Anda di halaman 1dari 62

Akreditasi IDI

Artikel CME
Continuing
Medical
Education

7
Diagnosis dan Tata Laksana
Vertigo pada Sindrom Stroke

ISSN: 0125-913X CDK-212/ vol. 41 no. 1 Januari 2014 http.//www.kalbemed.com/CDK.aspx

14

40

48

TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN KASUS

BERITA TERKINI

Tinjauan Imunologi Pnemonia pada

Tumor Phyllodes

Efikasi dan Keamanan Pregabalin untuk


Mengatasi Neuropati Perifer Akibat
Oxaliplatin dan Paclitaxel

Pasien Geriatri

DAFTAR ISI
5
ISSN: 0125-913X

EDITORIAL

ARTIKEL
7

Diagnosis dan Tata Laksana Vertigo pada Sindrom Stroke


Darwin Amir

14

Tinjauan Imunologi Pneumonia pada Pasien Geriatri


Rizki Maulidya Putri, Helmia Hasan

19

Gagal Jantung pada Geriatri


Ervinaria Uly Imaligy

25

Beberapa Kondisi Fisik dan Penyakit yang Merupakan Faktor Risiko


Gangguan Fungsi Kognitif
Budi Riyanto Wreksoatmodjo

33

Nomor Ijin
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

Paraneoplastic Limbic Encephalitis: Pendekatan Diagnosis dan


Penatalaksanaan
Michael Setiawan

37

Penerbit
Kalbe Farma

Deteksi Helicobacter pylori pada Anak Menggunakan Teknik PCR dan


Kultur Feses
Wayan Sulaksmana, Sukardi, Abdul Razak, Zainul Mutaqqin

40

Tumor Phyllodes
Azamris

Pencetak
PT. Dian Rakyat

43

Audit Kualitatif Pemberian Antibiotik untuk Pasien Gangren Diabetik


Disertai Insufisiensi Adrenal Sekunder: Laporan Kasus
Hadiki Habib

http://www.kalbemed.com/CDK.aspx

Alamat Redaksi
Gedung KALBE
Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4
Cempaka Putih, Jakarta 10510
Tlp: 021-420 8171
Fax: 021-4287 3685
E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id
http://twitter.com/CDKMagazine

BERITA TERKINI
48

68

Efikasi dan Keamanan Pregabalin untuk Mengatasi Neuropati Perifer


Akibat Oxaliplatin dan Paclitaxel
Guildeline ACG Baru untuk Diagnosis dan Penanganan GERD
Switching dari Clozapine ke Zotepine pada Pasien Skizofrenia
Efek Perlindungan Anestesi Inhalasi Xenon Terhadap Jantung
Keunggulan Larutan Sodium Pyruvate
S-1 untuk Kanker Pankreas Metastatik atau Stadium Lanjut
Anestesi Lokal Secara Epidural vs Kontinu pada Pembedahan Kolorektal
ACHIDO: Kombinasi Clopidogrel plus Atorvastatin Dosis Tinggi
Meningkatkan Efek Anti-Platelet Clopidogrel
Carbapenem dan Tigecycline Masih Aktif Untuk Enterobacteriaceae dan
A. Baumannii di Amerika Latin
Ascorbic Acid Intravena Dosis Tinggi Untuk Luka Bakar

50
52
54
57
59
61
63
66

Susunan Redaksi

70

Praktis

Ketua Pengarah
dr. Boenjamin Setiawan, PhD

73

Opini

76

Agenda

Pemimpin Umum
dr. Kupiya Timbul Wahyudi

77

Indeks

Ketua Penyunting
Dr. dr. Budi Riyanto W., SpS
Dewan Redaksi
dr. Karta Sadana, MSc, SpOk
dr. Artati
dr. Esther Kristiningrum
dr. Dedyanto Henky
dr. Yoska Yasahardja
dr. Albertus Agung Mahode
Tata Usaha
Dodi Sumarna

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

PANDUAN UNTUK PENULIS


CDK (Cermin Dunia Kedokteran) menerima naskah yang membahas berbagai aspek
kesehatan, kedokteran, dan farmasi, bisa berupa tinjauan pustaka, opini, ataupun hasil
penelitian di bidang-bidang tersebut, termasuk laporan kasus. Naskah yang dikirim ke
Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh CDK (belum pernah diterbitkan
di jurnal lain); bila pernah dibahas atau dibacakan dalam pertemuan ilmiah, hendaknya
diberi keterangan mengenai nama, tempat, dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.
PANDUAN UMUM
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Jika menggunakan bahasa Indonesia,
hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku (merujuk pada Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Pedoman Umum PembentukanKamus
Besar Bahasa Indonesia). Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa
Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Panjang naskah
berkisar antara 2000-3000 kata, ditulis dengan program MS Word, jenis huruf Times New
Roman ukuran 12.
ABSTRAK DAN KATA KUNCI
Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris,
disertai dengan 3-5 kata kunci yang disusun berdasarkan abjad. Abstrak ditulis dalam 1
(satu) paragraf dan, untuk artikel penelitian, bentuknya tidak terstruktur dengan format
introduction, methods, results, discussion (IMRAD). Panjang abstrak maksimal 200 kata. Jika
tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Indonesia maupun Inggris
untuk naskah tersebut.

BUKU

Penulis/Editor Tunggal
1. Hoppert M. Microscopic techniques in biotechnology. Weinheim: Wiley-VCH;
2003.
2. Storey KB, editors. Functional metabolism: regulation and adaptation. Hoboken
(NJ): J. Wiley & Sons; 2004.

Lebih dari Satu Penulis/Editor


1. Lawhead JB, Baker MC. Introduction to veterinary science. Clifton Park (NY):
Thomson Delmar Learning; 2005.
2. Gilstrap LC, Cunningham FG, Van Dorsten JP, editors. Operative obstetrics. 2nd ed.
New York: McGraw-Hill; 2002.

Edisi dengan Volume


Lee GR, Bithell TC, Foerster J, Athens JW, Lukens JN, editors. Wintrobes clinical
hematology. 9th ed. Vol 2. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993.

Bab dalam Buku


Ford HL, Sclafani RA, Degregori J. Cell cycle regulatory cascades. In: Stein GS, Pardee
AB, editors. Cell cycle and growth control: biomolecular regulation and cancer. 2nd ed.
Hoboken (NJ): Wiley-Liss; 2004. p. 42-67.
PROSIDING KONFERENSI
Harnden P, Joffe JK, Jones WG, editors. Germ cell tumours V: Proceedings of the 5th Germ Cell
Tumour conference; 2001 Sep 13-15; Leeds, UK. New York: Springer; 2002.

NAMA DAN INSTITUSI PENULIS


Nama (para) penulis dicantumkan lengkap (tidak disingkat), disertai keterangan lembaga/
fakultas/institut tempat bekerjanya dan alamat e-mail.

MAKALAH KONFERENSI
Christensen S, Oppacher F. An analysis of Kozas computational effort statistic for genetic
programming. In: Foster JA, Lutton E, Miller J, Ryan C, Tettamanzi AG, editors. Genetic
programming: EuroGP 2002: Proceedings of the 5th European Conference on Genetic
Programming; 2002 Apr 3-5; Kinsdale, Ireland. Berlin: Springer; 2002. p. 182-91.

TABEL/GRAFIK/GAMBAR/BAGAN
Tabel/grafik/gambar/bagan yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dan dikirimkan
terpisah dalam format JPG (resolusi minimal 150 dpi dengan ukuran sebenarnya). Keterangan
pada tabel/grafik/gambar/bagan sedapat-dapatnya dituliskan dalam bahasa Indonesia.

PENGIRIMAN NASKAH
Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk softcopy / CD atau melalui e-mail ke alamat:

DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka disusun menurut aturan Vancouver. Rujukan diberi nomor urut sesuai
pemunculannya di dalam naskah. Jika penulis enam orang atau kurang, cantumkan semua;
bila tujuh atau lebih, tuliskan enam yang pertama dan tambahkan et al.
Kepustakaan maksimal berjumlah 20 buah, terbitan 10 tahun terakhir. Diupayakan lebih
banyak kepustakaan primer (dari jurnal, proporsi minimal 40%) dibanding kepustakaan
sekunder.

Redaksi CDK
Jl. Letjen Suprapto Kav. 4
Cempaka Putih, Jakarta 10510
E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id
Tlp: (62-21) 4208171 Fax: (62-21) 42873685
Seluruh pernyataan dalam naskah merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi berhak
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Naskah yang tidak diterbitkan
dikembalikan ke pengarang jika ada permintaan.

Contoh format penulisan kepustakaan sesuai aturan Vancouver:


JURNAL

Standar
1. Halpern SD, Ubel PA.Solid-organ transplantation in HIV-infected patients. N Engl J
Med. 2002;347:284-7.
2. Skalsky K, Yahav D, Bishara J, Pitlik S, Leibovici L, Paul M. Treatment of human
brucellosis: systematic review and meta-analysis of randomised controlled trials.
BMJ. 2008; 36(7646):701-4.
3. Rose ME, Huerbin MB, Melick J, Marion DW, Palmer AM, Schiding JK, et al. Regulation
of interstitial excitatory amino acid concentrations after cortical contusion injury.
Brain Res. 2002;935(1-2):40-6.

Organisasi sebagai Penulis


1. American Diabetes Association. Diabetes update. Nursing. 2003;Suppl:19-20, 24.
2. Parkinson Study Group. A randomized placebo-controlled trial of rasagiline in
levodopatreated patients with Parkinson disease and motor fluctuations: the
PRESTO study. Arch Neurol. 2005;62(2):241-8.

Tanpa Nama Penulis


Pelvic floor exercise can reduce stress incontinence. Health News. 2005;11(4):11.

Volume dengan Suplemen


Geraud G, Spierings EL, Keywood C. Tolerability and safety of frovatriptan with shortand long-term use for treatment of migraine and in comparison with sumatriptan.
Headache. 2002;42 Suppl 2:S93-9.

Edisi dengan Suplemen


Glauser TA. Integrating clinical trial data into clinical practice. Neurology. 2002;58(12
Suppl 7):S6-12.

Jurnal Elektronik
Sillick TJ, Schutte NS. Emotional intelligence and self-esteem mediate between
perceived early parental love and adult happiness. E-Jnl Appl Psych [serial on the
Internet]. 2006 [cited 2010 Aug 6];2(2):38-48. Available from: http://ojs.lib.swin.edu.au/
index.php/ejap/article/view/71/100.

Mengingat saat ini CDK sudah dapat diakses lewat internet (online), tentu naskah yang telah
diterbitkan akan dapat lebih mudah diunduh dan dimanfaatkan oleh kalangan yang lebih
luas.
Korespondensi selanjutnya akan dilakukan melalui e-mail. Untuk keperluan administrasi,
mohon disertakan juga curriculum vitae, no. Rek. Bank, dan (bila ada) no./alamat NPWP.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan


tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga tempat kerja si penulis.

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

Editorial
Akreditasi IDI

Artikel CME
Continuing
Medical
Education

887
Principles of Drug Use in
the Elderly

r*44/9r$%,WPMOPr%FTFNCFSrIUUQXXXLBMCFNFEDPN$%,BTQY

Segenap Redaksi CDK mengucapkan

SELAMAT HARI RAYA NATAL


25 Desember 2013

&
894

919

938

SELAMATTAHUN BARU
1 Januari 2014

TINJAUAN PUSTAKA

BERITA TERKINI

TEKNIK

Pencitraan Diagnostik Fistula


Trakeoesofagus

Efek Pemberian PN Asam Amino


Mengandung Alanyl-Glutamine pada Bayi

Blok Saraf Perifer

Sejawat pasti pernah menangani kasus vertigo, baik di klinik maupun di rumah sakit, bahkan
mungkin di UGD (unit gawat darurat) karena keluhan ini merupakan salah satu yang paling sering,
mencakup 3 5% kunjungan ke rumah sakit dan seperempatnya melalui UGD. Meskipun keluhan
ini kelihatannya ringan, tetapi dapat merupakan gejala awal dari penyakit susunan saraf pusat yang
lebih serius. Karena itu, langkah diagnostik awal yang tepat sangat diperlukan. Bahasan mengenai
vertigo secara menyeluruh dapat Sejawat ikuti pada edisi ini dengan harapan dapat menyegarkan
kembali pengetahuan demi penanganan pasien yang lebih tepat dan cepat.
Beberapa masalah geriatri ikut melengkapi bahasan, antara lain masalah pneumonia pada geriatri,
masalah yang serius mengingat pneumonia merupakan salah satu pembunuh utama di kalangan
orang tua, disambung dengan bahasan mengenai gagal jantung. Di samping itu, yang tidak kurang
pentingnya adalah mengenali faktor-faktor risiko gangguan fungsi kognitif di kalangan lanjut usia.
Seperti biasa, dilengkapi dengan berita terkini, selamat membaca.
Redaksi

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

REDAKSI KEHORMATAN
Prof. dr. Abdul Muthalib, SpPD-KHOM

Prof. drg. Siti Wuryan A. Prayitno, SKM, MScD, PhD

Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Bagian Periodontologi, Fakultas Kedoteran Gigi Universitas Indonesia,

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto

Jakarta

Mangunkusumo, Jakarta

Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS


Prof. Dr. Dra. Arini Setiawati, SpFK

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,


Jakarta

Dr. dr. Abidin Widjanarko, SpPD-KHOM


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUP Kanker Dharmais,

Prof. dr. H. Azis Rani, SpPD, KGEH

Jakarta

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Dr. dr. med. Abraham Simatupang, M.Kes


Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen

Prof. Dr. dr. Charles Surjadi, MPH

Indonesia, Jakarta

Puslitkes Unika Atma Jaya

dr. Aucky Hinting, PhD, SpAnd


Prof. Dr. dr. Darwin Karyadi, SpGK

Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Dr.

Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat

Soetomo, Surabaya

Prof. dr. Djoko Widodo, SpPD-KPTI

dr. Hendro Susilo, SpS (K)

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/

Indonesia/RSUPN

RS Dr. Soetomo, Surabaya

Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Dr. dr. Ike Sri Redjeki, SpAn KIC, KMN, M.Kes


Prof. dr. Faisal Yunus, PhD, SpP (K)

Bagian Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas

Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas

Padjadjaran Bandung/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Kedokteran Universitas Indonesia/SMF Paru RS Persahabatan,


Jakarta

dr. Prijo Sidipratomo, SpRad (K)


Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN

Prof. Dr. dr. Ignatius Riwanto, SpB (K)

Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS Dr.


Kariadi, Semarang

dr. R.M. Nugroho Abikusno, M.Sc., DrPH


Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta

Prof. Dr. dr. Johan S. Masjhur, SpPD-KEMD, SpKN


Departemen Kedokteran Nuklir, Fakultas Kedokteran Universitas

dr. Tony Setiabudhi, SpKJ, PhD

Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Universitas Trisakti/Pusat Kajian Nasional Masalah Lanjut Usia,


Jakarta

Prof. dr. Rianto Setiabudy, SpFK


Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Dr. dr. Yoga Yuniadi, SpJP

Jakarta

Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia/Pusat Jantung Nasional Harapan

Prof. Dr. dr. Rully M. A. Roesli, SpPD-KGH

Kita, Jakarta

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas


Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP (K) FIHA


Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular

Prof. dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAI

Indonesia (PP PERKI), Jakarta

Sub Dept. Alergi-Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto

dr. Savitri Sayogo, SpGK

Mangunkusumo, Jakarta

Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/


RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. dr. Sarah S. Waraouw, SpA (K)


Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado

dr. Sudung O. Pardede, SpA (K)


Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas

Prof. Dr. dr. Sidartawan Soegondo, SpPD, KEMD, FACE

Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Imunologi Pneumonia


pada Pasien Geriatri
Rizki Maulidya Putri*, Helmia Hasan**
*PPDS Ilmu Penyakit Dalam, **Staf Pengajar
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi,
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo Surabaya, Indonesia

ABSTRACT
Pneumonia menjadi salah satu masalah kesehatan utama pada geriatri. Karakteristik pneumonia pada pasien geriatri adalah presentasi
klinisnya yang khas. Perubahan status imunologi akibat proses penuaan memberi konsekuensi penting terhadap cadangan fungsional paru,
kemampuan untuk mengatasi penurunan komplians paru dan peningkatan resistensi saluran napas terhadap infeksi. Saat timus mengalami
involusi karena pengaruh usia, terjadi penurunan produksi sel T naif, perubahan fungsi sel T memori, pergeseran profil sitokin dari Th1 ke Th2.
Pada imunitas humoral terjadi penurunan jumlah sel B dan reseptornya, penurunan formasi germinal center, disfungsi generasi dari limfosit B
primer, gangguan produksi sel B memori, peningkatan autoantibodi. Manajemen penting pada pasien geriatri meliputi terapi antibiotik dan
pertimbangan perawatan di ICU, serta pencegahan episode ulangan.
Kata kunci: geriatri, imunologi, pneumonia

ABSTRAK
Pneumonia becomes one of the major health problems in the elderly. A characteristic of pneumonia in geriatric patients is its typical clinical
presentation. Immunological status changes due to the aging process to give an important consequence of the pulmonary functional reserve,
ability to cope with decreased lung compliance and increased airway resistance to infection. Thymus involution due to aging decreases nave
T cells production, changes memory T cell function, shifts the cytokine profile from Th1 to Th2. In humoral immunity, there are decrease of B
cells and its receptors, decrease of germinal center formation, dysfunctional generation of primary B lymphocytes, impaired memory B cell
production, and increase of autoantibodies. Management includes antibiotic therapy and considerations for ICU treatment, and prevention of
further infection. Rizki Maulidya Putri, Helmia Hasan. Immunologic Aspects of Pneumonia in Geriatrics.
Key words: geriatric, immunology, pneumonia

PENDAHULUAN
Pneumonia dapat menjadi salah satu masalah
kesehatan utama pada geriatri. Proses
penuaan sistem organ (di antaranya sistem
respirasi, sistem imun, sistem pencernaan)
dan faktor komorbid banyak berperan
pada peningkatan frekuensi dan keparahan
pneumonia pasien geriatri. Karakteristik
dominan pneumonia pada pasien geriatri
adalah presentasi klinisnya yang khas, yaitu
jatuh dan bingung, sedangkan gejala klasik
pneumonia sering tidak didapatkan.1-5
Kelompok geriatri adalah semua orang yang
berusia 60 tahun atau lebih (WHO)6; yang
dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang
yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.7
Pada populasi geriatri Amerika, pneumonia
Alamat korespondensi

14

masuk dalam lima besar penyebab kematian


terkait infeksi.8,9 Angka kejadian tahunan
pneumonia pada pasien geriatri diperkirakan
mencapai 2544 kasus per 1000 penduduk.1
Di Semarang, pasien geriatri yang menjalani
rawat inap karena pneumonia sebanyak
16,6%.4
Sejumlah faktor meningkatkan risiko infeksi
pada pasien geriatri; interaksi antara faktorfaktor risiko berupa komorbiditas, imunitas
yang melemah dan faktor usia sangat
kompleks.10 Perubahan anatomi fisiologi
akibat proses penuaan memberi konsekuensi
penting terhadap cadangan fungsional paru,
kemampuan untuk mengatasi penurunan
komplians paru dan peningkatan resistensi
saluran napas terhadap infeksi.1 Sekali
mikroorganisme patogen berada di alveolus,

akan dilepaskan mediator pro inflamasi


dan respons inflamasi terpicu sehingga
menimbulkan manifestasi klinis.3
DEFINISI
Pneumonia didefinisikan sebagai suatu
peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, jamur, parasit), tidak
termasuk Mycobacterium tuberculosis.11
EPIDEMIOLOGI
Pada populasi geriatri Amerika, pneumonia
masuk dalam lima besar penyebab kematian
terkait infeksi3,8. Angka kejadian tahunan
pneumonia pada pasien geriatri diperkirakan
mencapai 25 44 kasus per 1000 penduduk1.
Angka rawat inap pasien geriatri mencapai
hampir lima kali lebih besar daripada pasien
dewasa muda12.
Studi retrospektif di

email: huseinalbar@yahoo.com

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA
RSUP Dr. Kariadi Semarang melaporkan
bahwa 16,6% pasien geriatri dirawat dengan
diagnosis pneumonia, masih di bawah angka
kasus tuberkulosis pada geriatri.4
PATOFISIOLOGI
Pertambahan usia, ditambah dengan faktor
lingkungan,
menyebabkan
perubahan
anatomi fisiologi tubuh. Pada tingkat awal,
mungkin merupakan homeostasis normal,
kemudian berkelanjutan dan mengarah
pada reaksi adaptasi yang merupakan proses
homeostasis abnormal. Tahap paling akhir
terjadi kematian sel. Salah satu sistem organ
yang mengalami perubahan anatomi
fisiologi adalah sistem pernapasan.4
Pasien geriatri lebih mudah terinfeksi
pneumonia karena adanya gangguan refleks
muntah, melemahnya imunitas, gangguan
respons pengaturan suhu dan berbagai
derajat kelainan kardiopulmoner. Kelainan
sistem saraf pusat dan refleks muntah juga
turut berperan mengakibatkan pneumonia
aspirasi. Selain itu, kelainan kardiopulmoner
secara langsung mempengaruhi penurunan
fungsi jantung dan paru.13
Gangguan respons pengaturan suhu terkait
proses penuaan meliputi gangguan respons
simpatoneural - vasomotor yang terjadi
bersama gangguan produksi panas tubuh
dan gangguan persepsi suhu.14 Selain itu suhu
basal tubuh pada lanjut usia lebih rendah
dibanding pada dewasa muda.15
Sistem imunitas humoral tergantung pada
keutuhan fungsi limfosit B. Pasien geriatri
memiliki banyak gangguan sistemik yang
dapat mengganggu fungsi limfosit B
sehingga menurunkan produksi antibodi.
Gangguan ini juga menjadi faktor predisposisi
infeksi mikroorganisme patogen yang
merupakan penyebab umum pneumonia
bakterial.13 Sekali mikroorganisme patogen
berada di alveolus, mediator proinflamasi
akan dilepaskan dan respons inflamasi terpicu
sehingga menimbulkan manifestasi klinis.3
RESPONS IMUN PADA PNEUMONIA
Respons imun terhadap infeksi bakteri
Bakteri ekstraseluler dapat hidup dan
berkembang biak di luar sel pejamu, misalnya
pada sirkulasi, jaringan ikat, lumen saluran
napas dan saluran cerna. Penyakit yang
ditimbulkan oleh bakteri ekstraseluler dapat

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

berupa inflamasi yang menimbulkan destruksi


jaringan di tempat infeksi dengan membentuk
radang supuratif.17
Komponen imunitas alami yang utama
terhadap bakteri ekstraseluler adalah
komplemen, fagosit dan respons inflamasi.
Bakteri yang mengekspresikan manosa
pada permukaannya, dapat diikat lektin
yang homolog dengan C1q, sehingga
mengaktifkan komplemen melalui jalur lektin,
meningkatkan opsonisasi dan fagositosis.
Produk dari aktivasi komplemen berperan
dalam mengerahkan dan mengaktifkan
leukosit. Fagosit yang teraktivasi melepaskan
sitokin yang menginduksi infiltrasi leukosit
ke tempat infeksi, menginduksi panas dan
sintesis acute phase protein.17
Antibodi merupakan komponen imunitas
humoral utama terhadap bakteri ekstraseluler
yang berfungsi untuk menyingkirkan mikroba
dan menetralkan toksinnya melalui berbagai
mekanisme. Sel T helper (Th) 2 memproduksi
sitokin yang merangsang respons sel B,
aktivasi makrofag dan inflamasi.17
Respons imun terhadap infeksi jamur
Resistensi alamiah terhadap jamur patogen
tergantung fagosit. Neutrofil merupakan sel
paling efektif, terutama terhadap kandida
dan aspergilus. Jamur merangsang produksi
sitokin, seperti interleukin-1 (IL-1) dan tumor
necrosing factor- (TNF-) yang meningkatkan
ekspresi molekul adhesi di endotel setempat
sehingga meningkatkan infiltrasi neutrofil
ke tempat infeksi. Makrofag merupakan
pertahanan pertama terhadap spora jamur
yang terhirup dengan membentuk granuloma
melalui aktivasi Th1. Natural killer cell (sel NK)
diaktivasi oleh TNF dan interferon- (IFN-)
untuk melepaskan granul yang mengandung
sitolisin yang dapat membunuh jamur.17
Sawar fisik kulit dan membran mukosa,
faktor kimiawi dalam serum dan sekresi
kulit berperan dalam imunitas alami. Efektor
utamanya adalah neutrofil dan makrofag.
Neutrofil diduga melepas bahan fungisidal
seperti reactive oxygen intermediate (ROI) dan
enzim lisosom.17
PERUBAHAN SISTEM IMUN DALAM
MEKANISME PERTAHANAN PARU PADA
GERIATRI
Studi pada subjek manusia sehat

menyimpulkan
bahwa
penambahan
usia membawa perubahan penting pada
respons imun alami dan adaptif, disebut
immunosenescence.
Konsekuensi
klinis
immunosenescence meliputi peningkatan
kerentanan terhadap infeksi, keganasan
dan
penyakit
autoimun,
penurunan
respons vaksinasi serta gangguan proses
penyembuhan luka pada pasien geriatric.18
Immunosenescence
karena
deregulasi
imunitas adalah proses yang sangat kompleks
dan perlu dipahami dengan baik. Proses
penuaan normal ditentukan secara genetik,
namun faktor eksternal dapat mempengaruhi
immunosenescence. Sistem imunitas tubuh
pada dewasa tua adalah hasil proses renovasi
berkelanjutan. Stres oksidatif diyakini menjadi
faktor utama percepatan penuaan melalui
peningkatan kecepatan pemendekan telomer
karena kerusakan DNA. Kerusakan tersebut
berupa kegagalan aktivitas enzim telomerase
untuk menambahkan urutan telomer ulangan
sampai akhir kromosom.19
Dampak proses penuaan terhadap
imunitas alami
Perubahan imunitas sistemik yang berkaitan
dengan usia lanjut dapat diamati dari
perubahan-perubahan pada imunitas alami
dan imunitas adaptif. Imunitas alami adalah
elemen kunci respons imun terdiri dari
beberapa komponen seluler seperti makrofag,
sel NK dan neutrofil yang menjadi pertahanan
lini pertama terhadap invasi mikroba patogen.
Fungsi sel-sel tersebut menurun sejalan
usia. Walaupun produksinya meningkat
pada pasien geriatri, kemampuan makrofag
mensekresi TNF yang merupakan sitokin proinflamasi utama telah berkurang.19
Studi pada manusia sehat telah menunjukkan
penurunan fungsi ekspresi toll-like receptors
(TLRs) yang terkait usia, mengakibatkan
penurunan produksi sitokin pro-inflamasi
dan kemokin serta deregulasi sistem imunitas
adaptif. Modulasi sistem imunitas alami, baik
dengan ligan TLRs atau produk aktivasi TLRs,
dapat meningkatkan ketahanan terhadap
penyakit, meningkatkan respons imun dan
meningkatkan efektivitas vaksinasi pada
orang tua.19,20
Proses penuaan meredam sel stroma
sumsum tulang untuk menyekresi (IL-7).
Interleukin-7 merupakan sitokin penting

15

TINJAUAN PUSTAKA
dalam mengembangkan limfosit. Interaksi
antara TLRs dan patogen menstimulasi sekresi
berbagai peptida antibakteri dan memicu
respons inflamasi melalui sekresi sitokin dan
kemokin. Ligan TLRs juga dapat meningkatkan
produksi IL-2. Akibat proses penuaan tersebut,
efikasi kemotaksis dan kegiatan fagositik
neutrofil menurun, mengurangi kemampuan
makrofag dan neutrofil untuk menghilangkan
mikroba dan menghancurkan sel-sel
kanker.19,20

timus total pada usia 70 tahun.19 Timus baru


akan berhenti menghasilkan sel T di sekitar
usia 105 tahun. Atrofi timus dan penurunan
timopoisis adalah proses aktif yang dimediasi
oleh sitokin timosupresi, terutama IL-6, faktor
penghambat leukemia (LIF) dan oncostatin M
(OSM). Produksi IL-7 yang diperlukan dalam
timopoisis untuk menjamin kelangsungan
hidup sel dengan mempertahankan protein
anti-apoptosis Bcl-2 secara signifikan
menurun.19

Proliferasi sel NK terutama terjadi di sumsum


tulang dari sel-sel progenitor yang sama
dengan limfosit T; kemampuan fungsional
penuh sel NK diperoleh setelah menjalani
proses pematangan serial sebelum dilepaskan
ke dalam sirkulasi. Kelangsungan hidup sel NK
dewasa bergantung pada sitokin, yaitu IL-15
melalui faktor anti-apoptosis Bcl-2. Sel NK juga
berperan dalam interaksi antara respons imun
alami dan adaptif.19,20 Tingkat produksi sel NK
turun menjadi setengahnya pada orang tua
karena gangguan respons IL-2. Pengurangan
fungsi dan dinamika sel NK yang dimediasi
aktivitas sitotoksik secara klinis relevan bila
dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi
dan kematian pasien geriatri.19,20

Atrofi kronis timus disebabkan oleh kekurangan


reseptor leptin dan progenitor sel T yang
bertambah tua. Leptin berperan sebagai zat
perlindungan terhadap bakteri endotoksin
yang mengawali proses atrofi. Sedangkan sel T
yang menua mengakibatkan produksi sitokin
timus menurun, seperti IL-1, IL-3, TGF-, OSM
dan LIF yang berperan merangsang fase dini
hematopoiesis serta IL-6, IL-7 yang berperan
sebagai sitokin timosupresi. Selain usia, atrofi
timus dapat disebabkan karena kemoterapi,
radiasi pra transplantasi, syok septik, dan stres
akut.19

Perlindungan sawar fisik kulit-mukosa


terhadap mikroba yang tidak efektif,
termasuk kerusakan sistem imunitas lokal di
rongga mulut dan gusi, sistem kemih serta
gastrointestinal pada pasien geriatri adalah
tanda melemahnya imunitas alami.19
Penurunan imunitas diperantarai-sel
terkait usia
Produksi dan pemeliharaan beragam sel T
perifer sangat penting untuk fungsi normal
sistem kekebalan tubuh. Pada orang tua,
terjadi penurunan integritas keragaman
dan fungsional dari kedua subset sel T, yaitu
CD4+ dan CD8+, yang berkontribusi dalam
penurunan kemampuan merespons reinfeksi
secara adekuat. Perubahan CMI terkait usia
sangat tergantung pada fungsi timus.19 Saat
penuaan, timus mengalami involusi progresif
sehingga output sel-sel baru berkurang
signifikan sejak usia 40 tahun. Perubahan
morfologi dan fungsional berupa perluasan
ruang perivaskular (adiposit, limfosit perifer,
stroma) menyebabkan pergeseran rasio
ruang epitel timus yang sesungguhnya
dengan ruang perivaskular; ruang epitel
timus menyusut hingga <10% dari jaringan

16

Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan


penurunan sel T naif pada output timus
(CD45RA+, CD28+, CD26L) dan penurunan
konsentrasi dalam darah perifer dan kelenjar
getah bening selama masa penuaan.
Akibatnya, terjadi pergeseran rasio sel T
memori naif di perifer untuk mempertahankan
homeostasis sel T perifer. Sel memori Th1 pada
pasien geriatri menghasilkan lebih sedikit
IL-2 dibanding dewasa muda, sedangkan sel
memori Th2 menghasilkan jauh lebih sedikit
IL-4 dan IL-5.19
Penurunan CD4+ pada pasien geriatri juga
menurunkan CD40L, suatu ligan ko-stimulan
penting untuk interaksi antasa sel T dan sel
B, akibat defisiensi IL-2. Interaksi sel T sel B
secara signifikan berperan pada penurunan
respons humoral terkait usia. Kemotaksis dan
fagositosis dapat terganggu pada orang tua.
Sel dendritik dewasa muda dan tua dilaporkan
sama baiknya dalam merangsang CD8+, tetapi
pada dewasa tua gagal merangsang CD4+
akibat perubahan jalur sinyal transduksi.19
Peningkatan kadar kolesterol yang umum
terjadi pada dewasa tua juga berperan
terhadap penurunan kemampuan T-cell
signaling akibat pengaruh usia. Kolesterol
tinggi diketahui dapat mempengaruhi

ketebalan lapisan lipid berupa berkurangnya


cairan plasma membran sel T dibanding pada
dewasa muda, mengakibatkan aktivasi sel T
terhambat.21
Dewasa tua mengalami penurunan kadar
tirosin kinase yang penting untuk stimulasi
sel T. Untuk membangun respons imun
yang adekuat, T cell receptor (TCR) harus
dijaga keberadaannya secara terus-menerus
pada populasi klon sel T yang beragam.
Keragaman TCR masih terjaga baik hingga
usia 60-65 tahun, meskipun telah terjadi
penurunan output timus; keragaman ini
sangat berkurang pada usia 75-80 tahun,
mengakibatkan rendahnya respons imun
dalam menghadapi infeksi dan vaksinasi.
Penurunan keragaman TCR naif berkaitan
dengan menurunnya kemampuan orang tua
untuk merespons antigen baru.19
Selain itu, pada pasien geriatri sekitar 10%
sel T mengekspresikan penanda penuaan
CD57, yaitu penanda terjadinya pemendekan
telomere pada setiap replikasi DNA (replication
senescence marker).19,22
Perubahan imunitas humoral pada
pasien geriatri
Sel induk hematopoetik menghasilkan
semua komponen seluler sistem kekebalan
tubuh, yaitu limfoid dan mieloid. Penurunan
kompartemen hematopoietik sumsum tulang
sejalan usia tidak mempengaruhi jumlah dan
kapasitas proliferasi sel induk hematopoesis.
Melalui proses maturasi normal, terjadi
pengelompokan tahap sel menjadi pro-B dan
pra-B. Pengelompokan ini dipengaruhi oleh
penurunan respons dalam pengembangan
sel B ke IL-7, penurunan rekombinasi V-DJ atau
rekombinasi somatik gen imunoglobulin (Ig),
penurunan ekspresi rantai ringan pengganti
5 dan penurunan aktivitas faktor transkripsi
E12 dan E47 yang menghasilkan perubahan
ekspresi rantai Ig berat.19
Kemampuan sel-sel sumsum tulang stroma
individu dewasa tua untuk mendukung
ekspansi sel B berkurang karena penurunan
produksi IL-7. Jumlah sel B perifer juga
berubah sesuai pertambahan usia, namun
masih diperdebatkan; beberapa melaporkan
adanya peningkatan signifikan sel B perifer,
yang lain menemukan penurunan dramatis
sel CD27+. Diseksi subset sel B baru-baru ini
mengungkapkan terjadi sedikit peningkatan

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA
sel memori CD27+, ditambah peningkatan
signifikan sel memori tanpa energi pada
down-regulation CD27 (CD27-) yang mengisi
ruang imunologi B pada orang tua. Reservoir
sel B naif mungkin menjadi salah satu faktor
yang berperan dalam menjaga pertahanan
melawan infeksi baru. Hilangnya sel B naif
merupakan ciri immunosenescence.19
Kualitas respons imun humoral menurun
sesuai usia. Perubahan ini ditandai dengan
respons antibodi yang lebih rendah dan
penurunan produksi antibodi berafinitas
tinggi. Penurunan proliferasi sel B karena usia
menurunkan aktivasi sel B dan membuat
defek pada afinitas reseptor dan sinyal
permukaan sel B. Sel Th CD4+ membantu
secara tidak adekuat di pusat-pusat germinal
dan menghasilkan antibodi berafinitas rendah
akibat penurunan pelepasan IL-2 dan IL-4.19
Sel B progenitor mengalami maturasi dan
diferensiasi dalam jaringan limfoid sekunder,
seperti limpa dan kelenjar getah bening.
Organ ini menyediakan struktur yang
sangat terorganisir untuk sel T dan sel B
dalam berinteraksi dengan satu sama lain
dan dengan antigen presenting cell (APC),
sel dendritik serta makrofag. Pengurangan
korteks limfosit seluler dan pusat germinal
karena pengaruh usia serta peningkatan
jaringan adiposa menurunkan kemampuan
menyediakan lingkungan yang tepat untuk
kelangsungan respons imun.19
Didapatkan peningkatan frekuensi sel B,
peningkatan CD4+ memori, peningkatan
ekspresi penanda penuaan p16INK4a pada sel
B dan CD8+, disertai penurunan jumlah sel T,
CD4+ naif, CD8+, dan IgM yang memproduksi
sel B dalam kelenjar getah bening pasien
geriatri. Penempatan sel B imatur ke organ
limfoid sekunder telah terbukti menurunkan
kelangsungan hidup sel B, sehingga
mengurangi kemungkinan antigen akan
dikenali oleh sel B spesifik antigen dan
mungkin juga mengurangi timbunan sel B
naif. Hal ini menyebabkan hilangnya sel B naif
dan peningkatan sel memori pada dewasa

tua sehingga meredam kemampuan untuk


merespons antigen baru.19
Proses penuaan diduga berperan pada
pergeseran profil sitokin dari Th1 ke Th2
sebagai respons terhadap rangsangan
kekebalan tubuh. Kelebihan produksi
sitokin Th2 dapat meningkatkan gangguan
autoimun yang dimediasi sel B dengan
meningkatkan produksi antibodi autoreaktif.
Sel B naif folikuler yang menurun karena usia
dapat diaktifkan kembali berkaitan dengan
berkurangnya toleransi imun atau hilangnya
integritas jaringan yang mengarah pada
penyimpangan respons autoimun.19
Dengan penurunan imunitas humoral,
produksi antibodi berafinitas tinggi menjadi
rendah sehingga melemahkan respons
antibodi pasien geriatri.19
PENATALAKSANAAN PASIEN GERIATRI
DENGAN PNEUMONIA
Terapi antibiotik dan perawatan di ICU
Peranan antibiotik pada kasus end-of-life
pneumonia untuk memperbesar peluang
hidup masih belum jelas. Dalam sebuah
penelitian observasional, kematian terkait
pneumonia meningkat jika tanpa terapi
antibiotik. Namun, penelitian ini juga
menunjukkan bahwa penyakit ringan dengan
prognosis lebih baik cenderung merespons
terapi antibiotik lebih baik dibandingkan
dengan penyakit yang lebih parah.24 Studi lain
menunjukkan peningkatan ketahanan hidup
pasien Alzheimer yang diberi tambahan terapi
antibiotik dibandingkan perawatan paliatif
saja.25 Angka ketahanan hidup pasien geriatri
dengan end-of-life pneumonia tidak dapat
diperpanjang hanya dengan terapi antibiotik
saja.1
Namun usia saja tidak boleh digunakan
sebagai kriteria untuk pertimbangan
perawatan di ICU (intensive care unit), pasien
pneumonia dan penyakit terminal tentu tidak
serta merta dirawat di ICU. Demikian pula,
secara umum, pasien dengan komorbiditas
signifikan tidak harus dirawat di ICU bila

kecenderungan dapat bertahan rendah. Pada


pasien sangat tua dengan pneumonia tanpa
komorbiditas signifikan, ICU dapat menjadi
pilihan, tetapi hanya setelah pertimbangan
hati-hati dari semua aspek, khususnya hak
autonomi pasien.1
Gangguan fungsi hati dan ginjal
Pasien geriatri mempunyai beberapa
gangguan fungsi organ akibat proses penuaan
dan berbagai komorbiditas. Dokter wajib
memperhatikan dosis obat yang diberikan
dan interaksinya dengan obat lain.23
Pencegahan episode pneumonia
berulang
Pencegahan kekambuhan dapat dilakukan
dengan
mencegah
aspirasi;
dengan
memposisikan kepala pada sudut 45 derajat
ketika makan dan menerima makanan bubur.
Vaksinasi influenza dan pneumokokus terbukti
bermanfaat mencegah pneumonia pada
geriatri. Selain itu, pasien dianjurkan untuk
berhenti merokok.23
RINGKASAN
Pneumonia merupakan salah satu masalah
kesehatan utama pada geriatri. Karakteristik
dominan pneumonia pada pasien geriatri
adalah presentasi klinisnya yang khas. Pada
pasien geriatri terjadi banyak perubahan
akibat proses penuaan dan faktor komorbid.
Perubahan tersebut terdiri dari perubahan
anatomi, fisiologi dan imunologi. Imunitas
alami adalah elemen kunci respons imun
terdiri dari beberapa komponen seluler yang
menjadi pertahanan lini pertama terhadap
invasi mikroba patogen. Fungsi sel-sel tersebut
menurun sejalan usia. Kemampuan makrofag
dan neutrofil untuk menghilangkan mikroba
berkurang, tidak dapat menghancurkan selsel kanker; penurunan fungsi dan dinamika
sel NK dapat dikaitkan dengan peningkatan
risiko infeksi dan kematian pasien geriatri.
Manajemen penting pasien geriatri meliputi
terapi antibiotik dan perawatan di ICU,
waspadai penggunaan polifarmasi terhadap
gangguan sistem organ dan pencegahan
episode ulangan.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Janssens JP, Krause KH. Pneumonia in the very old. Lancet Infect Dis 2004; 4(2): 112-24.

2.

Pink K, Hope-Gill B. Nonobstructive lung disease and thoracic tumors. In: Fillit HM, Rockwood K, Woodhouse K. Brocklehursts Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology, 7th ed.
Saunders Elsevier, 2010; 50: 376-84.

3.

Marrie TJ. Pneumonia. In: Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S. Hazzards Geriatric Medicine and Gerontology, 6th ed. McGraw Hill, 2009; 126: 1531-45.

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

17

TINJAUAN PUSTAKA
4.

Rahmatullah P. Penyakit paru pada usia lanjut. Dalam: Martono H, Pranarka K. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), edisi 4. Balai Penerbit FK UI, 2009; 466-73.

5.

Riquelme R, Torres A, El-Ebiary M, Mensa J, Estruch R, Ruiz M, Angrill J, Soler N. Community-acquired pneumonia in the elderly, clinical and nutritional aspects. Am J Respir Crit Care Med
1997: 156: 1908-1914.

6.

Peji T, orevi I, Stankovi I, Borovac DN, Petkovi TR. Prognostic mortality factors of community-acquired pneumonia in the elderly. Acta Facultatis Medicae Naissensis 2011: 28(2):
71-76.

7.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Usia Lanjut.

8.

Hoyert DL, Kung HC, Smith BL. Deaths preliminary data for 2003. Natl Vital Stat. Rep 2005; 53(15): 1-48.

9.

Loeb M. Pneumonia in older persons. Clinical Infectious Diseases 2003; 37: 1335-39.

