Artikel CME
Continuing
Medical
Education
887
Principles of Drug Use in
the Elderly
894
919
932
TINJAUAN PUSTAKA
BERITA TERKINI
TEKNIK
DAFTAR ISI
805
ISSN: 0125-913X
http://www.kalbemed.com/CDK.aspx
Alamat Redaksi
Gedung KALBE
Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4
Cempaka Putih, Jakarta 10510
Tlp: 021-420 8171
Fax: 021-4287 3685
E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id
http://twitter.com/CDKMagazine
Nomor Ijin
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976
Penerbit
Kalbe Farma
EDITORIAL
ARTIKEL
887
890
894
900
907
913
BERITA TERKINI
917
918
Pencetak
PT. Dian Rakyat
919
920
921
922
923
924
926
927
928
929
930
Susunan Redaksi
Teknik
936
Opini
940
Info Produk
942
Agenda
943
Indeks
Ketua Pengarah
dr. Boenjamin Setiawan, PhD
Pemimpin Umum
dr. Kupiya Timbul Wahyudi
Ketua Penyunting
Dr. dr. Budi Riyanto W., SpS
Dewan Redaksi
dr. Karta Sadana, MSc, SpOk
dr. Artati
dr. Esther Kristiningrum
dr. Dedyanto Henky
dr. Yoska Yasahardja
dr. Albertus Agung Mahode
Tata Usaha
Dodi Sumarna
883
BUKU
Penulis/Editor Tunggal
1. Hoppert M. Microscopic techniques in biotechnology. Weinheim: Wiley-VCH;
2003.
2. Storey KB, editors. Functional metabolism: regulation and adaptation. Hoboken
(NJ): J. Wiley & Sons; 2004.
MAKALAH KONFERENSI
Christensen S, Oppacher F. An analysis of Kozas computational effort statistic for genetic
programming. In: Foster JA, Lutton E, Miller J, Ryan C, Tettamanzi AG, editors. Genetic
programming: EuroGP 2002: Proceedings of the 5th European Conference on Genetic
Programming; 2002 Apr 3-5; Kinsdale, Ireland. Berlin: Springer; 2002. p. 182-91.
TABEL/GRAFIK/GAMBAR/BAGAN
Tabel/grafik/gambar/bagan yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dan dikirimkan
terpisah dalam format JPG (resolusi minimal 150 dpi dengan ukuran sebenarnya). Keterangan
pada tabel/grafik/gambar/bagan sedapat-dapatnya dituliskan dalam bahasa Indonesia.
PENGIRIMAN NASKAH
Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk softcopy / CD atau melalui e-mail ke alamat:
DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka disusun menurut aturan Vancouver. Rujukan diberi nomor urut sesuai
pemunculannya di dalam naskah. Jika penulis enam orang atau kurang, cantumkan semua;
bila tujuh atau lebih, tuliskan enam yang pertama dan tambahkan et al.
Kepustakaan maksimal berjumlah 20 buah, terbitan 10 tahun terakhir. Diupayakan lebih
banyak kepustakaan primer (dari jurnal, proporsi minimal 40%) dibanding kepustakaan
sekunder.
Redaksi CDK
Jl. Letjen Suprapto Kav. 4
Cempaka Putih, Jakarta 10510
E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id
Tlp: (62-21) 4208171 Fax: (62-21) 42873685
Seluruh pernyataan dalam naskah merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi berhak
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Naskah yang tidak diterbitkan
dikembalikan ke pengarang jika ada permintaan.
Standar
1. Halpern SD, Ubel PA.Solid-organ transplantation in HIV-infected patients. N Engl J
Med. 2002;347:284-7.
2. Skalsky K, Yahav D, Bishara J, Pitlik S, Leibovici L, Paul M. Treatment of human
brucellosis: systematic review and meta-analysis of randomised controlled trials.
BMJ. 2008; 36(7646):701-4.
3. Rose ME, Huerbin MB, Melick J, Marion DW, Palmer AM, Schiding JK, et al. Regulation
of interstitial excitatory amino acid concentrations after cortical contusion injury.
Brain Res. 2002;935(1-2):40-6.
Jurnal Elektronik
Sillick TJ, Schutte NS. Emotional intelligence and self-esteem mediate between
perceived early parental love and adult happiness. E-Jnl Appl Psych [serial on the
Internet]. 2006 [cited 2010 Aug 6];2(2):38-48. Available from: http://ojs.lib.swin.edu.au/
index.php/ejap/article/view/71/100.
884
Mengingat saat ini CDK sudah dapat diakses lewat internet (online), tentu naskah yang telah
diterbitkan akan dapat lebih mudah diunduh dan dimanfaatkan oleh kalangan yang lebih
luas.
Korespondensi selanjutnya akan dilakukan melalui e-mail. Untuk keperluan administrasi,
mohon disertakan juga curriculum vitae, no. Rek. Bank, dan (bila ada) no./alamat NPWP.
Editorial
Akreditasi IDI
Artikel CME
Continuing
Medical
Education
887
Principles of Drug Use in
the Elderly
r*44/9r$%,WPMOPr%FTFNCFSrIUUQXXXLBMCFNFEDPN$%,BTQY
894
918
930
TINJAUAN PUSTAKA
BERITA TERKINI
TEKNIK
Di edisi akhir tahun 2013 ini, CDK menyajikan artikel mengenai pentingnya memperhatikan
beberapa perubahan pada orang lanjut usia yang dapat memengaruhi kinerja obat, apalagi
umum diketahui bahwa orang lanjut usia sebagian besar memerlukan berbagai jenis obat untuk
mengatasi masalah kesehatan mereka. Penggunaan obat hendaknya tidak justru menambah
problem kesehatan mereka.
Artikel lain adalah mengenai problem penyakit ginjal pada anak, masalah yang harus dicermati
agar tidak menjadi kronis dan membawa beban kesehatan di usia dewasa, apalagi jika masalahnya
teoretis bisa dicegah, seperti yang dikaitkan dengan obesitas. Tersaji pula artikel mengenai sindrom
Tourette yang mungkin menarik bagi Sejawat yang berminat mengamati gangguan unik ini, yang
kendati sudah dikenal sejak zaman pertengahan, mekanismenya masih menjadi bahan penelitian
yang menarik.
Redaksi mengucapkan Selamat Tahun Baru 2014, dengan harapan bahwa tahun-tahun mendatang
membawa lebih banyak kesehatan dan kesejahteraan bagi kita semua.
Selamat menyongsong hari depan dengan semangat baru,
Redaksi
885
REDAKSI KEHORMATAN
Prof. dr. Abdul Muthalib, SpPD-KHOM
Jakarta
Mangunkusumo, Jakarta
Jakarta
Indonesia, Jakarta
Soetomo, Surabaya
Indonesia/RSUPN
Jakarta
Kita, Jakarta
Mangunkusumo, Jakarta
886
HASIL PENELITIAN
ABSTRACT
Background: Recognition of acute kidney injury (AKI) requires use and selection of easily measured criteria that can be applied widely across
age groups and clinical situations. Modified pediatric RIFLE (pRIFLE) has been used for diagnosis and grading of AKI (acute kidney injury) in
children. Objective: To investigate AKI in children aged 1-14 years hospitalized at PICU (pediatric intensive care unit), Wahidin Sudirohusodo
Hospital, Makassar. Methods: A cross-sectional study was done based on medical records from 2009 until 2011. The records were screened
for demographic data, serum creatinine level and estimated creatinine clearance by Schwartz formula. AKI was grouped according to pRIFLE
formula. Results: There were 77 patients, 58.4% boys and 41.6% girls. Majority were above 5 year-old (76.6%), have increased serum creatinine
level (80.05%) and decreased eCC/estimated creatinine clearance (80.05%). Underlying diseases as the cause of AKI consists of AGN/acute
glomerulonephritis (41.6%), NS/nephrotic syndrome (9.1%), UTI/urinary tract infections (9.1%), and others (40.3%) including DSS (dengue shock
syndrome), dehydration due to diarrhea, and septic shock. pRIFLE-R was more frequent in patients above five years old (33.8%), in boys (27.3%),
well-nourished patients (13.0%), and in patients with increased creatinine serum level or decreased eCC (49.9%) compared to pRIFLE-I and
pRIFLE-F groups. No significant difference of pRIFLE grading in different groups of underlying diseases (p=0.126), age (p=0.075), sex (p=0.817),
and nutritional status (p=0.102). The difference of creatinine serum level and eCC was significant (p <0.001) among different pRIFLE grading.
Conclusion: Early diagnosis of AKI should be based on pRIFLE grading and adequate preventive measures should be instituted as early as
possible to reduce the morbidity and mortality rates at PICU.
Key words: children, acute kidney injury, pRIFLE
ABSTRAK
Latar belakang: Diagnosis gangguan ginjal akut memerlukan kriteria diagnostik yang mudah diterapkan pada semua kelompok umur pasien
dengan risiko gangguan ginjal akut (acute kidney injury, AKI). Modifikasi pRIFLE telah digunakan untuk diagnosis dan penentuan gangguan ginjal
akut pada anak. Tujuan: Mengevaluasi gangguan ginjal akut pada anak yang dirawat di Unit Rawat Intensif Anak RS Wahidin Sudirohusodo
Makassar. Metode: Telah dilakukan penelitian retrospektif potong-silang dari catatan medik pasien anak 1-14 tahun yang dirawat di RS Wahidin
Sudirohusodo Makassar periode 2009 - 2011. Analisis data demografi, kadar kreatinin serum dan estimasi kliren kreatinin dengan rumus
Schwartz dari catatan medik pasien. Gangguan ginjal akut dikelompokkan dalam derajat pRIFLE-R, pRIFLE-I, pRIFLE-F, pRIFLE-L, dan pRIFLE-E.
Hasil: Dari tujuh puluh tujuh pasien yang dianalisis didapatkan 58,4% laki-laki dan 41,6% perempuan. Rerata usia 8,483 tahun, dari usia 1
tahun 10 bulan 14 tahun. Kebanyakan pasien berusia di atas lima tahun (76,6%), status gizi kurang (53,2%), kadar kreatinin serum tinggi dan
estimasi bersihan kreatinin rendah (80,05%). Penyebab gangguan ginjal akut pada penelitian ini adalah glomerulonefritis akut (41,6%), sindrom
nefrotik (9,1%), infeksi saluran kemih (9,1%), dan penyakit lain (40,3%) meliputi demam berdarah renjatan, diare dehidrasi, dan renjatan septik.
pRIFLE-R lebih sering ditemukan pada pasien umur di atas lima tahun (33,8%), pada anak lelaki (27,3%), pasien gizi baik (13,0%), dan pasien
dengan kadar kreatinin serum tinggi dan estimasi bersihan kreatinin rendah (49,9%) dibandingkan dengan kelompok pRIFLE-I dan pRIFLE-F.
Tidak ditemukan perbedaan bermakna di antara derajat pRIFLE dan penyakit penyebab gangguan ginjal akut (p=0,126) dan di antara derajat
pRIFLE dan distribusi umur (p=0,075), jenis kelamin (p=0,817), dan status gizi (p=0,102). Perbedaan bermakna ditemukan di antara derajat
pRIFLE dan distribusi kadar kreatinin serum (p <0,001) dan estimasi bersihan kreatinin (p <0,001). Simpulan: Diagnosis dini gangguan ginjal
akut berdasarkan derajat pRIFLE seyogyanya dilakukan pada semua pasien di Unit Rawat Intensif Anak sehingga pencegahan adekuat dapat
segera diberikan untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas akibat gangguan ginjal akut. Husein Albar.Gangguan Ginjal Akut pada
Anak Sakit Kritis yang Dirawat di Unit Rawat Intensif.
Kata kunci: anak, gangguan ginjal akut, pRIFLE
INTRODUCTION
Acute renal failure (ARF) is defined as a rapid
decline in glomerular filtration rate (GFR),
Alamat korespondensi
890
email: hexin_01@yahoo.com
HASIL PENELITIAN
defined according to the modifed pediatric
RIFLE (pRIFLE) and graded into pRIFLE-R
(risk for reduced kidney function) ,pRIFLE-I
(injury of kidney function), pRIFLE-F (failure
of kidney), pRIFLE-L(loss of kidney function),
and pRIFLE-E (End Stage Renal Disease).
pRIFLE-L and pRIFLE-E define the outcome of
AKI. pRIFLE grading uses estimated creatinine
clearance estimation (eCC) to assess renal
function based on Schwartz formulas (0.55 x
height (cm) / serum creatinine (mg/dL) in mL/
minute/1.73 m2)5,6 (Tabel 1).
RESULTS
There were 77 patients enrolled in this study,
consisting of 58.4% boys and 41.6% girls
with a boy to girl ratio of 1.4:1. Mean age of
subjects was 8.483 years ranging from 1.10 to
13.50 years. Majority of subjects was above
5 years (76.6%) and undernourished (53.2%).
Increased serum creatinine level or decreased
eCC occured in 80.05 % cases (Table 2).
n (77) / (100%)
18/23.4%
59/76.6%
45/58.4%
32/41.6%
36/46.8%
41/53.2%
15/19.05 %
62/80.05 %
15/19.05 %
62/80.05 %
891
HASIL PENELITIAN
Table 3 Distribution of pRIFLE grading according to underlying diseases
pRIFLE
ETIOLOGY
AGN (n/%)
Normal
Risk
Total
NS (n/%)
UTI (n/%)
Others (n/%)
6/7.8%
1/1.3%
0/0.02%
8/10.4%
15/19.5%
18/23.4%
3/3.9%
5/6.5%
7/9.1%
33/42.9%
Injury
6/7.8%
3/3.9%
2/2.6%
10/13.0%
21/27.3%
Failure
2/2.6%
0/0.02%
0/0.02%
6/7.8%
8/10.4%
32/41.6%
7/9.1%
7/9.1%
31/40.3%
77/100.0%
Total
20
10
ETIOLOGY
AGN
Count
NS
UTI
others
normal
risk
injyury
failure
RIFLE
Figure 1 Histogram of pRIFLE according to underlying diseases
JUDUL SUMBU Y: Number of patients
DISCUSSION
AKI is defined as functional or structural
abnormalities or markers of kidney damage
including abnormalities in blood, urine or
tissue tests or imaging studies present for less
than three months. AKI is an abrupt or less
than 48 hours reduction in kidney function
confirmed by an absolute increase in serum
creatinine of either >0.3 mg/dL or a percentage
increase of 50% or reduction in urine output
or documented oliguria of <0.5 mL/kg/hr
for >6 hr. The heterogenous cause of AKI has
been associated with increased morbidity and
mortality by increasing dialysis need as well as
further subsequent development of chronic
kidney disease and its progression to dialysis
dependency.3 Recognition of AKI requires
selection and use of easily measured criteria
that can be applied widely, across age groups
and clinical situations. Modified pRIFLE has
been used for diagnosis and grading of AKI in
children.4-6
Parameters
Normal
Risk
Injury
Failure
<5 yr
7/9.1%
7/9.1%
2/2.6%
2/2.6%
>5 yr
8/10.4%
26/33.8%
19/24.7%
6/7.8%
Sex
Boy
9/11.7%
21/27.3%
11/14.3%
4/5.2%
Girl
6/7.8%
12/15.6%
10/13.0%
4/5.2%
Nutrition
Wellnourished
7/9.1%
10/13.0%
13/16.9%
6/7.8%
8/10.4%
Age
Undernourished
Serum creatinine Normal
High
eCC
Normal
Low
892
23/29.9%
8/10.4%
2/2.6%
15/19.5%
0/.0%
0/.0%
0/.0%
0/.0%
33/42.9%
21/27.3%
8/10.4%
15/19.5%
0/.0%
0/.0%
0/.0%
0/.0%
33/42.9%
21/27.3%
8/10.4%
Total
.075
18/23.4%
.817
45/58.4%
.102
36/46.8%
59/76.6%
32/41.6%
41/53.2%
.0001
15/19.5%
.0001
15/19.5%
62/80.5%
62/80.5%
HASIL PENELITIAN
the cause of AKI in children was AGN (41.6%),
NS (9.1%), UTI (9.1%), and others (40.3%)
including any shock conditions such as
dengue shock syndrome (DSS), dehydration
caused by diarrhea, and any cause of septic
shock. This result was similar to a study from
Anatolia, Turkey that AGN caused more than
60% of AKI in children.7
A limitation of this study is that data analysis
REFERENCES
1.
Siegel NJ, Van WSK, Devarajan P. Pathogenesis of acute renal failure. In: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, editors. Pediatric nephrology. 5th ed. Philadelphia, Lippincott Williams
& Wilkins; 2004. p. 1225-51.
2.
3.
Moghal NE, Brocklebank JT, Maedow RS. A review of acute renal failure in children: Incidence, etiology and outcome. Clin Nephrol. 1998;49:91-5.
Ozakar ZB, Yalinkaya F, Altas B, Ergn H, Kendirli T, Ate C, et al. Application of the new classification criteria of the acute kidney injury network: A pilot study in a pediatric population.
Pediatr Nephrol. 2009;24:1379-84.
4.
Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, Molitoris BA, Ronco C, Warnock DG, et al. Acute kidney injury network: Report of an initiative to improve outcomes in acute kidney injury. Critical Care.
2007;23:2147-9.
5.
Mak RH. Acute kidney injury in children: The dawn of a new era. Pediatr Nephrol. 2008;23:2147-9.
6.
Zappitelli M, Parikh CR, Akcan-Arikan A, Washburn KK, Moffett BS, Goldstein SL. Ascertainment and epidemiology of acute kidney injury varies with definition interpretation. Clin J Am Soc
Nephrol. 2008;3:948-54.
7.
Cerda J, Lameire N, Eggers P, Pannu N, Uchino S, Wang H, et al. Epidemiology of acute kidney injury. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3:881-6.
8.
Ball EF, Kara T. Epidemiology and outcomes of acute kidney injury in New Zealand children. J Paediatrics and Child Health. 2008;44:11:642-6.
9.
Schwartz GJ, Haycock GB, Edelmann CM. A simple estimate of glomerular filtration rate in children derived from body length and plasma creatinine. Pediatrics. 1976;58:259-63.
