Anda di halaman 1dari 70

SUSUNAN PENGURUS

BOARD OF TRUSTEE
dr. Endang L. Achadi, MPH, Dr PH
(Universitas Indonesia)

Fillah Fithra Dieny, S. Gz, M.Si


(Universitas Diponegoro)

PIMPINAN UMUM

TIM REDAKSI
Ayu Prieska Priscila Universitas Indonesia
Azwar Burhan Universitas Hasanuddin
Shabira Utami Institut Pertanian Bogor
Elok Sekarini Stikes Surabaya
Dimas Pradipta P Universitas Respati Yogya
Zumrah Hatma Universitas Hasanuddin
Santi Jaelani Universitas Indonesia

Rudianto Universitas Hasanuddin

SEKRETARIS
Cahyuning Isnani Institut Pertanian Bogor

BENDAHARA
Wardatul Ashifia Universitas Brawijaya

PIMPINAN REDAKSI
Fadilla Anjani Universitas Indonesia

TIM HUMAS
Mief Qurani S Universitas Brawijaya
Hoiriyah STIKES Surabaya
Alexandra Tatgyana S Universitas Indonesia
Damelya Patricia D Universitas Hasanuddin
Fortunella STIKES Surabaya
Adinda Rizki Pemb. Veteran
Mardhiati Universitas Hasanuddin
Sarinah Institut Pertanian Bogor

TIM LAYOUT
M. Firman Alamsyah Institut Pertanian Bogor
Anneke Wulansari Universitas Brawijaya
Karina Muthiah Santi Universitas Brawijaya

II

DAFTAR ISI

ISSN : 2303-3932

Susunan Pengurus...................................................................................................................................
Daftar Isi......................................................................................................................................................
Petunjuk Penulisan................................................................................................................................
Sambutan Pimpinan Umum...............................................................................................................

ii
iii
iv
ix

PENELITIAN
Uji Daya Terima Terhadap Olahan Produk Lawa Bale (Makanan Tradsional
Sulawesi Selatan)
Astri Ayu Novaria1

..................................................................................................................................................................................................................................

Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi Kefir Air Pada Berbagai Suhu dan
Kerapatan Fermentasi
Lina Lidia1 dan Neneng Sugiharti1

..................................................................................................................................................................................................................................

Perbedaan Proporsi Sindrom Metabolik Pada Guru Sekolah Dasar Obes Sentral
dan Non-Obes Sentral Berdasarkan Lingkar Perut
Qonita Rachmah1

..................................................................................................................................................................................................................................

19

Biskuit Moringa Ria Sebagai Suatu Strategi Penanggulangan Gizi Kurang dan Gizi
Buruk pada Balita Miskin Berbasis Masyarakat
Rudianto,1 Ainum Jhariah Hidayah,2 Irma Ariany Syam3
..................................................................................................................................................................................................................................

27

ADVERTORIAL
Sushi Berbahan Beras Jagung Pulut: Pengembangan Diversifikasi Pangan Guna
Memanfaatkan Potensi Lokal Sulawesi Selatan
Ainum Jhariah Hidayah,1 Irma Ariany Syam,2 Sri Rahayu Indah S3

.................................................................................................................................................................................................................................. 33

Efektivitas Kinerja Millenium Development Goals Dalam Rangka Penurunan


Tingkat Kematian Anak di Indonesia
Novi Luthfiana Putri1

.................................................................................................................................................................................................................................. 41

Genetik, Obesitas, Dan Teori Relativitas Berat Badan


Andi Imam Arundhana1, Asry Dwi Muqni2
.................................................................................................................................................................................................................................. 51

III

PETUNJUK PENULISAN
Pedoman Penulisan Artikel
Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia (BIMGI)
Indonesian Nutrition Student Journal
Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia (BIMGI) adalah publikasi tiap enam bulanan
yang menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi,
mendapat seleksi validitas oleh peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMGI
menerima artikel penelitian asli yang berhubungan dengan kelompok bidang ilmu gizi dasar,
ilmu gizi terapan, gizi masyarakat, gizi klinis, pendidikan gizi, biokimia gizi, ilmu pangan, sanitasi
dan ketahanan pangan, nutrigenomik, serta artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel
penyegar ilmu gizi dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Tulisan
merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa ilmu gizi.

Kriteria Artikel
1. Penelitian asli: hasil penelitian asli dalam ilmu gizi, ilmu pangan, kesehatan masyarakat,
dan ilmu gizi dasar. Format terdiri dari judul penelitian, nama dan lembaga pengarang,
abstrak, dan teks (pendahuluan, metode, hasil, pembahasan/diskusi, kesimpulan, dan
saran).
2. Tinjauan pustaka: tulisan artikel review/sebuah tinjauan terhadap suatu fenomena
atau ilmu dalam dunia gizi, ditulis dengan memerhatikan aspek aktual dan bermanfaat
bagi pembaca.
3. Laporan kasus: artikel tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca.
Artikel ini ditulis sesuai pemeriksaan, analisis, dan penatalaksanaan sesuai kompetensi
ilmu gizi. Format terdiri dari pendahuluan, laporan, pembahasan, dan kesimpulan.
4. Artikel penyegar ilmu gizi: artikel yang bersifat bebas ilmiah, mengangkat topik-topik
yang sangat menarik dalam dunia pangan, gizi, dan atau kesehatan, memberikan human
interest karena sifat keilmiahannya, serta ditulis secara baik. Artikel bersifat tinjauan
serta mengingatkan pada hal-hal dasar atau gizi yang perlu diketahui oleh pembaca.
5. Editorial: artikel yang membahas berbagai hal dalam dunia pangan, gizi dan kesehatan,
mulai dari ilmu dasar gizi, berbagai metode terbaru, organisasi, penelitian, penulisan di
bidang pangan dan gizi, lapangan kerja sampai karir dalam dunia pangan dan gizi.
Artikel ditulis sesuai kompetensi mahasiswa ilmu gizi.
6. Petunjuk praktis: artikel berisi panduan analisis atau tatalaksana yang ditulis secara
tajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca (mahasiswa
ilmu gizi).
7. Advertorial: artikel singkat mengenai ilmu pangan dan gizi, kesehatan dan atau
kombinasi terbaru, beserta penelitian, dan kesimpulannya. Penulisan berdasarkan
metode studi pustaka.

IV

Petunjuk Bagi Penulis


1. BIMGI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain.
2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baik dan benar, jelas, lugas,
serta ringkas. Naskah diketik di atas kertas A4 dengan dua (2) spasi, kecuali untuk abstrak
satu (1) spasi. Ketikan tidak dibenarkan dibuat timbal balik. Ketikan diberi nomor halaman
mulai dari halaman judul. Batas atas, bawah, kiri dan kanan setiap halaman adalah 2.5 cm.
Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman.
3. Naskah harus diketik dengan komputer dan harus memakai program Microsoft Word.
Naskah dikirim melalui email ke alamat redaksibimgi@bimkes.org dengan menyertakan
identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika
sebagai berikut:
1. Judul karangan (Title)
2. Nama dan Lembaga Pengarang (Authors and Institution)
3. Abstrak (Abstract)
4. Naskah (Text), yang terdiri atas:
- Pendahuluan (Introduction)
- Metode (Methods)
- Hasil (Results)
- Pembahasan (Discussion)
- Kesimpulan
- Saran
5. Daftar Rujukan (Reference)
5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan pustaka harus mengikuti
sistematika sebagai berikut:
1. Judul
2. Nama penulis dan lembaga pengarang
3. Abstrak
4. Naskah (Text), yang terdiri atas:
- Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas)
- Pembahasan
- Kesimpulan
- Saran
5. Daftar Rujukan (Reference)
6. Judul ditulis dengan huruf besar, dan bila perlu dapat dilengkapi dengan anak judul. Naskah
yang telah disajikan dalam pertemuan ilmiah nasional dibuat keterangan berupa catatan
kaki.
7. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti
dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis.
Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email.
8. Abstrak harus dibuat dalam bahasa Inggris serta bahasa Indonesia. Panjang abstrak tidak
melebihi 200 kata dan diletakkan setelah judul makalah dan nama penulis.
V

9. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Tidak lebih dari 5 kata, dan
sebaiknya bukan merupakan pengulangan kata-kata dalam judul.
10. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring
(italic).
11. Tabel
12. Gambar
13. Metode statistik
14. Ucapan terima kasih
15. Daftar rujukan disusun menurut sistem Vancouver, diberi nomor sesuai dengan pemunculan
dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat
1. Artikel dalam jurnal
i.

Artikel standar
Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk
for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996 Jun 1;124(11):980-3.
atau
Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk
for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996;124:980-3.
Penulis lebih dari enam orang
Parkin Dm, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood
leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 year follow-up. Br j Cancer 1996;73:1006-12.

ii.

iii.

iv.

v.

vi.

vii.

Suatu organisasi sebagai penulis


The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical exercise stress testing.
Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996;164:282-4.
Tanpa nama penulis
Cancer in South Africa [editorial]. S Afr Med J 1994;84:15.
Artikel tidak dalam bahasa Inggris
Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere
frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996;116:41-2.
Volum dengan suplemen
Shen HM, Zhang QF. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung
cancer. Environ Health Perspect 1994;102 Suppl 1:275-82.
Edisi dengan suplemen
Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women`s psychological reactions to breast
cancer. Semin Oncol 1996;23(1 Suppl 2):89-97.
Volum dengan bagian
Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin
VI

viii.

ix.

x.

xi.

dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6.


Edisi dengan bagian
Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap laceration of the leg in
ageing patients. N Z Med J 1990;107(986 Pt 1):377-8.
Edisi tanpa volum
Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in
rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995;(320):110-4.
Tanpa edisi atau volum
Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of cancer patient and the effects of
blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33.
Nomor halaman dalam angka Romawi
Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology.
Introduction. Hematol Oncol Clin North Am 1995 Apr;9(2):xi-xii.

2. Buku dan monograf lain


i.

ii.

iii.

iv.

v.

vi.

Penulis perseorangan
Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany
(NY): Delmar Publishers; 1996.
Editor, sebagai penulis
Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people. New York:
Churchill Livingstone; 1996.
Organisasi dengan penulis
Institute of Medicine (US). Looking at the future of the Medicaid program.
Washington: The Institute; 1992.
Bab dalam buku
Philips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors.
Hypertension: patophysiology, diagnosis, and management. 2nd ed. New York: raven
Press; 1995.p.465-78.
Prosiding konferensi
Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent advances in clinical neurophysiology.
Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical
Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam: Elsevier; 1996.
Makalah dalam konferensi
Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in
medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, Rienhoff O, editors.
MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992
Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam: North-Hollan; 1992.p.1561-5.
VII

vii.

Laporan ilmiah atau laporan teknis


1. Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor :
Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equipment billed during
skilled nursing facility stays. Final report. Dallas (TX): Dept. of Health and
Human Services (US), Office of Evaluation and Inspection; 1994 Oct. Report No.:
HHSIGOEI69200860.
2. Diterbitkan oleh unit pelaksana :
Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Helath services research: work
force and education issues. Washington: National Academy Press; 1995.
Contract no.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care
Policy and research.

viii.

ix.

x.

Disertasi
Kaplan SJ. Post-hospital home health care: the elderly/access and utilization
[dissertation]. St. Louis (MO): Washington univ.; 1995.
Artikel dalam Koran
Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions
annually. The Washington Post 1996 Jun 21;Sect A:3 (col. 5).
Materi audiovisual
HIV + AIDS: the facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-Year
book; 1995.

3. Materi elektronik
i.

ii.

iii.

Artikel journal dalam format elektronik


Morse SS. Factors in the emergence of infectious disease. Emerg Infect Dis [serial
online] 1995 Jan-Mar [cited 1996 Jun 5]:1(1):[24 screens]. Available from: URL:
HYPERLINK http://www.cdc.gov/ncidod/EID/eid.htm
Monograf dalam format elektronik
CDI, clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, Maibach
H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995.
Arsip computer
Hemodynamics III: the ups and downs of hemodynamics [computer program].
Version 2.2. Orlando (FL): Computerized Educational Systems; 1993.

VIII

SAMBUTAN PIMPINAN UMUM


Salam sehat luar biasa untuk seluruh mahasiswa gizi Indonesia
Alhamdulillah, dengan rahmat Allah SWT. Akhirnya BIMGI kembali berinovasi
menyajikan jurnal elektronik yang merupakan kumpulan artikel ilmiah dari mahasiswa gizi
Indonesia. BIMGI yang merupakan bagian dari BIMKES (Berkala Ilmiah Mahasiswa
Kesehatan Indonesia) adalah wadah bagi mahasiswa gizi untuk mempublikasikan karya
ilmiahnya.
BIMGI merupakan jurnal elektronik mahasiswa gizi yang pertama dan satu-satunya di
Indonesia. sejak pertama kali digagas, BIMGI sudah eksis diberbagai universitas anggota
ILMAGI. Salah-satu bukti dari eksistensi BIMGI adalah antusiasme mahasiswa gizi yang
mengirimkan artikelnya melebihi target yang telah ditentukan. BIMGI (Berkala Ilmiah
Mahasiswa Gizi Indonesia) volume 2 edisi 1 kali ini berisi tujuh artikel penelitian dari
berbagai mahasiswa gizi Indonesia. Ketujuh artikel tersebut merupakan hasil seleksi yang
dilakukan oleh tim redaksi BIMGI.
Kami menyadari bahwa salah-satu faktor utama yang mendorong kesuksesan dalam
menerbitkan jurnal ilmiah adalah kualitas dari artikel-artikel yang dimuat. Untuk itu, kami
berusaha untuk menyajikan artikel-artikel yang berkualitas yang mampu menjawab isu isu
terkini dan permasalahan yang ada di masyarakat.Untuk itu kami berharap bahwa edisi
BIMGI kali ini, mampu memberikan informasi-informasi ilmiah terkait kesehatan dan gizi.
Kesuksesan BIMGI dalam menyusun jurnal ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak. Untuk itu kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
membantu penerbitan jurnal elektronik ini. Kritik dan saran senantiasa kami nantikan demi
menciptakan edisi jurnal yang lebih baik lagi.

Pimpinan Umum
Rudianto

IX

Penelitian

UJI DAYA TERIMA TERHADAP OLAHAN PRODUK LAWA


BALE (MAKANAN TRADSIONAL SULAWESI SELATAN)
Astri Ayu Novaria

Prodi lmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin

ABSTRAK
Makanan tradisional di Sulawesi Selatan beraneka ragam salah satunya Lawa Bale yang
dibuat dari ikan mentah dimasak dengan proses rendaman cuka atau blansir. Ikan yang biasa
digunakan adalah ikan teri. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui daya terima terhadap tiga
formula Lawa Bale makanan tradisional dari segi warna, tekstur, aroma dan rasa. Dari beberapa
formula Lawa Bale yang terdapat di rumah makan, setelah dilakukan observasi, didapatkan tiga resep
sebagai sampel yang akan diuji yaitu formula A menggunakan rendaman cuka 20 menit, penambahan
o
kelapa sangrai, dan sedikit garam, formula B diberi perlakuan blansir dengan suhu 70 C, perendaman
jeruk nipis 2 menit, penambahan kelapa sangrai dan pemberian garam sedikit, serta formula C diberi
o
pula perlakuan blansir dengan suhu 70 C, diberi air asam jawa, lalu penambahan jantung pisang,
kelapa sangrai dan pemberian sedikit garam. Pada penilaian uji daya terima, penilaian yang dilakukan
berdasarkan skor dan selanjutnya diolah untuk melihat rata-rata nilai perbedaan antara ke tiga formula
baik dari segi warna, aroma, tekstur, rasa serta nilai perbedaan yang diperoleh dari uji kruskal-wallis.
Hasil yang didapatkan bahwa formula yang paling disukai adalah formula B walaupun dari segi harga
yang lebih murah adalah formula C dibandingkan dengan formula A maupun B. Oleh karena itu,
masyarakat disarankan untuk memilih formula B untuk segi rasa dan dari segi ekonomis untuk
memilih formula C.
Kata kunci: uji daya terima,Lawa Bale, makanan tradisional

ABSTRACT
Traditional foods in south sulawesi variegated one of them made Lawa Bale of raw fish
cooked in vinegar or blansir, the process of marinade. The fish that is commonly used anchovy. The
study is done to know the power of receipt of three formulation Lawa Bale traditional foods , in terms
of color texture , the smell and taste . Of some formula Lawa Bale in a restaurant after the observation
then obtained three recipes as a sample to be tested using the formula A vinegar marinade, adding 20
minutes to toast the coconut, and a little salt, formula B was given preferential treatment blansir with
o
the temperature of 70 C, soaking lemon 2 minutes, adding coconut toast and the granting of the salt a
o
bit, as well as a formula C was also blansir treatment with temperature 70 C tamarind water, are
given, then the addition of banana, toast the coconut and the granting a bit of salt, on the assessment
of the power test is done on the basis of assessment received the score and then processed to see
the average value of the difference between the three formulas both in terms of color, aroma, texture,
flavor and value differences obtained from kruskal-wallis test. The result obtained was that formula
most favored formula B although in terms of a lower price is formula C compared with formula A and
B. So, the public is advised to choose the formula B for in terms of taste and in terms of economical to
choose the formula C.
Keywords : the resources received, Lawa Bale, tradisional foods

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

1. PENDAHULUAN
Preferensi

Oleh karena itu, untuk menaikkan nilai di mata


terbentuk

persepsi

masyarakat perlu adanya pemanfaatan ikan teri

terhadap suatu produk. Preferensi adalah derajat

sebagai produk olahan pangan yang memiliki

kesukaan, pilihan, atau sesuatu hal yang lebih

nilai tambah yang tinggi.

disukai oleh konsumen.

dari

tradisional

di

Beberapa makanan

Sulawesi

selatan

diolah

Preferensi juga dapat diartikan sebagai

mengunakan teknik pengasaman, seperti lawa

tingkatan kesukaan. Tingkat kesukaan yang

teri yang hanya dimatangkan dengan air cuka

dimaksud yaitu secara kualitas dan atau bila

atau

dibandingkan dengan tingkat kesukaan terhadap

Pembuatan Lawa Bale yang

sesuatu yang lain.

air

ikan

Suatu makanan tidak akan disukai bila


belum pernah dicoba. Selain itu, suatu makanan

teri

terlalu

pengolahan

proses

pemasakan.6

berbahan

salah

baku

satu alternatif

ikan teri

sebagai

produk pangan.
Lawa Bale adalah makanan khas suku

dikonsumsi,

bugis dan Makassar yang berbahan dasar dari

menyebabkan alergi atau reaksi fisiologis, dan

ikan teri yang masih segar (mentah). Proses

berhubungan dengan efek penyakit setelah

pembuatannya tidak sulit dan bahan-bahannya

mengkonsmsinya. Sikap suka atau tidak suka

mudah didapatkan. Adapun Lawa Bale yang

terhadap pangan hanyalah salah satu alasan

paling sering dikonsumsi masyarakat Sulawesi

yang membentuk preferensi pangan. Preferensi

Selatan terkhusus suku bugis adalah Lawa Bale

pangan lebih menunjuk pada keadaan ketika

dengan kelapa sangrai, sedangkan Lawa Bale

seseorang harus melakukan pilihan terhadap

jantung pisang adalah modifikasi dari Lawa Bale

pangan dengan menunjukkan reaksi penerimaan

dengan menambahkan jantung pisang. Oleh

hedonik atau rasa makanan yang data diukur

karena itu, penulis tertarik untuk meneliti uji daya

secara

terima dari Lawa Bale dengan menggunakan tiga

verbal,

ekspresi wajah.

dengan

biasa

tanpa

merupakan

diversifikasi

bisa tidak disukai jika setelah dicoba terasa


membosankan,

jeruk

skala atau dengan

variasi sebagai alternatif makanan pokok yang

Penampilan makanan ketika disajikan

dapat dibuat sendiri di tingkat rumah tangga

dapat mempengaruhi selera makan. Faktor-faktor

khususnya bagi masyarakat yang menyukai

yang menentukan penampilan makanan antara

makanan tradisional.

lain warna, tekstur, bentuk, konsistensi dan rasa


makanan.

2. METODE

Ikan merupakan sumber protein hewani


utama

dalam

menu

diseluruh

terutama bagi penduduk yang kurang mampu.5


Indonesia merupakan salah satu negara maritim
terbesar

di dunia dengan hasil

laut yang

melimpah. Salah satu contoh hasil


tianyak dihasilkan

di daerah

laut yang

pesisir

pantai

lndonesia adalah ikan: diantaranya ikan teri.


lkan

teri kebanyakan dikonsumsi oleh

kalangan masyarakat menengah

2.1 Lokasi Penelitian

Indonesia,

ke

bawah.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium


Kuliner Lanjut Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Alasan pemilihan laboratorium kuliner lanjut
adalah

salah

satunya

dikarenakan

proses

penilaian terhadap uji daya terima yang akan


dilakukan rus memenuhi persyaratan sebagai
berikut.

Pengujian

dilakukan

dalam

bilik

pencicip, suasana, dan peralatan serta sarana.


Bilik pencicip ditujukan untuk memberikan sekat
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

dan menghindari adanya komunikasi antara

akan menilai proses uji daya terima ini harus

setiap panelis. Suasana yang diharapkan dalam

memenuhi kriteria inklusi maupun eksklusi.\

pengujian daya terima sama yang dirasakan oleh


setiap panelis. Peralatan dan sarana pada
laboraorium

kuliner

lanjut

telah

2.4 Pengumpulan Data

memenuhi

Data awal dikumpulkan oleh petugas dari

standarisasi alat dan lengkap untuk mendukung

proses

wawancara

untuk

memenuhi

syarat

uji daya terima ini.

kriteria inklusi dan kriteria ekslusi panelis yang


akan menilai dalam proses uji daya terima ini.

2.2 Desain dan Variabel Penelitian

Kriteria inklusi yang harus dipenuhi adalah

Jenis penelitian yang digunakan adalah

panelis setidaknya pernah mengonsumsi Lawa

penelitian analitik dengan desain case control

Bale, terdiri dari mahasiswa angkatan 2008 dan

design. Penelitian ini menggunakan metode

2009 (telah melewati proses perkuliahan kuliner

analitik

laboratorium,

dasar maupun lanjut), tidak memiliki alergi

menggunakan tiga perlakuan masing-masing

terhadap ikan, masih mempunyai alat indera

formulasi dengan dua kali pengulangan (Duplo).

pengecap

Penelitian dilakukan

dijadikan panelis. Kriteria ekslusi yaitu panelis

dengan

analisa

pada dua tahap yaitu

yang

baik,

dan

dilakukan pembuatan Lawa Bale berdasarkan

tidak

hasil observasi formula Lawa Bale di berbagai

terhadap uji daya terima ini.

Rumah Makan dan uji daya terima pada setiap

bersedia

Data

untuk

bersedia

melakukan

selanjutnya

untuk

penilaian

diperoleh

dari

produk olahan Lawa Bale. Variabel dalam

karakteristik panelis dan penilaian yang telah

penelitian ini adalah Lawa Bale sebagai variabel

dilakukan pada saat proses penilaian dengan

dependen dan uji daya terima sebagai varibel

menilai empat faktor yang diujikan, yaitu warna,

independen.

tekstur, aroma dan rasa.

2.3 Populasi dan Sampel Penelitian

2.5 Analisis Data

Populasi adalah Lawa Bale yang ada di

Data

yang

telah

dikumpulkan

Makassar. Pemilihan sampel ditarik berdasarkan

dimasukkan kedalam komputer menggunakan

observasi yang sebelumnya telah dilakukan.

software SPSS 16,0 dan microsoft excel. Data

Pemilihan sampel ditentukan dengan

yang dimasukkan ke dalam komputer adalah

resep yang dapat diperoleh untuk diuji cobakan

skor penilaian yang dilakukan panelis. Skor yang

dalam uji daya terima ini. Proses pengambilan

diberikan adalah 5 = sangat suka, 4 = suka, 3 =

sampel dalam hal ini resep Lawa Bale dilakukan

agak suka, 2 = kurang suka, dan 1 =tidak suka.

dengan pendekatan personal agar resep asli dari

Data diolah untuk melihat rata-rata tingkat

rumah makan yang telah diobservasi dapat

kesukaan terhadap empat faktor yang dinilai

diberikan.

yaitu warna, tekstur, aroma, dan rasa, agar dapat

Proses

terima

dilihat perbedaan untuk setiap formula dari segi

dilakukan oleh 20 panelis semi terlatih, yaitu

rata-rata skor yang diberikan. Selanjutnya data

panelis

untuk

hasil penilaian uji daya terima dikonversikan juga

Panelis yang

ke uji kruskal-wallis untuk melihat perbedaan

yang

penilaian

uji

daya

sebelumnya

mengetahui sifat-sifat tertentu.

dilatih
6

yang signifikan antara tiga formula yang diujikan.

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Formula pertama menggunakan rendaman cuka

arasa, aroma, dan tekstur adalah formula B,

dan penambahan kelapa sangrai, jeruk nipis, dan

selanjutnya formula C dan terakhir yang disukai

sedikit garam, formula dua diberi perlakuan

adalah formula A.

blansir setelah itu diberi rendaman jeruk nipis

Tabel 2. Rata-rata Skoring Menurut Kriteria Uji

dan penambahan kelapa sangrai dan sedikit

Tingkat Kesukaan Pada ke-3 Formula Lawa

garam, serta formula tiga diberi juga perlakuan

Bale

blansir lalu direndam dengan air asam jawa


kemudian

diberi

tambahan

jantung

pisang,

kelapa sangrai dan sedikit garam. Penilaian


untuk melihat perbedaan dari tingkat kesukaan
untuk

setiap

produk

formula

Lawa

Bale

Karakteristik Uji
Kesukaan
Warna
Tekstur
Aroma
Rasa

Rata-rata Skoring Formula


Lawa
A
B
C
3,275
3,525
3,425
3,15
3,45
3,325
3,125
3,525
3,25
2,775
3,45
3

diimbangi pula dengan dihitung unit cost harga


setiap formula per 100 gram.

