Penasehat
Prof. dr. Saleha Sungkar, DAP&E, MS,
SpParK
Penanggung Jawab
Andi Qautsar Syahrezo
Universitas Hasannudin
Penyunting Pelaksana
Pimpinan Umum
Ni Putu Ayu Astri Prana Iswara
Universitas Udayana
Matthew Billy
Universitas Indonesia
Pimpinan Redaksi
Universitas Indonesia
Universitas Udayana
Sekretaris
Siti Arifah
Universitas Hasannudin
Bendahara
Fahrun Nisai Fatimah
Universitas Airlangga
Penyunting Ahli
Prof. dr. Mohamad Sadikin, D.Sc.
Universitas Indonesia
Universitas Udayana
Kevin Ezekia
Universitas Udayana
Tata Letak
Dewa Ayu Sri Agung Suandewi
Universitas Udayana
Dito Setiadarma
Universitas Udayana
i
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015
DAFTAR ISI
ISSN : 2302-6391
Editorial
Manajemen Deteksi Dini Terpadu Retinoblastoma: Upaya Bijak Jaga Buah Hati Kita
Surya Wijaya
............................................................................................................................................... 1
Penelitian
Identifikasi Polimorfisme Gen CYP26 Pada Empat Etnis Pada Mayor Penduduk Kota
Palembang
Enggar Sari Kesuma Wardhani
.........................................................................................................................................................................................................6
Studi Cross Sectional Terapi Hipertropi Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Di
Poliklinik Ginjal Hipertensi Instalansi Rawat Jalan RSUD Dr. Soetomo
Irene Sienatra, Aditiawardana, Atika
..................................................................................................................................................................................................... 16
Identifikasi Polimorfisme Gen VEGF 936 C/T Pada Penderita Kanker Payudara Di
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Fajriani Kurnia Rosdi, Surya Wijaya, Muhammad Irsan Saleh, Chairil Anwar, Ika Kartika Putri
..................................................................................................................................................................................................... 23
Tinjauan Pustaka
IIB-HSD1 Selective Inhibitor Via INCB13739 Guna Penurunan Glucocorticoid
Recepror- Pada Pencegahan Komplikasi Pasien Diabetes Gestasional
R. Prawira Bayu Putra Dewa, I Made Widiarta Kusuma
ii
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015
..................................................................................................................................................................................................... 40
Artikel Penyegar
Konsep Ayurveda Dalam Penatalaksanaan Jantung Koroner
Komang Leo Krisnahari
..................................................................................................................................................................................................... 65
Petunjuk Praktis
Diagnosis Dan Penatalaksanaan Neurodermatitis Sirkumsripta
Surya Wijaya, Rusmawardiana
..................................................................................................................................................................................................... 71
iii
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015
PETUNJUK PENULISAN
Pedoman Penulisan Artikel
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI)
Indonesia Medical Students Journal
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI) merupakan publikasi ilmiah
yang terbit setiap 6 bulan sekali setiap bulan Mei dan Desember berada dibawah
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Dalam mempublikasikan naskah ilmiah
dalam berkala ini, maka penulis diwajibkan untuk menyusun naskah sesuai dengan
aturan penulisan JIMKI.
Ketentuan umum :
1. JIMKI hanya memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan oleh publikasi
ilmiah lain.
2. Naskah dengan sampel menggunakan manusia atau hewan coba wajib melampirkan
lembar pengesahan kode etik dari institusi yang bersangkutan.
3. Penulisan naskah :
a.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan baik dan
benar, jelas, lugas, serta ringkas.
b.
Naskah diketik menggunakan microsoft word dengan ukuran kertas A4, dua
(2) spasi, kecuali untuk abstrak satu (1) spasi, dengan batas margin atas,
bawah, kiri dan kanan setiap halaman adalah 2,5 cm.
c.
d.
iv
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015
3 Laporan kasus: naskah tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca.
Naskah ini ditulis sesuai pemeriksaan, diagnosis, dan penatalaksanaan sesuai
kompetensi dokter dan dokter muda. Format terdiri dari pendahuluan, laporan,
pembahasan, dan kesimpulan.
4 Artikel penyegar ilmu kedokteran dan kesehatan: naskah yang bersifat bebas
ilmiah, mengangkat topik-topik yang sangat menarik dalam dunia kedokteran atau
kesehatan, memberikan human interest karena sifat keilmiahannya, serta ditulis
secara baik. Naskah bersifat tinjauan serta mengingatkan pada hal-hal dasar atau
klinis yang perlu diketahui oleh pembaca.
5 Editorial: naskah yang membahas berbagai hal dalam dunia kedokteran dan
kesehatan, mulai dari ilmu dasar, klinis, berbagai metode terbaru, organisasi,
penelitian, penulisan di bidang kedokteran, lapangan kerja sampai karir dalam
dunia kedokteran. Naskah ditulis sesuai kompetensi mahasiswa kedokteran.
6 Petunjuk praktis: naskah berisi panduan diagnosis atau tatalaksana yang ditulis
secara tajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca
(mahasiswa kedokteran).
7 Advertorial: naskah singkat mengenai obat atau material kedokteran dan
kesimpulannya. Penulisan berdasarkan metode studi pustaka.
Ketentuan khusus :
1. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti
sistematika sebagai berikut:
a.
b.
c.
Abstrak (Abstract)
d.
e.
Judul
b.
v
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015
c.
Abstrak
d.
e.
3. Judul ditulis dengan Sentence case, dan bila perlu dapat dilengkapi dengan subjudul.
Naskah yang telah disajikan dalam pertemuan ilmiah nasional dibuat keterangan
berupa catatan kaki. Terjemahan judul dalam bahasa Inggris ditulis italic.
4. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup
diikuti dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis harus disertai dengan
institusi asal penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon
dan email.
5. Abstrak harus ditulis dalam bahasa Inggris serta bahasa Indonesia. Panjang abstrak
tidak melebihi 200 kata dan diletakkan setelah judul naskah dan nama penulis.
6. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Tidak
lebih dari 5 kata, dan sebaiknya bukan merupakan pengulangan kata-kata dalam
judul.
7. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf
miring (italic).
8. Tabel dan gambar disusun terpisah dalam lampiran terpisah. Setiap tabel diberi
judul dan nomor pemunculan. Foto orang atau pasien apabila ada kemungkinan
dikenali maka harus disertai ijin tertulis.
9. Daftar rujukan disusun menurut sistem Vancouver, diberi nomor sesuai dengan
pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad.
vi
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015
dependent diabetes
mellitus.
Ann
Clin
Biochem
1995;32(Pt 3):303-6.
viii. Edisi dengan bagian
Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap laceration
of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990;107(986 Pt 1):377-8.
ix. Edisi tanpa volum
vii
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015
Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people.
New York: Churchill Livingstone; 1996.
iii. Organisasi dengan penulis
Philips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH,
Brenner BM, editors. Hypertension: patophysiology, diagnosis, and
management. 2nd ed. New York: raven Press; 1995.p.465-78.
v. Prosiding konferensi
viii
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015
Academy
Press;
1995.
Contract
no.:
HIV + AIDS: the facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO):
Mosby-Year book; 1995.
3. Materi elektronik
i. Naskah journal dalam format elektronik
ix
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015
x
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015
wadah
publikasi
ilmiah,
namun
JIMKI
juga
merupakan
representatif
xi
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015
Editorial
Surya Wijaya
Mahasiswa
Fakultas
Kedokteran
Sriwijaya, Palembang
1
Universitas
1
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
berwarna
putih),
pupil
terlihat
bercahaya, berkilauan atau seperti mata
kucing. Strabismus (esotropia atau
eksotropia) ditemukan pada 25% kasus.
Kadang-kadang terdapat hemorrhagi
vitreous, hifema, inflamasi okular atau
periokular, glaukoma, proptosis, dan
hipopion. Pada keadaan dini, tumor
dalam neurosensori retina berbentuk
[5],[7]
datar, transparan atau sedikit putih.
Pentingnya
Deteksi
Dini
Retinoblastoma
Fakta
yang
menarik
dari
retinoblastoma adalah dari sekian
banyak kanker yang dapat ditemui pada
anak, retinoblastoma adalah satu-satu
kanker yang dapat dideteksi secara
[3]
dini.
Lebih dari 95% anak dengan
retinoblastoma di Amerika Serikat dan di
beberapa negara maju bertahan hidup
dan hanya sekitar 50% anak yang
bertahan di seluruh dunia. Perbedaan
yang terjadi disebabkan oleh adanya
deteksi dini di negara maju yang mana
tumor masih berada pada stadium awal,
sedangkan pada negara berkembang
retinoblastoma sering baru terdeteksi
setelah ada invasi ke rongga orbita atau
[6]
otak.
Fakta lain yang mendukung
pentingnya deteksi dini retinoblastoma
adalah
anak-anak
di
negara
berkembang
yang
didiagnosis
retinoblastoma pada stadium dini
mempunyai prognosis yang sangat baik.
Sekitar 95% anak-anak penderita
retinoblastoma dapat bertahan hidup.
Faktor yang paling penting yang
berhubungan
dengan
perburukan
prognosis adalah adanya perluasan
tumor ke daerah ekstraokuler yang lebih
sering terjadi melalui nervus optik atau
dapat juga terjadi secara langsung
[7]
menembus sklera.
Hal
lain
yang
mendukung
pentingnya deteksi dini retinoblastoma
karena kanker sulit untuk dicegah
karena bersifat familial. Sampai saat ini,
kanker yang diketahui diturunkan secara
genetik ada dua, yaitu kanker payudara
pada dewasa dan retinoblastoma yang
[4]
diderita anak-anak.
Di Indonesia, data secara lengkap
tentang
insidens
retinoblastoma
memang belum ada. Namun, penelitian
di Surabaya menunjukkan adanya
peningkatan
angka
penderita
retinoblastoma hingga 35 pasien per
2
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
3
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
4
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
6. Wilson ME,
Pediatric Ocular
Tumors and Stimulating Lesions in
Pediatric Ophthalmology Current
Thought and A Practical Guide,
Berlin: Springer; 2009.p.403-416
7. Shome D, Garg A, Retinal Tumors
in Pediatric Ophthalmology Instant
Clinical Diagnosis in Ophthalmology,
New Delhi: Jaypee Brother Medical
Publishers; 2009.p.709-715.
8. Soebadjo H. Waspadai Gejala
Tumor Mata pada Anak. Diunduh
dari:
http://www.surabayapost.co.id/?mnu
=berita&act=view&id=515eae905bff
018efd23f8d2be7a7076&jenis=c81e
728d9d4c2f636f067f89cc14862c,
diakses pada tanggal 25 Desember
2013.
9. Rahman A. Deteksi Dini dan
Penatalaksanaan Retinoblastoma.
Suplemen
Majalah
Kedokteran
Andalas Dalam Rangka Dies Natalis
53 FK Unand. h. 57-62.
10. Arsito. Penting, Peran Orangtua
Mendeteksi Kanker pada Anak.
Diunduh
dari:
http://www.beritasatu.com/mobile/ke
sehatan/33831-penting-peranorangtua-mendeteksi-kanker-padaanak.html, diakses pada tanggal 2
September 2012.
11. Sayuti,
Kemala.
Deteksi dan
Manajemen
Retinoblastoma.
th
Dipresentasikan pada The 9
Sumatera Ophthalmology Meeting,
pada tanggal 10 Maret 2012.
12. Rahma LS. Orangtua, Garda
Terdepan
Penanganan
Kanker
Anak.
Diunduh
dari:
http://health.detik.com/read/2012/04/
23/100403/1898772/775/orangtuagarda-terdepan-penanganankanker-anak, diakses pada tanggal
25 Desember 2013.
13. Sitorus RS. Mata Sehat untuk Anak
Indonesia.
UNIVERSITARIA
Vol.10 No.4, November 2010. p. 14.
14. Dasrinal. Kanker Mata Bisa Memicu
Kematian.
Diunduh
dari:
http://www.radarlampung.co.id/read/
bandarlampung/metropolis/42625kanker-mata, diakses pada tanggal
25 Desember 2013.
5
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
Penelitian
Mahasiswa
Palembang
Sriwijaya,
ABSTRAK
Pendahuluan:Variasi respon obat dapat mengakibatkan kegagalan terapi dan/atau efek
samping pada individu dan subpopulasi. Faktor genetik mempunyai pengaruh paling
besar sebagai penyebab variasi ini. Enzim sitokrom P450 2A6 (CYP2A6) merupakan
enzim yang terlibat dalam reaksi fase satu metabolisme xenobiotik pada sel hati.
CYP2A6 berperan dalam metabolisme koumarin, nikotin tembakau, dan nitrosamin.
Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran genotip dan alel gen CYP2A6 alel varian
CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 pada empat etnis mayor penduduk Kota Palembang, yaitu:
etnis Melayu, Tionghoa, Arab, dan India.
Metode:Penelitian ini berjenis deskriptif observasional kepada 69 partisipan penelitian
yang terdiri dari 4 etnis mayor penduduk Kota Palembang. Data yang diambil merupakan
data primer dan dilakukan konfirmasi kemurnian etnis melalui pengisian kerangka
pedigree tiga generasi berturut-turut. Identifikasi polimorfisme CYP2A6 dilakukan dengan
metode single-step PCR (Polymerase Chain Reaction) amplifikasi dan dilanjutkan
dengan RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) menggunakan enzim XcmI
untuk deteksi alel varian CYP2A6*2 dan enzim DdeI untuk deteksi alel varian CYP2A6*3.
Hasil:Distribusi genotip CYP2A6*1/*1 pada partisipan penelitian menghasilkan sebaran
69/69(100%) pada keempat etnis. Frekuensi genotip CYP2A6*1/*2, *1/*3, *2/*2, *2/*3,
*3/*3 pada keempat etnis bernilai 0/69 (0%). Distribusi alel CYP2A6*1 sebesar
69/69(100%), CYP2A6*2 0/69(0%), dan CYP2A6*3 0/69(0%).
Simpulan:Tidak ditemukan mutasi alel varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 gen CYP2A6
pada partisipan penelitian etnis Melayu, Tionghoa, Arab, dan India penduduk Kota
Palembang.
Kata kunci: CYP2A6, Polimorfisme, Genotip, Alel, Melayu, Tionghoa, Arab, India
ABSTRACT
Introduction:Variations in drug response may lead to treatment failure and/or adverse
effects on individuals and subpopulations. Genetic factors have the greatest influence as
the cause of this variation. The enzyme cytochrome P450 2A6 (CYP2A6) is an enzyme
involved in xenobiotics metabolism phase in liver cells. CYP2A6 plays a role in the
metabolism of coumarin, nicotine, and nitrosamine. This study aims to reveal the
genotype and allele gene variant CYP2A6*2 and CYP2A6*3 of CYP2A6 gene on four
major ethnic of Palembang population, that is: ethnic Malay, Chinese, Arab, and Indian
population in Palembang.
