Anda di halaman 1dari 60

Akreditasi IDI

Artikel CME
Continuing
Medical
Education

887
Principles of Drug Use in
the Elderly

ISSN: 0125-913X CDK-211/ vol. 40 no. 12 Desember 2013 http.//www.kalbemed.com/CDK.aspx

894

919

932

TINJAUAN PUSTAKA

BERITA TERKINI

TEKNIK

Pencitraan Diagnostik Fistula


Trakeoesofagus

Efek Pemberian PN Asam Amino


Mengandung Alanyl-Glutamine pada Bayi

Blok Saraf Perifer

DAFTAR ISI
805
ISSN: 0125-913X
http://www.kalbemed.com/CDK.aspx

Alamat Redaksi
Gedung KALBE
Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4
Cempaka Putih, Jakarta 10510
Tlp: 021-420 8171
Fax: 021-4287 3685
E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id
http://twitter.com/CDKMagazine
Nomor Ijin
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976
Penerbit
Kalbe Farma

EDITORIAL

ARTIKEL
887

Principles of Drug Use in the Elderly


Arini Setiawati

890

Acute Kidney Injury in Critically Ill Children at Pediatric Intensive Care


Unit
Husein Albar

894

Pencitraan Diagnostik Fistula Trakeoesofagus


Rizal

900

Fenomenologi Sindrom Tourette


Dito Anurogo

907

Peran Recruitment Maneuver pada Anestesi Umum


M. Helmi

913

Acute Limb Ischaemia: Case Report


Edwin Nugroho Njoto

BERITA TERKINI
917
918

Pencetak
PT. Dian Rakyat

919
920
921
922
923
924
926
927
928
929

930

Susunan Redaksi

Tenecteplase untuk Fibrinolisis Pasien STEMI


Efek Pemberian PN Asam Amino Mengandung Alanyl-Glutamine pada
Bayi
Vaksin Konjugat Pneumokokal pada Bayi: Aman dan Efektifkah?
Efek Sevoflurane pada Respons Stres Terhadap Pembedahan
Acetylsalicylic Acid dapat Mengurangi Risiko Melanoma
Anestesi umum vs Anestesi Spinal pada Pembedahan Batu Ginjal
Terapi Pendamping Corticosteroid Mengurangi Mortalitas Pasien TBC
ACE inhibitor Memiliki Efek Proteksi Radioterapi
Manfaat dan Jenis Toner Kulit
Kombinasi Normal Saline, HES, & Glutamine Efektif Digunakan untuk
Resusitasi Pasien Severe Acute Pancreatitis
Penggunaan Cilostazol Dibatasi pada Pasien PAD
Infus 5-FU Dosis Tinggi dengan atau Tanpa Folinic Acid vs Bolus 5-FU/
Folinic Acid sebagai Terapi Adjuvan Kanker Kolon Stadium III

Teknik

936

Opini

940

Info Produk

942

Agenda

943

Indeks

Ketua Pengarah
dr. Boenjamin Setiawan, PhD
Pemimpin Umum
dr. Kupiya Timbul Wahyudi
Ketua Penyunting
Dr. dr. Budi Riyanto W., SpS
Dewan Redaksi
dr. Karta Sadana, MSc, SpOk
dr. Artati
dr. Esther Kristiningrum
dr. Dedyanto Henky
dr. Yoska Yasahardja
dr. Albertus Agung Mahode
Tata Usaha
Dodi Sumarna

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

883

PANDUAN UNTUK PENULIS


CDK (Cermin Dunia Kedokteran) menerima naskah yang membahas berbagai aspek
kesehatan, kedokteran, dan farmasi, bisa berupa tinjauan pustaka, opini, ataupun hasil
penelitian di bidang-bidang tersebut, termasuk laporan kasus. Naskah yang dikirim ke
Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh CDK (belum pernah diterbitkan
di jurnal lain); bila pernah dibahas atau dibacakan dalam pertemuan ilmiah, hendaknya
diberi keterangan mengenai nama, tempat, dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.
PANDUAN UMUM
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Jika menggunakan bahasa Indonesia,
hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku (merujuk pada Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Pedoman Umum PembentukanKamus
Besar Bahasa Indonesia). Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa
Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Panjang naskah
berkisar antara 2000-3000 kata, ditulis dengan program MS Word, jenis huruf Times New
Roman ukuran 12.
ABSTRAK DAN KATA KUNCI
Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris,
disertai dengan 3-5 kata kunci yang disusun berdasarkan abjad. Abstrak ditulis dalam 1
(satu) paragraf dan, untuk artikel penelitian, bentuknya tidak terstruktur dengan format
introduction, methods, results, discussion (IMRAD). Panjang abstrak maksimal 200 kata. Jika
tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Indonesia maupun Inggris
untuk naskah tersebut.

BUKU

Penulis/Editor Tunggal
1. Hoppert M. Microscopic techniques in biotechnology. Weinheim: Wiley-VCH;
2003.
2. Storey KB, editors. Functional metabolism: regulation and adaptation. Hoboken
(NJ): J. Wiley & Sons; 2004.

Lebih dari Satu Penulis/Editor


1. Lawhead JB, Baker MC. Introduction to veterinary science. Clifton Park (NY):
Thomson Delmar Learning; 2005.
2. Gilstrap LC, Cunningham FG, Van Dorsten JP, editors. Operative obstetrics. 2nd ed.
New York: McGraw-Hill; 2002.

Edisi dengan Volume


Lee GR, Bithell TC, Foerster J, Athens JW, Lukens JN, editors. Wintrobes clinical
hematology. 9th ed. Vol 2. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993.

Bab dalam Buku


Ford HL, Sclafani RA, Degregori J. Cell cycle regulatory cascades. In: Stein GS, Pardee
AB, editors. Cell cycle and growth control: biomolecular regulation and cancer. 2nd ed.
Hoboken (NJ): Wiley-Liss; 2004. p. 42-67.
PROSIDING KONFERENSI
Harnden P, Joffe JK, Jones WG, editors. Germ cell tumours V: Proceedings of the 5th Germ Cell
Tumour conference; 2001 Sep 13-15; Leeds, UK. New York: Springer; 2002.

NAMA DAN INSTITUSI PENULIS


Nama (para) penulis dicantumkan lengkap (tidak disingkat), disertai keterangan lembaga/
fakultas/institut tempat bekerjanya dan alamat e-mail.

MAKALAH KONFERENSI
Christensen S, Oppacher F. An analysis of Kozas computational effort statistic for genetic
programming. In: Foster JA, Lutton E, Miller J, Ryan C, Tettamanzi AG, editors. Genetic
programming: EuroGP 2002: Proceedings of the 5th European Conference on Genetic
Programming; 2002 Apr 3-5; Kinsdale, Ireland. Berlin: Springer; 2002. p. 182-91.

TABEL/GRAFIK/GAMBAR/BAGAN
Tabel/grafik/gambar/bagan yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dan dikirimkan
terpisah dalam format JPG (resolusi minimal 150 dpi dengan ukuran sebenarnya). Keterangan
pada tabel/grafik/gambar/bagan sedapat-dapatnya dituliskan dalam bahasa Indonesia.

PENGIRIMAN NASKAH
Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk softcopy / CD atau melalui e-mail ke alamat:

DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka disusun menurut aturan Vancouver. Rujukan diberi nomor urut sesuai
pemunculannya di dalam naskah. Jika penulis enam orang atau kurang, cantumkan semua;
bila tujuh atau lebih, tuliskan enam yang pertama dan tambahkan et al.
Kepustakaan maksimal berjumlah 20 buah, terbitan 10 tahun terakhir. Diupayakan lebih
banyak kepustakaan primer (dari jurnal, proporsi minimal 40%) dibanding kepustakaan
sekunder.

Redaksi CDK
Jl. Letjen Suprapto Kav. 4
Cempaka Putih, Jakarta 10510
E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id
Tlp: (62-21) 4208171 Fax: (62-21) 42873685
Seluruh pernyataan dalam naskah merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi berhak
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Naskah yang tidak diterbitkan
dikembalikan ke pengarang jika ada permintaan.

Contoh format penulisan kepustakaan sesuai aturan Vancouver:


JURNAL

Standar
1. Halpern SD, Ubel PA.Solid-organ transplantation in HIV-infected patients. N Engl J
Med. 2002;347:284-7.
2. Skalsky K, Yahav D, Bishara J, Pitlik S, Leibovici L, Paul M. Treatment of human
brucellosis: systematic review and meta-analysis of randomised controlled trials.
BMJ. 2008; 36(7646):701-4.
3. Rose ME, Huerbin MB, Melick J, Marion DW, Palmer AM, Schiding JK, et al. Regulation
of interstitial excitatory amino acid concentrations after cortical contusion injury.
Brain Res. 2002;935(1-2):40-6.

Organisasi sebagai Penulis


1. American Diabetes Association. Diabetes update. Nursing. 2003;Suppl:19-20, 24.
2. Parkinson Study Group. A randomized placebo-controlled trial of rasagiline in
levodopatreated patients with Parkinson disease and motor fluctuations: the
PRESTO study. Arch Neurol. 2005;62(2):241-8.

Tanpa Nama Penulis


Pelvic floor exercise can reduce stress incontinence. Health News. 2005;11(4):11.

Volume dengan Suplemen


Geraud G, Spierings EL, Keywood C. Tolerability and safety of frovatriptan with shortand long-term use for treatment of migraine and in comparison with sumatriptan.
Headache. 2002;42 Suppl 2:S93-9.

Edisi dengan Suplemen


Glauser TA. Integrating clinical trial data into clinical practice. Neurology. 2002;58(12
Suppl 7):S6-12.

Jurnal Elektronik
Sillick TJ, Schutte NS. Emotional intelligence and self-esteem mediate between
perceived early parental love and adult happiness. E-Jnl Appl Psych [serial on the
Internet]. 2006 [cited 2010 Aug 6];2(2):38-48. Available from: http://ojs.lib.swin.edu.au/
index.php/ejap/article/view/71/100.

884

Mengingat saat ini CDK sudah dapat diakses lewat internet (online), tentu naskah yang telah
diterbitkan akan dapat lebih mudah diunduh dan dimanfaatkan oleh kalangan yang lebih
luas.
Korespondensi selanjutnya akan dilakukan melalui e-mail. Untuk keperluan administrasi,
mohon disertakan juga curriculum vitae, no. Rek. Bank, dan (bila ada) no./alamat NPWP.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan


tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga tempat kerja si penulis.

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

Editorial
Akreditasi IDI

Artikel CME
Continuing
Medical
Education

887
Principles of Drug Use in
the Elderly

r*44/9r$%,WPMOPr%FTFNCFSrIUUQXXXLBMCFNFEDPN$%,BTQY

894

918

930

TINJAUAN PUSTAKA

BERITA TERKINI

TEKNIK

Pencitraan Diagnostik Fistula


Trakeoesofagus

Efek Pemberian PN Asam Amino


Mengandung Alanyl-Glutamine pada Bayi

Blok Saraf Perifer

Di edisi akhir tahun 2013 ini, CDK menyajikan artikel mengenai pentingnya memperhatikan
beberapa perubahan pada orang lanjut usia yang dapat memengaruhi kinerja obat, apalagi
umum diketahui bahwa orang lanjut usia sebagian besar memerlukan berbagai jenis obat untuk
mengatasi masalah kesehatan mereka. Penggunaan obat hendaknya tidak justru menambah
problem kesehatan mereka.
Artikel lain adalah mengenai problem penyakit ginjal pada anak, masalah yang harus dicermati
agar tidak menjadi kronis dan membawa beban kesehatan di usia dewasa, apalagi jika masalahnya
teoretis bisa dicegah, seperti yang dikaitkan dengan obesitas. Tersaji pula artikel mengenai sindrom
Tourette yang mungkin menarik bagi Sejawat yang berminat mengamati gangguan unik ini, yang
kendati sudah dikenal sejak zaman pertengahan, mekanismenya masih menjadi bahan penelitian
yang menarik.
Redaksi mengucapkan Selamat Tahun Baru 2014, dengan harapan bahwa tahun-tahun mendatang
membawa lebih banyak kesehatan dan kesejahteraan bagi kita semua.
Selamat menyongsong hari depan dengan semangat baru,
Redaksi

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

885

REDAKSI KEHORMATAN
Prof. dr. Abdul Muthalib, SpPD-KHOM

Prof. drg. Siti Wuryan A. Prayitno, SKM, MScD, PhD

Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Bagian Periodontologi, Fakultas Kedoteran Gigi Universitas Indonesia,

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto

Jakarta

Mangunkusumo, Jakarta

Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS


Prof. Dr. Dra. Arini Setiawati, SpFK

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,


Jakarta

Dr. dr. Abidin Widjanarko, SpPD-KHOM


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUP Kanker Dharmais,

Prof. dr. H. Azis Rani, SpPD, KGEH

Jakarta

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Dr. dr. med. Abraham Simatupang, M.Kes


Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen

Prof. Dr. dr. Charles Surjadi, MPH

Indonesia, Jakarta

Puslitkes Unika Atma Jaya

dr. Aucky Hinting, PhD, SpAnd


Prof. Dr. dr. Darwin Karyadi, SpGK

Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Dr.

Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat

Soetomo, Surabaya

Prof. dr. Djoko Widodo, SpPD-KPTI

dr. Hendro Susilo, SpS (K)

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/

Indonesia/RSUPN

RS Dr. Soetomo, Surabaya

Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Dr. dr. Ike Sri Redjeki, SpAn KIC, KMN, M.Kes


Prof. dr. Faisal Yunus, PhD, SpP (K)

Bagian Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas

Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas

Padjadjaran Bandung/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Kedokteran Universitas Indonesia/SMF Paru RS Persahabatan,


Jakarta

dr. Prijo Sidipratomo, SpRad (K)


Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN

Prof. Dr. dr. Ignatius Riwanto, SpB (K)

Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS Dr.


Kariadi, Semarang

dr. R.M. Nugroho Abikusno, M.Sc., DrPH


Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta

Prof. Dr. dr. Johan S. Masjhur, SpPD-KEMD, SpKN


Departemen Kedokteran Nuklir, Fakultas Kedokteran Universitas

dr. Tony Setiabudhi, SpKJ, PhD

Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Universitas Trisakti/Pusat Kajian Nasional Masalah Lanjut Usia,


Jakarta

Prof. dr. Rianto Setiabudy, SpFK


Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Dr. dr. Yoga Yuniadi, SpJP

Jakarta

Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia/Pusat Jantung Nasional Harapan

Prof. Dr. dr. Rully M. A. Roesli, SpPD-KGH

Kita, Jakarta

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas


Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP (K) FIHA


Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular

Prof. dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAI

Indonesia (PP PERKI), Jakarta

Sub Dept. Alergi-Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto

dr. Savitri Sayogo, SpGK

Mangunkusumo, Jakarta

Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/


RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. dr. Sarah S. Waraouw, SpA (K)


Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado

dr. Sudung O. Pardede, SpA (K)


Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas

Prof. Dr. dr. Sidartawan Soegondo, SpPD, KEMD, FACE

Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

886

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

HASIL PENELITIAN

Acute Kidney Injury in Critically Ill Children at


Pediatric Intensive Care Unit
Husein Albar
Department of Child Health, Faculty of Medicine, Hasanuddin University/
Wahidin Sudirohusodo Hospital, Makassar, South Sulawesi, Indonesia

ABSTRACT
Background: Recognition of acute kidney injury (AKI) requires use and selection of easily measured criteria that can be applied widely across
age groups and clinical situations. Modified pediatric RIFLE (pRIFLE) has been used for diagnosis and grading of AKI (acute kidney injury) in
children. Objective: To investigate AKI in children aged 1-14 years hospitalized at PICU (pediatric intensive care unit), Wahidin Sudirohusodo
Hospital, Makassar. Methods: A cross-sectional study was done based on medical records from 2009 until 2011. The records were screened
for demographic data, serum creatinine level and estimated creatinine clearance by Schwartz formula. AKI was grouped according to pRIFLE
formula. Results: There were 77 patients, 58.4% boys and 41.6% girls. Majority were above 5 year-old (76.6%), have increased serum creatinine
level (80.05%) and decreased eCC/estimated creatinine clearance (80.05%). Underlying diseases as the cause of AKI consists of AGN/acute
glomerulonephritis (41.6%), NS/nephrotic syndrome (9.1%), UTI/urinary tract infections (9.1%), and others (40.3%) including DSS (dengue shock
syndrome), dehydration due to diarrhea, and septic shock. pRIFLE-R was more frequent in patients above five years old (33.8%), in boys (27.3%),
well-nourished patients (13.0%), and in patients with increased creatinine serum level or decreased eCC (49.9%) compared to pRIFLE-I and
pRIFLE-F groups. No significant difference of pRIFLE grading in different groups of underlying diseases (p=0.126), age (p=0.075), sex (p=0.817),
and nutritional status (p=0.102). The difference of creatinine serum level and eCC was significant (p <0.001) among different pRIFLE grading.
Conclusion: Early diagnosis of AKI should be based on pRIFLE grading and adequate preventive measures should be instituted as early as
possible to reduce the morbidity and mortality rates at PICU.
Key words: children, acute kidney injury, pRIFLE

ABSTRAK
Latar belakang: Diagnosis gangguan ginjal akut memerlukan kriteria diagnostik yang mudah diterapkan pada semua kelompok umur pasien
dengan risiko gangguan ginjal akut (acute kidney injury, AKI). Modifikasi pRIFLE telah digunakan untuk diagnosis dan penentuan gangguan ginjal
akut pada anak. Tujuan: Mengevaluasi gangguan ginjal akut pada anak yang dirawat di Unit Rawat Intensif Anak RS Wahidin Sudirohusodo
Makassar. Metode: Telah dilakukan penelitian retrospektif potong-silang dari catatan medik pasien anak 1-14 tahun yang dirawat di RS Wahidin
Sudirohusodo Makassar periode 2009 - 2011. Analisis data demografi, kadar kreatinin serum dan estimasi kliren kreatinin dengan rumus
Schwartz dari catatan medik pasien. Gangguan ginjal akut dikelompokkan dalam derajat pRIFLE-R, pRIFLE-I, pRIFLE-F, pRIFLE-L, dan pRIFLE-E.
Hasil: Dari tujuh puluh tujuh pasien yang dianalisis didapatkan 58,4% laki-laki dan 41,6% perempuan. Rerata usia 8,483 tahun, dari usia 1
tahun 10 bulan 14 tahun. Kebanyakan pasien berusia di atas lima tahun (76,6%), status gizi kurang (53,2%), kadar kreatinin serum tinggi dan
estimasi bersihan kreatinin rendah (80,05%). Penyebab gangguan ginjal akut pada penelitian ini adalah glomerulonefritis akut (41,6%), sindrom
nefrotik (9,1%), infeksi saluran kemih (9,1%), dan penyakit lain (40,3%) meliputi demam berdarah renjatan, diare dehidrasi, dan renjatan septik.
pRIFLE-R lebih sering ditemukan pada pasien umur di atas lima tahun (33,8%), pada anak lelaki (27,3%), pasien gizi baik (13,0%), dan pasien
dengan kadar kreatinin serum tinggi dan estimasi bersihan kreatinin rendah (49,9%) dibandingkan dengan kelompok pRIFLE-I dan pRIFLE-F.
Tidak ditemukan perbedaan bermakna di antara derajat pRIFLE dan penyakit penyebab gangguan ginjal akut (p=0,126) dan di antara derajat
pRIFLE dan distribusi umur (p=0,075), jenis kelamin (p=0,817), dan status gizi (p=0,102). Perbedaan bermakna ditemukan di antara derajat
pRIFLE dan distribusi kadar kreatinin serum (p <0,001) dan estimasi bersihan kreatinin (p <0,001). Simpulan: Diagnosis dini gangguan ginjal
akut berdasarkan derajat pRIFLE seyogyanya dilakukan pada semua pasien di Unit Rawat Intensif Anak sehingga pencegahan adekuat dapat
segera diberikan untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas akibat gangguan ginjal akut. Husein Albar.Gangguan Ginjal Akut pada
Anak Sakit Kritis yang Dirawat di Unit Rawat Intensif.
Kata kunci: anak, gangguan ginjal akut, pRIFLE
INTRODUCTION
Acute renal failure (ARF) is defined as a rapid
decline in glomerular filtration rate (GFR),
Alamat korespondensi

890

resulting in disturbance of physiological


renal functions including impairment of
nitrogenous waste product excretion, loss of

water and electrolyte regulation and loss of


acid-base regulation. Although the incidence
of ARF varies with geographical localization

email: hexin_01@yahoo.com

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

HASIL PENELITIAN
defined according to the modifed pediatric
RIFLE (pRIFLE) and graded into pRIFLE-R
(risk for reduced kidney function) ,pRIFLE-I
(injury of kidney function), pRIFLE-F (failure
of kidney), pRIFLE-L(loss of kidney function),
and pRIFLE-E (End Stage Renal Disease).
pRIFLE-L and pRIFLE-E define the outcome of
AKI. pRIFLE grading uses estimated creatinine
clearance estimation (eCC) to assess renal
function based on Schwartz formulas (0.55 x
height (cm) / serum creatinine (mg/dL) in mL/
minute/1.73 m2)5,6 (Tabel 1).

Table 1 pRIFLE grading4-6

Baseline of normal eCC used in this study was


120 mL/min/1.73 m2.6 Underlying diseases
as the cause of AKI were grouped into
acute glomerulonephritis (AGN), nephrotic
syndrome (NS), urinary tract infection (UTI), and
others including any shock conditions such as
dengue shock syndrome (DSS), dehydration
caused by diarrhea, and any cause of septic
shock. Data were analyzed using SPSS v.15.00
(SPSS, Inc, Chicago). Pearson chi-square was
used to compare characteristic data and p
<0.05 was considered as significant.
and countries, it has been reported in 2-5%
of hospitalized children and in 4.5-30% of
children in pediatric intensive care units (
PICU). Mortality rates of 35 to 80% have been
reported in patients developing ARF.1-3 An
acute decline of kidney function is secondary
to tubular (or more extensive) injury that
leads to functional or structural damage in
the kidney. ARF actually includes a spectrum
of conditions, the term acute kidney injury
(AKI) has been recently proposed to reflect
the entire spectrum of the syndrome.4-6
The exact incidence and causes of AKI in
children is unknown; recent studies suggest
that incidence of AKI in hospitalized children
is increasing. Previous studies in Nigeria
and North India showed 11.7 and 20 AKI
cases admitted per year per 1000 pediatric
admissions, respectively7 and in New Zealand
children, 4.0 per 100 000 total population
under 15 year of age.8 No study reported
incidence of AKI in Indonesia.
This study retrospectively investigated AKI
in children hospitalized at PICU in Wahidin
Sudirohusodo Hospital, Makassar.
METHOD
This survey was a retrospective cross-sectional

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

study to investigate AKI in hospitalized children


at Wahidin Sudirohusodo Hospital Makassar.
Data were based on a review of standard
medical records of all patients aged 1-14 years
hospitalized at PICU of Wahidin Sudirohusodo
Hospital, Makassar from 2009 until 2011.
Study approval was obtained from the Ethical
Committee of Wahidin Sudirohusodo Hospital,
Makassar.

RESULTS
There were 77 patients enrolled in this study,
consisting of 58.4% boys and 41.6% girls
with a boy to girl ratio of 1.4:1. Mean age of
subjects was 8.483 years ranging from 1.10 to
13.50 years. Majority of subjects was above
5 years (76.6%) and undernourished (53.2%).
Increased serum creatinine level or decreased
eCC occured in 80.05 % cases (Table 2).

We enrolled all patients who had been


hospitalized at PICU of the hospital with
complete medical records. Patient records
were retrospectively analyzed for age, sex,
nutritional status, underlying diseases, whole
blood count, urinary analysis, duration of renal
failure, blood ureum, serum creatinine, and
estimated creatinine clearance (eCC). Systolic
and/or diastolic blood pressure levels equal
or greater than 95 percentile was defined
as hypertension whereas systolic blood
pressure <70 mmHg + 2 x Age(yr) defined
as hypotension.8 Patients with a history of
chronic renal failure and incomplete medical
records were excluded from the study. The
medical records were screened for creatinine
serum level and estimated GFR, and patients
with GFR of 75 ml/min/1.73 m2 or less were
selected for additional analysis. GFR was
assessed by Schwartz formula.9 AKI was

Tabel 2 Characteristics of subjects


Parameters
Age (mean: 8.483 [1.83 - 13.5])
< 5 yr
> 5 yr
Sex
Boy
Girl
Nutritional status
Well-nourished
Undernourished
Serum creatinine (mean: 1.553
[0.410-6.861])
Normal
High
eCC (mean: 40.920 [0.45-127.00])
Normal
Low

n (77) / (100%)
18/23.4%
59/76.6%
45/58.4%
32/41.6%
36/46.8%
41/53.2%

15/19.05 %
62/80.05 %
15/19.05 %
62/80.05 %

Table 3 shows that underlying diseases as the


cause of AKI consist of AGN (41.6%), NS (9.1%),
UTI ( 9.1%), or others (40.3%) including DSS,
dehydration due to diarrhea, and septic shock.

891

HASIL PENELITIAN
Table 3 Distribution of pRIFLE grading according to underlying diseases
pRIFLE

ETIOLOGY
AGN (n/%)

Normal
Risk

Total

NS (n/%)

UTI (n/%)

Others (n/%)

6/7.8%

1/1.3%

0/0.02%

8/10.4%

15/19.5%

18/23.4%

3/3.9%

5/6.5%

7/9.1%

33/42.9%

Injury

6/7.8%

3/3.9%

2/2.6%

10/13.0%

21/27.3%

Failure

2/2.6%

0/0.02%

0/0.02%

6/7.8%

8/10.4%

32/41.6%

7/9.1%

7/9.1%

31/40.3%

77/100.0%

Total

Table 4 shows no significant differences of


pRIFLE grading among distribution of age
(p=0.075), sex (p=0.817), and nutritional status
(p=0.102) but very significant difference
among different pRIFLE grading, creatinine
serum level (p <0.001) and eCC (p <0.001).

Pearson chi-square=13.896 df=9 p=0.126

20

10

ETIOLOGY
AGN

Count

NS
UTI

others
normal

There was no significant difference of pRIFLE


grading among different underlying diseases
(p=0.126). pRIFLE-R was more frequent in
patients aged under and above five years old
(9.1%/33.8%), in boys (27.3%), well-nourished
patients (13.0%), and patients with increased
creatinine serum level and decreased eCC
(49.9%) compared to those with pRIFLE-I and
pRIFLE-F (Table 4).

risk

injyury

failure

RIFLE
Figure 1 Histogram of pRIFLE according to underlying diseases
JUDUL SUMBU Y: Number of patients

DISCUSSION
AKI is defined as functional or structural
abnormalities or markers of kidney damage
including abnormalities in blood, urine or
tissue tests or imaging studies present for less
than three months. AKI is an abrupt or less
than 48 hours reduction in kidney function
confirmed by an absolute increase in serum
creatinine of either >0.3 mg/dL or a percentage
increase of 50% or reduction in urine output
or documented oliguria of <0.5 mL/kg/hr
for >6 hr. The heterogenous cause of AKI has
been associated with increased morbidity and
mortality by increasing dialysis need as well as
further subsequent development of chronic
kidney disease and its progression to dialysis
dependency.3 Recognition of AKI requires
selection and use of easily measured criteria
that can be applied widely, across age groups
and clinical situations. Modified pRIFLE has
been used for diagnosis and grading of AKI in
children.4-6

JUDUL SUMBU X: RIFLE category (ada ralat juga: injyury injury)


Table 4 Distribution of age, sex, nutritional status, creatinine serum and eCC of subjects according to pRIFLE grading
RIFLE

Parameters
Normal

Risk

Injury

Failure

<5 yr

7/9.1%

7/9.1%

2/2.6%

2/2.6%

>5 yr

8/10.4%

26/33.8%

19/24.7%

6/7.8%

Sex

Boy

9/11.7%

21/27.3%

11/14.3%

4/5.2%

Girl

6/7.8%

12/15.6%

10/13.0%

4/5.2%

Nutrition

Wellnourished

7/9.1%

10/13.0%

13/16.9%

6/7.8%

8/10.4%

Age

Undernourished
Serum creatinine Normal
High
eCC

Normal
Low

892

23/29.9%

8/10.4%

2/2.6%

15/19.5%

0/.0%

0/.0%

0/.0%

0/.0%

33/42.9%

21/27.3%

8/10.4%

15/19.5%

0/.0%

0/.0%

0/.0%

0/.0%

33/42.9%

21/27.3%

8/10.4%

Total

.075

18/23.4%

.817

45/58.4%

.102

36/46.8%

59/76.6%

32/41.6%

41/53.2%
.0001

15/19.5%

.0001

15/19.5%

62/80.5%

62/80.5%

The reported incidences of AKI in children and


adolescents hospitalized at PICU ranged from
8% to 30%.10 The present study found that
pRIFLE-R, pRIFLE-I, and pRIFLE-F in children
hospitalized at PICU in Wahidin Sudirohusodo
Makassar was 49.9%, 27.3%, and 10.4%,
respectively. This result is similiar to other
studies.
The common cause of childhood AKI reported
in New Zealand was post cardiac surgery
(58%), HUS (17%), sepsis (13%), and AGN (4%).8
In Houston Texas, the cause of AKI in children
were renal ischemia (21%), nephrotoxic
agents (16%), sepsis (11%), and primary renal
disease (7%).10 The present study showed that

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

HASIL PENELITIAN
the cause of AKI in children was AGN (41.6%),
NS (9.1%), UTI (9.1%), and others (40.3%)
including any shock conditions such as
dengue shock syndrome (DSS), dehydration
caused by diarrhea, and any cause of septic
shock. This result was similar to a study from
Anatolia, Turkey that AGN caused more than
60% of AKI in children.7
A limitation of this study is that data analysis

based on a retropective and cross-sectional


design. A prospective cohort study should
be done further to confirm the results from
this study. Early diagnosis of AKI in all children
hospitalized at PICU should be established
based on the pRIFLE criteria using Schwartz
formula. Since children hospitalized in PICU
are at high risk of AKI, early diagnosis and
adequate preventive measures should be
instituted as early as possible to decrease

the need for RRT (renal replacement therapy)


and subsequently to reduce morbidity and
mortality rates.
CONCLUSION
Early diagnosis of AKI should be based on
pRIFLE grading and adequate preventive
measures should be instituted as early as
possible to reduce the morbidity and mortality
rates at PICU.

REFERENCES
1.

Siegel NJ, Van WSK, Devarajan P. Pathogenesis of acute renal failure. In: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, editors. Pediatric nephrology. 5th ed. Philadelphia, Lippincott Williams
& Wilkins; 2004. p. 1225-51.

2.
3.

Moghal NE, Brocklebank JT, Maedow RS. A review of acute renal failure in children: Incidence, etiology and outcome. Clin Nephrol. 1998;49:91-5.
Ozakar ZB, Yalinkaya F, Altas B, Ergn H, Kendirli T, Ate C, et al. Application of the new classification criteria of the acute kidney injury network: A pilot study in a pediatric population.
Pediatr Nephrol. 2009;24:1379-84.

4.

Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, Molitoris BA, Ronco C, Warnock DG, et al. Acute kidney injury network: Report of an initiative to improve outcomes in acute kidney injury. Critical Care.
2007;23:2147-9.

5.

Mak RH. Acute kidney injury in children: The dawn of a new era. Pediatr Nephrol. 2008;23:2147-9.

6.

Zappitelli M, Parikh CR, Akcan-Arikan A, Washburn KK, Moffett BS, Goldstein SL. Ascertainment and epidemiology of acute kidney injury varies with definition interpretation. Clin J Am Soc
Nephrol. 2008;3:948-54.

7.

Cerda J, Lameire N, Eggers P, Pannu N, Uchino S, Wang H, et al. Epidemiology of acute kidney injury. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3:881-6.

8.

Ball EF, Kara T. Epidemiology and outcomes of acute kidney injury in New Zealand children. J Paediatrics and Child Health. 2008;44:11:642-6.

9.

Schwartz GJ, Haycock GB, Edelmann CM. A simple estimate of glomerular filtration rate in children derived from body length and plasma creatinine. Pediatrics. 1976;58:259-63.

10. Patzer L. Nephrotoxicity as a cause of acute kidney injury in children. Pediatr Nephrol. 2008;23:2159-73.

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

893

TINJAUAN PUSTAKA

Pencitraan Diagnostik Fistula Trakeoesofagus


Rizal
Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah Umum,
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Umum Daerah dr. Soetomo, Surabaya, Indonesia

ABSTRAK
Fistula trakeoesofagus adalah saluran abnormal yang menghubungkan trakea dan esofagus, dapat terbentuk karena bawaan atau diperoleh.
Fistula trakeoesofagus sering menyebabkan komplikasi paru yang parah dan fatal. Langkah diagnostik pertama pada fistula trakeoesofagus
adalah foto polos toraks frontal dan lateral. Bronkoskopi dapat menunjukkan anomali percabangan trakeobronkial dan melokalisir lubang distal
fistula sebelum operasi korektif, namun memiliki keterbatasan pada neonatus. Esofagografi dengan kontras barium konvensional dianggap
tes paling sensitif. CT 3 dimensi dan MRI menjadi alat pemeriksaan klinis yang populer karena kemajuan teknologi. Pencitraan permukaan tiga
dimensi dan bronkoskopi maya adalah teknik non-invasif yang menyediakan tampilan 3 dimensi realistis cabang trakeobronkial, tetapi masih
terbatas pada pasien anak-anak. Visualisasi fistula trakeoesofagus diharapkan dapat dibuat melalui pencitraan diagnostik dan memberikan
informasi penting untuk perencanaan operasi.
Kata kunci: fistula trakeoesofagus, pencitraan diagnostik, esofagografi

ABSTRACT
Tracheoesophageal fistula is an abnormal connection between trachea and esophagus, which can be hereditary or acquired. This condition
may caused fatal pulmonary complications. Diagnostic procedures consist of plain AP and lateral chest X ray. Bronchoscopy may reveal
tracheobronchial trunk anomaly and localize the fistula prior to corrective procedure, but may be difficult in neonates. Esophagography with
barium contrast is considered to be most sensitive test. Three dimensional CT and MRI may become popular. Three-dimensional imaging
and virtual bronchoscopy is a non-invasive technique that may provide important information for corrective procedures. Rizal. Diagnostic
Imaging for Tracheoesophageal Fistula.
Key words: tracheoesophageal fistula, diagnostic imaging, esophagography

PENDAHULUAN
Fistula trakeoesofagus adalah saluran
abnormal yang menghubungkan trakea dan
esofagus, dapat terbentuk karena bawaan atau
diperoleh (Gambar 1). Fistula trakeoesofagus
sering menyebabkan komplikasi paru yang
parah dan fatal. Pasien biasanya datang
karena tidak mampu menelan makanan dan
air liur serta adanya gangguan pernapasan
akibat aspirasi. Sejarah pertama kali
mencatat kasus fistula trakeoesofagus pada
tahun 1697, saat Thomas Gibson melaporkan
kasus bayi dengan atresia esofagus dan
trakeoesofagus. Cameron Height sukses
melakukan reparasi fistula trakeoesofagus di
tahun 1941. Kemajuan teknik bedah dalam
beberapa dekade terakhir berimbas pada
tingkat kelangsungan hidup hampir 100%
untuk bayi dengan anomali kongenital ini.1
Melalui pencitraan diagnostik, anatomi
fistula trakeoesofagus seyogyanya dapat
divisualisasi untuk memberi informasi bagi
Alamat korespondensi

894

rencana operasi, karena pendekatan bedah


tergantung pada evaluasi yang tepat.2

Gambar 1 Atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus

EPIDEMIOLOGI
Fistula trakeoesofagus merupakan malformasi
yang paling sering mengancam jiwa dengan
insidens satu dari 3.000-4.500 kelahiran hidup.3
Etiologi sebagian besar kasus tidak diketahui,
sebagian bersamaan dengan anomali lain yang
terkait, tersering malformasi kardiak; keadaan
ini dapat bagian dari sindrom VACTERL
(Vertebral defects, Anal atresia, Cardiac defects,
tracheoesophageal fistula, renal malformations,
and limb defects). Fistula trakeoesofagus
dapat terjadi tanpa malformasi penyerta
(nonsyndromic oesophageal atresia). Kelahiran
bayi dengan fistula trakeoesofagus tanpa
riwayat yang sama sebelumnya berkaitan
dengan risiko rekurensi rendah, sebesar 1%.4.
Kromosom trisomi 18 dan 21 merupakan
faktor risiko yang signifikan.
VARIAN ANATOMI
Salah satu klasifikasi anatomi yang diusulkan
oleh Gross berasal dari pengamatan terhadap
2200 kasus (gambar 2).5 Terdapat klasifikasi

email: stevani.novita@gmail.com

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA
melalui janin. Dapat ditemukan gambaran
tidak ada cairan dalam gaster (10-40%); gaster
ukuran kecil dan lebih rendah dari perkiraan
berat badan janin (40%) atau didapatkan
sekresi yang dapat menvisualisasikan gaster
janin (gambar 3). Meskipun pada umumnya
polihidramnion terlihat dengan kondisi ini,
fistula trakeoesofagus hanya mewakili 3%
penyebab polihidramnion.13 Diagnosis atresia
esofagus dapat diduga dari visualisasi bagian
proksimal kantong esofagus yang melebar
saat silih ganti antara fase pengosongan dan
pengisian (gambar 4). 12
Gambar 2 Klasifikasi anomali anatomis esofagus dan trakea5

lain yang sangat rinci dengan memasukkan


varian anatomi lain yang jarang seperti atresia
membran, fistula oesophago-bronchial, dan
duplikasi esofagus.
Lima jenis fistula trakeoesofagus berdasarkan
karakteristik anatomi esofagus dan trakea: Tipe
I, merupakan atresia esofagus tanpa fistula;
tipe II, tidak ada atresia dan komunikasi antara
trakea dan esofagus (fistula jenis-H); tipe IIIA,
memiliki atresia esofagus dan ada komunikasi
antara bagian atas esofagus dengan trakea;
tipe IIIB (Tipe C dalam sistem klasifikasi Bruto),
atresia esofagus dengan kantong buntu
bagian atas dan segmen bawah berkomunikasi
dengan trakeabentuk ini yang paling umum;
tipe IIIC, memiliki atresia dengan segmen atas
dan bawah berkomunikasi dengan trakea.6
ETIOLOGI
Fistula trakeoesofagus pada anak-anak hampir
selalu bawaan,7 kadang-kadang ditemukan
pada dewasa8; umumnya disebabkan
neoplasia ganas, terutama esofagus. Infeksi
dan trauma adalah penyebab nonmaligna
paling sering. Etiologi fistula trakeoesofagus
disajikan pada tabel 1.

