Anda di halaman 1dari 92

SUSUNAN PENGURUS

Penasehat
Prof. dr. Saleha Sungkar, DAP&E, MS,
SpParK

dr. I Nyoman Sutarsa, MPH


Universitas Udayana

dr. Citra Wulan Sucipta Putri, MPH


Universitas Udayana

Penanggung Jawab
Andi Qautsar Syahrezo

dr. Luh Virsa Paradissa


Universitas Udayana

Universitas Hasannudin

Penyunting Pelaksana
Pimpinan Umum
Ni Putu Ayu Astri Prana Iswara
Universitas Udayana

Matthew Billy
Universitas Indonesia

Made Harumi Padmaswari


Universitas Gadjah Mada

Pimpinan Redaksi

Mochamad Iskandarsyah Agung R.

Tjokorda Istri Pramitasuri

Universitas Indonesia

Universitas Udayana

Ni Made Erika Suciari


Universitas Udayana

Sekretaris
Siti Arifah

Kharisma Ridho Husodo


Universitas Brawijaya

Universitas Hasannudin

Bendahara
Fahrun Nisai Fatimah

Humas dan Promosi


Afandi Charles
Universitas Padjajaran

Universitas Airlangga

Muhammad Faisal Putro Utomo

Penyunting Ahli
Prof. dr. Mohamad Sadikin, D.Sc.
Universitas Indonesia

dr. Arta Farmawati, Ph.D


Universitas Gadjah Mada

Dr. Dra. Sunarti, M.Kes.

Universitas Udayana

Kevin Ezekia
Universitas Udayana

Tata Letak
Dewa Ayu Sri Agung Suandewi
Universitas Udayana

Universitas Gadjah Mada

dr. Rustamaji, M.Kes.

Dito Setiadarma
Universitas Udayana

Universitas Gadjah Mada

Pande Mirah Dwi Anggreni


Universitas Udayana

i
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

DAFTAR ISI

ISSN : 2302-6391

Susunan Pengurus .......................................................................................................... i


Daftar Isi ............................................................................................................................ ii
Petunjuk Penulisan ...................................................................................................... iv
Sambutan Pimpinan Umum ...................................................................................... xi

Editorial
Manajemen Deteksi Dini Terpadu Retinoblastoma: Upaya Bijak Jaga Buah Hati Kita
Surya Wijaya

............................................................................................................................................... 1

Penelitian
Identifikasi Polimorfisme Gen CYP26 Pada Empat Etnis Pada Mayor Penduduk Kota
Palembang
Enggar Sari Kesuma Wardhani

.........................................................................................................................................................................................................6

Studi Cross Sectional Terapi Hipertropi Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Di
Poliklinik Ginjal Hipertensi Instalansi Rawat Jalan RSUD Dr. Soetomo
Irene Sienatra, Aditiawardana, Atika
..................................................................................................................................................................................................... 16

Identifikasi Polimorfisme Gen VEGF 936 C/T Pada Penderita Kanker Payudara Di
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Fajriani Kurnia Rosdi, Surya Wijaya, Muhammad Irsan Saleh, Chairil Anwar, Ika Kartika Putri
..................................................................................................................................................................................................... 23

Phytosome Ekstrak Pegagan Sebagai Modulator Neuregulin-1 Pada Traumatic Brain


Injury
Putri Fitri Alfiantya, Oktavia Rahayu Adianingsih, Zulkarnaen, Alif Fariz Jazmi, Sitti Ayu Hemas Nurarifah,
Wibi Riawan
..................................................................................................................................................................................................... 32

Tinjauan Pustaka
IIB-HSD1 Selective Inhibitor Via INCB13739 Guna Penurunan Glucocorticoid
Recepror- Pada Pencegahan Komplikasi Pasien Diabetes Gestasional
R. Prawira Bayu Putra Dewa, I Made Widiarta Kusuma

ii
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

..................................................................................................................................................................................................... 40

The Cardioproctective Effects of


Citrus Flavonoid on Doxorubicin-induced
Cardiotoxicity Chemotherapy : A Prospective Review
Aditya Doni Pradana, Gisca Ajeng Widya N.
..................................................................................................................................................................................................... 53

Artikel Penyegar
Konsep Ayurveda Dalam Penatalaksanaan Jantung Koroner
Komang Leo Krisnahari
..................................................................................................................................................................................................... 65

Petunjuk Praktis
Diagnosis Dan Penatalaksanaan Neurodermatitis Sirkumsripta
Surya Wijaya, Rusmawardiana
..................................................................................................................................................................................................... 71

iii
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

PETUNJUK PENULISAN
Pedoman Penulisan Artikel
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI)
Indonesia Medical Students Journal
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI) merupakan publikasi ilmiah
yang terbit setiap 6 bulan sekali setiap bulan Mei dan Desember berada dibawah
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Dalam mempublikasikan naskah ilmiah
dalam berkala ini, maka penulis diwajibkan untuk menyusun naskah sesuai dengan
aturan penulisan JIMKI.
Ketentuan umum :
1. JIMKI hanya memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan oleh publikasi
ilmiah lain.
2. Naskah dengan sampel menggunakan manusia atau hewan coba wajib melampirkan
lembar pengesahan kode etik dari institusi yang bersangkutan.
3. Penulisan naskah :
a.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan baik dan
benar, jelas, lugas, serta ringkas.

b.

Naskah diketik menggunakan microsoft word dengan ukuran kertas A4, dua
(2) spasi, kecuali untuk abstrak satu (1) spasi, dengan batas margin atas,
bawah, kiri dan kanan setiap halaman adalah 2,5 cm.

c.

Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul.

d.

Naskah terdiri dari minimal 3 halaman dan maksimal 15 halaman.

4. Naskah dikirim melalui email ke alamat redaksijimki@bimkes.org dengan


menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa
dihubungi.

Ketentuan menurut jenis naskah :


1 Penelitian asli: hasil penelitian asli dalam ilmu kedokteran, kesehatan masyarakat,
ilmu dasar kedokteran. Format terdiri dari judul penelitian, nama dan lembaga
pengarang, abstrak, dan isi.
2 Tinjauan pustaka: tulisan naskah review atau sebuah tinjauan terhadap suatu
fenomena atau ilmu dalam dunia kedokteran dan kesehatan, ditulis dengan
memperhatikan aspek aktual dan bermanfaat bagi pembaca.

iv
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

3 Laporan kasus: naskah tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca.
Naskah ini ditulis sesuai pemeriksaan, diagnosis, dan penatalaksanaan sesuai
kompetensi dokter dan dokter muda. Format terdiri dari pendahuluan, laporan,
pembahasan, dan kesimpulan.
4 Artikel penyegar ilmu kedokteran dan kesehatan: naskah yang bersifat bebas
ilmiah, mengangkat topik-topik yang sangat menarik dalam dunia kedokteran atau
kesehatan, memberikan human interest karena sifat keilmiahannya, serta ditulis
secara baik. Naskah bersifat tinjauan serta mengingatkan pada hal-hal dasar atau
klinis yang perlu diketahui oleh pembaca.
5 Editorial: naskah yang membahas berbagai hal dalam dunia kedokteran dan
kesehatan, mulai dari ilmu dasar, klinis, berbagai metode terbaru, organisasi,
penelitian, penulisan di bidang kedokteran, lapangan kerja sampai karir dalam
dunia kedokteran. Naskah ditulis sesuai kompetensi mahasiswa kedokteran.
6 Petunjuk praktis: naskah berisi panduan diagnosis atau tatalaksana yang ditulis
secara tajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca
(mahasiswa kedokteran).
7 Advertorial: naskah singkat mengenai obat atau material kedokteran dan
kesimpulannya. Penulisan berdasarkan metode studi pustaka.

Ketentuan khusus :
1. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti
sistematika sebagai berikut:
a.

Judul karangan (Title)

b.

Nama dan Lembaga Pengarang (Authors and Institution)

c.

Abstrak (Abstract)

d.

Isi (Text), yang terdiri atas:


i. Pendahuluan (Introduction)
ii. Metode (Methods)
iii. Hasil (Results)
iv. Pembahasan (Discussion)
v. Kesimpulan
vi. Saran
vii. Ucapan terima kasih

e.

Daftar Rujukan (Reference)

2. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan pustaka harus mengikuti


sistematika sebagai berikut:
a.

Judul

b.

Nama penulis dan lembaga pengarang

v
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

c.

Abstrak

d.

Isi (Text), yang terdiri atas:


i. Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas)
ii. Pembahasan
iii. Kesimpulan
iv. Saran

e.

Daftar Rujukan (Reference)

3. Judul ditulis dengan Sentence case, dan bila perlu dapat dilengkapi dengan subjudul.
Naskah yang telah disajikan dalam pertemuan ilmiah nasional dibuat keterangan
berupa catatan kaki. Terjemahan judul dalam bahasa Inggris ditulis italic.
4. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup
diikuti dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis harus disertai dengan
institusi asal penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon
dan email.
5. Abstrak harus ditulis dalam bahasa Inggris serta bahasa Indonesia. Panjang abstrak
tidak melebihi 200 kata dan diletakkan setelah judul naskah dan nama penulis.
6. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Tidak
lebih dari 5 kata, dan sebaiknya bukan merupakan pengulangan kata-kata dalam
judul.
7. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf
miring (italic).
8. Tabel dan gambar disusun terpisah dalam lampiran terpisah. Setiap tabel diberi
judul dan nomor pemunculan. Foto orang atau pasien apabila ada kemungkinan
dikenali maka harus disertai ijin tertulis.
9. Daftar rujukan disusun menurut sistem Vancouver, diberi nomor sesuai dengan
pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad.

Contoh cara penulisan daftar pustaka dapat dilihat sebagai berikut :

1. Naskah dalam jurnal


i. Naskah standar

Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an


increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996 Jun
1;124(11):980-3.
atau

vi
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an


increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med
1996;124:980-3.
Penulis lebih dari enam orang
Parkin Dm, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al.
Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 year follow-up. Br
j Cancer 1996;73:1006-12.
ii. Suatu organisasi sebagai penulis

The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical exercise


stress testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust
1996;164:282-4.
iii. Tanpa nama penulis

Cancer in South Africa [editorial]. S Afr Med J 1994;84:15.


iv. Naskah tidak dalam bahasa Inggris

Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar


seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen
1996;116:41-2.
v. Volum dengan suplemen

Shen HM, Zhang QF. Risk assessment of nickel carcinogenicity and


occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994;102 Suppl
1:275-82.
vi. Edisi dengan suplemen

Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women`s psychological reactions


to breast cancer. Semin Oncol 1996;23(1 Suppl 2):89-97.
vii. Volum dengan bagian

Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in


noninsulin

dependent diabetes

mellitus.

Ann

Clin

Biochem

1995;32(Pt 3):303-6.
viii. Edisi dengan bagian

Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap laceration
of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990;107(986 Pt 1):377-8.
ix. Edisi tanpa volum

Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle


arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995;(320):110-4.

vii
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

x. Tanpa edisi atau volum

Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of cancer patient and


the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin
Gen Surg 1993;325-33.
xi. Nomor halaman dalam angka Romawi

Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and


hematology. Introduction. Hematol Oncol Clin North Am 1995
Apr;9(2):xi-xii.

2. Buku dan monograf lain


i. Penulis perseorangan

Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses.


2nd ed. Albany (NY): Delmar Publishers; 1996.
ii. Editor, sebagai penulis

Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people.
New York: Churchill Livingstone; 1996.
iii. Organisasi dengan penulis

Institute of Medicine (US). Looking at the future of the Medicaid


program. Washington: The Institute; 1992.
iv. Bab dalam buku

Philips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH,
Brenner BM, editors. Hypertension: patophysiology, diagnosis, and
management. 2nd ed. New York: raven Press; 1995.p.465-78.
v. Prosiding konferensi

Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent advances in clinical


neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of
EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan.
Amsterdam: Elsevier; 1996.
vi. Makalah dalam konferensi

Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy


and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme
TE, Rienhoff O, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World
Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva,
Switzerland. Amsterdam: North-Hollan; 1992.p.1561-5.

viii
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

vii. Laporan ilmiah atau laporan teknis


a. Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor:

Smith P, Golladay K. Payment for durable medical


equipment billed during skilled nursing facility stays. Final
report. Dallas (TX): Dept. of Health and Human Services
(US), Office of Evaluation and Inspection; 1994 Oct. Report
No.: HHSIGOEI69200860.
b. Diterbitkan oleh unit pelaksana

Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Helath services


research: work force and education issues. Washington:
National

Academy

Press;

1995.

Contract

no.:

AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health


Care Policy and research.
viii. Disertasi

Kaplan SJ. Post-hospital home health care: the elderly/access and


utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington univ.; 1995.
ix. Naskah dalam Koran

Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates


50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21;Sect
A:3 (col. 5).
x. Materi audiovisual

HIV + AIDS: the facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO):
Mosby-Year book; 1995.

3. Materi elektronik
i. Naskah journal dalam format elektronik

Morse SS. Factors in the emergence of infectious disease. Emerg


Infect Dis [serial online] 1995 Jan-Mar [cited 1996 Jun 5]:1(1):[24
screens]. Available from: URL: HYPERLINK
http://www.cdc.gov/ncidod/EID/eid.htm
ii. Monograf dalam format elektronik

CDI, clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM].


Reeves JRT, Maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed.
Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995.

ix
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

iii. Arsip computer

Hemodynamics III: the ups and downs of hemodynamics [computer


program]. Version 2.2. Orlando (FL): Computerized Educational
Systems; 1993

x
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

SAMBUTAN PIMPINAN UMUM


,
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI) volume 3 nomor 1. JIMKI bukan hanya
sekadar

wadah

publikasi

ilmiah,

namun

JIMKI

juga

merupakan

representatif

perkembangan keilmiahan mahasiswa kedokteran di seluruh Indonesia. Pada tahun ini,


JIMKI yang memasuki tahun ke-8 terus berusaha untuk mempertahankan eksistensi dan
juga kualitas artikel artikel yang diterbitkan sehingga dapat memberikan manfaat bagi
seluruh pembaca.
Dalam edisi ini, antusiasme mahasiswa kedokteran untuk bisa mempublikasikan
karyanya di JIMKI sangat tinggi. Hal ini terbukti dengan meningkatnya jumlah artikel yang
masuk ke bagian redaksi, yaitu 25 artikel yang kemudian diseleksi hingga terpilihlah 9
artikel. Penyeleksian dilakukan dengan bantuan mitra bebestari (MitBes) yang berasal
dari tiga Universitas, yaitu UI, UGM, dan UNUD. Hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas
dan objektifitas dari artikel yang dimuat di JIMKI.
Mempublikasikan suatu karya bertujuan untuk menyebarluaskan ide dan gagasan yang
kita miliki sehingga karya kita berhak mendapatkan pengakuan dan penghargaan. Di
samping itu, publikasi ilmiah juga merupakan salah satu syarat kelulusan bagi S1, maka
dari itu sudah seharusnya budaya menulis ilmiah semakin meningkat di kalangan
mahasiswa kedokteran. Dan perlu diingat bahwa hal paling penting dari suatu tulisan
adalah kebermanfaatannya bagi masyarakat. Maka dari itu, marilah berkarya demi
kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran sehingga dapat menghasilkan suatu
tulisan yang berkualitas dan memiliki manfaat yang berharga bagi umat manusia.
Pada kesempatan ini saya mewakili JIMKI ingin mengucapkan terima kasih kepada
seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung JIMKI dari awal hingga akhir yang
namanya tidak bisa saya tuliskan satu per satu. Terakhir saya ingin mengutip sebuah
quote favorit saya dari Pramoedya Ananta Toer yang berbunyi,Orang boleh pandai
setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari
sejarah.
Mari kita tingkatkan iklim menulis ilmiah di kalangan mahasiswa kedokteran Indonesia.
Cogito Ergo Sum !

Ni Putu Ayu Astri Prana Iswara


Pimpinan Umum Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia

xi
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari Juni 2015

Editorial

MANAJEMEN DETEKSI DINI


TERPADU RETINOBLASTOMA:
UPAYA BIJAK JAGA BUAH HATI
KITA
1

Surya Wijaya
Mahasiswa
Fakultas
Kedokteran
Sriwijaya, Palembang
1

Sekilas Tentang Kanker pada Anak


dan Retinoblastoma
Mendengar kata anak, tersirat
harapan besar di dalamnya. Anak-anak
merupakan kelompok penduduk usia
muda yang mempunyai potensi untuk
dikembangkan agar dapat melanjutkan
tongkat estafet pembangunan serta
memiliki peran strategis, mempunyai ciri
atau sifat khusus yang akan menjamin
kelangsungan eksistensi bangsa dan
negara pada masa depan. Hasil Sensus
Penduduk
2010
menunjukkan
237.641.326 orang di Indonesia, sekitar
34,26% adalah anak-anak usia 0-17
tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
berinvestasi
untuk
anak
adalah
berinventasi untuk sepertiga penduduk
Indonesia. Untuk itu, anak perlu
dilindungi dan dipenuhi hak-haknya agar
dapat hidup, tumbuh, dan berkembang
dalam suatu lingkungan yang layak,
[1]
termasuk hak hidup sehat.
Di samping permasalahan gizi,
kanker pada anak merupakan masalah
kesehatan yang mendapat sorotan
akhir-akhir
ini.
Seiring
dengan
peningkatan jumlah kanker secara
umum, angka kejadian kanker pada
anak terus meningkat, diperkirakan 24% dari seluruh kejadian kanker pada
manusia.
Data
statistik
resmi
dari
International Agency of Research
Cancer (IARC) menunjukkan setiap
tahun terdapat lebih dari 200.000 kasus
baru kanker anak di seluruh dunia dan
sekitar 80% kasus terjadi di negara
berkembang. Data lain dari International
Confederation of Childhood Cancer
Parents
Organizations
(ICCCPO)
memperkirakan bahwa lebih dari
100.000 anak dengan kanker meninggal
sia-sia setiap tahunnya. Jika diperinci
ada sekitar lebih dari 250 anak/hari atau
sekitar lebih dari 10 anak/jam meninggal
[2]
akibat kanker.

Universitas

Di Indonesia, saat ini diperkirakan


terdapat kira-kira 11.000 kasus kanker
anak. Angka ini diprediksi akan terusmeningkat, diperkirakan terdapat 650
kasus baru pertahunnya untuk kanker
anak. Sebagian besar penderita kanker
ini berasal dari keluarga yang tidak
[2]
mampu.
Kanker pada anak memang
berbeda dari kanker yang dijumpai pada
orang dewasa. Kanker pada orang
dewasa dapat dicegah, sementara
kanker pada anak tidak. Menurut data
yang diperoleh dari Rumah Sakit Kanker
Dharmais pada tahun 2006, lebih
kurang 50% pasien yang datang sudah
dalam keadaan stadium lanjut sehingga
penanganan kanker pada anak cukup
[3]
sulit.
Salah satu jenis kanker yang
paling sering terjadi di Indonesia adalah
retinoblastoma.
Retinoblastoma
menduduki peringkat kedua kanker
pada anak setelah leukemia, disusul
oleh limfoma (kanker kelenjar getah
bening), neuroblastoma (kanker saraf),
kanker
ginjal
(tumor
Wilms),
rabdomiosarkoma (kanker otot lurik),
[4]
dan osteosarkoma (kanker tulang).
Retinoblastoma
merupakan
keganasan mata yang paling sering
terjadi
pada
masa
kanak-kanak.
Retinoblastoma adalah tumor intraokular
yang paling sering terjadi pada bayi dan
anak yang berjumlah sekitar 3% dari
seluruh tumor pada anak. Secara
umum,
frekuensi
retinoblastoma
1:14.000 sampai 1:20.000 kelahiran
[5]
hidup. Di Amerika Serikat diperkirakan
terdapat
250-500
kasus
baru
retinoblastoma setiap tahun. Di Meksiko
dilaporkan 6-8 kasus per juta populasi
dibandingkan dengan Amerika Serikat
[6]
sebanyak 4 kasus per juta populasi.
Sebagian besar bayi dan anak
datang
pada stadium lanjut, ketika
keluarga melihat tanda leukokoria (pupil

1
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

berwarna
putih),
pupil
terlihat
bercahaya, berkilauan atau seperti mata
kucing. Strabismus (esotropia atau
eksotropia) ditemukan pada 25% kasus.
Kadang-kadang terdapat hemorrhagi
vitreous, hifema, inflamasi okular atau
periokular, glaukoma, proptosis, dan
hipopion. Pada keadaan dini, tumor
dalam neurosensori retina berbentuk
[5],[7]
datar, transparan atau sedikit putih.
Pentingnya
Deteksi
Dini
Retinoblastoma
Fakta
yang
menarik
dari
retinoblastoma adalah dari sekian
banyak kanker yang dapat ditemui pada
anak, retinoblastoma adalah satu-satu
kanker yang dapat dideteksi secara
[3]
dini.
Lebih dari 95% anak dengan
retinoblastoma di Amerika Serikat dan di
beberapa negara maju bertahan hidup
dan hanya sekitar 50% anak yang
bertahan di seluruh dunia. Perbedaan
yang terjadi disebabkan oleh adanya
deteksi dini di negara maju yang mana
tumor masih berada pada stadium awal,
sedangkan pada negara berkembang
retinoblastoma sering baru terdeteksi
setelah ada invasi ke rongga orbita atau
[6]
otak.
Fakta lain yang mendukung
pentingnya deteksi dini retinoblastoma
adalah
anak-anak
di
negara
berkembang
yang
didiagnosis
retinoblastoma pada stadium dini
mempunyai prognosis yang sangat baik.
Sekitar 95% anak-anak penderita
retinoblastoma dapat bertahan hidup.
Faktor yang paling penting yang
berhubungan
dengan
perburukan
prognosis adalah adanya perluasan
tumor ke daerah ekstraokuler yang lebih
sering terjadi melalui nervus optik atau
dapat juga terjadi secara langsung
[7]
menembus sklera.
Hal
lain
yang
mendukung
pentingnya deteksi dini retinoblastoma
karena kanker sulit untuk dicegah
karena bersifat familial. Sampai saat ini,
kanker yang diketahui diturunkan secara
genetik ada dua, yaitu kanker payudara
pada dewasa dan retinoblastoma yang
[4]
diderita anak-anak.
Di Indonesia, data secara lengkap
tentang
insidens
retinoblastoma
memang belum ada. Namun, penelitian
di Surabaya menunjukkan adanya
peningkatan
angka
penderita
retinoblastoma hingga 35 pasien per

tahunnya. Selama tahun 2010 di RSU


dr. Soetomo hanya ada 18 orang anak
yang terdiagnosa menderita penyakit
tumor ganas itu, bahkan hingga 2012
hingga April 2012, tiap minggunya ada
dua
operasi
tumor
mata
yang
[8]
dilakukan.
Data di atas merupakan data
pasien
yang
terdiagnosis,
belum
ditambah angka kejadian keseluruhan
yang tidak terdiagnosis di masyarakat.
Seperti kita ketahui, retinoblastoma
menimbulkan fenomena gunung es di
mana sebenarnya masih banyak kasus
lain yang belum terkuak karena masih
rendahnya pengetahuan masyarakat
tentang retinoblastoma, bahkan banyak
yang
menganggap
retinoblastoma
hanya kelainan sementara yang dapat
hilang saat usia anak beranjak dewasa.
Padahal sesungguhnya, seiring dengan
perjalanan waktu, retinoblastoma akan
merenggut
mata,
bahkan
nyawa
[3],[8]
penderitanya secara cepat.
Retinoblastoma
ini
sangat
membahayakan kehidupan bila tidak
diobati secara tepat, dapat berakibat
fatal karena dalam satu sampai dua
tahun
setelah
didiagnosis
akan
bermetastase jauh secara hematogen.
Sel tumor mungkin juga melewati kanal
atau melalui sklera untuk masuk ke
orbita. Perluasan ekstraokular dapat
mengakibatkan proptosis sebagaimana
tumor tumbuh dalam orbita. Pada bilik
mata depan, sel tumor menginvasi
jaringan trabekular, memberi jalan
masuk ke limfatik konjungtiva, kemudian
timbul kelenjar limfe preaurikular dan
servikal yang dapat teraba..Tempat
metastasis retinoblastoma yang paling
sering pada anak mengenai tulang
kepala, tulang distal, otak, vertebra,
kelenjar limfe dan organ visera
abdomen. Jadi, retinoblastoma bukan
hanya mengancam menjadi sebab
kebutaan, tetapi dapat membawa pada
kematian karenan keganasannya. Oleh
karena itu, deteksi sejak dini penting
sebagai upaya pencegahan morbiditas
dan mortalitas agar penderitanya
[5],[7]
memiliki harapan hidup yang tinggi.
Manajemen Deteksi Dini Terpadu
Retinoblastoma
Deteksi
dini
terpadu
retinoblastoma memang penting karena
secara umum deteksi dan penanganan