10. Patzer L. Nephrotoxicity as a cause of acute kidney injury in children. Pediatr Nephrol. 2008;23:2159-73.
893
TINJAUAN PUSTAKA
ABSTRAK
Fistula trakeoesofagus adalah saluran abnormal yang menghubungkan trakea dan esofagus, dapat terbentuk karena bawaan atau diperoleh.
Fistula trakeoesofagus sering menyebabkan komplikasi paru yang parah dan fatal. Langkah diagnostik pertama pada fistula trakeoesofagus
adalah foto polos toraks frontal dan lateral. Bronkoskopi dapat menunjukkan anomali percabangan trakeobronkial dan melokalisir lubang distal
fistula sebelum operasi korektif, namun memiliki keterbatasan pada neonatus. Esofagografi dengan kontras barium konvensional dianggap
tes paling sensitif. CT 3 dimensi dan MRI menjadi alat pemeriksaan klinis yang populer karena kemajuan teknologi. Pencitraan permukaan tiga
dimensi dan bronkoskopi maya adalah teknik non-invasif yang menyediakan tampilan 3 dimensi realistis cabang trakeobronkial, tetapi masih
terbatas pada pasien anak-anak. Visualisasi fistula trakeoesofagus diharapkan dapat dibuat melalui pencitraan diagnostik dan memberikan
informasi penting untuk perencanaan operasi.
Kata kunci: fistula trakeoesofagus, pencitraan diagnostik, esofagografi
ABSTRACT
Tracheoesophageal fistula is an abnormal connection between trachea and esophagus, which can be hereditary or acquired. This condition
may caused fatal pulmonary complications. Diagnostic procedures consist of plain AP and lateral chest X ray. Bronchoscopy may reveal
tracheobronchial trunk anomaly and localize the fistula prior to corrective procedure, but may be difficult in neonates. Esophagography with
barium contrast is considered to be most sensitive test. Three dimensional CT and MRI may become popular. Three-dimensional imaging
and virtual bronchoscopy is a non-invasive technique that may provide important information for corrective procedures. Rizal. Diagnostic
Imaging for Tracheoesophageal Fistula.
Key words: tracheoesophageal fistula, diagnostic imaging, esophagography
PENDAHULUAN
Fistula trakeoesofagus adalah saluran
abnormal yang menghubungkan trakea dan
esofagus, dapat terbentuk karena bawaan atau
diperoleh (Gambar 1). Fistula trakeoesofagus
sering menyebabkan komplikasi paru yang
parah dan fatal. Pasien biasanya datang
karena tidak mampu menelan makanan dan
air liur serta adanya gangguan pernapasan
akibat aspirasi. Sejarah pertama kali
mencatat kasus fistula trakeoesofagus pada
tahun 1697, saat Thomas Gibson melaporkan
kasus bayi dengan atresia esofagus dan
trakeoesofagus. Cameron Height sukses
melakukan reparasi fistula trakeoesofagus di
tahun 1941. Kemajuan teknik bedah dalam
beberapa dekade terakhir berimbas pada
tingkat kelangsungan hidup hampir 100%
untuk bayi dengan anomali kongenital ini.1
Melalui pencitraan diagnostik, anatomi
fistula trakeoesofagus seyogyanya dapat
divisualisasi untuk memberi informasi bagi
Alamat korespondensi
894
EPIDEMIOLOGI
Fistula trakeoesofagus merupakan malformasi
yang paling sering mengancam jiwa dengan
insidens satu dari 3.000-4.500 kelahiran hidup.3
Etiologi sebagian besar kasus tidak diketahui,
sebagian bersamaan dengan anomali lain yang
terkait, tersering malformasi kardiak; keadaan
ini dapat bagian dari sindrom VACTERL
(Vertebral defects, Anal atresia, Cardiac defects,
tracheoesophageal fistula, renal malformations,
and limb defects). Fistula trakeoesofagus
dapat terjadi tanpa malformasi penyerta
(nonsyndromic oesophageal atresia). Kelahiran
bayi dengan fistula trakeoesofagus tanpa
riwayat yang sama sebelumnya berkaitan
dengan risiko rekurensi rendah, sebesar 1%.4.
Kromosom trisomi 18 dan 21 merupakan
faktor risiko yang signifikan.
VARIAN ANATOMI
Salah satu klasifikasi anatomi yang diusulkan
oleh Gross berasal dari pengamatan terhadap
2200 kasus (gambar 2).5 Terdapat klasifikasi
email: stevani.novita@gmail.com
TINJAUAN PUSTAKA
melalui janin. Dapat ditemukan gambaran
tidak ada cairan dalam gaster (10-40%); gaster
ukuran kecil dan lebih rendah dari perkiraan
berat badan janin (40%) atau didapatkan
sekresi yang dapat menvisualisasikan gaster
janin (gambar 3). Meskipun pada umumnya
polihidramnion terlihat dengan kondisi ini,
fistula trakeoesofagus hanya mewakili 3%
penyebab polihidramnion.13 Diagnosis atresia
esofagus dapat diduga dari visualisasi bagian
proksimal kantong esofagus yang melebar
saat silih ganti antara fase pengosongan dan
pengisian (gambar 4). 12
Gambar 2 Klasifikasi anomali anatomis esofagus dan trakea5
DIAGNOSIS
Diagnosis Prenatal
Diagnosis prenatal sering sulit karena
sebagian wanita hanya menjalani satu kali
skrining USG kandungan, biasanya pada usia
kehamilan 18 minggu. Kehamilan kembar dan
adanya riwayat keluarga bisa sebagai tanda
peringatan, terlebih jika ada anomali yang
terkait, kemungkinan kejadian kasus fistula
trakeoesofagus ini mencapai 50%.10,11
Diagnosis Postnatal
Hampir
91%
bayi
dengan
fistula
trakeoesofagus tidak dapat didiagnosis saat
antenatal16 Fistula trakeoesofagus harus
dicurigai jika bayi baru lahir mengalami
kesulitan menelan air liur, episode batuk
dan tersedak berulang, atau sianosis
sementara segera setelah lahir. Atau, bayi
tiba-tiba mengalami gangguan pernapasan
sehabis menyusui. Gagalnya insersi selang
nasogastrik ukuran 10 F sejauh 10 cm dari bibir
menunjukkan adanya resistensi di esofagus
bagian atas (gambar 5).17 Penggunaan
selang tipis yang dapat terpelintir sebaiknya
dihindari, selain itu perlu diwaspadai risiko
perforasi esofagus, khususnya pada neonatus
prematur.18
Kongenital
Neoplasma
Karsinoma esofagus atau trakea
Limfoma
Trauma
Tertutup pada dada
Tembus
Pascaendoskopi atau pascaoperasi
Intubasi endotrakeal
Esofagitis korosif
Korpus alienum esofagus
Pascaradiasi
Infeksi
Histoplasmosis
Aktinomikosis
Tuberkulosis
menunjukkan bagian proksimal kantong esofagus yang melebar saat fase penuh
a.
895
TINJAUAN PUSTAKA
tanpa fistula esofagus atau atresia esofagus
dengan fistula trakeoesofagus proksimal.
Gambaran gas dalam usus dapat terlihat
pada 90% kasus (atresia esofagus dengan
fistula trakeoesofagus distal 82%, atresia
esofagus dengan fistula trakeoesofagus
distal dan proksimal 2%, dan atresia esofagus
dengan fistula trakeoesofagus distal tanpa
atresia esofagus 6%). Aspirasi pneumonia
tidak jarang terjadi di lobus paru atas, terkait
langsung baik karena fistula trakeoesofagus
ataupun karena peristaltik abnormal segmen
esofagus yang lebih rendah dengan refluks
gastroesofageal.19
896
Endoskopi
Endoskopi adalah metode diagnostik terbaik,
baik untuk pasien sadar maupun tersedasi.
Esophagoskopi dapat mendiagnosis fistula
(gambar 8) dan tumor, sekaligus untuk
biopsi. Fistula trakeoesofagus berukuran
kecil mungkin dapat tertutup dalam lipatan
esofagus, penggunaan metilen biru dapat
membantu menunjukkan lokasi tepat fistula.
Pada bronchoskopi, juga dapat dilakukan
broncho-alveolar lavage dan penggunaan
antibiotik sebagai terapi target, terbukti
menunjukkan hasil lebih baik.24
Computed Tomography (CT) Scan
Banyak
metode
diagnostik
invasif
telah digunakan dan secara tradisional
bronchoskopi merupakan referensi standar.
TINJAUAN PUSTAKA
Namun, beberapa modalitas diagnostik tidak
sepenuhnya dapat diandalkan.25 Kateterisasi
pada fistula trakeoesofagus tipe H memiliki
kelemahan karena invasif namun tingkat
komplikasinya rendah.26 CT scan beresolusi
tinggi merupakan modalitas non-invasif
alternatif dalam situasi klinis. Berbeda dari
bronchoskopi konvensional atau kateterisasi,
CT scan tidak memerlukan anestesi umum.27
Gambar
Gambaran
bronchoskopi
pada
fistula
897
TINJAUAN PUSTAKA
dengan hasil yang tidak lebih informatif dari
foto polos; jika ragu-ragu dapat dilakukan
esophagografi menggunakan kontras water
soluble (gastrografin, lipiodol) yang volumeya
disesuaikan dengan esofagus proksimal dan
harus tersedia alat hisap yang adekuat.34
Gambar 11 Citra T2 MRI axial dan sagittal tertimbang menunjukkan fistula antara trakea dan esofagus (panah)
Tabel 2 Data Pasien Fistula Trakeoesofagus Di RSUD dr. Soetomo Surabaya tahun 2008 - 2013
KASUS
Di RS Umum Daerah dr. Soetomo Surabaya,
antara Maret tahun 2008 hingga Februari
2013, dijumpai 61 kasus fistula trakeoesofagus
dengan karakteristik usia antara 0 hari hingga
42 tahun, laki-laki 33 pasien, dan perempuan
28 pasien (tabel 2).33
Prosedur diagnostik di divisi Bedah Anak
pada kecurigaan atresia esofagus dengan
atau tanpa fistula trakeoesofagus adalah
pemasangan pipa nasogastrik radioopak
ukuran 8F (untuk bayi peterm) atau 10F
(aterm) melalui hidung menuju lambung.
Pada penderita atresia esofagus pipa
tersebut akan berhenti setelah masuk 1012 cm, sedangkan panjang cardia lambung
pada bayi normal sekitar 17 cm dari ujung
mulut. Kemudian dilakukan pemeriksaan
foto polos tampak leher, toraks, dan
abdomen untuk mengonfirmasi posisi pipa
nasogastrik. Pada penderita atresia esofagus,
udara dalam lambung menunjukkan adanya
fistula di distal dan adanya udara dalam usus
menyingkirkan diagnosis atresia duodenum.
Foto toraks juga memberikan informasi
bayangan jantung, lokasi arcus aorta,
anomali vertebrae atau tulang iga serta
adanya infiltrat paru. Foto dengan kontras
kurang dianjurkan karena bahaya aspirasi dan
SIMPULAN
Langkah diagnostik pertama pada pasien
dengan gejala fistula trakeoesofagus adalah
foto polos toraks frontal dan lateral. Studi
radiografi dengan kontras dapat digunakan
untuk mencari fistula bagian proksimal,
tetapi dengan risiko aspirasi paru.28 Beberapa
peneliti merekomendasikan bronchoskopi
untuk menunjukkan anomali percabangan
trakeobronkial dan melokalisir lubang distal
fistula sebelum operasi korektif.35 Namun,
prosedur bronchoskopi pada neonatus
memiliki
keterbatasan;
bronchoskopi
fleksibel berhubungan dengan masalah
ventilasi karena batasan waktu 30-45 detik,
sedangkan bronchoskopi kaku memerlukan
anestesi umum. Baik bronchoskopi fleksibel
maupun kaku dapat menyebabkan beberapa
komplikasi termasuk hipoksia, laringospasme,
pneumotoraks, edema dan perdarahan
saluran napas.21,36 Esofagografi dengan
kontras barium konvensional dianggap tes
paling sensitif untuk mendiagnosis fistula
trakeo- atau bronkoesofageal. CT 3 dimensi
dan MRI dapat menampilkan berbagai organ
dan struktur, baru-baru ini menjadi alat
pemeriksaan klinis yang populer dengan
perbaikan kualitas gambar karena kemajuan
pesat teknologi komputer.37 Di sisi lain,
pencitraan permukaan tiga dimensi dan
bronkoskopi maya yang dikembangkan
baru-baru ini adalah teknik non-invasif
yang menyediakan tampilan 3 dimensi
realistis cabang trakeobronkial.30 Pencitraan
3 dimensi untuk sistem trakeobronkial telah
berkembang baik pada orang dewasa,
tetapi masih terbatas pada pasien anakanak. Visualisasi fistula tracheoesphagus
diharapkan dengan mudah dapat dibuat
melalui perkembangan pencitraan diagnostik
dan memberikan informasi penting untuk
perencanaan operasi.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Medscape Reference. Tracheoesophageal Fistula. [cited 2012]. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/186735-overview.
2.
Nagata K, Kamio Y, Ichikawa T, et al. Congenital tracheoesophageal fistula successfully diagnosed by CT esophagography. World J Gastroenterol 2006 March 7; 12(9):1476-8.
3.
Guiney EJ. Oesophageal atresia and tracheo-oesophageal fistula. In: Puri P, ed. Newborn surgery, 1st ed. Oxford, United Kingdom: Butterworth-Heinemann, 1996: 22737.
4.
Harper PS. Practical genetic counselling, 6th ed. London: Arnold, 2004.
898
TINJAUAN PUSTAKA
5.
Gross RE. Surgery of infancy and childhood. Philadelphia, PA: WB Saunders, 1953.
6.
Kumra VP: Anaesthetic considerations for specialized surgeries peculiar to paediatric age group. Indian J Anaesth; 2004, 48(5):376-86.
7.
Landing BH, Dixon LG: Congenital malformations and genetic disorders of the respiratory tract (larynx, trachea, bronchi, and lungs). Am Rev Respir Dis 1979; 120:151-85.
8.
Zacharias J, Genc O, Goldstraw P: Congenital tracheoesophageal fistulas presenting in adults: presentation of two cases and a synopsis of the literature. J Thorac Cardiovasc
Surg 2004; 128:316-8.
9.
Expert consult. Tracheoesophageal Fistula from Imaging of Diseases of the Chest. [cited 2012]. Available from URL: http://www.expertconsultbook.com/expertconsult/ob/book.do.
10. Houben CH, Curry JI. Current status of prenatal diagnosis, operative management and outcome of esophageal atresia/tracheo-esophageal fistula. Prenat Diagn 2008;28:66775.
11. Goyal A, Jones MO, Couriel JM, Losty PD. Oesophageal atresia and tracheooesophageal fistula. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2006;91:F3814.
12. Vijayaraghavan SB. Antenatal Diagnosis of Esophageal Atresia with Tracheoesophageal Fistula. J Ultrasound Med 15: 417-419,1996.
13. Dahnert W Radiology review manual. 2nd ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1993: 507-8,540-1.
14. Al-Rawi O, Booker PD: Oesophageal Atresia and Tracheo-Oesophageal Fistula. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain 2007; 7:1.
15. Romero R, Pilu G, Jeanty P, et al: Prenatal Diagnosis of Congenital Anomalies. Norwalk, CT, Appleton & Lange, 1988 p 234.
16. Holland AJA, Fitzgerald DA. Oesophageal atresia and tracheo-oesophageal fistula: current management strategies and complications. Paediatric Respiratory Reviews 11 (2010) 1007.
17. Houben CH, Curry JI. Current status of prenatal diagnosis, operative management and outcome of esophageal atresia/tracheo-esophageal fistula. Prenat Diagn 2008;28:66775.
18. Gopal M, Woodward M. Potential hazards of contrast study diagnosis of esophageal atresia. J Pediatr Surg 2007;42:E910.
19. Dahnert W: Radiology review manual. 2nd ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1993: 507-8,540-1.
20. Caffarena PE, Mattioli G, Bisio G, Martucciello G, Ivani G, Jasonni V. Long-gap esophageal atresia: a combined endoscopic and radiologic evaluation. Eur J Pediatr Surg 1994;4:679.
21. Nagaraj HS. Bronchoscopy in newborns. In: Puri P, ed. Newborn surgery, 1st ed. Oxford, United Kingdom: Butterworth-Heinemann, 1996:2213.
22. McLennan MK, Margolis M: Radiology rounds. Canadian Family Physician 1995; 41575-84.
23. Couraud L, Ballester ML, Delaisement C. Acquired tracheoesophageal fistula and its management. Semin Thorac Cardiovasc Surg 1998; 8: 3929.
24. Couraud L, Ballester ML, Delaisement C. Acquired tracheoesophageal fistula and its management. Semin Thorac Cardiovasc Surg 1998; 8: 3929.
25. Ng J, Antao B, Bartram J, Raghavan A, Shawis R. Diagnostic difficulties in the management of H-type tracheoesophageal fistula. Acta Radiol. 2006;47:801-5.
26. Blanco-Rodriguez G, Penchyna-Grub J, Trujillo-Ponce A, Nava-Ocampo AA. Preoperative catheterization of H-type tracheoesophageal fistula to facilitate its localization and surgical
correction. Eur J Pediatr Surg. 2006;16:14-7.
27. Ou P, Seror E, Layouss W. Definitive diagnosis and surgical planning of H-type tracheoesophageal fistula in a critically ill neonate: First experience using air distension of the esophagus
during high-resolution computed tomography acquisition. J Thorac Cardiovasc Surg 2007;133:1116-7.
28. Fitoz S, Atasoy C, Yagmurlu A, Akyar S, Erden A, Dindar H. Threedimensional CT of congenital esophageal atresia and distal tracheoesophageal fistula in neonates: preliminary results. AJR
Am J Roentgenol. 2000;175:1403-7.
29. Crabbe DC. Isolated tracheo-oesophageal fistula. Paediatr Respir Rev. 2003;4:74-8.
30. Konen E, Katz M, Rozenman J, Ben-Shlush A, Itzchak Y, Szeinberg A. Virtual bronchoscopy in children: early clinical experience. AJR 1998;171:1699702.
