsi kalori, lemak dan
garam; peningkatan konsumsi rokok; dan
penurunan aktivitas. Keadaan ini disertai
dengan peningkatan insiden obesitas,
hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit
vaskular yang berujung pada peningkatan
insiden gagal jantung.1
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari
seluruh penyakit jantung dan merupakan
masalah kesehatan dunia.1 Gagal jantung
merupakan salah satu penyakit kardiovaskuler yang menjadi masalah serius di Amerika.
American Heart Association (AHA) tahun 2004
melaporkan 5,2 juta penduduk Amerika Serikat
menderita gagal jantung. Asuransi kesehatan
Medicare USA paling banyak mengeluarkan
biaya untuk diagnosis dan pengobatan gagal
jantung (ACC/AHA 2005).2 Di Indonesia, data
Departemen Kesehatan tahun 2008 menunjukan pasien yang dirawat dengan diagnosis
gagal jantung mencapai 14.449.3
Gagal jantung erat kaitannya dengan
penurunan kualitas hidup dan mortalitas
tinggi,
serta
dapat
mengakibatkan
Alamat korespondensi
Stadium A
Memiliki risiko tinggi berkembang menjadi gagal jantung.
Tidak terdapat ganguan struktural atau fungsional jantung,
tidak terdapat tanda atau gejala
Kelas I
Tidak terdapat batasan melakukan aktivitas fisik. Aktivitas
fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau
sesak nafas
Stadium B
Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang
berhubungan dengan perkembangan gagal jantung. Tidak
terdapat tanda atau gejala
Kelas II
Terdapat batasan aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan
saat istirahat, namun aktivitas fisik sehari-hari menimbulkan
kelelahan, palpitasi atau sesak nafas
Stadium C
Kelas III
Gagal jantung asimptomatis yang berhubungan dengan Terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan
penyakit struktural jantung yang mendasari
saat istirahat, tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan
kelelahan, palpitasi atau sesak
Stadium D
Penyakit struktural jantung yang lanjut serta gejala gagal
jantung yang sangat bermakna saat istirahat walaupun
sudah mendapat terapi medis maksimal
Kelas IV
Tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa keluhan. Terdapat
gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan
aktivitas
ACC: American College of Cardiology, AHA: American Heart Association, NYHA: New York Heart Association
email: send2rizal@gmail.com
19
TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa istilah dalam gagal jantung8:
1. Gagal jantung sistolik dan diastolik
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang
tindih, tidak dapat dibedakan berdasarkan
pemeriksaan jasmani, foto toraks atau EKG;
hanya dapat dibedakan dengan eko-Doppler.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan
kontraksi jantung memompa sehingga curah
jantung turun dan menyebabkan kelemahan,
fatigue, kemampuan aktivitas fisik menurun
dan gejala hipoperfusi lainnya. Gagal jantung
diastolik adalah gangguan relaksasi dan
gangguan pengisian ventrikel; didefinisikan
sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi
lebih dari 50%. Diagnosis dibuat dengan
pemeriksaan Doppler-ekokardiografi.
2. Low Output dan High Output Heart Failure
Low output HF disebabkan oleh hipertensi,
kardiomiopati dilatasi, kelainan katup dan
perikard. High Output HF ditemukan pada
penurunan resistensi vascular sistemik seperti
hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula
A-V, beri-beri dan penyakit Paget.
3. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh klasik gagal jantung akut adalah
robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma atau infark miokard
luas. Curah jantung yang turun tiba-tiba
menyebabkan penurunan tekanan darah
tanpa disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronis adalah
pada kardiomiopati dilatasi atau kelainan
multivalvular yang terjadi perlahan-lahan.
Kongesti perifer sangat menyolok, namun
tekanan darah masih terpelihara dengan baik
4. Gagal Jantung Kanan dan Gagal Jantung
Kiri
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel,
meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan
paru menyebabkan pasien sesak napas dan
ortopnea. Gagal jantung kanan terjadi jika
kelainannya melemahkan ventrikel kanan
seperti pada hipertensi pulmonal primer
/ sekunder, tromboemboli paru kronik
sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang
menyebabkan edema perifer, hepatomegali
dan distensi vena jugularis.
Epidemiologi
Prevalensi gagal jantung pada seluruh
populasi berkisar antara 2 sampai 30% dan
20
TINJAUAN PUSTAKA
Pada pasien gagal jantung, terjadi pula
peningkatan PGE2 dan PGI2, serta pelepasan
atrial natriuretic peptide (ANP) dan brain
natriuretic peptide (BNP). Dalam kondisi
fisiologis, keduanya dilepaskan saat terjadi
regangan miokard dan peningkatan asupan
Natrium. Setelah dilepas, keduanya berperan
meningkatkan ekskresi air dan garam serta
menghambat pelepasan renin-aldosteron,
atau dengan kata lain sebagai counterregulatory. Meskipun demikian, makin parah
derajat gagal jantung, efek ANP dan BNP
terhadap ginjal makin berkurang.6,7
Aktivasi sistem renin-angiotensin (reninangiotensin system, RAS)
Berbeda dengan pengaktifan tonus simpatis,
aktivasi sistem renin-angiotensin terjadi
setelah selang waktu yang lebih lama.
Mekanisme aktivasi RAS pada gagal jantung
meliputi hipoperfusi renal, penurunan filtrasi
Natrium ketika mencapai makula densa, dan
peningkatan stimulasi simpatik di ginjal yang
berakibat pelepasan renin dari apparatus
jukstaglomerular. Renin ini kemudian berikatan
dengan angiotensinogen yang disintesis di hati
untuk membentuk angiotensin I. Angiotensin
converting enzyme (ACE) berikatan dengan
angiotensin I membentuk angiotensin II.
Sebanyak 90% aktivitas ACE terjadi di jaringan
dan 10% sisanya pada interstitial jantung dan
pembuluh darah.
Angiotensin II akan meningkatkan efeknya
setelah berikatan dengan reseptor AT1
dan AT2. AT1 banyak berlokasi pada saraf
miokard sementara AT2 pada fibroblas dan
interstitial. Aktivasi reseptor AT1 menyebabkan
vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi
aldosteron, dan pelepasan katekolamin;
sementara aktivasi reseptor AT2 menyebabkan
vasodilatasi, inhibisi pertumbuhan sel,
natriuresis dan pelepasan bradikinin.
Angiotensin II berperan mempertahankan
homeostasis sirkulasi dalam jangka pendek.
Meskipun demikian, ekspresi berlebihan
angiotensin II menyebabkan fibrosis pada hati,
ginjal, dan organ lainnya. Angiotensin II juga
dapat memperburuk aktivasi neurohormonal
dengan
meningkatkan
pelepasan
norepinefrin dari ujung saraf simpatis. Selain
itu, terjadi pula stimulasi korteks adrenal untuk
memproduksi aldosteron yang juga berperan
dalam mempertahankan homeostasis jangka
pendek dengan mempengaruhi reabsorpsi
21
TINJAUAN PUSTAKA
struktur jantung dan sistem kardiovaskular
merendahkan ambang rangsang untuk gagal
jantung. Kolagen interstisial dalam miokardium
meningkat, miokardium menegang, dan
relaksasi miokard menjadi lebih panjang.
Perubahan ini menyebabkan penurunan
signifikan fungsi diastolik ventrikel kiri, bahkan
pada orang tua sehat. Penurunan fungsi
sistolik juga terjadi seiring bertambahnya usia.
Selain itu, terjadi penurunan pada miokard
dan respons vaskular terhadap stimulasi beta
adrenergik yang akan merusak kemampuan
respons sistem kardiovaskular terhadap
peningkatan kebutuhan kerja.9 Perubahan ini
menurunkan kapasitas kerja puncak secara
signifikan (sekitar 8% per dekade setelah umur
30) dan curah jantung pada puncak latihan
berkurang lebih bermakna. Dengan demikian,
pasien lanjut usia lebih rentan terkena gagal
jantung sebagai respons terhadap stres
atau kelainan sistemik. Stresor termasuk
infeksi (paling sering pneumonia), hipotiroid,
hipertiroidi, anemia, iskemia miokard, hipoxia,
hipotermia, hipertermia, gagal ginjal, obatobatan, (termasuk NSAID [nonsteroidal
antiinflammatory drug], penyekat beta [beta
blocker], dan penyekat kanal kalsium [calcium
channel blocker]).9
Gejala
Tanda
Edema paru
Syok kardiogenik
Sesak nafas
22
Kriteria mayor
Kriteria minor
Paroxysmal nocturnal
dyspnea
Peningkatan tekanan
vena jugular
Ronki
Kardiomegali pada
pemeriksaan radiologi
toraks
Edema pulmoner akut
Gallop S3
Peningkatan tekanan
vena pusat (>16 cmH2O
pada atrium kanan)
Hepatojugular reflux
Penurunan berat
badan >4,5 kg dalam
5 hari sebagai respons
terhadap terapi
Edema pergelangan
kaki bilateral
Batuk nokturnal
Dyspnea on ordinary
exertion
Hepatomegali
Efusi pleural
Penurunan kapasitas
vital hingga sepertiga
dari maksimum (yang
pernah tercatat)
Takikardia (detak
jantung >120 kali/
menit)
TINJAUAN PUSTAKA
Pada orang tua, penyakit jantung iskemik
dengan infark miokard merupakan penyebab
paling
sering
kardiomiopati
dilatasi.
Kardiomiopati hipertrofi hipertensi sering
bermanifestasi disfungsi diastolik berat dan
dapat menghambat outflow tract ventrikel
kiri. High output heart failure tidak biasa
ditemukan pada orang tua; penyebab paling
sering high output heart failure ialah anemia
kronik, hipertiroid, defisiensi tiamin dan shunt
arteriovena. Walaupun fungsi sistolik masih
normal pada orang tua, gagal jantung dapat
terjadi karena disfungsi diastolik yang terkait
dengan bertambahnya usia.
Selain etiologi, penting untuk mengidentifikasi
faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi
akut atau subakut. Faktor pencetus paling
sering pada dua per tiga kasus gagal jantung
ialah noncompliance pengobatan dan atau
diet. Iskemi miokard atau infark, aritmia seperti
takikardi ventrikel, atrial fibrilasi atau flutter
dan blok atrioventrikular umumnya menjadi
faktor pencetus pada orang tua. Pada pasien
hipertensi, kontrol tekanan darah inadekuat
merupakan penyebab umum perburukan
keadaan gagal jantung.15
Orang tua memiliki kompensasi kardiovaskular
yang tidak baik sehingga gagal jantung dapat
dicetuskan oleh keadaan nonkardiak misalnya
gangguan respirasi akut seperti pneumonia,
emboli pulmonEr atau eksaserbasi penyakit
paru obstruksi kronik.
Manifestasi Klinis
Sama seperti dewasa muda, manifestasi
klinis paling sering pada orang tua ialah sulit
bernafas, orthopnoe, edema, fatigue dan
intoleransi kerja. Akan tetapi, terutama pada
usia 80 tahun ke atas dapat ditemukan atypical
symptomatology yaitu simptom tidak khas,
sehingga gagal jantung pada orang tua sering
over atau underdiagnosed. Gejala sulit bernafas
dan orthopnoe menjadi manifestasi gagal
jantung dengan penyakit yang mendasari
berupa penyakit paru kronik, pneumonia atau
emboli pulmoner.
Pemeriksaan fisik pada orang tua dapat
nonspesifik atau tidak khas. Tanda klasik
gagal jantung antara lain ronkhi paru,
peningkatan tekanan vena jugularis, refluks
abdominojugular, gallop S3 dan pitting edema
ekstremitas bawah. Tetapi ronkhi paru pada
orang tua dapat menjadi tanda penyakit paru
TATA LAKSANA
Tujuan utama penatalaksanaan gagal
jantung pada orang tua ialah untuk
mengembalikan kualitas hidup, mengurangi
frekuensi eksaserbasi gagal jantung dan
memperpanjang hidup. Tujuan sekunder
ialah memaksimalkan kemandirian serta
kapasitas kerja dan mengurangi biaya
perawatan. Untuk mencapai tujuan ini terapi
harus mencakup penanggulangan etiologi
dan faktor pencetus, terapi nonfarmakologi
(nonmedikamentosa) dan farmakologi
(medikamentosa).
Terapi nonfarmakologi (nonmedikamentosa)
antara lain dapat berupa15:
a. Edukasi gejala, tanda, dan pengobatan
gagal jantung
b. Manajemen diet, yaitu mengurangi
jumlah garam, menurunkan berat badan bila
dibutuhkan, rendah kolesterol, rendah lemak,
asupan kalori adekuat
c. Latihan fisik. Penelitian menunjukkan
bahwa pembatasan aktivitas fisik yang
berlebihan akan menurunkan fungsi
kardiovaskular dan muskuloskeletal. Latihan
fisik yang sesuai akan memperbaiki kapasitas
fungsional dan kualitas hidup pasien gagal
jantung
d. Dukungan keluarga untuk selalu
memperhatikan dan merawat pasien gagal
jantung di usia tua sangat penting dan
berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien.
Prinsip
dasar
terapi
farmakologi
medikamentosa gagal jantung adalah
mencegah remodelling progresif miokardium
serta mengurangi gejala. Gejala dikurangi
dengan cara menurunkan preload (aliran
darah balik ke jantung), afterload (tahanan
yang dilawan oleh kontraksi jantung), dan
memperbaiki kontraktilitas miokardium.
Prinsip terapi di atas dicapai dengan pemberian
golongan obat diuretik, ACE-inhibitor,
penyekat beta, digitalis, vasodilator, agen
inotropik positif, penghambat kanal kalsium,
antikoagulan, dan obat antiaritmia.11,12,15
ACE inhibitor
Obat ini menghambat konversi angiotensin
I menjadi angiotensin II. Efek terhadap
gagal jantung mungkin multifaktorial, tetapi
mekanisme penting ialah inhibisi parsial jalur
renin-angiotensin-aldosteron dan mengurangi
aktivitas simpatetik menghasilkan vasodilatasi,
natriuresis dan penurunan tekanan darah. ACE
inhibitor berguna mengurangi sesak nafas dan
mengurangi frekuensi eksaserbasi akut gagal
jantung. Obat ini sebaiknya dimulai dengan
dosis kecil pada orang tua dan dinaikkan
bertahap sesuai dengan fungsi ginjal. Pada
umumnya pemberian dosis pada orang tua
ialah setengah dosis pasien muda.12,13
Efek samping obat ini ialah batuk kering
yang dimediasi bradikinin; terkait dosis
dan dapat responsif dengan penurunan
dosis. Dapat juga terjadi hipotensi berat
pada pasien yang mengalami penurunan
volume cairan akibat diuretik terutama pada
geriatri yang kontrol baroreseptornya sudah
mengalami kerusakan. Kadar natrium darah
harus dipantau teratur saat memulai atau
menaikkan dosis ACE inhibitor dan juga jika
memakai kombinasi dengan diuretik hemat
kalium seperti spironolakton karena dapat
terjadi hiperkalemia.
Obat golongan ini menjadi lini pertama
pengobatan gagal jantung dan menentukan
prognosis Hanya sedikit data penggunaan
ACE inhibitor pada pasien di atas 75 tahun
akan tetapi berbagai studi telah membuktikan
ACE inhibitor mengurangi morbiditas dan
mortalitas pasien gagal jantung.12-14
Diuretik
Diuretik merupakan obat utama mengatasi
gagal jantung akut yang selalu disertai
kelebihan cairan yang bermanifestasi
23
TINJAUAN PUSTAKA
sebagai edema perifer. Diuretik dengan
cepat menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan melakukan
aktivitas fisik. Diuretik mengurangi retensi air
dan garam sehingga mengurangi volume
cairan ekstraseluler, arus balik vena dan preload.
Untuk tujuan ini biasanya diberikan diuretik
kuat yaitu furosemid dengan dosis awal 40
mg, ditingkatkan sampai diperoleh diuresis
yang cukup. Elektrolit serum dan fungsi ginjal
harus sering dipantau. Setelah euvolemia
tercapai dosis harus segera diturunkan
sampai dosis minimal yang diperlukan untuk
mempertahankan euvolemia.14
Pada pasien geriatri, deplesi volume dan
hipotensi harus diperhatikan karena fungsi
baroreseptor yang tidak baik lagi; oleh
karena itu diuretik tidak boleh diberikan
pada gagal jantung asimptomatik maupun
tidak ada overload cairan.11,13 Diuretik kuat
tidak mengurangi mortalitas gagal jantung,
penggunaan diuretik harus dikombinasi
dengan ACE inhibitor.11
Digoksin
Digoksin memiliki efek inotropik positif
dengan menahan Ca2+ intrasel sehingga
kontraktilitas sel otot jantung meningkat. Obat
DAFTAR PUSTAKA
1.
Dumitru, I. Heart Failure. eMedicine. [Online] Nov 24, 2009. [Cited: January 14, 2010.] http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview.
2.
Wang S. Multifactor Heart Failure in Elderly: a proposal for cooperative research. Journal of Geriatric Cardiology. 2006: 3; 197 8.
3.
Statistik Rumah Sakit di Indonesia Seri 3: Morbiditas / Mortalitas. Departemen kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik. 2009.
4.
Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrisons Principles of Internal Medicine, 17th ed. New York: McGraw-Hill; 2005,
pp.
5.
Dickstein K, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. Europian Society of Cardiology.2008: 29;2388-442.
6.
Shah RV, Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS [edt.]. Pathophysiology of Heart Disease. USA: Lippincott Williams & Wilkins. 2007. P 225-51.
7.
Mann DL. Pathophysiology of heart failure In: Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP [edt.]. Braunwald Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine. 8thed. USA: Elsevier Saunders.
Philadelphia. 2007.
8.
Panggabean MM. Gagal jantung. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SK, Setiati S, [edt]. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2007. h. 1513-4.
9.
Beers MH. Heart Failure. Merck Manual of Geriatric. USA: Whitehouse Station. 2006.p 900-11.
10. Arnold M, Miller F. Congestive Heart Failure in the Elderly. Division of Cardiology University of Western Ontario. 2005. Available at: http://www.ccs.ca/download/consensus_conference/
consensus_conference_archives/2002_05.pdf [ January, 14th 2010 ].
11. Stevenson LW. Design of therapy for advanced heart failure. The European Journal of Heart Failure 2005;7:323-31.
12. Jones EF. Drug Therapy of Heart Failure in Elderly. In: Woodward M et al [edt.]. Geriatric Therapeutics. Available at: http://jppr.shpa.org.au/lib/pdf/gt/harvey200109.pdf [January, 14th
2010].
13. Hanon O et al. Consensus of the French Society of Gerontology and Geriatrics and the French Society of Cardiology for the management of coronary artery disease in older adults.
Archives of Cardiovascular Disease 2009:102:829-45.
14. Setiawati A, Nafrialdi. Obat Gagal Jantung dalam Gunawan SG,dkk. Farmakologi dan Terapi. Ed.5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007. Hlm: 299313.
15. Rich MW. Heart Failure. In: Halter JB et al [edt.]. Hazzards Geriatric Medicine and Gerontology. 6thed. USA: McGraw Hill Companies. 2009. p. 931-49.
24
TINJAUAN PUSTAKA
ABSTRAK
Meningkatnya jumlah lanjut usia di dunia membawa beberapa masalah kesehatan masyarakat, antara lain yang dikaitkan dengan kemunduran
fungsi kognitif. Kemunduran fungsi kognitif tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko, baik yang tidak bisa dihindari, seperti usia dan
gender, juga beberapa kondisi fisik atau penyakit yang dapat dikendalikan. Pemahaman atas faktor-faktor risiko tersebut dapat membantu
mengurangi risiko kemunduran fungsi kognitif.
Kata kunci: lanjut usia, kondisi fisik, kemunduran fungsi kognitif
ABSTRACT
The increase of old age population brings additional burden to community, particularly problems due to cognitive decline. Cognitive decline is
influenced by many risk factors; some risk factors are inherent such as aging and gender, but many conditions and diseases can be controlled.
The understanding about these risk factors can help reduces the risk of cognitive decline. Budi Riyanto Wreksoatmodjo. Some Physical
Conditions and Diseases as Risk Factors for Cognitive Decline.
Key words: old age, physical condition, cognitive decline
email: send2rizal@gmail.com
25
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 1 Biaya Perawatan Lanjut Usia di Berbagai Negara (billionUS$)7
Tabel 2 Biaya perawatan penderita demensia di Negara-negara berdasarkan klasifikasi Bank Dunia (US$)7
Ket.: Indonesia tergolong dalam kelompok lower middle income countries dengan GNP US$ 2050 (2009) (http://data.
worldbank.org/country/Indonesia).