Method:This study is a descriptive observational approach to 69 participants. The data
were taken are the primary data and confirmation of ethnic was done by filling the
pedigree form of three generations. Identification of CYP2A6 polymorphisms was
conducted by single-step PCR amplification and continued by RFLP detection using XcmI
enzyme for variant alleles CYP2A6*2 and DdeI enzyme for the detection of variant alleles
CYP2A6*3.
Result:The distribution of genotype CYP2A6*1/*1 on participants were founded 69/69
(100%) in the four ethnic groups. The frequency of genotype CYP2A6*1/*2, *1/*3, *2/*2,
*2/*3, *3/*3 in all four ethnics are 0/69 (0%). Frequencies of CYP2A6*1 allele founded
69/69 (100%), CYP2A6*2 0/69 (0%), and CYP2A6*3 0/69 (0%).
6
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015
Conclution:Allele variant CYP2A6*2 and CYP2A6*3 mutation was not found in the study
participants' ethnic Malay, Chinese, Arab, and Indian of Palembang population.
Key Words: CYP2A6, Polymorphism, Genotype, Allele, Malay, Chinese, Arab, Indian
1. PENDAHULUAN
Variasi respon obat antar individu
merupakan masalah utama dalam
praktik kedokteran dan perkembangan
obat di dunia. Hal ini mengakibatkan
kegagalan terapi dan/atau efek samping
[1]
pada individu dan subpopulasi.
Di
Indonesia, penerapan sistem kesehatan
universal coverage yang belum optimal
menyebabkan terjadinya perbedaan
efektivitas obat antar individu, sehingga
menjadi beban ekonomi tersendiri
hingga menghasilkan fenomena Sadikin:
sakit sedikit jadi miskin yang menjadi
wacana kesehatan serius di semua
strata ekonomi Indonesia.
Variasi respon obat terjadi karena
adanya perbedaan kemampuan dalam
proses metabolisme obat, sehingga
mengakibatkan perbedaan besar kadar
obat dalam plasma antar individu pada
[2]
kondisi steady state. Faktor genetik
menyebabkan variasi metabolisme obat
karena adanya proses mutasi dan
seleksi informasi genetik yang disandi
oleh DNA yang diturunkan dari satu
[3]
generasi ke generasi berikutnya.
Dari sedemikian banyak gen yang
bertanggung jawab dalam proses
metabolisme xenobiotik tahap I, lebih
dari lima puluh persennya merupakan
[4]
peran dari sitokrom P450 (CYP). Salah
satu sub famili enzim CYP adalah
CYP2A6. Gen CYP2A6 menyandi enzim
CYP2A6
yang
berperan
dalam
metabolisme beberapa obat-obatan
penting seperti reaksi 7-hidroksilasi
antikoagulan koumarin, nikotin, obat
antagonis reseptor platelet-activating
factor SM012502, obat neuroprotektif
chlormethiazone,
aktivasi
zat-zat
prekarsinogen seperti 1,3-butadien-2,6diklorobenzonitril,
nicotine-derived
nitrosamine keton (NNK), nitrosamine
metabolite 4-(methylnitrosamino)-1-(3pyridyl)-1butanol
(NNAL),
nnitrosodiethylamine
(NDEA)
dan
nitrosonornicotine (NNN), aktivasi atau
inaktivasi
beberapa
prokarsinogen
dalam asap rokok, yang dapat
menyebabkan seseorang menderita
[5],[6],[7]
kanker paru.
Penelitian Fernandez-Salguero et
al memperlihatkan bahwa jika enzim
CYP2A6 dibuat sebaran frekuensi
kecepatan metabolisme obat-obatan
tertentu dalam suatu populasi, maka
akan diperoleh ciri khas adanya
distribusi
dengan
dua
modus
[8]
(bimodal).
Modus
pertama
menggambarkan sebaran extensive
metabolizer (EM) yang menghasilkan
enzim
dengan
aktivitas
normal,
sedangkan
modus
kedua
menggambarkan
sebaran
poor
metabolizer (PM) yang mengalami defek
aktivitas.
Perbedaan
sebaran
ini
membuktikan
bahwa
terdapat
polimorfisme
genetik
pada
gen
[5],[8]
CYP2A6.
Adanya
polimorfisme
gen
CYP2A6 dibuktikan dengan adanya alelalel varian selain alel normal (wild type)
CYP2A6*1. Sampai saat ini telah
diidentifikasi 41 alel varian yang dimulai
dari CYP2A6*2 sampai rs8192726. Alel
varian CYP2A6*2 dilaporkan menyandi
protein dengan subtitusi Leu160His
sehingga menyebabkan enzim menjadi
inaktif, sedangkan alel varian CYP2A6*3
merupakan alel hibrid yang dihasilkan
akibat konversi multipel dengan gen
[8],[9]
inaktif CYP2A7.
Sejauh
ini
data
mengenai
gambaran fenotip dan genotip gen-gen
yang berperan dalam metabolisme obat
di Indonesia masih terbatas dan belum
lengkap. Data tentang fenotip dan
genotip CYP2A6 di Indonesia belum
tersedia.
Palembang merupakan salah satu
ibukota di Indonesia dengan tingkat
kepadatan penduduk tinggi dan beretnis
beragam. Penelitian ini bertujuan
mengetahui gambaran genotip dan alel
gen CYP2A6 alel varian CYP2A6*2 dan
CYP2A6*3 pada empat etnis mayor
penduduk Kota Palembang, yaitu: etnis
Melayu, Tionghoa, Arab, dan India.
Dengan diketahui adanya polimorfisme
gen CYP2A6 pada populasi masyarakat
Palembang, dapat digunakan sebagai
acuan menentukan dosis obat sesuai
dengan data gena bangsa Indonesia
sendiri. Hal ini membuat efek samping,
7
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015
toksisitas,
dan
penyakit
yang
berhubungan dengan efek samping obat
dapat dicegah. Selain itu, pencegahan
aktivasi prekarsinogen paru akibat
paparan asap rokok dan prekarsinogen
hati akibat konsumsi jamu pun dapat
dihindari.
2. METODE
Berdasarkan ruang lingkupnya,
penelitian ini merupakan penelitian
laboratorium
berjenis
deskriptif
observasional.
Gen
CYP2A6
diamplifikasi dengan metode PCRRFLP. Data dianalisis menghasilkan
pola distribusi frekuensi gen CYP2A6,
varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 baik
genotip maupun alel masing-masing
etnis. Data tersebut diolah menjadi pola
distribusi frekuensi genotip dan alel
keempat etnis yang diteliti berdasarkan
sosiodemografi yaitu usia, jenis kelamin,
dan kebiasaan merokok.
Penelitian
dilakukan
di
Laboratorium Mikrobiologi Rumah Sakit
dr. Mohammad Hoesin Palembang
selama periode November 2012-Januari
Pengambilan
data
dilakukan
melalui anamnesis riwayat penyakit
kebiasaan merokok dan konfirmasi
kemurnian etnis berbentuk pedigree 3
generasi, serta pengambilan darah vena
cubiti sebanyak 3 cc. Selanjutnya
dilakukan isolasi DNA pada sampel
darah.
PCR-RFLP dilakukan menggunakan metode single step PCR, dengan
desain primer 5'-ACC-TCC-CCA-GGCGTG-GTA-3' sebagai forward, dan 5'TCG-TCC-TGG-GTG-TTT-TCC-TTC-3'
untuk reverse. Kondisi PCR terlihat
pada tabel 1.
72 C (3 menit)
homozigot mutan akan tervisualisasi
pada daerah marker 117 pb dan 96 pb.
Enzim DdeI akan mengenali situs ACGT
yang menyebabkan produk PCR akan
terpotong menjadi dua fragmen 150 pb
dan 63 pb. Genotip heterozigot akan
tervisualisasi 3 pita yaitu pada daerah
marker 213 pb, 150 pb dan 63 pb.
Sedangkan genotip homozigot mutan
akan tervisualisasi pada daerah marker
150 pb dan 63 pb.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Visualisasi Hasil PCR
Gen
CYP2A6
berhasil
diamplifikasi dengan metode PCR,
ditandai dengan adanya pita pada hasil
elektroforesis yang sesuai dengan
ukuran fragmen DNA yang diamplifikasi,
yaitu 213 pasang basa (pb).
8
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015
b. Visualisasi
Hasil
RFLP
Menggunakan Enzim XcmI
Pada gambar 1 terlihat semua
sampel memiliki pita pada 213 pb. Untuk
etnis India (gambar 2D), terlihat adanya
gambaran tiga pita pada sampel I-6, I-7,
I-8, dan I-9. Gambaran pita tersebut
terletak pada 213 pb, 90 pb, dan 50
pb. Pita pada 90 pb, dan 50 pb ini
didefinisikan sebagai unspecific band
(pita tidak spesifik) karena tidak sesuai
dengan band yang diinginkan untuk
identifikasi genotip heterozigot. Gambaran genotip heterozigot dimungkinkan
bila hasil visualisasi berada pada 213
pb, 117 pb, dan 96 pb.
c. Visualisasi
Hasil
RFLP
Menggunakan Enzim DdeI
Hasil visualisasi elektroforesis
produk RFLP gen CYP2A6 dengan
enzim DdeI terlihat pada gambar 3.
Adanya
mutasi
ditandai
dengan
gambaran pita pada 117 pb dan 96 pb
untuk produk RFLP dengan enzim XcmI,
dan pita 150 pb dan 63 pb untuk enzim
[4]
DdeI.
Sama seperti gambaran hasil
visualisasi dengan enzim XcmI, pada
etnis India (gambar 3C), terlihat adanya
tiga pita, yakni pada 213 pb, 90 pb,
dan 50 pb. Dua pita yang tidak sesuai
pada band yang diharapkan tersebut
diidentifikasi sebagai unspecific band
(pita tidak spesifik). Makna munculnya
pita tersebut dapat diidentifikasi lebih
lanjut melalui DNA sekuensing hasil
PCR-nya. Hasil sekuens DNA sampel
dengan unspecific band tersebut
kemudian
dibandingkan
dengan
sekuens ekson 3 gen CYP2A6 pada
gene bank.
d. Distribusi Frekuensi Genotip dan
Alel
Gen
CYP2A6
Varian
CYP2A6*2 dan CYP2A6*3
Setelah proses isolasi DNA,
single-step PCR, dan RFLP, maka
didapatkan hasil distribusi frekuensi
genotip dan alel gen CYP2A6. Hasil
distribusi frekuensi genotip gen CYP2A6
dijabarkan per etnis pada tabel 2. Hasil
distribusi frekuensi alel gen CYP2A6
varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3
terlihat pada tabel 3. Pada tabel tersebut
terlihat
bahwa
100%
partisipan
penelitian memiliki genotip CYP2A6*1
/CYP2A6*1 yaitu homozigot wild type.
Pelbagai
penelitian
telah
dilakukan untuk mengidentifikasi alel
varian gen CYP2A6 beberapa etnis.
Penelitian etnis Melayu di Malaysia
menemukan
mutasi
3%
varian
[11]
CYP2A6*4 pada penduduk Malaysia.
Untuk etnis Tionghoa, studi
dilakukan oleh Nakajima dan Yokoi
menghasilkan data 5% alel CYP2A6*4,
3% alel CYP2A6*7, 16% varian
CYP2A6*9, dan 3,4% pada alel varian
[12]
CYP2A6*21.
Oscarson
et
al
mengidentifikasi
0%
alel
mutan
CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 pada 96
[5]
orang Cina. Ras Asia Timur lainnya
seperti Jepang menghasilkan nilai
frekuensi polimorfisme 11% untuk
CYP2A6*7, 20% untuk CYP2A6*9, dan
[12]
1,5-2,2% untuk CYP2A6*21.
Belum
ada penelitian identifikasi alel varian
CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 etnis Melayu
yang dilakukan di negara lain. Penelitian
pada etnis Arab dan India mengenai
CYP2A6 sampai saat ini belum
ditemukan.
Penelitian identifikasi alel varian
CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 dilakukan
pada etnis-etnis lain, sebagaimana
terangkum dalam tabel 16. Oscarson et
al mengidentifikasi 0% mutasi alel
CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 pada 100
[5]
orang Spanyol.
Pada etnis Afrikaamerika
distribusi
frekuensi
alel
CYP2A6*1, CYP2A6*2, dan CYP2A6*3
masing-masing sebesar 608 (99,67%), 2
(0,33%) dan 0 (0%). Namun, frekuensi
alel varian yang cukup signifikan
ditemukan pada ras Jerman oleh
Bourian, Gullsten dan Legrum yakni
4/432 (3,5%) pada CYP2A6*2 dan 6/432
(1,4%) pada CYP2A6*3. Diketahui
bahwa metode PCR kedua penelitian ini
[13]
berbeda.
Pasckhe
et
al
menggunakan
single-step
PCR
sedangkan Bourian et al menggunakan
metode nested-PCR yang merujuk pada
4,8,13
Fernandez-Salguero
et
al.
Pendekatan metode nested-PCR oleh
Fernandez-Salguero et al mengalami
misklasifikasi alel heterozigot CYP2A6*2
[4],[5],[8]
sebagai homozigot mutan.
Secara
keseluruhan
terlihat,
frekuensi genotip dan alel untuk varian
CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 memang
cenderung lebih rendah ketimbang alel
varian lainnya. Pernyataan ini senada
dengan perbandingan hasil penelitian
pada etnis dan alel varian lainnya. Hal
9
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015
Pianezza et al mempublikasikan
hasil studi analisis hubungan antara
defek varian CYP2A6 dan perubahan
[16]
kebiasaan
merokok.
Mereka
menyimpulkan bahwa perokok dengan
defek pada CYP2A6 merokok dengan
jumlah yang lebih sedikit dibandingkan
dengan subjek yang wild type, dan
carrier defek CYP2A6, serta perokok
dengan genotip homozigot mutan ini
cenderung
tidak
menjadi
ketergantungan
rokok.
Hal
ini
kemungkinan karena pada orang
dengan
defek
gen
ini,
nikotin
dimetabolisme menjadi kotinin lebih
lambat dibandingkan subjek wild type.