2
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

yang lebih awal akan memperbesar


kemungkinan pencegahan metastasis
tumor ke saraf optik dan jaringan orbita.
Namun, deteksi ini harus diatur
sedemikian rupa agar berjalan optimal
dan memberikan hasil yang signifikan.
Saat penyakit ditemukan pada mata,
angka harapan hidup melebihi 95%.
Walaupun
dengan
penyebaran
ekstraokular, angka harapan hidup
menurun sampai kurang dari 50%.
Selanjutnya,
deteksi
dini
juga
mendukung suksesnya strategi terapi
dengan sasaran pertama yang harus
adalah mempertahankan kehidupan,
mempertahankan bola mata, dan
akhirnya
menjaga
supaya
tajam
penglihatan (visus) dan kosmetiknya
[9]
tetap baik.
Pertama-tama, perlu diketahui
dulu
mengapa
anak
penderita
retinoblastoma sering kali dibawa oleh
fase lanjut. Sama seperti halnya pada
kanker anak lainnya, penyebabnya
adalah
kurangnya
masyarakat
mendapat
informasi
tentang
retinoblastoma, kurangnya pengetahuan
orang tua tentang gejala retinoblastoma
dan pentingnya pengenalan dini, serta
kurangnya
penanganan
segera
terhadap
anak
yang
terkena
[4]
retinoblastoma.
Banyak orang yang
belum mengetahui kalau balita bisa
terkena kanker mata (retinoblastoma).
Balita yang berisiko terkena penyakit ini
disebabkan
faktor
genetik
atau
keturunan dari garis ibu atau ayahnya
yang juga pernah mengalami penyakit
tersebut. Minimnya pengetahuan dan
rendahnya
kesadaran
untuk
memeriksakan anak menjadi hambatan
pencegahan penyakit secara dini.
Bahkan,
ketika
si
anak
sudah
didiagnosa terkena tumor pun, masih
ada orang tua yang menolak dilakukan
[8]
operasi karena masalah biaya.
Penanganan, termasuk deteksi
dini retinoblastoma yang banyak diidap
oleh
masyarakat
kelas
bawah
memerlukan perhatian dari banyak
pihak. Pihak-pihak yang terkait tersebut
adalah keluarga (terutama orang tua),
masyarakat, dokter, media massa, pihak
sponspor atau yayasan tertentu, dan
pemerintah.
Orang tua merupakan garda
terdepan
pendeteksi
sel
kanker
retinoblastoma pada buah hatinya

karena kasus retinoblastoma bilateral


secara khas terdeteksi pada tahun
pertama kehidupan dalam keluarga dan
pada
kasus
sporadik
unilateral
didiagnosis antara umur 13 tahun. Hal
tersebut dapat membuat penyakit
mematikan ini menjadi lebih mudah
[10]
dijinakkan.
Edukasi pada orang tua
sangatlah
penting,
terutama
jika
ditemuinya adanya riwayat keluarga
retinoblastoma.
Orang
tua
harus
waspada apabila terlihat tanda-tanda
berupa mata merah, berair, bengkak,
meski sudah diberi obat mata tidak
mempan juga, atau di waktu gelap, mata
si anak seolah bersinar seperti kucing
bisa dikatakan bahwa si anak tersebut
terindikasi
penyakit
[9],[11],[12]
retinoblastoma.
Selain itu, orang tua sebaiknya
mengajak
anak-anaknya
untuk
melakukan skrining dan pemeriksaan
mata anak pada saat baru lahir, usia 6
bulan, usia 3-4 tahun, dan dilanjutkan
pemeriksaan rutin pada usia 5 tahun ke
atas. Setidaknya anak diperiksakan ke
dokter mata setiap 2 tahun dan harus
lebih sering apabila telah ditemukan
masalah spesifik atau terdapat faktor
[10],[13]
risiko.
Hal lain yang perlu dicermati
adalah
anak
yang
menderita
retinoblastoma biasanya berada pada
umur preverbal, belum bisa berbicara
dan
berkomunikasi dengan
baik,
sehingga
kehilangan
visus
tidak
diketahui. Oleh karena itu, gejala
pertumbuhan tumor berupa strabismus
yang menyebabkan visus memburuk
sehingga mata berdeviasi, umumnya
berdeviasi ke dalam perlu diamati. Anak
yang menderita strabismus harus
diperiksa matanya pada keadaan pupil
besar untuk menyingkirkan tumor
[11]
intraokuler.
Masyarakat
juga
merupakan
bagian
terpenting
dalam
deteksi
retinoblastoma.
Namun,
banyak
masyarakat yang tidak menyadari
bahaya retinoblastoma karena gejala
penyakitnya sering dianggap penyakit
mata biasa.
Pilihan turun ke
masyarakat untuk melakukan edukasi
perlu dilakukan dan dipercaya cukup
berhasil
mengubah
pemahaman
masyarakat untuk segera memeriksakan
kelainan dalam stadium awal. Hal ini
ditunjukkan melalui fakta bahwa edukasi

3
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

yang dilakukan di 142 Puskesmas di


DKI Jakarta dengan menggandeng
Yayasan kanker Anak telah berhasil
mengubah pola pemahaman keluaraga
pasien. Mereka yang datang memeriksa
ke klinik tidak lagi yang berada pada
fase proptosis melainkan stadium awal
[13]
(intraokular).
Pemanfaatan organisasi
kemasyarakatan dan sekolah, seperti
Karang Taruna, PKK, dan Usaha
Kesehatan Sekolah melalui peran dokter
cilik pun sebagai kader masyarakat
untuk mendeteksi dini retinoblastoma
dan memberikan penjelasan tentang
hal-hal
yang
terkait
dengan
retinoblastoma.
Dokter merupakan pihak yang
berperan penting dalam deteksi dini
retinoblastoma,
khususnya
dokter
puskesmas. Pemeriksaan sederhana
menggunakan
lampu
senter
dan
oftalmoskop di tingkat puskesmas dapat
membantu
skrining
retinoblastoma
secara umum. Pada tahap skrining
dapat ditemukan beberapa tanda awal
retinoblastoma, antara lain manik mata
berwarna putih (lekokoria), mata kucing,
dan mata juling. Bila tidak segera
ditangani, sel kanker yang awalnya
berada di dalam bola mata akan terus
tumbuh ke luar bola mata dan jaringan
sekitarnya. Akibatnya mata tampak
[13]
menonjol (proptosis).
Apabila ditemukan kelainan, anak
harus segera diperiksakan ke dokter
spesialis mata atau rumah sakit untuk
pemeriksaan dan penanganan lebih
lanjut. Penanganan yang terlambat
selain dapat menimbulkan kebutaan,
juga menyebabkan sel kanker menyebar
ke bagian tubuh lain, seperti sumsum
[9]
tulang dan otak.
Dokter juga berperan dalam
monitoring yang ketat pada pasien
retinoblastoma
dan
anggota
keluarganya karena hampir 20% pasien
dengan
tumor
unifokal
unilateral
mempunyai
kemungkinan
untuk
menderita retinoblastoma pada mata
lainnya. Risiko ini menurun dengan
bertambahnya umur, dan semakin
rendah setelah menginjak umur 24
bulan. Pada retinoblastoma herediter,
pasien dan keluarga harus diperiksa
setiap 4 bulan sampai umur 3 atau 4
tahun, lalu setiap 6 bulan sampai umur
6 tahun. Dokter juga berperan penting
dalam hal edukasi terhadap keluarga

pasien serta memotivasi anak penderita


retinoblastoma
dan
keluarganya,
terutama terkait risiko tinggi kebutaan
[9],[11]
yang dihadapinya.
Media massa pun memegang
peranan penting dalam deteksi dini
retinoblastoma. Penyebaran informasi
melalui koran, majalah, dan artikel
internet
memberikan
pengetahuan
tentang
gejala
dan
bahaya
retinoblastoma kepada orang tua, dokter
dan masyarakat. Media massa juga
dapat berfungsi sebagai perpanjangan
tangan yang mempermudah akses
bantuan dari yayasan kanker dan pihak
sponsor
kepada
penderita
[8],[10],[12],[14]
retinoblastoma.
Masalah lain yang dihadapi
penderita
retinoblastoma
dan
keluarganya adalah masalah biaya.
Mahalnya biaya pengobatan sering
menjadi kendala. Biaya operasi dan
pengobatan kanker lainnya yang tidak
hanya dilakukan 3-5 kali membuat
beban penderita atau orang di
sekelilingnya
semakin
bertambah.
Selain itu, di samping pemeriksaan oleh
dokter spesialis mata, diperlukan juga
serangkaian pemeriksaan penunjang
untuk
menegakkan
diagnosis
retinoblastoma makin memperberat
[13]
beban pasien dan keluarganya.
Di
sinilah peran yayasan-yayasan yang
bergerak di bidang kanker, seperti
gerakan Masyarakat Peduli Kanker
Anak Indonesia dan pihak sponspor
untuk membantu meringankan biaya
pengobatan atau perawatan pasien
retinoblastoma, khususnya bagi anak
penderita kanker yang tidak mampu.
Yayasan dan pihak sponspor ini juga
dapat memberikan bantuan penyebaran
[10]
informasi mengenai kanker.
Pemerintah sebagai pemegang
kebijakan kesehatan tertinggi pun perlu
mempublikasikan pentingnya deteksi
dini retinoblastoma secara luas kepada
masyarakat melalui iklan dan brosur di
tempat
layanan
umum, misalnya
menginformasikan tentang gejala dan
dampak
yang
ditimbulkan
oleh
retinoblastoma. Selain itu, dukungan
dana untuk pengobatan retinoblastoma
pun menjadi salah satu tanggung jawab
pemerintah melalui pemberian dana
sosial,
misalnya
melalui
jaminan
kesehatan masyarakat kepada pasien
[8]
retinoblastoma.

4
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

Berdasarkan uraian di atas,


manajemen
terpadu
deteksi
dini
retinoblastoma
yang
melibatkan
berbagai
pihak
terkait
memang
merupakan salah satu bentuk langkah
awal
menuju
penanganan
retinoblastoma
yang
baik
untuk
mempertahankan
kehidupan,
mempertahankan bola mata, dan
akhirnya
menjaga
supaya
tajam
penglihatan dan kosmetiknya tetap baik.
Terpadu di sini, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya terpadu dalam
pengelolaannya. Walaupun demikian,
dalam pelaksanaan manajemen terpadu
deteksi retinoblastoma ini terpadu
tidaklah mudah, berbagai pihak perlu
mendukung pelaksanaan program ini.
Melalui kesadaran peran masingmasing, retinoblastoma diharapkan tidak
lagi merenggut kebahagiaan penderita
dan keluarganya. Early Detection
Today, Protect Our Children from
Retinoblastoma.
REFERENSI
1. Kementerian
Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak
& Badan Pusat Statistik. Profil Anak
Indonesia
2011.
Jakarta.
Kementerian
Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak.
2011; 1-3.
2. Yayasan Onkologi Anak Indonesia.
Fakta dan Angka Kanker pada
Anak.
Diunduh
dari:
http://yoaifoundation.org/childhoodcancer/fact-and-figures/,
diakses
pada tanggal 25 Desember 2013
3. Rumah Sakit Dharmais. Kanker
Pada Anak, Dapatkah Dicegah?
Diunduh
dari:
http://www.dharmais.co.id/index.php
/kanker-pada-anak.html,
diakses
pada tanggal 25 Desember 2013
4. Yayasan Onkologi Anak Indonesia.
Jenis Kanker Anak dan Pencegahan
Dini.
Diunduh
dari:
http://yoaifoundation.org/childhoodcancer/types-of-child-cancer-andprevention/, diakses pada tanggal 1
September 2012.
5. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS,
Ocular and Periocular Tumors In
Children
(Chapter
26),
San
Francisco : American Academy of
Ophthalmology ; 2011.p.354-361

6. Wilson ME,
Pediatric Ocular
Tumors and Stimulating Lesions in
Pediatric Ophthalmology Current
Thought and A Practical Guide,
Berlin: Springer; 2009.p.403-416
7. Shome D, Garg A, Retinal Tumors
in Pediatric Ophthalmology Instant
Clinical Diagnosis in Ophthalmology,
New Delhi: Jaypee Brother Medical
Publishers; 2009.p.709-715.
8. Soebadjo H. Waspadai Gejala
Tumor Mata pada Anak. Diunduh
dari:
http://www.surabayapost.co.id/?mnu
=berita&act=view&id=515eae905bff
018efd23f8d2be7a7076&jenis=c81e
728d9d4c2f636f067f89cc14862c,
diakses pada tanggal 25 Desember
2013.
9. Rahman A. Deteksi Dini dan
Penatalaksanaan Retinoblastoma.
Suplemen
Majalah
Kedokteran
Andalas Dalam Rangka Dies Natalis
53 FK Unand. h. 57-62.
10. Arsito. Penting, Peran Orangtua
Mendeteksi Kanker pada Anak.
Diunduh
dari:
http://www.beritasatu.com/mobile/ke
sehatan/33831-penting-peranorangtua-mendeteksi-kanker-padaanak.html, diakses pada tanggal 2
September 2012.
11. Sayuti,
Kemala.
Deteksi dan
Manajemen
Retinoblastoma.
th
Dipresentasikan pada The 9
Sumatera Ophthalmology Meeting,
pada tanggal 10 Maret 2012.
12. Rahma LS. Orangtua, Garda
Terdepan
Penanganan
Kanker
Anak.
Diunduh
dari:
http://health.detik.com/read/2012/04/
23/100403/1898772/775/orangtuagarda-terdepan-penanganankanker-anak, diakses pada tanggal
25 Desember 2013.
13. Sitorus RS. Mata Sehat untuk Anak
Indonesia.
UNIVERSITARIA
Vol.10 No.4, November 2010. p. 14.
14. Dasrinal. Kanker Mata Bisa Memicu
Kematian.
Diunduh
dari:
http://www.radarlampung.co.id/read/
bandarlampung/metropolis/42625kanker-mata, diakses pada tanggal
25 Desember 2013.

5
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

Penelitian

IDENTIFIKASI POLIMORFISME GEN


CYP2A6 PADA EMPAT ETNIS MAYOR
PENDUDUK KOTA PALEMBANG
1

Mahasiswa
Palembang

Enggar Sari Kesuma Wardhani


Fakultas Kedokteran Universitas

Sriwijaya,

ABSTRAK
Pendahuluan:Variasi respon obat dapat mengakibatkan kegagalan terapi dan/atau efek
samping pada individu dan subpopulasi. Faktor genetik mempunyai pengaruh paling
besar sebagai penyebab variasi ini. Enzim sitokrom P450 2A6 (CYP2A6) merupakan
enzim yang terlibat dalam reaksi fase satu metabolisme xenobiotik pada sel hati.
CYP2A6 berperan dalam metabolisme koumarin, nikotin tembakau, dan nitrosamin.
Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran genotip dan alel gen CYP2A6 alel varian
CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 pada empat etnis mayor penduduk Kota Palembang, yaitu:
etnis Melayu, Tionghoa, Arab, dan India.
Metode:Penelitian ini berjenis deskriptif observasional kepada 69 partisipan penelitian
yang terdiri dari 4 etnis mayor penduduk Kota Palembang. Data yang diambil merupakan
data primer dan dilakukan konfirmasi kemurnian etnis melalui pengisian kerangka
pedigree tiga generasi berturut-turut. Identifikasi polimorfisme CYP2A6 dilakukan dengan
metode single-step PCR (Polymerase Chain Reaction) amplifikasi dan dilanjutkan
dengan RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) menggunakan enzim XcmI
untuk deteksi alel varian CYP2A6*2 dan enzim DdeI untuk deteksi alel varian CYP2A6*3.
Hasil:Distribusi genotip CYP2A6*1/*1 pada partisipan penelitian menghasilkan sebaran
69/69(100%) pada keempat etnis. Frekuensi genotip CYP2A6*1/*2, *1/*3, *2/*2, *2/*3,
*3/*3 pada keempat etnis bernilai 0/69 (0%). Distribusi alel CYP2A6*1 sebesar
69/69(100%), CYP2A6*2 0/69(0%), dan CYP2A6*3 0/69(0%).
Simpulan:Tidak ditemukan mutasi alel varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 gen CYP2A6
pada partisipan penelitian etnis Melayu, Tionghoa, Arab, dan India penduduk Kota
Palembang.
Kata kunci: CYP2A6, Polimorfisme, Genotip, Alel, Melayu, Tionghoa, Arab, India
ABSTRACT
Introduction:Variations in drug response may lead to treatment failure and/or adverse
effects on individuals and subpopulations. Genetic factors have the greatest influence as
the cause of this variation. The enzyme cytochrome P450 2A6 (CYP2A6) is an enzyme
involved in xenobiotics metabolism phase in liver cells. CYP2A6 plays a role in the
metabolism of coumarin, nicotine, and nitrosamine. This study aims to reveal the
genotype and allele gene variant CYP2A6*2 and CYP2A6*3 of CYP2A6 gene on four
major ethnic of Palembang population, that is: ethnic Malay, Chinese, Arab, and Indian
population in Palembang.
Method:This study is a descriptive observational approach to 69 participants. The data
were taken are the primary data and confirmation of ethnic was done by filling the
pedigree form of three generations. Identification of CYP2A6 polymorphisms was
conducted by single-step PCR amplification and continued by RFLP detection using XcmI
enzyme for variant alleles CYP2A6*2 and DdeI enzyme for the detection of variant alleles
CYP2A6*3.
Result:The distribution of genotype CYP2A6*1/*1 on participants were founded 69/69
(100%) in the four ethnic groups. The frequency of genotype CYP2A6*1/*2, *1/*3, *2/*2,
*2/*3, *3/*3 in all four ethnics are 0/69 (0%). Frequencies of CYP2A6*1 allele founded
69/69 (100%), CYP2A6*2 0/69 (0%), and CYP2A6*3 0/69 (0%).

6
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015

Conclution:Allele variant CYP2A6*2 and CYP2A6*3 mutation was not found in the study
participants' ethnic Malay, Chinese, Arab, and Indian of Palembang population.
Key Words: CYP2A6, Polymorphism, Genotype, Allele, Malay, Chinese, Arab, Indian
1. PENDAHULUAN
Variasi respon obat antar individu
merupakan masalah utama dalam
praktik kedokteran dan perkembangan
obat di dunia. Hal ini mengakibatkan
kegagalan terapi dan/atau efek samping
[1]
pada individu dan subpopulasi.
Di
Indonesia, penerapan sistem kesehatan
universal coverage yang belum optimal
menyebabkan terjadinya perbedaan
efektivitas obat antar individu, sehingga
menjadi beban ekonomi tersendiri
hingga menghasilkan fenomena Sadikin:
sakit sedikit jadi miskin yang menjadi
wacana kesehatan serius di semua
strata ekonomi Indonesia.
Variasi respon obat terjadi karena
adanya perbedaan kemampuan dalam
proses metabolisme obat, sehingga
mengakibatkan perbedaan besar kadar
obat dalam plasma antar individu pada
[2]
kondisi steady state. Faktor genetik
menyebabkan variasi metabolisme obat
karena adanya proses mutasi dan
seleksi informasi genetik yang disandi
oleh DNA yang diturunkan dari satu
[3]
generasi ke generasi berikutnya.
Dari sedemikian banyak gen yang
bertanggung jawab dalam proses
metabolisme xenobiotik tahap I, lebih
dari lima puluh persennya merupakan
[4]
peran dari sitokrom P450 (CYP). Salah
satu sub famili enzim CYP adalah
CYP2A6. Gen CYP2A6 menyandi enzim
CYP2A6
yang
berperan
dalam
metabolisme beberapa obat-obatan
penting seperti reaksi 7-hidroksilasi
antikoagulan koumarin, nikotin, obat
antagonis reseptor platelet-activating
factor SM012502, obat neuroprotektif
chlormethiazone,
aktivasi
zat-zat
prekarsinogen seperti 1,3-butadien-2,6diklorobenzonitril,
nicotine-derived
nitrosamine keton (NNK), nitrosamine
metabolite 4-(methylnitrosamino)-1-(3pyridyl)-1butanol
(NNAL),
nnitrosodiethylamine
(NDEA)
dan
nitrosonornicotine (NNN), aktivasi atau
inaktivasi
beberapa
prokarsinogen
dalam asap rokok, yang dapat
menyebabkan seseorang menderita
[5],[6],[7]
kanker paru.

Penelitian Fernandez-Salguero et
al memperlihatkan bahwa jika enzim
CYP2A6 dibuat sebaran frekuensi
kecepatan metabolisme obat-obatan
tertentu dalam suatu populasi, maka
akan diperoleh ciri khas adanya
distribusi
dengan
dua
modus
[8]
(bimodal).
Modus
pertama
menggambarkan sebaran extensive
metabolizer (EM) yang menghasilkan
enzim
dengan
aktivitas
normal,
sedangkan
modus
kedua
menggambarkan
sebaran
poor
metabolizer (PM) yang mengalami defek
aktivitas.
Perbedaan
sebaran
ini
membuktikan
bahwa
terdapat
polimorfisme
genetik
pada
gen
[5],[8]
CYP2A6.
Adanya
polimorfisme
gen
CYP2A6 dibuktikan dengan adanya alelalel varian selain alel normal (wild type)
CYP2A6*1. Sampai saat ini telah
diidentifikasi 41 alel varian yang dimulai
dari CYP2A6*2 sampai rs8192726. Alel
varian CYP2A6*2 dilaporkan menyandi
protein dengan subtitusi Leu160His
sehingga menyebabkan enzim menjadi
inaktif, sedangkan alel varian CYP2A6*3
merupakan alel hibrid yang dihasilkan
akibat konversi multipel dengan gen
[8],[9]
inaktif CYP2A7.
Sejauh
ini
data
mengenai
gambaran fenotip dan genotip gen-gen
yang berperan dalam metabolisme obat
di Indonesia masih terbatas dan belum
lengkap. Data tentang fenotip dan
genotip CYP2A6 di Indonesia belum
tersedia.
Palembang merupakan salah satu
ibukota di Indonesia dengan tingkat
kepadatan penduduk tinggi dan beretnis
beragam. Penelitian ini bertujuan
mengetahui gambaran genotip dan alel
gen CYP2A6 alel varian CYP2A6*2 dan
CYP2A6*3 pada empat etnis mayor
penduduk Kota Palembang, yaitu: etnis
Melayu, Tionghoa, Arab, dan India.
Dengan diketahui adanya polimorfisme
gen CYP2A6 pada populasi masyarakat
Palembang, dapat digunakan sebagai
acuan menentukan dosis obat sesuai
dengan data gena bangsa Indonesia
sendiri. Hal ini membuat efek samping,

7
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015

toksisitas,
dan
penyakit
yang
berhubungan dengan efek samping obat
dapat dicegah. Selain itu, pencegahan
aktivasi prekarsinogen paru akibat
paparan asap rokok dan prekarsinogen
hati akibat konsumsi jamu pun dapat
dihindari.
2. METODE
Berdasarkan ruang lingkupnya,
penelitian ini merupakan penelitian
laboratorium
berjenis
deskriptif
observasional.
Gen
CYP2A6
diamplifikasi dengan metode PCRRFLP. Data dianalisis menghasilkan
pola distribusi frekuensi gen CYP2A6,
varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 baik
genotip maupun alel masing-masing
etnis. Data tersebut diolah menjadi pola
distribusi frekuensi genotip dan alel
keempat etnis yang diteliti berdasarkan
sosiodemografi yaitu usia, jenis kelamin,
dan kebiasaan merokok.
Penelitian
dilakukan
di
Laboratorium Mikrobiologi Rumah Sakit
dr. Mohammad Hoesin Palembang
selama periode November 2012-Januari

2013. Pemilihan sampel dilakukan


dengan cara consecutive random
sampling.

Pengambilan
data
dilakukan
melalui anamnesis riwayat penyakit
kebiasaan merokok dan konfirmasi
kemurnian etnis berbentuk pedigree 3
generasi, serta pengambilan darah vena
cubiti sebanyak 3 cc. Selanjutnya
dilakukan isolasi DNA pada sampel
darah.
PCR-RFLP dilakukan menggunakan metode single step PCR, dengan
desain primer 5'-ACC-TCC-CCA-GGCGTG-GTA-3' sebagai forward, dan 5'TCG-TCC-TGG-GTG-TTT-TCC-TTC-3'
untuk reverse. Kondisi PCR terlihat
pada tabel 1.

Tabel 1. Kondisi PCR untuk Amplifikasi Gen CYP2A


0
Tahap Denaturasi Awal
95 C (10 menit)
Siklus PCR :
30 siklus
0
-Tahap Denaturasi
95 C (60 detik)
0
-Tahap Annealing
60 C (60 detik)
0
-Tahap Ekstensi
72 C (60 detik)
Ekstensi tambahan
Kualitas DNA hasil amplifikasi
dengan teknik PCR dilihat dengan
menggunakan teknik elektroforesis gel
agarose (konsentrasi 2%). Elektroforesis
menggunakan tegangan listrik 80 volt.
Selanjutnya
dideteksi
dengan
menggunakan Gel Doc 1000 (BioRad,
USA) untuk divisualisasi dengan sinar
ultraviolet pada panjang gelombang 300
nm dan direkam.
Deteksi polimorfisme dilakukan
dengan RFLP menggunakan enzim
XcmI dan DdeI. Enzim XcmI akan
memo-tong alel varian 1 (CYP2A6*2)
promotor
gen CYP2A6 menjadi
2
fragmen (117 dan 96 bp). Pada
visualisasi dengan UV, akan terlihat 2
pita di daerah marker 117 pb dan 96 pb.
Genotip heterozigot akan tervisualisasi 3
pita yaitu pada daerah marker 213 pb,
117 pb, dan 96 pb. Sedangkan genotip

72 C (3 menit)
homozigot mutan akan tervisualisasi
pada daerah marker 117 pb dan 96 pb.
Enzim DdeI akan mengenali situs ACGT
yang menyebabkan produk PCR akan
terpotong menjadi dua fragmen 150 pb
dan 63 pb. Genotip heterozigot akan
tervisualisasi 3 pita yaitu pada daerah
marker 213 pb, 150 pb dan 63 pb.
Sedangkan genotip homozigot mutan
akan tervisualisasi pada daerah marker
150 pb dan 63 pb.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Visualisasi Hasil PCR
Gen
CYP2A6
berhasil
diamplifikasi dengan metode PCR,
ditandai dengan adanya pita pada hasil
elektroforesis yang sesuai dengan
ukuran fragmen DNA yang diamplifikasi,
yaitu 213 pasang basa (pb).