10. High KP. Infection in elderly. In: Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S. Hazzards Geriatric Medicine and Gerontology, 6th ed. McGraw Hill, 2009; 124: 1507-15.
11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia komuniti, pedoman dan penatalaksanaan di Indonesia.. Balai Penerbit FK UI, 2003.
12. Kaplan V, Angus DC, Griffin MF, Clermont G, Scott Watson R, Linde-Zwirble WT. Hospitalized community-acquired pneumonia in the elderly: age- and sex-related patterns of care and
outcome in the United States. Am. J. Respir. Crit Care Med 2002; 165(6): 766-772.
13. Cunha BA. Pneumonia in the elderly. Clin Microbiol Infect 2001; 7: 581-88.
14. Frank SM, Raja SN, Bulcao C, Goldstein DS. Age-related thermoregulatory differences during core cooling in humans. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 2000; 279: R349-R354.
15. Rosen S, Koretz B, Reuben DB. Presentation of disease in old age. In: Brocklehursts Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology, 7th ed. Saunders Elsevier, 2010; 34: 205-210.
16. Sharma G, Goodwin J. Effect of aging on respiratory system physiology and immunology. Clinical Interventions in Aging 2006; I(3): 253-260.
17. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi infeksi. Dalam: Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar, ed 9. Balai Penerbit FK UI, 2010; 15: 399-449.
18. Busse PJ. Age-related changes in immune function: Effect on airway inflammation. J Allergy Clin Immunol 2010; 691-99.
19. Ongradi J, Kovesdi V. Factors that may impact on immunosenescence: appraisal. Immunity and Ageing 2010; 7: 7.
20. Meyer KC. Aging. Proc Am Thorac Soc 2005; 2: 433-39.
21. Fulop T, Le Page A, Garneau H, Azimi N, Baehl S, Dupuis G, Pawelec G, Larbi A. Aging, immunosenescence and membrane rafts: the lipid connection. Longevity & Healthspan, 2012; 1: 6.
22. Lee M, Shin MS, Kang I. T-cell biology in aging, with a focus on lung disease. J Gerontol A Bio Sci Med Sci, 2012; 67A(3): 254-263.
23. Marrie TJ. Community-acquired pneumonia in the elderly. Clinical Infectious Disease 2000; 31: 1066-78.
24. Van der Steen JT, Ooms ME, van der Wal G, Ribbe MW. Pneumonia: the demented patients best friend? Discomfort after starting or withholding antibiotic treatment. J Am Geriatr Soc
2002; 50: 1681-88.
25. Morrison RS, Siu AL. Survival in end-stage dementia following acute illness. JAMA 2000; 284: 47-52.
26. Kaplan V, Angus DC, Griffin MF, Clermont G, Scott Watson R, Linde-Zwirble WT. Hospitalized community-acquired pneumonia in the elderly: ageand sex-related patterns of care and
outcome in the United States. Am J Respir Crit Care Med 2002; 165: 76672.
27. Chelluri L, Grenvik A, Silverman M. Intensive care for critically ill elderly: mortality, costs, and quality of life. Review of the literature. Arch Intern Med 1995; 155: 101322.

18

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA

Gagal Jantung pada Geriatri


Ervinaria Uly Imaligy
Dokter Umum Rumah Sakit Gigi dan Mulut Maranatha,
Bandung, Indonesia

ABSTRAK
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung; prevalensinya meningkat sesuai usia. Penyebab gagal jantung pada lanjut
usia lebih multifaktorial dan sering disertai dengan gejala yang tak khas. Tatalaksana meliputi cara non farmakologis berupa edukasi, diet, latihan
fisik dan dukungan keluarga ditambah dengan cara medikamentosa untuk mencegah remodeling dan mengurangi gejala.
Kata kunci: gagal jantung, remodeling, geriatri

ABSTRACT
Heart failure is an end-stage for all heart diseases, its prevalence increases as population gets older. The causes among elderly are multifactorial,
and often without typical signs and symptoms. The management consists of non pharmacological measures i.e education, diet and physical
exercise, and medication to prevent remodelling and to alleviate symptoms. Ervinaria Uly Imaligy. Heart Failure in Geriatrics.
Key words: heart failure, remodeling, geriatrics

PENDAHULUAN
Di Asia, saat ini terjadi perkembangan
ekonomi secara cepat, kemajuan industri,
urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti
peningkatan konsumsi kalori, lemak dan
garam; peningkatan konsumsi rokok; dan
penurunan aktivitas. Keadaan ini disertai
dengan peningkatan insiden obesitas,
hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit
vaskular yang berujung pada peningkatan
insiden gagal jantung.1
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari
seluruh penyakit jantung dan merupakan
masalah kesehatan dunia.1 Gagal jantung
merupakan salah satu penyakit kardiovaskuler yang menjadi masalah serius di Amerika.
American Heart Association (AHA) tahun 2004
melaporkan 5,2 juta penduduk Amerika Serikat
menderita gagal jantung. Asuransi kesehatan
Medicare USA paling banyak mengeluarkan
biaya untuk diagnosis dan pengobatan gagal
jantung (ACC/AHA 2005).2 Di Indonesia, data
Departemen Kesehatan tahun 2008 menunjukan pasien yang dirawat dengan diagnosis
gagal jantung mencapai 14.449.3
Gagal jantung erat kaitannya dengan
penurunan kualitas hidup dan mortalitas
tinggi,
serta
dapat
mengakibatkan
Alamat korespondensi

ketidakmampuan fisik secara kronik sehingga


menjadi beban ekonomi yang tinggi.4
GAGAL JANTUNG
Definisi
Gagal jantung merupakan sindrom kompleks
dengan tampilan gejala khas: sesak saat
istirahat atau saat aktivitas, kelelahan, serta
tanda retensi cairan seperti kongesti paru
atau edema pergelangan kaki, tanda khas:
takikardi, takipnea, ronki, efusi pleura,
peningkatan JVP, edema perifer, hepatomegali
serta bukti objektif kelainan struktural atau

fungsional jantung saat istirahat: kardiomegali,


bunyi jantung 3, murmur, kelainan pada
ekokardiografi,
peningkatan
natriuretic
peptide. Pada gagal jantung, jantung tidak
dapat menghantarkan curah jantung yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik
tubuh.5
Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan abnormalitas struktural
jantung (ACC/AHA) atau berdasarkan gejala
berkaitan dengan kapasitas fungsional (NYHA)
tertera pada tabel 1.5,6

Tabel 1 Klasifikasi gagal jantung


Klasifikasi gagal jantung menurut ACC / AHA

Tingkatan berdasarkan gejala dan aktivitas fisik

Stadium A
Memiliki risiko tinggi berkembang menjadi gagal jantung.
Tidak terdapat ganguan struktural atau fungsional jantung,
tidak terdapat tanda atau gejala

Kelas I
Tidak terdapat batasan melakukan aktivitas fisik. Aktivitas
fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau
sesak nafas

Stadium B
Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang
berhubungan dengan perkembangan gagal jantung. Tidak
terdapat tanda atau gejala

Kelas II
Terdapat batasan aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan
saat istirahat, namun aktivitas fisik sehari-hari menimbulkan
kelelahan, palpitasi atau sesak nafas

Stadium C
Kelas III
Gagal jantung asimptomatis yang berhubungan dengan Terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan
penyakit struktural jantung yang mendasari
saat istirahat, tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan
kelelahan, palpitasi atau sesak
Stadium D
Penyakit struktural jantung yang lanjut serta gejala gagal
jantung yang sangat bermakna saat istirahat walaupun
sudah mendapat terapi medis maksimal

Kelas IV
Tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa keluhan. Terdapat
gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan
aktivitas

ACC: American College of Cardiology, AHA: American Heart Association, NYHA: New York Heart Association

email: send2rizal@gmail.com

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

19

TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa istilah dalam gagal jantung8:
1. Gagal jantung sistolik dan diastolik
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang
tindih, tidak dapat dibedakan berdasarkan
pemeriksaan jasmani, foto toraks atau EKG;
hanya dapat dibedakan dengan eko-Doppler.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan
kontraksi jantung memompa sehingga curah
jantung turun dan menyebabkan kelemahan,
fatigue, kemampuan aktivitas fisik menurun
dan gejala hipoperfusi lainnya. Gagal jantung
diastolik adalah gangguan relaksasi dan
gangguan pengisian ventrikel; didefinisikan
sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi
lebih dari 50%. Diagnosis dibuat dengan
pemeriksaan Doppler-ekokardiografi.
2. Low Output dan High Output Heart Failure
Low output HF disebabkan oleh hipertensi,
kardiomiopati dilatasi, kelainan katup dan
perikard. High Output HF ditemukan pada
penurunan resistensi vascular sistemik seperti
hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula
A-V, beri-beri dan penyakit Paget.
3. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh klasik gagal jantung akut adalah
robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma atau infark miokard
luas. Curah jantung yang turun tiba-tiba
menyebabkan penurunan tekanan darah
tanpa disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronis adalah
pada kardiomiopati dilatasi atau kelainan
multivalvular yang terjadi perlahan-lahan.
Kongesti perifer sangat menyolok, namun
tekanan darah masih terpelihara dengan baik
4. Gagal Jantung Kanan dan Gagal Jantung
Kiri
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel,
meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan
paru menyebabkan pasien sesak napas dan
ortopnea. Gagal jantung kanan terjadi jika
kelainannya melemahkan ventrikel kanan
seperti pada hipertensi pulmonal primer
/ sekunder, tromboemboli paru kronik
sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang
menyebabkan edema perifer, hepatomegali
dan distensi vena jugularis.
Epidemiologi
Prevalensi gagal jantung pada seluruh
populasi berkisar antara 2 sampai 30% dan

20

yang asimtomatik sebesar 4% dari seluruh


populasi. Angka ini cenderung mengikuti
pola eksponensial seiring usia, sehingga
pada orang tua (70-80 tahun) menjadi 1020%.3 Meskipun insidens relatif gagal jantung
lebih rendah pada perempuan, perempuan
berkontribusi pada setidaknya setengah kasus
gagal jantung karena angka harapan hidup
mereka lebih tinggi. Di Amerika, prevalensi
gagal jantung pada usia 50 tahun ialah sebesar
1%, pada usia 80 tahun mencapai 7,5%. Di
Inggris, prevalensi gagal jantung pada usia
60-70 tahun sebesar 5% dan mencapai 20%
pada usia 80 tahun, situasi yang sama terjadi
di Italia dan Portugal. Di Cina, prevalensi gagal
jantung pada usia 60 tahun ke atas sebesar
0,9%.2 Diperkirakan lebih dari 15 juta kasus
baru gagal jantung muncul setiap tahunnya
di seluruh dunia. Saat ini 50% penderita gagal
jantung akan meninggal dalam waktu 5 tahun
sejak diagnosis ditegakkan.4
Etiologi
Penyebab umum gagal jantung adalah
rusaknya atau berkurangnya massa otot
jantung karena iskemi akut atau kronik,
peningkatan resistensi vaskuler karena
hipertensi, atau karena takiaritmia (misalnya
fibrilasi atrial). Pada dasarnya semua kondisi
yang menyebabkan perubahan struktur
ataupun fungsi ventrikel kiri merupakan
predisposisi untuk gagal jantung. Penyakit
jantung koroner merupakan penyebab
terbanyak (60-75%), diikuti penyakit katup
(10%) dan kardiomiopati (10%). Dewasa ini
studi epidemiologi menunjukkan bahwa
sekitar setengah pasien gagal jantung
memiliki fraksi ejeksi (ejection fraction, EF)
ventrikel kiri yang baik (EF 40-50%), sehingga
tidak lagi dipikirkan bahwa gagal jantung
secara primer terjadi akibat penurunan fraksi
ejeksi ventikel kiri.4
Patofisiologi
Beberapa mekanisme yang mempengaruhi
progresivitas gagal jantung, antara lain
mekanisme neurohomonal yang meliputi
aktivasi sistem saraf simpatis, aktivasi sistem
renin-angiotensin dan perubahan vaskuler
perifer serta remodeling ventrikel kiri, yang
semuanya
berperan
mempertahankan
homeostasis.7
Aktivasi sistem saraf simpatis
Penurunan curah jantung pada gagal jantung
akan mengaktifkan serangkaian mekanisme

adaptasi untuk mempertahankan homeostasis


kardiovaskuler, mekanisme ini merupakan
adaptasi yang penting segera setelah terjadi
penurunan curah jantung.
Aktivasi sistem saraf simpatik terjadi
bersamaan dengan berkurangnya tonus
parasimpatik. Pada keadaan ini, terjadi
penurunan inhibisi refleks baroreseptor
arterial atau kardiopulmoner. Reseptor ini
berfungsi menurunkan tekanan darah. Di sisi
lain terjadi peningkatan eksitasi kemoreseptor
perifer nonbarorefleks dan metaboreseptor
otot., akibatnya meningkatkan tonus simpatis
dan pengurangan tonus parasimpatis
dengan hasil akhir penurunan denyut
jantung dan peningkatan resistensi vaskuler
perifer. Karena tonus simpatis meningkat,
akan terjadi peningkatan kadar norepinefrin,
neurotransmiter adrenergik yang poten,
di sirkulasi seiring berkurangnya ambilankembali norepinefrin dari ujung saraf.
Meskipun demikian, pada gagal jantung
stadium lanjut akan terjadi penurunan
norepinefrin miokard karena mekanisme yang
masih belum diketahui.
Peningkatan aktivasi reseptor simpatis
-adrenergik meningkatkan denyut jantung
dan kekuatan kontraksi miokard yang berakibat
peningkatan curah jantung. Peningkatan
aktivitas ini menyebabkan stimulasi reseptor
-adrenergik miokard yang menyebabkan
inotropik positif dan vasokonstriksi arteri
perifer. Meskipun norepinefrin meningkatkan
kontraksi dan relaksasi serta mempertahankan
tekanan darah, hal ini justru menyebabkan
kebutuhan energi miokard akan bertambah
sehingga memperburuk iskemi saat distribusi
oksigen terbatas. Penambahan arus adrenergik
dari sistem saraf pusat akan menyebabkan
ventricular tachycardia atau sudden cardiac
death.
Di sisi lain, peningkatan tonus simpatis renal
menyebabkan
vasokonstriksi
sehingga
aliran darah ginjal berkurang, seiring dengan
peningkatan reabsorpsi Natrium dan air di
tubular ginjal. Selain itu, terjadi pula pelepasan
arginin vasopressin (AVP) dari hipofisis
posterior untuk mengurangi ekskresi air yang
akan memperburuk vasokonstriksi perifer.
Angiotensin II juga menstimulasi pusat haus
di otak dan menyebabkan pelepasan AVP dan
aldosteron, yang keduanya menyebabkan
disregulasi homeostasis garam dan air.7

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA
Pada pasien gagal jantung, terjadi pula
peningkatan PGE2 dan PGI2, serta pelepasan
atrial natriuretic peptide (ANP) dan brain
natriuretic peptide (BNP). Dalam kondisi
fisiologis, keduanya dilepaskan saat terjadi
regangan miokard dan peningkatan asupan
Natrium. Setelah dilepas, keduanya berperan
meningkatkan ekskresi air dan garam serta
menghambat pelepasan renin-aldosteron,
atau dengan kata lain sebagai counterregulatory. Meskipun demikian, makin parah
derajat gagal jantung, efek ANP dan BNP
terhadap ginjal makin berkurang.6,7
Aktivasi sistem renin-angiotensin (reninangiotensin system, RAS)
Berbeda dengan pengaktifan tonus simpatis,
aktivasi sistem renin-angiotensin terjadi
setelah selang waktu yang lebih lama.
Mekanisme aktivasi RAS pada gagal jantung
meliputi hipoperfusi renal, penurunan filtrasi
Natrium ketika mencapai makula densa, dan
peningkatan stimulasi simpatik di ginjal yang
berakibat pelepasan renin dari apparatus
jukstaglomerular. Renin ini kemudian berikatan
dengan angiotensinogen yang disintesis di hati
untuk membentuk angiotensin I. Angiotensin
converting enzyme (ACE) berikatan dengan
angiotensin I membentuk angiotensin II.
Sebanyak 90% aktivitas ACE terjadi di jaringan
dan 10% sisanya pada interstitial jantung dan
pembuluh darah.
Angiotensin II akan meningkatkan efeknya
setelah berikatan dengan reseptor AT1
dan AT2. AT1 banyak berlokasi pada saraf
miokard sementara AT2 pada fibroblas dan
interstitial. Aktivasi reseptor AT1 menyebabkan
vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi
aldosteron, dan pelepasan katekolamin;
sementara aktivasi reseptor AT2 menyebabkan
vasodilatasi, inhibisi pertumbuhan sel,
natriuresis dan pelepasan bradikinin.
Angiotensin II berperan mempertahankan
homeostasis sirkulasi dalam jangka pendek.
Meskipun demikian, ekspresi berlebihan
angiotensin II menyebabkan fibrosis pada hati,
ginjal, dan organ lainnya. Angiotensin II juga
dapat memperburuk aktivasi neurohormonal
dengan
meningkatkan
pelepasan
norepinefrin dari ujung saraf simpatis. Selain
itu, terjadi pula stimulasi korteks adrenal untuk
memproduksi aldosteron yang juga berperan
dalam mempertahankan homeostasis jangka
pendek dengan mempengaruhi reabsorpsi

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

Natrium pada tubulus distal ginjal. Meskipun


demikian, ekspresi aldosteron berlebihan
menyebabkan hipertrofi dan fibrosis
vaskuler serta miokard yang menyebabkan
berkurangnya compliance vaskuler dan
meningkatkan kekakuan ventrikel. Aldosteron
berlebihan juga menyebabkan disfungsi sel
endotel, disfungsi baroreseptor, serta inhibisi
ambilan norepinefrin, yang semuanya akan
memperburuk gagal jantung.7
Perubahan neurohormonal vaskuler
perifer
Pada pasien gagal jantung, terjadi interaksi
kompleks antara sistem saraf otonom dengan
mekanisme autoregulasi lokal yang bertujuan
mempertahankan suplai darah ke otak dan
jantung, sementara mengurangi suplai ke
kulit, otot rangka, organ splanknik dan ginjal;
semua itu akibat pelepasan norepinefrin
sebagai vasokonstriktor yang poten, natriuretic
peptides, NO, bradikinin, PGI2 serta PGE2.
Bagi jantung, peningkatan tonus simpatis
ini bertujuan mempertahankan tekanan
arteri, sementara stimulasi simpatik pada
vena menyebabkan peningkatan tonus vena
untuk mempertahankan venous return dan
pengisian ventrikel untuk mempertahankan
hukum Starling. Seharusnya pada keadaan
normal, pelepasan NO terus-menerus akan
menyebabkan
counter-response
yakni
vasodilatasi, namun hal ini tidak terjadi pada
gagal jantung stadium lanjut.7
Remodeling ventrikel kiri
Pada pasien gagal jantung, terjadi perubahan
miosit
jantung,
yakni
berkurangnya
kontraktilitas otot jantung, berkurangnya
miofilamen miosit jantung, perubahan
protein sitoskeleton, serta desensitisasi sinyal
-adrenergik. Selain itu, terjadi pula pelepasan
mediator-mediator radang seperti TNF- dan
IL-1 saat terjadi kerusakan pada jantung, yang
berperan dalam perburukan gagal jantung.
Hipertrofi miosit jantung karena peningkatan
tekanan
sistolik
dinding
ventrikel
menyebabkan penambahan sarkomer paralel
dan peningkatan ukuran miosit sehingga
menyebabkan penebalan dinding ventrikel
kiri (pressure overload menyebabkan hipertrofi
konsentrik).
Pada volume overload, peningkatan tekanan
diastolik menyebabkan peningkatan panjang

miosit dan penambahan jumlah sarkomer


serial (hipertrofi eksentrik).7,8
Pada gagal jantung terjadi mekanisme
kompensasi Frank Starling. Gagal jantung
yang disebabkan oleh penurunan fungsi
ventrikel kiri menyebabkan isi sekuncup
(stroke volume) menurun dibandingkan
jantung normal. Penurunan isi sekuncup
menyebabkan pengosongan ventrikel
menjadi tidak adekuat; akhirnya volume
darah yang terakumulasi di ventrikel
selama fase diastolik menjadi lebih
banyak dibandingkan keadaan normal.
Mekanisme Frank-Starling menyebabkan
peningkatan
peregangan
miofiber
sehingga dapat menginduksi isi sekuncup
pada kontraksi berikutnya, sehingga
dapat membantu pengosongan ventrikel
kiri dan meningkatkan curah jantung
(cardiac output). Kompensasi ini memiliki
keterbatasan. Pada kasus gagal jantung berat
dengan depresi kontraktilitas, curah jantung
akan menurun, lalu terjadi peningkatan enddiastolic volume dan end-diastolic pressure
(yang akan ditransmisikan secara retrograd
ke atrium kiri, vena pulmoner dan kapiler)
sehingga dapat menyebabkan kongesti
pulmoner dan edema.6
Penegakan Diagnosis5
Pemeriksaan EKG 12 sadapan sangat
dianjurkan. Kepentingan utama EKG adalah
untuk menilai irama jantung, menentukan
keberadaan hipertrofi ventrikel kiri atau
riwayat infark miokard (ada atau tidak adanya
Q wave). EKG normal biasanya menyingkirkan
kemungkinan disfungsi diastolik ventrikel
kiri.5,7
Pemeriksaan foto toraks memberikan informasi
ukuran dan bentuk jantung serta keadaan
vaskularisasi paru, yang memungkinkan
penilaian kongesti. Foto toraks juga dapat
mengidentifikasi
penyebab
nonkardiak
sepeerti kelainan paru atau toraks.
Modalitas diagnostik lain yang dapat
digunakan antara lain angiografi koroner, MRI,
dan CT-scan.4
Penegakan diagnosis gagal jantung dalam
praktik dokter umum adalah dengan kriteria
Framingham, membutuhkan keberadaan dua
kriteria mayor atau 1 kriteria mayor disertai
dua kriteria minor (Tabel 3).8

21

TINJAUAN PUSTAKA
struktur jantung dan sistem kardiovaskular
merendahkan ambang rangsang untuk gagal
jantung. Kolagen interstisial dalam miokardium
meningkat, miokardium menegang, dan
relaksasi miokard menjadi lebih panjang.
Perubahan ini menyebabkan penurunan
signifikan fungsi diastolik ventrikel kiri, bahkan
pada orang tua sehat. Penurunan fungsi
sistolik juga terjadi seiring bertambahnya usia.
Selain itu, terjadi penurunan pada miokard
dan respons vaskular terhadap stimulasi beta
adrenergik yang akan merusak kemampuan
respons sistem kardiovaskular terhadap
peningkatan kebutuhan kerja.9 Perubahan ini
menurunkan kapasitas kerja puncak secara
signifikan (sekitar 8% per dekade setelah umur
30) dan curah jantung pada puncak latihan
berkurang lebih bermakna. Dengan demikian,
pasien lanjut usia lebih rentan terkena gagal
jantung sebagai respons terhadap stres
atau kelainan sistemik. Stresor termasuk
infeksi (paling sering pneumonia), hipotiroid,
hipertiroidi, anemia, iskemia miokard, hipoxia,
hipotermia, hipertermia, gagal ginjal, obatobatan, (termasuk NSAID [nonsteroidal
antiinflammatory drug], penyekat beta [beta
blocker], dan penyekat kanal kalsium [calcium
channel blocker]).9

Skema 1 memperlihatkan langkah diagnostik


gagal jantung.

Skema 1 Langkah diagnostik gagal jantung

Manifestasi klinis gagal jantung (tabel 2)5:


Tabel 2 Manifestasi klinis gagal jantung
Tampilan Klinis

Gejala

Tanda

Edema perifer / kongesti

Sesak nafas, kelelahan, mudah


penat, anoreksia

Edema perifer, peningkatan JVP, edema paru,


hepatomegali, asites, bendungan cairan, kakeksia

Edema paru

Sesak nafas yang sangat berat


saat istirahat

Ronki basah halus atau basah kasar di paru, efusi


paru, takikardia, takipnea

Syok kardiogenik

Penurunan kesadaran, lemah,


akral perifer dingin

Perfusi perifer yang buruk, tekanan darah sistolik <


90 mmHg, anuria atau oliguria

Etiologi dan Faktor Pencetus


Pada umumnya, etiologi gagal jantung pada
orang tua sama seperti yang terjadi pada
dewasa muda, tetapi lebih multifaktorial
(tabel 4).5

Tekanan darah yang sangat


tinggi (gagal jantung hipertensi)

Sesak nafas

Peningkatan tekanan darah, penebalan dinding


ventrikel kiri, ejeksi fraksi masih baik

Tabel 4 Gagal jantung pada pasien usia tua

Gagal Jantung kanan

Sesak nafas, mudah lelah

Tanda-tanda disfungsi ventrikel kanan, peningkatan


JVP, edema perifer, hepatomegali, asites

Tabel 3 Kriteria mayor dan minor gagal jantung


(Framingham)

22

Kriteria mayor

Kriteria minor

Paroxysmal nocturnal
dyspnea
Peningkatan tekanan
vena jugular
Ronki
Kardiomegali pada
pemeriksaan radiologi
toraks
Edema pulmoner akut
Gallop S3
Peningkatan tekanan
vena pusat (>16 cmH2O
pada atrium kanan)
Hepatojugular reflux
Penurunan berat
badan >4,5 kg dalam
5 hari sebagai respons
terhadap terapi

Edema pergelangan
kaki bilateral
Batuk nokturnal
Dyspnea on ordinary
exertion
Hepatomegali
Efusi pleural
Penurunan kapasitas
vital hingga sepertiga
dari maksimum (yang
pernah tercatat)
Takikardia (detak
jantung >120 kali/
menit)

GAGAL JANTUNG PADA GERIATRI


Patofisiologi
Disfungsi diastolik yang relatif tidak umum
pada dewasa muda, didapat pada 50%
kasus gagal jantung pada orang tua dan
umum terjadi pada perempuan. Pada
disfungsi diastolik, relaksasi miokard yang
berkepanjangan dan peningkatan kekakuan
(yang menurunkan tingkat pengisian dan
volume) meningkatkan tekanan diastolik
ventrikel kiri dan mengurangi isi sekuncup
saat istirahat dan selama bekerja. Akibatnya,
terjadi gagal jantung, bahkan ketika fungsi
sistolik (yang ditunjukkan oleh fraksi ejeksi)
normal atau mendekati normal.
Seiring dengan bertambahnya usia, perubahan

Penyakit Arteri Koroner


Infark Miokard Akut
Kardiomiopati Iskemik
Penyakit Jantung Hipertensi
Kardiomiopati Hipertensi Hipertrofi
Penyakit Jantung Katup
Kalsifikasi Stenosis Aorta
Regurgitasi Mitral
Stenosis Mitral
Insufisiensi Aorta
Malfungsi Katup Prostesa
Kardiomiopati
Dilatasi ( Noniskemik )
Hipertrofi
Restriktif
Endokarditis Infeksi
Miokarditis
Penyakit Perikardial
High Output Heart Failure
Anemia Kronik
Defisiensi Tiamin
Hipertiroid
Arteriovenous Shunting
Age-related Diastolic Dysfunction

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA
Pada orang tua, penyakit jantung iskemik
dengan infark miokard merupakan penyebab
paling
sering
kardiomiopati
dilatasi.
Kardiomiopati hipertrofi hipertensi sering
bermanifestasi disfungsi diastolik berat dan
dapat menghambat outflow tract ventrikel
kiri. High output heart failure tidak biasa
ditemukan pada orang tua; penyebab paling
sering high output heart failure ialah anemia
kronik, hipertiroid, defisiensi tiamin dan shunt
arteriovena. Walaupun fungsi sistolik masih
normal pada orang tua, gagal jantung dapat
terjadi karena disfungsi diastolik yang terkait
dengan bertambahnya usia.
Selain etiologi, penting untuk mengidentifikasi
faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi
akut atau subakut. Faktor pencetus paling
sering pada dua per tiga kasus gagal jantung
ialah noncompliance pengobatan dan atau
diet. Iskemi miokard atau infark, aritmia seperti
takikardi ventrikel, atrial fibrilasi atau flutter
dan blok atrioventrikular umumnya menjadi
faktor pencetus pada orang tua. Pada pasien
hipertensi, kontrol tekanan darah inadekuat
merupakan penyebab umum perburukan
keadaan gagal jantung.15
Orang tua memiliki kompensasi kardiovaskular
yang tidak baik sehingga gagal jantung dapat
dicetuskan oleh keadaan nonkardiak misalnya
gangguan respirasi akut seperti pneumonia,
emboli pulmonEr atau eksaserbasi penyakit
paru obstruksi kronik.
Manifestasi Klinis
Sama seperti dewasa muda, manifestasi
klinis paling sering pada orang tua ialah sulit
bernafas, orthopnoe, edema, fatigue dan
intoleransi kerja. Akan tetapi, terutama pada
usia 80 tahun ke atas dapat ditemukan atypical
symptomatology yaitu simptom tidak khas,
sehingga gagal jantung pada orang tua sering
over atau underdiagnosed. Gejala sulit bernafas
dan orthopnoe menjadi manifestasi gagal
jantung dengan penyakit yang mendasari
berupa penyakit paru kronik, pneumonia atau
emboli pulmoner.
Pemeriksaan fisik pada orang tua dapat
nonspesifik atau tidak khas. Tanda klasik
gagal jantung antara lain ronkhi paru,
peningkatan tekanan vena jugularis, refluks
abdominojugular, gallop S3 dan pitting edema
ekstremitas bawah. Tetapi ronkhi paru pada
orang tua dapat menjadi tanda penyakit paru

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

kronik, pneumonia atau atelektasis. Edema


perifer dapat disebabkan oleh insufisiensi
vena, penyakit ginjal atau obat seperti
penghambat kanal kalsium. Pasien usia tua
dapat memiliki pemeriksaan fisik normal.
Pernafasan Cheyne Stokes dapat menjadi
satu-satunya tanda dugaan gagal jantung.
Tabel 5 berikut mencantumkan manifestasi
gagal jantung pada orang tua.15
Tabel 5 Manifestasi atipikal gagal jantung pada orang tua
Keluhan sistemik nonspesifik
Malaise
Letih
Penurunan aktivitas fisik
Simptom Neurologi
Bingung
Iritabilitas
Gangguan tidur
Gangguan Gastrointestinal
Rasa tidak nyaman pada perut
Anoreksia
Mual
Diare

TATA LAKSANA
Tujuan utama penatalaksanaan gagal
jantung pada orang tua ialah untuk
mengembalikan kualitas hidup, mengurangi
frekuensi eksaserbasi gagal jantung dan
memperpanjang hidup. Tujuan sekunder
ialah memaksimalkan kemandirian serta
kapasitas kerja dan mengurangi biaya
perawatan. Untuk mencapai tujuan ini terapi
harus mencakup penanggulangan etiologi
dan faktor pencetus, terapi nonfarmakologi
(nonmedikamentosa) dan farmakologi
(medikamentosa).
Terapi nonfarmakologi (nonmedikamentosa)
antara lain dapat berupa15:
a. Edukasi gejala, tanda, dan pengobatan
gagal jantung
b. Manajemen diet, yaitu mengurangi
jumlah garam, menurunkan berat badan bila
dibutuhkan, rendah kolesterol, rendah lemak,
asupan kalori adekuat
c. Latihan fisik. Penelitian menunjukkan
bahwa pembatasan aktivitas fisik yang
berlebihan akan menurunkan fungsi
kardiovaskular dan muskuloskeletal. Latihan
fisik yang sesuai akan memperbaiki kapasitas
fungsional dan kualitas hidup pasien gagal
jantung
d. Dukungan keluarga untuk selalu
memperhatikan dan merawat pasien gagal
jantung di usia tua sangat penting dan
berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien.

Prinsip
dasar
terapi
farmakologi
medikamentosa gagal jantung adalah
mencegah remodelling progresif miokardium
serta mengurangi gejala. Gejala dikurangi
dengan cara menurunkan preload (aliran
darah balik ke jantung), afterload (tahanan
yang dilawan oleh kontraksi jantung), dan
memperbaiki kontraktilitas miokardium.
Prinsip terapi di atas dicapai dengan pemberian
golongan obat diuretik, ACE-inhibitor,
penyekat beta, digitalis, vasodilator, agen
inotropik positif, penghambat kanal kalsium,
antikoagulan, dan obat antiaritmia.11,12,15
ACE inhibitor
Obat ini menghambat konversi angiotensin
I menjadi angiotensin II. Efek terhadap
gagal jantung mungkin multifaktorial, tetapi
mekanisme penting ialah inhibisi parsial jalur
renin-angiotensin-aldosteron dan mengurangi
aktivitas simpatetik menghasilkan vasodilatasi,
natriuresis dan penurunan tekanan darah. ACE
inhibitor berguna mengurangi sesak nafas dan
mengurangi frekuensi eksaserbasi akut gagal
jantung. Obat ini sebaiknya dimulai dengan
dosis kecil pada orang tua dan dinaikkan
bertahap sesuai dengan fungsi ginjal. Pada
umumnya pemberian dosis pada orang tua
ialah setengah dosis pasien muda.12,13
Efek samping obat ini ialah batuk kering
yang dimediasi bradikinin; terkait dosis
dan dapat responsif dengan penurunan
dosis. Dapat juga terjadi hipotensi berat
pada pasien yang mengalami penurunan
volume cairan akibat diuretik terutama pada
geriatri yang kontrol baroreseptornya sudah
mengalami kerusakan. Kadar natrium darah
harus dipantau teratur saat memulai atau
menaikkan dosis ACE inhibitor dan juga jika
memakai kombinasi dengan diuretik hemat
kalium seperti spironolakton karena dapat
terjadi hiperkalemia.
Obat golongan ini menjadi lini pertama
pengobatan gagal jantung dan menentukan
prognosis Hanya sedikit data penggunaan
ACE inhibitor pada pasien di atas 75 tahun
akan tetapi berbagai studi telah membuktikan
ACE inhibitor mengurangi morbiditas dan
mortalitas pasien gagal jantung.12-14
Diuretik
Diuretik merupakan obat utama mengatasi
gagal jantung akut yang selalu disertai
kelebihan cairan yang bermanifestasi

23

TINJAUAN PUSTAKA
sebagai edema perifer. Diuretik dengan
cepat menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan melakukan
aktivitas fisik. Diuretik mengurangi retensi air
dan garam sehingga mengurangi volume
cairan ekstraseluler, arus balik vena dan preload.
Untuk tujuan ini biasanya diberikan diuretik
kuat yaitu furosemid dengan dosis awal 40
mg, ditingkatkan sampai diperoleh diuresis
yang cukup. Elektrolit serum dan fungsi ginjal
harus sering dipantau. Setelah euvolemia
tercapai dosis harus segera diturunkan
sampai dosis minimal yang diperlukan untuk
mempertahankan euvolemia.14
Pada pasien geriatri, deplesi volume dan
hipotensi harus diperhatikan karena fungsi
baroreseptor yang tidak baik lagi; oleh
karena itu diuretik tidak boleh diberikan
pada gagal jantung asimptomatik maupun
tidak ada overload cairan.11,13 Diuretik kuat
tidak mengurangi mortalitas gagal jantung,
penggunaan diuretik harus dikombinasi
dengan ACE inhibitor.11
Digoksin
Digoksin memiliki efek inotropik positif
dengan menahan Ca2+ intrasel sehingga
kontraktilitas sel otot jantung meningkat. Obat

ini juga memiliki efek mengurangi aktivasi


saraf simpatis sehingga dapat mengurangi
denyut jantung pada pasien fibrilasi atrium.
Efek toksik digoksin jarang, tetapi dapat terjadi
pada pasien geriatri dengan penurunan
fungsi ginjal dan status gizi kurang. Digoksin
tidak menurunkan mortalitas sehingga tidak
lagi dipakai sebagai obat lini pertama, tetapi
dapat memperbaiki gejala dan mengurangi
rawat inap akibat memburuknya gagal
jantung.14 Pada pasien geriatri, dosis digoksin
harus diturunkan dan harus dipantau kadarnya
dalam darah.14
Penyekat beta
Pemberian penyekat beta pada gagal jantung
sistolik akan mengurangi kejadian iskemi
miokard, mengurangi stimulasi sel-sel jantung
dan efek antiaritmi lain, sehingga mengurangi
risiko aritmia jantung dan dengan demikian
mengurangi risiko kematian mendadak.
Obat ini juga menghambat pelepasan
renin sehingga menghambat aktivasi
sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron)
akibatnya terjadi penurunan hipertrofi
miokard, apoptosis dan fibrosis miokard
dan remodeling miokard, sehingga progresi
gagal jantung akan terhambat dan dengan

demikian menghambat perburukan kondisi


klinis.
Metoprolol, bisoprolol dan carvedilol
bermanfaat menurunkan progresi klinis,
hospitalisasi dan mortalitas pasien gagal
jantung ringan dan sedang (NYHA kelas II-III)
stabil dengan fraksi ejeksi <35%-45%. Obat
ini juga diindikasikan untuk gagal jantung
dengan etiologi iskemik maupun noniskemik.
Pemberiannya dapat dikombinasi dengan
ACE inhibitor dan diuretik.14
PROGNOSIS
Angka harapan hidup pada penderita gagal
jantung di usia lanjut sebesar <35% dalam
lima tahun. Pada pasien yang dirawat dengan
gagal jantung, angka harapan hidup satu
tahun dapat kurang dari 50%. Pada sebuah
studi retrospektif laki-laki usia tua (ratarata 89 tahun) yang dirawat di rumah sakit
dalam jangka lama, mortalitas satu tahun
sebesar 87%. Prognosis akan memburuk
dengan meningkatnya klas fungsional NYHA.
Berbagai keadaan medis (tekanan darah,
faktor komorbid, status fungsional), keadaan
sosial (penikahan, status sosial) dan psikososial
(depresi dan kesehatan jiwa) memiliki efek
signifikan terhadap harapan hidup.10

DAFTAR PUSTAKA
1.

Dumitru, I. Heart Failure. eMedicine. [Online] Nov 24, 2009. [Cited: January 14, 2010.] http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview.

2.

Wang S. Multifactor Heart Failure in Elderly: a proposal for cooperative research. Journal of Geriatric Cardiology. 2006: 3; 197 8.

3.

Statistik Rumah Sakit di Indonesia Seri 3: Morbiditas / Mortalitas. Departemen kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik. 2009.

4.

Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrisons Principles of Internal Medicine, 17th ed. New York: McGraw-Hill; 2005,
pp.

5.

Dickstein K, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. Europian Society of Cardiology.2008: 29;2388-442.

6.

Shah RV, Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS [edt.]. Pathophysiology of Heart Disease. USA: Lippincott Williams & Wilkins. 2007. P 225-51.

7.

Mann DL. Pathophysiology of heart failure In: Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP [edt.]. Braunwald Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine. 8thed. USA: Elsevier Saunders.
Philadelphia. 2007.

8.

Panggabean MM. Gagal jantung. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SK, Setiati S, [edt]. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2007. h. 1513-4.

9.

Beers MH. Heart Failure. Merck Manual of Geriatric. USA: Whitehouse Station. 2006.p 900-11.

10. Arnold M, Miller F. Congestive Heart Failure in the Elderly. Division of Cardiology University of Western Ontario. 2005. Available at: http://www.ccs.ca/download/consensus_conference/
consensus_conference_archives/2002_05.pdf [ January, 14th 2010 ].
11. Stevenson LW. Design of therapy for advanced heart failure. The European Journal of Heart Failure 2005;7:323-31.
12. Jones EF. Drug Therapy of Heart Failure in Elderly. In: Woodward M et al [edt.]. Geriatric Therapeutics. Available at: http://jppr.shpa.org.au/lib/pdf/gt/harvey200109.pdf [January, 14th
2010].
13. Hanon O et al. Consensus of the French Society of Gerontology and Geriatrics and the French Society of Cardiology for the management of coronary artery disease in older adults.
Archives of Cardiovascular Disease 2009:102:829-45.
14. Setiawati A, Nafrialdi. Obat Gagal Jantung dalam Gunawan SG,dkk. Farmakologi dan Terapi. Ed.5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007. Hlm: 299313.
15. Rich MW. Heart Failure. In: Halter JB et al [edt.]. Hazzards Geriatric Medicine and Gerontology. 6thed. USA: McGraw Hill Companies. 2009. p. 931-49.