Diagnosis antenatal akan mencegah


pemberian makan atau minum yang tidak
hati-hati dan pneumonitis akibat aspirasi
paru.14,15

DIAGNOSIS
Diagnosis Prenatal
Diagnosis prenatal sering sulit karena
sebagian wanita hanya menjalani satu kali
skrining USG kandungan, biasanya pada usia
kehamilan 18 minggu. Kehamilan kembar dan
adanya riwayat keluarga bisa sebagai tanda
peringatan, terlebih jika ada anomali yang
terkait, kemungkinan kejadian kasus fistula
trakeoesofagus ini mencapai 50%.10,11

Diagnosis Postnatal
Hampir
91%
bayi
dengan
fistula
trakeoesofagus tidak dapat didiagnosis saat
antenatal16 Fistula trakeoesofagus harus
dicurigai jika bayi baru lahir mengalami
kesulitan menelan air liur, episode batuk
dan tersedak berulang, atau sianosis
sementara segera setelah lahir. Atau, bayi
tiba-tiba mengalami gangguan pernapasan
sehabis menyusui. Gagalnya insersi selang
nasogastrik ukuran 10 F sejauh 10 cm dari bibir
menunjukkan adanya resistensi di esofagus
bagian atas (gambar 5).17 Penggunaan
selang tipis yang dapat terpelintir sebaiknya
dihindari, selain itu perlu diwaspadai risiko
perforasi esofagus, khususnya pada neonatus
prematur.18

Polihidramnion dan kesulitan memvisualisasi


gaster janin secara konsisten selama
pemeriksaan prenatal dapat memberikan
kesan atresia esofagus dengan fistula
trakeoesofagus.12 Fistula trakeoesofagus dan
anomali terkait biasanya tidak jelas hingga
setidaknya sampai umur kehamilan 24
minggu; kelainan yang ditemukan, termasuk
polihidramnion (33-66%), berhubungan
dengan obstruksi aliran cairan amnion

Tabel 1 Etiologi Fistula Trakeoesofagus9

Kongenital
Neoplasma
Karsinoma esofagus atau trakea
Limfoma
Trauma
Tertutup pada dada
Tembus
Pascaendoskopi atau pascaoperasi
Intubasi endotrakeal
Esofagitis korosif
Korpus alienum esofagus
Pascaradiasi
Infeksi
Histoplasmosis
Aktinomikosis
Tuberkulosis

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

Gambar 3 Gambaran USG abdomen pada perempuan 26

Gambar 4 Penampang koronal leher fetus

tahun gravida dengan usia gestasi 30 minggu

menunjukkan bagian proksimal kantong esofagus yang melebar saat fase penuh

a.

Penampang transversal abdomen fetus menunjukkan

gaster terisi penuh cairan.


b.

Penampang koronal menunjukkan bayangan kabur

esofagus saat fase kosong.

895

TINJAUAN PUSTAKA
tanpa fistula esofagus atau atresia esofagus
dengan fistula trakeoesofagus proksimal.
Gambaran gas dalam usus dapat terlihat
pada 90% kasus (atresia esofagus dengan
fistula trakeoesofagus distal 82%, atresia
esofagus dengan fistula trakeoesofagus
distal dan proksimal 2%, dan atresia esofagus
dengan fistula trakeoesofagus distal tanpa
atresia esofagus 6%). Aspirasi pneumonia
tidak jarang terjadi di lobus paru atas, terkait
langsung baik karena fistula trakeoesofagus
ataupun karena peristaltik abnormal segmen
esofagus yang lebih rendah dengan refluks
gastroesofageal.19

Gambar 5 Kegagalan insersi pipa nasogastric pada fistula


trakeoesofagus

JENIS PENCITRAAN DIAGNOSTIK


Foto polos
Foto polos toraks dan abdomen bisa
menunjukkan selang nasogastrik yang
melingkar di kantong atas esofagus (gambar
6). Jika atresia esofagus berkaitan dengan
fistula trakeoesofagus, akan tampak usus
dan gaster yang terisi udara di bagian bawah
diafragma. Kadang, selang nasogastrik dapat
menggulung di dalam esofagus proksimal.
Pada atresia esofagus tersendiri, gambaran
foto usus dapat tanpa gas.21

Gambar 6 Lekukan selang nasogastrik di esofagus bagian


atas dan gelembung udara gaster mengonfirmasi fistula
trakeoesofagus

Pada foto polos, penandanya ialah pipa


nasogastrik yang melingkar dalam kantong
retrotrakeal yang berisi udara. Kantong
tersebut dapat menyebabkan kompresi
dan deviasi trakea. Gambaran abdomen
tanpa gas menunjukkan atresia esofagus

896

meglumine diatrizoate, tidak boleh digunakan


untuk mendiagnosis fistula karena jika
teraspirasi ke dalam paru, akan menyebabkan
pneumonitis kimia, kadang disertai dengan
edema paru berat.22
Menelan barium dimungkinkan jika pasien
mampu duduk atau berdiri. Kontras akan
menunjukkan lesi pada 70% kasus.23 Situs,
lebar, panjang dan arah fistula trakeoesofagus
dapat diidentifikasi (Gambar 7).

Foto polos toraks frontal dan lateral dapat


memperkirakan panjang kantong dengan
menunjukkan kateter atau pipa nasogastrik
yang dimasukkan ke dalam esofagus.
Kelemahan utama modalitas radiografi ini
adalah tidak mampu menunjukkan distal
esofagus pada kebanyakan kasus. Beberapa
peneliti merekomendasi gabungan dengan
pemeriksaan endoskopi untuk memeriksa
distal esofagus,20 namun teknik ini bersifat
invasif dengan resolusi rendah terutama pada
bronchoskopi kaku.21
Foto Kontras
Foto dengan kontras dapat dilakukan dengan
melewatkan kateter nomor 8 F melalui hidung
ke level atresia yang ditunjukkan dengan
opasitas kontras untuk mengkonfirmasi
atresia esofagus dan fistula tracheoesfogeal
proksimal, dan dapat membantu menentukan
sisi lengkung aorta terkena. Hanya diperlukan
1 sampai 2 mL larutan barium. Pemeriksaan
dilakukan pada posisi lateral dekubitus
dengan kepala sedikit lebih tinggi. Posisi ini
memungkinkan untuk melihat dasar kantong
dan lokasi ventral fistula.
Dugaan fistula trakeoesofagus tanpa atresia
esofagus pada bayi sebaiknya diperiksa
dengan level kepala sedikit rendah. Posisi
prone dengan kepala lebih rendah dibutuhkan
untuk melihat jalannya saluran tersebut pada
varian fistula jenis H. Komplikasi dapat terjadi
selama pemeriksaan dan setelah koreksi
bedah. Bahan kontras kadang teraspirasi
ke dalam paru. Barium bersifat inert tetapi
dapat menghasilkan gambaran opasitas
berkepanjangan dalam parenkim paru. Jika
barium teraspirasi bersama isi lambung dapat
mengakibatkan pneumonia aspirasi. Media
kontras hipertonik yang larut dalam air, seperti

Gambar 7 Kontras barium menunjukkan esofagus yang


melebar dan fistula trakeoesofagus dengan gambaran
kontras yang dihasilkan dari trakea dan cabang bronkial

Endoskopi
Endoskopi adalah metode diagnostik terbaik,
baik untuk pasien sadar maupun tersedasi.
Esophagoskopi dapat mendiagnosis fistula
(gambar 8) dan tumor, sekaligus untuk
biopsi. Fistula trakeoesofagus berukuran
kecil mungkin dapat tertutup dalam lipatan
esofagus, penggunaan metilen biru dapat
membantu menunjukkan lokasi tepat fistula.
Pada bronchoskopi, juga dapat dilakukan
broncho-alveolar lavage dan penggunaan
antibiotik sebagai terapi target, terbukti
menunjukkan hasil lebih baik.24
Computed Tomography (CT) Scan
Banyak
metode
diagnostik
invasif
telah digunakan dan secara tradisional
bronchoskopi merupakan referensi standar.

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA
Namun, beberapa modalitas diagnostik tidak
sepenuhnya dapat diandalkan.25 Kateterisasi
pada fistula trakeoesofagus tipe H memiliki
kelemahan karena invasif namun tingkat
komplikasinya rendah.26 CT scan beresolusi
tinggi merupakan modalitas non-invasif
alternatif dalam situasi klinis. Berbeda dari
bronchoskopi konvensional atau kateterisasi,
CT scan tidak memerlukan anestesi umum.27

Gambar

Gambaran

bronchoskopi

pada

trakeoesofagus besar (F = fistula)

fistula

Peningkatan resolusi spasial dan temporal


scanner generasi baru meningkatkan kualitas
hasil, sehingga memudahkan penilaian lesi
kecil seperti fistula trakeoesofagus.28 Aspek
teknik tertentu memungkinkan visualisasi
fistula tersebut, seperti pemaparan udara ke

Gambar 9 CT toraks dengan 64 irisan


A dan B: Bagian aksial dan koronal toraks menunjukkan fistula (panah), perhatikan distensi esofagus karena berhubungan
dengan insuflasi udara sehingga memperjelas fistula

trakea atau ke esofagus selama pemeriksaan.


Manuver tersebut bertujuan mengoptimalkan
visualisasi fistula yang dapat tertutup
seluruhnya atau sebagian oleh flap mukosa
(gambar 9).
Pemeriksaan CT dengan 64 irisan pada bayi
dengan dugaan fistula trakeoesofagus tipe
H mencakup 2 tujuan, selain konfirmasi
diagnosis, juga untuk akurasi lokalisasi
topografi lesi fistula yang penting karena
mempengaruhi pendekatan bedah. Operasi
dapat dengan insisi kecil di sisi kanan toraks
yang dipandu dengan hasil CT.29
CT heliks dapat merekonstruksi 3 dimensi
cabang tracheobronchial (gambar 10),
tetapi laporan pada neonatus dan anak-anak
masih terbatas.30 Ukuran kecil jalan napas
memberikan gambaran resolusi yang lemah,
tetapi dapat dikompensasi dengan memilih
bidang pandang yang kecil.28
Saat rekonstruksi bronchoskopi maya, gerakan
jantung dan saluran pernafasan menghasilkan
artefak di dinding saluran nafas.30 Artefak
ini tidak menjadi perhatian khusus karena
tidak mengganggu visualisasi lubang fistula.
Perbaikan kualitas gambar potongan koronal
dan sagital dapat membantu mengidentifikasi
artefak tersebut.

C: Bronchoskopi maya menunjukkan fistula di dinding posterolateral kanan trakea (panah)

Tempat masuk fistula letak rendah ke cabang


tracheobronchial sangat bervariasi, situs
yang paling umum adalah 0,5-1 cm di atas
carina.31 Meskipun jumlah pasiennya terbatas,
CT mungkin memiliki peran diagnostik
pelengkap pada atresia esofagus dan
fistula trakeoesofagus bawaan. Gambaran
permukaan CT scan 3 dimensi dapat
memperjelas fitur anomali anatomi yang
kompleks bagi dokter bedah, memungkinkan
orientasi yang lebih baik sebelum operasi.28

Gambar 10 Neonatus perempuan preterm usia 4 hari dengan kesulitan menelan


A Gambaran permukaan anteroinferior 3 dimensi menunjukkan bagian proksimal atresia esofagus (panah hitam) dan
segmen distal timbul dari karina (panah putih)
B Gambaran eksternal posterior trakea yang menunjukkan lesi fistula esofagus distal pada dinding posterior carina
C Gambar bronchoscopic maya dari carina yang menunjukkan lubang fistula (panah tebal) dari orificium posterior bronkus
principalis (panah tipis)

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI saat prenatal memungkinkan visualisasi
seluruh lesi dan hubungan anatominya
(gambar 11) . MRI fetus terbukti akurat
menetapkan
atau
mengesampingkan
diagnosis prenatal atresia esofagus dengan
atau tanpa fistula trakeoesofagus pada
bayi berisiko tinggi berdasarkan temuan
ultrasonografi. Namun MRI fetus tidak akurat
pada kasus polyhydramnion. Penilaian MRI
antenatal masih terbatas dengan tingkat
positif palsu hingga 64%.32

897

TINJAUAN PUSTAKA
dengan hasil yang tidak lebih informatif dari
foto polos; jika ragu-ragu dapat dilakukan
esophagografi menggunakan kontras water
soluble (gastrografin, lipiodol) yang volumeya
disesuaikan dengan esofagus proksimal dan
harus tersedia alat hisap yang adekuat.34

Gambar 11 Citra T2 MRI axial dan sagittal tertimbang menunjukkan fistula antara trakea dan esofagus (panah)
Tabel 2 Data Pasien Fistula Trakeoesofagus Di RSUD dr. Soetomo Surabaya tahun 2008 - 2013

KASUS
Di RS Umum Daerah dr. Soetomo Surabaya,
antara Maret tahun 2008 hingga Februari
2013, dijumpai 61 kasus fistula trakeoesofagus
dengan karakteristik usia antara 0 hari hingga
42 tahun, laki-laki 33 pasien, dan perempuan
28 pasien (tabel 2).33
Prosedur diagnostik di divisi Bedah Anak
pada kecurigaan atresia esofagus dengan
atau tanpa fistula trakeoesofagus adalah
pemasangan pipa nasogastrik radioopak
ukuran 8F (untuk bayi peterm) atau 10F
(aterm) melalui hidung menuju lambung.
Pada penderita atresia esofagus pipa

tersebut akan berhenti setelah masuk 1012 cm, sedangkan panjang cardia lambung
pada bayi normal sekitar 17 cm dari ujung
mulut. Kemudian dilakukan pemeriksaan
foto polos tampak leher, toraks, dan
abdomen untuk mengonfirmasi posisi pipa
nasogastrik. Pada penderita atresia esofagus,
udara dalam lambung menunjukkan adanya
fistula di distal dan adanya udara dalam usus
menyingkirkan diagnosis atresia duodenum.
Foto toraks juga memberikan informasi
bayangan jantung, lokasi arcus aorta,
anomali vertebrae atau tulang iga serta
adanya infiltrat paru. Foto dengan kontras
kurang dianjurkan karena bahaya aspirasi dan

SIMPULAN
Langkah diagnostik pertama pada pasien
dengan gejala fistula trakeoesofagus adalah
foto polos toraks frontal dan lateral. Studi
radiografi dengan kontras dapat digunakan
untuk mencari fistula bagian proksimal,
tetapi dengan risiko aspirasi paru.28 Beberapa
peneliti merekomendasikan bronchoskopi
untuk menunjukkan anomali percabangan
trakeobronkial dan melokalisir lubang distal
fistula sebelum operasi korektif.35 Namun,
prosedur bronchoskopi pada neonatus
memiliki
keterbatasan;
bronchoskopi
fleksibel berhubungan dengan masalah
ventilasi karena batasan waktu 30-45 detik,
sedangkan bronchoskopi kaku memerlukan
anestesi umum. Baik bronchoskopi fleksibel
maupun kaku dapat menyebabkan beberapa
komplikasi termasuk hipoksia, laringospasme,
pneumotoraks, edema dan perdarahan
saluran napas.21,36 Esofagografi dengan
kontras barium konvensional dianggap tes
paling sensitif untuk mendiagnosis fistula
trakeo- atau bronkoesofageal. CT 3 dimensi
dan MRI dapat menampilkan berbagai organ
dan struktur, baru-baru ini menjadi alat
pemeriksaan klinis yang populer dengan
perbaikan kualitas gambar karena kemajuan
pesat teknologi komputer.37 Di sisi lain,
pencitraan permukaan tiga dimensi dan
bronkoskopi maya yang dikembangkan
baru-baru ini adalah teknik non-invasif
yang menyediakan tampilan 3 dimensi
realistis cabang trakeobronkial.30 Pencitraan
3 dimensi untuk sistem trakeobronkial telah
berkembang baik pada orang dewasa,
tetapi masih terbatas pada pasien anakanak. Visualisasi fistula tracheoesphagus
diharapkan dengan mudah dapat dibuat
melalui perkembangan pencitraan diagnostik
dan memberikan informasi penting untuk
perencanaan operasi.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Medscape Reference. Tracheoesophageal Fistula. [cited 2012]. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/186735-overview.

2.

Nagata K, Kamio Y, Ichikawa T, et al. Congenital tracheoesophageal fistula successfully diagnosed by CT esophagography. World J Gastroenterol 2006 March 7; 12(9):1476-8.

3.

Guiney EJ. Oesophageal atresia and tracheo-oesophageal fistula. In: Puri P, ed. Newborn surgery, 1st ed. Oxford, United Kingdom: Butterworth-Heinemann, 1996: 22737.

4.

Harper PS. Practical genetic counselling, 6th ed. London: Arnold, 2004.

898

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA
5.

Gross RE. Surgery of infancy and childhood. Philadelphia, PA: WB Saunders, 1953.

6.

Kumra VP: Anaesthetic considerations for specialized surgeries peculiar to paediatric age group. Indian J Anaesth; 2004, 48(5):376-86.

7.

Landing BH, Dixon LG: Congenital malformations and genetic disorders of the respiratory tract (larynx, trachea, bronchi, and lungs). Am Rev Respir Dis 1979; 120:151-85.

8.

Zacharias J, Genc O, Goldstraw P: Congenital tracheoesophageal fistulas presenting in adults: presentation of two cases and a synopsis of the literature. J Thorac Cardiovasc
Surg 2004; 128:316-8.

9.

Expert consult. Tracheoesophageal Fistula from Imaging of Diseases of the Chest. [cited 2012]. Available from URL: http://www.expertconsultbook.com/expertconsult/ob/book.do.

10. Houben CH, Curry JI. Current status of prenatal diagnosis, operative management and outcome of esophageal atresia/tracheo-esophageal fistula. Prenat Diagn 2008;28:66775.
11. Goyal A, Jones MO, Couriel JM, Losty PD. Oesophageal atresia and tracheooesophageal fistula. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2006;91:F3814.
12. Vijayaraghavan SB. Antenatal Diagnosis of Esophageal Atresia with Tracheoesophageal Fistula. J Ultrasound Med 15: 417-419,1996.
13. Dahnert W Radiology review manual. 2nd ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1993: 507-8,540-1.
14. Al-Rawi O, Booker PD: Oesophageal Atresia and Tracheo-Oesophageal Fistula. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain 2007; 7:1.
15. Romero R, Pilu G, Jeanty P, et al: Prenatal Diagnosis of Congenital Anomalies. Norwalk, CT, Appleton & Lange, 1988 p 234.
16. Holland AJA, Fitzgerald DA. Oesophageal atresia and tracheo-oesophageal fistula: current management strategies and complications. Paediatric Respiratory Reviews 11 (2010) 1007.
17. Houben CH, Curry JI. Current status of prenatal diagnosis, operative management and outcome of esophageal atresia/tracheo-esophageal fistula. Prenat Diagn 2008;28:66775.
18. Gopal M, Woodward M. Potential hazards of contrast study diagnosis of esophageal atresia. J Pediatr Surg 2007;42:E910.
19. Dahnert W: Radiology review manual. 2nd ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1993: 507-8,540-1.
20. Caffarena PE, Mattioli G, Bisio G, Martucciello G, Ivani G, Jasonni V. Long-gap esophageal atresia: a combined endoscopic and radiologic evaluation. Eur J Pediatr Surg 1994;4:679.
21. Nagaraj HS. Bronchoscopy in newborns. In: Puri P, ed. Newborn surgery, 1st ed. Oxford, United Kingdom: Butterworth-Heinemann, 1996:2213.
22. McLennan MK, Margolis M: Radiology rounds. Canadian Family Physician 1995; 41575-84.
23. Couraud L, Ballester ML, Delaisement C. Acquired tracheoesophageal fistula and its management. Semin Thorac Cardiovasc Surg 1998; 8: 3929.
24. Couraud L, Ballester ML, Delaisement C. Acquired tracheoesophageal fistula and its management. Semin Thorac Cardiovasc Surg 1998; 8: 3929.
25. Ng J, Antao B, Bartram J, Raghavan A, Shawis R. Diagnostic difficulties in the management of H-type tracheoesophageal fistula. Acta Radiol. 2006;47:801-5.
26. Blanco-Rodriguez G, Penchyna-Grub J, Trujillo-Ponce A, Nava-Ocampo AA. Preoperative catheterization of H-type tracheoesophageal fistula to facilitate its localization and surgical
correction. Eur J Pediatr Surg. 2006;16:14-7.
27. Ou P, Seror E, Layouss W. Definitive diagnosis and surgical planning of H-type tracheoesophageal fistula in a critically ill neonate: First experience using air distension of the esophagus
during high-resolution computed tomography acquisition. J Thorac Cardiovasc Surg 2007;133:1116-7.
28. Fitoz S, Atasoy C, Yagmurlu A, Akyar S, Erden A, Dindar H. Threedimensional CT of congenital esophageal atresia and distal tracheoesophageal fistula in neonates: preliminary results. AJR
Am J Roentgenol. 2000;175:1403-7.
29. Crabbe DC. Isolated tracheo-oesophageal fistula. Paediatr Respir Rev. 2003;4:74-8.
30. Konen E, Katz M, Rozenman J, Ben-Shlush A, Itzchak Y, Szeinberg A. Virtual bronchoscopy in children: early clinical experience. AJR 1998;171:1699702.
31. Cudmore RE. Oesophageal atresia and tracheooesophageal fistula. In: Lister J, Irving IM, eds. Neonatal surgery, 3rd ed. London: Butterworths, 1990:23159.
32. Levine D. Magnetic resonance imaging in prenatal diagnosis. Curr Opin Pediatr 2001;13:5728.
33. Laporan Mingguan jaga II: Data Diagnosa Pasien Fistula Trakeoesofagus Bagian - SMF Ilmu Bedah (umum) FKU Unair [computer program]. Surabaya: Terkomputerisasi di bagian Rekam
Medis.
34. Poerwadi. Pedoman Diagnosis dan Terapi: Atresia Esophagus dan Fistula Tracheoesophageal. 2nd ed. Surabaya: Airlangga University Press; 2010. p.3-6.
35. Usui N, Kamata S, Ishikawa S, et al. Anomalies of the tracheobronchial tree in patients with esophageal atresia. J Pediatr Surg 1996;31:25862.
36. Slonim AD, Ognibene FP. Amnestic agents in pediatric bronchoscopy. Chest 1999;116:18028.
37. Kim JH, Park KH, Sung SW, Rho JR. Congenital bronchoesophageal fistulas in adult patients. Ann Thorac Surg 1995; 60: 151-5.

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

899

TINJAUAN PUSTAKA

Fenomenologi Sindrom Tourette


Dito Anurogo
Brain and Circulation Institute of Indonesia,
Surya University, Serpong, Tangerang, Banten, Indonesia

ABSTRAK
Sindrom Tourette (Tourette's syndrome, TS) adalah gangguan psychoneurogenobehavioral pada anak yang ditandai tik vokal dan motorik multipel.
Artikel ini membahas berbagai aspek TS, meliputi: sejarah, epidemiologi, etiopatogenesis, potret klinis, komorbiditas, diagnosis, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaan, pencegahan.
Kata kunci: Sindrom Tourette, etiopathogenesis, penatalaksanaan, pencegahan

ABSTRACT
Tourette's syndrome (TS) is a common psychoneurogenobehavioral disorder in children characterized by multiple motor and vocal tics. This
article discussed multiaspects of TS, including: history, epidemiology, etiopathogenesis, clinical portrait, comorbidity, diagnosis, supporting
examination, management, and prevention. Dito Anurogo. Dito Anurogo. Phenomenology of Tourette Syndrome.
Key words: Tourette syndrome, etiopathogenesis, management, prevention

INTRODUKSI
Fenomena sindrom Tourette (Tourette's
syndrome, TS) pertama kali dilaporkan
oleh dokter Jean-Marc Gaspard Itard,
pada seorang wanita Perancis berusia
26 tahun. Selanjutnya George Beard
melaporkan 50 penderita tik motorik
dan echolalia. Pada tahun 1885, 60 tahun
setelah Itard mempublikasikan kasus itu,
Georges Gilles de la Tourette (1857-1904),
mempublikasikan artikel tentang delapan
penderita tik motorik atau vokal, dan ia
menamai sindrom ini maladie (illness) of
tics. Di kemudian hari, sindrom ini dikenal
sebagai sindrom Tourette.1,2
Sindrom Tourette adalah gangguan
perilaku-perkembangan
saraf-kejiwaan
(psychoneurogenobehavioral disorder) berbasis neurotransmiter, dicirikan oleh aksi
tak disadari, berlangsung cepat, bersifat
genetik, diwariskan, dengan onset di masa
anak, dan memiliki pola tik vocal-motorik
yang menetap-menahun. Sindrom Tourette
merupakan gangguan neurodevelopmentalneuropsychiatric
dengan
dasar
neurogenetik.3
Sindrom Tourette disebut juga Tourettes
disorder atau Gilles de la Tourette syndrome.
Alamat korespondensi

900

EPIDEMIOLOGI
Pada mulanya insidens TS dilaporkan 4,6
per 1 juta penduduk, jumlah ini terus
bertambah sesuai pertumbuhan penduduk
dan berkembangnya metodologi riset.5 Riset
terbaru menunjukkan insiden TS mencapai
1-10 per 1000 orang. Prevalensi sekitar 0,033%.
Referensi lain menyebutkan prevalensi berkisar
dari 1:20.000 hingga 1:2000. Prevalensi
internasional rata-rata 1% di mayoritas
kebudayaan dunia. TS dapat mengenai semua
ras, lebih dominan pada pria, dengan rasio
anak lelaki:anak wanita = 3-5:1.6 8 Banyak kasus
ringan yang luput dari perhatian medis.
Onset biasanya pada usia 7-8 tahun,
puncaknya antara 8-12 tahun. Sumber lain
menyebutkan, TS umum terjadi di usia 5-9
tahun, mencapai puncak di usia 10-12 tahun,
dan berkurang di usia 13-16 tahun. Rentang
usia penderita TS antara 2-21 tahun.9 Terutama
terjadi di usia 10 tahun, namun hanya 5%
yang menetap hingga dewasa. Sekitar dua
pertiga penderita TS mengalami perbaikan
gejala saat dewasa, namun perbaikan total
jarang terjadi.10 Prevalensi tik di populasi
pediatrik diperkirakan 612%.11-12 Prevalensi TS
pada 447 pelajar dengan autisme anak-anak
dan remaja di sembilan sekolah di London
mencapai 8,1%.13

ETIOPATOGENESIS
Etiopatogenesis pasti belum diketahui,
diduga multifaktor. Faktor neurokimiawi,
yaitu: lemahnya pengaturan dopamin di
nekleus kaudatus; juga ketidakseimbangan
serta
hipersensitivitas
terhadap
neurotransmiter, terutama dopamin dan
serotonin. Peran neurotransmiter dopamin
amat penting; pada studi neuroimaging,
ada ketidaknormalan sistem dopaminrgik
di dalam korteks prefrontal dan striatum
otak. Pada penderita TS, terjadi peningkatan
densitas transporter dopamin presinaps
dan reseptor dopamin D2 postsinaps, yang
berarti terjadi peningkatan uptake dan
release dopamin. Hipotesis supersensitivitas
dopamin menjelaskan mengapa TS begitu
responsif terhadap penghambat reseptor
dopamin atau neuroleptik. Riset terbaru
menunjukkan tidak ada bukti peningkatan
inervasi dopaminrgik striatal pada penderita
TS.14 Di sistem saraf pusat, neurotransmiter
dopamin (DA) memperantarai bermacammacam fungsi fisiologis termasuk pengaturan
aktivitas lokomotorik, proses kognitif,
sekresi
(pengeluaran)
neuroendokrin,
dan
pengendalian
perilaku
yang
termotivasi (motivated behaviors) termasuk
mekanisme emosi, afek, dan pemberian
penghargaan.15,16

email: stevani.novita@gmail.com

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA
Jalur dopaminrgik bukanlah satu-satunya
yang bertanggung-jawab atas munculnya
gejala TS, faktor lain yang juga berperan, antara
lain: rendahnya kadar serotonin, glutamate
dan AMP siklik. Di sirkuit subkortikal frontal,
abnormalitas reseptor glutamat, dopamin,
serotonin, GABA, asetilkolin, noradrenalin,
opioid, dan cannabinoid juga berperan dalam
patogenesis TS. Overekspresi synaptogyrin-3
di sel-sel PC12 dan MN9D yang mirip saraf
(neuronal-like) namun bukan di sel-sel HEK
293 nonneuronal, menghasilkan peningkatan
aktivitas dopamin transporter (DAT) pada
level transporter di membran plasma. Efek
synaptogyrin-3 ini ditiadakan oleh keberadaan
vesikular monoamine transporter-2 (VMAT2)
inhibitor reserpine, memberi sugesti bahwa
kemampuan synaptogyrin-3 untuk meregulasi
(mengatur) aktivitas DAT bergantung pada
sistem penyimpanan dopamin (DA) vesikular.
Terdapat interaksi biokimiawi yang kompleks
antara DAT, synaptogyrin-3, dan VMAT2, di
samping juga ditemukan hubungan fisik
dan fungsional antara DAT dan sistem DA
vesikular.19
Saat penderita TS mengalami serangan tik,
terjadi aktivasi multifokal di otak seperti
di korteks premotorik lateral dan medial,
korteks ciaguli anterior, korteks prefrontal
dorsolateral-rostral,
korteks
parietal
interior, putamen, nukleus kaudatus,
korteks motorik primer, area Broca, girus
temporal superior, insula, and klaustrum.
Hal ini menunjukkan keterlibatan daerah
paralimbik, bahasa, dan sensorimotorik.
Secara spesifik, ketidaknormalan sirkuit
kortiko-striato-talamo-kortikal melibatkan
inhibitory interneurons di ganglia basal, yang
dapat berhubungan dengan patogenesis
dan persistensi beragam kasus TS. Malfungsi
sirkuit ini dapat berkontribusi terhadap
perilaku semi-otonom fragmenter yang
bermanifestasi sebagai tik.20 Ganglia basal,
terutama nukleus kaudatus dan korteks
prefrontal inferior, berhubungan dengan
perkembangan TS. Sirkuit ganglia basal dan
kortikal juga berperan pada fungsi motorik
dan pembentukan kebiasaan; disfungsi
ganglia basal telah lama diketahui sebagai
penyebab utama gejala tik.21,22 Selain itu,
di otak penderita TS, terjadi penurunan
5% volume nukleus kaudatus, namun
abnormalitas seluler yang mendasarinya
belum jelas. Selain itu juga dijumpai 50%
60% penurunan parvalbumin dan kolin

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

asetiltransterase interneuron kolinergik di


nukleus kaudatus dan putamen. Penurunan
interneuron kolinergik terlihat jelas di regio
asosiatif dan sensorimotorik, namun tidak
terlihat di regio limbik. Hal ini diketahui
dari hasil penilaian densitas berbagai tipe
interneuron dan medium spiny neurons di
striatum otak postmortem penderita TS
dengan analisis stereologis.23
Menurut teori autoimun, TS ditimbulkan
oleh gangguan autoimun pada anak yang
berhubungan dengan infeksi streptokokus
(pediatric
autoimmune
neuropsychiatric
disorder associated with streptococcal infections,
PANDAS). Infeksi group A beta-haemolytic
streptococcal (GABHS) juga berkaitan
dengan TS.24,25 Hipotesis disregulasi sistem
imun, termasuk: disregulasi sitokin, peranan
interleukin (IL), misalnya: IL-1beta, IL-2, IL-6, IL12, serta tumor necrosis factor (TNF)-alfa masih
memerlukan riset lanjutan.26
Kadar besi dan feritin yang lebih rendah
pada penderita TS sesuai dengan keadaan
gangguan gerak lain, memberi kesan bahwa
rendahnya besi dapat menjadi penyebab
tik. Simpanan besi yang rendah dapat
berkontribusi terhadap hipoplasi nukleus
kaudatus dan putamen, meningkatkan
kerentanan terhadap tik atau memperberat
tik.27
Beragam faktor epigenetik berperan dalam
patogenesis TS, termasuk perinatal insults,
pajanan androgen, stres psikologis, dan
mekanisme otoimun pasca-infeksi. Peristiwa
iskemia/hipoksia perinatal dan merokok di
masa prenatal-maternal dilaporkan sebagai
faktor risiko TS.28,29
Secara genetik, TS merupakan kondisi
poligenetik yang berpola sex-influenced
autosomal dominant. Lokus kandidat TS
berhasil ditemukan pada lokus 18q22, pada
gen SLITRK1 yang berlokasi di kromosom
13q31, dan pada tubulin-specific chaperone D
(TBCD, region 17q25.3). Meskipun demikian,
SLITRK1 bukanlah gen yang signifikan
pada mayoritas individu dengan TS.30
Beragam candidate genes lain, antara lain:
reseptor dopamin (DRD1, DRD2, DRD4, dan
DRD5), transporter dopamin, berbagai gen
noradrenergik (ADRA2a, ADRA2C, DBH, dan
MAO-A), serta gen serotonergik (5HTT).31,32
Ditemukan pula delesi di region 22q11-q13.