8
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015

b. Visualisasi
Hasil
RFLP
Menggunakan Enzim XcmI
Pada gambar 1 terlihat semua
sampel memiliki pita pada 213 pb. Untuk
etnis India (gambar 2D), terlihat adanya
gambaran tiga pita pada sampel I-6, I-7,
I-8, dan I-9. Gambaran pita tersebut
terletak pada 213 pb, 90 pb, dan 50
pb. Pita pada 90 pb, dan 50 pb ini
didefinisikan sebagai unspecific band
(pita tidak spesifik) karena tidak sesuai
dengan band yang diinginkan untuk
identifikasi genotip heterozigot. Gambaran genotip heterozigot dimungkinkan
bila hasil visualisasi berada pada 213
pb, 117 pb, dan 96 pb.
c. Visualisasi
Hasil
RFLP
Menggunakan Enzim DdeI
Hasil visualisasi elektroforesis
produk RFLP gen CYP2A6 dengan
enzim DdeI terlihat pada gambar 3.
Adanya
mutasi
ditandai
dengan
gambaran pita pada 117 pb dan 96 pb
untuk produk RFLP dengan enzim XcmI,
dan pita 150 pb dan 63 pb untuk enzim
[4]
DdeI.
Sama seperti gambaran hasil
visualisasi dengan enzim XcmI, pada
etnis India (gambar 3C), terlihat adanya
tiga pita, yakni pada 213 pb, 90 pb,
dan 50 pb. Dua pita yang tidak sesuai
pada band yang diharapkan tersebut
diidentifikasi sebagai unspecific band
(pita tidak spesifik). Makna munculnya
pita tersebut dapat diidentifikasi lebih
lanjut melalui DNA sekuensing hasil
PCR-nya. Hasil sekuens DNA sampel
dengan unspecific band tersebut
kemudian
dibandingkan
dengan
sekuens ekson 3 gen CYP2A6 pada
gene bank.
d. Distribusi Frekuensi Genotip dan
Alel
Gen
CYP2A6
Varian
CYP2A6*2 dan CYP2A6*3
Setelah proses isolasi DNA,
single-step PCR, dan RFLP, maka
didapatkan hasil distribusi frekuensi
genotip dan alel gen CYP2A6. Hasil
distribusi frekuensi genotip gen CYP2A6
dijabarkan per etnis pada tabel 2. Hasil
distribusi frekuensi alel gen CYP2A6
varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3
terlihat pada tabel 3. Pada tabel tersebut
terlihat
bahwa
100%
partisipan
penelitian memiliki genotip CYP2A6*1
/CYP2A6*1 yaitu homozigot wild type.

Pelbagai
penelitian
telah
dilakukan untuk mengidentifikasi alel
varian gen CYP2A6 beberapa etnis.
Penelitian etnis Melayu di Malaysia
menemukan
mutasi
3%
varian
[11]
CYP2A6*4 pada penduduk Malaysia.
Untuk etnis Tionghoa, studi
dilakukan oleh Nakajima dan Yokoi
menghasilkan data 5% alel CYP2A6*4,
3% alel CYP2A6*7, 16% varian
CYP2A6*9, dan 3,4% pada alel varian
[12]
CYP2A6*21.
Oscarson
et
al
mengidentifikasi
0%
alel
mutan
CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 pada 96
[5]
orang Cina. Ras Asia Timur lainnya
seperti Jepang menghasilkan nilai
frekuensi polimorfisme 11% untuk
CYP2A6*7, 20% untuk CYP2A6*9, dan
[12]
1,5-2,2% untuk CYP2A6*21.
Belum
ada penelitian identifikasi alel varian
CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 etnis Melayu
yang dilakukan di negara lain. Penelitian
pada etnis Arab dan India mengenai
CYP2A6 sampai saat ini belum
ditemukan.
Penelitian identifikasi alel varian
CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 dilakukan
pada etnis-etnis lain, sebagaimana
terangkum dalam tabel 16. Oscarson et
al mengidentifikasi 0% mutasi alel
CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 pada 100
[5]
orang Spanyol.
Pada etnis Afrikaamerika
distribusi
frekuensi
alel
CYP2A6*1, CYP2A6*2, dan CYP2A6*3
masing-masing sebesar 608 (99,67%), 2
(0,33%) dan 0 (0%). Namun, frekuensi
alel varian yang cukup signifikan
ditemukan pada ras Jerman oleh
Bourian, Gullsten dan Legrum yakni
4/432 (3,5%) pada CYP2A6*2 dan 6/432
(1,4%) pada CYP2A6*3. Diketahui
bahwa metode PCR kedua penelitian ini
[13]
berbeda.
Pasckhe
et
al
menggunakan
single-step
PCR
sedangkan Bourian et al menggunakan
metode nested-PCR yang merujuk pada
4,8,13
Fernandez-Salguero
et
al.
Pendekatan metode nested-PCR oleh
Fernandez-Salguero et al mengalami
misklasifikasi alel heterozigot CYP2A6*2
[4],[5],[8]
sebagai homozigot mutan.
Secara
keseluruhan
terlihat,
frekuensi genotip dan alel untuk varian
CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 memang
cenderung lebih rendah ketimbang alel
varian lainnya. Pernyataan ini senada
dengan perbandingan hasil penelitian
pada etnis dan alel varian lainnya. Hal

9
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015

ini menghasilkan pemikiran bahwa


ekson 3 pada gen CYP2A6 merupakan
bagian terpenting dari struktur gen
tersebut. Bila terjadi mutasi pada ekson
ini dan menghasilkan varian CYP2A6*2
dan CYP2A6*3, diperkirakan akan
terjadi gangguan yang signifikan pada
[15]
aktivitas enzim CYP2A6.
Senada
dengan
pernyataan
tersebut, pada uji komparasi sampel
etnis India peneliti dengan sampel
pasien karsinoma nasofaring penelitian
Hadi,
yang
telah
teridentifikasi
mengalami
mutasi
alel
varian
CYP2A6*1B, pun ditemukan gambaran
[15]
homozigot wild type.
Mengingat
penelitian mutasi pada gen CYP2A6 alel
varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 ini
dilakukan pada tingkat genotip, dan
frekuensi distribusi genotip serta alel
tersebut bernilai 100% wild type, maka
pada pembahasan tidak dipaparkan
sebaran frekuensi berdasarkan usia dan
jenis kelamin. Usia dan jenis kelamin
merupakan faktor yang mempengaruhi
ekspresi gen CYP2A6 pada tingkat
fenotip.
Bila dibuat sebaran frekuensi
distribusinya, maka didapatkan nilai
100% genotip wild type homozigot
(CYP2A6*1/CYP2A6*1) dan 100% alel
CYP2A6*1 (wild type) pada semua
kelompok
umur
keempat
etnis.
Berdasarkan jenis kelamin pun bernilai
100% genotip wild type homozigot
(CYP2A6*1/CYP2A6*1) dan 100% alel
CYP2A6*1 (wild type) baik pada laki-laki
maupun perempuan dari keempat etnis.
e. Distribusi Frekuensi Genotip dan
Alel Gen CYP2A6 Berdasarkan
Kebiasaan Merokok
Secara keseluruhan, frekuensi
distribusi genotip dan alel gen CYP2A6
menghasilkan sebaran 100% wild type,
sehingga identifikasi korelasi kebiasaan
merokok dengan defek pada gen ini
belum
dapat
dilakukan
sebagai
penelitian lanjutan.
Merokok merupakan kebiasaan
multifaktorial yang tidak bisa dikurangi
hanya karena efek molekuler satu
substansi. Oleh karena itu, sangat perlu
dilakukan
penelitian
lebih
lanjut
mengenai metabolisme nikotin dan
kebiasaan merokok untuk mengontrol
akibat
fenotip
dari
polimorfisme
[4]
CYP2A6.

Pianezza et al mempublikasikan
hasil studi analisis hubungan antara
defek varian CYP2A6 dan perubahan
[16]
kebiasaan
merokok.
Mereka
menyimpulkan bahwa perokok dengan
defek pada CYP2A6 merokok dengan
jumlah yang lebih sedikit dibandingkan
dengan subjek yang wild type, dan
carrier defek CYP2A6, serta perokok
dengan genotip homozigot mutan ini
cenderung
tidak
menjadi
ketergantungan
rokok.
Hal
ini
kemungkinan karena pada orang
dengan
defek
gen
ini,
nikotin
dimetabolisme menjadi kotinin lebih
lambat dibandingkan subjek wild type.
Defisiensi parsial dari kerja enzim,
menghasilkan efek farmakologi nikotin
yang bertahan lebih lama di dalam
4
tubuh. Namun, dengan menggunakan
metode genotyping PCR yang sama,
Oscarson
et
al
tidak
berhasil
menemukan korelasi antara defek
polimorfisme
gen
CYP2A6
dan
4,5
perubahan kebiasaan merokok. Oleh
karena itu, dampak dari defek CYP2A6
pada kebiasaan merokok manusia
masih kontroversi.
Hubungan
antara
kebiasaan
merokok dengan defek pada gen
CYP2A6 ini masih harus diteliti lebih
lanjut pada penelitian selanjutnya,
dengan membandingkan semua alel
varian CYP2A6, terutama kedua alel
varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3.
Paschke et al mengungkapkan, untuk
mengetahui hubungan tersebut tidak
bisa dinilai hanya dari nikotin/kotinin
plasma darah atau rasio kotinin/nikotin
saja sebagaimana yang dilakukan
dalam penelitian oleh Rao et al,
Nakajima et al dan Nakajima et
[17],[18],[19]
al.
Kotinin akan dimetabolisme
kembali menjadi kotinin glukoronida,
kotinin N-oxide, norkotinin, trans-3hidroksikotinin
dan
glukoronida,
sehingga semua hasil metabolit nikotin
[4],[20]
harus diukur.
Lagipula, proses
metabolisme nikotin bervariasi antara
satu orang dengan orang lain dan rasio
nikotin/kotinin pun dipengaruhi oleh
[20]
enzim-enzim lain selain CYP2A6.
Penelitian mengenai hubungan
defek gen CYP2A6 terhadap kadar
nikotin dan kebiasaan merokok yang
dilakukan oleh Apinan et al, Yamanaka
et al,
Kamataki et al, Rao et al
menyimpulkan adanya hubungan antara

10
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015

dua hal tersebut, namun belum ada


yang meneliti A
hubungannya. Secara
berurutan dari kiri ke kanan, K-: kontrol
negatif, Me: sampel etnis Melayu, T:
sampel etnis Tionghoa, M: marker, A:

sampel etnis Arab,dan I: sampel etnis


India.

Gambar 1. Hasil PCR dari Partisipan Penelitian dengan Defek pada Alel CYP2A6*2 dan
[17],[20],[21],[22],[23]
CYP2A6*3.

Gambar 2. Hasil Elektroforesis Gen CYP2A6 setelah Direstriksi Menggunakan Enzim XcmI.
M: Marker DNA Penanda 100 pb, U: uncut (produk PCR yang tidak dipotong dengan enzim).
A. Etnis Melayu, B. Etnis Tionghoa, C. Etnis Arab, D. Etnis India.

Gambar 3. Hasil Elektroforesis Gen CYP2A6 setelah Direstriksi Menggunakan Enzim DdeI.
M: Marker DNA Penanda 100 pb, U: uncut (produk PCR yang tidak dipotong dengan enzim).
A. Etnis Melayu Dan Tionghoa, B. Etnis Arab, C. Etnis India.

11
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015

[21]

Gambar 4. Mekanisme Metabolisme Nikotin di Hati

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Genotip Gen CYP2A6 Alel Varian CYP2A6*2 dan
CYP2A6*3 (N=69)
Genotip CYP2A6
Formula
Melayu
Tionghoa
Arab
India
n(%)
n(%)
n(%)
n(%)
2
CYP2A6*1/*1
q
18(100)
23(100)
18(100)
10(100)
CYP2A6*1/*2
2qr
0
0
0
0
CYP2A6*1/*3
2qs
0
0
0
0
2
CYP2A6*2/*2
r
0
0
0
0
CYP2A6*2/*3
2rs
0
0
0
0
2
CYP2A6*3/*3
s
0
0
0
0
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Alel Gen CYP2A6 Varian CYP2A6*2 Dan CYP2A6*3
(N=69)
Melayu
Tionghoa
Arab
India
n %
n %
n %
n %
CYP2A6*1 (wt)
18 100
23 100
18 100
10 100
CYP2A6*2 (v1)
0 0
0 0
0 0
0 0
CYP2A6*3 (v2)
0 0
0 0
0 0
0 0
14

Tabel 4.Frekuensi Distribusi Alel Gen CYP2A6 pada Berbagai Populasi


AfrikaKaukasi Cin
Alel
Peneliti
Jepang Korea Kanada
Amerika
a
a
CYP2A6*1B
13,0
33,5
51,
42,5
37,1
55,0
3
CYP2A6*1X2
100
0
0,7
0,4
0
0,2
0
CYP2A6*2
0
1,1
2,2
0
0
0
0
CYP2A6*3
0
0
0
0
0
0
CYP2A6*4
1,9
1,2
7,6
20,4
11,0
1,0
CYP2A6*5
0
0,1
0,5
0
0,5
0,5
CYP2A6*6
0
0
0
0,2
0
0
CYP2A6*7
0
0,3
3,1
6,5
3,6
0
CYP2A6*8
0
0,1
3,6
2,2
1,4
0
CYP2A6*9
7,1
7,1
15,
21,3
22,3
15,5
7
CYP2A6*10
0
0
0,4
1,1
0,5
0
CYP2A6*11
0
0,6
0,7
CYP2A6*12
0,4
2,0
0
0,8
0,5
CYP2A6*13
0
1,5
CYP2A6*14
3,6
0
CYP2A6*15
0
1,5
CYP2A6*16
3,6
0
CYP2A6*17
9,4
0
0
0

Srilanka

Thailand

31,5

39,7

9,6

7,8

Ket: arsiran abu-abu menunjukkan perbandingan nilai frekuensi alel yang diteliti peneliti di
berbagai etnis

12
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Genotip Gen CYP2A6 Berdasarkan Kebiasaan Merokok


Kebiasaan merokok
Total
Tidak merokok
Perokok ringan
Perokok
berat
n(%)
n(%)
n(%)
n(%)
CYP2A6*1/*1
55(79,7)
6(8,7)
8(11,6)
69(100)
CYP2A6*1/*2
0(0)
0(0)
0(0)
0(0)
CYP2A6*1/*3
0(0)
0(0)
0(0)
0(0)
CYP2A6*2/*2
0(0)
0(0)
0(0)
0(0)
CYP2A6*2/*3
0(0)
0(0)
0(0)
0(0)
CYP2A6*3/*3
0(0)
0(0)
0(0)
0(0)
Jumlah
55(79,7)
6(8,7)
8(11,6)
69(100)
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Alel CYP2A6 Berdasarkan Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok
Total
Tidak
Perokok ringan Perokok berat
merokok
n(%)
n(%)
n(%)
n(%)
CYP2A6*1 (wt)
55(79,71)
6(8,7)
8(11,59)
69(100)
CYP2A6*2 (v1)
0(0)
0(0)
0(0)
0(0)
CYP2A6*3 (v3)
0(0)
0(0)
0(0)
0(0)
Jumlah
55(79,71)
6(8,7)
8(11,59)
69(100)
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian,
dapat disimpulkan Tidak ditemukan
mutasi genotip maupun alel varian
CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 gen CYP2A6
pada partisipan penelitian etnis Melayu,
Tionghoa, Arab, dan India penduduk
Kota Palembang.
Saran untuk penelitian ini antara
lain Dengan ditemukannya pita tidak
spesifik pada beberapa sampel, perlu
dilakukan identifikasi kebermaknaannya
melalui DNA sekuensing. Penelitian juga
dapat dikembangkan ke arah identifikasi
fenotip
terkait
metabolisme
gen
CYP2A6,
sebagai
biomarker
keberhasilan terapi obat-obatan yang
dimetabolisme melalui enzim CYP2A6,
seperti:
nikotin,
koumarin,
7Etoksikoumarin, NNK, dan senyawa
lainnya. Lebih jauh dapat dikembangkan
penelitian
mengenai
korelasinya
terhadap resiko adiksi rokok dan
pengaruhnya
terhadap
kerentanan
terkena kanker paru.
DAFTAR PUSTAKA
1. Meyer UA.2000. Drugs In Special
Patient Groups: Clinical Importance
Of Genomics In Drug Effects. In:
Carruthers GS, Hoffmann BB,
Melmon KL, Nierenberg DW, eds.
New York: McGrawHill, p 1179205.

2. Ingelman-Sundberg M, Sim SC,


Gomez A, dan Rodriguez-Antona C.
2007. Influence Of Cytochrome
P450 Enzymes Polymorphisms On
Drug Therapies: Pharmacogenetics,
Pharmacoepigenetic And Clinical
Aspects. Pharmacol Ther; 116: 496526.
3. Maksum Radji. 2005. Pendekatan
Farmakogenomik dalam Penemuan
Obat
Baru.
Majalah
Ilmu
Kefarmasian, Vol. II; p1-11.
4. Paschke et al. 2001. Comparison Of
Cytochrome
P450
2A6
Polymorphism
Frequencies
In
Caucasians And African-American
Using A New One-Step PCR-RFLP
Genotyping Method. Toxicology
168: 259-268.
5. Oscarson
M.
2001.
Genetic
Polymorphism In The Cytochrome
P450
2A6
(CYP2A6)
Gene:
Implication
For
Interindividual
Differences In Nicotine Metabolism
(Mini Review). Drug Metab Dispos.
29: 91-95.
6. Crespi CL, Penman BW, Leakey JA,
et al. 1990. Human Cytochrome
P450IIA3: Cdna Sequence, Role Of
The Enzyme In The Metabolic
Activation
Of
Promutagens,
Comparison
To
Nitrosamine
Activation By Human Cytochrome

13
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

P450IIE1.
Carcinogenesis;
11:
1293300.
Yamazaki H, Inui Y, Yun CH,
Guengerich FP, Shimada T. 1992.
Cytochrome P450 2E1 And 2A6
Enzymes As Major Catalysts For
Metabolic
Activation
Of
NNitrosodialkylamines And TobaccoRelated Nitrosamines In Human
Liver Microsomes. Carcinogenesis;
13: 178994.
Fernandez-Salguero P, Hoffman
SMG, Cholerton S, et al. 1995. A
Genetic Polymorphism In Coumarin
7-Hydroxilation:
Sequence
Of
Human
CYP2A
Genes
And
Identification Of Variant CYP2A6
Alleles. Am J Hum Genet. 57: 651660.
Hadidi H, Zahlsen K, Idle JR, et al.
1997. A Single Amino Acid
Substitution
(Leu160His)
In
Cytochrome P450 CYP2A6 Causes
Switching From 7-Hydroxylation To
3-Hydroxylation Of Coumarin. Food
Chem Toxicol. 35: 903-907.
Saleh, Muhammad Irsan. 2009.
Hubungan Mutasi Gen Voltage
Dependent Anion Channel Isoform 3
(VDAC3) dan Ekspresi Protein
VDAC3 pada Sperma Pasien Infertil
Astenozoospermia.
Disertasi
Universitas
Indonesia.
Tidak
dipublikasikan.
Muliaty D., Irawan Y., Rianto S., dan
Septalia I. 2010. CYP2A6 gene
polymorphisms impact to nicotine
metabolism.
Medical
Journal
Indonesia.
Nakajima M. dan Yokoi T. 2005.
Novel Human CYP2A6 Alleles
Confound Gene Deletion Analysis.
FEBS Lett; 569: 75-81.
Bourian M., Gullsten H., Legrum W.
2000. Genetic Polymorphism of
CYP2A6 in the German Population.
Toxicology 144; p129-137.
Hukkanen J, Jacob P III, Benowitz
NL.
2005.
Metabolism
And
Disposition Kinetics Of Nicotine.
Pharmacol Rev; 57:79 115.
Hadi,
Abdurrahman.
2013.
Identifikasi
Polimorfisme
Gen
CYP2A6 pada Penderita Karsinoma
Nasofaring di Rumah Sakit Dr.
Mohammad Hoesin Palembang.
Skripsi
Fakultas
Kedokteran

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

Universitas
Sriwijaya.
Tidak
dipublikasikan.
Pianezza, M. L., Sellers, E. M.,
Tyndale, R. F., 1998. Nicotine
Metabolism
Defect
Reduces
Smoking. Nature 393, p750.
Rao, Y., Hoffmann, E., Zia, M.,
Bodin L., Zeman, M., Sellers, E. M.,
Tyndale, R. F., 2000. Duplications
And Defects In The CYP2A6 Gene:
Identification, Genotyping And In
Vivo Effect On Smoking. Mol.
Pharmacol. 58, p747-55.
Nakajima, M., Yamagashi, S.,
Yamamoto, H., Yamamoto, T.,
Kuroiwa, Y., Yokoi, T. 2000.
Deficient Cotinine Formation From
Nicotine Is Attributable To The
Whole Deletion Of The CYP2A6
Gene In Humans. Clin. Pharmacol.
Ther. 67, p57-69.
Nakajima, M., Kwon, J-T, Tanaka,
N., Zenta T., Yamamoto, Y.,
Yamamoto H., et al. 2001.
Relationship Between Interindividual
Differences In Nicotine Metabolism
And CYP2A6 Genetic Polymorphism
In Humans. Clin. Pharmacol. Ther.
68, 72-78.
Benowitz NL, Jacob P III. 1994.
Metabolism of Nicotine to Cotinine
Studied by A Dual Stable Isotope
Method. Clin Pharmacol Ther;
56:483 93.
Yamanaka, Hiroyuki., Nakajima,
Miki., Nishimura, Kiyoko., Yoshida,
Ryoko., et al. 2004. Metabolic
Profile On Nicotine In Subjects
Whose CYP2A6 Gene Is Deleted.
European Journal of Pharmaceutical
Sciences 22; p419-425.
Apinan,
Roongnapa.,
Tassaneeyakul,
Wichittra.,
Mahavorasirikul, W., Satarug, S.,
Kajanawart, S. et al. 2009. The
Influence
of
CYP2A6
Polymorphisms and Cadmium on
Nicotine
Metabolism
in
Thai
Population. Env. Toxicology and
Pharmacology 28, p420-24.
Kamataki,
Tetsuya.,
Fujieda,
Masaki., Kiyotani, Kazuma., Iwano,
Shunsuke., Kunitoh, Hideo. 2005.
Genetic Polymorphism of CYP2A6
as
One
of
the
Potential
Determinants of Tobacco-related
Cancer Risk. Biochemical and

14
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015

Biophysical
Research
Communication 228; p306-10.

15
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015

Penelitian

STUDI CROSS SECTIONAL TERAPI HIPERTENSI


PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK DI
POLIKLINIK GINJAL HIPERTENSI INSTALASI
RAWAT JALAN RSUD DR SOETOMO
1

Irene Sienatra , Aditiawardana , Atika


Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran

Mahasiswa
Universitas
Airlangga
2
Staf pengajar Bagian Ilmu Penyakit Dalam Divisi Nefrologi RSUD Dr
Soetomo
3
Staf pengajar Bagiam IKM-KP (Ilmu Kesehatan Masyarakat-Kedokteran
Pencegahan) FK Universitas Airlangga
ABSTRAK
Pendahuluan: Insidens hipertensi meningkat signifikan pada pasien PGK. Tekanan
darah yang tinggi mempercepat progresi PGK sehingga kontrol hipertensi merupakan hal
yang penting dalam manajemen PGK. Tujuan dari studi ini untuk mengetahui pola terapi
hipertensi, korelasi stage PGK dengan kontrol hipertensi, karakteristik hipertensi yang
tidak terkontrol dan prevalensi proteinuria pada pasien PGK.
Metode: Penelitian observasional ini menggunakan 90 sampel pasien PGK non dialisis
(26,7% stage III, 33,3% stage IV, 40% stage V) yang telah mendapatkan terapi hipertensi
minimal selama 1 bulan. Penggunaan obat antihipertensi pada sampel adalah
CCB(77,8%), diuretic(38,8%), ACEI(13,3%), BB(18,8%) , spironolactone(3,3%), and
ARB(36,6%). Pada pasien dengan proteinuria, CCB digunakan oleh 78% pasien,
sedangkan RAAS blocker digunakan pada 52% pasien.
Hasil: Secara keseluruhan, 37,8% pasien berhasil mencapai tekanan darah <140/90
mmHg (57,1% dengan terapi tunggal, 35,7% terapi ganda, dan 16,7% dengan 3 obat).
Sebanyak 41,7% pasien stage III, 53,3% stage IV, 22,2% stage V berhasil mencapai
target terapi (<140/90 mmHg) (p=0,037).
Simpulan: Hipertensi yang tidak terkontrol terutama disebabkan oleh hipertensi sistolik.
Sebanyak 41 dari 90 pasien dengan data urinalisis, 56% diantaranya mengalami
proteinuria. Rata-rata proteinuria meningkat pada pasien DM (240,6 mg/hari)
dibandingkan dengan non DM (47,1 mg/hari) (p=0,006)
Kata kunci: stage PGK, hipertensi

ABSTRACT
Introduction: The incidence of hypertension has increased significantly in CKD patients.
High blood pressure accelerates CKD progression, therefore hypertension control is
important in CKD management. The purpose of this study is to understand the patterns of
antihypertension drug, the relationship between CKD stage and hypertension control, the
characteristic of uncontrolled hypertension, and the prevalence of proteinuria.
Method: This observational research took 90 non-dialysis CKD patients (26,7% stage III,
33,3% stage IV, 40% stage V) that had received hypertension treatment at least for 1
month. The use of antihypertension drugs were CCB(77,8%), diuretic(38,8%),
ACEI(13,3%), BB(18,8%), spironolactone(3,3%), and ARB(36,6%). In patients with
proteinuria, CCB was used in 78 % patients, while RAAS blocker was used in 52%
patients.
Results: Of all samples, 37,8% had controlled BP to <140/90 mmHg (57,1% single drug,
35,7% double drugs, and 16,7% with 3 drugs) . As many as 41,7% stage III, 53,3%
stage IV, and 22,2% stage V patient had achieved target theraphy (p=0,037).
Conclusion: Uncontrolled hypertension is primarily due to systolic hypertension. There
were 41 out of 90 patients with the urinalysis data, 56% with proteinuria. The mean of