31. Cudmore RE. Oesophageal atresia and tracheooesophageal fistula. In: Lister J, Irving IM, eds. Neonatal surgery, 3rd ed. London: Butterworths, 1990:23159.
32. Levine D. Magnetic resonance imaging in prenatal diagnosis. Curr Opin Pediatr 2001;13:5728.
33. Laporan Mingguan jaga II: Data Diagnosa Pasien Fistula Trakeoesofagus Bagian - SMF Ilmu Bedah (umum) FKU Unair [computer program]. Surabaya: Terkomputerisasi di bagian Rekam
Medis.
34. Poerwadi. Pedoman Diagnosis dan Terapi: Atresia Esophagus dan Fistula Tracheoesophageal. 2nd ed. Surabaya: Airlangga University Press; 2010. p.3-6.
35. Usui N, Kamata S, Ishikawa S, et al. Anomalies of the tracheobronchial tree in patients with esophageal atresia. J Pediatr Surg 1996;31:25862.
36. Slonim AD, Ognibene FP. Amnestic agents in pediatric bronchoscopy. Chest 1999;116:18028.
37. Kim JH, Park KH, Sung SW, Rho JR. Congenital bronchoesophageal fistulas in adult patients. Ann Thorac Surg 1995; 60: 151-5.
899
TINJAUAN PUSTAKA
ABSTRAK
Sindrom Tourette (Tourette's syndrome, TS) adalah gangguan psychoneurogenobehavioral pada anak yang ditandai tik vokal dan motorik multipel.
Artikel ini membahas berbagai aspek TS, meliputi: sejarah, epidemiologi, etiopatogenesis, potret klinis, komorbiditas, diagnosis, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaan, pencegahan.
Kata kunci: Sindrom Tourette, etiopathogenesis, penatalaksanaan, pencegahan
ABSTRACT
Tourette's syndrome (TS) is a common psychoneurogenobehavioral disorder in children characterized by multiple motor and vocal tics. This
article discussed multiaspects of TS, including: history, epidemiology, etiopathogenesis, clinical portrait, comorbidity, diagnosis, supporting
examination, management, and prevention. Dito Anurogo. Dito Anurogo. Phenomenology of Tourette Syndrome.
Key words: Tourette syndrome, etiopathogenesis, management, prevention
INTRODUKSI
Fenomena sindrom Tourette (Tourette's
syndrome, TS) pertama kali dilaporkan
oleh dokter Jean-Marc Gaspard Itard,
pada seorang wanita Perancis berusia
26 tahun. Selanjutnya George Beard
melaporkan 50 penderita tik motorik
dan echolalia. Pada tahun 1885, 60 tahun
setelah Itard mempublikasikan kasus itu,
Georges Gilles de la Tourette (1857-1904),
mempublikasikan artikel tentang delapan
penderita tik motorik atau vokal, dan ia
menamai sindrom ini maladie (illness) of
tics. Di kemudian hari, sindrom ini dikenal
sebagai sindrom Tourette.1,2
Sindrom Tourette adalah gangguan
perilaku-perkembangan
saraf-kejiwaan
(psychoneurogenobehavioral disorder) berbasis neurotransmiter, dicirikan oleh aksi
tak disadari, berlangsung cepat, bersifat
genetik, diwariskan, dengan onset di masa
anak, dan memiliki pola tik vocal-motorik
yang menetap-menahun. Sindrom Tourette
merupakan gangguan neurodevelopmentalneuropsychiatric
dengan
dasar
neurogenetik.3
Sindrom Tourette disebut juga Tourettes
disorder atau Gilles de la Tourette syndrome.
Alamat korespondensi
900
EPIDEMIOLOGI
Pada mulanya insidens TS dilaporkan 4,6
per 1 juta penduduk, jumlah ini terus
bertambah sesuai pertumbuhan penduduk
dan berkembangnya metodologi riset.5 Riset
terbaru menunjukkan insiden TS mencapai
1-10 per 1000 orang. Prevalensi sekitar 0,033%.
Referensi lain menyebutkan prevalensi berkisar
dari 1:20.000 hingga 1:2000. Prevalensi
internasional rata-rata 1% di mayoritas
kebudayaan dunia. TS dapat mengenai semua
ras, lebih dominan pada pria, dengan rasio
anak lelaki:anak wanita = 3-5:1.6 8 Banyak kasus
ringan yang luput dari perhatian medis.
Onset biasanya pada usia 7-8 tahun,
puncaknya antara 8-12 tahun. Sumber lain
menyebutkan, TS umum terjadi di usia 5-9
tahun, mencapai puncak di usia 10-12 tahun,
dan berkurang di usia 13-16 tahun. Rentang
usia penderita TS antara 2-21 tahun.9 Terutama
terjadi di usia 10 tahun, namun hanya 5%
yang menetap hingga dewasa. Sekitar dua
pertiga penderita TS mengalami perbaikan
gejala saat dewasa, namun perbaikan total
jarang terjadi.10 Prevalensi tik di populasi
pediatrik diperkirakan 612%.11-12 Prevalensi TS
pada 447 pelajar dengan autisme anak-anak
dan remaja di sembilan sekolah di London
mencapai 8,1%.13
ETIOPATOGENESIS
Etiopatogenesis pasti belum diketahui,
diduga multifaktor. Faktor neurokimiawi,
yaitu: lemahnya pengaturan dopamin di
nekleus kaudatus; juga ketidakseimbangan
serta
hipersensitivitas
terhadap
neurotransmiter, terutama dopamin dan
serotonin. Peran neurotransmiter dopamin
amat penting; pada studi neuroimaging,
ada ketidaknormalan sistem dopaminrgik
di dalam korteks prefrontal dan striatum
otak. Pada penderita TS, terjadi peningkatan
densitas transporter dopamin presinaps
dan reseptor dopamin D2 postsinaps, yang
berarti terjadi peningkatan uptake dan
release dopamin. Hipotesis supersensitivitas
dopamin menjelaskan mengapa TS begitu
responsif terhadap penghambat reseptor
dopamin atau neuroleptik. Riset terbaru
menunjukkan tidak ada bukti peningkatan
inervasi dopaminrgik striatal pada penderita
TS.14 Di sistem saraf pusat, neurotransmiter
dopamin (DA) memperantarai bermacammacam fungsi fisiologis termasuk pengaturan
aktivitas lokomotorik, proses kognitif,
sekresi
(pengeluaran)
neuroendokrin,
dan
pengendalian
perilaku
yang
termotivasi (motivated behaviors) termasuk
mekanisme emosi, afek, dan pemberian
penghargaan.15,16
email: stevani.novita@gmail.com
TINJAUAN PUSTAKA
Jalur dopaminrgik bukanlah satu-satunya
yang bertanggung-jawab atas munculnya
gejala TS, faktor lain yang juga berperan, antara
lain: rendahnya kadar serotonin, glutamate
dan AMP siklik. Di sirkuit subkortikal frontal,
abnormalitas reseptor glutamat, dopamin,
serotonin, GABA, asetilkolin, noradrenalin,
opioid, dan cannabinoid juga berperan dalam
patogenesis TS. Overekspresi synaptogyrin-3
di sel-sel PC12 dan MN9D yang mirip saraf
(neuronal-like) namun bukan di sel-sel HEK
293 nonneuronal, menghasilkan peningkatan
aktivitas dopamin transporter (DAT) pada
level transporter di membran plasma. Efek
synaptogyrin-3 ini ditiadakan oleh keberadaan
vesikular monoamine transporter-2 (VMAT2)
inhibitor reserpine, memberi sugesti bahwa
kemampuan synaptogyrin-3 untuk meregulasi
(mengatur) aktivitas DAT bergantung pada
sistem penyimpanan dopamin (DA) vesikular.
Terdapat interaksi biokimiawi yang kompleks
antara DAT, synaptogyrin-3, dan VMAT2, di
samping juga ditemukan hubungan fisik
dan fungsional antara DAT dan sistem DA
vesikular.19
Saat penderita TS mengalami serangan tik,
terjadi aktivasi multifokal di otak seperti
di korteks premotorik lateral dan medial,
korteks ciaguli anterior, korteks prefrontal
dorsolateral-rostral,
korteks
parietal
interior, putamen, nukleus kaudatus,
korteks motorik primer, area Broca, girus
temporal superior, insula, and klaustrum.
Hal ini menunjukkan keterlibatan daerah
paralimbik, bahasa, dan sensorimotorik.
Secara spesifik, ketidaknormalan sirkuit
kortiko-striato-talamo-kortikal melibatkan
inhibitory interneurons di ganglia basal, yang
dapat berhubungan dengan patogenesis
dan persistensi beragam kasus TS. Malfungsi
sirkuit ini dapat berkontribusi terhadap
perilaku semi-otonom fragmenter yang
bermanifestasi sebagai tik.20 Ganglia basal,
terutama nukleus kaudatus dan korteks
prefrontal inferior, berhubungan dengan
perkembangan TS. Sirkuit ganglia basal dan
kortikal juga berperan pada fungsi motorik
dan pembentukan kebiasaan; disfungsi
ganglia basal telah lama diketahui sebagai
penyebab utama gejala tik.21,22 Selain itu,
di otak penderita TS, terjadi penurunan
5% volume nukleus kaudatus, namun
abnormalitas seluler yang mendasarinya
belum jelas. Selain itu juga dijumpai 50%
60% penurunan parvalbumin dan kolin
901
TINJAUAN PUSTAKA
atau mencium-cium bau). Tik seringkali
diperburuk oleh stres fisik atau emosional,
membaik saat sendirian dan relaks. Tik juga
dapat terjadi selama tidur dan berkaitan
dengan berbagai problem tidur, termasuk
insomnia, tidak cukup tidur, tidur gelisah,
parasomnia (tidur berjalan dan sleep terrors).
Tik selama tidur umumnya dikendalikan oleh
thalamo-cortical oscillating dysrhythmia.38-40
Manifestasi lain yang penting namun kurang
umum, seperti: meniru tingkah laku (echo
phenomena), suka mengulang-ulang sendiri
(pali phenomena), menyumpah tanpa sadar,
di luar kemauan, dan tidak pantas (swearing
involuntarily and inappropriately), perilaku
melukai diri sendiri (self-injurious behaviours).
Perilaku membahayakan atau mencederai
diri ditemukan pada penderita malignant
Tourette syndrome (MTS), misalnya: berulangulang memukul perut hingga memar
dan merusakan organ dalam, memukulmukul mata sendiri, menikam leher sendiri,
menelan benda asing, menggigiti bibir/
mulutnya hingga berdarah, menghentakhentakkan kaki dengan kuat hingga terjadi
dislokasi pinggul, menggeleng-gelengkan
kepala dan leher dengan kuat hingga cedera
leher atau whiplash.41
Pada penderita TS, IQ verbal lebih tinggi secara
signifikan dibandingkan IQ performance,
menimbulkan
problem
kemampuan
visuospatial, perseptual, dan motorik.
Penderita TS juga merasa sulit memaksimalkan
fungsi eksekutifnya, seperti: kemampuan
memecahkan masalah, membagi perhatian,
respons terhadap hambatan.42
KOMORBIDITAS
Beragam komorbiditas penderita TS antara
lain: cemas, depresi, kesulitan belajar,
gangguan tidur, obsessive-compulsive disorder
(OCD), hiperaktif atau ADHD (attention deficit
hyperactivity disorder), gangguan perilaku, tik
nervous, masalah pengendalian impuls, rasa
malu, isolasi, dan ketakmampuan (disability)
atau hendaya (impairment) fungsi sosial. Pada
TS dan ADHD, diduga terjadi abnormalitas
noradrenergik.43,44
Sebagian komorbiditas antara lain: alergi,
aritmia jantung, asma, autisme, ADHD, bruxism,
cemas, depresi, kejang, coprolalia, copropraxia,
mengamuk/marah (rage), meningkatnya
sensitivitas terhadap stimulus sensoris, migren,
902
TINJAUAN PUSTAKA
PENATALAKSANAAN
Bila gejala ringan, penderita dan anggota
keluarganya hanya memerlukan edukasi
dan konseling. Berbagai teknik psikoterapi,
seperti: psikoterapi suportif, terapi kognitif,
assertiveness training, dan self-monitoring
dapat
juga
diberikan.
Pendekatan
comprehensive
behavioral
intervention
for tics (CBIT), berdasarkan habit reversal
training/therapy, efektif mengurangi tik serta
perburukan yang berhubungan dengan tik
(tics-related impairment) pada anak dan remaja
penderita TS dengan tingkat keparahan
sedang atau berat. Terapi suportif dan edukasi
dapat sebagai pelengkap dan pendukung
CBIT.58
Banyak anak TS yang berhasil ditangani tanpa
terapi obat. Farmakoterapi diberikan sesuai
indikasi. Berikut beberapa pilihan terapi TS44,
59-62
:
a. Golongan neuroleptik atau penyekat
dopamin seperti haloperidol, pimozid,
aripiprazol, olanzapin, risperidon.
b. Golongan obat serotonergik, seperti fluoxetine, clomipramine.
c. Golongan agonis alfa-2, seperti: clonidine,
guanfacine.
d. Golongan antagonis dopamin, seperti
metaclopramid.
e. Golongan lain, seperti benzodiazepin (misalnya: klonazepam, diazepam), antipsitatik
atipikal (misalnya: olanzapin, quetiapin, ziprasidon), penyakit kanal kalsium (misalnya: nifedipin, verapamil, flunarizin), obat GABAergic
(misalnya: baklofen, levetirasetam, topiramat,
vigabatrin, zolpidem), agonis dopamin (misalnya: pergolid, pramipeksol), antagonis 5-HT2
(ketanserin) dan 5-HT3 (ondansetron) reseptor, obat yang beraksi pada reseptor kanabinoid (-9-tetrahidrokanabinol), penghambat
androgen dan androgen (flutamid dan finasterid), baklofen, nalokson.
Dua agen neuroleptik yang paling banyak
digunakan untuk terapi TS dan tik adalah
pimozid dan risperidone. Sedangkan medikasi
yang paling efektif adalah dopamin blockers.
Obat golongan antipsikotik merupakan terapi
lini pertama untuk tik sedang hingga berat,
sering memiliki efek samping yang berat.63,64
Golongan penyakit dopamin banyak yang
merupakan obat antipsikotik, serotonergic
drugs bermanfaat terutama untuk obsessivecompulsive disorder, sedangkan noradrenergic
drugs (alfa-agonist) efektif terutama untuk
Dosis Permulaan
(mg/hari)
Dosis
(mg/hari)
Keterangan
0,25 0,50
14
Bukti empiris: A
CEBM pada dewasa: tinggi
CEBM pada anak: tinggi
ESO: EPS, sedasi, berat badan naik
Bukti empiris: A
CEBM pada dewasa: tinggi
CEBM pada anak: tinggi
ESO: pemanjangan QTc, sedasi
Antipsikotik
Neuroleptik tipikal
1
Haloperidol
Pimozide
0,5 1,0
28
Fluphenazine
0,5 1,0
1,5 10
Bukti empiris: B
CEBM pada dewasa: rendah
CEBM pada anak: rendah
ESO: lebih baik ditoleransi daripada
haloperidol
Neuroleptik atipikal
4
Risperidone
0,25 0,50
1 3,5
(1 3)
Bukti empiris: A
CEBM pada dewasa: tinggi
CEBM pada anak: tinggi
ESO: sedasi, berat badan naik, metabolisme
lemak abnormal.
Ziprasidone
5 10 (20)
10 80
(20 80)
Bukti empiris: B
CEBM pada dewasa: rendah
CEBM pada anak: tinggi
ESO: pemanjangan QTc, sedasi, berat
badan naik.
Aripiprazole
2,5 5
10 20
Olanzapine
2,5 5
10 20
Quetiapine
25 50
75 250
Tiapride
50 150
150 500
Bukti empiris: B
Non-antipsikotik
0,025 0,050
0,5 1,0
24
(1,5 3)
0,15 0,45
Bukti empiris: B
1-2,5
Bukti empiris: B
Agonis alfa-2
1
Clonidine
Guanfacine
Bukti empiris: B
CEBM pada dewasa: rendah
CEBM pada anak: tinggi
ESO: sedasi, hipotensi
Bukti empiris: B
CEBM pada dewasa: rendah
CEBM pada anak: tinggi
ESO: sedasi, sensasi berputar/pening
Lainnya
3
Pergolide
Botulinum toxin A
Keterangan:
Dosis di dalam kurung () adalah dosis alternatif yang juga diperbolehkan.
Bukti empiris A: efektivitas ditunjang sedikitnya 2 randomized placebo-controlled trials dengan hasil positif dan keamanan
jangka pendek baik.
Bukti empiris B: data suportif ditunjang oleh sedikitnya 1 studi positive placebo-controlled.
Derajat CEBM tinggi: efektivitasnya terbukti pada randomized, double-blind trials.
Derajat CEBM rendah: efektivitasnya probable pada studi observasi.
CEBM: Center for Evidence-based Medicine. ESO: Efek Samping Obat. EPS: Extra Pyramidal Syndrome.
903
TINJAUAN PUSTAKA
Umumnya, terapi dimulai dengan agonist
clonidine dosis rendah dan ditingkatkan dosis
dan frekuensinya secara bertahap, sampai
hasilnya memuaskan. Guanfacin (0,52 mg/
hari) merupakan golongan agonis baru yang
disukai karena dosisnya hanya sekali sehari.
Bila tidak efektif, dapat diberi antipsikotik.
Neuroleptik atipikal (risperidon 0,2516 mg/
hari, olanzapine 2,515 mg/hari, ziprasidon
20200 mg/hari) dipilih karena rendahnya
risiko efek samping ekstrapiramidal. Jika
tidak efektif, dapat diberikan neuroleptik
klasik, seperti haloperidol, fluphenazin, atau
pimozid.66,67
Modalitas
terapi
lain
juga
dapat
dipertimbangkan. Suntikan botulinum toxin
tipe A efektif mengendalikan tik vokal yang
melibatkan kumpulan otot kecil (localized tics).
