Anda di halaman 1dari 44

Vol. 2, No.

2 Desember 2018 e-ISSN: 2548-513X

JurnaL
Epidemiologi
Kesehatan
Indonesia
Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Infeksi HIV pada Pengguna Napza
Suntik (Penasun) DKI Jakarta Tahun 2013-2014
(Halaman 35-42)

Association Between Knowledge of Condom Functions and Condom Use among


Sexually-Active Unmarried Male Adolescents in Indonesia
(Halaman 43-48)

Faktor Risiko Kejadian Dehidrasi pada Petani Garam di Kecamatan Kaliori, Kabu-
paten Rembang
(Halaman 49-54)

The Relationship between Antenatal Care with Childbirth Complication in Indo-


nesian’s Mothers (Data Analysis of The Indonesia Demographic and Health Sur-
vey 2012)
(Halaman 55-64)

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kesuksesan Kesembuhan dari Pen-


gobatan Regimen Pendek (Short Treatment Regiment) pada Pasien Tuberkulosis
Resistensi Obat di Indonesia Tahun 2017
(Halaman 65-71)

Departemen Epidemiologi
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Indonesia
Volume 2 No 2, Desember 2018 ISSN 2548-513X

DAFTAR ISI

Ar tikel Penelitian Faktor Risik o yang Berhubungan Dengan Infeksi HIV pada Pengguna
Napza Suntik (Penasun) di DKI Jakarta Tahun 2013 -
2014.......................................................................................................... 32 - 42
Inggariwati, Sudarto Ronoatmodjo.

Association between Knowledge of Condom Functions and Condom Use


among Sexually-Active Unmarried Male Adolescents in
Indonesia................................................................................................ 43 - 48
Lhuri Dwianti Rahmartani, Asri Adisasmita.

Faktor Risik o Kejadian Dehidrasi pada Petani Garam di Kecamatan


Kaliori, Kabupaten Rembang................................................................ 49 - 54
Nur Fitriah, Henry Setyawan S, Mateus Sakundarno Adi, Ari Udiyono.

The Relationship between Antenatal Care with Childbirth Complication


in Indonesian’s Mothers (Data Analysis of The Indonesia Demographic
and Health Sur vey 2012).......................................................................55 - 64
Krisnawati Bantas, Nurul Aryastuti, Dwi Gayatri.

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Hasil Pengobatan Regimen


Pendek (Short Treatment Regiment) pada Pasien Tuberkulosis Resistensi
Obat di Indonesia Tahun 2017............................................................ 65 - 71
Rina Agustina, Rizka Maulida, Yovsyah.
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia

Volume 2 No 2, Desember 2018 ISSN 2548-513X

EDITORIAL TEAM Penanggung Jawab


Dr. dr. Tri Yunis Miko W, M.Sc (Ketua Departemen Epidemiologi, FKM UI)

Pemimpin Redaksi
dr. Yovsyah, M.Kes

Dewan Redaksi
Dr. dr. Krisnawati Bantas, M.Kes (Departemen Epidemiologi, FKM UI)
Dr. dr. Helda, M.Kes (Departemen Epidemiologi, FKM UI)
Putri Bungsu, SKM, M. Epid (Departemen Epidemiologi, FKM UI)

Pelaksana Manajemen Redaksi


Ira Candra Kirana, SKM

Sekretaris Manajemen Redaksi


Hariani Rafitha, SKM

Pengelola Web
Nico Kurnia Pratama, S.T
Eddy Afriansyah, SKom, M.Si

Diterbitkan oleh
Departemen Epidemiologi
Gd. A. Lt. 1, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Kampus Baru UI, Depok 16424
Telp. (021) 7884 9031, Hp. 081806030588
email: epidemiologi.departemen@gmail.com
website: http://journal.fkm.ui.ac.id/epid
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, syukur kepada Allah Yang Maha Esa, dengan izin-Nya maka Volume 2
Nomor 2 Tahun 2018, Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia yang dikelola oleh Departemen
Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia telah terbit. Terbitnya edisi
pertama dari jurnal ini menjadi bukti semakin ditingkatkannya apresiasi terhadap
pengembangan dan diseminasi (penyebar luasan) ilmiah dari bidang epidemiologi. Kami selaku
redaksi juga akan melakukan pembenahan dan perbaikan secara terus menerus agar jurnal
ini mendapatkan akreditasi nasional bahkan nantinya dapat diakui secara internasional. Pada
Volume 2 Nomor 2 Tahun 2018 ini,  Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia ini menghadirkan
sejumlah tulisan yang berisi isu-isu yang menarik dalam dunia kesehatan. Jurnal edisi kali ini
memuat 5 (lima) artikel.
Beberapa artikel dalam edisi pertama ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih
bagi perkembangan studi Epidemiologi, khususnya di Indonesia. Redaksi mengucapkan banyak
terima kasih kepada para kontributor yang telah mempercayakan artikelnya untuk
dipublikasikan pada Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia dalam edisi kali ini ydalam
menyusun dan merevisi artikel. Semoga jurnal ini bermanfaat untuk memperkaya kajian ilmiah
Epidemiologi. Redaksi juga mengharapkan masukan dan kiriman naskah-naskah akademik
serta tulisan ilmiah yang akan memperkaya khasanah ilmu Epidemiologi.
 
Depok, Desember 2018
 
 
Pemimpin Redaksi
PEDOMAN PENULISAN
Artikel yang disubmit ke Jurnal Epidemiologi Kesehatan Contoh Penulisan Referensi
Indonesia, harus mengikuti kriteria atau format penulisan dari jurnal A. Format Standar dengan Referensi Buku
ini. Artikel yang tidak mengikuti kriteria yang ada akan dikembalikan - Satu penulis atau editor
untuk diubah. Mason J. Concepts in dental public health. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2005.
Format Penulisan Ireland R, editor. Clinical textbook of dental hygiene and therapy.
A. Format Dokumen : .doc, .docx (File harus dapat diedit dan tidak Oxford: Blackwell Munksgaard; 2006.
terkunci atau merupakan file yang diproteksi). - Dua-enam penulis atau editor
B. Panjang Artikel : Maksimal ditulis dalam 7500 kata. Hanya Miles DA, Van Dis ML, Williamson GF, Jensen CW. Radiographic
diperbolehkan menambahkan 6 gambar/tabel/bagan. imaging for dental team. 4th ed. St. Louis: Saunders Elsevier; 2009
C. Font : Times New Roman, 12 pt, spasi baris 1.5 Dionne RA, Phero JC, Becker DE, editors. Management of Pain
D. Tata Letak Halaman : A4, satu kolom, menggunakan batas margin and anxiety in the dental off ice. Philadelphia: WB Saunders; 2002
3 cm. - Lebih dari enam penulis atau editor
E. Bahasa : Secara keseluruhan ditulis dalam Bahasa Indonesia. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson
Untuk penulisan judul dan abstrak menggunakan dua bahasa, JL, et al., editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th
Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. ed. Nwe York: McGraw Hill; 2008.
F. Singkatan : Singkatan ditetapkan sejak pertama dituliskan dalam - Organisasi sebagai penulis
teks. Tidak dianjurkan menggunakan singkatan non-standar Canadian Dental Hygienists Association. Dental Hygiene: Definition
kecuali singkatan tersebut dituliskan minimal 3 kali dalam teks. and Scope. Ottawa: Canadian Dental Hygienists Association; 1995.
Str uktur Manuskrip - Tidak ada penulis atau editor
Manuskrip meliputi nama penulis, abtrak dan kata kuncinya, Scott’s Canadian dental directory 2008. 9 th ed. Toronto: Scott’s
pendahuluan, metode, hasil, pembahasan, kesimpulan dan referensi. Directories; 2007.
A. Judul - Dokumen Pemerintahan
Judul dituliskan dalam dua bahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Canada. Environmental Health Directorate. Radiation Protection
Inggris, dengan menggunakan format Times New Roman, 16pt, in Dentistry: Recommended Safety Procedures for the use of
cetak tebal, spasi 1,5 dan tidak boleh lebih dari 20 kata. dental x-ray equipments. Safety Code 30. Ottawa: Ministry of
B. Nama Penulis Health; 2000.
Penulisan nama penulis berada satu spasi di bawah judul tanpa - Bab dalam buku
menggunakan gelar. Tuliskan pula afiliasi dari semua penulis yang Alexander RG. Considerations in creating a beautiful smile. In:
terdiri dari nama departemen, institusi, kota, provinsi, dan Romano R, editor. The Art of the Smile. London: Quintessence
negara. Tambahkan email dan nomer telepone untuk penulis Publishing; 2005. P. 187-210.
utama. - E-book (Buku elektronik)
C. Abstrak Irfan A. Protocols for predictable aesthetic dental restoration
Abstrak dituliskan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, [Internet]. Oxford: Blackwell Munksgaard; 2006 [cited 2009 May
tidak lebih dari 250 kata. Abstrak dituliskan dalam satu paragraf 21]. Available from Netlibrar y: http://cclsw2.vcc.ca:2048/
yang terdiri dari masalah, tujuan, metode, dan hasil. Cantumkan l o g i n ? u r l = h t t p : / / w w w. n e t L i b r a r y. c o m /
3-5 kata kunci yang berhubungan dengan topik pada artikel. urlapi.asp?actionn=summary&v=1&bookid=181691
(Ditulis miring, 10pt)
D. Isi Teks B. Format Standar dengan Referensi Ar tikel Jurnal
Artikel diketik secara terstuktur mulai dari pendahuluan, metode, - Artikel Jurnal Cetak
hasil, pembahasan, dan kesimpulan. Artikel ditulis menggunakan Haas AN, de Castro GD, Moreno T, Susin C, Albandar JM,
format font Times New Roman, 12pt, dua spasi, dan tidak lebih Oppermann RV, et al. Azithromycin as a adjunctive treatment of
dari 7500 kata. aggressive periodontitis: 12-months randomized clinical trial. J
- Pendahuluan terdiri dari latar belakang, review singkat dan Clin Periodontol. 2008 Aug; 35(8): 696-704
tujuan penelitian pada akhir pendahuluan. - Artikel Jurnal dari Website
- Metode terdiri dari desain studi, populasi, sempel, sumber Tasdemir T, Yesilyurt C, Ceyhanli KT, Celik D, Er K. Evaluation of
data, kuesioner/instrumen, prosedur analisis pengumpulan apical f illing after root canal filling by 2 different techiques. J Can
data dan prosedur analisis data. Dent Assoc [Internet]. 2009 Apr [cited 2009 Jun 14];75(3):[about
- Hasil adalah penemuan eksperimen yang harus dituliskan 5pp.]. Available from: http://www.cda-adc.ca/jcda/vol-75/issue-
secara singkat dan jelas. Dapat berupa tabel, gambar dan 3/201.html
narasi. Tabel ditulis dengan satu spasi, dan diketik secara - Artikel Jurnal dari Database Online
berurutan, menggunakan ukuran font 10pt. Hindari penulisan Erasmus S, Luiters S, Brijlal P. Oral hygiene and dental student’s
opini pada bagian hasil. knowledge, attitude and behaviour in managing HIV/AIDS
- Pembahasan mengeksplorasi makna dari hasil eksperimen patients. Int J Dent Hyg [Internet]. 2005 Nov [cited 2009 Jun
dengan argumentasi berdasarkan teori yang relevan dengan 16];3(4):213-7. Available from Medline: http://cclsw2.vcc.ca:2048/
hasil temuan yang ada. login?url=http://search.ebscohost.com/
- Kesimpulan memberikan rangkuman dari hasil penemuan login.aspx?direct=true&db=cmedm&AN=16451310&site=ehost-
eksperimen yang menjawab tujuan penelitian. Anda juga harus live
menyarankan eksperimen berikutnya dan/atau menunjukkan
C. Format Standar dengan Referensi Websites
eksperimen yang sedang berlangsung kepada pembaca. - Website dengan Penulis
- Referensi ditulis menggunakan gaya Vancouver dengan
Fehrenbach MJ. Dental hygiene education [Internet]. [Place
maksimal 50 referensi. Penggunaan “et al” hanya untuk referensi
unknown]; Fehrenbach and Associates; 2000 [updated 2009 May
yang penulisnya lebih dari 6 penulis. 2; cited 2009 Jun 15]. Available from: http://www.dhed.net/
Publikasi Ar tikel Main.html
Artikel yang dipublikasikan akan dikenakan biaya muat sebesar - Website tanpa Penulis
Rp 300.000,- (Tiga Ratus Ribu Rupiah) melalui no rek. 0140 280043 American Dental Hygienists’ Association [Internet]. Chicago :
an. Ibu Ratna Djuwita Cabang UI Depok. Bukti pembayaran American Dental Hygienists’ Association; 2009 [cited 2009 May
dikirimkan melalui email epidemiologi.departemen@gmail.com 30]. Available from: http://www.adha.org
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia
Volume 2 Desember - 2018 No. 2
Artikel Penelitian

Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Infeksi HIV pada


Pengguna Napza Suntik (Penasun) DKI Jakarta Tahun 2013–2014

Risk Factor Which Related to HIV Infection in Injected Drug Users


IDUs at DKI Jakarta in 2013-2014.

Inggariwatia*; Sudarto Ronoatmodjob

a Dinas Kesehatan Prov. DKI Jakarta, Jl. Kesehatan no 10 Jakarta Pusat Indonesia
b Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Lantai 1 Gedung A Kampus Baru UI Depok 16424, Indonesia

ABSTRAK ABSTRACT
Prevalensi HIV pada kelompok Penasun selalu menduduki peringkat HIV prevalence in IDU groups always ranks highest compared to other
tertinggi dibanding kelompok populasi kunci lainnya. Studi cross sec- key population groups. We conducted a cross sectional study to analyze
tional dilakukan untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan associated factors among 240 samples of IDUs (Injecting Drug Users)
dengan infeksi HIV pada populasi Penasun DKI Jakarta. Penelitian ini from the Sero HIV/Syphilis Survey integrated with Rapid Behavior Survey
menggunakan data sekunder dari pelaksanaan Sero Survei HIV/Sifilis in DKI Jakarta year 2013-2014, sample selection was using the RDS (Re-
yang terintegrasi dengan Survei Cepat Perilaku di DKI Jakarta pada tahun spondent Driven Sampling) method. Cox regression analysis were used
2013 - 2014. Populasi penelitian ini adalah Penasun di DKI Jakarta, sampel to calculate Prevalence Ratio between associated factors with HIV infec-
240, pemilihan sampel menggunakan metode RDS (Responden Driven tion among IDUs. Multivariate Cox Regression analysis showed that shar-
Sampling). Model akhir analisis multivariate cox regression menunjukkan ing needles behavior among IDUs were at higher risk (PR = 2,42; 95% CI
bahwa variabel yang paling berkontribusi terhadap infeksi HIV di kalangan = 1,33 – 4,41, P value = 0,004 ) compared with those that was not
Penasun adalah sikap sharing jarum suntik PR 2,42 (95% CI = 1,33 – sharing needles. Patients with length time of being an IDU 120-240
4,41) dan lama menjadi Penasun PR 1,78 (95% CI = 1,23 – 2,57). Sikap moths also have higher risk to get HIV than those with length time <120
sharing jarum suntik walaupun hanya dilakukan sekali berdampak kuat months (PR = 1,78; 95% CI : 1,23 – 2,57, P value = 0,015). Syringe
meningkatkan risiko infeksi HIV dan variabel lama menjadi penasun sharing, although only once having a strong impact on increasing the risk
berpengaruh terhadap melemahnya sikap konsisten untuk tidak shar- of HIV infection, is due to the high prevalence of HIV among IDUs, a long
ing jarum suntik. time being IDU has an effect on the weakening of not sharing syringe
behaviour.
Kata kunci : Penasun, RDS, cox regression, sharing jarum suntik, lama Keywords : IDU, RDS, cox regression, sharing syringe, duration of use
jadi penasun syringe

Pendahuluan
Epidemi Human Immuno-def iciency V irus Laki-laki Seks dengan Laki-laki (LSL) dan Waria.2
(HIV) secara global masih merupakan masalah Dari tahun ke tahun prevalensi HIV pada
kesehatan masyarakat yang serius, kasus HIV di Indo- kelompok Penasun selalu menduduki peringkat tertinggi
nesia pertama kali dilaporkan pada tahun 1987 diderita dibanding pada kelompok populasi kunci lainnya. Tren
oleh seorang warga Negara Belanda yang tinggal di prevalensi HIV pada kelompok Penasun hampir sama
Bali selanjutnya berkembang menjadi Epidemi dan dengan Waria cenderung tetap sedangkan pada
telah berlangsung selama lebih dari 20 tahun, diprediksi kelompok Laki-laki Suka Seks Laki-laki (LSL) trennya
masih akan terus berlanjut. Secara umum telah meningkat, sebaliknya pada kelompok Wanita Pekerja
diketahui bahwa penularan virus HIV ini adalah melalui Seks T idak Langsung (WPSTL) trennya tur un.
hubungan seks berisiko dan penggunaan jarum suntik Berdasarkan data dari Surveilans HIV DKI Jakarta hasil
secara bersamaan pada pengguna napza suntik, serta dari Survei Terpadu Biologis Perilaku (STBP) tahun 2007,
ibu yang terifeksi HIV kepada bayinya.1 2011, 2013 dan 2015 didapatkan prevalensi HIV di
Estimasi prevalensi HIV di Indonesia pada kalangan Penasun berturut-turut adalah 55%, 39%,
kelompok usia >15 tahun sebesar 0,33% pada tahun 49.2% dan 2015 sebesar 43,6%. 3 Sangat tinggi
2015. Jumlah absolut orang dengan HIV tertinggi dibanding prevalensi HIV global Penasun berdasarkan
adalah di Jakarta. Jumlah absolut orang dengan HIV hasil studi sistematik reviu yang dilakukan oleh
tertinggi adalah di Jakarta. Sampai dengan saat ini pola Degenhardt tahun 2017 yakni 17.8%; 95% CI = 10.8–
epidemi HIV AIDS masih terk onsentr asi pada 24.8%.4 Sementara dalam literatur lain menyebutkan
kelompok populasi berisiko yang disebut dengan prevalensi HIV dikalangan Penasun di 3 Negara dengan
“populasi kunci” yang terdiri atas wanita pekerja seks populasi Penasun terbesar yakni China, Amerika Serikat
*Korespondensi: Inggariwati. Dinas Kesehatan Prov. DKI Jakarta, Jl. Kesehatan no 10 Jakarta
dan pelanggannya, pengguna Napza Suntik (Penasun), Pusat Indonesia. E-mail: inggariwati@gmail.com