16
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

proteinuria increases in patient with DM(240,6 mg/d) compared to non DM (47,1 mg/d)
(p=0,006).
Keyword: CKD stages, Hypertension
1. PENDAHULUAN
PGK (Penyakit Ginjal Kronik)
adalah (1) kerusakan ginjal lebih dari 3
bulan
dengan
ketidaknormalan
fungsional atau struktral dengan atau
tanpa penurunan LFG (Laju Filtrasi
Glomerolus), atau (2) penurunan
2
LFG<60ml/menit/1,73 m dengan atau
[1]
tanpa kerusakan ginjal. Berdasarkan
hasil survey nasional di Amerika Serikat,
hipertensi ditemukan pada 23,3% pada
pasien non PGK, 35,8% pada pasien
PGK stage I, 48,1% pada PGK stage II,
59,9% pada PGK stage III, dan 84,1%
[2]
pada PGK stage IV dan V. Hal ini
menunjukkan
prevalensi
hipertensi
berbanding lurus dengan peningkatan
stage PGK. Sementara di Indonesia
belum ada angka pasti mengenai
prevalensi hipertensi pada PGK.
Hipertensi pada PGK bersifat unik
karena
hipertensi
bisa
menjadi
[2]
penyebab dan akibat dari PGK.
Tekanan darah yang tinggi pada pasien
PGK dapat mempercepat progresivitas
menjadi ESRD (End Stage Renal
Disease) dan komplikasi penyakit
kardiovaskular, serangan jantung, dan
[3]
stroke.
Tatalaksana hipertensi menjadi
bagian penting dari manajemen PGK.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui pola terapi farmakologis
berdasarkan stage PGK dan proteinuria,
korelasi antara stage PGK dengan
kontrol hipertensi, mendeskripsikan
karakteristik
tekanan
sistolik
dan
diastolik pada hipertensi yang tidak
terkontrol , dan prevalensi proteinuria
pada pasien PGK yang berobat jalan di
Poliklinik Ginjal Hipertensi RSUD Dr
Soetomo.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan secara cross
sectional pada pasien PGK yang
berobat jalan di Poliklinik Ginjal
Hipertensi RSUD Dr Soetomo antara
bulan Juli s/d September 2014. Pasien
yang diikutkan pada penelitian ini adalah
pasien PGK dengan hipertensi yang
sudah pernah kontrol sebelumnya dan
sudah mendapatkan terapi hipertensi

selama 1 bulan. Adapaun kriteria


eksklusi dari sampel, terdiri dari pasien
dengan terapi dialisis, transplantasi
ginjal, atau pasien dengan syok.
Pengumpulan data dilakukan
dengan observasi dan melihat dokumen
rekam medik pada kontrol sebelumnya.
Lembar pengumpul data, terdiri dari:
1. Data dasar pasien (umur dan jenis
kelamin)
2. Pemeriksaan
laboratorium
(proteinuria urin, serum kreatinin,
BUN (Blood Urea Nitrogen), dan
asam urat)
3. Penyakit komorbid pada pasien (DM
(Diabetes
Melitus)
dan
PKV
(Penyakit Kardiovaskuler)
4. Data pada kontrol sebelumnya
(tanggal, tekanan darah, dan terapi
golongan obat antihipertensi)
5. Data pada saat observasi (tanggal,
tekanan darah, dan terapi golongan
obat antihipertensi)
LFG dihitung dari umur, jenis
kelamin, dan serum kreatinin dengan
menggunakan rumus MDRD. LFG
kemudian digunakan untuk menentukan
stage PGK berdasarkan klasifikasi NKFKDOQI. Hipertensi dikatakan terkontrol
jika tekanan darah saat observasi
<140/90 mmHg sesuai dengan guideline
JNC VIII. Pada pasien dengan
hipertensi
yang
tidak
terkontrol,
diklasifikasikan menjadi stage I dan
stage II hipertensi. Hasil pemeriksaan
protein dikategorikan normal jika <30
mg/hari, dan dikategorikan proteinuria
jika 30 mg/hari.
3. HASIL PENELITIAN
Sampel
yang
digunakan
sebanyak 90 orang yang terdiri dari 50
orang (55,6%) laki-laki dan 40 orang
(44,4 %) perempuan. Stage PGK pada
sampel , yaitu III (26,7%), IV (33,3%),
dan V (40%). Rentang umur pasien 3182 tahun dengan rata-rata dan median
59 tahun.
3.1.
Pola Terapi Farmakologis
Pada Pasien PGK
Secara keseluruhan , 77,8%
pasien
PGK
menggunakan
CCB

17
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

(Calcium Channel Blocker), golongan


terbanyak yang digunakan pada semua
stage dan tingkat ekskresi protein urin.
Disusul kemudian oleh golongan ARB
(Angiotensin II Receptor Blocker) dan
diuretik dengan persentase yang hampir
sama tetapi golongan ARB cenderung
digunakan
pada
stage
III,
dan
pengunaannya
menurun
seiring
pertambahan stage PGK. Di sisi lain,
diuretik lebih banyak digunakan pada
stage yang lebih tinggi, 52,8% pada
stage
V.
Penggunaan
ACEI
(Angiotensin
Converting
Enzyme)
Inhibitor)
sebagai
RAAS
(Renin
Angiotensin
Aldosterone
System)
blocker tergantikan dengan penggunaan
ARB yang bekerja pada jalur yang
sama. Terapi multipel pada pasien
menyebabkan
persentase
hasil
mengindikasikan persentase pemberian
golongan obat tertentu pada subjek.

Gambar 2. Pola terapi farmakologis


saat observasi pada pasien PGK
dengan berbagai ekskresi protein
3.2.
Korelasi Stage PGK dengan
Kontrol Hipertensi

Gambar 1. Pola terapi farmakologis


saat observasi pada pasien PGK Stage
III, IV, dan V
Terapi
Hipertensi
Pasien
PGK
Dengan Proteinuria
Penggunaan
Obat
CCB
mendominasi pada berbagai tingkat
ekskresi protein. Diuretik digunakan
pada 38,9% pasien tanpa proteinuria.
Penggunaan ARB merupakan terbanyak
kedua
setelah
CCB.
Persentase
penggunaan ARB paling besar (53,8%)
pada pasien dengan ekskresi protein
30-300 mg/hari.

Gambar 3. Kontrol hipertensi


berdasarkan jumlah golongan obat yang
digunakan
Secara
deskriptif,
kontrol
hipertensi menurun dengan semakin
banyaknya
penggunaan
jumlah
golongan obat.
Rata-rata tekanan darah sistolik
dan diastolik pasien stage III, 143,8
mmHg dan 75,6 mmHg. Pada stage IV ,
rata-rata tekanan sistolik menurun
sedikit menjadi 139 mmHg dan rata-rata
tekanan diastolik meningkat 79,1
mmHg. Sedangkan pada stage V, ratarata tekanan sistolik dan diastolik

18
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

meningkat, yaitu 151,1 mmHg dan 81


mmHg.

3.3 Karakteristik Tekanan Sistolik dan


Diastolik Pada Hipertensi yang
Tidak Terkontrol

Tabel 1. Korelasi variabel perancu


dengan kontrol hipertensi

Gambar 5. Karakteristik tekanan


sistolik dan diastolik pada hipertensi
yang tidak terkontrol
Uji chi square test menunjukkan
tidak ada korelasi yang bermakna
(p>0,05) antara jumlah golongan obat
anti hipertensi, proteinuria, DM, PKV
dan kelompok umur dengan kontrol
hipertensi sehingga tidak dapat menjadi
variabel perancu.

Target terapi tidak tercapai pada


56 dari 90 sampel (62,2%). Pada
sampel dengan hipertensi yang tidak
terkontrol, 64,29% memiliki karakteristik
tekanan
sistolik
yang
tinggi
(140mmHg).
Kemudian
disusul
dengan
tingginya tekanan sistolik dan diastolik.
Tekanan
diastolik
yang
tinggi
berkonstribusi paling kecil terhadap
hipertensi yang tidak terkontrol.
3.4.

Proteinuria Pada Pasien PGK

Gambar 4. Korelasi stage PGK


dengan kontrol hipertensi
Dari 90 sampel pasien PGK ,
hanya 37,8% yang berhasil menurunkan
tekanan darahnya <140/90 mmHg. Pada
hasil penelitian ini, hipertensi
lebih
terkontrol pada stage IV dibandingkan
stage III. Kontrol hipertensi paling
rendah pada stage V, yaitu hanya
22,2%. Hasil uji chi square test
menunjukkan
korelasi
bermakna
(p<0,05) antara stage PGK dengan
ketercapaian target terapi (p=0,037).

Gambar 6. Proteinuria pada pasien


PGK
Rata-rata
proteinuria
160,4
mg/hari dengan standar deviasi 201,5
mg/hari. Standar deviasi yang besar
disebabkan karena perbedaan
nilai
minimum dan maximum sampel yang
lebar (0-500 mg/hari). Rata-rata pada
pasien non DM 47,1 mg/hari, sedangkan
pada pasien DM 240,6 mg/hari. Hasil uji
One-Sample
Kolmogorov-Smirnov
menunjukkan hasil yang signifikan

19
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

(p=0,006) antara DM dengan ekskresi


protein urin.
4. PEMBAHASAN
Pada PGK stage III, IV, dan V
PGK dan berbagai ekskresi protein,
CCB merupakan obat yang paling
banyak digunakan (77,8%). CCB
mempunyai efek renoprotektif dengan
mendilatasi arteriol aferen
sehingga
efeknya
independen
terhadap
perubahan tekanan kapiler glomerolus.
CCB juga menghambat growth factor,
memperlemah entrapment mesangium
terhadap
makromolekul
dan
memperlembat efek mitogenik berbagai
[7]
sitokin.
Selain itu, CCB tidak
menyebabkan peningkatan kolestrol,
glukosa, TG, kalium, dan serum
[8]
kreatinin.
Dengan semakin bertambahnya
stage
PGK,
terjadi
penurunan
penggunaan RAAS blocker, ACEI dan
ARB. Keduanya tidak menyebabkan
perubahan
serum
kolestrol,
TG
(Trigliserida),
atau
level
glukosa
[1]
plasma. ACEI dan ARB juga bersifat
renoprotektif
dengan
mengurangi
[4]
proteinuria dan hipertensi glomerolus.
Hal
yang
dikhawatirkan
dari
penggunaannya pada pasien PGK stage
IV dan V adalah kecenderungan
peningkatan serum kreatinin dan
[4]
kalium. Peningkatan serum kreatinin
karena ACEI dan ARB mendilatasi
arteriol eferen. ACEI dan ARB
menghambat
produksi
aldosteron
sehingga meningkatkan serum kalium.
Obat-obatan yang bekerja sebagai
antagonis aldosteron harus diberikan
dengan hati-hati pada pasien dengan
2
PGK dengan LFG < 30 ml/min/1.73m
karena mekanisme adaptif ginjal tidak
[5]
mampu menjaga homeostasis kalium.
Pada kelompok dengan ekskresi protein
>300 mg/hari, penggunaan ACEI dan
ARB juga menurun. Hal ini disebabkan
karena ARB dan ACEI bekerja paling
efektif pada kelompok dengan ekskresi
protein 30-300 mg/hari.
Pada semua stage PGK dan
berbagai ekskresi protein, ARB lebih
banyak digunakan dari pada ACEI. Hal
ini untuk menghindari fenomena ACE
escape pada pasien yang menerima
ACEI dalam jangka panjang, yaitu,
kembalinya level angiotensin II seperti
sebelum terapi. Sedangkan, ARB

secara selektif memblok pengikatan


angiotensin II ke reseptor tipe I sehingga
[4]
tidak menimbulkan efek rebound.
Dengan semakin meningkatnya
stage PGK, penggunaan diuretik juga
meningkat karena terjadinya retensi
[1]
cairan. Diuretik yang diberikan pada
pasien penelitian adalah diuretik kuat,
furosemid. Tidak ada pasien yang
mendapat golongan thiazide saja karena
efeknya berkurang pada PGK dengan
2
LGF < 40 mil/min/1,73 m . Selain itu,
peningkatan
dosis
thiazide
menyebabkan
peningkatan
efek
samping metabolik dan gangguan
[6]
keseimbangan elektrolit.
Penggunaan beta blocker tidak
terlalu berbeda jauh antara stage
maupun eksresi protein. Persentase
penggunaanya
sekitar
16%-23%.
Penggunaanya yang terbatas karena
beta blocker memberikan efek metabolik
yang besar, diantaranya peningkatan
level glukosa, TG, resistensi insulin, dan
penurunan HDL. Tetapi, golongan obat
ini menjadi pilihan pada pasien dengan
angina, infark miokard, gagal jantung,
takikardi pada saat istirahat, migrain,
[1]
dan glaukoma.
Walaupun
terjadi
berbagai
perbaikan dalam manajemen hipertensi,
hasil penelitian ini menunjukkan kontrol
hipertensi pasien PGK masih rendah,
yaitu hanya 37,8% yang mencapai
target terapi. Studi kontrol hipertensi
pada pasien PGK multistage di United
States yang hanya 37% berhasil
mencapai
target
terapi
<130/80
[9]
mmHg. Penelitian lain yang dilakukan
di Turki, kontrol hipertensi pada stage
III, IV, dan V berturut-turut, adalah
19,6%, 40%, dan 9,1% dengan
menggunakan acuan <140/90 mmHg.
Tidak dijelaskan mengapa kontrol
hipertensi jauh lebih baik pada stage IV
10
dari pada stage III. Penelitian di China
Medical Journal melaporkan, pasien
yang mencapai target terapi (<140/90
mmHg) pada stage 3a, 3b, 4, dan 5
berturut-turut, 36%, 34,8%, 24%, dan
[11]
19,9%.
Pada
hasil
penelitian
ini,
hipertensi lebih terkontrol pada pasien
stage IV dibandingkan stage III. Hal ini
mungkin disebabkan karena faktor bias
(diet, asupan garam, aktivitas fisik) dan
kesadaran pasien yang lebih baik
seiring
dengan
progresivitas

20
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

penyakitnya. Tetapi hasil penelitian


konsisten
menunjukkan
kontrol
hipertensi paling buruk pada pasien
PGK stage V dibandingkan dengan
stage III dan stage IV.
Rendahnya kontrol hipertensi
pada stage V menunjukkan semakin
fungsi ginjal bertambah buruk, tekanan
[12]]
darah
semakin
sulit
dikontrol.
Kegagalan fungsi ginjal mengekskresi
natrium
dan
air
menyebabkan
akumulasi volume cairan ekstraseluler.
Faktor lain seperti hiperaktivitas RAS,
kelebihan ROS (Reactive Oxygen
Species) yang memicu vasokonstriksi,
penurunan NO (Nitric Oxide) sebagai
vasodilator, dan peningkatan aktivitas
simpatis berkonstribusi menyebabkan
[13]
hipertensi pada PGK.
Kontrol hipertensi PGK menurun
dengan semakin banyaknya jumlah obat
yang digunakan. Hasil ini tidak dapat
memberikan
rekomendasi
pada
penatalaksanaan PGK karena penelitian
ini tidak mengumpulkan tekanan darah
awal sebelum diterapi dan tidak
mengikuti pasien secara kontinu.
Pada
pasien
PGK
dengan
hipertensi
yang
tidak
terkontrol,
terutama disebabkan karena tekanan
darah sistolik yang tinggi Hal ini sesuai
dengan
penelitian
Control
of
Hypertension in Adults With Chronic
Kidney Disease in United States yang
mengungkapkan kegagalan pencapaian
target terapi dikarenakan susahnya
mengendalikan tekanan sistolik. Target
terapi yang digunakan adalah 130/80
mmHg.
Sebanyak 59 % pasien
mempunyai tekanan darah >130 mmHg
dan diastolik 80 mmHg , dan hanya 7%
yang mempunyai tekanan diastolik > 80
mmHg, sementara tekanan sistoliknya
terkontrol. Padahal tingginya tekanan
sistolik adalah penentu progresivitas
[9]
PGK.
5. KESIMPULAN
Pada keseluruhan sampel, obat
yang diberikan adalah CCB 77,(8%),
diuretik (38,8%), ARB (36,6%), BB
(18,8%),
ACEI
(13,3%),
dan
spironolakton (3,3%). Walaupun terjadi
berbagai perbaikan penatalaksanaan
terapi, hipertensi yang tidak terkontrol
masih tinggi pada pasien PGK. Hasil
menunjukkan hanya 41,7% stage III,
53,3% stage IV, dan 22,2% stage V

yang berhasil menurunkan tek anan


darah <140/90 mmHg (p=0,037).
Karakteristik hipertensi yang tidak
terkontrol pasien PGK adalah tingginya
tekanan darah sistolik (64,3%). Dari 41
sampel yang menjalani pemeriksaan
proteinuria,
sebanyak
56%
menunjukkan hasil >30 mg/hari.

DAFTAR PUSTAKA
1. KDOQI . 2004. Clinical Practice
Guidelines on Hypertension and
Antihypertensive Agents in Chronic
Kidney Disease .
[Cited 2014
Januari 29 ]. Avaliable from :
http://www2.kidney.org/professional
s/KDOQI/guidelines%5Fbp./
2. Tedla, Brar, R. Browne, and C.
Brown. 2011. Hypertension in
Chronic KidneyDisease: Navigating
the Evidence. Int J Hypertens. [Cited
29 Mei 2013]. Available from: :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
/21747971.
3. CDC. 2014. National Chronic Kidney
Disease Fact Sheet. [Cited 5 April
2014].
Available
from:
:
http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/fa
ctsheets/kidney.htm
4. Utsumi, Kouichi. Ken-ichiro Katsura ,
Yasuhiko lino & Yasuo Katayama.
2012. Blood Pressure Control In
Patient
with
Chronic
Kidney
Disease. J Nippon Med Sch [Cited
20 September 2014] Available from:
:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubme
d/22687353
5. Desai, Akshay. 2008. Hyperkalemia
Associated With Inhibitors of the
Renin-Angiotensin-Aldosterone
System
Balancing
Risk
and
Benefit. [Cited
19
Mei
2013]
Available
from:
http://circ.ahajournals.org
doi:
10.1161/circulationaha.108.807917.
6. Ernst, Michael E. and Joel A.
Gordon.u. 2010. Diuretic therapy:
key aspects in hypertension and
renal disease. J Nephrol . [Cited 16
Februari 2014]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
/20677164.
7. Herlitz, Hans Herlitz, et al. 2001. The
effects of an ACE inhibitor and a
calcium
antagonist
on
the
progression of renal disease: the
Nephros Study.
Nephrol Dial

21
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

Transplant. [Cited 17 Januari 2014]


Available
from:
:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
/11682661.
8. Drug Information Reference. 2003 .
Calcium Channel Blocker. [Cited 5
September p2014] Available from: :
: http://dpic.org/sites/default/files/pdf/
DIR_CCBs.pdf.
9. Peralta, Carmen A. et al. 2005 .
Control of Hypertension in Adults
With Chronic Kidney Disease in the
United States. Hypertension . [Cited
22 Septembe r 2014]. Available
from:
:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
/15851626.
10. Altun, Gltekin Sleymanlar, et
al. 2012. Prevalence, Awareness,
Treatment
and
Control
of
Hypertension in Adults with Chronic
Kidney Disease in Turkey: Results
from the CREDIT Study. Kidney
Blood Press Res. [Cited 16
September 2014]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
/22832670 .

11. ZHENG
Ying,et
al.
2013.
Prevalence,
Awareness,
and
Treatment Rates in Chronic Kidney
Disease Patients with Hypertension
in China (PATRIOTIC) Collaborative
Group. Chin Med J. [Cited 11
September 2014]. Available from: : .
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
/23786938 .
12. Lewis, Julia. 2010. Blood Pressure
Control in Chronic Kidney Disease:
Is Less Really More?.JASN . [Cited
8 September 2014]. Available from: :
http://jasn.asnjournals.org/content/2
1/7/1086.full.
13. Morgado, Elsa and Pedro Leo
Neves .2012. Hypertension and
Chronic Kidney Disease: Cause and
Consequence

Therapeutic
Considerations,
Antihypertensive
Drugs. [Cited 5 Mei 2013] Available
from:
http://www.intechopen.com/books/a
ntihypertensive-drugs/hypertensionin-chronic-kidney-disease-causeand-consequence-therapeuticconsiderations-.

22
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

Penelitian

IDENTIFIKASI POLIMORFISME GEN VEGF936C/T


PADA PENDERITA KANKER PAYUDARA DI
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
1

Fajriani Kurnia Rosdi , Surya Wijaya , Muhammad Irsan Saleh , Chariril


3
4
Anwar , Ika Kartika Putri
1
Mahasiswa Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya,Palembang
2
Staff Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya, Palembang
3
Staff Departemen Parasitologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya, Palembang
4
Staff Departemen Patologi Anatomi Rumah Sakit Muhammad Hoesin,
Palembang
ABSTRAK
Pendahuluan: Kanker payudara merupakan penyebab kematian wanita nomor dua di
dunia setelah kanker paru-paru. Insidens kanker payudara di Indonesia diperkirakan 1112 kasus baru per 100.000 penduduk berisiko pertahun; dengan kenyataan bahwa l.ebih
dari 50% kasus sudah berada dalam stadium lanjut. Kemampuan angiogenesis sangat
penting bagi pertumbuhan dan metastasis tumor. Salah satu faktor proangiogenis yang
sudah cukup dikenal adalah vascular endothelial growth factor (VEGF), terletak pada
kromosom 6p21.3, yang berikatan dengan reseptornya pada sel endothelial pembuluh
darah sehingga teradi promosi proliferasi sel, migrasi dan invasi ke dalam tumor. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi polimorfisme gen VEGF 936 C/T pada
penderita kanker payudara di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode cross sectional.
Penelitian ini dilakukan Laboratorium Mikrobiologi dan Biomolekuler Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya (FK UNSRI) pada bulan Juli hingga Desember 2011. Sampel diteliti
dengan teknik PCR dan pemotongan enzim NlaIII dengan teknik RFLP
Hasil: Jumlah subjek dalam penelitian ini 25 orang. Rerata umur pada kelompok kasus
dan kontrol adalah masing-masing 46,92 15,08 tahun. Distribusi genotip TT, CT dan
CC pada kasus masing-masing 0 (0%), 9 (36%) dan 16 (64%). Distribusi frekuensi Alel T
sebesar 18% , sementara alel C sebesar 82%.
Simpulan: Tidak ditemukan polimorfisme gen VEGF 936 C/T pada penderita kanker
payudara di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Kata kunci: polimorfisme, gen VEGF 936 C/T, kanker payudara, angiogenesis, genotip,
alel
ABSTRACT
Introduction: Breast cancer is the number two cause of death among women in the
world after lung cancer. Incidence of breast cancer in Indonesia is estimated at 11-12
new cases per 100,000 population at risk per year; with the fact that more than 50% of
cases already in an advanced stage. The ability of angiogenesis is essential for tumor
growth and metastasis. One factor that has been well known proangiogenis is vascular
endothelial growth factor (VEGF), is located on chromosome 6p21.3, which binds to
receptors on endothelial cells of blood vessels so that promotion of cell proliferation,
migration and invasion into the tumor begun. The aim of this study is to identify
polymorphisms of VEGF 936 C/T gene in RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Method: This was a descriptive study with cross sectional method. The research was
conducted in Biomolecular Engineering Laboratory of Microbiology Faculty of Medicine,
University of Sriwijaya (FK UNSRI) in July until Desember 2011. The samples studied by
PCR and cut with NlaIII enzymes by RFLP technique.

23
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

Results: The number of subjects in this study were 25 people. The mean of patients age
were respectively 46.92 15.08 years. The distribution of genotypes TT, CT and CC was
respectively 0 (0%), 9 (36%) and 16 (64%). The distribution of allele T and C was
respectively 18% and 82%.
Conclusion: VEGF gene polymorphism was not found 936 C/T in patients with breast
cancer in RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Key words: polymorphisms,
genotype, allele.

VEGF 936 C/T gene, breast cancer, angiogenesis,

1. PENDAHULUAN
Kanker payudara merupakan
masalah global dan isu kesehatan
internasional yang penting, baik di
negara
maju
maupun
negara
[1]
berkembang.
Kanker
payudara
merupakan
kanker
solid
yang
mempunyai insidens tertinggi pertama
pada wanita di negara barat/maju dan
nomor dua setelah kanker serviks di
[1],[2]
negara
berkembang.
Kanker
payudara merupakan 29% dari seluruh
[1]
kanker yang didiagnosis setiap tahun.
Kanker payudara ini merupakan
kanker yang paling banyak diderita
wanita Indonesia dibandingkan dengan
[3]
kanker serviks. Di Indonesia, karena
tidak tersedianya registrasi berbasis
populasi,
angka
kejadian
kanker
payudara dibuat berdasarkan registrasi
berbasis patologi dengan insidens relatif
11,5%, artinya terdapat 11-12 kasus
baru per 100.000 penduduk berisiko.
Selain jumlah yang banyak, lebih dari
50% kasus ditemukan berada dalam
[2]
stadium lanjut.
Secara
keseluruhan,
kanker
payudara
merupakan
penyebab
kematian nomor dua dari seluruh kanker
[1]
setelah kanker paru. Pada tahun 2007,
terdapat 202.964 wanita yang menderita
kanker
payudara
dan
40.598
diantaranya meninggal dunia di Amerika
[4]
Serikat.
Salah satu faktor pertumbuhan
kanker payudara tergantung pada
kemampuan
angiogenesis,
yaitu
kemampuan
sel
tumor
untuk
membentuk suatu pembuluh darah baru
yang
berasal
dari
endothelium
[5]
vaskularisasi yang telah ada.
Salah satu faktor angiogenik yang
paling penting dan poten adalah
Vascular Endothelial Growth Factor
(VEGF)
yang
berikatan
dengan
reseptornya tyrosin kinase pada sel
6
endothelial
pembuluh
darah.
Berdasarkan studi in vitro dan in vivo,

peningkatan ekspresi gen


VEGF
berhubungan dengan pertumbuhan
tumor dan metastasis, sedangkan
inhibisi sinyal VEGF mengakibatkan
penekanan pada angiogenesis dan
[6],[7]
pertumbuhan tumor.
Salah satu penyebab peningkatan
ekspresi gen VEGF adalah suatu
polimorfisme,
suatu
istilah
yang
digunakan untuk menandakan bentuk
yang beda dari struktur dasar yang
sama. Polimorfisme pada gen VEGF
936 C/T pada daerah 3V untranslated
region memiliki kadar VEGF plasma
[8],[9]
yang lebih rendah pada orang sehat.
Polimorfisme suatu gen pada genom
manusia sering disebabkan oleh adanya
mutasi pada basa nukleotida tunggal
atau single nucleotide polymorphisms
[6]
(SNPs) pada gen tersebut.
Untuk menguji hipotesis tersebut,
The Shanghai Breast Cancer Study,
telah melakukan penelitian case-control
terhadap 1084 orang normal dan 1.193
penderita kanker payudara pada periode
1996-2000. Dari penelitian tersebut
didapatkan hasil bahwa polimorfisme
gen VEGF 936 C/T tidak berhubungan
terhadap risiko untuk berkembangnya
kanker payudara, hanya berhubungan
terhadap prognosis penderita kanker
[6]
payudara.
Pada penelitian lainnya, Krippl, et
al (2002) melaporkan polimorfisme gen
VEGF 936 C/T menurunkan risiko untuk
terkena kanker payudara berdasarkan
case-control study pada populasi wanita
Austria terhadap 500 penderita kanker
[9]
payudara dan 500 individu sehat.
Wehrschuetz, et al (2009) melaporkan
polimorfisme gen VEGF 936 C/T
berhubungan dengan peningkatan risiko
berkembangnya
kanker
payudara
berdasarkan pemeriksaan mammografi
dengan menggunakan BI-RADS Score
terhadap 54 wanita yang dicurigai
terkena kanker payudara dan 52 wanita
[7]
normal.