26
3. RAS
Beberapa studi di AS menunjukkan bahwa
insiden demensia dan Alzheimer kira-kira dua
kali lebih tinggi di kalangan Afrika-amerika
dan Hispanik dibandingkan dengan kulitputih.18-19 Prevalensi demensia dan Alzhemier
agaknya lebih rendah di negara-negara
Asia dibandingkan dengan di AS,12,20 selain
itu prevelensi demensia di kalangan orang
Jepang di Jepang lebih rendah daripada
di kalangan Jepang-Amerika yang tinggal
di Hawaii.21 Penelitian di Singapura yang
sebagian besar penduduknya etnis Cina,
mendapatkan prevalensi demensia sebesar
1.26%, etnis Melayu dua kali lebih berisiko
Alzheimer dibandingkan dengan etnis
Cina, sedangkan etnis India dua kali lebih
berisiko Alzheimer dan demensia vaskuler
dibandingkan dengan etnis Cina.22 Perbedaan
ini dapat lebih dipengaruhi oleh faktor
lingkungan daripada oleh faktor genetik;
diperlukan penelitian lanjutan untuk mencari
faktor utama penyebab perbedaan tersebut.13
4. GENETIK
Penyakit Alzheimer (AD) merupakan penyakit
genetis heterogen; dikaitkan dengan satu
susceptibility (risk) gene dan tiga determinative
(disease) genes.23 Susceptibility (risk) gene yang
diketahui ialah alel apolipoprotein E4 (APOE
4) di khromosom 19 pada q13.2.24 meskipun
TINJAUAN PUSTAKA
adanya alel tersebut di individu asimtomatik
tidak memprediksi AD di kemudian hari.25 Ada
satu jenis penyakit Alzheimer early-onset yang
sangat jarang; jenis yang diturunkan secara
autosomal dominan ini dikaitkan dengan
mutasi di khromosom 1 (gen presenilin 2
PS2) atau di khromosom 14 (gen presenilin
1 PS1), atau lebih jarang lagi, di khromosom
21.23
5. TEKANAN DARAH
Tekanan darah tinggi di usia pertengahan
dikaitkan dengan mild cognitive impairment26
dan peningkatan risiko demensia;27 sebaliknya
hipertensi di usia lanjut diasosiasikan dengan
penurunan risiko demensia.28 Selain itu
telah diamati bahwa tekanan darah mulai
turun sekitar 3 tahun sebelum demensia
didiagnosis29 dan terus menurun pada
penderita AD.30 Dari data ini bisa ditafsirkan
bahwa tekanan darah tinggi di usia
pertengahan meningkatkan risiko demensia
di kemudian hari, sedangkan rendahnya
tekanan darah di usia lanjut dikaitkan dengan
proses penuaan dan neuropatologi yang
menyertainya.31 Perbedaan risiko tersebut
dapat karena tingginya tekanan sistolik
di usia pertengahan akan meningkatkan
risiko
aterosklerosis,32
meningkatkan
jumlah lesi iskemik substansia alba,33 juga
meningkatkan jumlah plak neuritik dan
tangles di neokorteks dan hipokampus34
serta meningkatkan atrofi hipokampus dan
amigdala.35 Masing-masing kelainan tersebut
dapat berpengaruh negatif terhadap
fungsi kognitif. Sebaliknya, rendahnya
tekanan
darah
dapat
diasosiasikan
dengan peningkatan risiko gangguan
kognitif dan demensia karena perubahan
neurodegeneratif akibat hipoperfusi otak.36
6. PAYAH JANTUNG
Payah jantung di kalangan usia lanjut dikaitkan
dengan gangguan kognitif; skor MMSE lebih
rendah dikaitkan dengan disfungsi ventrikel
kiri yang lebih berat;37 selain itu di kalangan
usia lanjut berpenyakit jantung, mereka
yang menderita payah jantung mempunyai
fungsi kognitif lebih rendah.38 Riwayat payah
jantung dikaitkan dengan peningkatan risiko
demensia, termasuk demensia Alzheimer39
dan CIND (cognitive impairment no dementia).40
Kaitan ini bisa disebabkan oleh adanya
faktor risiko bersama seperti aterosklerosis,
hipertensi, diabetes melitus,41 atau karena
hipoperfusi serebral.42
7. ARITMI JANTUNG
Kejadian fibrilasi atrium dikaitkan dengan
gangguan fungsi kognitif maupun demensia,
terutama di kalangan perempuan dan usia
<75 tahun;43 fibrilasi atrium permanen pada
usia lanjut dikaitkan dengan nilai MMSE
yang lebih rendah, mungkin disebabkan
oleh lesi iskemik akibat mikroemboli; tetapi
fibrilasi atrium sering disertai dengan payah
jantung yang menurunkan cardiac output
dan penyakit lain seperti diabetes melitus
yang juga merupakan faktor risiko gangguan
kognitif.44
8. DIABETES MELITUS
Diabetes melitus di usia pertengahan
meningkatkan
risiko
mild cognitive
impairment,45 semua jenis demensia46-8 dan
demensia vaskuler,49 meskipun penemuan
Curb dkk (1999) tidak menyokong.50
Studi kasus-kontrol menunjukkan bahwa
peningkatan risiko dipengaruhi oleh onset
yang lebih dini, lama dan beratnya diabetes.51
Manfaat kontrol gula darah terhadap risiko
demensia masih belum dapat dipastikan.
Studi observasional mendapatkan para
diabetik yang diobati lebih sedikit yang turun
fungsi kognitifnya dibandingkan dengan yang
tidak diobati.52
Mekanisme hubungan diabetes melitus
dengan demensia belum diketahui pasti;
agaknya melibatkan beberapa proses yang
saling berkaitan: proses vaskular, metabolik
dan proses oksidatif/inflamasi.53 Diabetes
menyebabkan gangguan sistem pembuluh
darah, termasuk di otak; gangguan ini bisa
menyebabkan iskemi menghasilkan lesi
subkortikal di substansia alba, silent infarcts,
dan atrofi yang pada MRI terlihat lebih sering
dan berat di kalangan penderita diabetes.54
Diabetes lebih dikaitkan dengan risiko
demensia vaskuler dibandingkan dengan
demensia Alzheimer.55 Metabolisme Abeta56
dan tau-protein57 yang membentuk plak
dan kekusutan neuron di otak juga dapat
dipengaruhi oleh kadar insulin.
9. KADAR LIPID DAN KOLESTEROL
Kaitan kolesterol dengan demensia telah
banyak diteliti, tetapi hasilnya masih belum
konsisten. Serupa dengan tekanan darah,
kadar kolesterol tinggi di usia pertengahan
dihubungkan dengan peningkatan risiko
gangguan kognitif,58-9 peningkatan risiko
demensia46,60 dan peningkatan risiko penyakit
27
TINJAUAN PUSTAKA
dijumpai di kalangan penderita Alzheimer.78
Selain itu peningkatan kadar hormon tiroid
cenderung meningkatkan stres oksidatif79 dan
mencetuskan apoptosis yang dapat merusak
dan menyebabkan kematian neuron.80
11. OBESITAS
Mengingat obesitas erat hubungannya
dengan hipertensi, kolesterol tinggi, dan
diabetes melitus, beberapa studi mencoba
mencari hubungannya dengan demensia.
Hasilnya tidak konsisten - studi pada kelompok
usia pertengahan umumnya menunjukkan
peningkatan risiko;46,81 sebaliknya, studi di
usia lanjut menunjukkan penurunan risiko
AD.82 Mungkin ada situasi lain dengan asosiasi
nonlinear adipositas di usia pertengahan
meningkatkan risiko, kemudian terdapat
perubahan patofisiologi berkaitan dengan
demensia yang (juga) menurunkan indeks
massa tubuh.
Mekanisme yang paling jelas ialah melalui
peningkatan risiko hipertensi, diabetes dan
hiperkolesterolemi;83 tetapi perbaikan faktorfaktor tersebut ternyata tidak mengurangi
asiosiasinya,46 menandakan kemungkinan
obesitas secara independen berisiko
demensia. Mekanismenya bisa akibat efek
jaringan adiposa yang mensekresi beberapa
sitokin, hormon dan faktor pertumbuhan yang
menembus sawar darah otak83 mengingat
jaringan adiposa diketahui merupakan
jaringan endokrin aktif.84 Disregulasi hormon
leptin bersamaan dengan proses penuaan
dapat secara langsung mempengaruhi
degenerasi Alzheimer dengan meningkatkan
deposisi Abeta di jaringan otak.85
12. NUTRISI
12.1. Mikronutrien
Vitamin B6, B12 dan asam folat dapat
mengurangi risiko gangguan kognitif dan
demensia karena mengurangi peningkatan
kadar homosistein plasma, homosistein
diketahui dapat menyebabkan perubahan
patologi melalui mekanisme vaskuler dan
neurotoksik
langsung.86
Suplementasi
B12 hanya menguntungkan kalangan
defisiensi B12, yang lebih sering ditemukan
di kelompok lanjut usia karena gangguan
absorbsi akibat kondisi gastrik dan masalah
pencernaan lain.87 Tetapi Kwok dkk (2008)
mendapatkan bahwa suplementasi B12
selama 10 bulan tidak memperbaiki fungsi
kognitif di kalangan demensia yang defisiensi
28
12.2. Makronutrien
Makronutrien yang dikaitkan dengan
demensia ialah lemak. Ada asosiasi antara
asupan lemak di usia pertengahan berasal dari
olesan roti dan susu dengan risiko demensia
dan Alzheimer (AD) 21 tahun kemudian;104
asupan moderat (dibandingkan dengan
asupan rendah) lemak total dan lemak takjenuh
(misal mentega, margarin) diasosiasikan
dengan penurunan risiko demensia dan AD,
sedangkan asupan moderat lemak jenuh dari
olesan roti diasosiasikan dengan peningkatan
risiko.31
Orang yang mengkonsumsi ikan sedikitnya
1 kali/minggu 60% lebih kurang berisiko
menderita
Alzheimer
dibandingkan
dengan mereka yang tak pernah/jarang
mengkonsumsi ikan.97 Satu studi acak
terkontrol atas pengaruh minyak ikan
(sumber asam lemak tak jenuh termasuk
EPA dan DHA) terhadap fungsi kognitif tidak
menghasilkan efek pada usia lanjut, tetapi
ada sedikit efek untuk beberapa aspek atensi
di antara APOEe4 carrier dan pria.105
Peranan lemak pada fungsi kognitif dan demensia diduga melalui kolesterol, sedangkan
studi di tikus menunjukkan kemungkinan peranannya dalam deposisi amiloid.106
Konsumsi kafein lebih tinggi dilaporkan
mengurangi risiko penurunan kognitif
di kalangan perempuan,107 menurunkan
risiko demensia;108 juga dikaitkan dengan
penurunan risiko demensia Alzheimer pada
studi retrospektif yang mengukur konsumsi
kafein selama 20 tahun sebelum penilaian.109
Efek menguntungkan kafein mungkin melalui
mekanisme penurunan produksi Abeta110
atau dengan meningkatkan kadar protein
otak yang penting dalam proses mengingat
dan belajar seperti BDNF.111
12.3. Pola diet
Efek diet terhadap kognisi ialah secara
keseluruhan dan interaksi antar zat nutrien
atau pola diet tidak berasal dari masingmasing nutrien dan/atau suplemen secara
tersendiri.112 Salah satu pola diet yang
diasosiasikan dengan penurunan risiko
AD ialah diet Mediterania yang kaya buah,
sayuran, wholegrain dan ikan.113
13. ALKOHOL
Kebanyakan studi
terdahulu
terpusat
TINJAUAN PUSTAKA
pada efek negatif konsumsi alkohol
berlebihan; tetapi konsumsi alkohol ringan
dan moderat dibandingkan dengan
abstinensi dan konsumsi alkohol berat
dapat menguntungkan kesehatan kognitif,
termasuk lebih kecilnya penurunan beberapa
domain kognitif.114 Suatu meta analisis atas
asosiasi prospektif penggunaan alkohol
dengan penurunan kognitif dan demensia
(termasuk Alzheimer dan demensia vaskuler)
menyimpulkan bahwa konsumsi ringan
sampai moderat diasosiasikan dengan
penurunan risiko demensia; risiko demensia
vaskuler dan penurunan kognitif juga
menurun tetapi tidak bermakna.115 Studi
konsumsi alkohol di usia pertengahan juga
menunjukkan efek protektif konsumsi alkohol
moderat. Lebih lanjut, ditemukan hubungan
U-shape dan modifikasi efek oleh ApoEe4 alel
di populasi Finlandia selama 23 tahun follow
up.116 Mehlig dkk (2008) melaporkan bahwa
konsumsi anggur (wine) yang lebih sering,
tetapi bukan spirit dan bir, di usia pertengahan
dikaitkan dengan insiden demensia yang
lebih rendah 34 tahun kemudian di kalangan
perempuan Swedia. Studi ini117 dan lainnya118
mendapatkan bahwa keuntungan konsumsi
alkohol moderat lebih besar atau terbatas di
kalangan perempuan, tetapi studi lain tidak
menemukan hal tersebut.119
Berlawanan dengan efek buruknya pada
pemakaian akut dan kronis, konsumsi alkohol
moderat agaknya menguntungkan kesehatan.
Mekanismenya mungkin melalui penurunan
beberapa faktor risiko kardiovaskuler120 seperti
meningkatkan HDL kolesterol, memperbaiki
sensitivitas insulin dan menurunkan reaksi
inflamasi, tekanan darah, faktor pembekuan
darah, homosistein plasma, hiperintensitas
massa alba dan infark subklinis. Mekanisme
potensial lainnya termasuk meningkatnya
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Komisi Nasional Lanjut Usia. Profil Penduduk Lanjut Usia 2009. Jakarta: Komnas Lansia, 2010.
4.
Boedhi-Darmojo, R, Gerontologi Sosial. Dalam: Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Ed. 4. Martono HH, Pranarka K. (eds). Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2010. pp. 14-34.
5.
Kusumoputro S, Sidiarto L. Otak menua dan Alzhemier stadium ringan. Neurona 2001; 18(3): 4-8.
6.
Assosiasi Alzheimer Indonesia Konsensus Nasional Pengenalan dan Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia Lainnya. ed. 1, Asosiasi Alzheimer Indonesia, Jakarta. 2003,
7.
Alzheimers Disease International. World Alzheimer Report 2010 Executive Summary. London, 2010
8.
9.
Dahlan P. Definisi dan diagnosa banding sindrom demensia. Permasalahan Kontinuum ForgetfulnessDemensia (Alzhemier). Perdossi, Jakarta. 1999,
10. Rahardjo TBW, Hartono T, Dewi VP, Hoogervorst E, Arifin EN. Facing the geriatric wave in Indonesia. Financial conditions and social support. Dalam Arifin EN, Ananta A. (eds.) Older Persons
in Southeast Asia. An Emerging Asset, ISEAS, Singapore. 2009,
29
TINJAUAN PUSTAKA
11. Patterson C, Feightner JW, Garcia A, Hsiung GY, MacKnight C, Sadovnick AD. Diagnosis and treatment of dementia: 1. risk assessment and primary prevention of Alzheimer disease. CMAJ
2008; 178(5): 548-56.
12. Jorm AF, Jolley D. The incidence of dementia: A Meta-Analysis. Neurology 1998; 51(3): 728-33.
13. Yaffee K, Barnes DE. Epidemiology and Risk Factors. The Behavioral Neurology of Dementia. Cambridge Medicine, Cambridge, 2009
14. Riedel-Heller SG, Busse A, Aurich C, Matschinger H, Angermeyer MC. Incidence of dementia according to DSM-III-R and ICD-10: Results of the Leipzig Longitudinal Study of the Aged
(LEILA75+), Part 2. Br. J. Psychiatr. 2001;179: 255-260.
15. Rocca WA, Cha RH, Waring SC, Kokmen E. Incidence of dementia and Alzheimers disease. A reanalysis of data from Rochester, Minnesota, 1975-1984. Am J Epidemiol. 1998; 148(1): 5162.
16. Hbert R, Brayne C, Spiegelhalter D. Factors associated with functional decline and improvement in a very elderly community-dwelling population. Am J Epidemiol.1999; 150(5): 50110.
17. Gao S, Hendrie HC, Hall KS, Hui S. The relationships between age, sex, and the incidence of dementia and Alzheimer disease: a meta-analysis. Arch Gen Psychiatry 1998;55(9): 809-15.
18. Folstein MF, Bassett SS, Anthony JC, Romanoski AJ, Nestadt GR. Dementia: Case ascertainment in a community survey. J Gerontol. 1991;46(4): 132-8.
19. Tang MX, Cross P, Andrews H, et al. Incidence of AD in African-Americans, Caribbean Hispanics, and Caucasians in Northern Manhattan. Neurology, 2001; 56(1): 49--56.
20. Manly JJ, Jacobs DM, Mayeux R. Alzheimer disease among different ethnic and racial groups. Dalam: Miller BL, Boeve, BF (eds.). The Behavioral Neurology of Dementia, Cambridge University Press. 2009.
21. White L, Petrovitch H, Ross GW, et al. Prevalence of dementia in older Japanese-American men in Hawaii: The Honolulu-Asia Aging Study. JAMA. 1996; 276(12): 955-60.
22. Sahadevan S, Saw SM, Gao W, et al. Ethnic differences in Singapores dementia prevalence: the stroke, Parkinsons disease, epilepsy, and dementia in Singapore study. J Am Geriatr Soc.
2008;56(11): 20618.
23. Post SG, Whitehouse PJ (eds.). Genetic testing for Alzheimer disease. Ethical and Clinical Issues. The Johns Hopkins University Press, 1998, pp. 37-64
24. Barber R, Gholkar A, Scheltens P, Ballard C, McKeith IG, Morris CM, OBrien JT. Apolipoprotein E 4 allele, temporal lobe atrophy, and white matter lesion in late-life dementia. Arch.Neurol.
1999; 56(8): 961-5.
25. Roses AD A New Paradigm for clinical evaluation of dementia: Alzheimer disease and Apolipoprotein e genotypes. Dalam: Post SG, Whitehouse, PJ (eds.) Genetic testing for Alzheimer
disease. Ethical and Clinical Issues. The Johns Hopkins University Press,1998,pp. 37-64
26. Kivipelto M, Helkala EL, Laakso MP, et al. Apolipoprotein E _4 Allele, elevated midlife total cholesterol level,and high midlife systolic blood pressure are independent risk factors for late-life
Alzheimer disease. Ann Intern Med. 2002;137(3): 149-155.
27. Whitmer RA, Sidney S, Selby J, Johnston SC, Yaffe K. Midlife Cardiovascular Risk Factors and Risk of Dementia in Late Life. Neurology.2005; 64(2): 277-81.
28. Guo Z, Viitanen M, Fratiglioni L, Winblad B. Low blood pressure and dementia in elderly people: The Kungsholmen Project. BMJ 1996;312(7034): 805-8.
29. Qiu C, Winblad B, Fratiglioni L The age-dependent relation of blood pressure to cognitive function and dementia. Lancet Neurol. 2005; 4(8): 487-99.
30. Hanon O, Latour F, Seux ML, Lenoir H, Forette F, Rigaud AS, REAL.FR Group. Evolution of blood pressure in patients with Alzheimers disease: a one year survey of a French cohort (REAL.
FR). J Nutr Health Aging 2005;9(2): 106-111
31. HughesTF, Ganguli M. Modifiable midlife risk factors for late-life cognitive impairment and dementia. Curr Psychiatry Rev,. 2009; 5(2):7392.
32. Padwal R, Straus SE, McAlister FA. Cardiovascular risk factors and their effects on the decision to treat hypertension: evidence based review. BMJ 2001;322(7292): 97780.
33. Havlik RJ, Foley DJ, Sayer B, Masaki K, White L, Launer LJ. Variability in midlife systolic blood pressure is related to late-life brain white matter lesions: The Honolulu-Asia aging study. Stroke
2002; 33(1): 26-30.
34. Petrovitch H, White LR, Izmirilian G, et al.Midlife blood pressure and neuritic plaques, neurofibrillary tangles, and brain weight at death: the HAAS. Honolulu-Asia aging study. Neurobiol
Aging. 2000;21(1): 57-62.
35. den Heijer T, Launer LJ, Prins ND et al. Association between blood pressure, white matter lesions, and atrophy of the medial temporal lobe. Neurology 2005; 64(2): 263-7.
36. Aliev G, Smith MA, Obrenovich ME, de la Torre JC, Perry G. Role of vascular hypoperfusion-induced oxidative stress and mitochondria failure in the pathogenesis of Alzheimer disease.
Neurotox Res. 2003; 5(7): 491-504.
37. Heckman GA, Patterson CJ, Demers C, St.Onge J, Turpie ID, McKelvie RS. Heart failure and cognitive impairment: Challenges and opportunities. Clinical Interventions in Aging 2007;2(2):
20918.
38. Trojano L, Antonelli, Incalzi R, Acanfora D, Picone C, Mecocci P, Rengo F & Congestive Heart Failure Italian Study Investigators. Cognitive impairment: a key feature of congestive heart
failure in the elderly. J Neurol. 2003;250(12):1456-63.
39. Qiu C, Winblad B, Marengoni A, Klarin I, Fastbom J, Fratiglioni L Heart failure and risk of dementia and Alzheimer disease: a population-based cohort study. Arch Intern Med. 2006;166(9):
1003-8.
40. Di Carlo A, Baldereschi M, Amaducci L, Maggi S, Grigoletto F, Scarlato G, Inzitari D. Cognitive impairment without dementia in older people: prevalence, vascular risk factors, impact on
disability. The Italian Longitudinal Study on Aging. J Am Geriatr Soc. 2000;48(7): 775-82.