24

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA

Beberapa Kondisi Fisik dan Penyakit yang Merupakan


Faktor Risiko Gangguan Fungsi Kognitif
Budi Riyanto Wreksoatmodjo
Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK
Meningkatnya jumlah lanjut usia di dunia membawa beberapa masalah kesehatan masyarakat, antara lain yang dikaitkan dengan kemunduran
fungsi kognitif. Kemunduran fungsi kognitif tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko, baik yang tidak bisa dihindari, seperti usia dan
gender, juga beberapa kondisi fisik atau penyakit yang dapat dikendalikan. Pemahaman atas faktor-faktor risiko tersebut dapat membantu
mengurangi risiko kemunduran fungsi kognitif.
Kata kunci: lanjut usia, kondisi fisik, kemunduran fungsi kognitif

ABSTRACT
The increase of old age population brings additional burden to community, particularly problems due to cognitive decline. Cognitive decline is
influenced by many risk factors; some risk factors are inherent such as aging and gender, but many conditions and diseases can be controlled.
The understanding about these risk factors can help reduces the risk of cognitive decline. Budi Riyanto Wreksoatmodjo. Some Physical
Conditions and Diseases as Risk Factors for Cognitive Decline.
Key words: old age, physical condition, cognitive decline

Tulisan ini merupakan bagian dari disertasi:


Budi Riyanto Wreksoatmodjo. Pengaruh Social
Engagement terhadap Fungsi Kognitif Lanjut
Usia di Jakarta. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia, 2013.
LATAR BELAKANG
Saat ini, penduduk dunia diperkirakan
berjumlah sekitar 7 milyar, meningkat dari
sekitar 6.5 milyar di tahun 2006. Peningkatan
jumlah penduduk tersebut diikuti dengan
peningkatan jumlah penduduk berusia 60
tahun ke atas; antara tahun 1970 sampai
tahun 2025, jumlah mereka diperkirakan akan
meningkat 223% atau bertambah sekitar
694 juta jiwa. Di tahun 2025 akan terdapat
sekitar 1.2 milyar penduduk dunia berusia
60 tahun ke atas, yang akan menjadi 2 milyar
di tahun 2050; 80% di antaranya tinggal
di negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia.1 Jumlah lanjut usia di Indonesia
diperkirakan 18.575.000 jiwa;2 angka tersebut
sekitar 7% dari jumlah seluruh penduduk
yang diperkirakan sebesar 234.181.400 jiwa.
Proporsi populasi lanjut usia tersebut akan
terus meningkat mencapai 11.34% di tahun
2020.3
Alamat korespondensi

Salah satu masalah utama para lanjut


usia adalah kemunduran fungsi kognitif.
Kemunduran fungsi kognitif tersebut
selanjutnya mempengaruhi pola interaksi
mereka dengan lingkungan tempat tinggal,
dengan anggota keluarga lain, juga pola
aktivitas sosialnya,4 sehingga akan menambah
beban keluarga, lingkungan dan masyarakat.
Kemunduran fungsi kognitif dapat berupa
mudah-lupa (forgetfulness) yaitu bentuk
gangguan kognitif yang paling ringan;
gangguan ini diperkirakan dikeluhkan
oleh 39% lanjut usia berusia 50-59 tahun,
meningkat menjadi lebih dari 85% pada usia
lebih dari 80 tahun. Di fase ini seseorang
masih bisa berfungsi normal kendati mulai
sulit mengingat kembali informasi yang
telah dipelajari; tidak jarang ditemukan pada
orang setengah baya.5 Jika penduduk berusia
lebih dari 60 tahun di Indonesia berjumlah
7% dari seluruh penduduk, maka keluhan
mudah-lupa tersebut diderita oleh setidaknya
3% populasi di Indonesia. Mudah-lupa ini
bisa berlanjut menjadi Gangguan Kognitif
Ringan (Mild Cognitive Impairment-MCI)
sampai ke Demensia sebagai bentuk klinis

yang paling berat. Demensia adalah suatu


kemunduran intelektual berat dan progresif
yang mengganggu fungsi sosial, pekerjaan,
dan aktivitas harian seseorang.6 Penyakit
Alzheimer (AD) merupakan penyebab yang
paling sering, ditemukan pada 50-60%
pasien demensia; penderitanya diperkirakan
berjumlah 35.6 juta di seluruh dunia (2010),
yang akan meningkat mencapai 65.7 juta di
tahun 2030 dan menjadi 115.4 juta di tahun
2050;7 sehingga di antara penduduk usia
lanjut dunia yang mencapai 1.2 milyar di
tahun 2025,8 penyakit Alzheimer diidap oleh
setidaknya 5% populasi. Penyebab demensia
lainnya meliputi gangguan vaskuler (10-30%),
alkoholik, gangguan metabolik, infeksi otak,
trauma otak, anoksi dan lain-lain.9
BEBAN PELAYANAN LANJUT USIA
Beberapa studi di negara maju menunjukkan
bahwa peningkatan penduduk lanjut
usia akan meningkatkan kebutuhan dan
pembiayaan berkaitan dengan kebutuhan
mereka, termasuk kebutuhan pelayanan
kesehatan dan biaya yang berkaitan dengan
pelayanan sosial dan masyarakat.10 Data
Bank Dunia menunjukkan bahwa seiring

email: send2rizal@gmail.com

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

25

TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 1 Biaya Perawatan Lanjut Usia di Berbagai Negara (billionUS$)7

Tabel 2 Biaya perawatan penderita demensia di Negara-negara berdasarkan klasifikasi Bank Dunia (US$)7

menghasilkan prevalensi demensia mulai


dari 0.4% pada pria dan perempuan usia 6064 tahun sampai 22.1% pada pria dan 30.8%
pada wanita berusia lebih dari 90 tahun.7
2. GENDER
Tidak terdapat perbedaan insidensi demensia
akibat semua penyebab antara laki-laki dan
perempuan.13 Beberapa studi besar tidak
menemukan perbedaan insiden demensia
Alzheimer maupun demensia vaskuler
di kalangan laki-laki dan perempuan.15-6
Meskipun demikian, dua meta analisis
menyimpulkan bahwa perempuan lebih
cenderung menderita demensia Alzheimer,
khususnya di usia sangat lanjut. Asosiasi ini
menetap sekalipun dikoreksi mengingat
perempuan mempunyai harapan hidup lebih
panjang.12,17 Sebaliknya laki-laki cenderung
lebih berisiko menderita demensia vaskuler
dibandingkan perempuan, terutama di usia
lebih muda.12 Hal ini dapat karena ada faktor
risiko seperti penyakit kardiovaskuler yang
lebih sering dijumpai di kalangan laki-laki.

Ket.: Indonesia tergolong dalam kelompok lower middle income countries dengan GNP US$ 2050 (2009) (http://data.
worldbank.org/country/Indonesia).

dengan meningkatnya pendapatan negara,


biaya perawatan demensia akan meningkat
terutama di bidang asuhan informal berupa
pelayanan pengasuhan dan bantuan
pengawasan aktivitas para lanjut usia (tabel
1).

risiko yang dapat dicegah. Faktor-faktor risiko


penurunan fungsi kognitif tersebut bisa
berasal dari faktor genetik (gen APOE, PS),
usia, faktor penyakit/kondisi kesehatan seperti
hipertensi, DM, defisiensi, maupun faktor
lingkungan tempat tinggal.11

Peningkatan biaya tersebut juga terlihat


jika dihitung berdasarkan biaya perorang
penderita demensia; terutama di bidang
pelayanan sosial dan informal (tabel 2). Yang
termasuk dalam informal care ialah bantuan
untuk aktivitas pribadi sehari-hari seperti
mandi, berpakaian, makan, dan bantuan
untuk bepergian, mengurus keuangan dan
sebagainya yang dilakukan oleh keluarga
tanpa dibayar (unpaid care provided by family
and others). Secara umum dapat dikatakan
bahwa makin tinggi pendapatan rata-rata
suatu negara, biaya pelayanan para lanjut usia
akan makin meningkat, terutama di sektor
pelayanan sosial dan informal.

Selanjutnya akan dibahas beberapa kondisi


fisik dan penyakit yang merupakan faktor
risiko gangguan kognitif.

Mengingat besarnya masalah dan beban


masyarakat akibat gangguan kognitif lanjut
usia, upaya pencegahan akan menghasilkan
dampak besar terhadap penghematan
sumberdaya masyarakat. Upaya tersebut
antara lain dapat melalui pengenalan faktor

26

FAKTOR RISIKO GANGGUAN KOGNITIF


1. USIA
Dapat dipahami jika angka kejadian demensia
meningkat sesuai dengan pertambahan
usia; peningkatannya sekitar dua kali lipat
setiap pertambahan usia 5 tahun.12 Suatu
meta analisis menghasilkan angka insidensi
demensia sedang-berat di AS sebesar 2.4, 5.0,
10.5, 17.7 dan 27.5 per 1000 person-years pada
kelompok usia berturut-turut 65-69, 70-74, 7579, 80-84 dan 85-89 tahun. Untuk demensia
Alzheimer, angkanya berturut-turut 1.6, 3.5,
7.8, 14.8 dan 26.0 per 1000 person-years. Angka
tersebut akan dua-tiga kali lipat jika kasus-kasus
ringan juga dihitung.13 Penelitian LEILA75+ di
Jerman menghasilkan annual incidence rate
demensia antara 45.847.4 per 1000 personyears.14 Studi EURODEM dari 8 negara Eropa

3. RAS
Beberapa studi di AS menunjukkan bahwa
insiden demensia dan Alzheimer kira-kira dua
kali lebih tinggi di kalangan Afrika-amerika
dan Hispanik dibandingkan dengan kulitputih.18-19 Prevalensi demensia dan Alzhemier
agaknya lebih rendah di negara-negara
Asia dibandingkan dengan di AS,12,20 selain
itu prevelensi demensia di kalangan orang
Jepang di Jepang lebih rendah daripada
di kalangan Jepang-Amerika yang tinggal
di Hawaii.21 Penelitian di Singapura yang
sebagian besar penduduknya etnis Cina,
mendapatkan prevalensi demensia sebesar
1.26%, etnis Melayu dua kali lebih berisiko
Alzheimer dibandingkan dengan etnis
Cina, sedangkan etnis India dua kali lebih
berisiko Alzheimer dan demensia vaskuler
dibandingkan dengan etnis Cina.22 Perbedaan
ini dapat lebih dipengaruhi oleh faktor
lingkungan daripada oleh faktor genetik;
diperlukan penelitian lanjutan untuk mencari
faktor utama penyebab perbedaan tersebut.13
4. GENETIK
Penyakit Alzheimer (AD) merupakan penyakit
genetis heterogen; dikaitkan dengan satu
susceptibility (risk) gene dan tiga determinative
(disease) genes.23 Susceptibility (risk) gene yang
diketahui ialah alel apolipoprotein E4 (APOE
4) di khromosom 19 pada q13.2.24 meskipun

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA
adanya alel tersebut di individu asimtomatik
tidak memprediksi AD di kemudian hari.25 Ada
satu jenis penyakit Alzheimer early-onset yang
sangat jarang; jenis yang diturunkan secara
autosomal dominan ini dikaitkan dengan
mutasi di khromosom 1 (gen presenilin 2
PS2) atau di khromosom 14 (gen presenilin
1 PS1), atau lebih jarang lagi, di khromosom
21.23
5. TEKANAN DARAH
Tekanan darah tinggi di usia pertengahan
dikaitkan dengan mild cognitive impairment26
dan peningkatan risiko demensia;27 sebaliknya
hipertensi di usia lanjut diasosiasikan dengan
penurunan risiko demensia.28 Selain itu
telah diamati bahwa tekanan darah mulai
turun sekitar 3 tahun sebelum demensia
didiagnosis29 dan terus menurun pada
penderita AD.30 Dari data ini bisa ditafsirkan
bahwa tekanan darah tinggi di usia
pertengahan meningkatkan risiko demensia
di kemudian hari, sedangkan rendahnya
tekanan darah di usia lanjut dikaitkan dengan
proses penuaan dan neuropatologi yang
menyertainya.31 Perbedaan risiko tersebut
dapat karena tingginya tekanan sistolik
di usia pertengahan akan meningkatkan
risiko
aterosklerosis,32
meningkatkan
jumlah lesi iskemik substansia alba,33 juga
meningkatkan jumlah plak neuritik dan
tangles di neokorteks dan hipokampus34
serta meningkatkan atrofi hipokampus dan
amigdala.35 Masing-masing kelainan tersebut
dapat berpengaruh negatif terhadap
fungsi kognitif. Sebaliknya, rendahnya
tekanan
darah
dapat
diasosiasikan
dengan peningkatan risiko gangguan
kognitif dan demensia karena perubahan
neurodegeneratif akibat hipoperfusi otak.36
6. PAYAH JANTUNG
Payah jantung di kalangan usia lanjut dikaitkan
dengan gangguan kognitif; skor MMSE lebih
rendah dikaitkan dengan disfungsi ventrikel
kiri yang lebih berat;37 selain itu di kalangan
usia lanjut berpenyakit jantung, mereka
yang menderita payah jantung mempunyai
fungsi kognitif lebih rendah.38 Riwayat payah
jantung dikaitkan dengan peningkatan risiko
demensia, termasuk demensia Alzheimer39
dan CIND (cognitive impairment no dementia).40
Kaitan ini bisa disebabkan oleh adanya
faktor risiko bersama seperti aterosklerosis,
hipertensi, diabetes melitus,41 atau karena
hipoperfusi serebral.42

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

7. ARITMI JANTUNG
Kejadian fibrilasi atrium dikaitkan dengan
gangguan fungsi kognitif maupun demensia,
terutama di kalangan perempuan dan usia
<75 tahun;43 fibrilasi atrium permanen pada
usia lanjut dikaitkan dengan nilai MMSE
yang lebih rendah, mungkin disebabkan
oleh lesi iskemik akibat mikroemboli; tetapi
fibrilasi atrium sering disertai dengan payah
jantung yang menurunkan cardiac output
dan penyakit lain seperti diabetes melitus
yang juga merupakan faktor risiko gangguan
kognitif.44
8. DIABETES MELITUS
Diabetes melitus di usia pertengahan
meningkatkan
risiko
mild cognitive
impairment,45 semua jenis demensia46-8 dan
demensia vaskuler,49 meskipun penemuan
Curb dkk (1999) tidak menyokong.50
Studi kasus-kontrol menunjukkan bahwa
peningkatan risiko dipengaruhi oleh onset
yang lebih dini, lama dan beratnya diabetes.51
Manfaat kontrol gula darah terhadap risiko
demensia masih belum dapat dipastikan.
Studi observasional mendapatkan para
diabetik yang diobati lebih sedikit yang turun
fungsi kognitifnya dibandingkan dengan yang
tidak diobati.52
Mekanisme hubungan diabetes melitus
dengan demensia belum diketahui pasti;
agaknya melibatkan beberapa proses yang
saling berkaitan: proses vaskular, metabolik
dan proses oksidatif/inflamasi.53 Diabetes
menyebabkan gangguan sistem pembuluh
darah, termasuk di otak; gangguan ini bisa
menyebabkan iskemi menghasilkan lesi
subkortikal di substansia alba, silent infarcts,
dan atrofi yang pada MRI terlihat lebih sering
dan berat di kalangan penderita diabetes.54
Diabetes lebih dikaitkan dengan risiko
demensia vaskuler dibandingkan dengan
demensia Alzheimer.55 Metabolisme Abeta56
dan tau-protein57 yang membentuk plak
dan kekusutan neuron di otak juga dapat
dipengaruhi oleh kadar insulin.
9. KADAR LIPID DAN KOLESTEROL
Kaitan kolesterol dengan demensia telah
banyak diteliti, tetapi hasilnya masih belum
konsisten. Serupa dengan tekanan darah,
kadar kolesterol tinggi di usia pertengahan
dihubungkan dengan peningkatan risiko
gangguan kognitif,58-9 peningkatan risiko
demensia46,60 dan peningkatan risiko penyakit

Alzheimer;61 sedangkan kadar kolesterol


tinggi di usia lanjut tidak berpengaruh62 atau
bahkan diasosiasikan dengan penurunan
risiko demensia.63 Penelitian menunjukkan
bahwa kadar kolesterol mulai turun sebelum
timbul gejala demensia; penurunan lebih
besar antara usia pertengahan dan usia lanjut
dikaitkan dengan lebih beratnya gangguan
kognitif di usia lanjut.64 Tingginya kadar HDL
kolesterol di usia pertengahan diasosiasikan
dengan nilai neuropsikometrik yang lebih
baik, sedangkan kadar trigliserida tidak
berpengaruh.65 Mungkin terdapat hubungan
nonlinear antara fungsi kognitif dengan
kadar kholesterol66 atau perbedaan kekuatan
asosiasi pada usia yang berbeda.67
Peranan kolesterol dalam patologi demensia
bisa berkaitan dengan alel APOEe4.
Dibandingkan dengan alel e2 dan e3, e4
dihubungkan dengan transpor dan clearance
kolesterol yang lebih buruk68 yang bisa
meningkatkan kadar kolesterol di usia lanjut.
Tingginya kadar kolesterol bisa menyebabkan
aterosklerosis yang mengurangi aliran darah
ke otak dan mempercepat neurodegenerasi69
melalui pengaruhnya terhadap metabolisme
beta amiloid (Abeta), protein pembentuk plak
yang ditemukan berlebihan di otak pasien
Alzheimer.70
Penurunan risiko demensia di kalangan
lanjut usia dengan kolesterol tinggi mungkin
berhubungan dengan peran kolesterol pada
plastisitas neuron71 atau sifat antioksidan
oksisterolnya,72 atau pada perlindungannya
terhadap general wasting dan hilangnya
massa tubuh yang dikaitkan dengan
demensia Alzheimer.73 Studi potonglintang
menunjukkan rendahnya penggunaan statin
di kalangan demensia dibandingkan dengan
di kalangan nondemensia, tetapi hasil ini
dapat disebabkan oleh perbedaan pola
preskripsi.74
10. FUNGSI TIROID
Perubahan fungsi tiroid merupakan bagian
dari perubahan yang umum diamati pada
usia lanjut.75 Hipertiroid subklinis diasosiasikan
dengan penurunan fungsi kognitif;76 tetapi
peranan disfungsi tiroid subklinis terhadap
status fungsional para usia lanjut masih
diperdebatkan.77 Mekanisme hubungan
tersebut masih belum diketahui,76 dapat
melalui mekanisme autoimunitas mengingat
kelainan tiroid autoimun juga lebih sering

27

TINJAUAN PUSTAKA
dijumpai di kalangan penderita Alzheimer.78
Selain itu peningkatan kadar hormon tiroid
cenderung meningkatkan stres oksidatif79 dan
mencetuskan apoptosis yang dapat merusak
dan menyebabkan kematian neuron.80
11. OBESITAS
Mengingat obesitas erat hubungannya
dengan hipertensi, kolesterol tinggi, dan
diabetes melitus, beberapa studi mencoba
mencari hubungannya dengan demensia.
Hasilnya tidak konsisten - studi pada kelompok
usia pertengahan umumnya menunjukkan
peningkatan risiko;46,81 sebaliknya, studi di
usia lanjut menunjukkan penurunan risiko
AD.82 Mungkin ada situasi lain dengan asosiasi
nonlinear adipositas di usia pertengahan
meningkatkan risiko, kemudian terdapat
perubahan patofisiologi berkaitan dengan
demensia yang (juga) menurunkan indeks
massa tubuh.
Mekanisme yang paling jelas ialah melalui
peningkatan risiko hipertensi, diabetes dan
hiperkolesterolemi;83 tetapi perbaikan faktorfaktor tersebut ternyata tidak mengurangi
asiosiasinya,46 menandakan kemungkinan
obesitas secara independen berisiko
demensia. Mekanismenya bisa akibat efek
jaringan adiposa yang mensekresi beberapa
sitokin, hormon dan faktor pertumbuhan yang
menembus sawar darah otak83 mengingat
jaringan adiposa diketahui merupakan
jaringan endokrin aktif.84 Disregulasi hormon
leptin bersamaan dengan proses penuaan
dapat secara langsung mempengaruhi
degenerasi Alzheimer dengan meningkatkan
deposisi Abeta di jaringan otak.85
12. NUTRISI
12.1. Mikronutrien
Vitamin B6, B12 dan asam folat dapat
mengurangi risiko gangguan kognitif dan
demensia karena mengurangi peningkatan
kadar homosistein plasma, homosistein
diketahui dapat menyebabkan perubahan
patologi melalui mekanisme vaskuler dan
neurotoksik
langsung.86
Suplementasi
B12 hanya menguntungkan kalangan
defisiensi B12, yang lebih sering ditemukan
di kelompok lanjut usia karena gangguan
absorbsi akibat kondisi gastrik dan masalah
pencernaan lain.87 Tetapi Kwok dkk (2008)
mendapatkan bahwa suplementasi B12
selama 10 bulan tidak memperbaiki fungsi
kognitif di kalangan demensia yang defisiensi

28

B12.88 Analisis Cochrane juga menyimpulkan


bahwa suplementasi B12, dibandingkan
dengan plasebo, tidak meningkatkan fungsi
kognitif di kalangan demensia yang kadar B12
serumnya rendah.89 Juga, studi sistematik atas
14 penelitian suplementasi folat, B6 dan B12
tidak menghasilkan efek menguntungkan
di kalangan lanjut usia normal90 maupun
di kalangan yang sudah terganggu fungsi
luhurnya.86,90 Studi lanjutan hendaknya
menggunakan populasi yang lebih jelas
diagnosisnya dan menggunakan pengukuran
yang baku; selain itu juga dapat diperkuat
dengan studi pencitraan.90 Studi defisiensi B12
di usia muda hanya melaporkan komplikasi
jangka pendek seperti neuropati dan sklerosis
medula.91
Mengingat radikal bebas dan kerusakan
oksidatif juga diduga berperan pada kelainan
otak yang berhubungan dengan usia,92-3
asupan antioksidan (misalnya vitamin C dan E)
diharapkan bisa mengurangi risiko gangguan
kognitif dan demensia; tetapi laporannya
masih saling bertentangan. Vitamin C dan
E dari diet dan suplemen diasosiasikan
dengan penurunan risiko AD;94-5 konsumsi
buah dan sayuran di usia pertengahan juga
menurunkan risiko AD dan demensia.31
Tetapi ada studi yang tidak menemukan
asosiasi antara penggunaan zat antioksidan
di usia pertengahan96 maupun di usia lanjut97
dengan kejadian demensia. Asupan lebih
tinggi polifenol dari sari buah dan sayuran98
dan flavonoid dari buah, sayuran, anggur
merah dan teh99 diasosiasikan dengan
penurunan risiko demensia dan Alzheimer.
Coklat dan kakao juga mengandung
flavonoid tinggi telah terbukti memperbaiki
kesehatan kardiovaskuler melalui mekanisme
menurunkan tekanan darah,100-1 meningkatkan
sensitivitas insulin,101 menurunkan LDL
dan kolesterol,100-2 menurunkan reaktivitas
platelet,102 memperbaiki fungsi endotel103
dan menurunkan inflamasi102-3 yang potensiil
mempengaruhi kesehatan otak dan fungsi
kognitif.
Mekanisme
perlindungan
antioksidan
terhadap penurunan kognitif dan demensia
dapat berupa: 1) meningkatkan cadangan
otak, 2) mengurangi kejadian penyakit
serebrovaskuler, 3) mengurangi stres oksidatif
dan inflamasi yang berkontribusi pada proses
penuaan dan proses patologi yang dikaitkan
dengan demensia.93

12.2. Makronutrien
Makronutrien yang dikaitkan dengan
demensia ialah lemak. Ada asosiasi antara
asupan lemak di usia pertengahan berasal dari
olesan roti dan susu dengan risiko demensia
dan Alzheimer (AD) 21 tahun kemudian;104
asupan moderat (dibandingkan dengan
asupan rendah) lemak total dan lemak takjenuh
(misal mentega, margarin) diasosiasikan
dengan penurunan risiko demensia dan AD,
sedangkan asupan moderat lemak jenuh dari
olesan roti diasosiasikan dengan peningkatan
risiko.31
Orang yang mengkonsumsi ikan sedikitnya
1 kali/minggu 60% lebih kurang berisiko
menderita
Alzheimer
dibandingkan
dengan mereka yang tak pernah/jarang
mengkonsumsi ikan.97 Satu studi acak
terkontrol atas pengaruh minyak ikan
(sumber asam lemak tak jenuh termasuk
EPA dan DHA) terhadap fungsi kognitif tidak
menghasilkan efek pada usia lanjut, tetapi
ada sedikit efek untuk beberapa aspek atensi
di antara APOEe4 carrier dan pria.105
Peranan lemak pada fungsi kognitif dan demensia diduga melalui kolesterol, sedangkan
studi di tikus menunjukkan kemungkinan peranannya dalam deposisi amiloid.106
Konsumsi kafein lebih tinggi dilaporkan
mengurangi risiko penurunan kognitif
di kalangan perempuan,107 menurunkan
risiko demensia;108 juga dikaitkan dengan
penurunan risiko demensia Alzheimer pada
studi retrospektif yang mengukur konsumsi
kafein selama 20 tahun sebelum penilaian.109
Efek menguntungkan kafein mungkin melalui
mekanisme penurunan produksi Abeta110
atau dengan meningkatkan kadar protein
otak yang penting dalam proses mengingat
dan belajar seperti BDNF.111
12.3. Pola diet
Efek diet terhadap kognisi ialah secara
keseluruhan dan interaksi antar zat nutrien
atau pola diet tidak berasal dari masingmasing nutrien dan/atau suplemen secara
tersendiri.112 Salah satu pola diet yang
diasosiasikan dengan penurunan risiko
AD ialah diet Mediterania yang kaya buah,
sayuran, wholegrain dan ikan.113
13. ALKOHOL
Kebanyakan studi

terdahulu

terpusat

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA
pada efek negatif konsumsi alkohol
berlebihan; tetapi konsumsi alkohol ringan
dan moderat dibandingkan dengan
abstinensi dan konsumsi alkohol berat
dapat menguntungkan kesehatan kognitif,
termasuk lebih kecilnya penurunan beberapa
domain kognitif.114 Suatu meta analisis atas
asosiasi prospektif penggunaan alkohol
dengan penurunan kognitif dan demensia
(termasuk Alzheimer dan demensia vaskuler)
menyimpulkan bahwa konsumsi ringan
sampai moderat diasosiasikan dengan
penurunan risiko demensia; risiko demensia
vaskuler dan penurunan kognitif juga
menurun tetapi tidak bermakna.115 Studi
konsumsi alkohol di usia pertengahan juga
menunjukkan efek protektif konsumsi alkohol
moderat. Lebih lanjut, ditemukan hubungan
U-shape dan modifikasi efek oleh ApoEe4 alel
di populasi Finlandia selama 23 tahun follow
up.116 Mehlig dkk (2008) melaporkan bahwa
konsumsi anggur (wine) yang lebih sering,
tetapi bukan spirit dan bir, di usia pertengahan
dikaitkan dengan insiden demensia yang
lebih rendah 34 tahun kemudian di kalangan
perempuan Swedia. Studi ini117 dan lainnya118
mendapatkan bahwa keuntungan konsumsi
alkohol moderat lebih besar atau terbatas di
kalangan perempuan, tetapi studi lain tidak
menemukan hal tersebut.119
Berlawanan dengan efek buruknya pada
pemakaian akut dan kronis, konsumsi alkohol
moderat agaknya menguntungkan kesehatan.
Mekanismenya mungkin melalui penurunan
beberapa faktor risiko kardiovaskuler120 seperti
meningkatkan HDL kolesterol, memperbaiki
sensitivitas insulin dan menurunkan reaksi
inflamasi, tekanan darah, faktor pembekuan
darah, homosistein plasma, hiperintensitas
massa alba dan infark subklinis. Mekanisme
potensial lainnya termasuk meningkatnya

pergaulan sosial121 yang dapat meningkatkan


cadangan otak, efek antioksidan dan flavonoid
antiamiloidogenik yang terkandung dalam
anggur merah122 dan upregulasi asetilkholin
hipokampus.123
14. MEROKOK
Studi awal hubungan merokok dengan risiko
demensia menunjukkan efek protektif, tetapi
studi longitudinal mendapatkan bahwa
efek tersebut disebabkan oleh survivor
bias124 - lebih sedikit kalangan perokok yang
mencapai usia berisiko demensia. Pada studi
atas pria Jepang-Amerika, risiko gangguan
kognitif lebih besar di kalangan perokok
dan mantan perokok dibandingkan dengan
yang tak pernah merokok,125 dan risiko AD
lebih besar di kalangan perokok sedang
dan berat dibandingkan dengan perokok
ringan.126 Metaanalisis asosiasi merokok
dengan demensia dan penurunan kognitif
di studi prospektif lain menunjukkan bahwa
perokok aktif meningkat risiko demensia dan
penurunan kognitifnya dibandingkan dengan
yang tak pernah merokok; perbedaan risiko
tidak pernah merokok dan mantan perokok
masih belum jelas karena masalah variasi di
antara studi.67
Asupan nikotin zat adiktif utama dalam
rokok dapat menguntungkan fungsi
kognitif, terutama atensi, belajar dan daya
ingat (memori) dengan memfasilitasi
pelepasan asetilkholin, glutamat, dopamin,
norepinefrin, serotonin dan GABA,127 tetapi
terpapar asap tembakau jangka panjang
terbukti meningkatkan risiko gangguan
kognitif dan demensia di kemudian hari,
termasuk peningkatan infark otak silent,
intensitas massa alba, kematian neuron dan
atrofi subkortikal. Merokok juga menurunkan
kadar antioksidan penangkap radikal bebas

dalam sirkulasi, meningkatkan respons


inflamasi dan mengarah ke aterosklerosis
yang
mempengaruhi
permeabilitas
sawar darah-otak, aliran darah otak dan
metabolisme otak.128 Merokok juga langsung
mempengaruhi patologi demensia dengan
meningkatkan jumlah plak.126
15. TRAUMA
Trauma kepala secara langsung mencederai
struktur dan fungsi otak, dan dapat mengakibatkan gangguan kesadaran, kognitif dan
tingkah laku.129 Studi kohort mendapatkan
bukti kuat bahwa riwayat cedera kepala
meningkatkan risiko penurunan fungsi
kognitif,130 risiko demensia dan AD131
sesuai dengan beratnya cedera.131-2 Riwayat
cedera kepala disertai kesadaran menurun
meningkatkan risiko AD 10 kali lipat, sedangkan jika tanpa penurunan kesadaran risikonya
3 kali lipat;131 selain itu mulatimbul Alzheimer
lebih dini jika ada riwayat hilang kesadaran
lebih dari 5 menit.133 Sebuah studi kasuskontrol juga menunjukkan risiko Alzheimer
meningkat dalam 10 tahun pertama setelah
cedera kepala.134 Mekanismenya dianggap melalui kerusakan sawar darah-otak, peningkatan stres oksidatif dan hilangnya neuron.135
RINGKASAN
Makin besarnya jumlah lanjut usia di dunia
membawa beberapa masalah kesehatan
masyarakat, terutama yang dikaitkan dengan
kemunduran fungsi kognitif.
Kemunduran fungsi kognitif dilatarbelakangi
oleh berbagai faktor risiko, baik yang tak
bisa dihindari seperti usia dan gender, juga
beberapa kondisi fisik atau penyakit; kondisi
kondisi ini perlu diperbaiki agar dapat
mengurangi beban masyarakat maupun
keluarga akibat gangguan fungsi kognitif.

DAFTAR PUSTAKA
1.

WHO. Active Ageing: a policy framework. WHO, Geneva, 2002.

2.

BPS. Statistik Indonesia 2009. Jakarta. 2009,

3.

Komisi Nasional Lanjut Usia. Profil Penduduk Lanjut Usia 2009. Jakarta: Komnas Lansia, 2010.

4.

Boedhi-Darmojo, R, Gerontologi Sosial. Dalam: Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Ed. 4. Martono HH, Pranarka K. (eds). Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2010. pp. 14-34.

5.

Kusumoputro S, Sidiarto L. Otak menua dan Alzhemier stadium ringan. Neurona 2001; 18(3): 4-8.

6.

Assosiasi Alzheimer Indonesia Konsensus Nasional Pengenalan dan Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia Lainnya. ed. 1, Asosiasi Alzheimer Indonesia, Jakarta. 2003,

7.

Alzheimers Disease International. World Alzheimer Report 2010 Executive Summary. London, 2010

8.

WHO. Active Ageing: a policy framework. Geneva:WHO, 2002.

9.

Dahlan P. Definisi dan diagnosa banding sindrom demensia. Permasalahan Kontinuum ForgetfulnessDemensia (Alzhemier). Perdossi, Jakarta. 1999,

10. Rahardjo TBW, Hartono T, Dewi VP, Hoogervorst E, Arifin EN. Facing the geriatric wave in Indonesia. Financial conditions and social support. Dalam Arifin EN, Ananta A. (eds.) Older Persons
in Southeast Asia. An Emerging Asset, ISEAS, Singapore. 2009,

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

29

TINJAUAN PUSTAKA
11. Patterson C, Feightner JW, Garcia A, Hsiung GY, MacKnight C, Sadovnick AD. Diagnosis and treatment of dementia: 1. risk assessment and primary prevention of Alzheimer disease. CMAJ
2008; 178(5): 548-56.
12. Jorm AF, Jolley D. The incidence of dementia: A Meta-Analysis. Neurology 1998; 51(3): 728-33.
13. Yaffee K, Barnes DE. Epidemiology and Risk Factors. The Behavioral Neurology of Dementia. Cambridge Medicine, Cambridge, 2009
14. Riedel-Heller SG, Busse A, Aurich C, Matschinger H, Angermeyer MC. Incidence of dementia according to DSM-III-R and ICD-10: Results of the Leipzig Longitudinal Study of the Aged
(LEILA75+), Part 2. Br. J. Psychiatr. 2001;179: 255-260.
15. Rocca WA, Cha RH, Waring SC, Kokmen E. Incidence of dementia and Alzheimers disease. A reanalysis of data from Rochester, Minnesota, 1975-1984. Am J Epidemiol. 1998; 148(1): 5162.
16. Hbert R, Brayne C, Spiegelhalter D. Factors associated with functional decline and improvement in a very elderly community-dwelling population. Am J Epidemiol.1999; 150(5): 50110.
17. Gao S, Hendrie HC, Hall KS, Hui S. The relationships between age, sex, and the incidence of dementia and Alzheimer disease: a meta-analysis. Arch Gen Psychiatry 1998;55(9): 809-15.
18. Folstein MF, Bassett SS, Anthony JC, Romanoski AJ, Nestadt GR. Dementia: Case ascertainment in a community survey. J Gerontol. 1991;46(4): 132-8.
19. Tang MX, Cross P, Andrews H, et al. Incidence of AD in African-Americans, Caribbean Hispanics, and Caucasians in Northern Manhattan. Neurology, 2001; 56(1): 49--56.
20. Manly JJ, Jacobs DM, Mayeux R. Alzheimer disease among different ethnic and racial groups. Dalam: Miller BL, Boeve, BF (eds.). The Behavioral Neurology of Dementia, Cambridge University Press. 2009.
21. White L, Petrovitch H, Ross GW, et al. Prevalence of dementia in older Japanese-American men in Hawaii: The Honolulu-Asia Aging Study. JAMA. 1996; 276(12): 955-60.
22. Sahadevan S, Saw SM, Gao W, et al. Ethnic differences in Singapores dementia prevalence: the stroke, Parkinsons disease, epilepsy, and dementia in Singapore study. J Am Geriatr Soc.
2008;56(11): 20618.
23. Post SG, Whitehouse PJ (eds.). Genetic testing for Alzheimer disease. Ethical and Clinical Issues. The Johns Hopkins University Press, 1998, pp. 37-64
24. Barber R, Gholkar A, Scheltens P, Ballard C, McKeith IG, Morris CM, OBrien JT. Apolipoprotein E 4 allele, temporal lobe atrophy, and white matter lesion in late-life dementia. Arch.Neurol.
1999; 56(8): 961-5.
25. Roses AD A New Paradigm for clinical evaluation of dementia: Alzheimer disease and Apolipoprotein e genotypes. Dalam: Post SG, Whitehouse, PJ (eds.) Genetic testing for Alzheimer
disease. Ethical and Clinical Issues. The Johns Hopkins University Press,1998,pp. 37-64
26. Kivipelto M, Helkala EL, Laakso MP, et al. Apolipoprotein E _4 Allele, elevated midlife total cholesterol level,and high midlife systolic blood pressure are independent risk factors for late-life
Alzheimer disease. Ann Intern Med. 2002;137(3): 149-155.
27. Whitmer RA, Sidney S, Selby J, Johnston SC, Yaffe K. Midlife Cardiovascular Risk Factors and Risk of Dementia in Late Life. Neurology.2005; 64(2): 277-81.
28. Guo Z, Viitanen M, Fratiglioni L, Winblad B. Low blood pressure and dementia in elderly people: The Kungsholmen Project. BMJ 1996;312(7034): 805-8.
29. Qiu C, Winblad B, Fratiglioni L The age-dependent relation of blood pressure to cognitive function and dementia. Lancet Neurol. 2005; 4(8): 487-99.
30. Hanon O, Latour F, Seux ML, Lenoir H, Forette F, Rigaud AS, REAL.FR Group. Evolution of blood pressure in patients with Alzheimers disease: a one year survey of a French cohort (REAL.
FR). J Nutr Health Aging 2005;9(2): 106-111
31. HughesTF, Ganguli M. Modifiable midlife risk factors for late-life cognitive impairment and dementia. Curr Psychiatry Rev,. 2009; 5(2):7392.
32. Padwal R, Straus SE, McAlister FA. Cardiovascular risk factors and their effects on the decision to treat hypertension: evidence based review. BMJ 2001;322(7292): 97780.
33. Havlik RJ, Foley DJ, Sayer B, Masaki K, White L, Launer LJ. Variability in midlife systolic blood pressure is related to late-life brain white matter lesions: The Honolulu-Asia aging study. Stroke
2002; 33(1): 26-30.
34. Petrovitch H, White LR, Izmirilian G, et al.Midlife blood pressure and neuritic plaques, neurofibrillary tangles, and brain weight at death: the HAAS. Honolulu-Asia aging study. Neurobiol
Aging. 2000;21(1): 57-62.
35. den Heijer T, Launer LJ, Prins ND et al. Association between blood pressure, white matter lesions, and atrophy of the medial temporal lobe. Neurology 2005; 64(2): 263-7.
36. Aliev G, Smith MA, Obrenovich ME, de la Torre JC, Perry G. Role of vascular hypoperfusion-induced oxidative stress and mitochondria failure in the pathogenesis of Alzheimer disease.
Neurotox Res. 2003; 5(7): 491-504.
37. Heckman GA, Patterson CJ, Demers C, St.Onge J, Turpie ID, McKelvie RS. Heart failure and cognitive impairment: Challenges and opportunities. Clinical Interventions in Aging 2007;2(2):
20918.
38. Trojano L, Antonelli, Incalzi R, Acanfora D, Picone C, Mecocci P, Rengo F & Congestive Heart Failure Italian Study Investigators. Cognitive impairment: a key feature of congestive heart
failure in the elderly. J Neurol. 2003;250(12):1456-63.
39. Qiu C, Winblad B, Marengoni A, Klarin I, Fastbom J, Fratiglioni L Heart failure and risk of dementia and Alzheimer disease: a population-based cohort study. Arch Intern Med. 2006;166(9):
1003-8.
40. Di Carlo A, Baldereschi M, Amaducci L, Maggi S, Grigoletto F, Scarlato G, Inzitari D. Cognitive impairment without dementia in older people: prevalence, vascular risk factors, impact on
disability. The Italian Longitudinal Study on Aging. J Am Geriatr Soc. 2000;48(7): 775-82.
41. Cukierman T, Gerstein HC, Williamson JD. Cognitive decline and dementia in diabetes--systematic overview of prospective observational studies. Diabetologia 2005; 48(12): 2460-9.
42. Heckman GA, Patterson CJ, Demers C, St.Onge J, Turpie ID, McKelvie RS.Heart failure and cognitive impairment: Challenges and opportunities. Clinical Interventions in Aging 2007; 2(2):
20918.
43. Ott A, Breteler MM, de Bruyne MC, van Harskamp F, Grobbee DE, Hofman A. Atrial fibrillation and dementia in a population-based study. The Rotterdam Study. Stroke 1997;(28) 2: 316-21.
44. Wozakowska-Kapon B, Opolski G, Kosior D, et al. Cognitive disorders in elderly patients with permanent atrial fibrillation. Kardiol Pol 2009;67(5): 487-93.
45. Luchsinger JA, Reitz C, Patel B, Tang MX, Manly JJ, Mayeux R. Relation of diabetes to mild cognitive impairment. Arch Neurol. 2007;64(4): 570-5.
46. Whitmer RA, Sidney S, Selby J, Johnston SC, Yaffe K.Midlife Cardiovascular Risk Factors and Risk of Dementia in Late Life., Neurology.2005; 64(2): 277-81.
47. Xu W, Qiu C, Gatz M, Pedersen NL, Johansson B, Fratiglioni L. Mid- and late-life diabetes in relation to the risk of dementia a population-based twin study. Diabetes 2009; 58(1): 717.
48. Schnaider-Beeri M, Goldbourt U, Silverman JM, et al. Diabetes mellitus in midlife and the risk of dementia three decades later. Neurology. 2004; 63(10): 1902--7.