3.3 Rata-Rata Keseluruhan Untuk 3 Formula


Lawa Bale

3. HASIL

Rata-Rata Keseluruhan Untuk 3 Formula

3.1 Karakteristik Panelis

Lawa Bale dapat dilihat pada Tabel 3. Terlihat

Karakteristik panelis dapat dilihat pada

rata-rata skoring untuk tiap kriteria uji tingkat

Tabel 1. Terlihat pada jumlah panelis yang

kesukaan diperoleh hasil bahwa pada formula B

menilai pada uji daya terima ini sebanyak 20

lebih disukai para panelis dibandingkan dengan 2

orang yaitu 2008 terdiri dari 16 orang (80%) dan

formula lainnya setelah dilakukan pengulangan

2009

percobaan 2 kali. Formula yang paling disukai

(20%)

perbandingan

jenis

kelamin

perempuan berbanding laki-laki yaitu 17:3.

adalah formula yang diberi perlakuan blansir

Tabel 1. Karasteristik Panelis Uji Daya

kemudian direndam perasan jeruk nipis, setelah

Terima Lawa Bale

ditiriskan selama 2 menit lalu dicampur dengan

Karakteristik Panelis
Jenis Kelamin
Perempuan
Laki-laki
Angkatan
2008
2009

kelapa sangrai dan garam.hal ini dikemukakann


N=20
17
3

%
85
15

oleh beberapa panelis, bahwa formula Lawa Bale

16
4

80
20

Dan yang disukai diurutan kedua adalah formula

yang B dilihat dari warna, aroma, tekstur, dan


rasa lebih baik dibandingkan dengan yang lain.

C yang diberi perlakuan blansir lalu ditambahkan


air asam jawa kemudia

3.2 Rata-Rata Skoring Menurut Karakteristik


Uji Tingkat Kesukaan
Rata-rata skoring menurut karakteristik
uji tingkat kesukaan dapat dilihat pada Tabel 2.
Terlihat hasil tentang rata-rata pada keempat
kriteria pada uji tingkat kesukaan baik dari segi
warna, aroma, tekstur maupun rasa. Pada
keempat kriteria dari 3 formula Lawa Bale
tersebut yang paling disukai dari segi warna,

jantung

pisang,

dan

diberi penambahan

kelapa

sangrai

serta

garam.diurutan ketiga adalah formula A yang


direndam larutan cuka dengan penambahan
kelapa sangrai.
Tabel 3. Rata-Rata Penilaian Tingkat
Kesukaan Pada 3 Formula Lawa Bale
Rata-Rata Kesukaan Panelis Pada Ke-3
Formula Lawa
Penilaian
A
B
C
Rata-rata
3,0125 3,4875
3,2
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Pada penelitian kali ini, para panelis yang

percobaan 1
Rata-rata
percobaan 2
Total rata-rata

3,0875

3,4875

3,3

ditunjuk dalam proses penilaian baik dari segi

3,05

3,4875

3,25

warna, aroma, tekstur dan rasa adalah panelis


semi

terlatih,

yang

dikriteriakan

pernah

mengonsumsi Lawa sebelumnya, cukup terlatih

3.4 Uji Kruskal-Wallis


Uji Kruskal-Wallis yang diperoleh dapat

dalam menilai citarasa dalam hal ini dipilihlah

dilihat pada Tabel 4. Terlihat hasil bahwa setelah

angkatan 2009 dan 2008 yang telah melakukan

di uji menggunakan pengujian kruskal-wallis

proses pembelajaran kuliner, tidak memiliki alergi

dalam SPSS 16,00 dengan =0,05 didapati nilai

terhadap ikan ataupun bahan yang terkandung

yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang

dalam formula Lawa yang akan dibuat, dan

signifikan antara ke 3 formula dilihat dari segi

bersedia dalam berkontribusi pada penelitian ini.

faktor yang mempengaruhi uji tingkat kesukaan

Panelis yang rata-rata terdiri dari suku Bugis ini

pada penelitian uji daya terima ini.

pernah mencoba setidaknya lebih dari 3 kali

3.5 Analisi rincian biaya formula Lawa Bale/


100 gr

mengonsumsi Lawa Bale, karena hal itu pula

Analisis harga untuk biaya pembuatan

Lawa Bale sebelumnya. Panelis dalam mencicipi

formula Lawa Bale per 100 gram dapat dilihat

setiap formula mempunyai tanggapan tersendiri

pada Tabel 5. Terlihat Pada perhitungan unit

untuk tiap formula yang diujikan. Kecenderungan

cost, harga disetiap formula per 100 gram-nya

panelis dalam penilaian tingkat kesukaan kali ini

perbandingan harga yang cukup berbeda terlihat

rata-rata memilih formula B dibandingkan dengan

jelas. Formula yang memakai biaya di setiap

formula A maupun C. Kecenderungan panelis

pembuatan formula per 100 gram nya yaitu

dalam memilih formula B, lebih dikarenakan

formula C, dan paling banyak mengeluarkan

formula A rasa cuka yang masih sangat terasa

biaya di antara ketiga formula yang dibuat adalah

akibat sisa dari perendaman yang dilakukan,

formula A.

sedangkan pada formula C menurut persepsi

panelis lulus dalam uji kriteria pernah merasakan

panelis rasa penambahan jantung pisang yang


4. PEMBAHASAN

tidak biasa mereka konsumsi sebelumnya inilah

Pada kali ini penelitian yang dilakukan


yaitu uji daya terima (uji tingkat kesukaan) dari 3

yang menyebabkan Formula C rata-rata dipilih


menjadi peringkat yang kedua.
Dalam

formula Lawa Bale. Formula Lawa Bale yang


diujikan

yaitu

menggunakan

pertama:
rendaman

Lawa
larutan

dengan
cuka

dan

tamabahan kelapa sangrai, kedua: Lawa yang


diberi perlakuan blansir, rendaman jeruk nipis,
dan penambahan kelapa sangrai, ketiga: Lawa
yang diberi perlakuan blansir, rendaman air asam
jawa, penambahan kelapa sangrai dan jantung
pisang.

Formula Lawa Bale diteliti untuk

mengetahui

tingkat

kesukaan

para

terhadap 3 pilihan Lawa yang diberikan.


B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

panelis

pengolahan

data

hasil

dari

penelitian uji daya terima (uji tingkat kesukaan)


didapatkan rata-rata secara keseluruhan dari
ketiga formula Lawa Bale, rata-rata kriteria
pembentuk uji daya terima yaitu warna, tekstur,
aroma,

dan

rasa,

serta

penilaian

dengan

menggunakan uji kruskal-wallis.


Pengolahan data dengan melihat ratarata secara keseluruhan

digunakan untuk

menilai keseluruhan formula Lawa Bale yang


dilihat dari total rata-rata yaitu akumulasi rata-

Tabel 4. Kruskal-Wallis Pada Uji Tingkat Kesukaan 3 Formula Lawa Bale


Kruskal-Wallis uji Kesukaan
Warna
Tekstur
Aroma
Rasa
ChiDf Asymp. ChiDf Asymp. Chidf Asymp. Chidf Asymp.
Square
sign
Square
sign
Square
sign
Square
sign
3,309
2
0,191
2,281
2
0,320
4,167
2
0,125
4,856
2 0,088

Formula

Tabel 5. Analisis Rincian Biaya Formula Lawa Bale/ 100 gram


Bahan
Standar Porsi Harga Satuan (Rp)
30.000.Ikan teri segar tanpa
85 gr
(800 gr tanpa
kepala
kepala)
2.000.Cuka
15 ml
(200ml)
Kelapa parut
3.500.15 gr
(disangrai)
(1 btr)
500.Jeruk nipis
butir
(1 butir)
500.Garam
3 gr
(500 gr)
Total
30.000.Ikan teri segar tanpa
80
(800 gr tanpa
kepala)
Kelapa parut
3.500.20 gr
(disangrai)
(1 butir)
500.Jeruk nipis
1 butir
(1 butir)
500.Garam
3 gr
(500 gr)
Total
30.000.Ikan teri segar
60 gr
(800 gr tanpa
kepala)
Kelapa Parut
3.500.15 gr
(disangrai)
(1 butir)
3.000.Jantung Pisang
20 gr
(1,2 kg)
500.Asam Jawa
8 gr
(20)
500.Garam
7,5 gr
(500 gr)
Total

rata pengujian awal ditambah rata-rata


pengujian akhir.

Jumlah (Rp)
3200.150.132.250.3.3.735.3.000.175.500.3.3.678.2.250.132.50.200.7,5.2.639,5.-

Penilaian ketiga dilihat dari segi statistik


yaitu menggunakan uji kruskal-wallis, pengujian

Penilaian kedua yaitu dilihat dari rata-rata

dilakukan untuk melihat uji yang dilakukan

keempat kriteria yang diteliti, hal ini dilakukan

terdapat perbedaan atau diterima sesuai dengan

untuk tidak hanya membandingkan formula Lawa

pernyataan Ho diterima jika < 0,05, dan Ho

secara keseluruhan tapi juga untuk melihat

ditolak jika >0,05.

perbedaan yang terlihat dari setiap kriteria

Dari

hasil

pengolahan

data

yang

pembangun uji daya terima dalam hal ini tingkat

dilakukan, hasil yang didapatkan menunjukkan

kesukaan.

formula yang paling disukai adalah formula yang


kedua. Formula kedua paling disukai dilahat dari

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

penilaian rata-rata secara keseluruhai segi warnn

mengeluarkan biaya yang lebih banyak daripada

formula yang diteliti dan rata-rata dari keempat

formula lainnya adalah formula A. Formula C

kriteria syarat uji daya terima. Dari segi warna,

memakai biaya yang sedikit di antara lainnya

formula yang paling disukai setelah dilakukan

dihitung per 100 gram nya karena pada formula

percobaan dua kali adalah formula B, formula

ini pemakaian ikan teri segar lebih sedikit yaitu

yang diberi perlakuan blansir dengan suhu 70 C,

hanya 65 gram dibandingkan dengan formula A

rendaman jeruk nipis, dan penambahan kelapa

yang memakai 85 gram dan formula B yang

sangrai, sama halnya dilihat dari segi tekstur,

memakai 80 gram, walaupun pada bahan

aroma dan rasa, formula yang paling disukai

pelengkap ditambahkan jantung pisang tetapi,

adalah formula B.

tidak sebanding dengan harga jantung pisang

Formula kedua paling disukai disebabkan


dilihat

dari

alasan

formula yang paling disukai adalah formula B

penerimaan para panelis. Pada formula pertama

tetapi, dari segi harga per 100 gram setiap

rasa cuka yang

formula dianjurkan memilih formula C.

walau

sudah

perbandingan

setiap

yang cenderung lebih mahal. Jadi, walaupun

di tampakkan sangat terasa


dibersihkan

beberapa

kali,

sedangkan untuk formula ketiga dilihat dari nilai

5. SIMPULAN

tidak terlalu signifikan perbedaannya denga


formula yang kedua. Walaupun formula kedua

Sesuai tujuan penelitian maka dari hasil

paling disukai menurut kedua penilaian tersebut,

pembahasan penelitian dapat ditarik kesimpulan,

tetapi pada uji statistik kruskal-wallis didapatkan

yaitu; Formula Lawa Bale yang dibuat dan diteliti

hasil bahwa tidak ada perbedaan antara ketiga

adalah formula pertama menggunakan rendaman

formula yang diteliti baik dari segi warna, tekstur,

larutan cuka dan penambahan kelapa sangrai,

aroma dan rasa dengan kata lain Ho diterima.

formula kedua menggunakan perlakuan blansir,

Pada ketiga formula Lawa Bale setelah

rendaman jeruk nipis dan penambahan kelapa

dilihat dari harga satuan yang dihitung, dapat

sangrai, terakhir formula ketiga diberi perlakuan

terlihat jelas perbedaan biaya yang digunakan

blansir,

pada

penambahan

setiap

formula

Lawa

Bale.

Tujuan

menghitung unit cost harga setiap formula per


100 gram nya untuk

mengetahui biaya yang

dikeluarkan dalam setiap formula per 100 gram,


sehingga terlihat perbedaan biaya yang dipakai,
dan yang pada akhirnya akan menjadi acuan
dalam

mempromosikan

makanan

tradisional

Lawa Bale kepada masyarakat dilihat dari tingkat


ekonomis yaitu jangkauan daya beli masyarakat
terhadap

pembelian

suatu

produk.

rendaman
kelapa

air

asam

sangrai

jawa,
serta

dan

jantung

pisang; formula yang paling disukai menurut


penilaian rata-rata secara keseluruhan dan ratarata menurut kriteria syarat uji daya terima
adalah formula dua, dan; formula yang paling
ekonomis dari segi harga per 100 gram tiap
formula adalah formula C.
6. SARAN

Pada

Dari hasil penelitian yang diperoleh,

perhitungan unit cost harga setiap formula,

maka dapat ditarik saran yaitu; Berdasarkan

formula yang paling sedikit mengeluarkan biaya

penelitian ini, Masyarakat disarankan mengolah

per 100 gram nya adalah formula C dibandingkan

Lawa Bale mengonsumsi formula B dengan

dengan formula A maupun B. Formula yang

menggunakan proses blansir terlebih dahulu

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

kemudian direndam jeruk nipis dan bahan


pelengkap berupa kelapa sangrai dilihat dari
tingkat kesukaan yang telah diteliti, sedangkan

6. Rahayu, W.P. Diktat Penuntun Praktikum


Penilaian Organolepik. Bogor: Fakultas
Teknologi Pertanian Bogor Institut Pertanian
Bogor; 1998.

dilihat dari unit cost harga yang dikeluarkan untuk


100 gram tiap formula disarankan untuk memilih
formula C karena harga yang lebih murah
dibandingkan

dengan

yang

lain;

dilakukan

penelitian mengenai inovasi untuk menambahkan


variasi dalam penambahan bahan-bahan yang
dapat meningkatkan jual beli Lawa ataupun
perubahan baik dari rasa, aroma, tektur maupun
warna dari produk olahan Lawa Bale yang telah
ada, dan; berdasarkan hasil temuan dalam
penelitian ini bahwa perbedaan bahan-bahan
untuk setiap formula Lawa Bale mempengaruhi
daya terima seseorang dalam mengonsumsi
suatu makanan, maka disarankan kepada para
ahli gizi, tata boga, dan kuliner agar melakukan
penelitian

mengenai

uji

daya

terima

pada

makanan tradisional lainnya sehingga dapat


mempertahankan makanan tradisional sebagai
pangan lokal dan sebagai alternatif mengatasi
masalah ketahanan pangan dan gizi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Assael H. Consumer Behaviors and
Marketing Action. Boston: 1992.
2. Martiani D. Kebiasaan Jajan dan Preferensi
terhadap
Makanan
Jajanan
pada
Mahasiswa IPB di Wilayah Dramaga, Bogor.
Skripsi Sarjana Jurusan Gizi Masyarakat
dan Sumberdaya Keluarga. Bogor: Fakultas
Pertanian IPB; 2000.
3. Prasatya
ER.
Faktor-faktor
yang
Berhubungan dengan Preferensi dan
Frekuensi Konsumsi Buah pada Golongan
Lanjut Usia di Lembaga Seni Pernafasan
Satria Nuasantara Bogor. [Skripsi]. Jurusan
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga.
Bogor :Fakultas Pertanian, IPB; 1998.
4. Palacio JP, Theis M. Introduction to
Foodservice. 11th Ed. Ohio: Pearson
Education; 2009.
5. Sediaoetama, A.D. Ilmu Gizi untuk
Mahasiswa dan Profesi di Indonesia Jilid I.
Jakarta: Penerbit Dian Rakyat; 1991.

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Penelitian

KARAKTERISTIK KIMIA DAN MIKROBIOLOGI KEFIR


AIR PADA BERBAGAI SUHU DAN KERAPATAN
FERMENTASI
1

Lina Lidia dan Neneng Sugiharti


1

University Djuanda Bogor campus faculty of Food Technology and Nutrition

ABSTRAK
Biji kefir atau biasa disebut algae kristal merupakan starter dalam pembuatan kefir air yang
terdiri dari berbagai jenis mikroba. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba dalam
algae kristal adalah konsentrasi gula. Pada penelitian ini diamati perubahan karakteristik kimiawi kefir
air yang difermentasikan pada berbagai konsentrasi gula. Biji kefir difermentasikan pada media air
dengan perlakuan konsentrasi gula (2%, 5%, 8%, dan 11%) selama 72 jam. Setiap 12 jam dilakukan
pengamatan meliputi total padatan terlarut, kadar gula, total asam laktat, dan nilai pH. Konsentrasi
larutan gula berpengaruh nyata terhadap total padatan terlarut dan kadar gula, tetapi tidak
berpengaruh nyata terhadap total asam dan nilai pH. Selama 72 jam fermentasi, total padatan terlarut
tidak mengalami perubahan, kadar gula dan nilai pH menurun, sedangkan total asam meningkat. Kefir
air dengan konsentrasi gula 2% layak dikonsumsi hingga fermentasi 79 jam, sedangkan kefir air
dengan konsentrasi gula 5%, 8%, dan 11% layak dikonsumsi berturut-turut hingga fermentasi 73 jam,
81 jam, dan 78 jam.
Kata kunci: kefir air, laktobasillus, fermentasi
ABSTRACT
Kefir grain or cristal algae is starter of water kefir making which contains various
microorganisms. One of factors affecting the growth of microorganisms in kefir grain is sugar
concentration. In this research, the chemical properties changes of water kefir were determined. Kefir
grains were fermented in water containing various sugar concentration (2%, 5%, 8%, and 11%) for 72
hours. Every 12 hours, total soluble solid, total sugar, total lactic acid, and pH value were measured.
Sugar concentration significantly affected on total soluble solid and total sugar, but did not affect
significantly on total of lactic acid and pH value. During 72 hours of fermentation, total soluble solid did
not change, total sugar and pH value decreased, and total lactic acid increased. Water kefir with 2%
sugar can be consumed until 79 hours of fermentation, and water kefir with 5%; 8%; and 11% sugar
can be consumed respectively until fermentation of 73 hours, 81 hours, and 78 hours.
keywords: water kafier, lactobacillus, fermentation

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

1. PENDAHULUAN

dan bermanfaat bagi kesehatan. Kefir mulanya

Kebutuhan pangan kesehatan bagi

hanya dikonsumsi oleh Masyarakat Caucasus

masyarakat saat ini sudah semakin tinggi.

selama ratusan tahun, menurut sejarah

Pangan

maupun

kefir diberikan oleh Nabi Muhammad kepada

minuman saat ini selain dikonsumsi untuk

Rakyat Caucasus dan menjadi semacam

pemenuhan energi bagi kelangsungan hidup

pusaka yang diwariskan turun-temurun, dan

manusia juga diharapkan memberikan efek

akhirnya kefir menjadi bagian dari kehidupan

kesehatan maupun perbaikan kesehatan bagi

mereka.

baik

berupa

pengkonsumsinya.

makanan

Jenis

pangan

yang

memberikan efek kesehatan semakin dicari


oleh masyarakat. Masyarakat mulai kembali ke
pangan tradisional, organik, herbal, maupun
jenis-jenis pangan baru yang memberikan efek
kesehatan, seperti kefir.

mampu memberikan efek kesehatan bagi


pengkonsumsinya. Di beberapa situs internet
dikatakan bahwa kefir mampu memberikan
efek yang sangat baik bagi tubuh seperti
meningkatkan stamina, mood, dan pernafasan
(Anonim, 2010a), di situs lain dikatakan bahwa
kefir atau kristal algae sebagai obat alternative
kanker kolorektal (Anonim, 2010b).
kefir

mempunyai

dua

wujud,

kristal disebut juga sebagai biji kefir (kefir


grain). Algae kristal yang berwarna putih keruh
pada

fermentasi

kefir

susu

(Stepaniak, 2002), sedangkan algae kristal


yang

bening

adalah

algae

kristal

yang

digunakan pada fermentasi air. Algae kristal


merupakan simbiosis kompleks antara bakteri
asam laktat dan khamir (Bottazzi et al, 1994;
Waldherr et al, 2010; Beccary, 2011).

bersimbiotik

bersama-sama

dengan

unsur lain membentuk jaringan padat. Kultur


bakteri biji kefir berusia lebih dari

5000

tahun, Kefir Grains mengandung lebih dari 35


probiotik bakteri yang sangat menguntungkan

10

pertumbuhannya (Sunatmo, 2009 dan Fardiaz,


1992), begitu juga algae kristal. Pada alga
kristal terdapat beberapa mikroorganisme yang

khamir yang saling bersimbiosis. Sehingga


memungkinkan dapat tumbuh di kisaran suhu
yang luas. Di pegunungan Kaukasus, suhu
ruang yang digunakan untuk memfermentasi
o

kefir rata-rata 15 C (Anonim, 2011). Menurut


Robinson

dan

Tamime

(1981),

biji

kefir

diinkubasi pada suhu sekitar 23 C, sedangkan


Itmawardi (1987) menginkubasi biji kefir pada
o

26-28 C.

Suhu

fermentasi

pada

pembuatan kefir sederhana adalah suhu ruang


o

(20-25 C) (Deptan, 2007). Menurut Waldherr


et al (2010), kefir air adalah minuman yang
difermentasi berbahan dasar larutan sukrosa
dengan ekstrak buah. Kefir air yang ia
kembangkan

menggunakan

Lactobacillus

hilgardii

memproduksi

granula

yang
dekstran

strain
mampu
yang

menunjukkan aktivitas optimumnya pada suhu


o

40-45 C. Algae kristal mengandung berbagai


jenis mikroorganisme asam laktat maupun

Biji kefir merupakan koloni bakteri


yang

minimum, optimum, dan maksimum untuk

suhu

berwarna putih keruh dan yang bening. Algae

digunakan

Setiap mikroorganisme memiliki suhu

berbeda, seperti bakteri asam laktat, dan

Kefir adalah minuman kesehatan yang

Biji

biji

khamir,

sehingga

memungkinkan

dapat

tumbuh pada range suhu yang sangat luas.


Dengan pertumbuhan bakteri asam laktat dan
khamir yang berbeda-beda di setiap suhu
pertumbuhan

sehingga

mempengaruhi

karakteristik kimiawi produk yang dihasilkan.


B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Pada penelitian ini akan diamati pengaruh


o

2.1. Rancangan Percobaan

berbagai suhu fermentasi (5 C, 15 C, dan

Rancangan
dalam

percobaan
penelitian

ini

yang

suhu ruang) terhadap karakteristik kimiawi kefir

digunakan

adalah

air.

Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri


dari satu faktor, masing-masing yakni suhu

2. METODE PENELITIAN
Penelitian

ini

fermentasi (A), dengan dua taraf perlakuan


diantaranya

yaitu

(4 C dan 25

C), dan dua kali ulangan.

memfermentasi algae kristal pada media air

Kerapatan fermentasi (B), dengan dua taraf

dengan perlakuan berbagai suhu fermentasi

perlakuan (rapat dan longgar), dan dua kali

(4 C dan 25
fermentasi

C) dan berbagai kerapatan

(tertutup

rapat

dan

ulangan.

tertutup

A1 = fermentasi dengan suhu fermentasi 2%

longgar). Keduanya dilakukan masing-masing

A2 = fermentasi dengan suhu fermentasi 5%

selama 5 hari, yang dimulai dari 0 hari. Setiap

B1 = fermentasi dengan tutup rapat

satu perlakuan suhu fermentasi dilakukan 2

B2 = fermentasi dengan tutup longgar

kali ulangan sehingga terdapat 12 sampel.

Model matematika yang digunakan adalah:


Yij = + Ai + ij

Formulasi pembuatan kefir air dapat dilihat


Keterangan:

pada tabel 1.
Tabel 1. Formulasi pembuatan kefir air

Formulasi
Bahan
Biji kefir

Yij : nilai pengamatan pada satuan percobaan


perlakuan konsentrasi

A1

A2

B1

B2

ulangan ke-j

5%

5%

5%

5%

2%
2%
2%
2%
Gula
1 buah 1 buah 1 buah
1 buah
Kismis
4oC
25oC
4oC
4oC
Suhu
Rapat
Rapat
Rapat
Longgar
Kerapatan
Sumber: Modifikasi Beccary (2011) dan Lidia
(2012).

nilai

tengah

larutan gula taraf ke-i

populasi

(rata-rata

sesungguhnya)
Ai : pengaruh perlakuan taraf ke-i
eij : pengaruh galat
i : taraf perlakuan (1, 2)
j : ulangan (1, 2)

Gula 2% dalam 200


ml air

2.2. Analisis Produk

Biji Kefir 5%
Kismis 1 buah

Pencampuran

Analisis produk yang dilakukan pada


Kefir Air

penelitian ini adalah uji kimia dan mikrobiologi


o

pada kefir air dengan suhu fermentasi 4 C dan


Fermentasi
5
hari
tertutup rapat suhu (A) :
o
o
A1= 4 C, A2= 25 C

Fermentasi
5
hari
tertutup Suhu 4oC
Tertutup (B):
B1=rapat, B2=longgar

25 C, serta kerapatan fermentasi rapat dan


longgar, yang telah difermentasi selama 5 hari.
Uji kimia dan mikrobiologi pada kefir air
dilakukan per hari selama 5 hari untuk

Uji kimia dan mikrobiologi per hari:


a. total padatan terlarut
b. total sebaran gula
c. total asam
d. nilai pH
e. total mikroba
f. total khamir

Gambar 1. Diagram alir pembuatan kefir air

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

mengetahui pengaruh berbagai suhu dan


kerapatan fermentasi terhadap parameter yang
diuji.

2.3. Prosedur Analisis

11

Prosedur analisis yang dilakukan yaitu

tidak hanya memecah komponen-komponen

uji kimia yang meliputi uji total padatan terlarut

terlarut, tetapi juga memecah komponen yang

menggunakan

dkk.,

tidak larut (pati dan protein yang tidak larut)

1997), uji sebaran gula dengan metode UFLC

menjadi komponen yang larut (gula sederhana

(Ultra Fast Liquid Chromatography) (AOAC,

dan protein yang larut). Oleh sebab itu,

1977), uji kadar asam dengan metode titrasi

pemecahan protein menjadi asam amino,

asam basa (Apriyantono, dkk., 1985), dan uji

pembentukan vitamin, pirin, pirimidin dan lain-

pH menggunakan pH meter (Apriyantono, dkk.,

lain yang digunakan bakteri asam laktat untuk

1985). Sedangkan uji mikrobiologi terdiri dari

pertumbuhannya (Jay, 1978) dapat terukur

uji total mikroba dan total khamir.

oleh refraktometer, sehingga perlakuan suhu

refraktometer

(Sutadi,

fermentasi terhadap total padatan terlarut tidak


2.4. Analisis Data

berbeda nyata.