41. Cukierman T, Gerstein HC, Williamson JD. Cognitive decline and dementia in diabetes--systematic overview of prospective observational studies. Diabetologia 2005; 48(12): 2460-9.
42. Heckman GA, Patterson CJ, Demers C, St.Onge J, Turpie ID, McKelvie RS.Heart failure and cognitive impairment: Challenges and opportunities. Clinical Interventions in Aging 2007; 2(2):
20918.
43. Ott A, Breteler MM, de Bruyne MC, van Harskamp F, Grobbee DE, Hofman A. Atrial fibrillation and dementia in a population-based study. The Rotterdam Study. Stroke 1997;(28) 2: 316-21.
44. Wozakowska-Kapon B, Opolski G, Kosior D, et al. Cognitive disorders in elderly patients with permanent atrial fibrillation. Kardiol Pol 2009;67(5): 487-93.
45. Luchsinger JA, Reitz C, Patel B, Tang MX, Manly JJ, Mayeux R. Relation of diabetes to mild cognitive impairment. Arch Neurol. 2007;64(4): 570-5.
46. Whitmer RA, Sidney S, Selby J, Johnston SC, Yaffe K.Midlife Cardiovascular Risk Factors and Risk of Dementia in Late Life., Neurology.2005; 64(2): 277-81.
47. Xu W, Qiu C, Gatz M, Pedersen NL, Johansson B, Fratiglioni L. Mid- and late-life diabetes in relation to the risk of dementia a population-based twin study. Diabetes 2009; 58(1): 717.
48. Schnaider-Beeri M, Goldbourt U, Silverman JM, et al. Diabetes mellitus in midlife and the risk of dementia three decades later. Neurology. 2004; 63(10): 1902--7.
30
TINJAUAN PUSTAKA
49. Yamada M, Kasagi F, Sasaki H, Masunari N, Mimori Y, Suzuki G. Association between dementia and midlife risk factors: the radiation effects research foundation adult gealth study JAGS
2009;51(3): 410-414.
50. Curb JD, Rodriguez BL, Abbott RD, et al.Longitudinal association of vascular and alzheimers dementias, diabetes, and glucose tolerance. Neurology 1999; 52(5): 971-5.
51. Roberts RO, Geda YE, Knopman DS, et al. Association of duration and severity of diabetes mellitus with mild cognitive impairment. Arch Neurol. 2008; 65(8):1066-73.
52. Wu JH, Haan MN, Liang J, Ghosh D, Gonzalez HM, Herman WH. Impact of antidiabetic medications on physical and cognitive functioning of older mexican americans with diabetes mellitus: a population-based cohort study. Ann Epidemiol. 2003;13(5): 369-76.
53. Haan MN. Therapy insight: Type 2 diabetes mellitus and the risk of late-onset alzheimers disease. Nat Clin Pract Neurol. 2006; 2(3): 159--66.
54. Manschot SM, Biessels GJ, de Valk H, et al & Diabetic Encephalopathy Study Group. Metabolic and vascular determinants of impaired cognitive performance and abnormalities on brain
magnetic resonance imaging in patients with type 2 diabetes. Diabetologia 2007;50(11): 23882397.
55. Hassing LB, Johansson B, Nilsson SE, Berg S, Pedersen NL, Gatz M, McClearn G. Diabetes mellitus is a risk factor for vascular dementia, but not for Alzheimers disease: a population-based
study of the oldest old. Int Psychogeriatr. 2002 Sep;14(3):239-48.
56. Gasparini L, Netzer WJ, Greengard P, Xu H. Does insulin dysfunction play a role in Alzheimers disease? Trends Pharmacol Sci. 2002;23(6): 288-93.
57. de la Monte SM, Wands JR.Review of insulin and insulin-like growth factor expression, signaling, and malfunction in the central nervous system: relevance to Alzheimers disease. J Alzheimers Dis. 2005; 7(1): 45-61.
58. Kivipelto M, Helkala EL, Laakso MP, et al. Midlife vascular risk factors and alzheimers disease in later life: longitudinal, population based study. BMJ 2001;322(7300): 144751.
59. Solomon A, Kreholt I, Ngandu T, et al. Serum cholesterol changes after midlife and late-life cognition: twenty-one-year follow-up study. Neurology 2007; 68(10): 751-6.
60. Panza F, DIntrono A, Colacicco AM, et al. Lipid metabolism in cognitive decline and dementia., Brain Res Rev. 2006; 51(2): 275-92.
61. Kivipelto M, Helkala EL, Laakso MP, et al. Apolipoprotein E _4 Allele, elevated midlife total cholesterol level,and high midlife systolic blood pressure are independent risk factors for late-life
Alzheimer disease. Ann Intern Med. 2002;137(3): 149-155.
62. Tan ZS, Seshadri S, Beiser A et al. Plasma total cholesterol level as a risk factor for alzheimer disease.the Framingham study. Arch Intern Med. 2003; 163(9): 1053-57.
63. Mielke MM, Zand, PP, Sjgren M, et al. High total cholesterol levels in late life associated with a reduced risk of dementia. Neuroepidemiology. 2000; 19(3): 141-8.
64. Solomon A, Kreholt I, Ngandu T, et al.Serum cholesterol changes after midlife and late-life cognition: twenty-one-year follow-up study. Neurology 2007;68(10): 751-6.
65. Postiglione A, Cortese C, Fischetti A et al. Plasma lipids and geriatric assessment in a very aged population of south Italy., Atherosclerosis.1989; 80(1): 63-8.
66. Zhang MY, Katzman R, Salmon D, et al. The prevalence of dementia and Alzheimers disease in Shanghai, China: impact of age, gender, and education. Ann Neurol. 1990;27(4): 428-37.
67. Anstey KJ, von Sanden C, Salim A, OKearney R. Smoking as a risk factor for dementia and cognitive decline: A meta-analysis of prospective studies. Am J Epidemiol. 2007;166(4): 36778.
68. Mahley RW. Apolipoprotein E: Cholesterol transport protein with expanding role in cell biology. Science 1988; 240(4852): 622-30.
69. Launer LJ, White LR, Petrovitch H, Ross GW, Curb JD. Cholesterol and Neuropathologic Markers of AD: A Population-Based Autopsy Study. Neurology.2001;57(8): 1447-52.
70. Simons M, Keller P, De Strooper B, Beyreuther K, Dotti CG, Simons K.Cholesterol depletion inhibits the generation of b-amyloid in hippocampal neurons. Proc. Natl. Acad. Sci USA 1998;
95(11):. 646064.
71. Pfrieger FW. Cholesterol homeostasis and function in neurons of the central nervous system. Cell Mol Life Sci. 2003;60(6): 1158--71.
72. Smith LL.Another cholesterol hypothesis: cholesterol as antioxidant. Free Radic Biol Med. 1991;11(1): 47-61.
73. Nourhashmi F, Vellas B. Weight loss as a predictor of dementia and alzheimers disease? Expert Rev Neurotherapeutics, 2008;(5): 691-3.
74. Rodriguez EG, Dodge HH, Birzescu MA, Stoehr GP, Ganguli M. Use of lipid-lowering drugs in older adults with and without dementia: a community-based epidemiological study. J Am
Geriatr Soc.2002;50(11): 1852-6.
75. Mariotti S, Franceschi C, Cossarizza A, Pinchera A.The aging thyroid. Endocr Rev. 1995;16(6): 686-715.
76. Ceresini G, Lauretani F, Maggio M, Ceda GP, Morganti S, Usberti E, dkk. Thyroid function abnormailties and cognitive impairment in elderly people: results of the InChianti study. J.
Am.Geriatr.Soc. 2009;57(1):89-93
77. SurksMI, Ortiz E, Daniels GH, et al. Subclinical thyroid disease scientific reviewand guidelines for diagnosis and management. JAMA 2004; 291(2): 228-238.
78. Lopez OL, Rabin BS, Huff FJ, Rezek D, Reinmuth OM. Serum autoantibodies in patients with Alzheimers disease and vascular dementia and in nondemented control subjects. Stroke
1992;23(8): 1078-1083.
79. Videla LA, Sir T, Wolff C. Increased lipid peroxidation in hyperthyroid patients: suppression by propylthiouracil treatment. Free Radic Res Commun. 1988; 5(1): 1-10.
80. Chan RS, Huey ED, Maecker HL et al.Endocrine modulators of necrotic neuron death. Brain Pathol. 1996;6(4): 481-91.
81. Kivipelto M, Ngandu T, Fratiglioni L, et al. Obesity and vascular risk factors at midlife and the risk of dementia and Alzheimer disease. Arch Neurol. 2005;62(10):1556-60.
82. Sturman MT, de Leon CF, Bienias JL, Morris MC, Wilson RS, Evans DA. Body mass index and cognitive decline in a biracial community population. Neurology. 2008; 70(5): 360-7.
83. Gustafson D, Rothenberg E, Blennow K, Steen B, Skoog I.An 18-year follow-up of overweight and risk of Alzheimer disease. Arch Intern Med. 2003;163(3): 1524-8.
84. Gustafson D. Adiposity indices and dementia. Lancet Neurol. 2006;5(8): 713-20.
85. Fewlass DC, Noboa K, Pi-Sunyer FX, et al. Obesity-related leptin regulates Alzheimers abeta. The FASEB J. 2004;18(15): 1870-8
86. Aisen PS, Schneider LS, Sano M, et al.High-dose B vitamin supplementation and cognitive decline in alzheimer disease a randomized controlled trial. JAMA2008;300(15): 1774-83.
87. Carmel R. Cobalamin, the stomach, and aging. Am J Clin Nutr. 1997; 66(4): 750-9.
88. Kwok T, Lee J, Lam L, Woo J. Vitamin B(12) supplementation did not improve cognition but reduced delirium in demented patients with vitamin B(12) deficiency. Arch Gerontol Geriatr.
2008; 46(3): 273-82.
89. Malouf R, Areosa Sastre A.Vitamin B12 for cognition. Cochrane Database Syst Rev. 2003, vol. 3.
90. Balk EM, Raman G, Tatsioni A, Chung M, Lau J,Rosenberg IH, Vitamin B6, B12, and folic acid supplementation and cognitive function. a systematic review of randomized trials. Arch Intern
Med. 2007;167(1): 21-30.
91. Maamar M, Tazi-Mezalek Z, Harmouche H, Ammouri W, Zahlane M, Adnaoui M, Aouni M, Mohattane A, Maaouni A. Neurological manifestations of vitamin B12 deficiency: a retrospective
study of 26 cases]. Rev Med Interne. 2006 Jun;27(6):442-7. Epub 2006 Feb 28. French.
31
TINJAUAN PUSTAKA
92. Peila R, White LR, Masaki K, Petrovitch H, Launer LJ. Reducing the risk of dementia: efficacy of long-term treatment of hypertension stroke. 2006;37 (5): 1165-70.
93. Behl C. Alzheimers disease and oxidative stress: implications for novel therapeutic approaches. Prog Neurobiol. 1999; 57(3): 301-23.
94. Engelhart MJ, Geerlings MI et al. Dietary Intake of Antioxidants and Risk of Alzheimer Disease, JAMA 2002; 287(4): 3223-9.
95. Zandi PP, Anthony JC, Khachaturian AS, et al.Reduced risk of Alzheimer disease in users of antioxidant vitamin supplements: The Cache County Study. Arch Neurol. 2004; 61(1): 82-8.
96. Laurin D, Masaki KH, Foley DJ, White LR, Launer LJ. Midlife dietary intake of antioxidants and risk of late-life incident dementia. The Honolulu-Asia aging study, Am J Epidemiol. 2004;159(10):
95967.
97. Morris MC, Evans DA, Bienias JL, et al. Dietary intake of antioxidant nutrients and the risk of incident Alzheimer disease in a biracial community study. JAMA 2002;287(24): 3230-7.
98. Dai Q, Borenstein AR, Wu Y, Jackson JC, Larson EB. Fruit and vegetable juices and Alzheimers disease: the Kame project. Am J Med. 2006;119(9): 7519.
99. Commenges D, Scotet V, Renaud S, et al. Intake of flavonoids and risk of dementia. Eur. J. Epidemiol 2000; 16, (4): 357-63.
100. Allen, RR, Carson, L, Kwik-Uribe, C, Evans, EM & Erdman, JW Jr. 2008, Daily Consumption of A Dark Chocolate Containing Flavanols and Added Sterol Esters Affects Cardiovascular Risk
Factors in A Normotensive Population with Elevated Cholesterol, J. Nutr., vol. 138, no. 4, pp. 72531.
101. Grassi D, Desideri G, Necozione S et al. Blood pressure is reduced and insulin sensitivity increased in glucose-intolerant, hypertensive subjects after 15 days of consuming high-polyphenol
dark chocolate. J. Nutr. 2008;138(9): 16711676.
102. Hamed MS, Gambert S, Bliden KP, et al. Dark chocolate effect on platelet activity, C-reactive protein and lipid profile: A pilot study. South Med J. 2008;101(12): 1203-8.
103. Balzer J, Rassaf T, Heiss C, et al. Sustained benefits in vascular function through flavanol-containing cocoa in medicated diabetic patients a double-masked, randomized, controlled trial. J
Am Coll Cardiol. 2008;51(22):2141-9.
104. Laitinen MH, Ngandu T, Rovio S, et al. Fat intake at midlife and risk of dementia and Alzheimers disease: A population-based. Dement Geriatr Cogn Disord.2006;22(1): 99-107.
105. van de Rest O, Geleijnse JM, Kok FJ, et al.Effect of fish oil on cognitive performance in older subjects: a randomized, controlled trial. Neurology 2008; 71(6): 430--8.
106. Sparks DL, Scheff SW, Hunsaker JC 3rd, Liu H, Landers T, Gross DR. Induction of Alzheimer-like beta-amyloid immunoreactivity in the brains of rabbits with dietary cholesterol. Exp Neurol.
1994;126(1): 88-94.
107. Ritchie K, Carrire, I, de Mendonca, A, et al. The neuroprotective effects of caffeine: a prospective population study (the Three City Study). Neurology, 2007; 69(6): 536-45.
108. Lindsay J, Laurin D, Verreault R, et al.Risk factors for Alzheimers disease: a prospective analysis from the Canadian Study of Health and Aging. Am J Epidemiol. 2002;156(5): 44553.
109. Maia L, de Mendona A. Does caffeine intake protect from Alzheimers disease? Eur J Neurol. 2002; 9(4): 377-82.
110. Arendash GW, Mori T, Cao C, et al. Caffeine reverses cognitive impairment and decreases brain amyloid- levels in aged Alzheimers disease mice. J. Alzheimers Dis. 2009;17(3):66180.
111. Costa MS, Botton PH, Mioranzza S, etal.Caffeine improves adult mice performance in the object recognition task and increases BDNF and TrkB independent on phospho-CREB immunocontent in the hippocampus. Neurochem Int.2008; 53(3-4): 89-94.
112. Luchsinger JA, Mayeux R.Dietary factors and Alzheimers disease. Lancet Neurol. 2004; 3(10): 579-87.
113. Scarmeas N, Stern Y, Tang MX, Mayeux R, Luchsinger JA. Mediterranean diet and risk for Alzheimers disease. Ann Neurol. 2006; 59(6): 912-21.
114. Ganguli M, Vander Bilt J, Saxton JA, Shen C, Dodge HH.Alcohol consumption and cognitive function in late life: a longitudinal community study. Neurology. 2005;65(8): 1210-7.
115. Peters R, Peters J, Warner J, Beckett N, Bulpitt C.Alcohol, dementia and cognitive decline in the elderly: A systematic review. Age and Ageing 2008; 37(5): 50512.
116. Anttila T, Helkala EL, Viitanen M, et al. Alcohol drinking in middle age and subsequent risk of mild cognitive impairment and dementia in old age: a prospective population based study.,
BMJ, 2004; 329(7465): 539.
117. Mehlig K, Skoog I, Guo X, Schtze M, et al.Alcoholic beverages and incidence of dementia: 34-year follow-up of the prospective population study of women in Goteborg. Am J Epidemiol..
2008;167(6): 68491.
118. Mukamal KJ, Kuller LH, Fitzpatrick AL, Longstreth WT Jr, Mittleman MA, Siscovick DS. Prospective study of alcohol consumption and risk of dementia in older adults. JAMA. 2003;289(1):
1405-13.
119. Bond GE, Burr RL, McCurry SM, Rice MM, Borenstein AR, Larson EB. Alcohol and cognitive performance: a longitudinal study of older Japanese Americans, The Kame Project. Int Psychogeriatr. 2005; 17(4): 653-68.
120. Agarwal DP.Cardioprotective effects of light-moderate consumption of alcohol: A review of putative mechanism. Alcohol and Alcoholism. 2002;37(5): 409-15.
121. Baum-Baicker C. The psychological benefits of moderate alcohol consumption: A review of the literature. Drug Alcohol Depend. 1985;15(4): 305-22.
122. Marambaud P, Zhao H, Davies P.Resveratrol promotes clearance of Alzheimers disease amyloid- peptides. J. Biol. Chem. 2005;280(45): 3737782.
123. McIntosh C, Chick J. Alcohol and the nervous system., J Neurol Neurosurg Psychiatry 2004;75(3): 16-21.
124. Hernn MA, Alonso A, Logroscino G.Cigarrette smoking and dementia. potential selection bias in the elderly. Epidemiol. 2008; 19(3).
125. Galanis DJ, Petrovitch H, Launer LJ, Harris TB, Foley DJ, White LR. Smoking history in middle age and subsequent cognitive performance in elderly Japanese-american men the HonoluluAsia Aging Study. Am J Epidemiol. 19971;45(6): 507-15.
126. Tyas SL, White LR, Petrovitch H et al. Mid-life smoking and late-life dementia: the Honolulu-Asia Aging Study, Neurobiol Aging. 2003;24(4): 589-96.
127. Rezvani AH, Levin ED.Cognitive effects of nicotine. Biol Psychiatry. 2001; 49(3): 258-67.
128. Swan GE, Lessov-Schlaggar CN. The effects of tobacco smoke and nicotine on cognition and the brain. Neuropsychol Rev., 2007;17(3): 259-73.
129. Schmidt RH, Grady MS.Loss of forebrain cholinergic neurons following fluid-percussion injury: implications for cognitive impairment in closed head injury. J Neurosurg. 1995;83(3): 496502.
130. Luukinen H, Viramo P, Koski K, Laippala P, Kivel SL. Head injuries and cognitive decline among older adults: A population-based study. Neurology.1999;52 (3): 557-62
131. Guo Z, Cupples LA, Kurz A, et al Head injury and the risk of AD in the MIRAGE study. Neurology 2000; 54(6): 1316-23.
132. Plassman BL, Havlik RJ, Steffens DC, et al. Documented head injury in early adulthood and risk of Alzheimers disease and other dementias. Neurology. 2000; 55(8): 1158--66.
133. Schofield PW, Tang M, Marder K, et al.Alzheimers disease after remote head injury: an incidence study. J Neurol Neurosurg Psychiatr, 1997; 62 (1): 119-24.
134. van Duijn CM, Tanja TA, Haaxma R, et al.. Head trauma and the risk of Alzheimers disease. Am J Epidemiol., 1992;135(7): 775-82.
135. Lye TC, Shores EA. Traumatic brain injury as a risk factor for Alzheimers disease: A review. Neuropsychol Rev. 2000;10(2): 115-29.
32
TINJAUAN PUSTAKA
ABSTRAK
Paraneoplastic limbic encephalitis (PLE) merupakan entitas yang termasuk dalam paraneoplastic neurological syndromes (PNS), berhubungan
dengan beberapa jenis tumor, disebabkan oleh gangguan sistem imun yang dicetuskan oleh ekspresi aberan antigen onkoneural tumor. Dalam
beberapa dekade ini sudah diidentifikasi sejumlah antibodi yang berkaitan dengan PLE yaitu antibodi onkoneural klasik terhadap antigen
intraseluler, dan antibodi terhadap antigen permukaan sel. Masing-masing antibodi memberikan karakteristik gejala klinis, gambaran magnetic
resonance imaging (MRI), dan respons pengobatan yang berbeda. Gambaran klinis khas adalah onset subakut atau akut gangguan memori
jangka pendek, gejala psikiatrik, dan kejang. Walaupun spektrum klinis belum sepenuhnya diketahui, sindrom klinis PLE penting dikenali karena
dapat memberikan respons terhadap imunoterapi. Secara umum, pasien dengan antibodi terhadap antigen permukaan sel prognosisnya lebih
baik karena perjalanan klinisnya cenderung tidak terlalu berat, dan memberikan respons baik dengan terapi imunomodulasi.
Kata kunci: paraneoplastic limbic encephalitis, diagnosis, penatalaksanaan
ABSTRACT
Paraneoplastic Limbic Encephalitis (PLE) is an entity belonging to Paraneoplastic Neurological Syndromes (PNS), associated with several tumors,
caused by immune mediated disorders triggered by aberrant expression of onconeural antigens in the tumor. In the last few decades, 2 groups
of antibodies associated with PLE have been identified, classical onconeural antibodies directed against the intracellular antigens, and surface
antigen antibodies. Each antibody gives characteristic clinical manifestations, magnetic resonance imaging (MRI) findings, and different response
to therapy. Characteristic clinical manifestations are subacute or acute onset of recent memory loss, psychiatric manifestations, and seizures.