Defisiensi parsial dari kerja enzim,
menghasilkan efek farmakologi nikotin
yang bertahan lebih lama di dalam
4
tubuh. Namun, dengan menggunakan
metode genotyping PCR yang sama,
Oscarson
et
al
tidak
berhasil
menemukan korelasi antara defek
polimorfisme
gen
CYP2A6
dan
4,5
perubahan kebiasaan merokok. Oleh
karena itu, dampak dari defek CYP2A6
pada kebiasaan merokok manusia
masih kontroversi.
Hubungan
antara
kebiasaan
merokok dengan defek pada gen
CYP2A6 ini masih harus diteliti lebih
lanjut pada penelitian selanjutnya,
dengan membandingkan semua alel
varian CYP2A6, terutama kedua alel
varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3.
Paschke et al mengungkapkan, untuk
mengetahui hubungan tersebut tidak
bisa dinilai hanya dari nikotin/kotinin
plasma darah atau rasio kotinin/nikotin
saja sebagaimana yang dilakukan
dalam penelitian oleh Rao et al,
Nakajima et al dan Nakajima et
[17],[18],[19]
al.
Kotinin akan dimetabolisme
kembali menjadi kotinin glukoronida,
kotinin N-oxide, norkotinin, trans-3hidroksikotinin
dan
glukoronida,
sehingga semua hasil metabolit nikotin
[4],[20]
harus diukur.
Lagipula, proses
metabolisme nikotin bervariasi antara
satu orang dengan orang lain dan rasio
nikotin/kotinin pun dipengaruhi oleh
[20]
enzim-enzim lain selain CYP2A6.
Penelitian mengenai hubungan
defek gen CYP2A6 terhadap kadar
nikotin dan kebiasaan merokok yang
dilakukan oleh Apinan et al, Yamanaka
et al,
Kamataki et al, Rao et al
menyimpulkan adanya hubungan antara
10
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015
Gambar 1. Hasil PCR dari Partisipan Penelitian dengan Defek pada Alel CYP2A6*2 dan
[17],[20],[21],[22],[23]
CYP2A6*3.
Gambar 2. Hasil Elektroforesis Gen CYP2A6 setelah Direstriksi Menggunakan Enzim XcmI.
M: Marker DNA Penanda 100 pb, U: uncut (produk PCR yang tidak dipotong dengan enzim).
A. Etnis Melayu, B. Etnis Tionghoa, C. Etnis Arab, D. Etnis India.
Gambar 3. Hasil Elektroforesis Gen CYP2A6 setelah Direstriksi Menggunakan Enzim DdeI.
M: Marker DNA Penanda 100 pb, U: uncut (produk PCR yang tidak dipotong dengan enzim).
A. Etnis Melayu Dan Tionghoa, B. Etnis Arab, C. Etnis India.
11
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015
[21]
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Genotip Gen CYP2A6 Alel Varian CYP2A6*2 dan
CYP2A6*3 (N=69)
Genotip CYP2A6
Formula
Melayu
Tionghoa
Arab
India
n(%)
n(%)
n(%)
n(%)
2
CYP2A6*1/*1
q
18(100)
23(100)
18(100)
10(100)
CYP2A6*1/*2
2qr
0
0
0
0
CYP2A6*1/*3
2qs
0
0
0
0
2
CYP2A6*2/*2
r
0
0
0
0
CYP2A6*2/*3
2rs
0
0
0
0
2
CYP2A6*3/*3
s
0
0
0
0
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Alel Gen CYP2A6 Varian CYP2A6*2 Dan CYP2A6*3
(N=69)
Melayu
Tionghoa
Arab
India
n %
n %
n %
n %
CYP2A6*1 (wt)
18 100
23 100
18 100
10 100
CYP2A6*2 (v1)
0 0
0 0
0 0
0 0
CYP2A6*3 (v2)
0 0
0 0
0 0
0 0
14
Srilanka
Thailand
31,5
39,7
9,6
7,8
Ket: arsiran abu-abu menunjukkan perbandingan nilai frekuensi alel yang diteliti peneliti di
berbagai etnis
12
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015
13
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
P450IIE1.
Carcinogenesis;
11:
1293300.
Yamazaki H, Inui Y, Yun CH,
Guengerich FP, Shimada T. 1992.
Cytochrome P450 2E1 And 2A6
Enzymes As Major Catalysts For
Metabolic
Activation
Of
NNitrosodialkylamines And TobaccoRelated Nitrosamines In Human
Liver Microsomes. Carcinogenesis;
13: 178994.
Fernandez-Salguero P, Hoffman
SMG, Cholerton S, et al. 1995. A
Genetic Polymorphism In Coumarin
7-Hydroxilation:
Sequence
Of
Human
CYP2A
Genes
And
Identification Of Variant CYP2A6
Alleles. Am J Hum Genet. 57: 651660.
Hadidi H, Zahlsen K, Idle JR, et al.
1997. A Single Amino Acid
Substitution
(Leu160His)
In
Cytochrome P450 CYP2A6 Causes
Switching From 7-Hydroxylation To
3-Hydroxylation Of Coumarin. Food
Chem Toxicol. 35: 903-907.
Saleh, Muhammad Irsan. 2009.
Hubungan Mutasi Gen Voltage
Dependent Anion Channel Isoform 3
(VDAC3) dan Ekspresi Protein
VDAC3 pada Sperma Pasien Infertil
Astenozoospermia.
Disertasi
Universitas
Indonesia.
Tidak
dipublikasikan.
Muliaty D., Irawan Y., Rianto S., dan
Septalia I. 2010. CYP2A6 gene
polymorphisms impact to nicotine
metabolism.
Medical
Journal
Indonesia.
Nakajima M. dan Yokoi T. 2005.
Novel Human CYP2A6 Alleles
Confound Gene Deletion Analysis.
FEBS Lett; 569: 75-81.
Bourian M., Gullsten H., Legrum W.
2000. Genetic Polymorphism of
CYP2A6 in the German Population.
Toxicology 144; p129-137.
Hukkanen J, Jacob P III, Benowitz
NL.
2005.
Metabolism
And
Disposition Kinetics Of Nicotine.
Pharmacol Rev; 57:79 115.
Hadi,
Abdurrahman.
2013.
Identifikasi
Polimorfisme
Gen
CYP2A6 pada Penderita Karsinoma
Nasofaring di Rumah Sakit Dr.
Mohammad Hoesin Palembang.
Skripsi
Fakultas
Kedokteran
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
Universitas
Sriwijaya.
Tidak
dipublikasikan.
Pianezza, M. L., Sellers, E. M.,
Tyndale, R. F., 1998. Nicotine
Metabolism
Defect
Reduces
Smoking. Nature 393, p750.
Rao, Y., Hoffmann, E., Zia, M.,
Bodin L., Zeman, M., Sellers, E. M.,
Tyndale, R. F., 2000. Duplications
And Defects In The CYP2A6 Gene:
Identification, Genotyping And In
Vivo Effect On Smoking. Mol.
Pharmacol. 58, p747-55.
Nakajima, M., Yamagashi, S.,
Yamamoto, H., Yamamoto, T.,
Kuroiwa, Y., Yokoi, T. 2000.
Deficient Cotinine Formation From
Nicotine Is Attributable To The
Whole Deletion Of The CYP2A6
Gene In Humans. Clin. Pharmacol.
Ther. 67, p57-69.
Nakajima, M., Kwon, J-T, Tanaka,
N., Zenta T., Yamamoto, Y.,
Yamamoto H., et al. 2001.
Relationship Between Interindividual
Differences In Nicotine Metabolism
And CYP2A6 Genetic Polymorphism
In Humans. Clin. Pharmacol. Ther.
68, 72-78.
Benowitz NL, Jacob P III. 1994.
Metabolism of Nicotine to Cotinine
Studied by A Dual Stable Isotope
Method. Clin Pharmacol Ther;
56:483 93.
Yamanaka, Hiroyuki., Nakajima,
Miki., Nishimura, Kiyoko., Yoshida,
Ryoko., et al. 2004. Metabolic
Profile On Nicotine In Subjects
Whose CYP2A6 Gene Is Deleted.
European Journal of Pharmaceutical
Sciences 22; p419-425.
Apinan,
Roongnapa.,
Tassaneeyakul,
Wichittra.,
Mahavorasirikul, W., Satarug, S.,
Kajanawart, S. et al. 2009. The
Influence
of
CYP2A6
Polymorphisms and Cadmium on
Nicotine
Metabolism
in
Thai
Population. Env. Toxicology and
Pharmacology 28, p420-24.
Kamataki,
Tetsuya.,
Fujieda,
Masaki., Kiyotani, Kazuma., Iwano,
Shunsuke., Kunitoh, Hideo. 2005.
Genetic Polymorphism of CYP2A6
as
One
of
the
Potential
Determinants of Tobacco-related
Cancer Risk. Biochemical and
14
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015
Biophysical
Research
Communication 228; p306-10.
15
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015
Penelitian
Mahasiswa
Universitas
Airlangga
2
Staf pengajar Bagian Ilmu Penyakit Dalam Divisi Nefrologi RSUD Dr
Soetomo
3
Staf pengajar Bagiam IKM-KP (Ilmu Kesehatan Masyarakat-Kedokteran
Pencegahan) FK Universitas Airlangga
ABSTRAK
Pendahuluan: Insidens hipertensi meningkat signifikan pada pasien PGK. Tekanan
darah yang tinggi mempercepat progresi PGK sehingga kontrol hipertensi merupakan hal
yang penting dalam manajemen PGK. Tujuan dari studi ini untuk mengetahui pola terapi
hipertensi, korelasi stage PGK dengan kontrol hipertensi, karakteristik hipertensi yang
tidak terkontrol dan prevalensi proteinuria pada pasien PGK.
Metode: Penelitian observasional ini menggunakan 90 sampel pasien PGK non dialisis
(26,7% stage III, 33,3% stage IV, 40% stage V) yang telah mendapatkan terapi hipertensi
minimal selama 1 bulan. Penggunaan obat antihipertensi pada sampel adalah
CCB(77,8%), diuretic(38,8%), ACEI(13,3%), BB(18,8%) , spironolactone(3,3%), and
ARB(36,6%). Pada pasien dengan proteinuria, CCB digunakan oleh 78% pasien,
sedangkan RAAS blocker digunakan pada 52% pasien.
Hasil: Secara keseluruhan, 37,8% pasien berhasil mencapai tekanan darah <140/90
mmHg (57,1% dengan terapi tunggal, 35,7% terapi ganda, dan 16,7% dengan 3 obat).
Sebanyak 41,7% pasien stage III, 53,3% stage IV, 22,2% stage V berhasil mencapai
target terapi (<140/90 mmHg) (p=0,037).
Simpulan: Hipertensi yang tidak terkontrol terutama disebabkan oleh hipertensi sistolik.
Sebanyak 41 dari 90 pasien dengan data urinalisis, 56% diantaranya mengalami
proteinuria. Rata-rata proteinuria meningkat pada pasien DM (240,6 mg/hari)
dibandingkan dengan non DM (47,1 mg/hari) (p=0,006)
Kata kunci: stage PGK, hipertensi
ABSTRACT
Introduction: The incidence of hypertension has increased significantly in CKD patients.
High blood pressure accelerates CKD progression, therefore hypertension control is
important in CKD management. The purpose of this study is to understand the patterns of
antihypertension drug, the relationship between CKD stage and hypertension control, the
characteristic of uncontrolled hypertension, and the prevalence of proteinuria.
Method: This observational research took 90 non-dialysis CKD patients (26,7% stage III,
33,3% stage IV, 40% stage V) that had received hypertension treatment at least for 1
month. The use of antihypertension drugs were CCB(77,8%), diuretic(38,8%),
ACEI(13,3%), BB(18,8%), spironolactone(3,3%), and ARB(36,6%). In patients with
proteinuria, CCB was used in 78 % patients, while RAAS blocker was used in 52%
patients.
Results: Of all samples, 37,8% had controlled BP to <140/90 mmHg (57,1% single drug,
35,7% double drugs, and 16,7% with 3 drugs) . As many as 41,7% stage III, 53,3%
stage IV, and 22,2% stage V patient had achieved target theraphy (p=0,037).
Conclusion: Uncontrolled hypertension is primarily due to systolic hypertension. There
were 41 out of 90 patients with the urinalysis data, 56% with proteinuria. The mean of
16
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
proteinuria increases in patient with DM(240,6 mg/d) compared to non DM (47,1 mg/d)
(p=0,006).
Keyword: CKD stages, Hypertension
1. PENDAHULUAN
PGK (Penyakit Ginjal Kronik)
adalah (1) kerusakan ginjal lebih dari 3
bulan
dengan
ketidaknormalan
fungsional atau struktral dengan atau
tanpa penurunan LFG (Laju Filtrasi
Glomerolus), atau (2) penurunan
2
LFG<60ml/menit/1,73 m dengan atau
[1]
tanpa kerusakan ginjal. Berdasarkan
hasil survey nasional di Amerika Serikat,
hipertensi ditemukan pada 23,3% pada
pasien non PGK, 35,8% pada pasien
PGK stage I, 48,1% pada PGK stage II,
59,9% pada PGK stage III, dan 84,1%
[2]
pada PGK stage IV dan V. Hal ini
menunjukkan
prevalensi
hipertensi
berbanding lurus dengan peningkatan
stage PGK. Sementara di Indonesia
belum ada angka pasti mengenai
prevalensi hipertensi pada PGK.
Hipertensi pada PGK bersifat unik
karena
hipertensi
bisa
menjadi
[2]
penyebab dan akibat dari PGK.
Tekanan darah yang tinggi pada pasien
PGK dapat mempercepat progresivitas
menjadi ESRD (End Stage Renal
Disease) dan komplikasi penyakit
kardiovaskular, serangan jantung, dan
[3]
stroke.
Tatalaksana hipertensi menjadi
bagian penting dari manajemen PGK.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui pola terapi farmakologis
berdasarkan stage PGK dan proteinuria,
korelasi antara stage PGK dengan
kontrol hipertensi, mendeskripsikan
karakteristik
tekanan
sistolik
dan
diastolik pada hipertensi yang tidak
terkontrol , dan prevalensi proteinuria
pada pasien PGK yang berobat jalan di
Poliklinik Ginjal Hipertensi RSUD Dr
Soetomo.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan secara cross
sectional pada pasien PGK yang
berobat jalan di Poliklinik Ginjal
Hipertensi RSUD Dr Soetomo antara
bulan Juli s/d September 2014. Pasien
yang diikutkan pada penelitian ini adalah
pasien PGK dengan hipertensi yang
sudah pernah kontrol sebelumnya dan
sudah mendapatkan terapi hipertensi
17
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
18
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
19
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
20
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
DAFTAR PUSTAKA
1. KDOQI . 2004. Clinical Practice
Guidelines on Hypertension and
Antihypertensive Agents in Chronic
Kidney Disease .