35
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia Vol. 2, No. 2, Desember 2018
dan Rusia masing-masing sebesar 12%, 16% dan 37%.5 tama >99% dan spesifisitas reagen kedua >98%) sesuai
Jumlah penyalahgunaan Napza meningkat sangat dengan tujuan studi yakni untuk screening, sedangkan
cepat, terutama mereka yang menggunakan jarum pemeriksaan sifilis menggunakan 3 stage yakni RPR,
suntik tidak steril. Di Jakarta, 68% dari pasien yang TP Rapid serta RPR titer karena tujuannya disamping
berobat di RSKO adalah pengguna jarum suntik, untuk screening sekaligus untuk pengobatan.7
sebanyak 72,7% dari jumlah ter sebut sering Pemilihan sampel menggunakan metode
menggunakan jarum suntik yang tidak steril ketika Responden Driven Sampling (RDS) yakni sejenis
mereka menyuntikkan heroin. Sebanyak 59% dari metode chain-refferal sampling untuk populasi
mereka saling bertukar alat suntik.2 tersembunyi, yang dapat menghasilkan data yang
Berdasarkan ulasan Kementerian Kesehatan representatif terkait populasi yang diteliti. 8 Penasun
meskipun pada awalnya HIV disebabkan oleh dianggap sebagai populasi tersembunyi mengingat
penggunaan jarum suntik bersama di kalangan Penasun perilaku mereka yang berkaitan dengan Napza adalah
namun penularan melalui hubungan seksual saat ini ilegal, berbenturan dengan hukum. Langkah pertama
merupakan cara penularan HIV paling utama. Jumlah metode RDS ini adalah menetapkan 7 seed awal yang
infeksi baru per tahun diperkirakan mencapai sekitar memiliki karakteristik seheterogen mungkin, baik dari
49.000. Pada studi ini dianalisis sejumlah variabel yang lokasi tempat tinggal, jenis hotspot, kelompok usia,
berhubungan dengan infeksi HIV di kalangan Penasun pekerjaan/status sosial dan jenis kelamin, dengan
diantaranya perilaku pemakaian jarum suntik secara metode ini diharapkan seluruh populasi Penasun di DKI
bergantian, faktor demografi dan untuk mengetahui Jakarta terwakili sebab karakter teman yang direkrut
apakah perilaku seks juga berperan pada infeksi HIV biasanya hampir sama dengan perekrutnya yang
di kalangan Penasun dianalisis pula faktor risik o merupakan peer groupnya. Penunjukan seed awal
seksualnya. Tujuan dari studi ini adalah untuk berdasarkan rekomendasi dari informan yang ditunjuk,
mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan yakni anggota LSM yang menangani kelompok
Penasun yang sebelumnya adalah Penasun juga. Dari
infeksi HIV pada populasi Penasun DKI Jakarta.
7 seed awal masing-masing akan merekrut maksimal
Metode Penelitian 3 orang, selanjutnya responden yang terekrut diberikan
Penelitian ini berjenis observasional analitik kesempatan untuk mengajak temannya maksimal 3
disain cross sectional menggunakan data sekunder dari orang juga, demikian seterusnya sehingga terkumpul
pelaksanaan Sero Survei HIV/Sifilis yang terintegrasi 240 responden.9
dengan Survei Cepat Perilaku di DKI Jakarta pada tahun Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui
2013 - 2014. Kegiatan Survei ini dibawah tanggung karakteristik responden berdasarkan variabel yang
jawab Kemenkes RI Dirjen P2PL sebagai agenda rutin diteliti (Tabel no 1), untuk seleksi variabel yang masuk
yang dilaksanakan 2 tahun sekali dalam rangka dalam analisis multivariat dilakukan analisis bivariat
pengamatan epidemi HIV, kegiatan dilakukan di 11 menggunakan chi square untuk menilai hubungan
Provinsi 13 Kab/Kota, pelaksana adalah Dinas Kesehatan antara variabel dependen yakni status HIV dengan 10
Provinsi bekerjasama dengan Komisi Penanggulangan variabel independen yakni status sifilis, jenis kelamin,
AIDS Provinsi (KPAP), kegiatan ini telah melalui prosedur kelompok umur, pendidikan, sikap konsisten tidak
kaji etik dan layak dilaksanakan sesuai dengan Surat berbagi jarum suntik, lama penggunaan Napza suntik,
Keterangan dari Komisi Ahli Riset dan Etik Riset FKM frekuensi menyuntik, jual seks/tukar bodi, hubungan
UI no. 129/H2.F10/PPM.00.02/2014. Populasi pada seks setahun terakhir dan perilaku seks berisik o,
penelitian ini adalah kelompok Penasun di DKI Jakarta. kekuatan hubungan diukur dengan PR (Prevalens
Def inisi operasional Penasun adalah pria/wanita Rasio) (Tabel no 2), selanjutnya untuk melihat hubungan
berumur e” 15 tahun tinggal di Jakarta minimal selama antar variabel dilakukan analisis Multivariat pada variabel
sebulan, menyuntikkan Napza dalam satu tahun yang memenuhi kriteria, yakni memiliki p value <0,25
terakhir dan belum ikut serta sebagai responden dalam (Tabel no 3, 4, 5 dan 6). Analisis data menggunakan
survei ini.6 sofware STATA 12, variabel yang bermakna pada hasil
studi ini dijadikan sebagai referensi untuk melakukan
Jumlah sampel sebanyak 240 responden
intervensi program.10
berdasarkan perhitungan jumlah sampel minimal
pada kegiatan sero survei HIV/Sifilis yang bertujuan Hasil
untuk menghitung prevalensi HIV di kalangan Prevalensi HIV di kalangan Penasun DKI Jakarta
Penasun. Status infeksi HIV dan Sifilis diukur dengan adalah 49,2% sedangkan prevalensi Sifilis hanya 3,8%.
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan HIV Berdasarkan jenis kelamin, 9,6% responden adalah
menggunakan strategi 2 yakni menggunakan 2 wanita, sisanya 90,4% pria. Usia termuda responden
jenis reagen yang telah memenuhi kriteria 17 tahun dan tertua 60 tahun, 85,8% berada pada
sensitifitas dan spesifisitas (sensitifitaas reagen per kelompok usia produktif yakni 21 – 40 tahun. Variabel
36
Inggarawati, Ronoatmodjo Faktor Risiko yang berhubungan dengan infeksi HIV pada pengguna NAPZA (Penasun) DKI Jakarta Tahun 2013-2014
sikap sharing jarum suntik dinilai dari kuesioner SCP sifilis negatif yang hasil tes HIV nya positif, PR sebesar
Penasun 2013 pertanyaan P301 a, b, c, d, e, f ; 1,62 (95% CI =1.1 – 2.4) secara statistik bermakna,
dinyatakan tidak sharing jarum suntik bila jawaban P301 artinya Penasun dengan Sifilis positif berisiko 1,62 kali
a-e dijawab tidak dan P301 f dijawab ya, hasil untuk terinfeksi HIV dibanding Penasun dengan Sifilis
pengukuran variabel ini didapatkan hanya 23,3% negatif. Ditinjau dari jenis kelamin, Penasun
menyatakan tidak sharing, sisanya 76,7% masih perempuan lebih berisiko untuk terkena HIV 1,27 kali
melakukan sharing jarum suntik. untuk terinfeksi HIV dibanding penasun laki-laki namun
Ta bel 1. Ka r a kt er is ti k Re s po nd en b erda sa rk an walaupun secara statistik tidak bermakna (95% CI =
va ri ab el de pen de n dan i nde pe nd en 0.9 – 1.8) hal ini dimungkinkan karena keterbatasan
Persentase jumlah sampel. Variabel umur dikelompokkan menjadi
Karakteristik Responden Jumlah
(%) dua yakni e”29 tahun dan <29 tahun, pembagian
1. Hasil Pemeriksaan HIV berdasarkan analisis ROC.11
- Reaktif 118 49.2 Berdasarkan kelompok umur, 56,8% status HIV
- Non Reaktif 122 50.8
positif berada pada kel umur 29 - 60 tahun dan 33,3%
2. Hasil Pemeriksaan Sifilis
- Reaktif 9 3.8
pada kel umur 17 – 28 tahun, nilai PR 1,7 (95% CI =
- Non Reaktif 231 96.2 1,2 – 2.4) bermakna secara statistik. Berdasarkan
3. Jenis Kelamin Pendidikan tidak ada perbedaan risiko HIV berdasarkan
- Perempuan 23 9.6 Pendidikan. Berdasarkan variabel perilaku sharing
- Laki-laki 217 90.4 jarum suntik, didapatkan bahwa 57,6% HIV positif
4. Umur melakukan sharing jarum suntik hanya 21,4% tidak
- 17-20 tahun 12 5
sharing, nilai PR 2,69 (95% CI =1.6 – 4.5) secara
- 21 – 30 tahun 97 40.4
- 31 – 40 tahun 109 45.4 statistik bermakna, artinya sikap sharing jarum suntik
- 41 – 50 tahun 18 7.5 berisik o terhadap infeksi HIV sebesar 2,69 kali
- 51 – 60 tahun 4 1.7 dibanding penasun yang memiliki sikap konsisten
5. Tingkat Pendidikan untuk tidak sharing jarum suntik. Variabel lama jadi
- Tidak Sekolah 4 1.7 penasun dikelompokkan menjadi 2 dengan penetapan
- SD 31 12.9
- SMP 63 26.2
cut off point berdasarkan perhitungan Youden’s indeks.
- SMA 123 51.3 Berdasarkan variabel lama menjadi penasun,
- PT 19 7.9 sebanyak 68,3% penasun dengan status HIV positif
6. Lama jadi Penasun telah menggunakan napza suntik antara 120 – 240
- 1 sd 12 bulan 18 7.5
- 13 sd 60 bulan 58 24.2
bulan dan 35,3% menggunakan napza suntik antara 1
- 61 sd 120 bulan 73 30.4 sd 119 bulan, lama pemakaian jarum suntik e” 120
- 121 sd 240 bulan 91 37.9 bulan berisik o terinfeksi HIV sebesar 1,94 kali
dibanding pemakaian jarum suntik <120 bulan (95%
7. Sikap Sharing Jarum Suntik
- Sharing
184 76.7 CI =1.5 – 2.5), hubungan tersebut bermakna secara
56 23.3 statistik. Pada variabel jual seks, 50% yang mengaku
- Tidak Sharing
menjual seks memiliki status HIV positif dan 49,2%
8. Jual Sex
- Ya 4 1.7 yang mengaku tidak menjual seks hasil tes HIV nya
- Tidak 236 98.3 positif juga, tidak terdapat hubungan antara jual seks
9. Frekuensi menyuntik sebulan dengan status HIV PR 1,02 (95% CI = 0.4 – 2.7).
terakhir
- Tidak menyuntik 26 10.8
Variabel frekuensi menyuntik sebulan terakhir
- Menyuntik tdk tiap hari 69 28.8 dikelompokkan menjadi 2 berdasarkan kuesioner SCP
- Menyuntik tiap hari 145 60.4 2013 (P205) yakni tidak menyuntik sebulan terakhir
10. Melakukan Hubungan Sex dan menyuntik sebulan terakhir, 49,5% penasun HIV
setahun Terakhir 164 68.3 positif menyuntik dalam sebulan terakhir dan 46,2%
- Ya 76 31.7 mengaku tidak menyuntik dalam sebulan terakhir, PR
- Tidak
1,07 (95% CI= 0.7 – 1.7) artinya tidak terdapat
11. Melakukan Hubungan Sex
Berisiko hubungan antara frekuensi menyuntik sebulan terakhir
- Ya 209 87.1 dengan infeksi HIV. Variabel hubungan seks setahun
- Tidak 31 12.9 terakhir, sebanyak 48,2% penasun dengan HIV positif
Dilakukan analisis bivariat variabel dependen melakukan hubungan seks setahun terakhir dan 51,3%
status HIV dengan 10 variabel independent didapatkan mengaku tidak melakukan hubungan seks dalam
hasil seperti pada tabel 2. Berdasarkan status Sifilis setahun terakhir, PR 0,94 (95% CI= 0.7 - 1.2) artinya
didapatkan 78% penasun dengan hasil tes sifilis positif tidak terdapat hubungan antara hubungan seks
memiliki status HIV positif juga dan hanya 8,4% status setahun terakhir dengan infeksi HIV pada Penasun.

37
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia Vol. 2, No. 2, Desember 2018
Tabel 2. An alisis Bivariat Statu s HIV dengan Variabel Independen
Karakteristik HIV
Variabel Responden PR 95% CI pV
N % N %

Reaktif 7 78.0 2 22.0 1.62 1.1-2.4 0.08


1. Status Sifilis Non Reaktif 11 8.4 120 91.6
2. Jenis Kelamin Perempuan 14 61.0 9 39.0 1.27 0.9-1.8 0.24
Laki-laki 104 48.0 113 52.0
29-60 tahun 92 56.8 70 43.2 1.70 1.2-2.4 0.00
3. Umur
17-28 tahun 26 33.2 52 66.8
Tidak Sekolah - 46 46.9 52 53.1 0.93 0.7-1.2 0.57
4. Tingkat SMP
Pendidikan SMA – PT 72 50.7 70 49.3
Sharing 106 57.6 78 42.4 2.69 1.6-4.5 0.00
5. Perilaku sharing Tidak Sharing 12 21.4 44 78.6
jarum suntik

6. Lama jadi 120-240 bulan 69 68.3 32 31.7 1.94 1.5-2.5 0.00


Penasun 1-119 bulan 49 35.3 90 64.7
Ya 2 50.0 2 50.0 1.02 0.4-2.7 0.97
7. Jual Sex
Tidak 116 49.2 120 50.8
Menyuntik dalam 106 49.5 108 50.5 1.07 0.7-1.7 0.74
8. Frekuensi
sebulan
menyuntik
Tidak menyuntik 12 46.2 14 53.8
sebulan terakhir
dalam 1 bulan
9. Hubungan Sex Ya 79 48.2 85 51.8 0.94 0.7-1.2 0.65
setahun Terakhir Tidak 39 51.3 37 48.7
10. Perilaku Sex Ya 104 49.8 105 50.2 1.1 0.73-1.67 0.62
Berisiko Tidak 14 45.2 17 54.8

Berdasarkan variabel perilaku seks berisiko terbaik, satu persatu variabel yang memiliki nilai P
yang diambil dari kuesioner SCP 2013 (P402) tertinggi dikeluarkan dari model (metode backward).
didapatkan 49,8% penasun HIV positif melakukan Pada saat variabel jenis kelamin dikeluarkan
perilaku seks berisiko dan 45,2% tidak melakukan seks terlihat perbedaan PR dari variabel perilaku sharing
berisiko, PR 1,1 (95% CI = 0.73 – 1.67), artinya tidak jarum suntik sebesar 0,02 atau < 10%, artinya variabel
terdapat hubungan antara perilaku seks berisiko jenis kelamin bukan merupakan variabel perancu dan
dengan infeksi HIV pada Penasun. Dilakukan analisis dapat dikeluarkan, setelah variabel jenis kelamin
multivariat menggunakan cox regression pada variabel dikeluarkan terlihat variabel sif ilis memiliki nilai P
dengan nilai P <0,25 yakni perilaku sharing jarum tertinggi, maka dikeluarkan dari model, didapatkan
suntik, lama jadi penasun, kelompok umur, status sifilis perbedaan nilai PR variabel perilaku sharing jarum
dan jenis kelamin, variabel waktu dibuat konstan (time suntik sebesar 0,01 atau <10% dari full model, sehingga
= 1).12 bukan merupakan variabel per ancu dan dapat
Berikut adalah tabel hasil analisis multivariat: dikeluarkan dari model. Selanjutnya terdapat 3 variabel
yang memprediksi kejadian HIV pada Penasun, variabel
Tabel 3. M odel Awal Analisis Multivariat Cox Regression
kelompok umur memiliki nilai P tertinggi sehingga
dikeluarkan dari model, perbedaan nilai PR variabel
Variabel z Nilai P PR 95% CI
perilaku jarum suntik setelah variabel kelompok umur
Perilaku sharing jarum suntik 2.94 0.003 2.46 1.35-4.49
dikeluarkan adalah sebesar 0,03 atau <10%, sehingga
Sifilis 0.95 0.340 1.51 0.65-3.65
Jenis Kelamin 0.61 0.541 1.21 0.65-2.27
variabel kelompok umur bukan merupakan variabel
Kel Umur 1.63 0.103 1.46 0.93-2.30 perancu sehingga dapat dikeluarkan dari model,
Lama menjadi Penasun 2.46 0.014 1.62 1.10-2.38 disamping itu umur juga merupakan variabel yang tidak
dapat diintervensi. Didapatkan model akhir pada studi
Tujuan dari analisis multivariat ini adalah ini variabel independent yang paling berkontribusi
mendapatkan model terbaik untuk memprediksi terhadap kejadian HIV pada Penasun adalah perilaku
kejadian HIV dikalangan Penasun dengan sharing jarum suntik dan lama menjadi penasun.
mempertimbangkan seluruh variabel yang diduga Perilaku sharing jarum suntik dapat meningkatkan risiko
berhubungan dengan kejadian HIV, model awal terkena HIV sebesar 2,42 kali setelah dikontrol oleh
didapatkan dari 5 variabel independen memiliki peran variabel lama menjadi Penasun.
dalam kejadian HIV dengan kemaknaan yang berbeda, Untuk menilai apakah terdapat hubungan antar
variabel perilaku sharing jarum suntik adalah faktor variabel independen yakni perilaku sharing jarum suntik
terbesar pada kejadian HIV dikalangan Penasun setelah dengan lama menjadi penasun dilakukan analisis chi
dikontrol variabel lainnya. Untuk mendapatkan model square, didapatkan hasil sebagai berikut:
38
Inggarawati, Ronoatmodjo Faktor Risiko yang berhubungan dengan infeksi HIV pada pengguna NAPZA (Penasun) DKI Jakarta Tahun 2013-2014

Tabel 4. Model Analisis Multivar iat Cox Regression Lama menjadi Penasun mempengaruhi sikap
(dikeluarkan variable JK , Sif ilis, kel umur satu per satu) Perilaku sharing Jarum suntik, Penasun yang telah
menyuntik selama 120 – 240 bulan berisiko untuk
Variabel z Nilai P PR 95% CI berperilaku sharing jarum suntik sebesar 1.18 kali
Perilaku sharing jarum suntik 2.94 0.003 2.46 1.35-4.49 dibanding Penasun yang menyuntik kurang dari 120
Sifilis 0.95 0.340 1.51 0.65-3.65
bulan.
Kel Umur 1.63 0.103 1.46 0.93-2.30
Lama menjadi Penasun 2.46 0.014 1.62 1.10-2.38
Diskusi
Dikeluarkan variabel sifilis Dari 10 variabel yang diteliti sebagai
Perilaku sharing jarum suntik 2.92 0.004 2.45 1.34-4.46 determinan infeksi HIV pada penasun didapatkan 5
Kel Umur 1.55 0.120 1.43 0.91-2.26 variabel yang memenuhi kriteria untuk dilakukan
Lama menjadi Penasun 2.43 0.015 1.61 1.10-2.37 analisis multivariat cox regression, model akhir analisis
Model akhir cox regression multivariat didapatkan 2 variabel menjadi faktor utama
Perilaku sharing jarum suntik 2.88 0.004 2.42 1.33-4.41 infeksi HIV pada kelompok penasun yakni variabel
Lama menjadi Penasun 3.05 0.015 1.78 1.23-2.57 Perilaku Sharing Jarum Suntik dan lama pemakaian
napza suntik, keduanya merupakan faktor yang
Pada saat variabel jenis kelamin dikeluarkan meningkatkan risik o infeksi HIV pada kelompok
terlihat perbedaan PR dari variabel perilaku sharing penasun, dengan Prevalens Rasio (PR) masing-masing
jarum suntik sebesar 0,02 atau < 10%, artinya variabel sebesar 2,42 (95%= 1.33 – 4.41) dan 1,78(95% CI=
jenis kelamin bukan merupakan variabel perancu dan 1.23 – 2.57), sejalan dengan penelitian Sri Herwanti S,
dapat dikeluarkan, setelah variabel jenis kelamin 2017 sharing jarum suntik memiliki risiko 1,90 kali
dikeluarkan terlihat variabel sif ilis memiliki nilai P terinfeksi HIV (95% CI= 0,68 – 5,35). 13 Faktor risiko
tertinggi, maka dikeluarkan dari model, didapatkan utama kejadian HIV pada penasun adalah pemakaian
perbedaan nilai PR variabel perilaku sharing jarum jarum suntik secara bergantian, pada umumnya satu
suntik sebesar 0,01 atau <10% dari full model, sehingga jarum suntik dipakai oleh 2 sampai 15 orang pengguna
bukan merupakan variabel per ancu dan dapat nark otika, 9 berdasarkan hal ini WHO
dikeluarkan dari model. Selanjutnya terdapat 3 variabel merekomendasikan program jarum dan alat suntik
yang memprediksi kejadian HIV pada Penasun, variabel steril serta terapi subtitusi opioid sebagai strategi
kelompok umur memiliki nilai P tertinggi sehingga pengendalikan HIV dikalangan penasun di Afrika
dikeluarkan dari model, perbedaan nilai PR variabel sebagai program pengurangan dampak buruk (harm
perilaku jarum suntik setelah variabel kelompok umur reduction). Program ini dilaksanakan di 63% Negara
dikeluarkan adalah sebesar 0,03 atau <10%, sehingga dikawasan Afrika yang memiliki populasi penasun. 14
variabel kelompok umur bukan merupakan variabel Studi ini mendapatkan bahwa mayoritas penasun
perancu sehingga dapat dikeluarkan dari model, (76,7%) melakukan sharing jarum suntik dan hanya
disamping itu umur juga merupakan variabel yang tidak sebagian kecil (23,3%) yang memiliki sikap konsisten
dapat diintervensi. Didapatkan model akhir pada studi tidak sharing jarum suntik, ternyata sikap ini sangat
ini variabel independent yang paling berkontribusi menentukan apakah seorang penasun nantinya akan
terhadap kejadian HIV pada Penasun adalah perilaku tertular HIV atau tidak. Agar terlindung dari HIV
sharing jarum suntik dan lama menjadi penasun. penasun tidak boleh sekalipun menggunakan alat
Perilaku sharing jarum suntik dapat meningkatkan risiko suntik bekas atau selalu menggunakan alat suntik baru.
terkena HIV sebesar 2,42 kali setelah dikontrol oleh Tingginya prevalensi HIV di kalangan Penasun tentunya
variabel lama menjadi Penasun. meningkatkan risiko jarum bekas pakai telah digunakan
oleh penderita HIV sebelumnya, bahkan bukan hanya
Untuk menilai apakah terdapat hubungan antar
oleh satu orang penderita HIV karena pemakaian
variabel independen yakni perilaku sharing jarum suntik
bersama rata-rata oleh 2 – 15 orang, dengan kondisi
dengan lama menjadi penasun dilakukan analisis chi
square, didapatkan hasil sebagai berikut: tersebut, walaupun hanya sekali menggunakan jarum
bekas pakai dapat dipastikan jarum tersebut telah
Tabel 5. Model Analisis Bivariat pada Variabel Perilaku terinfeksi HIV meskipun belum dapat dipastikan apakah
Sh ar in g J ar um Su nt ik langsung berkembang menjadi HIV atau tidak.
Lama jadi penasun adalah variabel kedua yang
Variabel Perilaku sharing jarum PR 95% CI
suntik behubungan dengan infeksi HIV dikalangan Penasun,
Sharing Tidak sharing hasil analisis mendapatkan semakin lama menjadi
Lama menjadi Penasun risiko untuk terinfeksi HIV semakin besar, hal
penasun ini dimungkinkan karena sikap Penasun yang semula
- 120-240 bulan 106 12 tidak mau berbagi jarum suntik seiring pertambahan
- 1-119 bulan 78 44 1.18 1.03-1.35
waktu sikap tersebut menjadi lemah karena godaan
39
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia Vol. 2, No. 2, Desember 2018
teman (peer group), perilaku yang tidak terkontrol pada Dalam penelitian ini juga mendapatkan bahwa
saat withdrawal (sakau) dan kemungkinan kesulitan Penasun wanita berisiko untuk terinfeksi HIV 1,21 kali
mendapatkan jarum suntik steril juga turut dibanding Penasun pria (95% CI=0.65 – 2.27)
melemahkan sikap yang tadinya tidak mau berbagi walaupun secara statistik tidak bermakna, hal ini dapat
jarum suntik, dalam penelitian ini didapatkan juga bahwa disebabkan oleh jumlah Penasun wanita yang menjadi
lama menjadi penasun berhubungan secara bermakna responden penelitian sangat sedikit dibanding Penasun
dengan perilaku sharing jarum suntik, PR 1,2 (95% CI pria (prevalensi 9,6%), wanita lebih berisiko untuk
= 1,03 – 1,35). Variabel umur adalah variabel ketiga terinfeksi HIV dibanding pria di kalangan Penasun
yang berhubungan dengan infeksi HIV di kalangan dimungkinkan karena wanita umumnya dalam posisi
Penasun, hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa yang lemah, kemampuan untuk menjaga dirinya
kelompok umur merupakan faktor risiko terhadap dengan cara menggunakan jarum suntik steril lebih
infeksi HIV di kalangan Penasun dengan nilai PR 1,43 rendah dibanding laki-laki, akses ke layanan jarum
(95% CI = 0,91 – 2,26), artinya Penasun usia tua lebih suntik steril pun lebih terbatas, terlebih stigma dari
berisiko terkena HIV dibanding yang berusia muda keluarga dan masyarakat yang dapat membuatnya
walaupun secara statistik tidak bermakna, hasil analisis merasa putus asa, disamping itu pada umumnya
mendapatkan pula bahwa tidak terdapat hubungan Penasun wanita melakukan tukar bodi/menjual seks
antara kelompok umur dengan perilaku sharing jarum untuk mendapatkan Narkoba, hal ini meningkatkan
suntik. Metode pemeriksaan HIV yang digunakan risiko infeksi HIV di kalangan Penasun wanita. Variabel
dalam sero sur vei HIV ini adalah metode tidak yang secara teori berhubungan dengan kejadian HIV
langsung, yakni dengan mendeteksi respon imun namun pada penelitian ini tidak terbukti adalah jual seks
terhadap infeksi HIV atau konsekuensi klinis dari infeksi dan perilaku seks berisik o hal ini terjadi karena
HIV, metode ini memiliki kerugian terutama karena kemungkinan bias informasi, dalam kuesioner
respon imun memerlukan jangka waktu tertentu sejak pertanyaan untuk perilaku seks hanya untuk 1 tahun
infeksi HIV hingga timbul reaksi tubuh, periode ini terakhir, konsistensi jawaban responden pun perlu
disebut window period, pada periode ini walaupun penilaian lebih lanjut. Pada survei ini 87,1% penasun
seseor ang telah terinfeksi HIV namun masih mengaku melakukan seks berisiko, yakni dengan
memberikan hasil negatif pada pemeriksaan pasangan tidak tetap dan tanpa kondom, sejalan
antibodinya, window period ini biasanya berlangsung dengan penelitian yang dilakukan I. Praptoharardjo dkk
selama 3 s.d. 6 bulan, namun sebagian besar kurang pada tahun 2007 yang mendapatkan bahwa 60%
dari 3 bulan,15 sehingga disarankan untuk mengulang penasun pria sering mengunjungi pekerja seks, 72%
pemeriksaan setiap 3 bulan bagi kelompok berisiko, diantaranya tidak menggunakan kondom, sementara
hal ini juga dapat mempengaruhi prevalensi HIV yang 63% Penasun wanita menjadi pekerja seks dalam studi
lebih tinggi pada kelompok usia yang lebih tinggi. tersebut. Penyebaran HIV dari penasun kepada
Prevalensi Sifilis di kalangan Penasun sangat kalangan masyarakat umum juga terjadi melalui
kecil yakni 3,8% jauh lebih kecil dibanding prevalensi mekanisme seks tidak aman ini, sebagaimana penelitian
Sifilis di kalangan LSL yakni 14,2% dan Waria sebesar Besral dkk pada tahun 2004.
29% namun Sifilis berperan dalam kejadian HIV pada Model akhir analisis multivariat cox regression
Penasun sebesar 1,70 (95% CI= 0,79 – 3,65), artinya mendapatkan bahwa variabel perilaku sharing jarum
Penasun dengan Sifilis positif berisiko 1,7 kali untuk suntik meningkatkan risiko infeksi HIV di kalangan
terinfeksi HIV dibanding Penasun yang tidak menderita Penasun setelah dikontrol oleh variabel lama menjadi
Sifilis, hubungan ini tidak bermakna secara statistik, hal penasun. Variabel lama menjadi penasun merupakan
ini dimungkinkan karena jumlah sampel yang kurang, variabel perancu, sebab disamping berhubungan
tujuan utama dari kegiatan survei ini adalah mencari dengan variabel dependen yakni HIV juga
prevalensi HIV dan Sifilis di kalangan Penasun. Suatu mempengaruhi variabel perilaku sharing jarum suntik.
studi yang dilakukan di Denmark terhadap lebih dari Semakin lama menjadi Penasun, semakin
2000 pasien yang didiagnosis HIV dalam PAPDI 2011,16 meningkatkan risiko sharing jarum suntik, sehingga
mendapatkan bahwa Infeksi Menular Seksual dan Virus kemungkinan tertular HIV pun semakin besar.
Hepatitis berhubungan dengan infeksi HIV dengan OR
12,3 (95% CI = 9,6 – 15,7), sejalan dengan penelitian Kesimpulan dan Saran
Sri Hermawanti S, 2017 yakni riwayat IMS atau status
Perilaku sharing jarum suntik dan lama menjadi
sifilis positif berisiko terhadap HIV positif sebesar 1,23
Penasun adalah variabel yang sangat berperan pada
kali (95% CI = 0,44 – 3,43). Penelitian Amalia dkk di
infeksi HIV di kalangan Penasun. Kedua variabel ini
Jawa Tengah terkait perilaku seks Penasun
dapat dilakukan modifikasi, variabel berikutnya yang
mendapatkan bahwa 37,2% responden melakukan seks
juga berhubungan dengan infeksi HIV di kalangan
tidak aman yakni tidak menggunakan kondom saat
melakukan seks berisiko.17 Penasun walaupun tidak bermakna secara s tatistik