30

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA
49. Yamada M, Kasagi F, Sasaki H, Masunari N, Mimori Y, Suzuki G. Association between dementia and midlife risk factors: the radiation effects research foundation adult gealth study JAGS
2009;51(3): 410-414.
50. Curb JD, Rodriguez BL, Abbott RD, et al.Longitudinal association of vascular and alzheimers dementias, diabetes, and glucose tolerance. Neurology 1999; 52(5): 971-5.
51. Roberts RO, Geda YE, Knopman DS, et al. Association of duration and severity of diabetes mellitus with mild cognitive impairment. Arch Neurol. 2008; 65(8):1066-73.
52. Wu JH, Haan MN, Liang J, Ghosh D, Gonzalez HM, Herman WH. Impact of antidiabetic medications on physical and cognitive functioning of older mexican americans with diabetes mellitus: a population-based cohort study. Ann Epidemiol. 2003;13(5): 369-76.
53. Haan MN. Therapy insight: Type 2 diabetes mellitus and the risk of late-onset alzheimers disease. Nat Clin Pract Neurol. 2006; 2(3): 159--66.
54. Manschot SM, Biessels GJ, de Valk H, et al & Diabetic Encephalopathy Study Group. Metabolic and vascular determinants of impaired cognitive performance and abnormalities on brain
magnetic resonance imaging in patients with type 2 diabetes. Diabetologia 2007;50(11): 23882397.
55. Hassing LB, Johansson B, Nilsson SE, Berg S, Pedersen NL, Gatz M, McClearn G. Diabetes mellitus is a risk factor for vascular dementia, but not for Alzheimers disease: a population-based
study of the oldest old. Int Psychogeriatr. 2002 Sep;14(3):239-48.
56. Gasparini L, Netzer WJ, Greengard P, Xu H. Does insulin dysfunction play a role in Alzheimers disease? Trends Pharmacol Sci. 2002;23(6): 288-93.
57. de la Monte SM, Wands JR.Review of insulin and insulin-like growth factor expression, signaling, and malfunction in the central nervous system: relevance to Alzheimers disease. J Alzheimers Dis. 2005; 7(1): 45-61.
58. Kivipelto M, Helkala EL, Laakso MP, et al. Midlife vascular risk factors and alzheimers disease in later life: longitudinal, population based study. BMJ 2001;322(7300): 144751.
59. Solomon A, Kreholt I, Ngandu T, et al. Serum cholesterol changes after midlife and late-life cognition: twenty-one-year follow-up study. Neurology 2007; 68(10): 751-6.
60. Panza F, DIntrono A, Colacicco AM, et al. Lipid metabolism in cognitive decline and dementia., Brain Res Rev. 2006; 51(2): 275-92.
61. Kivipelto M, Helkala EL, Laakso MP, et al. Apolipoprotein E _4 Allele, elevated midlife total cholesterol level,and high midlife systolic blood pressure are independent risk factors for late-life
Alzheimer disease. Ann Intern Med. 2002;137(3): 149-155.
62. Tan ZS, Seshadri S, Beiser A et al. Plasma total cholesterol level as a risk factor for alzheimer disease.the Framingham study. Arch Intern Med. 2003; 163(9): 1053-57.
63. Mielke MM, Zand, PP, Sjgren M, et al. High total cholesterol levels in late life associated with a reduced risk of dementia. Neuroepidemiology. 2000; 19(3): 141-8.
64. Solomon A, Kreholt I, Ngandu T, et al.Serum cholesterol changes after midlife and late-life cognition: twenty-one-year follow-up study. Neurology 2007;68(10): 751-6.
65. Postiglione A, Cortese C, Fischetti A et al. Plasma lipids and geriatric assessment in a very aged population of south Italy., Atherosclerosis.1989; 80(1): 63-8.
66. Zhang MY, Katzman R, Salmon D, et al. The prevalence of dementia and Alzheimers disease in Shanghai, China: impact of age, gender, and education. Ann Neurol. 1990;27(4): 428-37.
67. Anstey KJ, von Sanden C, Salim A, OKearney R. Smoking as a risk factor for dementia and cognitive decline: A meta-analysis of prospective studies. Am J Epidemiol. 2007;166(4): 36778.
68. Mahley RW. Apolipoprotein E: Cholesterol transport protein with expanding role in cell biology. Science 1988; 240(4852): 622-30.
69. Launer LJ, White LR, Petrovitch H, Ross GW, Curb JD. Cholesterol and Neuropathologic Markers of AD: A Population-Based Autopsy Study. Neurology.2001;57(8): 1447-52.
70. Simons M, Keller P, De Strooper B, Beyreuther K, Dotti CG, Simons K.Cholesterol depletion inhibits the generation of b-amyloid in hippocampal neurons. Proc. Natl. Acad. Sci USA 1998;
95(11):. 646064.
71. Pfrieger FW. Cholesterol homeostasis and function in neurons of the central nervous system. Cell Mol Life Sci. 2003;60(6): 1158--71.
72. Smith LL.Another cholesterol hypothesis: cholesterol as antioxidant. Free Radic Biol Med. 1991;11(1): 47-61.
73. Nourhashmi F, Vellas B. Weight loss as a predictor of dementia and alzheimers disease? Expert Rev Neurotherapeutics, 2008;(5): 691-3.
74. Rodriguez EG, Dodge HH, Birzescu MA, Stoehr GP, Ganguli M. Use of lipid-lowering drugs in older adults with and without dementia: a community-based epidemiological study. J Am
Geriatr Soc.2002;50(11): 1852-6.
75. Mariotti S, Franceschi C, Cossarizza A, Pinchera A.The aging thyroid. Endocr Rev. 1995;16(6): 686-715.
76. Ceresini G, Lauretani F, Maggio M, Ceda GP, Morganti S, Usberti E, dkk. Thyroid function abnormailties and cognitive impairment in elderly people: results of the InChianti study. J.
Am.Geriatr.Soc. 2009;57(1):89-93
77. SurksMI, Ortiz E, Daniels GH, et al. Subclinical thyroid disease scientific reviewand guidelines for diagnosis and management. JAMA 2004; 291(2): 228-238.
78. Lopez OL, Rabin BS, Huff FJ, Rezek D, Reinmuth OM. Serum autoantibodies in patients with Alzheimers disease and vascular dementia and in nondemented control subjects. Stroke
1992;23(8): 1078-1083.
79. Videla LA, Sir T, Wolff C. Increased lipid peroxidation in hyperthyroid patients: suppression by propylthiouracil treatment. Free Radic Res Commun. 1988; 5(1): 1-10.
80. Chan RS, Huey ED, Maecker HL et al.Endocrine modulators of necrotic neuron death. Brain Pathol. 1996;6(4): 481-91.
81. Kivipelto M, Ngandu T, Fratiglioni L, et al. Obesity and vascular risk factors at midlife and the risk of dementia and Alzheimer disease. Arch Neurol. 2005;62(10):1556-60.
82. Sturman MT, de Leon CF, Bienias JL, Morris MC, Wilson RS, Evans DA. Body mass index and cognitive decline in a biracial community population. Neurology. 2008; 70(5): 360-7.
83. Gustafson D, Rothenberg E, Blennow K, Steen B, Skoog I.An 18-year follow-up of overweight and risk of Alzheimer disease. Arch Intern Med. 2003;163(3): 1524-8.
84. Gustafson D. Adiposity indices and dementia. Lancet Neurol. 2006;5(8): 713-20.
85. Fewlass DC, Noboa K, Pi-Sunyer FX, et al. Obesity-related leptin regulates Alzheimers abeta. The FASEB J. 2004;18(15): 1870-8
86. Aisen PS, Schneider LS, Sano M, et al.High-dose B vitamin supplementation and cognitive decline in alzheimer disease a randomized controlled trial. JAMA2008;300(15): 1774-83.
87. Carmel R. Cobalamin, the stomach, and aging. Am J Clin Nutr. 1997; 66(4): 750-9.
88. Kwok T, Lee J, Lam L, Woo J. Vitamin B(12) supplementation did not improve cognition but reduced delirium in demented patients with vitamin B(12) deficiency. Arch Gerontol Geriatr.
2008; 46(3): 273-82.
89. Malouf R, Areosa Sastre A.Vitamin B12 for cognition. Cochrane Database Syst Rev. 2003, vol. 3.
90. Balk EM, Raman G, Tatsioni A, Chung M, Lau J,Rosenberg IH, Vitamin B6, B12, and folic acid supplementation and cognitive function. a systematic review of randomized trials. Arch Intern
Med. 2007;167(1): 21-30.
91. Maamar M, Tazi-Mezalek Z, Harmouche H, Ammouri W, Zahlane M, Adnaoui M, Aouni M, Mohattane A, Maaouni A. Neurological manifestations of vitamin B12 deficiency: a retrospective
study of 26 cases]. Rev Med Interne. 2006 Jun;27(6):442-7. Epub 2006 Feb 28. French.

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

31

TINJAUAN PUSTAKA
92. Peila R, White LR, Masaki K, Petrovitch H, Launer LJ. Reducing the risk of dementia: efficacy of long-term treatment of hypertension stroke. 2006;37 (5): 1165-70.
93. Behl C. Alzheimers disease and oxidative stress: implications for novel therapeutic approaches. Prog Neurobiol. 1999; 57(3): 301-23.
94. Engelhart MJ, Geerlings MI et al. Dietary Intake of Antioxidants and Risk of Alzheimer Disease, JAMA 2002; 287(4): 3223-9.
95. Zandi PP, Anthony JC, Khachaturian AS, et al.Reduced risk of Alzheimer disease in users of antioxidant vitamin supplements: The Cache County Study. Arch Neurol. 2004; 61(1): 82-8.
96. Laurin D, Masaki KH, Foley DJ, White LR, Launer LJ. Midlife dietary intake of antioxidants and risk of late-life incident dementia. The Honolulu-Asia aging study, Am J Epidemiol. 2004;159(10):
95967.
97. Morris MC, Evans DA, Bienias JL, et al. Dietary intake of antioxidant nutrients and the risk of incident Alzheimer disease in a biracial community study. JAMA 2002;287(24): 3230-7.
98. Dai Q, Borenstein AR, Wu Y, Jackson JC, Larson EB. Fruit and vegetable juices and Alzheimers disease: the Kame project. Am J Med. 2006;119(9): 7519.
99. Commenges D, Scotet V, Renaud S, et al. Intake of flavonoids and risk of dementia. Eur. J. Epidemiol 2000; 16, (4): 357-63.
100. Allen, RR, Carson, L, Kwik-Uribe, C, Evans, EM & Erdman, JW Jr. 2008, Daily Consumption of A Dark Chocolate Containing Flavanols and Added Sterol Esters Affects Cardiovascular Risk
Factors in A Normotensive Population with Elevated Cholesterol, J. Nutr., vol. 138, no. 4, pp. 72531.
101. Grassi D, Desideri G, Necozione S et al. Blood pressure is reduced and insulin sensitivity increased in glucose-intolerant, hypertensive subjects after 15 days of consuming high-polyphenol
dark chocolate. J. Nutr. 2008;138(9): 16711676.
102. Hamed MS, Gambert S, Bliden KP, et al. Dark chocolate effect on platelet activity, C-reactive protein and lipid profile: A pilot study. South Med J. 2008;101(12): 1203-8.
103. Balzer J, Rassaf T, Heiss C, et al. Sustained benefits in vascular function through flavanol-containing cocoa in medicated diabetic patients a double-masked, randomized, controlled trial. J
Am Coll Cardiol. 2008;51(22):2141-9.
104. Laitinen MH, Ngandu T, Rovio S, et al. Fat intake at midlife and risk of dementia and Alzheimers disease: A population-based. Dement Geriatr Cogn Disord.2006;22(1): 99-107.
105. van de Rest O, Geleijnse JM, Kok FJ, et al.Effect of fish oil on cognitive performance in older subjects: a randomized, controlled trial. Neurology 2008; 71(6): 430--8.
106. Sparks DL, Scheff SW, Hunsaker JC 3rd, Liu H, Landers T, Gross DR. Induction of Alzheimer-like beta-amyloid immunoreactivity in the brains of rabbits with dietary cholesterol. Exp Neurol.
1994;126(1): 88-94.
107. Ritchie K, Carrire, I, de Mendonca, A, et al. The neuroprotective effects of caffeine: a prospective population study (the Three City Study). Neurology, 2007; 69(6): 536-45.
108. Lindsay J, Laurin D, Verreault R, et al.Risk factors for Alzheimers disease: a prospective analysis from the Canadian Study of Health and Aging. Am J Epidemiol. 2002;156(5): 44553.
109. Maia L, de Mendona A. Does caffeine intake protect from Alzheimers disease? Eur J Neurol. 2002; 9(4): 377-82.
110. Arendash GW, Mori T, Cao C, et al. Caffeine reverses cognitive impairment and decreases brain amyloid- levels in aged Alzheimers disease mice. J. Alzheimers Dis. 2009;17(3):66180.
111. Costa MS, Botton PH, Mioranzza S, etal.Caffeine improves adult mice performance in the object recognition task and increases BDNF and TrkB independent on phospho-CREB immunocontent in the hippocampus. Neurochem Int.2008; 53(3-4): 89-94.
112. Luchsinger JA, Mayeux R.Dietary factors and Alzheimers disease. Lancet Neurol. 2004; 3(10): 579-87.
113. Scarmeas N, Stern Y, Tang MX, Mayeux R, Luchsinger JA. Mediterranean diet and risk for Alzheimers disease. Ann Neurol. 2006; 59(6): 912-21.
114. Ganguli M, Vander Bilt J, Saxton JA, Shen C, Dodge HH.Alcohol consumption and cognitive function in late life: a longitudinal community study. Neurology. 2005;65(8): 1210-7.
115. Peters R, Peters J, Warner J, Beckett N, Bulpitt C.Alcohol, dementia and cognitive decline in the elderly: A systematic review. Age and Ageing 2008; 37(5): 50512.
116. Anttila T, Helkala EL, Viitanen M, et al. Alcohol drinking in middle age and subsequent risk of mild cognitive impairment and dementia in old age: a prospective population based study.,
BMJ, 2004; 329(7465): 539.
117. Mehlig K, Skoog I, Guo X, Schtze M, et al.Alcoholic beverages and incidence of dementia: 34-year follow-up of the prospective population study of women in Goteborg. Am J Epidemiol..
2008;167(6): 68491.
118. Mukamal KJ, Kuller LH, Fitzpatrick AL, Longstreth WT Jr, Mittleman MA, Siscovick DS. Prospective study of alcohol consumption and risk of dementia in older adults. JAMA. 2003;289(1):
1405-13.
119. Bond GE, Burr RL, McCurry SM, Rice MM, Borenstein AR, Larson EB. Alcohol and cognitive performance: a longitudinal study of older Japanese Americans, The Kame Project. Int Psychogeriatr. 2005; 17(4): 653-68.
120. Agarwal DP.Cardioprotective effects of light-moderate consumption of alcohol: A review of putative mechanism. Alcohol and Alcoholism. 2002;37(5): 409-15.
121. Baum-Baicker C. The psychological benefits of moderate alcohol consumption: A review of the literature. Drug Alcohol Depend. 1985;15(4): 305-22.
122. Marambaud P, Zhao H, Davies P.Resveratrol promotes clearance of Alzheimers disease amyloid- peptides. J. Biol. Chem. 2005;280(45): 3737782.
123. McIntosh C, Chick J. Alcohol and the nervous system., J Neurol Neurosurg Psychiatry 2004;75(3): 16-21.
124. Hernn MA, Alonso A, Logroscino G.Cigarrette smoking and dementia. potential selection bias in the elderly. Epidemiol. 2008; 19(3).
125. Galanis DJ, Petrovitch H, Launer LJ, Harris TB, Foley DJ, White LR. Smoking history in middle age and subsequent cognitive performance in elderly Japanese-american men the HonoluluAsia Aging Study. Am J Epidemiol. 19971;45(6): 507-15.
126. Tyas SL, White LR, Petrovitch H et al. Mid-life smoking and late-life dementia: the Honolulu-Asia Aging Study, Neurobiol Aging. 2003;24(4): 589-96.
127. Rezvani AH, Levin ED.Cognitive effects of nicotine. Biol Psychiatry. 2001; 49(3): 258-67.
128. Swan GE, Lessov-Schlaggar CN. The effects of tobacco smoke and nicotine on cognition and the brain. Neuropsychol Rev., 2007;17(3): 259-73.
129. Schmidt RH, Grady MS.Loss of forebrain cholinergic neurons following fluid-percussion injury: implications for cognitive impairment in closed head injury. J Neurosurg. 1995;83(3): 496502.
130. Luukinen H, Viramo P, Koski K, Laippala P, Kivel SL. Head injuries and cognitive decline among older adults: A population-based study. Neurology.1999;52 (3): 557-62
131. Guo Z, Cupples LA, Kurz A, et al Head injury and the risk of AD in the MIRAGE study. Neurology 2000; 54(6): 1316-23.
132. Plassman BL, Havlik RJ, Steffens DC, et al. Documented head injury in early adulthood and risk of Alzheimers disease and other dementias. Neurology. 2000; 55(8): 1158--66.
133. Schofield PW, Tang M, Marder K, et al.Alzheimers disease after remote head injury: an incidence study. J Neurol Neurosurg Psychiatr, 1997; 62 (1): 119-24.
134. van Duijn CM, Tanja TA, Haaxma R, et al.. Head trauma and the risk of Alzheimers disease. Am J Epidemiol., 1992;135(7): 775-82.
135. Lye TC, Shores EA. Traumatic brain injury as a risk factor for Alzheimers disease: A review. Neuropsychol Rev. 2000;10(2): 115-29.

32

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA

Paraneoplastic Limbic Encephalitis:


Pendekatan Diagnosis dan Penatalaksanaan
Michael Setiawan
Bagian Neurologi RS Pluit, RSPI Puri Indah, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK
Paraneoplastic limbic encephalitis (PLE) merupakan entitas yang termasuk dalam paraneoplastic neurological syndromes (PNS), berhubungan
dengan beberapa jenis tumor, disebabkan oleh gangguan sistem imun yang dicetuskan oleh ekspresi aberan antigen onkoneural tumor. Dalam
beberapa dekade ini sudah diidentifikasi sejumlah antibodi yang berkaitan dengan PLE yaitu antibodi onkoneural klasik terhadap antigen
intraseluler, dan antibodi terhadap antigen permukaan sel. Masing-masing antibodi memberikan karakteristik gejala klinis, gambaran magnetic
resonance imaging (MRI), dan respons pengobatan yang berbeda. Gambaran klinis khas adalah onset subakut atau akut gangguan memori
jangka pendek, gejala psikiatrik, dan kejang. Walaupun spektrum klinis belum sepenuhnya diketahui, sindrom klinis PLE penting dikenali karena
dapat memberikan respons terhadap imunoterapi. Secara umum, pasien dengan antibodi terhadap antigen permukaan sel prognosisnya lebih
baik karena perjalanan klinisnya cenderung tidak terlalu berat, dan memberikan respons baik dengan terapi imunomodulasi.
Kata kunci: paraneoplastic limbic encephalitis, diagnosis, penatalaksanaan

ABSTRACT
Paraneoplastic Limbic Encephalitis (PLE) is an entity belonging to Paraneoplastic Neurological Syndromes (PNS), associated with several tumors,
caused by immune mediated disorders triggered by aberrant expression of onconeural antigens in the tumor. In the last few decades, 2 groups
of antibodies associated with PLE have been identified, classical onconeural antibodies directed against the intracellular antigens, and surface
antigen antibodies. Each antibody gives characteristic clinical manifestations, magnetic resonance imaging (MRI) findings, and different response
to therapy. Characteristic clinical manifestations are subacute or acute onset of recent memory loss, psychiatric manifestations, and seizures.
Although the clinical spectrum has not yet been fully investigated, the clinical importance lies in their good response to immunotherapies.
Generally, patients with surface antigen antibodies have more favorable prognosis because the clinical course tends to be less severe, and
respond well with immunomodulation treatment. Michael Setiawan. Paraneoplastic Limbic Encephalitis: Diagnosis and Management
Approaches.
Key words: paraneoplastic limbic encephalitis, diagnosis, management

PENDAHULUAN
Paraneoplastic Neurological Syndromes (PNS)
adalah gangguan sistem saraf akibat kanker
yang tidak disebabkan oleh efek lokal maupun
metastasis. PNS jarang dijumpai, mencakup
gangguan yang sangat luas, dapat mengenai
sistem saraf pusat maupun saraf perifer. Salah
satu jenis PNS di antaranya adalah limbic
encephalitis.
Ditemukannya antibodi terhadap antigen
onkoneural
menciptakan
pemahaman
baru tentang sindrom ini.1-4 Akhir-akhir
ini ditemukan antibodi yang menyerang
antigen pada membran reseptor atau kanal
ion (antigen permukaan sel), antibodi ini
memegang peranan dalam patofisiologi PNS.
Pada kasus dengan antibodi terhadap antigen
onkoneural intraseluler positif sering dapat
Alamat korespondensi

Tabel 1 Paraneoplastic neurological syndromes klasik


Sindrom sistem saraf pusat
Limbic Encephalitis
Encephalomyelitis
Subacute Cerebellar Degeneration
Opsoclonus myoclonus
Sindrom sistem saraf perifer
Subacute sensory neuronopathy
Chronic gastrointestinal pseudo-obstruction
Sindrom neuromuscular junction dan otot
Lambert-Eaton myasthenic syndromes
Dermatomyositis

ditemukan tumor penyebabnya, sedangkan


pada kasus dengan antibodi terhadap antigen
permukaan sel positif tidak selalu ditemukan
tumor penyebabnya.1,2
DEFINISI
Paraneoplastic Neurological Syndromes (PNS)

didefinisikan sebagai efek jauh kanker yang


bukan disebabkan langsung oleh tumor
atau metastasisnya, ataupun oleh infeksi,
dan gangguan metabolik. PNS mencakup
gangguan pada sistem saraf pusat dan sistem
saraf perifer1,4. Pada PNS terdapat istilah
sindrom klasik yang merupakan sindrom
neurologis yang sering berhubungan dengan
kanker (tabel 1).
Limbic Encephalitis (LE) adalah proses inflamasi
yang melibatkan hipokampus, amigdala,
dan korteks orbitofrontal.5,6 Gangguan ini
biasanya menimbulkan kumpulan gejala
berupa gangguan psikiatrik, gangguan
memori, kejang dan akhirnya diikuti dengan
gangguan sistem saraf otonom yang dapat
membutuhkan life support di ICU dan bisa
mengakibatkan kematian.5,6 LE merupakan

email: ditoanurogo@gmail.com

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

33

TINJAUAN PUSTAKA
entitas tersendiri yang termasuk dalam
paraneoplastic neurological syndromes (PNS).
Selama dekade terakhir ini, LE banyak diteliti.
Berdasarkan pengetahuan saat ini, LE dapat
dikategorikan dalam 2 golongan besar yaitu
yang disebabkan oleh gangguan otoimun
dan yang disebabkan oleh infeksi.2 Pada
makalah ini akan dibahas LE yang disebabkan
oleh gangguan otoimun dan merupakan
bagian dari PNS.
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM
LIMBIK
Sistem limbik mencakup beberapa struktur,
yaitu hipokampus, amigdala, hipotalamus,
corpus mamilare, forniks dan girus cinguli
(sirkuit Papez). Sistem limbik sangat berperan
pada kognisi, afek dan regulasi sistem saraf
otonom.2,7
SEJARAH DAN EPIDEMIOLOGI
PNS yang melibatkan hemisfer otak pertama
dideskripsi oleh Brierley dkk pada tahun
1960. Saat itu diperkirakan PNS hanya
dapat mengenai sistem saraf kaudal dari
ganglia basal. Definisi Paraneoplastic Limbic
Encephalitis baru dibuat oleh Corsellis dkk 8
tahun kemudian yang melaporkan dua kasus
pria berusia antara 50-60 tahun menderita
depresi dan iritabilitas selama beberapa
minggu, diikuti hilangnya memori jangka
pendek yang makin progresif. Memori

jangka panjang, judgement, dan reasoning


tidak terganggu. Gejala lain adalah kejang,
menandakan gangguan fokal otak. Dari hasil
otopsi dijumpai lymphocytic perivascular
cuffing dan infiltrasi pada beberapa bagian
otak, terutama lobus temporal mesial.1,2
Insidensi PNS yang dilaporkan sangat
bervariasi, dan berasal dari pusat-pusat
rujukan. Bentuk PNS yang sering dijumpai
yaitu paraneoplastic sensory neuropathy
diperkirakan 3-7 kasus per 1000 diagnosis
kanker. Sedangkan paraneoplastic encephalitis
insidensinya sekitar 3 per 1000 diagnosis
kanker.2
Tumor Yang Berhubungan dengan PNS
Pada PNS, 50% sampai 80% pasien sudah
menunjukkan gejala neurologis sebelum
diagnosis tumor ditegakkan. Tumor yang
berhubungan dengan PNS adalah kanker
paru-paru (60%) terutama small cell lung
cancer (SCLC). Sekitar 20% ditemukan pada
tumor germ cell. Sisanya berhubungan dengan
kanker payudara, thymoma, limfoma Hodgkin
dan teratoma. 1,2
Tumor
yang
berhubungan
dengan
paraneoplastic limbic encephalitis adalah SCLC
(anti Hu, Anti CRMP5, anti-amphiphysin), tumor
testis (anti-Ma2), thymoma (anti-CRMP5), dan
kanker payudara (anti-amphiphysin).

PATOFISIOLOGI
Para ahli imunologi tumor memperkenalkan
nama antibodi onkoneural untuk menjelaskan
antibodi yang mentarget antigen pada
jaringan neuroektodermal dan tumor. Sejak
tahun 1980-an sudah beberapa antibodi
onkoneural ditemukan dan merupakan
biomarker untuk sindrom paraneoplastik
klasik. Limbic encephalitis (LE) klasik dengan
kejang lobus temporalis berhubungan
dengan antibodi terhadap antigen intraseluler.
Antibodi onkoneural ditemukan pada sekitar
60% pasien dengan paraneoplastic LE.
Antibodi yang sering dijumpai adalah anti-Hu,
anti-Ma2, anti-amphiphysin dan anti-CRMP5.
Kebanyakan pasien dengan antibodi anti-Hu
juga mengalami disfungsi sistem saraf pusat
di luar sistem limbik.
Pada beberapa tahun belakangan ini banyak
pasien LE yang dianggap seronegatif
ternyata memiliki antibodi terhadap antigen
permukaan sel. Makin banyak dikenali kasus
ensefalitis dengan antibodi voltage-gated
potasssium channel (VGKC) complex, antibodi
N-methyl-D-aspartate receptor (NMDAR),
antibodi alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4isoxazolepropionic acid receptor (AMPAR), dan
antibodi gamma aminobutyric acid (GABA(b))
receptor.1,2
Identifikasi antibodi baru ini (antibodi yang
berhubungan dengan permukaan sel)
menyebabkan dikenalinya sindrom klinis dan
radiologis yang berbeda dengan LE klasik.
Sindrom baru ini perjalanan penyakitnya
lebih ringan dan kadang-kadang bisa terjadi
pemulihan sempurna dengan pengobatan
imunomodulasi.1,2
Secara umum antibodi terhadap antigen
intraseluler (Hu, Ma2, CRMP5, amphiphysin,
dll) berhubungan dengan tumor ganas,
menyebabkan infiltrasi sel T sitotoksik
yang prominen pada otak, dan respons
pengobatannya sangat terbatas. Sedangkan
antibodi terhadap antigen permukaan sel
(VGKC complex, NMDAR, AMPAR, GABA(b)R)
pada umumnya berkaitan dengan prognosis
yang lebih baik dibandingkan dengan
yang memiliki antibodi terhadap protein
intraseluler.1,2

Gambar 1 Sistem limbik7

34

Mekanisme patofisiologi utama adalah


adanya respons imun oleh kanker yang
kemudian bereaksi silang dengan jaringan

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA
saraf, meskipun sampai saat ini patofisiologi
LE masih belum diketahui sempurna. Belum
diketahui pasti apakah antibodi onkoneural
PNS terutama dihasilkan dari antibodi serum
atau antibodi intratekal. Konsentrasi absolut
antibodi terhadap antigen onkoneural tertentu
biasanya lebih tinggi di serum dibandingkan
dengan di likuor serebrospinal (LCS), bahkan
kadang-kadang antibodi tersebut tidak dapat
dideteksi di LCS.2
Pada beberapa penelitian, daerah-daerah
tertentu di otak, misalnya hipokampus
dan hipotalamus, sepertinya sangat rentan
terhadap antibodi onkoneural. Pemeriksaan
patologi saraf memperlihatkan hilangnya
neuron di daerah tertentu dengan infiltrasi
peradangan oleh sel T helper CD4+ dan
sel B di ruang perivaskular, dan sel T CD8+
sitotoksik pada ruang interstitial. Peranan
antibodi dalam patogensis LE berasal dari
fakta bahwa antigen yang ditarget oleh
antibodi diekspresikan oleh sel tumor dan
daerah spesifik otak yang terkena. Bukti-bukti
ini mendukung peran mediasi oleh gangguan
sistem imun pada sindrom LE.1,2,9,10
GEJALA KLINIS
Karakteristik yang menonjol pada LE adalah
onset subakut atau akut gangguan memori
jangka pendek, dan kejang. Pasien sering
memperlihatkan gejala psikiatrik yang
bervariasi tergantung sindrom masingmasing. Seperti dilaporkan Kayser dkk,
kombinasi gejala psikiatrik tertentu dengan
gejala neurologis dan temuan lainnya dapat
membedakan sindrom LE yang satu dengan
yang lainnya. Keterlibatan lobus temporalis
diperkirakan menjadi penyebab manifestasi
psikiatrik pada sindrom LE.1,10-12
KLASIFIKASI LE BERDASARKAN
ANTIBODI
Antibodi yang berhubungan dengan LE dapat
dibedakan menjadi antibodi onkoneural klasik
terhadap protein intraseluler dan antibodi
terhadap antigen permukaan sel.1,2

Anti-NMDA receptor
Anti-AMPA receptor
Anti-GABA-b receptor.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes antibodi untuk penapisan PNS perlu
dilakukan pada kasus-kasus yang dicurigai.
Pemeriksaan antibodi menggunakan sampel
serum atau liquor serebrospinal (LCS).
Antibodi yang berbeda kadang-kadang
memberikan gejala klinis serupa. Pada pasien
tumor paru (SCLC) kadang-kadang dapat
ditemukan beberapa antibodi paraneoplastik
secara bersamaan8. Pemeriksaan LCS biasanya
memperlihatkan
gambaran
inflamasi
(pleiositosis, kadar protein meningkat,
oligoclonal band).8,14
Gambaran magnetic resonance imaging
(MRI) dapat berupa peningkatan intensitas
signal T2 di lobus temporalis. Gambaran
ini berhubungan dengan adanya infiltrat
peradangan pada pemeriksaan otopsi. Pada
fase akut penyakit dijumpai peningkatan
intensitas sinyal T2 dan FLAIR (fluid attenuated
inversion recovery) pada 70-80% kasus. Pada
pemeriksaan Fluoro-deoxyglucose positron
emission tomography (FDG-PET) dapat
dijumpai hipermetabolisme sebelum terlihat
adanya perubahan pada MRI.1

Antibodi onkoneural klasik


Anti-Hu
Anti-Ma2
Anti-CRMP5
Anti-Amphiphysin
Anti-Ri
Antibodi permukaan sel
Anti-VGKC complex

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

Gambar 2 MRI FLAIR pasien dengan LE dan antibodi


NMDAR positif. Peningkatan intensitas sinyal terlihat pada
lobus temporal medial dan hipokampus bilateral2

Tabel 2 Antibodi onkoneural: Manifestasi psikiatrik dan neurologis1


Antibodi
Onkoneural

Manifestasi psikiatrik

Temuan Neurologis

MRI

Pengobatan

Hu

Hilangnya memori
jangka pendek, bingung,
menyerupai WernickeKorsakov

Kejang

Perubahan lobus temporal


mesial, manifestasi ekstra
limbik

Imunomodulasi, steroid,
terapi siklofosfamid

Ma2

Hilangnya memori jangka


pendek, bingung jarang
terjadi, reaksi panik, nervous
breakdown, gangguan
obsesif-kompulsif

Keterlibatan batang otak,


disfungsi hipotalamus,
sindrom diensefalik,
disregulasi tidur (mengantuk
berlebihan di siang hari)

Perubahan lobus temporal


mesial

Perbaikan dan stabilisasi


klinis dapat terjadi setelah
pengobatan tumor

CV2/CRMP5

Gangguan kognitif, mania,


gangguan obsesif-kompulsif,
depresi, perubahan
kepribadian

Gejala ekstrapiramidal
chorea, apraksia, neuropati
optik, gangguan mengecap
dan menghidu

Perubahan dapat terjadi

Tidak jelas

Antiamphiphysin

Hilangnya memori
jangka pendek, bingung,
menyerupai WernickeKorsakov

Mioklonus, rigiditas, Stiff


person syndrome

Tidak jelas

Tabel 3 Gejala psikiatrik dan neurologis pada antibodi permukaan NMDA, AMPA dan GABA (b)1,12-14
Antibodi

1.

2.

Pemeriksaan electroencephalography (EEG)


tidak banyak membantu diagnosis LE. EEG
dibutuhkan untuk mendeteksi adanya
cetusan epileptik pada lobus temporalis, atau
menunjukkan aktivitas gelombang lambat
difus. EEG juga berguna untuk membedakan
antara epilepsi parsial kompleks dengan
confusional state.1,2

Manifestasi psikiatrik

NMDA

Psikosis, ansietas, bizarre,


delusi, paranoid, catatonic
state

AMPA

Hilangnya memori, bingung,


agitasi

GABA (b)

Psikosis, halusinasi, bingung

Temuan neurologis
Penurunan kesadaran, kejang,
hipoventilasi, gangguan
autonom, diskinesia,
gangguan gerak

Kejang

MRI

Pengobatan

Kurang lebih 50% tidak


dijumpai kelainan spesifik,
50% lainnya dijumpai
perubahan non spesifik
ringan dan transien

Pengobatan tumor atau


imunoterapi

Sebagian dijumpai
peningkatan signal FLAIR di
lobus temporal medial

Pengobatan tumor atau


imunoterapi, kemungkinan
relaps

Gambaran proses ensefalitis


pada lobus temporalis
(jumlah kasus sedikit)

Pengobatan tumor atau


imunoterapi

35

TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 4 Kriteria diagnostik paraneoplastic limbic encephalitis 2,3,15
A. Kriteria Gultekin dkk
Pemeriksaan patologis menunjukkan gambaran limbic encephalitis, atau semua 4 kriteria berikut.
1. Gejala hilangnya memori jangka pendek, kejang, atau gejala psikiatrik berkaitan dengan keterlibatan sistem limbik.
2. <4 tahun antara onset gejala neurologis dengan diagnosis kanker.
3. Sudah disingkirkan metastasis, infeksi, defisit metabolik dan nutrisi, stroke, dan efek samping obat yang dapat menyebabkan ensefalopati limbik.
4. Sedikitnya salah satu dari:
a. Pemeriksaan LCS ditemukan gambaran inflamasi
b. Hiperintensitas unilateral atau bilateral lobus temporal pada MRI FLAIR atau T2
c. Dijumpai fokus epilepsi fokal atau perlambatan fokal di lobus temporalis pada pemeriksaan EEG
B. Kriteria Paraneoplastic Neurological Syndrome Euronetwork
Memenuhi keempat kriteria di bawah ini.
1. Onset subakut (beberapa hari sampai 12 minggu) kejang, hilangnya memori jangka pendek, bingung, dan gejala psikiatrik.
2. Bukti neuropatologi atau radiologis (MRI, SPECT, PET) keterlibatan sistem limbik.
3. Sudah dieksklusi penyebab gangguan limbik lainnya.
4. Dijumpai kanker dalam 5 tahun timbulnya gejala neurologis, atau timbulnya gejala klasik disfungsi limbik berhubungan dengan antibodi
paraneoplastik tertentu (Hu, Ma2, CRMP5, Amphiphysin, Ri).
2

Tabel 5 Diagnosis diferensial limbic encephalitis


Infeksi
Ensefalitis virus Herpes Simpleks
Neurosifilis
Progressive multifocal leucoencephalopathy
Rabies
Penyakit Creutzfeldt-Jacob

Gangguan Metabolik
Ensefalopati metabolik (uremik, hepatik, sindrom Cushing)
Sindrom Wernicke-Korsakoff
Ensefalopati Hashimoto
Gangguan Autoimun Sistemik
Sjogren syndrome
Systemic lupus erythematosus
Sindrom antifosfolipid
Keganasan
Limfoma
Glioma
Gliomatosis serebri
Gangguan Degeneratif
Penyakit Alzheimer
Demensia Lewy-body
Demensia frontotemporal
Gangguan lainnya
Stroke dengan keterlibatan arteri serebri posterior
Vaskulitis susunan saraf pusat
Epilepsi lobus temporalis
Status epileptikus non konvulsif
Transient global amnesia
Acute demyelinating encephalomyelitis
Posterior reversible encephalopathy syndrome
Intoksikasi (alkohol, litium)
Alcohol withdrawal syndrome
Gangguan psikiatrik

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


Untuk menegakkan diagnosis LE terdapat
beberapa kriteria (tabel 4), dan perlu
disingkirkan penyebab lain ensefalitis, misalnya
infeksi virus neurotropik, penggunaan obat
psikotropik, gangguan toksik dan metabolik
lainnya (tabel 5).
PENATALAKSANAAN
Prinsip dasar pengobatan adalah reseksi tumor
atau terapi onkologi. Pada pasien sindrom
paraneoplastik, terapi pada tumornya akan
memperbaiki atau menstabilkan gejala klinis.
Bila ditemukan antibodi onkoneural, sesegera
mungkin dilakukan pemeriksaan penapisan
(screening) tumor yang menyeluruh. Pasien
dengan antibodi onkoneural intraseluler,
biasanya tidak memberikan respons dengan
imunoterapi, hanya terapi tumor yang dapat
menstabilkan gejala klinis. Pasien dengan
antibodi permukaan sel biasanya memberi
respons baik dengan terapi imunosupresif
atau imunomodulasi (tabel 6). Beberapa terapi

lain yang dianggap relevan adalah rituximab,


siklofosfamid dan azathioprine. Terapi
simtomatik dibutuhkan untuk pengobatan
kejang dan gejala psikiatrik.2
Tabel 6 Imunoterapi limbic encephalitis2
Fase akut
Lini pertama
Kortikosteroid dosis tinggi
Intravenous Immunoglobulins (IVIg)
Plasma exchange
Lini kedua
Rituximab
Siklofosfamid
Terapi rumatan
Steroid
Azathioprine
Mycophenolate

SIMPULAN
Paraneoplastic LE merupakan bagian dari
PNS dengan patofisiologi gangguan sistem
imun. Idealnya rumah sakit dapat melakukan
pemeriksaan antibodi untuk menegakkan
diagnosis dan memulai pengobatan,
sehingga dapat memperbaiki keadaan
pasien, memperpendek lama perawatan,
dan memaksimalkan keluaran. Masih
dibutuhkan penelitian sistematis untuk dapat
membuat panduan pengobatan yang baik.
Antibodi yang sudah teridentifikasi mungkin
masih merupakan fenomena gunung es,
membutuhkan penelitian lanjutan untuk
identifikasi antibodi permukaan sel lainnya.
Peneliti diharapkan dapat memberikan
gambaran klinis yang komprehensif untuk
antibodi terkait. Dengan pendekatan ini
para klinisi akan terbantu dalam mengenali
sindrom klinis LE dan membuat keputusan
rasional dalam pemeriksaan antibodi.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Grisold W, Giometto B, Vitaliani R, et al. Current Approaches to the Treatment of Paraneoplastic Encephalitis. Ther Adv Neurol Disord 2011; 4(4): 237-48.

2.

Zhang H, Zhou C, Wu L, et al. Are Onconeural Antibodies a Clinical Phenomenology in Paraneoplastic Limbic Encephalitis? Mediators of Inflammation 2013: 1-9.

3.

Graus F, Delattre Y, Antoine JC, et al. Recommended Diagnostic Criteria for Paraneoplastic Neurological Syndromes. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2004; 75: 1135-40.

4.

Honnorat J, Antoine JC. Paraneoplastic Neurological Syndromes. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007; 2:22: 1-8.

5. Lawn ND, Westmoreland BF, Kiely MJ,et al. Clinical, magnetic resonance imaging, and electroencephalographic findings in paraneoplastic limbic encephalitis. Mayo Clin Proc.
2003;78(11):1363-8.
6.

Gomesa AA, Pinhoa E, Vazb A, et al. Anti-NMDA Receptor Paraneoplastic Encephalitis: An Important Differential Diagnosis in Subacute Psychosis. J Med Cases 2013;4(3):135-8.

7.

Hesselink JR. The Temporal Lobe and Limbic System.). http://spinwarp.ucsd.edu/neuroweb/Text/br-800epi.htm. diunduh Oktober 2013.

8.

Vedeler CA, Antoine JC, Giometto B, et al. Paraneoplastic neurological syndromes. http://www.efns.org/fileadmin/user_upload/guidline_papers/EFNS_guideline_2011_Paraneoplastic_
neurological_syndromes.pdf. diunduh Oktober 2013.

9.

Vemuri C. Paraneoplastic Neurological Syndromes. http://ppt.server4.org/p/paraneoplastic-neurological-syndromes---amrita-institute-of-w349-ppt.ppt. diunduh Oktober 2013.

10. De Beukelaar JW, Smitt PAS. Managing Paraneoplastic Neurological Disorders. The Oncologist 2006;11:292305.
11

Dreessen J, Jeanjean AP, Sindic AJ. Paraneoplastic limbic encephalitis: Diagnostic relevance of CSF analysis and total body PET scanning. Acta neurol.belg., 2004, 104, 57-63.

12. Dwyer J, Rabin B. Final Diagnosis: Anti NMDA Receptor Encephalitis. http://path.upmc.edu/cases/case762/dx.html. diunduh Oktober 2013.
13. Lai M, Hughes EG, Peng X, et al. AMPA receptor antibodies in limbic encephalitis alter synaptic receptor location. Ann Neurol. 2009; 65(4): 42434.
14. Wysota B, Teare L, Karim A, Jacob S. Autoimmune Gabab antibody encephalitis associated with non-malignant lung lesion. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2013 Nov;84(11):e2.
15. Gultekin SH, Rosenfeld MR, Voltz J, et al. Paraneoplastic Limbic Encephalitis: Neurological Symptoms, Immunological Findings and Tumor Association in 50 Patients. Brain 2000; 123: 1481-94.