[Cited 2014
Januari 29 ]. Avaliable from :
http://www2.kidney.org/professional
s/KDOQI/guidelines%5Fbp./
2. Tedla, Brar, R. Browne, and C.
Brown. 2011. Hypertension in
Chronic KidneyDisease: Navigating
the Evidence. Int J Hypertens. [Cited
29 Mei 2013]. Available from: :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
/21747971.
3. CDC. 2014. National Chronic Kidney
Disease Fact Sheet. [Cited 5 April
2014].
Available
from:
:
http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/fa
ctsheets/kidney.htm
4. Utsumi, Kouichi. Ken-ichiro Katsura ,
Yasuhiko lino & Yasuo Katayama.
2012. Blood Pressure Control In
Patient
with
Chronic
Kidney
Disease. J Nippon Med Sch [Cited
20 September 2014] Available from:
:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubme
d/22687353
5. Desai, Akshay. 2008. Hyperkalemia
Associated With Inhibitors of the
Renin-Angiotensin-Aldosterone
System
Balancing
Risk
and
Benefit. [Cited
19
Mei
2013]
Available
from:
http://circ.ahajournals.org
doi:
10.1161/circulationaha.108.807917.
6. Ernst, Michael E. and Joel A.
Gordon.u. 2010. Diuretic therapy:
key aspects in hypertension and
renal disease. J Nephrol . [Cited 16
Februari 2014]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
/20677164.
7. Herlitz, Hans Herlitz, et al. 2001. The
effects of an ACE inhibitor and a
calcium
antagonist
on
the
progression of renal disease: the
Nephros Study.
Nephrol Dial
21
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
11. ZHENG
Ying,et
al.
2013.
Prevalence,
Awareness,
and
Treatment Rates in Chronic Kidney
Disease Patients with Hypertension
in China (PATRIOTIC) Collaborative
Group. Chin Med J. [Cited 11
September 2014]. Available from: : .
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
/23786938 .
12. Lewis, Julia. 2010. Blood Pressure
Control in Chronic Kidney Disease:
Is Less Really More?.JASN . [Cited
8 September 2014]. Available from: :
http://jasn.asnjournals.org/content/2
1/7/1086.full.
13. Morgado, Elsa and Pedro Leo
Neves .2012. Hypertension and
Chronic Kidney Disease: Cause and
Consequence
Therapeutic
Considerations,
Antihypertensive
Drugs. [Cited 5 Mei 2013] Available
from:
http://www.intechopen.com/books/a
ntihypertensive-drugs/hypertensionin-chronic-kidney-disease-causeand-consequence-therapeuticconsiderations-.
22
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
Penelitian
23
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015
Results: The number of subjects in this study were 25 people. The mean of patients age
were respectively 46.92 15.08 years. The distribution of genotypes TT, CT and CC was
respectively 0 (0%), 9 (36%) and 16 (64%). The distribution of allele T and C was
respectively 18% and 82%.
Conclusion: VEGF gene polymorphism was not found 936 C/T in patients with breast
cancer in RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Key words: polymorphisms,
genotype, allele.
1. PENDAHULUAN
Kanker payudara merupakan
masalah global dan isu kesehatan
internasional yang penting, baik di
negara
maju
maupun
negara
[1]
berkembang.
Kanker
payudara
merupakan
kanker
solid
yang
mempunyai insidens tertinggi pertama
pada wanita di negara barat/maju dan
nomor dua setelah kanker serviks di
[1],[2]
negara
berkembang.
Kanker
payudara merupakan 29% dari seluruh
[1]
kanker yang didiagnosis setiap tahun.
Kanker payudara ini merupakan
kanker yang paling banyak diderita
wanita Indonesia dibandingkan dengan
[3]
kanker serviks. Di Indonesia, karena
tidak tersedianya registrasi berbasis
populasi,
angka
kejadian
kanker
payudara dibuat berdasarkan registrasi
berbasis patologi dengan insidens relatif
11,5%, artinya terdapat 11-12 kasus
baru per 100.000 penduduk berisiko.
Selain jumlah yang banyak, lebih dari
50% kasus ditemukan berada dalam
[2]
stadium lanjut.
Secara
keseluruhan,
kanker
payudara
merupakan
penyebab
kematian nomor dua dari seluruh kanker
[1]
setelah kanker paru. Pada tahun 2007,
terdapat 202.964 wanita yang menderita
kanker
payudara
dan
40.598
diantaranya meninggal dunia di Amerika
[4]
Serikat.
Salah satu faktor pertumbuhan
kanker payudara tergantung pada
kemampuan
angiogenesis,
yaitu
kemampuan
sel
tumor
untuk
membentuk suatu pembuluh darah baru
yang
berasal
dari
endothelium
[5]
vaskularisasi yang telah ada.
Salah satu faktor angiogenik yang
paling penting dan poten adalah
Vascular Endothelial Growth Factor
(VEGF)
yang
berikatan
dengan
reseptornya tyrosin kinase pada sel
6
endothelial
pembuluh
darah.
Berdasarkan studi in vitro dan in vivo,
24
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015
Cara Kerja
Pengambilan Darah
Sampel darah diambil melalui
punksi vena antecubiti sebanyak 2 ml
dimasukkan kedalam tabung yang
mengandung antikoagulan ethylene
diamine tetra acid (EDTA) untuk
ekstraksi DNA dan PCR.
2.2.
2.3.
Populasi
dan
Sampel
Penelitian
Populasi target dalam penelitian
ini adalah penderita kanker payudara
yang bertempat tinggal di Sumatera
Selatan, sedangkan populasi terjangkau
dalam penelitian ini adalah penderita
kanker payudara yang dirawat inap dan
25
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015
Pasangan
primer
terpilih
mempunyai
sekuen
5AAGGAAGAGGAGACTCTGCGC-3
untuk primer VEGF F (forward) dan 5TATGTGGGTGGGTGTGTCTACAGG3 untuk primer VEGF R (reverse).
Spesifisitas kedua primer dikonfirmasi
dengan melakukan BLAST melalui
website
http://www.ncbi.nlm.nih.gov.
Hasil konfirmasi menunjukkan kedua
primer spesifik untuk amplifikasi gen
VEGF 936 C/T.
2.5. Polymerase
Chain
Reaction
(PCR)
DNA genom yang diperoleh dari
hasil isolasi, dengan menggunakan
teknik PCR, fragmen-fragmen DNA
genom yang ingin dianalisis dapat
ditingkatkan kuantitasnya dengan cara
diamplifikasi secara in vitro dalam waktu
singkat
dengan
menggunakan
pasangan primer oligonukleotida sintetik
yang membatasi daerah yang akan
diperbanyak.
Pada
penelitian
ini
digunakan
sepasang
primer
oligonukleotida
untuk
deteksi
polimorfisme titik. Komposisi campuran
dengan volume total 25 l yang
digunakan saat melakukan PCR adalah
PCR mix Go Taq (Promega, USA) yang
terdiri dari 12,5 l dNTPs (campuran
dATP, dCTP, dGTP, dTTP), MgCl2 dan
Taq Polymerase, 7,5 l ddH2O, dan 3 l
DNA cetakan (template), serta primer
oligonukleotida reverse (R) dan forward
(F) masing-masing 1 l. Untuk lebih
jelas mengenai primer yang dipakai,
panjang primer, dan produk PCR pada
penelitian ini disajikan dalam tabel 1
PCR ini dilakukan pada mesin i-cycler
(Biorad). Prinsip dasar amplifikasi DNA
dengan menggunakan mesin PCR
adalah sintesis DNA in vitro secara
bireksional berulang melalui ekstensi
sepasang primer oligonukleotida yang
dirancang
berdasarkan
urutan
nukleotida dari kedua rantai DNA yang
diamplifikasi.
Proses
sintesis
ini
berlangsung dalam tiga tahap reaksi
yang berulang sebanyak 30 siklus pada
suhu berbeda, yaitu : reaksi denaturasi
0
pada suhu 95 C untuk memisahkan
rantai ganda menjadi dua rantai tunggal,
reaksi annealing yaitu menyatunya
kembali kedua rantai DNA tersebut pada
0
suhu 58 C, dan ekstensi yaitu sintesis
DNA melalui perpanjangan suatu primer
26
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015
Tabel 1. Pasangan Primer yang Digunakan Untuk Identifikasi Polimorfisme VEGF 936
C/T, Panjang Primer, dan Banyak Produk PCR yang Dihasilkan.
Primer
Sekuen
Panjang
Primer
(pb)
Forward
`5-AAGGAAGAGGAGACTCTGCGC-3
21
Reverse
5-TATGTGGGTGGGTGTGTCTACAGG-3
23
Produk
PCR
(pb)
198
27
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015
[1],[9]
dapat terjadi
pada semua usia.
Kemungkinan, perbedaan rerata umur
ini dapat terjadi karena jumlah sampel
yang lebih sedikit sehingga tidak bisa
mewakili seluruh populasi penderita
kanker payudara.
Untuk menghindari bias yang
diakibatkan oleh jenis kanker payudara,
penelitian ini hanya mengikutkan subjek
kasus yang menderita Invasive Ductal
Carcinoma
Mamma.
Selain
itu,
pengaruh kemoterapi terhadap stabilitas
materi genetik juga dicoba untuk
dihindari dengan mengeluarkan subjek
kasus
yang
pernah
mendapat
kemoterapi. Kiranya dengan usaha
tersebut di atas dapat meminimalkan
bias
pada
penelitian
ini.
Setelah
selesai
dilanjutkan
dengan elektroforesis menggunakan gel
agarose 2,5% yang mengandung
ethidium bromide. Polimorfisme gen
VEGF 936C/T
akan tervisualisasi
dengan menggunakan sinar ultra violet,
terlihat
3
variasi
genotip
hasil
pemotongan enzim restriksi NlaIII
terhadap produk ekstraksi / isolasi DNA,
yaitu:
1) Gambaran 1 pita yaitu pada 198 bp
berarti amplikon (hasil isolasi DNA
yang sudah di PCR) tidak terjadi
pemotongan oleh enzim NlaIII pada
kedua alel berarti amplikon tersebut
mengandung genotip homozigot
CC.
2) Gambaran 2 pita yaitu pada 114 bp
dan 84 bp berarti amplikon yang
direstriksi terjadi pemotongan oleh
enzim NlaIII pada kedua alel berarti
genotip homozigot TT.
3) Gambaran 3 pita yaitu pada 198 bp,
114 bp dan 84 bp berarti amplikon
yang direstriksi terjadi pemotongan
pada satu alel dan tidak terjadi
pemotongan pada alel pasangannya
berarti genotip yang terkandung
adalah heterozigot CT.
Hasil PCR Gen VEGF terlihat
pada posisi 198 bp seperti pada gambar
berikut ini.
28
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015
Gambar 2. Visualisasi Elektroforesis Hasil Ekstraksi/Isolasi DNA dan PCR Gen VEGF
Terlihat Pada Posisi 198 Bp Pada Media Gel Agarose 2,5% yang Mengandung Ethidium
Bromide Selama 2 Jam
Gambar 3 Polimorfisme Gen VEGF 936C/T Setelah Dilakukan RFLP. M = Marker DNA
Penanda, Uc= uncut, Alel T (114bp, dan 84bp) dan Alel C (198bp=C). Genotip CT Pada
Lajur 2 dan Genotip CC Pada Lajur 1, 3, 4, dan 5.
Keterangan : Sampel Nomor 1, 3, 4, 5 Genotip Heterozigot (terpotong dan memiliki dari
tiga pita, pada 198 bp, 114 bp dan 84 bp). Sampel Nomor 2 Genotip Wild
Type (tidak terpotong dan hanya memiliki satu pita pada 198 bp).
3.4.
Distribusi Frekuensi Genotif
Gen VEGF 936C/T pada Subjek
Penelitian
Setelah semua subyek penelitian
menjalani proses isolasi DNA, PCR dan
RFLP, maka didapatkan distribusi
frekuensi genotip gen VEGF 936C/T
Pada penelitian ini, yaitu distribusi
genotip TT, CT, dan CC dan masingmasing 0(0%), 9(36%) dan 16(64%).
(Tabel 3) Mutasi yang terjadi pada
promotor gen VEGF 936 C/T yang
dipotong dengan enzim NlaIII
yaitu
perubahan basa C (sitosin) menjadi
basa T (timin). Dengan teknik RFLP,
maka
mutasi
tersebut
dapat
diidentifikasi. Genotip wild type (CC)
saat divisualisasi akan terlihat pita
29
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015
Genotip
CC
CT
TT
Total
dengan
literatur,
yaitu
penelitian
penelitian Krippl et al di Austria (2002).
Penelitian Krippl et al, terhadap 500
subjek penelitian penderita kanker
payudara, melaporkan bahwa distribusi
frekuensi alel C dan T adalah 90,3%
7
dan 9,7%. Perbedaan perlakuan antara
penelitian ini dan literatur adalah pada
kriteria inklusi, yaitu penelitian ini
memasukkan
etnis
melayu
dan
pembatasan hasil PA Invasive Ductal
Carcinoma Mamma sebgai kriteria
inklusi, sedangkan pada literatur tidak.
Selain itu, jumlah subjek penelitian yang
jauh lebih sedikit juga berpengaruh
terhadap
persentase
hasil
yang
mewakili seluruh populasi.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Alel pada Polimorfisme Gen VEGF 936C/T (n=25)
Alel
Jumlah
Persentase (%)
C
T
Total
4. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data dan
pembahasan, dapat disimpulkan pada
penderita kanker pudara yang berobat di
RSUP
dr.
Mohammad
Hoesin
Palembang, ditemukan genotip CC
sebesar 64%, genotip CT sebesar
36%, dan, tidak ditemui genotip TT.
Selain itu, ditemukan pula alel C
sebesar 82%, dan alel T sebesar 18%.
5. SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
dengan jumlah sampel yang lebih besar,
proporsi yang seimbang, dan jangka
waktu yang lebih panjang agar dapat
mewakili populasi. Selain itu, perlu
41
9
50
82
18
100
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui hubungan polimorfisme gen
VEGF 936 C/T dan titik lainnya dengan
kejadian kanker payudara.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suyatno dan Pasaribu ET. Kanker
Payudara. Dalam: Bedah Onkologi
Diagnosis dan Terapi. Jakarta.
Sagung Seto. 2010; 37-81.
2. Manuaba IBTW. Ed. Panduaan
Penatalaksanaan Kanker Payudara.
Dalam: Panduan Penatalaksanaan
Kanker Solid PERABOI 2010.
Jakarta. Sagung Seto. 2010; 17-47.
3. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
2011.