40
Inggarawati, Ronoatmodjo Faktor Risiko yang berhubungan dengan infeksi HIV pada pengguna NAPZA (Penasun) DKI Jakarta Tahun 2013-2014
adalah kelompok umur, sifilis dan jenis kelamin. Variabel 12.Kleinbaum. David G. Survival Analisys a Self Learning Text
yang pengaruhnya paling besar terhadap infeksi HIV third edition. Business Media, LLC; 2012.
13.Saputra S Herwanti (Epidemiologi FKM UI). Determinan
di kalangan Penasun adalah sikap sharing jarum suntik, yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi HIV pada Pengguna
sikap konsisten tidak sharing jarum suntik dalam Napza Suntik di Indonesia tahun 2015 (Analisis Data STBP
berbagai keadaan mampu melindungi Penasun dari HIV, tahun 2015). UI; 2018.
sebaliknya perilaku sharing jarum suntik walaupun 14. WHO. Focus On Key Populations In National HIV Strategic
hanya sesekali meningkatkan risiko infeksi HIV. Lama Plans in The African Region. 2018;(September).
15. J.Nelwan Erni. Rudi W R. Gejala dan Diagnosis HIV. In:
menjadi penasun disamping faktor risiko infeksi HIV PAPDI IPD Edisi VI. Jakarta; 2014. p. 910.
mempengaruhi juga perilaku sharing jarum suntik di 16.Djoerban Zubairi. S Djauzi R. HIV/AIDS di Indonesia. In:
PAPDI IPD Edisi VI. Jakarta; 2014. p. 887.
kalangan Penasun.
17.Cahyani Amalia Eka, Widjanarko Bagoes LB. Gambaran
Pengendalian HIV dikalangan Penasun melalui Perilaku Berisiko HIV pada Pengguna Napza Suntik di
program yang telah ada di Jakarta saat ini antara lain Provinsi Jawa Tengah. Promosi Kesehat Indones. 2015;10.
Program Layanan Alat Suntik Steril (LASS) dan Program
Ter api Rumatan Metadhone (PTRM) perlu
dipertahankan dan ditingkatkan, harapannya seluruh
Penasun mampu menjangkau program ini. Program
lain yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah
promosi kesehatan di kalangan Penasun, terutama
yang masih berusia muda, tujuannya adalah
membangun sikap konsisten untuk tidak sharing jarum
suntik dan mendorong Penasun untuk segera beralih
dari suntik ke oral secara perlahan dan bertahap. Pro-
gram penggunaan kondom di kalangan Penasun baik
Penasun laki-laki maupun wanita juga perlu dilakukan
karena terdapat hubungan antara infeksi menular
seksual (sifilis) dengan infeksi HIV dikalangan Penasun.
Referens i
1. Kemenkes RI. Kajian Epidemiologi HIV Indonesia 2016.
2017;1–66.
2. Kemenkes RI. Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di indonesia
Tahun 2011 - 2016. 2014. p. 10
3. Ingggariwati. Hubungan antara perilaku seks dengan infeksi
HIV pada populasi lelaki suka seks lelaki di DKI Jakarta
tahun 2013. PAEI. 2018;1.
4. L Degenhardt. Peacock. Colledge. Global prevalence of
injecting drug use and sociodemographic characteristics
and prevalence of HIV, HBV and HCV in people who inject
drugs: a multistage systematic review. Lancet Glob Heal.
2017;
5. W iessing BMLDBPL. Global Epidemiology of injecting
drug use and HIV among people who inject drugs: a
sistematic review. Lancet. 2008;10:372.
6. Komisi Penanggulangan AIDS. Protokol Lapangan Survei
Cepat Perilaku Penasun. 2013. Jakarta.
7. Kemenkes RI. Protok ol Lapangan Biologis Sentinel
Surveilans HIV (Integrasi dengan Survei Cepat Perilaku).
2013.
8. Praptoraharjo I, Wiebel WW, Kamil O, Iii AP. JARINGAN
SEKSUAL DAN PERILAKU BERISIKO PENGGUNA NAPZA
SUNTIK/ : EPISODE L AIN PENYEBARAN HIV DI
INDONESIA. 2007;23(3):106–18.
9. Fink HH, Nevendorff L, Gabriella A, Verina L. Studi Kasus/
: Integr asi Respon HIV dan AIDS ke dalam Sistem
Kesehatan dan Efektivitas Program Layanan Alat Suntik
Steril di DKI Jakarta. PPH Atmajaya. 2015;
10.Sopiyudin Dahlan. 13 Penyakit Statistik disertai Aplikasi
Program Stata. Jakarta; 2010. 15 p.
11. Youden J. Youden’s J Statistic [Internet]. wikipedia.org.
2017. Available from: https://en.wikipedia.org/wiki
W illiam_J_Youden
41
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia Vol. 2, No. 2, Desember 2018

42
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia
Volume 2 Desember - 2018 No. 2

Artikel Penelitian

Association Between Knowledge of Condom Functions and


Condom Use among Sexually-Active Unmarried Male
Adolescents in Indonesia

Asosiasi Pengetahuan Mengenai Fungsi Kondom terhadap Penggunaan

Kondom pada Remaja Laki-Laki Aktif Seksual di Indonesia

Lhuri Dwianti Rahmartania*, Asri Adisasmitaa


a
Department of Epidemiology - Faculty of Public Health, Universitas Indonesia 1 st Floor Building A Kampus Baru UI Depok 16424, Indonesia

ABSTRAK ABSTRACT
Latar belakang: Seks pranikah bukanlah norma umum di Indonesia Background: Premarital sex is culturally unacceptable in Indonesia and
dan pendidikan tentang kesehatan seksual masih dianggap kontroversial. education on safe sex practice remains controversial. Meanwhile, Indonesia
Ironisnya, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan Demographic and Health Surveys (IDHS) show gradual increase in the
adanya peningkatan prevalensi perilaku seks pranikah di kalangan remaja, prevalence of sexually-active adolescents nationwide, particularly among
khususnya laki-laki. Sayangnya, penggunaan kondom pada populasi ini unmarried males. Unfortunately, condom use is low among this population
terbilang rendah dan tidak diketahui apakah itu berhubungan dengan and it is unclear whether it relates to inadequate knowledge on safe sex
minimnya pengetahuan kesehatan seksual termasuk penggunaan practice including condoms. Objective: to see whether there is an
k ondom. Tujuan: untuk melihat apakah ada hubungan antar a association between knowledge on condom functions and condom use
pengetahuan tentang fungsi kondom dengan penggunaan kondom di among adolescents. Method: cross-sectional study of 913 Indonesian
kalangan remaja. Metode: Penelitian potong-lintang terhadap 913 laki- unmarried males aged 15 – 24 who have had sex (IDHS Adolescent
laki Indonesia usia 15-24 tahun yang melakukan hubungan seksual Reproductive Health 2012 dataset). The independent variable is
pranikah (SDKI Kesehatan Reproduksi Remaja). Variabel independen adalah knowledge on condom functions while the dependent variable is the use
pengetahuan tentang fungsi kondom sedangkan variabel dependen of condoms. Statistical analysis is performed using Chi Square and Cox
adalah penggunaan kondom. Analisis statistik dilakukan menggunakan regression. Result: The prevalence of condom use is about twice higher
Chi Square dan Cox regression. Hasil: Prevalensi penggunaan kondom in respondents with sufficient knowledge on condom functions (31%),
sekitar dua kali lebih tinggi pada responden dengan pengetahuan yang than in respondents without (15.1%); adjusted PR 2.38 (95%CI 1.47 –
cukup tentang fungsi kondom (31%), dibandingkan responden tanpa 3.85). Conclusion: Having knowledge about condoms is positively
pengetahuan tersebut (15,1%); adjusted PR 2,38 (95% CI 1,47 - 3,85). associated with safer sex practice among sexually active adolescents.
Simpulan: Pengetahuan tentang kondom berasosiasi positif dengan Banning information on condoms may place sexually-active adolescents
penggunaan kondom pada remaja pelaku hubungan seksual pranikah. into unprotected sex. Education on safe sex practice is needed but
Pelarangan informasi tentang kondom dapat membuat remaja yang should be cautiously tailored to meet cultural values.
aktif secara seksual melakukan hubungan seksual tidak aman. Pendidikan
tentang kesehatan reproduksi dan praktik seks aman diperlukan namun
harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya.
Kata kunci: Seks pranikah, kondom, remaja, laki-laki, pengetahuan, Keywords: Premarital sex, condom, adolescent, male, knowledge, risky
perilaku berisiko. behavior.

Introduction
Premarital sex, especially in adolescents, is not and unwanted pregnancy. 5 The gap between risky
considered part of Indonesian culture, and even often behavior and its specific protection may lead to un-
regarded as a taboo. 1,2 However, Indonesia wanted pregnancy and STIs, which could bring in more
Demographic and Health Surveys (IDHS) from the past consequences e.g. unsafe abortion and maternal-neo-
decade show gradual increase in prevalence of natal complications.
sexually-active adolescents nationwide, particularly Knowledge on sexual and reproductive health
unmarried males (from 4.9% in 2003 to 8.3% in (SRH) is thought to have a role in this phenomenon
2012).3,4 Unfortunately, this trend is not followed with yet sadly found lacking in Indonesian adolescents.
adequate use of condoms. In 2012, only 27.4% male There is no standard comprehensive SRH education
adolescents wore condom at their last intercourse. 3
*Korespondensi: Lhuri Dwianti Rahmartani. Department of Epidemiology - Faculty of
While in fact, condom remains the most effective way Public Health, Universitas Indonesia. 1st Floor Building A Kampus Baru UI Depok
to prevent both sexually transmitted infections (STIs), 16424, Indonesia. E-mail: lhuridwianti@ui.ac.id , Phone: +62-78849031

43
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia Vol. 2, No. 2,Desember 2018
at school and discussing about condoms is usually Ethical Review
frowned upon.1, 2 Even basic information regarding Data from IDHS Adolescent Reproductive
condoms are not well-understood by every Indonesian Health 2012 is obtained from procedures and
adolescents. Based on IDHS 20123, almost 30% males questionnaires that comply with standard DHS surveys.
and 40% female adolescents in Indonesia do not know All protocols have been reviewed and approved by
that condom can prevent pregnancy. Moreover, more ICF Institutional Review Board (IRB) and an IRB in the
than 30% males and nearly 50% females do not know host country, i.e. Indonesia in this case.9 ICF IRB confirms
that condoms can prevent STIs. 3, 4 that the survey conforms to the U.S. Department of
Behaviors are known to be influenced by Health and Human Ser vices regulations for the
knowledge.6 Likewise, there are many factors that are
protection of human subjects (45 CFR 46).9
thought to influence adolescents in making decisions
on sexual practice, one of them is their comprehension Result
on sexual and reproductive health.7, 8 It remains unclear Table 1 shows the general characteristic of the
whether inadequate knowledge on safe sex contributes sample. Variables on rows no. 1 - 3 are independent
to unsafe sex. Therefore this study aims to see whether variables, variable on row no.4 is dependent variable,
there is an association between knowledge on condom and the rest are demographic characteristics. Asterisk
functions and the prevalence of condom use, (*) indicates demographic characteristics that are in-
particularly among unmarried male adolescents in cluded in multivariate analysis as covariates because
Indonesia. they have statistically significant effect in the model
analysis. Based on row no.3, about 79% respondents
Method have sufficient knowledge on basic condom functions,
while the rest only know either one or not at all (this is
This is a cross-sectional study using secondary defined as having insufficient knowledge on basic con-
data of Indonesia Demographic Health Survey (IDHS): dom functions). Data on row no.4 shows that about
Adolescent Reproductive Health 2012 .3 dataset 72% respondents do not use condoms at their last in-
involving 913 unmarried males aged 15 – 24 who have tercourse.
had sex. Sample is collected from all 33 provinces
Ta bel 1. Ch ar ac te ri s t ic of res po nd en ts
nationwide during the year 2007 - 2012. Data is
obtained from an open source public domain (https:// V a r ia b le s
C a t e g o r ie s
n %
dhsprogram.com/Data/). Complete questionnaires are K n o w le d g e t h a t Know 789 8 7 .6
displayed as appendix of IDHS 2012 (special report on condom can
h e lp p r e v e n t
D o N ot Know
T o ta l
111
901
1 2 .4
1 0 0 .0
adolescent reproductive health) and available for p re g n a n c y M is s in g (4 )

download at https://dhsprogram.com/pubs/pdf/FR281/ K n o w le d g e t h a t
condom can
Know
D o N ot Know
767
134
8 5 .1
1 4 .9
FR281.pdf. h e lp p r e v e n t
S T Is
T o ta l
M is s in g
901
(4 )
1 0 0 .0

In this study, the dependent variable is standard K n o w le d g e t h a t K n o w b o t h f u n c t io n s 712 7 9 .1


condom can K n o w o n ly o n e f u n c t io n 131 1 4 .6
male latex condom use at last sexual intercourse (using h e lp p r e v e n t Know none 57 6 .3

condom or not using condom, form no.713-714). p re g n a n c y a n d


S T Is
T o ta l
M is s in g
901
(4 )
1 0 0 .0

Independent variable is knowledge on two basic C o n d o m u se at Yes 251 2 7 .4


la s t s e x u a l No 663 7 2 .6
condom functions, which are 1) to help prevent in t e r c o u r s e T o ta l 913 1 0 0 .0
pregnancy and 2) to prevent STIs (form no. 216). Age at
2 0 – 2 4 y e a rs
1 5 – 1 9 y e a rs
606
308
6 6 .3
3 3 .7
Categories of knowledge are divided into two; 1) in t e r v ie w *
T o ta l 913 1 0 0 .0
1 8 – 2 4 y e a rs 442 4 9 .0
suff icient knowledge (know both functions of A g e a t f ir s t 1 0 – 1 7 y e a rs 461 5 1 .0
condoms), and 2) insufficient knowledge (only know se xu al
in t e r c o u r s e
T o ta l
D o n o t re m e m b e r
903
(6 )
1 0 0 .0

one function or not at all). Additionally, we also look for M is s in g (5 )

dose-response relationship by comparing condom use Level of


S e c o n d a ry (S M P ) o r a b o v e
B e lo w s e c o n d a r y
784
123
8 6 .4
1 3 .6
among those who know 2 condom functions vs know e d u c a t io n T o ta l 907 1 0 0 .0
M is s in g (6 )
only one function vs know none of the functions. Type of
U rb a n 535 5 8 .6

Firstly, we use Chi Square test to calculate crude r e s id e n c e


R u ra l
T o ta
378
913
4 1 .4
1 0 0 .0
prevalence ratio (PR) for the use of condoms among In d o n e s ia n
W e ste rn 516 5 6 .5
C e n tra l 313 3 4 .2
the two knowledge group. Then Cox regression is used zone of
E a ste rn 84 9 .2
r e s id e n c e *
for multivariate analysis to obtain an adjusted PR by T o ta l
Upper
913
94
1 0 0 .0
1 0 .4
taking demographic covariates into consideration. The E c o n o m ic
M id d le 337 3 7 .4
Low er 469 5 2 .1
covariates included in the multivariate analysis are age sta tu s*
T o ta l 900 1 0 0 .0
(form no 103), economic status (form no. 118), zone R e c e iv in g
M is s in g
Yes
(1 3 )
648 7 1 .6
of residence (identification form), and type of residence e d u c a t io n o n N o / d o n ’t k n o w 257 2 8 .4

(identification form). H IV / A ID S a t
s c h o o l*
T o ta l
M is s in g
904
(9 )
1 0 0 .0

44
Rahmartani, Adisasmita, Association between knowledge of condom functions and condom use among sexually-active unmarried male adolescents in Indonesia
Ta bel 2. Preva lenc e R atio of Cond om Use

Condom use Total


Knowledge on condom function PR
Yes No
For preventing pregnancy Crude
Know 236 (29.9%) 553 (70.1%) 789 (100.0%) 2.57 (1.36 – 4.87%)
Do Not Know 13 (11.6%) 98 (88.4%) 111 (100.0%) 1.00
For preventing STIs Crude
Know 229 (29.8%) 538 (70.2%) 767 (100.0%) 1.97 (1.21 – 3.21)
Do Not Know 20 (15,1%) 114 (84.9%) 134 (100.0%) 1.00
3 categories Crude
Know both functions 220 (31.0%) 492 (69.0%) 712 (100.0%) 4.17 (1.97 – 8.83)
Know either one 24 (17.9%) 108 (82.1%) 131 (100.0%) 2.23 (0.90 – 5.51)
Know none 5 (8.5%) 52 (91.5%) 57 (100.0%) 1.00
2 categories with bivariate Crude
analysis (Chi Square)
Know both functions 220 (31.0%) 492 (69.0%) 712 (100.0%) 2.05 (1.32 – 3.20)
Know only one/none 28 (15.1%) 157 (84.9%) 188 (100.0%) 1.00
2 categories with multivariate
analysis (Cox regression)
Know both functions 2.38 (1.47 – 3.85)
Know only one/none 1.00
Table 2 shows the prevalence ratio (PR) of condom use among groups with younger age, with
condom use among respondents with varied classifi- lower education, who live in rural area, who live in east-
cations of knowledge on condom functions. Using ern zone of Indonesia, and without education on HIV/
crude or adjusted PR, it appears that respondents with AIDS at school.
better knowledge on condom functions always have Tab el 3 . Ass ocia tion bet ween knowledg e on con dom
higher prevalence of condom use. By two categories, functions with condom use using s tr atif ication
the prevalence of condom use is significantly higher Stratifying C ategories for
stratificatio n PR 95% C I
in respondents who know both functions of condoms V ariables
(31%), than in respondents who only know either func- Age at 20 – 24 years 2.30 1.34 – 3.94
Interview 15 – 19 years 1.61 0.74 – 3.51
tion or not at all (15.1%). The crude PR is 2.05; 95% CI
Level of Secondary (SM P) 2.09 1.26 – 3.46
1.32 – 3.20). When compared in 3 categories, those or above
who know both functions have 4 times higher PR than education Below secondary 1.45 0.60 – 3.47
those who know none.
Type of U rban 2.12 1.20 – 3.75
The last row of Table 2 shows the final model residence Rural 1.91 0.94 – 3.87
that we use to establish the association between knowl- Indonesian W estern 1.98 1.10 – 3.58
edge on condom function with condom use in this zone of C entral 2.54 1.45 – 4.46
study. There are initially several models that result in residence Eastern 1.59 0.62 – 4.12
U pper 5.14 1.06 – 24.99
different values of adjusted PR, ranging from 3.08 to Econom ic
M iddle 2.13 1.02 – 4.45
3.05 (not shown), but the CI remains statistically sig- status
Low er 2.07 1.25 – 3.43
nificant. We include variables of age, economic status, Receiving
Indonesian zone residency, and Human Immunodefi- education on Yes 2.22 1.23 – 4.00
H IV/AID S at No 1.44 0.79 – 2.64
ciency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome school
(HIV/AIDS) education at school because they either
produce p value of less than 0.15 or are regarded as Discussion
substantially important by authors to be included in Bivariate, multivariate, and stratified analyses
the final model. After considering covariates, the ad- demonstrate a consistent association between knowl-
justed is PR 2.38 with 95% CI of 1.47 – 3.86. edge on condom function with condom use. It is shown
Stratification analysis in Table 3 shows the as- that condom use is always more prevalent in the knowl-
sociation between knowledge of condom function and edgeable group. Compared to bivariate analysis, mul-
condom use in various groups. The PR is ranging from tivariate analysis shows lower association because it
1.44 to 5.14 and the 95% CI almost always statistically considers demographic characteristics that may be-
significant in all categories.Knowledge of condoms come a confounding, but the figure is still statistically
donot seem to have positive association with condom significant (2.38 times higher). According to bivariate
45
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia Vol. 2, No. 2,Desember 2018
analyses, there is a dose-response relationship in this knowledge of condom and condom use is not
association because the more condom functions they statistically significant in rural group and eastern part
know of, the more likely they use condoms. of Indonesia. That could mean that in these area
Behavioral theory by Green6 supports our find- condoms may not always be as accessible as they are
ings and it is obviously logical to explain that if one in urban or western part of Indonesia, so even if
knows the consequences of having sexual intercourse someone has the knowledge about condom, he may
outside marital status and the preventive measures, not still be able to use it because he couldn’t access it.
he is more likely to attempt to do something to pre- However, further studies are needed to confirm the
vent them; in this case pregnancy and getting STIs. above reasoning.
We have not found an exactly similar study on these The main study limitation is that we do not know the
variables, but previous researches 10-12 showed that specif ic reason of the respondents for not using
knowledge on preventive health measures are asso- condom. It would be useful to conduct further studies
ciated with safer sexual behavior, including using con- with more detailed approaches to understand why
dom. sexually-active adolescents do not wear condoms. If
It is still worth noting that there may be other possible, it is also advisable to include both male and
factors outside knowledge that could eventually lead females as study sample.
adolescents to practice unprotected sex. Previous Another limitation includes the possible temporal
studies found that comfort 13, 14 and perception of self- ambiguity as a consequence of cross-sectional design
vulnerability14, 15 contributed to the final action for using using secondary data because the questionnaire
or not using condom. available for analysis is not intentionally designed for
In this study, we also propose other reasons this study. However, this study is simply one efficient
for not using condom that may interact with knowledge way to utilize national data to understand the sexual
and need further investigation. One of them is the behavior in general population. Existing studies usually
perception about the consequences or disadvantages focuses on high-risk groups and use small sample size
from STIs and unwanted pregnancies. Someone might because of culturally sensitive nature of this topic. It is
know about safer sex and the importance of condom highly challenging to do a research with large sample
in preventing STIs and unwanted pregnancies, but he that is country-representative for general population.
may decide not to use it because he is not aware that
STIs and pregnancies are something to worry about. Our findings suggest that it may no longer be
As seen in Table 3, there is statistically signif icant relevant for us to ‘hide’ the information on what is
association between knowledge and condom use regarded taboo by the society. We have the evidence
among group with older age, but the association is not that least knowledgeable the respondents, the less
statistically significant in younger age. That could mean likely they are they are to use condoms. Considering
that even if someone has the knowledge about remarkably growing number of adolescent premarital
condom, his level of maturity may affect mindset, sex, we put our generation to risk for getting unwanted
concerns, and priorities which eventually contribute pregnancies and STIs. Unwanted pregnancy is a
to his final decision. complex condition with both short and long term
Similarly, this situation is observed in HIV/AIDS consequences that in the end will become burden to
education stratif ication. The positive association is the country. STIs are also a threat to public health
statistically significant in group with HIV/AIDS education because it includes include human immunodeficiency
at school but is not in group without HIV/AIDS education virus (HIV) infection that certainly poses a risk for a
at school. That could mean that having knowledge lifelong disability. Additionally, non-HIV infections are
about condom and HIV/AIDS may motivate someone as dangerous because although they may be cured,
to use condom because he has something to ‘fear’. they can affect pregnancy outcomes such as birth
This finding is in line with study by Wang(16) which found defects that eventually lead to disability and low quality
that enhancing education on HIV/AIDS may increase of life.
condom use. In addition to social and religious
Other possibilities may include accessibility and consequences, adolescents need to know the health
affordability as shown by stratification analysis in Table risk of sexual behavior along with its preventive
3 of this study. Knowledge has smaller association to measures. Education on sexual and reproductive health
condom use in group with lower economic status, (SRH) for youths is a critical issue that needs to be
although it remains statistically significant. It could mean addressed. Cultural barrier should not get in the way
that even if someone has the knowledge of condom, of the young generations to receive the education they
he does not use it because he cannot afford it. deserve. They are entitled to have balanced information
Similarly, stratification analyses in zone and which comprises of moralities, religious principles, and
cultural values, as well as science-based health literacy.
types of residency find that association between
46
Rahmartani, Adisasmita, Association between knowledge of condom functions and condom use among sexually-active unmarried male adolescents in Indonesia
Conclusion 10. Chandran TM, Berkvens D, Chik obvu P, Nöstlinger C,
Having knowledge about condoms is positively Colebunders R, W illiams BG, et al. Predictors of condom
use and refusal among the population of Free State province
associated with safer sex practice among sexually active in South Africa. BMC Public Health. 2012;12:381.
male adolescents. Unfortunately, majority of Indonesian 11. Rock EM, Ireland M, Resnick MD, McNeely CA. A rose by
young people are not adequately informed about the any other name? Objective knowledge, perceived knowledge,
use of condom as specific protection to unwanted and adolescent male condom use. Pediatrics.
pregnancy and STIs. Banning or hiding information on 2005;115(3):667-72.
12. Camlin CS, Chimbwete CE. Does knowing someone with
condoms may place sexually-active adolescents into AIDS affect condom use? An analysis from South Africa. AIDS
unprotected sex. Education on safe sex practice is Educ Prev. 2003;15(3):231-44.
needed but should be cautiously tailored to meet 13. Kegeles SM, Adler NE, Ir win CE. Adolescents and
condoms. Associations of beliefs with intentions to use. Am
cultural, moral, and religious values. J Dis Child. 1989;143(8):911-5.
14. Kegeles SM, Adler NE, Ir win CE. Sexually active
Recommendation adolescents and condoms: changes over one year in
knowledge, attitudes and use. Am J Public Health.
We suggest further studies to explore the
1988;78(4):460-1.
reasons adolescents do not wear condoms during 15. MacPhail C, Campbell C. ‘I think condoms are good but,
premarital sexual intercouse. These will help us aai, I hate those things’: condom use among adolescents
understand their behavior and formulate well-targeted and young people in a Southern African township. Soc Sci
interventions. Med. 2001;52(11):1613-27.
16. Wang YC. Individual, inter personal, and community
In term of sexual and reproductive health
predictors of consistent condom use among Taiwanese
education, we recommend a good balance between
university students. AIDS Care. 2016;28(3):354-8.
mor ality/religious reasoning and medical
consequences. Each mean of protection (i.e.
abstinence, faithfulness, and condoms) should be
disclosed along with its pros and cons so that
adolescents can make well-informed decisions.
Acknowledgment
We thank The DHS Program for the data set.
The full reports of Indonesia DHS is available for
download at http://www.dhsprogram.com/