Riset selanjutnya menemukan lokus potensial


di kromosom 2p23.2, 3, 4q, 5, 8q, 9, 10, 11, 13,
dan 19. TS terjadi 50% pada kembar monozigot
dan 8% pada dizigot.33
Pada satu studi kasus-kontrol, penderita TS
dengan (n=115) dan tanpa (n=110) ADHD
menggunakan teknik polymerase chain
reaction (PCR) restriction enzyme assay yang
dikembangkan untuk deteksi polimortisme
nukleotida tunggal T-182C berdasarkan
metodologi sequencing. Hasilnya tidak
teridentifikasi asosiasi polimorfisme antara TS
dan ADHD.34
Riset
The
Tourette
Syndrome Association International Consortium
for Genetics pada 2040 individu (238 keluarga
inti, 304 pasang saudara kandung yang
independen, 18 keluarga multigenerasi
terpisah) menunjukkan bukti signifikan
adanya linkage terhadap marker D2S144 pada
kromosom 2p32.2.35
Hipotesis terbaru menyatakan bahwa beragam
perbedaan di ekspresi akson dan splicing
bermanfaat untuk memahami patofisiologi
dan menegakkan diagnosis. The Genome Wide
Association Study (GWAS) design diharapkan
dapat mengatasi keterbatasan studi tentang
linkage dan gen candidat, sehingga di masa
mendatang dapat menemukan berbagai
mutasi dan polimorfisme penyebab TS.37
POTRET KLINIS
Klinis TS berupa tik motorik dan vokal, dapat
berlangsung selama lebih dari satu tahun,
biasanya muncul saat menyaksikan peristiwa
tertentu. Tik motorik dapat sederhana
(misalnya: mengejapkan mata berkali-kali,
sering mengangkat-angkat bahu) atau
kompleks (misalnya: meniru gerakan orang
lain atau echopraxia). Tik motorik bisa juga
multipel, misalnya: blinking (mengejapkan
mata), grimacing (meringis, menyeringai,
atau memainkan ekspresi wajah), jumping
(melompat-lompat). Tik
vokal
dapat
berupa kata-kata sederhana atau kata
tunggal. Tik vokal klasik termasuk berkata
jorok (coprolalia) dan menirukan atau
mengulangi frase (palilalia), atau ucapan
orang lain (echolalia). Tik fonik berupa suara
atau bunyi, seperti: suara membersihkan
tenggorokan/kerongkongan dari lendir atau
benda asing, batuk, pilek. Setidak-tidaknya
dijumpai satu tik vokal atau fonik, misalnya:
grunting (mendengkur, mengorok) atau
sniffing (seolah pilek, menghirup-hirup,

901

TINJAUAN PUSTAKA
atau mencium-cium bau). Tik seringkali
diperburuk oleh stres fisik atau emosional,
membaik saat sendirian dan relaks. Tik juga
dapat terjadi selama tidur dan berkaitan
dengan berbagai problem tidur, termasuk
insomnia, tidak cukup tidur, tidur gelisah,
parasomnia (tidur berjalan dan sleep terrors).
Tik selama tidur umumnya dikendalikan oleh
thalamo-cortical oscillating dysrhythmia.38-40
Manifestasi lain yang penting namun kurang
umum, seperti: meniru tingkah laku (echo
phenomena), suka mengulang-ulang sendiri
(pali phenomena), menyumpah tanpa sadar,
di luar kemauan, dan tidak pantas (swearing
involuntarily and inappropriately), perilaku
melukai diri sendiri (self-injurious behaviours).
Perilaku membahayakan atau mencederai
diri ditemukan pada penderita malignant
Tourette syndrome (MTS), misalnya: berulangulang memukul perut hingga memar
dan merusakan organ dalam, memukulmukul mata sendiri, menikam leher sendiri,
menelan benda asing, menggigiti bibir/
mulutnya hingga berdarah, menghentakhentakkan kaki dengan kuat hingga terjadi
dislokasi pinggul, menggeleng-gelengkan
kepala dan leher dengan kuat hingga cedera
leher atau whiplash.41
Pada penderita TS, IQ verbal lebih tinggi secara
signifikan dibandingkan IQ performance,
menimbulkan
problem
kemampuan
visuospatial, perseptual, dan motorik.
Penderita TS juga merasa sulit memaksimalkan
fungsi eksekutifnya, seperti: kemampuan
memecahkan masalah, membagi perhatian,
respons terhadap hambatan.42
KOMORBIDITAS
Beragam komorbiditas penderita TS antara
lain: cemas, depresi, kesulitan belajar,
gangguan tidur, obsessive-compulsive disorder
(OCD), hiperaktif atau ADHD (attention deficit
hyperactivity disorder), gangguan perilaku, tik
nervous, masalah pengendalian impuls, rasa
malu, isolasi, dan ketakmampuan (disability)
atau hendaya (impairment) fungsi sosial. Pada
TS dan ADHD, diduga terjadi abnormalitas
noradrenergik.43,44
Sebagian komorbiditas antara lain: alergi,
aritmia jantung, asma, autisme, ADHD, bruxism,
cemas, depresi, kejang, coprolalia, copropraxia,
mengamuk/marah (rage), meningkatnya
sensitivitas terhadap stimulus sensoris, migren,

902

OCD, autoimunitas, perilaku mencederai


diri-sendiri, reaksi yang mengejutkan dan
berlebihan, restless leg syndrome.45
DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis TS, ada tiga ciri
khas yang sering muncul, yaitu: tik multipel,
berkata jorok (coprolalia), dan latah atau suka
membeo (echolalia). Kriteria yang dipakai
secara internasional adalah Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth
Edition, Text Revision (DSM-IV-TR)46:
1. Onset sebelum usia 18 tahun.
2. Tik vokal dan motorik multipel berkali-kali
hampir setiap hari, atau sebentar-sebentar
berlangsung lebih dari 1 tahun. Selama itu tak
ada periode bebas tik selama lebih dari 3 bulan
berturut-turut. Tik tidak harus berlangsung
bersamaan.
3. Gangguan bukan karena efek fisiologis
langsung zat (seperti: stimulan) atau kondisi
medis umum (seperti: penyakit Huntington,
ensepalitis postviral).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beragam pilihan kuesioner dapat dipakai untuk
memastikan diagnosis TS: Tourette Syndrome
Symptom List, Tourette Syndrome Questionnaire,
The Motor Tic Obsessions and Compulsions
Vocal Tic Evaluation Survey, Ohio Tourette
Survey Questionnaire, Tourette Syndrome
Global Scale, Tourette Syndrome Diagnostic
Confidence Index, Tourettes Syndrome Severity
Scale, Shapiro Tourette Syndrome Severity Scale,
Yale Global Tic Severity Scale (YGTSS), Childrens
Yale-Brown Obsessive-Compulsive Scale (CYBOCS), Hopkins Motor and Vocal Tic Severity
Scale, Clinical Global ImpressionsImprovement
Scale, Diagnostic Confidence Interval, National
Hospital Interview Scale, dll digunakan untuk
interview, menegakkan diagnosis dan evaluasi
klinis lain, seperti: menentukan derajat
keparahan TS, menentukan terapi, keperluan
riset, dsb. Untuk mengetahui kemampuan
motorik, dapat menggunakan tes Purdue
Pegboard.
Baik-buruknya
kemampuan
motorik di masa anak-anak, berhubungan
dengan meningkatnya derajat keparahan tik
di masa dewasa. Untuk menilai IQ digunakan
Wechsler Abbreviated Scale of Intelligence
(WASI). Obsesi-kompulsi dapat diketahui
dengan Dimensional Yale-Brown ObsessiveCompulsive Scale (DYBOCS).47-52 Skor Yale
Global Tic Severity Scale (YGTSS) berkisar 0-50,
dengan rincian: tidak ada tik (YGTSS: 0), tik
minimal (YGTSS: 19), tik ringan (YGTSS:

1019), tik sedang atau lebih berat (YGTSS:


20). Skor YGTSS > 15 mengindikasikan tik
yang secara klinis signifikan. Sedangkan skor
Clinical Global ImpressionsImprovement Scale
berkisar 1-8, skor 1 berarti perkembangannya
sangat baik, skor 8 berarti sangat buruk.53
Instrumen DISC (Diagnostic Interview Schedule
for Children) digunakan untuk mengetahui
profil diagnostik penderita TS. DISC adalah
interview semistructured berbasis komputer
yang terdiri dari 15 sub-bagian, meliputi:
gangguan tic (TS, gangguan tic kronis, transient
tic disorder), OCD, ADHD, fobia sosial, fobia
spesifik, separation anxiety disorder, gangguan
panik, gangguan perilaku, agoraphobia,
generalized anxiety disorder, post-traumatic
stress disorder, trichotillomania, major depressive
episode, dysthymic disorder,dan oppositional
defiant disorder.54
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan sesuai
indikasi dan/atau untuk keperluan riset, yaitu
mengetahui ekspresi gen (RNA) yang diukur
menggunakan whole genome Affymetrix
microarrays.55
Pencitraan dilakukan bila perlu atau untuk riset.
Melalui pemeriksaan MRI (magnetic resonance
imaging), diketahui penderita TS memiliki area
dorsolateral prefrontal yang lebih besar dan
peningkatan substantia alba di lobus frontal
kanan. Volume nucleus caudatus yang lebih
kecil pada MRI di masa anak berhubungan
dengan meningkatnya derajat keparahan tik
di masa dewasa.56
Pemeriksaan lain menggunakan voxel-based
morphometry (VBM) dan magnetization
transfer imaging (MTI) yang lebih sensitif
terhadap perubahan jaringan dibandingkan
MRI konvensional. Keduanya merupakan
pengukuran kuantitatif integritas makrostruktur. Pada VBM, penderita TS menunjukkan
penurunan volume substantia nigra di
area prefrontal, girus cinguli anterior, area
sensorimotorik, nukleus kaudatus kiri, dan girus
postsentral kiri secara signifikan. Penurunan
volume substantia alba terdeteksi di girus
frontal inferior kanan, girus frontal superior
kiri, dan anterior corpus callosum. Peningkatan
dijumpai di girus frontal pertengahan kiri dan
area sensorimotor kiri. Dengan MRI, reduksi
substantia alba terlihat di girus frontal medial
kanan, girus frontal inferior bilateral, dan girus
cinguli kanan.57

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA
PENATALAKSANAAN
Bila gejala ringan, penderita dan anggota
keluarganya hanya memerlukan edukasi
dan konseling. Berbagai teknik psikoterapi,
seperti: psikoterapi suportif, terapi kognitif,
assertiveness training, dan self-monitoring
dapat
juga
diberikan.
Pendekatan
comprehensive
behavioral
intervention
for tics (CBIT), berdasarkan habit reversal
training/therapy, efektif mengurangi tik serta
perburukan yang berhubungan dengan tik
(tics-related impairment) pada anak dan remaja
penderita TS dengan tingkat keparahan
sedang atau berat. Terapi suportif dan edukasi
dapat sebagai pelengkap dan pendukung
CBIT.58
Banyak anak TS yang berhasil ditangani tanpa
terapi obat. Farmakoterapi diberikan sesuai
indikasi. Berikut beberapa pilihan terapi TS44,
59-62
:
a. Golongan neuroleptik atau penyekat
dopamin seperti haloperidol, pimozid,
aripiprazol, olanzapin, risperidon.
b. Golongan obat serotonergik, seperti fluoxetine, clomipramine.
c. Golongan agonis alfa-2, seperti: clonidine,
guanfacine.
d. Golongan antagonis dopamin, seperti
metaclopramid.
e. Golongan lain, seperti benzodiazepin (misalnya: klonazepam, diazepam), antipsitatik
atipikal (misalnya: olanzapin, quetiapin, ziprasidon), penyakit kanal kalsium (misalnya: nifedipin, verapamil, flunarizin), obat GABAergic
(misalnya: baklofen, levetirasetam, topiramat,
vigabatrin, zolpidem), agonis dopamin (misalnya: pergolid, pramipeksol), antagonis 5-HT2
(ketanserin) dan 5-HT3 (ondansetron) reseptor, obat yang beraksi pada reseptor kanabinoid (-9-tetrahidrokanabinol), penghambat
androgen dan androgen (flutamid dan finasterid), baklofen, nalokson.
Dua agen neuroleptik yang paling banyak
digunakan untuk terapi TS dan tik adalah
pimozid dan risperidone. Sedangkan medikasi
yang paling efektif adalah dopamin blockers.
Obat golongan antipsikotik merupakan terapi
lini pertama untuk tik sedang hingga berat,
sering memiliki efek samping yang berat.63,64
Golongan penyakit dopamin banyak yang
merupakan obat antipsikotik, serotonergic
drugs bermanfaat terutama untuk obsessivecompulsive disorder, sedangkan noradrenergic
drugs (alfa-agonist) efektif terutama untuk

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

Tabel 1 Farmakoterapi TS73-76


Medikasi
A

Dosis Permulaan
(mg/hari)

Dosis
(mg/hari)

Keterangan

0,25 0,50

14

Bukti empiris: A
CEBM pada dewasa: tinggi
CEBM pada anak: tinggi
ESO: EPS, sedasi, berat badan naik
Bukti empiris: A
CEBM pada dewasa: tinggi
CEBM pada anak: tinggi
ESO: pemanjangan QTc, sedasi

Antipsikotik

Neuroleptik tipikal
1

Haloperidol

Pimozide

0,5 1,0

28

Fluphenazine

0,5 1,0

1,5 10

Bukti empiris: B
CEBM pada dewasa: rendah
CEBM pada anak: rendah
ESO: lebih baik ditoleransi daripada
haloperidol

Neuroleptik atipikal
4

Risperidone

0,25 0,50

1 3,5
(1 3)

Bukti empiris: A
CEBM pada dewasa: tinggi
CEBM pada anak: tinggi
ESO: sedasi, berat badan naik, metabolisme
lemak abnormal.

Ziprasidone

5 10 (20)

10 80
(20 80)

Bukti empiris: B
CEBM pada dewasa: rendah
CEBM pada anak: tinggi
ESO: pemanjangan QTc, sedasi, berat
badan naik.

Aripiprazole

2,5 5

10 20

CEBM pada dewasa: rendah


CEBM pada anak: rendah
ESO: sedasi, berat badan naik.

Olanzapine

2,5 5

10 20

CEBM pada dewasa: rendah


CEBM pada anak: rendah
ESO: sedasi, berat badan naik.

Quetiapine

25 50

75 250

CEBM pada dewasa: rendah


CEBM pada anak: rendah
ESO: sedasi, berat badan naik.

Tiapride

50 150

150 500

Bukti empiris: B

Non-antipsikotik
0,025 0,050

0,2 0,4 (0,1 0,3)

0,5 1,0

24
(1,5 3)

0,025 setiap 2 hari

0,15 0,45

Bukti empiris: B

Tik motorik: 50-75 U


Tik vokal: 1-2,5 U

1-2,5

Bukti empiris: B

Agonis alfa-2
1

Clonidine

Guanfacine

Bukti empiris: B
CEBM pada dewasa: rendah
CEBM pada anak: tinggi
ESO: sedasi, hipotensi
Bukti empiris: B
CEBM pada dewasa: rendah
CEBM pada anak: tinggi
ESO: sedasi, sensasi berputar/pening

Lainnya
3

Pergolide

Botulinum toxin A

Keterangan:
Dosis di dalam kurung () adalah dosis alternatif yang juga diperbolehkan.
Bukti empiris A: efektivitas ditunjang sedikitnya 2 randomized placebo-controlled trials dengan hasil positif dan keamanan
jangka pendek baik.
Bukti empiris B: data suportif ditunjang oleh sedikitnya 1 studi positive placebo-controlled.
Derajat CEBM tinggi: efektivitasnya terbukti pada randomized, double-blind trials.
Derajat CEBM rendah: efektivitasnya probable pada studi observasi.
CEBM: Center for Evidence-based Medicine. ESO: Efek Samping Obat. EPS: Extra Pyramidal Syndrome.

tik dan attention deficit hyperactivity disorder


(ADHD). Aripiprazol dan olanzapin termasuk
off-label use.65 Untuk terapi OCD pada TS,
boleh dipertimbangkan golongan selective
serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) seperti

fluokstin, fluvoksamin, paroksetin, sertralin,


escitalopram, dan citalopram. Klomipramin
uga efektif karena memiliki serotonin reuptake
action. SSRI dapat dikombinasikan dengan
antipsikotik atipikal.65

903

TINJAUAN PUSTAKA
Umumnya, terapi dimulai dengan agonist
clonidine dosis rendah dan ditingkatkan dosis
dan frekuensinya secara bertahap, sampai
hasilnya memuaskan. Guanfacin (0,52 mg/
hari) merupakan golongan agonis baru yang
disukai karena dosisnya hanya sekali sehari.
Bila tidak efektif, dapat diberi antipsikotik.
Neuroleptik atipikal (risperidon 0,2516 mg/
hari, olanzapine 2,515 mg/hari, ziprasidon
20200 mg/hari) dipilih karena rendahnya
risiko efek samping ekstrapiramidal. Jika
tidak efektif, dapat diberikan neuroleptik
klasik, seperti haloperidol, fluphenazin, atau
pimozid.66,67
Modalitas
terapi
lain
juga
dapat
dipertimbangkan. Suntikan botulinum toxin
tipe A efektif mengendalikan tik vokal yang
melibatkan kumpulan otot kecil (localized tics).
Tindakan atau intervensi yang lebih invasif
seperti: deep brain stimulation, transcranial
magnetic stimulation (TMS), dan bedah saraf
(neurosurgery) boleh dipertimbangkan. TMS
repetitif adalah pendekatan efektif untuk
kasus berat.
Rangkuman farmakoterapi TS dapat dilihat di
tabel 1.
Selain itu, kombinasi 0,5 mEq/kgBB.
magnesium dan 2 mg/kgBB. vitamin B6
mampu mengurangi tik fonik-motorik serta
ketidakmampuan pada kasus TS anak usia
714 tahun.77
Terapi nonfarmakologis berupa: edukasi
penderita, anggota keluarga, teman sekolah,
modifikasi lingkungan sekolah sehingga
penderita tidak merasa bosan, stres, tegang,
atau tertekan, konseling suportif yang dapat
dilakukan saat di sekolah dan di luar sekolah.
Teknik relaksasi dapat meringankan tik. Terapi
pembalikan kebiasaan (habit reversal therapy)
juga pilihan efektif untuk TS.76,78
Terapi lain berupa complementary and
alternative medicine (CAM), misalnya: berdoasholat (pray), vitamin, pijat, suplemen diet,
manipulasi chiropractic, meditasi, perubahan
diet, yoga, akupunktur, hipnosis, homeopati,

dan EEG biofeedback. Meskipun alami dan


tak berbahaya, perlu riset lanjutan untuk
mempelajari keamanan dan efektivitasnya.79
Beberapa strategi cerdas dan efektif melalui
pendekatan psikoedukasi dipergunakan untuk
memperlakukan, merawat, dan mengevaluasi
anak TS. Lingkungan nyaman, higienis, pola
tidur teratur dapat bermanfaat. Berbagai
faktor seperti: stres, lelah, penyakit fisik
dapat memperburuk tics untuk sementara.
Berbagai aktivitas seperti: memainkan alat
musik, berolahraga, menari atau berdansa
bermanfaat dan membantu anak untuk
mengalihkan atau meredakan tik. Konsentrasi
yang terutama melibatkan aktivitas motorik,
sering dapat memperbaiki tik.
Medikasi tik berfokus pada upaya
meminimalkan
impairment,
bukan
menghilangkan tik. Pada mayoritas kasus, tik
membaik selama masa remaja. Komorbiditas
umum dijumpai pada TS, dapat menyebabkan
perburukan atau gangguan yang lebih besar
daripada tik. Anak TS berisiko tinggi menjadi
OCD selama masa remaja dan dewasa muda.
Edukasi dan terapi perilaku agresif gejalagejala OCD sangat membantu meminimalkan
pengaruh jangka panjang. Akurasi diagnosis,
termasuk identifikasi komorbiditas amat perlu
sebelum menentukan farmakoterapi yang
sesuai.42,80
Penyalahgunaan zat, terutama kokain
atau amfetamin, sering memperburuk tik.
Keturunan penderita TS memiliki peluang
10% berkembang menjadi tik, jika pasangan
hidupnya tidak memiliki riwayat keluarga
tik. Banyak orang dewasa dapat menikmati
kehidupan meskipun mengalami tik.81
PENCEGAHAN
Strategi pencegahan TS dilakukan secara
bertahap dan berkesinambungan. Penderita
TS harus menghindari kafein karena dapat
mengeksaserbasi tik.84 Penderita TS perlu
diberi ruang gerak untuk menyalurkan hobi
dan bakat. Edukasi dan konseling keluarga,
kelompok, individu secara rutin, teratur,
dan terarah sangat membantu penderita
untuk beradaptasi dan mempercepat

penyembuhan. Perlu dibentuk wadah,


grup, kelompok, atau forum diskusi untuk
mendukung penderita dan anggota keluarga.
Diperlukan buku saku atau brosur berisi
informasi lengkap tentang TS untuk edukasi
keluarga, guru, pengasuh anak, masyarakat,
dan penderita. Diseminasi informasi TS perlu
dilakukan bersama-sama dinas kesehatan,
sekolah, komunitas ilmiah, dan instansi
terkait lainnya. Sosialisasi dapat dilakukan
melalui kegiatan ilmiah (seminar, workshop,
dsb), media offline (surat kabar, TV, radio),
media online (milis, website, dsb). Untuk lebih
meningkatkan kepedulian dan kesadaran
secara lebih terorganisisasi, lebih sistematis,
dan berkelanjutan, perlu dipertimbangkan
pembentukan organisasi, lembaga, atau
badan nirlaba khusus, seperti Tourette
Syndrome Associations and Foundations.
Bila perlu, pemerintah bersama IDI dapat
membentuk komite nasional yang khusus
menangani TS, seperti yang dimiliki Eropa
yaitu: European Society for the Study of Tourette
Syndrome (ESSTS) atau Tourette Syndrome
Association Medical Advisory Board.42,43,52,73,83,85
RANGKUMAN
Fenomena sindrom Tourette (TS) pertama
kali dilaporkan dokter Perancis Jean-Marc
Gaspard Itard. Istilah TS populer setelah pada
tahun 1885, neurolog Perancis, Georges Gilles
de la Tourette, mempublikasikan (kembali)
kasus itu. Insiden TS mencapai 1-10 per 1000
orang. Prevalensi internasional sekitar 1%.
Etiopatogenesis belum diketahui pasti, diduga
multifaktor, meliputi: faktor neurokimiawi,
autoimun, epigenetik, genetika. Potret klinis
TS: tics motorik-vokal, berlangsung lebih
dari setahun. Komorbiditas tersering adalah
OCD dan ADHD. Diagnosis TS ditegakkan
dengan DSM-IV-TR. Pemeriksaan penunjang
TS misalnya: kuesioner (YGTSS, DISC, dsb),
pemeriksaan darah lengkap, pencitraan
(MRI, VBM, MTI) dilakukan sesuai indikasi.
Farmakoterapi diberikan sesuai indikasi,
misal: neuroleptik (tipikal-atipikal), agonis
alfa-2, dsb. Strategi pencegahan TS dilakukan
secara bertahap dan berkesinambungan.
Penanganan komprehensif, holistik, dan
paripurna perlu melibatkan kerjasama
multisektor dan lintas disiplin ilmu.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Kushner HI. Medical fictions: The case of the cursing marquise and the (re)construction of Gilles de la Tourette Syndrome. Bulletin of the History of Medicine 1995;69:22454.

2.

Tourette G. Etude sur une affection nerveuse caracaterisee par de lincoordination motrice accompagenee decholalie et de coprolalie. Archives de Neurologie 1885;9:1942.

3.

Walkup JT, Mink JW, Hollenbeck PJ. Advances in neurology: Tourette syndrome. First edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2006.

904

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA
4.

The Tourette Syndrome Classification Study Group. Definitions and classification of tic disorders. Arch Neurol. 1993;500:1013-6.

5.

Robertson MM. Annotation: Gilles de la Tourette syndromeAn update. Journal of Child Psychology and Psychiatry 1994;35:597611.

6.

Apter A, Pauls DL, Bleich A, Zohar AH, Kron S, Ratzoni G, Dycian A, Kotler M, Weizman A, Gadot N, et al. An epidemiologic study of Gilles de la Tourettes syndrome in Israel. Arch Gen
Psychiatry 1993;50:7348.

7.

Robertson MM: Diagnosing Tourette syndrome: is it a common disorder? J Psychosom Res 2003;55:3-6.

8.

Robertson MM, Eapen V, Cavanna AE. The international prevalence, epidemiology, and clinical phenomenology of Tourette syndrome: A cross-cultural perspective. Journal of
Psychosomatic Research. 2009;67:47583.

9.

Leckman JF, Zhang H, Vitale A, Lahnin F, Lynch K, Bondi C, Kim YS, Peterson BS. Course of tic severity in Tourettes syndrome: the first two decades. Pediatrics 1998;102:149.

10. Robertson MM. The Prevalence and Epidemiology of Gilles de la Tourette syndrome. Part 1: The epidemiological and prevalence studies. Journal of Psychosomatic Research 2008;65:461
72.
11. Kurlan R, McDermott MP, Deeley C, Como PG, Brower C, Eapen S, Andresen EM, Miller B. Prevalence of tics in schoolchildren and association with placement in special education.
Neurology 2001;57:13838.
12. CDC. Prevalence of diagnosed Tourette syndrome in persons aged 617 years United States, 2007. Morb Mortal Wkly Rep (MMWR). 2009;58:5815.
13. Baron-Cohen S, Scahill VL, Izaguirre J, Hornsey H, Robertson MM. The prevalence of Gilles de la Tourette syndrome in children and adolescents with autism: a large scale study. Psychological
Medicine Sept 1999;29(05):1151-9.
14. Albin RL, Koeppe RA, Wernette K, Zhuang W, Nichols T, Kilbourn MR, Frey KA. Striatal [11C]dihydrotetrabenazine and [11C]methylphenidate binding in Tourette syndrome. Neurology
2009;72:13906.
15. Cohen JD, Braver TS, Brown JW. Computational perspectives on dopamine function in prefrontal cortex. Curr Opin Neurobiol 2002;12:223-9.
16. Heise CA, Wanschura V, Albrecht B, Uebel H, Roessner V, Himpel S, et.al. Voluntary motor drive: possible reduction in Tourette syndrome. J Neural Transm 2008;115:85761.
17. Yoon DY, Gause CD, Leckman JF, Singer HS. Frontal dopaminergic abnormality in Tourette syndrome: a postmortem analysis. J Neurol Sci 2007;255:506.
18. Diaz-Anzaldua A, Joober R, Riviere JB, et al. Tourette syndrome and dopaminergic genes: a family-based association study in the French Canadian founder population. Mol Psychiatry
2004;9:2727.
19. Egaa LA, Cuevas RA, Baust TB, Parra LA, Leak RK, Hochendoner S, et.al. Physical and functional interaction between the dopamine transporter and the synaptic vesicle protein
synaptogyrin-3. J Neurosci. 2009 April 8;29(14):4592604.
20. Leckman JF, Riddle MA. Tourettes syndrome: when habitforming systems form habits of their own? Neuron 2000;28:34954.
21. Leckman JF. Tourettes syndrome. Lancet 2002;360:157786.
22. Mink JW. Basal ganglia dysfunction in Tourettes syndrome: A new hypothesis. Pediatr Neurol, 2001;25:1908.
23. Kataoka Y, Kalanithi PSA, Grantz H, Schwartz ML, Saper C, Leckman JF, Vaccarino FM, et.al. Decreased number of parvalbumin and cholinergic interneurons in the striatum of individuals
with Tourette syndrome. J Comp Neurol 2010;518:27791.
24. Singer HS, Gause C, Morris C, Lopez P. Serial immune markers do not correlate with clinical exacerbations in pediatric autoimmune neuropsychiatric disorders associated with streptococcal
infections. Pediatrics 2008;121:1198205.
25. Leslie DL, Kozma L, Martin A, Landeros A, Katsovich L, King RA, et al. Neuropsychiatric disorders associated with streptococcal infection: A casecontrol study among privately insured
children. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 2008;47(10):116672.
26. Gabbay V, Coffey BJ, Guttman LE, Gottlieb L, Katz Y, Babb JS. A cytokine study in children and adolescents with Tourettes disorder. Prog Neuropsychopharmacol Biol Psychiatry. 2009
August 31;33(6):96771.
27. Gorman DA, Zhu H, Anderson GM, Davies M, Peterson BS. Ferritin levels and their association with regional brain volumes in Tourettes syndrome. Am J Psychiatry. 2006 July;163(7):1264
72.
28. Khalifa N, von Knorring AL. Tourette syndrome and other tic disorders in a total population of children: clinical assessment and background. Acta Paediatr 2005;94:160814.
29. Mathews CA, Bimson B, Lowe TL, et al. Association between maternal smoking and increased symptom severity in Tourettes syndrome. Am J Psychiatry 2006;163:106673.
30. Cuker A, et.al. Candidate locus for Gilles de la Tourette syndrome/obsessive compulsive disorder/chronic tic disorder at 18q22. Am J Med Genet A 2004;130:7.
31. Cheon KA, Ryu YH, Namkoong K, Kim CH, Kim JJ, Lee JD. Dopamine transporter density of the basal ganglia assessed with [123I]IPT SPECT in drug-naive children with Tourette`s disorder.
Psychiatry Res 2004;130:85-95.
32. Lee CC, Chou IC, Tsai CH, Wang TR, Li TC, Tsai FJ. Dopamine receptor D2 gene polymorphisms are associated in Taiwanese children with Tourette syndrome. Pediatr Neurol 2005;33:272-6.
33. ORourke JA., Scharf JM, Yu D., Pauls DL. The Genetics of Tourette syndrome: A review. Journal of Psychosomatic Research 2009;67:533-45.
34. Rippel CA, Kobets AJ, Yoon DY, Williams PN, Shugart YY, Bridges DD, et al. Norepinephrine transporter polymorphisms in Tourette syndrome with and without attention deficit hyperactivity
disorder: no evidence for significant association. Psychiatric Genetics Oct 2006;16(5):179-80.
35. The Tourette Syndrome Association International Consortium for Genetics. Genome scan for Tourette disorder in affected-sibling-pair and multigenerational families. Am J Hum Genet
2007;80:26572.
36. Tian Y, Liao IH, Zhan X, Gunther JR, Ander BP, Liu D, et al. Exon expression and alternatively spliced genes in tourette syndrome. Am J Med Genet 2011;156:728.
37. Pauls DL. A genome-wide scan and fine mapping in Tourette Syndrome families. Adv Neurol 2006;99:1305.
38. Bloch MH, Leckman JF. Clinical course of Tourette syndrome. Journal of Psychosomatic Research 2009;67:497501.
39. Leckman JF, Bloch MH, Scahill L, King RA. Tourette syndrome: the self under siege. J Child Neurol 2006;21:6429.
40. Hawley JS, Gray SK. Tourette Syndrome. eMedicine. Updated: Jun 23, 2008.
41. Cheung MY, Shahed J, Jankovic J. Malignant tourette syndrome. Movement Disorders 2007;22:174350.
42. Woods DW, Piacentini JC, Walkup JT (Eds). Treating tourette syndrome: A guide for practitioners. Guilford Press: New York. 2007.
43. Olive MF. Tourette syndrome. Chelsea House Infobase Publishing. New York USA. 2010.

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

905

TINJAUAN PUSTAKA
44. Singer HS, Walkup JT. Tourette syndrome and other tic disorders. Diagnosis, pathophysiology, and treatment. Medicine 1991;70(1):15-32.
45. Grimaldi BL. The central role of magnesium deficiency in Tourettes syndrome: Causal relationships between magnesium deficiency, altered biochemical pathways and symptoms relating
to Tourettes syndrome and several reported comorbid conditions. Medical Hypotheses 2002;58(1):4760.
46. American Psychiatric Association (APA). Diagnostic and statistical manual of mental disorders. 4th ed, text rev. APA. Washington, DC. 2000.
47. Stefl ME, Rubin M. Tourette syndrome in the classroom: Special problems, special needs. Journal of School Health 1985;55:725.
48. Kompoliti K, Goetz CG. Clinical rating and quantitative assessment of tics. Neurologic Clinics May 1997;15(2):23954.
49. Scahill L, Riddle MA, McSwiggin-Hardin M, Ort SI, King RA, Goodman WK, Cicchetti D, Leckman JF. Childrens Yale-Brown obsessive compulsive scale: Reliability and validity. J Am Acad Child
Adolesc Psychiatry 1997;36:84452.
50. Shapiro AK, Shapiro ES, Young JG, Feinberg TE. Gilles de la Tourette syndrome. 2nd edition. Raven Press, New York. 1988.
51. Wechsler D. Wechsler Abbreviated Scale of Intelligence. San Antonio, TX: Psychological Corporation 1999.
52. Cath DC, Hedderly T, Ludolph AG, Stern JS, Murphy T, Hartmann A, et al. European clinical guidelines for Tourette syndrome and other tic disorders. Part I: assessment. Eur Child Adolesc
Psychiatry 2011;20:15571.
53. Leckman JF, Riddle MA, Hardin MT, Ort SI, Swartz KL, Stevenson J, Cohen DJ. The Yale Global Tic Severity scale: initial testing of a clinician-rated scale of tic severity. Journal of the American
Academy of Child & Adolescent Psychiatry July 1989;28(4):566-73.
54. Shaffer D, Fisher P, Lucas CP, Dulcan MK, Schwab-Stone ME. NIMH Diagnostic intervieschedule for children version IV (NIMH DISC-IV): Description, differences from previous versions, and
reliability of some common diagnoses. Journal of American Child and Adolescent Psychiatry 2000;39:2838.
55. Albin RL, Mink JW. Recent advances in Tourette syndrome research. Trends Neurosci 2006;29:175.
56. Bohlhalter S, Goldfine A, Matteson S, Garraux G, Hanakawa T, Kansaku K, et al. Neural correlates of tic generation in Tourette syndrome: an event-related functional MRI
study. Brain. Aug 2006;129:2029-37.
57. Mller-Vahl KR. Kaufmann J. Grosskreutz J. Dengler R. Emrich HM. Peschel T. Prefrontal and anterior cingulate cortex abnormalities in Tourette Syndrome: Evidence from voxel-based
morphometry and magnetization transfer imaging. BMC Neuroscience 2009;10:47 doi:10.1186/1471-2202-10-47.
58. Piacentini J, Woods DW, Scahill L, Wilhelm S, Peterson AL, Chang S, et. al. Behavior therapy for children with Tourette disorder: A Randomized Controlled Trial. JAMA. 2010;303(19):192937.
59. Mller-Vahl KR. The treatment of Tourettes syndrome: current opinions. Expert Opin Pharmacother 2002;3:899914.
60. Awaad Y, Michon AM, Minarik S. Use of levetiracetam to treat tics in children and adolescents with Tourette syndrome. Mov Disord. 2005;20: 7148.
61. Moe PG, Benke TA, Bernard TJ. Neurologic and Muscular Disorders. In: Current Diagnosis and Treatment in Pediatrics. 18th edition. Edited by: Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding
RR. International Edition. Lange Medical Books-McGraw-Hill. USA. 2007;23:761-2.
62. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J (Eds). Harrisons Principles of Internal Medicine. 18th Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. USA. 2012. Chapter 372.
63. Bruggeman R, van der Linden C, Buitelaar JK, Gericke GS, Hawkridge SM, Temlett JA. Risperidone versus pimozide in Tourette`s disorder: a comparative double-blind parallel-group study.
J Clin Psychiatry 2001;62:50-6.
64. Bruun RD, Budman CL. Risperidone as a treatment for Tourette`s syndrome. J Clin Psychiatry 1996;57:29-31.
65. Shprecher D, Kurlan R. The management of tics. Mov Disord 2009;24:1524.
66. Jankovic J. 2001. Tourettes syndrome. N Engl J Med, 345:118492.
67. Jimnez-Jimnez FJ, Garca-Ruiz PJ. Pharmacological options for the treatment of Tourettes disorder. Drugs 2001;61:220720.
68. Kwak CH, Hanna PA, Jankovic J. Botulinum toxin in the treatment of tics. Arch Neurol 2000;57:1190-3.
69. Marras C, Andrews D, Sime E, Lang AE. Botulinum toxin for simple motor tics: a randomized, double-blind, controlled clinical trial. Neurology 2001;56:605-10.
70. Porta M, Maggioni G, Ottaviani F, Schindler A. Treatment of phonic tics in patients with Tourette`s syndrome using botulinum toxin type A. Neurol Sci 2004;24:420-3.
71. Houeto JL, Karachi C, Mallet L, et al. Tourettes syndrome and deep brain stimulation. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2005;76:9925.
72. Hardesty DE, Sackeim HA. Deep brain stimulation in movement and psychiatric disorders. Biol Psychiatry 2007;61:8315.
73. Scahill L, Erenberg G, Berlin CM Jr, et al. Tourette Syndrome Association Medical Advisory Board: Practice Committee. Contemporary assessment and pharmacotherapy of Tourette
syndrome. NeuroRx 2006;3:192-206.
74. Swain JE, Scahill L, Lombroso PJ, King RA, Leckman JF. Tourette Syndrome and Tic Disorders: A Decade of Progress. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 2007;46(8):947-68.
75. Bloch MH. Emerging treatments for Tourettes disorder. Curr Psychiatry Rep 2008;10:32330.
76. Du JC, Chiu TF, Lee KM, Wu HL, Yang YC, Hsu SY, et al. Tourette syndrome in children: An updated review. Pediatr Neonatol 2010;51(5):25564.
77. Garcia-Lopez R, Perea-Milla E, Garcia CR, Rivas-Ruiz F, Romero-Gonzalez J, Moreno JL, et al. New therapeutic approach to Tourette syndrome in children based on a randomized placebocontrolled double-blind phase IV study of the effectiveness and safety of magnesium and vitamin B6. Trials 2009;10:16. doi:10.1186/1745-6215-10-6.
78. Leckman JF, King RA, Cohen DJ. Tics and tic disorders. In: Tourette`s Syndrome Tics, Obsessions, Compulsions: Developmental Psychopathology and Clinical Care, Leckman JF, Cohen DJ
(Eds). New York: Wiley.1999:23-42.
79. Kompoliti K, Fan W, Leurgans S. Complementary and alternative medicine use in Gilles de la Tourette syndrome. Movement Disorders 2009;24(13):2015-9.
80. Erenberg G, Berlin Jr CM, Budman C, Coffey BJ, Jankovic J, Kiessling L, et al. Contemporary assessment and pharmacotherapy of Tourette syndrome. NeuroRX. April 2006;3(2):192206.
81. Woods DW, Piacentini JC, Chang S, et al. Managing Tourettes syndrome: A behavioral intervention for children and adults. Oxford University Press. New York. 2008.
82. Monaco F, Servo S, Cavanna AE. Famous people with Gilles de la Tourette syndrome? Journal of Psychosomatic Research 2009;67:485-90.
83. Bjorklund R. Tourette syndrome. Marshall Cavendish Corporation. New York: USA.2010:1-62.
84. Davis RE, Osorio I. Childhood caffeine tic syndrome. Pediatrics 1998;101:E4.
85. Verdellen CW, Keijsers GP, Cath DC, Hoogduin CA. Exposure with response prevention versus habit reversal in Tourette`s syndrome: a controlled study. Behav Res Ther 2004;42:501-11.