Jika
Tidak
30
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015
4.
5.
6.
7.
Polymorphisms
of
Vascular
Endothelial Growth
Factor
is
Associated with Decreased Breast
Cancer Risk. Int J Cancer 2003;
106: 468-71.
8. Wehrschuetz M, Schllnast H,
Wehrschuetz E. 2009. VEGF 936C /
T Polymorphism and Association of
BI-RADS Score in Women with
Syspected Breast Cancer. Breast
Cancer:
Basic
and
Clinical
Research in Libertas Academica
Freedom to Research.
9. Hillegas KB. Karsinoma Payudara.
Dalam: Hartanto H, dkk. Ed. Price &
Wilson: Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit Edisi 6
Volume 2. Jakarta. EGC. 2006;
1303-7.
10. Watson CJ, Webb NJA, Bottomley
MJ, Brenchley PE. Identification
Polymorphisms within Vascular
Endothelial Growth Factor (VEGF)
Gene Correlation Variation VEGF
Protein Production. Cytokine 2000;
12: 1232-5.
31
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015
Penelitian
32
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
Results: Statistical analysis showed that the administration of Centella asiatica extract (180 and
360 mg/kgBW dose) and Centella asiatica phytosome extract (90, 180 and 360 mg/kgBW dose)
in the treatment groups was significant to increase NRG-1 expression and the thickness of
myelin (p<0.05).
Conclusion: The conclusion of this study is Centella asiatica phytosome extract can increase
the expression of NRG-1 and make the higher myelin thickness compared with Pegagan extract
alone.
Keywords: TBI, neuregulin-1, phytosome, myelination, Centella asiatica.
1. PENDAHULUAN
Trauma kepala sebagian besar
berdampak serius pada sistem saraf pusat
yang dikenal dengan istilah traumatic brain
[1]
injury (TBI).
Menurut Brain Trauma
Foundation tahun 2007, traumatic brain
injury paling banyak disebabkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor, cedera
ketika berolahraga, atau akibat terjatuh. Di
Indonesia sendiri, tepatnya di DKI Jakarta,
tercatat
sebanyak
53,4%
korban
kecelakaan mengalami cedera parah
[2]
terutama
pada
bagian
kepala.
Penatalaksanaan pasca TBI sangatlah
kompleks, yang meliputi rehabilitasi kognitif,
[3]
emosional, dan sosial. Modulasi NRG-1
pada TBI akan menurunkan gangguan
fungsi akibat kerusakan mielin dan dapat
[4]
menjadi sasaran terapi baru untuk TBI.
Pegagan
(Centella
asiatica)
merupakan tanaman yang sangat sering
ditemui di semua wilayah di Indonesia.
Secara etnomedicine, Pegagan sering
digunakan untuk pengobatan berbagai
macam penyakit, terutama sebagai wound
healing dan neuroprotektor, dengan
kandungan fitokimia glikosida triterpenoid
saponin, yaitu asiatikosida, asiatic acid,
[5]
madecassoside dan madecasic acid.
Namun, komponen fitokimia tersebut
cenderung
bersifat
polar
sehingga
diperlukan
cara
untuk
memodifikasi
kepolaran dari ekstrak, salah satunya
dengan cara memformulasikan ekstrak
dalam
bentuk
phytosome
dimana
phytosome adalah teknologi terbaru dalam
formulasi obat herbal yang dikembangkan
untuk memperbaiki farmakokinetika bahan
aktif obat herbal. Phytosome merupakan
pengembangan
dari
produk
herbal
konvensional dengan mengikat komponen
ekstrak
tanaman
herbal
dengan
fosfatidilkolin sehingga dapat dihasilkan
produk dengan tingkat absorbsi yang lebih
baik
dibandingkan
ekstrak
herbal
[6]
konvensional.
Hingga saat ini, belum ada penelitian
mengenai efek neuroprotektif Pegagan
33
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
2.1.3.
Variabel Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian ini
adalah dosis ekstrak Pegagan dan
phytosome ekstrak Pegagan, sedangkan
variabel terikat adalah ekspresi NRG-1 dan
ketebalan mielin neuron.
2.1.5.
Sampel Penelitian
Berdasarkan rumus Federer, jumlah
sampel tiap perlakuan minimal 4 ekor tikus
maka jumlah total tikus yang dibutuhkan
sejumlah 32 ekor menggunakan simple
random sampling.
2.1.6.
Perawatan Tikus
Tikus ditimbang dan dilakukan
adaptasi selama satu minggu di dalam
kandang berukuran 50 x 30 cm, tiap
kandang berisi 4 ekor tikus. Tikus diberi
makan 1 kali sehari.
2.1.7.
Ekstraksi Pegagan
Setiap 400 mg serbuk kering
tanaman ditambahkan 500 ml etanol teknis
dan dicampur dalam maserator dengan
penggojokan pelan selama 30 menit pada
awal perendaman. Campuran disimpan
selama 1 hari.Setelah itu filtrat disaring dan
pelarut diuapkan dengan rotary evaporator
0
[8],[9]
(suhu 80 C).
2.1.8.
Pembuatan Phytosome
Pembuatan
phytosome
melalui
metode sonikasi dengan mencampur
lecithin, etanol 70%, ekstrak Pegagan, PEG
dan natrium cholat, lalu distirer 3 jam
dengan magnetig stirer 2000 rpm. Pelarut
diuapkan lalu dihidrasi dengan aqua bebas
CO2 kemudian disonikasi.Lalu dilakukan
karakterisasi menggunakan LC-MS/MS dan
[8]
SEM.
dilakukan
visualisasi
partikel
maka
dilakukan karakterisasi ekstrak Pegagan
dan phytosome ekstrak Pegagan secara
kualitatif dan kuantitatif.
2.1.12. Prosedur
Pengumpulan
dan
Analisis Data
Hasil pengukuran ketebalan mielin
dan
ekspresi
NRG-1
dianalisa
menggunakan IBM SPSS Statistics 20
dengan tingkat signifikansi (p) = 0,05dan
taraf kepercayaan 95% ( = 0,05).
2.1.13. Instrumentasi Penelitian
Ekstraksi:
rotary
evaporator,
vacuum
drying,
overhead
stirrer.
Pembuatan phytosome: rotary evaporator,
magnetic stirrer.Karakterisasi ekstrak dan
phytosome: LC-MS/MS (UHPLC: Acella
tipe 1250, Hypersil Gold Colomn, Thermo
Scientific; MS-MS: TSQ Quantum Access
Max,Triple
Quadrupole).
Pengecekan
NRG-1 dan ketebalan mielin: Mikroskop
Scan Dot Olympus Photo Slide BX51.
2.2. Hasil dan Diskusi
Dari 400 gram serbuk simplisia
Pegagan, didapatkan ekstrak kental
seberat 83,8 gram kemudian sebagian
difomulasikan dalam bentuk phytosome
dan dilakukan karakterisasi.
2.2.1. Karakterisasi Ekstrak Pegagan
dan Phytosome Ekstrak Pegagan
2.2.1.1. Visualisasi
Partikel
menggunakan Scanning Electron
Microscopy
SEM (Scanning electron microscopy)
digunakan untuk memvisualisasikan bentuk
dan mengetahui ukuran partikel phytosome
ekstrak Pegagan. Dari hasil visualisasi
didapatkan ukuran phytosome ekstrak
[11]
Pegagan sebesar 81 - 90 nm.
Setelah
(A)
2.2.1.2. Uji
Kualitatif
menggunakan
Kromatografi Lapis Tipis
Uji kualitatif sering digunakan dalam
menentukan kandungan senyawa dalam
suatu
tanaman,
salah
satunya
[12]
menggunakan KLT.
Uji kualitatif dengan
KLT dilihat dari deteksi noda dan nilai Rf,
dua senyawa dikatakan identik jika
mempunyai nilai Rf yang sama jika diukur
pada kondisi KLT (fase diam dan fase
gerak) yang sama. Pada penelitian ini
didapatkan nilai Rf standar asiatikosida =
0.2875 dan Rf senyawa asiatikosida dalam
ekstrak = 0.2750, sedangkan rentang Rf
asiatikosida menurut literatur adalah 0.2[13]
0.35.
Hasil ini menunjukkan adanya
senyawa asiatikosida pada phytosome
yang dibuat sehingga dapat dilakukan uji
penetapan
kadar
asiatikosida
menggunakan metode LC-MS/MS.
(B)
Ekspresi
NRG-1 (sel)
Ketebalan
Mielin (m)
KN
3.12 (0.08)
30.19 (2.51
KP
1.99 (0.1)
24.37 (1.34
P1
3.7 (0.31)
31.86 (1.81
P2
3.92 (0.22)
36.30 (2.51
P3
4.02 (0.17)
49.68 (4.47
P4
2.53 (0.16)
28.32 (1.80
P5
2.82 (0.12)
30.23 (1.45
P6
3.24 (0.99)
33.73 (1.60
36
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
KN
KP
P2
P3
P5
P6
P1
P4
KN
P2
KP
P1
P3
P4
37
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
2.2.3.
38
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
39
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
Tinjuan
Pustaka
ABSTRAK
Pendahuluan: Gestasional Diabetes Melitus (GDM) merupakan suatu keadaan
intoleransi glukosa dengan derajat bervariasi yang terjadi pada saat kehamilan
berlangsung. Insiden GDM di Indonesia 1,9-2,6%. Penyebab penyakit ini bersifat
multifaktorial, namun peningkatan hormon kortisol melalui enzim 11-HSD1
menyebabkan peningkatan glucocorticoid receptor- (GR-) yang mengganggu kaskade
signal insulin pada organ sel target terutama otot skeletal, sel adiposa, dan hati. Hal ini
menyebabkan bayi lahir dengan makrosomia, hiperbilirubinemia, dan obesitas.
Sedangkan, pada wanita hamil dengan GDM dapat meningkatkan resiko preeklampsia
dan DM tipe II dikemudian hari. Oleh karena itu, pencegahan terjadinya komplikasi
pasien DGM sangat perlu dilakukan pada penghambatan enzim 11-HSD1. Hal ini dapat
dilakukan melalui INCB13739 sebagai 11-HSD1 selective inhibitor.
Pembahasan: Administrasi INCB13739 melalui jalur oral dengan dosis efektif 100 mg
per hari. Mekanisme kerja obat ini menghambat mRNA enzim 11-HSD1 sebagai
kompetitif inhibitor dengan membentuk kompleks CS-GR. Homeostasis kadar kortisol
menurunkan pula ekspresi GR- yang meningkatkan sensitivitas insulin.
Simpulan: Analisis manfaat pemberian obat ini jika dibandingkan dengan modalitas
terapi GDM saat ini adalah memiliki daya selektifitas yang tinggi dan memiliki efek
multiregulasi untuk menghomeostasiskan tubuh akibat GDM. Sehingga hal ini mencegah
komplikasi pada anak maupun wanita hamil dengan GDM.
Kata kunci: Gestasional Diabetes Melitus, INCB1379, 11-HSD1, GR-, Selective
Inhibitor
ABSTRACT
Introduction:Gestational Diabetes Mellitus (GDM) is a condition of glucose intolerance
with varying degrees that occurred during pregnancy. The incidence of GDM in Indonesia
1.9 to 2.6%. The cause of this disease is multifactorial, but the increase in the hormone
cortisol by 11-HSD1 enzyme causes an increase in glucocorticoid receptor- (GR-)
that interfere with insulin signaling cascade in the target cell organs, especially skeletal
muscle, adipose cells, and liver. GDM will lead fetus to birth macrosomia,
hyperbilirubinemia, and obesity. Meanwhile, in pregnant women GDM may increase the
risk of preeclampsia, and type II diabetes. Therefore, prevention of complications of
patients DGM very necessary in the inhibition of the enzyme 11-HSD1. This can be
done through 11-HSD1 INCB13739 as a selective inhibitor.
Pembahasan:INCB13739 administration via the oral route with an effective dose of 100
mg per day. Mechanism of action of these drugs inhibit the enzyme 11-HSD1 mRNA as
a competitive inhibitor by forming CS-GR complex. Homeostasis cortisol levels also
decrease the expression of GR- that improve insulin sensitivity.
Conclusion: Analysis of the benefits of this drug compared with current therapeutic
modalities DGM has high selectivity and has multi regulation effect to homeostatic body
from GDM. So this is to prevent complications in children and pregnant women with
GDM.
40
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015
terjadinya
hiperglikemia.
Namun,
peningkatan jumlah insulin tidak diikuti
oleh peningkatan sensitivitas insulin
pada organ sel target. Data klinis
tersebut di atas mengindikasikan
perlunya inhibisi pada enzim 11-HSD1.
Penggunaan
inhibisi
non-selektif
sekarang ini seperti carbenoxolone
meningkatkan sensitivitas insulin hepatik
dan menurunkan produksi glukosa.
Namun, inhibisi non-selektif ini juga
menghambat
11-HSD2
yang
menyebabkan terjadinya hipernatremia,
hipokalemia, dan hipertensi. Hal ini
dapat
terjadi
karena
11-HSD2
merupakan isoform yang ditemukan
pada jaringan mineralokortikoid, seperti
[9]
ginjal dan kolon.
Oleh karena itu dibutuhkan 11HSD1selective
inhibitor,
guna
mencegah peningkatan kortisol yang
sangat signifikan pada wanita hamil
dengan GDM. INCB13739 merupakan
salah satu 11-HSD1 inhibitor yang
dapat digunakan pada pasien GDM.
INCB13739 menurunkan level glukosa
plasma puasa, total kolesterol, LDL, dan
trigliserida.
Inhibisi
11-HSD1,
menurunkan pula jumlah glukokortikoid
reseptor-, sehingga terjadi peningkatan
sensitivitas insulin. Sehingga karena hal
tersebut di atas, penulis tertarik untuk
membahas
lebih
lanjut
terhadap
penggunaan
INCB13739
sebagai
inhibitor selektif pada wanita hamil.
2. PEMBAHASAN
2.1.
Administrasi
dan
Farmakodinamik/ Farmakokinetik
INCB13739 sebagai 11-HSD1
Selective
Inhibitor
Guna
Penurunan
Glucocorticoid
Reseptor-
pada
Pencegahan
Komplikasi Diabetes Gestasional
Mekanisme
administrasi
INCB13739 dilakukan melalui jalur oral,
sebab sediaan yang tersedia sampai
saat ini masih melalui jalur oral saja
untuk menghambat kerja dari enzim11HSD1 dalam mengaktivasi kortisol.
INCB13739 memiliki efek berbahaya jika
terkena bagian tubuh yang sensitif
seperti mata dan juga bila terinhalasi.
Oleh karena itu jalur oral merupakan
jalur
terbaik.