Although the clinical spectrum has not yet been fully investigated, the clinical importance lies in their good response to immunotherapies.
Generally, patients with surface antigen antibodies have more favorable prognosis because the clinical course tends to be less severe, and
respond well with immunomodulation treatment. Michael Setiawan. Paraneoplastic Limbic Encephalitis: Diagnosis and Management
Approaches.
Key words: paraneoplastic limbic encephalitis, diagnosis, management
PENDAHULUAN
Paraneoplastic Neurological Syndromes (PNS)
adalah gangguan sistem saraf akibat kanker
yang tidak disebabkan oleh efek lokal maupun
metastasis. PNS jarang dijumpai, mencakup
gangguan yang sangat luas, dapat mengenai
sistem saraf pusat maupun saraf perifer. Salah
satu jenis PNS di antaranya adalah limbic
encephalitis.
Ditemukannya antibodi terhadap antigen
onkoneural
menciptakan
pemahaman
baru tentang sindrom ini.1-4 Akhir-akhir
ini ditemukan antibodi yang menyerang
antigen pada membran reseptor atau kanal
ion (antigen permukaan sel), antibodi ini
memegang peranan dalam patofisiologi PNS.
Pada kasus dengan antibodi terhadap antigen
onkoneural intraseluler positif sering dapat
Alamat korespondensi
email: ditoanurogo@gmail.com
33
TINJAUAN PUSTAKA
entitas tersendiri yang termasuk dalam
paraneoplastic neurological syndromes (PNS).
Selama dekade terakhir ini, LE banyak diteliti.
Berdasarkan pengetahuan saat ini, LE dapat
dikategorikan dalam 2 golongan besar yaitu
yang disebabkan oleh gangguan otoimun
dan yang disebabkan oleh infeksi.2 Pada
makalah ini akan dibahas LE yang disebabkan
oleh gangguan otoimun dan merupakan
bagian dari PNS.
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM
LIMBIK
Sistem limbik mencakup beberapa struktur,
yaitu hipokampus, amigdala, hipotalamus,
corpus mamilare, forniks dan girus cinguli
(sirkuit Papez). Sistem limbik sangat berperan
pada kognisi, afek dan regulasi sistem saraf
otonom.2,7
SEJARAH DAN EPIDEMIOLOGI
PNS yang melibatkan hemisfer otak pertama
dideskripsi oleh Brierley dkk pada tahun
1960. Saat itu diperkirakan PNS hanya
dapat mengenai sistem saraf kaudal dari
ganglia basal. Definisi Paraneoplastic Limbic
Encephalitis baru dibuat oleh Corsellis dkk 8
tahun kemudian yang melaporkan dua kasus
pria berusia antara 50-60 tahun menderita
depresi dan iritabilitas selama beberapa
minggu, diikuti hilangnya memori jangka
pendek yang makin progresif. Memori
PATOFISIOLOGI
Para ahli imunologi tumor memperkenalkan
nama antibodi onkoneural untuk menjelaskan
antibodi yang mentarget antigen pada
jaringan neuroektodermal dan tumor. Sejak
tahun 1980-an sudah beberapa antibodi
onkoneural ditemukan dan merupakan
biomarker untuk sindrom paraneoplastik
klasik. Limbic encephalitis (LE) klasik dengan
kejang lobus temporalis berhubungan
dengan antibodi terhadap antigen intraseluler.
Antibodi onkoneural ditemukan pada sekitar
60% pasien dengan paraneoplastic LE.
Antibodi yang sering dijumpai adalah anti-Hu,
anti-Ma2, anti-amphiphysin dan anti-CRMP5.
Kebanyakan pasien dengan antibodi anti-Hu
juga mengalami disfungsi sistem saraf pusat
di luar sistem limbik.
Pada beberapa tahun belakangan ini banyak
pasien LE yang dianggap seronegatif
ternyata memiliki antibodi terhadap antigen
permukaan sel. Makin banyak dikenali kasus
ensefalitis dengan antibodi voltage-gated
potasssium channel (VGKC) complex, antibodi
N-methyl-D-aspartate receptor (NMDAR),
antibodi alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4isoxazolepropionic acid receptor (AMPAR), dan
antibodi gamma aminobutyric acid (GABA(b))
receptor.1,2
Identifikasi antibodi baru ini (antibodi yang
berhubungan dengan permukaan sel)
menyebabkan dikenalinya sindrom klinis dan
radiologis yang berbeda dengan LE klasik.
Sindrom baru ini perjalanan penyakitnya
lebih ringan dan kadang-kadang bisa terjadi
pemulihan sempurna dengan pengobatan
imunomodulasi.1,2
Secara umum antibodi terhadap antigen
intraseluler (Hu, Ma2, CRMP5, amphiphysin,
dll) berhubungan dengan tumor ganas,
menyebabkan infiltrasi sel T sitotoksik
yang prominen pada otak, dan respons
pengobatannya sangat terbatas. Sedangkan
antibodi terhadap antigen permukaan sel
(VGKC complex, NMDAR, AMPAR, GABA(b)R)
pada umumnya berkaitan dengan prognosis
yang lebih baik dibandingkan dengan
yang memiliki antibodi terhadap protein
intraseluler.1,2
34
TINJAUAN PUSTAKA
saraf, meskipun sampai saat ini patofisiologi
LE masih belum diketahui sempurna. Belum
diketahui pasti apakah antibodi onkoneural
PNS terutama dihasilkan dari antibodi serum
atau antibodi intratekal. Konsentrasi absolut
antibodi terhadap antigen onkoneural tertentu
biasanya lebih tinggi di serum dibandingkan
dengan di likuor serebrospinal (LCS), bahkan
kadang-kadang antibodi tersebut tidak dapat
dideteksi di LCS.2
Pada beberapa penelitian, daerah-daerah
tertentu di otak, misalnya hipokampus
dan hipotalamus, sepertinya sangat rentan
terhadap antibodi onkoneural. Pemeriksaan
patologi saraf memperlihatkan hilangnya
neuron di daerah tertentu dengan infiltrasi
peradangan oleh sel T helper CD4+ dan
sel B di ruang perivaskular, dan sel T CD8+
sitotoksik pada ruang interstitial. Peranan
antibodi dalam patogensis LE berasal dari
fakta bahwa antigen yang ditarget oleh
antibodi diekspresikan oleh sel tumor dan
daerah spesifik otak yang terkena. Bukti-bukti
ini mendukung peran mediasi oleh gangguan
sistem imun pada sindrom LE.1,2,9,10
GEJALA KLINIS
Karakteristik yang menonjol pada LE adalah
onset subakut atau akut gangguan memori
jangka pendek, dan kejang. Pasien sering
memperlihatkan gejala psikiatrik yang
bervariasi tergantung sindrom masingmasing. Seperti dilaporkan Kayser dkk,
kombinasi gejala psikiatrik tertentu dengan
gejala neurologis dan temuan lainnya dapat
membedakan sindrom LE yang satu dengan
yang lainnya. Keterlibatan lobus temporalis
diperkirakan menjadi penyebab manifestasi
psikiatrik pada sindrom LE.1,10-12
KLASIFIKASI LE BERDASARKAN
ANTIBODI
Antibodi yang berhubungan dengan LE dapat
dibedakan menjadi antibodi onkoneural klasik
terhadap protein intraseluler dan antibodi
terhadap antigen permukaan sel.1,2
Anti-NMDA receptor
Anti-AMPA receptor
Anti-GABA-b receptor.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes antibodi untuk penapisan PNS perlu
dilakukan pada kasus-kasus yang dicurigai.
Pemeriksaan antibodi menggunakan sampel
serum atau liquor serebrospinal (LCS).
Antibodi yang berbeda kadang-kadang
memberikan gejala klinis serupa. Pada pasien
tumor paru (SCLC) kadang-kadang dapat
ditemukan beberapa antibodi paraneoplastik
secara bersamaan8. Pemeriksaan LCS biasanya
memperlihatkan
gambaran
inflamasi
(pleiositosis, kadar protein meningkat,
oligoclonal band).8,14
Gambaran magnetic resonance imaging
(MRI) dapat berupa peningkatan intensitas
signal T2 di lobus temporalis. Gambaran
ini berhubungan dengan adanya infiltrat
peradangan pada pemeriksaan otopsi. Pada
fase akut penyakit dijumpai peningkatan
intensitas sinyal T2 dan FLAIR (fluid attenuated
inversion recovery) pada 70-80% kasus. Pada
pemeriksaan Fluoro-deoxyglucose positron
emission tomography (FDG-PET) dapat
dijumpai hipermetabolisme sebelum terlihat
adanya perubahan pada MRI.1
Manifestasi psikiatrik
Temuan Neurologis
MRI
Pengobatan
Hu
Hilangnya memori
jangka pendek, bingung,
menyerupai WernickeKorsakov
Kejang
Imunomodulasi, steroid,
terapi siklofosfamid
Ma2
CV2/CRMP5
Gejala ekstrapiramidal
chorea, apraksia, neuropati
optik, gangguan mengecap
dan menghidu
Tidak jelas
Antiamphiphysin
Hilangnya memori
jangka pendek, bingung,
menyerupai WernickeKorsakov
Tidak jelas
Tabel 3 Gejala psikiatrik dan neurologis pada antibodi permukaan NMDA, AMPA dan GABA (b)1,12-14
Antibodi
1.
2.
Manifestasi psikiatrik
NMDA
AMPA
GABA (b)
Temuan neurologis
Penurunan kesadaran, kejang,
hipoventilasi, gangguan
autonom, diskinesia,
gangguan gerak
Kejang
MRI
Pengobatan
Sebagian dijumpai
peningkatan signal FLAIR di
lobus temporal medial
35
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 4 Kriteria diagnostik paraneoplastic limbic encephalitis 2,3,15
A. Kriteria Gultekin dkk
Pemeriksaan patologis menunjukkan gambaran limbic encephalitis, atau semua 4 kriteria berikut.
1. Gejala hilangnya memori jangka pendek, kejang, atau gejala psikiatrik berkaitan dengan keterlibatan sistem limbik.
2. <4 tahun antara onset gejala neurologis dengan diagnosis kanker.
3. Sudah disingkirkan metastasis, infeksi, defisit metabolik dan nutrisi, stroke, dan efek samping obat yang dapat menyebabkan ensefalopati limbik.
4. Sedikitnya salah satu dari:
a. Pemeriksaan LCS ditemukan gambaran inflamasi
b. Hiperintensitas unilateral atau bilateral lobus temporal pada MRI FLAIR atau T2
c. Dijumpai fokus epilepsi fokal atau perlambatan fokal di lobus temporalis pada pemeriksaan EEG
B. Kriteria Paraneoplastic Neurological Syndrome Euronetwork
Memenuhi keempat kriteria di bawah ini.
1. Onset subakut (beberapa hari sampai 12 minggu) kejang, hilangnya memori jangka pendek, bingung, dan gejala psikiatrik.
2. Bukti neuropatologi atau radiologis (MRI, SPECT, PET) keterlibatan sistem limbik.
3. Sudah dieksklusi penyebab gangguan limbik lainnya.
4. Dijumpai kanker dalam 5 tahun timbulnya gejala neurologis, atau timbulnya gejala klasik disfungsi limbik berhubungan dengan antibodi
paraneoplastik tertentu (Hu, Ma2, CRMP5, Amphiphysin, Ri).
2
Gangguan Metabolik
Ensefalopati metabolik (uremik, hepatik, sindrom Cushing)
Sindrom Wernicke-Korsakoff
Ensefalopati Hashimoto
Gangguan Autoimun Sistemik
Sjogren syndrome
Systemic lupus erythematosus
Sindrom antifosfolipid
Keganasan
Limfoma
Glioma
Gliomatosis serebri
Gangguan Degeneratif
Penyakit Alzheimer
Demensia Lewy-body
Demensia frontotemporal
Gangguan lainnya
Stroke dengan keterlibatan arteri serebri posterior
Vaskulitis susunan saraf pusat
Epilepsi lobus temporalis
Status epileptikus non konvulsif
Transient global amnesia
Acute demyelinating encephalomyelitis
Posterior reversible encephalopathy syndrome
Intoksikasi (alkohol, litium)
Alcohol withdrawal syndrome
Gangguan psikiatrik
SIMPULAN
Paraneoplastic LE merupakan bagian dari
PNS dengan patofisiologi gangguan sistem
imun. Idealnya rumah sakit dapat melakukan
pemeriksaan antibodi untuk menegakkan
diagnosis dan memulai pengobatan,
sehingga dapat memperbaiki keadaan
pasien, memperpendek lama perawatan,
dan memaksimalkan keluaran. Masih
dibutuhkan penelitian sistematis untuk dapat
membuat panduan pengobatan yang baik.
Antibodi yang sudah teridentifikasi mungkin
masih merupakan fenomena gunung es,
membutuhkan penelitian lanjutan untuk
identifikasi antibodi permukaan sel lainnya.
Peneliti diharapkan dapat memberikan
gambaran klinis yang komprehensif untuk
antibodi terkait. Dengan pendekatan ini
para klinisi akan terbantu dalam mengenali
sindrom klinis LE dan membuat keputusan
rasional dalam pemeriksaan antibodi.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Grisold W, Giometto B, Vitaliani R, et al. Current Approaches to the Treatment of Paraneoplastic Encephalitis. Ther Adv Neurol Disord 2011; 4(4): 237-48.
2.
Zhang H, Zhou C, Wu L, et al. Are Onconeural Antibodies a Clinical Phenomenology in Paraneoplastic Limbic Encephalitis? Mediators of Inflammation 2013: 1-9.
3.
Graus F, Delattre Y, Antoine JC, et al. Recommended Diagnostic Criteria for Paraneoplastic Neurological Syndromes. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2004; 75: 1135-40.
4.
Honnorat J, Antoine JC. Paraneoplastic Neurological Syndromes. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007; 2:22: 1-8.
5. Lawn ND, Westmoreland BF, Kiely MJ,et al. Clinical, magnetic resonance imaging, and electroencephalographic findings in paraneoplastic limbic encephalitis. Mayo Clin Proc.
2003;78(11):1363-8.
6.
Gomesa AA, Pinhoa E, Vazb A, et al. Anti-NMDA Receptor Paraneoplastic Encephalitis: An Important Differential Diagnosis in Subacute Psychosis. J Med Cases 2013;4(3):135-8.
7.
Hesselink JR. The Temporal Lobe and Limbic System.). http://spinwarp.ucsd.edu/neuroweb/Text/br-800epi.htm. diunduh Oktober 2013.
8.
Vedeler CA, Antoine JC, Giometto B, et al. Paraneoplastic neurological syndromes. http://www.efns.org/fileadmin/user_upload/guidline_papers/EFNS_guideline_2011_Paraneoplastic_
neurological_syndromes.pdf. diunduh Oktober 2013.
9.
10. De Beukelaar JW, Smitt PAS. Managing Paraneoplastic Neurological Disorders. The Oncologist 2006;11:292305.
11
Dreessen J, Jeanjean AP, Sindic AJ. Paraneoplastic limbic encephalitis: Diagnostic relevance of CSF analysis and total body PET scanning. Acta neurol.belg., 2004, 104, 57-63.
12. Dwyer J, Rabin B. Final Diagnosis: Anti NMDA Receptor Encephalitis. http://path.upmc.edu/cases/case762/dx.html. diunduh Oktober 2013.
13. Lai M, Hughes EG, Peng X, et al. AMPA receptor antibodies in limbic encephalitis alter synaptic receptor location. Ann Neurol. 2009; 65(4): 42434.
14. Wysota B, Teare L, Karim A, Jacob S. Autoimmune Gabab antibody encephalitis associated with non-malignant lung lesion. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2013 Nov;84(11):e2.
15. Gultekin SH, Rosenfeld MR, Voltz J, et al. Paraneoplastic Limbic Encephalitis: Neurological Symptoms, Immunological Findings and Tumor Association in 50 Patients. Brain 2000; 123: 1481-94.
36
TINJAUAN PUSTAKA
ABSTRAK
Paraneoplastic limbic encephalitis (PLE) merupakan entitas yang termasuk dalam paraneoplastic neurological syndromes (PNS), berhubungan
dengan beberapa jenis tumor, disebabkan oleh gangguan sistem imun yang dicetuskan oleh ekspresi aberan antigen onkoneural tumor. Dalam
beberapa dekade ini sudah diidentifikasi sejumlah antibodi yang berkaitan dengan PLE yaitu antibodi onkoneural klasik terhadap antigen
intraseluler, dan antibodi terhadap antigen permukaan sel. Masing-masing antibodi memberikan karakteristik gejala klinis, gambaran magnetic
resonance imaging (MRI), dan respons pengobatan yang berbeda. Gambaran klinis khas adalah onset subakut atau akut gangguan memori
jangka pendek, gejala psikiatrik, dan kejang. Walaupun spektrum klinis belum sepenuhnya diketahui, sindrom klinis PLE penting dikenali karena
dapat memberikan respons terhadap imunoterapi. Secara umum, pasien dengan antibodi terhadap antigen permukaan sel prognosisnya lebih
baik karena perjalanan klinisnya cenderung tidak terlalu berat, dan memberikan respons baik dengan terapi imunomodulasi.
Kata kunci: paraneoplastic limbic encephalitis, diagnosis, penatalaksanaan
ABSTRACT
Paraneoplastic Limbic Encephalitis (PLE) is an entity belonging to Paraneoplastic Neurological Syndromes (PNS), associated with several tumors,
caused by immune mediated disorders triggered by aberrant expression of onconeural antigens in the tumor. In the last few decades, 2 groups
of antibodies associated with PLE have been identified, classical onconeural antibodies directed against the intracellular antigens, and surface
antigen antibodies. Each antibody gives characteristic clinical manifestations, magnetic resonance imaging (MRI) findings, and different response
to therapy. Characteristic clinical manifestations are subacute or acute onset of recent memory loss, psychiatric manifestations, and seizures.
Although the clinical spectrum has not yet been fully investigated, the clinical importance lies in their good response to immunotherapies.
Generally, patients with surface antigen antibodies have more favorable prognosis because the clinical course tends to be less severe, and
respond well with immunomodulation treatment. Michael Setiawan. Paraneoplastic Limbic Encephalitis: Diagnosis and Management
Approaches.
Key words: paraneoplastic limbic encephalitis, diagnosis, management
PENDAHULUAN
Paraneoplastic Neurological Syndromes (PNS)
adalah gangguan sistem saraf akibat kanker
yang tidak disebabkan oleh efek lokal maupun
metastasis. PNS jarang dijumpai, mencakup
gangguan yang sangat luas, dapat mengenai
sistem saraf pusat maupun saraf perifer. Salah
satu jenis PNS di antaranya adalah limbic
encephalitis.
Ditemukannya antibodi terhadap antigen
onkoneural
menciptakan
pemahaman
baru tentang sindrom ini.1-4 Akhir-akhir
ini ditemukan antibodi yang menyerang
antigen pada membran reseptor atau kanal
ion (antigen permukaan sel), antibodi ini
memegang peranan dalam patofisiologi PNS.
Pada kasus dengan antibodi terhadap antigen
onkoneural intraseluler positif sering dapat
Alamat korespondensi
email: ms922000@yahoo.com
33
TINJAUAN PUSTAKA
entitas tersendiri yang termasuk dalam
paraneoplastic neurological syndromes (PNS).
Selama dekade terakhir ini, LE banyak diteliti.
Berdasarkan pengetahuan saat ini, LE dapat
dikategorikan dalam 2 golongan besar yaitu
yang disebabkan oleh gangguan otoimun
dan yang disebabkan oleh infeksi.2 Pada
makalah ini akan dibahas LE yang disebabkan
oleh gangguan otoimun dan merupakan
bagian dari PNS.
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM
LIMBIK
Sistem limbik mencakup beberapa struktur,
yaitu hipokampus, amigdala, hipotalamus,
corpus mamilare, forniks dan girus cinguli
(sirkuit Papez). Sistem limbik sangat berperan
pada kognisi, afek dan regulasi sistem saraf
otonom.2,7
SEJARAH DAN EPIDEMIOLOGI
PNS yang melibatkan hemisfer otak pertama
dideskripsi oleh Brierley dkk pada tahun
1960. Saat itu diperkirakan PNS hanya
dapat mengenai sistem saraf kaudal dari
ganglia basal. Definisi Paraneoplastic Limbic
Encephalitis baru dibuat oleh Corsellis dkk 8
tahun kemudian yang melaporkan dua kasus
pria berusia antara 50-60 tahun menderita
depresi dan iritabilitas selama beberapa
minggu, diikuti hilangnya memori jangka
pendek yang makin progresif. Memori
PATOFISIOLOGI
Para ahli imunologi tumor memperkenalkan
nama antibodi onkoneural untuk menjelaskan
antibodi yang mentarget antigen pada
jaringan neuroektodermal dan tumor. Sejak
tahun 1980-an sudah beberapa antibodi
onkoneural ditemukan dan merupakan
biomarker untuk sindrom paraneoplastik
klasik. Limbic encephalitis (LE) klasik dengan
kejang lobus temporalis berhubungan
dengan antibodi terhadap antigen intraseluler.