Referens i
1. Pakasi D, Kartikawati R. Between Needs and Taboos:
Sexuality and Reproductive Health Education for High School
Students. Makara Journal of Research. 2013;17(2).
2. Situmor ang A. Adolescent Reproductive Health in
Indonesia. Jakarta; 2003.
3. BPS, BkkbN, Kemenkes RI, ICF International. Indonesia
Demographic Health Survey 2012: Adolescent Reproductive
Health. Jakarta; 2013.
4. BPS, Macro International. Indonesia Young Adult
Reproductive Health Survey 2007. Calverton, Maryland; 2008.
5. WHO, UNFPA , UNAIDS, FHI360. Male latex condom.
Specif ication, prequalif ication and guidelines for
procurement, 2010 (revised 2013). Geneva; 2013.
6. Green L, Kreuter M. Health Promotion Planning: An
Educational And Ecological Approach . New York: McGraw-
Hill.  ; 2005.
7. Stanger-Hall KF, Hall DW. Abstinence-only education and
teen pregnancy rates: why we need comprehensive sex
education in the U.S. PLoS One. 2011;6(10):e24658.
8. Yang Z, Gaydos LM. Reasons for and challenges of recent
increases in teen birth rates: a study of family planning service
policies and demographic changes at the state level. J
Adolesc Health. 2010;46(6):517-24.
9. The DHS Progr am. Protecting the privacy of DHS
respondents [Available from: https://dhsprogram.com/What-
W e - D o / P r o t e c t i n g - t h e - P r i v a c y - o f- D H S - S u r v e y -
Respondents.cfm.

47
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia Vol. 2, No. 2,Desember 2018

48
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia

Volume 2 Desember - 2018 No. 2


Artikel Penelitian

Faktor Risiko Kejadian Dehidrasi pada Petani Garam di Kecamatan


Kaliori, Kabupaten Rembang

Risk Factors of Dehydration of Salt Farmers in Kaliori Sub-District,


Rembang District

Nur Fitriaha, Henry Setyawan S.b, Mateus Sakundarno Adib, Ari Udiyonob
a
Mahasiswa Peminatan Epidemiologi dan Penyakit Tropik, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro
b
Dosen Bagian Epidemiologi dan Penyakit Tropik, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro

ABSTRAK ABSTRACT

Dehidrasi merupakan salah satu tanda dari ketidakseimbangan cairan Dehydration is one sign of body fluid imbalance. Hydration status of the
tubuh. Status hidrasi penduduk indonesia yaitu 49,2% penduduk tidak Indonesian Population is 49,2% not-well hydrated. One group at high
terhidrasi dengan baik. Salah satu kelompok yang berisiko tinggi terhadap risk of dehydration is salt farmers. The purpose of this study to analize
dehidrasi adalah petani garam. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis risk factors of dehydration of salt farmers that are knowledge factor,
faktor-faktor risiko dehidrasi pada petani garam yaitu faktor pengetahuan, physical activity factor, fluid intake factor, and personal protective
faktor aktivitas fisik, faktor asupan cairan, dan faktor alat pelindung diri equipments factor for the occurrence of dehydration factor. The type of
terhadap kejadian dehidrasi. Jenis penelitian ini bersifat observasional research is observational analytic with cross sectional design study. The
analitik dengan desain studi cross sectional. Jumlah subjek pada penelitian subject of this study are 100 respondents who selected by simple random
ini sebanyak 100 yang dipilih dengan teknik simple random sampling. sampling technique. The results of analysis show that knowledge and
Hasil analisis menunjukan bahwa pengetahuan, dan aktivitas fisik bukan physical activity are not the risk factor of dehydration of salt farmers.
merupakan faktor risiko dehidrasi pada petani garam. Variabel asupan Fluid intake variable still has not show strong evidence as a risk factor for
cairan masih belum menunjukan bukti yang kuat sebagai faktor risiko dehydration of salt farmers (POR=3,1; 95%CI=0,3-31,1), but the
dehidrasi pada petani garam (POR=3,1; 95%CI=0,3-31,1), tetapi proporsi proportion of dehydrated respondents in deficit fluid intake categor
responden yang mangalami dehidrasi pada kategori asupan cairan (51%) was greater than respondents in categor y adequate fuils
defisit(51%) lebih besar daripada responden pada kategori asupan cairan intake(25%). Furthermore, the poor use of PPE in salt farmers is 2,4
cukup(25%). Selain itu, penggunaan APD yang buruk pada petani garam times more to dehydrated (POR=2,9; 95% CI=0,1-7,3). Salt farmers in
berisiko 2,4 kali lebih besar untuk mengalami dehidrasi (POR=2,4; Kaliori are suggested to increase the amount of fluid consumption and
95%CI=1,1-5,5). Petani garam di Kecamatan Kaliori disarankan untuk the use of the appropriate standard PPE to prevent dehydration.
meningkatkan jumlah konsumsi cairan dan menggunakan APD yang
sesuai standar untuk mencegah dehidrasi.

Kata kunci : Dehidrasi, petani garam, asupan cairan, APD Keywords : Dehydration, salt farmers, fluid intake, PPE

Pendahuluan
Dehidrasi merupakan salah satu tanda dari dengan angka dehidrasi ringan tertinggi adalah
ketidakseimbangan cairan tubuh. Dehidrasi adalah Makassar (59,4%), yang kemudian disusul oleh Jakarta
proses kehilangan cairan tubuh yang berlebihan (53,1%), Malang (50%), Surabaya (47,5%), dan Malino
karena penggantian cairan yang tidak cukup akibat (35,7%)5. Sedangkan terendah, yaitu Lembang dengan
asupan yang tidak memenuhi kebutuhan tubuh dan angka dehidrasi 27,6%2. Selanjutnya, pada Konferensi
terjadi peningkatan pengeluaran air1–4 . Air yang dilaksanakan pada 16-17 Maret di Jakarta
Data dari hasil penelitian The Indonesian menyatakan 49,2% penduduk tidak terhidrasi dengan
Regional Hydration Study (THIRST) pada tahun 2009 baik dan 27,1% mengalami dehidrasi6.
menunjukkan masih tingginya angka dehidrasi yang Faktor risiko dehidrasi secara umum yaitu usia
terjadi di berbagai wilayah di Indonesia yaitu sebanyak dewasa tua atau usia lanjut dan jenis kelamin laki-laki,
46,1% dari 1.200 orang penduduk Indonesia di DKI suhu lingkungan yang tinggi, asupan cairan yang
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, kurang, aktivitas fisik tinggi, pengetahuan terhadap
mengalami dehidr asi ringan dari hasil analisis dehidrasi, ketinggian tempat, dan suhu tubuh14-16 .Salah
laboratorium terhadap sampel urin dengan kriteria satu kelompok yang berisik o untuk mengalami
urine specific gravity2. dehidrasi adalah petani garam6. Petani garam di Jawa
Selain itu, kejadian dehidarasi ringan pada
*Korespondensi: Nur Fitriah, Bagian Epidemiologi dan Penyakit Tropik, Fakultas Kesehatan
subyek di dataran rendah (52,9%) lebih tinggi Masyarakat, Universitas Diponegoro; Email: nurfitriah503@gmail.com; HP: +62 857 1147
dibanding di dataran tinggi (39,3%)2. Penduduk kota 0991

49
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia Vol. 2, No. 2, Desember 2018
Tengah terbanyak berada di Kabupaten Rembang Data penggunaan alat pelindung diri diperoleh melalui
terutama di Kecamatan Kaliori10,11. observasi langsung pada petani garam.
Petani garam melakukan aktivitas fisik yang Status dehidrasi diperoleh melalui observasi
tergolong berat seperti mencangkul, menggarap lahan langsung berdasarkan Urine Chart Colour. Metode ini
tambak garam serta berada di tambak dalam waktu dipilih karena mudah dilaksanakan, sering digunakan,
kerja yang lama. Petani bekerja di lingkungan yang waktu analisis singkat, ketepatan baik, biaya
panas untuk bisa menghasilkan kristal-kristal garam terjangkau,portabilitas alat baik, dan rendahnya risiko
yaitu pada suhu 22°C - 33°C bahkan hingga mencapai bagi subjek. Pengambilan sampel urin dilakukan
suhu 40°C10 . setelah 4-8 jam bekerja dengan menggunakan botol
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan kaca bening. . Kemudian warna urin tersebut
peneliti pada 15 petani garam di Kecamatan Kaliori dibandingkan dengan warna yang ada pada UCC
didapatkan sebanyak 60% petani garam mengalami apabila warna urin sama dengan nomor 1-3 berarti
dehidrasi dengan rata-rata pendidikan petani garam hidrasi baik, nomor 4-6 berarti dehidrasi, dan nomor
sekolah dasar, rata-rata asupan cairan pada petani 7-8 berarti dehidrasi berat.
garam kurang dari 2 liter, hampir seluruh petani garam Analisis distribusi frekuensi digunakan untuk
melakukan aktivitas berat dan hanya 30% petani garam mendeskripsikan variabel sedangkan analisis ukuran
yang menggunakan APD. Berdasarkan uraian tersebut, dampak measure of effect digunakan untuk
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai menentukan besar POR. Penilitian ini lolos kaji Komite
faktor-faktor risiko kejadian dehidrasi pada petani Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kesehatan
garam di Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang. Masyarakat Universitas Diponegoro No. 170/EC/FKM/
2017.
Metode Penelitian Hasil
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei Ta bel 1. Di s tr ibu si Fre kuen si Kar akt eri s ti k Subj ek
hingga Juli tahun 2017 di 10 desa yang memiliki tambak
K a r a k te r is tik S u b je k f %
di Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang. Penelitian
P e n g e ta h u a n
ini merupakan penelitian kuantitatif dengan
P e n g e ta h u a n B a ik 52 52
observasional analitik dan desain studi cross sectional.
P e n g e ta h u a n B u r u k 48 48
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh Ju m la h 100 1 0 0 ,0
petani garam di Kecamatan Kaliori, Kabupaten A k tiv ita s F is ik
Rembang. Jumlah subjek penelitian yaitu 100 petani A k tiv ita s fis ik tin g g i 94 94
garam menggunakan teknik pengambilan sampel yaitu A k tiv ita s fis ik s e d a n g 6 6
simple random sampling dengan kriteria inklusi petani Ju m la h 100 1 0 0 ,0
garam dapat ditemui saat wawancara dan mudah untuk A s u p a n C a ir a n
berkomunikasi, sedangkan kriteria ekslusinya yaitu D e fis it 96 96
petani garam sebelumnya mengkonsumsi wortel atau C ukup 4 4
labuh 500 mg, kafein 500 mg, dan obat-obatan Ju m la h 100 1 0 0 ,0
tertentu. A la t P e lin d u n g D ir i
Data yang diperoleh pada penelitian ini adalah A P D B a ik 55 55
A P D B u ru k 45 45
karakteristik individu, pengetahuan terhadap dehidrasi,
Ju m la h 100 1 0 0 ,0
aktivitas fisik, asupan cairan, kecenderungan dehidrasi,
K e c e n d e r u n g a n D e h id r a s i
penggunaan alat pelindung diri, serta status dehidrasi.
C e n d e r u n g H id r a s i 49 49
Karakteristik individu, pengetahuan, gejala dan C e n d e ru n g 51 51
tanda dehidrasi diperoleh secara langsung melalui D e h id r a s i
wawancara dengan kuesioner yang berisi daftar Ju m la h 100 1 0 0 ,0
pertanyaan seputar variabel tersebut. Aktivitas fisik S ta tu s H id r a s i
diperoleh melalui wawancara dengan menggunaan H id r a s i b a ik 50 50
Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ). Asupan D e h id r a s i 50 50
cairan diperoleh melalui dietary recall dan Food Ju m la h 100 1 0 0 ,0
Frequency Questionaire (FFQ) selama 3x24 jam pada
3 hari aktif kerja dimana total konsumsi cairan yang Berdasarkan Tabel 1. diketahui bahwa sebagian
dihitung adalah konsumsi minuman baik air maupun besar responden beraktivitas fisik tinggi (94%) dan
minuman lainnya, serta cairan dari makanan, dan juga asupan cairan defisit (96%). Hampir separuh responden
air metabolik. Kecenderungan dehidrasi diperoleh berpengetahuan buruk (52%), penggunaan APD yang
melalui wawancara mengenai gejala dan tanda buruk (45%), cenderung dehidrasi (51%), dan dehidrasi
dehidrasi yang dialami responden. (50%).
50
Fitriah, Setyawan, Adi, Udiyono. Faktor Risiko Kejadian Dehidrasi pada Petani Garam di Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang
Ta bel 2. Hu bun gan Antar Var iab el
D e h id r a s i PO R CI
J u m la h
V a r ia b e l Ya T id a k 95%
f (% ) f (% ) f (% )
P e n g e ta h u a n
P e n g e ta h u a n B u ru k 24 24 48
(5 0 ,0 ) (5 0 ,0 ) (1 0 0 ,0 )
1 ,0 0 ,4 - 2 ,1
P e n g e t a h u a n B a ik 26 26 52
(5 0 ,0 ) 5 0 ,0 (1 0 0 ,0 )
A k t iv it a s F is ik
T in g g i 47 47 94
(5 0 ,0 ) (5 0 ,0 ) (1 0 0 ,0 )
1 ,0 0 ,1 - 5 ,2
Sedang 3 3 6
(5 0 ,0 ) (5 0 ,0 ) (1 0 0 ,0 )
A s u p a n C a ir a n
D e f is it 49 47 96
(5 1 ,0 ) (4 9 ,0 ) (1 0 0 ,0 )
3 ,1 0 ,3 - 3 1 ,1
C ukup 1 3 4
(2 5 ,0 ) (7 5 ,0 ) (1 0 0 ,0 )
Penggunaan A PD
B u ru k 28 17 45
(6 2 ,2 ) (3 7 ,8 ) (1 0 0 ,0 )
2 ,5 1 ,1 - 5 ,5
B a ik 22 33 55
(4 0 ,0 ) (6 0 ,0 ) (1 0 0 ,0 )
K e c e n d e r u n g a n D e h id r a s i
C e n d e r u n g D e h id r a s i 26 25 51
(5 1 ,0 ) (4 9 ,0 ) (1 0 0 ,0 )
C e n d e r u n g H id r a s i b a ik 24 25 49
(4 9 ,0 ) (5 1 ,0 ) (1 0 0 ,0 )
Berdasarkan hasil analisis Tabel 2. menunjukan tubuh akanmeningkat, kelenjar hipotalamus akan
bahwa variabel yang berpengaruh adalah penggunaan mengaktifkan mekanisme regulasi panas tubuh
APD. Variabel asupan cairan defisit belum terbukti kuat dengan memberikan reaksi untuk memelihara panas
sebagai faktor risiko dehidrasi, akan tetapi proporsi yang konstan dengan menyeimbangkan panas yang
kejadian dehidrasi pada kategori asupan cairan defisit diterima dari luar tubuh dengan kehilangan panas dari
lebih besar dari pada kategori asupan cairan cukup. dalam tubuh melalui proses penguapan yaitu
Hampir separuh responden mengalami kejadian pernapasan dan keringat dan melalui proses
involuntary dehidration. aklimatisasi tubuh terhadap suhu panas1,2,14,15. Namun,
bentuk penyesuaian tubuh ini juga dapat
Diskusi mempengaruhi fungsi normal tubuh, sehingga lama-
Berdasarkan hasil analisis, proporsi responden kelamaan tubuh dapat terakumulasi efek negatif dari
yang dehidrasi pada kategori penggunaan APD yang paparan panas seperti penurunan jumlah denyut nadi
buruk(62,2%) lebih besar dari proporsi responden yang dan peningkatan jumlah pengeluaran volume keringat.
dehidrasi pada kategori penggunaan APD yang Pengeluaran keringat ini menyebabkan berkurangnya
baik(40%). Penelitian ini menunjukan nilai POR=2,4; cairan tubuh yang relatif banyak akan memengaruhi
95% CI =1,1-5,5 yang ber ar ti responden yang keseimbangan cairan di dalam tubuh pada timbulnya
menggunakan APD buruk berisiko 2,4 kali lebih besar rasa haus dan dehidrasi 16,17. mempengaruhi fungsi
untuk dehidr asi daripada res ponden yang normal tubuh, sehingga lama-kelamaan tubuh dapat
menggunakan APD baik. terakumulasi efek negatif dari paparan panas seperti
Alat pelindung diri yang harus dipakai oleh saat penurunan jumlah denyut nadi dan peningkatan jumlah
berada di tempat kerja berupa tutup kepala (caping, pengeluaran volume keringat. Pengeluaran keringat
topi), baju kerja lengan panjang dan masker. Tutup ini menyebabkan berkurangnya cairan tubuh yang
kepala baik berupa topi atau caping berguna untuk relatif banyak akan memengaruhi keseimbangan
mengurangi paparan panas matahari ke wajah dan cairan di dalam tubuh pada timbulnya rasa haus dan
kepala, baju lengan panjang juga berguna untuk dehidrasi16,17.
mengurangi paparan panas matahari ke tubuh Beberapa literatur menyebutkan bahwa suhu
pekerja 12 . Sedangkan masker berguna untuk lingkungan, kelembaban udara dan kecepatan angin
menghindari paparan debu pelindung diri seperti adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap
masker dan respirator tidak memungkinkan pekerja keringat yang hilang18,19.
minum secara leluasa13. Menurut Institute of Medicine tentang
Penggunaan APD yang buruk memungkinan rekomendasi asupan air, kebutuhan cairan pada pekerja
terkena paparan panas. Paparan panas umumnya dalam lingkungan panas (30-35°C) dengan intensitas
dapat diatasi secara alamiah oleh tubuh yaitu suhu kegiatan fisik aktif sampai sangat aktif adalah sebesar
51
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia Vol. 2, No. 2, Desember 2018
6-8 liter per hari 20,21 . Meskipun k onsumsicairan jumlah konsumsi cairan. Konsumsi air saja tidak
termasuk tinggi untuk orang dalam kondisi normal menstimulasi r asa ingin minum dan dapat
dengan kebutuhan cairan 2 liter per hari, namun meningkatkan jumlah urin yang keluar dan
ternyata jumlah ter sebut masih kur ang dari meyebabkan penurunan asupan dan meningkatkan
pemenuhan kebutuhan cairan yang seharusnya keluaran26.
dikonsumsi pekerja dalam lingkungan panas termasuk Selain tingkat aktivitas fisik yang tinggi serta
petani garam. kurangnya pengetahuan tentang air minum, faktor
Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa nilai akses terhadap air minum yang aman dan bermutu
POR=3,1; 95%CI=0,3-31,1 yang ber ar ti bukan juga dapat mempengaruhi tingkat dehidrasi karena
merupakan faktor risiko dehidrasi meskipun nilai biasanya toilet tidak tersedia di tambak untuk buang
POR>1, akan tetapi nilai 95%CI melewati 1, yang berarti air kecil sehingga mereka malas untuk minum. Biasanya,
secara signif ikan tidak berisik o. Penelitian lain seseorang menunggu sampai haus, sebelum mulai
menyebutkan nilai OR= 9,583 (2,52-32,201), artinya berpikir untuk minum air2,5. Kecenderungan dehidrasi
siswa yang k onsumsi cairannya kurang memiliki di nilai dari hasil jawaban contoh dari pertanyaan yang
peluang 9,583 kali untuk mengalami dehidrasi diberikan. Contoh diberikan pertanyaan tertutup
dibandingkan siswa yang konsumsi cairannya cukup22. dengan jawaban ya atau tidak tentang tanda-tanda fisik
Meskipun belum cukup bukti yang menyakatan dehidrasi. Kecenderungan dehidrasi pada penelitian
bahwa asupan cairan yang def isit tidak berisik o ini didapatkan dari hasil jawaban contoh dan bukan
terhadap dehidr asi, tetapi hasil penelitian ini merupakan pengamatan fisik secara langsung pada
menunjukkan bahwa proporsi responden yang saat wawancara. Pertanyaan yang diberikan yaitu dalam
mengalami dehidrasi pada kategori asupan cairan seminggu terakhir contoh pernah merasakan haus,
defisit (51%) lebih besar daripada responden yang lelah, kulit kering, bibir kering, dan tenggorokan
mengalami dehidrasi pada kategori asupan cairan kering 27,28.
cukup (25%). Dehidrasi merupakan kondisi di saat tubuh
Hasil penelitian tersebut sesuai dengan kekurangan banyak cairan. Dehidrasi dapat terjadi
penelitian yang dilakukan oleh Gustam, dimana proporsi karena adanya pengaruh kondisi lingkungan atau
responden yang mengalami dehidrasi pada kategori cuaca, misalnya pada saat kondisi udara panas maka
asupan cairan defisit sebesar 48,8%, dan pada kategori tubuh akan mengeluarkan keringat yang cukup banyak
asupan cairan cukup sebesar 47,7%5. Penelitian yang dan dapat mengakibatkan dehidrasi. Berdasarkan hasil
dilakukan oleh Donna Juga menyebutkan hal yang penelitian, sebesar 49,0% responden mengalami
sama yaitu 62,5% responden mengalami dehidrasi dehidrasi pada kategori kecenderungan hidrasi baik.
pada kategori asupan cairan defisit. Hasil tersebut Penelitian lain menunjukkan bahwa terdapat 48%
sesuai dengan teori dimana pekerja yang or ang dewasa mengalami dehidr asi dan 26%
mengonsumsi cairan dalam jumlah cukup atau sesuai diantaranya tidak menyadari hal tersebut29. Dehidrasi
dengan kebutuhan tubuh maka akan memiliki status yang tidak disadari disebut juga sebagai involuntary
hidrasi baik, sedangkan pekerja yang asupan cairannya dehydration.
tidak memenuhi kebutuhan dapat mengalami Kondisi involuntary dehydration merupakan
dehidrasi 3,23 . Asupan cairan yang kurang karena kondisi dehidrasi atau defisit cairan yang terjadi ketika
responden tidak memenuhi kebutuhan cairan tubuh, sensasi haus tidak cukup kuat untuk merangsang
tidak tersedianya tempat yang tetap untuk menampung seseorang mengonsumsi minuman dalam jumlah yang
air minum seperti galon yang disediakan di masing- cukup sehingga tidak dapat menggantikan kehilangan
masing tambak. Hal tersebut mempengaruhi frekuensi air secara cepat. Berdasarkan hasil penelitian diketahui
dan jumlah air minum yang dikonsumsi. bahwa prevalensi dehidrasi yang tidak disadari pada
Status hidr asi lebih dipengaruhi oleh subjek penelitian sebesar 60,9% 30. Berbeda dengan
kecukupan konsumsi cairan yang sesuai dengan penelitian di California yang menemukan 26% orang
kebutuhan dan adanya faktor suhu lingkungan yang dewasa mengalami dehidrasi yang tidak disadari 29.
tinggi sehingga terjadi peningkatan pengeluaran cairan Besarnya angka prevalensi kondisi dehidrasi tidak
melalui pernapasan dan keringat yang menyebabkan disadari yang terjadi pada subjek penelitian ini dapat
kebutuhan cair an tubuh meningkat 4,20,21,23-25 . diakibatkan oleh beberapa faktor seperti kegiatan atau
International Olympic Committee (IOC) dalam aktivitas dan suhu lingkungan30.
mengkonsumsi kopi, teh, dan alkhohol dalam dosis Penelitian ini tidak lepas dari keterbatasan
tinggi dapat menyebabkan penurunan cairan tubuh penelitian seperti saat mewawancarai satu responden
karena minuman atau cairan tersebut memiliki efek terdapat pihak ketiga yaitu responden lain yang ikut
reaksi sebagai deuritik. Minuman berkarbonasi menjawab pertanyaan kuesioner tersebut hingga bisa
sebaiknya dihindari karena gas dalam minuman dapat menimbulkan bias informasi, tetapi peneliti melakukan
membuat perut terasa penuh sehingga menurunkan upaya untuk meminimalisasi dengan mengingatkan