906

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA

Peran Recruitment Maneuver pada


Anestesi Umum
M. Helmi
Kandidat PhD, Department of Intensive Care Adults,
Erasmus University Medical Center, the Netherlands

ABSTRAK
Anestesi umum dapat menyebabkan kolaps jalan napas dan alveoli (atelektasis), yang mengganggu pertukaran gas (hipoksemia dan hiperkapnia)
dan mengurangi area fungsional paru dengan meningkatkan ruang mati. Jika kejadian ini berlanjut dapat menyebabkan gagal organ akibat
ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan O2 pada periode operasi. Recruitment maneuver telah dilaporkan dapat membuka kembali
kolaps jalan napas. Tujuan utama tindakan ini terutama untuk menormalkan oksigenasi paru, yang dilakukan dengan meningkatkan tekanan
jalan napas secara cepat dan terkontrol, sehingga dapat menjaga fungsi paru sejak dilakukannya tindakan induksi pada anestesi umum.
Kata kunci: recruitment maneuver, anestesi umum, oksigenasi, kolaps paru

ABSTRACT
General anesthesia may cause collapsed airway and alveoli (atelectasis), which in turn may disturb the gas exchange causing hypoxemia and
hypercapnia, and reduces lung functional area by increasing dead space. This collapsed airway may further causes organ dysfunction due to
imbalance of oxygen supply and demand during surgery. Recruitment maneuver has been reported to re-open the collapsed airway. The
aim of this method is to put lung oxygenation back to normal value. It can be performed by rapidly increase the airway pressure to maintain
normal lung function since the beginning of the induction of general anesthesia. M. Helmi. Role of Recruitment Maneuver in General
Anaesthesia.
Key words: recruitment maneuver, general anesthesia, oxygenation, lung collapse

PENDAHULUAN
Kolaps jalan napas pada anestesi umum
Anestesi umum/general anesthesia (GA)
dengan ventilasi mekanis (VM) dapat
menyebabkan siklus hiperdistensi dan/
atau kolaps alveoli, terutama apabila
menggunakan tidal volume (TV) tinggi
(12-15 mL/kg) tanpa positive end expiratory
pressure (PEEP).1 Hal ini dapat menyebabkan
alveoli terdistensi saat pemberian TV tinggi,
dan kolaps saat ekspirasi tanpa PEEP yang
mengurangi nilai functional residual capacity
(FRC).2-7 Kolaps jalan napas dapat terjadi
pada sekitar 90% pasien yang menjalani GA
pada alveolus, bronkiolus respiratorius dan/
atau kapiler pulmoner. Kolaps dapat bermula
saat induksi anestesi, yang menyebabkan
peningkatan shunt intra-operatif, dan akhirnya
gangguan pertukaran gas,3, 8-14 dan dapat
terus terjadi selama beberapa jam setelah
tindakan pembedahan.6,15,16 Risiko kejadian ini
meningkat pada pasien obesitas dibanding
pada pasien dengan berat badan normal,17Alamat korespondensi

19

karena oksigenasi arteri (PaO2) turun lebih


rendah.20 Selain itu, kejadian ini juga makin
berat pada teknik pembedahan laparaskopi
(inflasi pneumoperitoneum), prosedur operasi
dengan teknik satu paru dan bedah jantung.3,
11-14
Kejadian ini tidak tergantung umur, jenis
kelamin ataupun jenis obat pelumpuh otot
yang digunakan.6, 15, 16
Akibat kolaps jalan napas
Kolaps
jalan
napas
menyebabkan
berkurangnya area fungsional paru, sehingga
ventilasi dan perfusi (V/Q) menjadi heterogen,
lebih banyak pada parenkim pulmoner; V/Q
menjadi bernilai lebih tinggi di daerah ventral
paru (area dependent).21, 22 Efek yang paling
sering ditemui adalah gangguan pertukaran
gas
(hipoksemia
dan
hiperkapnia),23
berkurangnya kadar oksigen darah arteri dan
transpor oksigen ke jaringan akibat disfungsi
membran kapiler alveoli. Risiko gangguan
pertukaran gas ini makin berat seiring dengan
meningkatnya ruang mati (dead space),

sehingga risiko komplikasi dan hasil buruk


akhir tindakan medis juga meningkat.22
Selain efek hipoksemia dan/atau hiperkapnia
akut, rendahnya kadar O2 arteri dapat
menyebabkan gagal organ yang disebabkan
oleh ketidakseimbangan antara pasokan dan
kebutuhan O2. Pada periode pasca-operasi,
rendahnya hantaran O2 dapat meningkatkan
risiko infeksi luka pasca-operasi, mual/muntah
dan iskemia miokard akut.22 Selain itu, beberapa
penelitian pada hewan coba dan manusia
menemukan adanya disfungsi imunitas
progresif pada paru sehat selama anestesi
dan pembedahan29-31 akibat peningkatan
produksi sitokin dengan ditemukannya
indikator inflamasi pada sampel pemeriksaan
laboratorium.33 Pada penelitian yang dilakukan
pasca-bedah jantung ditemui penurunan
fungsi pulmoner dan oksigenasi pada 20-90%
kasus akibat teknik kolaps paru saat bypass
kardiopulmoner yang mungkin akibat respons
inflamasi dan terbentuknya atelektasis.12

email: alexis.steffi@gmail.com

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

907

TINJAUAN PUSTAKA
Makin tinggi kadar admixture vena yang terjadi
akibat kolaps paru, makin tinggi pula FiO2
yang harus diberikan pada fase perioperatif.
Hal inilah yang mendasari alasan FiO2 di atas
21% sangat diperlukan saat tindakan anestesi
dan juga sesaat pasca-bedah. Pada kondisi
pasien tertentu (morbid obese atau penyakit
kritis apapun) hipoksemi dapat dijumpai
meskipun telah menggunakan FiO2 tinggi.
Kadar FiO2 tinggi pada kondisi tertentu dapat
efektif untuk mengurangi gejala hipoksemi,
tetapi tidak sebagai terapi patofosiologis yang
menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia.
Sebaliknya, meningkatkan kadar FiO2 terlalu
tinggi justru dapat meningkatkan risiko
atelektasis dan ketidakseimbangan rasio V/Q
pasca-bedah24-26, sehingga pemberian FiO2
tinggi harus mempertimbangkan manfaat
dan efek negatifnya.

area yang kurang terventilasi tersebut. Hal


ini mengakibatkan volume pada area paru
tersebut menjadi berkurang secara progresif,
sampai akhirnya semua area paru tersebut
menjadi kolaps. Atelektasis reabsorbsi ini
sering terjadi pada pasien dengan V/Q
rendah, seperti pada pasien tua perokok.25
Selain itu, tindakan anestesi sendiri juga
dapat menyebabkan berkurangnya FRC
dan mengganggu ventilasi pada area-area
dependent. Atelektasis reabsorbsi dapat
terjadi pula pada pasien muda dengan
kondisi paru sehat.34 Faktor lain yang dapat
menyebabkan kolaps paru saat anestesi
antara lain berkurangnya tonus otot-otot
pernapasan akibat depresi sentral, inaktivasi
surfaktan akibat obat anestesi, perubahan
struktur thoraks akibat pembedahan, atau
akibat faktor lain.35-37

Komplikasi penting akibat kolaps paru


dapat berupa ventilator induced lung injury
(VILI)27 yang banyak ditemui pada paru yang
dalam koadaan kolaps parsial28-30; bisa pula
ditemui pada paru sehat. Telah diketahui dua
mekanisme yang mendasari VILI akibat kolaps
paru27, 31:
1. Stres pada paru normal saat mendapatkan
volume atau PEEP yang terlalu besar.
2. Peningkatan
volume
tidal tanpa
pemberian PEEP adekuat sehingga terjadi
hiperinflasi saat siklus inspirasi yang diikuti
dengan kolaps ekspirasi.32

Mekanime kolaps jalan napas


Kolaps jalan napas dan recruitment manuever
(RM) merupakan beberapa hal yang
bergantung terhadap tekanan yang diberikan
pada paru, karena faktor utama integritas
atelektesasis saat ventilasi mekanis berupa
Ttp, seperti beda tekanan antara jalan napas
dan ruang pleura.22 Gravitasi mengubah
tekanan pleura yang semula bernilai negatif
menjadi positif pada zona paru dependent
karena berat jaringan pulmoner di dalam
ruang thoraks mengikuti gaya gravitasi.
Meskipun tekanan jalan napas terdistribusi
secara homogen, perbedaan (gradien)
tekanan vertikal di dalam ruang pleura
menyebabkan Ttp pada paru dependent
bernilai lebih rendah dibandingkan pada
area paru non-dependent. Saat tindakan
anestesi, gradien vertikal tekanan pleura ini
menjadi terganggu karena diafragma tidak
berfungsi baik, bahkan terdorong ke arah
atas (toraks) oleh tekanan intra-abdomen,
sehingga bagian paling bawah paru menjadi
makin tertekan.6, 35

Penyebab kolaps jalan napas pada GA


Kolaps jalan napas saat anestesi terjadi
terutama akibat disfungsi diafragma, yang
diperberat dengan dorongan tekanan intra
abdomen ke toraks sehingga diafragma
yang tidak fungsional ini menjadi terdesak
ke arah toraks menyebabkan kompresi
paru terutama ke area paru dependent. Area
paru ini merupakan area dengan tekanan
transpulmoner (Ttp) terendah, sehingga
rentan terhadap kejadian kolaps pada akhir
ekspirasi. Kolaps paru jenis ini dikenal sebagai
atelektasis kompresif.6, 15, 16
Faktor penting lainnya yang dapat
menyebabkan kolaps alveoli adalah
tingginya FiO2 yang digunakan saat induksi
anestesi.24 FiO2 menyebabkan atelektasis
akibat reabsorbsi O2 pada area paru
dengan V/Q rendah; karena rasio difusi
O2 ke dalam darah kapiler lebih besar
dibandingkan dengan besar ventilasi pada

908

Tiap bagian paru mempunyai ambang


tekanan penutupan atau Ttp tertentu saat
area tersebut akan kolaps (closing pressure) dan
tekanan pembukaan atau ambang Ttp saat
area yang kolaps terbuka kembali (opening
pressure). Closing pressure dicapai saat akhir
ekspirasi karena Ttp berlaku sebagai tekanan
terendah pada jalan napas selama siklus
respirasi mekanis. Sedangkan opening pressure
diperoleh pada saat akhis inspirasi karena
tekanan ini menjadi bernilai tertinggi.22

RECRUITMENT MANUEVER
Saat ini dikenal dua strategi untuk mencegah
kolaps/atelektasis paru. Yang pertama adalah
dengan menggunakan continuous positive
airway pressure (CPAP) saat induksi anestesi.38
Mekanisme utama CPAP dalam mencegah
kolaps paru adalah dengan mencegah
turunnya FRC dengan menjaga tekanan jalan
napas lebih tinggi daripada closing pressure.
Strategi yang kedua untuk mencegah
atelektasis adalah dengan mengurangi FiO2
saat induksi.24, 39, 40
Recruitment maneuver merupakan strategi
ventilasi menggunakan teknik peningkatan
tekanan jalan napas, yang bertujuan untuk
membuka alveoli yang kolaps, sehingga
meningkatkan area paru untuk pertukaran
gas dan pada akhirnya meningkatkan
oksigenasi arteri.1, 8, 41-45 Secara umum,
tekanan pembukaan seluruh paru berkisar
40 cmH2O.1 Tekanan alveoli setinggi itu
diperkirakan dapat membuka alveoli
terakhir yang kolaps pada area paru yang
dependent. Hal inilah yang mendasari
penamaan fase RM (manuver pembukaan),
karena meningkatnya area paru yang dapat
kembali ter-aerasi dibandingkan dengan fase
sebelumnya. RM dapat dilakukan dengan
meningkatkan plateau pressure pada paru
kolaps dengan jalan meningkatkan PEEP di
atas closing pressure pada area dependent
[22]. RM merupakan strategi ventilasi
yang mengikuti open lung concept (OLC)
yang diperkenalkan beberapa dekade lalu
oleh Lachmann45 di Rotterdam, Belanda,
dengan mempertimbangkan rumus YoungLaplace, dimana: paru dapat dibuka dengan
memberikan tekanan jalan napas tinggi
pada jalan napas, dan mempertahankannya
tetap terbuka dengan PEEP yang cukup22.
Penelitian mengenai RM intra operatif telah
banyak dilakukan beberapa tahun terakhir
ini, dan dilaporkan berhasil pada pasien yang
menggunakan berbagai tipe gas anestesi3,
13, 14, 19, 25, 41, 44, 46-48
dan tipe pembedahan yang
berbeda-beda.22
Ada berbagai teknik RM: sustained pressure
dengan cara meningkatkan tekanan
jalan napas dengan konstan untuk satu
atau beberapa periode; intermittent sighs,
peningkatan PEEP progresif dengan TV
rendah, peningkatan PEEP tanpa perubahan
TV, peningkatan TV dan PEEP secara simultan,
peningkatan PEEP secara gradual dan

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA
intermiten dengan nilai tekanan terkontrol
konstan, ventilasi spontan menggunan mode
ventilasi dengan airway pressure release, dan
posisi prone.1, 4, 19, 49-52 Sedangkan RM yang
paling populer adalah metode CPAP dengan
tekanan yang bervariasi antara 30 sampai
40 cmH2O dalam waktu 30 sampai 90 detik
untuk pasien dengan ARDS.12, 41, 53, 54
Rothen et al.4 meneliti RM pada pasien yang
menjalani GA dengan meningkatkan peak
pressure pada jalan napas ke nilai 40 cmH2O.
Tekanan ini dipertahankan selama 15 detik
sampai area atelektasis terbuka kembali.1,
55
Dengan cara ini didapatkan peningkatan
PaO2 secara signifikan dan sebagian besar
atelektasis terbuka kembali. Keuntungan
RM adalah rendahnya insidens efek samping
seperti penurunan curah jantung / cardiac
output (CO) dan tekanan darah.1 Pang et al.3
menyebutkan bahwa RM dengan ventilasi
manual sampai dengan peak pressure 40
cmH2O dapat meningkatkan oksigenasi
arteri selama operasi pada pasien sehat
yang menjalani laparaskopi kolesistektomi
setelah tindakan pneumopreitoneum. Teknik
bedah ini berhubungan dengan penurunan
kapasitas fungsi vital paru sebesar 36%
dalam waktu 2-4 jam setelah pembedahan.
Penelitian lain menyimpulkan bahwa
RM dapat meningkatkan fungsi respirasi
saat pembedahan dengan menurunnya
atelektasis dan shunt, meningkatkan rasio
V/Q dan konsekuensinya meningkatkan
oksigenasi arteri.56 Tusman et al.13 berhasil
menunjukkan manfaat RM selama anestesi
pada paru independent pada pasien bedah
toraks, dan pasien dengan posisi lateral.
Selama ventilasi satu paru, shunt menurun
sekisar 15-40% akibat kolaps total paru
non-dependent. Peneliti yang sama juga
menunjukkan bahwa untuk mencegah derecruitment dibutuhkan PEEP dengan nilai 5
cmH2O atau lebih.44
Strategi RM merupakan suatu siklus yang
terdiri dari peningkatan dan pengurangan
tekanan yang dilakukan secara terkontrol
dan bertahap dengan menggunakan mode
ventilasi kontrol (driving pressure=15 cmH2O,
rasio respirasi antara 10 dan 15 x per menit,
rasio inspirasi:ekspirasi=1:1 dan FiO2=1). Siklus
RM dapat dilakukan menurut algoritma pada
Gambar 1 yang terdiri dari tiga fase.22, 44 Latar
belakang penatalaksanaan masing-masing
fase dijabarkan sebagai berikut:

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

Fase penyesuaian hemodinamik


Salah satu masalah utama ventilasi tekanan
positif adalah menurunnya preload ventrikel
kanan dan kiri tanpa adanya efek langsung
pada kontraktilitas jantung.57 Konsekuensinya
adalah penurunan CO dan tekanan arteri
sistemik, yang terjadi terutama pada pasien
dengan
ketidakstabilan
hemodinamik
seperti pada pasien hipovolemia, yang
dapat diterapi dengan pemberian cairan
intra vena untuk meningkatkan preload.22
Tantangan lebih lanjut ditemui pada pasien
dengan penyebab hipovolemia yang belum
diketahui pasti, karena PEEP yang diberikan
dapat berakibat ditemuinya beberapa
episode ketidakstabilan hemodinamik,
sehingga perlu dilakukan beberapa test
pada awal RM yang disebut sebagai
fase penyesuaian hemodinamik. Test ini
merupakan bagian dari RM untuk menguji
respons hemodinamik dengan pemberiaan
PEEP 10 dan/atau 15 cmH2O (sampai dengan
20 cmH2O) sebelum tekanan tinggi diberikan
pada jalan napas saat fase RM. RM dapat
dihentikan apabila terjadi terjadi penurunan
15-20% tekanan arteri rerata (mean arterial
pressure (MAP)), frekuensi nadi dan CO, atau
apabila terjadi penurunan MAP di bawah 55
mmHg dibandingkan kondisi hemodinamik
awal sebelum RM. Pada kondisi ini disarankan
mengurangi PEEP sampai dengan tingkat
aman yang telah diketahui sebelumnya.
Hipovolemia seperti ini dapat diterapi dengan
pemberian cairan kristaloid/koloid intra vena
sebelum RM dimulai kembali. Volume cairan
yang diberikan tergantung derajat hipotensi,
tetapi pada umumnya dapat diberikan 3-5
mL/kg kristaloid/koloid.22
Setiap tahap peningkatan PEEP pada fase
ini dipertahankan selama 5 kali napas
(Gambar 2). Pada tingkat PEEP 10 dan/
atau 15 cm H2O disarankan penilaian
kembali respons hemodinamik seperti telah
diutarakan sebelumnya. Apabila dirasa
aman, fase selanjutnya dapat dilakukan.
Proses peningkatan tekanan paru secara
progresif ini agar efek tekanan dan volume
dapat disebarkan dengan baik, sehingga
mengurangi tarikan dan stres pada parenkim
paru. Peningkatan tekanan bertahap ini telah
dilaporkan lebih aman untuk mencegah
kejadian hipotensi. Skenario ini berbeda
pada tipe CPAP yang langsung memberikan
tekanan besar saat RM yang menyebabkan
insidensi hipotensi yang lebih tinggi.22

Fase RM
Saat hemodinamik dapat dipertahankan
dengan baik, RM dapat dilakukan dengan
meningkatkan driving pressure 20 cmH2O dan
PEEP 20 cmH2O untuk mencapai opening
pressure 40 cmH2O dari tekanan plateau
(Gambar 2). Driving pressure 20 cmH2O
berhubungan
dengan
didapatkannya
nilai TV 8 mL/kg. Pada pasien dengan
compliance respirasi tinggi, driving pressure
harus dipertahankan pada 15 cmH2O untuk
mencegah terlalu tingginya TV. Pada kondisi
ini, PEEP dapat ditingkatkan ke 25 cmH2O
dengan tujuan untuk mencapai target
opening pressure yang sama dengan menjaga
TV dalam rentang normal. Sepuluh kali napas
pada fase ini dirasa cukup untuk membuka
seluruh paru pada pasien dengan paru
normal.22 Penting diketahui bahwa efek RM
dapat dilihat saat terjadi peningkatan pada
kurva Pressure-Volume.58
Fase titrasi PEEP
Fase ini bertujuan untuk mengidentifikasi
closing pressure paru atau untuk mengetahui
nilai PEEP saat paru mulai kolaps lagi pada
zona dependent. Fase titrasi PEEP ini terdiri
dari penurunan PEEP sebesar 2 cmH2O
secara progresif setiap menitnya. Closing
pressure ini dapat diketahui dengan baik
dengan melihat area paru yang atelektasis
menggunakan teknik pencitraan (CT-scan,
MRI, electrical impedance tomography), dapat
pula diketahui dengan penilaian PaO2 dan
PaCO2. Untuk memantau efek RM, sebagian
besar peneliti mengevaluasi peningkatan
nilai oksigenasi arterial, metode yang sering
dipakai pada praktik klinis menghitung nilai
PaO2 dan rasio PaO2/FiO2.41, 53, 54, 59 Setelah
didapatkan tekanan yang dikehendaki,
dilakukan RM lagi untuk membuka alveoli
yang mungkin kolaps saat fase titrasi PEEP.
Mode ventilasi kemudian diperhitungkan
dengan strategi proteksi paru dengan TV
kecil, dan PEEP beberapa cmH2O di atas
closing pressure. Nilai PEEP yang menjaga
paru tetap terbuka setelah fase RM disebut
sebagai open lung-PEEP (OL-PEEP).61 Metode
OL-PEEP saat ini menjadi isu yang sangat
menarik dalam disiplin VM karena metode
ini digunakan untuk mendeteksi nilai PEEP
yang membutuhkan teknik invasif atau
yang hampir tidak mudah tersedia. Di ruang
operasi, biasanya digunakan nilai standar
closing dan opening pressure. Nilai-nilai
target tersebut didapatkan dari penelitian-

909

TINJAUAN PUSTAKA
peneilitan fisiologis yang dilakukan pada
pasien yang menjalani anestesi. Opening
pressure paru normal diperkirakan sekitar
40 cmH2O sedangkan closing pressure
diperkirakan berkisar antara 5 dan 15 cm
H2O, tergantung kondisi klinis.1 Secara teori,
closing pressure berbeda-beda tiap individu
dengan tujuan untuk menghindari tekanan
yang terlalu tinggi / terlalu rendah.
Karena compliance paru dan resistensi
jalan napas meningkat saat dilakukan RM
bertahap, risiko overdistensi menjadi lebih
rendah karena ventilasi terdistribusi secara
homogen ke semua area parenkim paru. Efek
ini didukung dengan penurunan ruang mati
setelah RM, yang menjelaskan bahwa kapiler
pulmoner tidak terkompresi oleh tekanan
alveolar.13, 48 RM dapat dilakukan pada
hampir semua pasien yang akan menjalani
GA dengan jalan napas tidak tertutup oleh
balon endotracheat tube (ET) seperti pada
penggunaan laryngeal mask airway atau
sungkup muka, karena 90% pasien yang
menjalani GA mengalami kolaps paru, 10
% sisanya adalah pasien bedah sehari atau
bedah minor pada pasien muda, sehat dengan
berat badan cukup kurus yang mempunyai
sedikit kolaps paru. Pada pasien ini, RM tidak
diindikasikan. Sebaliknya pada pasien yang
akan menjalani bedah sedang-besar dengan
ASA lebih dari 2, RM akan memberikan
respons perbaikan fungsi paru.22 RM dapat
dilakukan setelah dilakukan induksi anestesi
untuk mendapatkan manfaat selama periode
pembedahan. Saat terjadi hubungan jalan
napas ke atmosfer (terlepasnya hubungan
antar ET dari sirkuit anestesi), RM harus
dilakukan lagi karena kolaps paru dapat
terjadi dalam hitungan detik. Tidak disarankan
untuk melepas hubungan sirkuit anestesi
selama pembedahan sampai dengan pasien
terekstubasi pada akhir anestesi.22

Apakah pasien siap menjalani RM?

Ya

Tidak

Periksa apakah ada kebocoran hubungan sirkuit dan paru


Pastikan anestesi cukup dalam
Pastikan hemodinamik stabil

Apakah RM menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik?


(Fase penyesuaian hemodinamik)

Tidak

Ya

Hentikan RM
Kembali ke nilai PEEP aman sebelumnya
Berikan 3-5 mL/kg cairan intra vena

Fase RM
Tentukan nilai OL-PEEP

Dengan titrasi PEEP


Menggunakan bantuan:
Pencitraan paru (CT-scan, MRI, EIT)
Analisis gas darah (PaO2)
Mekanika paru
Kapnografi volumetric

Tanpa titrasi PEEP


(menggunakan nilai standard PEEP)
Nilai PEEP rendah-sedang
Pasien muda dengan berat badan cukup, ASA 1, bedah kepalaleher, bedah sehari dan bedah minor, posisi Fowler, bedah
ekstremitas)
Nilai PEEP sedang-tinggi
Pasien kritis ASA 3-4, obese, bedah laparaskopi/abdominal/
jantung, posisi Trendelenburg

Gambar 1 Algoritma pelaksanaan RM

Fase penyesuaian hemodinamik


(1-2 menit)

Fase RM
10 x napas

Fase titrasi PEEP

Re-RM

Mode
akhir

Gambar 2 Skema strategi RM. Dilakukan dengan mode ventilasi napas kontrol dengan driving pressure (PEEP plateau) 15
cm H2O. Tiap blok menggambarkan satu kali TV. PEEP dinaikkan secara bertahap tiap 5 cmH2O pada fase penyesuaian
hemodinamik. Kemudian PEEP dan driving pressure ditingkatkan ke 20 cmH2O untuk membuka paru sampai 10 kali napas.
Fase titrasi PEEP dimulai dengan mengurangi driving pressure ke 15 cmH2O kemudian menurunkan PEEP secara bertahap tiap
2 cmH2O dari 20 cmH2O sampai ditemukan nilai closing pressure. Diikuti dengan RM ke dua yang kemudian mode ventilasi
dipertahankan denagn mode protektif (TV rendah) dan dengan mengggunakan OL-PEEP.

Beberapa peneliti menyarankan dilakukannya


RM setiap kali terjadi pelepasan hubungan dari
ventilator dan juga setelah aspirasi trakea.53, 62
Indikasi ini juga berlaku pada pasien dengan
GA baik dengan napas spontan atau dengan
VM. Banyak pasien teranestesi mengalami
ventilasi tidak adekuat akibat kurang tepatnya
PEEP yang digunakan; sehinggga pada pasien
teranestesi yang tidak terventilasi adekuat
disarankan dilakukan RM pada akhir anestesi
sebelum ekstubasi untuk menurunkan risiko
komplikasi repirasi post-operatif.56

910

Kontraindikasi RM
Pada pasien dengan hemodinamik tidak
stabil oleh sebab apapun, terutama pasien
hipovolemik, RM menjadi kontra indikasi sampai
tercapai kondisi stabil setelah terapi. Selain itu,
pada pasien bronkospasme, fistula bronkial,
pneumotoraks, pneumomediastinum, emfisema subkutan, pasca-biopsi dan reseksi
paru, atau tekanan intrakranial tinggi, RM juga
tidak disarankan.13, 22, 53 Tekanan jalan napas
tinggi mempunyai efek hemodinamik berupa

penurunan aliran balik vena dan peningkatan


afterload ventrikel kiri, menyebabkan paru
lebih rentan terhadap barotrauma.49, 63 Pada
pasien hipovolemik, hipotensi dapat cepat
membaik setelah intervensi peningkatan
preload.63 Bein et al64 dan Moran et al65 meneliti
efek RM terhadap tekanan intra kranial (TIK)
dan metabolisme otak pada pasien dengan
trauma kepala yang disertai dengan gagal
napas. Mereka mendapatkan bahwa TIK dan
MAP menurun pada akhir RM yang berakibat

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA
penurunan perfusi yang normal kembali
dalam waktu 10 menit kemudian.56
SIMPULAN
Kolaps paru terjadi saat GA yang menyebabkan
gangguan fungsi paru, terutama pada pasien

dengan gangguan respirasi pada periode perioperatif. RM dapat bermanfaat saat GA karena
meningkatkan oksigenasi pasca-operasi. dan
membuka atelektasis pada pasien dengan
GA. Teknik ini bermanfaat pada pasien post
operatif yang membutuhkan oksigen rendah

dengan risiko rendah komplikasi respirasi.


Penelitian lebih lanjut mengenai efek RM
pada pasien teranestesi dibutuhkan untuk
mendefinisikan keuntungan sesungguhnya
dan untuk mengetahui dengan pasti pada
situasi mana seharusnya RM dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Rothen HU, Sporre B, Engberg G, Wegenius G, Hedenstierna G. Re-expansion of atelectasis during general anaesthesia: a computed tomography study. Br J Anaesth 1993, 71(6):788-95.

2.

Singh PK, Agarwal A, Gaur A, Deepali DA, Pandey CK, Singh U. Increasing tidal volumes and PEEP is an effective method of alveolar recruitment. Can J Anaesth 2002, 49(7):755.

3.

Pang CK, Yap J, Chen PP. The effect of an alveolar recruitment strategy on oxygenation during laparascopic cholecystectomy. Anaesth Intensive Care 2003, 31(2):176-80.

4.

Rothen HU, Neumann P, Berglund JE, Valtysson J, Magnusson A, Hedenstierna G. Dynamics of re-expansion of atelectasis during general anaesthesia. Br J Anaesth 1999, 82(4):551-6.

5.

Torda TA, McCulloch CH, OBrien HD, Wright JS, Horton DA. Pulmonary venous admixture during one-lung anaesthesia. The effect of inhaled oxygen tension and respiration rate. Anaes-

6.

Brismar B, Hedenstierna G, Lundquist H, Strandberg A, Svensson L, Tokics L. Pulmonary densities during anesthesia with muscular relaxation--a proposal of atelectasis. Anesthesiology

thesia 1974, 29(3):272-9.


1985, 62(4):422-8.
7.

Klingstedt C, Hedenstierna G, Lundquist H, Strandberg A, Tokics L, Brismar B. The influence of body position and differential ventilation on lung dimensions and atelectasis formation in
anaesthetized man. Acta Anaesthesiol Scand 1990, 34(4):315-22.

8.

Hedenstierna G, Tokics L, Strandberg A, Lundquist H, Brismar B. Correlation of gas exchange impairment to development of atelectasis during anaesthesia and muscle paralysis. Acta
Anaesthesiol Scand 1986, 30(2):183-91.

9.

Hedenstierna G. Gas exchange during anaesthesia. Br J Anaesth 1990, 64(4):507-14.

10. Lundquist H, Hedenstierna G, Strandberg A, Tokics L, Brismar B. CT-assessment of dependent lung densities in man during general anaesthesia. Acta Radiol 1995, 36(6):626-32.
11. Tusman G, Bohm SH, Melkun F, Nador CR, Staltari D, Rodriguez A, et al. Effects of the alveolar recruitment manoeuver and PEEP on arterial oxygenation in anesthetized obese patients.
Revista espanola de anestesiologia y reanimacion 2002, 49(4):177-83.
12. Dyhr T, Laursen N, Larsson A. Effects of lung recruitment maneuver and positive end-expiratory pressure on lung volume, respiratory mechanics and alveolar gas mixing in patients
ventilated after cardiac surgery. Acta Anaesthesiol Scand 2002, 46(6):717-25.
13. Tusman G, Bohm SH, Sipmann FS, Maisch S. Lung recruitment improves the efficiency of ventilation and gas exchange during one-lung ventilation anesthesia. Anesth Analg 2004,
98(6):1604-9.
14. Tusman G, Bohm SH, Tempra A, Melkun F, Garcia E, Turchetto E, et al. Effects of recruitment maneuver on atelectasis in anesthetized children. Anesthesiology 2003, 98(1):14-22.
15. Lindberg P, Gunnarsson L, Tokics L, Secher E, Lundquist H, Brismar B, et al. Atelectasis and lung function in the postoperative period. Acta Anaesthesiol Scand 1992, 36(6):546-53.
16. Rothen HU, Sporre B, Engberg G, Wegenius G, Hedenstierna G. Airway closure, atelectasis and gas exchange during general anaesthesia. Br J Anaesth 1998, 81(5):681-6.
17. Strandberg A, Tokics L, Brismar B, Lundquist H, Hedenstierna G. Constitutional factors promoting development of atelectasis during anaesthesia. Acta Anaesthesiol Scand 1987,
31(1):21-4.
18. Pelosi P, Croci M, Ravagnan I, Cerisara M, Vicardi P, Lissoni A, et al. Respiratory system mechanics in sedated, paralyzed, morbidly obese patients. J Appl Physiol 1997, 82(3):811-8.
19. Whalen FX, Gajic O, Thompson GB, Kendrick ML, Que FL, Williams BA, et al. The effects of the alveolar recruitment maneuver and positive end-expiratory pressure on arterial oxygenation
during laparoscopic bariatric surgery. Anesth Analg 2006, 102(1):298-305.
20. Sprung J, Whalley DG, Falcone T, Warner DO, Hubmayr RD, Hammel J. The impact of morbid obesity, pneumoperitoneum, and posture on respiratory system mechanics and oxygenation
during laparoscopy. Anesth Analg 2002, 94(5):1345-50.
21. Hedenstierna G. Contribution of multiple inert gas elimination technique to pulmonary medicine. 6. Ventilation-perfusion relationships during anaesthesia. Thorax 1995, 50(1):85-91.
22. Tusman G, Belda JF. Treatment of anesthesia-induced lung collapse with lung recruitment maneuvers. Current Anaesthesia &amp; Critical Care 2010, 21(5-6):244-9.
23. Moller JT, Johannessen NW, Berg H, Espersen K, Larsen LE. Hypoxaemia during anaesthesia--an observer study. Br J Anaesth 1991, 66(4):437-44.
24. Joyce CJ, Baker AB, Kennedy RR. Gas uptake from an unventilated area of lung: computer model of absorption atelectasis. J Appl Physiol 1993, 74(3):1107-16.
25. Gunnarsson L, Tokics L, Gustavsson H, Hedenstierna G. Influence of age on atelectasis formation and gas exchange impairment during general anaesthesia. Br J Anaesth 1991, 66(4):42332.
26. Loeckinger A, Kleinsasser A, Keller C, Schaefer A, Kolbitsch C, Lindner KH, et al. Administration of oxygen before tracheal extubation worsens gas exchange after general anesthesia in a
pig model. Anesth Analg 2002, 95(6):1772-6.
27. Slutsky AS. Lung injury caused by mechanical ventilation. Chest 1999, 116(1 Suppl):9S-15S.
28. Wolthuis EK, Vlaar AP, Choi G, Roelofs JJ, Juffermans NP, Schultz MJ. Mechanical ventilation using non-injurious ventilation settings causes lung injury in the absence of pre-existing lung
injury in healthy mice. Crit Care 2009, 13(1):R1.
29. Kotani N, Lin CY, Wang JS, Gurley JM, Tolin FP, Michelassi F, et al. Loss of alveolar macrophages during anesthesia and operation in humans. Anesth Analg 1995, 81(6):1255-62.
30. Schilling T, Kozian A, Huth C, Buhling F, Kretzschmar M, Welte T, Hachenberg T: The pulmonary immune effects of mechanical ventilation in patients undergoing thoracic surgery. Anesth
Analg 2005, 101(4):957-965, table of contents.
31. Steinberg JM, Schiller HJ, Halter JM, Gatto LA, Lee HM, Pavone LA, Nieman GF: Alveolar instability causes early ventilator-induced lung injury independent of neutrophils. Am J Respir Crit
Care Med 2004, 169(1):57-63.
32. Mead J, Takishima T, Leith D: Stress distribution in lungs: a model of pulmonary elasticity. J Appl Physiol 1970, 28(5):596-608.