Data hasil penelitian ini dikumpulkan


dalam suatu tabel. Pengolahan data dilakukan

Tabel 2. Nilai rata-rata total padatan terlarut


o

secara vertikal dan horizontal. Pengolahan

( Brix) kefir air pada berbagai suhu fermentasi

data secara vertikal dianalisis dalam bentuk


ANOVA

(Analisys

mengetahui

of

pengaruh

Varians)
suhu

untuk

fermentasi,

A1

sehingga diperoleh nilai p. Jika nilai p < 0.05

(4oC)

maka perlakuan berpengaruh

A2

nyata, dan

dilanjutkan dengan uji T untuk mengetahui


perlakuan tersebut berbeda nyata atau tidak.
Sedangkan secara
data

dilakukan

mengetahui

uji

horizontal,
Regresi

perubahan

Waktu fermentasi (hari)

Suhu

(25oC)

2,20a

2,20a

2,30a

2,30a

2,30a

2,30a

2,20a

2,20a

2,25a

2,30a

2,30a

2,30a

Keterangan: Huruf yang sama dalam satu


kolom

pengolahan
Linier

(penurunan

menunjukkan

tidak

berbeda nyata pada = 0.05.

untuk
atau

peningkatan) parameter yang diuji. Kemudian

3.2. Perubahan

total

padatan

terlarut

selama fermentasi

dilakukan uji Korelasi untuk mengetahui kuat


tidaknya hubungan antara waktu fermentasi
terhadap parameter karakteristik kimiawi (total
padatan terlarut, total fruktosa, total glukosa,
total sukrosa, total asam, dan nilai pH).

3. PEMBAHASAN

Gambar 2. Grafik total padatan terlarut kefir air

3.1. Suhu fermentasi


Dari

hasil

pada berbagai suhu fermentasi.

analisis

sidik

ragam

(ANOVA) menunjukkan bahwa perlakuan suhu


fermentasi

(A)

tidak

berpengaruh

terhadap total padatan terlarut

nyata

Dari Gambar 2, terlihat bahwa total


padatan

terlarut

dalam

kefir

air

dengan
o

(p > 0.05).

perlakuan suhu fermentasi 4 C dan 25 C

Hal ini diduga karena mikroba yang aktif

mengalami perubahan selama fermentasi 5

selama fermentasi pada kedua suhu tersebut

hari.

12

Hal

ini

ditunjukkan

dengan

fungsi

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

persamaan masing-masing y = 0.022x + 2.186

Keterangan: Huruf yang sama dalam satu

dan y = 0.024x + 2.173 yang menyatakan

kolom menunjukkan tidak berbeda

bahwa

nyata

total

perlakuan

padatan

terarut

mengalami

pada

kenaikan

tiap

sebesar

pada = 0.05.

X = Jenis Gula

0.022 Brix dan 0.024 Brix per hari. Kenaikan

Y = Suhu

perlakuan A1 bernilai sedang, sesuai nilai r

A = sukrosa (Suhu A1 4 C, A2 25 C)

(koefisien korelasi)

yang dihasilkan yakni

B = Glukosa (Suhu A1 4 C, A2 25 C)

0.685. Hal ini menunjukkan hubungan linier

C = Fruktosa (Suhu A1 4 C, A2 25 C)

yang sedang antara waktu fermentasi dengan


total padatan terlarut. Sedangkan perlakuan
A2

mempunyai

nilai

0.854

yang

menunjukkan hubungan linier yang cukup kuat


antara waktu fermentasi dengan total padatan
terlarut. Hal ini diduga pada fermentasi suhu
o

25 C

mikroba

dibandingkan

yang

hidup

fermentasi

lebih

suhu

banyak

4 C.

Dari

mikroba yang hidup tersebut terdapat hasil


metabolisme yang terukur bersama sumber
nutrisinya, sehingga terlihat bahwa perlakuan
o

A2 (25 C) lebih kuat peningkatannya dibanding


o

A1 (suhu 4 C).

3.3. Pengaruh berbagai suhu fermentasi

Gambar 3. Grafik sebaran gula kefir air pada


berbagai suhu fermentasi

terhadap sebaran gula


Bakteri

asam

laktat

merupakan

kelompok spesies bakteri yang mempunyai


kemampuan untuk membentuk asam laktat
dari metabolisme karbohidrat (Sudarmadji,
dkk., 1989). Khamir Saccharomices cereviceae
menghasilkan enzim zimase dan invertase.
Enzim zimase berfungsi merombak sukrosa
menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa),
dan enzim invertase akan mengubah glukosa
menjadi etanol (Judoamidjojo, et al., 1992).

X
A
B
C

Y
A1
A2
A1
A2
A1
A2

3
0,855a
0,670a
1,110a
0,860a
0,130a
0,320a

4
1,435a
0,215a
1,700a
1,500a
0,210a
0,760a

dengan perlakuan suhu fermentasi 4 C dan


o

25 C mengalami perubahan selama 5 hari. Hal


ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan y = 0.280x + 2.681

menyatakan bahwa kadar sukrosa pada kefir


air mengalami penurunan sebesar 0.280% dan
0.561% tiap hari dengan nilai r (koefisien
korelasi) yang dihasilkan masing-masing yakni

hubungan korelasi yang sedang sampai kuat


5
1,225a
0,073a
1,475a
1,410a
0,393a
1,068a

antara

waktu

fermentasi

dengan

kadar

sukrosa. Hal ini diduga pada perlakuan A2


o

(25 C) mikroba lebih banyak hidup daripada


o

perlakuan A1 (4 C), sehingga gula yang


digunakan

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

dan -0.561x + 3.198 yang

0.692 dan 0.964. Hal ini menunjukkan terdapat

Tabel 3. Pengaruh fermentasi dengan gula


Waktu fermentasi (hari)
0
1
2
2,470a
2,260a
1,960a
a
a
2,605
2,230
1,610a
1,514a
1,410a
2,285a
1,497a
1,410a
2,285a
0,483a
0,540a
0,275a
0,516a
0,565a
0,480a

Dari Gambar 3, kadar sukrosa kefir air

lebih

banyak

untuk

13

pertumbuhannya.

Dengan

bertambahnya

Keterangan: Huruf yang berbeda dalam satu

jumlah produk, maka sumber karbon yang

kolom

dibutuhkan semakin banyak, sehingga kadar

nyata

menunjukkan

berbeda

pada = 0.05.

sukrosa yang terukur mengalami penurunan.


Dari Gambar 3, kadar glukosa kefir air
o

dengan perlakuan suhu fermentasi 4 C dan


o

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam,


suhu

fermentasi

(A)

berpengaruh

nyata

25 C mengalami perubahan selama 5 hari. Hal

terhadap total asam tertitrasi (p < 0.05).

ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan

Kemudian dilanjutkan dengan uji T, maka

masing-masing yaitu y = -0.014x +1.632 dan -

terlihat bahwa bertambahnya suhu, maka total

0.045x + 1.652 yang menyatakan bahwa total

asam yang dihasilkan mengalami kenaikan.

padatan terarut pada kefir air mengalami

Hal ini diduga karena kemampuan hidup

penurunan sebesar 0.014% dan 0.045% tiap

mikroorganisme khususnya bakteri asam laktat

hari dengan nilai r (koefisien korelasi) yang

menurun pada suhu 4 C. Sedangkan pada

dihasilkan masing-masing yakni 0.004 dan

kefir air yang difermentasi pada suhu 25 C

0.034. Hal ini menunjukkan tidak terdapat

pertumbuhan mikroba lebih cepat dengan

hubungan korelasi antara waktu fermentasi

menghasilkan asam laktat lebih banyak karena

dengan kadar glukosa. Hal ini diduga karena

suhu optimum pertumbuhan bakteri asam

pada kedua suhu tersebut mikroba yang

laktat dan khamir mendekati suhu 25 C,

terdapat pada kefir air memecah sukrosa

sehingga total asam terlihat signifikan. Menurut

menjadi glukosa dalam jumlah sedikit, sesuai

Fardiaz (1992), di dalam makanan yang

kebutuhannya. Menurut Gilliland dan Kim

didinginkan juga sering tumbuh beberapa

(1984),

akan

mikroorganisme psikrofilik yang dapat tumbuh

menggunakan karbohidrat sebagai sumber

pada suhu pendinginan, tetapi mempunyai

energi lebih dari yang dibutuhkan untuk

suhu optimum di atas 20 C.

bakteri

asam

laktat

tidak

pertumbuhannya.

3.4. Pengaruh berbagai suhu fermentasi


terhadap total asam tertitrasi
Menurut Frazier dan Westhoff (1987),
pengukuran total asam tertitrasi didasarkan

Gambar 4. Grafik total asam tertitrasi kefir air

pada komponen asam yang terdapat di dalam

pada berbagai suhu fermentasi

larutan, baik yang terdiasosiasi maupun yang


tidak terdiasosiasi. Asam laktat merupakan

Dari Gambar 4, total asam tertitrasi

salah satu metabolit primer yang dihasilkan

kefir air dengan perlakuan suhu fermentasi 4 C

dalam proses fermentasi.

dan 25 C mengalami perubahan selama 5

Tabel 4. Pengaruh fermentasi dengan asam

hari.

Hal

ini

ditunjukkan

dengan

fungsi

persamaan masing-masing y = 0.002x + 0.000


dan y = 0.019x 0.022, yang menyatakan
bahwa rata-rata total asam laktat pada pada
tiap perlakuan mengalami kenaikan sebesar

14

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

0.002% dan 0.019% tiap hari, dengan nilai r

jasad renik dapat tumbuh pada kisaran pH 3-6,

yang dihasilkan masing-masing yaitu 0.932

bakteri dapat tumbuh pada pH optimum sekitar

dan 0.922. Hal ini menunjukkan hubungan

6,5-7,5. Khamir tumbuh pada kisaran pH 2,5-

korelasi

8,5; optimumnya tumbuh pada

yang

cukup

kuat

antara

waktu

pH 4-5.

fermentasi dengan total asam laktat. Hal ini

Secara umum nilai pH menunjukkan derajat

diduga adanya aktifitas mikroba yang dapat

keasaman

mengubah karbohidrat (gula) menjadi asam-

Semakin rendah nilai pH produk menunjukkan

asam

derajat keasaman produk tersebut semakin

organik,

yakni

terdapat

bakteri

homofermentatif yang menghasilkan asam


laktat, sedangkan bakteri heterofermentatif

atau

kebasaan

suatu

produk.

tinggi.
Tabel 5. Pengaruh fermentasi dengan pH

yang menghasilkan sedikit asam asetat. Pada


o

perlakuan A1 (4 C) nilai regresinya terlihat


o

lebih kuat dibanding A2 (25 C). Hal ini diduga


adanya khamir yang hidup lebih optimal pada
suhu

fermentasi

25 C,

sehingga

dapat

Keterangan: Huruf yang sama dalam satu

mempengaruhi total asam karena OH yang

kolom

dihasilkannya

berbeda nyata pada = 0.005.

tersebut,

walaupun

dalam

menunjukkan

tidak

jumlah yang relatif sedikit.


Berdasarkan Gambar 4, menunjukkan

Dari

hasil

analisis

sidik

ragam

bahwa semakin lama fermentasi, maka dapat

menunjukkan bahwa perlakuan berbagai suhu

meningkatkan

yang

fermentasi tidak berpengaruh nyata terhadap

terbentuk. Hal ini disebabkan karena dengan

nilai pH (p < 0.05). Hal ini diduga karena pada

semakin lama waktu fermentasi, maka proses

suhu fermentasi 25 C tidak hanya bakteri

perombakan karbohidrat oleh bakteri asam

asam laktat yang hidup, namun terdapat pula

laktat dan khamir akan lebih lama dan optimal

khamir yang dapat mempengaruhi nilai pH

sehingga

yang

disebabkan gugus OH yang dihasilkannya,

Menurut

walaupun pengaruhnya kecil. Oleh karena itu,

Pederson (1960), peningkatan total asam

nilai pH yang terukur pada perlakuan suhu

tertitrasi disebabkan karena mikroba yang aktif

fermentasi

dihasilkan

jumlah

asam

laktat

akan

asam

dan

semakin

laktat

alkohol

tinggi.

25 C

tidak
o

selama fermentasi memanfaatkan karbohidrat

dibanding suhu 4 C.

yang dapat difermentasi dan menghasilkan

diketahui

asam-asam organik.

fermentasi

bahwa
tidak

terlihat

signifikan

Berdasarkan Tabel 5,
semakin

tinggi

menyebabkan

nilai

suhu
pH

semakin menurun. Hal ini diduga beragamnya


3.5. Pengaruh suhu fermentasi terhadap
nilai pH

mikroba yang hidup dalam kefir air termasuk


khamir mempengaruhi nilai pH yang dihasilkan

Menurut Priyantono (1987), salah satu

oleh bakteri asam laktat.

faktor pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh


pH, semakin tinggi nilai pH maka pertumbuhan
mikroba

semakin

meningkat

pula

dan

sebaliknya. Menurut Fardiaz (1989), umumnya

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

15

rendah untuk memfermentasikan gula menjadi


alkohol.

Oleh

karena

itu,

jika

kefir

air

difermentasi lebih lama, dapat memungkinkan


bertambahnya kadar alkohol dan juga dapat
memicu timbulnya kontaminasi mikroba lain
yang dapat menimbulkan toksik bagi yang
Gambar 6. Grafik nilai pH kefir air pada berbagai
suhu fermentasi

Dari Gambar 6, kadar pH kefir air

mengkonsumsinya.

3.6. Pengaruh suhu fermentasi terhadap


total mikroba

dengan perlakuan suhu fermentasi 4 C dan


o

25 C, mengalami perubahan selama 5 hari.

Tabel 6. Nilai rata-rata total mikroba kefir air


pada berbagai suhu fermentasi

Hal ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan


masing-masing suhu yaitu y = -0065x + 6.590
dan y = -0.509x +7.16, yang menyatakan
bahwa kadar pH pada kefir air pada suhu
o

fermentasi

4C

dan

25 C

mengalami

Keterangan: Huruf yang berbeda dalam satu

penurunan sebesar 0.065 dan 0.509 tiap 12

kolom

hari dengan masing-masing nilai r (koefisien

menunjukkan

berbeda

nyata pada = 0.005.

korelasi) yang dihasilkan yakni 0.306 dan


0.835. Hal ini menunjukkan hubungan korelasi
yang

lemah

sampai

kuat

antara

waktu

fermentasi dengan nilai pH.


Korelasi

yang

Dari

hasil

analisis

sidik

ragam

menunjukkan bahwa pada perlakuan berbagai


suhu fermentasi berpengaruh nyata terhadap

lemah

pada

suhu

total mikroba (p < 0.05). Kemudian dilanjutkan

fermentasi 4 C diduga karena kondisi suhu

dengan uji T, maka perlakuan A1 berbeda

yang

dapat

menghambat

pertumbuhan

nyata dengan A2. Hal ini diduga pada suhu

mikroba, sehingga penurunan nilai pH terlihat

25 C lebih sesuai untuk pertumbuhan mikroba

rendah atau lambat. Sedangkan pada suhu

yang terdapat pada kefir air, sehingga mikroba

fermentasi 25 C, mikroba yang hidup dapat


tumbuh

lebih

cepat,

sehingga

dapat

terus

berkembang

biak

dan

jumlahnya

semakin banyak seiring dengan bertambahnya

menghasilkan produk yakni asam laktat lebih

hari, yang menyebabkan hasilnya terlihat

cepat pula, sehingga penurunannya terlihat

signifikan dibanding suhu fermentasi 4 C.

kuat atau tahan.


Yusmarini dan Efendi (2004), bahwa

Menurut

Buckle

(1987),

suhu

dapat

mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme

semakin banyak sumber gula yang dapat

dengan

dimetabolisme, maka semakin banyak pula

kenaikan sekitar suhu optimalnya, kecepatan

asam-asam organik yang dihasilkan, sehingga


pH juga akan semakin rendah.
Fermentasi asam laktat dapat terhenti
dengan menurunnya nilai pH, namun khamir
masih dapat hidup dalam lingkungan pH
16

cara

apabila

suhu

mengalami

metabolisme naik dan pertumbuhan dipercepat


sedangkan bila suhu turun sekitar suhu
optimalnya,

kecepatan

metabolisme

akan

menurun dan pertumbuhan juga diperlambat.


Menurut Winarno (2002), menyebutkan bahwa
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

setiap penurunan suhu 8C akan membuat

(1992),

kecepatan

mikroorganisme sangat dipengaruhi oleh suhu,

reaksi

berkurang

menjadi

setengahnya.

kecepatan

pertumbuhan

dimana kecepatannya akan semakin menurun


dengan menurunnya suhu.

3.7. Pengaruh suhu fermentasi terhadap


total khamir
Tabel 7. Nilai rata-rata total khamir kefir air pada
berbagai suhu fermentasi
Gambar 7. Grafik total mikroba kefir air pada
berbagai suhu fermentasi

Dari Gambar 7, total mikroba kefir air


o

dengan perlakuan suhu fermentasi 4 C dan

Keterangan: Huruf yang sama dalam satu

25 C, mengalami perubahan selama 5 hari.

kolom menunjukkan tidak berbeda

Hal ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan

nyata pada = 0.005.

masing-masing suhu yaitu y = 98910x + 17991


dan y = 3E+07x 5E+07, yang menyatakan
bahwa total mikroba pada kefir air pada suhu
o

fermentasi 4 C dan 25 C mengalami kenaikan


7

Dari

hasil

nalisis

sidik

ragam

menunjukkan bahwa pada perlakuan suhu


fermentasi tidak berpengaruh nyata terhadap

sebesar 98,910 koloni/mL dan 3x10 koloni/mL

nilai pH (p > 0.05). Hal ini diduga khamir dapat

tiap

hidup walaupun dibawah suhu optimumnya.

(koefisien korelasi) yang dihasilkan yakni 0.05

Pada dasarnya, jumlah khamir lebih banyak

dan 0.857. Hal ini menunjukkan hubungan

pada

korelasi yang lemah sampai kuat antara waktu

signifikan terhadap 4 C. Menurut Rahman

fermentasi dengan total mikroba.

(1989), khamir mempunyai suhu pertumbuhan

hari

dengan

Selama

masing-masing

fermentasi,

nilai

rata-rata

total

suhu

25 C,

namun

hasilnya

tidak

optimum pada 20 C-30 C.

mikroba pada suhu 4 C dan 25 C mengalami


o

kenaikan tiap hari. Namun pada suhu 25 C,


o

kenaikannya lebih kuat dibanding suhu 4 C.


o

Hal ini diduga pada suhu 25 C, mikroba yang


terdapat pada kefir air lebih cocok untuk
bertahan hidup, sehingga mikroba dapat terus
aktif dan terus berkembang biak lebih cepat

Gambar 8. Grafik total khamir kefir air pada

dibandingkan suhu 4 C yang diduga mikroba

berbagai suhu fermentasi

di dalamnya cukup terhambat akibat suhu


yang dingin, yang menyebabkan pertumbuhan

Dari Gambar 8, total khamir kefir air

dan jumlah produk yang dihasilkan kurang

dengan perlakuan suhu fermentasi 4 C dan

optimal. Hal ini membuktikan bahwa jika waktu

25 C mengalami perubahan selama 5 hari. Hal

fermentasi diperpanjang maka total mikroba

ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan

mengalami

masing-masing suhu yaitu y = 24619x - 41310

peningkatan.

Menurut

Fardiaz

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

17

dan y = 2E+08x - 4E+08, yang menyatakan

dikonsumsi tidak lebih dari

bahwa total khamir pada kefir air pada suhu

fermentasi.

fermentasi 4 C dan 25 C mengalami kenaikan


8

Sedangkan

kefir

79 jam
air

dengan

konsentrasi larutan gula 5%; 8%; dan 11%

sebesar 24,619 koloni/mL dan 2x10 koloni/mL

masing-masing layak dikonsumsi tidak lebih

tiap

dari 73 jam; 81 jam; dan 78 jam fermentasi.

hari

dengan

masing-masing

nilai

(koefisien korelasi) yang dihasilkan yakni 0.694


dan 0.484. Hal ini menunjukkan hubungan

5. SARAN

korelasi yang lemah sampai sedang antara


waktu fermentasi dengan total khamir. Hal ini
o

Perlu

dilakukan

penelitian

lanjutan

pada kefir air dengan menguji kadar alkohol

diduga pada suhu 25 C khamir lebih banyak

tiap 12 jam. Selain itu, dilakukan penggantian

yang hidup, maka dengan bertambahnya masa

sumber nutrisi seperti buah-buahan atau umbi-

sel, khamir pun mengalami persaingan hidup,

umbian.

sehingga kenaikannya lemah dibandingkan


o

pada suhu 4 C walaupun pengarunya kecil

DAFTAR REFERENSI

namun terus mengalami kenaikan.

[1]

4. KESIMPULAN
Berdasarkan

hasil

analisis,

karakteristik kimiawi kefir air dengan berbagai


konsentrasi larutan gula memberikan pengaruh
terhadap total padatan terlarut dan kadar gula,
namun tidak memberikan pengaruh terhadap
total asam tertitrasi dan nilai pH selama 72
jam. Oleh karena itu, untuk efisiensi bahan
dalam

pembuatan kefir

digunakan

konsentrasi

air, maka dapat


larutan

gula

2%.

Namun untuk menambah rasa manis, dapat


dipilih konsentrasi larutan gula 5%; 8%; atau
11%.
Dari pengamatan waktu fermentasi,
diketahui bahwa dengan bertambah lamanya
waktu fermantasi, maka total padatan terlarut
mengalami

penurunan

dengan

hubungan

linear yang lemah, kadar gula turun dengan


hubungan

linear

yang

kuat,

total

Angulo, et al. 1993. In: Abraham, A.G.


and
De
Antoni,
G.A.
1999.
Characterization of Kefir Grains Grow in
Cows
Milk
and
Soya
Milk.
www.sciencedirect.com. Journal of Diary
Reasearch 66 [2]:327-333 (Diakses
tanggal 23 Mei 2011).
[2] Anonim. 2003. Pengetahuan Bahan
Pangan, Amankan Pangan dan Bebaskan
Produk dari Bahan Berbahaya. Direktorat
Surveilan dan Penyuluhan Keamanan
Pangan. BPOM. Jakarta.
[3] Anonim. 2010. Algae Kristal Jepang Kaya
Akan
Manfaat.
www.kompasiana.com/post/type/raport.
(Diakses tanggal 11 Mei 2011).
[4] Anonim.
2011.
Air
Minum.
www.wikipedia.org/wiki/air_minum.
(Diakses tanggal 7 Juni 2011).
[5] Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari,
N.L., Sedarnawati, dan Budiyanto, S.
1985. Analisis Pangan. IPB-Press, Bogor.
[6] Beccary.
2011.
Crystal
Algae.
www.crystalgae/sobatonline.com.
(Diakses tanggal 11 Mei 2011).
[7] Bottazi. 1983. Other Fermented Dairy
Products. In: Biotechnology. Fifth volume.
Rehm, H.J. and Reed, G. (ed.). Reed, G.
(vol. ed.). Verlag Chemie. Florida, Basel.

asam

meningkat dengan hubungan linear kuat, dan


pH menurun dengan hubungan linear sangat
kuat. Dengan merujuk pada pH kefir yang
layak dikonsumsi yakni 4.6, maka kefir air
dengan konsentrasi larutan gula 2% layak

18

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Penelitian

PERBEDAAN PROPORSI SINDROM METABOLIK PADA


GURU SEKOLAH DASAR OBES SENTRAL DAN NONOBES SENTRAL BERDASARKAN LINGKAR PERUT
Qonita Rachmah
1

Program Studi Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia

ABSTRAK
Obesitas atau berat badan lebih merupakan salah satu masalah gizi di berbagai negara
berkembang, termasuk Indonesia. Prevalensi obesitas dan obesitas sentral di Indonesia cukup tinggi
yaitu sebesar 19,1% dan 18,8%. Obesitas sentral sangat erat kaitannya dengan sindrom metabolik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan proporsi sindrom metabolik pada populasi guru
SD obes-sentral (lingkar perut laki-laki 90 cm; perempuan 80 cm). Penelitian dilakukan pada guru
SD di Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan. Status obesitas sentral diukur menggunakan lingkar
perut sedangkan sindrom metabolik menggunakan pengambilan sampel darah responden (kolesterol
HDL, trigliserida, gula darah puasa), pengukuran lingkar pinggang, dan tekanan darah. Jumlah
sampel penelitian sebanyak 60 orang yang terdiri dari 30 guru SD obes sentral dan 30 guru SD non
obes-sentral. Uji statistik yang digunakan untuk mengetahui perbedaan proporsi sindorm metabolic
yaitu uji chi square. Hasil penelitian menunjukkan 16 (26,7%) guru SD obesitas sentral mengalami
sindrom metabolik dan hanya 1 (1,7%) guru SD non-obesitas sentral yang mengalami sindrom
metabolik berdasarkan kriteria NCEP ATP III modifikasi asia pasifik. Secara statistik juga terdapat
hubungan yang signifikan antara obesitas sentral dengan sindrom metabolik (p=0.000; OR=33,14; CI
95%). Dapat disimpulkan bahwa obesitas sentral lebih berhubungan dengan sindrom metabolik pada
guru.
Kata kunci: lingkar perut, sindrom metabolik, guru SD

ABSTRACT
Obesity is one of the nutrition issue in developing countries, including Indonesia. The
prevalence of obesity and central obesity in Indonesia is quite high at 19,1% and 18,8%. Central
obesity is closely associated with metabolic syndrome. This study aims to determine the differences of
metabolic syndrome proportion among central-obese (abdominal circumference of male 90 cm;
women 80 cm) and non-central obese elementary school teachers. The study was conducted at
school in District Cilandak, South Jakarta. Central-obese status was measured by using abdominal
circumference, while metabolic syndrome was determined by using blood sample (HDL cholesterol,
trygliceride, fasting glucose), waist circumference measurements, and blood pressure.Total sample
are 60, each population represent by 30 respondents. Chi square test is used to determine the
difference of metabolic syndrome proportion in both population. The result shows that 16 (26,7%)
central-obese teachers were having metabolic syndrome and only 1 (1,7%) non-central obese
elementary school teachers were having metabolic syndrome based on NCEP ATP III Asia- Pasific
modification criteria. There was also a statistically significant correlation between central obesity with
metabolic syndrome (p=0.000; OR=33.14; 95% CI). It can be concluded that central obesity is more
associated with metabolic syndrome in teachers.
Keywords: abdominal circumference, metabolic syndrome, elementary school teacher

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

19

2. PENDAHULUAN

terjadinya penimbunan lemak pada jaringan

Pola hidup masyarakat perkotaan saat

adiposa yang berada di daerah abdominal.

ini mulai mengalami modernisasi ke arah yang

Obesitas sentral dapat diukur menggunakan

lebih instan. Perubahan pola hidup tersebut

lingkar perut dan lingkar pinggang. Namun,

akan berdampak pada terjadinya masalah

lingkar perut prediktor yang lebih baik untuk

kesehatan, seperti penyakit degeneratif yang

menentukan

risiko

sindrom

metabolik
(5)

masih menjadi pembunuh nomor satu di

dibandingkan RLPP maupun IMT.