52
Fitriah, Setyawan, Adi, Udiyono. Faktor Risiko Kejadian Dehidrasi pada Petani Garam di Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang
responden untuk selalu fokus tanpa menghiraukan 13.Direktorat Kesehatan Kerja Kementerian Kesehatan RI.
jawaban responden lainnya. Pedoman kebutuhan cairan bagi pekerja agar tetap sehat
dan produktif. 1st ed. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI;
Simpulan dan Saran 2014. 10-43 p.
14.Sumamur. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja
Dehidrasi pada peda petani garam sebesar (Hiperkes). 2009: Sagung Seto; 2009. 42-49, 151-164 p.
50,0% dan hampir separuh responden (49%) 15.Brake DJ, Bates GP. Fluid losses and hydration status of
mengalami involuntary dahydration. Berdasarkan hasil industrial workers under thermal stress working extended
analisis menunjukan bahwa variabel yang merupakan shifts. Occup Environ Med [Internet]. 2003 Feb [cited
faktor risik o dehidrasi pada petani garam yaitu 2017 Apr 10];60(2):90–6. Available from:
penggunaan APD yang buruk (POR=2,9; 95% CI=0,1- http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12554834
7,3) Belum cukup bukti yang kuat menyatakan tingkat 16. Leksana E. Strategi Terapi Cairan pada Dehidrasi .
asupan cairan merupakan faktor risiko dehidrasi pada 2015;42(1):70–3.
17.Cahyadi W. Pengaruh Suhu Ruang terhadap Keluhan
petani garam (POR=3,1; 95% CI =0,3-31,1), tetapi
Subyektif Gejala Heat Exhaustion Bagian Injeksi PT.
proporsi responden yang mengalami dehidrasi pada Arisamandiri Pratama Demak. Universitas Muhammadiyah
kategori asupan cairan defisit lebih besar daripada Semarang; 2012.
responden yang mengalami dehidrasi pada kategori 18.Gibson S, Gunn P, Maughan RJ. Hydration, water intake
asupan cairan cukup. serta hampir separuh responden and beverage consumption habits among adults. Nutr Bull
mengalami kejadian involuntary dehidration. Petani [Internet]. 2012 Sep [cited 2017 May 4];37(3):182–92.
garam di Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang Available from: http://doi.wiley.com/10.1111/j.1467-
disarankan untuk meningkatkan jumlah konsumsi 3010.2012.01976.x
cairan sebesar 6 liter dan menggunakan APD yang 19.Shirreffs SM. Hydration in sport and exercise/ : water ,
lengkap seperti pakaian lengan panjang, topi, sarung sports drinks and other drinks. 2009;374–9.
tangan, masker, dan sepatu untuk mencegah dehidrasi. 20.Hardiansyah BIS, Siregar P, Pardede SO. Air Bagi Kesehatan.
Jakarta: Centra Communication; 2011. 53-94 p.
Referens i 21.Kenef ick RW, Sawka MN. Hydration at the work site. J Am
1. Tar waka, Bakri SH, Sudiajeng L. Ergonomi untuk Coll Nutr [Internet]. 2007 Oct [cited 2017 Apr 10];26(5
Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas [Internet]. Suppl):597S–603S. Available from: http://
Surakarta: Uniba Press; 2004. 3-143 p. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17921472
22.Pertiwi D. Status Dehidrasi Jangka Pendek Berdasarkan
2. Hardinsyah, Sriardiningsih, Razaktaha, Dodik B, Effendi,
Hasil Pengukuran Puri (Periksa Urin Sendiri) Menggunakan
A, et al. Kebiasaan Minum dan Status Hidrasi pada Remaja
Grafik Warna Urin pada Remaja Kelas 1 Dan 2 di SMAN
dan Dewasa di Dua Wilayah Ekologi Berbeda. Tim THIRST.
63 Jakarta Tahun 2015 . Universitas Islam Negeri Syarif
Bogor: PERGIZI PANGAN Indonesia; 2010. 53-62,70-88p.
Hidayatullah; 2015.
3. Armstrong LE. Assessing hydration status: the elusive gold
23.Shirreffs SM. Markers of hydration status. Eur J Clin Nutr
standard. J Am Coll Nutr. 2007;26(5):575S–584S.
[Internet]. 2003 Dec [cited 2017 Apr 10];57:S6–9. Available
4. Clapp A J, Bishop PA, Smith JF, Lloyd LK, Wright KE. A
from: http://www.nature.com/doif inder/10.1038/
Review of Fluid Replacement for Workers in Hot Jobs .
sj.ejcn.1601895
AIHA J [Internet]. 2002 Mar [cited 2017 Apr 10];63(2):190–
24.Forrester HJ. Wise up on water, Water In The Workplace.
8.
Water UK. 2006;
5. Gustam. Faktor risiko dehidrasi pada remaja dan dewasa
25.Miller VS, Bates GP. Hydration, Hydration, Hydration. Ann
[Internet]. Institut Pertanian Bogor; 2012 [cited 2016 Dec
Occup Hyg [Internet]. 2009 Dec 15 [cited 2017 Apr
22].
10];23(2):79–87. Available from:vhttps://
6. Bardosono S. Fluid Intake of the Indonesian Population .
academic.oup.com/annweh/article/54/2/134/166160/
THIRST; 2016 p. 1–33.
Hydration-Hydration-Hydration
7. Bates GP, Schneider J. Hydration status and physiological
26.Ramadhan RI, Rismayanthi C. Hubungan Antara Status
workload of UAE construction workers: A prospective
Hidrasi Serta Konsumsi Cairan Pada Atlet Bola Basket .
longitudinal observational study. J Occup Med Toxicol
MEDIKORA. 2016;53–61.
[Internet]. 2008 Sep 18 [cited 2017 Apr 10];3:21.
27.Siddiq MNAA. Konsumsi Buah dan Sayur Serta Status
8. Silva RP, Mündel T, Natali A J, Bara Filho MG, Lima JRP,
Hidrasi Anak Sekolah Dasar di Wilayah Barat Kabupaten
Alfenas RCG, et al. Fluid balance of elite Brazilian youth
Bogor. Institut Pertanian Bogor; 2016.
soccer players during consecutive days of training. J Sports
28.Murray B. Hydration and physical performance. J Am Coll
Sci [Internet]. 2011 Apr [cited 2017 Apr 10];29(7):725–
Nutr [Internet]. 2007 Oct [cited 2017 May 4];26(5
32. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
Suppl):542S–548S. Available from: http://
21391086
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17921463
9. Fink HH, Mikesky AE. Practical Applications in Sport
29.Bennett JA, Thomas V, Riegel B. Unrecognized chronic
Nutrition. 3rd ed. Canada: Jones and Bartless Publisher;
dehydration in older adults: examining prevalence rate
2013. 218-221 p.
and risk factors. J Gerontol Nurs [Internet]. 2004 Nov [cited
10.Badan Pusat Statistik Kabupaten Rembang. Rembang Dalam
Angka . Kabupaten Rembang: Badan Pusat Statistik 2017 Aug 22];30(11):22-8-3. Available from: http://
Kabupaten Rembang; 2015. 3-23, 235 p. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15575188
11.Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Rembang. Profil Data 30.Hapsari M, T itis S, Sofro ZM, Fajri Y. Prevalensi kasus
Kelauatan dan Perikanan Kabupaten Rembang Tahun 2016. dehidrasi pada mahasiswa Universitas Gadjah . J Gizi Klin
Rembang: Pemkab; 2016. 235 p. Indones. 2014;11(2).
12.Wahyuni I, Ekawati MK, Sc M. Analisis Bahaya dan Penilaian
Kebutuhan APD pada Pekerja Pembuat Batu Bata di Demak,
Jawa Tengah. 2016;10(1):77–84.
53
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia Vol. 2, No. 2, Desember 2018

54
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia
Volume 2 Desember - 2018 No. 2

Artikel Penelitian

The Relationship between Antenatal Care with Childbirth Complication


in Indonesian’s Mothers (Data Analysis of The Indonesia Demographic
and Health Survey 2012)

Hubungan Antara Perawatan Antenatal dengan Komplikasi Persalinan pada


Wanita Indonesia (Analisis data Sur vei Demograf i dan Kesehatan Indonesia
2012)

Krisnawati Bantasa*, Nurul Aryastutib, Dwi Gayatria


a
Department of Epidemiology - Faculty of Public Health, Universitas Indonesia 1 st Floor Building A Kampus Baru UI Depok 16424, Indonesia
b
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati, Jalan Pramuka No. 27 Kemiling, Bandar Lampung, Indonesia

ABSTRAK ABSTRACT
Komplikasi persalinan sering membawa kepada kematian ibu. Perawatan Labor complications often lead to maternal death. A good antenatal care
antenatal yang baik dapat menurunkan kematian ibu dan bayi. Penelitian can reduce maternal and infant mortality. The purpose of this study was
ini bertujuan untuk menganalisis hubungan natara perawatan antenatal to analyze the relationship between antenatal care and labor complica-
dengan komplikasi persalinan diantara para ibu di Indonesia. Data Survei tion among Indonesian’s mothers. Data of the Indonesia Demographic
Demograf i dan Kesehatan Indonesia tahun 2012, dari 33 Provinsi and Health Survey (IDHS) 2012 from 33 Provinces were used in this
digunakan dalam penelitian ini. Sampel terdiri dari 11.803 wanita berusia study. Samples consisted of 11.803 women aged 15-49 years who deliv-
15-49 yahun yang melahirkan bayi dalam 5 tahun terakhir sebelum ered baby at sometimes during the last 5 years before survey. A cross-
survei. Rancangan potong lintang digunakan dalam penelitian ini. Variabel sectional design was used. Variables in the study consisted of dependent
yang diteliti terdiri dari variabel komplikasi persalinan (variabel terikat), variable (labor complication), main independent variable (antenatal care)
variabel perwatan antenatal (variabel tak terikat utama dan variabel tak and potential confounder variables including maternal age in the last
terikat lain yang berpotensi sebagai perancu meliputi umur ibu saat labor, mother ’s education, number of parity, preceding birth interval,
persalinan terakhir, pendidikan ibu, jumlah paritas, jarak kehamilan birth attendance, place of delivery, a history of pregnancy complications,
sebelumnya, penolong persalinan, tempat melahirkan, riwayat komplikasi history of previous labor complication and multiple pregnancies. A logis-
kehamilan, riwayat komplikasi persalinan sebelumnya, kehamilan kembar. tic regression was used for analyzing data. Results of this study showed
Regresi logistik digunakan untuk menganalisis data. Hasil penelitian that the prevalence of labor complications was 49.2% and the preva-
menunjukkan bahwa prevalensi komplikasi persalinan adalah 49,2% dan lence of poor antenatal cares (do not use a standard criteria recom-
prevelensi perawatan antenatal yang buruk (yang tidak menggunakan mended by Indonesian Health Ministry) was 91.2%. After controlling for
kriteria yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan Republik all potential confounder variables, this study showed that, mothers with a
Indonesia) adalah 91,2%. Setelah mengontrol semua variabel yang diduga poor antenatal care had a 1.3 times higher risk of labor complications
sebagai perancu, penelitian ini menunjukkan bahwa para ibu dengan than mothers with a good antenatal care (POR 1.3, 95% CI: 1.1 - 1.4).
perawatan antenatal yang buruk berpeluang lebih tinggi 1,3 kali untuk
mempunyai risiko komplikasi persalinan dibanding para ibu dengan
perawatan antenatal yang baik (POR 1,3, 95% CI: 1,1 – 1,4).
Kata kunci: Perawatan antenatal, komplikasi persalinan, Indonesia Keywords: Antenatal Care, Labor Complication, Indonesia.

Introduction
In 2015 the maternal mortality ratio (MMR) in MMR was far from the target of the Millenium Devel-
developing countries was 239/100.000 live births, while opment Goals (MDGs) 2015 (102/100.000 live births).
in developed countries, it was only 12/100.000 live All over the world, almost 75% of all maternal
births. It was quite high when compared to the MMR death was due to bleedings, pre-eclampsia/eclamp-
of neighboring countries in the ASEAN region. In 2007, sia, and unsaved abortion, the rest of 25% was due to
when the Indonesian MMR reached 228 per 100.000 HIV and malaria infection during pregnancy2. The
live births, the MMR of Singapore was only 6 per cause of maternal death is quite complex, and it can
100.000 live births, Brunei was 33/100.000 live births, be categorized into reproduction factors (such as age,
Filipina was 112/100.000 live births, Malaysia and also *Korespondensi: Krisnawati Bantas. Department of Epidemiology - Faculty of Public
Vietnam was similar 160/100.000 live births.1 Indonesia’s Health, Universitas Indonesia. 1st Floor Building A Kampus Baru UI Depok 16424,
Indonesia. E-mail: Krisnabantas@yahoo.com .

55
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia Vol. 2, No. 2,Desember 2018
parity, and unwanted pregnancy); obstetrical compli- during pregnancy, and getting the information about
cations (abortion bleeding, ectopic pregnancy, the 3rd what to be performed with their pregnancy and their
trimester bleeding, postpartum bleeding, puerperium labor8. The Indonesia Ministry of Health had recom-
infection, aseptic abortion); and health services and mended that pregnant women at least had four preg-
socio-cultural factors (poverty, ignorance, culture of nancy examination visits, based on the “1-1-2” sched-
particular food eating taboo in pregnant women) 3. The ule during pregnancy namely: at least one visit in the
direct cause of maternal death in Indonesia was domi- 1st trimester, at least 1visit in the 2nd trimester, at least
nated by bleeding (30.3%), hypertension/eclampsia two visits in the 3rd trimester. About 70.4% of pregnant
(27.1%), and infections (7.3%).4 The indirect causes of women had fulfilled this schedule; it was higher when
maternal death, that was what we called with “three compared to the coverage of pregnancy care in 2007,
delayed” (delayed in recognizing danger signs of la- which showed only 66%.9,10 According to the National
bor, delayed in making a decision, and suspended in Family Planning Coordination Agency, during the an-
getting the health services by health professional in tenatal care visit, mothers should get some mea-
the health facility) and “four overly” (too young, too surements and examinations namely: measurements
frequent, too old to give birth, and also short the birth of body height and weight; observations of blood pres-
space).5 The mother and child health program is one sure, uterine fundus, blood, and urine; administrations
of the priority programs of the Republic of Indonesia of iron tablets, and the TT vaccine; consultations for
Ministry of Health, and the success of this program preparing the labor; explanations of signs of pregnancy
becomes one of the significant indicators of the na- and labor complications (The National Population and
tional long-term development plan (NLDP) 2005–2025. Family Planning Coordinating Agency, 2013). Through
The high of maternal mortality rates (MMRs) in Indo- reasonable antenatal care (ANC), childbirth complica-
nesia encourages the Indonesian government, plac- tions can be prevented by the early introduction to
ing efforts to decrease the MMR as a priority in the good pregnancy care, which complies with the BKKBN’s
health development program. According to the Na- standard. Reasonable antenatal care (ANC) can be
tional Planning Development Agency (2010), the ANC determined by the frequency of ANC visit during preg-
and delivery by skilled health personal coverage were nancy (the 1st visit and the 4th visit), and the type of
high enough, but some risk factors during pregnancy examination to be done.
should be of concern. Efforts to improve maternal The morbidity and mortality of pregnant and
health were prioritized by the expansion of quality delivery women are still important issues in develop-
health services, comprehensive obstetric services, ing countries, including Indonesia. It was shown by the
developing family planning services, and disseminat- high maternal mortality rates, and even recently, it was
ing information and education to the public. more increased than before. A complex condition may
The burden of obstetric complication during play a role in this high maternal mortality rate. Compli-
labor was s till high. Sever al types of serious cations that arise during labor and puerperium were
complications can be early identified and prevented the direct cause of maternal death. The occurrence of
when the need for optimal health care during bleeding (hemorrhage) (30.3%), hypertension or ec-
pregnancy and labor can be fulfilled. Increasing the lampsia (27.1%), infection (7.3%), and prolong labor
monitoring and administering prompt interventions in were still high and may lead to maternal death. It was
high-risk groups of pregnant women during pregnancy accounted only 70.4% of pregnant women who thor-
was the key to reducing the occurrence of labor oughly followed the schedule of antenatal care (ANC
complications that lead to maternal morbidity and 1-1-2), and this rate was far from the target (95%) of
mortality.6 The ANC is a critical factor in preventing the maternal health program of Indonesia Ministry of
complications and death during labor, and also for the Health. The low coverage of the ANC program might
fetus growth and health. The risk of maternal morbidity influence labor complications. This study was aimed at
and mortality can be reduced through reproduction analyzing the association between the ANC and the
health services such as antenatal care (ANC) and labor complication in Indonesia.9
postnatal care (PNC), family planning, and the saved
abortion. The safe motherhood program dramatically Method
emphasizes on the availability and the affordability in Data were obtained from the Indonesia
the provision of skilled care at delivery to deal with Demography and Health Survey (IDHS) 2012. IHDS was
the arising of emergency condition.7 conducted in 33 provinces of Indonesia by the
The MMR can be reduced if mothers behaved Indonesia Statistic Central Biro (ISCB/BPS) and in
healthily during pregnancy namely; taking care the collaboration with the Indonesia National Population
pregnancy through well nutrient intake, taking iron tab- and Family Planning Agency (INPFPA/BKKBN), the
lets, doing pregnancy exercises, caring of the birth Republic of Indonesia Ministry of Health and the United
canal, avoiding smoke and visiting ANC at least 4 times States Agency for International Development (USAID).
56
Bantas, A r yas tuti, Gayatri, The Relationship between Antenatal Care with Childbirth Complication in Indonesian’s Mothers (Data Analysis of IDHS 2012)
Tabel 1. The dis trib ution of lab or comp l ication of mother s
The major objectives of the IHDS 2012 were
in In d onesia (I HDS d ata 20 12)
to provide detail information about population, family
planning, and health, for policy makers and managers Labor Frequency Percentage
of the population and health program. A cross- Complication (%)
sectional design was used in this study. The study Yes 5803 49.2
No 6000 50.8
population consisted of all women of childbearing age,
Total 1 1 803 1 00.00
age between 15-49 years old, lived in 33 provinces
and had given birth in the last five years before the Table 1 presents among 5.803 mothers who
survey, and a member of the selected household of had labor complications, the most frequent
the IDHS 2012. The inclusion criteria: women age complication was prolonged labor (76%), followed
between 15-49 years old, who have given birth both by: amniotic fluid discharge more than 6 hours
live and stillborn. The exclusion criteria: women who
before labor (31,7%), high body temperature and
did not have a pregnancy check-up on health worker,
smell vaginal discharge (16,5%), bleeding (16,3%)
and women with missing data. Sample of this study
consisted of 11.803 women of childbearing age who and the most rarely complication was seizure and /
had given the last birth in 5 years period before the or unconscious (3.5%).
survey, age between 15-49 years who lived in one of Tabel 2. The d is tribution of the type of labor comp lication
the 33 provinces of Indonesia and had been selected of mot hers in Ind onesia
as a sample in IDHS 2012. Variables included in this
Type of Labor Complication Frequency Percentage (%)
study were; labor complication (as an outcome
Prolong labor 4405 76.0
variable), ANC (as a mean variable), and mother’s age Bleeding 947 1 6.3
at the last birth, mother ’s education, parity, birth High body temperature and 957 1 6.5
spacing, birth attendant, place of birth, history of smell vaginal discharge
pregnancy complication, history of birth complication, Convulsion and unconscious 205 3.5
multiple pregnancies (as potential confounder Amniotic fluid discharge more 1 841 31 .7
than 6 hours before labor
variables). Data were analyzed by logistic regression.
Other difficulties or 583 1 0.0
Women with positive labor complication was complications
def ined as women who had one or more of the * Note: mothers may had one
following events during or after labor, namely: regularly or more symptoms
intense abdominal cr amp more than one day,
excessive bleeding (more than 3 napkins), high body Tabel 3. The d is trib ution of the typ e of ANC ser vices of
temperature and/or smell vaginal discharge, seizures mot hers in Ind o nesi a (I HDS d ata 201 2)
and unconscious, amniotic fluid discharge more than
Indicators Frequency Percentage (%)
6 hours before the baby is born, the presence of other
ANC visits
difficulties and complications. Women with a standard 1 st Trimester 1 0,1 34 85.9
ANC was defined as women who had ANC with an 2nd Trimester 1 1 ,534 97.7
entirely visit pattern “1-1-2” of schedule, women who 3rd Trimester 1 1 ,025 93.4
had been wholly measured of their body height, body ANC visits based on standard
weight, uterine fundus, blood pressure, women who < 4 times of visit 2443 20.7
had been received ultimately 90 iron tablets during = 4 times (1 -1 -2) of visit 9360 79.3
Types of ANC received by
pregnancy, consultation, the TT vaccines, blood and
mothers
urine examination. Variables used as the potential Measurement of body 1 1 ,422 96.8
confounder in this study were defined as follow (Table1). weight
Multiple logistic regression was used to test the Measurement of body 5,798 49.1
association between ANC and labor complication. The height
statistic software of SPSS 16 was used in this study. Measurement of blood 1 1 ,51 5 97.6
pressure
Blood test 5,095 43.2
Result Urine test 5,891 49.9
Uterine fundus examination 1 1 ,646 98.7
Descriptive results Administration of iron 9,484 80.3
tablets
Table 1 shows that from a total sample of 11.803 Administration of TT 5,824 49.3
mothers who gave childbirth during 2007-2012 there Consultation 1 0,1 83 86.3
were 5.803 who had labor complications (49.2%), and Receiving ANC standard
the rest or 6.000 mothers had no labor complication Not according to standard 1 071 7 90.8
(50,8%). According to standard 1 086 9.2