Tindakan atau intervensi yang lebih invasif
seperti: deep brain stimulation, transcranial
magnetic stimulation (TMS), dan bedah saraf
(neurosurgery) boleh dipertimbangkan. TMS
repetitif adalah pendekatan efektif untuk
kasus berat.
Rangkuman farmakoterapi TS dapat dilihat di
tabel 1.
Selain itu, kombinasi 0,5 mEq/kgBB.
magnesium dan 2 mg/kgBB. vitamin B6
mampu mengurangi tik fonik-motorik serta
ketidakmampuan pada kasus TS anak usia
714 tahun.77
Terapi nonfarmakologis berupa: edukasi
penderita, anggota keluarga, teman sekolah,
modifikasi lingkungan sekolah sehingga
penderita tidak merasa bosan, stres, tegang,
atau tertekan, konseling suportif yang dapat
dilakukan saat di sekolah dan di luar sekolah.
Teknik relaksasi dapat meringankan tik. Terapi
pembalikan kebiasaan (habit reversal therapy)
juga pilihan efektif untuk TS.76,78
Terapi lain berupa complementary and
alternative medicine (CAM), misalnya: berdoasholat (pray), vitamin, pijat, suplemen diet,
manipulasi chiropractic, meditasi, perubahan
diet, yoga, akupunktur, hipnosis, homeopati,
DAFTAR PUSTAKA
1.
Kushner HI. Medical fictions: The case of the cursing marquise and the (re)construction of Gilles de la Tourette Syndrome. Bulletin of the History of Medicine 1995;69:22454.
2.
Tourette G. Etude sur une affection nerveuse caracaterisee par de lincoordination motrice accompagenee decholalie et de coprolalie. Archives de Neurologie 1885;9:1942.
3.
Walkup JT, Mink JW, Hollenbeck PJ. Advances in neurology: Tourette syndrome. First edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2006.
904
TINJAUAN PUSTAKA
4.
The Tourette Syndrome Classification Study Group. Definitions and classification of tic disorders. Arch Neurol. 1993;500:1013-6.
5.
Robertson MM. Annotation: Gilles de la Tourette syndromeAn update. Journal of Child Psychology and Psychiatry 1994;35:597611.
6.
Apter A, Pauls DL, Bleich A, Zohar AH, Kron S, Ratzoni G, Dycian A, Kotler M, Weizman A, Gadot N, et al. An epidemiologic study of Gilles de la Tourettes syndrome in Israel. Arch Gen
Psychiatry 1993;50:7348.
7.
Robertson MM: Diagnosing Tourette syndrome: is it a common disorder? J Psychosom Res 2003;55:3-6.
8.
Robertson MM, Eapen V, Cavanna AE. The international prevalence, epidemiology, and clinical phenomenology of Tourette syndrome: A cross-cultural perspective. Journal of
Psychosomatic Research. 2009;67:47583.
9.
Leckman JF, Zhang H, Vitale A, Lahnin F, Lynch K, Bondi C, Kim YS, Peterson BS. Course of tic severity in Tourettes syndrome: the first two decades. Pediatrics 1998;102:149.
10. Robertson MM. The Prevalence and Epidemiology of Gilles de la Tourette syndrome. Part 1: The epidemiological and prevalence studies. Journal of Psychosomatic Research 2008;65:461
72.
11. Kurlan R, McDermott MP, Deeley C, Como PG, Brower C, Eapen S, Andresen EM, Miller B. Prevalence of tics in schoolchildren and association with placement in special education.
Neurology 2001;57:13838.
12. CDC. Prevalence of diagnosed Tourette syndrome in persons aged 617 years United States, 2007. Morb Mortal Wkly Rep (MMWR). 2009;58:5815.
13. Baron-Cohen S, Scahill VL, Izaguirre J, Hornsey H, Robertson MM. The prevalence of Gilles de la Tourette syndrome in children and adolescents with autism: a large scale study. Psychological
Medicine Sept 1999;29(05):1151-9.
14. Albin RL, Koeppe RA, Wernette K, Zhuang W, Nichols T, Kilbourn MR, Frey KA. Striatal [11C]dihydrotetrabenazine and [11C]methylphenidate binding in Tourette syndrome. Neurology
2009;72:13906.
15. Cohen JD, Braver TS, Brown JW. Computational perspectives on dopamine function in prefrontal cortex. Curr Opin Neurobiol 2002;12:223-9.
16. Heise CA, Wanschura V, Albrecht B, Uebel H, Roessner V, Himpel S, et.al. Voluntary motor drive: possible reduction in Tourette syndrome. J Neural Transm 2008;115:85761.
17. Yoon DY, Gause CD, Leckman JF, Singer HS. Frontal dopaminergic abnormality in Tourette syndrome: a postmortem analysis. J Neurol Sci 2007;255:506.
18. Diaz-Anzaldua A, Joober R, Riviere JB, et al. Tourette syndrome and dopaminergic genes: a family-based association study in the French Canadian founder population. Mol Psychiatry
2004;9:2727.
19. Egaa LA, Cuevas RA, Baust TB, Parra LA, Leak RK, Hochendoner S, et.al. Physical and functional interaction between the dopamine transporter and the synaptic vesicle protein
synaptogyrin-3. J Neurosci. 2009 April 8;29(14):4592604.
20. Leckman JF, Riddle MA. Tourettes syndrome: when habitforming systems form habits of their own? Neuron 2000;28:34954.
21. Leckman JF. Tourettes syndrome. Lancet 2002;360:157786.
22. Mink JW. Basal ganglia dysfunction in Tourettes syndrome: A new hypothesis. Pediatr Neurol, 2001;25:1908.
23. Kataoka Y, Kalanithi PSA, Grantz H, Schwartz ML, Saper C, Leckman JF, Vaccarino FM, et.al. Decreased number of parvalbumin and cholinergic interneurons in the striatum of individuals
with Tourette syndrome. J Comp Neurol 2010;518:27791.
24. Singer HS, Gause C, Morris C, Lopez P. Serial immune markers do not correlate with clinical exacerbations in pediatric autoimmune neuropsychiatric disorders associated with streptococcal
infections. Pediatrics 2008;121:1198205.
25. Leslie DL, Kozma L, Martin A, Landeros A, Katsovich L, King RA, et al. Neuropsychiatric disorders associated with streptococcal infection: A casecontrol study among privately insured
children. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 2008;47(10):116672.
26. Gabbay V, Coffey BJ, Guttman LE, Gottlieb L, Katz Y, Babb JS. A cytokine study in children and adolescents with Tourettes disorder. Prog Neuropsychopharmacol Biol Psychiatry. 2009
August 31;33(6):96771.
27. Gorman DA, Zhu H, Anderson GM, Davies M, Peterson BS. Ferritin levels and their association with regional brain volumes in Tourettes syndrome. Am J Psychiatry. 2006 July;163(7):1264
72.
28. Khalifa N, von Knorring AL. Tourette syndrome and other tic disorders in a total population of children: clinical assessment and background. Acta Paediatr 2005;94:160814.
29. Mathews CA, Bimson B, Lowe TL, et al. Association between maternal smoking and increased symptom severity in Tourettes syndrome. Am J Psychiatry 2006;163:106673.
30. Cuker A, et.al. Candidate locus for Gilles de la Tourette syndrome/obsessive compulsive disorder/chronic tic disorder at 18q22. Am J Med Genet A 2004;130:7.
31. Cheon KA, Ryu YH, Namkoong K, Kim CH, Kim JJ, Lee JD. Dopamine transporter density of the basal ganglia assessed with [123I]IPT SPECT in drug-naive children with Tourette`s disorder.
Psychiatry Res 2004;130:85-95.
32. Lee CC, Chou IC, Tsai CH, Wang TR, Li TC, Tsai FJ. Dopamine receptor D2 gene polymorphisms are associated in Taiwanese children with Tourette syndrome. Pediatr Neurol 2005;33:272-6.
33. ORourke JA., Scharf JM, Yu D., Pauls DL. The Genetics of Tourette syndrome: A review. Journal of Psychosomatic Research 2009;67:533-45.
34. Rippel CA, Kobets AJ, Yoon DY, Williams PN, Shugart YY, Bridges DD, et al. Norepinephrine transporter polymorphisms in Tourette syndrome with and without attention deficit hyperactivity
disorder: no evidence for significant association. Psychiatric Genetics Oct 2006;16(5):179-80.
35. The Tourette Syndrome Association International Consortium for Genetics. Genome scan for Tourette disorder in affected-sibling-pair and multigenerational families. Am J Hum Genet
2007;80:26572.
36. Tian Y, Liao IH, Zhan X, Gunther JR, Ander BP, Liu D, et al. Exon expression and alternatively spliced genes in tourette syndrome. Am J Med Genet 2011;156:728.
37. Pauls DL. A genome-wide scan and fine mapping in Tourette Syndrome families. Adv Neurol 2006;99:1305.
38. Bloch MH, Leckman JF. Clinical course of Tourette syndrome. Journal of Psychosomatic Research 2009;67:497501.
39. Leckman JF, Bloch MH, Scahill L, King RA. Tourette syndrome: the self under siege. J Child Neurol 2006;21:6429.
40. Hawley JS, Gray SK. Tourette Syndrome. eMedicine. Updated: Jun 23, 2008.
41. Cheung MY, Shahed J, Jankovic J. Malignant tourette syndrome. Movement Disorders 2007;22:174350.
42. Woods DW, Piacentini JC, Walkup JT (Eds). Treating tourette syndrome: A guide for practitioners. Guilford Press: New York. 2007.
43. Olive MF. Tourette syndrome. Chelsea House Infobase Publishing. New York USA. 2010.
905
TINJAUAN PUSTAKA
44. Singer HS, Walkup JT. Tourette syndrome and other tic disorders. Diagnosis, pathophysiology, and treatment. Medicine 1991;70(1):15-32.
45. Grimaldi BL. The central role of magnesium deficiency in Tourettes syndrome: Causal relationships between magnesium deficiency, altered biochemical pathways and symptoms relating
to Tourettes syndrome and several reported comorbid conditions. Medical Hypotheses 2002;58(1):4760.
46. American Psychiatric Association (APA). Diagnostic and statistical manual of mental disorders. 4th ed, text rev. APA. Washington, DC. 2000.
47. Stefl ME, Rubin M. Tourette syndrome in the classroom: Special problems, special needs. Journal of School Health 1985;55:725.
48. Kompoliti K, Goetz CG. Clinical rating and quantitative assessment of tics. Neurologic Clinics May 1997;15(2):23954.
49. Scahill L, Riddle MA, McSwiggin-Hardin M, Ort SI, King RA, Goodman WK, Cicchetti D, Leckman JF. Childrens Yale-Brown obsessive compulsive scale: Reliability and validity. J Am Acad Child
Adolesc Psychiatry 1997;36:84452.
50. Shapiro AK, Shapiro ES, Young JG, Feinberg TE. Gilles de la Tourette syndrome. 2nd edition. Raven Press, New York. 1988.
51. Wechsler D. Wechsler Abbreviated Scale of Intelligence. San Antonio, TX: Psychological Corporation 1999.
52. Cath DC, Hedderly T, Ludolph AG, Stern JS, Murphy T, Hartmann A, et al. European clinical guidelines for Tourette syndrome and other tic disorders. Part I: assessment. Eur Child Adolesc
Psychiatry 2011;20:15571.
53. Leckman JF, Riddle MA, Hardin MT, Ort SI, Swartz KL, Stevenson J, Cohen DJ. The Yale Global Tic Severity scale: initial testing of a clinician-rated scale of tic severity. Journal of the American
Academy of Child & Adolescent Psychiatry July 1989;28(4):566-73.
54. Shaffer D, Fisher P, Lucas CP, Dulcan MK, Schwab-Stone ME. NIMH Diagnostic intervieschedule for children version IV (NIMH DISC-IV): Description, differences from previous versions, and
reliability of some common diagnoses. Journal of American Child and Adolescent Psychiatry 2000;39:2838.
55. Albin RL, Mink JW. Recent advances in Tourette syndrome research. Trends Neurosci 2006;29:175.
56. Bohlhalter S, Goldfine A, Matteson S, Garraux G, Hanakawa T, Kansaku K, et al. Neural correlates of tic generation in Tourette syndrome: an event-related functional MRI
study. Brain. Aug 2006;129:2029-37.
57. Mller-Vahl KR. Kaufmann J. Grosskreutz J. Dengler R. Emrich HM. Peschel T. Prefrontal and anterior cingulate cortex abnormalities in Tourette Syndrome: Evidence from voxel-based
morphometry and magnetization transfer imaging. BMC Neuroscience 2009;10:47 doi:10.1186/1471-2202-10-47.
58. Piacentini J, Woods DW, Scahill L, Wilhelm S, Peterson AL, Chang S, et. al. Behavior therapy for children with Tourette disorder: A Randomized Controlled Trial. JAMA. 2010;303(19):192937.
59. Mller-Vahl KR. The treatment of Tourettes syndrome: current opinions. Expert Opin Pharmacother 2002;3:899914.
60. Awaad Y, Michon AM, Minarik S. Use of levetiracetam to treat tics in children and adolescents with Tourette syndrome. Mov Disord. 2005;20: 7148.
61. Moe PG, Benke TA, Bernard TJ. Neurologic and Muscular Disorders. In: Current Diagnosis and Treatment in Pediatrics. 18th edition. Edited by: Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding
RR. International Edition. Lange Medical Books-McGraw-Hill. USA. 2007;23:761-2.
62. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J (Eds). Harrisons Principles of Internal Medicine. 18th Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. USA. 2012. Chapter 372.
63. Bruggeman R, van der Linden C, Buitelaar JK, Gericke GS, Hawkridge SM, Temlett JA. Risperidone versus pimozide in Tourette`s disorder: a comparative double-blind parallel-group study.
J Clin Psychiatry 2001;62:50-6.
64. Bruun RD, Budman CL. Risperidone as a treatment for Tourette`s syndrome. J Clin Psychiatry 1996;57:29-31.
65. Shprecher D, Kurlan R. The management of tics. Mov Disord 2009;24:1524.
66. Jankovic J. 2001. Tourettes syndrome. N Engl J Med, 345:118492.
67. Jimnez-Jimnez FJ, Garca-Ruiz PJ. Pharmacological options for the treatment of Tourettes disorder. Drugs 2001;61:220720.
68. Kwak CH, Hanna PA, Jankovic J. Botulinum toxin in the treatment of tics. Arch Neurol 2000;57:1190-3.
69. Marras C, Andrews D, Sime E, Lang AE. Botulinum toxin for simple motor tics: a randomized, double-blind, controlled clinical trial. Neurology 2001;56:605-10.
70. Porta M, Maggioni G, Ottaviani F, Schindler A. Treatment of phonic tics in patients with Tourette`s syndrome using botulinum toxin type A. Neurol Sci 2004;24:420-3.
71. Houeto JL, Karachi C, Mallet L, et al. Tourettes syndrome and deep brain stimulation. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2005;76:9925.
72. Hardesty DE, Sackeim HA. Deep brain stimulation in movement and psychiatric disorders. Biol Psychiatry 2007;61:8315.
73. Scahill L, Erenberg G, Berlin CM Jr, et al. Tourette Syndrome Association Medical Advisory Board: Practice Committee. Contemporary assessment and pharmacotherapy of Tourette
syndrome. NeuroRx 2006;3:192-206.
74. Swain JE, Scahill L, Lombroso PJ, King RA, Leckman JF. Tourette Syndrome and Tic Disorders: A Decade of Progress. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 2007;46(8):947-68.
75. Bloch MH. Emerging treatments for Tourettes disorder. Curr Psychiatry Rep 2008;10:32330.
76. Du JC, Chiu TF, Lee KM, Wu HL, Yang YC, Hsu SY, et al. Tourette syndrome in children: An updated review. Pediatr Neonatol 2010;51(5):25564.
77. Garcia-Lopez R, Perea-Milla E, Garcia CR, Rivas-Ruiz F, Romero-Gonzalez J, Moreno JL, et al. New therapeutic approach to Tourette syndrome in children based on a randomized placebocontrolled double-blind phase IV study of the effectiveness and safety of magnesium and vitamin B6. Trials 2009;10:16. doi:10.1186/1745-6215-10-6.
78. Leckman JF, King RA, Cohen DJ. Tics and tic disorders. In: Tourette`s Syndrome Tics, Obsessions, Compulsions: Developmental Psychopathology and Clinical Care, Leckman JF, Cohen DJ
(Eds). New York: Wiley.1999:23-42.
79. Kompoliti K, Fan W, Leurgans S. Complementary and alternative medicine use in Gilles de la Tourette syndrome. Movement Disorders 2009;24(13):2015-9.
80. Erenberg G, Berlin Jr CM, Budman C, Coffey BJ, Jankovic J, Kiessling L, et al. Contemporary assessment and pharmacotherapy of Tourette syndrome. NeuroRX. April 2006;3(2):192206.
81. Woods DW, Piacentini JC, Chang S, et al. Managing Tourettes syndrome: A behavioral intervention for children and adults. Oxford University Press. New York. 2008.
82. Monaco F, Servo S, Cavanna AE. Famous people with Gilles de la Tourette syndrome? Journal of Psychosomatic Research 2009;67:485-90.
83. Bjorklund R. Tourette syndrome. Marshall Cavendish Corporation. New York: USA.2010:1-62.
84. Davis RE, Osorio I. Childhood caffeine tic syndrome. Pediatrics 1998;101:E4.
85. Verdellen CW, Keijsers GP, Cath DC, Hoogduin CA. Exposure with response prevention versus habit reversal in Tourette`s syndrome: a controlled study. Behav Res Ther 2004;42:501-11.
906
TINJAUAN PUSTAKA
ABSTRAK
Anestesi umum dapat menyebabkan kolaps jalan napas dan alveoli (atelektasis), yang mengganggu pertukaran gas (hipoksemia dan hiperkapnia)
dan mengurangi area fungsional paru dengan meningkatkan ruang mati. Jika kejadian ini berlanjut dapat menyebabkan gagal organ akibat
ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan O2 pada periode operasi. Recruitment maneuver telah dilaporkan dapat membuka kembali
kolaps jalan napas. Tujuan utama tindakan ini terutama untuk menormalkan oksigenasi paru, yang dilakukan dengan meningkatkan tekanan
jalan napas secara cepat dan terkontrol, sehingga dapat menjaga fungsi paru sejak dilakukannya tindakan induksi pada anestesi umum.