Saat
administrasi,
INCB13739 sebaiknya tidak dikonsumsi
dengan
bahan
makanan
yang
mengandung antioksidan tinggi dan
43
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015
Gambar 2.A. Perubahan Kadar ACTH pada Berbagi Dosis INCB13739 di Bandingkan
dengan Plasebo; B. Kadar Kortisol Pada Pagi dan Malam Hari pada berbagai
[17]
Dosis INCB13739.
2.2.
Mekanise Kerja INCB13739
sebagai
11-HSD1
Selective
Inhibitor
Guna
Penurunan
Glucocorticoid
Reseptor-pada
Pencegahan Komplikasi Diabetes
Gestasional
2.2.1 INCB13739 Inhibisi NADPHinduced
11-HSD1
mRNA
Expression
Ekspresi enzim11-HSD1 pada
wanita
hamil
dengan
diabetes
44
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015
HSD1[37]
INCB-13739
selain
bersifat
kompetitior
terhadap
sitokin
proinflamasi, obat ini juga menghambat
penggunaan NADPH dalam proses
pembentukan enzim 11-HSD1 yang
terletak pada kompartemen intraluminal
retikulum
endoplasma.
Aktivitas
pembentukan mRNA enzim ini didukung
oleh penggunaan NADPH sebagai
kofaktor
biosintesis.
Pembentukan
NADPH dari katalisasi proses redoks
oleh enzim G6DP melewati juga proses
pembentukan 5-carbon glucose (jalur
pentosa). Hal ini merupakan tahap
pertama dalam jalur pentose phosphate
yang sering disebut sebagai shunt
pathway membentuk gula ribosa dan
merupakan komponen esensial DNA
[24]
maupun
RNA.
Proses
ini
menunjukkan
suatu
interkoneksi
parakrin
dalam
pembentukan
glukokortikoid. Hasil metabolit enzim
11-HSD1 (corticosterone atau 11dehydrocortisone) mampu menghambat
dan meningkatkan jumlah pentosa.
Peningkatan ini terjadi oleh stimulasi
11-HSD1
oxo-reductase
yang
meningkatkan NADPH sitosol dan efek
ini pula dapat dihambat dengan
penggunaan INCB-13739.
Homeostasis
basal
kortisol
merupakan hasil yang dicapai pada
45
penggunaan INCB13739.
Meskipun
demikian, inhibisi mRNA 11-HSD1
tidak secara langsung menurunkan
kadar
kortisol
dalam
mekanisme
biosintesis
kortikosteroid
dengan
[25]
kofaktor
kolesterol.
Penurunan
biosintesis kortikosteroid hingga level
normal terjadi karena penurunan kadar
kolesterol
yang
tinggi
akibat
homeostasis enzim 11-HSD1.Melalui
hal ini, produksi progesteron dari
kofaktor kolesterol oleh plasenta berada
dalam rentangan normal. Fetal adrenal
mensintesis DHEA dan DHEAS sebagai
produk mayor, sedangkan maternal
adrenal juga memproduksi steroid.
DHEA (S) yang diproduksi oleh wanita
hamil dan fetus kemudian dikonversi
menjadi estradiol oleh plasenta.Fetal
liver menkonversi fetal DHEAS menjadi
16-hydroxy-DHEAS, namun maternal
DHEAS tidak dapat melalui proses 16hydroxylase oleh fetus. Sehingga, untuk
meningkatkan
jumlahnya,
maternal
streoid memasuki plasenta kemudian
diubah menjadi estradiol. 16-hydroxyDHEAS fetus dikonversi menjadi estriol
respon
ambilan
glukosa
dengan
stimulasi insulin di 3T3-L1adipocytes. Ia
juga
memperlihatkan
peningkatan
fosforilasi Akt2 pada tahap stimulasi
insulin. Lebih dari itu jugainhibisi pada
enzim
11-HSD1menurunkan
level
mRna-TNF-, interleukin-6, dan MCP-1,
kemudian meningkatkan ekspresi gen
adiponection pada 3T3-L1 adipocyte.
Penggunaan INCB13739 yang
menurunkan ekspresi mRNA 11-HSD1,
menurunkan pula level kortisol pada
sirkulasi darah wanita dengan DGM.
Enzim
11-HSD1 lebih banyak
terekspresi pada organ sensitif insulin.
Pada saat tidak aktif glucocorticoid
[30]
47
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015
[32[
48
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015
Obstetrics
and
Gynaecology
Research 33 144-150.
4. Lefevre F et al. 2000. The metabolic
clearance rate, blood production,
interconversion and transplacental
passage of cortisol and cortisone in
pregnancy near term. Pediatric
Research 7 509-519.
5. Metzger BE, Coustan DR. 2008
Summary and recommendations of
the Fourth International WorkshopConference on Gestasional Diabetes
Mellitus.
The
Organizing
Committee.Diabetes Carr;21 (Suppl
2): B161-7.
6. Langer O, Roriguez DA, Xenakis
EM, Mcfarland MB, Berkus MD,
Arrendondo F. 2004. Intensified
versus conventional management of
gestational diabetes. Am J Obstet
Gynecol;
170:1036-46;discussion
1046-7.
7. deHolanda, Viviane Rolim et al. 2012
A
Contributate
terapi
a
comunitarioapara o enfremtamento
das gestantes (disertasi). Joae
Pessoa (PB): Universidade Federal
da Paraiba;
8. Howard Berger et al. 2002.
Screening for gestational diabetes
mellitus. JOGC. November. No. 121
9. Thomas MP and Potter BVL. 2011.
Crystal
Structure
of
11Hydroxysteroid Dehydrogenase Type
1 And Their Use In Drug Discovery.
Future Med. Chem; 3(3) pp: 367
390.
10. Joharapurkar A, Dhanesha N, Shah
G, Kharul R, Jain M. 2012. 11Hydroxysteroid Dehydrogenase Type
1: Potential Therapeutic Target for
Metabolic
Syndrome.
Pharmacological Reports.; 64 pp
1055-1065.
11. Millat LJ, Hanf R, Hum DW. 2011.
Present And Future Challenges In
Type 2 Diabetes. Drug Discovery
World Summer; pp: 9 15.
12. American
Diabetes
Association.
2009. Late Breaking Abstract. A
Journal of American Diabetes
Association; pp: LB1 LB 41.
13. Hawkin M, Hunter D, Kishore P,
Schwartz S, Hompesch M, Hollis G,
Levy R, Williams B, Huber R. 2008.
INCB013739, a Selective Inhibitor of
11-HydroxysteroidDehydrogenase
Type 1 (11HSD1), Improves Insulin
50
51
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015
side
effects
of
glucorticoid.PharmacolTher 96:23-43
31. Thomas CR, Turner SL, Jefferson
WH, Bailey CJ. 2002. Prevention of
dexamethasone-induced
insulin
resistance by metformin. Biochem
Pharmacol 56: 1145-1150.
32. Sakoda H, Ogihara T, Anai , Funaki
M, Inukai K, Katagiri H, Fukushima
Y, Onishi Y, Ono H, Fujishiro M,
Kikuchi M, Oka Y, Asano T. 2000.
Dexamethasone-induced
insulin
resistance in 3T3-L1 adipocyte is due
to inhibition of glucose transport
rather
than
insulin
signal
transduction. Diabetes 49: 17001708.
33. Turnbor MA, Keller SR, Rice KM,
Garner CW. 2004. Dexamethasone
down-regulation of insulin receptor
substrate-1 in 3T3-L1 adipocytes. J
BiolChem 269: 2516-2520
34. Barbour
LA,
McCurdy
CE,
Hernandez TL, Kirwan JP, Catalano
PM, Friedman JE. 2007. Cellular
Mechanisms for Insulin Resistance in
Normal Pregnancy and Gestational
Diabetes.
Diabetes
Care
Supplwmwnt 2; 30 pp: S112 S119
35. International Diabetes Federation.
2009. Gestasional Diabetes Melitus.
Global Guideline on Pregnancy and
Diabetes. pp: 5-6
36. Colorado Guidline. 2006. Gestational
Diabetes
Guidelines.
Colorado
Clinical Guidelines Collaborative.; pp:
1-8
37. Kirwan JP, Hauguel-De Mouzon S,
Lepercq J, Challier JC, Huston
Presley L, Friedman JE, Kalhan SC,
Catalano PM. TNF-alpha is a
Predictor of Insulin Resistance in
Human Pregnancy. Diabete51. 2002;
pp 22072213
52
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015
Tinjuan
Pustaka
ABSTRAK
Pendahuluan: Dewasa ini, agen sitotoksik doxorubicin masih menjadi andalan dalam
terapi kanker. Namun, berbagai
studi melaporkan bahwa doxorubicin dapat
menimbulkan efek kardiotoksik. Diperkirakan efek kardiotoksik timbul akibat terbentuknya
radikal bebas dan dimediasi oleh doxorubicinol yang merupakan metabolit sekunder
alkohol. Dengan adanya peningkatan survival kanker, muncul tantangan baru untuk
mengembangkan upaya prevensi dan terapi efektif dalam mengangani efek kardiotoksik
yang diinduksi oleh doxorubicin.
Pembahasan: Flavonoid merupakan antioksidan yang poten dalam menurunkan risiko
penyakit kardiovaskular. Salah satu bahan herbal yang dikenal kaya akan flavonoid
adalah genus citrus. Rutin dan hesperidin merupakan jenis flavonoid dominan yang
terkandung dalam genus citrus. Pada studi in vivo, didapatkan bahwa rutin dan
hesperidin memiliki efek kardioprotektif dengan meningkatkan level glutathion (GSH),
aktivitas glutathion s-transferase, aktivitas GSH peroksidase, dan menurunkan level lipid
peroksidase.
Simpulan: Review ini akan membahas mengenai mekanisme molekuler yang mendasari
terjadinya efek kardiotoksik yang diinduksi oleh doxorubicin dan mekanisme molekuler
rutin dan hesperidin dalam meningkatkan survival sel jantung selama penggunaan
doxorubicin.
Kata kunci : Doxorubicin, radikal bebas, doxorubicinol, kardiotoksik, rutin, hesperidin
ABSTRACT
Introduction: Cancer therapy with conventional cytotoxic agent doxorubicin (DOX) is
limited by its cardiotoxicity. It has been suggested that DOX-induced free radicals
generation can be involved. DOX-induced cardiotoxicity also mediated by doxorubicinol
(DOXol), secondary alcohol metabolites of DOX. With the increasing cancer survivals, its
need to develop preventive and effective therapies against DOX-induced cardiotoxicity.
Review:Flavonoids appears to be a potent antioxidant that decrease cardiovascular
disease (CVD) risks. The natural products which being rich in flavonoid is belong to
genus Citrus. The major flavonoids contained in genus Citrus are hesperidin and rutin.
Study in vivo, hesperidin and rutin shows a cardioprotective effect on DOX-induced
cardiomyopathy by increasing Glutathione (GSH) level, Glutathione S-transferase (GST)
activity, GSH peroxidase activity, heart peroxidase activity and decreasing lipid
peroxidase level.
Conclusion: In this review, we will focus on the current understanding of molecular
mechanism underlying DOX-induced cardiac cell death, including production of reactive
oxygen species (ROS) and the molecular mechanism of hesperidin and rutin
pretreatment in increasing cardiac cell survival during DOX treatment.
Keywords : Doxorubicin, ROS, Doxorubicinol, Cardiotoxicity, Hesperidin, Rutin
53
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
1. INTRODUCTION
Anthracyclines is claimed as the
most effective and powerful drugs to
[1],[2]
treat cancer.
The anthracycline anticancer drug primarily doxorubicin (DOX)
is the most frequently used as
chemotherapeutic agent for various
malignancies as either carcinoma or
[3[,[4]
sarcoma.
but its cumulative and
dose-dependent cardiotoxicity has been
major concern in cancer therapeutic
practice for many years.
DOX - induced cardiotoxicity may
be present as acute or chronic
cardiomyopathy.
An
acute
cardiomyopathy occuring in 2-3 days of
DOX administration. The incidence of
acute cardiomyopathy is approximately
[5],[6]
11%.
The clinical manifestation may
be present as arrythmias, sinus
tachycardia, chest pain due to
myocarditis-pericarditis or acute left
[7],[8]
ventricular
failure.
The
electrophysiological
abnormalities
assesment may present as nonspecific
ST and T wave changes, T wave
flattening, decreased QRS voltage and
prolongation of QT interval. ECG
changes may be seen in 20 to 30% of
[9]
the patients.
In the other hand,
incidence of chronic cardimyopathy is
much lower, with an approximately
[10]
incidence about 1,7 %.
It usually
occurs within 30 days of administration
of its last dose, but it may be occur even
after 6-10 years after its administration.
As we discuss before, DOX is dosedependent
cardiotoxic
drug.
The
incidence of DOX cardiomyopathy is
related to its dose. The incidence is
about 4% when the dose of doxorubicin
is 500-550 mg/m2, rise become 18%
2
when the dose is 551-600 mg/m and
increase become 36% when the dose
2 [11]
exceeds 600 mg/m . The prognosis of
patients who develop congestive heart
failure (CHF) in chronic administration of
54
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
Fig. 2. Interaction Among DOX With the Various Apoptotic Pathways in Cardiomyocytus. The left side
of the
figure indicate how DOX begins to generate ROS and dissociation of the eNOS into
monomers,
DOX and ROS also enters the mitochondria causing the release of cytochrome C
oxidase, and
also prolongs the opening time of calcium channels in the sarcoplasmic reticulum
which
activates calcineurin. Akt phosphorylation inhibits Bad activation and is one of the main anti-apoptotic
pathways. Oxidative stress activates HSF-1 and produces more Hsp25 which increases the proapoptotic proteins. DOX: doxorubicin, DOXol: doxorubicinol, DOXq:
doxorubicin
semiquinone,
ROS : reactive oxygen species, SE : Sarcoplasmic reticulum, HSF:
Heat-shock factor, Hsp: Heat[28]
shock protein, CytC: Cytochrome C and Casp3: caspase3.
(Adopted from Oktavia et al. )
55
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
Hesperidin
exactly
is
hesperitin
(aglycone) linked to glucose and
rhamnose sugars at position-7 of the A
[57]
ring
which has higher bioavailability
compared to hesperitin (aglycone)
[58]
itself.
Hesperidin
showed
radical
[59]
scavenging activity
and also proven
as potent antioxidant detected by using
[17]
electron spin resonance.
Rutin
(quercetin-3-O-glucosylrhamnose ) is flavonol glycoside
composed of quercetin and the
disaccharide rutinose. Rutin is an
important antioxidant and it has been
reported to be a potent scavenger of
hydroxyl and superoxide radicals and
[60]
prevent lipid peroxidation.