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

911

TINJAUAN PUSTAKA
33. Ventilation with lower tidal volumes as compared with traditional tidal volumes for acute lung injury and the acute respiratory distress syndrome. The Acute Respiratory Distress Syndrome Network. N Engl J Med 2000, 342(18):1301-1308.
34. Hewlett AM, Hulands GH, Nunn JF, Milledge JS: Functional residual capacity during anaesthesia III: Artificial ventilation. Br J Anaesth 1974, 46(7):495-503.
35. Froese AB, Bryan AC: Effects of anesthesia and paralysis on diaphragmatic mechanics in man. Anesthesiology 1974, 41(3):242-55.
36. Wollmer P, Schairer W, Bos JA, Bakker W, Krenning EP, Lachmann B: Pulmonary clearance of 99mTc-DTPA during halothane anaesthesia. Acta Anaesthesiol Scand 1990, 34(7):572-5.
37. Hedenstierna G, Strandberg A, Brismar B, Lundquist H, Svensson L, Tokics L: Functional residual capacity, thoracoabdominal dimensions, and central blood volume during general anesthesia with muscle paralysis and mechanical ventilation. Anesthesiology 1985, 62(3):247-54.
38. Gander S, Frascarolo P, Suter M, Spahn DR, Magnusson L: Positive end-expiratory pressure during induction of general anesthesia increases duration of nonhypoxic apnea in morbidly
obese patients. Anesth Analg 2005, 100(2):580-4.
39. Coussa M, Proietti S, Schnyder P, Frascarolo P, Suter M, Spahn DR, Magnusson L: Prevention of atelectasis formation during the induction of general anesthesia in morbidly obese patients.
Anesth Analg 2004, 98(5):1491-1495, table of contents.
40. Edmark L, Kostova-Aherdan K, Enlund M, Hedenstierna G: Optimal oxygen concentration during induction of general anesthesia. Anesthesiology 2003, 98(1):28-33.
41. Dyhr T, Nygard E, Laursen N, Larsson A: Both lung recruitment maneuver and PEEP are needed to increase oxygenation and lung volume after cardiac surgery. Acta Anaesthesiol Scand
2004, 48(2):187-97.
42. Fletcher R: Deadspace during anaesthesia. Acta Anaesthesiol Scand Suppl 1990, 94:46-50.
43. Fletcher R, Jonson B, Cumming G, Brew J: The concept of deadspace with special reference to the single breath test for carbon dioxide. Br J Anaesth 1981, 53(1):77-88.
44. Tusman G, Bohm SH, Vazquez de Anda GF, do Campo JL, Lachmann B: Alveolar recruitment strategy improves arterial oxygenation during general anaesthesia. Br J Anaesth 1999, 82(1):813.
45. Lachmann B: Open up the lung and keep the lung open. Intensive Care Med 1992, 18(6):319-21.
46. Erlandsson K, Odenstedt H, Lundin S, Stenqvist O: Positive end-expiratory pressure optimization using electric impedance tomography in morbidly obese patients during laparoscopic
gastric bypass surgery. Acta Anaesthesiol Scand 2006, 50(7):833-9.
47. Bohm SH, Maisch S, von Sandersleben A, Thamm O, Passoni I, Martinez Arca J, Tusman G: The effects of lung recruitment on the Phase III slope of volumetric capnography in morbidly
obese patients. Anesth Analg 2009, 109(1):151-9.
48. Tusman G, Bohm SH, Suarez-Sipmann F, Turchetto E: Alveolar recruitment improves ventilatory efficiency of the lungs during anesthesia. Can J Anaesth 2004, 51(7):723-7.
49. Hess DR, Bigatello LM: Lung recruitment: the role of recruitment maneuvers. Respir Care 2002, 47(3):308-317; discussion 317-308.
50. Singh B, Sharma P: Subdural block complicating spinal anesthesia? Anesth Analg 2002, 94(4):1007-1009, table of contents.
51. Marini JJ: How to recruit the injured lung. Minerva Anestesiol 2003, 69(4):193-200.
52. Claxton BA, Morgan P, McKeague H, Mulpur A, Berridge J: Alveolar recruitment strategy improves arterial oxygenation after cardiopulmonary bypass. Anaesthesia 2003, 58(2):111-6.
53. Amato MB, Barbas CS, Medeiros DM, Magaldi RB, Schettino GP, Lorenzi-Filho G, Kairalla RA, Deheinzelin D, Munoz C, Oliveira R et al: Effect of a protective-ventilation strategy on mortality
in the acute respiratory distress syndrome. N Engl J Med 1998, 338(6):347-54.
54. Grasso S, Mascia L, Del Turco M, Malacarne P, Giunta F, Brochard L, Slutsky AS, Marco Ranieri V: Effects of recruiting maneuvers in patients with acute respiratory distress syndrome ventilated with protective ventilatory strategy. Anesthesiology 2002, 96(4):795-802.
55. Rothen HU, Sporre B, Engberg G, Wegenius G, Hedenstierna G: Reexpansion of atelectasis during general anaesthesia may have a prolonged effect. Acta Anaesthesiol Scand 1995,
39(1):118-25.
56. Goncalves LO, Cicarelli DD: Alveolar recruitment maneuver in anesthetic practice: how, when and why it may be useful. Rev Bras Anestesiol 2005, 55(6):631-8.
57. Pinsky MR: The hemodynamic consequences of mechanical ventilation: an evolving story. Intensive Care Med 1997, 23(5):493-503.
58. Hickling KG: Best compliance during a decremental, but not incremental, positive end-expiratory pressure trial is related to open-lung positive end-expiratory pressure: a mathematical
model of acute respiratory distress syndrome lungs. Am J Respir Crit Care Med 2001, 163(1):69-78.
59. Pelosi P, Cadringher P, Bottino N, Panigada M, Carrieri F, Riva E, Lissoni A, Gattinoni L: Sigh in acute respiratory distress syndrome. Am J Respir Crit Care Med 1999, 159(3):872-80.
60. Barbas CS, de Matos GF, Okamoto V, Borges JB, Amato MB, de Carvalho CR: Lung recruitment maneuvers in acute respiratory distress syndrome. Respir Care Clin N Am 2003, 9(4):401-18,
vii.
61. Tusman G, Suarez-Sipmann F, Bohm SH, Pech T, Reissmann H, Meschino G, Scandurra A, Hedenstierna G: Monitoring dead space during recruitment and PEEP titration in an experimental
model. Intensive Care Med 2006, 32(11):1863-71.
62. Grasso S, Mascia L, Del Turco M, Malacame O, Giunta F, Brochard L, Slutsky AS, Marco RV: Effects of recruiting maneuvers in patients with acute respiratory distress syndrome ventilated
with protective ventilatory strategy. Anesthesiology 2002, 96:795-802.
63. Marini JJ: Inverse ratio ventilation--simply an alternative, or something more? Crit Care Med 1995, 23(2):224-8.
64. Bein T, Kuhr LP, Bele S, Ploner F, Keyl C, Taeger K: Lung recruitment maneuver in patients with cerebral injury: effects on intracranial pressure and cerebral metabolism. Intensive Care Med
2002, 28(5):554-8.
65. Moran I, Zavala E, Fernandez R, Blanch L, Mancebo J: Recruitment manoeuvres in acute lung injury/acute respiratory distress syndrome. The European respiratory journal Supplement
2003, 42:37s-42s.

912

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

LAPORAN KASUS

Acute Limb Ischaemia: Case Report


Edwin Nugroho Njoto
Internship Doctor in Parama Sidhi General Hospital, Singaraja, Bali

ABSTRACT
Acute limb ischaemia (ALI) is defined as a sudden decrease in limb perfusion that threatens the viability of the limb. Physical findings may
include absence of pulse distal to the occlusion, cold and pale or mottled skin, reduced sensation, decreased strength and may be associated
with ischemic stroke and myocardial infarction. A 41-year-old male came to emergency room (ER) with necrosis in the left and right legs and
feet. Patient was diagnosed with acute limb ischaemia. Duplex sonography femoralis, angiojet and percutaneous intra arterial thrombolysis
were done 2 days after the first symptoms. The patient was amputated on both legs and the patient recovered.
Key words: acute limb ischaemia, necrotic, amputation

ABSTRAK
Acute limb ischaemia (ALI) adalah penurunan mendadak perfusi ekstremitas yang mengancam viabilitas ekstremitas tersebut. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan hilangnya denyut nadi bagian distal oklusi, dingin dan pucat atau kulit berbercak-bercak, penurunan respons sensorik, penurunan
kekuatan dan dihubungkan dengan stroke iskemik dan infark miokard. Laki-laki 41 tahun datang ke ruang unit gawat darurat dengan nekrosis
paha kiri dan kanan dan kaki kiri dan kanan. Pasien pernah berobat dan didiagnosis sebagai ALI. Pemeriksaan duplex sonografi, angiojet dan
trombolisis intraarterial perkutan dilakukan 2 hari setelah gejala. Amputasi dilakukan pada kedua tungkai dan pasien dapat diselamatkan.
Edwin Nugroho Njoto. Acute Limb Ischemia: Laporan Kasus.
Kata kunci: acute limb ischaemia, nekrosis, amputasi

INTRODUCTION
The incidence of acute limb ischaemia (ALI) is
approximately 1,5 cases per 10.000-person per
year. Causes of ALI include acute thrombosis of
a limb artery or bypass graft, embolism from
the heart or a diseased artery, dissection, and
trauma (severing of an artery or thrombosis). The
clinical presentation is considered to be acute if
occurs within 2 weeks. The rapid onset of limb
ischaemia results from a sudden cessation of
blood supply and nutrients to metabolic active
tissues of the limb, including skin, muscle, and
nerves.1,2 Atherosclerosis-induced acute limb
ischaemia may threat viability of limbs as it may
cause necrosis.1 We report a case of acute limb
ischaemia with necrosis.
CASE PRESENTATION
A 41-year-old male came to ER with swelling and
pain in both calves and legs since 10 days before
admission. Stabbing pain was felt in the upper
tip of the calves upon walking and relieved
with rest. Initially the pain was only felt like a
*) Tulisan ini dipresentasikan pada 6th ISILAM INA LIVE, 1
Desember 2013, di ........
Alamat korespondensi

Thrombus
Thrombus
severe stenosis

NO FLOW

Figure 1

Figure 2

muscleache but then got worse during the day


and was accompanied by swelling. Edinburgh
claudication questionnaire showed positive
claudication. Patient was a heavy smoker (> 24
cigarettes/day). History of previous surgery was
denied. Body Mass Index (BMI) was 34,60 kg/
m2 (WHO criteria: obese). His elder brother had
a heart failure. Patient had already underwent
duplex femoralis sonography, arterography,
angiojet and percutaneous intraarterial
thrombolysis 2 days after symptoms developed.
Result of Duplex sonography femoralis artery
showed (Figure 13):

1. Triphasic Doppler curve morphology


on aorta abdominalis dan right femoralis
communis artery showed that colour code
doesnt fill blood vessel lumen of right poplitea
artery, right anterior tibialis artery and from
left superficial femoral artery until left anterior
and posterior tibial artery.
2. Monophasic Doppler curve morphology
showed high end-diastolic pressure
from bilateral communis femoral artery,
superficial femoralis artery, poplitea artery,
anterior tibialis artery and left posterior
tibial artery.

email: dpramudhito@yahoo.com

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

913

LAPORAN KASUS
3. Right superficial femoral artery, poplitea
artery, posterior-anterior tibialis artery
occlusion.
4. Left iliaca artery, communis femoralis
artery, poplitea artery, posterior-anterior
tibialis artery occlusion.
moderate stenosis

No flow

No flow

Severe stenosis

Severe stenosis

No flow

No flow

No flow

of hemoglobin, the thrombolytic agent


was stopped. Echocardiography revealed
LV septal hypertrophy, normal systolic and
diastolic function, normal valves, and no
thrombus. Electrocardiography couldnt be
done due to necrosis of both legs and calves.
He was given irbesartan 300 mg once daily,
fenofibrate 300 mg once daily, alprazolam
0,5 mg once daily, laxative (per 5 mg:
phenolphthalein 55 mg, liqd parafin 1200
mg, glycerine 378 mg) 30 ml 3 times daily,
pantoprazole 30 mg twice daily, ceftriaxone
2 gram once daily, tramadol drip, amlodipine
10 mg once daily, allopurinol 100 mg 3
times daily, clopidogrel 75 mg once daily,
paracetamol 500 mg 3 times daily.

twice daily and whole blood transfusion 1


bag 350 ml were added to the therapy.

The patient had normal blood pressure (on


antihypertensive drug), normal heart rate,
normal respiratory rate, and slightly increased
body temperature. Head and neck was clear.
Cardiovascular examination was normal.
Lungs were clear, and abdominal examination
was normal. Left leg examination revealed
necrotic tissue above knee, pus in the digiti
I-V, blood, and no sensory sensation. Right leg
examination revealed necrotic tissue below
knee, edema and bulla, and no sensation
below knee. Laboratory studies showed
anemia (Hb: 10), leucocytosis (WBC: 16,8),
slight increase of BUN (BUN:60), and high
level of transaminase (AST/ALT: 200/273).
Trombocyte count, creatinine, random blood
glucose and lipid profile were normal.

Postoperative laboratory studies on 14th day


showed anemia (Hb:9,9 g/dl), leucocytosis
(WBC:21,4), mild thrombocytoses (PLT:466000/
uL), increase in coagulation studies (aPTT
43,5s, PT 26,2 s, INR 2,23).

On admission, amputation above knee on


both legs was suggested but the patient
refused. He was treated with ceftriaxone
1 gram injection twice daily, ketorolac 30
mg injection three times a day, micronized
purified flavonoid fraction 500 mg tablet
three times a day, cilostazol 100 mg tablet
twice daily, Warfarin Na 2mg once daily at
night, amlodipin 5 mg tablet once daily.

The second amputation was performed on


13th day. Preoperative laboratory studies
showed anemia (Hb:8,4 g/dl), leucocytosis
(WBC:11,1),
mild
thrombocytosis.
(PLT:494000/uL). He was treated with
ceftriaxone 1 gram injection twice daily,
gentamicin 80 mg injection twice daily,
ketorolac 30 mg injection three times a day,
micronized purified flavonoid fraction 500
mg tablet three times a day, cilostazol 100
mg tablet twice daily, Warfarin Na 2 mg once
daily at night, amlodipin 5 mg tablet once
daily.

The patient was discharged on 19th day. He


was treated orally with cilostazol 100 mg twice
daily, amlodipin 5 mg once daily, perindopril 5
mg once daily, micronized purified flavonoid
fraction 500 mg three times a day, paracetamol
500 mg three times a day, mefenamic acid 500
mg three times a day, cefadroxil 500 mg tablet
three times a day.

Femoral artery
Popliteal artery
arteyartery
posterior tibial artery
anterior tibial artery

Figure 4 The black line indicate blocked artery

Figure 3 a-d

5. Normal vein flow in both leg.


6. Deep vein thrombosis was not found in
deep vein of both legs.
There was bleeding with significant decrease

914

On third day patient agreed to have first


amputation on the left limb. On physical
examination he had tachycardia (112 bpm),
regular tachypnea (24 bpm), and fever
(39 C). Laboratory result showed anemia
(Hb:8,7), leucocytosis (WBC:22,7), and
thrombocytopenia (PLT:70000), hypoalbumin
(Alb:2,3). Bleeding time and clotting time
were normal. Postoperative studies showed
anemia (Hb:8,0 g/dl), leucocytosis (WBC:15,1),
normal platelet count. Gentamycin 80 mg iv

DISCUSSION
Acute limb ischaemia (ALI) deserves special
attention because: First, despite urgent
revascularization with thrombolytic agents
or surgery, amputation occurs in 10 to 15%
patients during hospitalization, mostly above
knee.2 Second, death and complication rates
are high; approximately 15 to 20% patients die
within 1 year, often from coexist predisposing
conditions. Two years after a below-knee

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

LAPORAN KASUS
amputation, 30% died, 15% have an aboveknee amputation, 15% have a contralateral
amputation, and only 40% have full mobility2.
Third, since atherosclerosis is a systemic
disease, other diseases such as coronary
artery disease and cerebrovascular disease
can develop.2
ALI was diagnosed in this patient based on:
1. Symptoms of swelling and stabbing
pain in both calves and legs while walking
and relieved when resting since 10 days
before admission. Edinburgh claudication
questionnaire shows positive claudication.
The questionnaire is a standardized method
to screen and diagnose intermittent
claudication with 80-90% sensitivity and
>95% specificity2,3.
2. Risk factors : heavy smoking (> 24
cigarettes/day), obese (BMI: 34,60 kg/m2),
family history of cardiovascular disease.
3. Duplex sonography femoralis resulted:
a. Occlusion in the left illiaca artery with
positive collateral in the communis femoralis
artery.
b. Occlusion from left superficialis femoral
artery until left posterior-anterior tibialis
artery.
c. Occlusion in poplitea artery until distal
right anterior tibialis artery with positive
collateral on right posterior tibialis artery.
d. Deep vein thrombosis wasnt found in
both legs.
ALI is classified into 4 stage (Table 1).
Table 1 Clinical category of ALI

Acute limb ischemia is treated by endovascular


or open surgical revascularization. The goal of
catheter-based endovascular revascularization
is to restore blood flow as rapidly as possible
to viable or threatened limb with the use of
drugs, mechanical devices, or both. Catheter-

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

based thrombolysis gave a satisfactory clinical


result in 75 to 92% patients with acute limb
ischemia caused by occluded native vessel,
stent or graft, complete or partial thrombus.
High amputation rate (12%) was observed
if revascularization performed during 1224 hours1,4 . Those with a nonviable limb,
bypass graft with suspected infection, or
contraindication to thrombolysis (e.g. recent
intravascular hemorrhage, recent major
surgery, vascular brain neoplasm, active
bleeding) should not undergo catheterdirected therapies. Bleeding occurs most
commonly at the catheter insertion site, major
hemorrhage occurs in 6 to 9%.1,2
Thrombolysis had already been done 2
days after symptoms developed, but was
not effective because of bleeding with
significant hemoglobin drop and necrosis in
lower extremity5. Angiojet thrombectomy
had also already been done to patient 2
days after symptoms developed, but less
effective because the diameter of femoral
artery occlusion >1 cm2-5. Angiojet catheter is
approved by Food and Drug Administrations
for treatment of occlusions in peripheral
arteries and can be a useful adjunct to
thrombolysis. 6-8
Surgical
approach
include
thromboembolectomy with a balloon catheter,
bypass surgery, and adjunct such as
intraoperative thrombolysis. In Thrombolysis
or Peripheral Artery Surgery (TOPAS) trial,
rates of limb salvage and survival did not
differ significantly between the thrombolysis
and surgery groups, but complication rates
were higher in the thrombolysis group.
Catheter-directed thrombolysis has the best
results in patients with a viable or marginally
threatened limb, recent occlusion (no more
than 2 weeks duration), with at least one
identifiable distal runoff vessel. Surgical
revascularization is generally preferred for
patient with an immediately threatened limb
or with symptoms of occlusion for more than
2 weeks1. Bypass surgery presents the most
common surgical approach. 2
Patients with extensive necrosis or infectious
gangrene and who are non ambulatory may
best be served with primary amputation.
Secondary amputation may be performed
when
revascularization
failed
and
reintervention is no longer possible or when

the limb continue to deteriorate because of


infection or necrosis. The goals are ischaemia
pain relief, complete removal of diseased,
necrotic, or infected tissue, and construction
of a stump suitable for ambulation with
prothesis.2
Amputation on both limbs was suggested for
this patient based on
1. Patient was presented with Rutherford
criteria stage III because limb irreversibly
damaged, major tissue loss and permanent
nerve damage inevitable. 2
2. Failure of endovascular thrombolysis and
angiojet thrombectomy therapy
3. Patient was presented with necrosis of
both leg and were unable to be saved
Since the patient refused amputation, he
was given ceftriaxone 1 gram injection
twice daily, ketorolac 30 mg injection three
times a day, micronized purified flavonoid
fraction 500 mg tablet three times a day,
cilostazol 100 mg tablet twice daily, warfarin
Na 2mg once daily at night, amlodipin
5 mg tablet once daily. Ceftriaxone was
given because it has broad spectrum
bactericidal effect to gram positive and
gram negative bacteria9. Ketorolac was
given to reduce the pain by inhibition of
cyclooxygenase (COX) pathway10. Flavonoid
fraction was given to improve venous
tone and lymphatic drainage, and reduces
capillary hyperpermeability by protecting
the microcirculation from inflammatory
processes11. Cilostazol was given to inhibit
platelet aggregation and has a direct arterial
vasodilator effect to reduce intermittent
claudication12. Amlodipine was given to
reduce blood pressure and to reduce
myocardial oxygen demand through its
peripheral arterial vasodilator effect13.
On the 3rd day, sepsis started to develop and
amputation was agreed. Gentamicin was given
because gram negative bacterial infection
commonly found in leg was sensitive to this
aminoglycoside antibiotic14. Whole blood
transfusion 1 bag 350 ml was given to this
patient because low level of haemoglobin
(hb:8,7 gr/dl). The second amputation was
performed on 13rd day.
The patient was discharged in 19th day. He
was treated with cilostazol 100 mg tablet
twice daily, amlodipin 5 mg tablet once daily,

915

LAPORAN KASUS
perindopril 5 mg tablet once daily, micronized
purified flavonoid fraction 500 mg tablet three
times a day, paracetamol 500 mg three times
a day, mefenamic acid 500 mg tablet three
times a day, cefadroxil 500 mg tablet three
times a day.
Perindopril was given because to cardiovascular
events by 25% in patients with symptomatic

peripheral arterial disease without known low


ejection fraction or heart failure15. Mefenamic
acid was given as analgesic.10 Cefadroxil was
given to replace intravenous cephalosporine
antibiotics.9
Education is important to prevent other
thromboembolic event. Risk factors prevention
such as weight reduction, smoking cessation

are important. Leg prothesis can be applied to


improve quality of life.
SUMMARY
Diagnosis of acute limb ischemia was based
on anamnesis, physical examination, and
supporting examination. Risk factor prevention,
early identification, and prompt treatment are
important to reduce complication.

REFERENCES
1.

Creager MA, Kaufman JA, Conte MS. Acute Limb Ischemia N Engl J Med 2012;366:2198-206.

2.

ESC Guideline on the diagnosis and treatment of peripheral artery disease. Europ. Heart J. 2011; 32: 2851-906.

3.

Leng G, Fowkes F. The Edinburgh claudication questionnaire: an improved version of the WHO/Rose questionnaire for use in epidemiological surveys. J Clin Epidemiol 1992; 45: 1101-9.

4.

www.ucsfcme.com (homepage on the internet). New York: UCSF Office of Continuing Medical Education. Available from www.ucsfcme.com/2012/slides/MEM12001/1.Lin.ALI.pdf
(Accessed September 21th 2013).

5.

Morison HL. Catheter-directed thrombolysis for acute limb ischemic. Semin Intervent Radiol. 2006; 23(3): 258-69.

6.

Lee MS, Singh V, Wilentz JR, Makkar R. Angiojet thrombectomy. J Invasive Cardiol 2004; 16(10): 587-91.

7.

Sharma SK. Role of Angiojet Rheolytic thrombectomy catheter:Mount Sinai Hospital experience. J Invasive Cardiol 2010; 22(10) Suppl.

8.

Kashyap VS, Gilani R, Bena JF, Bannazadeh M, Sarah TP. Endovascular therapy for acute limb ischemic. J. Vascular Surg 2011: 53 (2): 340-6.

9.

Chambers HF. Antibiotik beta-laktam dan antibiotik lain yang aktif di dinding dan membran sel. In: Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinis. Jakarta 2010: EGC p.756-60.

10. Furst DE, Urich RW.Obat anti-inflamasi nonsteroid; obat antireumatik pemodifikasi penyakit, analgesik non opioid, dan obat yang digunakan pada gout. In: Katzung BG. Farmakologi dasar
dan klinis. Jakarta 2010: EGC p.589-98.
11. Katsenis K. Micronized purified flavonoid fraction (MPFF): a review of its pharmacological effects, therapeutic efficacy and benefits in the management of chronic venous insufficiency.
Curr Vasc Pharmacol 2005; 3(1): 1-9.
12. Shinohara Y, et al. Cilostazol for prevention of secondary stroke (CSPS2): an aspirin-controlled, double blind, randomized non-inferiority trial. Lancet Neurol 2010; 9 (10): 959-68.
13. Paramita D, Hindariati E. Peran Calcium Channel Blocker pada hipertensi. In: Pikir BS, et al. Hipertensi manajemen komprehensif. Surabaya : AUP, 2011. pp.252-70.
14. www.wikipedia.org (updated 2013 April). Available from: http://en.m.wikipedia.org/wiki/gentamicin.
15. Faujiah R, Lefi A. Peran Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) pada hipertensi. In: Pikir B. S., et al. Hipertensi manajemen komprehensif. Surabaya : AUP, 2011. pp.203-17.

916

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

BERITA TERKINI

Tenecteplase untuk Fibrinolisis Pasien STEMI

enecteplase adalah obat yang tergolong


recombinant tissue plasminogen activator
(r-tPA). Tissue plasminogen activator
adalah enzim yang bekerja mengubah
plasminogen menjadi plasmin. Plasmin bekerja
mendegradasi fibrin yang telah terbentuk
(skema). Dengan demikian, tissue plasminogen
activator bermanfaat untuk penyakit-penyakit
yang disebabkan oleh terbentuknya trombus
dan fibrin seperti emboli, infark miokard dan
stroke iskhemik.1
Tenecteplase dikenal juga dengan nama
dagang TNKase, saat ini telah mendapat
izin FDA untuk indikasi infark miokard akut.
Menurut panduan pengobatan ESC (European
Society of Cardiology) dan AHA (American
Heart Association), PCI (Percutaneous
Coronary Intervention) masih merupakan
pilihan utama untuk strategi reperfusi pasien
STEMI (ST-Elevation Myocardial Infarction).
Idealnya PCI dilakukan dalam waktu 1 jam
setelah sampai di tenaga kesehatan. Akan
tetapi, pada kenyataannya sulit dicapai karena
tidak semua rumah sakit dapat melakukan
PCI. Waktu yang diperlukan untuk diagnosis
dan perujukan ke rumah sakit yang dapat
melakukan PCI menjadi kendala utama untuk
melakukan PCI dengan optimal.2,3
Oleh karena itu, bagi pasien yang tidak
dapat melakukan PCI dalam kurun waktu
yang diharapkan, diduga fibrinolisis dapat
bermanfaat sebagai terapi reperfusi. Sebuah
uji klinik STREAM (Strategic Reperfusion
Early after Myocardial Infarction) mencoba
membandingkan
efektivitas
reperfusi
menggunakan PCI dengan reperfusi
menggunakan fibrinolisis pada pasien
yang tidak mendapat PCI dalam waktu 1
jam sejak sampai di tenaga kesehatan.4
Uji klinik ini dilakukan dengan desain
open-label, prospektif, acak, parallel-group

Tabel Perbandingan efikasi dan efek sampin perdarahan intracranial.


Parameter

Fibrinolisis

PCI

Angka kematian

12,4%

14,3%

0,21

Perdarahan intracranial

1%

0,2%

0,04

dan multisenter di beberapa pelayanan


kesehatan di Eropa. Pasien yang terdiagnosis
STEMI dalam 3 jam sejak serangan dan
tidak bisa mendapatkan PCI dalam 1 jam
sejak kontak tenaga kesehatan diacak
untuk mendapatkan PCI atau fibrinolisis.
Kelompok fibrinolisis mendapat 3 obat, yaitu
tenecteplase, clopidogrel dan enoxaparin.
Apabila fibrinolisis gagal, dilanjutkan dengan
tindakan angiografi coroner. Parameter
utama adalah angka kematian dalam 30 hari
sejak tindakan. Parameter sekunder adalah
efek samping.4
Hasilnya, didapatkan 939 pasien pada
kelompok fibrinolisis dan 943 pasien pada
kelompok PCI. Pada kelompok fibrinolisis

Nilai P

terjadi 116 / 939 kematian (12,4%) sedangkan


pada kelompok PCI terjadi 135/943 kematian
(14,3%) nilai p = 0,21. Kelompok fibrinolisis
membutuhkan angiography sebanyak 36,3%.
Lebih banyak terjadi perdarahan intrakranial
pada kelompok fibrinolisis dibandingkan
dengan kelompok PCI (1% vs 0,2% nilai p =
0,04).4
Penelitian ini menyimpulkan bahwa fibrinolisis
menggunakan tenecteplase, clopidogrel, dan
enoxaparin sebanding efikasinya dengan
PCI pada pasien STEMI yang tidak bisa
mendapatkan PCI dalam waktu 1 jam sejak
sampai di fasilitas kesehatan. Meskipun
terdapat lebih banyak efek samping
perdarahan intrakranial.4  (NNO)

REFERENSI:
1.

TNKase official FDA informations, side effects and uses [Internet]. 2011 [cited 2013 Apr 10]. Available from: www.drugs.com/pro/tnkase.html?printable=1.

2.

Steg PG, James SK, Atar D, et al. ESC guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation. Eur Heart J 2012;33:2569-619.

3.

O'Gara PT, Kushner FG, Ascheim DD, et al. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction: a report of the American College of Cardiology Foundation/
American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. J Am Coll Cardiol 2013;61:e78-e140.

4.

Armstrong PW, Gershlick AH, Goldstein P, Wilcox R, Danays T, Lambert Y, Sulimov V, et al. Fibrinolysis or Primary PCI in ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. N Engl J Med. 2013 Mar
10. [Epub ahead of print].

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

917

BERITA TERKINI

Efek Pemberian PN Asam Amino


Mengandung Alanyl-Glutamine pada Bayi

ayi baru lahir (28 hari pertama) dalam


masa pertumbuhan yang sangat
kritis, dan pemenuhan kebutuhan
nutrisi yang adekuat sangat penting untuk
mendukung pertumbuhan tubuh dan
pertumbuhan neurologis yang optimal. Bayi
sehat baru lahir memiliki BMR (basal metabolic
rate) lebih tinggi per kgBB dibandingkan
dengan bayi yang lebih tua/dewasa (>28 hari)
dan anak-anak ( 1 tahun).
Bayi yang baru saja menjalani tindakan operasi
memerlukan energi yang lebih besar lagi dan
juga kebutuhan asam amino yang tinggi (AA)
daripada bayi sehat baru lahir; penyembuhan
pascaoperasi akan tertunda begitu pula
dengan pertumbuhan apabila kebutuhan
AA tidak terpenuhi dengan baik. Larutan
AA standar yang tersedia saat ini memiliki
kekurangan; terdapat beberapa jenis AA
yang hilang, berlebih, dan juga kekurangan
jika diberikan pada bayi cukup bulan dan
prematur.
Penelitian
terbaru
oleh
Fresenius
menggunakan larutan PN asam amino
khusus untuk bayi segala usia (bayi prematur
sampai dengan usia 12 bulan), yang memiliki
tambahan AA, yaitu alanyl-glutamine (GLNAA). PN AA ini untuk memenuhi kebutuhan
asam amino bayi pascaoperasi dan dapat
digunakan dalam jangka panjang, misalnya
pada pembedahan gastrointestinal. Alanylglutamine merupakan prekursor glutamine
untuk memenuhi kebutuhan glutamine yang
adekuat, selain itu juga dilengkapi dengan
glycul-tyrosine, acetyl cysteine, arginine, dan
taurine.
Studi ini dilakukan secara acak dan tersamar
ganda untuk menilai efek pemberian PN
GLN-AA baru terhadap 19 pasien bayi berusia

<23 bulan yang menjalani pembedahan


gastrointestinal akibat abnormalitas bawaan
sejak lahir yang dibandingkan dengan
standara PN AA. Pasien dibagi menjadi 2
kelompok dengan rasio 2:1 dan diberikan
GLN-AA 10% (n=13) atau standar PN AA
(Vaminolact 6% (kontrol), n=6). Intervensi
nutrisi diberikan pascaoperasi dengan durasi
minimal 5 hari dan maksimal 10 hari. AA
diberikan secara perlahan dan ditingkatkan
dalam 3 hari pertama:
Dosis hari 1: 1 g/kgBB/hari
Dosis hari 2: 2 g/kgBB/hari
Dosis hari 3: 2,5 g/kgBB/hari
Dosis terakhir (2,5 g/kgBB/hari) dipertahankan
sampai akhir studi dengan kecepatan infus
20-24 jam per hari.
Berikut hasil studi tersebut:

1. Kebutuhan setiap jenis asam amino pada


kelompok GLN-AA mendekati nilai rerata
kebutuhan normal asam amino pada bayi,
dibandingkan dengan kelompok kontrol
yang memiliki nilai lebih jauh dari nilai rerata
kebutuhan normal asam amino pada bayi.
2. Kejadian efek samping sebanding antara
kedua kelompok (p=1,000).
3. Efektivitas dalam hal perubahan berat
badan, lingkar kepala, dan pre-albumin
sebanding antara kedua kelompok (p>0,05).
Simpulannya, pada studi pilot ini, penggunaan
GLN-AA terbukti aman dan dapat memenuhi
kebutuhan normal asam amino pada bayi
dibandingkan dengan standar larutan AA.
Akan tetapi, tidak terdapat berbedaan efikasi
antara standar AA dan GLN-AA, sehingga
diperlukan studi lanjutan dengan periode
observasi lebih panjang.  (MAJ)

REFERENSI:
1.

Struijs MC, Schaible T, van Elburg RM, Debauche C, Te Beest H, Tibboel D. Efficacy and safety of a parenteral amino acid solution containing

alanyl-glutamine versus standard

solution in infants: A first-in-man randomized double-blind trial. Clin Nutr. 2012. DOI: 10.1016/j.clnu.2012.09.001.
2.
3.

Chesney RW, Helms RA, Christensen M, Budreau AM, Han X, Sturman JA. The role of taurine in infant nutrition. Adv Exp Med Biol. 1998;442:463-76.
Albers MJ, Steyerberg EW, Hazebroek FW, Mourik M, Borsboom GJ, Rietveld T, et al. Glutamine supplementation of parenteral nutrition does not improve intestinal permeability, nitrogen
balance, or outcome in newborns and infants undergoing digestive-tract surgery: results from a double-blind, randomized, controlled trial. Ann Surg. 2005;241(4):599-606.