36

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA

Paraneoplastic Limbic Encephalitis:


Pendekatan Diagnosis dan Penatalaksanaan
Michael Setiawan
Bagian Neurologi RS Pluit, RSPI Puri Indah, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK
Paraneoplastic limbic encephalitis (PLE) merupakan entitas yang termasuk dalam paraneoplastic neurological syndromes (PNS), berhubungan
dengan beberapa jenis tumor, disebabkan oleh gangguan sistem imun yang dicetuskan oleh ekspresi aberan antigen onkoneural tumor. Dalam
beberapa dekade ini sudah diidentifikasi sejumlah antibodi yang berkaitan dengan PLE yaitu antibodi onkoneural klasik terhadap antigen
intraseluler, dan antibodi terhadap antigen permukaan sel. Masing-masing antibodi memberikan karakteristik gejala klinis, gambaran magnetic
resonance imaging (MRI), dan respons pengobatan yang berbeda. Gambaran klinis khas adalah onset subakut atau akut gangguan memori
jangka pendek, gejala psikiatrik, dan kejang. Walaupun spektrum klinis belum sepenuhnya diketahui, sindrom klinis PLE penting dikenali karena
dapat memberikan respons terhadap imunoterapi. Secara umum, pasien dengan antibodi terhadap antigen permukaan sel prognosisnya lebih
baik karena perjalanan klinisnya cenderung tidak terlalu berat, dan memberikan respons baik dengan terapi imunomodulasi.
Kata kunci: paraneoplastic limbic encephalitis, diagnosis, penatalaksanaan

ABSTRACT
Paraneoplastic Limbic Encephalitis (PLE) is an entity belonging to Paraneoplastic Neurological Syndromes (PNS), associated with several tumors,
caused by immune mediated disorders triggered by aberrant expression of onconeural antigens in the tumor. In the last few decades, 2 groups
of antibodies associated with PLE have been identified, classical onconeural antibodies directed against the intracellular antigens, and surface
antigen antibodies. Each antibody gives characteristic clinical manifestations, magnetic resonance imaging (MRI) findings, and different response
to therapy. Characteristic clinical manifestations are subacute or acute onset of recent memory loss, psychiatric manifestations, and seizures.
Although the clinical spectrum has not yet been fully investigated, the clinical importance lies in their good response to immunotherapies.
Generally, patients with surface antigen antibodies have more favorable prognosis because the clinical course tends to be less severe, and
respond well with immunomodulation treatment. Michael Setiawan. Paraneoplastic Limbic Encephalitis: Diagnosis and Management
Approaches.
Key words: paraneoplastic limbic encephalitis, diagnosis, management

PENDAHULUAN
Paraneoplastic Neurological Syndromes (PNS)
adalah gangguan sistem saraf akibat kanker
yang tidak disebabkan oleh efek lokal maupun
metastasis. PNS jarang dijumpai, mencakup
gangguan yang sangat luas, dapat mengenai
sistem saraf pusat maupun saraf perifer. Salah
satu jenis PNS di antaranya adalah limbic
encephalitis.
Ditemukannya antibodi terhadap antigen
onkoneural
menciptakan
pemahaman
baru tentang sindrom ini.1-4 Akhir-akhir
ini ditemukan antibodi yang menyerang
antigen pada membran reseptor atau kanal
ion (antigen permukaan sel), antibodi ini
memegang peranan dalam patofisiologi PNS.
Pada kasus dengan antibodi terhadap antigen
onkoneural intraseluler positif sering dapat
Alamat korespondensi

Tabel 1 Paraneoplastic neurological syndromes klasik


Sindrom sistem saraf pusat
Limbic Encephalitis
Encephalomyelitis
Subacute Cerebellar Degeneration
Opsoclonus myoclonus
Sindrom sistem saraf perifer
Subacute sensory neuronopathy
Chronic gastrointestinal pseudo-obstruction
Sindrom neuromuscular junction dan otot
Lambert-Eaton myasthenic syndromes
Dermatomyositis

ditemukan tumor penyebabnya, sedangkan


pada kasus dengan antibodi terhadap antigen
permukaan sel positif tidak selalu ditemukan
tumor penyebabnya.1,2
DEFINISI
Paraneoplastic Neurological Syndromes (PNS)

didefinisikan sebagai efek jauh kanker yang


bukan disebabkan langsung oleh tumor
atau metastasisnya, ataupun oleh infeksi,
dan gangguan metabolik. PNS mencakup
gangguan pada sistem saraf pusat dan sistem
saraf perifer1,4. Pada PNS terdapat istilah
sindrom klasik yang merupakan sindrom
neurologis yang sering berhubungan dengan
kanker (tabel 1).
Limbic Encephalitis (LE) adalah proses inflamasi
yang melibatkan hipokampus, amigdala,
dan korteks orbitofrontal.5,6 Gangguan ini
biasanya menimbulkan kumpulan gejala
berupa gangguan psikiatrik, gangguan
memori, kejang dan akhirnya diikuti dengan
gangguan sistem saraf otonom yang dapat
membutuhkan life support di ICU dan bisa
mengakibatkan kematian.5,6 LE merupakan

email: ms922000@yahoo.com

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

33

TINJAUAN PUSTAKA
entitas tersendiri yang termasuk dalam
paraneoplastic neurological syndromes (PNS).
Selama dekade terakhir ini, LE banyak diteliti.
Berdasarkan pengetahuan saat ini, LE dapat
dikategorikan dalam 2 golongan besar yaitu
yang disebabkan oleh gangguan otoimun
dan yang disebabkan oleh infeksi.2 Pada
makalah ini akan dibahas LE yang disebabkan
oleh gangguan otoimun dan merupakan
bagian dari PNS.
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM
LIMBIK
Sistem limbik mencakup beberapa struktur,
yaitu hipokampus, amigdala, hipotalamus,
corpus mamilare, forniks dan girus cinguli
(sirkuit Papez). Sistem limbik sangat berperan
pada kognisi, afek dan regulasi sistem saraf
otonom.2,7
SEJARAH DAN EPIDEMIOLOGI
PNS yang melibatkan hemisfer otak pertama
dideskripsi oleh Brierley dkk pada tahun
1960. Saat itu diperkirakan PNS hanya
dapat mengenai sistem saraf kaudal dari
ganglia basal. Definisi Paraneoplastic Limbic
Encephalitis baru dibuat oleh Corsellis dkk 8
tahun kemudian yang melaporkan dua kasus
pria berusia antara 50-60 tahun menderita
depresi dan iritabilitas selama beberapa
minggu, diikuti hilangnya memori jangka
pendek yang makin progresif. Memori

jangka panjang, judgement, dan reasoning


tidak terganggu. Gejala lain adalah kejang,
menandakan gangguan fokal otak. Dari hasil
otopsi dijumpai lymphocytic perivascular
cuffing dan infiltrasi pada beberapa bagian
otak, terutama lobus temporal mesial.1,2
Insidensi PNS yang dilaporkan sangat
bervariasi, dan berasal dari pusat-pusat
rujukan. Bentuk PNS yang sering dijumpai
yaitu paraneoplastic sensory neuropathy
diperkirakan 3-7 kasus per 1000 diagnosis
kanker. Sedangkan paraneoplastic encephalitis
insidensinya sekitar 3 per 1000 diagnosis
kanker.2
Tumor Yang Berhubungan dengan PNS
Pada PNS, 50% sampai 80% pasien sudah
menunjukkan gejala neurologis sebelum
diagnosis tumor ditegakkan. Tumor yang
berhubungan dengan PNS adalah kanker
paru-paru (60%) terutama small cell lung
cancer (SCLC). Sekitar 20% ditemukan pada
tumor germ cell. Sisanya berhubungan dengan
kanker payudara, thymoma, limfoma Hodgkin
dan teratoma. 1,2
Tumor
yang
berhubungan
dengan
paraneoplastic limbic encephalitis adalah SCLC
(anti Hu, Anti CRMP5, anti-amphiphysin), tumor
testis (anti-Ma2), thymoma (anti-CRMP5), dan
kanker payudara (anti-amphiphysin).

PATOFISIOLOGI
Para ahli imunologi tumor memperkenalkan
nama antibodi onkoneural untuk menjelaskan
antibodi yang mentarget antigen pada
jaringan neuroektodermal dan tumor. Sejak
tahun 1980-an sudah beberapa antibodi
onkoneural ditemukan dan merupakan
biomarker untuk sindrom paraneoplastik
klasik. Limbic encephalitis (LE) klasik dengan
kejang lobus temporalis berhubungan
dengan antibodi terhadap antigen intraseluler.
Antibodi onkoneural ditemukan pada sekitar
60% pasien dengan paraneoplastic LE.
Antibodi yang sering dijumpai adalah anti-Hu,
anti-Ma2, anti-amphiphysin dan anti-CRMP5.
Kebanyakan pasien dengan antibodi anti-Hu
juga mengalami disfungsi sistem saraf pusat
di luar sistem limbik.
Pada beberapa tahun belakangan ini banyak
pasien LE yang dianggap seronegatif
ternyata memiliki antibodi terhadap antigen
permukaan sel. Makin banyak dikenali kasus
ensefalitis dengan antibodi voltage-gated
potasssium channel (VGKC) complex, antibodi
N-methyl-D-aspartate receptor (NMDAR),
antibodi alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4isoxazolepropionic acid receptor (AMPAR), dan
antibodi gamma aminobutyric acid (GABA(b))
receptor.1,2
Identifikasi antibodi baru ini (antibodi yang
berhubungan dengan permukaan sel)
menyebabkan dikenalinya sindrom klinis dan
radiologis yang berbeda dengan LE klasik.
Sindrom baru ini perjalanan penyakitnya
lebih ringan dan kadang-kadang bisa terjadi
pemulihan sempurna dengan pengobatan
imunomodulasi.1,2
Secara umum antibodi terhadap antigen
intraseluler (Hu, Ma2, CRMP5, amphiphysin,
dll) berhubungan dengan tumor ganas,
menyebabkan infiltrasi sel T sitotoksik
yang prominen pada otak, dan respons
pengobatannya sangat terbatas. Sedangkan
antibodi terhadap antigen permukaan sel
(VGKC complex, NMDAR, AMPAR, GABA(b)R)
pada umumnya berkaitan dengan prognosis
yang lebih baik dibandingkan dengan
yang memiliki antibodi terhadap protein
intraseluler.1,2

Gambar 1 Sistem limbik7

34

Mekanisme patofisiologi utama adalah


adanya respons imun oleh kanker yang
kemudian bereaksi silang dengan jaringan

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA
saraf, meskipun sampai saat ini patofisiologi
LE masih belum diketahui sempurna. Belum
diketahui pasti apakah antibodi onkoneural
PNS terutama dihasilkan dari antibodi serum
atau antibodi intratekal. Konsentrasi absolut
antibodi terhadap antigen onkoneural tertentu
biasanya lebih tinggi di serum dibandingkan
dengan di likuor serebrospinal (LCS), bahkan
kadang-kadang antibodi tersebut tidak dapat
dideteksi di LCS.2
Pada beberapa penelitian, daerah-daerah
tertentu di otak, misalnya hipokampus
dan hipotalamus, sepertinya sangat rentan
terhadap antibodi onkoneural. Pemeriksaan
patologi saraf memperlihatkan hilangnya
neuron di daerah tertentu dengan infiltrasi
peradangan oleh sel T helper CD4+ dan
sel B di ruang perivaskular, dan sel T CD8+
sitotoksik pada ruang interstitial. Peranan
antibodi dalam patogensis LE berasal dari
fakta bahwa antigen yang ditarget oleh
antibodi diekspresikan oleh sel tumor dan
daerah spesifik otak yang terkena. Bukti-bukti
ini mendukung peran mediasi oleh gangguan
sistem imun pada sindrom LE.1,2,9,10
GEJALA KLINIS
Karakteristik yang menonjol pada LE adalah
onset subakut atau akut gangguan memori
jangka pendek, dan kejang. Pasien sering
memperlihatkan gejala psikiatrik yang
bervariasi tergantung sindrom masingmasing. Seperti dilaporkan Kayser dkk,
kombinasi gejala psikiatrik tertentu dengan
gejala neurologis dan temuan lainnya dapat
membedakan sindrom LE yang satu dengan
yang lainnya. Keterlibatan lobus temporalis
diperkirakan menjadi penyebab manifestasi
psikiatrik pada sindrom LE.1,10-12
KLASIFIKASI LE BERDASARKAN
ANTIBODI
Antibodi yang berhubungan dengan LE dapat
dibedakan menjadi antibodi onkoneural klasik
terhadap protein intraseluler dan antibodi
terhadap antigen permukaan sel.1,2

Anti-NMDA receptor
Anti-AMPA receptor
Anti-GABA-b receptor.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes antibodi untuk penapisan PNS perlu
dilakukan pada kasus-kasus yang dicurigai.
Pemeriksaan antibodi menggunakan sampel
serum atau liquor serebrospinal (LCS).
Antibodi yang berbeda kadang-kadang
memberikan gejala klinis serupa. Pada pasien
tumor paru (SCLC) kadang-kadang dapat
ditemukan beberapa antibodi paraneoplastik
secara bersamaan8. Pemeriksaan LCS biasanya
memperlihatkan
gambaran
inflamasi
(pleiositosis, kadar protein meningkat,
oligoclonal band).8,14
Gambaran magnetic resonance imaging
(MRI) dapat berupa peningkatan intensitas
signal T2 di lobus temporalis. Gambaran
ini berhubungan dengan adanya infiltrat
peradangan pada pemeriksaan otopsi. Pada
fase akut penyakit dijumpai peningkatan
intensitas sinyal T2 dan FLAIR (fluid attenuated
inversion recovery) pada 70-80% kasus. Pada
pemeriksaan Fluoro-deoxyglucose positron
emission tomography (FDG-PET) dapat
dijumpai hipermetabolisme sebelum terlihat
adanya perubahan pada MRI.1

Antibodi onkoneural klasik


Anti-Hu
Anti-Ma2
Anti-CRMP5
Anti-Amphiphysin
Anti-Ri
Antibodi permukaan sel
Anti-VGKC complex

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

Gambar 2 MRI FLAIR pasien dengan LE dan antibodi


NMDAR positif. Peningkatan intensitas sinyal terlihat pada
lobus temporal medial dan hipokampus bilateral2

Tabel 2 Antibodi onkoneural: Manifestasi psikiatrik dan neurologis1


Antibodi
Onkoneural

Manifestasi psikiatrik

Temuan Neurologis

MRI

Pengobatan

Hu

Hilangnya memori
jangka pendek, bingung,
menyerupai WernickeKorsakov

Kejang

Perubahan lobus temporal


mesial, manifestasi ekstra
limbik

Imunomodulasi, steroid,
terapi siklofosfamid

Ma2

Hilangnya memori jangka


pendek, bingung jarang
terjadi, reaksi panik, nervous
breakdown, gangguan
obsesif-kompulsif

Keterlibatan batang otak,


disfungsi hipotalamus,
sindrom diensefalik,
disregulasi tidur (mengantuk
berlebihan di siang hari)

Perubahan lobus temporal


mesial

Perbaikan dan stabilisasi


klinis dapat terjadi setelah
pengobatan tumor

CV2/CRMP5

Gangguan kognitif, mania,


gangguan obsesif-kompulsif,
depresi, perubahan
kepribadian

Gejala ekstrapiramidal
chorea, apraksia, neuropati
optik, gangguan mengecap
dan menghidu

Perubahan dapat terjadi

Tidak jelas

Antiamphiphysin

Hilangnya memori
jangka pendek, bingung,
menyerupai WernickeKorsakov

Mioklonus, rigiditas, Stiff


person syndrome

Tidak jelas

Tabel 3 Gejala psikiatrik dan neurologis pada antibodi permukaan NMDA, AMPA dan GABA (b)1,12-14
Antibodi

1.

2.

Pemeriksaan electroencephalography (EEG)


tidak banyak membantu diagnosis LE. EEG
dibutuhkan untuk mendeteksi adanya
cetusan epileptik pada lobus temporalis, atau
menunjukkan aktivitas gelombang lambat
difus. EEG juga berguna untuk membedakan
antara epilepsi parsial kompleks dengan
confusional state.1,2

Manifestasi psikiatrik

NMDA

Psikosis, ansietas, bizarre,


delusi, paranoid, catatonic
state

AMPA

Hilangnya memori, bingung,


agitasi

GABA (b)

Psikosis, halusinasi, bingung

Temuan neurologis
Penurunan kesadaran, kejang,
hipoventilasi, gangguan
autonom, diskinesia,
gangguan gerak

Kejang

MRI

Pengobatan

Kurang lebih 50% tidak


dijumpai kelainan spesifik,
50% lainnya dijumpai
perubahan non spesifik
ringan dan transien

Pengobatan tumor atau


imunoterapi

Sebagian dijumpai
peningkatan signal FLAIR di
lobus temporal medial

Pengobatan tumor atau


imunoterapi, kemungkinan
relaps

Gambaran proses ensefalitis


pada lobus temporalis
(jumlah kasus sedikit)

Pengobatan tumor atau


imunoterapi

35

TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 4 Kriteria diagnostik paraneoplastic limbic encephalitis 2,3,15
A. Kriteria Gultekin dkk
Pemeriksaan patologis menunjukkan gambaran limbic encephalitis, atau semua 4 kriteria berikut.
1. Gejala hilangnya memori jangka pendek, kejang, atau gejala psikiatrik berkaitan dengan keterlibatan sistem limbik.
2. <4 tahun antara onset gejala neurologis dengan diagnosis kanker.
3. Sudah disingkirkan metastasis, infeksi, defisit metabolik dan nutrisi, stroke, dan efek samping obat yang dapat menyebabkan ensefalopati limbik.
4. Sedikitnya salah satu dari:
a. Pemeriksaan LCS ditemukan gambaran inflamasi
b. Hiperintensitas unilateral atau bilateral lobus temporal pada MRI FLAIR atau T2
c. Dijumpai fokus epilepsi fokal atau perlambatan fokal di lobus temporalis pada pemeriksaan EEG
B. Kriteria Paraneoplastic Neurological Syndrome Euronetwork
Memenuhi keempat kriteria di bawah ini.
1. Onset subakut (beberapa hari sampai 12 minggu) kejang, hilangnya memori jangka pendek, bingung, dan gejala psikiatrik.
2. Bukti neuropatologi atau radiologis (MRI, SPECT, PET) keterlibatan sistem limbik.
3. Sudah dieksklusi penyebab gangguan limbik lainnya.
4. Dijumpai kanker dalam 5 tahun timbulnya gejala neurologis, atau timbulnya gejala klasik disfungsi limbik berhubungan dengan antibodi
paraneoplastik tertentu (Hu, Ma2, CRMP5, Amphiphysin, Ri).
2

Tabel 5 Diagnosis diferensial limbic encephalitis


Infeksi
Ensefalitis virus Herpes Simpleks
Neurosifilis
Progressive multifocal leucoencephalopathy
Rabies
Penyakit Creutzfeldt-Jacob

Gangguan Metabolik
Ensefalopati metabolik (uremik, hepatik, sindrom Cushing)
Sindrom Wernicke-Korsakoff
Ensefalopati Hashimoto
Gangguan Autoimun Sistemik
Sjogren syndrome
Systemic lupus erythematosus
Sindrom antifosfolipid
Keganasan
Limfoma
Glioma
Gliomatosis serebri
Gangguan Degeneratif
Penyakit Alzheimer
Demensia Lewy-body
Demensia frontotemporal
Gangguan lainnya
Stroke dengan keterlibatan arteri serebri posterior
Vaskulitis susunan saraf pusat
Epilepsi lobus temporalis
Status epileptikus non konvulsif
Transient global amnesia
Acute demyelinating encephalomyelitis
Posterior reversible encephalopathy syndrome
Intoksikasi (alkohol, litium)
Alcohol withdrawal syndrome
Gangguan psikiatrik

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


Untuk menegakkan diagnosis LE terdapat
beberapa kriteria (tabel 4), dan perlu
disingkirkan penyebab lain ensefalitis, misalnya
infeksi virus neurotropik, penggunaan obat
psikotropik, gangguan toksik dan metabolik
lainnya (tabel 5).
PENATALAKSANAAN
Prinsip dasar pengobatan adalah reseksi tumor
atau terapi onkologi. Pada pasien sindrom
paraneoplastik, terapi pada tumornya akan
memperbaiki atau menstabilkan gejala klinis.
Bila ditemukan antibodi onkoneural, sesegera
mungkin dilakukan pemeriksaan penapisan
(screening) tumor yang menyeluruh. Pasien
dengan antibodi onkoneural intraseluler,
biasanya tidak memberikan respons dengan
imunoterapi, hanya terapi tumor yang dapat
menstabilkan gejala klinis. Pasien dengan
antibodi permukaan sel biasanya memberi
respons baik dengan terapi imunosupresif
atau imunomodulasi (tabel 6). Beberapa terapi

lain yang dianggap relevan adalah rituximab,


siklofosfamid dan azathioprine. Terapi
simtomatik dibutuhkan untuk pengobatan
kejang dan gejala psikiatrik.2
Tabel 6 Imunoterapi limbic encephalitis2
Fase akut
Lini pertama
Kortikosteroid dosis tinggi
Intravenous Immunoglobulins (IVIg)
Plasma exchange
Lini kedua
Rituximab
Siklofosfamid
Terapi rumatan
Steroid
Azathioprine
Mycophenolate

SIMPULAN
Paraneoplastic LE merupakan bagian dari
PNS dengan patofisiologi gangguan sistem
imun. Idealnya rumah sakit dapat melakukan
pemeriksaan antibodi untuk menegakkan
diagnosis dan memulai pengobatan,
sehingga dapat memperbaiki keadaan
pasien, memperpendek lama perawatan,
dan memaksimalkan keluaran. Masih
dibutuhkan penelitian sistematis untuk dapat
membuat panduan pengobatan yang baik.
Antibodi yang sudah teridentifikasi mungkin
masih merupakan fenomena gunung es,
membutuhkan penelitian lanjutan untuk
identifikasi antibodi permukaan sel lainnya.
Peneliti diharapkan dapat memberikan
gambaran klinis yang komprehensif untuk
antibodi terkait. Dengan pendekatan ini
para klinisi akan terbantu dalam mengenali
sindrom klinis LE dan membuat keputusan
rasional dalam pemeriksaan antibodi.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Grisold W, Giometto B, Vitaliani R, et al. Current Approaches to the Treatment of Paraneoplastic Encephalitis. Ther Adv Neurol Disord 2011; 4(4): 237-48.

2.

Zhang H, Zhou C, Wu L, et al. Are Onconeural Antibodies a Clinical Phenomenology in Paraneoplastic Limbic Encephalitis? Mediators of Inflammation 2013: 1-9.

3.

Graus F, Delattre Y, Antoine JC, et al. Recommended Diagnostic Criteria for Paraneoplastic Neurological Syndromes. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2004; 75: 1135-40.

4.

Honnorat J, Antoine JC. Paraneoplastic Neurological Syndromes. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007; 2:22: 1-8.

5. Lawn ND, Westmoreland BF, Kiely MJ,et al. Clinical, magnetic resonance imaging, and electroencephalographic findings in paraneoplastic limbic encephalitis. Mayo Clin Proc.
2003;78(11):1363-8.
6.

Gomesa AA, Pinhoa E, Vazb A, et al. Anti-NMDA Receptor Paraneoplastic Encephalitis: An Important Differential Diagnosis in Subacute Psychosis. J Med Cases 2013;4(3):135-8.

7.

Hesselink JR. The Temporal Lobe and Limbic System.). http://spinwarp.ucsd.edu/neuroweb/Text/br-800epi.htm. diunduh Oktober 2013.

8.

Vedeler CA, Antoine JC, Giometto B, et al. Paraneoplastic neurological syndromes. http://www.efns.org/fileadmin/user_upload/guidline_papers/EFNS_guideline_2011_Paraneoplastic_
neurological_syndromes.pdf. diunduh Oktober 2013.

9.

Vemuri C. Paraneoplastic Neurological Syndromes. http://ppt.server4.org/p/paraneoplastic-neurological-syndromes---amrita-institute-of-w349-ppt.ppt. diunduh Oktober 2013.

10. De Beukelaar JW, Smitt PAS. Managing Paraneoplastic Neurological Disorders. The Oncologist 2006;11:292305.
11

Dreessen J, Jeanjean AP, Sindic AJ. Paraneoplastic limbic encephalitis: Diagnostic relevance of CSF analysis and total body PET scanning. Acta neurol.belg., 2004, 104, 57-63.

12. Dwyer J, Rabin B. Final Diagnosis: Anti NMDA Receptor Encephalitis. http://path.upmc.edu/cases/case762/dx.html. diunduh Oktober 2013.
13. Lai M, Hughes EG, Peng X, et al. AMPA receptor antibodies in limbic encephalitis alter synaptic receptor location. Ann Neurol. 2009; 65(4): 42434.
14. Wysota B, Teare L, Karim A, Jacob S. Autoimmune Gabab antibody encephalitis associated with non-malignant lung lesion. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2013 Nov;84(11):e2.
15. Gultekin SH, Rosenfeld MR, Voltz J, et al. Paraneoplastic Limbic Encephalitis: Neurological Symptoms, Immunological Findings and Tumor Association in 50 Patients. Brain 2000; 123: 1481-94.

36

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

HASIL PENELITIAN

Deteksi Helicobacter pylori pada Anak Menggunakan


Teknik PCR dan Kultur Feses
Wayan Sulaksmana*, Sukardi*, Abdul Razak*, Zainul Mutaqqin**
*Sub Divisi Gastro-Hepatologi SMF Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Mataram/RSUP Nusa Tenggara Barat
**Unit Riset Biomedik RSUP Nusa Tenggara Barat, Undonesia

ABSTRAK
Latar belakang: Manifestasi klinis infeksi H. pylori pada anak tidak spesifik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
endoskopik. Pada anak pemeriksaan endoskopi memerlukan ketrampilan khusus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan H.
pylori berdasarkan kultur dan pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) primer glmM (UreC) pada feses anak yang dirawat di RSUP MataramNTB dengan diagnosis awal diare. Hasil: Dari November 2011-April 2012 diperoleh 35 spesimen feses anak diare yang memenuhi syarat. H.pylori
positif pada 9 pasien (25,71%), 3 (16,6%) berusia 0-1 tahun. Kultur feses positif pada 3 (8.57%) kasus. Simpulan: H. pylori dapat dideteksi dengan
metode kultur bakteriologi dan PCR. Diperlukan penelitian lanjutan dengan sampel lebih besar pada populasi anak normal atau dengan gejala
gastrointestinal.
Kata kunci: Helicobacter pylori, kultur feses, PCR

ABSTRACT
Background: Clinical manifestations of Helicobacter pylori (H. pylori) infection in children are not specific, and diagnosis through endoscopic
examination in children needs special skills. This study aims to determine H. pylori by culture and PCR primers glmM (UreC) in the feces of
children diagnosed as diarrhea treated at the Department of Pediatrics, Mataram University, West Nusa Tenggara. Result: From November 2011April 2012, 35 specimens have been obtained, Nine was positive for H. pylori (25.71%) 3 were from patients aged 0-1 years (16.6%). H. pylori was
positive in 3 (8.57%) stool culture and PCR was positive in 9 (25.71%) patients. Conclusion: H. pylori infection can be detected by bacteriological
culture and PCR. Detection of Helicobacter pylori in Children Using PCR Technique and Stool Cultures. Wayan Sulaksmana, Sukardi,
Abdul Razak, Zainul Mutaqqin.
Key words: Helicobacter pylori, feces culture, PCR

LATAR BELAKANG
Helicobacter pylori adalah kuman gram positif
berbentuk spiral atau batang bengkok yang
hidup di mukosa lambung manusia. Kuman
ini diketahui sebagai penyebab utama
penyakit gastroduodenal seperti gastritis
kronis, ulkus lambung, ulkus duodenum, dan
karsinoma lambung di kemudian hari. 2 Infeksi
Helicobacter pylori merupakan infeksi yang
umum terjadi di seluruh dunia. Prevalensi
H. pylori di negara berkembang dilaporkan
lebih tinggi dibandingkan di negara maju dan
sudah dimulai pada anak-anak dan bahkan
pada bayi usia 6 bulan. Diperkirakan 80% anak
di bawah usia 10 tahun di negara berkembang
terinfeksi H. pylori.1
Penelitian hubungan manifestasi klinis dan
infeksi H. pylori pada anak belum sebanyak
yang dilakukan pada orang dewasa. Beberapa
Alamat korespondensi

data menunjukkan bahwa infeksi H. pylori


pada anak sebagian besar asimtomatis atau
menunjukkan gejala gastrointestinal tidak
spesifik; beberapa peneliti menghubungkan
infeksi H. pylori dengan gejala klinis sakit
berulang. Gejala klinis yang dianggap sebagai
alarm infeksi H. pylori pada anak adalah
malabsorpsi dengan penurunan berat badan,
gangguan pertumbuhan, anemia defisiensi
besi, diare berulang, dan malnutrisi.3
Sebagaimana penyakit infeksi bakteri pada
umumnya, diagnosis keberadaan kuman H.
pylori penting untuk pengobatan. Beberapa
jenis pemeriksaan telah dikembangkan
untuk maksud tersebut, antara lain kultur
biopsi lambung, rapid urease test, tes
immunoserologi (deteksi antibodi dan
antigen).4 Akhir-akhir ini sejalan dengan
perkembangan biologi molekuler, terdapat

pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)


yang bisa dilakukan baik pada spesimen
biopsi lambung, saliva, dental plaque, maupun
feces.5,9,14
Keberadaan H. pylori pada lambung anak
telah lama diketahui dan dikaitkan dengan
timbulnya gastritis antrum maupun ulkus
duodenum.6,10-1 Namun, karena tindakan
endoskopi pada anak sangat jarang dan tidak
mudah dilakukan, diperlukan cara diagnosis
lain yang bersifat non-invasif. Keberadaan
H. pylori pada feces telah lama dilaporkan
namun sampai sekarang masih merupakan
kontroversi berkaitan dengan viabilitasnya.
Sementara itu deteksi serologi pada pasien
anak di RSUP NTB diperoleh hasil 20-49%
positif antibodi terhadap H. pylori.7,8,12
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

email: drsukardi_spa@yahoo.com

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

37

HASIL PENELITIAN
keberadaan H. pylori berdasarkan kultur dan
PCR feces pada pasien anak dengan diagnosis
awal diare. Penelitian ini belum pernah
dilakukan di Indonesia, oleh karena itu sangat
penting dilakukan guna menentukan teknik
diagnostik yang tepat terhadap infeksi H.
pylori pada anak.
BAHAN DAN CARA
Pengumpulan spesimen feses
Spesimen berupa feses diperoleh dari pasien
anak dengan diagnosis diare yang dirawat di
ruang Dahlia RSU Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Spesimen diambil dengan menggunakan
kontainer plastik yang dilengkapi dengan stik
pengambil feses dengan volume minimal 5
ml.
Kultur Bakteriologik
Karena feses mengandung empedu yang
dapat mematikan H. pylori, maka perlakuan
awal sebelum penanaman menjadi sangat
penting. Pada penelitian ini digunakan teknik
sentrifugal untuk memisahkan H. pylori dari
komponen feses.8

DNA akhirnya tertampung dalam recovery


tube dan siap digunakan sebagai template
pada proses PCR.
Amplifikasi DNA
Untuk mendeteksi DNA dan gen glmM (dulu
disebut UreC) dengan cagA digunakan
sepasang primer dengan urutan basa sebagai
berikut 9:
glmM1 5AAGCTTTTAGGGGTGTTAGGGGTTT-3
glmM2 5-AAGCTTACTTTCTAACACTAACGC-3

menggunakan
(Biorad, USA).

GelDoc

Imaging

System

HASIL
Selama periode bulan November 2011 hingga
akhir April 2012 diperoleh 35 spesimen
feses yang memenuhi syarat penelitian ini.
Prevalensi H.pylori berdasarkan distribusi
umur ditampilkan pada tabel 1, sedangkan
persentase H.pylori pada feses berdasarkan
kultur dan PCR dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 1 Prevalensi H. pylori berdasarkan ditribusi umur

Urutan primer tersebut diambil dari Lu et


al (1999) dengan ukuran panjang produk
amplifikasi sekitar 294bp. PCR dilakukan
dengan menggunakan kit reagen FastStartPCR
Master (Roche 04710436001) dalam volume
reaksi 50uL yang terdiri atas buffer PCR,MgCl2
25mM, dNTP mix, primer 2,5 pmol, TaqPol
0,25U dan 5 uL DNA template. Proses
amplifikasi dilakukan dalam mesin iCycler
(Biorad,USA) dengan kondisi denaturasi 94oC
selama 3 menit masing-masing sebanyak
35 siklus. Produk PCR kemudian dianalisa

Kelompok Umur

Hp+

Hp-

0-12

3 (16,66%)

15 (83,33%) 18

Total

13-24

4 (33,33%)

8 (66,66%)

>24

2 (40%)

3 (60%)

Total

12

35

12

Tabel 2 Persentase H. pylori pada feses berdasarkan kultur


dan PCR
Metode

Jumlah

Persentase

Kultur (+)

3/35

8,57%

PCR (+)

9/35

25, 71%

Kultur H. pylori menggunakan media Trypticase


Soy Agar yang ditambahi darah 10%, suplemen
Dent dan Skirrow 2 mL/500mL media dan
suplemen isovitalex atau vitox 10ml/500ml.
Inkubasi dilakukan dalam inkubator CO2 yang
memberikan suasana mikroaerofilik dengan
konsentrasi O2 5%, CO2 10%, dan N2 85% selama
2 x 24 jam suhu 37oC. Koloni yang diduga H.
pylori selanjutnya diperiksa secara mikroskopik
dengan pengecatan Gram, uji biokimiawi dan
dikonfirmasi menggunakan pemeriksaan PCR
untuk gen spesifik H. pylori.13
Ekstraksi DNA
DNA diekstrak dari feses menggunakan
reagen High Pure PCR Template Preparation
Kit (Roche, #11796828001). Mula-mula bahan
feses diambil menggunakan lidi kapas atau
cotton bud dan dilarutkan dalam 200uL
buffer lisis dan 25 uL proteinase K. Kemudian
divortex dan diinkubasi pada 56oC selama 15
menit. Setelah ditambahi 250uL alkohol dan
diinkubasi selama 5 menit pada suhu kamar,
larutan dipindah ke spin column, diputar
6800g selama 1 menit. Collection tube pada
spin column diganti baru sambil ditambahkan
wash buffer dan diputar 6800g selama 1
menit. Setelah collection tube diganti dengan
recovery tube, dimasukkan 50uL akuades dan
selanjutnya diputar 12000g selama 1 menit.

38

Gambar 1 Morfologi H. pylori yang diisolasi dari feces diamati menggunakan pewarnaan Gram (1000x)

Gambar 2 Pita DNA hasil amplifikasi gen glmM H. pylori pada spesimen feses

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

HASIL PENELITIAN
PEMBAHASAN
Gejala klinis infeksi H. pylori pada populasi
anak masih belum diketahui pasti, termasuk
hubungan antara nyeri perut berulang
dengan adanya infeksi H. pylori. Sebuah studi
menunjukkan bahwa 85% anak-anak terinfeksi
H. pylori mempunyai kelainan gambaran
histologik, walau tidak tampak ulkus atau
nodul15. Studi epidemiologik menunjukkan
di negara berkembang kebanyakan anakanak sejak awal telah menderita infeksi akut
H. pylori. Pada penelitian ini ditemukan infeksi
H. pylori positif pada 9(25,71%) anak, 3(16,,6%)
pada anak usia 0 1 tahun.

Kultur H. pylori pada feses anak dan pasien


diare dewasa di Gambia, Afrika,13 menunjukkan
bahwa fisiologi saluran cerna pada masa
awal pertumbuhan sangat mendukung
proses penularan fekal-oral. Ukuran saluran
cerna yang relatif pendek dan adanya infeksi
akut yang menyebabkan hypochlorhydria,
memungkinkan terbawanya H. pylori melewati
usus besar yang selanjutnya diekskresikan
bersama feses.
Pada penelitian ini, dari 35 spesimen feses yang
diperiksa, sebanyak 3 spesimen atau 8,57%
kultur H. pylori positif dan 9 spesimen (25,71%)

PCR H. pylori positif. Hal ini menunjukkan bahwa


pemeriksaan laboratorium infeksi H. pylori dapat
dari specimen feses, meski kaitannya dengan
patogenesis diare belum diketahui. Hasil
tersebut juga sesuai dengan teori mengenai
rute penularan H. pylori secara fekal-anal.
SIMPULAN
Infeksi Helicobacter pylori merupakan salah
satu penyakit infeksi yang banyak dilaporkan
di dunia, bahkan sudah dimulai pada usia
muda. Keberadaan H. pylori pada feses dapat
dideteksi dengan metode kultur bakteriologi
dan PCR.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Subagyo B. Diagnosis Dan Tatalaksana Helicobacter pylori pada Anak. Dalam: Naskah Lengkap KONAS III Badan Kordinasi Gatroenterologi Anak Indonesia(BKGAI): 6-8 Desember, 2007:
Surabaya; 2007.h.7-14.

2.

Megraud F. Epidemiology of Helicobacter pylori infection. In: Rathbone BJ, Heatley RV, eds. Helicobacter pylori and gastrointestinal disease. Oxford: Blackwell Scientific; 1992. pp. 10723.

3.

Hegar B. Infeksi Helicobacter pylori pada anak, J. Sari pediatric 2000;2(2):82-8.

4.

Lage AP, E Godfroid, A Fauconnier, et al,. Diagnosis of Helicobacter pylori infection by PCR: comparison with other invasive techniques and detection of cagA gene in gastric biopsy
specimens. J Clin Microbiol. 1995 ; 33: 2752-6.

5.

Dore MP, Osato MS, Malaty HM, Graham DY. Characterization of a culture method to recover Helicobacter pylori from the feces of infected patients. Helicobacter. 2000 Sep;5(3):165-8.

6.

Hill R, Pearman J, Worthy P, Caruso V, Goodwin S, Blincow E. Campylobacter pyloridis and gastritis in children. Lancet. 1986;1:387. [PubMed]

7.

Sumarsidi D, Gunawan S, Sumoharjo S, Muttaqin Z. et al Helicobacter pylori infection among kindergarten children in Mataram J. Gastroenterol. Hepatol., 2000;15(12): H1-H2(1).

8.

Thomas J. Culture Helicobacter pylori from faeces, In Lee A, Megraud F. eds.: Helicobacter pylori: techniques for clinical diagnosis and basic research, Tokyo: WB. Saunders, 1996 pp. 20611.

9.

Lu JJ, Perng CL, Shyu RY et al Comparison of five methods for detection of Helicobacter pylori DNA in gastric tissue. J. Clin. Microbiol. 1999: 772-4.

10. Cadranel S, Goossens H, De Boeck M, Malengreau A, Rodesch P, Butzler JP. Campylobacter pyloridis in children. Lancet. 1986;1:7356. [PubMed]
11. Drumm B, Sherman P, Cutz E, Karmail M. Association of Campylobacter pylori on the gastric mucosa with antral gastritis in children. N Engl J Med. 1987;316:155761. [PubMed]
12. Weaver LT, Shepherd AJ, Doherty CP. Helicobacter pylori in the faeces? An Internat. J.Med. 92 (7): 361-364.
13. Thomas JE, Gibson G, Darboe M, Dale A, Weaver LT. Isolation of Helicobacter pylori from human faeces. Lancet 1992; 340:10945.
14. Kabir, S. Detection of Helicobacter pylori in feces by Culture, PCR and Enzyme Immunoassay. J. Clin. Microbiol. 2001;50:1021-9.
15. Hegar B, Muzalkadin Helicobacter pylori infectionin Children with Recurrent Abdominal Pain. Indon. J. Gastroenterol., Hepatol. and Digestive Endoscopy 2001;2(2):1-4.