Indonesia. Data Riskesdas 2007 menunjukkan

sindrom metabolik sering ditemukan pada

sekitar

individu dengan

60%

mortalitas

disebabkan

oleh

penyakit degeneratif.

sentral,

namun

sindrom metabolik juga dapat dialami oleh

Penyebab utama terjadinya penyakit


degeneratif

obesitas

Walaupun

adalah

munculnya

individu normal atau non-obesitas sentral.

sindrom

Profesi guru SD merupakan profesi

metabolik. Orang dengan sindrom metabolik

yang tidak menuntut aktivitas fisik terlalu berat

akan berisiko tiga kali lebih besar mengalami

dengan

serangan jantung/stroke dan dua kali lebih

dibandingkan

berisiko untuk meninggal dibandingkan orang

menjadi panutan bagi siswa sekolah dasar

tanpa sindrom metabolik.


Sindrom
sebagai

suatu

(1)

dalam

metabolik
keadaan

didefinisikan
dimana

terjadi

jam

hal

kerja
guru

yang

lebih

SMP/SMA

penanaman

sedikit

dan

nilai-nilai

juga

positif

termasuk dalam hal kesehatan. Apabila guru


tidak

memiliki

perilaku

maupun

kondisi

kelainan metabolik yang meliputi minimal tiga

kesehatan yang baik, maka dapat berdampak

dari lima kondisi berikut; lingkar pinggang di

pada produktivitas dan perilaku kesehatan

atas normal, kenaikan kadar glukosa plasma,

murid yang kurang baik. Oleh karena itu,

penurunan kadar kolesterol HDL, tekanan

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

darah yang tinggi (hipertensi), dan kenaikan

prevalensi sindrom metabolik serta perbedaan

kadar

proporsinya pada guru SD obesitas sentral

trigliserida

Prevalensi
belahan

(NCEP-ATP

sindrom
dunia

III,

metabolik

sudah

menjadi

2001).

diberbagai

dan non-obesitas sentral.

masalah

kesehatan masyarakat, berdasarkan kriteria

2. METODE

NCEP-ATP III, prevalensi di seluruh dunia


berkisar antara 15-30%,
berkisar

antara

(2)

Penelitian

ini

dilakukan

dengan

pada populasi Asia

menggunakan desain studi cross sectional

(3)

yang dilakukan pada guru sekolah dasar di

10-15%.

Sedangkan

di

Indonesia, pada tahun 2004 prevalensinya

Kecamatan

mencapai 24,4% (Himpunan Studi Obesitas

Populasi studi pada penelitian ini yaitu guru

Indonesia) dan di DKI Jakarta pada tahun

sekolah dasar yang bekerja di sekolah dasar

2006

sindrom

yang tersebar di wilayah Lebak Bulus dan

metabolik yang lebih besar yaitu sebesar

Pondok Labu, Kecamatan Cilandak, Jakarta

menunjukkan

prevalensi

(4)

28,4%.

Salah satu faktor utama munculnya

Cilandak,

Jakarta

Selatan.

Selatan. Sedangkan sampel penelitian yaitu


guru SD yang berusia di atas 20 tahun dan

sindrom metabolik adalah kondisi obesitas

bekerja

sentral. Obesitas sentral merupakan kondisi

responden yaitu 30 guru SD obesitas sentral

20

di

wilayah

penelitian.

Jumlah

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

dan

30

guru

SD

non-obesitas

sentral,

sehingga total responden yaitu 60 orang.


Data

sekunder

yang

Pengolahan

data

menggunakan

perangkat lunak khusus. Analisis deskriptif

dikumpulkan

yang disajikan meliputi karakteristik individu

pada penelitian ini yaitu database guru SD di

serta

wilayah penelitian, sedangkan data primer

obesitas sentral dan non-obesitas sentral.

meliputi karakteristik individu (jenis kelamin,

Perbedaan proporsi sindrom metabolik pada

usia), lingkar perut, profil lipid darah (HDL dan

kedua populasi dianalisis menggunakan uji chi

trigliserida), serta kadar gula darah puasa.

square.

Pengambilan data dilakukan secara langsung

sindrom

metabolik

Sebelum

pada

melakukan

guru

SD

pengambilan

kepada responden dengan cara wawancara,

data, penelitian ini telah lulus sidang kaji etik

pengukuran antropometri, dan pemeriksaan

dan

biokimia darah.

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Pengumpulan data dilakukan pada

mendapatkan

izin

dari

Komisi

Etik

Indonesia pada 25 April 2013.

bulan Maret-April 2013 oleh peneliti dan tiga


orang asisten yang merupakan mahasiswa
program

studi

gizi,

Fakultas

Kesehatan

Masyarakat, Universitas Indonesia.


Instrumen

yang

3. HASIL
Responden dalam penelitian ini yaitu
guru SD di wilayah Kecamatan Cilandak,

digunakan

yaitu

Jakarta Selatan berusia di atas 20 tahun.

kuesioner yang berisi informed consent serta

Responden perempuan (63%) lebih banyak

data karakteristik individu, pita ukur dengan

dibandingkan laki-laki (37%). Guru SD yang

skala 0,1 cm merk seca untuk mengukur

mengalami obes sentral lebih banyak berjenis

lingkar perut, alat ukur tekanan darah air raksa

kelamin perempuan (43,4%) dibandingkan

(sphygomamometer), dan alat ukur gula darah

laki-laki (6,7%).

dan profil lipid (kolesterol HDL dan trigliserida)


untuk mendeteksi sindrom metabolik.

Rata-rata responden berusia 45 tahun


dengan modus 36 tahun, median 48 tahun,

Pengukuran lingkar perut dilakukan

dan SD +9,613. Guru SD yang mengalami

pada daerah perut dengan melilitkan pita ukur

obesitas sentral lebih banyak berada pada

pada lokasi dua jari dibawah pusar, responden

range usia 51-60 tahun (50,0%) dibandingkan

diwajibkan membuka pakaian/ celana pada

pada usia >51 tahun. Tabel 1 menggambarkan

bagian

karakteristik subjek berdasarkan usia dan jenis

tersebut

untuk

menjaga

akurasi

pengukuran. Hasil pengukuran lingkar perut


dalam sentimeter. Selain itu, responden juga
diminta untuk berpuasa selama 8-10 jam
sebelum

pengambilan

sampel

kecuali

atas

anjuran

dokter

dan

berolahraga

sebelum

pengambilan sampel darah. Sampel darah


diambil dari vena di daerah Fossa Cubiti.

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Variabel

dan

diinformasikan kepada petugas serta tidak


merokok,

Tabel 1. Karakteristik Subjek Berdasarkan


Usia dan Jenis Kelamin

darah.

Responden juga tidak dianjurkan meminum


obat

kelamin.

Jenis Kelamin
Perempuan
Laki-laki
Usia
20-30 th

Guru SD
Obes
Sentral
(n=30)
n
%

Guru SD
non-Obes
Sentral
(n=30)
n
%

26
4

43,4
6,7

12
18

20,0
30,0

0,0

10,0
21

31-40 th
41-50 th
51-60 th

2
9
19

3,3
31,7
50,0

8
11
5

13,3
18,3
8,3

Hasil analisis terhadap kriteria sindrom


metabolik

yaitu

lingkar

pinggang,

Tekanan darah (mmHg)


>130/85
18
30,0
5
8,3
<130/85
12
20,0
25
41,7
*) kriteria sindrom metabolik berdasarkan
NCEP ATP III modifikasi Asia-Pasifik, 2005.

kadar

kolesterol HDL, trigliserida, gula darah puasa,

Kemudian rata-rata kadar trigliserida

dan tekanan darah ditunjukkan pada tabel 2.

118,52 mg/dl, median 95,50 mg/dl, modus 58

Kriteria sindrom metabolik yang paling banyak

mg/dl, dan SD +62,35. Kadar trigliserida tinggi

dialami yaitu kadar kolesterol HDL rendah

juga lebih tinggi pada kelompok guru SD obes

(45,0%), lalu diikuti oleh hipertensi (38,3%),

sentral (20,0%) dibandingkan pada kelompok

lingkar

kadar

guru SD non-obes sentral (13,3%). Rata-rata

trigliserida tinggi (33,3%), dan terakhir yaitu

untuk kadar gula darah puasa 101,17 mg/dl

gula darah puasa tinggi (15%).

dengan modus 86 mg/dl, median 89 mg/dl,

pinggang

tinggi

(35%),

Rata-rata responden memiliki lingkar

serta SD +10,61. Sama seperti beberapa

pinggang 80 cm dengan modus 86,5 cm,

kriteria sindrom metabolik lainnya, gula darah

median 81,3 cm, dan SD +1,017. Semua

puasa yang tinggi lebih banyak ditemukan

responden dengan lingkar pinggang tinggi

pada guru SD obes-sentral (10,0%) daripada

(35,0%) merupakan guru SD yang obes-

guru SD non-obes sentral (5,0%).

sentral. Untuk kadar kolesterol HDL, rata-

Rata-rata tekanan sistol yaitu 121

ratanya yaitu 49,9 mg/dl dengan modus 45,

mmHg dengan modus 110 mmHg, median 119

median 48 mg/dl, dan SD +10,61. Kadar K-

mmHg, dan SD +16,41, sedangkan rata-rata

HDL rendah lebih tinggi pada kelompok guru

tekanan diastol yaitu 78 mmHg dengan modus

SD obes-sentral (21,7%) dibandingkan pada

70 mmHg, median 79 mmHg, dan SD +9,24.

kelompok guru SD non-obes sentral (13,3%).

Semua responden dengan lingkar pinggang


tinggi (35,0%) merupakan guru SD yang obes-

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kriteria


Sindrom Metabolik*
Guru SD
Guru SD
non- Obes
Obes Sentral
Sentral
Variabel
(n=30)
(n=30)
n
%
n
%
Lingkar Pinggang (cm)
>90/>80
21
35,0
0
0,0
<90/<80
9
15,0
30
50,0
K- HDL (mg/dl)
<40/<50
13
21,7
8
13,3
>40/>50
17
28,3
22
36,7
Trigliserida (mg/dl)
>150
12
20,0
8
13,3
<150
18
30,0
22
36,7
Gula Darah Puasa (mg/dl)
>110
6
10,0
3
5,0
<110
24
40,4
27
45,0

22

sentral.

Guru

SD

obes-sentral

yang

mengalami hipertensi (30,0%) lebh banyak


dibandingkan

guru

SD

non-obes

sentral

(8,3%).
Berdasarkann kriteria NCEP ATP III
modifikasi Asia Pasifik,

(6)

didapatkan 17 guru

SD (28,4%) termasuk dalam kondisi sindrom


metabolik, sedangkan 43 guru SD (71,7%)
tidak

termasuk

dalam

kondisi

sindrom

metabolik.
Sebaran

sindrom

metabolik

lebih

banyak terjadi pada perempuan, yaitu 12 dari


38 responden (31,6%), sedangkan pada lakilaki hanya 5 dari 22 responden (22,7%).
Berdasarkan usia, sebarannya paling banyak

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

terjadi pada rentang usia 51-60 tahun (54,1%),

Prevalensi sindrom metabolik pada

diikuti rentang usia 41-50 tahun (15%), dan

guru SD lebih banyak pada perempuan

31-40 tahun (10,0%).

(31,6%) dibandingkan pada laki-laki (22,7%)


dan meningkat seiring bertambahnya usia.

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Sindrom


Metabolik pada Kedua Kelompok
Sindrom Metabolik
Ya
Tidak
n
%
n
%
16 26,7
14
23,3

Variabel
GuruSD
Obes
Sentral
Non-Obes
Sentral

P
value

Pada usia 31-40 tahun prevalensinya hanya


1,7%, dan meningkat pada usia 41-50 tahun
yaitu 5,0%, dan paling tinggi pada usia 51-60
tahun (21,7%).

0,000

Usia
memiliki

1,7

29

48,3

dan

peran

jenis

kelamin

memang

dalam

terjadinya

penting

sindrom metabolik. Semakin bertambahnya


usia, maka risiko terjadinya sindrom metabolik

Pada tabel 3 dapat dilihat sebaran

akan semakin meningkat.

(11)

Seiring dengan

sindrom metabolik pada kelompok guru SD

terjadinya proses penuaan, terjadi proses

obes-sentral dan kelompok guru SD non-obes

alami peningkatan lemak tubuh yang signifikan

sentral. Dapat dilihat bahwa sindrom metabolik

terjadi di atas usia 30 tahun. Selain itu,

pada kelompok guru SD obes sentral (26,7%)

kekuatan pembakaran energi juga menurun

lebih tinggi dibandingkan pada kelompok guru

sebanyak 5% dan menurun 10% setiap 10

SD non-obes sentral. Hasil uji statistik juga

tahun, sehingga lebih sedikit kalori yang dapat

menunukkan

yang

dibakar dan menyebabkan lebih banyak kalori

bermakna antara obesitas sentral dengan

disimpan sebagai lemak dalam tubuh jika tidak

sindrom metabolik, nilai p=0,000.

diikuti dengan aktivitas fisik. Peningkatan usia

adanya

hubungan

juga menyebabkan penurunan jumlah jaringan


otot

4. PEMBAHASAN
Berdasarkan NCEP-ATP III, kriteria

jika

jaringan

Peningkatan

lemak

jaringan

meningkat.

lemak

(12)

membawa

diagnosis sindrom metabolik ditegakkan jika

dampak pada akumulasi asam lemak bebas di

seseorang mengalami minimal tiga dari lima

dalam tubuh, sehingga usia tua lebih berisiko

kondisi yaitu lingkar pinggang di atas normal,

mengalami sindrom metabolik.


Pada

hipertensi, hipertrigliseridemia, K-HDL rendah,

perempuan,

risiko

sindrom

metabolik meningkat setelah menopause. Saat

dan gula darah puasa tinggi.


Pada penelitian ini, didapatkan 17 dari

mengalami menopause, konsentrasi hormon

60 guru SD (28,4%) yang mengalami sindrom

estrogen akan menurun dan menyebabkan

metabolik. Prevalensi tersebut cukup tinggi jika

peningkatan jumlah lemak, terutama lemak

dibandingkan dengan wilayah lain, misalnya

sentral.

populasi PNS di Depok (23,8%),


etnis

minang

(22,8%),

(8)

Padang,

(7)

populasi

Sumatera

Barat

populasi kelompok eksekutif di

Jakarta (21,6%),

(9)

Semarang (16,6%).

dan populasi dewasa di


(10)

Selain

menopause
trigliserida
dengan

juga
yang

perempuan
memiliki

tinggi,

bertambahnya

menopause

akan

persentasi

sehingga
usia

terjadi

post-

dan

seiring
efek

peningkatan

kandungan lemak tubuh, terutama distribusi


lemak tubuh pusat.

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

itu,

(13,14)

Selain itu, perempuan

23

juga

melewati

proses

kehamilan

dimana

proses tersebut memiliki kecenderungan untuk


meningkatkan

jaringan

lemak

baik

untuk

menentukan

risiko

sindrom

metabolik dibandingkan RLPP maupun IMT.

dan

Lingkar

perut

juga

(5)

merupakan

meningkatkan berat badan yang memberi

indikator untuk mengukur obesitas sentral atau

dampak akumulasi asam lemak bebasa dalam

penumpukan lemak pada daerah abdominal

(8)

tubuh.

seperti lingkar pinggang, namun lingkar perut

Secara statistik ditemukan perbedaan

diukur pada 2 jari dibawah pusar sedangkan

proporsi yang signifikan sindrom metabolik

lingkar pinggang pada pertengahan antara

antara guru SD obes sentral dan guru SD non-

ujung tulang iga dan suprailiak. Dengan cut off

obes sentral dengan p=0,000. Guru SD obes

poin sesuai standart WHO (2000)


(6)

(18)

dan

yaitu 90

sentral berisiko hingga 33 kali lebih besar

NCEP ATP III Asia Pasifik (2005)

mengalami sindrom metabolik dibandingkan

cm

guru SD non-obes sentral (Odds Ratio =

perempuan.

33,134;

3,984-

konsekuensi yang tinggi terhadap peningkatan

275,72). Hasil tersebut sejalan dengan studi

asam lemak bebas di sirkulasi, terlebih sel

Aerobics Center Longitudinal Study yang

adiposit pada bagian abdominal berukuran

menyebutan bahwa lingkar perut merupakan

lebih besar dan kurang peka terhadap kerja

komponen yang penting dalam menentukan

antilipolisis

95%

Confidence

sindrom metabolik.

Interval

(15)

untuk

laki-laki

dan

Obesitas

sehigga

80

cm

sentral

untuk

memiliki

berdampak

pada

peningkatan produksi asam lemak bebas dan

Studi lain pada populasi pedesaan di

trigliserida, mempengaruhi penurunan kadar

Korea menyebutkan pengukuran lingkar perut

K-HDL dengan perantaraan enzim CETP

memberi pengaruh

(Cholesteryl Ester Transferase Protein). Selain

yang positif terhadap

kejadian sindrom metabolik.

(16)

Bahkan pada

studi tersebut juga disebutkan bahwa hasil


pengukuran

lingkar

perut

sebaiknya

itu, peningkatan trigliserida yang terakumulasi


di

hati

insulin.

dapat

menyebabkan

resistensi

(19)

mempertimbangkan faktor etnis dan regional,


misalnya di Korea, The Korean Society for the

5. SIMPULAN

Study of Obesity mengusulkan spesifik lingkar

Penelitian ini menemukan prevalensi

perut pada populasi korea sebesar 90 cm

sindrom metabolik pada guru SD yang cukup

untuk laki-laki dan 85 cm untuk perempuan,

besar yaitu 24,6%. Hal tersebut telah menjadi

sedangkan hasil penelitian lain di Jepang

masalah

menyatakan

memerlukan

estimasi

optimal

untuk

kesehatan
upaya

masyarakat
preventif.

yang

Perbedaan

mendeteksi sindrom metabolik melalui lingkar

sindrom metabolik pada responden obes

perut yaitu 85 cm pada laki-laki dan 75 cm

sentral dan non-obes sentral juga signifikan

pada perempuan.

(17)

Studi cross sectional lain

secara statistik. Hal tersebut menunjukkan

di Jepang menyebutkan bahwa prevalensi

bahwa kondisi obesitas sentral membawa

sindrom metabolik meningkat seiring dengan

dampak yang buruk terhadap manifestasi

peningkatan lingkar perut hingga 95 cm.

sindrom metabolik. Lingkar perut juga dapat

Lingkar perut juga menjadi prediktor yang lebih

menjadi pengkuran yang baik dan kuat untuk


diagnosis sindrom metabolik.

24

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

6. SARAN
Demi perkembangan penelitian sejenis

[10]

lain, kedepannya penelitian dapat dilakukan


dengan jumlah sampel yang lebih banyak,
meneliti variabel lain, maupun menggunakan
desain studi lain untuk mengetahui hubungan
sebab akibat yang lebih jelas.
[11]
DAFTAR PUSTAKA
[1]

[2]

[3]

[4]

[5]

[6]

[7]

[8]

[9]

Isomaa B, Almgren P, Tuomi T, dkk.


Cardiovascular Morbidity and Mortality
Associated
With
The
Metabolic
Syndrome. Diabetes Care 2001; 24:683
9.
Cameron AJ, JE. Shaw and PZ. Zimmet.
The Metabolic Syndrome: Prevalence In
Worldwide Populations. Endocrinol Metab
Clin N Am 2004; 33:351-75.
Wen-Harn
Pan.
Epidemiology
of
Metabolic Syndrome In Asia. Asia Pac J
Clin Nutr 2008; 17(S1):37-42.
Wen-Harn
Pan.
Epidemiology
of
Metabolic Syndrome In Asia. Asia Pac J
Clin Nutr 2008; 17(S1):37-42.
Kato, Masayuki Yoshihiko Takahashi,
Manami Inoue, Shoichiro Tsugane,
Takashi Kadowaki, et al. Comparisons
between anthropometric indices for
predicting the metabolic syndrome in
Japanese. Asia Pac J Clin Nutr 2008; 17
(2):223-8.
Executive Summary of the Third Report of
the National Cholesterol Education
Program (NCEP) Expert Panel on
Detection, Evaluation, and Treatment of
High Blood Cholesterol in Adults (Adult
Treatment Panel III). JAMA 2011;285(19):
2486-97.
Anita, Betri. Hubungan karakteristik
Individu, Asupan Makan dan Faktor
Lainnya terhadap Sindrom Metabolik
pada Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan
Pemerintahan
Kota
Depok
tahun
2009[tesis]. Program Pascasarjana IKM
FKM UI.; 2009.
Jalal, Fasli, dkk. Hubungan Lingkar
Pinggang dengan Kadar Gula Darah,
Trigliserida dan Tekanan Darah pada
Etnis Minang di Kabupaten Padang
Pariaman, Sumatera Barat. Media Medika
Indonesia 2008; 43(3):129-37.
Kamso,
Sudijanto,
Purwantyastuti,
Dharmayati Utoro Lubis, dkk. Prevalensi
dan Determinan Sindrom Metabolik pada

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

[12]

[13]

[14]

[15]

[16]

[17]

[18]

Kelompok Eksekutif di Jakarta dan


Sekitarnya. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional 2011;6(2):85-90.
Suhartono T, Pemayan TG, Nugroho H,
Darmono, &Djokomoeljanto. Prevalensi
Sindrom Metabolik di Poliklinik Endokrin
dan Poliklinik Jantung RS Dr. Kariadi dan
di
Pekajangan,
Pekalongan.
The
metabolic
syndrome
(the
MetS)
anticipating life style related disease.
Surabaya Metabolic Syndrome 2005,
Surabaya; 2005.p.242-4.
Grundy SM, Brewer HB, Cleemean JI, et
al. Definiton of metabolic syndrome.
Report of the National Heart, Lung, and
Blood
Institute/American
Heart
Association Conference on Scientific
Issues Related to Definition. Circulation
2004; 109:433-8.
Garrows JS, dkk. Human Nutrition And
Dietetics. London. Churchill Livingstone;
2000.
Hee Man Kim, Jong Park, So Yeon Ryu,
Jongoh Kim. The Effect of Menopause on
the Metabolic Syndrome Among Korean
Women; The Korean National Health and
Nutrition Examination Survey year 2001.
Diabetes Care 2007;30:7016.
Harikedua, Vera T. Relation Between
Nutrition Knowledge and Eating Behavior
With Metabolic Syndrome Components in
Religious Leaders at Manado Municipality
[tesis]. The Graduate Program, Faculty of
Medicine, Gadjah Mada University,
Yogyakarta.; 2011.
Katzmarzyk, Peter T., Ian Janssen,
Robert Ross, Timothy S. Church, et al.
The Importance of Waist Circumference
in the Definition of Metabolic Syndrome
Prospective Analyses of Mortality in Men.
Diabetes Care 2006;29;4049.
Hyun Koh, Jang, Sang Baek Koh, Mi
Young Lee, Pil Moon Jung, Bo Hwan Kim,
et al. Optimal Waist Circumference Cutoff
Values
for
Metabolic
Syndrome
Diagnostic Criteria in a Korean Rural
Population.
J
Korean
Med
Sci
2010;25:734-7.
Millen, Barbara E, Michael J Pencina,
Ruth W Kimokoti, Lei Zhu, et al.Reevaluation of Waist Circumference in
Metabolic Syndrome: A Comparison
between Japanese Men and Women.
Acta Med Okayama 2007; 61(3):167-9.
WHO. Definition of Metabolic Syndrome
in Definition, Diagnosis and Classification
of Diabetes Mellitus: Report of a WHO
Consultation.
Departement
of
Noncommunicable Disease Surveillance.
Geneva 1999.

25

[19] Bray, George A. The Metabolic Syndrome


and Obesity. United States of America.
Humana Press Inc; 2007.

26

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Penelitian

BISKUIT MORINGA RIA SEBAGAI SUATU STRATEGI


PENANGGULANGAN GIZI KURANG DAN GIZI BURUK
PADA BALITA MISKIN BERBASIS MASYARAKAT
1

Rudianto, Ainum Jhariah Hidayah, Irma Ariany Syam

Mahasiswa Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin


Mahasiswa Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin
3
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin Makassar
2

ABSTRAK
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, prevalensi balita yang mengalami gizi
kurang sebesar 13% (2.947.368 balita) dan malnutrisi 4,9% (906.882 balita). Ditinjau dari sudut
masalah kesehatan dan gizi, balita termasuk dalam kelompok rentan mengalami kelainan gizi, yaitu
kelompok masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi, sebab mereka sedang mengalami
proses pertumbuhan yang relatif pesat. Akibat dari kekurangan gizi ini, balita akan rentan terhadap
penyakit-penyakit infeksi yang dapat menyebabkan meningkatnya angka kematian balita. Studi
pustaka ini bertujuan memberikan solusi terhadap permasalahan gizi yang terjadi pada balita di
Indonesia melalui pemberian biskuit Moringa Ria sebagai salah satu strategi penanggulangan gizi
kurang dan gizi buruk pada balita miskin di masyarakat. Biskuit Moringa Ria adalah biskuit dengan
tambahan kelor. Biskuit ini mengandung gizi makro seperti karbohidrat, protein, dan lemak yang dapat
mecukupi kebutuhan harian balita pada porsi tertentu. Dalam upaya penanggulangan masalah gizi
balita, biskuit ini dapat diberikan melalui program pemberian makanan tambahan secara gratis.
Dengan adanya biskuit ini diharapkan permasalahan gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia dapat
tertanggulangi tanpa harus mengeluarkan anggaran yang besar, sehingga pencapaian Indonesia
sehat dapat segera terwujud.
Kata kunci: gizi balita, daun kelor, biskuit

ABSTRACT
Based on Health Research Association in 2010, the prevalence of toddler suffering poor
nutrition is 13 % (2,947,368 toddlers) and malnutrition 4.9 % (906,882 toddles). Terms of the health
and nutrition problems, toddler included in the nutrition of vulnerable groups are the social group most
easily suffers nutritional disorders, because they are undergoing a process of relatively rapid growth.
As a result of malnutrition, the toddler will be susceptible to infectious diseases that can lead to
increased child mortality. This literature review aims to provide a solution to the nutritional problems
that occur in toddler in Indonesia through the provision of Moringa biscuit as one coping strategies
malnutrition and malnutrition in toddler in poor communities. Moringa Ria biscuits are biscuits with
Moringa extract. These biscuits contain macro nutrients such as carbohydrates, proteins, and fats that
can daily supplicants toddler at a certain serving. In the response to nutritional problems, these
biscuits can be provided through supplementary feeding programs for free. Given these biscuits
expected problems of malnutrition and malnutrition in Indonesia can be overcome without having to
spend a huge budget, so that the achievement of a healthy Indonesia may soon be realized.
Keywords: toddler nutrition, Moringa leaves, biscuit

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

27

1. PENDAHULUAN

ini

Tantangan

pembangunan

mereka

sedang

mengalami

proses

suatu

pertumbuhan yang relatif pesat. Akibat dari

bangsa adalah pembangunan Sumber Daya

kekurangan gizi ini, kerentanan terhadap

Manusia

penyakit-penyakit

(SDM)

yang

berkualitas,

sehat,

infeksi

yang

dapat

cerdas, dan produktif. Upaya pengembangan

menyebabkan meningkatnya angka kematian

kualitas SDM dengan mengoptimalkan potensi

balita.