24
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

Sejumlah penelitian yang telah


dilakukan memiliki hasil yang tidak sama
dan bertolak belakang. Sejauh ini,
belum ada penelitian tentang identifikasi
dan hubungan polimorfisme gen VEGF
terhadap kanker payudara di Indonesia,
khususnya di Sumatera Selatan. Oleh
karena itu, diperlukan suatu penelitian
identifikasi dan hubungan polimorfisme
gen VEGF pada penderita kanker
payudara di RSUP dr. Mohammad
Hoesin
Palembang.
Penelitian
hubungan varian-varian gen VEGF pada
penderita kanker payudara menjanjikan
sarana
baru
bagi
klinisi
untuk
mengevaluasi kerentanannya sebagai
faktor predisposisi genetik dan menjadi
salah satu acuan dalam menentukan
modalitas terapi antiangiogenik. Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui pola
distribusi polimorfisme gen VEGF 936
C/T pada penderita kanker payudara di
RSUP
dr.
Mohammad
Hoesin
Palembang, mengetahui karakteristik
penderita kanker payudara di RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang, dan
mengetahui distribusi alotif dan genotif
gen VEGF 936 C/T pada penderita
kanker
payudara
di
RSUP
dr.
Mohammad Hoesin Palembang.
2. METODOLOGI PENELITIAN
2.1.
Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah deskriptif
observasional pada gen VEGF 936 C/T
dengan metodae PCR-RFLP dan
pendekatan studi cross sectional.
Observasional deskriptif dipilih karena
penelitian ini hanya mengamati dan
memaparkan hasil dari pengamatan
`
terhadap gen VEGF 936 C/T
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian
dilakukan
di
Laboratorium
Mikrobiologi
dan
Biomolekuler
Fakultas
Kedokteran
Universitas Sriwijaya (FK UNSRI)
Palembang selama periode Juli 2011
Desember 2011.

rawat jalan di bagian bedah RSUP dr.


Mohammad Hoesin Palembang. Sampel
dikumpulkan dari populasi penelitian
yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak
memenuhi kriteria ekslusi.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini
adalah pasien yang telah didiagnosis
kanker payudara oleh dokter spesialis
patologi
anatomi
berdasarkan
pemeriksaan histopatologi dan datang
berobat ke RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang, ras Melayu yang
berdomisili di wilayah Sumatera Selatan,
diagnosis kanker payudara berdasarkan
diagnosis PA Invasive Ductal Carcinoma
Mamma (IDCM), dan bersedia mengikuti
penelitian yang dinyatakan dengan
menandatangani surat persetujuan atas
dasar kesadaran (informed consent).
Kriteria ekslusi dalam penelitian ini
adalah wanita hamil, pasien yang
terdiagnosa lebih dari satu keganasan
(neoplasma), dan pasien yang tidak
bersedia atau menolak ikut serta dalam
penelitian.
Jumlah sampel yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah
seluruh pasien yang didiagnosis pasti
kanker payudara oleh dokter spesialis
Patologi Anatomi RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang. Teknik sampling
yang
digunakan
yaitu
accidental
sampling.
2.4.
2.4.1.

Cara Kerja
Pengambilan Darah
Sampel darah diambil melalui
punksi vena antecubiti sebanyak 2 ml
dimasukkan kedalam tabung yang
mengandung antikoagulan ethylene
diamine tetra acid (EDTA) untuk
ekstraksi DNA dan PCR.

2.2.

2.3.
Populasi
dan
Sampel
Penelitian
Populasi target dalam penelitian
ini adalah penderita kanker payudara
yang bertempat tinggal di Sumatera
Selatan, sedangkan populasi terjangkau
dalam penelitian ini adalah penderita
kanker payudara yang dirawat inap dan

2.4.2. Isolasi DNA


Alat dan Bahan
Alat-alat yang diperlukan untuk
isolasi DNA darah adalah tabung
sentrifugasi 15 ml steril, rak tabung,

pipettor (Biohit Proline


PIPETTE)
dengan berbagai ukuran (10-100 l
dan 100-1000 l), pipet tip untuk
volume 1000 l dan 100 l, freezer o
20 C, alat vorteks (Stuart Scientific
Autovortex SA6), waterbath (Neslab
RTE III), mesin inkubator, ice bath,
mesin sentrifugasi (eppendorf centrifuge
5702 R), tabung eppendorf 1,5 ml, serta
kertas absorban atau tissue. Bahan-

25
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

bahan yang diperlukan untuk isolasi


DNA dari darah adalah Posphate Buffer
Saline (PBS) pH 7,4, Safonin 0,5%
dalam PBS, dan chelex 20% dalam
ddH2O.
Cara Kerja
Darah sebanyak 200 l diambil
menggunakan pippettor lalu dimasukkan
ke dalam tabung eppendorf 1,5 ml.
Kemudian darah tersebut dicuci dengan
PBS pH 7,4 sebanyak 1 ml/1000 l lalu
disertrifugasi dengan kecepatan 5.000
rpm selama 5 menit. Setelah itu
supernatan dibuang dan ditambahkan
kembali PBS pH 7,4 sebanyak 1000 l
kemudian
disentrifugasi
dengan
kecepatan 5.000 rpm selama 5 menit.
Kegiatan ini diulangi sebanyak 2 kali.
Selanjutnya supernatan dibuang, lalu
ditambahkan saponin (0,5% safonin
dalam PBS dicampur dengan baik
menggunakan
vortek
kemudian
diinkubasi dalam es selama 5 menit).
Campuran ini diinkubasi pada suhu
o
20 C selama semalam.
Setelah
diinkubasi
semalam,
campuran kemudian divorteks dan
disentrifugasi dengan kecepatan 12.000
rpm selama 10 menit. Lalu dicuci
kembali sebanyak 3 kali dengan PBS
pH 7,4 1000 l dan sentrifugasi dengan
kecepatan 5.000 rpm selama 5 menit.
Setelah itu, supernatan dibuang dan
ditambahkan 50 l chelex (20 % dalam
ddH2O pH 10,5) serta 100 l ddH2O.
Kemudian diinkubasi dalam air mendidih
selama
10
menit.
Selanjutnya
disentrifugasi dengan kecepatan 12.000
rpm selama 10 menit. DNA berada pada
bagian supernatan (DNA containing
water) dipindahkan ke dalam tabung
steril sebanyak 200 l dan disimpan
O
pada suhu -20 C.
2.4.3. Desain Primer yang Spesifik
Gen VEGF 936 C/T akan
diamplifikasi pada bank gen (GeneBank
National Center for Biotechnology/NCBI)
dapat diakses dengan kode akses
melalui
website
http://www.ncbi.nlm.nih.gov).
Pemilihan
primer
dengan
memperhitungkan syarat suatu primer
dengan
memperhatikan
letak
polimorfisme alel VEGF 936T yang
dapat dikenali oleh enzim restriksi
endonuklease NlaIII.

Pasangan
primer
terpilih
mempunyai
sekuen
5AAGGAAGAGGAGACTCTGCGC-3
untuk primer VEGF F (forward) dan 5TATGTGGGTGGGTGTGTCTACAGG3 untuk primer VEGF R (reverse).
Spesifisitas kedua primer dikonfirmasi
dengan melakukan BLAST melalui
website
http://www.ncbi.nlm.nih.gov.
Hasil konfirmasi menunjukkan kedua
primer spesifik untuk amplifikasi gen
VEGF 936 C/T.
2.5. Polymerase
Chain
Reaction
(PCR)
DNA genom yang diperoleh dari
hasil isolasi, dengan menggunakan
teknik PCR, fragmen-fragmen DNA
genom yang ingin dianalisis dapat
ditingkatkan kuantitasnya dengan cara
diamplifikasi secara in vitro dalam waktu
singkat
dengan
menggunakan
pasangan primer oligonukleotida sintetik
yang membatasi daerah yang akan
diperbanyak.
Pada
penelitian
ini
digunakan
sepasang
primer
oligonukleotida
untuk
deteksi
polimorfisme titik. Komposisi campuran
dengan volume total 25 l yang
digunakan saat melakukan PCR adalah
PCR mix Go Taq (Promega, USA) yang
terdiri dari 12,5 l dNTPs (campuran
dATP, dCTP, dGTP, dTTP), MgCl2 dan
Taq Polymerase, 7,5 l ddH2O, dan 3 l
DNA cetakan (template), serta primer
oligonukleotida reverse (R) dan forward
(F) masing-masing 1 l. Untuk lebih
jelas mengenai primer yang dipakai,
panjang primer, dan produk PCR pada
penelitian ini disajikan dalam tabel 1
PCR ini dilakukan pada mesin i-cycler
(Biorad). Prinsip dasar amplifikasi DNA
dengan menggunakan mesin PCR
adalah sintesis DNA in vitro secara
bireksional berulang melalui ekstensi
sepasang primer oligonukleotida yang
dirancang
berdasarkan
urutan
nukleotida dari kedua rantai DNA yang
diamplifikasi.
Proses
sintesis
ini
berlangsung dalam tiga tahap reaksi
yang berulang sebanyak 30 siklus pada
suhu berbeda, yaitu : reaksi denaturasi
0
pada suhu 95 C untuk memisahkan
rantai ganda menjadi dua rantai tunggal,
reaksi annealing yaitu menyatunya
kembali kedua rantai DNA tersebut pada
0
suhu 58 C, dan ekstensi yaitu sintesis
DNA melalui perpanjangan suatu primer

26
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

mengikuti urutan nukleotida DNA rantai


tunggal pasangannya yang berlangsung
0
pada suhu 72 C. Kondisi PCR
selengkapnya dapat dilihat pada gambar
1.

listrik 110 volt. Selanjutnya dideteksi


dengan menggunakan Gel Doc 1000
(BioRad, USA) untuk divisualisasi
dengan sinar ultra violet pada panjang
gelombang 300 nm dan direkam.

2.5.1. Deteksi Produk PCR Dengan


Elektroforesis Gel Agarose
Kualitas DNA hasil amplifikasi
dengan teknik PCR dilihat dengan
menggunakan teknik elektroforesis gel
agarose (konsentrasi 2%). Elektroforesis
dilakukan
di
dalam
aparatus
elektroforesis (Horizontal MiniSubDNA
Biorad) yang berisi TBE 1x (Tris-Boric
acid-EDTA, 10.8g/L, Tris pH 8.0 yang
mengandung 5.5 g/l Boric Acid dan 0.5
M EDTA pH 8.0) dan ditambahkan zat
interkalator Ethidium Bromide 0,1%.
DNA hasil PCR sebanyak 5l dicampur
dengan 3 l loading dye (0.25%
bromophenol blue, 40% b/v sukrosa),
kemudian dimasukkan dalam sumuran
yang terdapat pada gel. Sebagai
penanda ukuran pita-pita DNA hasil
elektroforesis pada gel digunakan DNA
marker (50bp DNA Ladder Cat no:
15628-019 Lot no. 1289697 sebanyak
3ug/ul: Promega) yang dicampur 2l
loading dye dan 4.5 ul 1x TBE buffer.
Gel dielektroforesis pada tegangan

2.5.2. Deteksi Polimorfisme Gen


VEGF 936 C/T dengan Teknik
RFLP
Polimorfisme gen VEGF 936 C/T
ditentukan dengan analisis PCR-RFLP.
Adanya
polimorfisme
pada
3V
untranslated region. Sebanyak 1 L
enzim NlaIII ditambahkan ke dalam
tabung eppendorf yang berisi 20 L
produk PCR. Selanjutnya divorteks
beberapa detik dan diinkubasi dalam
o
waterbath pada suhu 37 C selama 3
jam. Setelah digesti oleh NlaIII, produk
PCR dielektroforesis pada 2% agarose
gel dan dilihat dengan pewarnaan
ethidium bromide.
2.5.3. Pengolahan dan Penyajian
Data
Data-data
yang
dikumpulkan
diolah dengan secara manual dan
disajikan secara deskriptif dalam bentuk
tabel frekuensi dan presentase yang
disertai kalimat-kalimat narasi untuk
memperjelas.

Tabel 1. Pasangan Primer yang Digunakan Untuk Identifikasi Polimorfisme VEGF 936
C/T, Panjang Primer, dan Banyak Produk PCR yang Dihasilkan.

Primer

Sekuen

Panjang
Primer
(pb)

Forward

`5-AAGGAAGAGGAGACTCTGCGC-3

21

Reverse

5-TATGTGGGTGGGTGTGTCTACAGG-3

23

Produk
PCR
(pb)

198

Gambar 1. Kondisi PCR untuk Amplifikasi Gen VEGF 936 C/T

27
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1.
Karakterisitik
Subjek
Penelitian
Jumlah subjek dalam penelitian
ini 25 orang. Karakteristik umum subjek
penelitian terlihat pada Tabel 2 di bawah
ini.
Rerata
umur
sampel
pada
penelitian ini berbeda dari literatur,
[7]
contoh penelitian Krippl et al (2002)
melaporkan hasil rerata umur yang lebih
tinggi yaitu 56,4 + 11,0 tahun, begitu
juga Wehrschuetz et al (2009) dengan
[8]
rerata 54.5 + 11.8 tahun.
Usia
merupakan faktor resiko terjadinya
kanker payudara, yaitu insidens akan
meningkat setelah usia 50 tahun. Lebih
dari 90% kanker payudara terdiagnosis
pada usia lebih dari 50 tahun walaupun

[1],[9]

dapat terjadi
pada semua usia.
Kemungkinan, perbedaan rerata umur
ini dapat terjadi karena jumlah sampel
yang lebih sedikit sehingga tidak bisa
mewakili seluruh populasi penderita
kanker payudara.
Untuk menghindari bias yang
diakibatkan oleh jenis kanker payudara,
penelitian ini hanya mengikutkan subjek
kasus yang menderita Invasive Ductal
Carcinoma
Mamma.
Selain
itu,
pengaruh kemoterapi terhadap stabilitas
materi genetik juga dicoba untuk
dihindari dengan mengeluarkan subjek
kasus
yang
pernah
mendapat
kemoterapi. Kiranya dengan usaha
tersebut di atas dapat meminimalkan
bias
pada
penelitian
ini.

Tabel 2. Karakteristik Umum Subjek Penelitian


Karakteristik
Validitas
Rerata Umur (tahun)
46,92 15,08
3.2.
Gambaran
Elektroforesis
Produk PCR Gen VEGF
Setelah dilakukan ekstraksi/isolasi
DNA
sampel
darah
kemudian
dilanjutkan
dengan
pemeriksaan
Polimerase chain reaction (PCR) gen
VEGF
menggunakan
primer
oligonukleotida
Forward
5AGGAAGAGGGACTCTGCGCAGAGC3
dan
reverse
5TAAATGTATGTATGTGGGTGGGTGTG
TCTACAGG-3.
Produk
hasil
PCR
berupa
amplikon dievaluasi apakah ekstraksi
DNA yang kita lakukan berhasil dengan
cara elektroforesis melalui media gel
agarose
konsentrasi
2,5%
yang
mengandung etidium bromide selama
45 menit. Hasil elektroforesis kemudian
di visualisasi
menggunakan sinar
ultraviolet dan dibaca pada monitor
komputer.
3.3.
RFLP Menggunakan Enzim
NlaIII terhadap Gen VEGF 936C/T
Setelah tahapan ekstraksi/isolasi
DNA selesai dilakukan dilanjutkan
dengan Restriction Fragment Length
Polimorphism (RFLP) yaitu tahapan
restriksi menggunakan enzim NlaIII,
dengan cara mencampur produk hasil
PCR dengan enzim restriksi NlaIII pada
0
suhu 37 C selama 2 jam.

Setelah
selesai
dilanjutkan
dengan elektroforesis menggunakan gel
agarose 2,5% yang mengandung
ethidium bromide. Polimorfisme gen
VEGF 936C/T
akan tervisualisasi
dengan menggunakan sinar ultra violet,
terlihat
3
variasi
genotip
hasil
pemotongan enzim restriksi NlaIII
terhadap produk ekstraksi / isolasi DNA,
yaitu:
1) Gambaran 1 pita yaitu pada 198 bp
berarti amplikon (hasil isolasi DNA
yang sudah di PCR) tidak terjadi
pemotongan oleh enzim NlaIII pada
kedua alel berarti amplikon tersebut
mengandung genotip homozigot
CC.
2) Gambaran 2 pita yaitu pada 114 bp
dan 84 bp berarti amplikon yang
direstriksi terjadi pemotongan oleh
enzim NlaIII pada kedua alel berarti
genotip homozigot TT.
3) Gambaran 3 pita yaitu pada 198 bp,
114 bp dan 84 bp berarti amplikon
yang direstriksi terjadi pemotongan
pada satu alel dan tidak terjadi
pemotongan pada alel pasangannya
berarti genotip yang terkandung
adalah heterozigot CT.
Hasil PCR Gen VEGF terlihat
pada posisi 198 bp seperti pada gambar
berikut ini.

28
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

Gambar 2. Visualisasi Elektroforesis Hasil Ekstraksi/Isolasi DNA dan PCR Gen VEGF
Terlihat Pada Posisi 198 Bp Pada Media Gel Agarose 2,5% yang Mengandung Ethidium
Bromide Selama 2 Jam

Gambar 3 Polimorfisme Gen VEGF 936C/T Setelah Dilakukan RFLP. M = Marker DNA
Penanda, Uc= uncut, Alel T (114bp, dan 84bp) dan Alel C (198bp=C). Genotip CT Pada
Lajur 2 dan Genotip CC Pada Lajur 1, 3, 4, dan 5.
Keterangan : Sampel Nomor 1, 3, 4, 5 Genotip Heterozigot (terpotong dan memiliki dari
tiga pita, pada 198 bp, 114 bp dan 84 bp). Sampel Nomor 2 Genotip Wild
Type (tidak terpotong dan hanya memiliki satu pita pada 198 bp).
3.4.
Distribusi Frekuensi Genotif
Gen VEGF 936C/T pada Subjek
Penelitian
Setelah semua subyek penelitian
menjalani proses isolasi DNA, PCR dan
RFLP, maka didapatkan distribusi
frekuensi genotip gen VEGF 936C/T
Pada penelitian ini, yaitu distribusi
genotip TT, CT, dan CC dan masingmasing 0(0%), 9(36%) dan 16(64%).
(Tabel 3) Mutasi yang terjadi pada
promotor gen VEGF 936 C/T yang
dipotong dengan enzim NlaIII
yaitu
perubahan basa C (sitosin) menjadi
basa T (timin). Dengan teknik RFLP,
maka
mutasi
tersebut
dapat
diidentifikasi. Genotip wild type (CC)
saat divisualisasi akan terlihat pita

dengan berat basa 198 bp. Genotip


heterozigot (CT) saat divisualisasi akan
terlihat 3 pita yaitu pada daerah marker
198 bp, 114 bp, dan 84 bp, sedangkan
genotip homozigot mutan (TT) saat
divisualisasi akan terlihat 2 pita pada
6,8,10
daerah marker 114 bp dan 84 bp.
Distribusi frekuensi genotip gen
VEGF 936 C/T pada penelitian ini
berbeda
dengan
literatur,
yaitu
penelitian penelitian Krippl et al di
Austria (2002). Penelitian Krippl et al,
terhadap
500
subjek
penelitian
penderita kanker payudara, melaporkan
bahwa distribusi frekuensi genotip CC,
CT, dan TT adalah 82,4%, 15,8%, dan
[7]
1,8%.
Perbedaan perlakuan antara
penelitian ini dan literatur adalah pada

29
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

kriteria inklusi, yaitu penelitian ini


memasukkan
etnis
melayu
dan
pembatasan hasil PA Invasive Ductal
Carcinoma Mamma sebgai kriteria
inklusi, sedangkan pada literatur tidak.

Genotip
CC
CT
TT
Total

Selain itu, jumlah subjek penelitian yang


jauh lebih sedikit juga berpengaruh
terhadap
persentase
hasil
yang
mewakili seluruh populasi.

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Genotip Gen VEGF 936C/T (n=25)


Jumlah
Persentase (%)
16
64
9
36
0
0
25
100

3.5. Distribusi Frekuensi Alel Gen


VEGF
936C/T
pada
Subjek
Penelitian
Pada penelitian ini didapatkan
distribusi frekuensi alel polimorfisme
Gen VEGF 936C/T, yaitu alel T
berjumlah 9 (8%) dan distribusi alel C
berjumlah 41 (82%) (Tabel 4).
Mutasi alel (TT) pada genotip
promotor gen VEGF 936 C/T pada
individu
berhubungan
dengan
peningkatan ekspresi gen ini dalam
proses
angiogenesis.
Peningkatan
angiogenesis ini meningkatkan faktor
risiko
terjadinya
kanker
dan
memperparah prognosis, contohnya
[5],[6],[8]
kanker payudara.
Distribusi frekuensi alel gen VEGF
936 C/T pada penelitian ini berbeda

dengan
literatur,
yaitu
penelitian
penelitian Krippl et al di Austria (2002).
Penelitian Krippl et al, terhadap 500
subjek penelitian penderita kanker
payudara, melaporkan bahwa distribusi
frekuensi alel C dan T adalah 90,3%
7
dan 9,7%. Perbedaan perlakuan antara
penelitian ini dan literatur adalah pada
kriteria inklusi, yaitu penelitian ini
memasukkan
etnis
melayu
dan
pembatasan hasil PA Invasive Ductal
Carcinoma Mamma sebgai kriteria
inklusi, sedangkan pada literatur tidak.
Selain itu, jumlah subjek penelitian yang
jauh lebih sedikit juga berpengaruh
terhadap
persentase
hasil
yang
mewakili seluruh populasi.

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Alel pada Polimorfisme Gen VEGF 936C/T (n=25)
Alel
Jumlah
Persentase (%)
C
T
Total
4. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data dan
pembahasan, dapat disimpulkan pada
penderita kanker pudara yang berobat di
RSUP
dr.
Mohammad
Hoesin
Palembang, ditemukan genotip CC
sebesar 64%, genotip CT sebesar
36%, dan, tidak ditemui genotip TT.
Selain itu, ditemukan pula alel C
sebesar 82%, dan alel T sebesar 18%.
5. SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
dengan jumlah sampel yang lebih besar,
proporsi yang seimbang, dan jangka
waktu yang lebih panjang agar dapat
mewakili populasi. Selain itu, perlu

41
9
50

82
18
100
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui hubungan polimorfisme gen
VEGF 936 C/T dan titik lainnya dengan
kejadian kanker payudara.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suyatno dan Pasaribu ET. Kanker
Payudara. Dalam: Bedah Onkologi
Diagnosis dan Terapi. Jakarta.
Sagung Seto. 2010; 37-81.
2. Manuaba IBTW. Ed. Panduaan
Penatalaksanaan Kanker Payudara.
Dalam: Panduan Penatalaksanaan
Kanker Solid PERABOI 2010.
Jakarta. Sagung Seto. 2010; 17-47.
3. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
2011.
Jika
Tidak

30
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

4.

5.

6.

7.

Dikendalikan 26 Juta Orang di


Dunia Menderita Kanker, (online).
Diunduh
dari:
http://www.depkes.go.id/index.php/b
erita/press-release/1060-jika-tidakdikendalikan-26-juta-orang-di-duniamenderita-kanker-.html,
diakses
tanggal 21 Desember 2013)
Centre of Disease Control and
Prevention. 2007. Breast Cancer
Statistics, (online). Available at:
http://www.cdc.gov/, accessed on
st
December, 21 2013.
Devita
VT,
Lawrence
TS,
Rosenberg SA. Breast Cancer. In:
Cancer Principles & Practice of
th
Oncology 8 Edition Volume 2.
Philadelphia. Lippincott Williams &
Wilkins. 2008; 234-43.
Lu H, Shu XO, Cui Y, Kataoka N,
Wen W, et al. Association of
Genetic Polymorphisms in the
VEGF Gene with Breast Cancer
Survival. Cancer Research 2005;
65: 5015-9
Krippl P, Langsenlehner U, Renner
W. A Common 936 C/T Gene

Polymorphisms
of
Vascular
Endothelial Growth
Factor
is
Associated with Decreased Breast
Cancer Risk. Int J Cancer 2003;
106: 468-71.
8. Wehrschuetz M, Schllnast H,
Wehrschuetz E. 2009. VEGF 936C /
T Polymorphism and Association of
BI-RADS Score in Women with
Syspected Breast Cancer. Breast
Cancer:
Basic
and
Clinical
Research in Libertas Academica
Freedom to Research.
9. Hillegas KB. Karsinoma Payudara.
Dalam: Hartanto H, dkk. Ed. Price &
Wilson: Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit Edisi 6
Volume 2. Jakarta. EGC. 2006;
1303-7.
10. Watson CJ, Webb NJA, Bottomley
MJ, Brenchley PE. Identification
Polymorphisms within Vascular
Endothelial Growth Factor (VEGF)
Gene Correlation Variation VEGF
Protein Production. Cytokine 2000;
12: 1232-5.