Antibodi onkoneural ditemukan pada sekitar
60% pasien dengan paraneoplastic LE.
Antibodi yang sering dijumpai adalah anti-Hu,
anti-Ma2, anti-amphiphysin dan anti-CRMP5.
Kebanyakan pasien dengan antibodi anti-Hu
juga mengalami disfungsi sistem saraf pusat
di luar sistem limbik.
Pada beberapa tahun belakangan ini banyak
pasien LE yang dianggap seronegatif
ternyata memiliki antibodi terhadap antigen
permukaan sel. Makin banyak dikenali kasus
ensefalitis dengan antibodi voltage-gated
potasssium channel (VGKC) complex, antibodi
N-methyl-D-aspartate receptor (NMDAR),
antibodi alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4isoxazolepropionic acid receptor (AMPAR), dan
antibodi gamma aminobutyric acid (GABA(b))
receptor.1,2
Identifikasi antibodi baru ini (antibodi yang
berhubungan dengan permukaan sel)
menyebabkan dikenalinya sindrom klinis dan
radiologis yang berbeda dengan LE klasik.
Sindrom baru ini perjalanan penyakitnya
lebih ringan dan kadang-kadang bisa terjadi
pemulihan sempurna dengan pengobatan
imunomodulasi.1,2
Secara umum antibodi terhadap antigen
intraseluler (Hu, Ma2, CRMP5, amphiphysin,
dll) berhubungan dengan tumor ganas,
menyebabkan infiltrasi sel T sitotoksik
yang prominen pada otak, dan respons
pengobatannya sangat terbatas. Sedangkan
antibodi terhadap antigen permukaan sel
(VGKC complex, NMDAR, AMPAR, GABA(b)R)
pada umumnya berkaitan dengan prognosis
yang lebih baik dibandingkan dengan
yang memiliki antibodi terhadap protein
intraseluler.1,2
34
TINJAUAN PUSTAKA
saraf, meskipun sampai saat ini patofisiologi
LE masih belum diketahui sempurna. Belum
diketahui pasti apakah antibodi onkoneural
PNS terutama dihasilkan dari antibodi serum
atau antibodi intratekal. Konsentrasi absolut
antibodi terhadap antigen onkoneural tertentu
biasanya lebih tinggi di serum dibandingkan
dengan di likuor serebrospinal (LCS), bahkan
kadang-kadang antibodi tersebut tidak dapat
dideteksi di LCS.2
Pada beberapa penelitian, daerah-daerah
tertentu di otak, misalnya hipokampus
dan hipotalamus, sepertinya sangat rentan
terhadap antibodi onkoneural. Pemeriksaan
patologi saraf memperlihatkan hilangnya
neuron di daerah tertentu dengan infiltrasi
peradangan oleh sel T helper CD4+ dan
sel B di ruang perivaskular, dan sel T CD8+
sitotoksik pada ruang interstitial. Peranan
antibodi dalam patogensis LE berasal dari
fakta bahwa antigen yang ditarget oleh
antibodi diekspresikan oleh sel tumor dan
daerah spesifik otak yang terkena. Bukti-bukti
ini mendukung peran mediasi oleh gangguan
sistem imun pada sindrom LE.1,2,9,10
GEJALA KLINIS
Karakteristik yang menonjol pada LE adalah
onset subakut atau akut gangguan memori
jangka pendek, dan kejang. Pasien sering
memperlihatkan gejala psikiatrik yang
bervariasi tergantung sindrom masingmasing. Seperti dilaporkan Kayser dkk,
kombinasi gejala psikiatrik tertentu dengan
gejala neurologis dan temuan lainnya dapat
membedakan sindrom LE yang satu dengan
yang lainnya. Keterlibatan lobus temporalis
diperkirakan menjadi penyebab manifestasi
psikiatrik pada sindrom LE.1,10-12
KLASIFIKASI LE BERDASARKAN
ANTIBODI
Antibodi yang berhubungan dengan LE dapat
dibedakan menjadi antibodi onkoneural klasik
terhadap protein intraseluler dan antibodi
terhadap antigen permukaan sel.1,2
Anti-NMDA receptor
Anti-AMPA receptor
Anti-GABA-b receptor.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes antibodi untuk penapisan PNS perlu
dilakukan pada kasus-kasus yang dicurigai.
Pemeriksaan antibodi menggunakan sampel
serum atau liquor serebrospinal (LCS).
Antibodi yang berbeda kadang-kadang
memberikan gejala klinis serupa. Pada pasien
tumor paru (SCLC) kadang-kadang dapat
ditemukan beberapa antibodi paraneoplastik
secara bersamaan8. Pemeriksaan LCS biasanya
memperlihatkan
gambaran
inflamasi
(pleiositosis, kadar protein meningkat,
oligoclonal band).8,14
Gambaran magnetic resonance imaging
(MRI) dapat berupa peningkatan intensitas
signal T2 di lobus temporalis. Gambaran
ini berhubungan dengan adanya infiltrat
peradangan pada pemeriksaan otopsi. Pada
fase akut penyakit dijumpai peningkatan
intensitas sinyal T2 dan FLAIR (fluid attenuated
inversion recovery) pada 70-80% kasus. Pada
pemeriksaan Fluoro-deoxyglucose positron
emission tomography (FDG-PET) dapat
dijumpai hipermetabolisme sebelum terlihat
adanya perubahan pada MRI.1
Manifestasi psikiatrik
Temuan Neurologis
MRI
Pengobatan
Hu
Hilangnya memori
jangka pendek, bingung,
menyerupai WernickeKorsakov
Kejang
Imunomodulasi, steroid,
terapi siklofosfamid
Ma2
CV2/CRMP5
Gejala ekstrapiramidal
chorea, apraksia, neuropati
optik, gangguan mengecap
dan menghidu
Tidak jelas
Antiamphiphysin
Hilangnya memori
jangka pendek, bingung,
menyerupai WernickeKorsakov
Tidak jelas
Tabel 3 Gejala psikiatrik dan neurologis pada antibodi permukaan NMDA, AMPA dan GABA (b)1,12-14
Antibodi
1.
2.
Manifestasi psikiatrik
NMDA
AMPA
GABA (b)
Temuan neurologis
Penurunan kesadaran, kejang,
hipoventilasi, gangguan
autonom, diskinesia,
gangguan gerak
Kejang
MRI
Pengobatan
Sebagian dijumpai
peningkatan signal FLAIR di
lobus temporal medial
35
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 4 Kriteria diagnostik paraneoplastic limbic encephalitis 2,3,15
A. Kriteria Gultekin dkk
Pemeriksaan patologis menunjukkan gambaran limbic encephalitis, atau semua 4 kriteria berikut.
1. Gejala hilangnya memori jangka pendek, kejang, atau gejala psikiatrik berkaitan dengan keterlibatan sistem limbik.
2. <4 tahun antara onset gejala neurologis dengan diagnosis kanker.
3. Sudah disingkirkan metastasis, infeksi, defisit metabolik dan nutrisi, stroke, dan efek samping obat yang dapat menyebabkan ensefalopati limbik.
4. Sedikitnya salah satu dari:
a. Pemeriksaan LCS ditemukan gambaran inflamasi
b. Hiperintensitas unilateral atau bilateral lobus temporal pada MRI FLAIR atau T2
c. Dijumpai fokus epilepsi fokal atau perlambatan fokal di lobus temporalis pada pemeriksaan EEG
B. Kriteria Paraneoplastic Neurological Syndrome Euronetwork
Memenuhi keempat kriteria di bawah ini.
1. Onset subakut (beberapa hari sampai 12 minggu) kejang, hilangnya memori jangka pendek, bingung, dan gejala psikiatrik.
2. Bukti neuropatologi atau radiologis (MRI, SPECT, PET) keterlibatan sistem limbik.
3. Sudah dieksklusi penyebab gangguan limbik lainnya.
4. Dijumpai kanker dalam 5 tahun timbulnya gejala neurologis, atau timbulnya gejala klasik disfungsi limbik berhubungan dengan antibodi
paraneoplastik tertentu (Hu, Ma2, CRMP5, Amphiphysin, Ri).
2
Gangguan Metabolik
Ensefalopati metabolik (uremik, hepatik, sindrom Cushing)
Sindrom Wernicke-Korsakoff
Ensefalopati Hashimoto
Gangguan Autoimun Sistemik
Sjogren syndrome
Systemic lupus erythematosus
Sindrom antifosfolipid
Keganasan
Limfoma
Glioma
Gliomatosis serebri
Gangguan Degeneratif
Penyakit Alzheimer
Demensia Lewy-body
Demensia frontotemporal
Gangguan lainnya
Stroke dengan keterlibatan arteri serebri posterior
Vaskulitis susunan saraf pusat
Epilepsi lobus temporalis
Status epileptikus non konvulsif
Transient global amnesia
Acute demyelinating encephalomyelitis
Posterior reversible encephalopathy syndrome
Intoksikasi (alkohol, litium)
Alcohol withdrawal syndrome
Gangguan psikiatrik
SIMPULAN
Paraneoplastic LE merupakan bagian dari
PNS dengan patofisiologi gangguan sistem
imun. Idealnya rumah sakit dapat melakukan
pemeriksaan antibodi untuk menegakkan
diagnosis dan memulai pengobatan,
sehingga dapat memperbaiki keadaan
pasien, memperpendek lama perawatan,
dan memaksimalkan keluaran. Masih
dibutuhkan penelitian sistematis untuk dapat
membuat panduan pengobatan yang baik.
Antibodi yang sudah teridentifikasi mungkin
masih merupakan fenomena gunung es,
membutuhkan penelitian lanjutan untuk
identifikasi antibodi permukaan sel lainnya.
Peneliti diharapkan dapat memberikan
gambaran klinis yang komprehensif untuk
antibodi terkait. Dengan pendekatan ini
para klinisi akan terbantu dalam mengenali
sindrom klinis LE dan membuat keputusan
rasional dalam pemeriksaan antibodi.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Grisold W, Giometto B, Vitaliani R, et al. Current Approaches to the Treatment of Paraneoplastic Encephalitis. Ther Adv Neurol Disord 2011; 4(4): 237-48.
2.
Zhang H, Zhou C, Wu L, et al. Are Onconeural Antibodies a Clinical Phenomenology in Paraneoplastic Limbic Encephalitis? Mediators of Inflammation 2013: 1-9.
3.
Graus F, Delattre Y, Antoine JC, et al. Recommended Diagnostic Criteria for Paraneoplastic Neurological Syndromes. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2004; 75: 1135-40.
4.
Honnorat J, Antoine JC. Paraneoplastic Neurological Syndromes. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007; 2:22: 1-8.
5. Lawn ND, Westmoreland BF, Kiely MJ,et al. Clinical, magnetic resonance imaging, and electroencephalographic findings in paraneoplastic limbic encephalitis. Mayo Clin Proc.
2003;78(11):1363-8.
6.
Gomesa AA, Pinhoa E, Vazb A, et al. Anti-NMDA Receptor Paraneoplastic Encephalitis: An Important Differential Diagnosis in Subacute Psychosis. J Med Cases 2013;4(3):135-8.
7.
Hesselink JR. The Temporal Lobe and Limbic System.). http://spinwarp.ucsd.edu/neuroweb/Text/br-800epi.htm. diunduh Oktober 2013.
8.
Vedeler CA, Antoine JC, Giometto B, et al. Paraneoplastic neurological syndromes. http://www.efns.org/fileadmin/user_upload/guidline_papers/EFNS_guideline_2011_Paraneoplastic_
neurological_syndromes.pdf. diunduh Oktober 2013.
9.
10. De Beukelaar JW, Smitt PAS. Managing Paraneoplastic Neurological Disorders. The Oncologist 2006;11:292305.
11
Dreessen J, Jeanjean AP, Sindic AJ. Paraneoplastic limbic encephalitis: Diagnostic relevance of CSF analysis and total body PET scanning. Acta neurol.belg., 2004, 104, 57-63.
12. Dwyer J, Rabin B. Final Diagnosis: Anti NMDA Receptor Encephalitis. http://path.upmc.edu/cases/case762/dx.html. diunduh Oktober 2013.
13. Lai M, Hughes EG, Peng X, et al. AMPA receptor antibodies in limbic encephalitis alter synaptic receptor location. Ann Neurol. 2009; 65(4): 42434.
14. Wysota B, Teare L, Karim A, Jacob S. Autoimmune Gabab antibody encephalitis associated with non-malignant lung lesion. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2013 Nov;84(11):e2.
15. Gultekin SH, Rosenfeld MR, Voltz J, et al. Paraneoplastic Limbic Encephalitis: Neurological Symptoms, Immunological Findings and Tumor Association in 50 Patients. Brain 2000; 123: 1481-94.
36
HASIL PENELITIAN
ABSTRAK
Latar belakang: Manifestasi klinis infeksi H. pylori pada anak tidak spesifik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
endoskopik. Pada anak pemeriksaan endoskopi memerlukan ketrampilan khusus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan H.
pylori berdasarkan kultur dan pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) primer glmM (UreC) pada feses anak yang dirawat di RSUP MataramNTB dengan diagnosis awal diare. Hasil: Dari November 2011-April 2012 diperoleh 35 spesimen feses anak diare yang memenuhi syarat. H.pylori
positif pada 9 pasien (25,71%), 3 (16,6%) berusia 0-1 tahun. Kultur feses positif pada 3 (8.57%) kasus. Simpulan: H. pylori dapat dideteksi dengan
metode kultur bakteriologi dan PCR. Diperlukan penelitian lanjutan dengan sampel lebih besar pada populasi anak normal atau dengan gejala
gastrointestinal.
Kata kunci: Helicobacter pylori, kultur feses, PCR
ABSTRACT
Background: Clinical manifestations of Helicobacter pylori (H. pylori) infection in children are not specific, and diagnosis through endoscopic
examination in children needs special skills. This study aims to determine H. pylori by culture and PCR primers glmM (UreC) in the feces of
children diagnosed as diarrhea treated at the Department of Pediatrics, Mataram University, West Nusa Tenggara. Result: From November 2011April 2012, 35 specimens have been obtained, Nine was positive for H. pylori (25.71%) 3 were from patients aged 0-1 years (16.6%). H. pylori was
positive in 3 (8.57%) stool culture and PCR was positive in 9 (25.71%) patients. Conclusion: H. pylori infection can be detected by bacteriological
culture and PCR. Detection of Helicobacter pylori in Children Using PCR Technique and Stool Cultures. Wayan Sulaksmana, Sukardi,
Abdul Razak, Zainul Mutaqqin.
Key words: Helicobacter pylori, feces culture, PCR
LATAR BELAKANG
Helicobacter pylori adalah kuman gram positif
berbentuk spiral atau batang bengkok yang
hidup di mukosa lambung manusia. Kuman
ini diketahui sebagai penyebab utama
penyakit gastroduodenal seperti gastritis
kronis, ulkus lambung, ulkus duodenum, dan
karsinoma lambung di kemudian hari. 2 Infeksi
Helicobacter pylori merupakan infeksi yang
umum terjadi di seluruh dunia. Prevalensi
H. pylori di negara berkembang dilaporkan
lebih tinggi dibandingkan di negara maju dan
sudah dimulai pada anak-anak dan bahkan
pada bayi usia 6 bulan. Diperkirakan 80% anak
di bawah usia 10 tahun di negara berkembang
terinfeksi H. pylori.1
Penelitian hubungan manifestasi klinis dan
infeksi H. pylori pada anak belum sebanyak
yang dilakukan pada orang dewasa. Beberapa
Alamat korespondensi
email: drsukardi_spa@yahoo.com
37
HASIL PENELITIAN
keberadaan H. pylori berdasarkan kultur dan
PCR feces pada pasien anak dengan diagnosis
awal diare. Penelitian ini belum pernah
dilakukan di Indonesia, oleh karena itu sangat
penting dilakukan guna menentukan teknik
diagnostik yang tepat terhadap infeksi H.
pylori pada anak.
BAHAN DAN CARA
Pengumpulan spesimen feses
Spesimen berupa feses diperoleh dari pasien
anak dengan diagnosis diare yang dirawat di
ruang Dahlia RSU Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Spesimen diambil dengan menggunakan
kontainer plastik yang dilengkapi dengan stik
pengambil feses dengan volume minimal 5
ml.
Kultur Bakteriologik
Karena feses mengandung empedu yang
dapat mematikan H. pylori, maka perlakuan
awal sebelum penanaman menjadi sangat
penting. Pada penelitian ini digunakan teknik
sentrifugal untuk memisahkan H. pylori dari
komponen feses.8
menggunakan
(Biorad, USA).
GelDoc
Imaging
System
HASIL
Selama periode bulan November 2011 hingga
akhir April 2012 diperoleh 35 spesimen
feses yang memenuhi syarat penelitian ini.
Prevalensi H.pylori berdasarkan distribusi
umur ditampilkan pada tabel 1, sedangkan
persentase H.pylori pada feses berdasarkan
kultur dan PCR dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 1 Prevalensi H. pylori berdasarkan ditribusi umur
Kelompok Umur
Hp+
Hp-
0-12
3 (16,66%)
15 (83,33%) 18
Total
13-24
4 (33,33%)
8 (66,66%)
>24
2 (40%)
3 (60%)
Total
12
35
12
Jumlah
Persentase
Kultur (+)
3/35
8,57%
PCR (+)
9/35
25, 71%
38
Gambar 1 Morfologi H. pylori yang diisolasi dari feces diamati menggunakan pewarnaan Gram (1000x)
Gambar 2 Pita DNA hasil amplifikasi gen glmM H. pylori pada spesimen feses
HASIL PENELITIAN
PEMBAHASAN
Gejala klinis infeksi H. pylori pada populasi
anak masih belum diketahui pasti, termasuk
hubungan antara nyeri perut berulang
dengan adanya infeksi H. pylori. Sebuah studi
menunjukkan bahwa 85% anak-anak terinfeksi
H. pylori mempunyai kelainan gambaran
histologik, walau tidak tampak ulkus atau
nodul15. Studi epidemiologik menunjukkan
di negara berkembang kebanyakan anakanak sejak awal telah menderita infeksi akut
H. pylori. Pada penelitian ini ditemukan infeksi
H. pylori positif pada 9(25,71%) anak, 3(16,,6%)
pada anak usia 0 1 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Subagyo B. Diagnosis Dan Tatalaksana Helicobacter pylori pada Anak. Dalam: Naskah Lengkap KONAS III Badan Kordinasi Gatroenterologi Anak Indonesia(BKGAI): 6-8 Desember, 2007:
Surabaya; 2007.h.7-14.
2.
Megraud F. Epidemiology of Helicobacter pylori infection. In: Rathbone BJ, Heatley RV, eds. Helicobacter pylori and gastrointestinal disease. Oxford: Blackwell Scientific; 1992. pp. 10723.
3.
4.
Lage AP, E Godfroid, A Fauconnier, et al,. Diagnosis of Helicobacter pylori infection by PCR: comparison with other invasive techniques and detection of cagA gene in gastric biopsy
specimens. J Clin Microbiol. 1995 ; 33: 2752-6.
5.
Dore MP, Osato MS, Malaty HM, Graham DY. Characterization of a culture method to recover Helicobacter pylori from the feces of infected patients. Helicobacter. 2000 Sep;5(3):165-8.
6.
Hill R, Pearman J, Worthy P, Caruso V, Goodwin S, Blincow E. Campylobacter pyloridis and gastritis in children. Lancet. 1986;1:387. [PubMed]
7.
Sumarsidi D, Gunawan S, Sumoharjo S, Muttaqin Z. et al Helicobacter pylori infection among kindergarten children in Mataram J. Gastroenterol. Hepatol., 2000;15(12): H1-H2(1).
8.
Thomas J. Culture Helicobacter pylori from faeces, In Lee A, Megraud F. eds.: Helicobacter pylori: techniques for clinical diagnosis and basic research, Tokyo: WB. Saunders, 1996 pp. 20611.
9.
Lu JJ, Perng CL, Shyu RY et al Comparison of five methods for detection of Helicobacter pylori DNA in gastric tissue. J. Clin. Microbiol. 1999: 772-4.
10. Cadranel S, Goossens H, De Boeck M, Malengreau A, Rodesch P, Butzler JP. Campylobacter pyloridis in children. Lancet. 1986;1:7356. [PubMed]
11. Drumm B, Sherman P, Cutz E, Karmail M. Association of Campylobacter pylori on the gastric mucosa with antral gastritis in children. N Engl J Med. 1987;316:155761. [PubMed]
12. Weaver LT, Shepherd AJ, Doherty CP. Helicobacter pylori in the faeces? An Internat. J.Med. 92 (7): 361-364.
13. Thomas JE, Gibson G, Darboe M, Dale A, Weaver LT. Isolation of Helicobacter pylori from human faeces. Lancet 1992; 340:10945.
14. Kabir, S. Detection of Helicobacter pylori in feces by Culture, PCR and Enzyme Immunoassay. J. Clin. Microbiol. 2001;50:1021-9.