(5)

tumbuh kembang anak dapat dilaksanakan


secara merata apabila sistem

Diperkirakan masih terdapat sekitar

pelayanan

1,7 juta balita terancam gizi buruk yang

kesehatan yang berbasis masyarakat dapat

keberadaannya tersebar di pelosok-pelosok

dilakukan secara efektif dan efisien dan dapat

Indonesia. Jumlah balita di Indonesia menurut

menjangkau

data Badan Koordinasi Keluarga Berencana

semua

membutuhkan layanan.

sasaran

yang

(1)

Nasional (BKKBN) Tahun 2007 mencapai

Status gizi dan kesehatan merupakan

17,2% dengan laju pertumbuhan penduduk

salah satu faktor dari tiga faktor utama yang

2,7% per tahun, sedangkan berdasarkan data

sangat menentukan kualitas Sumber Daya

dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010

Manusia

jumlah

(SDM),

pendapatan.

(2)

selain

pendidikan

dan

Status gizi adalah keadaan

tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan


penggunaan zat-zat gizi.

(3)

balita

22.772.060.

(6)

di

Indonesia

adalah

United Nations Childrens Fund

(UNICEF) melaporkan

Indonesia berada di

Apabila jumlah zat

peringkat kelima dunia untuk negara dengan

gizi yang dikonsumsi tidak sesuai dengan

jumlah anak yang terhambat pertumbuhannya

kebutuhan

paling besar dengan perkiraan sebanyak 7,7

gizi

tubuh

maka

dapat

menimbulkan masalah gizi yaitu gizi kurang

juta balita.

dan gizi buruk. Gizi kurang terjadi apabila

(7)

Menurut

UNICEF

1998

penyebab

asupan gizi lebih rendah dari yang dibutuhkan

utama gizi kurang dan gizi buruk adalah

tubuh, sedangkan gizi buruk terjadi apabila

kemiskinan. Masih banyaknya jumlah keluarga

asupan gizi sangat rendah.

yang miskin di Indonesia mengakibatkan

Indonesia saat ini sedang mengalami

kurangnya

atau

tidak

mampunya

suatu

masalah gizi yang cukup memperihatinkan.

keluarga untuk memenuhi kebutuhan zat gizi

Berdasarkan

bagi balitanya dan akhirnya terjadilah gizi

Riset

Kesehatan

Dasar

(RISKESDAS) tahun 2010, prevalensi balita

kurang

yang mengalami gizi kurang sebesar 13%

Seharusnya, balita tersebut diberi asupan gizi

(2.947.368

yang sesuai untuk mendukung pertumbuhan

balita)

(906.882 balita).

(4)

dan

gizi

buruk

4,9%

Oleh karenanya diperlukan

dan

dan

gizi

buruk

perkembangannya

pada

secara

balita.

optimal.

penanganan khusus secara menyeluruh dalam

Tingginya jumlah gizi kurang dan gizi buruk

upaya penanganan masalah tersebut.

pada balita di

Ditinjau dari sudut masalah kesehatan

dengan

Indonesia memiliki kolerasi

tingginya

tingkat

kemiskinan

di

dan gizi, balita termasuk dalam kelompok

Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan jumlah

rentan gizi yaitu kelompok masyarakat yang

penduduk miskin di indonesia.

paling mudah menderita kelainan gizi. Kondisi

data

ini sangat mengkhawatirkan, sebab pada saat

Indonesia

28

dari

Badan
tahun

Pusat
2010,

(9)

Berdasarkan

Statistik
jumlah

(BPS)

penduduk

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

miskin (penduduk dengan pengeluaran per

mencegah gizi kurang dan gizi buruk pada

kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di

balita miskin melalui pemberian makanan

Indonesia pada Maret 2010 mencapai 31,02

tambahan secara gratis berupa biskuit kelor

juta (13,33%).

(6)

Salah

terfortifikasi.
satu

solusi

yang

dapat

Strategi

penanggulangan

berbasis

dilakukan adalah dengan mengembangakan

masyarakat artinya, masyarakat (Ibu dari balita

formula

Tambahan

yang mengalami masalah gizi) juga terlibat

(PMT) yang lebih bermutu dan bernutrisi tinggi

dalam proses penanggulangan masalah gizi

bagi balita gizi kurang dan gizi buruk yang

tersebut yang mana program ini dapat secara

berasal dari keluarga miskin.

terus menerus dilakukan dengan dua cara.

Pemberian

Makanan

Tujuan dari studi pustaka ini yaitu


untuk

memberikan

solusi

Pertama,

biskuit

kelor

sebagai

makanan

terhadap

tambahan diberikan gratis oleh pemerintah

permasalahan gizi yang terjadi pada balita di

selama 90 hari (sesuai dengan aturan Depkes

Indonesia melalui pemberian biskuit Moringa

RI tahun 2000) hingga balita tersebut sembuh

Ria sebagai suatu strategi penanggulangan

dari gizi kurang dan gizi buruk.

gizi kurang dan gizi buruk pada balita miskin

sebagai

berbasis masyarakat.

tersebut tidak lagi menderita masalah gizi

bentuk

pencegahan

(7)

Kedua,

agar

balita

Manfaat dari biskuit Moringa Ria ini

kurang ataupun gizi buruk, maka Ibu dari balita

adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan

tersebut diberi pelatihan cara membuat biskuit

balita dengan terpenuhinya kebutuhan zat-zat

kelor terfortifikasi dengan pengolahan bahan

gizi pada balita serta dapat dijadikan sebagai

pangan lokal (kelor) sehingga status gizi balita

rekomendasi pemerintah untuk menurunkan

tetap sehat.

prevalensi gizi kurang dan gizi buruk pada

Pemilihan

tanaman

kelor

sebagai

balita di Indonesia. Manfaat lain yang dapat

bahan pagan kaya nutrisi berdasarkan dari

diperoleh pemerintah adalah anggaran yang

hasil penelitian Lowell Fuglie pada tahun 2000

dikeluarkan untuk membuat biskuit kelor akan

tentang kandungan nutrisi daun kelor yang

lebih

dapat bermanfaat untuk perbaikan gizi. Hasil

murah

dari

pada

program

penanggulangan yang telah dilakukan hingga

penelitian

saat

pemanfaatan tanaman kelor untuk mengatasi

ini.

Selain

itu,

masyarakat

dapat

tersebut

menjadi

memanfaatkan tanaman kelor menjadi bahan

masalah gizi di Indonesia.

pangan yang kaya nutrisi untuk memperbaiki

Tanaman

status gizi masyarakat.

adalah

tanaman

landasan

(8)

kelor
ordo

(Moringa

oleifera)

brassicales

yang

merupakan tanaman berkayu yang sangat


mudah tumbuh, dengan tinggi mencapai 7-12

2. PEMBAHASAN
Biskuit Moringa Ria adalah biskuit
dengan tambahan kelor sebagai suatu strategi
penanggulangan gizi kurang dan gizi buruk
pada

balita

miskin

berbasis

masyarakat

merupakan suatu ide baru yang penulis


tawarkan bertujuan untuk menanggulangi dan
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

meter dan diameter batangnya mencapai 2040 sentimeter.


Tanaman kelor ini tersebar di daerah
tropis sehingga mudah ditemukan. Tanaman
kelor mengandung nutrisi

yang tinggi dan

sangat bermanfaat untuk perbaikan gizi.

(8)

29

Tanaman ini dapat diolah menjadi sumber

dijadikan bubur dengan cara diseduh dengan

makanan untuk mencegah dan mengatasi gizi

air

kurang dan gizi buruk.

kandungan gizi biskuit Moringa Ria telah

ataupun

dimakan

langsung.

Karena

Kandungan gizi tanaman kelor lebih

lengkap maka biskuit kelor dapat dijadikan

unggul dibandingkan dengan bahan gizi yang

sebagai pengganti susu formula dan minuman

biasa di konsumsi masyarakat selama ini. Dari

mix (minuman yang mengandung mineral-

suatu

bahwa

mineral untuk mengatasi dehidrasi pada balita

kandungan gizi daun kelor segar (lalapan),

yang mengalami gizi buruk). Dengan begitu

setara

yang

anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk

dikandung wortel, 7 kali vitamin C yang

membuat biskuit kelor akan lebih murah dari

terkandung pada jeruk, 4 kali mineral kalsium

pada program penanggulangan yang telah

dari susu, 3 kali mineral potassium pada

dilakukan hingga saat ini.

penelitian

dengan;

menunjukan

kali

vitamin

pisang, 3/4 kali zat besi pada bayam, dan 2


kali protein dari yogurt. Sedangkan kandungan

Selain mengatasi gizi buruk dan gizi

gizi daun kelor yang dikeringkan setara

kurang pada balita, biskuit Moringa Ria juga

dengan; 10 kali vitamin A yang dikandung

merupakan

wortel, 1/2 kali vitamin C yang terkandung

berbagai penyakit pada balita, seperti penyakit

pada jeruk, 17 kali mineral kalsium dari susu,

xeroptalmia dan rabun senja yaitu penyakit

15 kali mineral potassium pada pisang, 25 kali

mata sebagai akibat Kurang Vitamin A (KVA),

zat besi pada bayam, dan 9 kali protein dari

mencegah

yogurt.

(8)

penyakit

untuk

anemia

mencegah

gizi

karena

kekurangan zat besi, mencegah penyakit

Biskuit Moringa Ria dipilih sebagai


makanan tambahan untuk mengatasi gizi
kurang

alternatif

gondok akibat kekurangan zat iodium.


Komposisi

biskuit

Moringa

Ria

dan gizi buruk pada balita karena

disesuaikan dengan jumlah energi dan protein

kandungan gizinya yang begitu tinggi mampu

yang harus diberikan kepada balita yang

memenuhi kebutuhan gizi makro dan gizi

mengalami gizi kurang dan gizi buruk sesuai

mikro

mengatasi

dengan formula yang telah ditetapkan oleh

kekurangan gizi pada balita. Kebutuhan gizi

WHO yaitu pemberian makanan tambahan

makro seperti karbohidrat, protein, dan lemak

dengan jumlah energi 100 kkal/kg berat

dapat

badan/hari,

untuk

mencegah

mecukupi

dan

kebutuhan

harian

balita

protein

11,5

g/kg

berat

dengan mengonsumsi biskuit kelor pada dosis

badan/hari. Artinya perhitungan jumlah energi

tertentu sesuai dengan takaran yang telah

yang harus diberikan kepada balita yang

ditentukan. Selain itu, biskuit Moringa Ria

mengalami gizi kurang dan gizi buruk dalam

dapat mencukupi kebutuhan gizi mikro seperti

sehari adalah berat badan balita dikali dengan

vitamin A, vitamin B, vitamin C, vitamin E, zat

100 kkal, sedangkan jumlah protein yang

besi untuk mengatasi anemia gizi, kalsium

harus diberikan dalam sehari adalah berat

untuk pertumbuhan balita dan asam amino

badan balita dikali dengan 11,5 g.

esensial lainnya.
Biskuit

Komposisi dalam setiap potong biskuit


Moringa

Ria

merupakan

makanan tambahan bagi balita yang dapat

30

mengandung 100 kkal energi dan 2,4 g


protein. Adapun analisis berdasarkan kompo-

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Tabel 1. Kandungan Gizi Tanaman Kelor Tiap 100 gram


Nutrien
Biji
Daun
Kada air (%)

86.9

75

Tepung daun
7.5

Kalori

26

92

205

Protein (g)

2.5

6.7

27.1

Lemak (g)

0.1

1.7

2.3

Karbohidrat (g)

3.7

13.4

38.2

Serat (g)

4.8

0.9

19.2

Mineral (g)

2.3

Ca (mg)

30

440

2,003

Mg (mg)

24

24

368

P (mg)

110

70

204

K (mg)

259

259

1,324

Cu (mg)

3.1

1.1

0.57

Fe (mg)

5.3

28.2

S (mg)

137

137

870

Asam oksalat (mg)

10

101

1.60%

Vitamin A - B karoten (mg)

0.11

6.8

16.3

Vitamin B-choline (mg)

423

423

Vitamin B1-tia min (mg)

0.05

0.21

2.64

Vitamin B2 riboflavin-(mg)

0.07

0.05

20.5

Vitamin B3-asam nikotinat (mg)

0.2

0.8

8.2

Vitamin C-asam askorbat (mg)

120

220

17.3

Vitamin E-tokoferol asetat (mg)

113

Arginin (g/16g N)

3.6

1.33%

Histidin (g/16g N)

1.1

2.1

0.61%

Lisin (g/16g N)

1.5

4.3

1.32%

Triptofan (g/16g N)

0.8

1.9

0.43%

Phenylanaline (g/16g N)

4.3

6.4

1.39%

Metionin (g/16g N)

1.4

0.35%

Treonin (g/16g N)

3.9

4.9

1.19%

Leusin (g/16g N)

6.5

9.3

1.95%

Isoleusin (g/16g N)

4.4

6.3

0.83%

Valin (g/16g N)

5.4

7.1

1.06%

Tabel 2. Perbandingan Kandungan Nutrisi Kelor dengan Sumber Nutrisi Nabati Lainnya (per
100g bagian dimakan)
Daun
Daun
KacangDaun
Daun
Nutrien
Kacang
Lobak
Daun Kelor
kacangan
Singkong
Waloh
panjang
(Turnip)
Energi(Kcal)
320
45
35
90
25
95
Protein(g)

22

4.7

2.9

7.0

4.0

6.7

VitaminA (i.u)

85

389

708

1278

556

3767

Vitamin C(mg)

25

56

62

50

80

220

Calsium (mg)

22

225

160

410

475

440

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

31

Tabel 3. Komposisi Setiap Potong Biskuit


Moringa Ria (42 gram)
No.

Komposisi

1.

20 gram
tepung
beras
20 gram
daun kelor
2 gram gula
pasir
Total

2.
3.

penanggulangan permasalahan gizi kurang dan


gizi buruk

di Indonesia, sehingga pencapaian

Jumlah
Energi (kkal)
72,6

Jumlah
Protein (g)
1,1

19,4

1,3

penelitian lanjutan mengenai Biskuit Moringa

Ria/Biskuit kelor dalam mengatasi masalah gizi

100 kkal

2,4 gram

Indonesia sehat dapat segera terwujud.


4.

SARAN
Perlu dilakukan uji organoleptik dan

kurang gizi buruk pada balita di Indonesia.

-sisi biskuit kelor terfortifikasi akan dijabarkan di


DAFTAR PUSTAKA

dalam tabel 3.
Berdasarkan tabel 3 maka biskuit kelor
dapat mencukupi kebutuhan energi dan protein
bagi balita yang mengalami gizi kurang dan gizi
buruk. Sehingga dengan pemberian biskuit kelor
terfortifikasi sebagai makanan tambahan dapat
mengatasi masalah gizi kurang dan gizi buruk
pada balita miskin. Adapun jumlah pemberian
biskuit kelor pada balita yang mengalami gizi
kurang dan gizi disesuaikan dengan berat badan
balita.

3.

SIMPULAN
Tanaman kelor yang selama ini dikenal

sebagai tanaman pagar mengandung zat-zat gizi


makro dan mikro yang sangat tinggi. Kehadiran
kelor

sebagai

tanaman kaya

nutrisi

dapat

dijadikan sebagai jawababan untuk mengatasi


masalah gizi kurang gizi buruk pada balita di
Indonesia. Tanaman kelor yang kaya dengan
nutrisi dapat diolah menjadi biskuit kelor sebagai
makanan tambahan bagi balita untuk mengatasi
gizi kurang dan gizi buruk pada balita. Dengan
pemberian biskuit kelor terfortifikasi secara gratis
bagi balita dari keluarga miskin, diharapkan
mampu menurunkan prevalensi gizi kurang dan
gizi buruk di Indonesia, proses pertumbuhan dan
perkembangan

balita

berlangsung

[1]

Depkes RI. Rencana Aksi Nasional Pangan


dan Gizi 2006-2010 Diluncurkan; 2007.
[diakses 19 Agustus 2013]. Available from:
http://digilib.litbang.depkes.go.id.
[2] AzwarA. Kecenderungan Masalah Gizi dan
Tantangan di Masa Depan. Jakarta: Derjen
Bina Kesehatan Masyarakat Departemen
Kesehatan; 2004. [diakses 20 Agustus
2013].
Available
from:
http://www.depkes.go.id.
[3] Almatsier, Sunita. Prinsip Dasar Ilmu Gizi.
Cetakan 9. Jakarta: PT SUN; 2009.
[4] Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan; 2010. [diakses 19 Agustus
2013].
Available
from:
http://www.depkes.go.id.
[5] Soegeng S, Ann L. 2004. Kesehatan dan
Gizi. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 2004.
[6] Badan Pusat Statistik. Jumlah dan
Persentase
Penduduk
Miskin,
Garis
Kemiskinan, Indeks
Kedalaman
Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan
Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi ; 2010
[7] Departemen Kesehatan R.I. Makanan
Pendamping ASI (MP-ASI) bagi bayi.
Jakarta: Dirjen Binakesmas Depkes R.I.;
2000.
[8] Fuglie LJ. New Uses of Moringa Studied in
Nicaragua. ECHO Development Notes #68,
June
2000.
Available
from:
http://www.echotech.org/network/modules.p
hp?name=News&file=articlid=194Backer
CA, van der Brink RCB. Flora of Java vol II.
Groningen: N.V.P. Noorfhoff; 1963
[9] Unicef. 1998. The State of The Worlds
Children. 1998
[10] Suwahyono, Untung. Khasiat Ajaib si Pohon
Gaib. Yogyakarta: Andi Offset; 2008

secara

optimal, meningkakan intelegensi balita, dan


membantu pemerintah dalam penekanan biaya
32

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Advertorial

SUSHI BERBAHAN BERAS JAGUNG PULUT:


PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN GUNA
MEMANFAATKAN POTENSI LOKAL SULAWESI
SELATAN
1

Ainum Jhariah Hidayah, Irma Ariany Syam, Sri Rahayu Indah S

Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin


Makassar
2
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin Makassar
3
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin Makassar

ABSTRAK
Diversifikasi pangan merupakan salah satu pilar dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Diversifikasi pangan dapat dilakukan dengan mengedepankan pangan unggulan lokal. Sulawesi
Selatan termasuk salah satu daerah penghasil utama jagung di Indonesia, jagung merupakan bahan
pangan pokok kedua setelah beras, pada tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 10,76% bila
dibandingkan dengan produktivitas jagung pada tahun 2004. Jagung khas Sulawesi Selatan yaitu
jagung pulut merupakan jagung lokal dengan warna biji putih, rasa enak, gurih, dan pulen yang
dapat dikonsumsi dalam berbagai jenis olahan. Studi pustaka ini bertujuan untuk mengetahui potensi
sushi berbahan beras jagung pulut dapat mengembangkan diversifikasi pangan dan mengetahui
peluang sushi ini sebagai tren di kalangan masyarakat. Sebagaimana kandungan nutrisi yang dimiliki
jagung, menunjukkan bahwa sangat mendukung dalam upaya penganekaragaman pangan berbahan
baku. Jagung termasuk jagung pulut yang diolah menjadi beras jagung pulut sebagai bahan
pembuatan sushi yang memungkinkan untuk dikembangkan dalam menunjang diversifikasi pangan.
Sushi berbahan beras jagung pulut ini menunjang dalam diversifikasi pangan karena jagung
merupakan sumber kalori pengganti untuk dikonsumsi. Dengan demikian, sushi berbahan beras
jagung pulut sangat berpotensi dalam upaya diversifikasi pangan dan mempunyai peluang menjadi
tren di masyarakat karena disajikan dalam bentuk unik, bergizi dan harga lebih ekonomis.
Kata kunci: diversifikasi pangan, jagung pulut, sushi

ABSTRACT
Food diversification is one of the cornerstones in realizing food security. Diversification can be
done by promoting local food excellent. South Sulawesi is one of the major maize producing areas in
Indonesia; maize is the second staple food after rice, in 2008, an increase of 10.76 % when compared
with the productivity of maize in 2004. South Sulawesi is typical corn corn sticky rice is a local maize
seed with a white color, good taste, savory, and fluffier that can be consumed in a variety of
preparations. This literature study aims to determine the potential know sushi rice made from sticky
rice corn can develop diversification opportunities sushi and know this as a trend among the people.
As the nutrient content owned corn, showed that strongly supports the efforts of diversification of food
raw materials. Waxy corn including corn is processed into corn rice sticky rice as sushi making
materials that allow it to be developed to support diversification. Waxy corn sushi rice is made to
support the diversification of food because corn is a source of calories substitute for consumption.
Thus, sushi made from sticky rice corn rice potential in diversification efforts and has the opportunity to
be a trend in society as presented in the form of a unique, nutritious and more economical price.
Keywords: diversification, corn sticky rice, sushi

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

33

1. PENDAHULUAN

gurih, dan pulen yang dapat dikonsumsi dalam

Konsumsi beras dunia rata-rata 60 kg


per

kapita

per

tahun.

Namun

demikian,

berbagai

jenis

olahan

makanan

mendukung diversifikasi pangan.

konsumsi beras Indonesia mencapai 139 kg per

untuk

(3)

Diversifikasi konsumsi pangan pada

kapita per tahun pada tahun 2009. Angka

dasarnya

tersebut

dibandingkan

dalam kegiatan konsumsi sesuai dengan cita

Malaysia dengan 80 kg per kapita per tahun,

rasa yang di inginkan, menghindari kebosanan

Thailand 90 kg per kapita per tahun, dan

untuk mendapatkan pangan dan gizi agar dapat

(1)

hidup sehat. Agar masyarakat tertarik dengan

Tingginya konsumsi beras di Indonesia tidak

diversifikasi pangan terutama tanaman jagung,

sebanding dengan produksi beras nasional.

maka perlu dilakukan suatu inovatif dalam

Oleh sebab itu, diperlukan diversifikasi pangan

bentuk sajian unik. Tidak perlu langsung

untuk menurunkan konsumsi beras perkapita.

berganti secara total dalam konsumsi beras,

jauh

lebih

tinggi

Jepang sebesar 60 kg per kapita per tahun.

Diversifikasi pangan merupakan salah


satu

pilar

dalam

mewujudkan

ketahanan

beras.

pangan

Salah

dapat

satu

pilihan

masyarakat

akan tetapi lebih kepada penurunan konsumsi


beras.

pangan dan sebagai solusi dalam mengurangi


konsumsi

memperluas

Sushi

merupakan

makanan

khas

diversifikasi

Jepang yang terbuat dari nasi yang dibentuk

dengan

dengan kombinasi isian seperti daging, ikan

dilakukan

mengedepankan pangan unggulan lokal. Salah

maupun

satu pangan unggulan lokal di Indonesia adalah

menggunakan seafood. Nasi yang digunakan

jagung. Jagung merupakan bahan pangan

diolah dari beras Jepang atau Japonica (Oryza

pokok kedua setelah beras. Selain sebagai

sativa var. japonica) yaitu beras berbulir pendek

sumber karbohidrat, jagung juga merupakan

(short-grain) yang memiliki tektur yang khas

sumber protein yang penting dalam menu

dan sifat lengket yang unik. Sushi ala Indonesia

masyarakat di Indonesia.

tidak berasal dari beras jepang melainkan dari

Sulawesi Selatan termasuk salah satu

sayuran

tetapi

pada

umumnya

beras biasa yang dicampur dengan beras ketan

daerah penghasil utama jagung di Indonesia.

agar

memiliki

Pada tahun 2008, daerah ini memiliki luas

Jepang.

panen jagung 261.490 ha, produksi 994.981 ton

sifat

lengket

seperti

beras

Jagung pulut memiliki sifat lengket

dengan produktivitas 3,81 t/ha. Produktivitas

yang

tersebut

sebesar

domestik cocok disajikan dalam bentuk sushi.

10,76% dibandingkan dengan tahun 2004 yang

Oleh karena itu, penulis mengangkat judul

mengalami

peningkatan

mencapai produktivitas sebesar 3,44 t/ha.

(2)

Umumnya jenis jagung yang disenangi

dapat

dikombinasikan

beras

Sushi Berbahan Beras Jagung Pulut sebagai


Sajian Unik dalam Upaya Pengembangan

masyarakat untuk dikonsumsi sebagai pangan

Diversifikasi

pokok adalah jagung putih varietas lokal. Salah

Potensi Lokal Sulawesi Selatan.

satu jenis

dalam

jagung putih varietas lokal adalah

Pangan

Berdasarkan

Guna

latar

Memanfaatkan

belakang

diatas,

Jagung pulut (Waxy Corn). Jagung pulut

maka perlu dilakukan studi pustaka untuk (1)

merupakan

mengetahui potensi sushi berbahan beras

jagung lokal

khas Sulawesi

Selatan dengan warna biji putih, rasa enak,

34

jagung

pulut

dapat

mengembangkan

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

diversifikasi pangan. (2) mengetahui peluang

potensi produksi padi mencapai 9 ton/ha.

sushi berbahan beras jagung pulut dapat untuk

Produksi padi di Sulawesi Selatan selain untuk

menjadi tren di kalangan masyarakat.

memenuhi kebutuhan penduduk di Sulawesi

Manfaat dari studi pustaka ini yaitu: (1)


peluang

usaha

bagi

masyarakat;

(2)

Selatan juga kebutuhan penduduk di


Sulawesi Selatan.

Meningkatkan nilai ekonomis jagung lokal


Sulawesi Selatan yaitu jagung pulut

luar

Kebutuhan

beras

setiap

tahun

mengalami peningkatan seiring pertumbuhan


jumlah

2. PEMBAHASAN

penduduk.