31
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

Penelitian

PHYTOSOME EKSTRAK PEGAGAN SEBAGAI


MODULATOR NEUREGULIN-1 PADA
TRAUMATIC BRAIN INJURY
1

Putri Fitri Alfiantya , Oktavia Rahayu Adianingsih , Zulkarnaen , Alif


1
1
3
Fariz Jazmi , Sitti Ayu Hemas Nurarifah , Wibi Riawan
1
Mahasiswa Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas
Brawijaya, Malang
2
Program StudiFarmasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya,
Malang
3
Laboratorium Biokimia, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya,
Malang
ABSTRAK
Pendahuluan: Pada Traumatic Brain Injury (TBI), terjadi penurunan sintesis protein neuregulin1 (NRG-1) yang berperan dalam pembentukan mielin, sehingga diperlukan terapi untuk
meningkatkan ekspresi NRG-1 untuk mengembalikan fungsi akson. Secara etnomedicine,
Pegagan (Centella asiatica) memiliki efek neuroprotektor.Phytosome merupakan model drug
delivery system untuk meningkatkan efek terapi dari ekstrak Pegagan. Penelitian ini bertujuan
membuktikan dan membandingkan efektivitas ekstrak dan phytosome dalam optimalisasi herbal
delivery system ekstrak Pegagan sebagai neuroprotektor yang ditandai dengan peningkatan
ekspresi NRG-1 dan perbaikan tingkat mielinasi neuron pada tikus model TBI.
Metode: Ekstraksi Pegagan menggunakan metode maserasi.Phytosome ekstrak Pegagan
dikarakterisasi menggunakan spektroskopi KLT, LC/MS-MS, dan SEM. Tikus diinduksi TBI
menggunakan tabung silinder besi 45 gram dimana tikus dikelompokkan menjadi 8 kelompok:
kontrol (-), kontrol (+), 3 kelompok diberi ekstrak Pegagan, dan 3 kelompok diberi phytosome
ektrak Pegagan dengan dosis masing-masing 90 mg/kgBB, 180 mg/kgBB, dan 360 mg/kgBB.
Ketebalanmielin diukur dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin, sedangkan ekspresi NRG1dengan immunohistokimia.
Hasil: Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa ekstrak Pegagan (dosis 180 mg/kgBB dan 360
mg/kgBB) dan phytosome ekstrak Pegagan (dosis 90 mg/kgBB, 180 mg/kgBB, dan 360
mg/kgBB) dapat meningkatkan ekspresi NRG-1 dan ketebalan mielin secara signifikan
(p<0,05).
Simpulan: Kesimpulan penelitian adalah phytosome ekstrak Pegagan dapat meningkatkan
ekspresi NRG-1 dan ketebalan mielin lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak Pegagan saja.
Kata kunci: TBI, neuregulin-1, phytosome, mielinasi, Centella asiatica
ABSTRACT
Introduction: Neuregulin-1 (NRG-1) which play important role in myelin formation is decreased
in Traumatic Brain Injury (TBI). Thus, it required therapy to increase NRG-1 to restore the
function of axon. Based on etnomedicine, Centella asiatica is often used as neuroprotector.
Phytosome is a drug delivery system model to enhance the therapeutic effects of Centella
asiatica extract. This study aims to prove and compare the effectiveness between Centella
asiatica phytosome and Centella asiatica extracts to optimize the herbal delivery system of
Centella Asiatica for neuroprotection characterized by the increased of NRG-1 expression and
improvement in myelination of neurons in TBI rat model.
Method: Centella asiatica phytosome extract was characterized by TLC, LC/MS-MS, and SEM.
The rats were induced by TBI with 45 grams cylinder tube and rats were divided into 8 groups:
control (-), control (+), 3 groups were given with Centella asiatica extract, and 3 groups were
given with Centella asiatica phytosome extract (90, 180 and 360 mg/kgBW dose). Myelin
thickness was measured by Hematoxylin-Eosin staining and immunohistochemical expression
of NRG-1.

32
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

Results: Statistical analysis showed that the administration of Centella asiatica extract (180 and
360 mg/kgBW dose) and Centella asiatica phytosome extract (90, 180 and 360 mg/kgBW dose)
in the treatment groups was significant to increase NRG-1 expression and the thickness of
myelin (p<0.05).
Conclusion: The conclusion of this study is Centella asiatica phytosome extract can increase
the expression of NRG-1 and make the higher myelin thickness compared with Pegagan extract
alone.
Keywords: TBI, neuregulin-1, phytosome, myelination, Centella asiatica.
1. PENDAHULUAN
Trauma kepala sebagian besar
berdampak serius pada sistem saraf pusat
yang dikenal dengan istilah traumatic brain
[1]
injury (TBI).
Menurut Brain Trauma
Foundation tahun 2007, traumatic brain
injury paling banyak disebabkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor, cedera
ketika berolahraga, atau akibat terjatuh. Di
Indonesia sendiri, tepatnya di DKI Jakarta,
tercatat
sebanyak
53,4%
korban
kecelakaan mengalami cedera parah
[2]
terutama
pada
bagian
kepala.
Penatalaksanaan pasca TBI sangatlah
kompleks, yang meliputi rehabilitasi kognitif,
[3]
emosional, dan sosial. Modulasi NRG-1
pada TBI akan menurunkan gangguan
fungsi akibat kerusakan mielin dan dapat
[4]
menjadi sasaran terapi baru untuk TBI.
Pegagan
(Centella
asiatica)
merupakan tanaman yang sangat sering
ditemui di semua wilayah di Indonesia.
Secara etnomedicine, Pegagan sering
digunakan untuk pengobatan berbagai
macam penyakit, terutama sebagai wound
healing dan neuroprotektor, dengan
kandungan fitokimia glikosida triterpenoid
saponin, yaitu asiatikosida, asiatic acid,
[5]
madecassoside dan madecasic acid.
Namun, komponen fitokimia tersebut
cenderung
bersifat
polar
sehingga
diperlukan
cara
untuk
memodifikasi
kepolaran dari ekstrak, salah satunya
dengan cara memformulasikan ekstrak
dalam
bentuk
phytosome
dimana
phytosome adalah teknologi terbaru dalam
formulasi obat herbal yang dikembangkan
untuk memperbaiki farmakokinetika bahan
aktif obat herbal. Phytosome merupakan
pengembangan
dari
produk
herbal
konvensional dengan mengikat komponen
ekstrak
tanaman
herbal
dengan
fosfatidilkolin sehingga dapat dihasilkan
produk dengan tingkat absorbsi yang lebih
baik
dibandingkan
ekstrak
herbal
[6]
konvensional.
Hingga saat ini, belum ada penelitian
mengenai efek neuroprotektif Pegagan

pada TBI melalui peningkatan ekspresi


NRG-1,
sehingga
kami
mencoba
memberikan alternatif pendekatan terapi
TBI yang efektif dengan membuat suatu
rancangan formulasi sediaan phytosome
ekstrak Pegagan dalam upaya modifikasi
herbal delivery system sebagai modulator
NRG-1 dalam proses mielinasi saraf.
2. BAHASAN
2.1.
Metode Penelitian
2.1.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain
eksperimen murni secara in vivo dengan
rancangan randomized post test only
controlled group design menggunakan tikus
jantan (Rattus norvegicus) usia 2-3 bulan
dengan berat 300-400 gram. Tikus dibagi
menjadi 8 kelompok, yaitu:
Kontrol negatif : tikus sehat tanpa
diberikan perlakuan apapun.
Kontrol positif : tikus diinduksi TBI tanpa
diberikan ekstrak dan atau phytosome
Perlakuan 1-3 : tikus diinduksi TBI dan
diberikan phytosome dosis 90, 180, 360
mg/kgBB
Perlakuan 4-6 : tikus diinduksi TBI dan
diberikan ekstrak dosis 90, 180, 360
mg/kgBB
Setiap kelompok terdiri dari 4 tikus.
Ekstrak dan atau phytosome diinjeksikan
melalui rute intraperitoneal (ip) 2 jam
setelah induksi TBI. Ekspresi NRG-1 diukur
melalui
pemeriksaan
imunohistokimia,
sedangkan pemeriksaan histopatologis
dilakukan
untuk
melihat
gambaran
[7]
ketebalan mielin.
2.1.2.

Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Penelitian dilakukan diLaboratorium
Sentral Ilmu Hayati Universitas Brawijaya
(LSIH
UB),
Laboratorium
Biokimia,
Laboratorium
PA,
Laboratorium
Farmasetika,
Laboratorium
Farmakokinetika
dan
Laboratorium
Farmakologi Fakultas Kedokteran UB
selama 4 bulan.

33
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

2.1.3.

Alat dan Bahan


Bahan penelitian, yaitu ekstrak
Pegagan dan phytosome ekstrak Pegagan,
Povidon Iodin 10% 50cc, NaCl fisiologis,
alkohol swab, formalin 10%, dan jaringan
otak
tikus
untuk
pemeriksaan
histopatologis. Alat penelitian adalah
sebagai berikut: kandang; tempat minum,
dan makanan tikus; peralatan jahit dan
anestesi; tabung silinder besi diameter
5mm; beban besi 45g; meja operasi;
timbangan; spuit 1 mL, 3mL dan 5mL; pipet
hisap; pipet tetes; mikropipet 10-100 l dan
200-1000 l dan tipnya; imunohistokimia
kit.
2.1.4.

Variabel Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian ini
adalah dosis ekstrak Pegagan dan
phytosome ekstrak Pegagan, sedangkan
variabel terikat adalah ekspresi NRG-1 dan
ketebalan mielin neuron.
2.1.5.

Sampel Penelitian
Berdasarkan rumus Federer, jumlah
sampel tiap perlakuan minimal 4 ekor tikus
maka jumlah total tikus yang dibutuhkan
sejumlah 32 ekor menggunakan simple
random sampling.
2.1.6.

Perawatan Tikus
Tikus ditimbang dan dilakukan
adaptasi selama satu minggu di dalam
kandang berukuran 50 x 30 cm, tiap
kandang berisi 4 ekor tikus. Tikus diberi
makan 1 kali sehari.
2.1.7.

Ekstraksi Pegagan
Setiap 400 mg serbuk kering
tanaman ditambahkan 500 ml etanol teknis
dan dicampur dalam maserator dengan
penggojokan pelan selama 30 menit pada
awal perendaman. Campuran disimpan
selama 1 hari.Setelah itu filtrat disaring dan
pelarut diuapkan dengan rotary evaporator
0
[8],[9]
(suhu 80 C).
2.1.8.

Pembuatan Phytosome
Pembuatan
phytosome
melalui
metode sonikasi dengan mencampur
lecithin, etanol 70%, ekstrak Pegagan, PEG
dan natrium cholat, lalu distirer 3 jam
dengan magnetig stirer 2000 rpm. Pelarut
diuapkan lalu dihidrasi dengan aqua bebas
CO2 kemudian disonikasi.Lalu dilakukan
karakterisasi menggunakan LC-MS/MS dan
[8]
SEM.

2.1.9. Induksi Traumatic Brain Injury


(TBI)
Tikus dianestesi kemudian bulu
kepala dicukur dan dibersihkan dengan
alkohol 70%. Kemudian kulit kepala dibuka.
Silinder besi seberat 45 gram (diameter
4mm) dijatuhkan dengan sudut 90 dari
ketinggian 100 cm sebanyak 1 kali (Metode
Marmarou). Setelah itu kulit kepala tikus
dijahit kembali. 2 jam setelah induksi, 3
kelompok perlakuan diberi ekstrak Pegagan
dan
3
kelompok
perlakuan
diberi
phytosome
ektrak
Pegagan
intraperitoneum.
Setelah
1
minggu
pascatrauma
diperiksa
histopatologi
jaringan otak dan imunohistokimia ekspresi
NRG-1.
2.1.10. Pembuatan
Preparat
Histopatologi
Jaringan
Otak,
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)
dan Pengukuran Ketebalan Mielin
Jaringan otak difiksasi mengunakan
formalin 10% selama 24 jam, dicuci dengan
air kran mengalir atau alkohol 90%, dan
dilakukan tahap dehidrasi. Setelah itu,
dilakukan tahap pembeningan (clearing),
pembenaman (impregnation), pengecoran
(blocking), dan pewarnaan HE.Pengamatan
dilakukan menggunakan program Scan Dot
Slide OlyVIA pembesaran 20x obyektif
pada 10 lapang pandang.
2.1.11. Pewarnaan Imunohistokimia dan
Pemeriksaan Ekspresi Neuregulin-1
(NRG-1)
Sampel yang sudah diblok dengan
parafin di deparafinisasi lalu disimpan
selama 24 jam dan dilakukan pengecatan
IHK. Sampel dicuci dengan PBS pH 7,4
selama 2x5 menit, tetesi larutan H2O2
selama 30 menit, cuci dengan PBS
sebanyak 3x5 menit, lakukan blocking
protein dengan serum 1% selama 20 menit,
cuci dengan PBS 3x5 menit, inkubasi
dengan antibodi primer dalam serum 1:500
selama 2 jam pada suhu ruang, cuci
dengan PBS 3x5 menit, inkubasi dengan
antibodi sekunder 1:500 selama 1 jam pada
suhu ruang, cuci dengan PBS 3x5 menit,
tetesi polimer selama 40 menit, cuci
dengan PBS 2x5 menit, cuci dengan
aquadest sebanyak satu kali, tetesi dengan
diamono benzidine (DAB) dan dibiarkan
selama 20 menit, cuci dengan aquadest,
tetesi dengan mayer hematoxilen selama 5
menit, tambahkan aquadest, diamkan
selama 10 menit, cuci dengan aquadest
34

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

mengalir, keringkan selama 3 jam, tetesi


dengan entelan, dan terakhir tutup dengan
[10]
coverslip.
Slide
hasil
pengecatan
diperiksa menggunakan program Scan Dot
Slide
OlyVIA.
Kemudian
dilakukan
pemeriksaan ekspresi NRG-1 dengan
pembesaran 40x obyektif dengan 20 lapang
pandang pada tiap slide.

dilakukan
visualisasi
partikel
maka
dilakukan karakterisasi ekstrak Pegagan
dan phytosome ekstrak Pegagan secara
kualitatif dan kuantitatif.

2.1.12. Prosedur
Pengumpulan
dan
Analisis Data
Hasil pengukuran ketebalan mielin
dan
ekspresi
NRG-1
dianalisa
menggunakan IBM SPSS Statistics 20
dengan tingkat signifikansi (p) = 0,05dan
taraf kepercayaan 95% ( = 0,05).
2.1.13. Instrumentasi Penelitian
Ekstraksi:
rotary
evaporator,
vacuum
drying,
overhead
stirrer.
Pembuatan phytosome: rotary evaporator,
magnetic stirrer.Karakterisasi ekstrak dan
phytosome: LC-MS/MS (UHPLC: Acella
tipe 1250, Hypersil Gold Colomn, Thermo
Scientific; MS-MS: TSQ Quantum Access
Max,Triple
Quadrupole).
Pengecekan
NRG-1 dan ketebalan mielin: Mikroskop
Scan Dot Olympus Photo Slide BX51.
2.2. Hasil dan Diskusi
Dari 400 gram serbuk simplisia
Pegagan, didapatkan ekstrak kental
seberat 83,8 gram kemudian sebagian
difomulasikan dalam bentuk phytosome
dan dilakukan karakterisasi.
2.2.1. Karakterisasi Ekstrak Pegagan
dan Phytosome Ekstrak Pegagan
2.2.1.1. Visualisasi
Partikel
menggunakan Scanning Electron
Microscopy
SEM (Scanning electron microscopy)
digunakan untuk memvisualisasikan bentuk
dan mengetahui ukuran partikel phytosome
ekstrak Pegagan. Dari hasil visualisasi
didapatkan ukuran phytosome ekstrak
[11]
Pegagan sebesar 81 - 90 nm.
Setelah
(A)

Gambar 1. Visualisasi Partikel Phytosome

2.2.1.2. Uji
Kualitatif
menggunakan
Kromatografi Lapis Tipis
Uji kualitatif sering digunakan dalam
menentukan kandungan senyawa dalam
suatu
tanaman,
salah
satunya
[12]
menggunakan KLT.
Uji kualitatif dengan
KLT dilihat dari deteksi noda dan nilai Rf,
dua senyawa dikatakan identik jika
mempunyai nilai Rf yang sama jika diukur
pada kondisi KLT (fase diam dan fase
gerak) yang sama. Pada penelitian ini
didapatkan nilai Rf standar asiatikosida =
0.2875 dan Rf senyawa asiatikosida dalam
ekstrak = 0.2750, sedangkan rentang Rf
asiatikosida menurut literatur adalah 0.2[13]
0.35.
Hasil ini menunjukkan adanya
senyawa asiatikosida pada phytosome
yang dibuat sehingga dapat dilakukan uji
penetapan
kadar
asiatikosida
menggunakan metode LC-MS/MS.

(B)

Gambar 2. Plat Hasil KLT (A) UV, (B) visual


35
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

2.2.1.3. Uji Kuantitatif menggunakan


Liquid
ChromatographyMass
Spectra/Mass Spectra
Untuk uji kuantitatif senyawa triterpen
(asiatikosida) dari ekstrak Pegagan dapat
dilakukan denagan menggunakan metode
LCMS/MS yang dapat memisahkan dan
mendeteksi senyawa tersebut dari senyawa
[14]
yang lainnya berdasarkan berat molekul.

(50 x 2.1 x 1.9 M), dan MS/MS. Validasi


metode dilakukan untuk memastikan
akurasi dan presisi dari metode yang
digunakan. Sampel 200 l dilarutkan dalam
1 ml metanol lalu difiltrasi menggunakan
filter 0.2 mikron untuk meminimalisasi
[12]
kontaminan.
Hasil spektrogram LCMS/MS menunjukkan adanya senyawa
asiatikosida sebanyak 0.232 % dengan
berat molekul m/z = 957,00 yang
dikalkulasikan untuk m/z =469,54- 470,89.
2.2.2. Ekspresi NRG-1 dan Ketebalan
Mielin
Pada penelitian ini diperoleh data
rerata ekspresi NRG-1 dan ketebalan mielin
pada berbagai kelompok penelitian yang
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Data Hasil Penelitian dari MasingMasing Kelompok [rerata(SD)]

Kadar asiatikosida diuji dengan


metode LCMS/MS dengan kondisi operasi
sebagai berikut: autosampler (suhu = 10
0
C, volume injeksi 2 l), UPHLC dengan
gradient (fase gerak = air + 0.1 asam
format, asetonitril + asam format), kolom

Ekspresi
NRG-1 (sel)

Ketebalan
Mielin (m)

KN

3.12 (0.08)

30.19 (2.51

KP

1.99 (0.1)

24.37 (1.34

P1

3.7 (0.31)

31.86 (1.81

P2

3.92 (0.22)

36.30 (2.51

P3

4.02 (0.17)

49.68 (4.47

P4

2.53 (0.16)

28.32 (1.80

P5

2.82 (0.12)

30.23 (1.45

P6

3.24 (0.99)

33.73 (1.60

Keterangan: KN (tidak diberi perlakuan);


KP (diinduksi TBI); P1(diinduksi TBI +
phytosome 90mg/kgBB); P1(diinduksi TBI +
phytosome 90 mg/kgBB); P2(diinduksi TBI
+ phytosome 180 mg/kgBB); P3(diinduksi
TBI
+
phytosome
360
mg/kgBB);
P4(diinduksi TBI + ekstrak 90 mg/kgBB);
P5(diinduksi TBI + ekstrak 180 mg/kgBB);
P6(diinduksi TBI + ekstrak 360 mg/kgBB).

36
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

2.2.2.1. Ekspresi NRG-1

KN

KP

P2

P3

P5

P6

P1

P4

Gambar 4 Grafik Perbandingan Rerata


Eskpresi NRG-1 antar Masing-Masing
Kelompok Penelitian.
Uji ANOVA terhadap ekspresi NRG-1
pada jaringan otak tikus menunjukkan nilai
p = 0.00 (p<0.05) sehingga dilanjutkan
dengan uji post hoc Tukey HSD. Hasil uji
post hoc menunjukkan bahwa terdapat
perbedaaan
yang
signifikan
antara
kelompok kontrol positif dengan kontrol
negatif (p=0.003) serta antara kelompok
kontrol positif dengan kelompok perlakuan
1, 2, 3, 5, dan 6 (p<0.05). Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian ekstrak
(dosis 180, 360 mg/kgBB) dan phytosome
(dosis 90, 180, 360 mg/kgBB) mampu
meningkatkan ekspresi NRG-1 pada
jaringan otak tikus yang diinduksi oleh TBI
secara signifikan.
2.2.2.2. Ketebalan Mielin
Uji Kruskal Wallis terhadap ketebalan
mielin pada akson di jaringan otak tikus
menunjukkan nilai p=0.01 (p<0.05) maka
dilanjutkan dengan uji post hoc Mann
Whitney. Hasil uji post hoc menunjukkan
bahwa terdapat perbedaaan yang signifikan
antara kelompok kontrol positif dengan
kontrol negatif (p=0.021) serta antara
kelompok kontrol positif dengan kelompok
perlakuan 1, 2, 3, 5, dan 6 (p<0.05). Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian ekstrak
(dosis 180, 360 mg/kgBB) dan phytosome
(dosis 90, 180, 360 mg/kgBB) mampu
meningkatkan ketebalan mielin pada akson
di jaringan otak tikus yang diinduksi oleh
TBI secara signifikan.

Gambar 5.Gambaran Histopatologi Jaringan Otak


menggunakan Pengecatan Imunohostokimia IHK 1.

KN

P2

KP

P1

P3

P4

Gambar 6.Gambaran Histopatologi Jaringan Otak


menggunakan Pengecatan Hematoksilin & Eosin (HE)

Gambar 7. Grafik Perbandingan Rerata Ketebalan Mielin


antar Masing-Masing Kelompok Penelitian

37
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

2.2.3.

Pegagan sebagai Neuroprotektor


Pegagan
(Centella
asiatica)
mengandung senyawa saponin triterpenoid
yang mempunyai efek neuroprotektor, yaitu
asiatikosida dan madekakosida. Salah satu
efek farmakologis dari Pegagan jika ditinjau
berdasar etnomedicine atau pengobatan
secara
empiris
adalah
sebagai
neuroprotektor.
Selain
itu,
Pegagan
digunakan untuk beberapa pengobatan
berbagai macam penyakit, seperti wound
[5]
healing dan penurunan daya ingat.
Terdapat berbagai mekanisme terkait efek
neuroprotektor dari Pegagan, antara lain
inhibisi enzim, mencegah pembentukan
plak amyloid pada penyakit Alzheimer,
neurotoksisitas terhadap dopamin pada
penyakit Parkinson, meningkatkan jumlah
dendrit saraf, menurunkan apoptosis
[15]
neuron, dan menurunkan stres oksidatif.
Namun, belum ada penelitian lebih lanjut
mengenai mekanisme molekuler ekstrak
Pegagan sebagai neuroprotektor dalam
model traumatic brain injury (TBI). Salah
satu
karakterisitik
senyawa
dapat
menembus membran sawar otak atau
blood brain barrier (BBB) yaitu memiliki
koefisien partisi yang tinggi atau bersifat
lipofilik dan ukuran partikelnya yang kecil
sehingga dapat menembus sel endotel
[16]
membran sawar otak.
Komponen kimia
yang terkandung dalam ekstrak Pegagan
cenderung
bersifat
polar,
terutama
asiatikosida yang termasuk golongan
glikosida saponin triterpenoid karena
mengandung gugus gula yang bersifat
polar. Untuk itu, diperlukan modifikasi
kepolaran dari ekstrak Pegagan untuk
meningkatkan absorbsinya ke dalam
membran sawar otak, yaitu dengan
memformulasikannya
dalam
bentuk
phytosome.
2.2.4. Mekanisme Ekstrak Pegagan dan
Phytosome Ekstrak Pegagan dalam
Memperbaiki Mielin
Berdasarkan penelitian ini, ekstrak
Pegagan dan phytosome ekstrak Pegagan
memiliki efek neuroprotektor dengan
memperbaiki
fungsi
saraf
melalui
remielinasi saraf yang rusak. Zat aktif
dalam Pegagan mampu mengaktivasi gen
regulator Krox-20 dimana gen Krox-20
merupakan faktor transkripsi dari protein
NRG-1. Mielinasi dimulai dengan ekspresi
NRG-1 oleh akson yang akan berinteraksi
dengan reseptor ErBb pada oligodendrosit.
Ikatan NRG-1 dengan ErBb akan memulai

proses kaskade second messenger, dimulai


2+
dari peningkatan akumulasi ion Ca ,
pengaktifan phosphatidylinositol-3-kinase
(PI3K),
focal
adhesi
kinase,
dan
pengaktifan
mTOR
kinase
yang
menyebabkan aktivasi gen mielin (Krox-20
17
& P0) pada inti sel oligodendrosit. Hal ini
menyebabkan oligodendrosit membentuk
mielin pada akson dimana perbaikan mielin
ini akan mempercepat konduksi impuls
[18]
saraf.
Phytosome
ekstrak
Pegagan
memiliki efek yang lebih baik daripada
ekstrak biasa yang ditunjukkan dengan
peningkatan jumlah NRG-1 dan ketebalan
mielin yang lebih tinggi.Hal ini disebabkan
phytosome dapat meningkatkan kelarutan
dari zat aktif Pegagan dalam lemak, dapat
meningkatkan
manfaat
terapeutiknya
secara signifikan, serta meningkatkan
absorbsi senyawa aktif dimana ikatan kimia
antara fosfatidilkolin dan fitokonstituen
[6]
menunjukkan stabilitas yang baik.
4. KESIMPULAN
Pemberian ekstrak Pegagan dan
phytosome ekstrak Pegagan mampu
meningkatkan
ekspresi
NRG-1
dan
ketebalan mielin. Apabila dibandingkan
dengan ekstrak saja,pemberian phytosome
ekstrak Pegagan mampu meningkatkan
ekspresi NRG-1 dan tingkat mielinasi lebih
tinggi. Untuk meningkatan ekspresi NRG-1
dan ketebalan mielin, dosis ekstrak
Pegagan yang dibutuhkan adalah 180
mg/kgBB,
sedangkan
ekstrak
yang
diformulasikan dalam bentuk phytosome
hanya membutuhkan dosis sebesar 90
mg/kgBB.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jorge RE, Starkstein SE, Arndt S, Moser
D, Crespo-Facorro B, Robinson RG.
Alcohol misuse and mood disorders
following TBI. Archives of General
Psychiatry 2005; 62(7):742-749
2. Riyadina, Woro
dkk.
Pola
dan
Determinan Sosiodemografi Cedera
Akibat Kecelakaan. [Internet] 2009.
[Cited 2013 October 20] Available
from:http://indonesia.digitaljournals.org/.
3. Block,
Cady
K,
West
SE.
Psychotherapeutic
Treatment
Of
Survivors Of Traumatic Brain Injury:
Review Of The Literature And Special
Considerations. Brain Injury 2013;27(78):775-88