57
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia Vol. 2, No. 2,Desember 2018
Tabe l 4 . Ch ar ac teris t ics of Res pon dent Ba sed on Oth er Table 3 shows, from 11,803 mothers, 85.9%
Va r i a b l e s visited the first ANC in the 1st trimester. The highest
Percentage visit (97.7%) was in the 2nd trimester, and in the 3rd
Variable Name Frequency
(%) trimester the ANC visit was 93.4%. Mothers who
Mother’s age Mean: 28.20 years;
[95% CI (28.09-28.31 )]
fulfilled the standard ANC visit schedule (the “1-1-2”
Median: 28 years visit) were only 79.3%. Based on the type of ANC
Mother’s education
Min-Max: 1 3-49 years
services, only 9.2 % of mothers had received a standard
Not going to school 94 0.8 ANC services. The uterine fundus examination was the
Elementary school 3,469 29.4 highest (98.7%), followed by blood pressure (97.6%),
Junior high school 3,021 25.6
High school 3,668 31 .1 and body weight (96.8%) measurement. The lowest
Diploma 600 5.1 ANC service that was received by mothers was blood
Parity
Bachelor 951
Mean: 2.1 3;
8.1
test (43.2%). The administration of iron tablets, TT
[95% CI (2.1 - 2.1 5)] vaccines, urine test, and consultation was 80.3%, 49.3%
Median: 2
Min-Max: 1 -1 4
49.9% and 86.3% respectively.
Birth spacing (in month) Mean: 70.97 months; Table 4 shows the distribution of the charac-
[95% CI (70.02-71 .91 )]
Median: 64 months
teristic of respondent based on covariate variables.
Min-Max: 1 7-31 9 Average respondent’s age at delivery was 28 years,
months the youngest and the oldest was 13 years and 49 years
Birth attendant
General practice 1 18 1 .0 respectively. Most respondent’s education was high
Obstetrician 2,638 22.4 school. On average respondents had given birth to 2
Nurse 1 ,670 1 4.2
Mid wife 6,491 55.0 children. Number of children ever born was at least 1
Village mid-wife 2,386 20.2 child and the most was 14 children. On average re-
Witch doctor 2,021 1 7.1
Friend or family 1 ,334 1 1 .3 spondents had birth spacing between the last and the
Others 95 0.8 previous birth was 71 months. The shortest and the
Birth place
Mother’s house 3.1 02 26,3
longest birth spacing were 7 months and 319 months.
House of others 303 2,6 Labor was mostly helped by midwife (75.2%), and fol-
Government Hospital
Primary health care
1 .463
637
1 2,4
5,4
lowed by obstetrician (22.4%). Labor was mostly taken
Village health station 30 0,3 place in the respondent’s house (26.3%), and in the
Village polyclinic/ Other 1 54 1 ,3 midwife’s practice place (25.7%). Respondent who had
government clinic 6 0,05
Private Hospital a history of labor complication was (5.1%), while who
Maternity hospital have not (94.9%), The distribution of the type of the
Private clinic 943 8,0
General practitioner 801 6,8 history of labor complications was also presented in
Obstetrician 31 2 2,6 this table. Respondents with multiple pregnancy was
Midwife 12 0,1
Nurse 79 0.7 0.9%
Village midwife
Others
3.028
15
25.7
0,1
Analytic results
884 7,5 Table 5 presents the distribution of labor
34 0,3 complications according to each independent variable
History of previous labor
complications and the association between each independent
Exist 607 5.1 variable and labor complication in crude POR and
Does not exist 1 1 1 96 94.9
Types of previous labor adjusted POR. Crude POR represent of the association
complications
77.6
between each independent variable and outcome
Regularly strong abdominal 471
cramp more than one day variable before adjusted. After conducting interaction
and night
14.3
test, we found that there was no interaction between
Excessive bleeding (more 87
than 3 napkins)
ANC and each potential confounder variables in our
14.0
High body temperature 85 statistical models. Adjusted POR represent the
and smell vaginal discharge
Convulsion and
association between the mean exposure variable (ANC)
3.0
unconscious 18 and the outcome variable (labor complication) in this
Amniotic fluid discharge 33.4
study after controlling for potential confounder
more than 6 hours before 203
labor variables (Mother’s age, Parity, Birth assistant, Birth
Other difficulties and 7.7
place, History of pregnancy complications, and History
complications 47
n= 607 of previous labor complications). In this study there was
remark: respondent can statistically significant association between ANC and
experience more than one
type complication labor complications. Mothers who had no standard ANC
Multiple pregnancies were more likely to have labor complications than
Yes 1 04 0.9
No 1 1 699 99.1
mothers who had standard ANC (POR 1.3; 95% CI 1.14-
1.49).
58
Bantas, A r yas tuti, Gayatri, The Relationship between Antenatal Care with Childbirth Complication in Indonesian’s Mothers (Data Analysis of IDHS 2012)
Table 5. The dis tribution of lab or c omp licatio ns accord i ng to eac h ind epend ent variab le and the associati on b etween each
ind ep endent variable and labor comp lication in crud e POR and ad justed OR (IHDS data 2012)
Variabel Name Labor Complication Crude 95% CI P Value Adjusted 95% CI P Value
Yes No POR POR
ANC Standard 0.002 1.14-1.49 <0.0001
Not Standard 5372 (92.6%) 5461 (91%) 1.23 1.08-1.41 1.30
Standard 431(7.4%) 539 (9%) 1 1
Mother’s Age 0.81-0.96 0.005 0.76-0.94 0.001
At Risk (<20 and >35 1141 (19.7%) 1305 (21.8%) 0,88 0.86
years) 4662 (80.3%) 4695 (78.2%)
Not at Risk (20-35 1 1
years)
Mother’s education 0,91-1,06 0.65 x x x
Low 3225 (55.6%) 3359 (56%) 0.98
High 2578 (44.4%) 2641 (44%) 1
Parity 1.28-1.48 0.001 1.42-1.66 <0.0001
At Risk (1/>4) 2808 (48.4%) 2429 (40.5%) 1.38 1.54
Not at Risk (2-4) 2995 (51.6%) 3571 (59.5%) 1 1

Birth space 0.78-1 .09 0.356 x x x


<24 months 264 (8%) 339 (8.6%) 0.92
=24 months 301 9 (92%) 3583 (91 .4%) 1
Birth attendant 0.81 -0.96 0.003 1 .02-1 .24 0.01 4
Non health 1 435 (24.7%) 1 626 (27.1 %) 0.88 1 .1 3
professional
Health professional 4368 (75.3%) 4374 (72.9%) 1 1
Birth place 0.58-0.68 0.58-0.70 <0.0001
Non health facility 1 400 (24.1 %) 201 8 (33.6%) 0.63 0.001 0.63
Health facility 4403 (75.9%) 3981 (66.4%) 1 1
History of pregnancy 2.1 5-2.70 0.001 2.1 1 -2.66 <0.0001
complications
Yes 1 047 (1 8%) 502 (8.4%) 2.41 2.37
No 4756 (82%) 5398 (91 .6%) 1 1
History of previous 2.63-3.81 0.001 2.94-4.31 <0,0001
labor complications
Yes 451 (7.8%) 1 56 (2.6%) 3.1 6 3.57
No 5352 (92.2%) 5844 (97.4%) 1 1

Multiple pregnancies x x x
Yes 49 (0.9%) 55 (0.9%) 0.93 0.63-1 ,37 0.724
No 5754 (99.1 %) 5945 (99.1 %) 1

Note: x not included in the last model


excessive bleeding (used more than 3 napkins),
amniotic fluid discharge 6 hours before childbirth, and
Discussion other difficulties /complications of childbirth. This study
showed that 49.2% (5,803) of mothers experienced
Labor complications one or more of these complications. The types of
It is already known that one of the direct causes complication were distributed as follows: prolong labor
of maternal death is complication during and/or after (76.0%), amniotic rupture more than 6 hours before
pregnancy and labor. It is estimated that 15-20% of child birth (31.7%), excessive (16.3%), fever/infection
pregnancy and labor may have complications. However (16.5%), seizures and/or unconscious (3.5%), and other
most of these complications can be prevented or birth complication (10.0%). The incidence of the
treated. Other complications may be happened before childbirth complication in this study was higher than
pregnancy, and may become worse during pregnancy, the study results of Armagustini (2010) based on IHDS
especially when they are not well managed. data 2007, which found that the childbir th
Childbirth complications in this study were complications was 43.7%, and the distribution of
conditions that life-threatening mother due to disorders complications was as follows: prolonged labor (36.7%),
during the last childbirth that begin from the 1st stage excessive bleeding (8.9%), fever/infection (6.8%),
until the 4th stage of labor which corresponds to the convulsion and/or unconscious (2.0% ) and other birth
respondent’s answer of IHDS questionnaire who complication (4%).10 Based on the Indonesia Basic
experienced one or more of the following events: Health Research data 2010, the incidence of child birth
regularly strong abdominal cramp more than a night complication was 47.8%.5 It suggested that since 2007
and day, high body temperature and/or smell vaginal until 2012, there was an increased of the incidence of
discharge, seizures and unconscious conditions, childbirth complications among Indonesian mothers.
59
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia Vol. 2, No. 2,Desember 2018
This study showed that the most frequent of Abdominal examination with the measurement
childbirth complications was prolonged labor (76.0%). of the high of uterine fundus in the late pregnancy
Prolonged labor can be determined by labor stages and and Leopold method can provide the possibility of the
whether the cervix has thinned and opened appropriately presence of big fetus, multiple pregnancy, mal-
during labor. If the baby is not born after approximately presentation and mal-position of fetus.5 A Partograph
20 hours of regular contractions, it is likely to be a should be performed during labor to monitor the
prolonged labor. Some health experts may say it occurs condition and progression of labor. In a prolonged labor,
after 18 to 24 hours. If multiple pregnancies prolonged this instrument is very useful in making decision
labor is a labor that lasts more than 16 hours. Prolonged whether the birth attendant still waits for the normal
labor may result in high maternal and infant morbidity birth process or begin to consider a specific action for
and mortality, and is still commonly found in developing vaginal deliver y, or performs a C-section. 12 The
countries. Impacts of prolonged labor are infection competency of using partograph instruments in health
during labor, pathological retraction ring, fistulas, pelvic provider especially mid-wife for monitoring the
floor muscles injury, caput succedaneum in infants, progression of labor is required to reduce prolonged
fetal head molasses. Prolonged labor may happen if: labors.
the baby is very big and cannot move through the birth This study showed that the occurrence of
canal, the baby is in an abnormal position, the birth canal excessive bleeding was 16.3% of all labor
is too small for the baby to move through, and uterine complications. Excessive bleedings may due to an a-
contractions are very weak. Causes of this prolonged tonic uterine (weak tonus of uterine muscles),
labor were related to 4P (Power, Passageway, Passenger episiotomy, vaginal and cervical laceration, uterine
and Psychological).11 In order, to get ahead and take rupture, retained conception product, placenta accreta,
place on time of labor, the energy or power, including and/or coagulation defect. The occurrence of post-
uterine contractions and attempt to push of mother in partum hemorrhage is 4% of all childbirth. In most of
the 2nd stage of labor must be well coordinated and studies, bleeding is the most common cause of
adequately strong to push out the baby from the birth childbirth mortality. In all over the world, post-partum
canal. The fetus (passenger) must be appropriate in hemorrhage responsible for 35% of maternal death.13
size and shape and able to perform necessar y
Post-partum hemorrhage (PPH) has many
movements to get through many different dimensions
potential causes, but the most common, by a wide-
of birth canal. The birth canal (passageway) must be
margin, is a-tonic uterine, ie, failure of the uterus to
great enough in size and has a normal configuration
contract and retract following delivery of the baby. PPH
that may not cause unexpected obstacles on
in a previous pregnancy is a major risk factor and every
decreasing, rotating and expulsing the fetus. Maternal
effort should be made to determine its severity and
psychological conditions, such as anxiety, lack of
cause. In a recent randomized trial in the United States,
preparation for child birth, and feel of fear, may interact
birth weight, labor induction and augmentation,
with other factors, may prolong the labor.
chorioamnionitis, magnesium sulfate use, and previous
The high proportion of prolonged labors
PPH were all positively associated with increased risk
(76.0%) in this study might be influenced by the
of PPH.14
presence of information biases. This bias might come
Signif icant risk factors of PPH including
from mothers’ answer of the question of “do you have
retained placenta, failure to progress during the second
an experience of getting regularly strong abdominal
s tage of labor placenta accreta, lacer ations,
cramp more than a night and day in the last childbirth?
instrumental delivery, large-for-gestational-age (LGA)
Mothers might forget or even not know whether they
newborn hypertensive disorders, induction of labor,
really had an experience what had been asked, or they
and augmentation of labor with oxytocin15. The risk of
actually just had an experience of abdominal cramps
atonic uterine hemorrhage rapidly increased with
such as in normal labors as usual. The medical record
increasing BMI; in women with a BMI over 40, the risk
of mothers’ labor progression was needed to confirm
was 5.2% with normal deliver y and 13.6% with
the answer of mothers. But it will be very difficult and
instrumental delivery.16 According to the Indonesia
impossible to do in such a big survey.
Health Ministr y (2008), data from post-par tum
This study showed that the measurement of
hemorrhage cases without previously known risk factor
body height in ANC visits was only 49.1%. The
revealed that it was impossible to predict which mother
measurement of body height is important and it is one
who will develop hemorrhage after childbirth.17 A
of indicators of standard ANC that must be perform to
mother can die due to postpartum hemorrhage in less
detect the possibility of the presence of narrow pelvic
than 1 hour. The atonic uterine becomes a cause of
of mothers with body height of 145 cm. The presence
more than 90% of post-partum hemorrhage, within
of narrow pelvic was the risk for prolonged labor, mal-
24 hours after labor.18
position and mal-presentation of the fetus.
60
Bantas, A r yas tuti, Gayatri, The Relationship between Antenatal Care with Childbirth Complication in Indonesian’s Mothers (Data Analysis of IDHS 2012)
In addition to prolonged labor and This f irs t prevention is also for other
hemorrhage, infection is one of leading causes of complication, including hemorrhage, infection, and
maternal death. In developing countries at least one prolonged labor. In the un-prevented cases, the
of ten of maternal deaths is due to infection. Post- objective of interventions is for preventing cases
partum lesions/wounds are still the common cause of become more severe or life-threatening. Delays in
infection, and the rest is due to, mastitis, dealing with the complication of labor have been
thrombophlebitis, and pelvic inflammation.19 This study proven to be one of main obstacles for reducing
showed that the proportion infection was 14.0 % of all morbidity and mortality at time of labor.2 The information
complications. Postpartum fever is def ined as a about how to be health during pregnancy and get the
temperature greater than 38.0°C on any 2 of the first services from trained health worker, immediately
10 days following delivery exclusive of the first 24 recognize the warning signs of pregnancy and labor
hours20. The presence of postpartum fever is generally complications, and also what women have to do when
accepted among clinicians as a sign of infection that the sings of pregnancy and labor complications arise
must be determined and well managed. Mostly signif icantly, will increase women capacity, and the
postpartum infection cases were diagnosed after health of their spouse and family, to take appropriate
patient’s discharge from the hospital.21 measures to guarantee save labor and to seek skilled
It should be aware that the risk of infection may health worker in an emergency condition.24
come from unsterile environment exposures 22 .
Infection during labor and puerperium may be due to Pregnancy care
amniotic rupture before labor begins. Germs from the In the pregnancy cycle, the focus of services
outside entered through the canal birth may result in is directed to pregnant women health services and
infections during labor. Vaginal examination may also pregnancy care which is practiced from the beginning
increase the risk of infection. Universal precaution for of pregnancy. Through a well pregnancy care, indeed
infection control in normal or abnormal childbirth is the development of pregnant women health, every
often overlooked. A strict supervision in maternity room time can be monitored and early interventions may
and instrument disinfection, and the use of hand gloves, be performed in order to minimize various risk factors
must be done. It becomes more important with the of labor complications and maternal death. Studies in
presence of HIV epidemic.12 developed countries have showed the positive impact
In addition to hemorrhage and infection, in pregnancy and childbirth when women can control
preeclampsia and eclampsia are also the cause of their pregnancy and labor processes, and make a birth
maternal death. The incidence of preeclampsia in USA, plan in the desired health facility.24
Canada, and West Europe was ranged between 2-5%. This study used the 8 standard cares of ANC
In developing countries, the incidence of preeclampsia (measurements of body weight, body height,
was higher in some part of Africa ranged between 4% examinations of blood pressure, abdomen, urine and
- 18%. In Latin America preeclampsia was as number blood, administrations of iron tablets, TT immunization
one cause of maternal death. In developing countries, and consultations) as a standard pregnancy care
women have 7 times higher at risk for preeclampsia services received by pregnant women. While the
than women in developed countries. From standard pregnancy care services, recommended by
preeclampsia cases, 15-20% will cause maternal Indonesia government is the 10 standard of cares (all
death23. Preeclampsia should be early detected and of the 8 standard of cares plus the measurements of
promptly managed before the onset of seizures nutritional status and case management).
(eclampsia) that may life-threatening mother. Results of this study showed that pregnancy
Prevention of seizures during labor is by regular blood care that accordance to the standard care services was
pressure control during pregnancy and after baby is only 8.2%, while the rest of 91.8% was not. A good
born. Magnesium sulfate is drug of choice for pregnancy care was determined when pregnant
prevention and treatment of seizures due to eclampsia. women received all the 8 standard of cares plus at
This essential and cheap drug must be available in least 4 ANC visits with 1-1-2 pattern. The monitoring
every maternity unit and delivery-set.12 of ANC services is done in the 1st visit as representation
As it is often happened, childbirth of the accessibility of pregnant women to health facility
complications cannot be predicted and prevented and the 4th visit as representation of pregnant women
during pregnancy, therefore, appropriate diagnosis and health care quality. Pregnant women with the 4th visit
intervention during labor are very important. Early s tatus at least have received health ser vices
detection of labor complications and interventions accordance to the standard of cares during minimally
including referral to the higher level of health services 4 visits (1-1-2). Thus the risk factors related to the
may reduce maternal and perinatal morbidity and complications can be prevented including referral
mortality in some developing countries.6 services to the more complete health facility.17
61
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia Vol. 2, No. 2,Desember 2018
This study showed that there was a development process of fetus in the womb. Body height
discrepancy between the 1 st visit and the 4 th visit measurement was also rarely performed (49.1%), body
coverage, where the 1st visit coverage was (85.9%) height less than 145 cm was a risk factor for the
and the 4th visit coverage was (79.3%). When the drop- presence of head-pelvic disproportion which cause
out rates of the 1st visit and the 4th visit is more than prolonged labor.
10%, it means that there is a problem in the pregnancy Both of the coverage of TT immunization and
care services, and it needs further investigation and urine test were also low (49.3%), and (49.9%)
interventions. Although the drop-out rates in this study respectively. Tetanus neonatorum is one of the leading
was not more 10%, it still to be considered the causes of neonatal death. Tetanus neonatorum can be
importance of the 4th visit as a quality indicator of prevented by appropriately administration of TT
pregnant women health ser vices. Data from the vaccine to pregnant women, and hygienic delivery
Indonesia Health Profile 2014 suggested that there was services28. The urine test is commonly performed in
an increased of the 1st and 4th visit coverage (94.9% pregnant women to detect the presence of protein in
and 86.7% respectively)1. While the Indonesia Basic urine, to establish the diagnosis of preeclampsia/
Health Research 2013 showed that the 1st and 4th visit eclampsia. The low coverage of urine and blood test
coverage was 85.6% and 70.4% respectively.5 could be due the unavailability of laborator y
The high rate of drop-out of ANC visits may equipments and trained health workers. WHO declared
due to various factors. Factors associated with the that Indonesia has successfully eliminated the maternal
incomplete of ANC visit including the mileage to health and neonatal tetanus by increasing the TT immunization
facility from home, traveling time to health facility, the coverage, particularly in pregnant women.28
availability of transportation, knowledge and attitude
toward the examination of pregnancy.25 A study in West The association between pregnancy care and
Sulawesi showed that the low of the 4th visits was childbir th complication
affected by cost factor. Pregnant women who said that Results of this study showed that there was an
the cost of A NC visits was cheap, was more likely to association between ANC and childbirth complications.
use regularly health care services than pregnant woman Pregnant women who received nonstandard ANC were
who said that the cost was expensive.26 1.3 times more likely to have childbirth complication
According to the description of Donabedian than pregnant women who received standard ANC (OR
there was an association between the increased access 1.3; 95% CI 1.14-1.49). This result was in accordance
to the health facility and the decreased of mileage, with the study of Misar et al., in North Gorontalo
and traveling time. In other words, preventive health Indonesia (2012), which found that pregnant women
services were more related to geographical access who received poor health care services were 3.2 times
rather than the use of curative health services.27 Access more likely to have child birth complications than
to health facility was not included in this study due to pregnant women who received good health care
the limitation of secondary data. Furthermore the high services (OR 3.2; 95% CI: 1.41-7.18), pregnant women
drop-out rate of ANC visits may due to some pregnant who had ANC visit less than 4 times during pregnancy
women moved to other place and checked their were more likely to have child birth complications (OR
pregnancy to another health worker with various 2.6; 95% CI: 1.18 – 5.70) than pregnant women who
reason so that the 4th visits cannot be monitored. had ANC visit e” 4 times during pregnancy. Wijono et
This study showed that the ANC coverage al., 2008) also found that, pregnant women who never
based on types of care services such as measurements had pregnancy care were 1.82 times more likely to
of body weight and blood pressure, examination of have child birth complication than pregnant women
abdomen, administration of iron tablets and counseling who had pregnancy care (OR 1.82; 95% CI, 1.31-2.5)2.
was more than 80%. The abdominal examination, blood According to Kusumawati (2006) pregnant women who
pressure and body weight measurements were the had ANC visits < 4 times during pregnancy were 7.3
most frequent of the care ser vices received by times more likely to have medical intervention during
pregnant women. All of these three examinations labor than pregnant women who had ANC visits e” 4
should ideally be received by pregnant women in times during pregnancy (OR 7.3; 95% CI: 2.07- 25.99).
ever y ANC visits. There were low coverage of Some studies outside Indonesia: Women
pregnancy care services including blood and urine receiving late timings or low frequency of pregnancy
tests, body weight measurement, and TT immunization. care in the first trimester are at a higher degree of
The mostly rare examination was blood test (43.2%), adverse maternal outcomes, studies by Coria-Soto et
whereas blood test was important to find out whether al.29 found that an inadequate number of visits are
a pregnant woman was anemic or not during her associated with 63% higher risk of intra uterine growth
pregnancy. Pregnant women with anemia may result retardation; Study by Orvos et al.30 In Hungary indicated
in hemorrhage at labor and affect the growth and
62
Bantas, A r yas tuti, Gayatri, The Relationship between Antenatal Care with Childbirth Complication in Indonesian’s Mothers (Data Analysis of IDHS 2012)
that women who never attended prenatal care were Limitations of the study.
more in preterm labors (OR 3.1, 95% CI 1.4-6.8), lower A cross-sectional study design was used in this
birth weight (P<0.001) and more given up for adoption study, although it could not explain a causal relationship
(OR 21.4, 95% CI 2.63-173.9); Abera Haftu et al.31 between the exposure variable (ANC) and an outcome
conducted a study to assess pregnant women variable (labor complication), it can measure the
adherence level to antenatal care visit and its effect prevalence of ANC and labor complications. This study
on perinatal outcome among mothers in Tigray Public could not completely rule out the event of bias. The
Health institutions. The study showed that the overall occurrence of the selection bias might be due to lack
adherence level of the women towards to antenatal of comparability of exposure variables distribution
care visit was 49.9% and incidence of PPH, still birth, between groups being compared. Confounding bias
early neonatal death, late neonatal death and low birth is a bias in estimating the effect of an exposure on the
weight complication was 4.3%, 2.3%, 2.7%, 1.9% and outcome variable, due to lack of comparability
7.5% respectively. PPH, preterm labor, early neonatal between the characteristic in exposed group and
death and LBW complication was reduced by 81.2%, unexposed group. Bias due to confounding in this study
52%, 61% and 46% respectively among women’s with had been controlled in analytical phase of study by
complete adherence to ANC visit. multivariate analysis. A number of questionnaires had
Pregnancy care typically consists of several been used as tools for measuring variables being
interventions including: 1) Health promotion: health studied. Interviewers collected data by using structured
workers have an opportunity to educate women about questionnaires. The possibility of recall biases arise
health, pregnancy and childbirth, to let them know the when respondent should answer the question of
danger signs of pregnancy and labor, the benefit of events in the past (the experience of mother that related
good nutrient and exclusive breastfeeding, the harm to pregnancy, delivery, and ANC events at a sometime
of alcohol, tobacco and drugs, and other relevance during 5 years before survey). Although all interviewers
issues; 2) Diseases prevention: TT immunization, had been trained, interviewer bias might still be
prophylaxis against malaria, and protection against iron happened due to the differences in the degree of
deficiency anemia, and some conditions that can be perception and understanding of each questionnaire
managed during ANC visits; 3) Early detection and/or among interviewers, so that it might result in biases in
treatment for diseases and complications: pregnant the inter pretation of questionnaire being asked.
women can be screened for syphilis, HIV, and other Samples of this study were drawn from a total samples
sexual transmitted diseases. Pregnancy complication of 45.607 women aged 15-49 years who were
such as preeclampsia, eclampsia, vaginal infection and randomly sampled and interviewed by the 2012 IHDS
vaginal bleeding can be immediately treated; 4) team, 11.803 of these women fulfilled the inclusion
Preparation of labor: counseling or consultation to and exclusion criteria of this study, so that the response
choose the safe birth place in health facility and birth rate of this study was only 25.88 %. The generalization
attendant. ANC visits may also include consultation for of this study into the general population of women
hospital transportation, costs for treatment and delivery aged 15-49 years in Indonesia may not be fulfilled.
provision; 5) Preparation in case of complication:
pregnant women are driven to have emergency plans
in case of complication, this plan should include money Conclusion
for potential medical care or extra surgery.32 Labor complications were more common in
Pregnancy care could not overcome all the pregnant women with nonstandard ANC.
cause of maternal death, but it is positively related to
the professional birth attendant, therefore may reduce
labor complication30. The utilization of pregnancy care Referens i
ser vices varies among countries. In developing 1.The Republic of Indonesia Ministr y of Health. 2015. The
countries the utilization of pregnancy care services is Indonesia Health Prof ile 2014. Jakarta: Kemenkes RI. 2014
low. The utilization of pregnancy care services is also 2.WHO. 2003. Pregnancy, Childbirth, Postpartum and Newborn
Care: A Guide For Essential Practice. Geneva, World Health
varied based on mother ’s age, mother’s education, Organization, 2003. Available at http://whqlibdoc.who.int/
parity, mother’s job, socio-economical status of family, publications/. Accessed 10 October 2015
residence, and access to health services.31 3.Prawirohardjo, S. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka
In addition to variable of pregnancy care, this Sarwono Prawirohardjo. 2008.
study also showed that variables of mother’s age, parity, 4.The Republic of Indonesia Ministry of Health 2014. The
Situation of Mother Health. Jakarta: Pusat Data dan Informasi
birth attendant, birth place, history of pregnancy Kemenkes RI. 2014
complication in the previous pregnancy, history of birth 5.The Republic of Indonesia Ministry of Health. 2010. The
complication in the previous labor, were associated with Indonesia Basic Health Research Reports. Jakarta: Badan
child birth complication Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2010