Kata kunci: recruitment maneuver, anestesi umum, oksigenasi, kolaps paru
ABSTRACT
General anesthesia may cause collapsed airway and alveoli (atelectasis), which in turn may disturb the gas exchange causing hypoxemia and
hypercapnia, and reduces lung functional area by increasing dead space. This collapsed airway may further causes organ dysfunction due to
imbalance of oxygen supply and demand during surgery. Recruitment maneuver has been reported to re-open the collapsed airway. The
aim of this method is to put lung oxygenation back to normal value. It can be performed by rapidly increase the airway pressure to maintain
normal lung function since the beginning of the induction of general anesthesia. M. Helmi. Role of Recruitment Maneuver in General
Anaesthesia.
Key words: recruitment maneuver, general anesthesia, oxygenation, lung collapse
PENDAHULUAN
Kolaps jalan napas pada anestesi umum
Anestesi umum/general anesthesia (GA)
dengan ventilasi mekanis (VM) dapat
menyebabkan siklus hiperdistensi dan/
atau kolaps alveoli, terutama apabila
menggunakan tidal volume (TV) tinggi
(12-15 mL/kg) tanpa positive end expiratory
pressure (PEEP).1 Hal ini dapat menyebabkan
alveoli terdistensi saat pemberian TV tinggi,
dan kolaps saat ekspirasi tanpa PEEP yang
mengurangi nilai functional residual capacity
(FRC).2-7 Kolaps jalan napas dapat terjadi
pada sekitar 90% pasien yang menjalani GA
pada alveolus, bronkiolus respiratorius dan/
atau kapiler pulmoner. Kolaps dapat bermula
saat induksi anestesi, yang menyebabkan
peningkatan shunt intra-operatif, dan akhirnya
gangguan pertukaran gas,3, 8-14 dan dapat
terus terjadi selama beberapa jam setelah
tindakan pembedahan.6,15,16 Risiko kejadian ini
meningkat pada pasien obesitas dibanding
pada pasien dengan berat badan normal,17Alamat korespondensi
19
email: alexis.steffi@gmail.com
907
TINJAUAN PUSTAKA
Makin tinggi kadar admixture vena yang terjadi
akibat kolaps paru, makin tinggi pula FiO2
yang harus diberikan pada fase perioperatif.
Hal inilah yang mendasari alasan FiO2 di atas
21% sangat diperlukan saat tindakan anestesi
dan juga sesaat pasca-bedah. Pada kondisi
pasien tertentu (morbid obese atau penyakit
kritis apapun) hipoksemi dapat dijumpai
meskipun telah menggunakan FiO2 tinggi.
Kadar FiO2 tinggi pada kondisi tertentu dapat
efektif untuk mengurangi gejala hipoksemi,
tetapi tidak sebagai terapi patofosiologis yang
menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia.
Sebaliknya, meningkatkan kadar FiO2 terlalu
tinggi justru dapat meningkatkan risiko
atelektasis dan ketidakseimbangan rasio V/Q
pasca-bedah24-26, sehingga pemberian FiO2
tinggi harus mempertimbangkan manfaat
dan efek negatifnya.
908
RECRUITMENT MANUEVER
Saat ini dikenal dua strategi untuk mencegah
kolaps/atelektasis paru. Yang pertama adalah
dengan menggunakan continuous positive
airway pressure (CPAP) saat induksi anestesi.38
Mekanisme utama CPAP dalam mencegah
kolaps paru adalah dengan mencegah
turunnya FRC dengan menjaga tekanan jalan
napas lebih tinggi daripada closing pressure.
Strategi yang kedua untuk mencegah
atelektasis adalah dengan mengurangi FiO2
saat induksi.24, 39, 40
Recruitment maneuver merupakan strategi
ventilasi menggunakan teknik peningkatan
tekanan jalan napas, yang bertujuan untuk
membuka alveoli yang kolaps, sehingga
meningkatkan area paru untuk pertukaran
gas dan pada akhirnya meningkatkan
oksigenasi arteri.1, 8, 41-45 Secara umum,
tekanan pembukaan seluruh paru berkisar
40 cmH2O.1 Tekanan alveoli setinggi itu
diperkirakan dapat membuka alveoli
terakhir yang kolaps pada area paru yang
dependent. Hal inilah yang mendasari
penamaan fase RM (manuver pembukaan),
karena meningkatnya area paru yang dapat
kembali ter-aerasi dibandingkan dengan fase
sebelumnya. RM dapat dilakukan dengan
meningkatkan plateau pressure pada paru
kolaps dengan jalan meningkatkan PEEP di
atas closing pressure pada area dependent
[22]. RM merupakan strategi ventilasi
yang mengikuti open lung concept (OLC)
yang diperkenalkan beberapa dekade lalu
oleh Lachmann45 di Rotterdam, Belanda,
dengan mempertimbangkan rumus YoungLaplace, dimana: paru dapat dibuka dengan
memberikan tekanan jalan napas tinggi
pada jalan napas, dan mempertahankannya
tetap terbuka dengan PEEP yang cukup22.
Penelitian mengenai RM intra operatif telah
banyak dilakukan beberapa tahun terakhir
ini, dan dilaporkan berhasil pada pasien yang
menggunakan berbagai tipe gas anestesi3,
13, 14, 19, 25, 41, 44, 46-48
dan tipe pembedahan yang
berbeda-beda.22
Ada berbagai teknik RM: sustained pressure
dengan cara meningkatkan tekanan
jalan napas dengan konstan untuk satu
atau beberapa periode; intermittent sighs,
peningkatan PEEP progresif dengan TV
rendah, peningkatan PEEP tanpa perubahan
TV, peningkatan TV dan PEEP secara simultan,
peningkatan PEEP secara gradual dan
TINJAUAN PUSTAKA
intermiten dengan nilai tekanan terkontrol
konstan, ventilasi spontan menggunan mode
ventilasi dengan airway pressure release, dan
posisi prone.1, 4, 19, 49-52 Sedangkan RM yang
paling populer adalah metode CPAP dengan
tekanan yang bervariasi antara 30 sampai
40 cmH2O dalam waktu 30 sampai 90 detik
untuk pasien dengan ARDS.12, 41, 53, 54
Rothen et al.4 meneliti RM pada pasien yang
menjalani GA dengan meningkatkan peak
pressure pada jalan napas ke nilai 40 cmH2O.
Tekanan ini dipertahankan selama 15 detik
sampai area atelektasis terbuka kembali.1,
55
Dengan cara ini didapatkan peningkatan
PaO2 secara signifikan dan sebagian besar
atelektasis terbuka kembali. Keuntungan
RM adalah rendahnya insidens efek samping
seperti penurunan curah jantung / cardiac
output (CO) dan tekanan darah.1 Pang et al.3
menyebutkan bahwa RM dengan ventilasi
manual sampai dengan peak pressure 40
cmH2O dapat meningkatkan oksigenasi
arteri selama operasi pada pasien sehat
yang menjalani laparaskopi kolesistektomi
setelah tindakan pneumopreitoneum. Teknik
bedah ini berhubungan dengan penurunan
kapasitas fungsi vital paru sebesar 36%
dalam waktu 2-4 jam setelah pembedahan.
Penelitian lain menyimpulkan bahwa
RM dapat meningkatkan fungsi respirasi
saat pembedahan dengan menurunnya
atelektasis dan shunt, meningkatkan rasio
V/Q dan konsekuensinya meningkatkan
oksigenasi arteri.56 Tusman et al.13 berhasil
menunjukkan manfaat RM selama anestesi
pada paru independent pada pasien bedah
toraks, dan pasien dengan posisi lateral.
Selama ventilasi satu paru, shunt menurun
sekisar 15-40% akibat kolaps total paru
non-dependent. Peneliti yang sama juga
menunjukkan bahwa untuk mencegah derecruitment dibutuhkan PEEP dengan nilai 5
cmH2O atau lebih.44
Strategi RM merupakan suatu siklus yang
terdiri dari peningkatan dan pengurangan
tekanan yang dilakukan secara terkontrol
dan bertahap dengan menggunakan mode
ventilasi kontrol (driving pressure=15 cmH2O,
rasio respirasi antara 10 dan 15 x per menit,
rasio inspirasi:ekspirasi=1:1 dan FiO2=1). Siklus
RM dapat dilakukan menurut algoritma pada
Gambar 1 yang terdiri dari tiga fase.22, 44 Latar
belakang penatalaksanaan masing-masing
fase dijabarkan sebagai berikut:
Fase RM
Saat hemodinamik dapat dipertahankan
dengan baik, RM dapat dilakukan dengan
meningkatkan driving pressure 20 cmH2O dan
PEEP 20 cmH2O untuk mencapai opening
pressure 40 cmH2O dari tekanan plateau
(Gambar 2). Driving pressure 20 cmH2O
berhubungan
dengan
didapatkannya
nilai TV 8 mL/kg. Pada pasien dengan
compliance respirasi tinggi, driving pressure
harus dipertahankan pada 15 cmH2O untuk
mencegah terlalu tingginya TV. Pada kondisi
ini, PEEP dapat ditingkatkan ke 25 cmH2O
dengan tujuan untuk mencapai target
opening pressure yang sama dengan menjaga
TV dalam rentang normal. Sepuluh kali napas
pada fase ini dirasa cukup untuk membuka
seluruh paru pada pasien dengan paru
normal.22 Penting diketahui bahwa efek RM
dapat dilihat saat terjadi peningkatan pada
kurva Pressure-Volume.58
Fase titrasi PEEP
Fase ini bertujuan untuk mengidentifikasi
closing pressure paru atau untuk mengetahui
nilai PEEP saat paru mulai kolaps lagi pada
zona dependent. Fase titrasi PEEP ini terdiri
dari penurunan PEEP sebesar 2 cmH2O
secara progresif setiap menitnya. Closing
pressure ini dapat diketahui dengan baik
dengan melihat area paru yang atelektasis
menggunakan teknik pencitraan (CT-scan,
MRI, electrical impedance tomography), dapat
pula diketahui dengan penilaian PaO2 dan
PaCO2. Untuk memantau efek RM, sebagian
besar peneliti mengevaluasi peningkatan
nilai oksigenasi arterial, metode yang sering
dipakai pada praktik klinis menghitung nilai
PaO2 dan rasio PaO2/FiO2.41, 53, 54, 59 Setelah
didapatkan tekanan yang dikehendaki,
dilakukan RM lagi untuk membuka alveoli
yang mungkin kolaps saat fase titrasi PEEP.
Mode ventilasi kemudian diperhitungkan
dengan strategi proteksi paru dengan TV
kecil, dan PEEP beberapa cmH2O di atas
closing pressure. Nilai PEEP yang menjaga
paru tetap terbuka setelah fase RM disebut
sebagai open lung-PEEP (OL-PEEP).61 Metode
OL-PEEP saat ini menjadi isu yang sangat
menarik dalam disiplin VM karena metode
ini digunakan untuk mendeteksi nilai PEEP
yang membutuhkan teknik invasif atau
yang hampir tidak mudah tersedia. Di ruang
operasi, biasanya digunakan nilai standar
closing dan opening pressure. Nilai-nilai
target tersebut didapatkan dari penelitian-
909
TINJAUAN PUSTAKA
peneilitan fisiologis yang dilakukan pada
pasien yang menjalani anestesi. Opening
pressure paru normal diperkirakan sekitar
40 cmH2O sedangkan closing pressure
diperkirakan berkisar antara 5 dan 15 cm
H2O, tergantung kondisi klinis.1 Secara teori,
closing pressure berbeda-beda tiap individu
dengan tujuan untuk menghindari tekanan
yang terlalu tinggi / terlalu rendah.
Karena compliance paru dan resistensi
jalan napas meningkat saat dilakukan RM
bertahap, risiko overdistensi menjadi lebih
rendah karena ventilasi terdistribusi secara
homogen ke semua area parenkim paru. Efek
ini didukung dengan penurunan ruang mati
setelah RM, yang menjelaskan bahwa kapiler
pulmoner tidak terkompresi oleh tekanan
alveolar.13, 48 RM dapat dilakukan pada
hampir semua pasien yang akan menjalani
GA dengan jalan napas tidak tertutup oleh
balon endotracheat tube (ET) seperti pada
penggunaan laryngeal mask airway atau
sungkup muka, karena 90% pasien yang
menjalani GA mengalami kolaps paru, 10
% sisanya adalah pasien bedah sehari atau
bedah minor pada pasien muda, sehat dengan
berat badan cukup kurus yang mempunyai
sedikit kolaps paru. Pada pasien ini, RM tidak
diindikasikan. Sebaliknya pada pasien yang
akan menjalani bedah sedang-besar dengan
ASA lebih dari 2, RM akan memberikan
respons perbaikan fungsi paru.22 RM dapat
dilakukan setelah dilakukan induksi anestesi
untuk mendapatkan manfaat selama periode
pembedahan. Saat terjadi hubungan jalan
napas ke atmosfer (terlepasnya hubungan
antar ET dari sirkuit anestesi), RM harus
dilakukan lagi karena kolaps paru dapat
terjadi dalam hitungan detik. Tidak disarankan
untuk melepas hubungan sirkuit anestesi
selama pembedahan sampai dengan pasien
terekstubasi pada akhir anestesi.22
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Hentikan RM
Kembali ke nilai PEEP aman sebelumnya
Berikan 3-5 mL/kg cairan intra vena
Fase RM
Tentukan nilai OL-PEEP
Fase RM
10 x napas
Re-RM
Mode
akhir
Gambar 2 Skema strategi RM. Dilakukan dengan mode ventilasi napas kontrol dengan driving pressure (PEEP plateau) 15
cm H2O. Tiap blok menggambarkan satu kali TV. PEEP dinaikkan secara bertahap tiap 5 cmH2O pada fase penyesuaian
hemodinamik. Kemudian PEEP dan driving pressure ditingkatkan ke 20 cmH2O untuk membuka paru sampai 10 kali napas.
Fase titrasi PEEP dimulai dengan mengurangi driving pressure ke 15 cmH2O kemudian menurunkan PEEP secara bertahap tiap
2 cmH2O dari 20 cmH2O sampai ditemukan nilai closing pressure. Diikuti dengan RM ke dua yang kemudian mode ventilasi
dipertahankan denagn mode protektif (TV rendah) dan dengan mengggunakan OL-PEEP.
910
Kontraindikasi RM
Pada pasien dengan hemodinamik tidak
stabil oleh sebab apapun, terutama pasien
hipovolemik, RM menjadi kontra indikasi sampai
tercapai kondisi stabil setelah terapi. Selain itu,
pada pasien bronkospasme, fistula bronkial,
pneumotoraks, pneumomediastinum, emfisema subkutan, pasca-biopsi dan reseksi
paru, atau tekanan intrakranial tinggi, RM juga
tidak disarankan.13, 22, 53 Tekanan jalan napas
tinggi mempunyai efek hemodinamik berupa
TINJAUAN PUSTAKA
penurunan perfusi yang normal kembali
dalam waktu 10 menit kemudian.56
SIMPULAN
Kolaps paru terjadi saat GA yang menyebabkan
gangguan fungsi paru, terutama pada pasien
dengan gangguan respirasi pada periode perioperatif. RM dapat bermanfaat saat GA karena
meningkatkan oksigenasi pasca-operasi. dan
membuka atelektasis pada pasien dengan
GA. Teknik ini bermanfaat pada pasien post
operatif yang membutuhkan oksigen rendah
DAFTAR PUSTAKA
1.
Rothen HU, Sporre B, Engberg G, Wegenius G, Hedenstierna G. Re-expansion of atelectasis during general anaesthesia: a computed tomography study. Br J Anaesth 1993, 71(6):788-95.
2.
Singh PK, Agarwal A, Gaur A, Deepali DA, Pandey CK, Singh U. Increasing tidal volumes and PEEP is an effective method of alveolar recruitment. Can J Anaesth 2002, 49(7):755.
3.
Pang CK, Yap J, Chen PP. The effect of an alveolar recruitment strategy on oxygenation during laparascopic cholecystectomy. Anaesth Intensive Care 2003, 31(2):176-80.
4.
Rothen HU, Neumann P, Berglund JE, Valtysson J, Magnusson A, Hedenstierna G. Dynamics of re-expansion of atelectasis during general anaesthesia. Br J Anaesth 1999, 82(4):551-6.
5.
Torda TA, McCulloch CH, OBrien HD, Wright JS, Horton DA. Pulmonary venous admixture during one-lung anaesthesia. The effect of inhaled oxygen tension and respiration rate. Anaes-
6.
Brismar B, Hedenstierna G, Lundquist H, Strandberg A, Svensson L, Tokics L. Pulmonary densities during anesthesia with muscular relaxation--a proposal of atelectasis. Anesthesiology
Klingstedt C, Hedenstierna G, Lundquist H, Strandberg A, Tokics L, Brismar B. The influence of body position and differential ventilation on lung dimensions and atelectasis formation in
anaesthetized man. Acta Anaesthesiol Scand 1990, 34(4):315-22.
8.
Hedenstierna G, Tokics L, Strandberg A, Lundquist H, Brismar B. Correlation of gas exchange impairment to development of atelectasis during anaesthesia and muscle paralysis. Acta
Anaesthesiol Scand 1986, 30(2):183-91.
9.
10. Lundquist H, Hedenstierna G, Strandberg A, Tokics L, Brismar B. CT-assessment of dependent lung densities in man during general anaesthesia. Acta Radiol 1995, 36(6):626-32.
11. Tusman G, Bohm SH, Melkun F, Nador CR, Staltari D, Rodriguez A, et al. Effects of the alveolar recruitment manoeuver and PEEP on arterial oxygenation in anesthetized obese patients.
Revista espanola de anestesiologia y reanimacion 2002, 49(4):177-83.
12. Dyhr T, Laursen N, Larsson A. Effects of lung recruitment maneuver and positive end-expiratory pressure on lung volume, respiratory mechanics and alveolar gas mixing in patients
ventilated after cardiac surgery. Acta Anaesthesiol Scand 2002, 46(6):717-25.