In vivo study showed that
doxorubicin-administered rats pretreated
with hesperidin and rutin recorded a
significant increase in GSH level,
glutathione peroxidase, GST and
56
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
2.3.2. Hesperidin
Restoring
Mitochondrial Enzyme Complex
Activity
The
precise
molecular
mechanisms
responsible
for
mitochondrial dysfuntion due to ROS in
cardiomyocytes are not fully understood.
However, mitochondrial respiration and
the mitochondrial respiratory chain seem
to be especially susceptible to ROS and
free radicals. Thus, during DOX induced ROS generation, complexes I,
II, and III of the mitochondrial respiratory
[67]
get damaged
it causing mitochondrial
adenosine triphosphate (ATP) depletion
and loss of mitochondrial respiration.
The latter has been directly linked to
apoptotic cardiac cell death.
In recent study proved that
hesperidin pretreatment significantly
restored mitochondrial enzyme complex
activity (I,II and III) suggesting its role in
mitochondrial enzyme complex activity.
2.2.3. Rutin Increasing Heart GSH
Level and GST Activity
Glutathione (GSH) or tripeptide glutamylcysteinylglycine is a ubiquitous
nonprotein present in all cell types in
millimolar concentration. The major roles
of GSH are to maintain the intracellular
redox balance and to eliminate
xenobiotica and ROS. Thus, GSH
provides the cell with multiple defenses
not only against ROS but also against
[41[,[68]
other toxic insults.
The
increasing
GSH
level
(Table.1) is related to two-step synthesis
57
As
shown
in
Table
1,
pretreatment of rutin in DOX treated rat
can increase GST activity. In general
mechanism of GST, GST activity
depends on GSH as an essential
cofactor. As mentioned before, that rutin
can increase GSH level. It will implicate
directly with increasing level of GST.
glutathione
become
nontoxic
[79],[80],[41]
metabolites.
Decreasing GSH-PO activity is
due to inactivation mechanism of
selenium-dependent GSH-peroxidase-1
[81]
(GSH-P1) after treatment of DOX.
The
mechanism
of
rutin
increasing GSH-PO activity remains
unclear but in previous studies showed
that rutin increased the expression of
both GSH-PO protein and mRNA which
implicated to increasing of GSH-PO
[82]
activity respectively.
2.2.5. Rutin Increasing Heart
Peroxidase Activity and Lowering
Lipid Peroxidation Level
3. CONCLUSION
Citrus flavonoid is an excellent
source of flavonoids. The major
flavonoids in citrus are Hesperidin and
Rutin. In our study provide a better
insight into the molecular mechanisms
of Hesperidin and Rutin in protecting
against DOX - induced cardiotoxicity.
Those
flavonoids
pretreatment
increased cardiac cell survival during
DOX treatment through five mechanism
: (1) the prevention of ROS and DOXol
formation by iron chelation mechanism,
(2) the restoration of mitochondrial
enzyme complex activity, (3) increasing
of GSH level and GST activity, (4)
increasing of GSH-PO activity and (5)
increasing heart peroxidase activity and
59
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
REFERENCES
1. Weiss RB. The anthracyclines: will
we ever find a better doxorubicin?
Semin Oncol 1992; 19:
670-86.
2. Singal PK and Iliskovic N.
Doxorubicin-induced
cardiomyopathy. N
Engl J Med
1998; 339: 9005.
3. Jordon MA. Anti-cancer agents. Cur
Med Chem 2002; 2: 117.
4. Carvalho C, Santo RX, Cardoso S,
Correia S, Oliveira PJ, Santos MS
and Moreira PI.
Doxorubicin:
the good, the bad and the ugly
effect. 2009. Cur Med Chem 2009;
16(25):326785.
5. Swain SM, Whaley FS and Ewer
MS: Congestive heart failure in
patientstreated with doxorubicin. A
retrospective analysis of three trials.
Cancer 2003; 97: 286979.
6. Takemura G and Fujiwara H:
Doxorubicin-induced
cardiomyopathy from the cardiotoxic
mechanisms to management. Prog
Cardiovasc Dis 2007; 49: 330352
7. Zucchi R and Danesi R. Cardiac
toxicity
of
antineoplastic
anthracyclines. Curr Med Chem
2003; 3: 151 171.
8. Shakir
DK
and
Rasul
KI.
Chemotherapy
Induce
Cardiomyopathy:Pathogenesis,
Monitoring and Management.
J
Clin Med Res. 2009 April; 1(1): 8
12.
9. Frishman WH, Sung HM, Yee HC,
Liu LL, Keefe D, Einzig AI and
Dutcher J. Cardiovascular toxicity
with cancer chemotherapy. Curr
Probl
Cancer.
1997;21(6):301360.
10. Von Hoff DD, Layard MW, Basa P,
Davis HL
Jr, Von Hoff AL
Rozencweig M and Muggia FM.
Risk factors for doxorubicininduced
congestive heart failure.
Ann Intern Med 1979; 01: 710717.
11. Lefrak EA, Pitha J, Rosenheim S
and Gottlieb JA. A clinicopathologic
analysis
of
Adriamycin
cardiotoxicity. Cancer 1973; 32:
302314.
12. Meiyanto E, Hermawan A and
Anindyajati. Natural products for
cancer-targeted therapy : Citrus
flavonoids
as
potent
chemopreventive agents. Asian
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
and
daunorubicin.
Biochem
Pharmacol 1999; 57: 727 741.
Iarussi D, Indolfi P, Casale F, et
al.Recent
advances
in
the
prevention
of
anthracycline
cardiotoxicity in childhood. Curr Med
Chem 2001; 8: 1649- 1660.
Wallace KB. Doxorubicin-induced
cardiac
mitochondrionopathy.
Pharmacol Toxicol 2003; 93:105
115.
Minotti G, Menna P, Salvatorelli E,
Cairo G and Gianni L. Anthracyclins:
Molecular
Advance
and
Pharmacologic Developments in
Antitumor Activity and Cardiotoxicity.
Pharmacol Rev 2004, 56: 185-228.
Bruton L, Lazo JS and Parker, KL.
Goodman
&
Gilmans
ThePharmacological
Basis
of
Therapeutics, 11th Edition, Lange;
New York 2005.
Neilan TG, Blake SL, Ichinose F, et
al. Disruption of nitric oxide
synthase 3 protects against the
cardiac injury, dysfunction, and
mortality induced by doxorubicin.
Circulation 2007; 116: 506 514.
Octavia Y, Tocchetti CG, Gabrielson
KL, Janssens S, Crijns HJ and
Moens
AL.
Doxorubicin-induce
cardiomyopathy: from molecular
mechanisms
to
therapeutic
strategies. J Mol Cell Cardiol 2012;
52: 1213 25.
Childs AC, Phaneuf SL, Dirks AJ, et
al. Doxorubicin treatment in vivo
causes cytochrome C
release
and cardiomyocyte apoptosis, as
well as increased mitochondrial
efficiency, superoxide dismutase
activity, and Bcl-2:Bax ratio. Cancer
Res 2002; 62: 45924598.
Camello-Almaraz C, Gomez-Pinilla
PJ, Pozo MJ, et al. Mitochondrial
reactive oxygen species and Ca2+
signaling. Am J Physiol Cell Physiol
2006; 291: C1082C1088.
Lebrecht D and Walker UA. Role of
mtDNA lesions in anthracycline
cardiotoxicity. Cardiovasc Toxicol
2007; 7: 108113.
Deniaud A, Sharaf El Dein O,
Maillier E, et al. Endoplasmic
reticulum stress induces calciumdependent permeability transition,
mitochondrial
outer
membrane
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
62
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
67.
68.
69.
70.
71.
72.
73.
74.
75.
76.
77.
78.
79.
80.
81.
82.
83.
64
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
Artikel
Penyegar
ABSTRAK
Pendahuluan: Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan suatu keadaan dimana
terdapat penimbunan plak pada pembuluh darah koroner, sehingga arteri koroner
mengalami penyempitan dan tersumbat. WHO mengestimasi sebanyak 20 juta kasus
kematian akibat jantung koroner pada tahun 2015 dan 80% kasus kematian datang dari
negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Pembahasan: Berdasarkan hasil kajian literatur, konsep Ayurveda dapat digunakan
sebagai konsep dalam pencegahan maupun terapi dalam penatalaksanaan jantung
koroner. Ayurveda adalah ilmu kedokteran agama Hindu yang berasal dari India kuno
yang menekankan kombinasi yang tepat antara indra yang sehat, tubuh, dan jiwa. Dua
prinsip dasar ayurveda adalah mengonsumsi suplemen herbal serta perubahan gaya
hidup melalui yoga dan olahraga dapat menjadi menjadi perhatian utama dalam
penatalaksanaan penyakit jantung koroner. Yoga dan meditasi dapat menurunkan
tekanan darah dan menurunkan produksi noradrenalin yang memiliki efek terhadap
metabolisme glukosa dan lipid. Peran olahraga dalam jantung koroner terkait dengan
meningkatkan metabolisme jantung, menyebabkan regresi aterosklerosis, dan
meningkatkan reseptor insulin. Sementara, mengonsumsi produk herbal seperti buah
malaka, jahe (shogaol), dan bawang putih (allicin) dapat meningkatkan antioksidan,
menurunkan serum trigliserida, meningkatkan vitalitas jantung, menurunkan agregasi
trombosit, menurunkan tekanan darah, dan melancarkan sirkulasi darah.
Simpulan:Keseluruhan potensi tersebut memberikan prospek cerah terkait konsep yang
ditawarkan untuk diaplikasikan sebagai modalitas komprehensif dalam penatalaksanaan
jantung koroner.
Kata kunci : Penyakit jantung koroner, Ayurveda, yoga, olahraga, malaka, jahe, bawang
putih
ABSTRACT
Introduction:Coronary heart disease (CHD) is a condition where there are accumulation
of plaque in the coronary arteries, so that the coronary arteries are narrowed and
blocked. WHO estimates that 20 million cases of death due to coronary heart disease in
2015 and 80% of deaths come from developing countries including Indonesia.
Review:Based on the results of literature review, the concept of Ayurveda can be used
as a concept in the prevention and therapy in the management of coronary heart disease.
Ayurveda is the science of medicine Hinduism derived from ancient India which
emphasizes the right combination of healthy senses, body, and soul. Two basic principles
of ayurveda are taking herbal supplements and lifestyle changes through yoga and
exercise can become a major concern in management coronary heart disease. Yoga and
meditation can decrease blood pressure and reduce the production of noradrenaline
which has effect on glucose and lipid metabolism. The role of exercise in coronary heart
disease associated with increase metabolism of the heart, causing regression of
atherosclerosis, and increase insulin receptor. Meanwhile, taking herbal products such as
malaka fruit, ginger (shogaol), and garlic (Alicin) can increase the antioxidant, decrease
triglycerides, increase vitality of the heart, reduce platelet aggregation, decrease blood
pressure, and increase blood circulation.
Conclsion: All of that potential bring nice prospects related of the concepts to be applied
as a comprehensive modality in the management of coronary heart disease.
65
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
Keywords: Coronary heart disease, Ayurveda, yoga, exercise, malaka, ginger, garlic
1. PENDAHULUAN
Terdapat sebuah quote yang
berkata, "jantung adalah pusat berpikir,
pengendali tubuh, dan akal manusia".
Quote tersebut menunjukkan bahwa
peran jantung sangatlah penting dalam
proses berlangsungnya hidup seorang
manusia, meskipun jantung tidak terasa,
tidak teraba, dan tidak terpikirkan
aktivitasnya. Hal ini terjadi karena
jantung didominasi oleh sistem saraf
otonom yang bekerja secara otomatis
tanpa perintah dan tanpa pengendalian
secara sadar.
Jantung memiliki fungsi yang
sangat vital dalam tubuh seorang
manusia. Jantung menyediakan darah
yang kaya oksigen dan dialirkan ke
seluruh tubuh serta membersihkan
tubuh dari hasil metabolisme (karbon
dioksida).
Jika kondisi jantung
terganggu, maka sudah dipastikan
kondisi organ-organ lain pun terganggu,
seperti otak dan ginjal bahkan dapat
berujung kematian. Seseorang akan
kehilangan kesadaran jika kekurangan
oksigen hingga 10 detik dan sel-sel otak
akan rusak jika kehilangan oksigen
selama 4-6 menit, bahkan dapat
meyebabkan stroke. Selain mengangkut
oksigen, peredaran darah jantung juga
mengangkut metabolit yang dihasilkan
atau
produk
limbah
(seperti urea atau asam
urat)
yang
kemudian diangkut ke organ-organ
ekskresi seperti ginjal. Jika fungsi
jantung terganggu, maka fungsi ekskresi
pun juga terganggu.
Pada tahun 2005, total kasus
penyakit
kardiovaskular
meningkat
menjadi 17,5 juta dari 14,4 juta pada
tahun
1990.
Jantung
koroner
merupakan salah satu penyakit yang
mendominasi penyakit kardiovaskular
dengan jumlah kasus sebanyak 7,6
[1]
juta. WHO mengestimasi sebanyak 20
juta kasus kematian akibat jantung
koroner pada tahun 2015 atau 30% dari
total kematian di seluruh dunia. Lebih
dari 80% kasus kematian datang dari
negara
berkembang
yang
berpendapatan
rendah
hingga
[2]
menengah termasuk Indonesia.
Untuk
Indonesia
sendiri,
prevalensi penyakit jantung koroner
meningkat dari tahun ke tahun. Hasil
Survei Konsumsi Rumah Tangga
(SKRT) Departemen Republik Indonesia
menunjukkan bahwa prevalensi penyakit
jantung koroner di Indonesia terus
meningkat tiap tahunnya (tahun 1992
16,6%; 1995 19,0%; 2001 26,0%). Di
Indonesia, pada tahun 2002 dilaporkan
angka kematian akibat PJK (penyakit
jantung koroner) sekitar 100.000
[3]
499.999.
Penyakit jantung koroner (PJK)
merupakan keadaan dimana terjadi
penimbunan plak pembuluh darah
koroner. Hal ini menyebabkan arteri
koroner menyempit atau tersumbat.
Faktor risiko penyakit jantung koroner
ada yang membaginya dalam faktor
risiko
primer
(independen)
dan
sekunder. Faktor risiko primer adalah
faktor
yang
dapat
menyebabkan
gangguan arteri berupa aterosklerosis
(akumulasi lemak atau lipid pada
dinding pembuluh darah arteri) tanpa
harus
dibantu
oleh
faktor
lain
(independen),
yaitu
hiperlidemia,
merokok, dan tekanan darah tinggi.