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

39

LAPORAN KASUS

Tumor Phyllodes
Azamris
Departemen Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas,
RS M. Djamil, Padang, Indonesia

ABSTRAK
Tumor phyllodes merupakan keganasan payudara yang jarang ditemukan. Insidensnya hanya sekitar 0,3-0,9% dari seluruh tumor payudara.
Manifestasi klinis tumor phyllodes umumnya berupa benjolan unilateral yang dapat diraba, tunggal, tidak nyeri. Terapi utama adalah pembedahan
komplit. Peran radioterapi dan kemoterapi adjuvan masih kontroversial. Dilaporkan 8 kasus tumor phyllodes di rumah sakit Dr.M.Djamil Padang
selama 2011-2012. Enam kasus (75%) varian jinak dan dua kasus (25%) varian borderline. Telah dilakukan terapi definitif pada tujuh pasien, satu
pasien meninggal sebelum mendapat terapi definitif.
Kata kunci: tumor phyllodes, keganasan payudara, terapi definitif

ABSTRACT
Phyllodes tumor is a rare breast malignancy. The incidence is only about 0.3-0.9% of all breast tumors. Clinical manifestations consist of unilateral
single palpable lump not accompanied by pain. Surgery is the main therapeutic modality. The role of radiotherapy and adjuvant chemotherapy
are still controversial. Eight cases of phyllodes tumors was reported at Dr.M.Djamil Padang Hospital in 2011-2012. Six cases were benign variants
and two cases were borderline variants. Definitive therapy has been performed in seven patients, one patient died before it was performed.
Azamris. Phyllodes Tumor.
Key words: phyllodes tumor, breast malignancy, definitive therapy

PENDAHULUAN
Tumor
phyllodes
adalah
neoplasma
fibroepitelial yang jarang ditemukan.
Insidensnya hanya sekitar 0,3-0,9% dari
seluruh tumor payudara, sedangkan frekuensi
lesi maligna bervariasi sekitar 5-30%. Tumor
phyllodes dikemukakan pertama kali oleh
Johannes Muller dengan nama cystosarcoma
phyllodes pada tahun 1838, untuk menunjukkan
tumor yang makroskopik menyerupai daging
dengan gambaran leaflike pada potongan
melintang; juga disebut giant fibroadenoma,
cellular intracanalicular fibroadenoma dan
beberapa nama lain. Penyebutan sarcoma
dianggap kurang tepat, karena phyllodes tidak
selalu bersifat ganas. Saat ini penamaan yang
dipakai adalah menurut WHO (1982) yaitu
tumor phyllodes. Etiologi tumor phyllodes
masih belum jelas apakah dari fibroadenoma
yang sudah ada sebelumnya atau de novo.1-3
KARAKTERISTIK TUMOR
Gambaran Makroskopik
Sebagian besar tumor phyllodes berupa massa

Alamat korespondensi

40

berbentuk bulat sampai oval, multinodular,


tanpa kapsul yang jelas. Ukuran bervariasi
dari 1-40 cm. Sebagian besar tumor berwarna
abu-abu-putih dan menonjol dari jaringan
payudara sekitar. Pada tumor berukuran besar
dapat terjadi nekrosis dengan perdarahan.
Sebagian besar tumor tipe benign dapat
menyerupai fibroadenoma.4 Banyak peneliti
menemukan tumor berukuran kurang dari
5 cm, oleh karena itu diagnosis tidak dapat
ditegakkan hanya berdasarkan ukuran. Celahcelah yang memanjang (leaf-like appearance)
pada penampang merupakan tanda khas
tumor phyllodes, kadang-kadang tampak
daerah nekrotik, perdarahan, dan degenerasi
kistik.5
Gambaran Mikroskopik
Tumor phyllodes memiliki gambaran
histopatologi yang luas, dari gambaran
menyerupai fibroadenoma hingga bentuk
sarcoma. Seperti fibroadenoma, gambaran
phyllodes berupa campuran stroma dan
epitel.4

Norris dan Taylor mengemukakan bahwa


kriteria histopatologi yang berguna untuk
memprediksi risiko menjadi ganas meliputi
pertumbuhan stroma berlebihan, nuclear
pleiomorphism, kecepatan mitosis tinggi,
dan mengalami infiltrasi. Penelitian lain juga
menunjukkan tingkat nekrosis yang tinggi
dan peningkatan vaskularisasi pada tumor.
Tumor dipastikan maligna jika komponen
stroma didominasi sarkoma. Sekitar 10-40%
tumor jenis ini memiliki risiko rekurensi lokal
dan menyebar secara sistemik.1,4
Beberapa penelitian menemukan adanya
mutasi tumor suppresor gene p53 pada tumor
phyllodes. Stromal immunoreactivity p53
terbukti meningkat pada tumor phyllodes
ganas sehingga dapat digunakan untuk
membedakannya dari fibroadenoma. Sawyer
EJ dkk mendapatkan bahwa overekspresi
c-myc dapat memicu proliferasi stroma pada
tumor phyllodes, sedangkan overekspresi
c-kit menyebabkan pertumbuhan dan
perkembangan tumor.5

email: drazamrisspbonk@yahoo.com

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

LAPORAN KASUS
Metastasis dapat ditemukan bersamaan
atau hingga 12 tahun kemudian. Metastasis
dapat menyebar secara hematogen, ke paruparu (66%), tulang (28%), otak (9%) dan lebih
jarang ke hati dan jantung.8 Dapat disertai
pembesaran limfonodi regional, walaupun
tanpa sel tumor.1 Tidak banyak literatur yang
melaporkan metastasis limfonodi. Treves
hanya melaporkan 1 kasus metastasis ke
limfonodi aksila dari 33 kasus; dari 94 pasien
yang diteliti Norris dan Taylor, 16 pasien
mengalami pembesaran limfonodi, namun
hanya 1 kasus yang terbukti secara histologi
mengalami metastasis. Reinfus menemukan
11 kasus pembesaran limfonodi dari
55 kasus, namun hanya 1 kasus yang
menunjukkan metastasis. Minkowitz juga
melaporkan satu kasus dengan metastasis
kelenjar aksila.1,3

Gambar 1 Klasifikasi tumor phyllodes4

KLASIFIKASI
Pada tahun 1981, WHO mengadopsi
penamaan tumor phyllodes dan membaginya
menjadi tipe benign, borderline, dan malignant
berdasarkan karakteristik stroma. Karakteristik
tersebut berupa derajat atipikal selular stroma,
aktivitas mitosis per-10 lapang pandang besar,
ada tidaknya overgrowth stroma, dan batas
tumor yang infiltratif atau batas tumor yang
tegas. Tumor phyllodes tipe benign memiliki
atipikal seluler ringan sampai sedang,
dengan peningkatan sel-sel stroma. Rasio
mitosis tinggi (10 atau lebih mitosis dalam 10
lapang pandang besar), adanya infiltrasi, dan
overgrowth stroma. Overgrowth stroma telah
dihubungkan dengan aktivitas metastasis,
yang tidak terdapat pada tipe benign dan
borderline. 3,6
INSIDENS
Tumor phyllodes merupakan jenis tumor
payudara yang jarang, insidensnya 0,3-0,5%
dari total tumor payudara. Penelitian pada
8.567 pasien tumor payudara pada tahun
1969 sampai 1993 hanya menemukan
31 kasus tumor Phyllodes (0,37%). Secara
keseluruhan 2,1 kasus per satu juta wanita,
sangat jarang pada laki-laki. Sebagian besar
kasus tumor Phyllodes terjadi pada dekade
ke-4, jarang pada remaja, dapat terjadi pada
semua umur. Tumor biasanya jinak namun
dapat terjadi rekurensi lokal dan terkadang
dapat menyebar secara sistemik; jarang
bilateral (baik sinkronous atau metakronous).
Faktor risikonya belum jelas, mutasi p53
meningkatkan risiko tumor phyllodes.3-5

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

Mamografi abnormal dijumpai pada


75% kasus, sering menyerupai gambaran
fibroadenoma. Ultrasonografi menunjukkan
massa homogen solid disertai internal echo
dan berdinding tipis.6

Gambar 2 Distribusi umur pasien tumor phyllodes4

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis tumor phyllodes umumnya
unilateral, tunggal, tidak nyeri, dengan
benjolan yang dapat teraba. Tumor tibatiba muncul dan terus membesar, atau
berupa benjolan yang awalnya menetap
lalu bertambah besar dalam beberapa bulan
terakhir. Pada pemeriksaan fisik payudara,
tumor phyllodes berupa benjolan lunak dan
bulat, mirip fibroadenoma, namun berukuran
besar (>2-3 cm).3,4 Tumor dapat terlihat jelas
jika cepat membesar. Pembesaran cepat tidak
selalu mengindikasikan sifat ganas. Terlihat
mengilat dengan permukaan kulit seperti
teregang disertai pelebaran vena permukaan
kulit. Pada kasus-kasus yang tidak tertangani
baik, dapat terjadi luka borok kulit akibat
iskemi jaringan. Walaupun perubahan kulit
seperti layaknya pada tumor payudara selalu
menunjukkan tanda-tanda keganasan (lesi
T4), namun tidak pada tumor phyllodes; borok
pada kulit dapat terjadi pada jenis lesi jinak,
borderline ataupun ganas. Retraksi puting
tidak umum terjadi. Ulserasi mengindikasikan
nekrosis jaringan akibat penekanan tumor
yang besar.3,4

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tumor phyllodes masih
diperdebatkan dan tidak sama pada semua
kasus. Terapi utama adalah pembedahan
komplet dengan batas adekuat. Banyak
peneliti menganjurkan batas eksisi 1 cm
sebagai reseksi yang baik. Rekurensi berkaitan
dengan margin eksisi dan tidak berkaitan
dengan grade dan ukuran tumor. Eksisi
luas pada tumor kecil atau mastektomi
simpel umumnya menunjukkan hasil
memuaskan. Eksisi otot-otot pektoral perlu
dipertimbangkan jika telah terjadi infiltrasi.4
Mastektomi dengan rekonstruksi payudara
dapat menjadi pilihan pada tumor berukuran
besar. 7
Tumor phyllodes, sama halnya dengan
sarkoma jaringan lunak, jarang menyebabkan
metastasis ke kelenjar getah bening (KGB).
Sebagian besar penelitian menunjukkan
bahwa diseksi KGB aksila tidak rutin dilakukan,
mengingat jarangnya infiltrasi ke KGB aksila.
Norris dan Taylor menganjurkan mastektomi
dengan diseksi KGB aksila bagian bawah jika
terdapat pembesaran KGB, tumor ukuran >4
cm, biopsi menunjukkan jenis tumor agresif
(infiltrasi kapsul, kecepatan mitosis tinggi, dan
derajat selular atipikal tinggi). Jika terindikasi
ada keterlibatan KGB secara klinis atau pada

41

LAPORAN KASUS
pemeriksaan imaging, dapat dilakukan biopsi
jarum dengan panduan USG. Jika hasilnya
negatif, dapat dipertimbangkan biopsi
sentinel limfonodi.1,4
Peran radioterapi dan kemoterapi adjuvan
masih kontroversial, namun penggunaan
radioterapi dan kemoterapi pada sarkoma
mengindikasikan bahwa keduanya dapat
digunakan pada tumor phyllodes. Radioterapi
adjuvan dapat bermanfaat pada tipe maligna.
Kemoterapi golongan antrasiklin, ifosfamid,
sisplatin, dan etoposid jarang digunakan.
Belum
banyak
penelitian
mengenai
penggunaan terapi hormonal, seperti
tamoksifen. Sensitivitas hormonal pada tumor
phyllodes juga belum teridentifikasi dengan
baik. Secara garis besar, terapi sistemik tumor
phyllodes tidak berbeda dengan terapi pada
sarkoma.1,4,6,7
REKURENSI
Rekurensi lokal dapat terjadi pada 28-50%
kasus. Faktor yang paling berperan dalam
terjadinya rekurensi adalah batas bebas reseksi
tumor yang kurang dari 1-2 cm. Umur pasien,
tipe pembedahan, peningkatan aktivitas
mitosis dan aktivitas jaringan stroma yang
berlebihan juga dianggap sebagai faktorfaktor yang mempengaruhi risiko rekurensi
lokal. Dalam penelitian lain disebutkan bahwa
ukuran tumor, pertumbuhan jaringan stroma
yang berlebihan dan batas bebas tumor <1
cm sebagai faktor risiko terjadinya rekurensi
lokal.7
INSIDENS
Selama dua tahun (2011-2012), ditemukan 8
kasus tumor phyllodes di RSUP dr.M.Djamil
Padang. Pasien umumnya datang dengan
ukuran tumor cukup besar atau bertukak.
Pasien paling muda berumur 25 tahun dan
paling tua berumur 49 tahun. Sebagian
besar kasus (6 pasien - 75%) menunjukkan
varian jinak, 2 kasus lainnya menunjukkan
varian borderline. Dua kasus varian borderline

Tabel 1 Kasus tumor phyllodes di RS Dr. M. Djamil 2011-2012


No

Umur

Alamat

1.

25 tahun

Alahan Panjang

Tumor phyllodes varian jinak

Diagnosis

Mastektomi radikal
modifikasi (MRM)

Tindakan

2.

40 tahun

Padang

Tumor phyllodes varian jinak

M.R.M

3.

43 tahun

Padang

Tumor phyllodes varian jinak

M.R.M

4.

45 tahun

Lunang Silaut
Pesisir Selatan

Tumor phyllodes D (residif ) varian jinak

M.R.M

5.

27 tahun

Teluk Anjalai
Alahan Panjang

Tumor phyllodes kanan varian jinak


Post MRM

M.R.M

6.

49 tahun

Danau Kembar
Alahan Panjang

Tumor phyllodes kanan varian borderline dengan


metastasis paru
Meninggal dunia

Tidak ditindak

7.

32 tahun

Barangin Sawahlunto

Tumor phyllodes kanan varian jinak


Pasca-MRM

M.R.M

8.

30 tahun

Batang Merangin
Kerinci

Tumor phyllodes kanan varian borderline dengan


metastasis paru

Kemoterapi

Gambar 3 Pasien tumor phyllodes kanan varian borderline dengan metastasis paru

tersebut sudah bermetastasis ke paru; satu


pasien meninggal dunia sebelum diberikan
terapi definitif. Pada 7 kasus, telah dilakukan
terapi definitif mastektomi modifikasi. Pada
kasus metastasis paru, diberikan kemoterapi
adjuvan.
Dari 8 pasien tersebut, 3 pasien berdomisili
di kecamatan Alahan Panjang, juga memiliki
profesi sama, yaitu petani. Perlu diteliti
apakah lokasi tempat tinggal, profesi petani
yang identik dengan pemakaian pestisida
berhubungan signifikan dengan kejadian
tumor phyllodes; atau masyarakat daerah

tersebut memiliki predisposisi genetik tumor


payudara. Fakta ini perlu diteliti lebih lanjut.
SIMPULAN
Tumor
phyllodes
adalah
neoplasma
fibroepitelial yang jarang dijumpai. Gejala
klinis tumor phyllodes cukup beragam, dapat
menyerupai fibroadenoma. Tumor phyllodes
berdasarkan aktivitas stromanya terbagi
menjadi jenis benign, borderline, dan malignant.
Pembedahan merupakan modalitas terapi
utama; belum banyak penelitian tentang
penggunaan radioterapi, kemoterapi, dan
terapi hormon pada tumor phyllodes.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Agrawal PP, Mohanta PK, Singh K, Bahadur AK. Cystosarcoma phyllodes with lymph node metastasis. Community Oncology. 2006;3:44-6.

2.

Akin M, Irkorucu O, Koksal H, Gonul II, Gultekin S, Kurukahvecioglu O, et al. Phyllodes tumor of the breast: A case series. Bratisl Lek Listy. 2010;111:271-4.

3.

Flynn LW, Borgen PI. Phyllodes tumor: About this rare cancer. Community Oncology. 2006;3:46-8.

4.

Calhoun KE, et al. Phyllodes tumors. In: Harris JR, Lippman ME, Morrow M, Osborne CK, editors. Diseases of the breast. 4th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2009. p. 781-92.

5.

Juanita, Sungowati NK. Malignant phyllodes tumour of the breast. Indon J Med Sci. 2008;1:101-4.

6.

Bal A, Gunggor B, Polat AK, Simsek T. Recurrent phyllodes tumor of the breast with malignant transformation during pregnancy. J Breast Health. 2012;8:45-7.

42

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

LAPORAN KASUS

Audit Kualitatif Pemberian Antibiotik untuk Pasien


Gangren Diabetik Disertai Insufisiensi Adrenal
Sekunder: Laporan Kasus
Hadiki Habib
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK
Dilaporkan kasus gangren diabetes disertai dengan insufisensi adrenal sekunder. Fokus laporan kasus ini adalah pemilihan antibiotik selama
perawatan. Evaluasi penggunaan antibiotik secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan alur Gyssen. Terdapat tiga evaluasi antibiotik yang
digunakan yaitu ampicillin-sulbactam dengan skor Gyssen 1, cefotaxim dan klindamisin dengan skor Gyssen IVA, dan levofloxacin dengan skor
Gyssen 1.
Kata kunci: Gyssen, antibiotik, gangren diabetik

ABSTRACT
A case of diabetic gangrene concurrent with secondary adrenal insufficiency was reported. This case report will focus on antibiotic management.
The use of antibiotic will be evaluated qualitatively by Gyssen scheme. Three evaluations of antibiotic use was done, ampicillin-sulbactam
with Gyssen score 1, cefotaxim and clyndamicin with Gyssen score IVA, and levofloxacin with Gyssen score 1. Hadiki Habib. Audit Kualitatif
Pemberian Antibiotik untuk Pasien Gangren Diabetik Disertai Insufisiensi Adrenal Sekunder: Laporan Kasus.
Key words: Gyssen, antibiotics, diabetic gangrene

PENDAHULUAN
Resistensi antibiotik telah menjadi krisis global
terutama di negara-negara berkembang.
Penelitian Hadi di Indonesia tahun 2008
melaporkan tingkat pemakaian antibiotik
yang tinggi untuk pasien-pasien rawat
inap (84 %) dan hanya 21% dari peresepan
tersebut yang dinilai tepat, 42% pemberian
antibiotik sebenarnya tidak diperlukan dan
15 % tidak tepat dalam hal pemilihan jenis
antibiotik, dosis, dan lama pemberian.1
Penyebab lain meningkatnya resistensi adalah
penggunaan antibiotik tanpa peresepan. Di
Surabaya banyak antibiotik dijual bebas di
warung-warung nonapotik, yaitu amoxicillin,
chloramphenicol, ciprofloxacin, cotrimoxazole,
dan tetracycline.2
Dampak resistensi ini adalah makin sulit
mengatasi infeksi dengan antibiotik standar
dan membutuhkan antibiotik khusus yang
mahal.
Untuk

mengurangi

Alamat korespondensi

perilaku

pemberian

antibiotik yang tidak tepat, selain memperbaiki


kebijakan penjualan antibiotik, diperlukan
peningkatan kepatuhan dokter terhadap
panduan pemberian antibiotik Kombinasi
antara klinis pasien seperti lokasi infeksi, tingkat
keparahan infeksi, penyakit lain yang diderita
(keganasan, diabetes, imunokompromais,
gangguan hati dan ginjal), data pola kuman,
panduan terapi dan biaya yang dibutuhkan
harus dipertimbangkan untuk memilih
antibiotik yang tepat. Penelitian Frei (2010)
menunjukkan bahwa pemberian antibiotik
meskipun empiris, apabila tetap berpegang
pada panduan akan meningkatkan angka
keselamatan pasien-pasien pneumonia yang
dirawat di ruang rawat intensif.3
Untuk
mengkampanyekan
pemberian
antibiotik yang tepat, laporan kasus ini akan
membahas metode audit kualitatif pemberian
antibiotik untuk pasien diabetes mellitus
dengan insufisiensi sekunder yang menderita
gangren diabetes diikuti selulitis cruris.
Kasus ini sebagai contoh evaluasi kualitatif

pemberian antibiotik. Alur Gyssen digunakan


untuk mengevaluasi setiap keputusan
pemberian antibiotik.
LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki usia 45 tahun datang dengan
keluhan utama jari kaki kanan luka dan
menghitam yang memberat sejak 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit
Satu minggu sebelum masuk rumah sakit jari
kaki kanan pasien tertimpa besi dan berdarah,
lalu diikat dengan karet, sehingga luka
menghitam dan meluas. Pasien kemudian ke
klinik, diberi obat namun tidak ada perbaikan,
luka makin menghitam, berbau dan berair.
Pasien demam naik turun, dan akhirnya
diantar ke rumah sakit. Pasien diketahui
kencing manis sejak 1 tahun, tidak pernah
kontrol teratur.
Pasien bekerja sebagai buruh pabrik kontrak,
sejak tahun 1990 rutin mengkonsumsi obat
dexamethasone satu kali sehari, alasannya

email: salinahhabib@gmail.com

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

43

LAPORAN KASUS
agar badan tetap segar dan bekerja semangat,
sejak 6 bulan terakhir mulai tidak rutin karena
dilarang istri, namun pasien masih makan
obat tersebut sekali-sekali bila badan merasa
tidak enak. Tiga hari sebelum dirawat pasien
masih mengkonsumsi dexamethasone.
Pemeriksaan fisik saat masuk: tampak sakit
sedang, kompos mentis, nadi 90x/menit,
tekanan darah 100/70 mmHg, respirasi 20x/
menit, suhu 38 C.Pemeriksaan fisik thorak
dan jantung dalam batas normal. tampak
striae kemerahan di abdomen. Tampak jari
ke III dan IV kaki kanan eritem dan nekrotik
sampai ke 1/3 dorsum pedis, dasar luka
subkutan, terdapat jaringan nekrotik dan
tanda-tanda sistemik respons inflamasi.
Ankle Brachial Index kaki kanan 0.92 dan kaki
kiri 1. Pemeriksaan tungkai kiri menunjukkan
ulkus dasar otot di dekat lutut ukuran 3x3 cm
dan dalamnya 2 cm, tidak dijumpai pus dan
jaringan nekrotik.
Pada pemeriksaan chest x ray tidak dijumpai
infiltrat paru dan tidak ada kardiomegali, EKG
dalam batas normal, dan hasil x ray pedis
dekstra tidak tampak osteomielitis tulangtulang pedis dekstra. Dijumpai leukositosis
(14600/mm3). Gula darah saat masuk 250 g/
dl, HbA1c 9.6 %.
Diagnosis adalah gangren diabetes pedis
dekstra. Pasien mendapat terapi cairan, insulin
kerja cepat intravena dan antibiotik ampicillinsulbactam 3x1.5 g. Debridement serta amputasi
digiti III dan IV pedis dekstra dilakukan pada
hari pertama. Hasil kultur pus menunjukkan
kuman Staphylococcus aureus yang sensitif
terhadap ampisilin-sulbactam, lincomicin,
cephalotin, cefotaxim, amoksilin-clavulanat,
ceftriaxone,
cefoperazone,
piperacillintazobactam, cefoperazone-sulbactam,
Hari perawatan ke 10 luka post amputasi dan
ulkus di tungkai kiri di skin graft dan antibiotik
dilanjutkan dengan ampicillin-sulbactam
4x1.5 g. Pasien tidak demam dan leukositosis
berkurang (10780/mm3). Pasca skin graft luka
di kaki kanan mengering, tidak dijumpai pus,
hasil skin graft menempel 95 % di kaki, tidak
ada bengkak dan nyeri di kaki kanan, gula
darah terkontrol dengan insulin basal dan
premeal.
Hari perawatan ke 16 pasien kembali demam
naik turun, dijumpai kemerahan di kulit

44

tungkai kiri bawah, skin graft ulkus di tungkai


kiri lisis, sehingga jaringan dibersihkan dan
dibuang, dijumpai leukositosis (11830/
mm3) dan procalcitonin 0.12 U/L. Diagnosis
selulitis kruris sinistra., Antibiotik diganti
menjadi cefotaxim 3x1 g dan clindamicin
3x300 mg. Hari perawatan ke 26 bengkak
di kruris kiri membaik. Hasil kultur pus dari
ulkus di kruris kiri tidak tumbuh bakteri,
dijumpai Candida albicans jumlah sedikit dan
dianggap kontaminan, namun di kruris kanan
muncul indurasi multipel berisi pus, tepi
kemerahan, pasien masih demam naik turun.
Leukosit 17560/mm3, procalcitonin 0.35 U/L.
Ditambahkan antibiotik levofloxacin 1x750
mg, cefotaxim dan clindamicin diteruskan
sampai total 14 hari, selanjutnya diteruskan
dengan levofloxacin tunggal. Hasil kultur pus
dari indurasi di kruris kanan steril, dan kultur
darah steril. Hasil pemeriksaan kortisol serum
pagi 0.918 (normal: 6.2-19.4). Pasien dianggap
mengalami insufisiensi adrenal sekunder
akibat putus steroid setelah pemakaian rutin
jangka panjang, diberi terapi pengganti
prednison 5 mg pagi hari dan 2.5 mg sore
hari.
Hari perawatan ke 36 luka dan bengkak di
cruris kanan membaik, tidak demam, leukosit
turun menjadi 11620/mm3 dan procalcitonin
0.06 U/L, levofloxacin dihentikan dan pasien
berobat jalan. Selama perawatan gula darah
pasien terkontrol dengan insulin rapid acting
3x 6 IU perawatan luka dilakukan 1-2 kali
sehari.
DISKUSI
Kaki diabetes
Infeksi kaki diabetes sering dijumpai pada
penderita diabetes dengan prevalensi 25 %4,
merupakan penyebab tersering penderita
diabetes masuk rumah sakit dan menjadi
alasan utama amputasi tungkai4. Komplikasi
ulkus dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas.
Diagnosis infeksi kaki diabetik ditegakkan
berdasarkan gambaran klinis dan keluhan.
Kultur untuk mengetahui etiologi infeksi dapat
membantu menentukan antibiotik yang
sensitif. Spesimen untuk kultur harus diambil
setelah debridement luka untuk mencegah
kontaminasi.
Setelah perawatan hari ke-26, pasien
mengalami infeksi baru dan timbul gejala

lemah terus-menerus, kadar kortisol serum


pagi pasien sangat rendah, mengonfirmasi
kondisi insufisiensi adrenal sekunder akibat
putus steroid setelah pemakaian jangka
panjang. Karena ada infeksi baru dan
kadar kortisol rendah, diberikan substitusi
steroid berupa prednison 7.5 mg/hari untuk
mencegah krisis adrenal.5
Pemberian antibiotik yang adekuat merupakan
bagian dari manajemen kaki diabetik yang
lebih komprehensif meliputi kontrol vaskular,
kontrol infeksi, kontrol metabolik, kontrol luka,
kontrol tekanan mekanis dan kontrol edukasi
serta rehabilitasi.6
Alur Gyssen7
Evaluasi pemakaian antibiotik secara umum
dapat dilakukan secara kuantitatif dan
kualitatif. Untuk evaluasi kualitas pemberian
antibiotik ada banyak parameter yang dipakai
seperti ketepatan dosis, ketepatan interval
pemberian, rute pemberian, monitoring kadar
obat dalam plasma, monitoring reaksi alergi,
evaluasi harga, dan lain-lain.
Penilaian kualitatif memungkinkan kita
mengetahui apakah antibiotik yang diberikan
sudah tepat, dilakukan dengan analisis
mendalam terhadap rekam medis, disebut
juga audit praktis. Penilaian kualitatif jarang
dilakukan karena minimnya standarisasi,
metodologi yang sulit, dan membutuhkan
sumber daya manusia.8 Meskipun demikian,
pembahasan pemberian antibiotik secara
kualitatif dapat mendorong dokter agar lebih
taat pada panduan dan mengikuti edukasi
pemakaian antibiotik. Alur Gyssen adalah
salah satu algoritma yang digunakan untuk
audit kualitatif pemberian antibiotik.
Untuk evaluasi menyeluruh, beberapa
pertanyaan panduan harus ditanyakan
secara lengkap agar tidak ada parameter
penting yang terlewat. Setiap pertanyaan
diklasifikasikan ke dalam tiap algoritma dan
evaluasi berlangsung serial dari pertanyaan
pertama sampai pertanyaan terakhir.
Peresepan dapat tidak tepat dalam beberapa
kategori secara bersamaan. Selama proses
evaluasi, algoritma dibaca dari atas ke
bawah untuk mengevaluasi tiap parameter
yang memandu dokter untuk menentukan
antibiotik yang tepat (skema 1). Ada 12 tahap
pertimbangan yang harus dipikirkan sebelum
memberikan antibiotik, yaitu:

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

LAPORAN KASUS
1. Data apakah sudah lengkap, yaitu data
klinis dan laboratoris yang cukup untuk
menegakkan diagnosis infeksi dan diikuti
dengan hasil kultur mikroorganisme
Tidak: audit dihentikan pada kategori VI
Ya: diteruskan ke tahap selanjutnya
2. Indikasi antibiotik apakah sesuai, mengapa
jenis antibiotik itu yang diberikan
Tidak: audit dihentikan pada kategori V
Ya: diteruskan ke tahap selanjutnya
3. Ada alternatif antibiotik lain yang lebih
efektif
Ya: audit dihentikan pada kategori IVa
Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya
4. Ada alternatif antibiotik lain yang kurang
toksik
Ya: audit dihentikan pada kategori IVb
Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya
5. Ada alternatif antibiotik lain yang lebih
murah
Ya: audit dihentikan pada kategori IVc
Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya
6. Ada alternatif antibiotik lain yang lebih
sempit spektrumnya
Ya: audit dihentikan pada kategori IVd
Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya
7. Durasi pemberian antibiotik terlalu
panjang
Ya: audit dihentikan pada kategori IIIa
Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya
8. Durasi pemberian antibiotik terlalu
singkat
Ya: audit dihentikan pada kategori IIIb
Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya
9. Dosis antibiotik yang diberikan apakah
sudah tepat
Tidak: audit dihentikan pada kategori IIa
Ya: diteruskan ke tahap selanjutnya
10. Apakah interval pemberian antibiotik
sudah tepat
Tidak: audit dihentikan pada kategori IIb
Ya: diteruskan ke tahap selanjutnya
11. Apakah rute pemberian antibiotik sudah
tepat
Tidak: audit dihentikan pada kategori IIc
Ya: diteruskan ke tahap selanjutnya
12. Apakah waktu pemberian sudah sesuai
Tidak: audit dihentikan pada kategori I
Ya: pemakaian antibitok sudah tepat
Tiap poin dalam alur Gyssen dinilai bertahap
(dari poin pertama sampai poin ke 12) apabila
berhasil menjawab satu poin dilanjutkan ke
poin berikutnya, makin banyak poin yang
berhasil dijawab makin baik pilihan antibiotik
tersebut.

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

Penelitian tahun 2010 di Swiss yang


melakukan evaluasi kualitatif dengan alur
Gyssen menemukan dari 1.577 pasien, 700
mendapat antibiotik (44,4%) dengan total
1270 peresepan antibiotik. Ada 958 (75,4%)
peresepan untuk tujuan terapi dan 312
(24,6%) untuk profilaksis, 37% terapi, dan
16,6% profilaksis tidak tepat. Pemberian
antibiotik untuk pengobatan yang tidak tepat
berupa tidak ada indikasi (17,5%), pemilihan
antibiotik tidak tepat (7,6%), cara pemberian
obat tidak tepat (9,3%), dan pemilihan jenis
antibiotik berbeda dengan panduan baku
(8%). Sementara itu, pemberian antibiotik
untuk profilaksis tidak tepat dalam hal tidak
ada indikasi (9%), pemilihan jenis antibiotik
tidak tepat (1%) durasi pemberian terlalu lama
dan cara pemberian tidak tepat guna lainnya
(6,7%).8

antibiotik inisial bersifat empiris, namun harus


diikuti dengan pemeriksaan kultur dan tes
sensitivitas untuk mempersempit spektrum
antibiotik. Intervensi bedah dibutuhkan jika
pus banyak atau infeksi terus meluas meskipun
telah diberi antibiotik. Tindakan bedah antara
lain insisi dan drainase, debridement jaringan
nekrotik, membuang semua benda asing
dalam luka, revaskularisasi arteri, dan bila
perlu, amputasi. 9 Ada beberapa penelitian
yang membantu menentukan antibiotik
empiris yang tepat untuk nfeksi kaki diabetes.
Panduan Cleveland Clinic dan American
Family Physician menyebutkan S. aureus
adalah kuman tersering ulkus diabetes, infeksi
kronik polimikrobial, sedangkan infeksi akut
dan belum pernah diobati dengan antibiotik
disebabkan oleh monopatogen, biasanya
coccus gram positif. 9

Gyssen 1. Ampicillin-sulbactam
Langkah pertama evaluasi antibiotik
ampicillin-sulbactam adalah mengevaluasi
apakah data sudah cukup lengkap sehingga
antibiotik layak diberikan. Pasien datang
dengan sumber infeksi yang jelas yaitu luka
di kaki kanan yang membusuk, ditandai
dengan respons sistemik seperti demam
naik turun dan luka yang membengkak
dan kemerahan. Pasien punya penyakit
yang mendasarinya yaitu diabetes mellitus.
Pemeriksaan penunjang menunjukkan
leukositosis dan pemeriksaan rontgen pedis
tidak menunjukkan adanya osteomielitis.
Pemeriksaan kultur pus dari luka di kaki
menunjukkan kuman S. auerus yang sensitif
terhadap ampicillin-sulbactam, lincomicin,
cephalotin,
cefotaxim,
amoxicillinclavulanate, ceftriaxone, cefoperazone,
piperacillin-tazobactam,
cefoperazonesulbactam.

Untuk infeksi polimikrobial penelitian di rumah


sakit pendidikan Malaysia menunjukkan
bahwa dari 194 pasien kaki diabetes yang
diambil sampel pusnya, kuman terbanyak
bakteri gram negatif (52%) terdiri atas Proteus
spp (28%), P. aeruginosa (25%), Klebsiella
pneumoniae (15%), dan Escherichia coli (9%).
Bakteri gram positif sejumlah 45% terdiri atas
Staphylococcus aureus (44%), Streptococcus
group B (25%), dan Enterococcus (9%). 10

Data yang ada dianggap cukup untuk


menegakkan diagnosis sepsis akibat infeksi
kaki diabetik sehingga antibiotik layak
diberikan.
Indikasi pemberian antibiotik ditentukan
pertama dengan menilai perjalanan penyakit.
(1) Pasien mengalami infeksi di luar rumah
sakit dan belum pernah mendapat terapi
antibiotik sebelumnya, (2) Infeksi kaki pasien
dianggap derajat sedang-berat berdasarkan
pemeriksaan fisik.
Untuk kaki diabetik dengan infeksi, pemberian

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa


beberapa kuman anerob biasa didapati pada
infeksi kaki diabetes: dari 102 sampel pus,
terdapat kuman anaerob Peptostreptococcus
spp (46%) dan Bacteroides fragilis (19%).
Resistensi antibiotik dijumpai terhadap
clindamycin 18%, metronidazole 1%,
dan imipenem 2%.11 Penelitian lain yang
mengumpulkan bahan pus dari 433 pasien,
menemukan 427 kultur positif, 83,8%
polimikrobial, 48% hanya tumbuh anaerob,
dan 43,7% mengandung kuman aerob
dan anaerob, 1,3% hanya mengandung
kuman anaerob. Jenis kuman yang paling
banyak ditemukan adalah Staphylococcus
aureus
sensitif
oxacillin
(14,3%),
Staphylococcus aureus resisten oxacillin
(4,4%), Staphylococcus koagulase negatif,
(15,3%), Streptococcus (15,5%), Enterococcus
spp (13,5%), Corynebacterium spp (10,1%),
Enterobactericeae (12,8%), dan Pseudomonas
aeruginosa (3,5%). Bakteri anaerob yang
tumbuh adalah coccus gram positif (45,3%),
Prevotella spp (13,6%), Porphyromonas
(11,3%), dan Bacteroides fragilis (10,2%).12

45

LAPORAN KASUS
Di Indonesia, penyebab tersering infeksi pada
kaki diabetes rawat jalan adalah Pseudomonas,
yang sensitif terhadap ceftriaxone dan
cefotaxim.13
Berdasarkan panduan pemberian terapi empirik
dan data dasar pola kuman pada kaki diabetes,
dipilih ampicillin sulbactam 4 x 1,5 g sebagai
antibiotik empirik. Obat ini diberikan saat
pasien di UGD, sebelum dilakukan debridement.
Pengambilan sampel pus dilakukan setelah
debridement untuk mengurangi risiko
sampel tercampur kontaminan. Hasil kultur
menunjukkan kuman S. aureus yang sensitif
terhadap ampicillin-sulbactam sehingga
obat ini diteruskan. Tidak ada pilihan obat
lain dengan spektrum lebih sempit dan tidak
dibutuhkan antibiotik untuk kuman anerob
karena telah ada komponen sulbactam.
Ada beberapa pilihan antibiotik lain yang
secara empiris dapat diberikan berdasarkan
guideline yaitu imipenem-cilastatin, namun dari
segi farmakoekonomi ampicillin-sulbactam
lebih cost-effective. Penelitian terhadap 90
penderita kaki diabetes menunjukkan tidak
ada perbedaan antara pengobatan ampicillinsulbactam dibandingkan imipenem cilastatin
dari segi keberhasilan klinis, efek samping,
lama pemberian, dan lama perawatan di
rumah sakit, sementara itu biaya pengobatan
ampicillin-sulbactam lebih murah bermakna
dibandingkan
imipenem-cilastatin.14,15
Ampicillin-sulbactam dan imipenem cilastatin
memiliki angka keberhasilan 80% mengatasi
infeksi akibat kaki diabetik, namun imipenem
cilastatin membutuhkan biaya yang lebih
besar sekitar 2.924 dolar (pada tahun 1994).16
Antibiotik khusus tidak berbeda efektivitasnya
dibandingkan ampicillin-sulbactam; kesembuhan klinis kelompok linezolid dan
ampicillin-sulbactam tidak berbeda bermakna,
efek samping linezolid lebih banyak.17
Dosis pemberian 4 x 1,5 g sesuai dengan cara
yang berlaku, tanpa perlu penyesuaian dosis
karena pasien tidak mengalami gangguan
hati dan ginjal. Pada awalnya diberikan
dengan dosis 3 x 1,5 g yang sebenarnya tidak
tepat; setelah debridement, dosis diperbaiki
menjadi 4 x 1,5 g. Obat ini diberikan selama
14 hari sesuai batasan lama pemberian
antibiotik. Saat itu, antibiotik tidak diganti
oral karena selama pemberian antibiotik,
pasien mengalami dua kali tindakan operasi

46

(debridement dan amputasi digiti III dan


IV serta pemasangan skin graft). Obat ini
diberikan awal saat pasien di UGD sehingga
dianggap saat pemberian tepat mengingat
beratnya luka dan kondisi tubuh pasien yang
luluh imun (immunocompromised).
Penilaian alur Gyssen untuk antibiotik yang
pertama adalah 1.
Gyssen 2. Cefotaxim dan Clindamicin
Setelah hari perawatan ke-14, pasien kembali
mengalami demam naik turun, disertai
bengkak di tungkai kiri, saat itu dijumpai juga
ulkus di tungkai kiri tidak mengering, hasil
kultur swab dari ulkus di tungkai kiri steril,
pasien kembali mengalami leukositosis dan
kadar procalcitonin meningkat. Berdasarkan
data ini, pasien dianggap mengalami infeksi
baru yaitu selulitis kruris sinistra dan antibiotik
diganti menjadi cefotaxim dan clindamicin.
Selulitis biasanya disebabkan oleh kuman gram
positif dan jarang menimbulkan bakteremia,
pada penelitian 272 pasien selulitis, hanya 4%
yang hasil kultur darahnya dijumpai patogen.
Selulitis gram negatif dapat timbul pada
pasien luluh imun.15
Diagnosis infeksi baru ditegakkan padahal
saat itu sedang dalam pengobatan ampicillinsulbactam. Karena infeksi baru ini muncul
setelah pasien mendapat terapi antibiotik
dan terjadi di rumah sakit, diduga ada kuman
baru yang berperan dan berasal dari rumah
sakit, hal ini dapat terjadi karena pasien
immunokompromais.
Dipilih
antibiotik
yang spektrumnya dominan mengatasi
kuman gram negatif karena meskipun telah
mendapat terapi untuk gram positif namun
infeksi baru tetap muncul. Diberikan cefotaxim
dan antibiotik anaerob yang dapat masuk ke
jaringan, yaitu clindamicin.
Penelitian menunjukkan kombinasi antibiotik
untuk gram negatif dan anaerob yang baik
adalah ceftriaxone-metronidazole. Kombinasi
ini memiliki efektivitas yang sama namun
biaya lebih murah dibandingkan ticarcillinclavulanate.19 Alternatif lain untuk cefotaxim
adalah ciprofloxacin oral dosis 2 x 750 mg.15
Cefotaxim 3 x 1 gram per hari diberikan
secara intravena karena dijumpai tanda-tanda
inflamasi sistemik dan clindamycin diberikan
per oral karena tidak ada sediaan intravena
dengan dosis 3 x 300 mg/hari. Antibiotik

diberikan selama 14 hari.


Berdasarkan pola kuman di RSCM tahun 2010,
kuman gram negatif yang banyak didapat dari
sampel pus adalah Acinetobacter, Klebsiella
pneumonia, Pseudomonas, dan E. coli.18 Data
ini hanya menunjukkan jenis kuman yang
didapat, tetapi tidak dapat disimpulkan apakah
kuman tersebut berasal dari komunitas atau
nosokomial.
Berdasarkan data di atas, alur Gyssen antibiotik
cefotaxim dan clyndamcin adalah IVA,
karena ada pilihan antibiotik lain yang lebih
efektif, yaitu ceftriaxone-metronidazole atau
levofloxacin.
Gyssen 3. Levofloxacin
Lefofloxacin diberikan karena tidak ada
perbaikan klinis dan timbul ulkus baru disertai
selulitis di tungkai kanan. Demam masih ada,
masih dijumpai leukositosis dan peningkatan
kadar procalcitonin. Hasil kultur swab ulkus di
tungkai kanan tidak tumbuh kuman, hanya
tumbuh Candida spp yang dianggap sebagai
kontaminan karena jumlahnya tidak banyak.
Kuinolon memiliki distribusi luas ke jaringan
tubuh dan merupakan antibiotik yang poten
untuk infeksi bakteri gram negatif, kuinolon
golongan baru seperti moxifloxacin memiliki
aktivitas terhadap kuman anaerob yang lebih
baik dibandingkan dengan levofloxacin.20
Levofloxacin adalah fluoroquinolone dengan
bioavailabilitas tinggi dan waktu paruh
panjang, memiliki spektrum antimikroba luas,
meliputi Enterobacter dan gram positif, serta
penetrasinya baik ke jaringan lunak. Penelitian
ini menunjukkan pemberian levofloxacin
oral 500 mg per hari mampu memberikan
konsentrasi antibiotik yang cukup ke jaringan
terinfeksi, tidak berbeda dengan penelitian
Chow dkk yang memberikan levofloxacin 1 x
750 mg.21,22
Pada pasien ini, levofloxacin diberikan selama
10 hari intravena, data awal dianggap cukup
karena ada infeksi klinis, didukung hasil
laboratorium yang sesuai dengan infeksi.
Indikasi pemberian adalah adanya infeksi
jaringan lunak yang tidak respons dengan
antibiotik sebelumnya, efikasi yang sesuai
untuk infeksi di jaringan lunak. Dibandingkan
jenis antibiotik lain seperti meropenem,
levofloxacin tidak lebih toksik dan harganya
lebih terjangkau.

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

LAPORAN KASUS
Antibiotik diberikan selama 10 hari sesuai
dengan perbaikan klinis pasien, dilakukan
secara intravena karena ingin mencapai
kadar optimum dalam darah dengan cepat.
Kadar optimum ingin cepat dicapai karena
pasien mengalami infeksi disertai insufisiensi
adrenal sekunder, apabila penanganan infeksi
tidak adekuat maka dapat memicu terjadinya
krisis adrenal. Alur Gyssen untuk pemberian
levofloxacin adalah 1.
KELEMAHAN
Pelaksanaan audit kualitatif membutuhkan
waktu, sumber daya manusia dan biaya. Namun

dampaknya diharapkan mampu mendorong


klinisi untuk lebih bijaksana dalam menggunakan antibiotik. Audit kualitatif dilakukan di akhir
pengobatan dengan berpegang pada rekam
medis, apabila rekam medis tidak mencatat
jalannya pengobatan dengan lengkap, maka
penilaian akan sulit dilakukan.
Beberapa data pendukung terapi sulit didapat
misalnya data kultur kuman. Tidak semua
infeksi bisa menghasilkan hasil kultur kuman
positif, terkait dengan lokasi infeksi, pemberian
antibiotik sebelumnya, tidak adekuatnya
pengambilan sampel, dan lain-lain.

SIMPULAN
Audit kualitatif dilakukan untuk mengevaluasi
apakah antibiotik yang diberikan untuk suatu
masalah pasien tepat atau tidak. Alur Gyssen
adalah salah satu metode audit kualitatif
pemberian antibiotik. Penerapan alur Gyssen
diharapkan dapat meningkatkan pemberian
antibiotik yang tepat.
Dalam laporan kasus ini, skor Gyssen untuk
pemberian ampicillin-sulbactam adalah 1,
skor Gyssen untuk pemberian cefotaxim dan
klindamisin adalah 4A, dan skor Gyssen untuk
pemberian levofloxacin adalah 1.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Hadi U Duerink DO, Lestari ES, Nagelkerke NJ, Keuter M, Huis Int Veld D et al. Audit of antibiotik prescribing in two governmental teaching hospitals in Indonesia. Clinical Microbiology
and Infection, Vol14, No7, July 2008: 698707.

2.

Hadi U van den Broek P, Kolopaking EP, Zairina N, Gardjito W, Gyssens IC. Cross-Sectional Study of Availability and Pharmaceutical Quality of Antbiotics Requested With or Without Prescription (Over The Counter) in Surabaya, Indonesia. BMC Infectious Diease.2010. 10; 203.

3.

Frei CR, Attridge RT, Mortensen EM, Restrepo MI, Yu Y, Oramasionwu CU et al. Guideline-concordant antibiotic use and survival among patients with community-acquired pneumonia
admitted to the intensive care unit. Clin Ther. 2010 Feb;32(2):293-9.

4.

Richard J, Sotto A, Lavigne J. New insights in diabetic foot infection. World J Diabetes 2011 February 15; 2(2): 24-32.

5.

Hahner S, Loeffler M, Bleicken B, Drechsler C, Milovanovic D, Fassnacht M, et al. Epidemiology of Adrenal Crisis in Chronic Adrenal Insufficiency: The Need for New Prevention Strategies.
Europ J Endocrinol. 2010; 162; 597-602.

6.

Waspadji S. Management of diabetic foot: finding uncomplicated solution of complicated problems. In Nelwan RHH, Zulkarnain I, Widodo J, Pohan HT, Setiawan B, Suhendro, Nainggolan
L, Santoso WJ (eds). Abstract Book 12th Jakarta Antimicrobial Update 2011.pgs 12-4.

7.

Gyssens IC. Audits for Monitoring The Quality of Antimicrobial Prescriptions. In Gould IM, Van Der Meer JWM (eds). Antibiotik Policies: Theory And Practice.Kluwer Academic Publishers.
New York 2005. pgs 197-202.

8.

Cusini A, Rampini SK, Bansal V, Ledergerber B, Kuster SP, et al. (2010) Different Patterns of Inappropriate Antimicrobial Use in Surgical and Medical Units at a Tertiary Care Hospital in Switzerland: A Prevalence Survey. PLoS ONE 5(11): e14011. doi:10.1371/journal.pone.0014011.

9.

Amstrong DG. Lipsky BA. Diabetic Foot Infections: Stepwise Medical AnD Surgical Management. Int Wound J. 2004; 1; 2; 123-32.