15. Hegar B, Muzalkadin Helicobacter pylori infectionin Children with Recurrent Abdominal Pain. Indon. J. Gastroenterol., Hepatol. and Digestive Endoscopy 2001;2(2):1-4.
39
LAPORAN KASUS
Tumor Phyllodes
Azamris
Departemen Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas,
RS M. Djamil, Padang, Indonesia
ABSTRAK
Tumor phyllodes merupakan keganasan payudara yang jarang ditemukan. Insidensnya hanya sekitar 0,3-0,9% dari seluruh tumor payudara.
Manifestasi klinis tumor phyllodes umumnya berupa benjolan unilateral yang dapat diraba, tunggal, tidak nyeri. Terapi utama adalah pembedahan
komplit. Peran radioterapi dan kemoterapi adjuvan masih kontroversial. Dilaporkan 8 kasus tumor phyllodes di rumah sakit Dr.M.Djamil Padang
selama 2011-2012. Enam kasus (75%) varian jinak dan dua kasus (25%) varian borderline. Telah dilakukan terapi definitif pada tujuh pasien, satu
pasien meninggal sebelum mendapat terapi definitif.
Kata kunci: tumor phyllodes, keganasan payudara, terapi definitif
ABSTRACT
Phyllodes tumor is a rare breast malignancy. The incidence is only about 0.3-0.9% of all breast tumors. Clinical manifestations consist of unilateral
single palpable lump not accompanied by pain. Surgery is the main therapeutic modality. The role of radiotherapy and adjuvant chemotherapy
are still controversial. Eight cases of phyllodes tumors was reported at Dr.M.Djamil Padang Hospital in 2011-2012. Six cases were benign variants
and two cases were borderline variants. Definitive therapy has been performed in seven patients, one patient died before it was performed.
Azamris. Phyllodes Tumor.
Key words: phyllodes tumor, breast malignancy, definitive therapy
PENDAHULUAN
Tumor
phyllodes
adalah
neoplasma
fibroepitelial yang jarang ditemukan.
Insidensnya hanya sekitar 0,3-0,9% dari
seluruh tumor payudara, sedangkan frekuensi
lesi maligna bervariasi sekitar 5-30%. Tumor
phyllodes dikemukakan pertama kali oleh
Johannes Muller dengan nama cystosarcoma
phyllodes pada tahun 1838, untuk menunjukkan
tumor yang makroskopik menyerupai daging
dengan gambaran leaflike pada potongan
melintang; juga disebut giant fibroadenoma,
cellular intracanalicular fibroadenoma dan
beberapa nama lain. Penyebutan sarcoma
dianggap kurang tepat, karena phyllodes tidak
selalu bersifat ganas. Saat ini penamaan yang
dipakai adalah menurut WHO (1982) yaitu
tumor phyllodes. Etiologi tumor phyllodes
masih belum jelas apakah dari fibroadenoma
yang sudah ada sebelumnya atau de novo.1-3
KARAKTERISTIK TUMOR
Gambaran Makroskopik
Sebagian besar tumor phyllodes berupa massa
Alamat korespondensi
40
email: drazamrisspbonk@yahoo.com
LAPORAN KASUS
Metastasis dapat ditemukan bersamaan
atau hingga 12 tahun kemudian. Metastasis
dapat menyebar secara hematogen, ke paruparu (66%), tulang (28%), otak (9%) dan lebih
jarang ke hati dan jantung.8 Dapat disertai
pembesaran limfonodi regional, walaupun
tanpa sel tumor.1 Tidak banyak literatur yang
melaporkan metastasis limfonodi. Treves
hanya melaporkan 1 kasus metastasis ke
limfonodi aksila dari 33 kasus; dari 94 pasien
yang diteliti Norris dan Taylor, 16 pasien
mengalami pembesaran limfonodi, namun
hanya 1 kasus yang terbukti secara histologi
mengalami metastasis. Reinfus menemukan
11 kasus pembesaran limfonodi dari
55 kasus, namun hanya 1 kasus yang
menunjukkan metastasis. Minkowitz juga
melaporkan satu kasus dengan metastasis
kelenjar aksila.1,3
KLASIFIKASI
Pada tahun 1981, WHO mengadopsi
penamaan tumor phyllodes dan membaginya
menjadi tipe benign, borderline, dan malignant
berdasarkan karakteristik stroma. Karakteristik
tersebut berupa derajat atipikal selular stroma,
aktivitas mitosis per-10 lapang pandang besar,
ada tidaknya overgrowth stroma, dan batas
tumor yang infiltratif atau batas tumor yang
tegas. Tumor phyllodes tipe benign memiliki
atipikal seluler ringan sampai sedang,
dengan peningkatan sel-sel stroma. Rasio
mitosis tinggi (10 atau lebih mitosis dalam 10
lapang pandang besar), adanya infiltrasi, dan
overgrowth stroma. Overgrowth stroma telah
dihubungkan dengan aktivitas metastasis,
yang tidak terdapat pada tipe benign dan
borderline. 3,6
INSIDENS
Tumor phyllodes merupakan jenis tumor
payudara yang jarang, insidensnya 0,3-0,5%
dari total tumor payudara. Penelitian pada
8.567 pasien tumor payudara pada tahun
1969 sampai 1993 hanya menemukan
31 kasus tumor Phyllodes (0,37%). Secara
keseluruhan 2,1 kasus per satu juta wanita,
sangat jarang pada laki-laki. Sebagian besar
kasus tumor Phyllodes terjadi pada dekade
ke-4, jarang pada remaja, dapat terjadi pada
semua umur. Tumor biasanya jinak namun
dapat terjadi rekurensi lokal dan terkadang
dapat menyebar secara sistemik; jarang
bilateral (baik sinkronous atau metakronous).
Faktor risikonya belum jelas, mutasi p53
meningkatkan risiko tumor phyllodes.3-5
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis tumor phyllodes umumnya
unilateral, tunggal, tidak nyeri, dengan
benjolan yang dapat teraba. Tumor tibatiba muncul dan terus membesar, atau
berupa benjolan yang awalnya menetap
lalu bertambah besar dalam beberapa bulan
terakhir. Pada pemeriksaan fisik payudara,
tumor phyllodes berupa benjolan lunak dan
bulat, mirip fibroadenoma, namun berukuran
besar (>2-3 cm).3,4 Tumor dapat terlihat jelas
jika cepat membesar. Pembesaran cepat tidak
selalu mengindikasikan sifat ganas. Terlihat
mengilat dengan permukaan kulit seperti
teregang disertai pelebaran vena permukaan
kulit. Pada kasus-kasus yang tidak tertangani
baik, dapat terjadi luka borok kulit akibat
iskemi jaringan. Walaupun perubahan kulit
seperti layaknya pada tumor payudara selalu
menunjukkan tanda-tanda keganasan (lesi
T4), namun tidak pada tumor phyllodes; borok
pada kulit dapat terjadi pada jenis lesi jinak,
borderline ataupun ganas. Retraksi puting
tidak umum terjadi. Ulserasi mengindikasikan
nekrosis jaringan akibat penekanan tumor
yang besar.3,4
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tumor phyllodes masih
diperdebatkan dan tidak sama pada semua
kasus. Terapi utama adalah pembedahan
komplet dengan batas adekuat. Banyak
peneliti menganjurkan batas eksisi 1 cm
sebagai reseksi yang baik. Rekurensi berkaitan
dengan margin eksisi dan tidak berkaitan
dengan grade dan ukuran tumor. Eksisi
luas pada tumor kecil atau mastektomi
simpel umumnya menunjukkan hasil
memuaskan. Eksisi otot-otot pektoral perlu
dipertimbangkan jika telah terjadi infiltrasi.4
Mastektomi dengan rekonstruksi payudara
dapat menjadi pilihan pada tumor berukuran
besar. 7
Tumor phyllodes, sama halnya dengan
sarkoma jaringan lunak, jarang menyebabkan
metastasis ke kelenjar getah bening (KGB).
Sebagian besar penelitian menunjukkan
bahwa diseksi KGB aksila tidak rutin dilakukan,
mengingat jarangnya infiltrasi ke KGB aksila.
Norris dan Taylor menganjurkan mastektomi
dengan diseksi KGB aksila bagian bawah jika
terdapat pembesaran KGB, tumor ukuran >4
cm, biopsi menunjukkan jenis tumor agresif
(infiltrasi kapsul, kecepatan mitosis tinggi, dan
derajat selular atipikal tinggi). Jika terindikasi
ada keterlibatan KGB secara klinis atau pada
41
LAPORAN KASUS
pemeriksaan imaging, dapat dilakukan biopsi
jarum dengan panduan USG. Jika hasilnya
negatif, dapat dipertimbangkan biopsi
sentinel limfonodi.1,4
Peran radioterapi dan kemoterapi adjuvan
masih kontroversial, namun penggunaan
radioterapi dan kemoterapi pada sarkoma
mengindikasikan bahwa keduanya dapat
digunakan pada tumor phyllodes. Radioterapi
adjuvan dapat bermanfaat pada tipe maligna.
Kemoterapi golongan antrasiklin, ifosfamid,
sisplatin, dan etoposid jarang digunakan.
Belum
banyak
penelitian
mengenai
penggunaan terapi hormonal, seperti
tamoksifen. Sensitivitas hormonal pada tumor
phyllodes juga belum teridentifikasi dengan
baik. Secara garis besar, terapi sistemik tumor
phyllodes tidak berbeda dengan terapi pada
sarkoma.1,4,6,7
REKURENSI
Rekurensi lokal dapat terjadi pada 28-50%
kasus. Faktor yang paling berperan dalam
terjadinya rekurensi adalah batas bebas reseksi
tumor yang kurang dari 1-2 cm. Umur pasien,
tipe pembedahan, peningkatan aktivitas
mitosis dan aktivitas jaringan stroma yang
berlebihan juga dianggap sebagai faktorfaktor yang mempengaruhi risiko rekurensi
lokal. Dalam penelitian lain disebutkan bahwa
ukuran tumor, pertumbuhan jaringan stroma
yang berlebihan dan batas bebas tumor <1
cm sebagai faktor risiko terjadinya rekurensi
lokal.7
INSIDENS
Selama dua tahun (2011-2012), ditemukan 8
kasus tumor phyllodes di RSUP dr.M.Djamil
Padang. Pasien umumnya datang dengan
ukuran tumor cukup besar atau bertukak.
Pasien paling muda berumur 25 tahun dan
paling tua berumur 49 tahun. Sebagian
besar kasus (6 pasien - 75%) menunjukkan
varian jinak, 2 kasus lainnya menunjukkan
varian borderline. Dua kasus varian borderline
Umur
Alamat
1.
25 tahun
Alahan Panjang
Diagnosis
Mastektomi radikal
modifikasi (MRM)
Tindakan
2.
40 tahun
Padang
M.R.M
3.
43 tahun
Padang
M.R.M
4.
45 tahun
Lunang Silaut
Pesisir Selatan
M.R.M
5.
27 tahun
Teluk Anjalai
Alahan Panjang
M.R.M
6.
49 tahun
Danau Kembar
Alahan Panjang
Tidak ditindak
7.
32 tahun
Barangin Sawahlunto
M.R.M
8.
30 tahun
Batang Merangin
Kerinci
Kemoterapi
Gambar 3 Pasien tumor phyllodes kanan varian borderline dengan metastasis paru
DAFTAR PUSTAKA
1.
Agrawal PP, Mohanta PK, Singh K, Bahadur AK. Cystosarcoma phyllodes with lymph node metastasis. Community Oncology. 2006;3:44-6.
2.
Akin M, Irkorucu O, Koksal H, Gonul II, Gultekin S, Kurukahvecioglu O, et al. Phyllodes tumor of the breast: A case series. Bratisl Lek Listy. 2010;111:271-4.
3.
Flynn LW, Borgen PI. Phyllodes tumor: About this rare cancer. Community Oncology. 2006;3:46-8.
4.
Calhoun KE, et al. Phyllodes tumors. In: Harris JR, Lippman ME, Morrow M, Osborne CK, editors. Diseases of the breast. 4th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2009. p. 781-92.
5.
Juanita, Sungowati NK. Malignant phyllodes tumour of the breast. Indon J Med Sci. 2008;1:101-4.
6.
Bal A, Gunggor B, Polat AK, Simsek T. Recurrent phyllodes tumor of the breast with malignant transformation during pregnancy. J Breast Health. 2012;8:45-7.
42
LAPORAN KASUS
ABSTRAK
Dilaporkan kasus gangren diabetes disertai dengan insufisensi adrenal sekunder. Fokus laporan kasus ini adalah pemilihan antibiotik selama
perawatan. Evaluasi penggunaan antibiotik secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan alur Gyssen. Terdapat tiga evaluasi antibiotik yang
digunakan yaitu ampicillin-sulbactam dengan skor Gyssen 1, cefotaxim dan klindamisin dengan skor Gyssen IVA, dan levofloxacin dengan skor
Gyssen 1.
Kata kunci: Gyssen, antibiotik, gangren diabetik
ABSTRACT
A case of diabetic gangrene concurrent with secondary adrenal insufficiency was reported. This case report will focus on antibiotic management.
The use of antibiotic will be evaluated qualitatively by Gyssen scheme. Three evaluations of antibiotic use was done, ampicillin-sulbactam
with Gyssen score 1, cefotaxim and clyndamicin with Gyssen score IVA, and levofloxacin with Gyssen score 1. Hadiki Habib. Audit Kualitatif
Pemberian Antibiotik untuk Pasien Gangren Diabetik Disertai Insufisiensi Adrenal Sekunder: Laporan Kasus.
Key words: Gyssen, antibiotics, diabetic gangrene
PENDAHULUAN
Resistensi antibiotik telah menjadi krisis global
terutama di negara-negara berkembang.
Penelitian Hadi di Indonesia tahun 2008
melaporkan tingkat pemakaian antibiotik
yang tinggi untuk pasien-pasien rawat
inap (84 %) dan hanya 21% dari peresepan
tersebut yang dinilai tepat, 42% pemberian
antibiotik sebenarnya tidak diperlukan dan
15 % tidak tepat dalam hal pemilihan jenis
antibiotik, dosis, dan lama pemberian.1
Penyebab lain meningkatnya resistensi adalah
penggunaan antibiotik tanpa peresepan. Di
Surabaya banyak antibiotik dijual bebas di
warung-warung nonapotik, yaitu amoxicillin,
chloramphenicol, ciprofloxacin, cotrimoxazole,
dan tetracycline.2
Dampak resistensi ini adalah makin sulit
mengatasi infeksi dengan antibiotik standar
dan membutuhkan antibiotik khusus yang
mahal.
Untuk
mengurangi
Alamat korespondensi
perilaku
pemberian
email: salinahhabib@gmail.com
43
LAPORAN KASUS
agar badan tetap segar dan bekerja semangat,
sejak 6 bulan terakhir mulai tidak rutin karena
dilarang istri, namun pasien masih makan
obat tersebut sekali-sekali bila badan merasa
tidak enak. Tiga hari sebelum dirawat pasien
masih mengkonsumsi dexamethasone.
Pemeriksaan fisik saat masuk: tampak sakit
sedang, kompos mentis, nadi 90x/menit,
tekanan darah 100/70 mmHg, respirasi 20x/
menit, suhu 38 C.Pemeriksaan fisik thorak
dan jantung dalam batas normal. tampak
striae kemerahan di abdomen. Tampak jari
ke III dan IV kaki kanan eritem dan nekrotik
sampai ke 1/3 dorsum pedis, dasar luka
subkutan, terdapat jaringan nekrotik dan
tanda-tanda sistemik respons inflamasi.
Ankle Brachial Index kaki kanan 0.92 dan kaki
kiri 1. Pemeriksaan tungkai kiri menunjukkan
ulkus dasar otot di dekat lutut ukuran 3x3 cm
dan dalamnya 2 cm, tidak dijumpai pus dan
jaringan nekrotik.
Pada pemeriksaan chest x ray tidak dijumpai
infiltrat paru dan tidak ada kardiomegali, EKG
dalam batas normal, dan hasil x ray pedis
dekstra tidak tampak osteomielitis tulangtulang pedis dekstra. Dijumpai leukositosis
(14600/mm3). Gula darah saat masuk 250 g/
dl, HbA1c 9.6 %.
Diagnosis adalah gangren diabetes pedis
dekstra. Pasien mendapat terapi cairan, insulin
kerja cepat intravena dan antibiotik ampicillinsulbactam 3x1.5 g. Debridement serta amputasi
digiti III dan IV pedis dekstra dilakukan pada
hari pertama. Hasil kultur pus menunjukkan
kuman Staphylococcus aureus yang sensitif
terhadap ampisilin-sulbactam, lincomicin,
cephalotin, cefotaxim, amoksilin-clavulanat,
ceftriaxone,
cefoperazone,
piperacillintazobactam, cefoperazone-sulbactam,
Hari perawatan ke 10 luka post amputasi dan
ulkus di tungkai kiri di skin graft dan antibiotik
dilanjutkan dengan ampicillin-sulbactam
4x1.5 g. Pasien tidak demam dan leukositosis
berkurang (10780/mm3). Pasca skin graft luka
di kaki kanan mengering, tidak dijumpai pus,
hasil skin graft menempel 95 % di kaki, tidak
ada bengkak dan nyeri di kaki kanan, gula
darah terkontrol dengan insulin basal dan
premeal.
Hari perawatan ke 16 pasien kembali demam
naik turun, dijumpai kemerahan di kulit
44
LAPORAN KASUS
1. Data apakah sudah lengkap, yaitu data
klinis dan laboratoris yang cukup untuk
menegakkan diagnosis infeksi dan diikuti
dengan hasil kultur mikroorganisme
Tidak: audit dihentikan pada kategori VI
Ya: diteruskan ke tahap selanjutnya
2. Indikasi antibiotik apakah sesuai, mengapa
jenis antibiotik itu yang diberikan
Tidak: audit dihentikan pada kategori V
Ya: diteruskan ke tahap selanjutnya
3. Ada alternatif antibiotik lain yang lebih
efektif
Ya: audit dihentikan pada kategori IVa
Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya
4. Ada alternatif antibiotik lain yang kurang
toksik
Ya: audit dihentikan pada kategori IVb
Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya
5. Ada alternatif antibiotik lain yang lebih
murah
Ya: audit dihentikan pada kategori IVc
Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya
6. Ada alternatif antibiotik lain yang lebih
sempit spektrumnya
Ya: audit dihentikan pada kategori IVd
Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya
7. Durasi pemberian antibiotik terlalu
panjang
Ya: audit dihentikan pada kategori IIIa
Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya
8. Durasi pemberian antibiotik terlalu
singkat
Ya: audit dihentikan pada kategori IIIb
Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya
9. Dosis antibiotik yang diberikan apakah
sudah tepat
Tidak: audit dihentikan pada kategori IIa
Ya: diteruskan ke tahap selanjutnya
10. Apakah interval pemberian antibiotik
sudah tepat
Tidak: audit dihentikan pada kategori IIb
Ya: diteruskan ke tahap selanjutnya
11. Apakah rute pemberian antibiotik sudah
tepat
Tidak: audit dihentikan pada kategori IIc
Ya: diteruskan ke tahap selanjutnya
12. Apakah waktu pemberian sudah sesuai
Tidak: audit dihentikan pada kategori I
Ya: pemakaian antibitok sudah tepat
Tiap poin dalam alur Gyssen dinilai bertahap
(dari poin pertama sampai poin ke 12) apabila
berhasil menjawab satu poin dilanjutkan ke
poin berikutnya, makin banyak poin yang
berhasil dijawab makin baik pilihan antibiotik
tersebut.
Gyssen 1. Ampicillin-sulbactam
Langkah pertama evaluasi antibiotik
ampicillin-sulbactam adalah mengevaluasi
apakah data sudah cukup lengkap sehingga
antibiotik layak diberikan. Pasien datang
dengan sumber infeksi yang jelas yaitu luka
di kaki kanan yang membusuk, ditandai
dengan respons sistemik seperti demam
naik turun dan luka yang membengkak
dan kemerahan. Pasien punya penyakit
yang mendasarinya yaitu diabetes mellitus.
Pemeriksaan penunjang menunjukkan
leukositosis dan pemeriksaan rontgen pedis
tidak menunjukkan adanya osteomielitis.
Pemeriksaan kultur pus dari luka di kaki
menunjukkan kuman S. auerus yang sensitif
terhadap ampicillin-sulbactam, lincomicin,
cephalotin,
cefotaxim,
amoxicillinclavulanate, ceftriaxone, cefoperazone,
piperacillin-tazobactam,
cefoperazonesulbactam.
45
LAPORAN KASUS
Di Indonesia, penyebab tersering infeksi pada
kaki diabetes rawat jalan adalah Pseudomonas,
yang sensitif terhadap ceftriaxone dan
cefotaxim.13
Berdasarkan panduan pemberian terapi empirik
dan data dasar pola kuman pada kaki diabetes,
dipilih ampicillin sulbactam 4 x 1,5 g sebagai
antibiotik empirik. Obat ini diberikan saat
pasien di UGD, sebelum dilakukan debridement.