63
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia Vol. 2, No. 2,Desember 2018
6. Hoque M. Incidence of Obstetric and Foetal Complications 26. Surniati. 2013. The analysis of factors that associated with
during Labor and Delivery at a Community Health Centre, the regularity of the utilization of ante natal care program
Midwives Obstetric Unit of Durban, South Africa. ISRN Obstet (the 1st and 4th visits) in Puskesmas Mamasa, Makasar: FK Unhas.
Gynecol. 2011;2011:259308. 2013
7. Habte F, Demissie M. Magnitude and factors associated 27. Notoatmodjo, S. 2005. The theory and application of health
with ins titutional deliver y ser vice utilization among promotion Jakarta: PT Rineka Cipta. 2005
childbearing mothers in Cheha district, Gurage zone, SNNPR, 28. UNICEF. 2016. WHO declaration: The elimination of
Ethiopia: a community based cross sectional study. BMC tetanus in mother and infant in Indonesia. Available at http:/
Pregnancy Childbirth. 2015;15:299. Published 2015 Nov 17. / www.unicef.org. 5 October 2015
doi:10.1186/s12884-015-0716-8 29. Coria-Soto IL, Bobadilla JL, Notzon F (1996) The
8. Gulardi, H. 2006. Maternity Nursing Teaching Book. Jakarta. effectiveness of antenatal care in preventing intrauterine
EGCIBI, 2005 growth retardation and low birth weight due to preterm
9. The Indonesia National Population and Family Planning delivery. Int J Qual Health Care 8: 13-20.
Agency 2013. The Indonesia Demography and Health Survey 30. Orvos H, Hoffmann I, Frank I, Katona M, Pál A, Kovács L.
(SDKI) 2012. Jakarta The perinatal outcome of pregnancy without prenatal care. A
10. Armagustini, Yetti. 2010. The determinant of the occurrence retrospective study in Szeged, HungaryEur J Obstet Gynecol
of labor complication in Indonesia ( Analysis of The Indonesia Reprod Biol. 2002 Jan 10;100(2):171-3.
Demography and Health Survey Data 2007). Depok: FKMUI. 31. Abera Haftu, Hadgay Hagos, Mhiret-AB Mehari, and Brhane
2010 G/her. Pregnant women adherence level to antenatal care
11. Sinclair, Constance. 2010. A Midwife’s Handbook. Jakarta: visit and its effect on perinatal outcome among mothers in
EGC. 2010 Tigray Public Health institutions, 2017: cohort study BMC
12. Fauveau, V., de Bernis, L. 2006. Good Obstetrics Revisited: Res Notes. 2018; 11: 872.
Too Many Evidence Based practices and Devices Are Not 32. Kinzie B, Gomez P. 2004. Basic maternal and newborn
Used. International Journal of Gynecology and Obstetrics 94, care: a guide for skilled providers. (JHPIEGO/MNH Program:
p.179-184. Baltimore, MD) 2004. Available at http://www.jhpiego.org/
13. Countdown to 2015: Maternal, Newborn and Child Survival Accessed 5 Oktober 2015
[Internet]. WHO and UNICEF, 2012. Available at: http:// 33. Mbuagbaw LC, Gofin R. 2011. A new measurement for
www.countdown2015mnch.org/documents/2012Repor t/ optimal antenatal care: determinants and outcomes in
2012-Complete.pdf. Last accessed 5 September 2017. Cameroon. Maternal and Child Health Journal
14. Jackson KW Jr, Allber t JR, Schemmer GK , Elliot M, 2011;15(8):1427–34.
Humphrey A, Taylor J. A randomized controlled trial comparing 34. Tran, et al. 2011. Urban-Rural Disparities in Antenatal Care
oxytocin administration before and after placental delivery in Utilization: A Studyof Two Cohorts of Pregnant Women in
the prevention of postpartum hemorrhage. Am J Obstet Vietnam. BMC Health Service Research, No.11,Vol. 120.
Gynecol. 2001 Oct. 185(4):873-7.
15. Sheiner E, Sarid L, Levy A, Seidman DS, Hallak M. Obstetric
risk factors and outcome of pregnancies complicated with
early postpartum hemorrhage: a population-based study. J
Matern Fetal Neonatal Med. 2005 Sep. 18(3):149-54.
16. Blomberg M. Maternal obesity and risk of postpartum
hemorrhage. Obstet Gynecol. 2011 Sep. 118(3):561-8.
17. Indonesia Health Ministr y 2008. The health map of
Indonesia 2007. Jakarta: Kemenkes RI.2008
18. JNPK-KR. 2007. Normal child birth care. Jakarta: Depkes
RI. 2008
19. Varney, H. 2006. Text book of midwifery care. Jakarta:
EGC.2006
20. Adair FL. The American Committee of Maternal Welfare,
Inc: The Chairman’s Address. Am J Obstet Gynecol. 1935.
30:868.
21. Yokoe DS, Christiansen CL, Johnson R, Sandu KE, et al.
Epidemiology of and Surveillance for Postpartum Infectious.
Emerg Infect Dis. Sep-Oct 2001. 7(5):837-41.
22. Prasetyawati, A.E. 2012. Maternal and child health in the
Millenium Development Goals (MDGs). Yogyakarta: Nuha
Medika. 2012.
23. Preecklampsia Foundation. 2013. Preeclampsia and
Maternal Mortality: a Global Burden. Available at http://
www.preeclampsia.org. Accessed 10 October 2015
24. WHO. 2006. Birth and Emergency Preparedness in
Antenatal Care Integrated Management of Pregnancy And
Childbirth (IMPAC) Standards For Maternal and Neonatal Care.
Geneva: the Department of Making Pregnancy Safer WHO.
2006
25. Adri. 2008. Factors that influenced the coverage of
pregnancy care program (the 1st and 4th visits) in Puskesmas
Runding, Subussalam City, Nangro Aceh Darusallam Indonesia.
Medan: USU. 2008

64
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia

Volume 2 Desember - 2018 No. 2


Artikel Penelitian

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kesuksesan Kesembuhan


dari Pengobatan Regimen Pendek ( Short Treatment Regiment) pada
Pasien Tuberkulosis Resistensi Obat di Indonesia Tahun 2017

Factors Associated with Recovery Success after Short Treatment Regiment


among Drug Resistant Tuberculosis Patients in Indonesia 2017

Rina Agustinaa*, Rizka Maulidab, Yovsyahb


a
Program Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Lantai 1 Gedung A Kampus Baru UI Depok 16424, Indonesia
b
Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Lantai 1 Gedung A Kampus Baru UI Depok 16424, Indonesia

ABSTRAK ABSTRACT
TB RO menyebabkan beban pengendalian penyakit TB menjadi Drug-resistant tuberculosis causes the burden of controlling TB disease
bertambah. Adanya penurunan angka keberhasilan pengobatan dari to increase. The decline in treatment success rate in 2010 from 67.9%
tahun 2010 sebesar 67,9% menjadi 51,1% di tahun 2013 dan peningkatan to 51.1% in 2013 and increase in dropped out patients drove Indonesia
kasus pasien putus berobat mendorong Indonesia menerapkan to apply short-term treatment to increase the success rate of DR-TB
pengobatan jangka pendek untuk meningkatkan angka keberhasilan treatment and reduce cases of dropped out patients. This study aimed
pengobatan TB RO dan menurunkan kasus pasien putus berobat. to observe the results of DR-TB treatment and identify factors related to
Penelitian ini bertujuan untuk melihat status kesuksesan kesembuhan treatment outcomes for short regimens in Indonesia in 2017 using
dari pengobatan TB RO dan faktor-faktor yang berhubungan dengan retrospective cohort study design using dataset of DR-TB patients aged
status kesuksesan kesembuhan dari pengobatan regimen pendek di e”15 years who have completed short regiment treatment at the latest
Indonesia tahun 2017 dengan menggunakan data pasien TB RO yang in November 2018 as recorded in the e-TB manager. There were 223
tercatat dalam e-TB manager dari pasien-pasien berusia e” 15 tahun cases with 104 cases (46.6%) successful treatment and 119 cases (53.4%)
yang telah ada status hasil pengobatan regimen pendek maksimal pada counted as unsuccessful treatment. Bivariate analysis with chi-square
bulan November 2018 dengan desain penelitian kohort retrospektif. yielded several factors were associated with successful treatment from
Didapatkan 223 kasus dengan 104 (46,6%) pengobatan sukses dan the short regiment treatment. These factors were age (crude RR 2.09,
sisanya yaitu 119 (53,4%) pengobatan tidak sukses. Hasil analisis bivariat 95% CI 1.19–3.65), ofloxacin resistance (crude RR 7.73, 95% CI 0.92 –
dengan chi-square menunjukkan beberapa factor yang berhubungan 64.28), and kanamycin resistance (crude RR 0.47, 95% CI 0.39 –0.57).
dengan status kesuksesan kesembuhan dari pengobatan regimen According to the results to this study, DR-TB patients 45 years old or
pendek. Faktor-faktor ini ialah usia (crude RR 2,09, 95% CI 1,19–3,65), older should receive extra care in this short regiment treatment to
resistensi ofloksasin (crude RR 7,73, 95% CI 0,92–64,28) dan resistensi ensure that the outcome of their treatment to be successful. Accuracy
kanamisin (crude RR 0,47, 95% CI 0,39–0,57) memiliki hubungan yang of e-TB manager data should also be scrutinized so other studies using
signif ikan secar a statistik dengan kesuksesan kesembuhan dari the dataset could obtain more accurate results.
pengobatan regimen pendek. Berdasarkan hasil penelitian ini, penderita
TB RO dengan usia 45 tahun ke atas agar mendapatkan perhatian lebih
dalam pengobatan regimen pendek ini karena berpeluang lebih rendah
untuk mendapatkan status pengobatan yang sukses. Ketepatan data
pada e-TB manager pun perlu dilihat kembali karena pada penelitian ini
agar penelitian selanjutnya mendapatkan hasil yang akurat.

Kata kunci : Kesuksesan pengobatan; pengobatan jangka pendek; TB Keywords : treatment outcomes; short-term treatment; DR-TB
RO

Pendahuluan
Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan penyebab menambah beban dalam pengendalian tuberkulosis
kematian utama infeksi agen tunggal di atas peringkat khususnya negara dengan pendapatan ekonomi
HIV/AIDS.1 Pada tahun 2017, secara global diperkiraan menengah ke bawah termasuk Indonesia.
terdapat sekitar 558.000 kasus resistensi obat dan Tren kasus TB-RO terus meningkat tiap
kematian akibat resistensi obat TB sekitar sekitar tahunnya. 1,2 Pemerintah telah mengembangkan
230.000.1 Indonesia masih menduduki peringkat kedua layanan pengobatan TB RO tetapi masih terjadi
tertinggi di dunia yang memiliki kasus TB terbanyak penurunan hasil pengobatan. Kesuksesan pengobatan
berdasarkan data Global Report dari WHO tahun 2017.1 *Korespondensi: Rina Agustina, Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia, Lantai 1 Gedung A Kampus Baru UI Depok 16424,
Adanya kasus tuberkulosis resistensi obat (TB RO) Indonesia, E-mail: agustinarina24@gmail.com, Telp: +62-85-691244241

65
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia Vol. 2, No. 2, Desember 2018
menjadi 51,1% pada tahun 2013.3 Penurunan angka Metode Penelitian
kesuksesan pengobatan salah satunya disebabkan oleh
Penelitian ini menggunakan desain studi kohort
peningkatan kasus putus berobat.3 Pada tahun 2009
retrospektif untuk melihat faktor-faktor yang
angka putus berobat meningkat dari 10,7% menjadi
berhubungan dengan hasil pengobatan. Data yang
28,7% pada tahun 2013.3 Pasien TB RO yang tidak
digunakan adalah data sekunder dari data e-TB man-
diobati ataupun yang mengalami kegagalan
ager di Subdirektor at Tuberkulosis Kementrian
pengobatan semakin berisiko meningkatkan penularan
Kesehatan Republik Indonesia yang merupakan data
TB RO sekunder dan meningkatkan penularan kasus
registrasi kohort pasien TB-RO mulai sejak didiagnosis
TB.3
sampai ada hasil pengobatan. Variabel dependen
Tingkat kesuksesan pengobatan pasien TB-RO
penelitian ini adalah kesuksesan kesembuhan
masih rendah disebabkan oleh penatalaksanaan
pengobatan pada pasien TB-RO. Kategori kesuksesan
pengobatan resisten obat jauh lebih sulit dan
kesembuhan dibagi menjadi sukses dan tidak sukses.
memerlukan durasi pengobatan yang panjang, yaitu
Sukses adalah pasien yang telah menyelesaikan
minimal 20 bulan.3 Masalah lain terkait tatalaksana TB
pengobatan jangka pendek 9–11 bulan dan sembuh.
RO yang tersedia saat ini di seluruh dunia memerlukan
Tidak sukses adalah pasien yang menjalani pengobatan
biaya yang besar baik untuk program maupun untuk
jangka pendek tetapi berakhir gagal, putus berobat,
pasien. 4 Berdasarkan penelitian yang dilakukan
lengkap, meninggal, atau tidak dievaluasi. Gagal ialah
sebelumnya, kesuksesan pengobatan TB-MDR yang
apabila pasien dalam pengobatan terjadi perubahan
menggunakan regimen jangka panjang pada pasien
BTA menjadi positif, terjadi efek samping berat atau
TB-MDR tahun 2013-2015 hanya sebesar 49,7%. 4
terjadi resistensi terhadap OAT lini kedua. Lengkap ialah
Hasil tersebut masih jauh dari target pemerintah yaitu
pasien menyelesaikan pengobatan sesuai durasi
85%.5 pengobatan namun tidak ada bukti untuk dinyatakan
Regimen pengobatan TB RO sebelumnya sembuh atau gagal. Meninggal adalah pasien yang
memerlukan waktu yang sangat lama sehingga pada meninggal dalam masa pengobatan jangka pendek.
bulan Mei tahun 2016 WHO merekomendasikan Putus berobat ialah pasien berhenti berobat selama 2
pengobatan TB RO yang baru, yaitu menggunakan bulan berturut-turut atau lebih. Tidak dievaluasi ialah
panduan jangka pendek.3 Regimen baru ini bertujuan pasien yang mengalami pindah berobat tapi tidak
untuk mengefektifkan masa pengobatan pasien agar diketahui hasil pengobatannya.
tidak terlalu lama sehingga dapat mengurangi pasien Variabel independen penelitian ini adalah usia,
yang putus berobat. Dengan waktu pengobatan yang jenis kelamin, riwayat pengobatan TB sebelumnya, jenis
lama, pasien TB-RO berisiko untuk putus berobat yang resistensi, resistensi jenis obat, status HIV, status kavitas
nantinya berujung pada kegagalan pengobatan. paru, status diabetes mellitus, dan interval inisiasi
Rek omendasi ini berdasarkan hasil kajian studi pengobatan. Usia adalah umur pasien TB RO yang
observasional di negara yang telah menerapkan tercatat pada e-TB Manager. Jenis kelamin merupakan
pengobatan jangka pendek yaitu Bangladesh, Benin, tampilan fisik dan tanda-tanda keamin yang dimiliki
Burkina Faso, Burundi, Kamerun, Afrika Tengah, Kongo, pasien TB RO sesuai dengan catatan e-TB manager.
Niger, Swaziland, dan Uzbekistan. 6 Laporan WHO Riwayat pengobatan TB sebelumnya ialah status
menunjukkan angka kesuksesan pengobatan pengobatan pasien TB RO sebelumnya yang didapat
menggunakan regimen jangka pendek lebih besar oleh pasien. Variabel jenis resistensi ada 2 yaitu jenis
dibandingkan menggunakan regimen jangka panjang.6 resistensi berdasarkan catatan pada sistem e-TB man-
Durasi pengobatan yang lebih pendek dengan ager dan jenis resistensi berdasarkan panduan pro-
efektif itas hasil pengobatan yang lebih cepat, gram. Resistensi jenis obat ialah resistensi obat anti
dihar apkan dapat meningkatkan enrollment tuberkulosis yang didapat dari catatan hasil uji kepekaan
pengobatan, menurunkan angka pasien putus berobat obat saat pertama kali didiagnosis pada e-TB manager.
dan meningkatkan angka keberhasilan pengobatan Status HIV ialah hasil pemeriksaan HIV pada pasien TB
pada pasien TB RO di Indonesia. Maka dari itu, RO yang tercatat pada e-TB manager. Status kavitas
Indonesia menerapkan panduan pengobatan standar paru ialah status pasien TB RO yang terdiagnosis ada
jangka pendek untuk pasien resistensi obat mulai tahun kavitas paru berdasarkan catatan pemeriksaan x-ray.
2017.3 Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Status diabetes mellitus sialah ada atau tidaknya
gambaran status kesembuhan pengobatan regimen penyakit diabetes mellitus baik sebelum melakukan
pendek pada pasien tuberkulosis resisten obat di pengobatan maupun selama pengobatan yang tercatat
Indonesia tahun 2017 dan faktor-faktor yang dalam e-TB manager. Interval inisiasi pengobatan ialah
berhubungan dengan status kesembuhan. selisih tanggal didiagnosis dengan tanggal pertama
pengobatan TB RO jangka pendek.