38
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

4. Flygt, J. et al. Myelin Loss And


Oligodendrocyte Pathology In White
Matter Tracts Following Traumatic Brain
Injury In The Rat. Eur J Neurosci 2013
Jul;38(1):2153-65
5. Alfarra, Yousif H, Omar, Nor M. Centella
asiatica : from folk remedy to the
medical biotechnology. International
Journal of Bioscience 2013; 3(6) : 49-67
6. Sharma S, Roy RK. Phytosome: an
Emerging Technology. International
Journal of Pharma Research and
Technology 2010;2(5):1-7.
7. Svennigsen FA, Dahlin BL. 2013. Repair
of the Peripheral NerveRemyelination
that Works. Brain Sci 2013;3(3): 11821197
8. Adianingsih
OR,Sulistiyani
P,Zulkarnaen,Alfiantya PF,Agustin ENS.
Characterization and Effect of Lotion
Centella asiatica Extract-Phospholipid.
BIMFI 2014;2(2):71-81
9. Pramono S, Ajiastuti D. Standarisasi
Ekstrak Herba Pegagan (Centella
asiatica (L.) Urban). Majalah Farmasi
Indonesia 2004;15 (3): 118-123.
10. Fatmawati, Heni dkk. Pengaruh Likopen
terhadap Penurunan Aktivitas NF-kB
dan Ekspresi ICAM-1 pada Kultur
HUVECs. Jurnal Ilmu Dasar 2010;
1(2):143.
11. Sulistiyani, S. Pengaruh Penambahan
Kolesterol Terhadap Stabilitas Fisika
dan Kimia Fitosom Ekstrak Pegagan
(Centella asiatica). [Skripsi] Malang :
Universitas Brawijaya; 2014
12. Gandjar, I.G., Rohman, A. Kimia
Farmasi Analisis. [Pustaka Pelajar] :
Yogyakarta ; 2007

13. Wagner H, Bladt S. Plant drug analysis:


A Thin Layer Chromatography Atlas.
2nd ed. Berlin Heidelberg: Springer ;
1996 ; p.324-325.
14. Tiwari, U. K., Shukla, A., Gaur, AK.
Chemical Constituents Isolated from
Andrographis paniculata. Indian Journal
of Chemistry 2010;41(29): 356-35.
15. Orhan, Ilkay Erdogan. Centella asiatica:
Traditional toModern Medicine with
Neuroprotective Potential. EvidenceBased Complementary and Alternative
Medicine 2012 (2012): 1-8.
16. Gomes NG, Campos MG, rfo JM.et
al. Plants with neurobiological activity.
Neuro-Psychopharmacology
&
Biological Psychiatry 33 2009 Nov
13;33(8):1372-89
17. Taveggia C, Feltri ML , Wrabetz L.
Signals to promote myelin formation and
repair. 2010 May;6(5):276-87
18. Simon M, Lyons DA. Axonal selection
and myelin sheath generation in the
central nervous system. Cell Biology
2013,25(4):512-519

39
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

Tinjuan
Pustaka

II-HSD1 SELECTIVE INHIBITOR VIA


INCB13739 GUNA PENURUNAN
GLUCOCORTICOID RECEPTOR- PADA
PENCEGAHAN KOMPLIKASI PASIEN
DIABETES GESTASIONAL
1

R. Prawira Bayu Putra Dewa , I Made Widiarta Kusuma


Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar

ABSTRAK
Pendahuluan: Gestasional Diabetes Melitus (GDM) merupakan suatu keadaan
intoleransi glukosa dengan derajat bervariasi yang terjadi pada saat kehamilan
berlangsung. Insiden GDM di Indonesia 1,9-2,6%. Penyebab penyakit ini bersifat
multifaktorial, namun peningkatan hormon kortisol melalui enzim 11-HSD1
menyebabkan peningkatan glucocorticoid receptor- (GR-) yang mengganggu kaskade
signal insulin pada organ sel target terutama otot skeletal, sel adiposa, dan hati. Hal ini
menyebabkan bayi lahir dengan makrosomia, hiperbilirubinemia, dan obesitas.
Sedangkan, pada wanita hamil dengan GDM dapat meningkatkan resiko preeklampsia
dan DM tipe II dikemudian hari. Oleh karena itu, pencegahan terjadinya komplikasi
pasien DGM sangat perlu dilakukan pada penghambatan enzim 11-HSD1. Hal ini dapat
dilakukan melalui INCB13739 sebagai 11-HSD1 selective inhibitor.
Pembahasan: Administrasi INCB13739 melalui jalur oral dengan dosis efektif 100 mg
per hari. Mekanisme kerja obat ini menghambat mRNA enzim 11-HSD1 sebagai
kompetitif inhibitor dengan membentuk kompleks CS-GR. Homeostasis kadar kortisol
menurunkan pula ekspresi GR- yang meningkatkan sensitivitas insulin.
Simpulan: Analisis manfaat pemberian obat ini jika dibandingkan dengan modalitas
terapi GDM saat ini adalah memiliki daya selektifitas yang tinggi dan memiliki efek
multiregulasi untuk menghomeostasiskan tubuh akibat GDM. Sehingga hal ini mencegah
komplikasi pada anak maupun wanita hamil dengan GDM.
Kata kunci: Gestasional Diabetes Melitus, INCB1379, 11-HSD1, GR-, Selective
Inhibitor
ABSTRACT
Introduction:Gestational Diabetes Mellitus (GDM) is a condition of glucose intolerance
with varying degrees that occurred during pregnancy. The incidence of GDM in Indonesia
1.9 to 2.6%. The cause of this disease is multifactorial, but the increase in the hormone
cortisol by 11-HSD1 enzyme causes an increase in glucocorticoid receptor- (GR-)
that interfere with insulin signaling cascade in the target cell organs, especially skeletal
muscle, adipose cells, and liver. GDM will lead fetus to birth macrosomia,
hyperbilirubinemia, and obesity. Meanwhile, in pregnant women GDM may increase the
risk of preeclampsia, and type II diabetes. Therefore, prevention of complications of
patients DGM very necessary in the inhibition of the enzyme 11-HSD1. This can be
done through 11-HSD1 INCB13739 as a selective inhibitor.
Pembahasan:INCB13739 administration via the oral route with an effective dose of 100
mg per day. Mechanism of action of these drugs inhibit the enzyme 11-HSD1 mRNA as
a competitive inhibitor by forming CS-GR complex. Homeostasis cortisol levels also
decrease the expression of GR- that improve insulin sensitivity.
Conclusion: Analysis of the benefits of this drug compared with current therapeutic
modalities DGM has high selectivity and has multi regulation effect to homeostatic body
from GDM. So this is to prevent complications in children and pregnant women with
GDM.

40
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

Keywords: Gestational Diabetes Mellitus, INCB1379, 11-HSD1, GR-, Selective


Inhibitor
1. PENDAHULUAN
Masa
kehamilan
merupakan
sebuah periode yang unik dalam hidup
perempuan dan keluarganya. Fase ini
secara
umum
ditandai
dengan
kebutuhan akan penyesuaian terhadap
identitas, definisi, informasi dan praktek
edukasi mengenai perubahan fisiologis
yang terjadi pada masa kehamilan dan
[1]
siklus puerperium.
Pada
wanita
hamil
terjadi
perubahan-perubahan fisiologis, seperti
peningkatan
hormon
estrogen,
progesteron, kortisol, dan human
plasenta lactogen yang berpengaruh
1
terhadap metabolisme karbohidrat .
Hormon ini berpengaruh pada terjadinya
resistensi insulin dan keseimbangan
metabolisme karbohidrat pada ibu hamil,
sehingga terjadi gangguan toleransi
glukosa,
yang
mengakibatkan
kehamilan
tersebut
bersifat
[2]
diabetogenik.
Gestasional Diabetes Melitus
(GDM) didefinisikan sebagai suatu
keadaan intoleransi glukosa atau
karbohidrat dengan derajat bervariasi
yang terjadi atau pertama kali ditemukan
pada saat kehamilan berlangsung.
Melalui
definisi
ini
tidak
memperhitungkan
penderita
mendapatkan pengobatan insulin atau
dengan diet, serta gangguan toleransi
glukosa kembali normal atau tidak
[3],[4]
setelah persalinan.
Insiden GDM di dunia bervariasi
antara 1,2-14%. Di USA, GDM terjadi
pada 1,1-13,3% populasi kehamilan. Hal
ini tergantung pada komposisi ras dan
etnikpopulasi
kriteria
diagnosis.
Sedangkan di Indonesia, insiden GDM
[5],[6]
berkisar antara 1,9-2,6%.
Perbedaan
insiden ini disebabkan oleh perbedaan
kriteria
diagnosis
dan
materi
penyaringan yang dilakukan pada ibu
hamil. Angka insiden tersebut terjadi
karena tingkat pengetahuan ibu hamil
yang superfisial terhadap komplikasi
kehamilan,
khususnya
gestasional
diabetes melitus baik dalam hal
perawatan diri, terapi, dan kontrol
[7]
penyakit.
Hal ini berbanding lurus
terhadap sedikitnya jumlah ibu hamil
yang berkisar antara 5-7% di Indonesia
melaksanakan penyaringan (screening)

terhadap GDM tersebut. Padahal,


berbagai
asosiasi
diabetes
duniatermasuk WHO mewajibkan setiap
ibu hamil melaksanakan penyaringan
[8]
pada minggu ke 24-28 kehamilan.
Oleh karena kondisi tersebut, terjadi
peningkatan resiko kelahiran bayi
dengan makrosomia, shoulder dystosia,
birth
injury,
hiperbilirubinemia,
hipoglikemia, sindrom distres respiratori,
dan obesitas. Sedangkan, pada wanita
hamil dengan GDM dapat meningkatkan
resiko preeklampsia, kelahiran sesaria
dan terjadinya DM tipe II dikemudian
hari.
Secara patofisiologi, GDM bersifat
multifaktorial. Mekanisme resistensi
insulin pada wanita hamil normal sangat
kompleks, sebab perubahan mekanisme
endokrin pada wanita hamil secara
fisiologis adalah normal. Resistensi
insulin selama kehamilan dapat terjadi
karena rusaknya reseptor insulin bagian
distal yakni post reseptor, serta
kemampuan
plasenta
dalam
mensintesis dan mensekresi peptida
dan hormon steroid yang menurunkan
sensitivitas maternal pada insulin.
Namun, peningkatan hormon kortisol
berperan
paling
penting
dalam
terjadinya
resistensi
insulin.
Peningkatan hormon kortisol diaktivasi
oleh enzim 11-HSD1 yang ekspresinya
tinggi pada wanita hamil. Secara in vivo
11-HSD1 berfungsi sebagai reduktase,
walaupun demikian secara in vitro
berfungsi sebagai dehidrogenase. Pada
hati dan jaringan lemak manusia,
glukokortikoid kortisol aktif diproduksi
dengan
mengkatalisasi
aktivasi
kortisone inaktif dengan konkominan
konversi NADPH menjadi NADP oleh
11-HSD1, yang mana konsentrasi
NADPH pada hati dan jaringan lemak
[9]
sangat tinggi.
Overekspresi II-HSD1 pada
wanita
hamil,
menyebabkan
peningkatan hormon kortisol tiga kali
lebih tinggi dari wanita normal yang
diikuti pula oleh peningkatan reseptor
glucocorticoid receptor- (GR) dan
transkripsi gen kortisol. Sedangkan,
dengan
peningkatan
tersebut
dibutuhkan sekresi insulin lebih tinggi
oleh sel pankreas untuk mencegah
41

JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

terjadinya
hiperglikemia.
Namun,
peningkatan jumlah insulin tidak diikuti
oleh peningkatan sensitivitas insulin
pada organ sel target. Data klinis
tersebut di atas mengindikasikan
perlunya inhibisi pada enzim 11-HSD1.
Penggunaan
inhibisi
non-selektif
sekarang ini seperti carbenoxolone
meningkatkan sensitivitas insulin hepatik
dan menurunkan produksi glukosa.
Namun, inhibisi non-selektif ini juga
menghambat
11-HSD2
yang
menyebabkan terjadinya hipernatremia,
hipokalemia, dan hipertensi. Hal ini
dapat
terjadi
karena
11-HSD2
merupakan isoform yang ditemukan
pada jaringan mineralokortikoid, seperti
[9]
ginjal dan kolon.
Oleh karena itu dibutuhkan 11HSD1selective
inhibitor,
guna
mencegah peningkatan kortisol yang
sangat signifikan pada wanita hamil
dengan GDM. INCB13739 merupakan
salah satu 11-HSD1 inhibitor yang
dapat digunakan pada pasien GDM.
INCB13739 menurunkan level glukosa
plasma puasa, total kolesterol, LDL, dan
trigliserida.
Inhibisi
11-HSD1,
menurunkan pula jumlah glukokortikoid
reseptor-, sehingga terjadi peningkatan
sensitivitas insulin. Sehingga karena hal
tersebut di atas, penulis tertarik untuk
membahas
lebih
lanjut
terhadap
penggunaan
INCB13739
sebagai
inhibitor selektif pada wanita hamil.
2. PEMBAHASAN
2.1.
Administrasi
dan
Farmakodinamik/ Farmakokinetik
INCB13739 sebagai 11-HSD1
Selective
Inhibitor
Guna
Penurunan
Glucocorticoid
Reseptor-
pada
Pencegahan
Komplikasi Diabetes Gestasional
Mekanisme
administrasi
INCB13739 dilakukan melalui jalur oral,
sebab sediaan yang tersedia sampai
saat ini masih melalui jalur oral saja
untuk menghambat kerja dari enzim11HSD1 dalam mengaktivasi kortisol.
INCB13739 memiliki efek berbahaya jika
terkena bagian tubuh yang sensitif
seperti mata dan juga bila terinhalasi.
Oleh karena itu jalur oral merupakan
jalur
terbaik.
Saat
administrasi,
INCB13739 sebaiknya tidak dikonsumsi
dengan
bahan
makanan
yang
mengandung antioksidan tinggi dan

bahan makanan yang memberikan efek


basa. Karena makanan tesebut dapat
menurunkan efektivitasi dari INCB13739
[9]
dalam keadaan basa.
Melalui
cellular
essay,
INCB13739diketahui memiliki ukuran
1,1 nano molar. INCB 13739 akan
diserap
dan
mengalami
proses
internalisasi di dalam usus halus. Ketika
terinternalisasi
ke
dalam
tubuh,
INCB13739 sangat mudah diserap dan
langsung memasuki sirkulasi darah.
INCB13739
mengikuti aliran darah
yangmenuju hati dan jaringan adiposa,
sebab pada jaringan tersebut banyak
terekspresi
enzim
11-HSD1.
INCB13739
merupakan
11-HSD1
inhibitor
yang
sangat
selektif,
dibandingkan
11-HSD1
inhibitor
lainnya. INCB13739 1000 kali lebih
selektif kepada 11-HSD1 dari pada
11-HSD2 dan mineralokortikoid. Hal ini
dibuktikan pada percobaan aktivitas
enzim 11-HSD1 di hati dan jaringan
adiposa, bahwa terjadi penurunan
aktivitas yang sangat signifikan setelah
pemberian
oral
INCB13739
bila
dibandingkan dengan placebo, seperti
[10],[11]
yang terlihat pada Gambar 1.
INCB13739
yang
diberikan
secara oral akan memasuki sirkulasi
dan waktu paruh dari dosis akan terjadi
11
jam
setelah
administrasi.
Diperkirakan beberapa jam setelahnya
INCB13739 akan bersih dari sirkulasi.
Ekskresi obat ini melalui ginjal dan
dikeluarkan
bersama
urin.
Pada
percobaan manusia yang melakukan
terapi metformin dan diberikan oral
INCB13739 setiap hari, diketahui efek
puncak pada INCB13739 terjadi 4 jam
setelah administrasi. 90% aktivitas dari
11-HSD1 akan terhenti setelah 4 jam
administrasi dengan dosis 100 mg dan
200 mg. Namun pada kelompok orang
coba dengan dosis 200 mg inhibisi terus
terjadi sampai dengan akhir interval dari
obat. Hal ini mengindikasikan bahwa
efek kerja dari INCB13739 tergantung
[12],[13]
dari dosis yang di berikan.
Kadar Kortisol pada ibu hamil
mengalami peningkatan terutama pada
minggu ke 25 sampai 30 kehamilan,
dimana terjadi peningkatan yang tajam
pada kehamilan. Peningkatan ini sejalan
dengan
penigkatan
Corticotropin
[14]
Releasing Hormone (CRH).
Daya
inhibisi yang kuat dari INCB13739 dapat
42

JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

menekan peningkatan hormon kortisol


dari ibu ke janinnya. Dari hasil penelitian
diketahui
bahwa
pemberian
oral
INCB13739 dengan berbagai dosis
sebanyak satu kali sehari pada siang
hari dapat membantu menurunkan
kadar kortisol plasma namun tidak
mengganggu kadar circadian rytme dari
kortisol. Seperti yang terlihat pada
gambar 2.B, kadar kortisol pada pagi
dan siang hari tidak mengalami
perubahan yang signifikan (tetap dalam
batas
normal).
Tetapi
terjadi
peningkatan kadar ACTH yang cukup
signifikan seperti pada gambar 2.A, hal
ini
akibat
reaksi
tubuh
untuk
mengkompensasi
efek
oral
[15],[16]
INCB13739.
Pemberian oral INCB 13739 juga
memiliki efek penurunan kadar A1C.
Pada percobaan didapatkan dengan
dosis 100 mg dan 200 mg terjadi
penurunan
yang
signifikan
A1C.
Penurunan ini secara maksimal setelah
12 minggu terapi, dimana kadar A1C
pasien dibawah 7% jika dibandingkan
dengan placebo yang memiliki kadar
A1C 9,5% pada minggu ke 12. Pada
berbagai dosis coba, terjadi penurunan
dari dosis 50 mg, 100 mg dan 200 mg.
Penurunan kadar kolesterol total juga
terjadi. Pada percobaan didapatkan
bahwa kadar LDL kolesterol dan
trigliserida mengalami penurunan yang

signifikan. Pemberian oral INCB 13739


pada dosis 100 mg secara statistik
menunjukkan angka yang signifikan
pada ketiga kategori lipid (Kolesterol -16
mg/dl, -6%; LDL 17 mg/dl, -10%;
trigliserida 74 mg/dl, 16%). Respon
yang sama juga terjadi pada subgroup
dengan dosis 200 mg, tetapi penurunan
yang ditunjukkan tidak signifikan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
dosis terefektif untuk oral INCB 13739
adalah 100 mg, dengan pemberian satu
[17],[18]
kali perhari.
Pada
masa
kehamilan
administrasi
INCB13739
akan
membantu memberikan perlindungan
pada bayi terhadap kadar kortisol yang
tinggi. Tidak seperti inhibitor enzim 11HSD1 lainnya, INCB13739 sangat
selektif dalam melakukan inhibisi
sehingga tidak mengganggu aktivitas
dari enzim 11-HSD2. Enzim 11-HSD2
memiliki fungsi sebagai barier alami
terhadap peningkatan kortisol dalam
masa kehamilan, karena 11-HSD2
dapat non aktivasi dari kortisol aktif di
dalam plasma melalui MR. Inhibisi dari
enzim 11-HSD1 akan membantu
pertahanan bayi dalam kandungan
terhadap efek buruk Kortisol yang
berlebihan
yaitu
gangguan
pertumbuhan, fungsi kardiovaskular,
[19]
metabolisme, dan fungsi endokrin.

Gambar 1. Aktivitas Enzim 11-HSD1 di Hati dan Jaringan Adiposa setelah


[12],[13]

Pemberian Oral INCB13739.

43
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

Gambar 2.A. Perubahan Kadar ACTH pada Berbagi Dosis INCB13739 di Bandingkan
dengan Plasebo; B. Kadar Kortisol Pada Pagi dan Malam Hari pada berbagai
[17]
Dosis INCB13739.
2.2.
Mekanise Kerja INCB13739
sebagai
11-HSD1
Selective
Inhibitor
Guna
Penurunan
Glucocorticoid
Reseptor-pada
Pencegahan Komplikasi Diabetes
Gestasional
2.2.1 INCB13739 Inhibisi NADPHinduced
11-HSD1
mRNA
Expression
Ekspresi enzim11-HSD1 pada
wanita
hamil
dengan
diabetes

gestasional tinggi khususnya pada hati


dan sel adiposa. Hal ini terjadi akibat
sensitisasi 11-HSD1 mRNA oleh
NADPH yang kolokalisasi dengan
hexose-6-phospate
dehydrogenase
[20]
enzym.
Kolokalisasi ini menghasilkan
NADPH yang banyak akibat proses
metabolisme glukosa (oksidasi glucose6 phosphate) di hati, sehingga NADPH
digunakan sebagai NADPH-dependent
enzym (Gambar. 3).

Overekspresi enzim 11-HSD1


meningkatkan katalisasi interkonversi
inaktif kortison menjadi kortisol. Hal ini
menyebabkan overekspresi pula pada
glucocorticoid
receptor-
yang
terekspresi pada jaringan adiposa dan
hati.
Belum ada kejelasan pasti
peningkatan
enzim
11-HSD1
disebabkan
oleh
peningkatan
glukokortikoid
(kortisol)
ataupun
sebaliknya.
Namun,
INCB13739
bertindak
sebagai
inhibitor
pada
ekspresi mRNA 11-HSD1 pada sel

adiposit maupun hati. Ketika INCB13739


memasuki organ sel target, obat ini akan
memasuki membran sel adiposit dan
hati yang permeabel karena ukurannya
yang sangat kecil (1,1 nanomolar).
Kemudian
di
dalam
sitoplasma
membentuk kompleks reseptor CS-GR
dimer yang berikatan pada rantai kodon
mRNA 11-HSD1. Proses pengikatan
kompleks reseptor CS-GR dimer bersifat
kompetititf, sebab kortisol dan sitokin
proinflamasi (IL-1 dan TNF) dapat
berikatan dengan reseptor tersebut
[21]
melalui produksi prostaglandin. Hal ini

44
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

mengamplifikasi enzim 11-HSD1untuk


melakukan konversi kortison menjadi
kortisol.
Adanya
inhibisi
ini,
menyebabkan proses ekspresi mRNA
11-HSD1
menurun,
karena
prostaglandin yang meningkatkan kerja
kortisol pada aktivasi mRNA tidak
berfungsi lagi.
Pembentukan kompleks CS-GR
dengan INCB-13739, menyebabkan

efek aktivasi parakrin ataupun autokrin


enzim 11-HSD1 tidak berjalan. Aktivasi
parakrin bisa terjadi oleh karena
pembentukan sitokin interleukin-6 oleh
human osteoblast cell line (SV-HFO)
mampu secara langsung mengaktivasi
pembentukan
mRNA
11-HSD1
(Gambar. 4).

Gambar 4. Lingkaran Merah Menunjukkan Reseptor Pengikatan INCB-13739 dalam


Inhibisi mRNA 11Pada C2C12 skeletal muscle cell
line,
pembentukan
kompleks
ini
menyebabkan penurunan ekspresi 11HSD1, pada diferensiasi mioblast
skeletal menjadi miotube mature. Jika
ekspresi enzim ini tidak terkontrol pada
saat diferensiasi mioblast skletal janin,
dapat menyebabkan proteolisis otot
skletal dengan
aktivasi ubiquitinproteasome
system
(UPS)
dan
peningkatan ekspresi E3 ubiquitin
[22]
ligases Atrogin-1 dan MuRF-1.
Apabila degradasi protein abnormal ini
terus terjadi, menyebabkan signaling
atropi pada otot skeletal (Gambar. 5).
Terlebih lagi enzim 11-HSD1
mengontrol fenotip metabolik pada otot
skeletal yang menyebabkan insulin
resisten. Ini terjadi karena blok jalur
signaling insulin oleh pembentukan
glucocorticoid
receptor-
yang
menurunkan fosforilasi Akt/PKB. Jalur
P13K/Akt terlibat pada kaskade signal
proteolitik ini. Sehingga, aktivasi jalur
P13K/Akt mengurangi miotube untuk
[23]
mengalami atropi.
Enzim 11-HSD1
menurunkan fosforilasi Akt/PKB diikuti
dengan aktivasi Forkhead box O
(FOXO) class transcription factor
menyebabkan
aktivasi
Atrogin-1
promoteryang menurunkan ukuran fiber
otot.