13. Tusman G, Bohm SH, Sipmann FS, Maisch S. Lung recruitment improves the efficiency of ventilation and gas exchange during one-lung ventilation anesthesia. Anesth Analg 2004,
98(6):1604-9.
14. Tusman G, Bohm SH, Tempra A, Melkun F, Garcia E, Turchetto E, et al. Effects of recruitment maneuver on atelectasis in anesthetized children. Anesthesiology 2003, 98(1):14-22.
15. Lindberg P, Gunnarsson L, Tokics L, Secher E, Lundquist H, Brismar B, et al. Atelectasis and lung function in the postoperative period. Acta Anaesthesiol Scand 1992, 36(6):546-53.
16. Rothen HU, Sporre B, Engberg G, Wegenius G, Hedenstierna G. Airway closure, atelectasis and gas exchange during general anaesthesia. Br J Anaesth 1998, 81(5):681-6.
17. Strandberg A, Tokics L, Brismar B, Lundquist H, Hedenstierna G. Constitutional factors promoting development of atelectasis during anaesthesia. Acta Anaesthesiol Scand 1987,
31(1):21-4.
18. Pelosi P, Croci M, Ravagnan I, Cerisara M, Vicardi P, Lissoni A, et al. Respiratory system mechanics in sedated, paralyzed, morbidly obese patients. J Appl Physiol 1997, 82(3):811-8.
19. Whalen FX, Gajic O, Thompson GB, Kendrick ML, Que FL, Williams BA, et al. The effects of the alveolar recruitment maneuver and positive end-expiratory pressure on arterial oxygenation
during laparoscopic bariatric surgery. Anesth Analg 2006, 102(1):298-305.
20. Sprung J, Whalley DG, Falcone T, Warner DO, Hubmayr RD, Hammel J. The impact of morbid obesity, pneumoperitoneum, and posture on respiratory system mechanics and oxygenation
during laparoscopy. Anesth Analg 2002, 94(5):1345-50.
21. Hedenstierna G. Contribution of multiple inert gas elimination technique to pulmonary medicine. 6. Ventilation-perfusion relationships during anaesthesia. Thorax 1995, 50(1):85-91.
22. Tusman G, Belda JF. Treatment of anesthesia-induced lung collapse with lung recruitment maneuvers. Current Anaesthesia & Critical Care 2010, 21(5-6):244-9.
23. Moller JT, Johannessen NW, Berg H, Espersen K, Larsen LE. Hypoxaemia during anaesthesia--an observer study. Br J Anaesth 1991, 66(4):437-44.
24. Joyce CJ, Baker AB, Kennedy RR. Gas uptake from an unventilated area of lung: computer model of absorption atelectasis. J Appl Physiol 1993, 74(3):1107-16.
25. Gunnarsson L, Tokics L, Gustavsson H, Hedenstierna G. Influence of age on atelectasis formation and gas exchange impairment during general anaesthesia. Br J Anaesth 1991, 66(4):42332.
26. Loeckinger A, Kleinsasser A, Keller C, Schaefer A, Kolbitsch C, Lindner KH, et al. Administration of oxygen before tracheal extubation worsens gas exchange after general anesthesia in a
pig model. Anesth Analg 2002, 95(6):1772-6.
27. Slutsky AS. Lung injury caused by mechanical ventilation. Chest 1999, 116(1 Suppl):9S-15S.
28. Wolthuis EK, Vlaar AP, Choi G, Roelofs JJ, Juffermans NP, Schultz MJ. Mechanical ventilation using non-injurious ventilation settings causes lung injury in the absence of pre-existing lung
injury in healthy mice. Crit Care 2009, 13(1):R1.
29. Kotani N, Lin CY, Wang JS, Gurley JM, Tolin FP, Michelassi F, et al. Loss of alveolar macrophages during anesthesia and operation in humans. Anesth Analg 1995, 81(6):1255-62.
30. Schilling T, Kozian A, Huth C, Buhling F, Kretzschmar M, Welte T, Hachenberg T: The pulmonary immune effects of mechanical ventilation in patients undergoing thoracic surgery. Anesth
Analg 2005, 101(4):957-965, table of contents.
31. Steinberg JM, Schiller HJ, Halter JM, Gatto LA, Lee HM, Pavone LA, Nieman GF: Alveolar instability causes early ventilator-induced lung injury independent of neutrophils. Am J Respir Crit
Care Med 2004, 169(1):57-63.
32. Mead J, Takishima T, Leith D: Stress distribution in lungs: a model of pulmonary elasticity. J Appl Physiol 1970, 28(5):596-608.
911
TINJAUAN PUSTAKA
33. Ventilation with lower tidal volumes as compared with traditional tidal volumes for acute lung injury and the acute respiratory distress syndrome. The Acute Respiratory Distress Syndrome Network. N Engl J Med 2000, 342(18):1301-1308.
34. Hewlett AM, Hulands GH, Nunn JF, Milledge JS: Functional residual capacity during anaesthesia III: Artificial ventilation. Br J Anaesth 1974, 46(7):495-503.
35. Froese AB, Bryan AC: Effects of anesthesia and paralysis on diaphragmatic mechanics in man. Anesthesiology 1974, 41(3):242-55.
36. Wollmer P, Schairer W, Bos JA, Bakker W, Krenning EP, Lachmann B: Pulmonary clearance of 99mTc-DTPA during halothane anaesthesia. Acta Anaesthesiol Scand 1990, 34(7):572-5.
37. Hedenstierna G, Strandberg A, Brismar B, Lundquist H, Svensson L, Tokics L: Functional residual capacity, thoracoabdominal dimensions, and central blood volume during general anesthesia with muscle paralysis and mechanical ventilation. Anesthesiology 1985, 62(3):247-54.
38. Gander S, Frascarolo P, Suter M, Spahn DR, Magnusson L: Positive end-expiratory pressure during induction of general anesthesia increases duration of nonhypoxic apnea in morbidly
obese patients. Anesth Analg 2005, 100(2):580-4.
39. Coussa M, Proietti S, Schnyder P, Frascarolo P, Suter M, Spahn DR, Magnusson L: Prevention of atelectasis formation during the induction of general anesthesia in morbidly obese patients.
Anesth Analg 2004, 98(5):1491-1495, table of contents.
40. Edmark L, Kostova-Aherdan K, Enlund M, Hedenstierna G: Optimal oxygen concentration during induction of general anesthesia. Anesthesiology 2003, 98(1):28-33.
41. Dyhr T, Nygard E, Laursen N, Larsson A: Both lung recruitment maneuver and PEEP are needed to increase oxygenation and lung volume after cardiac surgery. Acta Anaesthesiol Scand
2004, 48(2):187-97.
42. Fletcher R: Deadspace during anaesthesia. Acta Anaesthesiol Scand Suppl 1990, 94:46-50.
43. Fletcher R, Jonson B, Cumming G, Brew J: The concept of deadspace with special reference to the single breath test for carbon dioxide. Br J Anaesth 1981, 53(1):77-88.
44. Tusman G, Bohm SH, Vazquez de Anda GF, do Campo JL, Lachmann B: Alveolar recruitment strategy improves arterial oxygenation during general anaesthesia. Br J Anaesth 1999, 82(1):813.
45. Lachmann B: Open up the lung and keep the lung open. Intensive Care Med 1992, 18(6):319-21.
46. Erlandsson K, Odenstedt H, Lundin S, Stenqvist O: Positive end-expiratory pressure optimization using electric impedance tomography in morbidly obese patients during laparoscopic
gastric bypass surgery. Acta Anaesthesiol Scand 2006, 50(7):833-9.
47. Bohm SH, Maisch S, von Sandersleben A, Thamm O, Passoni I, Martinez Arca J, Tusman G: The effects of lung recruitment on the Phase III slope of volumetric capnography in morbidly
obese patients. Anesth Analg 2009, 109(1):151-9.
48. Tusman G, Bohm SH, Suarez-Sipmann F, Turchetto E: Alveolar recruitment improves ventilatory efficiency of the lungs during anesthesia. Can J Anaesth 2004, 51(7):723-7.
49. Hess DR, Bigatello LM: Lung recruitment: the role of recruitment maneuvers. Respir Care 2002, 47(3):308-317; discussion 317-308.
50. Singh B, Sharma P: Subdural block complicating spinal anesthesia? Anesth Analg 2002, 94(4):1007-1009, table of contents.
51. Marini JJ: How to recruit the injured lung. Minerva Anestesiol 2003, 69(4):193-200.
52. Claxton BA, Morgan P, McKeague H, Mulpur A, Berridge J: Alveolar recruitment strategy improves arterial oxygenation after cardiopulmonary bypass. Anaesthesia 2003, 58(2):111-6.
53. Amato MB, Barbas CS, Medeiros DM, Magaldi RB, Schettino GP, Lorenzi-Filho G, Kairalla RA, Deheinzelin D, Munoz C, Oliveira R et al: Effect of a protective-ventilation strategy on mortality
in the acute respiratory distress syndrome. N Engl J Med 1998, 338(6):347-54.
54. Grasso S, Mascia L, Del Turco M, Malacarne P, Giunta F, Brochard L, Slutsky AS, Marco Ranieri V: Effects of recruiting maneuvers in patients with acute respiratory distress syndrome ventilated with protective ventilatory strategy. Anesthesiology 2002, 96(4):795-802.
55. Rothen HU, Sporre B, Engberg G, Wegenius G, Hedenstierna G: Reexpansion of atelectasis during general anaesthesia may have a prolonged effect. Acta Anaesthesiol Scand 1995,
39(1):118-25.
56. Goncalves LO, Cicarelli DD: Alveolar recruitment maneuver in anesthetic practice: how, when and why it may be useful. Rev Bras Anestesiol 2005, 55(6):631-8.
57. Pinsky MR: The hemodynamic consequences of mechanical ventilation: an evolving story. Intensive Care Med 1997, 23(5):493-503.
58. Hickling KG: Best compliance during a decremental, but not incremental, positive end-expiratory pressure trial is related to open-lung positive end-expiratory pressure: a mathematical
model of acute respiratory distress syndrome lungs. Am J Respir Crit Care Med 2001, 163(1):69-78.
59. Pelosi P, Cadringher P, Bottino N, Panigada M, Carrieri F, Riva E, Lissoni A, Gattinoni L: Sigh in acute respiratory distress syndrome. Am J Respir Crit Care Med 1999, 159(3):872-80.
60. Barbas CS, de Matos GF, Okamoto V, Borges JB, Amato MB, de Carvalho CR: Lung recruitment maneuvers in acute respiratory distress syndrome. Respir Care Clin N Am 2003, 9(4):401-18,
vii.
61. Tusman G, Suarez-Sipmann F, Bohm SH, Pech T, Reissmann H, Meschino G, Scandurra A, Hedenstierna G: Monitoring dead space during recruitment and PEEP titration in an experimental
model. Intensive Care Med 2006, 32(11):1863-71.
62. Grasso S, Mascia L, Del Turco M, Malacame O, Giunta F, Brochard L, Slutsky AS, Marco RV: Effects of recruiting maneuvers in patients with acute respiratory distress syndrome ventilated
with protective ventilatory strategy. Anesthesiology 2002, 96:795-802.
63. Marini JJ: Inverse ratio ventilation--simply an alternative, or something more? Crit Care Med 1995, 23(2):224-8.
64. Bein T, Kuhr LP, Bele S, Ploner F, Keyl C, Taeger K: Lung recruitment maneuver in patients with cerebral injury: effects on intracranial pressure and cerebral metabolism. Intensive Care Med
2002, 28(5):554-8.
65. Moran I, Zavala E, Fernandez R, Blanch L, Mancebo J: Recruitment manoeuvres in acute lung injury/acute respiratory distress syndrome. The European respiratory journal Supplement
2003, 42:37s-42s.
912
LAPORAN KASUS
ABSTRACT
Acute limb ischaemia (ALI) is defined as a sudden decrease in limb perfusion that threatens the viability of the limb. Physical findings may
include absence of pulse distal to the occlusion, cold and pale or mottled skin, reduced sensation, decreased strength and may be associated
with ischemic stroke and myocardial infarction. A 41-year-old male came to emergency room (ER) with necrosis in the left and right legs and
feet. Patient was diagnosed with acute limb ischaemia. Duplex sonography femoralis, angiojet and percutaneous intra arterial thrombolysis
were done 2 days after the first symptoms. The patient was amputated on both legs and the patient recovered.
Key words: acute limb ischaemia, necrotic, amputation
ABSTRAK
Acute limb ischaemia (ALI) adalah penurunan mendadak perfusi ekstremitas yang mengancam viabilitas ekstremitas tersebut. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan hilangnya denyut nadi bagian distal oklusi, dingin dan pucat atau kulit berbercak-bercak, penurunan respons sensorik, penurunan
kekuatan dan dihubungkan dengan stroke iskemik dan infark miokard. Laki-laki 41 tahun datang ke ruang unit gawat darurat dengan nekrosis
paha kiri dan kanan dan kaki kiri dan kanan. Pasien pernah berobat dan didiagnosis sebagai ALI. Pemeriksaan duplex sonografi, angiojet dan
trombolisis intraarterial perkutan dilakukan 2 hari setelah gejala. Amputasi dilakukan pada kedua tungkai dan pasien dapat diselamatkan.
Edwin Nugroho Njoto. Acute Limb Ischemia: Laporan Kasus.
Kata kunci: acute limb ischaemia, nekrosis, amputasi
INTRODUCTION
The incidence of acute limb ischaemia (ALI) is
approximately 1,5 cases per 10.000-person per
year. Causes of ALI include acute thrombosis of
a limb artery or bypass graft, embolism from
the heart or a diseased artery, dissection, and
trauma (severing of an artery or thrombosis). The
clinical presentation is considered to be acute if
occurs within 2 weeks. The rapid onset of limb
ischaemia results from a sudden cessation of
blood supply and nutrients to metabolic active
tissues of the limb, including skin, muscle, and
nerves.1,2 Atherosclerosis-induced acute limb
ischaemia may threat viability of limbs as it may
cause necrosis.1 We report a case of acute limb
ischaemia with necrosis.
CASE PRESENTATION
A 41-year-old male came to ER with swelling and
pain in both calves and legs since 10 days before
admission. Stabbing pain was felt in the upper
tip of the calves upon walking and relieved
with rest. Initially the pain was only felt like a
*) Tulisan ini dipresentasikan pada 6th ISILAM INA LIVE, 1
Desember 2013, di ........
Alamat korespondensi
Thrombus
Thrombus
severe stenosis
NO FLOW
Figure 1
Figure 2
email: dpramudhito@yahoo.com
913
LAPORAN KASUS
3. Right superficial femoral artery, poplitea
artery, posterior-anterior tibialis artery
occlusion.
4. Left iliaca artery, communis femoralis
artery, poplitea artery, posterior-anterior
tibialis artery occlusion.
moderate stenosis
No flow
No flow
Severe stenosis
Severe stenosis
No flow
No flow
No flow
Femoral artery
Popliteal artery
arteyartery
posterior tibial artery
anterior tibial artery
Figure 3 a-d
914
DISCUSSION
Acute limb ischaemia (ALI) deserves special
attention because: First, despite urgent
revascularization with thrombolytic agents
or surgery, amputation occurs in 10 to 15%
patients during hospitalization, mostly above
knee.2 Second, death and complication rates
are high; approximately 15 to 20% patients die
within 1 year, often from coexist predisposing
conditions. Two years after a below-knee
LAPORAN KASUS
amputation, 30% died, 15% have an aboveknee amputation, 15% have a contralateral
amputation, and only 40% have full mobility2.
Third, since atherosclerosis is a systemic
disease, other diseases such as coronary
artery disease and cerebrovascular disease
can develop.2
ALI was diagnosed in this patient based on:
1. Symptoms of swelling and stabbing
pain in both calves and legs while walking
and relieved when resting since 10 days
before admission. Edinburgh claudication
questionnaire shows positive claudication.
The questionnaire is a standardized method
to screen and diagnose intermittent
claudication with 80-90% sensitivity and
>95% specificity2,3.
2. Risk factors : heavy smoking (> 24
cigarettes/day), obese (BMI: 34,60 kg/m2),
family history of cardiovascular disease.
3. Duplex sonography femoralis resulted:
a. Occlusion in the left illiaca artery with
positive collateral in the communis femoralis
artery.
b. Occlusion from left superficialis femoral
artery until left posterior-anterior tibialis
artery.
c. Occlusion in poplitea artery until distal
right anterior tibialis artery with positive
collateral on right posterior tibialis artery.
d. Deep vein thrombosis wasnt found in
both legs.
ALI is classified into 4 stage (Table 1).
Table 1 Clinical category of ALI
915
LAPORAN KASUS
perindopril 5 mg tablet once daily, micronized
purified flavonoid fraction 500 mg tablet three
times a day, paracetamol 500 mg three times
a day, mefenamic acid 500 mg tablet three
times a day, cefadroxil 500 mg tablet three
times a day.
Perindopril was given because to cardiovascular
events by 25% in patients with symptomatic
REFERENCES
1.
Creager MA, Kaufman JA, Conte MS. Acute Limb Ischemia N Engl J Med 2012;366:2198-206.
2.
ESC Guideline on the diagnosis and treatment of peripheral artery disease. Europ. Heart J. 2011; 32: 2851-906.
3.
Leng G, Fowkes F. The Edinburgh claudication questionnaire: an improved version of the WHO/Rose questionnaire for use in epidemiological surveys. J Clin Epidemiol 1992; 45: 1101-9.
4.
www.ucsfcme.com (homepage on the internet). New York: UCSF Office of Continuing Medical Education. Available from www.ucsfcme.com/2012/slides/MEM12001/1.Lin.ALI.pdf
(Accessed September 21th 2013).
5.
Morison HL. Catheter-directed thrombolysis for acute limb ischemic. Semin Intervent Radiol. 2006; 23(3): 258-69.
6.
Lee MS, Singh V, Wilentz JR, Makkar R. Angiojet thrombectomy. J Invasive Cardiol 2004; 16(10): 587-91.
7.