66
Rina, Maulida, Yovsyah. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kesuksesan Kesembuhan dari Pengobatan Regimen Pendek pada Pasien TB RO di Indonesia 2017

Pengambilan sampel menggunakan total sampel yang Tabel 2. Kar akteris tik Pasien Pengobatan TB RO Standar
Ja ng ka Pe nd ek di In do ne sia Tahu n 20 17
memenuhi kriteria inklusi penelitian yaitu pasien TB-
RO yang menjalani pengobatan metode regimen V aria bel n Frekue nsi (% )
pendek dan telah ada status kesembuhan maksimal U sia (n= 222 ), M ean ± SD 40,41 ± 12,55
pada bulan November 2018. Kriteria eksklusinya adalah > 45 tahun 85 38,2
pasien TB-RO extra paru dan pasien yang status < 45 tahun 137 61,7
akhirnya tidak ada pada e-TB manager. Oleh karena Je nis kelam in
itu jumlah sampel yang memenuhi kriteria adalah Laki-laki 145 65,0
sebanyak 223. Analisis dalam penelitian ini berupa Perem p ua n 78 35,0
R iw ayat Pe n go bata n
analisis univariat dan bivariat menggunakan software
Pasie n ba ru 37 16,6
SPSS 23. Analisis bivariat menggunakan uji statistik chi- Pasie n kam bu h 114 51,1
square. Lalai 13 5,8
G a gal K atego ri 1 46 20,6
G a gal K atego ri 2 12 5,4
Hasil Lain-la in 1 0,5
Je nis R esistensi
Sebanyak 223 sampel terkumpul pada M o no resisten 19 8,5
penelitian ini. Akan tetapi, karena missing data, maka Po liresisten 13 5,8
jumlah sampel pada beberapa variabel kurang dari 223. M ultidrug resisten 185 83,0
Pada variabel usia terdapat 222 sampel, resistensi OAT Tid ak D iketah ui 6 2,7
sebanyak 128 sampel, dan status HIV sebanyak 119 R e siste nsi O A T (n= 128 )
R esiste n R 120 93,7
sampel. R esiste n H 109 80,4
R esiste n S 45 35,1
Tab el 1 .Ke su ks es an Ke se mb uha n da ri Pe ng ob ata n Pa si en R esiste n E 57 44,5
TB-RO Stand ar Jang ka Pen dek di In don esia Ta hun 20 17 R esiste n O flx 8 6,4
R esiste n K m 6 4,8
Hasil Pengobatan n Persentase (%) R esiste n A m k 4 3,1
Status H IV (n= 119 )
Sukses 104 46.6
N egatif 114 95,8
Tidak Sukses 119 53.4 Po sitif 5 4,2
Total 223 100.0 Status D M
Tid ak A d a 210 94,2
Berdasarkan Tabel 1 hasil pengobatan pasien A da 13 5,8
TB Resisten Obat di Indonesia yang menggunakan regi- Status K avita s Pa ru
Tid ak A d a 179 80,3
men jangka pendek hanya 46,6% yang dinyatakan
A da 44 19,7
sukses sembuh sedangkan 53,4% tidak sukses. Tidak Interval Inisia si
sukses ini terdiri atas gagal sebanyak 6,3%, sebanyak Pe n go b atan
4,9% lengkap, meninggal sebanyak 14,3%, putus = 7 hari 78 35,0
b e loss to folllow up sebanyak 26,5% dan
r o b a t a t a u
> 7 hari 145 65,0
sisanya tidak ada hasil pengobatan yang tertulis lainnya
yaitu 1,4%. Penderita TB yang tidak resisten terhadap oflosaksin
memiliki peluang yang lebih rendah untuk mencapai
Pada analisis bivariat dilakukan kategori ulang pengobatan yang sukses dibandingkan penderita TB
untuk variabel yang memiliki kategori lebih dari 2 yang resisten terhadap oflosaksin ( crude RR: 7,73).
kategori sehingga variabel riwayat pengobatan menjadi Penderita TB yang tidak resisten terhadap oflosaksin
222 sampel dan variabel jenis resistensi berkurang memiliki peluang yang lebih rendah untuk mencapai
menjadi 217 sampel. Hal ini terjadi karena ada pengobatan yang sukses dibandingkan penderita TB
pengkategorian yang tidak sesuai dengan tujuan yang resisten terhadap oflosaksin ( crude RR: 7,73).
penelitian. Hasil analisis bivariat ditunjukkan pada Tabel Penderita TB yang tidak resisten terhadap kanamisin
3. Berdasarkan analisis bivariat, didapatkan bahwa usia, memiliki peluang lebih rendah untuk mencapai
resistensi oflosaksin, dan resistensi kanamisin pengobatan yang sukses dibandingkan penderita TB
berhubungan dengan kesuksesan pengobatan TB. yang resisten terhadap kanamisin (crude RR: 0,46).
Penderita TB yang berusia di bawah 45 tahun memiliki
peluang yang lebih rendah untuk mencapai
pengobatan yang sukses dibandingkan penderita TB
y a n g b crude RR: 2,09).
e r u s i a 4 5 t a h u n k e a t a s (

67
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia Vol. 2, No. 2, Desember 2018

Ta bel 3. Has il yan g b erhu bun gan de nga n Ke suk ses an Peng oba tan TB RO Jan gka Pe nde k Tahun 20 17

Kesuksesan Pengobatan n P-value Crude RR


Variabel (95% CI)
Sukses Tidak Sukses
Usia ( n =222)
*
< 45 tahun 73 64 137 0,013 2,09 (1,19–3,65)

= 45 tahun 30 55 85
Jenis Kelam in
Laki-laki 68 77 145 1,00 1,03 (0,59–1,78)
Perem puan 36 42 78
Riwayat Pengobatan ( n =222)
Ulang 24 25 49 0,80 1,14 (0,60–2,15)
Baru 79 94 173
Jenis Resistensi Berdasarkan e-TB Manager (n=217)
Monoresisten terhadap poliresisten
Monoresisten 9 10 19 0,56 2,02 (0,46–8,9)
Poliresisten 4 9 13
Monoresisten terhadap m ultidrugresisten

Monoresisten 9 10 19 1,00 0,97 (0,37–2,49)

Multidrugresisten 89 96 185

Resistensi Jenis Obat/OAT (n=128)


Resistensi Rifam pisin
Tidak 4 4 8
Ya 60 60 120 1,00 1,0 (0,23–4,18)

Resistensi Streptom isin


Tidak 45 38 83
Ya 19 26 45 0,26 1,62 (0,77-3,37)

Resistensi Isoniazid
Tidak 10 9 19
Ya 54 55 109 1,00 1,13 (0,42–3,00)

Resistensi Etam butol


Tidak 37 34 71
Ya 27 30 57 0,72 1,20 (0,60–2,43)

Resistensi O floksasin
Tidak 63 57 120
Ya 1 7 8 0,03* 7,73 (0,92–64,28)

Resistensi Kanam isin


Tidak 64 58 122
Ya 0 6 6 0,02* 0,47 (0,39–0,57)

Resistensi Am ikasin
Tidak 64 60 124 0,17 0,48 (0,40–0,58)
Ya 0 4 4
Status HIV (n=119)
Negatif 62 52 114 0,58 0,79 (1,28–4,9)
Positif 3 2 5
Status DM
Tidak ada 99 111 210 0,747 1,42 (0,45–4,50)
Ada 5 8 13
Status Kavitas Paru
Tidak Ada 60 74 134 0,68 1,12 (0,65–1,98)
Ada 40 49 89
Interval Inisiasi Pengobatan
= 7 hari 37 41 78 0,972 1,05 (0,60-1,82)

>7 hari 67 78 145

(*): bermakna secara uji statistik

Diskusi

Dari 223 sampel pada penelitian ini didapatkan jenis resistensi berdasarkan e-TB manager, resistensi
sebanyak 46,6% hasil pengobatan sukses dan sisanya jenis obat rifampisin, resistensi streptomisin, resistensi
yaitu 53,4% pengobatan tidak sukses. Faktor yang isoniazid, resistensi etambutol, resistensi amikasin, sta-
memiliki hubungan signif ikan dengan kesuksesan tus HIV, status DM, status kavitas paru, dan interval
kesembuhan dari pengobatan regimen pendek ialah inisiasi pengobatan tidak memiliki hubungan yang
variabel usia, resistensi ofloksasin dan resistensi signif ikan dengan kesuksesan kesembuhan dari
kanamisin. Variabel jenis kelamin, riwayat pengobatan, pengobatan regimen pendek.
68
Rina, Maulida, Yovsyah. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kesuksesan Kesembuhan dari Pengobatan Regimen Pendek pada Pasien TB RO di Indonesia 2017
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil Hasil uji statistik tidak menunjukkan adanya
peneltian sebelumnya yang menunjukkan adanya hubungan yang signif ikan antara jenis resistensi
hubungan antara usia dan hasil pengobatan. Penelitian monoresisten, poliresisten dan multidrugresisten
sebelumnya menunjukkan bahwa ada hubungan yang dengan kesuksesan kesembuhan hasil pengobatan.
signifikan antara usia dan hasil pengobatan.4 Pasien Hasil uji hubungan jenis resistensi dalam penelitian ini
yang berusia e” 45 tahun memiliki resiko 1,32 lebih tidak dapat dibandingkan dengan penelitian
tinggi mendapatkan hasil pengobatan buruk sebelumnya, karena penelitian sebelumnya tidak ada
dibandingkan dengan kelompok usia < 45 tahun. yang melihat hubungan antar jenis resistensi
Penelitian lain juga menunjukkan usia < 44 tahun (monoresisten, poliresisten, dan multidrugresisten)
merupakan faktor protektif dari hasil pengobatan yang dengan hasil pengobatan dalam satu penelitian. Selain
buruk. 7 Pasien usia lanjut berisik o lebih besar itu tidak dapat dibandingkan karena perbedaan desain
mendapatkan hasil pengobatan yang buruk karena penelitian, wilayah penelitian dan definisi variabel yang
pasien usia lanjut membutuhkan usaha dan dukungan diteliti.
yang lebih banyak untuk mendapatkan layanan Status HIV tidak memiliki hubungan yang
pengobatan.7 signif ikan dengan kesuksesan kesembuhan hasil
Resisten terhadap ofloksasin dan resisten pengobatan. Penelitian ini sejalan dengan yang
terhadap kanamisin memiliki hubungan yang siginifikan dilakukan oleh peneliti lain yang menghasilkan bahwa
dengan kesuksesan kesembuhan dari pengobatan status HIV tidak berhubungan dengan hasil
regimen pendek. Pasien yang tidak resisten terhadap pengobatan .15,4 Beberapa penelitian menunjukkan
ofloksasin memiliki peluang untuk sukses sembuh adanya hubungan antara status HIV dengan hasil
( crude RR 7,73; 95% CI, 0,92–64,28) lebih besar pengobatan. 4,17 Pasien yang berstatus HIV positif
dibandingkan pasien yang resisten terhadap ofloksasin. berisiko 2,51 dan 1,29 kali lebih besar mendapatkan
Akan tetapi, pada penelitian ini pasien dengan hasil pengobatan tidak sembuh dibandingkan pada
resistensi terhadap kanamisin memiliki peluang yang pasien yang status HIV negatif. 4,17 Pada pasien HIV
lebih rendah untuk sukses sembuh (crude RR 0,47; 95% terjadi penurunan respon imun tubuh disebabkan
CI, 0,39 – 0,57). Penelitian sebelumnya menyebutkan karena jumlah sel CD4 yang sangat rendah. Banyaknya
bahwa jumlah resistensi obat berhubungan dengan missing data variabel status HIV pada penelitian ini
kesuksesan pengobatan. 8 Semakin sedikit resistensi menjadi salah satu faktor penyebab perebedaan hasil
obatnya maka semakin besar peluangnya untuk penelitian. Karena jumlah sampel status HIV yang
sembuh. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa dianalisis tidak mencapai jumlah minimum sampel.
resistensi terhadap rifampisin menghasilkan risiko 1.91 Hasil uji statistik menunjukan hasil nilai p=0,74
kali lebih besar untuk mendapatkan hasil pengobatan sehingga hubungan antar a status DM dengan
yang tidak sukses.9 kesuksesan kesembuhan dari pengobatan tidak
Dalam penelitian ini hubungan jenis kelamin signifikan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
dengan kesuksesan kesembuhan pengobatan tidak di Beijing tahun 2011 yang tidak menunjukkan adanya
signif ikan. Hasil penelitian ini tedapat perbedaan hubungan antara status diabetes mellitus dengan hasil
dengan hasil penelitian sebelumnya yang pengobatan karena nilai p yang dihasilkan p=0,36 dan
menunjukkan adanya hubungan signifikan antara jenis OR 0,73 (0,38–1,43).16 Namun, penelitian ini berbeda
kelamin dan hasil pengobatan. 10,11 Perbedaan hasil dengan penelitian lain yang menunjukkan adanya
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya bisa terjadi hubungan.19,20 Penelitian tersebut menunjukkan efek
karena adanya perbedaan metode penelitian yang dari pasien tuberkulosis resisten obat terhadap hasil
digunakan, jumlah sampel yang digunakan, lokasi pengobatan ialah pasien yang memiliki penyakit
penelitian, dan karakteristik sampel. Hubungan antara diabetes mellitus berisiko 2,04 (1,07–3,8) kali lebih
jenis kelamin dan hasil pengobatan sulit untuk dinilai besar untuk mendapatkan kegagalan pengobatan.19
karena bersifat k ompleks. Karena laki-laki dan Adanya perbedaan hasil penelitian disebabkan karena
perempuan tidak hanya sekedar berbeda secara adanya perbedaan definisi operasional dari variabel
biologis tetapi adanya perbedaan resiko faktor pajanan, hasil pengobatan maupun mengklasifikasikan variabel
perilaku dalam pengobatan dan stigma terhadap diabetes mellitus. Selain itu, menurut penanggungjawab
mereka. 11 Hubungan antara riwayat pengobatan data e-TB manager Subdirektorat TB kualitas data
sebelumnya dengan kesuksesan kesembuhan komorbid status DM di sistem e-TB manager belum
pengobatan tidak signif ikan. Beberapa penelitian baik karena di Indonesia masih jarang melaporkan
sebelumnya menunjukkan adanya hubungan antara kasusnya.
riwayat pengobatan TB sebelumnya dengan hasil Status kavitas paru tidak memiliki hubungan
pengobatan.12,13 Perbedaan hasil penelitian bisa terjadi yang signifikan dengan kesuksesan kesembuhan hasil
karena ada perbedaan karakteristik pasien, metode pengobatan karena uji statistik menunjukkan nilai
penelitian dan pengkategorian hasil pengobatan. p=0,68. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan
69
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia Vol. 2, No. 2, Desember 2018
penelitian sebelumnya yang menujukkan adanya pasien dengan resistensi kanamycin yang berpeluang
hubungan signifikan anrara status kavitas paru dengan untuk tidak mencapai pengobatan yang sukses juga
hasil pengobatan. 4,14,19 Perbedaan hasil penelitian perlu diteliti lebih lanjut. Ketepatan data pada e-TB
disebabkan karena jumlah sampel dalam penelitian ini manager pun perlu dilihat kembali karena pada
sedikit dan masih adanya pasien yang tidak diperiksa penelitian ini didapatkan bahwa pasien dengan
radiografi sehingga tidak diketahui bagaimana status resistensi kanamycin memiliki peluang untuk sukses
kavitas parunya. sembuh lebih besar daripada pasien yang tidak ada
Dalam penelitian ini interval inisasi pengobatan resistensi kanamycin.
tidak memiliki hubungan yang signif ikan dengan Perlu juga adanya peningkatan kualitas
kesuksesan kesembuhan dari pengobatan regimen pencatatan kasus pada fasilitas kesehatan khususnya
pendek. Meskipun menurut Kemenkes RI interval RS yang melayani pengobatan TB RO agar informasi/
inisiasi pengobatan pada pasien TB RO menggunakan data pasien seperti status komorbiditas, efek samping,
regimen jangka pendek yang terbaik adalah tidak lebih evaluasi kontak dapat diketahui. Peneliti selanjutnya
dari 7 hari.3 Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,97 diharapkan dapat menganalisis lebih lanjut mengenai
sehingga ada hubungan yang signifikan antara inter- efek samping yang dihasilkan dari hasil pengobatan
val insiasi pengobatan dengan hasil pengobatan. regimen jangka pendek dan hubungannya dengan
Berbeda dengan hasil penelitian lain bahwa faktor in- kesuksesan kesembuhan dari pengobatan regimen
terval inisiasi pengobatan merupakan faktor yang pendek.
berhubungan dengan hasil pengobatan. Penelitian oleh
Referens i
Bastard (2015) menghasilkan lama penundaan e” 3
hari berisiko 3,87 (95% CI, 1,66–8,98) kali lebih besar 1. World Health Organization. Global Tuberculosis Report
mengalami kegagalan pengobatan. 21 Kirana (2018) 2017. France: World Health Organization; 2017.
mengkategorikan interval inisiasi pengobatan > 30 hari 2. World Health Organization. Global Tuberculosis Report
berisik o 1,11 (95% CI, 1,00–1,24) lebih besar 2018. France: World Health Organization; 2018.
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis
mendapatkan hasil pengobatan buruk (tidak sembuh).4 Pengobatan Pasien TB Resistan Obat dengan Paduan
Beberapa penelitian lain membuat kategori yang Standar Jangka Pendek di Fasyankes TB Resistan Obat.
berbeda-berbeda terkait dengan penundaan Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2017.
pengobatan yang berisiko terhadap hasil pengobatan. 4. Kirana, I. C. Gambaran Hasil Pengobatan Pasien Tuberkulosis
Perbedaan hasil ini mungkin disebabkan karena Multidr ug Resis tant ( TB-MDR) dan Faktor yang
Mempengaruhinya di Indonesia tahun 2013-2015.
pemilihan definisi operasional dari hasil pengobatan Depok;FKM UI;2018.
yang digunakan berbeda. 5. Kementrian Kesehatan RI. Strategi Nasional Pengendalian
TB. 2014.
Simpulan dan Saran 6. (Anonim). The Shorter MDR-TB Regimen. WHO;2016.
7. Khan, M. A. et al. Characteristics and treatment outcomes
Dari 223 pasien Tuberkulosis Resisten Obat of patients with multidrug resistant tuberculosis at a
yang menggunakan pengobatan regimen jangka tertiary care hospital in Peshawar, Pakistan’, Saudi Medical
pendek di Indonesia tahun 2017 yang di analisis, Journal ;2015;1463–1471. doi: 10.15537/
terdapat pasien TB RO dengan status kesembuhan smj.2015.12.12155.
8. Leimane, V. et al. Clinical Outcome of individualised
sukses sebanyak 104 (46,6%) dan sisanya tidak sukses treatment of multidrugresistant tuberculosis in Latvia,
sebanyak 119 (53,4%). Variabel usia, resistensi Lancet; 2005;318-326. doi: 10.1016/S0140-
ofloksasin dan resistensi kanamisin memiliki hubungan 6736(05)17786-1
yang signif ikan secara statistik dengan kesuksesan 9. Santos, G. et al . Effect of Isoniazid Resistance on the
kesembuhan dari pengobatan regimen pendek. Tuberculosis Treatment Outcome. 2008; 48-51.doi:
10.1016/j.arbr.2017.06.005.
Variabel jenis kelamin, riwayat pengobatan, jenis
10. Milanov V, Falzon D, Zamf irova M, Varleva T, Bachiyska E,
resistensi berdasarkan e-TB manager, resistensi jenis
Koleva A, et al. Factors associated with treatment success
obat rifampisin, resistensi streptomisin, resistensi and death in cases with multidrug-resistant tuberculosis
isoniazid, resistensi etambutol, resistensi amikasin, in Bulgaria, 2009-2010. Int J Mycobacteriology [Internet].
status HIV, status DM, status kavitas paru, dan interval 2015;4(2):131–7. Available from: http://dx.doi.org/
inisiasi pengobatan tidak memiliki hubungan yang 10.1016/j.ijmyco.2015.03.005
11. Apriani, Rina. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
signif ikan dengan kesuksesan kesembuhan dari
Gagal Pengobatan Pasien Multi Drug Resisten Tuberculosis
pengobatan regimen pendek. ( TB-MDR) Di Indonesia Tahun 2009 – 2014. DepokFKMUI
Melihat hasil ini disarankan agar penderita TB ;2016.
12. Li D, Ge E, Shen X, Wei X. Risk Factors of Treatment
RO dengan usia 45 tahun ke atas mendapatkan
Outcomes for Multi-dr ug Resistant Tuberculosis in
perhatian lebih dalam pengobatan regimen pendek Shanghai, 2009-2012. Procedia Environ Sci [Internet].
ini karena ber peluang lebih rendah untuk 2016;36:12–9. Available from: http://
mendapatkan status pengobatan yang sukses. Perihal linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S1878029616302055

70
Rina, Maulida, Yovsyah. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kesuksesan Kesembuhan dari Pengobatan Regimen Pendek pada Pasien TB RO di Indonesia 2017

13. Johnston, J. C. et al. ‘Treatment outcomes of multidrug-


resistant tuberculosis: A systematic review and meta-
analysis. PLoS ONE ;2009:4(9). doi: 10.1371/
journal.pone.0006914.
14. Yan L, Kan X, Zhu L, Xu K, Yin J, Jie L, et al. Short-course
Regimen for Subsequent Treatment of Pulmonar y
Tuberculosis/ : A Prospective , Randomized , Controlled
Multicenter Clinical Trial in China. Clin Ther [Internet].
2018;40(3):440–9. Available from: http://dx.doi.org/
10.1016/j.clinthera.2018.01.013.
15. Riele JB, Buser V, Calligaro G, Esmail A, Theron G, Lesosky
M, et al. International Journal of Infectious Diseases
Relationship between chest radiographic characteristics ,
sputum bacterial load , and treatment outcomes in
patients with extensively drug-resistant tuberculosis. Int J
Infect Dis [Internet]. 2019;79:65–71. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.ijid.2018.10.026
16. Anderson, L. F. et al. Treatment outcome of multi-drug
resistant tuberculosis in the United Kingdom:
Retrospective-prospective cohort study from 2004 to
2007’, Eurosurveillance . 2013;1–10.
17. Liu, C. H. et al. Characteristics and treatment outcomes
of patients with MDR and XDR tuberculosis in a TB referral
hospital in beijing: A 13-year experience’, PLoS ONE .
2011;doi: 10.1371/journal.pone.0019399.
18. Perez-navarro LM, Restrepo BI, Fuentes-dominguez FJ,
Duggirala R, Morales-romero J, L JC, et al. The effect size
of type 2 diabetes mellitus on tuberculosis drug resistance
and adverse treatment outcomes. 2017;103.
19. Japsen, Daniel F., et al. The role of diabetes co-morbidity
for tuberculosis treatment outcomes a prospective cohort
study from Mwanza, Tanzania; 2011.
20. Tang, S. et alx. Risk factors for poor treatment outcomes
in patients with MDR and XDR-TB in China: Retrospective
multi-center investigation’, PLoS ONE . 2013;1–8. doi:
10.1371/journal.pone.0082943.
21. Bastard M, Sanchez-padilla E, Hewison C, Hayrapetyan A,
Khurkhumal S, Varaine F, et al. Effects of Treatment
Interruption Patterns on Treatment Success Among Patients
W ith Multidrug-Resistant Tuberculosis in Armenia and
Abkhazia. 2015;211:1607–15.

71

Anda mungkin juga menyukai