Permintaan

beras

di

Sulawesi Selatan rata-rata 401.800 ton/tahun

Kementerian

perdagangan

(diasumsikan kebutuhan beras per orang 125

mengasumsikan, konsumsi beras masyarakat

kg/tahun). Dengan demikian, Sulawesi Selatan

di Indonesia mencapai kisaran 130 kg-140 kg

mengalami surplus beras yang cukup besar.

per orang per tahun atau tertinggi di kawasan

Surplus

ASEAN. Dibandingkan dengan konsumsi beras

memenuhi kebutuhan beras masyarakat yang

di

berdomisili di Sulawesi Selatan maupun luar

antara

negara-negara

ASEAN

lainnya,

seperti Thailand dan Malaysia hanya berkisar

beras

ini

akan

digunakan

Sulawesi Selatan yang terus meningkat.

untuk

(4)

65 kg-70 kg per orang per tahun. Berbagai

Namun demikian, produksi beras yang

pihak menilai, hal ini terkait dengan program

ada di Sulawesi Selatan belum tentu akan

diversifikasi

menutupi

semua

Indonesia

akan

pangan

seperti

singkong

dan

jagung belum berlangsung optimal.

kebutuhan
beras.

Di

masyarakat
samping

Dari data yang dilansir Kementerian

pemerintah

juga

Pertanian disebutkan, produksi padi nasional

masyarakat

Indonesia

mencapai 68,062 juta ton gabah kering giling

menurun tidak mencapai 140 kilogram per

per November 2011. Angka itu mengalami

orang

peningkatan

ton

mengandung karbohidrat tinggi dan unsur yang

dibandingakan pada 2010. Salah satu pemasok

kurang sehat, jika terlalu banyak mengonsumsi

tertinggi untuk beras di Indonesia adalah

beras.

sebesar

1,592

juta

Sulawesi Selatan.

pertahun.

Sejak

Sulawesi Selatan merupakan salah

menginginkan

itu

akan

Apalagi,

tahun

2006,

konsumsi

beras

makan

pola

bisa

beras

konsumsi

pangan pokok (sumber karbohidrat) masih

satu sentra produksi beras nasional dan juga

didominasi

dikenal

Ketergantungan yang berlebihan pada beras

sebagai

lumbung

beras

nasional.

beras

dan

menyebabkan

Selatan meliputi; Kabupaten Bone, Soppeng,

peluang untuk memanfaatkan bahan-bahan

Wajo, Sidrap, Pinrang, dan Luwu. Produksi padi

pangan yang sebenarnya dapat mensubtitusi

di Sulawesi Selatan pada tahun 2009 mencapai

beras. Kerawanan pangan

4.324.179 ton dengan tingkat produktivitas 5

akibat diversifikasi konsumsi justru mengarah

ton/ha.

dapat

pada pangan olahan berbahan baku impor

teknologi

(gandum). Oleh karena itu, konsumsi pangan

ditingkatkan
produksi

melalui

dan

tersebut
penerapan

penanganan

panen

dan

sebagian

terigu.

Kawasan pengembangan padi di Sulawesi

Produktivitas

tertutupnya

tepung

besar

juga bertambah

masyarakat perlu didorong agar mengonsumsi

pascapanen yang tepat dan efisien. Karena

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

35

pangan sumber karbohidrat lainnya. Salah


satunya adalah jagung.

Jagung pulut yang diolah menjadi


beras jagung pulut sebagai bahan pembuatan

Jagung, sebagai bahan pangan pokok

sushi,

yang

memungkinkan

untuk

kedua setelah beras, selain sebagai sumber

dikembangkan dalam menunjang diversifikasi

karbohidrat juga merupakan sumber protein

pangan.

yang penting dalam menu masyarakat di


Indonesia.

Jagung

kaya

akan

komponen

Sushi berbahan beras jagung pulut


merupakan

adopsi

makanan

dari

negara

pangan fungsional antara lain; serat pangan

matahari terbit, Jepang sebagai sajian unik

yang

dalam

dibutuhkan tubuh (dietary fiber), asam

lemak esensial, isoflavon, mineral Fe (tidak ada


dalam

terigu),

-karoten (pro

upaya

pengembangan

diversifikasi

pangan dengan memanfaatkan salah satu

vitamin A),

potensi lokal Sulawesi Selatan yaitu jagung

komposisi asam amino esensial, dan lainnya.

pulut. Sushi berbahan beras jagung pulut ini

Pangan fungsional saat ini berkembang sangat

sangat menunjang dalam diversifikasi pangan

pesat,

karena

seiring

dengan

semakin

tingginya.

jagung

merupakan

sumber

kalori

Jagung merupakan komoditas palawija utama

pengganti atau suplemen bagi beras untuk

di Indonesia ditinjau dari aspek pengusahaan

dikonsumsi.

dan penggunaan hasilnya, yaitu sebagai bahan

karbohidrat, jagung juga merupakan sumber

baku pangan dan pakan.


penduduk

Indonesia

(5)

Sekitar 18 juta

menggunakan

sebagai bahan makanan pokok.


Produksi

jagung

jagung

(6)

yang

Selain

sebagai

sumber

protein yang penting dalam menu makanan


sehingga gizi tetap terjaga. Kandungan serat
pangan juga yang terkandung pada jagung

terkenal

di

memiliki peranan penting dalam memelihara

Sulawesi Selatan adalah produksi jagung pulut.

kesehatan tubuh serta membantu mencegah

Jagung pulut merupakan salah satu potensi

datangnya penyakit.

lokal Sulawesi Selatan, dimana cukup banyak

Munculnya beragam restoran Jepang di

digemari oleh masyarakat karena rasanya

Indonesia menunjukkan bahwa sushi diterima

enak, pulen dan gurih. Kandungan gizi dari

lidah orang Indonesia.

olahan jagung pulut cukup tinggi, sehingga baik

Sulawesi

untuk dikonsumsi dalam upaya diversifikasi

bermunculan restoran atau toko kuliner khas

pangan.

jepang utamanya sushi. Sushi ini dengan aneka


Diversifikasi

sudah

pangan

didengungkan

Makassar

sudah

mulai

rasa yang berbeda dan dijamin cocok di lidah


warga Makassar. Harga pun terbilang murah

Namun, perkembangannya sangat lambat dan

untuk makanan khas jepang, seperti ini diberi

jauh

harga mulai dari 15.000 rupiah hingga 30.000

harapan.

Untuk

tahun

Begitupun di Ibukota

50-an.

dari

sejak

sebenarnya

Selatan,

(7)

itu

diperlukan

perkembangan diversifikasi pangan ke arah

rupiah perporsinya.

yang lebih inovatif dan lebih mudah diterima

Pati jagung varietas pulut lokal terbukti

oleh masyarakat. Manfaat yang dimiliki jagung

memiliki daya cerna yang cukup rendah. Hal

sebagaimana

nutrisinya,

tersebut

menunjukkan bahwa sangat mendukung dalam

diabetes

upaya

pangan

kandungan

penganekaragaman

berbahan baku jagung.

36

pangan

yang

sangat

membantu

yang memerlukan
karbohidrat

yang

bagi penderita
pemenuhan
tidak tercerna

sempurna menjadi glukosa. Berbeda dengan

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

penderita penyakit lambung,


mengonsumsi

bahan

tidak dianjurkan

yang

mengandung

Sejauh ini, jagung pulut di Indonesia seolah


menjadi

khas

Sulawesi

saja.

Masyarakat

amilopektin tinggi termasuk beras pulut maupun

Sulawesi Selatan khususnya mengonsumsi

jagung pulut.

jagung pulut sebagai salah satu makanan

Olahan jagung termasuk jagung pulut

pokok yang terus bertahan. Jagung pulut

dapat dijadikan sebagai pengganti konsumsi

Sulawesi

nasi dari beras dan kebutuhan pangan lainnya.

konsumen dibanding yang dihasilkan daerah

Dengan demikian, usaha tani jagung pulut

lain Indonesia. Cita rasanya dinilai lebih enak,

dapat

lebih gurih, lebih pulen dan lembut.

mendukung

kemandirian

pangan.

memang

lebih

memikat

selera

Berdasarkan hal ini, bagi stake holder yang


berminat

menangkar

benih

jagung

pulut

peluangnya cukup menjanjikan karena usaha

Perbandingan Nilai Ekonomi dari Beras


Biasa dan Beras Jagung Pulut.

tani jagung pulut efisien dan menguntungkan


bagi

petani

sehingga

pendapatannya.

dapat

menambah

(8)

Nilai tambah yang dapat diperoleh dari


usaha

pengolahan

menguntungkan

jagung

pulut

karena

adalah

menambah

Sushi berbahan beras jagung pulut


diharapkan

menjadi

sebuah

komoditas

produk

lokal

trend

inovasi

yang

bernilai

internasional. Untuk wilayah Indonesia yang


harus

mengimpor

beras

khusus

dalam

pembuatan sushi dianggap sebagai salah satu

pendapatan petani sehingga kegiatan tersebut

tantangan

member

Marakanya toko sushi yang mulai berkembang

harapan

untuk

dikembangkan.

tersendiri

dalam

Pemanfaatan jagung sebagai bahan baku

merupakan

industri makanan terobosan seperti sushi akan

memiliki

member nilai tambah bagi usaha tani komoditas

dikembangkan menjadi salah satu tren bisnis

tersebut. Sehingga prospek pengembangan

baru. Namun demikian, kendala yang dihadapi

dalam pengolahan akan semakin didukung oleh

pelaku bisnis sushi dalam mengembangkan

bertambahnya keunggulan diversivikasi baik

pasar sushi yakni harga yang mahal karena

dari

beras grain medium sebagai bahan pembuatan

segi

kesehatan

dalam

pemenuhan

sebuah
potensi

dianggap

indikasi

pemasarannya.

yang

sangat

bahwa
bernilai

sushi
untuk

kebutuhan gizi serta mendorong nilai tambah

sushi

mahal

dan

sosial ekonomi.

menyebabkan harga sushi menjadi mahal.

Jagung pulut atau jagung ketan (waxy

Beras Nishiki Rice grain medium merupakan

corn) termasuk jenis jagung khusus yang

beras impor dari Jepang serta salah satu bahan

semakin banyak dibutuhkan konsumen atau

utama membuat sushi. Beras tersebut tidak

industri. Jagung khusus ditandai keunggulan

dijual dipasaran secara umum karena harganya

tersendiri

yang

seperti

kandungan

tinggi

bahan

mahal

yakni

Rp.100.000

hingga

berguna atau fungsional tertentu. Termasuk di

Rp.190.000 untuk Botan Rice hingga kualitas

antaranya

paling baik termasuk biaya pengiriman. Bila

jagung

pulut

yang

kandungan

amilopektinnya tinggi di atas 90%.

terjadi peningkatan harga beras menyebabkan

Upaya pengembangan beberapa jenis

turunnya daya beli masyarakat. Penurunan

jagung khusus sedang digencarkan, namun

daya beli masyarakat dalam pola konsumsi

untuk jagung pulut perhatian masih kurang.

dapat

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

terjadi

tidak

baik

secara

kuantitas

37

maupun

secara

kualitas

khususnya

bagi

kelompok berpendapatan rendah.

kualitas

rendah

sudah

melampaui

harga

pembelian pemerintah (HPP). Harga beras

Kondisi tersebut kemudian membuat

termurah berkisar Rp 6.500 per kg, sementara

beberapa alternatif dalam mengembangkan

HPP beras Rp 5.060 per kg. Karena itu, ia

usaha sushi yang bernilai setara dengan makan

mengusulkan agar kenaikan HPP sekitar 28

di restoran dengan harga relatif lebih murah

persen.

dibandingkan dengan makan di restoran pada

Untuk mengatasi masalah kenaikan

umumnya. Salah satu alternatif yang digunakan

harga beras yang akan menjadi masalah dalam

salah satunya dengan mengganti penggunaan

pengembangan

beras

dengan

jagung pulut merupakan salah satu alternatif

menggunakan jenis beras Pandan Wangi.

dalam hal ini. Biaya yang harus dikeluarkan

Beras tersebut memiliki tekstur yang mirip

beras jagung pulut Rp.6.200 perkilogram. Jika

dengan beras bahan asli sushi. Harganya juga

dibandingkan dengan harga beras biasa yang

jauh lebih murah dibandingkan dengan beras

digunakan

asli

pengehematan

Botan

untuk

Rice

sushi

medium

yakni

grain

Rp

10,000.00

perkilogram.

usaha

sushi

terdapat

maka

perbedaan

hingga

14,5%

beras

dan

daripada

penggunaan beras biasa dengan harga yang

Namun demikian, seiring dengan hal

semakin

naik

kali

oleh pelaku usaha yaitu naiknya harga beras.

kandungan gizi tinggi namun masih kurang

Saat ini, harga beras di sejumlah wilayah Rp

dalam pemanfaatan. Namun,minat masyarakat

7.500-Rp 9.000 per kg. Dari pemantauan

dalm konsumsi berbasis jagung masih sangat

Kompas, harga beras kualitas medium di

kurang.

Merauke, pekan lalu, berkisar Rp 8.500 per kg,

pengetahuan masyarakat akan kandungan gizi

sementara di Karawang Rp 8.200 per kg.

jagung,tampilan produk pangan jagung yang

Berdasarkan

kurang menarik,dan adanya anggapan bahwa

dari

Kementerian

Perdagangan di sejumlah kota besar, harga

konsumsi

ini

pulut

2011.

Komoditas

Hal

jagung

dalam

tersebut tantangan baru yang dihadapi kembali

pantauan

beras

lipat

dikarenakan

berbahan

jagung

rata-rata beras pada pekan pertama Januari

kalangan ekonomi lemah.

tercatat 7.970 per kg. Harga beras termurah

Kenyataan

ini

memiliki

kurangnya

hanya

untuk

(9)

kemudian

menjadi

ada di Gorontalo, yakni Rp 6.250 per kg, dan

peluang yang besar dalam memulai tren baru

termahal di Manokwari, Rp 11.000 per kg.

dalam pemanfaatan inovasi jagung yang diolah

Harga beras rata- rata tahun 2011 tercatat Rp

menjadi beras jagung pulut kemudian menjadi

7.372 per kg, naik Rp 860 per kg dari tahun

bahan dasar sushi yang bernilai gizi tinggi

2010. Harga beras rata-rata tertinggi tahun

dengan harga rendah. Keuntungan yang aka

2011 pada Desember, yakni Rp 7.802 per kg,

diraih tidak hanya konsumer produk sushi

sementara harga terendah pada Mei, yakni Rp

berbahan beras jagung pulut tetapi juga oleh

7.040 per kg.

pelaku bisnis sushi yang mampu menekan

Kenaikan

akan

biaya bahan bulanan hingga 14%. Kondisi ini

berdampak pada kenaikan harga jual lainnya

didukung pula oleh kenyataan di lapangan

seperti sushi yang menjadikan beras menjadi

bahwa

bahan utama pembuatannya. harga beras

sumber karbohidrat lainnya. Meski sudah ada

38

harga

beras

tentu

Peran beras belum tergantikan oleh

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

instruksi Presiden No 4 Tahun 1974 yang

gizi

yang

baik,

namun

belum

mendapat

disempurnakan menjadi Inpres No. 20 Tahun

perhatian yang lebih serta memiliki nilai jual

1979 soal Penganekaragaman Menu Makanan

sehingga pengelolaan beras jagung pulut layak

Rakyat .

untuk dikembangkan. Hingga kini pemanfaatan

Diversifikasi pangan terkait dengan

jagung pulut yang masih kurang pada wilayah

upaya mengubah selera dan kebiasaan makan.

pembuatan nasi yang dikenal dengan beras

Karena

jagung

itu,

pokok

peningkatan

kegiatan

pengetahuan,

ini

berupa

sosialisasi,

dan

pulut,

dikonsumsi

pakan

ternak

biasa

ayam,

oleh

serta

masyarakat.

promosi mengenai pola pangan beragam,

Pemanfaatan tersebut masih terbatas pada

bergizi, berimbang. Dengan mengonsumsi pola

konsumsi

pangan yang lebih beragam, bergizi dan

mentah yang masih kurang sehingga dengan

kandungan

inovasi

nutrisi

yang

berimbang,

maka

dasar

serta

pembuatan

pengelolaan

sushi

bahan

berbahan

beras

kualitas kesehatan akan semakin baik. Hasil

jagung pulut dianggap mampu menambah nilai

ikutannya adalah konsumsi beras per kapita

ekonomi untuk berbagai pihak yakni petani

diharapkan

menurun.

diasumsikan

mampu

inovasi

(10)

Data

tersebut

beras

jagung

pulut.

Sehingga

dengan

adanya

pemanfaatan jagung pulut (maxi corn) dapat

tren makanan sushi berbahan beras

menjadi salah satu solusi upaya peningkatan

mendukung

jagung pulut yang memiliki unsur nilai gizi yang

nilai

tambah

khususnya

baik dan belum terkelola dalam hal diversifikasi

ekonomi petani jagung pulut.

pada

nilai

sisio-

pangan.
Masyarakat Indonesa sangat mengikuti

4. SIMPULAN

tren suatu produk di pasar saat ini yang dapat


mendukung

berkembangnya

usaha

sushi

Sushi berbahan beras jagung pulut


merupakan

adopsi

murah. Hal ini dapat dilihat dari kondisi

pengembangan diversifikasi pangan dengan

perekonomian Indonesia yang baik serta selera

memanfaatkan

masyarakat untuk mencoba produk yang unik.

Sulawesi Selatan yaitu jagung pulut.

Bila

berbahan

kondisi

salah

beras

dalam

Jepang

sebagai

ketika

unik

dari

berbahan beras jagung pulut dengan harga

membandingkan

sajian

makanan

satu

jagung

upaya

potensi

pulut

ini

lokal
Sushi
sangat

perekonomian Indonesia yang dilanda krisis

menunjang dalam diversifikasi pangan karena

yang membuat daya beli menjadi turun, tren

jagung merupakan sumber kalori pengganti.

penjualan akan menjadi salah satu aspek yang

Komoditas beras jagung pulut memiliki

terkena dampak atas kondisi tersebut. Bila

kandungan gizi tinggi namun masih kurang

terjadi peningkatan harga beras menyebabkan

dalam pemanfaatan dan minat masyarakat

turunnya daya beli masyarakat. Penurunan

dalam konsumsi berbasis jagung masih sangat

daya beli masyarakat dalam pola konsumsi

kurang.

dapat

pengetahuan masyarakat akan kandungan gizi

terjadi

maupun

tidak

secara

baik

kualitas

secara

kuantitas

khususnya

bagi

kelompok berpendapatan rendah.


Selain memiliki potensi

Hal

ini

dikarenakan

kurangnya

jagung, tampilan produk pangan jagung yang


kurang menarik, dan adanya anggapan bahwa

dalam

hal

diversifikasi pangan karena memiliki kandungan

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

konsumsi

berbahan

jagung

hanya

untuk

kalangan ekonomi lemah. Hal ini dapat menjadi

39

peluang yang besar dalam memulai tren baru


dalam pemanfaatan inovasi jagung yang diolah
menjadi beras jagung pulut. Keuntungan yang
aka

diraih

tidak

hanya

produsen

sushi

[10]. Suryana, A. dan S. Mardianto. Ketahanan


Pangan, Mati-Hidupnya Suatu Bangsa,
2002.
[Internet].
Available
from:
http://gigihnusantaraid@yahoo.com
[diakses
1
Juli
2012]

berbahan beras jagung pulut tetapi juga oleh


pelaku bisnis sushi yang mampu menekan
biaya bahan bulanan hingga 14%.

5. SARAN
Perlu

dilakukan

penelitian

tentang

perhitungan kalori dan kandungan gizi beras


jagung pulut.

DAFTAR PUSTAKA
[1]. Permanasari, Indira. Pangan Unggulan
Lokal untuk Diversifikasi Pangan. [internet]
Available from: www.kompas.com [diakses
7 Juli 2012].
[2]. BPS Indonesia Tahun 2009.
[3]. Syuryawati,
Margaretha,
Hadijah.
Pengolahan Jagung Pulut Menunjang
Diversifikasi Pangan dan Ekonomi Petani.
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010;
619-626.
[4]. TabloidSartini.com
[internet].
Meningkatkan Surplus Beras. Available
from:
http://tabloidsinartani.com/Potensi/SulselMeningkatkan-Surplus-Beras.html [diakses
10 Juli 2012]
[5]. Surasutha IGP. Kinerja Usaha Tani dan
Pemasaran Jagung di Sentra Produksi.
Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 2002;21(2).
[6]. Suherman, O., Burhanuddin, Faesal, M.
Dahlan, F. Kasim. Pengembangan jagung
unggul nasional bersari bebas dan hibrida.
Risalah Penelitian Jagung dan Serealia
Lain, 2002.
[7]. Amaliafitri, Andhini. Sushi, Tren kuliner
Masa Kini, 2009. [internet] Available from:
http://ramadan.okezone.com [Diakses 7 juli
2012].
[8]. Syuryawati, Faesal. Usaha Tani Jagung
Pulut Mendukung Kemandirian Pangan
dan Peningkatan Pendapatan Petani.
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009.
[Internet].
Available
from:
http://
balitsereal.litbang.deptan.go.id [diakses 20
Juni 2012].
[9]. Suwarni. Ragam Produk dari Serelia.
Maros: Badan Penelitian Tanaman serelia.
2010.
40

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Advertorial

EFEKTIVITAS KINERJA MILLENIUM DEVELOPMENT


GOALS DALAM RANGKA PENURUNAN TINGKAT
KEMATIAN ANAK DI INDONESIA
Novi Luthfiana Putri
1

Fakultas Ekologi Manusia, Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK
Kematian pada anak (bayi, balita, dan anak-anak) adalah salah satu masalah yang merupakan
persoalan utama bagi beberapa Negara. Kematian pada anak merupakan refleksi sosial, ekonomi,
kondisi lingkungan, dan kesehatan anak-anak.Selain itu, kematian pada anak juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi populasi yang terkena serangan penyakit. Berbagai upaya dari berbagai
Negara untuk menurunkan angka kematian anak adalah dengan membentuk MDGs ((Millennium
Development Goals) yang terdiri dari delapan gol yang akan dicapai pada tahun 2015, salah satu gol
MDGs adalah mengurangi tingkat kematian anak di bawah lima tahun hingga dua pertiga angka
kelahiran mulai 1990 hingga 2015. Indonesia adalah salah satu Negara yang menyetujui MDGs.
Angka kelahiran dan angka kematian anak di Indonesia masih relatif tinggi, terbukti dengan Indonesia
yang masih jauh dari target MDGs yang diekspektasikan tercapai pada 2015. Banyak faktor yang
harus diperhatikan untuk menurunkan angka kematian anak dalam rangka mencapai MDGs 2015.
Kata kunci : kematian anak, MDG (Millennium Development Goals)
ABSTRACT
Death of children that consist of Infants, Toddlers, and kids is one of the problem that still a
major issue for some countries. Child mortality is a reflection of the social, economic and
environmental conditions of children living including their health care. Besides child mortality also can
be used to identify a population who is attacked by disease. Efforts of some countries in the world to
reduce the mortality rate in children is by shaping the MDGs (Millennium Development Goals) that
consist of eight goals expected in 2015 and one of its goals is to reduce child mortality with a target of
under-five kids mortality, between 1990 and 2015 reaching two per three of its fertility. Indonesia is
one of the countries that agreed to the MDGs. Indonesia birth rates and child mortality rates are quite
high. It reflects that Indonesia is still far from the target of the MDGs which is expected in 2015. There
are many factors that must be tied to reduce child mortality in Indonesia to achieve the MDGs in
2015.
Keywords: Child mortality, MDG (Millennium Development Goals)

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

41

1. PENDAHULUAN

Salah

Sebanyak 189 negara anggota PBB


sepakat

untuk

tujuan

MDGs

adalah

menurunkan angka kematian anak hingga dua

Deklarasi

pertiga. Angka kematian anak yang dimaksud

Milenium Pada Konferensi

dalam MDGs mencakup angka kematian bayi,

Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan

balita, dan anak-anak. Kematian anak balita

Bangsa-Bangsa (PBB) bulan September 2000.

(anak usia di bawah 5 tahun) menjadi penting

Deklarasi ini menghimpun komitmen untuk

karena

menangani

keamanan,

kematian global anak-anak di bawah usia 18

kebebasan

tahun. AKA adalah jumlah anak yang dilahirkan

fundamental dalam satu paket. Dalam konteks

pada tahun tertentu dan meninggal dinyatakan

inilah, negara-negara anggota PBB kemudian

sebagai angka per 1000 kelahiran hidup.

mengadopsi Tujuan Pembangunan Milenium

Kematian anak merefleksikan kondisi sosial,

(Millennium Development Goals atau MDGs)

ekonomi dan lingkungan tempat anak-anak

sebagai kesepakatan bersama.

hidup termasuk perawatan kesehatan mereka.

Pembangunan

mengadopsi

satu

isu

pembangunan,

perdamaian,

hak

asasi

Pemerintah

dan

lebih

dari

90

persen

selaku

Angka kematian anak sering digunakan

Milenium,

untuk mengidentifikasi populasi yang mudah

berkomitmen menjadikan MDGs sebagai salah

atau rentan (vulnerable) terserang penyakit

satu acuan utama dalam penyusunan program

karena data insiden dan prevalen penyakit

pembangunan nasional, dan secara kontinyu

(data morbiditas) sering tidak tersedia dengan

melaporkan posisi pencapaian MDGs sampai

baik (SDKI, 2007). Menurut data, AKA di

dengan tahun 2015. Laporan pencapaian yang

Indonesia

pertama telah dikeluarkan pada tahun 2004

dibandingkan dengan negara lain di kawasan

yang memperlihatkan posisi pencapaian MDGs

ASEAN. Berdasarkan data BKKBN tahun 2012,

dari tahun 1990-2003. Dalam laporan MDGs

Angka Kematian Balita (AKBA) di Indonesia

yang pertama, disampaikan bahwa pencapaian

mencapai 44 per 1.000 kelahiran dan Angka

MDGs di Indonesia bukan merupakan hal yang

Kematian Bayi Indonesia adalah 34/1.000

mudah. Diperlukan kerjasama semua pihak

kelahiran hidup. Sedangkan target MDGs pada

untuk

untuk

tahun 2015 adalah menurunkan AKBA hingga

mencapai tujuan-tujuan MDGs. Selain itu, salah

32/1000 kelahiran hidup dan Angka Kematian

satu permasalahan yang sangat penting dan

Bayi (AKB) sebesar 23 per 1000 kelahiran

perlu

hidup. Oleh karena itu, perlu pengkajian ulang

penandatangan

Indonesia

mencakup

Deklarasi

melakukan

upaya

mendapatkan

bersama

perhatian

adalah

masih

tergolong

mengenai

pencapaian MDGs memerlukan biaya yang

Indonesia dalam mewujudkan target MDGs

sangat besar. Hal ini sesuai dengan hasil kajian

pada poin menurunkan angka kematian anak

yang dilakukan oleh UN Millennium Projects

sebagai upaya prevention, promotion, dan

bahwa pencapaian target MDGs akan sulit

proactive dalam bidang kesehatan masyarakat

dilakukan oleh negara miskin dan berkembang

di Indonesia.

adanya

peningkatan

signifikan dari negara maju.

bantuan

yang

Artikel
mengulas
Indonesia,

42

ilmiah

kinerja

jika

pembiayaan untuk pencapaian MDGs. Upaya

tanpa

efektivitas

tinggi,

ini

efektivitas
khususnya

pemerintah

bertujuan

kinerja

untuk

MDGs

dalam

di

upaya

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

menurunkan

tingkat

kematian

anak

dan

Development

Index

(HDI)

(UNDP,

2001).

kaitannya dengan upaya-upaya prevention,

Ditinjau dari HDI, Indonesia menduduki ranking

promotion,

dan

bidang

109 dari 174 negara (UNDP, 2000), jauh

kesehatan

masyarakat

sebaiknya

tertinggal dari Negara-negara ASEAN lainnya.

proactive

dalam

yang

dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat

Ranking

Indonesia dalam mewujudkan salah satu target

cenderung lebih buruk (tahun 2003 urutan 112

MDGs yaitu menurunkan tingkat kematian

dari

anak.