10. Raja NS. Microbiology of diabetic foot infections in a teaching hospital in Malaysia: a retrospective study of 194 cases. J Microbiol Immunol Infect. 2007 Feb;40(1):39-44.
11. Lily SY, Kwang LL, Susan CSY, Tan TY. Anaerobic Culture of Diabetic Foot Infection: Organism And Antimicrobial Susceptibilities. Ann Acad Med Singapore. 2008; 37: 936-9.
12. Citron DM, Goldstein EJC, Merriam CV, Lipsky BA, Abramson BA. Bacteriology of Moderate-to-Severe Diabetic Foot Infections And In Vitro Activity of Antimicrobial Agents. J Clin Microbiol
2007. Vol 45;No 9.pgs 2819-28.
13. Santoso M, Yuliana M, Mujono W, Kusdiantomo. Pattern of Diabetic Foot at Koja Regional General Hospital Jakarta from 1999-2004. Acta Med Indones. J Intern Med. 2005. Vol.37. No 4. pgs
187-9.
14. McKinnon PS, Paladino JA, Grayson ML, Gibbons GW, Karchmer AW. Cos-Effectiveness of Ampicillin-Sulbactam Versus Imipenem-Cilastatin in The Treatment of Limb-Threatening Foot
Infections In Diabetic Patients. Clin Infec Disease. 1997. 24; 57-63.
15. Swartz MN. Cellulitis. N Eng J Med. 2004; 350; 904-12.
16. Chow I, Lemos EV, Einarson TR. Management and prevention of diabetic foot ulcers and infections: a health economic review. Pharmacoeconomics. 2008;26(12):1019-35.
17. Lipsky BA, Itani K, Norden C. Treating Foot Infections in Diabetic Patients: A Randomized, Multicenter, Open-Label Trial of Linezolid Versus Ampicillin-Sulbactam/Amoxycillin-Clavulanate.
18. Loho T, Astrawinata DAW. Peta bakteri dan kepekaan terhadap antibiotic Rumah Sakit Umum Pusat Ciptomangunkusumo. Jakarta Januari-Juni 2010. RSUPNCM. Jakarta.2010 hlm 10722.
19. Clay PG Graham MR, Lindsey CC, Lamp KC, Freeman C, Glaros A. Clincal Efficacy, Tolerability, And Cost Savings Associated with the use of Open Label Metronidazole Plus Ceftriaxone Once
Daily Compared With Ticarcillin-Clavulanate Every Six Hours As Empiric Treatment For Diabetic Lower Extremities Infections in Older Males. Am J Geriatr Pharmacother.2004. 2; 3; 181-9.
20. Edmiston CE Krepel CJ, Seabrook GR, Somberg LR, Nakeeb A, Cambria RA, Tet al. In Vitro Activities of Moxifloxacin against 900 Aerobic and Anaerobic Surgical Isolates from Patients with
Intra-Abdominal and Diabetic Foot Infections. Antimicrob Agent Chemoter.2004; 48; 3; 1012-6.
21. Oberdofer K, Swoboda S, Hamann A, Baertsch U, Kusterer K, Born B et al. Tissue and serum levofloxacin concentrations in diabetic foot infection patients. J Antimicrob Chemother. (2004)
54, 8369.
22. Anderson VR, Perry CM. Levofloxacin: a review of its use as a high-dose, short-course treatment for bacterial infection. Drugs. 2008;68(4):535-65.

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

47

BERITA TERKINI

Efikasi dan Keamanan Pregabalin untuk Mengatasi


Neuropati Perifer Akibat Oxaliplatin dan Paclitaxel

enanganan penyakit kanker meliputi


operasi, kemoterapi, terapi radiasi, dan
perawatan paliatif.

Di antara obat yang digunakan untuk


kemoterapi adalah oxaliplatin dan paclitaxel.
Hanya saja penggunaan kedua obat
kemoterapi ini bukanlah tanpa efek samping;
salah satu yang paling sering dikeluhkan
adalah nyeri neuropati.3,4
Saat ini dicoba diberikan obat-obat untuk
mengatasi nyeri neuropati ini. Tetapi tidak
semua obat yang biasa digunakan untuk
mengatasi nyeri neuropati, dapat dimanfaatkan
untuk mengatasi nyeri neuropati akibat obat
kemoterapi; kebanyakan dokter lebih berhatihati karena ditakutkan muncul interaksi yang
merugikan saat obat ini diberikan bersama.

Salah satu obat yang sudah terbukti efektif


mengatasi nyeri neuropati adalah pregabalin.
Obat ini sudah terbukti efektif dan aman saat
diberikan pada pasien kanker yang juga
mendapatkan obat kemoterapi. Selain itu,
obat ini juga tidak berinteraksi dengan obatobat kemoterapi yang diberikan.
Salah satu penelitian efektivitas dan
keamanan pregabalin adalah penelitian
Nihei dkk. Pada penelitian ini, mereka
membandingkan 27 pasien nyeri neuropati
akibat oxaliplatin (L-OHP) dan 28 pasien
nyeri neuropati akibat paclitaxel (PTX)
yang mendapatkan pregabalin dengan
20 pasien L-OHP dan 25 pasien PTX yang
mendapatkan obat lain selain pregabalin5.
Didapatkan bahwa penurunan rasa nyeri
neuropati lebih baik pada pasien yang

mendapat pregabalin dibandingkan pasien


tanpa pregabalin. Di kalangan pasien L-OHP,
40,7% merespon terhadap pregabalin
dibandingkan hanya 10% yang merespon
terhadap pengobatan non pregabalin. Hal
serupa juga ditemukan pada kelompok yang
mendapat PTX, pada kelompok pregabalin
28,6% merespon obat ini, sedangkan pada
kelompok non-pregabalin, hanya 12%
pasien yang merespon pengobatan. Sekitar
28-37% pasien merasakan efek samping
pregabalin, yang paling sering adalah
pusing dan mengantuk.5
Dari penelitian ini disimpulkan bahwa
pregabalin terbukti efektif dan aman dalam
mengurangi derajat keparahan nyeri
neuropati akibat pemberian L-OHP dan PTX.5
 (YJR)

REFERENSI:
1.

Hanahan D, Weinberg RA. Hallmarks of cancer: the next generation. Cell. 2011 Mar 4;144(5):64674.

2.

UK CR. What cancer is [Internet]. 2013 [cited 2013 Nov 28]. Available from: http://www.cancerresearchuk.org/cancer-help/about-cancer/what-is-cancer/cells/what-cancer-is

3.

Ruiz-Medina J, Baulies A, Bura SA, Valverde O. Paclitaxel-induced neuropathic pain is age dependent and devolves on glial response. Eur J Pain Lond Engl. 2013 Jan;17(1):7585.

4.

Saif MW, Syrigos K, Kaley K, Isufi I. Role of pregabalin in treatment of oxaliplatin-induced sensory neuropathy. Anticancer Res. 2010 Jul;30(7):292733.

5.

Nihei S, Sato J, Kashiwaba M, Itabashi T, Kudo K, Takahashi K. [Efficacy and safety of pregabalin for oxaliplatin- and paclitaxel-induced peripheral neuropathy]. Gan To Kagaku Ryoho. 2013
Sep;40(9):118993.

48

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

BERITA TERKINI

Guildeline ACG Baru untuk Diagnosis


dan Penanganan GERD
4. Sejak guideline terakhir, terdapat
kekhawatiran keamanan jangka panjang
PPI. Tampaknya tidak ada peningkatan risiko
osteoporosis, kecuali pada pasien dengan
faktor risiko lain untuk fraktur panggul.
Tampaknya juga tidak ada peningkatan
risiko kardiovaskuler pada pasien PPI yang
juga diberi clopidogrel. Terapi PPI tampaknya
bukan merupakan faktor risiko infeksi
Clostridium difficile.
5. GERD dapat dipertimbangkan sebagai
ko-faktor untuk pasien dengan gejala extraesofageal, meliputi batuk, laringitis, dan
asma. PPI dapat dipertimbangkan untuk
dicoba pada pasien yang juga memiliki gejala
GERD tipikal, tetapi pengawasan refluks
harus dipertimbangkan sebelum mencoba
pemberian PPI pada pasien tanpa gejala
GERD. Evaluasi penyebab non-GERD harus
dilakukan pada semua pasien.
6. Terapi endoskopi tidak direkomendasikan
sebagai terapi GERD. Pasien obesitas dengan
GERD sebaiknya dipertimbangkan untuk
dioperasi gastric bypass untuk perawatan
gejala heartburn.

merican College of Gastroenterology baru


saja mempublikasikan guideline baru
untuk mendiagnosis dan menangani
gastroesophageal reflux disease (GERD).
Beberapa rekomendasi berbeda dari guideline
ACG 2005 yang lalu. Highlight terhadap 6
topik baru dalam guideline ini:
1. Penurunan berat badan, sebagai
tambahan elevasi posisi kepala saat
tidur (untuk pasien dengan gejala GERD
nokturnal) merupakan modifikasi gaya hidup
yang efektif untuk pasien GERD. Menghindari
makanan yang diduga memicu refluks tidak
rutin disarankan untuk kebanyakan pasien
GERD.
2. Screening rutin dan penanganan infeksi

H. pylori tidak direkomendasikan karena


tidak ada bukti cukup bahwa pemeriksaan
dan peanganan H. pylori akan memengaruhi
gejala GERD. Pemeriksaan H. pylori tidak
direkomendasikan karena dikuatirkan pasien
dengan infeksi H. Pylori yang diberi terapi
proton pump inhibitor (PPI) jangka panjang
mungkin memiliki gastritis atrofi.
3. Guideline baru ini tetap tidak menyarankan
biopsi rutin di bagian distal esofagus untuk
mendiagnosis GERD. Eosinophilic esophagitis
(EoE) sudah lebih umum sejak guideline
2005, khususnya pada pasien dengan GERD
dan disfagia atau pada pasien dengan GERD
refrakter. Karena itu sebaiknya dilakukan
biopsi di bagian distal dan tengah esofagus
jika diduga terdapat EoE.

Secara keseluruhan, guideline ini mencakup


9 rekomendasi untuk menegakkan diagnosis
GERD, 13 rekomendasi untuk penanganan
GERD, 6 poin mengenai pilihan operasi
GERD, dan 5 risiko potensial terkait PPI, 7
poin mencakup presentasi extra-esophageal
GERD, 6 rekomendasi penanganan GERD
refrakter dengan PPI, dan 8 catatan mengenai
komplikasi GERD.
Guideline dan justifikasinya dipublikasi
dalam edisi online The American Journal of
Gastroenterology pada 19 Februari 2013.
Simpulannya, terdapat 6 topik baru dalam
guideline ACG 2013 ini tampaknya PPI tidak terkait dengan peningkatan risiko osteoporosis,
peningkatan risiko kardiovaskuler pada
pasien PPI yang juga diberi clopidogrel, dan
peningkatan risiko infeksi Clostridium difficile.
 (AGN)

REFERENSI:
Boggs W. New guidelines for diagnosis and management of GERD. Medscape [Internet] 2013 [Cited 2013 March 15]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/780737.

50

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

BERITA TERKINI

Switching dari Clozapine ke


Zotepine pada Pasien Skizofrenia

sayangnya, terlapor banyak efek samping. Bila


timbul efek samping, para klinisi umumnya
bergegas melakukan pergantian (switching)
dari clozapine ke antipsikotik lain mengingat
adanya risiko kambuhnya atau memburuknya
psikosis, meskipun studi empiris terbatas.
Menurut sebuah penelitian terkini di Jepang,
zotepine, antipsikotik atipikal dengan profil
farmakologis mirip clozapine, diketahui
merupakan obat yang efektif bagi penyandang
skizofrenia yang sulit diobati.
Penelitian berdurasi 12 minggu ini
merupakan studi prospektif acak raterblind pertama yang menginvestigasi efikasi
dan tolerabilitas switching dari clozapine
ke zotepine. Lima puluh sembilan pasien
skizofreniayang telah menggunakan
clozapine selama sekurang-kurangnya 6
bulan dengan skor Clinical Global ImpressionSeverity minimal 3dialokasikan secara acak
ke dalam kelompok zotepine dan clozapine.
Pada akhir penelitian, sebanyak 52 pasien
(88%) berhasil menyelesaikannya.

kizofrenia merupakan penyakit jiwa


kronis kambuhan yang prevalensinya
di seluruh dunia pada semua golongan
usia adalah sekitar 1%, tanpa memandang
budaya, kelas sosial, dan ras. Skizofrenia
ditandai dengan gejala positif, seperti
halusinasi dan delusi, serta gejala negatif,
seperti ketidakpekaan emosi dan penarikan
diri. Seperempat dari mereka yang mengalami
episode skizofrenia berhasil pulih dan penyakit
tidak kambuh. Dua puluh lima persen lainnya
tetap mengidap penyakit yang tak-kunjung
sembuh. Sisanya, separuh dari penyandang
skizofrenia, terdiagnosis mengidap penyakit
kambuhan, tetapi dengan pemulihan
bermakna dari gejala-gejala positif dalam
jangka waktu yang lama. Obat-obat yang
ada saat ini efektif dalam meredakan gejala
positif, tetapi gejala negatif masih sulit diobati.
Lagipula, terapi medikamentosa terkait
dengan efek samping, apalagi keseluruhan

biaya pengobatan dan dampaknya terhadap


pasien, kariernya, dan komunitasnya dapat
dikatakan cukup besar.
Obat antipsikotik dikelompokkan menjadi
antipsikotik tipikal (generasi pertama, mis.
chlorpromazine, haloperidol) dan antipsikotik
atipikal (generasi kedua, mis. amisulpiride,
olanzapine, clozapine, risperidone). Keduanya
merupakan pilar utama penatalaksanaan
pasien dengan skizofrenia. Zotepine tergolong
antipsikotik atipikal dan kelompok atipikal
ini dipandang memiliki efek samping yang
berbeda dengan jenis atipikal; utamanya
golongan atipikal dianggap mempunyai
kecenderungan yang lebih rendah untuk
menimbulkan gangguan pergerakan.
Selama ini, clozapine dianggap sebagai
antipsikotik paling efektif untuk pasien
dengan skizofrenia yang sulit diobati;

Mean final (SD [standard deviation]) dosis


zotepine dan clozapine adalah 397,1 (75,7)
dan 377,1 (62,5) mg/hari. Paisen di kelompok
zotepine memperlihatkan kenaikan bermakna
pada Brief Psychiatric Rating Scale (mean [SD]
4,7 (8,7) vs -1,3 (6,3); p=0,005), lebih banyak
efek samping umum sebagaimana terungkap
lewat Udvalg for Kliniske Undersogelser Rating
Scale (mean [SD] 1,74 (3,9) vs -0,2 (2,8); p=0,039),
lebih banyak efek samping ekstrapiramidal
seperti yang terlihat lewat Simpson and
Angus Scale (mean [SD] 1,29 (3,5) vs 0,17
(2,1); p=0,022), peningkatan penggunaan
propranolol (37,1% vs 0%, p<0,0001) dan
antikolinergik (25,7% vs 0%, p=0,008), dan
kenaikan kadar prolaktin (29,6 vs -3,8 ng/mL,
p <0,0005), dibandingkan dengan kelompok
clozapine.
Simpulannya, meskipun zotepine terbukti
efektif untuk pasien skizofrenia yang sulit
diobati, memperhatikan hasil studi ini,
switching dari terapi clozapine ke zotepine dapat
dilakukan untuk mencegah kekambuhan atau
perburukan psikosis, tetapi harus dilakukan
dengan hati-hati.  (AAM)

REFERENSI:
1.

Lin CC, Chiu HJ, Chen JY, Liou YJ, Wang YC, Chen TT, et al. Switching from clozapine to zotepine in patients with schizophrenia: a 12-week prospective, randomized, rater blind, and parallel
study. J Clin Psychopharmacol. 2013;33(2):211-4.

2.

52

DeSilva P, Fenton M, Rathbone J. Zotepine for schizophrenia [Internet]. 2012 [cited 2013 Jul 5]. Available from: http://summaries.cochrane.org/CD001948/zotepine-for-schizophrenia.

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

BERITA TERKINI

Efek Perlindungan Anestesi


Inhalasi Xenon Terhadap Jantung

pharmacological preconditioning dini jantung,


sehingga mengaktivasi PKC- dan target
turunan dari p38 MAPK. Studi in vivo lain
menunjukkan bahwa Xe preconditioning
lambat (Xe-LPC) tidak menyebabkan
peningkatan ekspresi COX-2 pada mRNA dan
protein. Efek perlindungan terhadap jantung
ini dapat memberikan keuntungan seperti HR
(heart rate) yang lebih rendah dan tekanan
arteri yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan gas anestesi volatile dan IV anestesi.
Pasien coronary artery disease (CAD) memiliki
risiko komplikasi intraoperatif seperti hipotensi
dan takikardi, sehingga meningkatkan risiko
gangguan jantung. Pemilihan jenis anestesi
pada pasien CAD yang akan menjalani
pembedahan non-cardiac perlu diperhatikan.
Pemilihan jenis anestesi yang baik adalah agen
anestesi yang memiliki efek hemodinamik
yang minimal dan juga efek perlindungan
terhadap jantung. Sebuah studi acak
dilakukan untuk menilai perbandingan efek
dari pemberian gas anestesi Xe atau propofol
pada 40 pasien CAD ASA III-IV yang akan
menjalani pembedahan elektif non-cardiac.
Pasien secara acak dibagi menjadi 2 kelompok,
yaitu Xe-opioid dan propofol-opioid. Opioid
yang digunakan adalah remifentanil dengan
dosis 0,3 g/kgBB/min (pre-oxygenation) dan
pemeliharaan secara infus kontinu dengan
dosis 0,05 g/kgBB/min. Kelompok Xe diberi
gas anestesi Xe untuk pemeliharaan dengan
konsetrasi 65 (5)% dan untuk kelompok
propofol diberikan dosis 5 (0,5) mg/kgBB/jam.
Induksi anestesi dilakukan dengan pemberian
etomidate, golongan IV anestesi, dengan dosis
0,2 mg/kgBB dan cisatracurium 0,1 mg/kgBB
IV.

enon (Xe), merupakan golongan gas


mulia (noble gas) yang memiliki sifat
inert, ternyata memiliki efek biologis.
Efek narkotik pada manusia pertama kali
ditemukan pada tahun 1951 oleh Cullen dan
Gross. Studi menunjukkan Xe tidak memiliki
efek toksik dan teratogenik, selain itu relatif
stabil di udara dan karena solubilitas yang
rendah di dalam darah (blood/gas distribution
coefficient 0,115) Xe memiliki efek induksi
dan recovery yang cepat. MAC dari Xe, yang
diukur berdasarkan potensi anestesi suatu
agen, pertama kali ditentukan sebesar 71%
dan pada saat ini diasumsikan sebesar 63%.
Pada saat ini, data studi acak dengan kontrol

54

penggunaan Xe sebagai anestesi inhalasi pada


pasien sehat yang menjalani pembedahan
elektif telah tersedia, akan tetapi penggunaan
pada pasien kategori high-risk ASA III-IV belum
ada. Selain itu, harga Xe yang mahal juga
membatasi penggunaan Xe secara umum
sebagai anestesi inhalasi.
Beberapa tahun terakhir, studi Xe ditujukan
khususnya terhadap efek proteksi terhadap
organ dan juga efek terhadap hemodinamik
selama penggunaan Xe sebagai agen anestesi
inhalasi. Studi penggunaan Xe in vivo terhadap
jantung tikus menunjukkan efek perlindungan
jantung
dengan
cara
meningkatkan

Hasil studi tersebut:


1. Skor BIS kedua kelompok dapat
disesuaikan berdasarkan rentang nilai yang
direkomendasikan (40-60), akan tetapi secara
umum skor BIS lebih rendah bermakna pada
kelompok Xe jika dibandingkan dengan
kelompok propofol (p<0,001).
2. HR secara bermakna lebih rendah pada
kelompok Xe jika dibandingkan dengan
kelompok propofol (p<0,001).
3. MAP (mean arterial pressure) secara
bermakna lebih tinggi pada kelompok Xe
jika dibandingkan dengan kelompok propofol
(p<0,02).
4. Terjadi perbaikan TEI (lebih dikenal dengan
myocardial performance index) yang lebih baik

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

BERITA TERKINI
pada kelompok Xe jika dibandingkan dengan
kelompok propofol (p=0,01).
5. Peningkatan fungsi LV (left ventricular)
lebih baik secara bermakna pada kelompok Xe
jika dibandingkan dengan kelompok propofol
(p<0,05).
6. Efek samping yang berhubungan
dengan HR dan MAP sebanding antara kedua
kelompok, akan tetapi kejadian PONV secara
bermakna lebih tinggi pada kelompok Xe jika
dibandingkan dengan kelompok propofol
(p<0,01).
7. Tidak terdapat tanda iskemik miokardial
akut perioperatif pada kedua kelompok, yang
dinilai berdasarkan Tei index (TOE), ECG, dan
pelepasan troponin T.
Simpulannya, anestesi pemeliharaan dengan
gas inhalasi Xe memberikan efek MAP yang
lebih tinggi tanpa gangguan fungsi jantung
jika dibandingkan dengan propofol pada
pasien CAD yang menjalani pembedahan
non-cardiac. Hasil ECG juga menunjukkan
fungsi LV yang lebih baik pada penggunaan
gas Xe.
Penggunaan anestesi inhalasi yang umum
digunakan pada pembedahan jantung karena
memiliki perubahan efek hemodinamik
minimal adalah anestesi inhalasi sevoflurane.
Sebuah studi pilot terbaru membandingkan
efek penggunaan gas anestesi sevoflurane
atau Xe pada pasien yang menjalani CABG
(coronary artery bypass grafting). Sejumlah 30
pasien yang menjalani CABG elektif dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok Xe (4550 vol%) atau kelompok SEVO (1-1,4 vol%).
Hasil studi pilot terbaru ini menyimpulkan
kejadian efek samping kedua kelompok
sebanding (p>0,05). Sehingga simpulan studi
ini adalah balanced xenon anaesthesia aman
dan dapat digunakan dengan efektif jika
dibandingkan dengan kelompok sevoflurane
pada pasien yang akan menjalani CABG. 
(MAJ)
REFERENSI:
1.

Weber NC, Frssdorf J, Ratajczak C, Grueber Y, Schlack W, Hollmann MW, et al. Xenon induces late cardiac preconditioning in vivo: a role for cyclooxygenase 2? Anesth Analg.
2008;107(6):1807-13.

2.

Derwall M, Coburn M, Rex S, Hein M, Rossaint R, Fries M. Xenon: recent developments and future perspectives. Minerva Anestesiol. 2009;75(1-2):37-45.

3.

Baumert JH, Hein M, Hecker KE, Satlow S, Neef P, Rossaint R. Xenon or propofol anaesthesia for patients at cardiovascular risk in non-cardiac surgery. Br J Anaesth. 2008;100(5):605-11.

4.

Weber NC, Toma O, Wolter JI, Obal D, Mllenheim J, Preckel B, et al. The noble gas xenon induces pharmacological preconditioning in the rat heart in vivo via induction of PKC-epsilon
and p38 MAPK. Br J Pharmacol. 2005;144(1):123-32.

5.

Stoppe C, Fahlenkamp AV, Rex S, Veeck NC, Gozdowsky SC, Schlte G, et al. Feasibility and safety of xenon compared with sevoflurane anaesthesia in coronary surgical patients: a
randomized controlled pilot study. Br J Anaesth 2013.

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

55

BERITA TERKINI

Keunggulan Larutan Sodium Pyruvate

yruvate, anion dari pyruvic acid, merupakan produk akhir glikolisis, di mana
glukosa dikonversi menjadi pyruvate
dengan menghasilkan ATP. Dalam mitokondria organisme aerob, pyruvate dikonversi
menjadi acetyl coenzyme A, yang kemudian
dioksidasi secara lengkap menghasilkan CO2.
Jika oksigen tidak tersedia dalam jumlah cukup, pyruvate dimetabolisme menjadi lactate.
Dalam organisme anaerob seperti ragi, pyruvate dikonversi menjadi ethanol. Dalam glukoneogenesis, pyruvate dikonversi menjadi glukosa. Nasib metabolik lain dari pyruvate adalah
dikonversi menjadi alanine dengan transaminasi dan oxaloacetate dengan karboksilasi.
Pyruvate merupakan suatu substrat energi
yang mempunyai efek inotropik dan
antioksidan. Dalam suatu modek syok
hemoragik, larutan sodium pyruvate 1,7%
diinfuskan setelah 60 menit periode syok
menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih
baik dibanding NaCl 0,9%, 90% hewan yang
mendapat sodium pyruvate hidup 50 menit
setelah resusitasi, sedangkan yang mendapat

NaCl 0,9% hanya 30%.


Larutan sodium pyruvate hipertonik juga telah
diajukan sebagai cairan resusitasi dalam terapi
syok hemoragik karena mempunyai efek
antiinflamasi dan antioksidan.
Suatu studi dilakukan untuk membandingkan
2 larutan pyruvate untuk resusitasi dan meneliti
mekanisme kerjanya pada tikus selama
syok hemoragik. Efek infus sodium pyruvate
hipertonik volume rendah dibandingkan
dengan Ringers ethyl pyruvate volume tinggi
pada parameter hemodinamik, kaskade
inflamasi, dan regulasi stres dan protein yang
terkait apoptosis dalam hati.
Dalam studi tersebut, tikus dibuat perdarahan
arteri (40 mmHg) selama 60 menit diikuti
dengan resusitasi larutan sodium chloride
isotonik, saline hipertonik, larutan RL, Ringers
ethyl pyruvate, atau sodium pyruvate hipertonik
selama 60 menit. Kemudian dipantau
parameter hemodinamik dan biokimia dalam
darah secara terus-menerus. Kemudian,

sampel hati diambil untuk menilai petanda


inflamasi dan antiinflamasi serta mediator
stres oksidatif, injuri hati, dan ekspresi protein
sinyal apoptosis.
Dalam perbandingan dengan Ringers
ethyl pyruvate, pemberian sodium pyruvate
hipertonik setelah perdarahan mengurangi
injury hati yang dikaitkan dengan peningkatan
kadar sitokin inflamasi serum dan jaringan,
mediator inflamasi seperti NOS dan serta
cyclooxygenase 2, peroksidase lemak, dan
adenosine triphosphate hepatoseluler yang
lebih tinggi. Kejadian apoptosis seluler yang
dikaitkan dengan aktivasi caspase-3 dan
poly(ADPribose)polymerase cleavage juga
menurun dengan sodum pyruvate.
Dari hasil studi tersebut disimpulkan bahwa
resusitasi dengan sodium pyruvate hipertonik
volume rendah menawarkan perlindungan
yang bermakna terhadap inflamasi dan
stres oksidatif serta mencegah injury hati
dibandingkan dengan Ringers ethyl pyruvate
volume besar.  (EKM)

REFERENSI:
1.

Sharma P, Mongan PD. Hypertonic sodium pyruvate solution is more effective than Ringers ethyl pyruvate in the treatment of hemorrhagic shock. Shock. 2010;33(5):532-40. doi: 10.1097/
SHK.0b013e3181cc02b3.

2.

Sodium pyruvate solution [Internet]. [cited 2013 March 28]. Available from : www.sigmaaldrich.com/etc/medialib/docs/.../1/.../s8636pis.pdf

3.

Slovin PN, Huang CJ, Cade JR, Wood CE, Orbach P, Skimming JW et al. Sodium pyruvate is better than sodium chloride as a resuscitation solution in a rodent model of profound
hemorrhagic shock. [Internet]. 2001 [cited 2013 March 28]. Available from : https://www.healthtap.com/#publications/83867-sodium-pyruvate-is-better-than-sodium-chloride-as-aresuscitation-solution-in-a-rodent-model-of-profound-hemorrhagic-shock

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

57

BERITA TERKINI

S-1 untuk Kanker Pankreas


Metastatik atau Stadium Lanjut

emcitabine merupakan terapi standar


untuk kanker pankreas stadium lanjut.
Regimen lain yaitu FOLFIRINOX tetapi
berkaitan dengan toksisitas yang membatasi
pemberiannya
pada
pasien
dengan
status performans yang baik. Baru-baru ini
dipublikasikan mengenai S-1 untuk kanker
pankreas stadium lanjut.

Fluoropyrimidine oral, S-1 menunjukkan outcome yang baik, pada pemberian tunggal
atau kombinasi pada studi fase II pada pasien
kanker pankreas metastatik. Kemudian dilakukan studi fase III (GEST: Gemcitabine and S-1
Trial) yang membandingkan S-1 saja (80, 100,
atau 120 mg/hari tergantung BSA hari 1-28,
setiap 42 hari), gemcitabine saja (1.000 mg/m2
hari 1, 8, 15, setiap 28 hari) dan gemcitabine
(1.000 mg/m2 hari 1 & 8) plus S-1 (60, 80, atau
100 mg/hari tergantung BSA hari 1-14) setiap
21 hari, pada pasien dengan kanker pankreas

mendapat S-1 (21%; p= 0,02) dan yang


mendapat gemcitabine/S-1 (29,3%; p < 0,001)
dibandingkan gemcitabine saja (13,3%).

metastatik dan stadium lokal lanjut.


Berikut adalah hasilnya: (n= 834)
Parameter

Gemcitabine S-1 Gemcitabine/S-1

Median OS (bulan)

8,8

9,7

10,1

Median PFS (bulan)

4,1

3,8

5,7

S-1 noninferior dibandingkan gemcitabine


saja dalam hal OS (HR 0.96; 97,5% CI 0,78
1,18; p < 0,001). Gemcitabine/S-1 tidak
menunjukkan perbaikan bermakna dalam hal
OS dibandingkan gemcitabine saja (HR, 0,88;
97,5% CI, 0,711,08; p= 0,15).
S-1 noninferior dibandingkan gemcitabine saja
dalam hal PFS (HR 1,09; 97,5% CI 0,901,33;
p= 0,02). Gemcitabine/S-1 memperbaiki PFS
secara bermakna dibandingkan gemcitabine
saja (HR 0,66; 97,5% CI 0,540,81; p < 0,001).
ORR lebih tinggi pada kelompok yang

Toksisitas yang dijumpai:


Gemcitabine saja berkaitan dengan
leukopenia, neutropenia, trombositopenia,
peningkatan AST dan ALT derajat 3 yang
lebih tinggi dibandingkan S-1.
S-1 berkaitan dengan diare derajat 3 yang
lebih tinggi dibandingkan gemcitabine.
Gemcitabine/S-1
berkaitan
dengan
leukopenia, neutropenia, trombositopenia,
ruam, diare, muntah, dan stomatitis derajat
3 yang lebih tinggi dibandingkan gemcitabine
saja.
Disimpulkan
bahwa
S-1
noninferior
dibandingkan gemcitabine pada pasien
dengan kanker pankreas metastatik atau
stadium lokal lanjut.  (HLI)

REFERENSI:
1.

Ueno H, Ioka T, Ikeda M, Ohkawa S, Yanagimoto H, Boku N, et al. Randomized phase III study of gemcitabine plus S-1, S-1 alone, or gemcitabine alone in patients with locally advanced

2.

S-1 noninferior to gemcitabine in advanced pancreatic cancer. Practice Update [Internet]. 2013 Apr 11 [cited 2013 Apr 27]. Available from: http://www.practiceupdate.com/Explore/

and metastatic pancreatic cancer in Japan and Taiwan: GEST study. J Clin Oncol. 2013 doi: 10.1200/JCO.2012.43.3680.
JournalScan/?id=3540.

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

59

BERITA TERKINI

Anestesi Lokal Secara Epidural vs Kontinu pada


Pembedahan Kolorektal

embedahan kolorektal dapat menimbulkan nyeri pascaoperasi dengan


derajat berat dan berkepanjangan
sehingga dapat mengganggu mobilisasi.
Nyeri pascaoperasi dapat memperpanjang ketidakmampuan bergerak, ileus pascaoperasi,
gangguan tidur, serta dapat memperpanjang
LOS (length of hospital stay). Terapi nyeri pascaoperasi yang adekuat dapat mempercepat
mobilisasi/pergerakan, sehingga dinyatakan
penting dan menjadi standar program pemulihan cepat pascaoperasi di hampir seluruh
RS.
Analgesik epidural (EA) thoraks pada
pembedahan
intra-abdominal
telah
terbukti dapat memberikan efek analgesia
pascaoperasi yang adekuat dibandingkan
dengan
pemberian
opioid
secara
infus (parenteral). Pemberian EA juga
menunjukkan dapat mengurangi stres
pascaoperasi, ileus, dan meningkatkan QOL
(quality of life) perioperatif, serta outcome
klinis pascaoperasi kolorektal. Oleh karena
itu, EA sering diperhitungkan menjadi salah
satu komponen penting dalam prosedur
multimodal tatalaksana nyeri pascaoperasi
intra-abdominal. Akan tetapi, EA memerlukan
partisipasi tenaga kerja medis yang intensif
dan monitoring secara berkala.

Di sisi lain, CWI (continuous wound infiltration)


dikatakan lebih mudah dan lebih costeffective dibandingkan dengan EA. CWI
dengan anestesi lokal dilakukan dengan
menempatkan beberapa kateter pada
ruang preperitoneal dan beberapa studi
menunjukkan CWI anestesi lokal ini dapat
meningkatkan kesembuhan lebih cepat
jika dibandingkan dengan golongan opioid
sistemik. CWI disebutkan dapat menjadi
alternatif pemberian EA, akan tetapi
pemberian CWI secara tunggal mungkin

tidak adekuat untuk mencegah kebutuhan


penggunaan opioid pascaoperasi.
Sebuah studi acak dan tersamar ganda
membandingkan
pemberian
analgesik
dengan anestesi lokal metode EA atau CWI
pada pasien yang akan menjalani pembedahan
elektif kolorektal. Sejumlah 50 pasien yang
akan menjalani pembedahan kolorektal secara
acak dibagi menjadi 2 kelompok dan diberi
anestesi lokal secara bolus (ropivacaine 5 mL
0,375%) atau CWI (ropivacaine 10 mL 0,2%).
Seluruh pasien menjalani operasi dengan
anestesi umum propofol dan analgesia
preemptive 1 g paracetamol IV, 20 mg nefopam,
dan antiemetik 8 mg dexamethasone, dan
1 mg droperidol 10 menit sebelum operasi
selesai.
Berikut hasil studi tersebut:
1. Nyeri pascaoperasi secara bermakna lebih
rendah pada kelompok EA jika dibandingkan
dengan kelompok CWI pada 3 hari pertama
pascaoperasi (p<0,05).

2. Nyeri pascaoperasi sebanding antara


kedua kelompok pada >3 hari pascaoperasi
(p>0,05).
3. Nyeri akibat mobilisasi secara bermakna
lebih rendah pada kelompok EA jika
dibandingkan dengan kelompok CWI 24 jam
pascaoperasi (p<0,001).
4. Waktu yang diperlukan untuk mencapai
diet normal dan fungsi saluran cerna secara
bermakna lebih cepat pada kelompok EA
jika dibandingkan dengan kelompok CWI
(p<0,01).
5. Kebutuhan NGT dan ondansetron
sebanding antara kedua kelompok (p>0,05).
6. LOS secara bermakna lebih cepat pada
kelompok EA jika dibandingkan dengan
kelompok CWI (p<0,05).
Simpulannya, jika dibandingkan dengan CWI,
tatalaksana analgesik pascaoperasi dengan
anestesi lokal via EA memiliki perbaikan nyeri
pascaoperasi dan kesembuhan yang lebih
baik dan juga menurunkan LOS pada pasien
pascaoperasi kolorektal.  (MAJ)

REFERENSI:
1.

Jouve P, Bazin JE, Petit A, Minville V, Gerard A, Buc E, et al. Epidural versus continuous preperitoneal analgesia during fast-track open colorectal surgery: A randomized controlled trial.
Anesthesiology 2013;118(3):622-30.

2.

Grass JA. The role of epidural anesthesia and analgesia in postoperative outcome. Anesthesiol Clin North America 2000;18(2):407-28.

3.

Wu CL, Cohen SR, Richman JM, Rowlingson AJ, Courpas GE, Cheung K, et al. Efficacy of postoperative patient-controlled and continuous infusion epidural analgesia versus intravenous
patient-controlled analgesia with opioids: A meta-analysis. Anesthesiology 2005;103(5):1179-88.

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

61

BERITA TERKINI

ACHIDO: Kombinasi Clopidogrel plus Atorvastatin


Dosis Tinggi Meningkatkan Efek Anti-Platelet
Clopidogrel
penelitian yang dilakukan sebelumnya,
namun ada beberapa penelitian yang tidak
mendukung efek sinergistik ini.
Penelitian oleh Dr Domonick adalah penelitian
acak, yang meneliti apakah pemberian
atorvastatin dosis tinggi dapat meningkatkan
aktivitas clopidogrel dosis ganda. Dalam
penelitian ini, pasien yang akan menjalani
PCI (percutaneous coronary intervention)
elektif, menerima terapi clopidogrel seminggu
sebelum prosedur. Dari 209 pasien yang
menjalani penyapihan (screened) sebelum
PCI, 90 pasien (43%) memiliki HTPR setelah
dilakukan pemeriksaaan VerifyNow P2Y12.
Batasan untuk HTPR adalah 235 PRU (platelet
reaction units).

emberian atorvastatin dosis tinggi dapat


meningkatkan efek terapi clopidogrel
pada pasien PJK (penyakit jantung
koroner) stabil. Simpulan ini merupakan hasil
penelitian Dr. Dominick J. Angiolillo dkk. dari
University of Florida, Jacksonville, Amerika
Serikat. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan
dalam JACC Cardiovascular Interventions edisi
bulan Februari 2013.
HTPR (High on-treatment platelet reactivity)
selama ini dianggap sebagai salah satu faktor
risiko kejadian iskemik berulang, terutama
pada pasien-pasien yang akan menjalani
PCI (percutaneous coronary intervention).
Pemberian clopidogrel dosis ganda dapat
menjadi salah satu pilihan terapi dalam
mengatasi HTPR ini.
Manfaat
obat-obat
golongan
statin
(3-hydroxy-3-methyl glutaryl coenzyme A
reductase inhibitors) pada pasien-pasien

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

risiko tinggi telah diketahui dengan baik,


dan pemberiannya pada pasien-pasien PJK
sebagai terapi prevensi sekunder sangat
direkomendasikan oleh para ahli. Manfaat
pemberian statin ini didasari oleh cara kerja
statin, yang melampaui cara kerjanya dalam
menurunkan kadar lemak darah, di antaranya
adalah efek anti-trombotik. Kenyataannya,
obat golongan statin dapat menghambat
ADP (adenosine diphosphate) dan agregrasi
platelet pada pasien sehat dan PJK. Apakah
pemberian atorvastatin bersamaan dengan
clopidogrel dosis ganda dapat mengatasi
HTPR atau dapat menurunkan reaktivitas
platelet masih belum diketahui dengan pasti.
HTPR merupakan masalah yang umum terjadi
pada pasien-pasien dengan respons lemah
terhadap terapi clopidogrel. Dr Dominick
menjelaskan bahwa pemberian dosis tinggi
clopidogrel dan atorvastatin secara bersamaan
dapat menimbulkan efek sinergistik. Efek
sinergistik ini telah terpantau dari penelitian-

Sejumlah 78 pasien secara acak diterapi


dengan 150 mg clopidogrel sehari atau 150
mg clopidogrel plus 80 mg atorvastatin.
Karakterisitik klinik dan biologik, serta temuan
angiografik pada baseline tidak berbeda
antar kelompok kohort. Semua pasien dalam
penelitian ini belum pernah diterapi dengan
statin. Dari kedua kelompok terapi, 38 pasien
dari masing-masing kelompok menyelesaikan
terapi selama 30 hari penelitian. (Satu
pasien dalam kelompok terapi clopidiogrel
plus atorvastatin drop-out karena intoleran
terhadap atorvastatin dan 1 dari kelompok
pembanding karena intoleransi clopidogrel).
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa
reaktivitas platelet menurun bermakna
dibandingkan baseline pada kedua kelompok
penelitian setelah hari ke-10 dan ke-30 terapi.
Pada hari ke-30, pasien yang diberi terapi
atorvastatin mengalami penurunan kadar PRU
lebih rendah secara bermakna dibandingkan
dengan terapi clopidogrel saja (188 vs 223 PRU
p<0,01, primary endpoint), dan juga kejadian
HTPR yang lebih rendah (16% vs. 42%, p<
0,01).
Pada hari ke-10, lebih banyak pasien dalam
kelompok terapi clopidogrel plus atorvastatin
yang menjadi responder optimal (kriteria

63

BERITA TERKINI
penurunan kadar PRU <235), dengan
perbandingan kelompok clopidogrel plus
atorvastatin vs kelompok clopidogrel saja 74%
vs. 63% (p=0,1), yang kemudian bermakna
secara statistik pada hari ke-30 (84% vs. 58%,
p<0,02).
Kedua kelompok penelitian tidak berbeda
dalam hal kejadian periprosedural infark
miokard atau rerata nilai CK-MB. Tidak ada
komplikasi lain yang dilaporkan.

Gambar 1 Status respons pasien terhadap terapi pada hari ke-10 (T-1) dan ke-30 (T-2). Nilai PRU (P2Y12 reaction units) >=235
(HTPR, high on-treatment platelet reactivity) ditandai dengan merah dan PRU<235 ditandai dengan warna biru. Garis yang
menyambung memperlihatkan pasien dengan reaktivitas yang stabil antara T-1 dan T-2. Panah memperlihatkan pasien yang
reaktivitasnya berubah antara T-1 dan T-2. Pada baseline semua pasien memiliki PRU >=235

Pemberian clopidogrel dosis ganda plus


atorvastatin dosis tinggi dapat menurunkan
reaktivitas platelet secara bermakna, dengan
kata lain dapat diberikan pada pasienpasien yang mengalami masalah HTPR.
Para ahli dalam penelitian ini memang tidak
menyarankan para tenaga kesehatan untuk
menggunakan dosis tinggi seperti dalam
penelitian ini, namun pemberian clopidogrel
dosis ganda dan atorvastatin dosis tinggi dapat
direkomendasikan pada situasi-situasi khusus
HTPR atau bila dosis clopidogrel optimal gagal
memberikan respons yang dikehendaki.
Penelitian
ini
merupakan
penelitian
farmakodinamik tanpa outcome klinik, namun
memperlihatkan bagaimana cara mengurangi
HTPR (High-on-treatment platelet reactivity).
Dalam komentarnya, Dr. Matthew J. Price dari
Scripps Translational Science Institute in La Jolla,
California mengatakan bahwa penelitian ini
merupakan penelitian farmakodinamik yang
sangat menarik, salah satu kelemahannya
adalah desain penelitian yang terbatas karena
dilakukan hanya di satu fasilitas kesehatan.

Simpulannya, pemberian clopidogrel dosis


ganda plus atorvastatin dosis tinggi dapat
menurunkan reaktivitas platelet secara
bermakna, dengan kata lain dapat diberikan
pada pasien-pasien yang mengalami masalah
HTPR (High on-treatment platelet reactivity). 
(YYA)

REFERENSI:
1.

Davidson MH. Clinical significance of statin pleiotropic effects: hypothesesversus evidence. Circulation 2005;111:2280 1.

2.

Barker CM, Murray SS, Teirstein PS, Kandzari DE, Topol EJ, Price MJ. Pilot study of the antiplatelet effect of increased clopidogrel maintenance dosing and its relationship to CYP2C19

3.