Pengambilan sampel pus dilakukan setelah
debridement untuk mengurangi risiko
sampel tercampur kontaminan. Hasil kultur
menunjukkan kuman S. aureus yang sensitif
terhadap ampicillin-sulbactam sehingga
obat ini diteruskan. Tidak ada pilihan obat
lain dengan spektrum lebih sempit dan tidak
dibutuhkan antibiotik untuk kuman anerob
karena telah ada komponen sulbactam.
Ada beberapa pilihan antibiotik lain yang
secara empiris dapat diberikan berdasarkan
guideline yaitu imipenem-cilastatin, namun dari
segi farmakoekonomi ampicillin-sulbactam
lebih cost-effective. Penelitian terhadap 90
penderita kaki diabetes menunjukkan tidak
ada perbedaan antara pengobatan ampicillinsulbactam dibandingkan imipenem cilastatin
dari segi keberhasilan klinis, efek samping,
lama pemberian, dan lama perawatan di
rumah sakit, sementara itu biaya pengobatan
ampicillin-sulbactam lebih murah bermakna
dibandingkan
imipenem-cilastatin.14,15
Ampicillin-sulbactam dan imipenem cilastatin
memiliki angka keberhasilan 80% mengatasi
infeksi akibat kaki diabetik, namun imipenem
cilastatin membutuhkan biaya yang lebih
besar sekitar 2.924 dolar (pada tahun 1994).16
Antibiotik khusus tidak berbeda efektivitasnya
dibandingkan ampicillin-sulbactam; kesembuhan klinis kelompok linezolid dan
ampicillin-sulbactam tidak berbeda bermakna,
efek samping linezolid lebih banyak.17
Dosis pemberian 4 x 1,5 g sesuai dengan cara
yang berlaku, tanpa perlu penyesuaian dosis
karena pasien tidak mengalami gangguan
hati dan ginjal. Pada awalnya diberikan
dengan dosis 3 x 1,5 g yang sebenarnya tidak
tepat; setelah debridement, dosis diperbaiki
menjadi 4 x 1,5 g. Obat ini diberikan selama
14 hari sesuai batasan lama pemberian
antibiotik. Saat itu, antibiotik tidak diganti
oral karena selama pemberian antibiotik,
pasien mengalami dua kali tindakan operasi
46
LAPORAN KASUS
Antibiotik diberikan selama 10 hari sesuai
dengan perbaikan klinis pasien, dilakukan
secara intravena karena ingin mencapai
kadar optimum dalam darah dengan cepat.
Kadar optimum ingin cepat dicapai karena
pasien mengalami infeksi disertai insufisiensi
adrenal sekunder, apabila penanganan infeksi
tidak adekuat maka dapat memicu terjadinya
krisis adrenal. Alur Gyssen untuk pemberian
levofloxacin adalah 1.
KELEMAHAN
Pelaksanaan audit kualitatif membutuhkan
waktu, sumber daya manusia dan biaya. Namun
SIMPULAN
Audit kualitatif dilakukan untuk mengevaluasi
apakah antibiotik yang diberikan untuk suatu
masalah pasien tepat atau tidak. Alur Gyssen
adalah salah satu metode audit kualitatif
pemberian antibiotik. Penerapan alur Gyssen
diharapkan dapat meningkatkan pemberian
antibiotik yang tepat.
Dalam laporan kasus ini, skor Gyssen untuk
pemberian ampicillin-sulbactam adalah 1,
skor Gyssen untuk pemberian cefotaxim dan
klindamisin adalah 4A, dan skor Gyssen untuk
pemberian levofloxacin adalah 1.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Hadi U Duerink DO, Lestari ES, Nagelkerke NJ, Keuter M, Huis Int Veld D et al. Audit of antibiotik prescribing in two governmental teaching hospitals in Indonesia. Clinical Microbiology
and Infection, Vol14, No7, July 2008: 698707.
2.
Hadi U van den Broek P, Kolopaking EP, Zairina N, Gardjito W, Gyssens IC. Cross-Sectional Study of Availability and Pharmaceutical Quality of Antbiotics Requested With or Without Prescription (Over The Counter) in Surabaya, Indonesia. BMC Infectious Diease.2010. 10; 203.
3.
Frei CR, Attridge RT, Mortensen EM, Restrepo MI, Yu Y, Oramasionwu CU et al. Guideline-concordant antibiotic use and survival among patients with community-acquired pneumonia
admitted to the intensive care unit. Clin Ther. 2010 Feb;32(2):293-9.
4.
Richard J, Sotto A, Lavigne J. New insights in diabetic foot infection. World J Diabetes 2011 February 15; 2(2): 24-32.
5.
Hahner S, Loeffler M, Bleicken B, Drechsler C, Milovanovic D, Fassnacht M, et al. Epidemiology of Adrenal Crisis in Chronic Adrenal Insufficiency: The Need for New Prevention Strategies.
Europ J Endocrinol. 2010; 162; 597-602.
6.
Waspadji S. Management of diabetic foot: finding uncomplicated solution of complicated problems. In Nelwan RHH, Zulkarnain I, Widodo J, Pohan HT, Setiawan B, Suhendro, Nainggolan
L, Santoso WJ (eds). Abstract Book 12th Jakarta Antimicrobial Update 2011.pgs 12-4.
7.
Gyssens IC. Audits for Monitoring The Quality of Antimicrobial Prescriptions. In Gould IM, Van Der Meer JWM (eds). Antibiotik Policies: Theory And Practice.Kluwer Academic Publishers.
New York 2005. pgs 197-202.
8.
Cusini A, Rampini SK, Bansal V, Ledergerber B, Kuster SP, et al. (2010) Different Patterns of Inappropriate Antimicrobial Use in Surgical and Medical Units at a Tertiary Care Hospital in Switzerland: A Prevalence Survey. PLoS ONE 5(11): e14011. doi:10.1371/journal.pone.0014011.
9.
Amstrong DG. Lipsky BA. Diabetic Foot Infections: Stepwise Medical AnD Surgical Management. Int Wound J. 2004; 1; 2; 123-32.
10. Raja NS. Microbiology of diabetic foot infections in a teaching hospital in Malaysia: a retrospective study of 194 cases. J Microbiol Immunol Infect. 2007 Feb;40(1):39-44.
11. Lily SY, Kwang LL, Susan CSY, Tan TY. Anaerobic Culture of Diabetic Foot Infection: Organism And Antimicrobial Susceptibilities. Ann Acad Med Singapore. 2008; 37: 936-9.
12. Citron DM, Goldstein EJC, Merriam CV, Lipsky BA, Abramson BA. Bacteriology of Moderate-to-Severe Diabetic Foot Infections And In Vitro Activity of Antimicrobial Agents. J Clin Microbiol
2007. Vol 45;No 9.pgs 2819-28.
13. Santoso M, Yuliana M, Mujono W, Kusdiantomo. Pattern of Diabetic Foot at Koja Regional General Hospital Jakarta from 1999-2004. Acta Med Indones. J Intern Med. 2005. Vol.37. No 4. pgs
187-9.
14. McKinnon PS, Paladino JA, Grayson ML, Gibbons GW, Karchmer AW. Cos-Effectiveness of Ampicillin-Sulbactam Versus Imipenem-Cilastatin in The Treatment of Limb-Threatening Foot
Infections In Diabetic Patients. Clin Infec Disease. 1997. 24; 57-63.
15. Swartz MN. Cellulitis. N Eng J Med. 2004; 350; 904-12.
16. Chow I, Lemos EV, Einarson TR. Management and prevention of diabetic foot ulcers and infections: a health economic review. Pharmacoeconomics. 2008;26(12):1019-35.
17. Lipsky BA, Itani K, Norden C. Treating Foot Infections in Diabetic Patients: A Randomized, Multicenter, Open-Label Trial of Linezolid Versus Ampicillin-Sulbactam/Amoxycillin-Clavulanate.
18. Loho T, Astrawinata DAW. Peta bakteri dan kepekaan terhadap antibiotic Rumah Sakit Umum Pusat Ciptomangunkusumo. Jakarta Januari-Juni 2010. RSUPNCM. Jakarta.2010 hlm 10722.
19. Clay PG Graham MR, Lindsey CC, Lamp KC, Freeman C, Glaros A. Clincal Efficacy, Tolerability, And Cost Savings Associated with the use of Open Label Metronidazole Plus Ceftriaxone Once
Daily Compared With Ticarcillin-Clavulanate Every Six Hours As Empiric Treatment For Diabetic Lower Extremities Infections in Older Males. Am J Geriatr Pharmacother.2004. 2; 3; 181-9.
20. Edmiston CE Krepel CJ, Seabrook GR, Somberg LR, Nakeeb A, Cambria RA, Tet al. In Vitro Activities of Moxifloxacin against 900 Aerobic and Anaerobic Surgical Isolates from Patients with
Intra-Abdominal and Diabetic Foot Infections. Antimicrob Agent Chemoter.2004; 48; 3; 1012-6.
21. Oberdofer K, Swoboda S, Hamann A, Baertsch U, Kusterer K, Born B et al. Tissue and serum levofloxacin concentrations in diabetic foot infection patients. J Antimicrob Chemother. (2004)
54, 8369.
22. Anderson VR, Perry CM. Levofloxacin: a review of its use as a high-dose, short-course treatment for bacterial infection. Drugs. 2008;68(4):535-65.
47
BERITA TERKINI
REFERENSI:
1.
Hanahan D, Weinberg RA. Hallmarks of cancer: the next generation. Cell. 2011 Mar 4;144(5):64674.
2.
UK CR. What cancer is [Internet]. 2013 [cited 2013 Nov 28]. Available from: http://www.cancerresearchuk.org/cancer-help/about-cancer/what-is-cancer/cells/what-cancer-is
3.
Ruiz-Medina J, Baulies A, Bura SA, Valverde O. Paclitaxel-induced neuropathic pain is age dependent and devolves on glial response. Eur J Pain Lond Engl. 2013 Jan;17(1):7585.
4.
Saif MW, Syrigos K, Kaley K, Isufi I. Role of pregabalin in treatment of oxaliplatin-induced sensory neuropathy. Anticancer Res. 2010 Jul;30(7):292733.
5.
Nihei S, Sato J, Kashiwaba M, Itabashi T, Kudo K, Takahashi K. [Efficacy and safety of pregabalin for oxaliplatin- and paclitaxel-induced peripheral neuropathy]. Gan To Kagaku Ryoho. 2013
Sep;40(9):118993.
48
BERITA TERKINI
REFERENSI:
Boggs W. New guidelines for diagnosis and management of GERD. Medscape [Internet] 2013 [Cited 2013 March 15]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/780737.
50
BERITA TERKINI
REFERENSI:
1.
Lin CC, Chiu HJ, Chen JY, Liou YJ, Wang YC, Chen TT, et al. Switching from clozapine to zotepine in patients with schizophrenia: a 12-week prospective, randomized, rater blind, and parallel
study. J Clin Psychopharmacol. 2013;33(2):211-4.
2.
52
DeSilva P, Fenton M, Rathbone J. Zotepine for schizophrenia [Internet]. 2012 [cited 2013 Jul 5]. Available from: http://summaries.cochrane.org/CD001948/zotepine-for-schizophrenia.
BERITA TERKINI
54
BERITA TERKINI
pada kelompok Xe jika dibandingkan dengan
kelompok propofol (p=0,01).
5. Peningkatan fungsi LV (left ventricular)
lebih baik secara bermakna pada kelompok Xe
jika dibandingkan dengan kelompok propofol
(p<0,05).
6. Efek samping yang berhubungan
dengan HR dan MAP sebanding antara kedua
kelompok, akan tetapi kejadian PONV secara
bermakna lebih tinggi pada kelompok Xe jika
dibandingkan dengan kelompok propofol
(p<0,01).
7. Tidak terdapat tanda iskemik miokardial
akut perioperatif pada kedua kelompok, yang
dinilai berdasarkan Tei index (TOE), ECG, dan
pelepasan troponin T.
Simpulannya, anestesi pemeliharaan dengan
gas inhalasi Xe memberikan efek MAP yang
lebih tinggi tanpa gangguan fungsi jantung
jika dibandingkan dengan propofol pada
pasien CAD yang menjalani pembedahan
non-cardiac. Hasil ECG juga menunjukkan
fungsi LV yang lebih baik pada penggunaan
gas Xe.
Penggunaan anestesi inhalasi yang umum
digunakan pada pembedahan jantung karena
memiliki perubahan efek hemodinamik
minimal adalah anestesi inhalasi sevoflurane.
Sebuah studi pilot terbaru membandingkan
efek penggunaan gas anestesi sevoflurane
atau Xe pada pasien yang menjalani CABG
(coronary artery bypass grafting). Sejumlah 30
pasien yang menjalani CABG elektif dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok Xe (4550 vol%) atau kelompok SEVO (1-1,4 vol%).
Hasil studi pilot terbaru ini menyimpulkan
kejadian efek samping kedua kelompok
sebanding (p>0,05). Sehingga simpulan studi
ini adalah balanced xenon anaesthesia aman
dan dapat digunakan dengan efektif jika
dibandingkan dengan kelompok sevoflurane
pada pasien yang akan menjalani CABG.
(MAJ)
REFERENSI:
1.
Weber NC, Frssdorf J, Ratajczak C, Grueber Y, Schlack W, Hollmann MW, et al. Xenon induces late cardiac preconditioning in vivo: a role for cyclooxygenase 2? Anesth Analg.
2008;107(6):1807-13.
2.
Derwall M, Coburn M, Rex S, Hein M, Rossaint R, Fries M. Xenon: recent developments and future perspectives. Minerva Anestesiol. 2009;75(1-2):37-45.
3.
Baumert JH, Hein M, Hecker KE, Satlow S, Neef P, Rossaint R. Xenon or propofol anaesthesia for patients at cardiovascular risk in non-cardiac surgery. Br J Anaesth. 2008;100(5):605-11.
4.
Weber NC, Toma O, Wolter JI, Obal D, Mllenheim J, Preckel B, et al. The noble gas xenon induces pharmacological preconditioning in the rat heart in vivo via induction of PKC-epsilon
and p38 MAPK. Br J Pharmacol. 2005;144(1):123-32.
5.
Stoppe C, Fahlenkamp AV, Rex S, Veeck NC, Gozdowsky SC, Schlte G, et al. Feasibility and safety of xenon compared with sevoflurane anaesthesia in coronary surgical patients: a
randomized controlled pilot study. Br J Anaesth 2013.
55
BERITA TERKINI
yruvate, anion dari pyruvic acid, merupakan produk akhir glikolisis, di mana
glukosa dikonversi menjadi pyruvate
dengan menghasilkan ATP. Dalam mitokondria organisme aerob, pyruvate dikonversi
menjadi acetyl coenzyme A, yang kemudian
dioksidasi secara lengkap menghasilkan CO2.
Jika oksigen tidak tersedia dalam jumlah cukup, pyruvate dimetabolisme menjadi lactate.
Dalam organisme anaerob seperti ragi, pyruvate dikonversi menjadi ethanol. Dalam glukoneogenesis, pyruvate dikonversi menjadi glukosa. Nasib metabolik lain dari pyruvate adalah
dikonversi menjadi alanine dengan transaminasi dan oxaloacetate dengan karboksilasi.
Pyruvate merupakan suatu substrat energi
yang mempunyai efek inotropik dan
antioksidan. Dalam suatu modek syok
hemoragik, larutan sodium pyruvate 1,7%
diinfuskan setelah 60 menit periode syok
menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih
baik dibanding NaCl 0,9%, 90% hewan yang
mendapat sodium pyruvate hidup 50 menit
setelah resusitasi, sedangkan yang mendapat
REFERENSI:
1.
Sharma P, Mongan PD. Hypertonic sodium pyruvate solution is more effective than Ringers ethyl pyruvate in the treatment of hemorrhagic shock. Shock. 2010;33(5):532-40. doi: 10.1097/
SHK.0b013e3181cc02b3.
2.
Sodium pyruvate solution [Internet]. [cited 2013 March 28]. Available from : www.sigmaaldrich.com/etc/medialib/docs/.../1/.../s8636pis.pdf
3.
Slovin PN, Huang CJ, Cade JR, Wood CE, Orbach P, Skimming JW et al. Sodium pyruvate is better than sodium chloride as a resuscitation solution in a rodent model of profound
hemorrhagic shock. [Internet]. 2001 [cited 2013 March 28]. Available from : https://www.healthtap.com/#publications/83867-sodium-pyruvate-is-better-than-sodium-chloride-as-aresuscitation-solution-in-a-rodent-model-of-profound-hemorrhagic-shock
57
BERITA TERKINI
Fluoropyrimidine oral, S-1 menunjukkan outcome yang baik, pada pemberian tunggal
atau kombinasi pada studi fase II pada pasien
kanker pankreas metastatik. Kemudian dilakukan studi fase III (GEST: Gemcitabine and S-1
Trial) yang membandingkan S-1 saja (80, 100,
atau 120 mg/hari tergantung BSA hari 1-28,
setiap 42 hari), gemcitabine saja (1.000 mg/m2
hari 1, 8, 15, setiap 28 hari) dan gemcitabine
(1.000 mg/m2 hari 1 & 8) plus S-1 (60, 80, atau
100 mg/hari tergantung BSA hari 1-14) setiap
21 hari, pada pasien dengan kanker pankreas
Median OS (bulan)
8,8
9,7
10,1
4,1
3,8
5,7
REFERENSI:
1.
Ueno H, Ioka T, Ikeda M, Ohkawa S, Yanagimoto H, Boku N, et al. Randomized phase III study of gemcitabine plus S-1, S-1 alone, or gemcitabine alone in patients with locally advanced
2.
S-1 noninferior to gemcitabine in advanced pancreatic cancer. Practice Update [Internet]. 2013 Apr 11 [cited 2013 Apr 27]. Available from: http://www.practiceupdate.com/Explore/
and metastatic pancreatic cancer in Japan and Taiwan: GEST study. J Clin Oncol. 2013 doi: 10.1200/JCO.2012.43.3680.
JournalScan/?id=3540.
59
BERITA TERKINI
REFERENSI:
1.
Jouve P, Bazin JE, Petit A, Minville V, Gerard A, Buc E, et al. Epidural versus continuous preperitoneal analgesia during fast-track open colorectal surgery: A randomized controlled trial.
Anesthesiology 2013;118(3):622-30.
2.
Grass JA. The role of epidural anesthesia and analgesia in postoperative outcome. Anesthesiol Clin North America 2000;18(2):407-28.
3.
Wu CL, Cohen SR, Richman JM, Rowlingson AJ, Courpas GE, Cheung K, et al. Efficacy of postoperative patient-controlled and continuous infusion epidural analgesia versus intravenous
patient-controlled analgesia with opioids: A meta-analysis. Anesthesiology 2005;103(5):1179-88.
61
BERITA TERKINI
63
BERITA TERKINI
penurunan kadar PRU <235), dengan
perbandingan kelompok clopidogrel plus
atorvastatin vs kelompok clopidogrel saja 74%
vs. 63% (p=0,1), yang kemudian bermakna
secara statistik pada hari ke-30 (84% vs. 58%,
p<0,02).
Kedua kelompok penelitian tidak berbeda
dalam hal kejadian periprosedural infark
miokard atau rerata nilai CK-MB. Tidak ada
komplikasi lain yang dilaporkan.
Gambar 1 Status respons pasien terhadap terapi pada hari ke-10 (T-1) dan ke-30 (T-2). Nilai PRU (P2Y12 reaction units) >=235
(HTPR, high on-treatment platelet reactivity) ditandai dengan merah dan PRU<235 ditandai dengan warna biru. Garis yang
menyambung memperlihatkan pasien dengan reaktivitas yang stabil antara T-1 dan T-2. Panah memperlihatkan pasien yang
reaktivitasnya berubah antara T-1 dan T-2. Pada baseline semua pasien memiliki PRU >=235
REFERENSI:
1.
Davidson MH. Clinical significance of statin pleiotropic effects: hypothesesversus evidence. Circulation 2005;111:2280 1.
2.
Barker CM, Murray SS, Teirstein PS, Kandzari DE, Topol EJ, Price MJ. Pilot study of the antiplatelet effect of increased clopidogrel maintenance dosing and its relationship to CYP2C19
3.
Leoncini M, Toso M, Maioli M, Angiolillo DJ, Giusti B, PHD, Marcucci R, et al. High-Dose Atorvastatin on the Pharmacodynamic Effects of Double-Dose Clopidogrel in Patients Undergoing
genotype in patients with high on-treatment reactivity. J Am Coll Cardiol Intv. 2010;3:10017.
Percutaneous Coronary Interventions. Am Coll Cardiol Intv. 2013;6:169 79.
4.
Piorkowski M, Weikert U, Schwimmbeck PL, Martus P, Schultheiss HP, Rauch U. ADP induced platelet degranulation in healthy individuals is reduced by clopidogrel after pretreatment with
atorvastatin. Thromb Haemost 2004;92:614 20.