Sharma SK. Role of Angiojet Rheolytic thrombectomy catheter:Mount Sinai Hospital experience. J Invasive Cardiol 2010; 22(10) Suppl.
8.
Kashyap VS, Gilani R, Bena JF, Bannazadeh M, Sarah TP. Endovascular therapy for acute limb ischemic. J. Vascular Surg 2011: 53 (2): 340-6.
9.
Chambers HF. Antibiotik beta-laktam dan antibiotik lain yang aktif di dinding dan membran sel. In: Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinis. Jakarta 2010: EGC p.756-60.
10. Furst DE, Urich RW.Obat anti-inflamasi nonsteroid; obat antireumatik pemodifikasi penyakit, analgesik non opioid, dan obat yang digunakan pada gout. In: Katzung BG. Farmakologi dasar
dan klinis. Jakarta 2010: EGC p.589-98.
11. Katsenis K. Micronized purified flavonoid fraction (MPFF): a review of its pharmacological effects, therapeutic efficacy and benefits in the management of chronic venous insufficiency.
Curr Vasc Pharmacol 2005; 3(1): 1-9.
12. Shinohara Y, et al. Cilostazol for prevention of secondary stroke (CSPS2): an aspirin-controlled, double blind, randomized non-inferiority trial. Lancet Neurol 2010; 9 (10): 959-68.
13. Paramita D, Hindariati E. Peran Calcium Channel Blocker pada hipertensi. In: Pikir BS, et al. Hipertensi manajemen komprehensif. Surabaya : AUP, 2011. pp.252-70.
14. www.wikipedia.org (updated 2013 April). Available from: http://en.m.wikipedia.org/wiki/gentamicin.
15. Faujiah R, Lefi A. Peran Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) pada hipertensi. In: Pikir B. S., et al. Hipertensi manajemen komprehensif. Surabaya : AUP, 2011. pp.203-17.
916
BERITA TERKINI
Fibrinolisis
PCI
Angka kematian
12,4%
14,3%
0,21
Perdarahan intracranial
1%
0,2%
0,04
Nilai P
REFERENSI:
1.
TNKase official FDA informations, side effects and uses [Internet]. 2011 [cited 2013 Apr 10]. Available from: www.drugs.com/pro/tnkase.html?printable=1.
2.
Steg PG, James SK, Atar D, et al. ESC guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation. Eur Heart J 2012;33:2569-619.
3.
O'Gara PT, Kushner FG, Ascheim DD, et al. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction: a report of the American College of Cardiology Foundation/
American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. J Am Coll Cardiol 2013;61:e78-e140.
4.
Armstrong PW, Gershlick AH, Goldstein P, Wilcox R, Danays T, Lambert Y, Sulimov V, et al. Fibrinolysis or Primary PCI in ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. N Engl J Med. 2013 Mar
10. [Epub ahead of print].
917
BERITA TERKINI
REFERENSI:
1.
Struijs MC, Schaible T, van Elburg RM, Debauche C, Te Beest H, Tibboel D. Efficacy and safety of a parenteral amino acid solution containing
solution in infants: A first-in-man randomized double-blind trial. Clin Nutr. 2012. DOI: 10.1016/j.clnu.2012.09.001.
2.
3.
Chesney RW, Helms RA, Christensen M, Budreau AM, Han X, Sturman JA. The role of taurine in infant nutrition. Adv Exp Med Biol. 1998;442:463-76.
Albers MJ, Steyerberg EW, Hazebroek FW, Mourik M, Borsboom GJ, Rietveld T, et al. Glutamine supplementation of parenteral nutrition does not improve intestinal permeability, nitrogen
balance, or outcome in newborns and infants undergoing digestive-tract surgery: results from a double-blind, randomized, controlled trial. Ann Surg. 2005;241(4):599-606.
918
BERITA TERKINI
REFERENSI:
1.
World Health Organization. Pneumococcal conjugate vaccines [Internet]. 2013 [cited 2013 Oct 17]. Available from: http://www.who.int/biologicals/areas/vaccines/pneumo/en/.
2.
Ruiz-Aragn J, Pelez SM, Molina-Linde JM, Grande-Tejada AM. Safety and immunogenicity of 13-valent pneumococcal conjugate vaccine in infants: A meta-analysis. Vaccine.
2013;pii:S0264-410X(13)01235-8.
919
BERITA TERKINI
Namun,
studi
sebelumnya
yang
membandingkan
sevoflurane
dengan
isoflurane pada 20 wanita dengan
pembedahan pelvis laparoskopik untuk kista
ovarium jinak menunjukkan bahwa sevoflurane
menghasilkan respons metabolisme dan imun
yang lebih baik pada bedah laparoskopik stres
rendah. (EKM)
REFERENSI:
1.
Marana E, Russo A, Colicci S, Polidori L, Bevilacqua F, Viviani D, et al. Desflurane versus sevoflurane: a comparison on stress response. Minerva Anestesiol. 2013;79(1):7-14.
2.
Marana E, Annetta MG, Meo F, Parpaglioni R, Galeone M, Maussier ML, et al. Sevoflurane improves the neuroendocrine stress response during laparoscopic pelvic surgery. Can J Anaesth.
2003;50(4):348-54.
920
BERITA TERKINI
REFERENSI:
1.
Gamba CA, Swetter SM, Stefanick ML, Kubo J, Desai M, Spaunhurst KM, et al. Aspirin is associated with lower melanoma risk among postmenopausal Caucasian women. Article first
published online: 11 MAR 2013. DOI: 10.1002/cncr.27817.
2.
Jacobs EJ, Thun MJ, Bain EB, Rodriguez C, Henley SJ, Calle EE. A Large Cohort Study of long-term daily use of adult-strength aspirin and cancer incidence. J Natl Cancer Inst 2007;99:
60815.
3.
Lowry F. Aspirin May Reduce Melanoma Risk. [Internet]. [cited 2013 Mar 21]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/780647.
4.
Thun MJ , Henley SJ , Patrono C . Nonsteroidal anti-infl ammatory drugs as anticancer agents: mechanistic, pharmacologic, and clinical issues . J Natl Cancer Inst 2002 ; 94: 25266.
921
BERITA TERKINI
REFERENSI:
1.
Mehrabi S, Mousavi Zadeh A, Akbartabar Toori M, Mehrabi F. General versus spinal anesthesia in percutaneous nephrolithotomy. Urol J. 2013;10(1):756-61.
2.
Gonano C, Leitgeb U, Sitzwohl C, Ihra G, Weinstabl C, Kettner SC. Spinal versus general anesthesia for orthopedic surgery: Anesthesia drug and supply costs. Anesth Analg.
2006;102(2):524-9.
3.
922
Rozentsveig V, Neulander EZ, Roussabrov E, Schwartz A, Lismer L, Gurevich B, et al. Anesthetic considerations during percutaneous nephrolithotomy. J Clin Anesth. 2007;19(5):351-5.
BERITA TERKINI
REFERENSI:
1.
ACE Inhibitor Can Limit Radiation Damage To Lungs And Heart For Cancer Patients [Internet] 2013 [cited on April 24th 2013]. Available from: http://www.medicalnewstoday.com/
2.
Commonly Used Drug Can Limit Radiation Damage to Lungs and Heart for Cancer Patients. [Internet] 2013 [cited on April 24th 2013]. Available from: http://www.sciencedaily.com/
releases/259428.php
releases/2013/04/130421074513.htm
924
BERITA TERKINI
Penyegar kulit
REFERENSI:
1.
What does a skin toner do? [Internet]. 2013 [cited 2013 Mar 26]. Available from: http://www.md-health.com/What-Does-Toner-Do-For-Your-Face.html
2.
Difference between toner and astringent [Internet]. 2013 [cited 2013 Mar 26]. Available from: http://www.healthguidance.org/entry/12322/1/Difference-Between-Toner-and-Astringent.
3.
Romualdez V. Difference between toner & astringent [Internet]. 2013 [cited 2013 Mar 26]. Available from: http://www.ehow.com/about_5566818_difference-between-toner-
4.
Jenkins J. How to use an astringent skin toner in your skin care routine [Internet]. 2006 [cited 2013 Mar 26]. Available from: http://ezinearticles.com/?How-to-Use-an-Astringent-Skin-
html
astringent.html
Toner-in-Your-Skin-Care-Routine&id=360826
925
BERITA TERKINI
REFERENSI:
1.
Rowe VL. Peripheral Arterial Occlusive Disease. Medscape Reference [Internet]. 2011 [cited 2013 Mar 26]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/460178overview#a0104
2.
Cilostazol Official FDA information, side effects and uses [Internet]. 2013 [cited 2013 Mar 26]. Available from: www.drugs.com/pro/cilostazol.html
3.
Nainggolan L. EMA recommends restricting cilostazol use for PAD. Heartwire [Internet]. 2013 [cited 2013 Mar 26]. Available from: http://click.newsletter.theheart.org/?qs=afba4c6492204
8cb14185e7852e106c46dc336d475f0f37c7c53925362cf33962f48ba545e6f6e75
926
BERITA TERKINI
REFERENSI:
1.
2.
Henderson D. Steroids added to TB Tteatment may reduce mortality. Medscape [Internet] 2013 [Cited 2013 March 25]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/780861
Critchley JA, Young F, Orton L, Garner P. Corticosteroids for prevention of mortality in people with tuberculosis: a systematic review and meta-analysis. Lancet Infect Dis. 2013;13:186-188,
223-237.
923
BERITA TERKINI
927
BERITA TERKINI
terhadap mikrosirkulasi, reaksi inflamasi,
dan barier usus. 120 pasien dengan SAP
secara acak dibagi menjadi 3 kelompok pada
fase awal resusitasi dan diberikan normal
saline (Kelompok NS), atau kombinasi NS +
HES (Kelompok SH), atau kombinasi NS +
HES + glutamine (Kelompok SHG). Cairan
resusitasi rerata yang diberikan adalah 1 L,
tergantung pencapaian hemodinamik yang
diinginkan. Pada kelompok SH dan SHG,
cairan kristaloid dan koloid diberikan dengan
ratio perbandingan 3:1, dan glutamine 20%
dengan dosis 100 mL/hari pada kelompok
SHG.
harapan
hidup,
bersamaan
dengan
penggunaan antibiotik pada kasus sepsis.
Selain itu, penggunaan glutamine sebagai
suplementasi nutrisi menunjukkan efektivitas
dalam melindungi barier usus, akan tetapi
penggunaan glutamine pada fase awal
resusitasi cairan pada SAP masih belum
diketahui jelas.
REFERENSI:
1.
Zhao G, Zhang JG, Wu HS, Tao J, Qin Q, Deng SC,, et al. Effects of different resuscitation fluid on severe acute pancreatitis. World J Gastroenterol. 2013;19(13):2044-52.
2.
Eckerwall G, Olin H, Andersson B, Andersson R. Fluid resuscitation and nutritional support during severe acute pancreatitis in the past: What have we learned and how can we do better?.
Clin Nutr. 2006;25(3):497-504.
3.
928
Sahin H, Mercanligil SM, Inan N, Ok E. Effects of glutamine-enriched total parenteral nutrition on acute pancreatitis. Eur J Clin Nutr. 2007;61(12):1429-34.
BERITA TERKINI
-fluorouracil
(5-FU)
merupakan
kemoterapi yang aktif terhadap sel pada
fase S, bekerja menghambat enzim
thymidylate synthase, enzim yang berperan
dalam sintesis DNA. Waktu paruh eliminasi
plasma obat ini relatif pendek yaitu sekitar 11
menit. Oleh karena itu, diberikan infus kontinu
5-FU (biasanya 24 jam atau 48 jam). Pada
kanker kolon stadium III, terapi adjuvan selama
6 bulan diberikan setelah pembedahan. Salah
satu terapi jika oxaliplatin dikontraindikasikan
adalah 5-FU/leucovorin.
Anemia
1,1
0,7
Nilai p
n/a
Leukopenia
6,9
2,1
< 0,05
Trombositopenia
0,8
0,6
n/a
Diare
16,1
14,5
n/a
Stomatitis
9,7
3,1
< 0,05
Hand-foot syndrome
0,4
4,2
< 0,05
REFERENSI:
1.
Kohne CH, Bedenne L, Carrato A, Bouche O, Popov I, Gaspa L, et al. A randomised phase III intergroup trial comparing high-dose infusional 5-fluorouracil with or without folinic acid with
standard bolus 5-fluorouracil/folinic acid in the adjuvant treatment of stage III colon cancer: The Pan-European Trial in Adjuvant Colon Cancer 2 study. Eur J Cancer 2013 doi: 10.1016/j.
ejca.2013.01.030.
2.
NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology. Colon cancer. Version 3.2013. Available from: www.nccn.org.
929
TEKNIK
ABSTRAK
Blok saraf perifer merupakan suatu teknik anestesi yang cocok untuk operasi superfisial pada ekstremitas. Selain untuk anestesi, teknik ini dapat
digunakan untuk analgesia setelah operasi dan tatalaksana nyeri kronik. Keberhasilan anestesi perifer ditentukan berdasarkan posisi ujung
jarum yang tepat di selubung perineural. Saat ini digunakan berbagai macam teknik blok saraf perifer.
Kata kunci: teknik, anestesi, blok saraf
ABSTRACT
Peripheral nerve block is one of anesthetic technique which is suitable for superficial procedures in limbs. This technique can also be used for
postoperative analgesia and treatment of chronic pain. Its effectiveness depends on the right position of needle tip in perineural sheath. Various
peripheral nerve block techniques are commonly used. Hendry Irawan. Peripheral Nerve Block
Key words: technique, anesthesia, nerve block
PENDAHULUAN
Blok saraf perifer merupakan teknik anestesi
yang cocok untuk operasi superfisial pada
ekstremitas. Keuntungan blok saraf perifer
adalah tidak menganggu kesadaran dan refleks
saluran napas atas. Teknik ini menguntungkan
bagi pasien penyakit pulmoner kronik,
gangguan jantung berat, atau gangguan
fungsi ginjal. Akan tetapi pencapaian efek
anestetik yang adekuat pada teknik ini
kurang dapat diprediksi sehingga dapat
mempengaruhi jalannya operasi. Keberhasilan
teknik blok ini sangat dipengaruhi oleh
keterampilan petugas/dokternya. Pasien juga
harus kooperatif untuk mendapatkan hasil
blok saraf perifer yang efektif.1
Blok saraf perifer selain untuk anestesi, dapat
digunakan untuk analgesia setelah operasi
dan tatalaksana nyeri kronik. Pada saat
evaluasi preoperatif perlu diperiksa dengan
teliti adanya infeksi kulit di lokasi blok, selain
itu perlu memastikan fungsi koagulasi yang
normal.
PERSIAPAN
Pasien dievaluasi seperti halnya teknik
anestesi lainnya dan pemberian obat berguna
untuk mengurangi rasa sakit selama jarum
dimasukkan untuk melakukan blok saraf
perifer. Ruang tempat melakukan blok harus
Alamat korespondensi
930
email: yusuf_pluss@yahoo.com
TEKNIK
pasien
memberontak),
kecenderungan
perdarahan (antikoagulan, hemofilia, dan
koagulasi intravaskular diseminata), infeksi
di lokasi blok, toksisitas anestesi lokal, dan
neuropati perifer.2
TEKNIK
Blok Pleksus Servikalis
Pleksus ini dibentuk oleh empat saraf servikal
pertama. Kepala pasien dimiringkan ke
sisi berlawanan sehingga pleksus servikal
superfisial dapat diblok dengan infiltrasi
obat anestesi lokal sedalam muskulus
platysma dan di titik tengah dari batas lateral
posterior muskulus sternokleidomastoideus.
931
TEKNIK
kulit hingga tercapai respon motorik. Pleksus
brakialis berada di atas arteri aksilaris. Setelah
teridentifikasi, kecilkan stimulasi < 0,5 mA
dan repson motorik berkurang, lalu aspirasi,
jika tidak ada darah maka masukkan 30-40
ml anestesi lokal. Adanya aktivitas nervus
muskulokutaneus (kontraksi bisep atau
brakialis) menandakan blok tidak sempurna,
karena nervus muskulokutaneus dapat
bercabang lebih awal dari pleksus brakialis.1,2
Gambar 4 Blok interskalene2,4
932
Blok Supraklavikular
Keuntungan blok ini adalah dapat dilakukan
pada berbagai posisi lengan. Blok ini dapat
dilakukan dengan cara pasien berbaring
telentang, lengan ipsilateral blok di sisi
samping, dan leher mengarah ke sisi
berlawanan. Jarum dimasukkan di sisi lateral
muskulus sternokleidomastoideus yang
berbatasan dengan klavikula dari anterior ke
posterior hingga menemukan trunkus pleksus
brakialis yang berada di antara muskulus
skalene anterior dan media dan berada di
atas arteri subklavia. Blok dilakukan dengan
25-40 ml anestesi lokal. Komplikasi tersering
blok ini adalah pneumotoraks dengan gejala
batuk, dispnea, dan nyeri dada. Paralisis
nervus phrenikus dapat terjadi (50% tindakan)
meskipun tidak menunjukkan gejala klinis
bermakna, oleh karena itu blok supraklavikular
bilateral tidak direkomendasikan, terutama
pada pasien penyakit paru obstruktif kronik.1,2
Blok Aksilaris
Blok ini dapat digunakan untuk anestesi
tangan, lengan, dan bahu. Pasien posisi
berbaring, lengan abduksi 90, rotasi eksternal,
dan siku fleksi 90. Identifikasi arteri aksilaris
dan muskulus coracobrachialis, lalu tusukkan
jarum paralel di celah dua marker tersebut, di
atas arteri aksilaris ke arah proksimal dengan
sudut 30-40 dari kulit, kedalaman jarum kirakira 2,5-3,75 cm. Risiko blok ini jika jarum terlalu
dalam akan mengenai arteri aksilaris, tarik
jarum perlahan hingga darah tidak teraspirasi
lagi. Hal ini menunjukkan bahwa posisi jarum
berada superfisial dari arteri aksilaris dan
masih berada di dalam selubung saraf, lalu
masukkan larutan anestesi lokal.1,2,4
Blok Infraklavikular
Blok ini dilakukan dengan posisi lengan
bebas; lengan abduksi dapat mempermudah
menentukan lokasi anatomi dan menggunakan
marker prosesus coracoid. Lokasi blok 2 cm
medial dari prosesus coracoid lalu 2 cm
kaudal, jarum 18-22G dimasukkan tegak lurus
TEKNIK
Blok Saraf Interkostal
Blok ini dapat dilakukan dalam berbagai posisi,
akan tetapi lebih optimal dalam posisi pronasi.