Leoncini M, Toso M, Maioli M, Angiolillo DJ, Giusti B, PHD, Marcucci R, et al. High-Dose Atorvastatin on the Pharmacodynamic Effects of Double-Dose Clopidogrel in Patients Undergoing

genotype in patients with high on-treatment reactivity. J Am Coll Cardiol Intv. 2010;3:10017.
Percutaneous Coronary Interventions. Am Coll Cardiol Intv. 2013;6:169 79.
4.

Piorkowski M, Weikert U, Schwimmbeck PL, Martus P, Schultheiss HP, Rauch U. ADP induced platelet degranulation in healthy individuals is reduced by clopidogrel after pretreatment with
atorvastatin. Thromb Haemost 2004;92:614 20.

64

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

BERITA TERKINI

Carbapenem dan Tigecycline Masih Aktif


Untuk Enterobacteriaceae dan A. Baumannii
di Amerika Latin

tudi terbaru menunjukkan bahwa


carbapenem dan tigecycline tetap aktif
untuk bakteri Enterobacteriaceae and A.
baumannii di Amerika Latin. Studi Tigecycline
Evaluation and Surveillance Trial (TEST)
adalah studi survei global yang mempelajari
sensitivitas antibiotik tigecycline dan produk
pembandingnya secara global, regional, dan
juga per negara. Studi ini mempelajari data
dari isolat Gram negatif yang dikumpulkan
dari pusat-pusat penelitian di 60 negara pada
periode 2004 2010.
Regio Amerika Latin sedang menghadapi
tantangan signifikan berupa tingginya
resistensi antibiotik pada bakteri-bakteri
Gram negatif termasuk E. coli dan Klebsiella
spp., Acinetobacter spp. nonfermentatif, dan
Pseudomonas aeruginosa. Dalam tahuntahun belakangan ini, terdapat peningkatan
jenis dan frekuensi ESBL yang dihasilkan
Enterobacteriaceae dan enzim carbapenemases.
Dalam kasus bakteri bacilli Gram negatif nonfermentatif yang resisten terhadap berbagai
obat, pilihan perawatan menjadi makin
terbatas, atau tidak ada pilihan sama sekali.
Laporan studi ini merupakan satu bagian dari
studi TEST yang khusus melaporkan mengenai
sensitivitas bakteri Gram negatif di 12 Negara
Amerika Latin.
Isolat bakteri dites di setiap pusat
menggunakan metode broth microdilution
seperti dideskripsikan oleh Clinical Laboratory
Standards Institute (CLSI). Suseptibilitas
ditentukan menggunakan kriteria interpretasi
CLSI. Untuk tigecycline, kriteria yang digunakan
adalah kriteria FDA. Total 16.232 isolat dianalisis.
Suseptibilitas E.coli yang menghasilkan nonextended-spectrum -lactamase dan extendedspectrum -lactamase (ESBL) terhadap
imipenem, meropenem dan tigecycline lebih
dari 95%. Suseptibilitas terhadap amikacin juga
>95% untuk E. coli yang non ESBL. 24,3% dari
E. coli adalah penghasil ESBL, dengan rentang

Tabel Sensitivitas bakteri di Amerika Latin terhadap antibiotik


Organisms/antimicrobial
non-ESBL E. coli
Amikacin
Imipenem
Meropenem
Tigecycline
ESBL E. coli
Amikacin
Imipenem
Meropenem
Tigecycline
Non-ESBL K. pneumoniae
Amikacin
Imipenem
Meropenem
Tigecycline
ESBL K. pneumoniae
Amikacin
Imipenem
Meropenem
Tigecycline
Enterobacter spp.
Amikacin
Imipenem
Meropenem
Tigecycline
H. influenzae
Imipenem
Meropenem
Tigecycline
A. baumannii
Amikacin
Imipenem
Meropenem
Minocycline
Tigecycline
P. aeruginosa
Amikacin
Imipenem
Meropenem
Tigecycline

MIC* (mg/L)
90
Range

50

S**

Percentage
I***
R***

2711
485
2226
2711

2
0.25
0.06
0.25

8
0.5
0.12
0.5

0.5 to 128
0.06 to 32
0.06 to 32
0.008 to 32

97.2
98.6
98.6
99.7

1.2
0.6
0.4
0.2

1.7
0.8
1
<0.1c

870
143
727
870

4
0.25
0.06
0.25

32
0.5
0.12
0.5

0.5 to 128
0.06 to 8
0.06 to 32
0.008 to 4

89.7
97.9
96.4
99.8

5.1
0.7
1.2
0.2

5.3
1.4
2.3
0

1917
275
1642
1917

2
0.5
0.06
0.5

8
0.5
0.25
1

0.5 to 128
0.06 to 32
0.06 to 32
0.008 to 32

93.4
98.9
94.6
96.9

1.8
0
1
2.3

4.8
1.1
4.4
0.8

1045
199
846
1045

8
0.5
0.06
0.5

128
1
2
2

0.5 to 128
0.06 to 16
0.06 to 32
0.03 to 16

71.2
96
89
93.7

8.3
2.5
2.4
4.9

20.5
1.5
8.6
1.4

2804
493
2311
2804

2
0.5
0.06
0.5

32
1
0.5
2

0.5 to 128
0.06 to 32
0.06 to 32
0.008 to 32

89.2
95.9
94.3
96

4.4
2.6
1.9
3.5

6.5
1.4
3.8
0.5

217
691
908

0.5
0.06
0.12

1
0.12
0.25

0.06 to 4
0.06 to 0.5
0.008 to 0.5

100
100
98.8

1806
307
1499
1806
1806

64
2
32
0.5
0.5

128
32
32
8
2

0.5 to 128
0.06 to 32
0.06 to 32
0.5 to 32
0.008 to 32

30.4
62.5
33.9
89.4

12
3.9
5.5
4.6

57.6
33.6
60.6
6

2734
461
2273
2734

4
1
2
8

128
16
32
32

0.5 to 128
0.12 to 32
0.06 to 32
0.008 to 32

71.8
66.8
64.2

8.1
15
9.6

20
18.2
26.2

Catatan: MIC*: Minimum inhibitory concentration; **S: Sensitive; ***I: Intermediate; R***: Resistant

11,2% (58/519) di Kolombia sampai 40,3%


(31/77) di Honduras. Lebih dari 90% Klebsiella
pneumoniae non-ESBL sensitif terhadap
tigecycline, carbapenem, dan amikacin.
35,3% K. pneumoniae adalah penghasil ESBL,
dengan rentang mulai dari 17,2% (36/209) di
Venezuela sampai 73,3% (55/75) di Honduras,
di mana hanya imipenem dan tigecycline yang
mempertahankan sensitivitas > 90%. Lebih
dari 90% Klebsiella oxytoca, Enterobacter spp.,
dan Serratia marcescens sensitif terhadap
amikacin, carbapenem, dan tigecycline.

Sensitivitas
paling
tinggi
terhadap
Acinetobacter baumannii terlihat pada
minocycline (89,4%) dan imipenem (62,5%),
sementara 95,8% isolat A.baumannii memiliki
MIC 2 g/mL untuk tigecycline.
Simpulannya, di dalam studi ini, carbapenem
dan tigecycline masih tetap aktif terhadap Enterobacteriaceae dan A. baumannii; akan tetapi
terdapat laporan adanya isolat yang tidak sensitif/resisten terhadap carbapenem di semua
negara, termasuk di dalam studi ini.  (AGN)

REFERENSI:
Fernndez-Canigia L, Dowzicky MJ. Susceptibility of important Gram-negative pathogens to tigecycline and other antibiotics in Latin America between 2004 and 2010. Ann Clin Microbiol
Antimicrob. 2012;11(29).

66

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

BERITA TERKINI

Ascorbic Acid Intravena Dosis


Tinggi Untuk Luka Bakar

ascorbic acid dosis tinggi selama 24 jam


pertama setelah luka bakar secara bermakna
menurunkan kebutuhan volume cairan
resusitasi, penambahan berat badan, dan
edema luka, serta menurunkan derajat
disfungsi pernapasan.
Namun beberapa pusat luka bakar masih
kuatir akan meningkatkan risiko gagal ginjal.
Oleh karena itu dilakukan suatu review
retrospektif dari 33 pasien dengan luas luka
bakar >20% TBSA antara 2007 2009 yang
dibawa ke RS dalam waktu <10 jam. Pasien
diberi larutan RL (n=16) atau larutan RL plus
ascorbic acid 66 mg/kg/jam (n=17). Kedua
kelompok diresusitasi dengan formula
Parkland untuk mempertahankan stabilitas
hemodinamik dan jumlah urin yang adekuat
(>0,5 mL/kg/jam).

tudi resusitasi pada pasien luka bakar


dengan ascorbic acid IV dosis tinggi
telah dilaporkan di Jepang pada tahun
2000. Terapi ascorbic acid dosis tinggi (66
mg/kg/jam) menurunkan peroksidasi lemak,
kebutuhan cairan resusitasi, dan edema pada
pasien luka bakar berat. Selain itu, pasien lebih
sedikit mengalami kelainan pernapasan dan
berkurang kebutuhan untuk ventilasi mekanik.
Studi tersebut dilakukan secara acak pada 37
pasien dengan luka bakar >30% TBSA (total
body surface area) yang dirawat di RS dalam
2 jam setelah luka bakar yang dibagi menjadi
kelompok ascorbic acid dan kelompok kontrol.
Resusitasi cairan dilakukan menggunakan
larutan RL.
Pada kelompok ascorbic acid (n=19, luas
luka bakar rata-rata 63% TBSA), ascorbic acid
diinfuskan selama 24 jam pertama studi.
Pada kelompok kontrol (n=18, luas luka bakar
rata-rata 53% TBSA), tidak diberi ascorbic
acid. Kemudian dibandingkan parameter
hemodinamik dan pernapasan, peroksidasi
lemak, dan keseimbangan cairan selama 96
jam setelah injuri.

Hasilnya menunjukkan bahwa parameter


hemodinamik dan jumlah urin sama
antara kedua kelompok. Total cairan yang
diinfuskan selama 24 jam rata-rata 5,2 mL/
kg pada kelompok kontrol vs 3,0 mL/kg pada
kelompok ascorbic acid per % luka bakar
(p<0,01). Pada 24 jam pertama, penambahan
berat badan rata-rata 17,8% pada kelompok
kontrol vs 9,2% pada kelompok ascorbic acid.
Kandungan air rata-rata 6,1 mL/g berat kering
pada kelompok kontrol vs 1,7 mL/g berat
kering pada kelompok ascorbic acid (p<0,01).
Retensi cairan dalam 24 jam kedua juga secara
bermakna lebih rendah pada kelompok
ascorbic acid. Pada kelompok kontrol, rasio
PaO2 (tekanan parsial oksigen di arteri):FiO2
(fraksi oksigen yang diekspirasi) setelah luka
bakar lebih rendah dibanding kelompok
ascorbic acid (p<0,01). Lama ventilasi mekanik
rata-rata 21,3 hari pada kelompok kontrol
vs 12,1 mL/kg pada kelompok ascorbic acid
(p<0,05). Kadar malondialdehyde lebih rendah
pada kelompok ascorbic acid pada 18, 24, dan
36 jam setelah injuri (p<0,05).
Dari hasil studi tersebut disimpulkan bahwa

Hasilnya menunjukkan bahwa kebutuhan


cairan dalam 24 jam pertama rata-rata 5,3
mL/kg/jam untuk kelompok ascorbic acid dan
7,1 mL/kg/jam untuk kelompok RL (p<0,05).
Jumlah urin rata-rata 1,5 mL/kg/jam untuk
kelompok ascorbic acid dan 1 mL/kg/jam
untuk kelompok RL (p<0,05). Vasopresor
diperlukan pada 4 pasien kelompok ascorbic
acid dan 9 pasien pada kelompok RL (p=0,07).
Kelompok ascorbic acid memerlukan
vasopresor untuk mempertahankan tekanan
arteri rata-rata selama rata-rata 6 jam, tetapi
kelompok RL memerlukan vasopresor selama
11 jam (p=0,2). Tidak ada perbedaan dalam
rasio PaO2: FIO2, tekanan ekspirasi akhir
positif, frekuensi pneumonia, gagal ginjal
atau injuri inhalasi. Kelompok ascorbic acid
mempunyai 4 moratlitas dan kelompok RL 3
mortalitas (p=1).
Dari hasil studi disimpulkan bahwa ascorbic
acid dosis tinggi dikaitkan dengan penurunan
kebutuhan cairan dan peningkatan jumlah
urin selama resusitasi setelah luka bakar. Hal
ini menunjukkan bahwa ascorbic acid dosis
tinggi dapat digunakan dengan aman tanpa
peningkatan risiko gagal ginjal, meskipun
tetap memerlukan studi prospektif lebih
lanjut yang dilakukan secara acak dengan
skala besar.  (EKM)

REFERENSI:
1.

Kahn SA, Beers RJ, Lentz CW. Resuscitation after severe burn injury using high-dose ascorbic acid: a retrospective review. J Burn Care Res. 2011;32(1):110-7. doi: 10.1097/
BCR.0b013e318204b336.

2.

Tanaka H, Matsuda T, Miyagantani Y, Yukioka T, Matsuda H, Shimazaki S. Reduction of resuscitation fluid volumes in severely burned patients using ascorbic acid administration: a
randomized, prospective study. Arch Surg. 2000;135(3):326-31.

68

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

PRAKTIS

Peranan Candida Score untuk Deteksi


Infeksi Fungal Invasif di Ruang Intensif
Edwin Nugroho Njoto
Gleneagles Diagnostic Center, Surabaya, Indonesia

ABSTRAK
Diagnosis dini penting untuk mengontrol infeksi candida invasif pada pasien ruang intensif dan memperbaiki prognosis. Candida score dapat
membantu dokter mengidentifikasi pasien yang akan mendapat manfaat dari pemberian antifungal dini dan pasien yang hampir tidak mungkin
terinfeksi candida invasif.
Kata kunci:

ABSTRACT
Early diagnosis is important to control invasive candida infection in the intensive care patients and to improve prognosis. Candida score can
help to identify who will benefit from early antifungal therapy and who is unlikely to get invasive candida infection. Edwin Nugroho Njoto.
Candida Score for Invasive Fungal Infection Detection in Intensive Care.
Key words:

PENDAHULUAN
Walaupun telah banyak kemajuan diagnostik
dan intervensi terapeutik, infeksi hampir
menjadi bagian tak terpisahkan dengan
perawatan intensif Infeksi pada pasien
kritis merupakan tantangan karena dapat
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.
Sekarang, infeksi fungal invasif menjadi
problem mayor dalam ruang intensif di negara
berkembang dan negara maju1. Infeksi fungal
invasif sebelumnya dianggap jarang terjadi
pada ruang intensif, namun seiring dengan
peningkatan penggunaan antibiotik spektrum
luas dan peningkatan pengetahuan tentang
infeksi fungal, angka insiden meningkat.
Infeksi candida invasif merupakan infeksi
fungal invasif tersering, meliputi 70-90%
infeksi fungal invasif. Candida menduduki
peringkat ke-4 penyebab infeksi nosokomial
dalam darah di Amerika Serikat, insiden
infeksi candida invasif bervariasi antara 0,5-1,4
per 10.000 pasien di rumah sakit dan antara 2
dan 6,9 per 1000 pasien ruang intensif.2 Pada
penelitian AURORA 2012, didapatkan infeksi
candida invasif merupakan penyebab infeksi
fungal invasif tersering (87,6%).3 Penelitian di
Italia, mendapatkan insiden infeksi candida
invasif 10,08 per 1000 pasien yang dirawat di
ruang intensif.4
Alamat korespondensi

70

Infeksi candida invasif dihubungkan dengan


morbiditas yang signifikan ditandai dengan
lama perawatan ruang intensif dan rumah
sakit antara satu dan beberapa minggu.5,6
Total mortalitas pasien dengan infeksi candida
invasif tinggi: 42,6% pada penelitian EPIC II,7
35,2% di minggu ke-12 pada penelitian PATH,8
37,9% pada penelitian ECMM,9 dan 53,4%
pada yang dirawat bukan di ruang intensif
vs 85,9% pada yang dirawat di ruang intensif
pada penelitian SCOPE di Brazil.10
Terapi antifungal dini diperlukan untuk
mengontrol dan dapat menurunkan
morbiditas infeksi candida invasif2. Tetapi
diagnosis dini infeksi candida invasif masih
terhambat dan kriteria untuk memulai
terapi empiris antifungal masih belum
jelas. Diagnosis infeksi candida invasif
menggunakan kultur darah membutuhkan
waktu lama, sensitivitasnya rendah dan tanda
radiologis sering muncul terlambat. Deteksi
antigen seperti galactomannan, antibodi anti
mycelium, deteksi mannan membutuhkan
waktu dan biaya yang tidak sedikit11. Panduan
IDSA merekomendasikan bahwa terapi
antifungal empiris harus dipertimbangkan
pada pasien kritis dengan faktor risiko infeksi
candida invasif dan penyebab demam yang
tidak diketahui; namun faktor risiko infeksi

candida telah banyak diteliti dan sangat


banyak, dan kebanyakan pasien ruang intensif
terpapar dengan faktor-faktor risiko tersebut.
Penggunaan antifungal berlebihan dapat
meningkatkan biaya kesehatan dan bahaya
resistensi. 2
Untuk memastikan terapi antifungal
secara tepat dan untuk menghindari terapi
antifungal yang tidak perlu, para peneliti
mengembangkan beberapa prediksi klinis
untuk mengidentifikasi pasien ruang intensif
yang berisiko tinggi candidiasis dan pasien
yang harus diberi terapi antifungal empiris,
namun prediksi klinis ini mempunyai
spesifisitas tinggi dengan sensitivitas rendah,
tidak memiliki validasi prospektif, dan
penggunaannya rumit.2
Pada tahun 2006 sebuah grup peneliti
Spanyol menggunakan data dari proyek
Estudio de Prevalencia de Candidiasis untuk
mengindentifikasi 4 prediktor infeksi candida
invasif yang telah terbukti. Berdasarkan
4 prediktor tersebut, disusun suatu skor
bernama Candida Score.12 Pada tahun
2009, grup peneliti yang sama melakukan
penelitian yang menunjukkan adanya asosiasi
linier yang signifikan antara peningkatan nilai
candida score dengan angka insiden infeksi

email: edwin_n_njoto@yahoo.com

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

PRAKTIS
candida invasif. Skor ini sangat berguna untuk
menstratifikasi faktor risiko infeksi candida
yang telah terbukti, mengidentifikasi pasien
yang akan mendapat manfaat dari terapi
antifungal dini dan pasien yang tidak mungkin
terinfeksi candida invasif.13
Berikut akan dibahas tentang candida score.
CANDIDA SCORE
Pada tahun 2006 Leon dkk. melaporkan
penelitian kohort observasional multicenter
pada 1669 pasien dewasa ruang intensif yang
dirawat di 73 ruang intensif medikal-bedah
di Spanyol antara Mei 1998 sampai dengan
Januari 1999. Mereka mengidentifikasi 4 faktor
independen yang berhubungan dengan
risiko lebih tinggi terjadinya infeksi candida
yang telah terbukti, yaitu: pasca pembedahan
(odd ratio [OR] 2.71, 95% indeks kepercayaan
[CI] 1.45-5.06), kolonisasi candida spesies
multifokal (OR 3,04, 95%CI 1,45-6,39), nutrisi
parenteral total (OR 2.48, 95%CI 1.16-5.31),
dan sepsis berat (OR 7.68, 95%CI 4.14-14.22).
Suatu skor dibuat berdasarkan 4 faktor
independen tersebut yaitu: 12
CANDIDA SCORE = 0,908 x (nutrisi
parenteral total) + 0,997 x (pasca
pembedahan) + 1,112 x (kolonisasi
candida spesies multifokal) + 2,038 x
(sepsis berat).

Semua variabel mendapat nilai 1 jika terdapat


dan nilai 0 jika tidak terdapat. 12
Tabel 1 Sensitivitas dan spesifisitas candida score12
Nilai Cutoff

Sensitivitas

False positive

1,055

0,983

0,653

1,509

0,949

0,495

1,963

0,898

0,426

2,069

0,831

0,312

2,074

0,814

0,301

2,528

0,814

0,259

2,982

0,780

0,231

3,026

0,610

0,132

3,093

0,593

0,130

3,547

0,525

0,092

4,001

0,492

0,077

Berdasarkan tabel 1 disimpulkan candida score


>2,5 dapat secara akurat mengidentifikasi
pasien berisiko lebih tinggi untuk terinfeksi
candida invasif dengan sensitivitas 81% dan
spesifisitas 74%.2,12
Pada tahun 2009 Leon et al melakukan
penelitian pada 1107 pasien dewasa non
neutropenik ruang intensif pada 36 ruang
intensif medical-bedah di Spanyol, Perancis
dan Argentina yang masuk antara April 2006
dan Juni 2007. Mereka menggunakan rounded
candida score dengan rumus sebagai berikut:
(semua variabel diberi nilai 1 jika terdapat dan
nilai 0 jika tidak terdapat: 13

ROUNDED CANDIDA SCORE= 1 x


(nutrisi parenteral total) + 1 x (pasca
pembedahan) + 1 x (kolonisasi candida
spesies multifokal) + 2 x (sepsis berat).
Angka insiden infeksi candida invasif adalah
2,3% pada pasien dengan skor di bawah 3,
8.5% pada pasien dengan skor 3, 16,8% pada
pasien dengan skor 4, 23,6% pada pasien
dengan skor 5 (95% CI 1.06-3.54). Mereka
menyimpulkan bahwa infeksi candida invasif
hampir tidak mungkin terjadi pada pasien
dengan rounded candida score di bawah 3.13
Penelitian Leroy et al pada 94 pasien sepsis
berat dan syok septik di 5 ruang intensif di
Perancis selama Januari 2010 sampai dengan
Maret 2011 mendapatkan insiden infeksi
candida invasif 0% pada pasien dengan
skor 2 atau 3, 17,6% pada pasien dengan
skor 4 dan 50% pada pasien dengan skor 5
(p<0,0001). Suatu korelasi linier dan signifikan
dengan peningkatan candida score dan tidak
didapatkan candidiasis invasif pada pasien
dengan skor di bawah 3.2,4
SIMPULAN
Ada relevansi klinis candida score untuk
mengidentifikasi pasien di ruang intensif yang
akan mendapatkan manfaat terapi antifungal
dini dan pasien yang hampir tidak mungkin
terinfeksi candidiasis invasif.

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.

Bajwa SJ, Kulshrestha A. Review article. Fungal infection in Intensive Care Unit: challenges in diagnosis and management. India Ann Med Health Sci Res. 2013; 3 issue 2. http://www.amhsr.org.
Leroy G, et al. Evaluation of candida score in critically ill patients: a prospective, multicenter, observational, cohort study. France. Ann. Intensive Care 2011;1:50. http://www.
annalsofintensivecare.com/content/1/1/50.

3.

Montagna MT, et al. Epidemiology of invasive fungal infection in the intensive care unit: results of a multicenter Italian survey (AURORA Project). Italy Infection 2013; 41:645-53.

4.

Tortorano AM, Dho G, Prigitano A, et al. Invasive fungal infections in the intensive care unit: a multicentre, prospective, observational study in Italy (2006-2008). Mycoses, 2012;55:73-9.

5.

Leroy O, et al: Epidemiology, management, and risk factors for death of invasive candida infection in critical care: a multicenter, prospective, observational study in France (2005-2006).
Crit Care Med 2009;37:1612-8.

6.

Bougnoux ME, Kac G, Aegerter P, dEnfert C, Fagon JY. Candidemia and candidiuria in critically ill patients admitted to intensive care units in France: incidence, molecular diversity,

7.

Kett DH, Azoulay E, Echeverria PM, Vincent JL: Candida bloodstream infections in intensive care units: analysis of the extended prevalence of infection in intensive care unit study. Crit Care

8.

Horn DL, Neofytos D, Anaisse EJ, Fishman JA, Steinbach WJ, Olyaei AJ, et al: Epidemiology and outcome of candidemia in 2019 patients: data from the prospective antifungal therapy

management, outcome. Intensive Care Med 2008; 34:292-9.


Med 2011;39:665-70.
alliance registry.
9.

Tortorano AM, Kibbler C, Peman J, Bernhardt H, Klingspor L, Grillot R: Candidaemia in Europe: epidemiology and resistance. Int J Antimicrob Agents 2006; 27:359-366.

10. Marra AR, Camargo LF, Pignatari AC, Sukiennik T, Behar PR, Medeiros EA, et al. Nosocomial bloodstream infections in Brazilian hospitals: analysis of 2563 cases from a prospective
nationwide surveillance study. J Clin Microbiol 2011; 49:1866-71.
11. Estrella M.C, et al. Update on the epidemiology and diagnosis of invasive fungal infection. Elsevier. Spain. Internat.J.Antimicrobial Agents 2008;32 suppl 2:S143-7.
12. Leon C, Ruiz-santana S., Saavedra P, Almirante B, nolla-salas J, Varez-Lerma F,et al. A bedside scoring system (candida score) for early antifungal treatment in nonneutropenic critically ill
patients with candida colonozation Crit Care Med. 2006; 34(3):730-7.
13. Leon C, et al. Usefulness of the candida score for discriminating between candida colonization and invasive candidiasis in non-neutropenic critically ill patients: a prospective multicenter
study. Crit Care Med. 2009; 37(5):1624-1633. Spain.

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

71

OPINI

Target Terapi Imunosupresan


pada Lupus Eritematosus Sistemik
Ni Ketut Donna Prisilia, Pande Ketut Kurniari, Gede Kambayana
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia

ABSTRAK
Lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus/SLE) merupakan suatu kompleks penyakit melibatkan kelainan imun yang multipel
meliputi fungsi abnormal sel B dan sel T, pembersihan abnormal kompleks imun berakibat penumpukan dalam jaringan, aktivasi komplemen
dan apoptosis sel cacat menyebabkan penumpukan autoantigen yang potensial. Akibatnya terjadi induksi radang, gagal organ seperti pada
ginjal, jantung, kulit dan sistem saraf. Terapi SLE berat antara lain imunosupresi dengan target sel B, sel T, menghambat sitokin, dan menghambat
komplemen berfungsi menekan sistem imun (imunosupresif ), efektif mengurangi gejala sisa SLE namun dapat meningkatkan risiko infeksi
serius.
Kata kunci: SLE, imunosupresif, sel B, sel T, sitokin, komplemen
ABSTRACT
Sytemic Lupus Erythematosus (SLE) is a complex of diseases involving multiple immune abnormality with abnormal cell T and cell B functions,
abnormal immune complex clearance resulting accumulation in the tissue, complement activation and apoptosis of defective cell which
caused potential autoantigen accumulation. The consequences are induction of inflammation, failure of organs such as kidney, heart, skin
and nervous system. Immunosuppressive therapy targeted to B cell, T cell, the cytokines and complement is effective to reduce sequelae
but increase the risk of serious infection. Ni Ketut Donna Prisilia, Pande Ketut Kurniari, Gede Kambayana. Target of Immunosupresive
Therapy in Systemic Lupus Erythematosus.
Keywords: SLE, immunosuppressive, B cells, T cells, cytokine, complement

PENDAHULUAN
SLE merupakan kompleks penyakit yang
mempengaruhi banyak sistem organ
(multipel). Penyakit tersebut dominan
menyerang etnis tertentu dan perempuan
dibandingkan laki-laki dengan rasio 10:1.
Etiopatogenesis SLE belum jelas diketahui.1
Patogenesis SLE sangat kompleks melibatkan
kelainan imun multipel termasuk fungsi
abnormal sel B yang terus menerus
membentuk antibodi dan membentuk sel
T yang autoreaktif.1 Di samping itu terjadi
pula pembersihan abnormal kompleks imun
berakibat penumpukan dalam jaringan,
aktivasi komplemen dan apoptosis sel
cacat yang menyebabkan penumpukan
autoantigen yang potensial. Hasil akhir proses
di atas adalah induksi radang dan gagal organ
termasuk ginjal, jantung, kulit dan sistem
saraf.1
Pengobatan
imunosupresif
merupakan
pengobatan utama bagi SLE berat dan telah
terbukti efektif mengurangi beberapa gejala
Alamat korespondensi

sisa SLE termasuk penyakit ginjal stadium


akhir namun tidak terbukti memperbaiki
morbiditas dan mortalitas. Di samping itu
pengobatan tersebut dapat meningkatkan
risiko infeksi serius, toksik terhadap jaringan
dan organ di luar sistem imun.2
Obat harus efektif dan aman dengan
memperhatikan
tahapan
patofisiologi
perkembangan autoimun, respons imun
abnormal yang terus menerus dan kerusakan
jaringan akibat imunitas yang dibutuhkan
untuk mengenal dan menentukan sasaran
sangat spesifik.2
Imunosupresi dengan target sel B
Sebagian besar sel B terlibat dalam
patogenesis
SLE
sebagai
sumber
autoantibodi, sebagai antigen-presenting
cells (APC), sebagai pemrakarsa serta
pengatur radang melalui sekresi sitokin.
Sel B merupakan target pengobatan
imunosupresi
termasuk
anti-CD20
monoclonal antibody (rituximab) dan anti-B
lymphocyte stimulator (BLyS).3

Anti-CD20 Antibody
Antibodi untuk mengurangi jumlah sel B
pada SLE yaitu antibodi monoklonal terhadap
CD20 (rituximab). Ekspresi CD20 terjadi pada
awal perkembangan limfosit B. Pemberian
rituximab akan mengurangi limfosit B positif
CD20 dengan cepat, setelah itu terjadi remisi
dengan sel B asli yang tidak terpapar antigen.3
Efek samping rituximab yang paling sering:
reaksi transfusi (3035%), neutropenia (8%),
dan produksi human antichimeric antibodies
(9%). Kasus fatal yang jarang terjadi termasuk
progressive multifocal leukoencephalopathy
yang disebabkan polyomavirus JC.3
Monoclonal anti-CD20 antibodies yang
baru termasuk ocrelizumab, merupakan
recombinant humanized monoclonal anti-CD20
antibody telah dicoba pada SLE ekstrarenal
dan nefritis lupus.3
Anti-CD22 Antibodies - Epratuzumab
Fungsi epratuzumab adalah untuk mengatur
fungsi sel B tanpa mengurangi jumlahnya.
Dalam penelitian obat tersebut digunakan

email: donnaprisilia@yahoo.com

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

73

OPINI
untuk SLE sedang sampai berat dengan hasil
baik dan aman serta mengurangi kebutuhan
dosis kortikosteroid.3
B-Lymphocyte Tolerogens - Abetimus
(LJP-394)
Obat ini merupakan tolerogen terhadap sel B
yang menyebabkan apoptosis sel B. Abetimus
telah diteliti pada manusia baik penderita
lupus non renal maupun lupus nefritis.
Tolerogen lain, yaitu TV-4710 (Edratide),
merupakan peptida yang disusun oleh 19
asam amino.
BLyS Blockers
B-cell survival molecule B-lymphocyte stimulator
(BLyS) yang juga disebut B-cell activation
factor of the TNF family (BAFF) berperan kunci
dalam aktivasi dan diferensiasi sel B sehingga
dapat digunakan sebagai target yang baik
untuk intervensi SLE. Penghambatan BLyS
akan mengurangi sel B dan bermakna
meningkatkan aktivasi imun.3
Contoh obat ini belimumab merupakan
human monoclonal antibody yang berikatan
dengan BLyS sehingga menghambat
aktivitas biologinya. FDA (Food And Drug
Administration) Amerika Serikat telah
menyetujui obat tersebut untuk pengobatan
SLE.3 Penghambat BlyS lain atacicept (TACI-Ig)
merupakan soluble transmembrane activator
dan calcium-modulator dan cyclophilin ligand
interactor (TACI) receptor, yang mengikat
BAFF. Obat ini ditoleransi baik oleh penderita
SLE.3
Imunosupresi dengan target sel T
Aktivasi sel T membutuhkan interaksi
rangsangan CD28:B7. CD28 terekspresi pada
sel T sedangkan ligand B7-1 dan B7-2 (CD80
dan CD86) ditemukan pada APC (Antigen
Precenting Cell). Abatacept dapat menghambat
interaksi tersebut.3
Suatu antibodi monoklonal efalizumab
dapat langsung menghambat CD11a yang
berperan penting untuk aktivasi, reaktivasi,
ekstravasasi dan mengalirkan sel T ke kulit.
Dengan demikian pemberian obat ini dapat
mengurangi manifestasi kulit penderita SLE.3

Imunosupresi yang menghambat sitokin


Sitokin yang berperan pada proses radang,
yang selanjutnya akan menyebabkan
kerusakan jaringan dan organ, termasuk
tumor necrosis factor alpha (TNF-), interferon
alpha/gamma (IFN-/) dan interleukin (IL)
1, 6, 10, 15, dan 18. Sitokin-sitokin tersebut
potensial sebagai target pengobatan untuk
mengurangi radang kronis pada SLE.3
Anti-TNF-
TNF- pada SLE dapat meningkatkan
apoptosis dan berpengaruh bermakna pada
aktifitas sel B, sel T dan sel detritus. Selain
itu anti TNF- menghambat pembentukan
autoantibodi termasuk antinuclear, anti-dsDNA
dan anti cardiolipin. Ada beberapa preparat
anti TNF- yang tersedia termasuk infliximab,
adalimumab, golimumab, certolizumab pegol
dan etanercept.3
Anti-IFN-/
IFN- berperan bermakna pada patogenesis
SLE dan berkorelasi dengan aktivitas penyakit
dan komplikasi ginjal. Obat anti INF- termasuk
sifalimumab (MEDI-545) dan rontalizumab
serta obat anti INF- (AMG 811) merupakan
obat yang aman serta ditoleransi penderita
SLE.3
Anti-IL-1
Pada SLE, kadar serum TNF dan anti-dsDNA
antibody meningkatkan kadar serum IL-1,
peningkatan kadar IL-1 dihubungkan dengan
aktifitas penyakit dan kadar rendah antagonis
reseptor IL-1 dihubungkan dengan nefritis
lupus.3
Anakinra menetralkan aktivitas biologi IL-1;
obat ini aman pada penderita SLE dan efektif
memperbaiki artritis.3
Anti-IL-6
IL-6 menginduksi diferensiasi sel B menjadi
sel plasma, sekresi antibodi dan hiperaktif,
di samping itu juga mendorong proliferasi
sel T, diferensiasi cytotoxic T-cell dan radang
lokal. Ekspresi IL-6 pada nefritis lupus tinggi
sehingga digunakan anti IL-6 (tocilizumab).
Neutropeni merupakan efek samping yang
sering terjadi pada pemberian tocilizumab.3

Anti-IL-10
IL-10 diproduksi oleh sel Th2 dan menghambat
sitokin untuk sel T. Kadar IL-10 pada SLE
meningkat dan dihubungkan dengan
aktifitas penyakit. Pemberian anti IL-10 akan
menurunkan titer anti-dsDNA antibody dan
menghambat terjadinya proteinuria dan
glomerulonefritis.3
Anti-IL-15
IL-15 terutama diproduksi oleh makrofag dan
ditemukan meningkat pada 40% penderita
SLE, namun peningkatan tersebut tidak
berhubungan dengan aktivitas penyakit.
Obat anti IL-15 sedang dicoba untuk penyakit
autoimun lain.3
Anti-IL-18
IL-18 merupakan sitokin proinflamasi yang
erat hubungannya dengan IL-1. Berbagai
penelitian menemukan peningkatan kadar
serum IL-18 pada penderita SLE yang
dihubungkan dengan kadar TNF. Sampai saat
ini penghambat IL-18 belum digunakan pada
SLE manusia.3
Imunosupresan menghambat komplemen
Sistem komplemen terdiri dari 3 jalur dan
lebih dari 30 protein terlibat secara langsung
atau tidak langsung memperantarai efek
komplemen. Sistem komplemen mempunyai
efek proteksi terhadap SLE sedangkan pada
keadaan defisiensi komponen jalur klasik
dihubungkan dengan peningkatan risiko
SLE. Deposisi kompleks imun menyebabkan
sistem komplemen aktif dan meningkatkan
respons radang.3
Ada dua penghambat komplemen yaitu TP10
dan eculizumab yang walaupun belum ada
penelitian klinik, mungkin dapat digunakan
sebagai pengobatan SLE.3
SIMPULAN
Pengetahuan mekanisme SLE dapat digunakan
untuk memilih obat lebih baik yang ditujukan
pada target. Target terhadap sel B dan sel T akan
memperbaiki hasil induksi remisi. Manifestasi
tertentu SLE seperti penyakit kulit yang
refrakter dan nefritis berhasil diatasi dengan
baik dengan antagonis TNF- dan anti IL-6.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Krishnan S, Chowdhury B, Juang Y-T, Tsokos GC. Overview of the Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus. Philadelphia: Mosby, Inc.; 2007. p. 55-63.

2.

Kyttaris VC, Tsokos GC. New Treatments in Systemic Lupus Erythematosus. Philadelphia: Mosby, Inc.; 2007. p.516-23.

3.

Postal M, Costallat LT, Appenzeller S. Biological therapy in systemic lupus erythematosus. Int J Rheumatol. 2012;2012:578-641.

74

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

AGENDA

AGENDA KEGIATAN ILMIAH


15th European Congress of Trauma and
Emergency Surgery & 2nd World Trauma
Congress 2014
Tanggal
: 24-27 Mei 2014
Tempat
: Frankfurt Congress Center, Frankfurt, Germany
Sekretariat : European Society for Trauma and Emergency
Surgery
Telp/Fax
: +43 1 58804 0 / +43 1 58804 185
Email
: ectes2014 (at) mondial-congress.com
URL
: www.ectes2014.org

19th European Congress Of Physical &


Rehabilitation Medicine 2014
Tanggal
: 26-31 Mei 2014
Tempat
: Palais Du Pharo, Marseille, France
Sekretariat : European Society of Physical and Rehabilitation
Medicine
Telp/Fax
: +33 (0)4 96 15 12 50 / + 33 (0)4 96 15 12 51
URL
: www.esprm2014.com

21st European Congress on Obesity


Tanggal
Tempat
Sekretariat
Telp/Fax
Email
URL

:
:
:
:
:
:

28-31 Mei 2014


National Palace of Culture, Sofia, Bulgaria
European Association for the Study of Obesity
+44 20 8973 2506
eco2014@easo.org
eco2014.easo.org

12th International Congress of the European


Society of Pediatric Otorhinolaryngology
Tanggal
Tempat
Sekretariat
Email
URL

76

:
:
:
:
:

31 Mei-3 Juni 2014


Dublin Convention Centre, Dublin, Ireland
European Society of Pediatric Otorhinolaryngology
espo2014@abbey.ie
www.espodublin.com

International Conference on Emergency


Medicine 2014
Tanggal
Tempat

: 10-14 Juni 2014


: Hong Kong Convention And Exhibition Centre,
Hong Kong
Sekretariat : Hong Kong College of Emergency Medicine
Telp/Fax
: (852) 3151 8900 / (852) 2590 0099
Email
: icem2014@swiretravel.com
URL
: www.icem2014.org

20th ASEAN Federation of Cardiology Congress


Tanggal
Tempat

: 12-15 Juni 2014


: Kuala Lumpur Convention Centre, Kuala Lumpur,
Malaysia
Sekretariat : National Heart Association of Malaysia
Telp/Fax
: +603 7955 6608 / +603 7956 6608
URL
: www.nham-conference.com

Joint Meeting of the European Society of


Hypertension (ESH) and International Society of
Hypertension (ISH) 2014
Tanggal
Tempat

: 13-16 Juni 2014


: Megaron Athens International Conference Centre,
Athens, Greece
Sekretariat : European Society of Hypertension & International
Society of Hypertension
Telp/Fax
: +39 06 330531 / +39 06 33053229
Email
: hypertension2014@aimgroup.eu
URL
: www.hypertension2014.org

29th World Congress of


Neuropsychopharmacology
Tanggal
: 22-26 Juni 2014
Tempat
: Vancouver Convention Centre, Vancouver, Canada
Sekretariat : International College of
Neuropsychopharmacology
Telp/Fax
: 49-40-670 88 20 / +49-40-670 32 83
Email
: cinp2014@cpo-hanser.de
URL
: www.cinp2014.com

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

INDEKS

INDEKS PENULIS
A
Abdul Razak
Azamris
B
Budi Riyanto Wreksoatmodjo
D
Darwin Amir
E
Edwin Nugroho Njoto
Ervinaria Uly Imaligy
G
Gede Kambayana
H
Hadiki Habib
Helmia Hasan

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

37
40

M
Michael Setiawan

33

N
Ni Ketut Donna Prisilia

73

P
Pande Ketut Kurniari

73

R
Rizki Maulidya Putri

14

S
Sukardi

37

W
Wayan Sulaksmana

37

Z
Zainul Mutaqqin

37

25

70
19

73

43
14

77

INDEKS

INDEKS SUBJEK
B
benign paroxysmal positional
vertigo,lihat BPPV
BPPV,

9, 10

C
candida score,

70

D
demensia,
dizziness,

25
7

G
gagal jantung,
manifestasi klinis,
pada geriatri,
kriteria Framingham,
gangren diabetik,
geriatri,
Gyssen,
alur,
skor,

22, 22s, 22t


22
22
22t
43
14
43
43
43

H
Helicobacter pylori,

37

I
imunitas,
humoral,
diperantarai sel,
imunologi,
imunosenescence,
infeksi fungal invasif,
insufisiensi vertebrobasiler,

16
16
16
14
17
70
7

K
kemunduran,
fungsi kognitif,
intelektual,
kultur feses,

25
25
25
37

L
lymphocytic perivascular cuffing,

34

M
mastektomi,

41

78

N
neoplasma fibroepitelial,
nistagmus,
horizontal,
rotasional,

40
9
11
11

O
oncostatin M,

16

P
parabeoplastic sensory neuropathy,
paraneoplastic limbic encephalitis,
paraneoplastic neurological
syndromes,
PCR,
penyakit Alzheimer,
perdarahan subaraknoid,
pneumonia,
R
respons imun,
respons imun,
pada pneumonia,
terhadap infeksi bakteri,
terhadap infeksi jamur,

34
33
33
37
25
9
14

15
15
15
15

S
sindrom pontin superior lateral,
sindrom stroke,
sistem limbik,
stroke iskemik,
vertebrobasiler,

10
7
34
7
7

T
TIA,
timopoiesis,
toll-like receptors,
transient ischemic attack,
tumor phyllodes,

7
16
15
lihat TIA
40

V
vertebrobasiler,
insufisiensi,
stroke iskemik,
vertigo,
sentral,
perifer,

7
7
7
7, 9
9
9

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

Anda mungkin juga menyukai