Indonesia juga menduduki urutan yang tak


dapat

2. PEMBAHASAN
Anak di

Indonesia

indikator

kuat

175

relatif

tak

negara).

beranjak,

Sementara

dibanggakan.

Menurut

bahkan

itu,

data,

AKA

angka

Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih

2.1. Realitas Tingkat Kematian

Tingkat

ini

tergolong tinggi, jika dibandingkan dengan


negara lain di kawasan ASEAN. Berdasarkan

kematian
untuk

pembangunan

anak

menilai

merupakan

tinggi

2010, AKB di

keberhasilan

Indonesia mencapai 31 per 1.000 kelahiran.

suatu

Berikut ini adalah grafik mengenai angka

kesehatan

negara.Semakin

Human Development Report

tingkat

kematian

anak,maka semakin buruk kinerja pencapaian

kematian

bayi

di

Indonesia

dibandingkan

dengan Negara lainnya.

Millenium Development Goals (MDGs) suatu


negara,sementara bila semakin rendah tingkat
kematian anak di suatu Negara,maka semakin
baik kinerja pencapaian Millenium Development
Goals (MDGs) Negara tersebut. Oleh sebab
itu,penurunan tingkat kematian anak menjadi
salah satu dari delapan target utama dalam
pencapaian

Millenium

Development

Goals

(MDGs) 2000-2015.
Sebelum
tentang

tingkat

Indonesia,perlu

Gambar 1. Angka kematian bayi di Indonesia

menganalisis

di

lebih

kematian
ketahui

jauh

anak

terlebih

dahulu

definisi dan perbedaan antara bayi dan anak.


Bayi adalah manusia yang berusia 0 sampai 12
bulan. Anak (anak balita) adalah manusia yang
berusia 1 sampai 5 tahun (BKKBN,2012).
Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian
Anak (AKA), Angka Kematian Bayi (AKB) dan
Angka Harapan Hidup Waktu Lahir (AHH) telah
ditetapkan sebagai indikator derajat kesehatan
dalam Indonesia Sehat 2010 (Depkes, 2003).
AHH bahkan digunakan sebagai salah satu
komponen

untuk

menghitung

dengan negara lainnya (Sumber: WHO, 2005)

di

Human

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Berdasarkan

grafik

di

atas,

dapat

diketahui bahwa AKB di Indonesia lebih tinggi


daripada Negara Muangthai, Filipina, Srilangka,
dan

Malaysia

yaitu

menembus

46/1000

kelahiran hidup pada tahun 2005 (WHO 2005).


Berdasarkan

data

yang

bersumber

dari

Kementerian Kesehatan tahun 2011 angka


kelahiran hidup anak di berbagai provinsi di
tanah air cukup tinggi. Namun, pada

data

Estimasi Angka Kematian Bayi, Balita dan


Angka Harapan Hidup, menunjukkan realitas
yang cukup kontradiktif, bahwa dari angka

43

kelahiran hidup yang relatif tinggi di Indonesia,

sekitar 8.74%. Selain itu, resiko kematian anak

ternyata estimasi tingkat kematian bayi dan

akan meningkat bila keadaan ibu yang terlalu

balita juga cukup tinggi, dimana estimasi

muda (untuk menikah, hamil, dan punya anak),

kematian balita lebih tinggi dari pada estimasi

usia

angka kematian bayi di berbagai provinsi di

kehamilan terlalu sering, dan jarak kehamilan

tanah air. Secara umum, dapat diidentifikasi

terlampau

bahwa angka harapan hidup perkelahiran hidup

keadaan masyarakat seperti pendidikan, sosial

di berbagai provinsi di tanah air, tidak ada yang

ekonomi dan budaya yang belum mumpuni

melebihi proporsi 80%. Artinya, realitas tingkat

dalam mendukung pola hidup sehat, tanggap

kematian anak hingga tahun 2011, secara

persalinan aman dan sehat serta tanggap

internal (33 provinsi di tanah air) di Indonesia

kesehatan bayi dan anak. Kondisi ini erat terkait

masih terbilang tinggi. Padahal program MDGs

dengan

telah berlangsung sejak tahun 2000, namun

kematian ibu dan anak (Depkes, 2004:41).

terlalu

tua

tetapi

dekat,

masih

kondisi

tingginya

ibu

tingkat

produktif,

yang

KEK,

kesakitan

dan

realitas yang terjadi secara internal (tingkat


kematian anak di Indonesia) maupun eksternal

2.2. Keterkaitan

program

MDGs

dengan

(perbandingan tingkat kematian anak dengan

tingkat kematian anak di Indonesia

Negara-negara ASEAN lain) masih belum

periode 2000-2012

menunjukkan tanda-tanda perbaikan, padahal

Seperti

yang

telah

dibahas

program MDGs berjalan kurang lebih hanya

sebelumnya, penurunan tingkat kematian anak

tinggal empat tahun lagi dari 2011 hingga 2015.

menjadi salah satu target utama dari delapan

Menurut

hasil

Riskesdas

2007,

butir

target

yang

hendak

dicapai

dalam

penyebab kematian bayi baru lahir 0-6 hari di

Millenium Development Goals (MDGs) 2000-

Indonesia

2015. Menurut data BKKBN 2010, angka

36,9%,

adalah

gangguan

prematuritas

32,4%,

pernapasan
12%,

kematian bayi, balita, dan neonatal berkurang

hipotermi 6,8%, kelainan darah/ikterus 6,6%

dari tahun ke tahun. Target MDGs adalah

dan lain-lain. Selain itu, penyebab kematian

menurunkan angka kematian anak hingga dua

bayi 7-28 hari adalah sepsis 20,5%, kelainan

pertiga jumlah awal. Di Indonesia, pada tahun

kongenital

15,4%,

1991, angka kematian balita mencapai 91/1000

prematuritas dan BBLR 12,8% serta RDS

kelahiran hidup, sedangkan angka kematian

12,8%. Menurut UNICEF (2001), menurunnya

bayi mencapai 68/1000 kelahiran hidup. Target

kualitas hidup anak pada usia 3 tahun pertama

MDGs,

hidupnya adalah gizi buruk, ibu sering sakit,

menurunkan angka kematian balita hingga

status

dan

32/1000 kelahiran hidup dan angka kematian

diskriminasi gender. Bayi dengan gizi buruk

bayi hingga 23/1000 kelahiran hidup pada

mempunyai resiko 2 kali meninggal dalam 12

tahun 2015. Berikut akan disajikan grafik target

bulan pertama hidupnya. Tingkat bayi gizi buruk

MDGs dalam penurunan tingkat kematian anak

di Indonesia masih terbilang tinggi.

Indonesia dari tahun ke tahun.

18,1%,

kesehatan

Berdasarkan

sepsis

pnumonia

buruk,

BPS,

kemiskinan,

Susenas

khususnya

di

Indonesia

adalah

2001,

prevalensi gizi kurang pada balita Indonesia

44

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

penurunan

tingkat

kematian

anak

pada

program MDGs dengan realitas kematian anak


di

Indonesia

yang

Pemaparan

pada

menjelaskan

dengan

masih
sub

tetap

bab

detail

tinggi.

sebelumnya

bahwa

tingkat

kematian anak Indonesia masih tetap

tinggi

dan program MDGs 2000-2012 belum mampu


menyelesaikan permasalahan kematian anak di
Indonesia.
Beberapa hal yang menjadi penyebab
Gambar 2. Pencapaian Target MDGs Angka

kurang efektifnya program MDGs di Indonesia

Kematian Anak dan Bayi di Indonesia

adalah hasil pelaksanaan MDG di Indonesia

(Sumber: SDKI dan BKKBN 2010)

menunjukkan
Berdasarkan data-data di atas dapat
diidentifikasi
dicanangkan

bahwa

program

berakhir

mentargetkan

pada

penurunan

MDGs

yang

tahun

2015

tingkat

kematian

hingga dua pertiga jumlah awal di akhir


program MDGs pada tahun 2015. Sayangnya,
kemampuan Indonesia untuk merealisasikan
target MDGs juga komitmen promosi kesehatan
sangat diragukan. Sejumlah kalangan secara
terang-terangan

menyatakan

Indonesia

tak

mungkin mencapai target-target MDGs. Data


menunjukkan,
dicanangkan,

hingga

11

pencapaian

tahun

MDGs

Indonesia

atas

sejumlah target masih sangat lambat bahkan


cenderung mundur untuk target tertentu. Dalam
Laporan

Tahunan

Pembangunan

Manusia

(Human Development Report) bertajuk Beyond


Scarcity: Power, Poverty, and the Global Water
Crisis, posisi Indonesia kian anjlok.
Kinerja MDGs di Indonesia yang sudah
berjalan hampir dua belas tahun dari periode
2000 hingga 2012 belum memberikan dampak
positif yang sesuai target secara keseluruhan
dalam menjawab salah satu tujuan MDGs
mengenai masalah penurunan tingkat kematian
anak di Indonesia pada periode 2000-2012.
Artinya tidak terdapat kesesuaian antara target
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

antar

ketidakseimbangan

daerah,

sistem

kemajuan

pelaporan

dan

pengawasan pelaksanaan MDG di Indonesia


harus diperbaiki, sehingga kemajuan yang ada
bisa dipantau dengan baik dan dievaluasi.
Selain itu, terdapat tantangan yang berat untuk
mencapai target-target MDG di Indonesia, hal
ini salah satunya disebabkan karena terjadi
banyak

bencana alam yang menimbulkan

kerusakan

fasilitas

umum

seperti

gedung

sekolah, sarana kesehatan, sarana sanitasi,


lahan pertanian, pabrik dan pasar. Kejadian
tersebut

akan

menyebabkan

kemunduran

kualitas kehidupan masyarakat dalam bidang


ekonomi, sosial, pendidikan dan kesehatan.
Oleh

karena

itu

pemerintah

harus

lebih

memberikan dukungan kepada masyarakat


untuk membangun kembali sarana yang rusak.
Masih

diperlukannya

sistem

pendidikan

peningkatan
nasional,

kualitas

penambahan

tenaga kerja bidang kesehatan, peningkatan


kualitas tenaga kerja bidang kesehatan dan
penyebarannya, pengaturan laju pertumbuhan
penduduk dan pemberdayaan perempuan di
segala bidang kehidupan. Dukungan yang tidak
kalah penting adalah alokasi anggaran yang
mencukupi dalam APBN untuk melaksanakan
program-program pendukung.

45

Pencapaian target-target MDG harus


diselaraskan

dengan

tujuan

Pembangunan

sebagai

perbandingan

dalam

segi

angka

kematian anak.

Nasional Indonesia. Hal ini akan bisa dilakukan

Berbeda halnya dengan di Indonesia,

apabila ada dukungan dari pemerintah sebagai

tingkat kematian anak di Singapura tergolong

lembaga eksekutif pelaksana pemerintahan

cukup rendah. Berdasarkan Singapore and the

dengan DPR sebagai lembaga legislatif yang

Provision of Medical Services for the Region,

membuat

tingkat

acuan

untuk

terlaksananya

kematian

bayi

di

Singapura

pembangunan Indonesia dengan baik. Dalam

menunjukkan hasil yang positif yaitu sebesar 5

era otonomi daerah ini, pemerintah pusat harus

per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1995

mampu

sampai tahun 1999. Singapura telah berhasil

memberikan

tanggung

jawab

arahan

yang

dan

jelas,

batasan
sehingga

mencapai

target

program

MDGs

pelayanan kepada masyarakat bisa diperbaiki.

menurunkan

Pemerintah daerah, meliputi Kepala Daerah

dibandingkan dengan Indonesia. Pembenaran

Tingkat I dan II serta DPRD harus membuat

bahwa Singapura merupakan negara yang

suatu kemitraan kerja yang sinergis

dan

paling berhasil dalam mewujudkan program

pengawasan yang lebih baik terhadap program

kesehatan masyarakatnya telah terbukti. Hal ini

kerja pemerintah. Untuk mencapai target-target

disebabkan oleh pemerintah Singapura telah

MDGs, pemerintah harus tetap berkomitmen

menjadikan

untuk melaksanakan MDGs sebagai acuan.

kesehatan masyarakat sebagai salah satu

Pemerintah juga harus mampu mendorong,

fokus

memberikan motivasi kepada seluruh rakyat,

Pernyataan ini telah dibuktikan dengan adanya

agar

penyisihan GDP yang dilakukan oleh Singapura

bersama-sama

menerapkan

program

MDGs demi kesejahteraan rakyat.

dan

utama

sebesar

tingkat kematian

dalam

3%

anak

menggiatkan

negara

untuk

sejak

jika

program

tahun

program

1989.

kesehatan

masyarakat. Oleh karena itu, adanya program


2.3. Perbandingan Efektivitas Kinerja MDGs

MDGs yang diikuti oleh negara-negara di dunia

Indonesia dengan Singapura Terkait

untuk

dengan Tingkat Kematian Anak

semakin membantu Singapura dalam upaya

Menurut data BKKBN tahun 2012,

menurunkan

mewujudkan

tingkat

pembangunan

kematian

manusia

anak

yang

angka kematian bayi dan anak di Indonesia

sehat, adil, dan sejahtera. Sementara itu,

mengalami penurunan secara berturut-turut

program

sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup dan 44

Indonesia

per 1000 kelahiran hidup. Penurunan ini belum

optimal.

menunjukkan

memberikan

hasil

oleh
yang

lainnya,

disinyalir tidak memberikan pengaruh yang

khususnya di kawasan ASEAN. Seperti yang

nyata bagi Indonesia. Hal ini disebabkan oleh

kita ketahui, angka kematian bayi dan anak di

tingkat kematian anak dan bayi di Indonesia

Indonesia masih tergolong cukup tinggi. Salah

masih tergolong tinggi. Faktor penyebab yang

satu Negara ASEAN yang memiliki angka

perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah

kematian anak relatif rendah adalah Singapura.

Pemerintah

Oleh karena itu, pemaparan di bawah ini

menyelaraskan target-target MDGs dengan

negara-negara

berarti

dilaksanakan

Ada atau tidaknya program MDGs

46

yang

belum

yang

jika

dibandingkan

dampak

MDGs

Indonesia

belum

mampu

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

tujuan pembangunan nasional serta belum

penurunan menjadi 34 per 1000 kelahiran hidup

mampu

kesehatan

pada tahun 2007. Demikian pula dengan angka

sebagai fokus utama negara seperti yang

kematian balita menurun dari 97 per 1000

dilakukan oleh Singapura. Hal ini terbukti dari

kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi 44

masih banyak masyarakat yang belum melek

per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007.

akan

Angka kematian neonatal juga menurun secara

menjadikan

pentingnya

akses

layanan

beberapa

kesehatan,

kesehatan

daerah,

memperoleh

program

keterbatasan

yang

layak

keterbatasan

asupan

gizi

yang

di

perlahan dari 32 per 1000 kelahiran hidup pada

dalam

tahun 1991 menjadi 19 per 1000 kelahiran

dan

hidup pada tahun 2007. Melihat data tersebut,

baik

seimbang, penggunaan dukun dalam proses

target

persalinan dan penyembuhan penyakit, serta

kematian bayi sebesar 23 per 1000 kelahiran

kondisi lingkungan yang tidak mendukung,

hidup, angka kematian balita sebesar 32 per

seperti sanitasi yang buruk, sampah, dan

1000 kelahiran hidup, dan menurunnya angka

polusi. Melihat keberhasilan Singapura dalam

kematian

mencapai target MDGs, pemerintah kita perlu

Indonesia.

membenahi sektor-sektor yang mendukung


program

kesehatan

masyarakat.

Berbagai

MDGs

tahun

neonatal

Namun,
pencapaian

2015

dapat

perlu

target

berupa

angka

dicapai

oleh

disadari

program

bahwa

MDGs

2015

penyuluhan kesehatan, layanan kesehatan, dan

tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

pelatihan

perlu

Berbagai kendala dan tantangan masih harus

digiatkan kembali dan dilakukan di seluruh

dihadapi dan diwaspadai oleh pemerintah

pelosok

demikian,

dalam upaya menurunkan tingkat kematian

masyarakat mulai menyadari dan menerapkan

anak. Secara faktual, keterbatasan ekonomi

perilaku hidup sehat di masing-masing rumah

masyarakat untuk asupan gizi yang baik dan

tangga, sehingga harapan Indonesia akan

seimbang,

tercapainya target MDGs untuk dalam waktu

terhadap pelayanan kesehatan yang baik,

kurang lebih 3 tahun mendatang

rendahnya

tenaga-tenaga

tanah

air.

kesehatan

Dengan

dapat

terealisasikan.

keterbatasan

tingkat

akses

masyarakat

pengetahuan

serta

kesadaran akan pentingnya kesehatan anak


menjadi agenda penting bagi pemerintah dalam

2.4. Penyempurnaan

Program

MDGs

di

Indonesia Periode 2012-2015


Pelaksanaan
Indonesia

hingga

dikatakan

belum

program
sampai

MDGs

saat

mencapai

di

ini

dapat

hasil

yang

mewujudkan

pembangunan

sehat

sejahtera.

dan

manusia

yang

Menurut

laporan

pencapaian tujuan pembangunan

milenium

Indonesia tahun 2010, tantangan yang dihadapi


dalam

pelaksanaan

program

menurunkan

maksimal. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya

tingkat kematian anak di Indonesia adalah:

angka kematian bayi dan anak yang masih

1. Pelaksanaan

tinggi dibandingkan negara-negara

ASEAN

program

imunisasi

untuk

masyarakat masih belum maksimal. Hal ini

lainnya. Menurut laporan pencapaian tujuan

disebabkan

pembangunan milenium Indonesia tahun 2010,

pengawasan program, kecukupan anggaran

angka kematian bayi pada tahun 1991 sebesar

untuk program imunisasi, intervensi program

68

berbasis fakta menuju universal coverage,

per

1000

kelahiran

hidup

mengalami

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

oleh

belum

memadainya

47

serta perencanaan yang strategis untuk

kesehatan, penguatan struktur manajemen

program imunisasi.

di tingkat pusat dan daerah, menjamin

2. Belum

optimalnya

deteksi

dini

dan

ketersediaan obat esensial, pelaksanaan

perawatan segera bagi balita sakit atau

MTBS di tingkat keluarga dan masyarakat,

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).

serta

Dalam hal ini, sekitar 35-60 persen anak-

kepada para ibu.

anak yang sakit tidak dapat mengakses

pemberian

penyuluhan

kesehatan

3. Menangani permasalahan gizi pada anak,

layanan kesehatan yang baik dan sebanyak

melalui

40 persen anak-anak tidak terlindungi dari

eksklusif, pemberian makanan tambahan,

penyakit yang dapat dicegah.

pemantauan tumbuh kembang anak, serta

3. Upaya perbaikan gizi untuk anak masih


rendah dan memerlukan asupan gizi dengan
biaya yang terjangkau bagi masyarakat.

peningkatan

pemberian

ASI

intervensi gizi mikro.


4. Menerapkan strategi kesehatan anak pada
tingkat keluarga dan masyarakat, seperti

4. Rendahnya pengetahuan dan kesadaran

memberikan imunisasi lengkap kepada anak

para ibu untuk memperhatikan kesehatan

sebelum berusia satu tahun, melindungi

anak.

anak-anak

5. Kurangnya kesadaran

masyarakat akan

dengan

di

daerah

kelambu

endemis

malaria

berinsektisida,

serta

pentingnya kesehatan lingkungan, seperti

perawatan secara intensif kepada anak

air bersih, sanitasi, polusi udara, dan

yang menderita infeksi.

sampah.

5. Menerapkan dan meningkatkan perilaku

6. Keterbatasan masyarakat dalam mengakses


pelayanan kesehatan yang layak.

hidup bersih dan sehat di tingkat rumah


tangga.

Oleh karena itu, integrasi yang sinergis

6. Meningkatkan
neonatal

pihak layanan kesehatan sangat diperlukan

strategi kelangsungan hidup untuk bayi baru

dalam pencapaian target MDGs kurang lebih

lahir dan anak-anak, pelayanan emergensi

dalam 3 tahun terakhir. Intervensi-intervensi

obstetrik

terhadap layanan kesehatan perlu ditingkatkan

petugas kesehatan untuk mempromosikan

agar penurunan tingkat kematian anak di

praktek

Indonesia

vaksinasi dan pemberian suplemen zat besi.

memberikan

hasil

yang

optimal. Berbagai upaya yang dapat dilakukan,

dan

ibu,

kesehatan

di antara pemerintah, masyarakat, dan pihak-

dapat

dan

pelayanan
meliputi

neonatal,

persalinan

7. Memperkuat dan

penerapan

pelatihan

yang

aman,

bagi

serta

meningkatkan kualitas

di antaranya adalah :

layanan kesehatan, seperti mempromosikan

1. Meningkatkan cakupan imunisasi campak,

pelayanan kesehatan dasar dan revitalisasi

melalui penyediaan sumber daya yang

posyandu, peningkatan fasilitas pelayanan

memadai dan memperjelas peran serta

kesehatan di pusat dan daerah, serta

pemerintah

menjamin tersedianya biaya operasional

pusat

dan

daerah

dalam

pelaksanaan program imunisasi.


2. Meningkatkan

pelaksanaan

kesehatan
program

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS),


melalui

48

pelatihan

MTBS

bagi

petugas

untuk

rumah

sakit

dan

puskesmas.
8. Meningkatkan

pemantauan

terhadap

tumbuh kembang anak serta status gizi bayi

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

dan balita melalui penimbangan bulanan,

menyelaraskan target-target MDGs dengan

pemberian imunisasi lengkap, dan layanan

tujuan pembangunan nasional serta belum

kesehatan lainnya.

mampu

9. Meningkatkan

advokasi

kebijakan

bagi

daerah dengan tingkat target kesehatan


anak

yang

masih

rendah,

masyarakat

khususnya

miskin,

kemampuan

tenaga

kesehatan

sebagai fokus utama negara seperti yang


dilakukan oleh Singapura.

4. SARAN

peningkatan penyediaan anggaran publik


kesehatan

program

melalui

pengalokasian sumber daya yang memadai,

untuk

menjadikan

Dalam rangka mewujudkan pencapaian

bagi

target MDGs khususnya penurunan angka

peningkatan

kematian anak, sangat diperlukan integrasi

kesehatan,

serta

yang

sinergis

di

pemerintah,

menjamin ketersediaan tenaga kesehatan di

masyarakat,

seluruh daerah.

kesehatan sangat diperlukan dalam kurang

10. Memadukan strategi lintas sektor untuk

lebih

dalam

dan

antara

pihak-pihak

tahun

terakhir.

layanan

Intervensi-

mempercepat pencapaian target penurunan

intervensi terhadap layanan kesehatan perlu

angka kematian bayi, balita, dan neonatal.

ditingkatkan agar penurunan tingkat kematian


anak di Indonesia dapat memberikan hasil yang

Dengan demikian, komitmen Indonesia


dalam mewujudkan pembangunan manusia
yang sehat, adil, dan sejahtera dari segi
preventive, promotion, dan proactive bidang
kesehatan masyarakat dapat terwujud di tahun

optimal.

Kegiatan-kegiatan

bersifat

pencegahan penyakit, promosi kesehatan, dan


kegiatan proaktif dalam bidang kesehatan
masyarakat perlu ditingkatkan dalam upaya
menyukseskan
menurunkan

2015.

yang

salah
angka

satu

target

kematian

MDGs,

anak

di

Indonesia.
3. KESIMPULAN
Indonesia

DAFTAR REFERENSI
merupakan

salah

satu

[1]

negara penandatangan MGDs pada September


2000 dimana salah satu dari tujuannya di tahun
2015 adalah menurunkan angka kematian anak
hingga dua pertiga. Pencapaian yang telah
dicapai

oleh

menunjukkan

negara
hal

yang

Indonesia
positif

[2]

tidak

dalam

arti

mendekati tujuan MDGs pada tahun 2015

[3]

dimana Singapura sebagai negara satu rumpun


dengan Indonesia dan negara pembanding
memilki tingkat perubahan MDGs pada tujuan

[4]

menurunkan angka kematian anak lebih besar


dibandanding Indonesia. Faktor penyebab yang
perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah
Pemerintah

Indonesia

belum

mampu

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

[5]

[Departemen Kesehatan]. 2011. Laporan


Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia
tahun
2010.
gizi.depkes.go.id/wpcontent/uploads/2011/10/lap-pembmilenium-ind-2010.pdf . [25 November
2012].
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. 2010. Riset Kesehatan Dasar
2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
BAPENAS. 2010. Laporan Pencapaian
Tujuan
Pembangunan
Milenium
di
Indonesia 2010. Jakarta : Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional.
BKKBN. 2012. Angka Kematian Balita
(AKBA) di Indonesia. [terhubung berkala].
http://dkijakarta.bkkbn.go.id.
[25
November 2012].
Goedady, Ardy. 2012. Kebijakan dan
Strategi Program Kesehatan Reproduksi
Tahun 2012. Balikpapan: BKKBN.

49

[6]

KEMENKES RI. 2011. Profil Data


Kesehatan Indonesia Tahun 2011.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
[7] SDKI. 2007. Angka Kematian Anak dan
Bayi di Indonesia. [terhububung berkala].
tebokab.bps.go.id/index.php/sdki.
[25
November 2012].
[8] SUSENAS. 2001. Prevalensi gizi kurang
balita Indonesia. [terhubung berkala].
www.bps.go.id. [25 November 2012].
[9] UNDP. 2001. Human Development Index
(HDI).
[terhububung
berkala].
www.undp.or.id/. [24 November 2012].
[10] UNICEF. 2001. Kualitas Hidup Anak.
[terhubung
berkala].
www.unicef.org/indonesia/id/index.html.
[25 November 2012].
[11] WHO. 2005. Angka kematian anak di
Indonesia.
[terhubung
berkala].
www.who.or.id/ind/index.asp.
[24
November 2012].