Masing-masing kostae yang akan diblok,
dipalpasi terlebih dahulu, dan diberi tanda 5-7
cm dari midline punggung. Kostae 6 hingga
11 dapat mudah dipalpasi, sedangkan kostae
di atasnya terhalang skapula dan muskulus
paraspinous. Jarum ditusukkan dengan sudut
80 hingga mengenai kostae, lalu jarum
diarahkan ke kaudal sehingga berada di sisi
inferior kostae. Kedalaman jarum 3-5 mm dan
diberikan 3-5 ml anestetik lokal.1,2
933
TEKNIK
Blok Saraf Ekstremitas Inferior
Ekstremitas bawah dipersarafi oleh pleksus
lumbal dan sakral yang berdistribusi luas
ketika memasuki daerah femoral. Oleh karena
itu pada operasi ekstremitas bawah perlu
dilakukan beberapa blok saraf perifer.1,2,4
Blok Saraf Femoral
Blok ini mempengaruhi bagian anterior
dan medial tungkai atas. Ligamen inguinal
diidentifikasi lalu membuat garis antara
spina iliaka anterior superior dan tuberkel
pubis. Di pertengahan garis tersebut arteri
femoralis diidentifikasi dengan palpasi, lokasi
penusukan tegak lurus kulit di 2 cm lateral
dari arteri femoralis dan 2 cm distal dari garis
ligamen inguinal dengan kedalaman 2-3 cm.
Identifikasi kontraksi muskulus kuadriseps
atau patellar snap, lalu turunkan < 0,5 mA, lalu
injeksi 20-30 ml anestetik lokal.1,2
934
TEKNIK
DAFTAR PUSTAKA
1.
Stoelting RK, Miller RD. Basics of Anesthesia, 5th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2007.
2.
Morgan GE Jr., Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology, 4th ed. USA: McGraw-Hill Co.; 2006.
3.
Buckenmaier III C, Bleckner L. Military Advanced Regional Anesthesia and Analgesia Handbook. Washington: Borden Institute Walter Reed Army Medical Center; 2008.
4.
Meier G, Bttner J. Regional Anesthesi: Pocket Compendium of Peripheral Nerve Blocks [English version revised by Selander D]. Munich: Arcis Publ. Co.; 2004.
935
OPINI
ABSTRAK
Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif yang paling sering ditemukan dan mengganggu kualitas hidup. Banyak penelitian
dilakukan untuk mencari terapi yang paling efektif, aman, dan bahkan mampu mengembalikan proses degenerasi pada OA. Di Indonesia, telah
banyak dokter meresepkan glucosamine sulfate, chondroitin sulfate, dan MSM yang dipercaya dapat memperlambat progresifitas perubahan
struktur anatomis sendi pada osteartritis walau masih banyak kontroversi mengenai efektivitasnya. Harga obat membuat pasien atau konsumen
menghabiskan biaya pengobatan cukup besar dan membebani biaya asuransi kesehatan.
Kata kunci: glukosamin sulfat, kondroitin sulfat, metilsulfonilmetana (MSM), osteoarthritis (OA)
ABSTRACT
Osteoarthritis (OA) is the most often degenerative disease found and impaired quality of life. Many experiments have been conducted to find
most effective, safe therapy and can recover the degenerative process in OA. In Indonesia, many medical doctors prescribed glucosamine sulfate,
chondroitin sulfate, dan MSM though there are still controversies regarding their effectiveness. The price of the drugs made additional burden
to patient, family and health care insurance. Cynantya Kardiman. The Benefits of Glucosamine, Chondroitin, and Methylsulfonylmethane
in Osteoarthritis.
Keywords : chondroitin sulfate, glucosamine sulfate, methylsulfonylmethane (MSM), osteoarthritis (OA)
PENDAHULUAN
Osteoartritis (OA) adalah suatu penyakit sendi
degeneratif yang paling sering ditemukan;
prevalensinya meningkat dramatis dengan
bertambahnya harapan hidup masyarakat.1
Meskipun tidak menyebabkan kematian,
OA merupakan penyakit yang dapat
mengganggu kualitas hidup, baik dalam
bekerja maupun dalam melakukan kegiatan
sehari-hari. Oleh karena itu, banyak sekali
penelitian dilakukan untuk mencari terapi
yang paling efektif, aman, dan bahkan
mampu mengembalikan proses degenerasi
pada OA.2
Glukosamin,
kondroitin
sulfat,
dan
Metilsulfonilmetana (MSM) termasuk suplemen
diet paling laris di Amerika Serikat dengan
angka penjualan mencapai sekitar $810 juta
pada 2005.2 Glukosamin sulfat, kondroitin sulfat,
dan MSM dipercaya dapat memperlambat
progresivitas perubahan struktur anatomis
sendi pada osteartritis lutut dan mengkontrol
Alamat korespondensi
936
email: yusuf_pluss@yahoo.com
OPINI
Karena terapi medis OA hanya memiliki efisiensi
sedang, dan merupakan terapi jangka pendek
untuk pain control, pengembangan obat-obat
lain yang dapat mengatasi nyeri dalam jangka
panjang dan memperbaiki kerusakan tulang
rawan sendi akibat hilangnya tulang rawan
hialin pada OA dewasa ini menarik dilakukan1.
Obat-obat terapi OA diklasifikasikan menjadi
symptom-modifying dan structure-modifying.
Sampai saat ini belum ada obat yang terbukti
structure-modifying dalam penyakit OA,
namun penelitian terus dilakukan untuk
mencari senyawa yang dapat memiliki efek
lain selain mengatasi nyeri. Senyawa ini dalam
pemakaian jangka panjang diharapkan dapat
memiliki efek lain yang lebih menguntungkan
daripada NSAID dalam mengatasi kerusakan
struktur sendi, berlawanan dengan efek NSAID
yang dapat meningkatkan progresi kerusakan
sendi.5
Glukosamin
Glukosamin
(2-amino-2-deoxi--d-glukopiranosa), merupakan zat yang normal
ditemukan di matriks tulang rawan sendi dan
cairan sendi manusia. Glukosamin merupakan
prekusor utama untuk biosintesis berbagai
makromolekul seperti asam hialuronat,
proteoglikan, glikosaminoglikan (GAGs),
glikolipid, dan glikoprotein. Glukosamin
terdapat di hampir semua jaringan lunak
dalam tubuh manusia, konsentrasi tertinggi
di tulang rawan.1
Pada kartilago sehat, glikosaminoglikan
memiliki muatan negatif sehingga dapat
mengikat molekul air (H2O). Dengan
berjalannya usia yang menyebabkan proses
degenerasi, rantai samping glikosaminoglikan
berkurang, menghilangkan kemampuan
tulang rawan untuk mengikat air, yang pada
akhirnya mengganggu hidrasi tulang rawan
tersebut.6
Gambar 2 Struktur kimia dari (A) Glukosamin HCl, (B) Glukosamin sulfat, (C) Glukosamin sulfat- natrium klorida kopresipitat.1
937
OPINI
sulfat dihidrolisis menjadi monosakarida di
saluran cerna, hanya sejumlah kecil dari di-,
oligo-, dan polisakarida yang dapat melewati
proses pencernaan di usus dan diserap ke
dalam aliran darah dan sendi.8-10
Mekanisme kerja kondroitin sulfat adalah
dengan meningkatkan konsentrasi GAG
sendi dan meningkatkan viskositas cairan
sendi. Penyembuhan struktur sendi dan
pengembalian fungsi merupakan akibat dari:
(1) peningkatan sintesis asam hialuronat
endogen dan glikosaminoglikan sulfat
dari kondroitin sulfat, dan (2) berkurangnya
pemecahan glikosaminoglikan sendi akibat
menurunnya aktivitas collagenolitic dan
inhibisi enzim seperti phospholipase A2
dan N-asetilglukosamineidase; kedua enzim
tersebut memiliki kemampuan mendegradasi
glikosaminoglikan yang ada di sendi.10
Methylsufonylmethane
Methylsulfonylmethane (MSM) merupakan
bentuk teroksidasi dari dimetil-sulfoksida
(DSMO), yang merupakan sebuah sediaan
organik sulfur. MSM memiliki sifat analgetik,
memblokir proses inflamasi dan meningkatkan
aktivitas kortisol, sebuah hormon anti
inflamasi yang secara alamiah dibentuk di
dalam tubuh. MSM telah diteliti untuk dapat
menggantikan sulfur yang hilang pada proses
artritis. Kadar sulfur pada tulang rawan yang
mengalami artritis adalah sepertiga dari kadar
sulfur tulang rawan normal. Dosis optimal
MSM tidak diketahui, tetapi dosis 1-2 gram
dalam dua dosis sehari adalah dosis yang
direkomendasikan.11
DISKUSI
Beberapa penelitian klinis yang menyelidiki
terapi glukosamin untuk OA, menggunakan
preparat
glukosamin
sulfat
produksi
perusahaan farmasi, cenderung menghasilkan
efek positif glukosamin terhadap OA, tetapi
simpulan ini cenderung ditolak karena jumlah
sampel terlalu sedikit, randomisasi tidak
adekuat, tidak ada prinsip intention to treat,
dan bias akibat dipengaruhi sponsor. Dua
uji klinis skala besar pernah dilakukan untuk
menilai fungsi glukosamin sulfat terhadap
gejala dan perubahan radiologis OA.
Penelitian pertama mengevaluasi 212 pasien
OA lutut selama 3 tahun secara acak, salah
satu grup menerima 1500 mg glukosamin
sulfat, dan grup lainnya plasebo.7 Penelitian ini
938
OPINI
yang sama tidak menghasilkan perbaikan
skor WOMAC maupun fungsi sendi jika
dibandingkan dengan plasebo. Meskipun
grup glukosamin dan celecoxib menunjukan
angka perbaikan nyeri dan fungsi yang lebih
baik, namun tidak bermakna secara klinis. 1
Efektivitas kondroitin sulfat dibandingkan
plasebo untuk penatalaksanaan nyeri
osteoartritis telah banyak dilaporkan oleh
sejumlah penelitian kecil, tetapi hasilnya
bervariasi.
Beberapa
tahun
terakhir,
penelitian skala besar telah menemukan
bahwa kondroitin tidak memiliki, atau hanya
memiliki sedikit efek terhadap tingkat
nyeri OA. GAIT merupakan penelitian yang
di disusun terutama untuk menilai efek
kondroitin dan glukosamin pada OA lutut
yang memiliki gejala. Penelitian ini gagal
menemukan perbedaan signifikan antara
subyek yang diberi kondroitin dengan subyek
yang diberi plasebo. 3
Reichenbach dkk membuat sebuah meta-
DAFTAR PUSTAKA
1.
Miller KL, Clegg DO. Glucosamine and chondroitin sulfate. Rheum Dis Clin N Am. 2011; 37:10318.
2.
Lawrence RC, Felson DT, Helmick CG, Arnold LM, Choi H, Deyo RA, et al. Estimates of the prevalence of arthritis and other rheumatic conditions in the United States. Part II. Arthritis Rheum.
3.
Clegg DO, Reda DJ, Harris CL, Klein MA, ODell JR, Hooper MM, et al. Glucosamine, chondroitin sulfate and the two in combination for painful knee osteoarthritis. N Engl J Med.
Reichenbach S, Sterchi R, Scherer M, Trelle S, Burgi E, Burgi U, et al. Meta-analysis: Chondroitin for Osteoarthritis of the Knee or Hip. Ann Intern Med. 2007;146:580-90.
5.
Reginster JY, Deroisy R, Rovati LC, Lee RL, Lejeune E, Bruyere O, et al. Long-term effects of glucosamine sulphate on osteoarthritis progression: a randomised, plasebo-controlled clinical
trial. Lancet. 2001;357:251-66.
6.
Dahmer M, Schiller RM. Glucosamine. American Family Physician Ann Intern Med. 2008;78:470-476.
7.
Towheed TE, Maxwell L, Judd MG. Acetaminophen for osteoarthritis. Cochrane Database Syst Rev.2006; 345-57.
8.
Persiani S, Roda E, Rovati LC, Locatelli M, Giacovelli G, Roda A. Glucosamine oral bioavailability and plasma pharmacokinetics after increasing doses of crystalline glucosamine sulfate in
man. Osteoarthritis Cartilage.2005;13:1041-46.
9.
Jackson CG, Plaas AH, Sandy JD. The human pharmacokinetics of oral ingestion of glucosamine and chondroitin sulfate taken separately or in combination. Osteoarthritis
Cartilage.2010;18:297-303.
939
INFO PRODUK
940
INFO PRODUK
pasien dialisis, yang umumnya sudah berada
dalam stadium penyakit ginjal kronis sangat
lanjut, anjuran asupan air adalah tidak lebih
dari 1500 mL per hari3. Biasanya, asupan air
untuk pasien penyakit ginjal kronis tahap
dialisis dihitung berdasarkan keluaran urine
per 24 jam terakhir, ditambah dengan 500
mL. Cairan tidak hanya diperhitungkan dari
air yang diminum, tetapi juga dari makanan
yang kandungan airnya tinggi.7
NEPRHISOL : Keunggulan sebagai
produk nutrisi untuk penyakit ginjal
kronis
Untuk memenuhi kebutuhan gizi pasien
penyakit ginjal kronis, dapat diberikan
makanan tambahan formula khusus yang
kandungannya telah disesuaikan dengan
gelas sehari.
Di samping kandungan protein yang sudah
disesuaikan dengan guideline; kandungan dan
rasio asam lemak, kandungan karbohidrat,
dan kandungan komponen nutrisi lainnya
juga telah disesuaikan dengan kebutuhan
pasien penyakit ginjal kronis. Dari aspek
sumber karbohidrat, produk Nephrisol
tidak menggunakan laktosa, melainkan
maltodextrin sehingga masih dapat diberikan
jika ada intoleransi laktosa.
Dengan kandungan kalori 260 kkal per sajian
(250 mL) dan osmolaritas sekitar 350-360
mOsmol/kg, Nephrisol dapat diberikan lewat
sonde, sekiranya pasien penyakit ginjal kronis
sulit makan lewat jalur oral. (HLM)
DAFTAR PUSTAKA
1.
National Kidney Foundation Kidney Disease Outcome Quality Initiative (K/DOQI). Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification, and stratification. Am J
Kidney Dis 2002; 39 (2 suppl 1): S18-S266.
2.
Arora P et al. Chronic Kidney Disease Treatment & Management [Internet]. 2013 [updated 2013 Aug 5, cited 2013 Aug 27]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/238798treatment.
3.
Kopple JD, Massry SG. Nutritional Management of Renal Disease. Pennsylvania, United States: Williams & Wilkins, 1997: 17.
4.
Kidney Health Australia. Nutrition and CKD - Some Basic Facts [Internet]. 2013 [updated 2013 Aug 26; cited 2013 Sep 13]. Available from: http://www.kidney.org.au/ForPatients/
Management/NutritionandCKD/tabid/705/Default.aspx.
5.
NKF/KDOQI Nutrition in Chronic Renal Failure Guideline. Am J Kidney Dis 2000; 35 (6): S58.
6.
Fouque D, Vennegoor M, Wee PT, Wanner C, Basci A, Canaud B et al. EBPG Guideline on Nutrition. Nephrol Dial Transplant 2007; 22 [Suppl 2]: ii45ii87.
7.
European Dialysis and Transplantation Nurses Association/European Renal Care Association (EDTNA/ERCA). European Guidelines for the Nutritional Care of Adult Renal Patients[Internet].
2002 [updated 2002 Oct 1; cited 2013 Sep 13]. Available from: http://www.eesc.europa.eu/self-and-coregulation/documents/codes/private/086-private-act.pdf.
941
AGENDA
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
942
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
INDEKS
INDEKS PENULIS
D
Didit Pramudhito
832
H
Hendry Irawan
815
M
Makhyan Jibril Al-Farabi
Maria A. Witjaksono
Meilina Imelda
807
866
827
N
Natalia Yuwono
820
S
Steffi Kurniawan
Stephani Dwiyanti Indrasari
Stevani Novita
827
868
820
943
INDEKS
INDEKS SUBJEK
A
ABR,
advanced glycation end product,
AGE,
anti-A717,
anti-AGE,
anti-KLH,
audiometri,
nada murni,
auditory brainstem response,
822-3
lihat AGE
807-12
807, 811, 811g, 812
807, 810, 811, 811g, 812
807, 811-2
821-2
821t, 822
lihat ABR
C
crossdressing,
827, 829-30
D
depresi,
gangguan,
diagnosis,
pada lansia,
mood,
diabetes melitus,
lihat GID
lihat GID
827-9
H
5-HIAA,
homovalinic acid,
hospis,
HVA,
5-hydroxyindolacetic,
816
lihat HVA
866-7
816
lihat 5-HIAA
I
ICAM-1,
intercellular adhesion molecule-1,
944
K
komplikasi diabetes,
kortikosteroid,
sistemik,
intratimpani,
M
malondialdehyde,
MDA,
3-methoxy-4-hydroxyphenyl glycol,
MHPG,
lihat MDA
807, 811g
lihat MHPG
816
N
norepinefrin,
816
P
penyakit periodontal,
868-9
S
serotonin,
SSNHL,
strangulasi penis,
sudden sensorineural hearing loss,
T
tes,
Weber,
Rinne,
timpanometri,
transeksualisme,
tuli mendadak,
V
vascular cell adhesion molecule-1,
VCAM-1,
816
lihat sudden sensorineural
hearing loss
832-3
lihat tuli mendadak
822, 822g, 823t
822, 822g
822, 822g
822
827, 829
820-2, 823, 823t, 824t,
825, 825t, 826
lihat VCAM-1
807-8, 809g, 811g