918

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

BERITA TERKINI

Vaksin Konjugat Pneumokokal


pada Bayi: Aman dan Efektifkah?

polisakarida yang mencakup 23 serotipe


(23-valen) dan vaksin konjugat protein
polisakarida 7-valen sudah dipasarkan secara
internasional. Kedua vaksin dianggap sangat
aman.
Baru-baru ini, dilakukan sebuah metaanalisissejalan dengan pernyataan PRISMA
(preferred reporting items for systematic
reviews and meta-analyses)guna menilai
imunogenisitas dan keamanan vaksin
konjugat pneumokokal 13-valen pada bayi.
Penelusuran literatur dikerjakan secara
manual dengan memanfaatkan sejumlah
database elektronik dan jurnal khusus; kriteria
inklusi: uji klinis pada bayi yang divaksinasi
dengan vaksin konjugat pneumokokal 13valen, dibandingkan dengan vaksin 7-valen.
Hasilnya, dalam konteks imunogenisitas dan
keamanan vaksin-vaksin tersebut, kemudian
didokumentasikan.
Kualitas penelitian yang disertakan dinilai
menggunakan checklist CASP (Critical Appraisal
Skills Programme) dan Jadad. Dalam metaanalisis ini, peneliti memasukkan sembilan uji
klinis acak dari 258 referensi yang berpotensi
relevan; studi yang dimasukkan memiliki
kualitas menengah-tinggi.

enyakit akibat infeksi Streptococcus


pneumoniae (atau pneumococcus)
merupakan salah satu problem
kesehatan utama di dunia. Penyakitpenyakit serius yang sering disebabkan
oleh pneumococcus meliputi pneumonia,
meningitis, dan bakteremia dengan febris;
otitis media, sinusitis, dan bronkitis lebih
sering dijumpai, tetapi manifestasi infeksinya
tidak begitu serius. Pada tahun 2005, WHO
mengestimasikan bahwa 1,6 juta orang
meninggal akibat penyakit pneumokokal
setiap tahunnya; estimasi tersebut termasuk
kematian 0,7-1 juta balita yang kebanyakan
tinggal di negara berkembang. Infeksi HIV
(human immunodeficiency virus) dan sejumlah

kondisi lain yang berkenaan dengan defisiensi


imun banyak berkontribusi atas peningkatan
kecenderungan
terjadinya
penyakit
pneumokokal yang sulit disembuhkan.
Munculnya resistensi S. pneumoniae terhadap
berbagai antibiotik yang lazim digunakan
mengisyaratkan
adanya
kebutuhan
mendesak akan vaksin guna mengendalikan
penyakit pneumokokal. Antibodi terhadap
antigen polisakarida kapsular menghasilkan
perlindungan spesifik-serotipe terhadap
infeksi serius, dan vaksin pneumokokal
memang dibuat sedemikian rupa untuk
sebagian besar serotipe yang terkait dengan
penyakit pneumokokal serius. Saat ini, vaksin

Kedua vaksin ditoleransi dengan baik pada


semua kelompok bayi. Kebanyakan reaksi
lokal dan kejadian sistemik yang dilaporkan
berintensitas ringan atau sedang, juga biasa
terjadi pada vaksinasi umumnya. Semua
studi yang dimasukkan dalam meta-analisis
memperlihatkan imunogenisitas tinggi untuk
kedua vaksin pneumokokal pada semua
serotipe yang diuji. Konsentrasi antibodi antipolisakarida sebesar 0,35 g/mL tercapai
pada sedikitnya 89% bayi.
Meta-analisis ini mengindikasikan bahwa
vaksin konjugat pneumokokal 13-valen
memiliki profil keamanan dan efektivitas
sebanding dengan vaksin 7-valen dalam
pencegahan penyakit pneumokokal invasif
yang disebabkan oleh tujuh serotipe umum.
Di samping itu, vaksin 13-valen menghasilkan
proteksi yang lebih luas terhadap enam
serotipe tambahan.  (AAM)

REFERENSI:
1.

World Health Organization. Pneumococcal conjugate vaccines [Internet]. 2013 [cited 2013 Oct 17]. Available from: http://www.who.int/biologicals/areas/vaccines/pneumo/en/.

2.

Ruiz-Aragn J, Pelez SM, Molina-Linde JM, Grande-Tejada AM. Safety and immunogenicity of 13-valent pneumococcal conjugate vaccine in infants: A meta-analysis. Vaccine.
2013;pii:S0264-410X(13)01235-8.

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

919

BERITA TERKINI

Efek Sevoflurane pada Respons


Stres Terhadap Pembedahan

setelah akhir operasi (masing-masing T3, T4,


T5). Interleukin-6 (IL-6), glukosa, dan C-reactive
protein (CRP) diukur pada T1, T2, T3, T4, T5, dan
12 jam setelah akhir operasi (T6).
Hasilnya menunjukkan bahwa kadar
catecholamine meningkat selama (T2), dan
segera setelah operasi (T3) pada kedua
kelompok. Namun, kadar adrenaline dan
noradrenaline secara bermakna lebih tinggi
pada kelompok desflurane dibandingkan
kelompok sevoflurane. Meskipun penurunan
konsentrasi cortisol ditemukan pada kedua
kelompok, namun hanya pada kelompok
desflurane ditemukan perbedaan yang
bermakna antara kadar intraoperasi dengan
kadar basal dan terhadap kelompok sevoflurane.
Peningkatan ACTH secara bermakna lebih
tinggi pada kelompok sevoflurane pada T2-T4.
Kadar sebelum operasi pulih saat T5. Kadar
glukosa, IL-6, dan CRP serta nyeri pascaoperasi
tidak berbeda bermakna dalam waktu pada
kelompok yang sama, dan antara kelompok
desflurane dan kelompok sevoflurane.
Dari hasil studi tersebut disimpulkan
bahwa
desflurane
dan
sevoflurane
memberikan respons stres yang berbeda
dalam setting pembedahan laparoskopi.
Pelepasan catecholamine yang lebih tinggi
selama anestesi dengan desflurane dapat
memberikan efek buruk pada pasien yang
telah mempunyai penyakit kardiovaskuler.
Namun pada pembedahan dengan stres
rendah, dibandingkan dengan sevoflurane,
desflurane dikaitkan dengan kontrol respons
cortisol dan ACTH intraoperasi (T2) yang lebih
baik. Lebih lanjut, sekresi ACTH juga berkurang
pascaoperasi (T3-T4). Kedua anestetik inhalasi
tersebut tidak mempengaruhi kadar IL-6, CRP,
dan glukosa plasma.

espons stres terhadap pembedahan


yang meliputi perubahan neurohumoral, imunologi, dan metabolisme
dimodulasi oleh beberapa faktor, antara lain
intensitas injuri, waktu operasi total, dan teknik
anestesi. Suatu studi telah dilakukan untuk
membandingkan efek desflurane dengan
sevoflurane pada pelepasan hormon stres dan
sitokin inflamasi intra dan pascaoperasi.

Dalam studi tersebut, 50 wanita Kaukasia yang


menjalani pembedahan laparoskopi untuk
kista ovarium jinak secara acak mendapat
anestesi inhalasi dengan desflurane (n=25)
atau sevoflurane (n=25), dengan bolus fentanyl
dan infus remifentanil. Kadar noradrenaline,
adrenaline, ACTH, dan cortisol plasma diukur
saat sebelum operasi (T1), 30 menit setelah
mulai operasi (T2), dan 30 menit, 2, dan 4 jam

Namun,
studi
sebelumnya
yang
membandingkan
sevoflurane
dengan
isoflurane pada 20 wanita dengan
pembedahan pelvis laparoskopik untuk kista
ovarium jinak menunjukkan bahwa sevoflurane
menghasilkan respons metabolisme dan imun
yang lebih baik pada bedah laparoskopik stres
rendah.  (EKM)

REFERENSI:
1.

Marana E, Russo A, Colicci S, Polidori L, Bevilacqua F, Viviani D, et al. Desflurane versus sevoflurane: a comparison on stress response. Minerva Anestesiol. 2013;79(1):7-14.

2.

Marana E, Annetta MG, Meo F, Parpaglioni R, Galeone M, Maussier ML, et al. Sevoflurane improves the neuroendocrine stress response during laparoscopic pelvic surgery. Can J Anaesth.
2003;50(4):348-54.

920

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

BERITA TERKINI

Acetylsalicylic Acid dapat Mengurangi Risiko Melanoma

anyak data penelitian sebelumnya


memperlihatkan bahwa aspirin dapat
mengurangi risiko beberapa kanker
tertentu. Acetylsalicylic acid dan obat NSAID
(nonsteroidal
anti-inflammatory
drugs)
menghambat perkembangan beberapa
macam kanker pada mencit, termasuk di
antaranya kanker kolorektum, payudara,
prostat, paru, kulit dan kandung kemih.
Pemberian aspirin menurunkan risiko kanker
kolorektal dalam penelitian observasional,
dan menurunkan rekurensi polip kolorektal
dalam 2 penelitian acak. Selain itu, penelitian
metaanalisis
dari
penelitian-penelitian
observasional memperlihatkan penurunan
risiko kanker lambung dan esofagus dengan
penggunaan acetylsalicylic acid. Hipotesisnya
di
antaranya
adalah
penghambatan
sintesis prostaglandin dengan enzim COX
(cyclooxgenase) -1 dan COX-2.
Suatu penelitian dilakukan untuk mengetahui
apakah pemberian acetylsalicylic acid juga
dapat menurunkan risiko melanoma. Hal ini

dilakukan mengingat hingga kini tidak ada


terapi untuk mencegah melanoma. Penelitian
ini (penelitian WHI) melibatkan 93676 wanita
pasca menopause, dengan usia 50-79 tahun,
antara tahun 1993 hingga 1998. Data diambil
dari 40 pusat kesehatan di Amerika Serikat.
Karena hanya 7 wanita dari ras non-kaukasia
(berkulit putih) menderita melanoma selama
masa follow-up, perhatian dipusatkan
pada wanita ras Kaukasia (n=59806) untuk
mengetahui hubungan antara pemberian
acetylsalicylic acid [ASA] dan NSAID nonaspirin
dengan risiko melanoma. Selain itu perhatian
dipusatkan pada pasien Kaukasia karena ras
Kaukasia memiliki pigmen kulit lebih sedikit,
yang merupakan salah satu faktor risiko
melanoma.
Pasien yang dilibatkan dalam penelitian ini
dibagi dalam 3 kelompok, (1) kelompok yang
tidak diterapi dengan NSAID (n=35.529); (2)
kelompok yang menggunakan kombinasi
ASA dan NSAID (n=15089), dan kelompok
yang menggunakan hanya NSAID (n=9188).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa


selama masa follow up selama 12 tahun, ada
548 kejadian melanoma yang dikonfirmasi
para dokter. Wanita yang diterapi dengan
ASA memiliki risiko melanoma lebih rendah
sebesar 21% dibandingkan dengan bukan
pengguna (hazard ratio [HR], 0,79; 95%
confidence interval [CI], 0,63 0,98). Para ahli
juga menemukan bahwa efek perlindungan
acetylsalicylic acid berbanding lurus dengan
lama penggunaannya. Pada tahun pertama
ada penurunan risiko 11%, pada tahun ke-1
hingga ke-4 ada penurunan 22% dan pada
tahun ke-5 dan selanjutnya ada penurunan
sebesar 30% (HR, 0,70; 95% CI, 0,550,94).
Sementara itu tidak ada penurunan risiko
melanoma pada wanita yang hanya
menggunakan
NSAID,
dibandingkan
dengan mereka yang tidak menggunakan
NSAID sama sekali (HR, 1.05; 95% CI, 0.83 1.34).
Penelitian ini adalah penelitian besar sekali,
melibatkan hampir 60.000 wanita. Penelitian
ini mendukung penggunaan acetylsalicylic
acid sebagai terapi pencegahan melanoma
dan temuan ini mendukung penelitian
yang meneliti secara langsung apakah
benar acetylsalicylic acid dapat digunakan
sebagai terapi pencegahan. Profesor Kirsten
Moysich dari Roswell Park Cancer Institute di
Buffalo, New York, yang tidak terlibat dalam
penelitian ini mengatakan bahwa penelitian
ini menyajikan bukti kuat mengenai peranan
acetylsalicylic acid sebagai kemoprevensi
terhadap melanoma dan mendukung
penelitian manfaat pemberian acetylsalicylic
acid terhadap pencegahan kanker lainnya.
Simpulannya, pasien yang diterapi dengan
acetylsalicylic acid mengalami penurunan
risiko melanoma. Penurunan risiko melanoma
yang terjadi berbanding lurus dengan lama
pemberian acetylsalicylic acid.  (YYA)

REFERENSI:
1.

Gamba CA, Swetter SM, Stefanick ML, Kubo J, Desai M, Spaunhurst KM, et al. Aspirin is associated with lower melanoma risk among postmenopausal Caucasian women. Article first
published online: 11 MAR 2013. DOI: 10.1002/cncr.27817.

2.

Jacobs EJ, Thun MJ, Bain EB, Rodriguez C, Henley SJ, Calle EE. A Large Cohort Study of long-term daily use of adult-strength aspirin and cancer incidence. J Natl Cancer Inst 2007;99:
60815.

3.

Lowry F. Aspirin May Reduce Melanoma Risk. [Internet]. [cited 2013 Mar 21]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/780647.

4.

Thun MJ , Henley SJ , Patrono C . Nonsteroidal anti-infl ammatory drugs as anticancer agents: mechanistic, pharmacologic, and clinical issues . J Natl Cancer Inst 2002 ; 94: 25266.

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

921

BERITA TERKINI

Anestesi umum vs Anestesi Spinal pada


Pembedahan Batu Ginjal

enyakit batu ginjal merupakan salah


satu masalahan utama kesehatan
saluran kemih setelah penyakit infeksi
saluran kemih (UTI) dan penyakit prostat.
Meskipun belum terdapat cara pencegahan
dan pengobatan spesifik untuk batu ginjal,
teknik ESWL (extracorporeal shockwave
lithotripsy), TUL (transurethal lithotripsy), dan
PCNL (percutaneous nephrolithotomy) telah
mengubah cara diagnosis dan terapi secara
lebih maju untuk penyakit saluran kemih ini.
PCNL adalah terapi invasif minimal untuk
terapi ureter bagian atas dan batu ginjal.
PCNL merupakan terapi untuk batu ginjal
dengan ukuran diameter 20-30 mm atau
batu ginjal multipel dan juga yang resisten
dengan terapi ESWL. Pada umumnya PCNL
dilakukan dengan anestesi umum, akan tetapi
komplikasi dan biaya pengobatan lebih tinggi
jika dibandingkan dengan anestesi spinal.
Komplikasi umumnya terjadi ketika kondisi
pasien berubah dari terlentang menjadi

Sebuah studi acak terbaru dilakukan untuk


membandingkan efikasi dan kejadian
komplikasi penggunaan anestesi umum
dan anestesi spinal pada pasien yang akan
menjalani PCNL. Sejumlah 110 pasien yang
akan menjalani PCNL secara acak dibagi
menjadi 2 kelompok anestesi umum dan
anestesi spinal. Kelompok anestesi umum
(AU) diberi anestesi inhalasi isoflurane untuk
induksi dan pemeliharaan, sementara
kelompok anestesi spinal (AS) diberi 2-2,5
mL bupivacaine 0,5% dan 0,5 mL fentanyl (25
mcg).

2. Kejadian LBP (low back pain) secara


bermakna lebih tinggi pada kelompok AS
jika dibandingkan dengan kelompok AU
(p=0,02).
3. Kejadian hipotensi secara bermakna lebih
tinggi pada kelompok AS jika dibandingkan
dengan kelompok AU (p=0,01).
4. Kebutuhan opioid pada hari pertama
pascaoperasi lebih banyak secara bermakna
pada kelompok AU jika dibandingkan dengan
kelompok AS (p=0,03).
5. Kebutuhan opioid pada hari kedua
pascaoperasi sebanding antara kelompok
AU jika dibandingkan dengan kelompok AS
(p=0,06).
6. Biaya pengobatan secara bermakna lebih
tinggi pada kelompok AU jika dibandingkan
dengan kelompok AS (p<0,01).

Hasil studi tersebut:


1. Kejadian nyeri kepala pascaoperasi secara
bermakna lebih tinggi pada kelompok AS
jika dibandingkan dengan kelompok AU
(p=0,02).

Simpulannya, meskipun kejadian efek


samping lebih tinggi, penggunaan metode
anestesi spinal kombinasi bupivacaine dan
fentanyl dalam prosedur PCNL aman, efektif,
dan cost-efficient.  (MAJ)

terlungkup. Komplikasi yang umumnya terjadi


adalah komplikasi paru, pleksus brakhial, lidah,
dan juga sering kali sumsum tulang belakang,
serta gangguan neurologis.

REFERENSI:
1.

Mehrabi S, Mousavi Zadeh A, Akbartabar Toori M, Mehrabi F. General versus spinal anesthesia in percutaneous nephrolithotomy. Urol J. 2013;10(1):756-61.

2.

Gonano C, Leitgeb U, Sitzwohl C, Ihra G, Weinstabl C, Kettner SC. Spinal versus general anesthesia for orthopedic surgery: Anesthesia drug and supply costs. Anesth Analg.
2006;102(2):524-9.

3.

922

Rozentsveig V, Neulander EZ, Roussabrov E, Schwartz A, Lismer L, Gurevich B, et al. Anesthetic considerations during percutaneous nephrolithotomy. J Clin Anesth. 2007;19(5):351-5.

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

BERITA TERKINI

ACE inhibitor Memiliki Efek


Proteksi Radioterapi

risiko kardiovaskuler (7,4%).


Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
kerusakan pembuluh darah memegang
peranan penting terhadap terjadinya
radiation-induced lung toxicity (RILT). Radiasi
menyebabkan fibrosis, sehingga ventrikel
jantung menjadi kaku dan mengalami
gangguan saat relaksasi. Akibatnya aliran
darah dari jantung menuju ke paru terhambat
dan menyebabkan kerusakan jaringan paru.
Pada studi ini, para peneliti melakukan
radiasi pada paru, jantung atau jantung dan
paru tikus dan kemudian tikus diberi ACE
inhibitor (captoril) segera setelah proses
radiasi dilakukan. Setelahnya, fungsi paru
tikus dievaluasi setiap 2 minggu. Tikus dipilih
sebagai uji coba karena hewan ini cukup besar
sehingga peneliti dapat melakukan proses
radiasi beberapa bagian paru dan jantung
yang berbeda. Peneliti juga meyakini bahwa
mekanisme kerja ACE inhibitor pada manusia
menyerupai pada tikus.
Setelah 8 minggu, saat biasanya toksisitas
paru pada periode puncaknya, ternyata terjadi
perbaikan fungsi jantung dan paru pada tikus
yang diberi captopril, dan yang mengejutkan
hal ini ditemui hanya jika jantung ikut terpapar
prosedur radiasi. Hal ini menunjukkan bahwa
efek ini tidak dikarenakan efek proteksi
terhadap pembuluh darah paru, karena
dengan atau tanpa captopril proses kerusakan
terlihat sama. Dari penyelidikan lebih lanjut
ditemui bahwa captopril memperbaiki fungsi
jantung dan menurunkan kadar fibrosis di
jantung segera setelah proses radioterapi,
artinya bahwa captopril memiliki efek proteksi
langsung dalam mencegah kerusakan hati
pada RILT.

erusakan jaringan paru dan jantung


akibat intervensi radioterapi pada
pasien tumor rongga dada ternyata
dapat dihambat dengan pemberian ACE
inhibitor, demikian hasil penelitian dari
University Medical Centre, Groningen, Belanda
yang telah dipresentasikan pada 2nd Forum
of the European Society for Radiotherapy and
Oncology (ESTRO).

Kanker rongga dada seperti kanker payudara,


esofagus, paru dan limfoma Hodgkin sering
membutuhkan intervensi radioterapi, akan
tetapi dosis radioterapi harus dibatasi agar
tidak merusak jaringan paru yang sehat, hal
ini seringkali menyebabkan efektivitas terapi
menjadi kurang optimal. Selain itu radioterapi
pada kanker payudara membutuhkan dosis
yang relatif tinggi, sehingga meningkatkan

Para peneliti yakin bahwa efek proteksi ini juga


terjadi apabila ACE inhibitor diberikan pada
pasien manusia yang mendapat radioterapi
rongga dada. Studi klinis akan dirancang,
dan diharapkan akan menunjukkan hasil
yang menjanjikan dalam memperbaiki
kualitas terapi dan kualitas hidup pasien yang
menerima radioterapi.  (DHS)

REFERENSI:
1.

ACE Inhibitor Can Limit Radiation Damage To Lungs And Heart For Cancer Patients [Internet] 2013 [cited on April 24th 2013]. Available from: http://www.medicalnewstoday.com/

2.

Commonly Used Drug Can Limit Radiation Damage to Lungs and Heart for Cancer Patients. [Internet] 2013 [cited on April 24th 2013]. Available from: http://www.sciencedaily.com/

releases/259428.php
releases/2013/04/130421074513.htm

924

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

BERITA TERKINI

Manfaat dan Jenis Toner Kulit

erawatan kulit sehari-hari dimulai


dengan pembersih, yang kemudian
diikuti dengan penggunaan toner
dan pelembap, namun kebanyakan orang
melupakan toner, padahal sebenarnya
dengan penggunaan toner dapat membantu
memperbaiki penampilan kulit.
Toner digunakan untuk mempertahankan
keseimbangan pH kulit dan mengangkat
kotoran dan sel kulit mati. Selain itu, untuk
mengecilkan pori-pori kulit. Berikut ini
beberapa manfaat toner:
Menyegarkan kulit:
Toner dapat membantu mengangkat riasan
wajah atau kotoran yang tersisa dan melekat
pada kulit. Toner juga memberikan elemen
penyegaran, terutama setelah mandi dengan
air panas atau setelah kulit berkeringat.
Pemilihan toner yang mengandung
vitamin dan antioksidan dapat membantu
memberikan
kesegaran
pada
kulit,
memberikan energi dan efek menenangkan
pada kulit.
Membantu meremajakan kulit
Toner yang mengandung vitamin A, C,
dan E dapat membantu meremajakan
kulit, menstimulasi pembentukan sel dan
mengurangi kerusakan oleh radikal bebas. Hal
ini juga akan meningkatkan lapisan hidrolipidik
yang memberikan barier pelindung yang
membantu kulit mepertahankan kelembapan
kulit dan mempertahankan dinding kapiler
kulit.
Melembapkan kulit
Pembersih kulit wajah dapat menghilangkan
pelembap dari kulit, dan toner dapat
membantu
menggantikan
pelembap
kulit. Toner akan menarik air dari dermis ke

epidermis yang juga membantu mengurangi


penampakan iritasi.
Melindungi kulit
Penggunaan toner yang mengandung ekstrak
tumbuhan dapat membantu mengecilkan
pori-pori kulit, mengurangi risiko alergi dan
membantu mencegah jerawat.
Mengangkat sel kulit mati
Beberapa toner mengandung bahan eksfoliasi
yang dapat membantu mengangkat sel kulit
mati.
Menyeimbangkan pH kulit
Kulit secara alami bersifat asam dengan
pH sekitar 5-6. Proses pembersihan kulit
dapat menghilangkan minyak alami yang
membantu mempertahankan keseimbangan
pH, terutama jika menggunakan pembersih
dengan pH alkali, sehingga dapat
menyebabkan kulit memproduksi minyak
secara berlebihan untuk menggantikan
minyak yang hilang. Toner akan membantu
kulit mempertahankan pH yang sesuai agar
kulit tetap sehat.
Jenis-jenis Toner
Terdapat 3 jenis dasar toner kulit di pasaran
yang fungsinya berbeda dan ditujukan untuk
jenis kulit yang berbeda.

Penyegar kulit

Merupakan jenis toner yang sangat ringan,


mengandung 0-10% alkohol dan humektan
seperti glycerin yang akan menjaga
kelembaban kulit dari penguapan melalui
kulit. Hal ini akan membantu kulit lembab
lebih lama. Karena mengandung bahan
yang ringan, maka toner jenis ini ditujukan
untuk kulit normal, kulit kering atau sensitif.
Toner yang tidak mengandung alkohol aman

digunakan setiap hari.


Tonik kulit
Tonik merupakan toner yang sedikit lebih kuat,
mengandung sekitar 20% alkohol, humektan,
dan air. Toner jenis ini ditujukan untuk
kulit kombinasi atau berminyak. Biasanya
mengandung air bunga jeruk.
Astringen kulit
Astringen merupakan jenis toner paling
kuat, yang ditujukan untuk kulit yang sangat
berminyak atau berjerawat. Astringen
mengandung 20-60% alkohol, air, dan
humektan. Biasanya mengandung witch
hazel. Astringen mempunyai sifat yang sangat
mengeringkan sehingga tidak dianjurkan
digunakan setiap hari.
Cara Penggunaan Toner
Pemilihan toner yang benar merupakan
langkah pertama yang penting dalam
menggunakan produk perawatan kulit harian.
Setelah kulit dibersihkan dengan pembersih
wajah, keringkan, jangan gosok dengan
handuk karena dapat mengiritasi. Aplikasikan
sedikit toner pada kapas dengan gerakan
lembut. Hindari menggosokkan produk pada
kulit. Biarkan kering dengan berjalannya waktu,
baru kemudian aplikasikan pelembap kulit.
Sebelum menggunakan suatu produk toner
atau astringen, dianjurkan untuk menguji
terlebih dahulu apakah produk tersebut
tidak berdampak buruk pada kulit dan
apakah sesuai dengan jenis kulit. Terlebih
dahulu sebagian kecil produk diaplikasikan
pada lengan, dan setelah beberapa saat, jika
timbul gejala gatal, iritasi, atau timbul ruam
kulit, maka penggunaan produk tersebut
dihentikan karena berarti tidak sesuai dengan
kulit kita.  (EKM)

REFERENSI:
1.

What does a skin toner do? [Internet]. 2013 [cited 2013 Mar 26]. Available from: http://www.md-health.com/What-Does-Toner-Do-For-Your-Face.html

2.

Difference between toner and astringent [Internet]. 2013 [cited 2013 Mar 26]. Available from: http://www.healthguidance.org/entry/12322/1/Difference-Between-Toner-and-Astringent.

3.

Romualdez V. Difference between toner & astringent [Internet]. 2013 [cited 2013 Mar 26]. Available from: http://www.ehow.com/about_5566818_difference-between-toner-

4.

Jenkins J. How to use an astringent skin toner in your skin care routine [Internet]. 2006 [cited 2013 Mar 26]. Available from: http://ezinearticles.com/?How-to-Use-an-Astringent-Skin-

html
astringent.html
Toner-in-Your-Skin-Care-Routine&id=360826

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

925

BERITA TERKINI

Penggunaan Cilostazol Dibatasi


pada Pasien PAD

berakibat pada penurunan aktivitas platelet


dan vasodilatasi. Selain itu, mekanisme kerja
cilostazol belum sepenuhnya dipahami.2
Baru-baru ini, European Medicines Associoation
(EMA) memberikan rekomendasi kepada
pada tenaga kesehatan agar membatasi
penggunaan cilostazol pada pasien PAD yang
benar-benar mendapat manfaat dari cilostazol.
Dalam pernyataannya, disebutkan bahwa risiko
efek samping penggunaan cilostazol cukup
besar yaitu mencakup serangan jantung,
aritmia, angina dan perdarahan. Oleh karena
itu, disarankan agar para tenaga kesehatan
mengedepankan
perubahan
perilaku
seperti berhenti merokok dan olahraga rutin.
Cilostazol hanya direkomendasikan pada
pasien yang tidak mengalami perbaikan
bermakna dengan perubahan gaya hidup.3
Cilostazol sebaiknya tidak diberikan pada
pasien unstable angina atau pernah mengalami
infark miokard atau PCI (percutaneus coronary
angiography) dalam 6 bulan terakhir atau
riwayat takiaritmia berat. Cilostazol juga
sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang
mendapat aspirin plus clopidogrel atau
kombinasi 2 atau lebih obat antiplatelet atau
antikoagulan.3

eripheral Artery Disease atau dikenal juga


dengan nama PAD adalah penyakit
yang mengenai pembuluh darah arteri
perifer. Pada pasien PAD, salah satu atau
beberapa pembuluh darah arteri perifernya
mengalami stenosis (penyempitan) sehingga
mengakibatkan iskhemia jaringan. Salah
satu gejala utama PAD adalah klaudikasio,
yaitu rasa nyeri otot iskhemik yang berulang;
biasanya terjadi pada saat aktivitas fisik dan
reda pada saat istirahat.1

Gambar 1 Peripheral Artery Disease pada salah satu


tungkai.1

Apabila cilostazol digunakan untuk pasien


PAD, maka EMA merekomendasikan bahwa
dalam jangka waktu 3 bulan pasien harus
kontrol dan dokter harus mengevaluasi
apakah pasien mendapatkan perbaikan
bermakna. Apabila dalam 3 bulan tidak
terdapat perbaikan, maka rekomendasinya
adalah menghentikan penggunaan cilostazol
untuk pasien tersebut.3
Cilostazol adalah salah satu obat yang
diindikasikan untuk pengobatan PAD selain
yang paling utama adalah modifikasi gaya
hidup. Cilostazol dapat bermanfaat pada pasien
PAD karena memiliki 2 mekanisme kerja yaitu
antiplatelet dan vasodilator. Cilostazol bekerja
sebagai inhibitor selektif phosphodiesterase
3 sehingga menurunkan proses degradasi
cAMP. Hasilnya adalah peningkatan kadar
cAMP di dalam sel. Peningkatan kadar cAMP

Simpulan dari rekomendasi EMA ini adalah


cilostazol dikaitkan dengan beberapa efek
samping berat seperti perdarahan dan angina.
Oleh karena itu, tenaga kesehatan pengguna
cilostazol untuk Peripheral Artery Disease
direkomendasikan untuk mengevaluasi
setelah 3 bulan apakah pengobatannya
bermanfaat memperbaiki gejala pasien. 
(NNO)

REFERENSI:
1.

Rowe VL. Peripheral Arterial Occlusive Disease. Medscape Reference [Internet]. 2011 [cited 2013 Mar 26]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/460178overview#a0104

2.

Cilostazol Official FDA information, side effects and uses [Internet]. 2013 [cited 2013 Mar 26]. Available from: www.drugs.com/pro/cilostazol.html

3.

Nainggolan L. EMA recommends restricting cilostazol use for PAD. Heartwire [Internet]. 2013 [cited 2013 Mar 26]. Available from: http://click.newsletter.theheart.org/?qs=afba4c6492204
8cb14185e7852e106c46dc336d475f0f37c7c53925362cf33962f48ba545e6f6e75

926

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

BERITA TERKINI

Terapi Pendamping Corticosteroid


Mengurangi Mortalitas Pasien TBC

eta analisis terbaru menunjukkan


bahwa pemberian corticosteroid
dapat mengurangi mortalitas dari
semua bentuk tuberkulosis (TBC) sebesar
17%,. temuan ini dilaporkan dalam Lancet
Infectious Diseases edisi Maret.
Menurut Dr. Crithcley dkk., 8,7 juta kasus
tuberkulosis didiagnosis setiap tahun, dengan
angka kematian hampir mencapai 1,4 juta.
Penyakit ini bersifat letal, khususnya pada daerah
yang sistem kesehatannya masih kurang baik,
dan jika pasien TBC juga didiagnosis menderita
HIV, miskin atau lanjut usia.
Sekalipun steroid memiliki efek sistemik,
manfaat steroid dalam mengurangi kerusakan
karena peradangan sebagai respons terhadap
infeksi diduga bersifat spesifik terhadap organ
tertentu pada pasien TBC. Untuk membuktikan
teori tersebut, para peneliti menelusuri
studi yang dipublikasikan dari tahun 1955
- 2012 mengenai pasien yang didiagnosis
menderita TBC dalam bentuk apapun. Peneliti
memasukkan 41 studi yang mencakup 3560
pasien yang dirawat dan 2982 pasien kontrol
dalam meta analisis mereka. Tipe steroid yang
digunakan bervariasi, demikian juga dosis dan
durasinya.

Lebih dari separuh studi yang diinklusi


menggunakan prednisolone (hampir semua
diberikan per oral). Dosis bervariasi dari 4
mg/hari 60 mg/hari, dan durasi bervariasi
dari 30 hari 15 minggu. Dua studi
menggunakan methylprednisolone; satu
studi menggunakan methylprednisolone
oral (48 mg/hari, durasi 4 minggu) dan satu
studi menggunakan methylprednisolone
IV (1 g/hari [jika BB > 50 kg] atau 20 mg/
kgBB/hari selama 5 hari. Lima studi, semua
pada pasien meningitis tuberkulosa,
menggunakan dexamethasone IV atau IM
dengan rentang dosis mulai dari 2,25 mg/
hari 16 mg/hari dan durasi berkisar dari
4-8 minggu.
Tingkat mortalitas lebih rendah pada pasien
yang diberi steroid untuk setiap TBC yang
menyerang sistem organ, pengurangan
mortalitas secara keseluruhan dengan
pemberian steroid adalah 17% (risk ratio [RR]
0,83, 95% [confidence interval] CI 0,740,92).
Peneliti tidak menemukan heterogenitas
yang signifikan antara uji klinik dan antara
sistem organ (I2 dalam sistem organ: paruparu 14%, meningitis 12%, perikarditis 0% [I2
tidak dapat dihitung untuk pleuritis]; antara
sistem organ 0%.

Guy E. Thwaites (PhD, Centre for Clinical


Infection and Diagnostics Research,
Guys and St. Thomas Hospitals National
Health Service Foundation Trust, London)
mengomentari bahwa hasil studi ini harus
diinterpretasikan secara hati-hati karena
terdapat beberapa kelemahan dalam
studi ini. Terlebih, belum lama ini, telah
teridentifkasi polimorfisme dalam gen yang
mengkode leukotrien A4 hidrolase yang
dapat mengklarifikasi pasien yang lebih
rentan terkena meningitis tuberkulosa.
Corticosteroid mengurangi mortalitas pada
pasien dengan fenotipe hiperinflamasi
tetapi merugikan atau membahayakan
pada pasien dengan fenotipe hipoinflamasi.
Beliau mengatakan bahwa temuan baru dan
meta analisis baru ini harusnya menstimulasi
penilaian ulang terapi pendamping steroid
untuk tuberkulosa pulmoner melalui studi
acak terkontrol baru.
Keterbatasan studi-studi ini adalah jumlah
subyek yang relatif kecil, dan metode
pelaporan yang kurang ideal. Sebagai
tambahan banyak studi dilakukan sebelum
ditemukannya HIV dan peningkatan
tuberkulosis resistan obat. Karena studi-studi
terdahulu kurang detail melaporkan mengenai
efek samping, peneliti merekomendasikan
dilakukan studi baru untuk dapat lebih akurat
dalam menilai risiko dan manfaat dari terapi
pendamping corticosteroid.
Peneliti menyimpulkan bahwa manfaat dari
pemberian steroid tampaknya konsisten untuk
berbagai sistem organ.
Simpulannya, dalam meta-analisis, terapi
pendamping corticosteroid mengurangi
mortalitas pada pasien tuberkulosis sebesar
17%. Diperlukan studi lebih lanjut untuk dapat
lebih akurat dalam menilai risiko dan manfaat
dari terapi pendamping corticosteroid untuk
pasien TBC.  (AGN)

REFERENSI:
1.
2.

Henderson D. Steroids added to TB Tteatment may reduce mortality. Medscape [Internet] 2013 [Cited 2013 March 25]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/780861
Critchley JA, Young F, Orton L, Garner P. Corticosteroids for prevention of mortality in people with tuberculosis: a systematic review and meta-analysis. Lancet Infect Dis. 2013;13:186-188,
223-237.