50

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Advertorial

GENETIK, OBESITAS, DAN TEORI RELATIVITAS


BERAT BADAN
1

Andi Imam Arundhana , Asry Dwi Muqni


1
2

Magister Kesehatan Masyarakat, FK UGM


Magister Kesehatan Masyarakat, FKM UNHAS

ABSTRAK
ABSTRAK
Saat ini obesitas merupakan masalah kesehatan paling global yang dihadapi oleh negaranegara maju dan berkembang. Seratus juta orang di seluruh dunia telah mengalami obesitas dan
banyak lagi yang berpotensi mengalami obesitas tersebut. Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan
antara asupan dan pengeluaran energi yang dihasilkan dari kebiasaan dan mekanisme fisiologi.
Variabel-variabel yang diketahui menyebabkan terjadinya obesitas, yaitu faktor lingkungan, faktor
genetik, serta interaksi keduanya. Perubahan perilaku dan kondisi fisiologis menyebabkan
ketidakseimbangan energi dan berimplikasi pada pengaturan berat badan. Teori terbaru telah
dikembangkan untuk menjelaskan interaksi antara genetik, lingkungan, dan pengaturan berat badan.
Misalnya, teori gen thrifty, set point, dan settling point telah menjadi perdebatan tentang topik ini. Ada
perbedaan mendasar antara teori-teori ini, namun semua itu dapat menjelaskan bahwa pengaruh
regulasi genetik dan lingkungan yang mempengaruhi berat badan dan obesitas. Baik di teori set point
dan settling point, kehadiran sistem kontrol fisiologis dan perilaku memainkan kunci penting untuk
memahami teori relativitas berat badan .
Kata kunci: lingkungan obesigenik, gen, obesitas, berat badan, ketidakseimbangan energi

ABSTRACT
Currently obesity is the most global health issue that faced by developed and developing
countries. A Hundred millions of people around the world have been obese, and many more who
could potentially experience. Obesity occurs because of imbalance between energy intake and
expenditure generated from the habits and physiology mechanism. At least, these variables are known
to occur due to environmental factors, genetic factors, as well as interaction both of them. Changing in
behavior and physiological condition leading to energy imbalance and implies to body weight
regulation. Recent theories have been developed to elucidate the interaction of genetic,
environmental, and body weight regulation. For example, the theory of thrifty genes, set point, and the
settling point has become debate concerning this topic. There are fundamental differences between
these theories, but all of it can explain the genetic and environmental that influences regulation of
body weight and obesity. Both in set point and settling point theory, the presence of physiological
control systems and behavior plays important key to understanding theory of relativity body weight.
Keyword: obesigenic environment, gene, obesity, body weight, imbalance energy

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

51

1. PENDAHULUAN

berkaitan

Tidak diragukan lagi obesitas kini


menjadi

masalah

faktor-faktor

determinan

yang dapat diubah seperti diet dan perilaku.

negara-negara

Beberapa peneliti menyimpulkan jika obesitas

berkembang, khususnya Indonesia. Jika saat

dan penyakit-penyakit kronik merupakan hasil

ini di negara-negara maju telah bersiap

dari interaksi gen dan lingkungan.

memerangi

epidemi

berkembang

justru

serius

dengan

obesitas,
panik

di

negara

Prinsip

dasar

3,4

terjadinya

obesitas

menghadapi

adalah ketidakseimbangan energi. Faktor yang

perkembangan obesitas. Obesitas menambah

dapat diubah-penurunan aktivitas fisik disertai

beban negara-negara berkembang yang saat

peningkatan

ini juga sedang fokus menanggulangi masalah

bertanggungjawab terhadap kejadian obesitas.

kurang gizi. Obesitas dapat pula dikatakan

Akan

sebagai penyakit, sama seperti penyakit-

memahami peran genetik terhadap obesitas.

penyakit

(hipertensi,

Mengapa demikian? Setiap individu memiliki

diabetes, stroke, jantung). Layaknya penyakit

variasi genetika yang berbeda-beda, dan

metabolik

terdapat

metabolik

tersebut,

lainnya

obesitas

dapat

pula

asupan

tetapi

juga

energi-

sangat

beberapa

mungkin

penting

gen-gen

dari

untuk

individu

menjadi penyebab kematian dan komplikasi

merupakan faktor penting dari kerentanan

penyakit. Secara jelas WHO mendefinisikan

terhadap obesitas. Telah diketahui bersama

bahwa obesitas merupakan kelebihan lemak

bahwa seseorang yang memiliki riwayat orang

tubuh yang tersimpan di dalam jaringan

tuanya obes akan meningkatkan risiko menjadi

lemak/adiposa dan menimbulkan masalah

obes pula. Tetapi tidak selalu seperti itu,

kesehatan.

dikarenakan obesitas timbul sebagai akibat

Faktor-faktor
terdiri

dari

modifiable

determinan

modifiable
factor.

factor
Faktro

obesitas
dan

dari multifaktor. Maka tidak heran jika ada

non-

orang yang meskipun orang tuanya obes dan

modifiable

orang tersebut obesitas, ada juga yang

merupakan faktor yang dapat diubah atau

sebaliknya.

diberikan

Seperti

dikembangkan untuk menjelaskan keterkaitan

misalnya lingkungan, sosial ekonomi, dan

genetik, berat badan dan obesitas misalnya

gaya hidup. Kemudian faktor non-modifiable

teori gen thrifty atau teori tentang relativitas

termasuk di dalamnya genetika, jenis kelamin,

berat badan.

intervensi

terhadapnya.

Teori-teori

terkini

telah

dan usia merupakan faktor determinan yang


tidak dapat diubah. Dalam perkembangan

2. PEMBAHASAN

obesitas, sekitar 80-85% dipengaruhi oleh

2.1. Obesitas: Faktor Genetik vs Faktor

faktor-faktor

yang

dapat

dimodifikasi,

Lingkungan

sedangkan hanya 15-20% dijelaskan oleh

Menurut etiologinya, obesitas terjadi

faktor genetik. Meskipun demikian, peran

ketika

genetik dalam memberi kontribusi terhadap

dibandingkan

kejadian obesitas tidak sepenuhnya fixed.

dicermati secara sekilas, mungkin terlihat

Karena ternyata meskipun jalur genetik yang

sederhana.

menyebabkan

dapat

sebenarnya merupakan outcome dari proses

dijelaskan, tetapi diprediksi sedikit banyak

yang begitu kompleks yang berkaitan dengan

52

obesitas

belum

asupan

energi

energi

Meskipun

kronik

yang

berlebih

keluar.

demikian,

Jika

obesitas

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

sistem metabolik dan sistem endokrin manusia


dalam mempengaruhi keseimbangan energi.

menyimpulkan
memiliki

bahwa,

anggota

seseorang

keluarga

obes

meningkatkan

pada individu yang ternyata juga memberi

dibandingkan yang tidak memiliki anggota

kontribusi terhadap kejadian obesitas, yaitu

keluarga obes meskipun pola makan dan

genetik. Secara umum, genetik mempengaruhi

aktivitas yang sama. Menurut Mayer,

berat badan dan komposisi tubuh sesorang

kedua orang tua obes maka kemungkinan

melalui

80% keturunannya akan obes pula.

makan,

asupan

energi,

istirahat,

pengeluaran

energi

obesitas

pemilihan rasa, energi yang dikeluarkan pada


saat

terjadinya

akan

Selain itu, masih terdapat satu komponen

nafsu

risiko

yang

11

jika

Lebih lanjut, dilakukan studi tentang

untuk

faktor genetik dan faktor lingkungan terhadap

mencerna makanan, dan efisiensi tubuh dalam

berat badan. Karena ternyata antara faktor

genetik dan lingkungan saling berkaitan satu

menyimpan energi yang tidak digunakan.

Meskipun telah diketahui secara teori peran

sama

lain,

dan

interaksi

tersebut

genetik terhadap berat badan, tetapi masih

meningkatkan

risiko

terjadinya

obesitas.

sangat sulit untuk mendapatkan fakta-fakta

Beberapa studi menunjukkan bahwa obesitas

yang kuat bahwa obesitas dipengaruhi oleh

menjadi rentan disebabkan oleh genetik ketika

genetik.

masih

individu tersebut memiliki riwayat keluarga

dianggap sebagai faktor yang memainkan

obes dan berada pada lingkungan yang

peran penting terhadap etiologi obesitas.

kondusif. Dengan kata lain, individu yang

Karena

faktor

lingkungan

Terdapat substrat dari genetik yang


berinteraksi

dengan

faktor

lingkungan
9

secara genetik rentan obes lalu berada di


lingkungan

Obesigenic

terhadap perkembangan obesitas. Beberapa

environment/westernized

studi pada keluarga sebagai subjek penelitian

memiliki risiko menjadi obes lebih besar lagi.

menemukan bahwa obesitas dipengaruhi oleh

Yang

keluarga,

sulit

misalnya konsumsi junk food, makanan tinggi

membedakan apakah itu disebabkan oleh

lemak dan kalori, dan kemudahan teknologi

lingkungan ataukah genetik. Atas dasar hal

yang

tetapi

masih

sangat

termasuk

Obesigenic

menyebabkan
13

society

akan
12

environment

seseorang

kurang

tersebut, dilakukan penelitian di Denmark

aktivitas fisik.

untuk memisahkan pengaruh faktor lingkungan

dipengaruhi oleh genetik dan lingkingan. Jika

dan

tersebut

genetik lebih banyak mempengaruhi fisiolgi,

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan

maka lingkungan lebih menentukan perilaku

antara indeks massa tubuh (IMT) dari orang

individu. Hierarki kasual antara genetik dan

tua yang mengadopsi dengan anak-anak

lingkungan terhadap keseimbangan energi

mereka. Hasil lainnya menunjukkan trend

dapat dilihat pada gambar 1.

genetik.

peningkatan
kandung.

10

memiliki

Hasil

IMT

penelitian

anak

dari

orang

Keseimbangan energi itu

tua

Kesimpulannya bahwa keturunan


peran

penting

pada

risiko

perkembangan obesitas. Suatu studi dilakukan


untuk mengungkap efek genetik versus efek
lingkungan

terhadap

berat

badan

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

53

2.2. Teori Relativitas Berat Badan


2.2.1. Teori Gen Thrifty
Saat

ini

banyak

teori

yang

mengungkapkan determinasi faktor genetik


terhadap perkembangangan obesitas, salah
satunya yaitu gen thrifty. Teori tentang gen
thrifty ini pertama kali dikembangkan oleh Neel
pada tahun 1962, yang menyebutkan bahwa
diabetes dan obesitas secara alami diturunkan
oleh nenek moyang kita melalui suatu gen
Gambar 1. Hubungan antara genetik, efek

yaitu thrifty gene. Gen ini dianggap sangat

lingkungan, fisiologi, dan keseimbangan energi

efisien dalam penyimpanan lemak ketika


asupan energi dan lemak dari makanan

Meskipun

seseorang

tinggal

di

berlebih.

18

Neel juga berhipotesis

bahwa

lingkungan yang sama, tetapi tidak semuanya

aktivitasi dari gen ini sangat dipengaruhi oleh

menjadi obes, karena pada individu terdapat

lingkungan. Neel beranggapan, secara historis

perbedaan kebiasaan dan fisiologis tubuh

gen ini bersifat menguntungkan bagi kaum

yang

sangat

primitif yang tidak pernah terpapar oleh

mempengaruhi faktor fisiologis individu, dan

makanan-makanan dalam periode waktu yang

sedikit

dengan

singkat, tetapi sangat merugikan di dunia yang

behavior. Pandangan alternatif yang muncul

serba moderen ini atau lingkungan modern

bahwa perbedaan perilaku memiliki pengaruh

(modernized environment). Bagi kaum primitif,

yang besar dari komponen genetik. Ketika

karena pada dasarnya mereka lebih aktif

berada

sama,

bergerak, sehingga energi ekspenditurnya

mengembangkan

tinggi. Jadi, gen thrifty bagi mereka membuat

obesitas karena setting-an genetik mereka

kondisi berat badan mereka lebih ramping

sedemikian rupa, sehingga mereka lebih

atau justru normal. Karena meskipun dalam

cenderung mengadopsi perilaku atau fisiologi

kondisi makanan yang tidak berlimpah, selama

(tingkat metabolisme istirahat yang rendah)

masih ada asupan makanan maka tetap

yang

efisien

berbeda-beda.

banyak

juga

dalam

beberapa

Genetik

berkaitan

lingkungan

orang

lebih

yang

membawa

mereka

ke

ketidakseimbangan

energi.

4,14

dalam

menyimpan

energi

yang

tidak

Dampak

digunakan. Sebaliknya bagi individu yang

kemajuan industrilisasi dan teknologi berakibat

hidup di lingkungan modern, suplai makanan

pada

senantiasa

penurunan

aktivitas

fisik

harian,

sehingga menyebabkan semakin menurunnya


energi

yang

dikeluarkan

sehari-hari.

15

tersedia,

aktivitas

berkurang,

sehingga energi yang dikeluarkan juga sedikit,


maka gen thrifty ini menjadi aktif dan

Beberapa peneliti juga berpendapat bahwa,

meningkatkan efisiensi penyimpanan lemak,

berat badan dan penyimpanan energi (dalam

akibatnya adalah obesitas.

bentuk trigliserida) dalam jaringan adiposa


ditentukan

oleh

interaksi

lingkungan, dan psikososial.


54

faktor

genetik,

18

Selama kurang lebih 50 tahun sejak


dikembangkannya hipotesis gen thrifty ini,

16,17

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

tidak

terlalu

banyak

mengungkapkan

bukti

penelitian
empiris

yang

dari

teori

Menurut Sims dan Horton

19

bahwa

seseorang yang mengalami penurunan berat

tersebut. Memang tidak dipungkiri lagi bahwa

badan

obesitas juga ditentukan oleh genetik, akan

mendapatkan kembali berat badan yang hilang

tetapi sangat sulit membuktikannya karena; 1)

itu dengan cepat pada saat kondisi negatif

kecenderungan anak menjadi obes yang

keseimbangan energi terjadi. Kondisi negatif

diwarisi dari orang tua yang obes sangat kecil

keseimbangan energi adalah suatu kondisi

yakni tidak lebih dari 20%; 2) saat ini obesitas

tidak terjadinya keseimbangan energi pada

lebih cenderung dikaitkan dengan perilaku dan

siklus metabolisme. Orang yang mengalami

bahkan

penurunan berat badan secara ekstrim berarti

mekanisme

dibandingkan

genetik;

sistem
3)

endokrin
lingkungan

karena

mengalami

kondisi

kondisi

tertentu

negatif

akan

keseimbangan

mendominasi faktor genetik, dan faktor ini baru

energi, akibatnya tubuh memerlukan asupan

akan aktif ketika berada di lingkungan yang

energi yang juga ekstrim.

kondusif

(obesigenic).

menurut

kenaikan berat badan yang signifikan dan

Speakman,

untuk

secara cepat mendekati kondisi awal sebelum

sudah

Bahkan
saatnya

15

Dampaknya terjadi

20

meninggalkan pembahasan tentang ini, dan

terjadi penurunan berat badan.

Kondisi

fokus terhadap faktor-faktor yang dapat diubah

demikianlah yang terjadi pada orang yang

(modifiable).

melakukan diet ketat, cenderung program diet


ketat tersebut tidak berhasil dan ketika berat

2.2.2. Teori Set Point

badan telah turun secara ekstrim, sangat

Dasar dari teori set point ini adalah


mengenali bahwa setiap inidvidu itu cenderung

berpotensi untuk kembali ke keadaan semula.


Teori inilah yang disebut dengan set point.

memiliki kestabilan berat badan dan akan

Observasi ini telah dilakukan oleh

bertahan selama periode tertentu yang cukup

beberapa peneliti yang menemukan bahwa

lama. Misalnya, pada waktu SMA dulu, kita

konsep set point berat badan, seperti konsep

cenderung merasakan berat badan kita tidak

sistem

naik dan tidak turun, tetapi tetap pada kisaran

diprogram untuk menahan berat badan utama

tertentu. Contoh lain, pada saat kita merasa

(kisaran berat badan pada kondisi individu

nafsu makan kuat dan makan dalam kuantitas

saat

berlebih atau sebaliknya sangat malas makan,

melakukan studi eksperimen pada hewan

memang

badan

berhasil menunjukkan bukti bertahannya berat

secara spontan, akan tetapi sifatnya relatif

badan tertentu meskipun terjadi defisit ataupun

sementara dan kembali lagi bertahan pada

surplus energi. Akan tetapi, bukan berarti

kisaran

kondisi

dengan adanya set point ini berat badan kita

tidak akan terjadi perubahan. Pada dasarnya,

Meskipun terjadi penurunan berat badan

untuk mengubah set point dari berat badan,

ketika makan sedikit, namun hal itu tidak

perubahan pada mekanisme dasar sistem

cukup signifikan untuk bertahan dan akan

saraf pusat (CNS) yang mengatur asupan

kembali pada kondisi awal sebelum penurunan

energi yang masuk dan keluar diperlukan.

berat badan terjadi.

Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan

terjadi

yang

awal/sebelumnya

perubahan

sama

berat

dengan

(starting

condition).

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

keseimbangan

itu).

Keesey

dan

energi,

Corbett

memang

21

juga

22

55

pada hewan dengan merusak hipotalamus

Model settling point dapat memberikan

ventromedial di otak yang kemudian dikenal

keterangan yang cukup meyakinkan untuk

sebagai pusat rasa kenyang menyebabkan

banyak fenomena, sedangkan model set point

hewan tersebut overeating dan mencapai

tidak dapat menjelaskan. Pada settling point,

berat badan baru yang lebih berat (sebagai set

peningkatan prevalensi obesitas dijelaskan

point baru). Alternatif lain yaitu merusak

sebagai

hipotalamus lateral yang juga disebut sebagai

ketersediaan makanan atau eksposur yang

pusat makan, menghasilkan intake makan

lebih besar terhadap isyarat makanan (yaitu

berkurang, kehilangan berat badan, dan berat

asupan makanan tinggi) atau pergeseran

badan baru yang lebih ringan (juga sebagai

penurunan kebutuhan dari penurunan aktivitas

set point baru) .

konsekuensi

dari

peningkatan

fisik. Model settling point lebih didasarkan

Hasil dari teori set point menyatakan

pada efek dari faktor-faktor sosial, gizi dan

bahwa umpan balik dari homeostatis tubuh

lingkungan. Settling point dipengaruhi oleh

yaitu mengendalikan penyimpanan lemak. Jadi

perbedaan fisiologi, psikologi, dan kondisi

ketika tubuh mencapai kondisi homeostatis,

lingkungan

maka penyimpanan lemak juga tidak akan

penurunan tingkat aktivitas fisik mendorong

berubah, begitu pula dengan berat badan.

terjadinya ketidakseimbangan energi, berat

Dengan

badan menjadi meningkat.

kata

lain,

teori

set

point

ini

menyangkut regulasi metabolik dari berat


20

badan.

individu.

Sebagai

23

contoh,

Namun demikian,

kita tahu bahwa genotip hanya dapat bekerja

Hal ini didukung oleh penelitian pada

dalam konteks lingkungan, dan lingkungan

tahun 1989 oleh Elliot terhadap 7 wanita obes.

memiliki efek yang bergantung pada genotip.

Subjek diberikan perlakuan berupa metode

Oleh karena itu, dapat dikatakan teori settling

puasa yang dimodifikasi selama 8 minggu.

point ini lebih dapat menjelaskan pengaturan

Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa

berat badan sebagai implikasi dari interaksi

tidak terjadi perubahan berat badan pada

genetik dan lingkungan dibandingkan teori set

subjek penelitian, dan cenderung stabil pada

point.

kisaran berat sebelum intervensi.

12

20

3. KESIMPULAN
2.2.3. Teori Settling Point

Sebagai kesimpulan, bahwa genetik

Berkebalikan dari teori set point yang

dan lingkungan sangat sulit untuk dievaluasi

menyatakan bahwa berat badan cenderung

secara terpisah, karena terdapat interaksi

berada dalam kondisi stabil/konstan, dalam

antara

settling point, terdapat sedikit pengaturan aktif

lingkungan dan berimplikasi pada perilaku dan

dari berat badan. Terlihat bahwa berat badan

fisiologis tubuh. Pada akhirnya, perilaku dan

yang stabil pada dasarnya hasil dari keadaan

kondisi

stabil yang ditentukan oleh faktor lingkungan,

mempengaruhi regulasi keseimbangan energi

seperti diet dan gaya hidup. Apabila kondisi itu

dan

diubah, maka berat badan akan dapat diatur

pengaturan berat badan. Namun demikian,

kembali. Inilah yang menjadi prinsip dari

banyak teori yang muncul dan memaparkan

settling point.22

bahwa

56

faktor

genetik

fisiologis

sebagai

perubahan

tubuh

maupun

inilah

manifestasinya

berat

badan

faktor

yang

berupa

sebagai

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

st

manifestasi dari faktor genetik, lingkungan


atau bahkan interaksi keduanya.
Set point dan settling point saling

[9]

bertolak belakang, dan pada intinya, teori set


point memberikan atribut obesitas disebabkan

[10]

oleh faktor fisiologis, sedangkan pada teori


settling

point

disebabkan

oleh

faktor
22

lingkungan eksternal yang lebih dominan.

[11]

Perdebatan antara kedua teori ini masih


berlangsung, tentang hipotesis mana yang
lebih dominan terhadap terjadinya obesitas.
Namun

demikain,

tanpa

24

[12]

memperhatikan

keduanya apakah teori set point ataukah


settling point yang paling mempengaruhi berat
badan, keberadaan sistem kontrol fisiologi
yang mempertahankan berat badan tidak
dapat juga diabaikan karena berdasarkan bukti
yang tersedia (penelitian).
[13]
DAFTAR REFERENSI
[1]

[2]

[3]

[4]

[5]

[6]

[7]

[8]

World Health Organization: Obesity:


Preventing and managing the global
epidemic. WHO technical report seies
894. Geneva: World Health organization;
2000.
Lyon H.N., and Hirschhorn J.N. Genetics
of common forms of obesity: a brief
overview. Am J Clin Nutr. 2005;
82(suppl): 215sS-217S.
de Castro JM. Genes, the environment
and the control of food intake. Bri J
Nutrition 2004;92:S59-S62.
Speakman J.R. Obesity: Integrated roles
of environment and genetics. J Nutrition
2004;134:2090S-2105S.
Barsh GS, Farooqi IS, ORahilly S.
Genetics of body-weight regulation.
Nature 2000;404:644 51
Speakman J.R. Thrifty genes for obesity
and the metabolic syndrome -- time to call
off the search. Diabetes and Vascular
Disease Research 2006 3: 7-11.
Berryman, Davy, and Edward. Control of
Energy Balance. In Stipanuk MH and
rd
Caudill MA (3
eds.) Biochemical,
Physiological, and Molecular Aspects of
Human Nutrition. (pp.504). New York:
Elsevier; 2013.
Lee, Robert D. Energy balance and body
weight. In Nelms M., Sucher K., and Long

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

[14]

[15]

[16]

[17]

[18]

[19]

[20]

S. (1
ed.) Nutrition Therapy and
Pathophysiology. (pp. 323-369). Belmont:
Thomson Brooks/Cole; 2007.
Bray MS. Genomics, genes, and
environmental interaction: the role of
exercise. J Appl Physiol 2000;88:788 92.
Stunkard, A. J. Genes, environment and
human obesity. In: Progress in Obesity
Research 1990 (Oomura, Y., Tarui, S.,
Inoue, S. & Shimazu, T., eds.), pp. 669
674. John Libby, London, UK.
Mayer J. Genetics factors in human
obesity. Ann NY Acad Sci. 1965;
131:412-21.
Speakman J.R., Levitsky D.A., Allison
D.B., Bray M.S., deCastro J.M., Clegg
D.J., Clapham J.C., Dulloo A.G., Gruer L.,
Haw S., Hebebrand J., Hetherington
M.M., Higgs S., Jebb S.A., Loos R.J.F.,
Luckman S., Luke A., Ali V.M., ORahilly
S., Pereira M., Perusse L., Robinson
T.N., Rolls B., Sysmonds M.E., and
Plantenga M.S. Set points, settling points
and some alternative models: theoretical
options to understand how genes and
environments combine to regulate body
adiposity. Dis Model Mech. 2011
November; 4(6): 733745.
Petrik, Melissa Hansen. Nutrigenomics. In
st
Nelms M., Sucher K., and Long S. (1
ed.)
Nutrition
Therapy
and
Pathophysiology. (pp. 237-258). Belmont:
Thomson Brooks/Cole; 2007.
Leibel RL, Rosenbaum M, Hirsch J.
Changes in energy expenditure resulting
from altered body weight. N Engl J Med
1995;332:621628.
Tremblay A., Perusse L., and Bouchard
C. Energy balance and body-weight
stability: impact of geneenvironment
interactions. British Journal of Nutrition
(2004), 92, Suppl. 1, S63S66.
Spiegelman BM, Flier JS. Obesity and the
regulation of energy balance. Cell
2001;104:531543.
Symonds M. E., Budge H., Perkins A. C.,
Lomax M. A. Adipose tissue development
impact of the early life environment.
Prog. Biophys. Mol. Biol. 2011; 106: 300
306.
Neel JV. Diabetes mellitus: a 'thrifty'
genotype
rendered
detrimental
by
'progress'? Am J Hum Genetics
1962;4:352-3.
Sims and Horton. Endocrine and
metabolic adaptation to obesity and
starvation. The American Journal of
Clinical Nutrition 1968; 21:1455-1470.
Weinsier R. L., Nagy T.R., Hunter G.R.,
Darnell B.E., Hensrud D.D., and Weiss

57

[21]

[22]

[23]

[24]

58

H.L. Do adaptive changes in metabolic


rate favor weight regain in weight-reduced
individuals? An examination of the setpoint
theory.
Am
J
Clin
Nutr
2000;72:108894
Keesey and Corbett. Metabolic defense of
the body weight set point. In A. J.
Stunkard and E. Stellar (Eds.), Eating and
its disorders (pp.87-96). New York: Raven
Press; 1984.
Tam J., Fukumura D., and Jain R.K. A
Mathematical model of murine metabolic
regulation by leptin: energy balance and
defense of a stable body weight. Cell
Metab. 2009 January 7; 9(1): 5263.
Hill et al. Obesity and the environment:
Where do we go from here? Science
2003; 299: 853-855.
Levin BE. Factors promoting and
ameliorating the development of obesity.
Physiol Behav 202505;86:633639.

B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

Anda mungkin juga menyukai