Faktor risiko sekunder adalah faktor
yang dapat menimbulkan kelainan arteri
bila ditemukan faktor lain secara
bersamaan, yaitu diabetes melitus (DM),
obesitas, stres, kurang olahraga,
[4]
alkohol, dan riwayat keluarga.
Berkaca dari data tersebut, tentu
saja sangat mengkhawatirkan jika
mengingat tingginya prevalensi dan
komplikasi penyakit yang ditimbulkan
oleh jantung koroner. Jantung koroner
adalah penyakit sistemik, jika tidak
segera ditangani maka akan berdampak
terhadap sistem peredaran darah
jantung secara keseluruhan, seperti
gagal jantung, serangan jantung,
bahkan dapat menimbulkan kematian.
Penanganan yang tepat pun juga sangat
diperlukan. Jika kita berhasil mengkaji
lebih dalam, maka masih ada banyak
cara untuk mencegah serta mengobati
penyakit jantung koroner baik di
Indonesia maupun di dunia. Salah satu
66
secara
berkesinambungan
dan
dikombinasikan dengan gaya hidup
sehat lainnya. Biasakanlah minum air
putih minimal 2 liter sehari, olahraga
yang teratur, istirahat yang cukup,
pikiran tidak stres, serta mengonsumsi
makanan yang tentunya menyehatkan
dan
bermanfaat
bagi
tubuh.
Penanganan jantung koroner juga
mengandung prinsip mencegah lebih
baik daripada mengobati. Proses
pencegahan harus dimulai sejak saat ini
agar tidak terucap kata terlambat di
kemudian hari. Sebelum berbagai
macam komplikasi penyakit muncul
akibat jantung koroner, maka sebaiknya
berusahalah
untuk
menghilangkan
jantung koroner tersebut. Jika memiliki
niat, usaha, dan kerja keras maka
segala sesuatu tidak ada yang mustahil
untuk terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
1. World
Health
Organization
(WHO). 2008. The global burden of
disease: 2007 update. Geneva:
World Health Organization.
2. World
Health
Organization
(WHO). 2009. World health statistics
2009. Geneva:
World
Health
Organization.
3. Karim F. 2007. Panduan Kesehatan
Olahraga Bagi Petugas Kesehatan.
Jakarta: Pusat promosi Departemen
Kesehatan RI.
4. Norhashimah BJ. 2010. Gambaran
Pengetahuan dan Sikap Masyarakat
Tentang Penyakit Jantung Koroner
(PJK) Di Kelurahan Tanjung Rejo.
[disertasi].
Medan:
Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
5. Prakash VB. 2010. Sustainable
Effect of Ayurvedic formulations in
the treatment of nutritional anemia in
adolescent students. Journal Altern
Complementary Medicine. Hindawi
Alternative and Complementary
Medicine; 205-210.
6. Gupta R. 2005. Regression of
coronary atherosclerosis induced by
drugs, diet and lifestyle changes.
Contemporary Medicine-1. New
Delhi; 54-58.
7. Darren E.R., Crystal W.N., Shannon
S.D. 2006. Health benefits of
69
8.
9.
10.
11.
12.
13.
70
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
Laporan
Kasus
ABSTRAK
Latar Belakang: Neurodermatitis sirkumskripta (NS) merupakan salah satu penyakit kulit
yang cukup sering dijumpai dalam praktik sehari-hari. Walaupun tidak menyebabkan
kematian, NS dapat menyebabkan komplikasi dan morbiditas yang cukup tinggi.
Ilustrasi Kasus: Seorang wanita berusia 34 tahun datang ke poliklinik Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin RSMH dengan keluhan utama berupa bercak kehitaman yang semakin
menebal pada punggung kaki kanan kisaran satu pekan yang lalu. Pasien juga mengeluh
gatal yang hilang timbul. Riwayat penyakit yang sama sebelumnya dan penyakit dalam
keluarga disangkal. Dari pemeriksaan dermatologi, didapatkan plak hiperpigmentasi,
soliter, irreguler, ukuran 5 x 2 cm, batas tegas, dengan likenifikasi sebagian ditutupi
skuama kasar, putih, kasar, kering, selapis. Dari pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH
10%, tidak dijumpai hifa dan spora. Diagnosis yang ditegakkan adalah neurodermatitis
sirkumskripta. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien adalah edukasi,
kortikosteroid topikal poten (krim betametason dipropionat 0,05% 2 x sehari dioleskan
pada bagian lesi), dan antipruritus (klorfenilramin maleat 2 x 4mg).
Diskusi: Diagnosis NS ditegakkan berdasarkan gambaran klinis pada daerah predileksi
adanya likenifikasi, skuamasi yang umumnya unilateral pada orang dewasa dengan
adanya faktor emosi/psikologis. Pengobatan ditujukan untuk memutus rantau gatalgaruk-gatal melalui pencarian faktor pencetus. Terapi lini pertama untuk mengontrol gatal
adalah pemberian kortikosteroid topikal poten dan antipruritus. Sebagai kesimpulan,
penting bagi para dokter agar dapat menegakkan diagnosis dan melakukan
penatalaksanaan NS.
Kata Kunci: neurodermatitis
penatalaksanaan
sirkumskripta,
1. PENDAHULUAN
Neurodermatitis
sirkumskripta
atau liken simpleks kronik merupakan
peradangan
kulit
kronis,
gatal,
sirkumskrip yang ditandai dengan kulit
tebal dan garis kulit tampak lebih
menonjol (likenifikasi) menyerupai kulit
batang kayu akibat garukan atau
gosokan yang berulang-ulang karena
[1]
berbagai rangsangan. Walaupun tidak
menyebabkan kematian, NS dapat
mengganggu
aktivitas
sehari-hari
pasien. Pasien NS mengalami rasa
gatal yang hebat sehingga menganggu
siklus tidur pasien. Dari laporan suatu
penelitian, pasien NS mengalami
gangguan siklus tidur pada fase nonrapid eye movement (NREM) dan
peningkatan indeks arousal (bangun
[2],[3]
tiba-tiba dari tidur).
Selain itu, pasien
NS rentan mengalami depresi karena
dari penelitian, pasien NS memiliki skor
liken
simpleks
kronik,
diagnosis,
2. ILUSTRASI KASUS
2.1. Identitas Pasien
Nama
: Ny. Y
Usia
: 34 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Menikah
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Bangsa
: Indonesia
Alamat
:Kertapati,
Palembang
Sistem Pembayaran
: Askes
Kunjungan pertama ke poliklinik IKKK
RSMH, tanggal 29 Agustus 2013
2.2. Anamnesis
(Autoanamnesis
tanggal 29 Agustus 2013, pukul
12.10 WIB)
2.2.1. Keluhan Utama:
Bercak
kehitaman
yang
semakin menebal pada punggung kaki
kanan kisaran satu pekan yang lalu
2.2.2. Keluhan Tambahan:
Gatal
2.2.3. Riwayat Perjalanan Penyakit :
Kisaran 3 tahun yang lalu,
pasien
mengeluh
timbul
bercak
kemerahan pada punggung kaki kanan.
Pada awalnya bercak timbul sebesar biji
jagung dan bertambah luas ukurannya
sebesar uang logam seratus rupiah.
Bercak merah disertai gatal yang hilang
timbul. Pasien lalu menggaruk bercak
tersebut terus-menerus hingga kulit
punggung kaki kanan lecet. Pasien
sering menggaruk saat pasien tidak ada
kegiatan. Pasien tidak berobat.
Kisaran 1 tahun yang lalu,
bercak kemerahan pada punggung kaki
kanan semakin membesar ukurannya
sebesar uang logam lima ratus rupiah,
menebal dan menjadi kehitaman. Gatal
tidak dipengaruhi oleh waktu dan tidak
menjadi lebih gatal saat berkeringat.
Pasien
tidak
berobat,
hanya
mengoleskan
minyak
gandapura
(asam salisilat dan mentol) namun
keluhan gatal dan bercak merah tidak
ada perbaikan.
Kisaran 6 bulan yang lalu,
bercak kehitaman pada punggung kaki
kanan semakin menebal. Pasien
merasakan gatal hilang timbul sehingga
pasien menggaruknya hingga lecet.
Pasien mengaku hanya menggunakan
sandal saat bekerja. Pasien berobat ke
puskesmas, diberi satu macam salep
72
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
Mata
:konjungtiva palpebra anemis (), sklera ikterik (-), orbital darkening (-),
lipatan infraorbital (-), injeksi silier dan
konjungtiva (-)
Hidung
: tidak ada kelainan
Telinga
: tidak ada kelainan
Mulut
: cheilitis (-), tonsil T1-T1
Leher
: lipatan leher anterior (-)
Toraks :
Jantung
: HR=84 x/menit, regular,
murmur (-), gallop (-).
Neurodermatitis sirkumskripta
5. PENATALAKSANAAN
Umum :
Memberikan
informasi
kepada
pasien bahwa penyakitnya belum
diketahui
penyebab
pastinya,
namun bukan merupakan penyakit
yang menular.
Memberikan
informasi
kepada
pasien bahwa penyakitnya dapat
kambuh kembali, sehingga pasien
dianjurkan untuk segera berobat bila
terjadi kekambuhan.
73
Memberikan
informasi
kepada
pasien tentang pengobatan yang
akan dilakukan dan berobat secara
teratur.
Memberikan penjelasan kepada
pasien agar tidak menggaruk bercak
tersebut dan memotong kuku hingga
pendek.
Khusus :
Topikal
Krim
betametason
dipropionat
0,05% 2 x sehari dioleskan pada
bagian lesi.
Sistemik
ad
6. DISKUSI
Neurodermatitis
sirkumskripta
(NS) merupakan pola respons kutaneus
berupa hipertrofi epidermal yang
disebabkan oleh kebiasaan kronik
menggosok atau menggaruk kulit secara
spontan (rantai gatal-garuk-gatal) yang
ditandai secara klinis dengan penebalan
kulit disertai garis-garis kulit yang
tampak lebih jelas menyerupai kulit
[5],[6]
batang pohon.
Kasus umumnya
terjadi pada usia dewasa dengan
puncak insidens NS pada usia antara 30
hingga 50 tahun dan relatif jarang terjadi
pada anak-anak. Wanita lebih banyak
menderita NS dibandingkan dengan
[1]-[3]
pria.
Kasus NS juga dilaporan lebih
sering pada populasi Asia, terutama ras
[5],[7]
Oriental.
Dari identifikasi awal,
didapatkan pasien berjenis kelamin
perempuan, berumur 34 tahun, dan
memiliki
kebangsaan
Indonesia
(populasi Asia). Dari identifikasi lebih
lanjut, pasien pada laporan kasus
mengeluh bercak hitam yang semakin
menebal pada punggung kaki kanan.
Temuan klinis pada pasien sesuai
dengan gejala klinis pasien NS. Bercak
hitam yang menebal ini merupakan
likenifikasi. Likenifikasi terjadi akibat
hipereksitabilitas gatal abnormal dari
kulit yang mengalami likenifikasi muncul
akibat respons minimal terhadap
stimulus eksternal (umumnya garukan)
[5]
Riwayat
Atopi
(-/+)
(+)
(-/+)
Tinea Pedis
Tipe
[8],[9]
Keratotik
Dapat
dijumpai
pada
seluruh
kelompok
usia,
namun
jarang
ditemukan pada
anak-anak
Infeksi jamur T.
rubrum
Pemakaian
sepatu tertutup,
menggunakan
fasilitas
umum
bersamaan,
hiperhidrosis,
sela jari yang
sempit
(-)
76
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
Predileksi
Lesi Kulit
Pemeriksaan
penunjang
Kerokan
kulit dengan
KOH 10%
Patch test
Dermatografi
sme putih
Telapak
kaki,
punggung kaki,
aspek medial dan
lateral kaki
Likenifikasi,
skuama,
hipo
atau
hiperpigmentasi,
erosi, ekskoriasi,
krusta.
Beberapa bercak
kering lokalisata,
eritema,
hiperkeratosis,da
n fisura
Bercak
atau
skuamasi difus,
dapat
disertai
likenifikasi
(-)
(-)
(-)
(+)
(-)
(-)
(-)
(+)
(+)
(-)
(-)
(-)
Sediaan
Nama Dagang
Kelas 1-Superpoten
Betametason
dipropionat
0,05%
1,2
dengan vehikulum teroptimalisasi
1,2
2 1,2
1,2
1,2
1,2
1,2
1,2
1,2
1,2
1,2
1,2
Gel/losio/salep
Diprolene
Losio/spray
Clobex
Foam
Olux
Krim/krim emolien/gel/salep
Temovate
Salep
Psorcon
Krim
Vanos
Tape
Cordran
Krim/salep
Ultravate
Salep
Cyclocort
Krim
Diprolene AF
Salep
Diprosone
Krim/salep
Topicort
Gel
Topicort
Salep
Florone
Salep
Maxiflor
Krim/gel/salep
Lidex
Krim/solusio/salep
Halog
Salep
Elocon
Salep
77
1,2
1,2
Krim/solusio
Cyclocort
Krim
Diprosone
Florone
1,2
Krim
Maxiflor
Psorcon E
Fluosinonid 0,05%
1,2
Krim
Lidex E
1,2
Salep
Cutivate
Salep
Krim
1,2
1,2
1,2
1,2
1,2
1,2
1,2
1,2
1,2
Foam
Luxiq
Krim
Cloderm
Krim
Topicort LP
Salep
Synalar
Salep
Cordran
Krim
Pandel
Salep
Westcort
Krim/losio
Elocon
Salep
Dermatop
Salep
Kenalog
Krim
Kenalog
Spray
Kenalog
1,2
1,2
1,2
1,2
1,2
1,2
1,2
Losio
Diprosone
Krim/losio
Valisone
Krim
Synalar
Krim
Cutivate
Lipokrim
Locoid
Krim
Westcort
Krim emolien
Dermatop
Krim/losio
Kenalog
1,2
1,2
1,2
Salep/krim
Aclovate
Losio
Gel/salep/krim/losio/foam
DesOwen
Tridesilon
1,2
Krim/solusio
Synalar
Minyak
DermaSmoothe/FS
78
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015
Krim
2
Krim/losio
Aristocort
1,2
5.
6.
7.
3. Burgin S. Lichen Simplex Chronicus.
In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
editors. Fitzpatricks Dermatology in
th
General Medicine. 7 Edition. New
York: Mc-Graw Hill; 2008. p. 160162.
4. Konsil Kedokteran Indonesia. Liken
simpleks
kronik/neurodermatitis
sirkumskripta. Dalam: Standar
8.
79
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015