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

923

BERITA TERKINI

Kombinasi Normal Saline, HES, & Glutamine


Efektif Digunakan untuk Resusitasi Pasien
Severe Acute Pancreatitis

evere acute pancreatitis (SAP) memiliki


angka mortalitas berkisar 30% dan
sering kali disertai nekrosis pankreas,
aktivasi sitokin, SIRS (systemin inflammatory
response syndrome), dan MODS (multiple
organ dysfunction syndrome). Selain itu, perfusi
mikrosirkulasi dan hipoksia memiliki dampak
sangat penting pada tahap awal penyakit dan
memiliki peranan penting dalam patogenesis
nekrosis. Berbeda dengan hipovolemia pada
umumnya yang disebabkan oleh trauma
atau perdarahan, gangguan mikrosirkulasi
pada SAP disebabkan oleh SIRS. Ekspresi
berlebihan faktor inflamasi, seperti TNF-,
IL-6, dan IL-8 pada SIRS akan mecederai
endotel mikrosirkulasi dan kemudian
meningkatkan permeabilitas membran
dan pergeseran cairan yang menyebabkan
sindrom kebocoran kapiler dan MODS.
Selain itu, gangguan mikrosirkulasi pada usus
akan mengakibatkan cedera reperfusi usus
iskemik dan kerusakan barier usus yang dapat
memfasilitasi terjadinya translokasi bakteria
usus dan meningkatkan aktivasi lekosit dan

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

pelepasan sitokin inflamasi. Jika gangguan


mikrosirkulasi tidak dapat ditangani pada
fase awal, efek yang dihasilkan akan menjadi
lebih besar, sitokin berlebih (excess) akan
merusak organ distal sehingga menyebabkan
MODS. Selanjutnya, translokasi bakteri akan
menyebabkan infeksi berat. Oleh karena itu,
resusitasi cairan secara dini sangat penting
dalam mencegah komplikasi sistemik.
Sehingga, tujuan resusitasi cairan yang
efektif pada SAP tidak hanya menggantikan
kehilangan cairan, tetapi juga menstabilkan
permeabilitas kapiler, memodulasi reaksi
inflamasi, dan mempertahankan fungsi dari
barier usus.
Terdapat 2 tipe cairan yang digunakan saat
ini, yaitu cairan koloid dengan molekul
besar (HES, dextran 40, dan albumin) untuk
mempertahankan cairan di dalam ruang
intravaskuler, dan cairan kristaloid dengan
tambahan elektrolit (normal saline, RA, dan RL).
Kedua cairan koloid dan kristaloid disebutkan
memiliki efektivitas sebanding sebagai
resusitasi pasien hipovolemik karena tidak

terdapat data yang menyebutkan salah satu


jenis cairan tersebut memiliki keuntungan
harapan hidup yang lebih superior. Jika
melihat parameter lain, seperti cardiac
output dan tekanan darah, koloid memiliki
keuntungan dibandingkan kristaloid karena
persentasi cairan yang masuk ke dalam ruang
intravaskuler lebih banyak dan bertahan lebih
lama. Koloid memberikan volume expansion
lebih baik pada ruang intravaskuler. Pada
kasus syok septik yang bersamaan dengan
kebocoran kapiler yang ditandai dengan
kehilangan albumin bermakna, pemberian
HES dapat mempertahankan oksigenasi
sistemik dan hemodinamik dengan baik.
Peningkatan permeabilitas membran yang
menyebabkan kehilangan cairan dari ruang
intravaskuler dan perpindahan cairan ke third
space merupakan petanda utama (hallmark)
dari SAP.
Secara klinis, kebocoran kapiler dapat terlihat
dengan tanda kehilangan cairan inravaskuler
yang menyebabkan hipovolemia, CVP (central
venous pressure) rendah, hemoconcentration

927

BERITA TERKINI
terhadap mikrosirkulasi, reaksi inflamasi,
dan barier usus. 120 pasien dengan SAP
secara acak dibagi menjadi 3 kelompok pada
fase awal resusitasi dan diberikan normal
saline (Kelompok NS), atau kombinasi NS +
HES (Kelompok SH), atau kombinasi NS +
HES + glutamine (Kelompok SHG). Cairan
resusitasi rerata yang diberikan adalah 1 L,
tergantung pencapaian hemodinamik yang
diinginkan. Pada kelompok SH dan SHG,
cairan kristaloid dan koloid diberikan dengan
ratio perbandingan 3:1, dan glutamine 20%
dengan dosis 100 mL/hari pada kelompok
SHG.

(high packed cell volume), dan pergerseran


cairan di retroperitoneal, paru, pleura, dan
ruang abdomen. Meskipun, cairan koloid
seperti HES seharusnya lebih sesuai sebagai
cairan resusitasi pada hipovolemia, akan
tetapi banyak uji klinik prospektif tidak
membandingkan efek antara kristaloid vs
koloid dalam resusitasi volme pada pasien
SAP.
Beberapa
studi
menunjukkan
HES
menurunkan permeabilitas usus dengan
memodulasi respons inflamasi dan memiliki
efek yang menjanjikan terhadap perbaikan

harapan
hidup,
bersamaan
dengan
penggunaan antibiotik pada kasus sepsis.
Selain itu, penggunaan glutamine sebagai
suplementasi nutrisi menunjukkan efektivitas
dalam melindungi barier usus, akan tetapi
penggunaan glutamine pada fase awal
resusitasi cairan pada SAP masih belum
diketahui jelas.

Berikut hasil studi tersebut:


1. Waktu yang diperlukan untuk mencapai
resusitasi endpoint secara bermakna lebih
cepat pada kelompok SHG dan SH jika
dibandingkan dengan kelompok NS (p<0,05).
2. Jumlah volume cairan yang digunakan
secara bermakna lebih rendah pada kelompok
SHG dan SH jika dibandingkan dengan
kelompok NS (p<0,05).
3. Komplikasi secara bermakna lebih tinggi
pada kelompok NS jika dibandingkan dengan
kelompok SH dan SHG (p<0,05).
4. Perbaikan tekanan intra-abdominal secara
bermakna lebih baik pada kelompok SH dan
SHG jika dibandingkan dengan kelompok NS
(p<0,05).
5. Modulasi faktor inflamasi, seperti TNF-,
IL-8, dan CRP, secara bermakna lebih baik pada
kelompok SH dan SHG jika dibandingkan
dengan kelompok NS (p<0,05).
6. Kadar CRP pada hari ke-7 secara bermakna
paling rendah pada kelompok SHG jika
dibandingkan dengan kelompok SH dan NS
(p<0,05).
7. Parameter perbaikan fungsi barier usus
yang salah satunya adalah kadar endotoxin
secara bermakna lebih baik pada kelompok
SHG, jika dibandingkan dengan kelompok SH
dan NS (p<0,05).

Sebuah studi terbaru dilakukan untuk


membandingkan efek dari pemberian
normal saline, atau kombinasi normal saline
& HES, atau kombinasi normal saline, HES, &
glutamine sebagai terapi resusitasi fase awal

Simpulannya, kombinasi NS, HES, dan


glutamine terbukti lebih efisien dan efektif
sebagai terapi resusitasi pada pasien
SAP dengan mengurangi inflamasi dan
mempertahankan barier usus.  (MAJ)

REFERENSI:
1.

Zhao G, Zhang JG, Wu HS, Tao J, Qin Q, Deng SC,, et al. Effects of different resuscitation fluid on severe acute pancreatitis. World J Gastroenterol. 2013;19(13):2044-52.

2.

Eckerwall G, Olin H, Andersson B, Andersson R. Fluid resuscitation and nutritional support during severe acute pancreatitis in the past: What have we learned and how can we do better?.
Clin Nutr. 2006;25(3):497-504.

3.

928

Sahin H, Mercanligil SM, Inan N, Ok E. Effects of glutamine-enriched total parenteral nutrition on acute pancreatitis. Eur J Clin Nutr. 2007;61(12):1429-34.

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

BERITA TERKINI

Infus 5-FU Dosis Tinggi dengan atau


Tanpa Folinic Acid vs Bolus 5-FU/Folinic Acid
sebagai Terapi Adjuvan Kanker Kolon Stadium III

-fluorouracil
(5-FU)
merupakan
kemoterapi yang aktif terhadap sel pada
fase S, bekerja menghambat enzim
thymidylate synthase, enzim yang berperan
dalam sintesis DNA. Waktu paruh eliminasi
plasma obat ini relatif pendek yaitu sekitar 11
menit. Oleh karena itu, diberikan infus kontinu
5-FU (biasanya 24 jam atau 48 jam). Pada
kanker kolon stadium III, terapi adjuvan selama
6 bulan diberikan setelah pembedahan. Salah
satu terapi jika oxaliplatin dikontraindikasikan
adalah 5-FU/leucovorin.

Studi fase III dilakukan untuk meneliti


apakah infus 5-FU dosis tinggi memperbaiki
recurrence-free survival (RFS) dan overall survival
(OS) secara bermakna dibandingkan regimen
5-FU bolus (Mayo Clinic) pada pasien kanker
kolon stadium III resectable. Pasien secara acak
mendapat regimen Mayo Clinic 5-FU 370-425
mg/m2 IV bolus dan folinic acid 20 mg/m2,
hari 1-5 setiap 4 minggu (6 siklus) atau 1 dari
3 regimen infus 5-FU dosis tinggi. Regimen
infus 5-FU dosis tinggi yaitu:
Hari 1: 5-FU 3.500 mg/m2 infus kontinu
selama 48 jam, weekly (siklus 8 mingguan
sebanyak 3 siklus).
Hari 1: Folinic acid 500 mg/m2 infus 2 jam
diikuti 5-FU 2.600 mg/m2 infus selama 24 jam,
weekly (siklus 6 mingguan sebanyak 3 siklus).
Hari 1-2: Folinic acid 200 mg/m2 infus 2
jam diikuti 5-FU 400 mg/m2 IV bolus diikuti
5-FU 600 mg/m2 infus selama 22 jam (siklus 2
mingguan sebanyak 12 siklus).
Toksisitas yang dijumpai:
5-FU bolus (%)

Infus 5-FU dosis tinggi (%)

Anemia

Toksisitas derajat 3/4

1,1

0,7

Nilai p
n/a

Leukopenia

6,9

2,1

< 0,05

Trombositopenia

0,8

0,6

n/a

Diare

16,1

14,5

n/a

Stomatitis

9,7

3,1

< 0,05

Hand-foot syndrome

0,4

4,2

< 0,05

Simpulan studi ini adalah infus 5-FU dosis


tinggi dan regimen Mayo Clinic memiliki
harapan hidup yang sebanding pada pasien
dengan kanker kolon stadium III resectable,
tetapi infus 5-FU dosis tinggi kurang toksik. 
(HLI)

REFERENSI:
1.

Kohne CH, Bedenne L, Carrato A, Bouche O, Popov I, Gaspa L, et al. A randomised phase III intergroup trial comparing high-dose infusional 5-fluorouracil with or without folinic acid with
standard bolus 5-fluorouracil/folinic acid in the adjuvant treatment of stage III colon cancer: The Pan-European Trial in Adjuvant Colon Cancer 2 study. Eur J Cancer 2013 doi: 10.1016/j.
ejca.2013.01.030.

2.

NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology. Colon cancer. Version 3.2013. Available from: www.nccn.org.

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

929

TEKNIK

Blok Saraf Perifer


Hendry Irawan
Dokter Internship RSUD Datu Sanggul, Tapin, Kalimantan Selatan, Indonesia

ABSTRAK
Blok saraf perifer merupakan suatu teknik anestesi yang cocok untuk operasi superfisial pada ekstremitas. Selain untuk anestesi, teknik ini dapat
digunakan untuk analgesia setelah operasi dan tatalaksana nyeri kronik. Keberhasilan anestesi perifer ditentukan berdasarkan posisi ujung
jarum yang tepat di selubung perineural. Saat ini digunakan berbagai macam teknik blok saraf perifer.
Kata kunci: teknik, anestesi, blok saraf

ABSTRACT
Peripheral nerve block is one of anesthetic technique which is suitable for superficial procedures in limbs. This technique can also be used for
postoperative analgesia and treatment of chronic pain. Its effectiveness depends on the right position of needle tip in perineural sheath. Various
peripheral nerve block techniques are commonly used. Hendry Irawan. Peripheral Nerve Block
Key words: technique, anesthesia, nerve block

PENDAHULUAN
Blok saraf perifer merupakan teknik anestesi
yang cocok untuk operasi superfisial pada
ekstremitas. Keuntungan blok saraf perifer
adalah tidak menganggu kesadaran dan refleks
saluran napas atas. Teknik ini menguntungkan
bagi pasien penyakit pulmoner kronik,
gangguan jantung berat, atau gangguan
fungsi ginjal. Akan tetapi pencapaian efek
anestetik yang adekuat pada teknik ini
kurang dapat diprediksi sehingga dapat
mempengaruhi jalannya operasi. Keberhasilan
teknik blok ini sangat dipengaruhi oleh
keterampilan petugas/dokternya. Pasien juga
harus kooperatif untuk mendapatkan hasil
blok saraf perifer yang efektif.1
Blok saraf perifer selain untuk anestesi, dapat
digunakan untuk analgesia setelah operasi
dan tatalaksana nyeri kronik. Pada saat
evaluasi preoperatif perlu diperiksa dengan
teliti adanya infeksi kulit di lokasi blok, selain
itu perlu memastikan fungsi koagulasi yang
normal.
PERSIAPAN
Pasien dievaluasi seperti halnya teknik
anestesi lainnya dan pemberian obat berguna
untuk mengurangi rasa sakit selama jarum
dimasukkan untuk melakukan blok saraf
perifer. Ruang tempat melakukan blok harus
Alamat korespondensi

930

terdapat monitor, alat, dan obat jika terdapat


reaksi obat anestesi lokal yang tidak diinginkan
(adverse reactions). Selain itu kateter intravena
harus terpasang sebelum melakukan blok.
Obat-obatan sedasi atau anestesi umum
dapat disiapkan, jika sewaktu-waktu perlu
digunakan. Pemilihan obat anestetik lokal
untuk blok saraf perifer tergantung pada
onset, durasi, dan derajat blok konduksi.
Lidokain dan mepivakain, 1-1,5% untuk
operasi 10-20 menit dan 2-3 jam, sedangkan
ropivakain 0,5% dan bupivakain 0,375-0,5%
memiliki onset lebih lambat dan kurang
memblok sistem motorik, akan tetapi efek
anestesi dapat bertahan 6-8 jam. Pemberian
epinefrin 1:200.000 (5g/ml) intravena dapat
meningkatkan durasi blok konduksi1, beberapa
klinisi menggunakan dosis 3 ml anestesi lokal
dengan 1:200.000 (5g/mL) atau 1:400.000
(2,5g/mL) epinefrin untuk mendeteksi letak
intravaskular jarum atau kateter. Peningkatan
denyut jantung lebih dari 20% dari keadaan
awal menunjukkan injeksi ke intravaskular.
Setiap pemberian 5 ml obat anestesi lokal
dilakukan aspirasi untuk meminimalkan risiko
injeksi intravaskular.2
Keberhasilan anestesi perifer berdasarkan
posisi yang tepat dari ujung jarum di selubung
perineural. Dahulu pengerjaan ini dengan
membuat parestesia dengan ujung jarum

atau menggunakan pendekatan transarterial.


Karena adanya risiko kerusakan arteri atau
saraf permanen, maka berkembang suatu
teknologi baru berupa alat stimulasi saraf
untuk membantu menentukan letak ujung
jarum. Penggunaan alat stimulasi saraf ini
memiliki risiko meningkatkan morbiditas,
sehingga dilakukan pengembangan alat baru
yang lebih optimal, seperti ultrasonografi,
Doppler, dan stimulasi saraf sensorik. Saat
ini cara terbaik menentukan letak ujung
jarum berdasarkan respon motorik terhadap
stimulasi saraf. Respon motorik pada 0,5
mA/0,1 ms menunjukkan bahwa ujung jarum
berada pada letak yang tepat dan anestesi
lokal dapat diinjeksi.2
Gambaran ultrasonografi dengan resolusi
tinggi akan menghasilkan visualisasi saraf
perifer, letak jarum blok, dan distribusi larutan
anestesi lokal sehingga meningkatkan
keberhasilan blok dan meminimalkan
pemberian obat anestesi lokal. Selain itu
ultrasonografi dapat mengetahui letak
pembuluh darah agar dapat mengurangi
risiko komplikasi. Ultrasonografi frekuensi
tinggi menghasilkan gambaran yang bagus
akan tetapi penetrasi ke dalam jaringan jelek.1
Kontraindikasi blok saraf perifer adalah pasien
tidak kooperatif (anak-anak, demensia, dan

email: yusuf_pluss@yahoo.com

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

TEKNIK

Gambar 1 Pelengkapan blok saraf perifer3


Keterangan: A. Penggaris dan pulpen untuk mengukur dan
menentukan lokasi dan titik injeksi; B. Alkohol usap dan 1%
lidokain siring 25G untuk anestesi kulit; C. Khlorheksidin
glukonat sebagai antimikroba kulit; D. Siring untuk sedasi
(5mg midazolam dan 250g fentanyl untuk sedasi); E.
Anestesi lokal; F. Stimulator saraf perifer; G. Jarum stimulator;
H. Sarung tangan steril

Gambar 3 ersarafan pleksus brakialis2

Gambar 2 Lokasi blok saraf servikal superfisial2,4

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

pasien
memberontak),
kecenderungan
perdarahan (antikoagulan, hemofilia, dan
koagulasi intravaskular diseminata), infeksi
di lokasi blok, toksisitas anestesi lokal, dan
neuropati perifer.2

Penggunaan blok ini untuk operasi di


daerah leher seperti endarterektomi karotis.
Penggunaan blok ini kurang efektif jika tidak
dikombinasikan dengan blok pleksus servikalis
profunda.1,2

TEKNIK
Blok Pleksus Servikalis
Pleksus ini dibentuk oleh empat saraf servikal
pertama. Kepala pasien dimiringkan ke
sisi berlawanan sehingga pleksus servikal
superfisial dapat diblok dengan infiltrasi
obat anestesi lokal sedalam muskulus
platysma dan di titik tengah dari batas lateral
posterior muskulus sternokleidomastoideus.

Blok Pleksus Brakialis


Pleksus brakialis dibentuk oleh rami anterior
C5-C8 dan T1. Rami tersebut akan bergabung
membentuk tiga trunkus di rongga antara
muskulus skalene anterior dan media kemudian
melewati kosta pertama dan berjalan di bawah
klavikula untuk memasuki daerah aksila.
Trunkus akan membentuk divisi anterior dan
posterior lalu akan membentuk tiga fasikulus

931

TEKNIK
kulit hingga tercapai respon motorik. Pleksus
brakialis berada di atas arteri aksilaris. Setelah
teridentifikasi, kecilkan stimulasi < 0,5 mA
dan repson motorik berkurang, lalu aspirasi,
jika tidak ada darah maka masukkan 30-40
ml anestesi lokal. Adanya aktivitas nervus
muskulokutaneus (kontraksi bisep atau
brakialis) menandakan blok tidak sempurna,
karena nervus muskulokutaneus dapat
bercabang lebih awal dari pleksus brakialis.1,2
Gambar 4 Blok interskalene2,4

(cord) dan akhirnya akan membentuk cabang


terminal yang mempersarafi sensorik dan
motorik seluruh ekstremitas superior kecuali
bagian bahu yang dipersarafi oleh pleksus
servikalis dan lengan atas medial dipersarafi
oleh nervus interkostobrakial dan kutaneus
brakial medial.1,2,4
Blok Interskalene
Blok ini dilakukan dengan memberikan 2540 ml anestetik lokal ke celah interskalene
yang
berdekatan
dengan
prosesus
transversus C6 (area vena jugularis eksterna).
Lokasi ini terletak di lateral dari kartilago
krikoid yang berpotongan dengan celah
interskalene setinggi C6. Respon motorik
stimulator saraf ekstremitas superior dapat
dibangkitkan sebelum pemberian anestesi
lokal, dan perlu diingat bahwa pleksus
brakialis berada di superfisial (1-2 cm dari
kulit). Pemberian 40 ml anestesi lokal akan
memblok pleksus servikal dan brakial
sehingga dapat dilakukan operasi daerah
akromioklavikular walaupun saraf yang
mempersarafi daerah ulna (C8-T1, trunkus
inferior) mungkin tidak terblok.1,2,4
Pneumotoraks jika pasien batuk atau nyeri
dada saat mencari pleksus brakialis dan
blok saraf phrenikus ipsilateral (hemiparesis
diafragma) merupakan efek samping blok
ini karena nervus phrenikus berada di
muskulus skalene anterior. Pasien normal
dapat mentoleransi paralisis unilateral
diafragma tanpa gejala (asimptomatik), akan
tetapi berbahaya bagi penderita insufisiensi
respirasi atau kelumpuhan kontralateral
nervus phrenikus. Blok nervus laringeal
rekuren jarang terjadi, dapat menyebabkan
obstruksi total jalan napas pada pasien
dengan kelumpuhan pita suara kontralateral
(vocal cord palsy). Riwayat preoperatif sesak
napas atau operasi daerah leher perlu
diperhatikan.1,2,4

932

Blok Supraklavikular
Keuntungan blok ini adalah dapat dilakukan
pada berbagai posisi lengan. Blok ini dapat
dilakukan dengan cara pasien berbaring
telentang, lengan ipsilateral blok di sisi
samping, dan leher mengarah ke sisi
berlawanan. Jarum dimasukkan di sisi lateral
muskulus sternokleidomastoideus yang
berbatasan dengan klavikula dari anterior ke
posterior hingga menemukan trunkus pleksus
brakialis yang berada di antara muskulus
skalene anterior dan media dan berada di
atas arteri subklavia. Blok dilakukan dengan
25-40 ml anestesi lokal. Komplikasi tersering
blok ini adalah pneumotoraks dengan gejala
batuk, dispnea, dan nyeri dada. Paralisis
nervus phrenikus dapat terjadi (50% tindakan)
meskipun tidak menunjukkan gejala klinis
bermakna, oleh karena itu blok supraklavikular
bilateral tidak direkomendasikan, terutama
pada pasien penyakit paru obstruktif kronik.1,2

Gambar 6 Blok infraklavikular2

Blok Aksilaris
Blok ini dapat digunakan untuk anestesi
tangan, lengan, dan bahu. Pasien posisi
berbaring, lengan abduksi 90, rotasi eksternal,
dan siku fleksi 90. Identifikasi arteri aksilaris
dan muskulus coracobrachialis, lalu tusukkan
jarum paralel di celah dua marker tersebut, di
atas arteri aksilaris ke arah proksimal dengan
sudut 30-40 dari kulit, kedalaman jarum kirakira 2,5-3,75 cm. Risiko blok ini jika jarum terlalu
dalam akan mengenai arteri aksilaris, tarik
jarum perlahan hingga darah tidak teraspirasi
lagi. Hal ini menunjukkan bahwa posisi jarum
berada superfisial dari arteri aksilaris dan
masih berada di dalam selubung saraf, lalu
masukkan larutan anestesi lokal.1,2,4

Gambar 7 Blok aksilari2,4

Gambar 5 Blok supraklavikular2

Blok Infraklavikular
Blok ini dilakukan dengan posisi lengan
bebas; lengan abduksi dapat mempermudah
menentukan lokasi anatomi dan menggunakan
marker prosesus coracoid. Lokasi blok 2 cm
medial dari prosesus coracoid lalu 2 cm
kaudal, jarum 18-22G dimasukkan tegak lurus

Blok Saraf Distal Ekstremitas Superior


Anestesi di daerah tangan dapat dengan
anestesi lokal di nervus medianus, ulnaris,
dan radialis. Teknik ini digunakan dalam
operasi tangan, sehingga tidak memerlukan
torniket untuk mengontrol perdarahan.
Blok ini juga dapat membantu blok pleksus
brakialis yang tidak merata memblok sensorik
daerah distal. Saat ini blok saraf daerah tangan
lebih baik dilakukan di pergelangan tangan
dibandingkan di siku.1,2,4

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

TEKNIK
Blok Saraf Interkostal
Blok ini dapat dilakukan dalam berbagai posisi,
akan tetapi lebih optimal dalam posisi pronasi.
Masing-masing kostae yang akan diblok,
dipalpasi terlebih dahulu, dan diberi tanda 5-7
cm dari midline punggung. Kostae 6 hingga
11 dapat mudah dipalpasi, sedangkan kostae
di atasnya terhalang skapula dan muskulus
paraspinous. Jarum ditusukkan dengan sudut
80 hingga mengenai kostae, lalu jarum
diarahkan ke kaudal sehingga berada di sisi
inferior kostae. Kedalaman jarum 3-5 mm dan
diberikan 3-5 ml anestetik lokal.1,2

Gambar 8 Blok saraf medianus2,4

Gambar 9 Blok saraf ulnaris2,4


Gambar 11 Blok saraf interkostal2

Gambar 10 Blok saraf radialis2,4

Blok Saraf Medianus


Nervus medianus mempersarafi sensorik
terbanyak di telapak tangan. Di pergelangan
tangan nervus medianus diblok dengan
memberi 3-5 ml anestesi lokal antara tendon
palmaris longus dan fleksor karpi radialis.1,2,4
Blok Saraf Ulnaris
Blok saraf ini dilakukan dengan memasukkan
jarum 3-4 cm ke arah medial antara tendon
fleksor karpi ulnaris dan arteri ulnaris 3-5 ml
anestetik lokal.1,2,4
Blok Saraf Radialis
Banyak pasien dominan sensasi nervus

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

radialis di daerah dorsal tangan, oleh karena


itu blok nervus radialis dapat dilakukan
dengan infiltrasi subkutan 3-5 cm proksimal
sendi pergelangan tangan.1,4 Selain dengan
infiltrasi subkutan, dapat dilakukan blok
cabang sensorik ke arah sisi lateral ibu jari
yang berada di antara arteri radialis dan
tendon fleksor karpi radialis. Kemudian
masukkan 1-2 ml anestetik lokal di daerah
tersebut, pada beberapa orang nervus ini
dapat terpalpasi dari volar ke dorsal, maka
dapat diberikan 2-3 ml anestetik lokal
langsung ke nervus di lateral radius. Anestesi
ini akan memblok punggung tangan 3 jari
lateral.2

Blok Saraf Ilioinguinal dan


Iliohipogastrik
Blok ini digunakan untuk operasi daerah
inguinal dan genital, seperti herniorafi inguinal
atau orchidopexy. Nervus ini merupakan
cabang akhir pleksus lumbal L1 dan beberapa
cabang dari T12. Lokasi blok ini 2 cm medial
di atas spina iliaka anterior superior dan
tusuk tegak lurus hingga di bawah fasia, lalu
masukkan 10-20 ml anestetik lokal. Cabang
genital nervus genitofemoral diblok dengan
2-3 ml anestetik lokal lateral dari tuberkel pubis
dan cabang femoral dapat diblok dengan 3-5
ml anestetik lokal subkutan di bawah ligamen
inguinal.1,2

Gambar 12 Blok saraf ilioinguinal dan iliohipogastrik2

933

TEKNIK
Blok Saraf Ekstremitas Inferior
Ekstremitas bawah dipersarafi oleh pleksus
lumbal dan sakral yang berdistribusi luas
ketika memasuki daerah femoral. Oleh karena
itu pada operasi ekstremitas bawah perlu
dilakukan beberapa blok saraf perifer.1,2,4
Blok Saraf Femoral
Blok ini mempengaruhi bagian anterior
dan medial tungkai atas. Ligamen inguinal
diidentifikasi lalu membuat garis antara
spina iliaka anterior superior dan tuberkel
pubis. Di pertengahan garis tersebut arteri
femoralis diidentifikasi dengan palpasi, lokasi
penusukan tegak lurus kulit di 2 cm lateral
dari arteri femoralis dan 2 cm distal dari garis
ligamen inguinal dengan kedalaman 2-3 cm.
Identifikasi kontraksi muskulus kuadriseps
atau patellar snap, lalu turunkan < 0,5 mA, lalu
injeksi 20-30 ml anestetik lokal.1,2

Blok Saraf Kutaneus Femoral Lateral


Saraf ini merupakan saraf sensorik yang
mempersarafi bagian lateral femur, memiliki
banyak percabangan dan bervariasi tiap
individu. Blok dilakukan dengan menginfiltrasi
5-10 ml anestetik lokal di 2 cm medial dan 2
cm distal dari spina iliaka anterior superior.
Blok ini untuk anestesi operasi superfisial,
seperti biopsi dan dapat membantu blok lain
untuk operasi di atas lutut. Blok saraf femoral
dengan jumlah anestetik lokal yang banyak,
dapat memblok saraf ini.1,2

saraf skiatik, sekitar 2 cm lebarnya ketika


keluar dari pelvis. Pasien diposisikan lateral
dekubitus (Sims position) ke arah berlawanan
dengan saraf yang akan diblok. Batasan
yang digunakan adalah trokanter mayor,
spina iliaka posterior superior, dan hiatus
sakral. Garis pertama dibuat dari trokanter
mayor dan spina iliaka posterior superior
dan garis kedua dari trokanter mayor
dan hiatus sakral. Titik tengah dari garis
trokanter mayor dan spina iliaka posterior
superior diberi tanda dan dibuat garis tegak
lurus dengan titik tengah itu ke arah kaudal
hingga bersilangan dengan garis trokanter
mayor dan hiatus sakral (kurang lebih 5
cm), titik persilangan itu merupakan lokasi
blok. Jarum dimasukkan tegak lurus hingga
terdapat respon motorik muskulus gluteal,
pergelangan kaki, kaki, dan jari kaki. Setelah
semua respon motorik didapat, turunkan
stimulator hingga < 0,5 mA, lalu masukkan
20-30 ml anestetik lokal.2

Gambar 15 Blok saraf kutaneus femoral lateral2

Gambar 13 Blok saraf femoral2

Blok Saraf Safenus


Saraf ini merupakan cabang nervus femoralis
yang mempersarafi tungkai di bawah lutut.
Saraf ini berjalan bersamaan dengan vena
safenus di medial tungkai. Lokasi blok di
sekitar vena safenus setinggi tuberositas tibia.
Vena ini sulit dipalpasi, dapat dibantu dengan
ultrasonografi. Blok ini biasanya dikombinasi
dengan blok saraf poplitea. Dilakukan dengan
infiltrasi subkutan 7-10 ml anestetik lokal mulai
dari tuberositas tibia dan menuju medial
hingga mendekati bagian posterior tungkai.1,2

Blok Saraf Obturator


Saraf ini dapat bervariasi mempersarafi femur,
ada yang sisi medial (20%), posterior (23%),
atau tidak mempersarafi (57%). Blok saraf ini
dengan menusukkan jarum 1-2 cm lateral dan
distal dari tuberkel pubis. Jika telah menyentuh
tulang, jarum diarahkan ke lateral dan kaudal
dengan kedalaman 2-4 cm memasuki foamen
obturator sehingga terdapat respon motorik
aduktor. Setelah itu menurunkan stimulator <
0,5 mA dan aspirasi untuk memastikan tidak
mengenai vaskular, lalu masukkan 10-20 ml
anestetik lokal.2

Gambar 16 Blok saraf obturator2

Gambar 14 Blok saraf safenus2

934

Blok Saraf Skiatik


Pleksus sakralis (L4-5, S1-3) membentuk

Gambar 17 Blok saraf skiatik2

Blok Saraf Poplitea


Blok saraf poplitea memberi anestesi daerah
proksimal sebelum saraf skiatik bercabang
menjadi nervus peroneus komunis dan tibialis
di fosa poplitea. Blok ini dapat dilakukan dari
lateral ataupun posterior. Keuntungan blok
dari lateral adalah pasien tetap dalam posisi
supinasi, sedangkan jika dari posterior pasien
posisi pronasi atau lateral dekubitus. Pada
blok dari lateral, palpasi celah intertendinous
antara muskulus vastus lateralis dan biseps
femoris, kurang lebih 10-12 cm dari proksimal
patela, kemudian jarum ditusukkan dengan
sudut distal 20-30 dan sudut posterior
30-45 hingga ditemukan respon motorik
pergelangan kaki, kaki, dan jari kaki (kedalaman
6-9 cm), lalu masukkan 30-40 ml anestetik
lokal.2,4

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

TEKNIK

Gambar 20 Blok saraf pergelangan kaki2


Gambar 18 Blok saraf poplitea dari lateral4

kemudian lokasi jarum 1 cm dari ujung dan


1 cm ke lateral dengan sudut posterior 3045, kedalaman 4-6 cm hingga menemukan
kontraksi pergelangan kaki, kaki, dan jari kaki,
lalu berikan 30-40 ml anestetik lokal.2,4

Gambar 19 Blok saraf poplitea dari posterior4

Blok saraf poplitea dari posterior dengan


mengidentifikasi fosa poplitea sebagai segitiga
dengan batas lateral muskulus biseps femoris,
batas medial muskulus semitendinous dan
semimembranous, dan batas inferior garis
poplitea. Pada titik tengah garis poplitea
tarik garis tegak lurus hingga bersilangan
pada ujung segitiga poplitea (8-10 cm),

Blok Saraf Pergelangan Kaki


Saraf perifer yang mempersarafi kaki ada lima
dan semuanya dapat diblok setinggi maleolus.
Nervus tibialis merupakan saraf utama telapak
kaki, terletak di posterior arteri tibialis posterior
dan diblok dengan infiltrasi 5-8 ml anestetik
lokal. Nervus suralis mempersarafi bagian
lateral kaki dan diblok dengan 5-8 ml anestetik
lokal di celah antara maleolus lateralis dan
kalkaneus. Nervus peroneus profunda
mempersarafi jari kaki pertama dan kedua,
diblok dengan identifikasi celah proksimal
antara tendon ekstensor halikus longus dan
tendon ekstensor digitorum longus, lalu
injeksi subkutan 5-8 ml anestetik lokal hingga
mengenai periosteum. Kemudian dari lokasi
ini infiltrasi subkutan 5-8 ml anestetik lokal ke

arah maleolus lateralis untuk memblok nervus


peroneus superfisialis yang mempersarafi
dorsum kaki. Setelah itu, dari lokasi yang
sama arahkan jarum ke maleolus medialis
infiltrasi subkutan 5-8 ml anestetik lokal untuk
memblok nervus safenus yang mempersarafi
bagian medial kaki.2
SIMPULAN
Blok saraf perifer merupakan suatu teknik
anestesi yang cocok untuk operasi superfisial
ekstremitas. Keuntungan blok saraf perifer
adalah kesadaran pasien tidak terganggu dan
adanya proteksi refleks saluran napas atas.
Penggunaan ultrasonografi dapat membantu
visualisasi saraf perifer, pembuluh darah, letak
jarum blok, dan distribusi larutan anestesi
lokal. Saat ini berbagai teknik blok saraf perifer
telah dikembangkan seperti blok pleksus
servikalis, blok pleksus brakialis, blok saraf distal
ekstremitas superior, blok saraf interkostal,
blok saraf ilioinguinal dan iliohipogastrik, dan
blok saraf ekstremitas inferior.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Stoelting RK, Miller RD. Basics of Anesthesia, 5th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2007.

2.

Morgan GE Jr., Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology, 4th ed. USA: McGraw-Hill Co.; 2006.

3.

Buckenmaier III C, Bleckner L. Military Advanced Regional Anesthesia and Analgesia Handbook. Washington: Borden Institute Walter Reed Army Medical Center; 2008.

4.

Meier G, Bttner J. Regional Anesthesi: Pocket Compendium of Peripheral Nerve Blocks [English version revised by Selander D]. Munich: Arcis Publ. Co.; 2004.