64
BERITA TERKINI
MIC* (mg/L)
90
Range
50
S**
Percentage
I***
R***
2711
485
2226
2711
2
0.25
0.06
0.25
8
0.5
0.12
0.5
0.5 to 128
0.06 to 32
0.06 to 32
0.008 to 32
97.2
98.6
98.6
99.7
1.2
0.6
0.4
0.2
1.7
0.8
1
<0.1c
870
143
727
870
4
0.25
0.06
0.25
32
0.5
0.12
0.5
0.5 to 128
0.06 to 8
0.06 to 32
0.008 to 4
89.7
97.9
96.4
99.8
5.1
0.7
1.2
0.2
5.3
1.4
2.3
0
1917
275
1642
1917
2
0.5
0.06
0.5
8
0.5
0.25
1
0.5 to 128
0.06 to 32
0.06 to 32
0.008 to 32
93.4
98.9
94.6
96.9
1.8
0
1
2.3
4.8
1.1
4.4
0.8
1045
199
846
1045
8
0.5
0.06
0.5
128
1
2
2
0.5 to 128
0.06 to 16
0.06 to 32
0.03 to 16
71.2
96
89
93.7
8.3
2.5
2.4
4.9
20.5
1.5
8.6
1.4
2804
493
2311
2804
2
0.5
0.06
0.5
32
1
0.5
2
0.5 to 128
0.06 to 32
0.06 to 32
0.008 to 32
89.2
95.9
94.3
96
4.4
2.6
1.9
3.5
6.5
1.4
3.8
0.5
217
691
908
0.5
0.06
0.12
1
0.12
0.25
0.06 to 4
0.06 to 0.5
0.008 to 0.5
100
100
98.8
1806
307
1499
1806
1806
64
2
32
0.5
0.5
128
32
32
8
2
0.5 to 128
0.06 to 32
0.06 to 32
0.5 to 32
0.008 to 32
30.4
62.5
33.9
89.4
12
3.9
5.5
4.6
57.6
33.6
60.6
6
2734
461
2273
2734
4
1
2
8
128
16
32
32
0.5 to 128
0.12 to 32
0.06 to 32
0.008 to 32
71.8
66.8
64.2
8.1
15
9.6
20
18.2
26.2
Catatan: MIC*: Minimum inhibitory concentration; **S: Sensitive; ***I: Intermediate; R***: Resistant
Sensitivitas
paling
tinggi
terhadap
Acinetobacter baumannii terlihat pada
minocycline (89,4%) dan imipenem (62,5%),
sementara 95,8% isolat A.baumannii memiliki
MIC 2 g/mL untuk tigecycline.
Simpulannya, di dalam studi ini, carbapenem
dan tigecycline masih tetap aktif terhadap Enterobacteriaceae dan A. baumannii; akan tetapi
terdapat laporan adanya isolat yang tidak sensitif/resisten terhadap carbapenem di semua
negara, termasuk di dalam studi ini. (AGN)
REFERENSI:
Fernndez-Canigia L, Dowzicky MJ. Susceptibility of important Gram-negative pathogens to tigecycline and other antibiotics in Latin America between 2004 and 2010. Ann Clin Microbiol
Antimicrob. 2012;11(29).
66
BERITA TERKINI
REFERENSI:
1.
Kahn SA, Beers RJ, Lentz CW. Resuscitation after severe burn injury using high-dose ascorbic acid: a retrospective review. J Burn Care Res. 2011;32(1):110-7. doi: 10.1097/
BCR.0b013e318204b336.
2.
Tanaka H, Matsuda T, Miyagantani Y, Yukioka T, Matsuda H, Shimazaki S. Reduction of resuscitation fluid volumes in severely burned patients using ascorbic acid administration: a
randomized, prospective study. Arch Surg. 2000;135(3):326-31.
68
PRAKTIS
ABSTRAK
Diagnosis dini penting untuk mengontrol infeksi candida invasif pada pasien ruang intensif dan memperbaiki prognosis. Candida score dapat
membantu dokter mengidentifikasi pasien yang akan mendapat manfaat dari pemberian antifungal dini dan pasien yang hampir tidak mungkin
terinfeksi candida invasif.
Kata kunci:
ABSTRACT
Early diagnosis is important to control invasive candida infection in the intensive care patients and to improve prognosis. Candida score can
help to identify who will benefit from early antifungal therapy and who is unlikely to get invasive candida infection. Edwin Nugroho Njoto.
Candida Score for Invasive Fungal Infection Detection in Intensive Care.
Key words:
PENDAHULUAN
Walaupun telah banyak kemajuan diagnostik
dan intervensi terapeutik, infeksi hampir
menjadi bagian tak terpisahkan dengan
perawatan intensif Infeksi pada pasien
kritis merupakan tantangan karena dapat
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.
Sekarang, infeksi fungal invasif menjadi
problem mayor dalam ruang intensif di negara
berkembang dan negara maju1. Infeksi fungal
invasif sebelumnya dianggap jarang terjadi
pada ruang intensif, namun seiring dengan
peningkatan penggunaan antibiotik spektrum
luas dan peningkatan pengetahuan tentang
infeksi fungal, angka insiden meningkat.
Infeksi candida invasif merupakan infeksi
fungal invasif tersering, meliputi 70-90%
infeksi fungal invasif. Candida menduduki
peringkat ke-4 penyebab infeksi nosokomial
dalam darah di Amerika Serikat, insiden
infeksi candida invasif bervariasi antara 0,5-1,4
per 10.000 pasien di rumah sakit dan antara 2
dan 6,9 per 1000 pasien ruang intensif.2 Pada
penelitian AURORA 2012, didapatkan infeksi
candida invasif merupakan penyebab infeksi
fungal invasif tersering (87,6%).3 Penelitian di
Italia, mendapatkan insiden infeksi candida
invasif 10,08 per 1000 pasien yang dirawat di
ruang intensif.4
Alamat korespondensi
70
email: edwin_n_njoto@yahoo.com
PRAKTIS
candida invasif. Skor ini sangat berguna untuk
menstratifikasi faktor risiko infeksi candida
yang telah terbukti, mengidentifikasi pasien
yang akan mendapat manfaat dari terapi
antifungal dini dan pasien yang tidak mungkin
terinfeksi candida invasif.13
Berikut akan dibahas tentang candida score.
CANDIDA SCORE
Pada tahun 2006 Leon dkk. melaporkan
penelitian kohort observasional multicenter
pada 1669 pasien dewasa ruang intensif yang
dirawat di 73 ruang intensif medikal-bedah
di Spanyol antara Mei 1998 sampai dengan
Januari 1999. Mereka mengidentifikasi 4 faktor
independen yang berhubungan dengan
risiko lebih tinggi terjadinya infeksi candida
yang telah terbukti, yaitu: pasca pembedahan
(odd ratio [OR] 2.71, 95% indeks kepercayaan
[CI] 1.45-5.06), kolonisasi candida spesies
multifokal (OR 3,04, 95%CI 1,45-6,39), nutrisi
parenteral total (OR 2.48, 95%CI 1.16-5.31),
dan sepsis berat (OR 7.68, 95%CI 4.14-14.22).
Suatu skor dibuat berdasarkan 4 faktor
independen tersebut yaitu: 12
CANDIDA SCORE = 0,908 x (nutrisi
parenteral total) + 0,997 x (pasca
pembedahan) + 1,112 x (kolonisasi
candida spesies multifokal) + 2,038 x
(sepsis berat).
Sensitivitas
False positive
1,055
0,983
0,653
1,509
0,949
0,495
1,963
0,898
0,426
2,069
0,831
0,312
2,074
0,814
0,301
2,528
0,814
0,259
2,982
0,780
0,231
3,026
0,610
0,132
3,093
0,593
0,130
3,547
0,525
0,092
4,001
0,492
0,077
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Bajwa SJ, Kulshrestha A. Review article. Fungal infection in Intensive Care Unit: challenges in diagnosis and management. India Ann Med Health Sci Res. 2013; 3 issue 2. http://www.amhsr.org.
Leroy G, et al. Evaluation of candida score in critically ill patients: a prospective, multicenter, observational, cohort study. France. Ann. Intensive Care 2011;1:50. http://www.
annalsofintensivecare.com/content/1/1/50.
3.
Montagna MT, et al. Epidemiology of invasive fungal infection in the intensive care unit: results of a multicenter Italian survey (AURORA Project). Italy Infection 2013; 41:645-53.
4.
Tortorano AM, Dho G, Prigitano A, et al. Invasive fungal infections in the intensive care unit: a multicentre, prospective, observational study in Italy (2006-2008). Mycoses, 2012;55:73-9.
5.
Leroy O, et al: Epidemiology, management, and risk factors for death of invasive candida infection in critical care: a multicenter, prospective, observational study in France (2005-2006).
Crit Care Med 2009;37:1612-8.
6.
Bougnoux ME, Kac G, Aegerter P, dEnfert C, Fagon JY. Candidemia and candidiuria in critically ill patients admitted to intensive care units in France: incidence, molecular diversity,
7.
Kett DH, Azoulay E, Echeverria PM, Vincent JL: Candida bloodstream infections in intensive care units: analysis of the extended prevalence of infection in intensive care unit study. Crit Care
8.
Horn DL, Neofytos D, Anaisse EJ, Fishman JA, Steinbach WJ, Olyaei AJ, et al: Epidemiology and outcome of candidemia in 2019 patients: data from the prospective antifungal therapy
Tortorano AM, Kibbler C, Peman J, Bernhardt H, Klingspor L, Grillot R: Candidaemia in Europe: epidemiology and resistance. Int J Antimicrob Agents 2006; 27:359-366.
10. Marra AR, Camargo LF, Pignatari AC, Sukiennik T, Behar PR, Medeiros EA, et al. Nosocomial bloodstream infections in Brazilian hospitals: analysis of 2563 cases from a prospective
nationwide surveillance study. J Clin Microbiol 2011; 49:1866-71.
11. Estrella M.C, et al. Update on the epidemiology and diagnosis of invasive fungal infection. Elsevier. Spain. Internat.J.Antimicrobial Agents 2008;32 suppl 2:S143-7.
12. Leon C, Ruiz-santana S., Saavedra P, Almirante B, nolla-salas J, Varez-Lerma F,et al. A bedside scoring system (candida score) for early antifungal treatment in nonneutropenic critically ill
patients with candida colonozation Crit Care Med. 2006; 34(3):730-7.
13. Leon C, et al. Usefulness of the candida score for discriminating between candida colonization and invasive candidiasis in non-neutropenic critically ill patients: a prospective multicenter
study. Crit Care Med. 2009; 37(5):1624-1633. Spain.
71
OPINI
ABSTRAK
Lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus/SLE) merupakan suatu kompleks penyakit melibatkan kelainan imun yang multipel
meliputi fungsi abnormal sel B dan sel T, pembersihan abnormal kompleks imun berakibat penumpukan dalam jaringan, aktivasi komplemen
dan apoptosis sel cacat menyebabkan penumpukan autoantigen yang potensial. Akibatnya terjadi induksi radang, gagal organ seperti pada
ginjal, jantung, kulit dan sistem saraf. Terapi SLE berat antara lain imunosupresi dengan target sel B, sel T, menghambat sitokin, dan menghambat
komplemen berfungsi menekan sistem imun (imunosupresif ), efektif mengurangi gejala sisa SLE namun dapat meningkatkan risiko infeksi
serius.
Kata kunci: SLE, imunosupresif, sel B, sel T, sitokin, komplemen
ABSTRACT
Sytemic Lupus Erythematosus (SLE) is a complex of diseases involving multiple immune abnormality with abnormal cell T and cell B functions,
abnormal immune complex clearance resulting accumulation in the tissue, complement activation and apoptosis of defective cell which
caused potential autoantigen accumulation. The consequences are induction of inflammation, failure of organs such as kidney, heart, skin
and nervous system. Immunosuppressive therapy targeted to B cell, T cell, the cytokines and complement is effective to reduce sequelae
but increase the risk of serious infection. Ni Ketut Donna Prisilia, Pande Ketut Kurniari, Gede Kambayana. Target of Immunosupresive
Therapy in Systemic Lupus Erythematosus.
Keywords: SLE, immunosuppressive, B cells, T cells, cytokine, complement
PENDAHULUAN
SLE merupakan kompleks penyakit yang
mempengaruhi banyak sistem organ
(multipel). Penyakit tersebut dominan
menyerang etnis tertentu dan perempuan
dibandingkan laki-laki dengan rasio 10:1.
Etiopatogenesis SLE belum jelas diketahui.1
Patogenesis SLE sangat kompleks melibatkan
kelainan imun multipel termasuk fungsi
abnormal sel B yang terus menerus
membentuk antibodi dan membentuk sel
T yang autoreaktif.1 Di samping itu terjadi
pula pembersihan abnormal kompleks imun
berakibat penumpukan dalam jaringan,
aktivasi komplemen dan apoptosis sel
cacat yang menyebabkan penumpukan
autoantigen yang potensial. Hasil akhir proses
di atas adalah induksi radang dan gagal organ
termasuk ginjal, jantung, kulit dan sistem
saraf.1
Pengobatan
imunosupresif
merupakan
pengobatan utama bagi SLE berat dan telah
terbukti efektif mengurangi beberapa gejala
Alamat korespondensi
Anti-CD20 Antibody
Antibodi untuk mengurangi jumlah sel B
pada SLE yaitu antibodi monoklonal terhadap
CD20 (rituximab). Ekspresi CD20 terjadi pada
awal perkembangan limfosit B. Pemberian
rituximab akan mengurangi limfosit B positif
CD20 dengan cepat, setelah itu terjadi remisi
dengan sel B asli yang tidak terpapar antigen.3
Efek samping rituximab yang paling sering:
reaksi transfusi (3035%), neutropenia (8%),
dan produksi human antichimeric antibodies
(9%). Kasus fatal yang jarang terjadi termasuk
progressive multifocal leukoencephalopathy
yang disebabkan polyomavirus JC.3
Monoclonal anti-CD20 antibodies yang
baru termasuk ocrelizumab, merupakan
recombinant humanized monoclonal anti-CD20
antibody telah dicoba pada SLE ekstrarenal
dan nefritis lupus.3
Anti-CD22 Antibodies - Epratuzumab
Fungsi epratuzumab adalah untuk mengatur
fungsi sel B tanpa mengurangi jumlahnya.
Dalam penelitian obat tersebut digunakan
email: donnaprisilia@yahoo.com
73
OPINI
untuk SLE sedang sampai berat dengan hasil
baik dan aman serta mengurangi kebutuhan
dosis kortikosteroid.3
B-Lymphocyte Tolerogens - Abetimus
(LJP-394)
Obat ini merupakan tolerogen terhadap sel B
yang menyebabkan apoptosis sel B. Abetimus
telah diteliti pada manusia baik penderita
lupus non renal maupun lupus nefritis.
Tolerogen lain, yaitu TV-4710 (Edratide),
merupakan peptida yang disusun oleh 19
asam amino.
BLyS Blockers
B-cell survival molecule B-lymphocyte stimulator
(BLyS) yang juga disebut B-cell activation
factor of the TNF family (BAFF) berperan kunci
dalam aktivasi dan diferensiasi sel B sehingga
dapat digunakan sebagai target yang baik
untuk intervensi SLE. Penghambatan BLyS
akan mengurangi sel B dan bermakna
meningkatkan aktivasi imun.3
Contoh obat ini belimumab merupakan
human monoclonal antibody yang berikatan
dengan BLyS sehingga menghambat
aktivitas biologinya. FDA (Food And Drug
Administration) Amerika Serikat telah
menyetujui obat tersebut untuk pengobatan
SLE.3 Penghambat BlyS lain atacicept (TACI-Ig)
merupakan soluble transmembrane activator
dan calcium-modulator dan cyclophilin ligand
interactor (TACI) receptor, yang mengikat
BAFF. Obat ini ditoleransi baik oleh penderita
SLE.3
Imunosupresi dengan target sel T
Aktivasi sel T membutuhkan interaksi
rangsangan CD28:B7. CD28 terekspresi pada
sel T sedangkan ligand B7-1 dan B7-2 (CD80
dan CD86) ditemukan pada APC (Antigen
Precenting Cell). Abatacept dapat menghambat
interaksi tersebut.3
Suatu antibodi monoklonal efalizumab
dapat langsung menghambat CD11a yang
berperan penting untuk aktivasi, reaktivasi,
ekstravasasi dan mengalirkan sel T ke kulit.
Dengan demikian pemberian obat ini dapat
mengurangi manifestasi kulit penderita SLE.3
Anti-IL-10
IL-10 diproduksi oleh sel Th2 dan menghambat
sitokin untuk sel T. Kadar IL-10 pada SLE
meningkat dan dihubungkan dengan
aktifitas penyakit. Pemberian anti IL-10 akan
menurunkan titer anti-dsDNA antibody dan
menghambat terjadinya proteinuria dan
glomerulonefritis.3
Anti-IL-15
IL-15 terutama diproduksi oleh makrofag dan
ditemukan meningkat pada 40% penderita
SLE, namun peningkatan tersebut tidak
berhubungan dengan aktivitas penyakit.
Obat anti IL-15 sedang dicoba untuk penyakit
autoimun lain.3
Anti-IL-18
IL-18 merupakan sitokin proinflamasi yang
erat hubungannya dengan IL-1. Berbagai
penelitian menemukan peningkatan kadar
serum IL-18 pada penderita SLE yang
dihubungkan dengan kadar TNF. Sampai saat
ini penghambat IL-18 belum digunakan pada
SLE manusia.3
Imunosupresan menghambat komplemen
Sistem komplemen terdiri dari 3 jalur dan
lebih dari 30 protein terlibat secara langsung
atau tidak langsung memperantarai efek
komplemen. Sistem komplemen mempunyai
efek proteksi terhadap SLE sedangkan pada
keadaan defisiensi komponen jalur klasik
dihubungkan dengan peningkatan risiko
SLE. Deposisi kompleks imun menyebabkan
sistem komplemen aktif dan meningkatkan
respons radang.3
Ada dua penghambat komplemen yaitu TP10
dan eculizumab yang walaupun belum ada
penelitian klinik, mungkin dapat digunakan
sebagai pengobatan SLE.3
SIMPULAN
Pengetahuan mekanisme SLE dapat digunakan
untuk memilih obat lebih baik yang ditujukan
pada target. Target terhadap sel B dan sel T akan
memperbaiki hasil induksi remisi. Manifestasi
tertentu SLE seperti penyakit kulit yang
refrakter dan nefritis berhasil diatasi dengan
baik dengan antagonis TNF- dan anti IL-6.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Krishnan S, Chowdhury B, Juang Y-T, Tsokos GC. Overview of the Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus. Philadelphia: Mosby, Inc.; 2007. p. 55-63.
2.
Kyttaris VC, Tsokos GC. New Treatments in Systemic Lupus Erythematosus. Philadelphia: Mosby, Inc.; 2007. p.516-23.
3.
Postal M, Costallat LT, Appenzeller S. Biological therapy in systemic lupus erythematosus. Int J Rheumatol. 2012;2012:578-641.
74
AGENDA
:
:
:
:
:
:
76
:
:
:
:
:
INDEKS
INDEKS PENULIS
A
Abdul Razak
Azamris
B
Budi Riyanto Wreksoatmodjo
D
Darwin Amir
E
Edwin Nugroho Njoto
Ervinaria Uly Imaligy
G
Gede Kambayana
H
Hadiki Habib
Helmia Hasan
37
40
M
Michael Setiawan
33
N
Ni Ketut Donna Prisilia
73
P
Pande Ketut Kurniari
73
R
Rizki Maulidya Putri
14
S
Sukardi
37
W
Wayan Sulaksmana
37
Z
Zainul Mutaqqin
37
25
70
19
73
43
14
77
INDEKS
INDEKS SUBJEK
B
benign paroxysmal positional
vertigo,lihat BPPV
BPPV,
9, 10
C
candida score,
70
D
demensia,
dizziness,
25
7
G
gagal jantung,
manifestasi klinis,
pada geriatri,
kriteria Framingham,
gangren diabetik,
geriatri,
Gyssen,
alur,
skor,
H
Helicobacter pylori,
37
I
imunitas,
humoral,
diperantarai sel,
imunologi,
imunosenescence,
infeksi fungal invasif,
insufisiensi vertebrobasiler,
16
16
16
14
17
70
7
K
kemunduran,
fungsi kognitif,
intelektual,
kultur feses,
25
25
25
37
L
lymphocytic perivascular cuffing,
34
M
mastektomi,
41
78
N
neoplasma fibroepitelial,
nistagmus,
horizontal,
rotasional,
40
9
11
11
O
oncostatin M,
16
P
parabeoplastic sensory neuropathy,
paraneoplastic limbic encephalitis,
paraneoplastic neurological
syndromes,
PCR,
penyakit Alzheimer,
perdarahan subaraknoid,
pneumonia,
R
respons imun,
respons imun,
pada pneumonia,
terhadap infeksi bakteri,
terhadap infeksi jamur,
34
33
33
37
25
9
14
15
15
15
15
S
sindrom pontin superior lateral,
sindrom stroke,
sistem limbik,
stroke iskemik,
vertebrobasiler,
10
7
34
7
7
T
TIA,
timopoiesis,
toll-like receptors,
transient ischemic attack,
tumor phyllodes,
7
16
15
lihat TIA
40
V
vertebrobasiler,
insufisiensi,
stroke iskemik,
vertigo,
sentral,
perifer,
7
7
7
7, 9
9
9