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

935

OPINI

Manfaat Glukosamin, Kondroitin, dan


Metilsulfonilmetana
pada Osteoartritis
Cynantya Kardiman
Staf ICTEC Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK
Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif yang paling sering ditemukan dan mengganggu kualitas hidup. Banyak penelitian
dilakukan untuk mencari terapi yang paling efektif, aman, dan bahkan mampu mengembalikan proses degenerasi pada OA. Di Indonesia, telah
banyak dokter meresepkan glucosamine sulfate, chondroitin sulfate, dan MSM yang dipercaya dapat memperlambat progresifitas perubahan
struktur anatomis sendi pada osteartritis walau masih banyak kontroversi mengenai efektivitasnya. Harga obat membuat pasien atau konsumen
menghabiskan biaya pengobatan cukup besar dan membebani biaya asuransi kesehatan.
Kata kunci: glukosamin sulfat, kondroitin sulfat, metilsulfonilmetana (MSM), osteoarthritis (OA)

ABSTRACT
Osteoarthritis (OA) is the most often degenerative disease found and impaired quality of life. Many experiments have been conducted to find
most effective, safe therapy and can recover the degenerative process in OA. In Indonesia, many medical doctors prescribed glucosamine sulfate,
chondroitin sulfate, dan MSM though there are still controversies regarding their effectiveness. The price of the drugs made additional burden
to patient, family and health care insurance. Cynantya Kardiman. The Benefits of Glucosamine, Chondroitin, and Methylsulfonylmethane
in Osteoarthritis.
Keywords : chondroitin sulfate, glucosamine sulfate, methylsulfonylmethane (MSM), osteoarthritis (OA)

PENDAHULUAN
Osteoartritis (OA) adalah suatu penyakit sendi
degeneratif yang paling sering ditemukan;
prevalensinya meningkat dramatis dengan
bertambahnya harapan hidup masyarakat.1
Meskipun tidak menyebabkan kematian,
OA merupakan penyakit yang dapat
mengganggu kualitas hidup, baik dalam
bekerja maupun dalam melakukan kegiatan
sehari-hari. Oleh karena itu, banyak sekali
penelitian dilakukan untuk mencari terapi
yang paling efektif, aman, dan bahkan
mampu mengembalikan proses degenerasi
pada OA.2
Glukosamin,
kondroitin
sulfat,
dan
Metilsulfonilmetana (MSM) termasuk suplemen
diet paling laris di Amerika Serikat dengan
angka penjualan mencapai sekitar $810 juta
pada 2005.2 Glukosamin sulfat, kondroitin sulfat,
dan MSM dipercaya dapat memperlambat
progresivitas perubahan struktur anatomis
sendi pada osteartritis lutut dan mengkontrol
Alamat korespondensi

936

progresivitas gejala OA; tetapi penelitian GAIT


membuktikan sebaliknya, ketiga zat tersebut
tidak menghasilkan perbedaan bermakna
sebagai symptom-modifying dan structuremodifying drugs.3-6
Meskipun banyak kontroversi mengenai
glukosamin, kondroitin sulfat dan MSM,
dalam praktek sehari-hari obat-obat tersebut
masih banyak diresepkan. Harga obat yang
mahal membuat pasien atau konsumen
menghabiskan biaya cukup besar dan
membebani asuransi kesehatan. Di Indonesia
glukosamin masuk dalam daftar obat yang
dijamin dalam asuransi kesehatan.
PEMBAHASAN
Osteoartritis
Osteoartritis adalah penyakit sendi degeneratif,
kronis, progresif, umumnya mengenai sendi
weight-bearing. OA adalah bentuk artritis yang
paling sering ditemukan dan prevalensinya
meningkat dramatis dengan bertambahnya

usia.1 OA dapat memiliki berbagai gejala


klinis, di antaranya nyeri, rentang gerak yang
berkurang dan dapat meningkatkan disabilitas
penderitanya. OA menjadi penyebab utama
disabilitas di Amerika Serikat. Angka kejadian
OA di Amerika Serikat adalah 20 juta orang,
dan diperkirakan akan meningkat sampai 20
kali lipat dalam 20 tahun.2
Analgesik, seperti parasetamol dan NSAID
(nonsteroid antiinflammatory drug), paling
sering digunakan sebagai obat penahan nyeri
kasus OA; NSAID dinyatakan lebih unggul
untuk mengatasi nyeri dalam jangka pendek.
Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa
keberhasilan NSAID mengatasi nyeri berkaitan
dengan cyclooxygenase-2 inhibitor memiliki
efikasi sedang jika dibandingkan dengan
risiko efek samping pada penggunaan jangka
panjang; obat ini dapat menyebabkan efek
samping gastrointestinal dan kardiovaskular,
tanpa mempengaruhi penyebab nyeri yang
berasal dari kerusakan tulang rawan sendi.7

email: yusuf_pluss@yahoo.com

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

OPINI
Karena terapi medis OA hanya memiliki efisiensi
sedang, dan merupakan terapi jangka pendek
untuk pain control, pengembangan obat-obat
lain yang dapat mengatasi nyeri dalam jangka
panjang dan memperbaiki kerusakan tulang
rawan sendi akibat hilangnya tulang rawan
hialin pada OA dewasa ini menarik dilakukan1.
Obat-obat terapi OA diklasifikasikan menjadi
symptom-modifying dan structure-modifying.
Sampai saat ini belum ada obat yang terbukti
structure-modifying dalam penyakit OA,
namun penelitian terus dilakukan untuk
mencari senyawa yang dapat memiliki efek
lain selain mengatasi nyeri. Senyawa ini dalam
pemakaian jangka panjang diharapkan dapat
memiliki efek lain yang lebih menguntungkan
daripada NSAID dalam mengatasi kerusakan
struktur sendi, berlawanan dengan efek NSAID
yang dapat meningkatkan progresi kerusakan
sendi.5
Glukosamin
Glukosamin
(2-amino-2-deoxi--d-glukopiranosa), merupakan zat yang normal
ditemukan di matriks tulang rawan sendi dan
cairan sendi manusia. Glukosamin merupakan
prekusor utama untuk biosintesis berbagai
makromolekul seperti asam hialuronat,
proteoglikan, glikosaminoglikan (GAGs),
glikolipid, dan glikoprotein. Glukosamin
terdapat di hampir semua jaringan lunak
dalam tubuh manusia, konsentrasi tertinggi
di tulang rawan.1
Pada kartilago sehat, glikosaminoglikan
memiliki muatan negatif sehingga dapat
mengikat molekul air (H2O). Dengan
berjalannya usia yang menyebabkan proses
degenerasi, rantai samping glikosaminoglikan
berkurang, menghilangkan kemampuan
tulang rawan untuk mengikat air, yang pada
akhirnya mengganggu hidrasi tulang rawan
tersebut.6

Gambar 2 Struktur kimia dari (A) Glukosamin HCl, (B) Glukosamin sulfat, (C) Glukosamin sulfat- natrium klorida kopresipitat.1

Gambar 3 Struktur Biokimia Kondroitin10

Glukosamin secara struktural merupakan


basa lemah, sehingga sediaan glukosamin
yang beredar harus distabilkan dalam
bentuk garam. Glukosamin ditemukan dalam
berbagai bentuk, antara lain glukosamin sulfat,
hidroklorida, N-asetilglukosamin, atau garam
klorohidrat, dan isomer dekstraoratorik.8
Sediaan oral yang paling banyak ditemukan
di pasaran adalah dalam bentuk glukosamin
hidroklorida (HCl) dan cocrystals atau
coprecipitates glukosamin sulfat dengan
kalium atau natrium klorida. 6
Dosis harian glukosamin bervariasi antara
berbagai sediaan. Peningkatan kadar
glukosamin yang diberikan secara oral pada
sinovium terjadi selama 12 jam; absorbsi
glukosamin oral pada usus adalah sebesar
90%, tetapi first pass metabolisme di hati
menyebabkan bioavailabilitas glukosamin
turun sampai 44%. 9
Mekanisme efek kondroprotektif glukosamin
yang mungkin adalah stimulasi langsung
kondrosit, memasukkan sulfur ke dalam
tulang rawan sendi, dan perlindungan
terhadap proses degenerasi tubuh dengan
cara mengubah ekspresi genetik.6

Gambar 1 Struktur Kimia Glucosamine6

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

Secara molekuler penggunaan glukosamin


menyebabkan peningkatan signifikan protein

inti aggrekan dan mRNA, juga penurunan


matrix
metalloproteinase-3.
mencegah
produksi interleukin1 (IL-1), stimulasi
prostaglandin E. 6
Kondroitin
Kondroitin merupakan glikosaminoglikan
yang diperlukan untuk pembentukan
proteoglikan di tulang rawan sendi.
Kondroitin memiliki struktur hidrofilik,
makromolekul polisakarida dalam bentuk
gel yang memfasilitasi rawan sendi untuk
menyerap air dalam jumlah banyak sehingga
menyebabkan sendi dapat bersifat seperti
bantalan.10 Kondroitin dipercaya memperbaiki
fungsi
sendi
dengan
meningkatkan
sintesis endogen dan mencegah degradasi
enzimatik glikosaminoglikan. Penelitian klinis
mendukung pemberian obat oral kondroitin
sulfat untuk penyakit degeneratif sendi,
baik sebagai obat untuk mengurangi nyeri
sekaligus mengurangi penggunaan NSAID. 10
Bentuk kondroitin terbanyak di dalam jaringan
sendi adalah kondroitin sulfat A (Kondroitin4-sulfat) dan kondroitin sulfat C (Kondroitin-6sulfat).
Dosis yang direkomendasikan untuk
kondroitin adalah sebesar 800 sampai 1200
mg per hari.10 Mayoritas dosis oral kondroitin

937

OPINI
sulfat dihidrolisis menjadi monosakarida di
saluran cerna, hanya sejumlah kecil dari di-,
oligo-, dan polisakarida yang dapat melewati
proses pencernaan di usus dan diserap ke
dalam aliran darah dan sendi.8-10
Mekanisme kerja kondroitin sulfat adalah
dengan meningkatkan konsentrasi GAG
sendi dan meningkatkan viskositas cairan
sendi. Penyembuhan struktur sendi dan
pengembalian fungsi merupakan akibat dari:
(1) peningkatan sintesis asam hialuronat
endogen dan glikosaminoglikan sulfat
dari kondroitin sulfat, dan (2) berkurangnya
pemecahan glikosaminoglikan sendi akibat
menurunnya aktivitas collagenolitic dan
inhibisi enzim seperti phospholipase A2
dan N-asetilglukosamineidase; kedua enzim
tersebut memiliki kemampuan mendegradasi
glikosaminoglikan yang ada di sendi.10
Methylsufonylmethane
Methylsulfonylmethane (MSM) merupakan
bentuk teroksidasi dari dimetil-sulfoksida
(DSMO), yang merupakan sebuah sediaan
organik sulfur. MSM memiliki sifat analgetik,
memblokir proses inflamasi dan meningkatkan
aktivitas kortisol, sebuah hormon anti
inflamasi yang secara alamiah dibentuk di
dalam tubuh. MSM telah diteliti untuk dapat
menggantikan sulfur yang hilang pada proses
artritis. Kadar sulfur pada tulang rawan yang
mengalami artritis adalah sepertiga dari kadar
sulfur tulang rawan normal. Dosis optimal
MSM tidak diketahui, tetapi dosis 1-2 gram
dalam dua dosis sehari adalah dosis yang
direkomendasikan.11

menemukan perbedaan bermakna kualitas


nyeri dan fungsi antara kelompok plasebo
dengan kelompok glukosamin, terdapat 11,7 %
reduksi indeks WOMAC dibandingkan plasebo,
tetapi tidak terdapat perbedaan dalam
penilaian kekakuan sendi. Indeks WOMAC
(Western Ontario and McMaster Universities)4
merupakan salah satu kuesioner yang paling
umum digunakan dalam penelitian klinis
untuk menilai derajat nyeri dan kekakuan,
serta gangguan fungsional yang disebabkan
Osteoartritis. Dalam penelitian ini ditemukan
juga pengurangan penyempitan ruang sendi
dibandingkan kelompok plasebo, seperti
yang ditunjukkan hasil radiografi weightbearing anteroposterior (0.06 mm versus 0.31
mm). kedua perbedaan tersebut bermakna
secara statistik; tetapi belum ada korelasi
antara perbaikan gejala dengan penemuan
radiografis.12
Pada percobaan serupa yang dilakukan tahun
2002 di Prague, Czech, 202 pasien Osteoartritis
sendi lutut diberi plasebo atau 1500 mg
glukosamin dan diikuti selama 3 tahun.6 Studi
kedua ini melaporkan perbedaan bermakna
derajat nyeri, fungsi, derajat kekakuan pada
grup yang diberi glukosamin. Terdapat
perbaikan berarti pada grup glukosamin
(26%), dibandingkan dengan grup plasebo
(16%) dengan menggunakan skor WOMAC
sebagai tolok ukur dan bukti radiografi yang
menunjukkan berkurangnya penyempitan
ruang antar sendi pada kompartemen sendi
medial (rerata penambahan 0.04 mm vs 0.19
mm pada penyempitan ruang antar sendi).6-7

Pada akhir tahun 1990, National Institutes of


Health (NIH) di Amerika Serikat mensponsori
penelitian klinis multicenter, doubleblind, placebo- dan celecoxib-controlled,
untuk menilai efektivitas dan keamanan
glukosamin dan kondroitin sulfat baik
sebagai monoterapi dan sebagai kombinasi
terapi OA sendi lutut. Penelitian terbesar
yang melibatkan 1583 orang pasien, The
Glukosamin/Kondroitin Artritis Intervention
Trial7 (GAIT) meneliti pasien OA lutut, untuk
menerima glukosamin HCI 1500 mg per
hari, natrium kondroitin sulfat 1200 mg per
hari, dan kombinasinya dengan celecoxib
200 mg per hari atau plasebo. Penelitian
ini dilakukan scara double blind selama
24 minggu. Para peneliti GAIT 2006 tidak
dapat menarik simpulan apakah glukosamin
berguna untuk terapi OA. Hasil penelitian
tersebut adalah penurunan 2 0% skor
WOMAC dalam 24 minggu, dibandingkan
dengan sebelum terapi. Pada penelitian
ini, disimpulkan bahwa bila dibandingkan
plasebo, terapi glukosamin saja dan atau
kombinasinya dengan kondroitin tidak
menurunkan kualitas nyeri secara signifikan
setelah 6 bulan terapi, pada pasien OA
lutut. Para peneliti menyatakan bahwa
kombinasi glukosamin dan kondroitin
efektif bagi pasien subgroup nyeri lutut
hebat. Penemuan penting pada penelitian
ini adalah efek plasebo sebesar 60%
menyatakan kurangnya jumlah sampel pada
penelitian tersebut.7 Penelitian lanjutan
GAIT selama 2 tahun dengan 662 pasien OA,
dengan randomisasi menggunakan terapi

DISKUSI
Beberapa penelitian klinis yang menyelidiki
terapi glukosamin untuk OA, menggunakan
preparat
glukosamin
sulfat
produksi
perusahaan farmasi, cenderung menghasilkan
efek positif glukosamin terhadap OA, tetapi
simpulan ini cenderung ditolak karena jumlah
sampel terlalu sedikit, randomisasi tidak
adekuat, tidak ada prinsip intention to treat,
dan bias akibat dipengaruhi sponsor. Dua
uji klinis skala besar pernah dilakukan untuk
menilai fungsi glukosamin sulfat terhadap
gejala dan perubahan radiologis OA.
Penelitian pertama mengevaluasi 212 pasien
OA lutut selama 3 tahun secara acak, salah
satu grup menerima 1500 mg glukosamin
sulfat, dan grup lainnya plasebo.7 Penelitian ini

938

Gambar 4 Tingkat Efek Menurut Tahun Publikasi

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

OPINI
yang sama tidak menghasilkan perbaikan
skor WOMAC maupun fungsi sendi jika
dibandingkan dengan plasebo. Meskipun
grup glukosamin dan celecoxib menunjukan
angka perbaikan nyeri dan fungsi yang lebih
baik, namun tidak bermakna secara klinis. 1
Efektivitas kondroitin sulfat dibandingkan
plasebo untuk penatalaksanaan nyeri
osteoartritis telah banyak dilaporkan oleh
sejumlah penelitian kecil, tetapi hasilnya
bervariasi.
Beberapa
tahun
terakhir,
penelitian skala besar telah menemukan
bahwa kondroitin tidak memiliki, atau hanya
memiliki sedikit efek terhadap tingkat
nyeri OA. GAIT merupakan penelitian yang
di disusun terutama untuk menilai efek
kondroitin dan glukosamin pada OA lutut
yang memiliki gejala. Penelitian ini gagal
menemukan perbedaan signifikan antara
subyek yang diberi kondroitin dengan subyek
yang diberi plasebo. 3
Reichenbach dkk membuat sebuah meta-

analisis untuk mengevaluasi efek kondroitin


sulfat untuk mengatasi nyeri sendi lutut
dan panggul.4 Para peneliti menemukan
heterogenitas besar dalam berbagai
penelitian, sehingga sulit melakukan
interpretasi hasil penelitian tersebut. Analisis
dikelompokkan dalam 3 penelitian yang
memiliki jumlah sampel lebih besar, memiliki
analisis intention to treat, dan blinding yang
adekuat; ditemukan bahwa kondroitin sulfat
tidak efektif untuk mentatalaksanai nyeri.
Meta-analisis lain yang terbit pada tahun
yang sama mengevaluasi data uji klinis
acak mengenai berbagai jenis analgesik
untuk tatalaksana OA13; 362 pasien dari
6 buah penelitian RCT memberikan
data penggunaan kondroitin sulfat, dan
keuntungan pemberian yang secara statistik
bermakna ditemukan dalam 4 minggu terapi.
Akan tetapi efek yang diobservasi lebih kecil
daripada ambang batas untuk menyatakan
adanya kemajuan setelah terapi. Uji klinis
acak baru-baru ini meneliti peran kondroitin
dalam mencegah progresifitas kerusakan

struktur sendi OA lutut pada 622 pasien


selama 2 tahun. Pada penelitian tersebut
ditemukan pengurangan nyeri VAS dan
WOMAC, meskipun tidak signifikan.14 Hasil
penelitian GAIT selama 2 tahun menemukan
tidak ada perbedaan kualitas nyeri yang
dinilai dengan WOMAC, antara pasien yang
menerima terapi kondroitin sulfat sendiri,
maupun dalam kombinasi.7
SIMPULAN
Penggunaan glukosamin, kondroitin, dan MSM
pada kasus osteoartritis masih dipertanyakan
efektivitasnya sebagai sebuah structure
modifying drugs yang mampu mengembalikan
struktur sendi yang mengalami degenerasi.
Meskipun terdapat bukti bahwa glukosamin,
kondroitin, dan MSM memiliki potensi
sebagai symptom modifying drugs pada kasus
osteoartritis ringan.
Karena itu, diperlukan studi lanjutan guna
mengevaluasi efektivitas zat-zat tersebut
pada OA.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Miller KL, Clegg DO. Glucosamine and chondroitin sulfate. Rheum Dis Clin N Am. 2011; 37:10318.

2.

Lawrence RC, Felson DT, Helmick CG, Arnold LM, Choi H, Deyo RA, et al. Estimates of the prevalence of arthritis and other rheumatic conditions in the United States. Part II. Arthritis Rheum.

3.

Clegg DO, Reda DJ, Harris CL, Klein MA, ODell JR, Hooper MM, et al. Glucosamine, chondroitin sulfate and the two in combination for painful knee osteoarthritis. N Engl J Med.

2008; 58(26): 56-61.


2006;354:795808.
4.

Reichenbach S, Sterchi R, Scherer M, Trelle S, Burgi E, Burgi U, et al. Meta-analysis: Chondroitin for Osteoarthritis of the Knee or Hip. Ann Intern Med. 2007;146:580-90.

5.

Reginster JY, Deroisy R, Rovati LC, Lee RL, Lejeune E, Bruyere O, et al. Long-term effects of glucosamine sulphate on osteoarthritis progression: a randomised, plasebo-controlled clinical
trial. Lancet. 2001;357:251-66.

6.

Dahmer M, Schiller RM. Glucosamine. American Family Physician Ann Intern Med. 2008;78:470-476.

7.

Towheed TE, Maxwell L, Judd MG. Acetaminophen for osteoarthritis. Cochrane Database Syst Rev.2006; 345-57.

8.

Persiani S, Roda E, Rovati LC, Locatelli M, Giacovelli G, Roda A. Glucosamine oral bioavailability and plasma pharmacokinetics after increasing doses of crystalline glucosamine sulfate in
man. Osteoarthritis Cartilage.2005;13:1041-46.

9.

Jackson CG, Plaas AH, Sandy JD. The human pharmacokinetics of oral ingestion of glucosamine and chondroitin sulfate taken separately or in combination. Osteoarthritis
Cartilage.2010;18:297-303.

10. Chondroitin sulfate. Alternative medicine review. 2006; 11: 337-43.


11. Lawrence RM. Methylsulfonylmethane (MSM): a double-blind study of its use in degeneratif arthritis. Int J Anti-Aging Med. 1998; 1 (1):50-55.
12. McAlindon TE, LaValley MP, Felson DT. Efficacy of glucosamine and chondroitin for treatment of osteoarthritis. JAMA. 2000;284:1241-48.
13. Bjordal JM, Klovning A, Ljunggren AE, Slordal L. Short-term efficacy of pharmacotherapeutic interventions in osteoarthritic knee pain: a meta-analysis of randomised plasebo-controlled
trials. Eur J Pain. 2007;11:125-40.
14. Kahan A, Uebelhart D, De Vathaire F. Long-term effects of chondroitins 4 and 6 sulfate on knee osteoarthritis: the study on osteoarthritis progression prevention, a two-year, randomized,
double-blind, plasebo-controlled trial. Arthritis Rheum. 2009; 60 :524.

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

939

INFO PRODUK

Diet Khusus Penunjang Nutrisi


untuk Pasien Penyakit Ginjal Kronis
PENDAHULUAN
Menurut National Kidney Foundation Kidney
Disease Outcome Quality Initiative (K/DOQI),
penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai
kondisi selama minimal 3 (tiga) bulan, telah
terjadi penurunan fungsi ginjal dengan atau
tanpa kerusakan struktur ginjal, atau kondisi
kerusakan struktur ginjal dengan atau tanpa
penurunan fungsi ginjal.1
Dalam manajemen penyakit ginjal kronis,
beberapa aspek yang perlu diperhatikan antara
lain aspek terapi nutrisi, manajemen cairan
(termasuk penggunaan diuretik), aspek terapi
penyakit primer dan komplikasi, serta terapi
pengganti ginjal (transplantasi, hemodialisis,
atau dialisis peritoneal).2 Manajemen nutrisi
termasuk salah satu pilar yang sangat penting
karena kebiasaan makan yang tidak tepat
dapat berdampak serius pada perburukan
penyakit.3,4
Seperti telah diketahui, kebutuhan nutrisi
pasien penyakit ginjal kronis berbeda
dengan kebutuhan orang normal. Hal ini
disebabkan sejumlah faktor khususnya
karena perjalanan penyakit ginjal itu
sendiri; antara lain faktor katabolisme yang
tinggi, toksin uremia yang berlebihan,
serta gangguan ekskresi toksin dan cairan
akibat kerusakan fungsi filtrasi ginjal. Oleh
karena itu pasien penyakit ginjal kronis,
khususnya tahap akhir, membutuhkan
pengaturan nutrisi khusus dari dokter dan
ahli gizi.3-5 Pengaturan terutama difokuskan
pada cairan, garam, dan asupan protein. Di
samping itu, asupan vitamin dan mineral
juga perlu mendapat perhatian.4
Sebelum mulai menjalani manajemen nutrisi
khusus, status nutrisi pasien penyakit ginjal
kronis perlu diperiksa; dan kemudian dipantau
secara berkala. Hal ini penting dilakukan
untuk memastikan optimalnya nutrisi pasien.
Metode pemantauan dapat dilakukan
dengan berbagai modalitas; antara lain
dengan penilaian diet, antropometri, nPNA
(normalized protein nitrogen appearance),
kadar albumin, dan kadar kolesterol.6

940

TERAPI NUTRISI UNTUK PASIEN


PENYAKIT GINJAL KRONIS
1. Karbohidrat
Asupan karbohidrat untuk pasien penyakit
ginjal kronis harus cukup untuk menghindari
kejadian malnutrisi. Malnutrisi sendiri adalah
salah satu komplikasi potensial pada kasus
penyakit ginjal kronis mengingat pembatasan
protein dan gangguan nafsu makan pada
pasien.3,5,6 Menurut panduan National Kidney
Foundation/Kidney Dialysis Outcomes Quality
Initiative (NKF K/DOQI, 2000), anjuran asupan
karbohidrat untuk pasien penyakit ginjal
kronis adalah 35 kkal/kgBB/hari untuk pasien
dewasa dan 30-35 kkal/kgBB/hari untuk pasien
kelompok usia lanjut.5 Sedangkan menurut
panduan European Best Practice Guidelines
(EBPG, 2007) anjuran asupan karbohidrat
untuk pasien seperti ini adalah 30-40 kkal/
kgBB/hari.6
2. Protein
Protein merupakan salah satu komponen
nutrisi yang menjadi fokus utama dalam
manajemen nutrisi pasien penyakit ginjal
kronis. Pemberian protein kepada pasien
penyakit ginjal kronis memerlukan ketepatan;
jika terlalu banyak melebihi kebutuhan
hariannya, dapat timbul antara lain
komplikasi uremia, gejala-gejala bendungan
cairan (edema), dan perburukan penyakit
ginjal pasien. Sebaliknya jika diberikan terlalu
sedikit, pasien cenderung akan mengalami
malnutrisi energi protein dan dehidrasi;
yang juga dapat memperburuk perjalanan
penyakit ginjalnya.4
Prinsip utamanya adalah bahwa pada pasien
penyakit ginjal kronis tahap predialisis,
pembatasan asupan protein sangat penting
untuk memperlambat progresivitas penyakit
ginjal. Sedangkan pada pasien yang sudah
menjalani dialisis, baik hemodialisis maupun
dialisis peritoneal, asupan protein justru
harus ditambah untuk mengimbangi jumlah
protein yang hilang pada saat proses dialisis
dilakukan.3,5
Memilih jenis protein yang boleh diberikan

kepada pasien juga harus mendapat perhatian


khusus, karena pasien penyakit ginjal kronis
perlu mendapatkan asupan protein bernilai
biologis tinggi, yang memiliki kandungan
asam amino esensial dan nonesensial
lengkap.3,5
3. Lemak
Anjuran asupan lemak pada pasien penyakit
ginjal kronis disamakan dengan orang sehat,
yaitu meliputi 30% total asupan kalori harian,
dengan rasio asam lemak tak jenuh terhadap
asam lemak jenuh tidak kurang dari 1:13. EBPG
(2007) menganjurkan agar asupan lemak
diatur sedemikian sehingga kadar kolesterol
total pasien tidak kurang dari 150 mg/dL;
karena kadar kolesterol yang terlalu rendah
berkaitan dengan prognosis penyakit ginjal
kronis yang kurang baik.6
4. Vitamin dan mineral
Pada penyakit ginjal kronis, beberapa
vitamin mengalami perubahan metabolisme
sehubungan dengan perjalanan penyakit
itu sendiri, dengan berkurangnya asupan
makanan, ataupun dengan dialisis yang
dilakukan. Misalnya kebutuhan vitamin B6
meningkat pada pasien ginjal dengan anemia
yang mendapat terapi erythropoietin, dan
kebutuhan asam folat meningkat karena
kecenderungan pasien ginjal mengalami
hiperhomosisteinemia.7
Sedangkan untuk mineral perlu diperhatikan
asupannya pada pasien penyakit ginjal kronis.
Natrium, kalium, dan fosfor merupakan contoh
mineral yang perlu dibatasi. Sedangkan zat
besi, zinc, dan selenium merupakan contoh
mineral yang sering turun kadarnya pada
pasien ginjal; sehingga perlu mendapat
suplementasi khusus.7
5. Air
Asupan air untuk penderita penyakit
ginjal kronis harus diperhatikan agar tidak
memberatkan kerja jantung maupun ginjal.
Untuk pasien predialisis, jika pasien dapat
mentoleransi, air boleh diberikan sampai
dengan 3000 mL per hari. Namun pada

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

INFO PRODUK
pasien dialisis, yang umumnya sudah berada
dalam stadium penyakit ginjal kronis sangat
lanjut, anjuran asupan air adalah tidak lebih
dari 1500 mL per hari3. Biasanya, asupan air
untuk pasien penyakit ginjal kronis tahap
dialisis dihitung berdasarkan keluaran urine
per 24 jam terakhir, ditambah dengan 500
mL. Cairan tidak hanya diperhitungkan dari
air yang diminum, tetapi juga dari makanan
yang kandungan airnya tinggi.7
NEPRHISOL : Keunggulan sebagai
produk nutrisi untuk penyakit ginjal
kronis
Untuk memenuhi kebutuhan gizi pasien
penyakit ginjal kronis, dapat diberikan
makanan tambahan formula khusus yang
kandungannya telah disesuaikan dengan

kebutuhan pasien yang bersangkutan.


Salah satu contoh produk khusus ini adalah
Nephrisol.
Nephrisol merupakan makanan khusus untuk
pasien penyakit ginjal yang belum menjalani
dialisis. Kandungan protein yang rendah telah
disesuaikan dengan standar asupan protein
harian tahap predialisis yaitu 0,6-0,75 gram
protein/kgBB/hari. Protein dalam makanan
khusus ini tersedia dalam bentuk whey protein
concentrate dan calcium caseinate yang secara
keseluruhan mengandung rasio asam amino
60:40; sesuai anjuran NKF K/DOQI. Satu sajian
Nephrisol mampu memenuhi sekitar 15%
kebutuhan protein harian pasien. Nephrisol
dapat diberikan sebagai makanan tambahan
atau makanan pengganti, maksimal 6 (enam)

gelas sehari.
Di samping kandungan protein yang sudah
disesuaikan dengan guideline; kandungan dan
rasio asam lemak, kandungan karbohidrat,
dan kandungan komponen nutrisi lainnya
juga telah disesuaikan dengan kebutuhan
pasien penyakit ginjal kronis. Dari aspek
sumber karbohidrat, produk Nephrisol
tidak menggunakan laktosa, melainkan
maltodextrin sehingga masih dapat diberikan
jika ada intoleransi laktosa.
Dengan kandungan kalori 260 kkal per sajian
(250 mL) dan osmolaritas sekitar 350-360
mOsmol/kg, Nephrisol dapat diberikan lewat
sonde, sekiranya pasien penyakit ginjal kronis
sulit makan lewat jalur oral.  (HLM)

DAFTAR PUSTAKA
1.

National Kidney Foundation Kidney Disease Outcome Quality Initiative (K/DOQI). Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification, and stratification. Am J
Kidney Dis 2002; 39 (2 suppl 1): S18-S266.

2.

Arora P et al. Chronic Kidney Disease Treatment & Management [Internet]. 2013 [updated 2013 Aug 5, cited 2013 Aug 27]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/238798treatment.

3.

Kopple JD, Massry SG. Nutritional Management of Renal Disease. Pennsylvania, United States: Williams & Wilkins, 1997: 17.

4.

Kidney Health Australia. Nutrition and CKD - Some Basic Facts [Internet]. 2013 [updated 2013 Aug 26; cited 2013 Sep 13]. Available from: http://www.kidney.org.au/ForPatients/
Management/NutritionandCKD/tabid/705/Default.aspx.

5.

NKF/KDOQI Nutrition in Chronic Renal Failure Guideline. Am J Kidney Dis 2000; 35 (6): S58.

6.

Fouque D, Vennegoor M, Wee PT, Wanner C, Basci A, Canaud B et al. EBPG Guideline on Nutrition. Nephrol Dial Transplant 2007; 22 [Suppl 2]: ii45ii87.

7.

European Dialysis and Transplantation Nurses Association/European Renal Care Association (EDTNA/ERCA). European Guidelines for the Nutritional Care of Adult Renal Patients[Internet].
2002 [updated 2002 Oct 1; cited 2013 Sep 13]. Available from: http://www.eesc.europa.eu/self-and-coregulation/documents/codes/private/086-private-act.pdf.

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

941

AGENDA

AGENDA KEGIATAN ILMIAH


International Neonatology Association
Conference (INAC) 2014
Tanggal
Tempat
Sekretariat
Telp/Fax
Email
URL

:
:
:
:
:
:

3-5 April 2014


Melia Valencia Hotel, Valencia, Spain
International Neonatology Association
+41 (0)22-5330-948 / +41 (0)22-5802-953
secretariat@worldneonatology.com
http://worldneonatology.com/

4th Biennial Schizophrenia International


Research Society Conference
Tanggal
Tempat
Sekretariat
Telp/Fax
Email
URL

:
:
:
:
:
:

5-9 April 2014


Firenze Fiera Congress Center, Florence, Italy
Schizophrenia International Research Society, Inc.
+001 615 324 2370
info@schizophreniaresearchsociety.org
www.schizophreniaconference.org

8th World Congress of NeuroRehabilitation


Tanggal
Tempat

: 8-12 April 2014


: Lutfi Kirdar International Convention Center,
Istanbul, Turki
Sekretariat : World Federation for Neurorehabilitation
Telp/Fax
: +90 312 440 50 11 / +90 312 441 45 63
Email
: info@wcnr2014.org
URL
: www.wcnr2014.org

49th Annual Meeting of the European


Association for the Study of the Liver (EASL)
Tanggal
Tempat

: 9-13 April 2014


: International Convention Centre ExCel, London,
United Kingdom
Sekretariat : European Association for the Study of the Liver
Telp/Fax
: +41 61 686 77 77 / +41 61 686 77 88
Email
: secretariat.ilc@congrex.com
URL
: www.ilc-congress.eu

942

18th World Association for Bronchology and


Interventional Pulmonology and the International
Bronchoesophagology Society Joint Meeting
Tanggal
Tempat

: 13-16 April 2014


: Kyoto International Conference Center, Kyoto,
Japan
Sekretariat : Medical Group, Convention Division, Japan
Convention Services, Inc.
Telp/Fax
: +81-3-3508-1214 / + 81-3-3508-1302
Email
: wcbipwcbe2014@convention.co.jp
URL
: www2.convention.co.jp

10th International Conference on Psychiatry


Tanggal
Tempat
Sekretariat
Telp/Fax
URL

:
:
:
:
:

15-17 April 2014


Intercontinental Hotel, Jeddah, Saudi Arabia
Saudi German Hospital Jeddah
+966 2 682 9000 / 0096626835874
www.jed.sghgroup.com.sa

7th Asian Pacific Congress of Heart Failure


Tanggal
Tempat
Sekretariat
Telp/Fax
Email
URL

:
:
:
:
:
:

17-19 April 2014


Bali Nusa Dua Convention Center, Bali, Indonesia
Indonesian Heart Association
62-21-5681149 / 62-21-5684220
7thapchf@gmail.com.
www.apchf2014.org

World Congress on Osteoarthritis 2014


Tanggal
Tempat

: 24-27 April 2014


: The Center of New Industries and Technologies
(CNIT), Paris, France
Sekretariat : Osteoarthritis Research Society
Telp/Fax
: 856-380-6878 / 856-439-0525
URL
: http://2014.oarsi.org/

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

INDEKS

INDEKS PENULIS
D
Didit Pramudhito

832

H
Hendry Irawan

815

M
Makhyan Jibril Al-Farabi
Maria A. Witjaksono
Meilina Imelda

807
866
827

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

N
Natalia Yuwono

820

S
Steffi Kurniawan
Stephani Dwiyanti Indrasari
Stevani Novita

827
868
820

943

INDEKS

INDEKS SUBJEK
A
ABR,
advanced glycation end product,
AGE,
anti-A717,
anti-AGE,
anti-KLH,
audiometri,
nada murni,
auditory brainstem response,

822-3
lihat AGE
807-12
807, 811, 811g, 812
807, 810, 811, 811g, 812
807, 811-2
821-2
821t, 822
lihat ABR

C
crossdressing,

827, 829-30

D
depresi,
gangguan,
diagnosis,
pada lansia,
mood,
diabetes melitus,

815, 816, 816g, 817,


817t, 818t, 819
815, 817, 819
817
815-6, 817, 817t, 818t, 819
816
807-8, 809g, 810-1, 811g,
812, 868-9

hubungan dengan penyakit


periodontal,
868-9
dopamin,
816
G
gangguan identitas jenis kelamin,
gender identification disorders,
GID,

lihat GID
lihat GID
827-9

H
5-HIAA,
homovalinic acid,
hospis,
HVA,
5-hydroxyindolacetic,

816
lihat HVA
866-7
816
lihat 5-HIAA

I
ICAM-1,
intercellular adhesion molecule-1,

807-8, 809g, 811g


lihat ICAM-1

944

K
komplikasi diabetes,
kortikosteroid,
sistemik,
intratimpani,

807-8, 809g, 810,


811g, 812
820, 823-4, 826
823
824, 826

M
malondialdehyde,
MDA,
3-methoxy-4-hydroxyphenyl glycol,
MHPG,

lihat MDA
807, 811g
lihat MHPG
816

N
norepinefrin,

816

P
penyakit periodontal,

868-9

S
serotonin,
SSNHL,
strangulasi penis,
sudden sensorineural hearing loss,
T
tes,
Weber,
Rinne,
timpanometri,
transeksualisme,
tuli mendadak,
V
vascular cell adhesion molecule-1,
VCAM-1,

816
lihat sudden sensorineural
hearing loss
832-3
lihat tuli mendadak
822, 822g, 823t
822, 822g
822, 822g
822
827, 829
820-2, 823, 823t, 824t,
825, 825t, 826
lihat VCAM-1
807-8, 809g, 811g

CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

Anda mungkin juga menyukai