HSD1[37]

INCB-13739
selain
bersifat
kompetitior
terhadap
sitokin
proinflamasi, obat ini juga menghambat
penggunaan NADPH dalam proses
pembentukan enzim 11-HSD1 yang
terletak pada kompartemen intraluminal
retikulum
endoplasma.
Aktivitas
pembentukan mRNA enzim ini didukung
oleh penggunaan NADPH sebagai
kofaktor
biosintesis.
Pembentukan
NADPH dari katalisasi proses redoks
oleh enzim G6DP melewati juga proses
pembentukan 5-carbon glucose (jalur
pentosa). Hal ini merupakan tahap
pertama dalam jalur pentose phosphate
yang sering disebut sebagai shunt
pathway membentuk gula ribosa dan
merupakan komponen esensial DNA
[24]
maupun
RNA.
Proses
ini
menunjukkan
suatu
interkoneksi
parakrin
dalam
pembentukan
glukokortikoid. Hasil metabolit enzim
11-HSD1 (corticosterone atau 11dehydrocortisone) mampu menghambat
dan meningkatkan jumlah pentosa.
Peningkatan ini terjadi oleh stimulasi
11-HSD1
oxo-reductase
yang
meningkatkan NADPH sitosol dan efek
ini pula dapat dihambat dengan
penggunaan INCB-13739.
Homeostasis
basal
kortisol
merupakan hasil yang dicapai pada
45

JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

penggunaan INCB13739.
Meskipun
demikian, inhibisi mRNA 11-HSD1
tidak secara langsung menurunkan
kadar
kortisol
dalam
mekanisme
biosintesis
kortikosteroid
dengan
[25]
kofaktor
kolesterol.
Penurunan
biosintesis kortikosteroid hingga level
normal terjadi karena penurunan kadar
kolesterol
yang
tinggi
akibat
homeostasis enzim 11-HSD1.Melalui
hal ini, produksi progesteron dari
kofaktor kolesterol oleh plasenta berada
dalam rentangan normal. Fetal adrenal
mensintesis DHEA dan DHEAS sebagai
produk mayor, sedangkan maternal
adrenal juga memproduksi steroid.
DHEA (S) yang diproduksi oleh wanita
hamil dan fetus kemudian dikonversi
menjadi estradiol oleh plasenta.Fetal
liver menkonversi fetal DHEAS menjadi
16-hydroxy-DHEAS, namun maternal
DHEAS tidak dapat melalui proses 16hydroxylase oleh fetus. Sehingga, untuk
meningkatkan
jumlahnya,
maternal
streoid memasuki plasenta kemudian
diubah menjadi estradiol. 16-hydroxyDHEAS fetus dikonversi menjadi estriol

oleh plasenta. Jika kolesterol pada ibu


hamil
meningkat,
maka
proses
pembentukan estradiol pun akan
meningkat. Hal ini memicu gangguan
pada regulasi level 11-HSD1 pada
plasenta. Oleh karena itu, pemberian
INCB-13739 secara tidak langsung
mencegah peningkatan
enzim 11[26]
HSD1 pada plasenta.
Plasenta 11HSD
berfungsi
sebagai
barier
glukokortikoid
maternal,
sebab
perbedaan
gradien
kortisol
pada
maternal lebih tinggi dibandingkan fetus
memerlukan
barier
agar
kortisol
maternal tidak masuk ke fetus.
Pemberian INCB-13739 menjaga level
homoestasis pembentukan 11-HSD1,
karena rasio ekspresi 11-HSD1 lebih
rendah dibandingkan dengan 11-HSD2
pada syncytiotrophoblast plasenta. Hal
ini
memungkinkan
perlindungan
terhadap efek balik glukokortikoid
maternal dan peran ini lebih ditunjukkan
oleh enzim 11-HSD2 dikarenakan
propertis enzimatik yang lebih tinggi
afinitasnya terhadap kortisol dan hanya
[27]
memiliki aktivitas dehidrogenase.

sebuah tipe II nuklear reseptor pada


manusia yang dikode oleh gen PPAR.
Reseptor ini aktif oleh ligan yang
menginduksi
terjadinya
transkripsi
bersama-sama dengan nuclear

Gambar 5. a. Kortison Efek, Dexamethasone (dexa) dan Inhibisi 11beta-HSD1 oleh


Carbenolone (Cbx) pada Degradasi Protein C2C12 Miotube, b.Ekrepresi
37
Atrogin-1 dan MuRF-1 .
2.2.2. Inhibisi
11-HSD1
Via
INCB13739
Menurunkan
Glucocorticoid Receptor Guna
Peningkatan Sensitivitas Insulin
Dari
penelitian
yang
ada,
penggunaanINCB-13739
mampu
meningkatkan sensitivitas insulin melalui
jalur Peroxisome Proliferator-Activated
Receptors atau PPARs khususnya tipe
[28]
PPAR.
PPAR merupakan glitazone
receptor atau NR1C3 (Nuclear Receptor
Sub Family 1, group C, member 3)

hormone receptor superfamily sebagai


faktor transkripsi. PPAR meregulasi
ekspresi gen dengan berikatan pada
RXR (retinoid x receptor) sebagai
sebuah pasangan heterodimer untuk
elemen pola DNA spesifik atau yang
disebut PPRE (Peroxisome Proliferative
Responese Element) 29.
Belum ada mekanisme pasti
aktivasi PPAR pada penggunaan
INCB-13739, namun efek ini pada
penggunaannya mampu meningkatkan
46

JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

respon
ambilan
glukosa
dengan
stimulasi insulin di 3T3-L1adipocytes. Ia
juga
memperlihatkan
peningkatan
fosforilasi Akt2 pada tahap stimulasi
insulin. Lebih dari itu jugainhibisi pada
enzim
11-HSD1menurunkan
level
mRna-TNF-, interleukin-6, dan MCP-1,
kemudian meningkatkan ekspresi gen
adiponection pada 3T3-L1 adipocyte.
Penggunaan INCB13739 yang
menurunkan ekspresi mRNA 11-HSD1,
menurunkan pula level kortisol pada
sirkulasi darah wanita dengan DGM.
Enzim
11-HSD1 lebih banyak
terekspresi pada organ sensitif insulin.
Pada saat tidak aktif glucocorticoid

receptor- berikatan dengan heat shock


protein
(HSP) untuk membentuk
kompleks protein. Pengikatan kortisol
pada kompleks ini melalui perubahan
konformasional dan disosiasi HSPs.
Homodimer glucocorticoid receptor(GR-)berinteraksi terhadap promotor
kortisol (glucocorticoid respon elements)
meningkatkan ekspresi gen GR-.
Kompleks
reseptor-hormon
ini
bermigrasi menuju nukleus melalui
nuclear
pore.
Cortisol-activated
monomeric GR- menginduksi efek nontranskripsional pada protein faktor
seperti NF-kB dan activating protein-1
[30]
(AP1)
(Gambar
6.).

[30]

Gambar 6. Efek aktivasi GR- pada kaskade signal insulin.


Pada homeostasis kortisol ibu
hamil dengan DGM, aktivasi homodimer
GR- pun berada dalam level normal.
Sebab, efek genomik dan non-genomik
kortisol pada GR- hanya memerlukan
beberapa detik hingga menit dihambat.
Sehingga, dengan penghambatan efek
genomik dan non-genomik dapat
menurunkan secara signifikan efek nontranslokasional pada signal insulin dan
menghambat aktivasi mitogen-activated
protein kinases (MAPKs), adenyl
cyclase (AC), PKC, dan heterotrimeric G
proteins.
Pada otot skeletal, peningkatan
kortisol mengganggu signal postreseptor
yaitu menghambat fosforilasi Akt/protein
kinase B (PKB). Hal ini menyebabkan
penurunan fosforilasi tirosin reseptor
insulin dan ekspresi protein insulin
receptor substrate
(IRS). Namun,
terganggunya ambilan glukosa pada
otot skeletal tidak berhubungan pada

glucose transporter GLUT1 dan GLUT


[31]
4.
Hanya saja proses translokasi
GLUT 4 oleh insulin terhambat kaskade
signal kortisol. Pada kadar kortisol
normal saat penggunaan INCB13739,
tidak terjadi induksi ekspresi gen
forkhead-type
transcription
factor
(FOXO) pada otot skeletal, sehingga
secara potensial meningkatkan regulasi
PDK-4 dan oksidasi glukosa.
Penurunan metabolisme glukosa
pada organ target insulin dalam
penggunaan INCB 13739 terjadi karena
kortisol secara signifikan menurunkan
jumlah ekspresi fatty acid (FA)
transporter
(CD36)
gene
pada
gastroknemius dan oksidasi FA di otot
diafragma. Kaskade inhibisi enzim 11HSD1
menurunkan
ligan
yang
mengaktivasi PPAR- yang berperan
penting dalam regulasi metabolisme FA
(Gambar 7.).

47
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

[32[

Gambar 7. Glukokortikoid dan metabolisme FA otot skeletal.


Ekspresi
normal
PPAR-
menurunkan augmentasi oksidasi FA
dan meningkatkan ambilan glukosa.
Sama halnya pada jaringan adiposa,
peningkatan sensitivitas insulin terjadi
pada saat pemberian INCB 13739. Hal
ini menghilangkan inhibisi total mRNA
dan
fosforilasi
tirosin
IRS-1.
Peningkatan
fosforilasi
IRS-1
mengaktivasi
lebih
banyak
phospatidylinositol 3-kinase (PI 3kinase) yang berperan penting pada
regulasi GLUT 4. Meskipun level GLUT
4
tetap,
namun
aktivasi
ini
meningkatkan transport glukosa ke
jaringan oleh karena penghambatan
pada proses P38 MAPK sepanjang
[32],[33]
membran plasma.
2.3.
Analisis Manfaat dan Efek
Klinis Penggunaan INCB13739
Sebagai
11-HSD1
Selective
Inhibitor
Guna
Penurunan
Glucocorticoid Reseptor- pada
Pencegahan Komplikasi Diabetes
Gestasional
Dari segi keamaan pemberian
INCB 13739 secara oral pada wanita
dengan DGM, INCB 13739 tidak
memberi pengaruh kepada janin secara
langsung. Karena sifat dari INCB 13739
yang hanya bereaksi pada enzim 11HSD1. Diketahui bahwa enzim 11HSD1 dan 11-HSD2 hanya terdapat
pada plasenta, dan tidak terdapat pada
janin. Pada plasenta enzim 11-HSD1
memiliki jumlah yang lebih sedikit
dibandingkan dengan 11-HSD2. Dari
percobaan diketahui 11-HSD2 mRNA
terdapat pada labyrinthine zone (lokasi
utama pertukaran antara ibu dan
janinnya) tepatnya di kromosom E12,5,
dimana enzim ini menjadi barier kadar
kortisol yang tinggi pada ibu. Dalam
jumlah yang sedikit enzim 11-HSD2
terdapat pada plasenta tepatnya di
kromosom E18.5. INCB 13739 tidak
dapat menembus plasenta karena obat

ini hanya berinteraksi pada 11-HSD1,


dan diketahui bahwa kadar 11-HSD1
hanya terdapat pada plasenta dan
jumlahnya tidak sebanyak 11-HSD2.
Sehingga INCB 13739 aman pada
[17],[31]
janin.
Keamanan INCB 13739 pada ibu
dengan dosis 100 mg, tidak memberikan
efek samping yang signifikan. Karena
INCB 13739 hanya berinteraksi pada
enzim 11-HSD1. Keselektifan kerja dari
obat inilah menjadi alasan utama dari
keamanan obat ini. Dari percobaan
didapatkan bahwa pada dosis 100 mg
telah terjadi penghambatan enzim 11HSD1 komplit dan tidak menimbulkan
efek samping. Namun pada percobaan
menggunakan dosis 200 mg, ditemukan
efek samping minor seperti sakit kepala,
diare, dan infeksi saluran pernafasan.
Pada dosis 100 mg juga tidak ditemukan
kelaianan pada fungsi ginjal dan tidak
ditemukan adanya efek hipoglikemi
yang umumnya ditimbulkan pada obat
anti
diabetes.
Sehingga
dapat
disimpulkan pemberian INCB 13739
pada wanita hamil dengan dosis 100 mg
sebanyak satu kali sehari tidak akan
memberikan
efek
samping
yang
[13],[16]
berbahaya.
Efek klinis pemberian INCB 13739
secara oral kepada wanita hamil dengan
DGM adalah mampu meningkatkan
sensitifitas insulin dan penurunan kadar
A1C. Penurunan kadar kolesterol total
juga terjadi. Pada percobaan didapatkan
bahwa kadar LDL kolesterol dan
trigliserida mengalami penurunan yang
signifikan. Pemberian oral pada ibu
hamil dengan DGM khususnya pada
minggu ke 24 28 akan membantu
mengontrol kadar kortisol yang tinggi di
dalam plasma ibu. Tetapi penurunan
kadar kortisol ini dapat dikompensasi
sehingga pada waktu puncaknnya, yaitu
pada pagi dan malam hari kadar kortsol
tetap
normal.
Namun
terjadi
peningkatan
kadar
ACTH
yang

48
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

merupakan kompensasi tubuh terhadap


INCB 13739. Dengan pemberian terapi
ini pula akan meningkatkan sensitifitas
insulin dan membantu menormalkan
[13],[16],[31].
tumbuh kembang janin.
Modalitas terapi utama pada
wanita hamil dengan DGM adalah
dengan melakukan terapi nutrisi,
mengubah
gaya
hidup
sehat,
meningkatkan
aktifitas
fisik,
pengontrolan kadar gula darah, injeksi
insulin dan penggunaan obat oral
antidiabetes seperti metformin dan
glyburide. Modalitas terapi yang ada
saat ini memiliki beberapa kekurangan
seperti
hanya
berfokus
pada
menurunkan kadar gula darah dan tidak
menangani penyebab, obat-obatan yang
tersedia tidak memiliki daya selektifitas
yang tinggi, dan tidak berkonsentrasi
untuk menurunkan kadar kortisol, LDL,
dan trigeliserida yang meningkat pada
[34],[35],[36]
wanita hamil dengan DGM.
Menilik kekurangan-kekurangan
yang dimiliki oleh obat-obatan oral
antidiabetes pada wanita hamil dengan
DGM, maka terapi oral INCB 13739
dengan dosis 100 mg per hari,
berpotensi menjadi obat antidiabetes
yang
dapat
digunakan
dalam
penatalaksaanaan DGM. INCB 13739
memiliki daya selektifitas yang sangat
tinggi jika dibandingkan dengan obatobatan antidiabetes lainnya. INCB
13739 hanya berinteraksi dengan enzim
11-HSD1 yang banyak terdapat pada
hati dan jaringan lemak. Sampai saat ini
INCB 13739 merupakan inhibitor enzim
11-HSD1 tersellektif, bahkan pada
penelitian dengan dosis 100 mg. INCB
13739 1000 kali lebih selektif pada
enzim 11-HSD1 dari pada enzim 11[10],[11],[36]
HSD2 dan MR.
Dari segi keamanan obat, INCB
13739 dapat bertindak sebagai barier
plasenta pada dosis kortisol yang tinggi
akibat kehamilan pada ibu. Tidak seperti
metformin yang dapat menembus
plasenta dan member efek langsung
pada
janin.
INCB
13739
akan
menghambat 11-HSD1 yang bertugas
mengaktifasi
kortisol
dan
tidak
menghambat 11-HSD2 yang bertugas
menginaktifasi kortisol serta tidak
menembus plasenta karena enzim 11HSD1
tidak
terdapat
di
dalam
[17],[31]
janin.

Dari segi mekanisme kerjanya,


INCB 13739 memiliki efek multiregulasi
nuclear factor. INCB 13739 secara
selektif menghambat enzim 11-HSD1,
namun enzim 11-HSD1 meregulasi
banyak
reseptor
seperti
PPAR,
PPAR, GR, Insulin IRS-1, NfkB, dan
3T3-L1 adiposit. Dimana semuanya
memiliki
efek
sinergisitas
dalam
penatalaksanaan
DGM
dan
metabolisme glukosa. Hal ini tidak
dimiliki pada terapi modalitas DGM saat
[32],[33]
ini.
Dari segi efek kerja yang
diberikan, INCB 13739 dapat membantu
menurunkan kadar LDL, trigeliserida
plasma, A1C, total kolesterol dan
meningkatkan
sensitivitas
insulin
sekaligus. Obat antidiabetes lain yang
digunakan pada terapi DGM sebagian
besar
hanya
berkonsentrasi
menurunkan kadar glukosa dalam
darah, berbeda dengan INCB 13739
yang
mampu
menormalkan
peningkatan-peningkatan lain akibat
[17],[18]
DGM.
3. KESIMPULAN
Berdasarkan rumusan masalah,
kajian teori, dan pembahasan yang
dilakukan, maka kesimpulan yang dapat
dikemukakan yaitu sebagai berikut:
1. Administrasi INCB13739 dilakukan
melalui jalur oral untuk menghambat
enzim11-HSD1 dalam mengaktivasi
kortisol.INCB13739 memiliki efek
berbahaya jika terkena bagian tubuh
yang sensitif seperti mata dan juga
bila terinhalasi.INCB13739 memiliki
ukuran 1,1 nano molar dan sangat
mudah diserap yang langsung
memasuki
sirkulasi
darah.
INCB13739 1000 kali lebih selektif
kepada 11-HSD1 dari pada 11HSD2 dan mineralokortikoid.T1/2
dari dosis akan terjadi 11 jam setelah
administrasi. Diperkirakan beberapa
jam setelahnya INCB13739 akan
bersih dari sirkulasi. Efek puncak
pada INCB13739 terjadi 4 jam
setelah administrasi. 90% aktivitas
dari 11-HSD1 akan terhenti setelah
4 jam administrasi dengan dosis 100
mg dan 200 mg. Pemberian oral
INCB 13739 juga memiliki efek
penurunan kadar A1C.
2. Mekanisme
kerja
INCB13739
merunkan ekspresi mRNA 11HSD1
dengan
membentuk
49

JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

kompleksCS-GR yang kemudian


menghambat rantai kodon gen
pengkode
kortisol.
INCB-13739
selain bersifat kompetitior terhadap
sitokin proinflamasi, obat ini juga
menghambat penggunaan NADPH
dalam proses pembentukan enzim
11-HSD1yang
terletak
pada
kompartemen intraluminal retikulum
endoplasma
bersama
dengan
hexose-6-phospate dehydrogenase
enzym.
Pemberian
INCB-13739
menjaga
level
homoestasis
pembentukan 11-HSD1, karena
rasio ekspresi 11-HSD1 lebih
rendah dibandingkan dengan 11HSD2
pada
syncytiotrophoblast
plasenta. Hal ini memungkinkan
perlindungan terhadap efek balik
glukokortikoid maternal.
3. Dari segi keamaan pemberian INCB
13739 secara oral pada wanita
dengan DGM, INCB 13739 tidak
memberi pengaruh kepada janin
secara langsung. Karena sifat dari
INCB 13739 yang hanya bereaksi
pada enzim 11-HSD1.INCB 13739
tidak dapat menembus plasenta
karena obat ini hanya berinteraksi
pada 11-HSD1, dan diketahui
bahwa kadar 11-HSD1 hanya
terdapat
pada
plasenta
dan
jumlahnya tidak sebanyak 11HSD2.Keamanan INCB 13739 pada
ibu dengan dosis 100 mg.pada
percobaan menggunakan dosis 200
mg, ditemukan efek dan efek
samping seperti sakit kepala, diare,
dan infeksi saluran pernafasan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Gilstrap LC, Gant
NF, Hauth JC, Leveno
KJ,
Wenstrom KD. 2001. Diabetes.In :
st
Williams Obstetrics. 21 ed. New
York: McGrHill;.p.1359-81
2. Holt RI, Goddard JR, Clarke P,
Coleman MA. A. 2003. postnatal
fasting plasma glucose is useful in
determining which women with
gestational diabetes should undergo
a postnatal oral glucose tolerance
test. Diabet Med. Jul ; 20(7) : 594
8.
3. Ayach WM et al. 2005. Cord blood
cortisol level is lower in growthrestricted new-borns. Journal of

Obstetrics
and
Gynaecology
Research 33 144-150.
4. Lefevre F et al. 2000. The metabolic
clearance rate, blood production,
interconversion and transplacental
passage of cortisol and cortisone in
pregnancy near term. Pediatric
Research 7 509-519.
5. Metzger BE, Coustan DR. 2008
Summary and recommendations of
the Fourth International WorkshopConference on Gestasional Diabetes
Mellitus.
The
Organizing
Committee.Diabetes Carr;21 (Suppl
2): B161-7.
6. Langer O, Roriguez DA, Xenakis
EM, Mcfarland MB, Berkus MD,
Arrendondo F. 2004. Intensified
versus conventional management of
gestational diabetes. Am J Obstet
Gynecol;
170:1036-46;discussion
1046-7.
7. deHolanda, Viviane Rolim et al. 2012
A
Contributate
terapi
a
comunitarioapara o enfremtamento
das gestantes (disertasi). Joae
Pessoa (PB): Universidade Federal
da Paraiba;
8. Howard Berger et al. 2002.
Screening for gestational diabetes
mellitus. JOGC. November. No. 121
9. Thomas MP and Potter BVL. 2011.
Crystal
Structure
of
11Hydroxysteroid Dehydrogenase Type
1 And Their Use In Drug Discovery.
Future Med. Chem; 3(3) pp: 367
390.
10. Joharapurkar A, Dhanesha N, Shah
G, Kharul R, Jain M. 2012. 11Hydroxysteroid Dehydrogenase Type
1: Potential Therapeutic Target for
Metabolic
Syndrome.
Pharmacological Reports.; 64 pp
1055-1065.
11. Millat LJ, Hanf R, Hum DW. 2011.
Present And Future Challenges In
Type 2 Diabetes. Drug Discovery
World Summer; pp: 9 15.
12. American
Diabetes
Association.
2009. Late Breaking Abstract. A
Journal of American Diabetes
Association; pp: LB1 LB 41.
13. Hawkin M, Hunter D, Kishore P,
Schwartz S, Hompesch M, Hollis G,
Levy R, Williams B, Huber R. 2008.
INCB013739, a Selective Inhibitor of
11-HydroxysteroidDehydrogenase
Type 1 (11HSD1), Improves Insulin
50

JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

Sensitivity and Lowers Plasma


Cholesterol Over 28 Daysin Patients
with Type 2 Diabetes Mellitus. 2008;
pp: 1 16
14. Sandmana CA,Glynna L, Schetter
CD, Wadhwaa P,Garite BT, ChiczDeMet A, Hobel C. 2007. Elevated
Maternal Cortisol Early in Pregnancy
Predicts Third Trimester Levels of
Placental Corticotropin Releasing
Hormone
(CRH):
Priming
the
Placental Clock. Peptides; 27 pp:
1457 1463.
15. Tucker ME, 2009. New Compound
Lowered HbA1c in Type 2 on Top of
Metformin
Alone.
Clinical
Endocrinology News; pp 10
16. Balasubramanian J, Narayanan N.
2013. Metabolic disorder: A Review
on INCB 13739 a novel 11 HSD1
for treatment. Disease; 2(4) pp: 3
5.
17. Rosenstock J, Banarer S, Fonseca
VA, Inzucchi SE, Sun W, Yao W,
Hollis G, Flores R, Levy R, Williams
WV, Seckl JR, Huber R. 2010. The
11-Hydroxysteroid Dehydrogenase
Type
1
Inhibitor
INCB13739
Improves Hyperglycemia in Patients
With Type 2 Diabetes Inadequately
Controlled
by
Metformin
Monotherapy. DIABETES CARE;
33(7) pp: 1516 1522.
18. INCYTE. 2008. Summary of PhIIa
Results in T2 Diabetics: ADA 2008.
UBS Healthcare Conference; pp: 22
23.
19. Jensen EC, Gallaher BW, Breier BH,
Harding JE. 2002. The Effect of A
Chronic Maternal Cortisol Infusion
On The Late Gestation Fetal Sheep.
J Endrocrinol; 174 (1) pp: 27 36.
20. Kannisto
K,
et
al.
2004
Overexpression
of
11betahydroxysterid dehydrogenase-1 in
adipose tissue is associated with
acquired obesity and features of
insulin resistance: studies in young
adult
monozygotic
twins.
J
ClinEndocrinolMetab; 89(9):4414-21.
21. Sun K, et al. 2003. Enhancement of
glucocrticoid-induced
11beta
hydroxysteroid dehydrogenase type
1 expression by proinflammatory
cytokines in cultures human amnion
fibroblast.
Endocrinology
Dec;
144(12):5568-77.

22. KatrinBiedasek et al., 2002. Skeletal


Muscle
11beta-HSD1
Control
GLucocosticoid-Kirwan JP, HauguelDe Mouzon S, Lepercq J, Challier
JC, Huston Presley L, Friedman JE,
Kalhan SC, Catalano PM. TNF-alpha
is a Predictor of Insulin Resistance in
Human Pregnancy. Diabete51; pp
22072213.
23. Bodine SC, et al. 2011. Akt/mTOR
pathway is a crucial regulator of
skeletal muscle hypertrophy and can
prevent muscle atrophy in vivo. Nat
Cell Biol;3:1014-1019.
24. McCormick K.L., Wang X, Mick G.J.
2006. Evidence that the 11 betahydroxysteroid
dehydrogenase
(11beta-HSD1) is regulated by
pentose pathway flus.Studies in rat
adipocytes and microsomes. J.
Biol.Chem. 281:341-347
25. Rask E, Olsson T, Soderberg S,
Andrew R, Livingstone DE, Johnson
O, Walker BR. 2004. Tissue-specific
dysregulation of cortisol metabolism
in
human
obesity.
J
ClinEndocrinolMetab ;86:1418-1421.
26. Simpson & MacDonald. 2001.
Endocrine
physiology
of
the
placenta.Ann. Rev. Physiol. 43: 163188.
27. Stewart PM, Rogerson FM and M
ason Jl. 2005. Type 2 11betahydroxysteroid
dehydrogenase
messenger ribonucleic acid and
activity in human placenta and fetal
membranes: its relationship to birth
weight and pulative role in fetal
adrenal steroidogenesis. Journal of
Clinical
Endocrinology
and
Metabolism;80:885-890.
28. Chandra, V.; Huang, P.; Hamuro, Y.;
Raghuram, S.; Wang, Y.; Burris, T.
P.; Rastinejad, F. 2008. Structure of
the intact PPAR-RXR- nuclear
receptor
complex
on
DNA.
Nature456(7220): 350356
29. Kodera Y, Takeyama K, Murayama
A, Suzawa M, Masuhiro Y, Kato S.
2002.
Ligand
type-specific
interactions
of
peroxisome
proliferator-activated
receptor
gamma
with
transcriptional
coactivators.J. Biol. Chem.275 (43):
332014.
30. Schacke H, Docke WD, Asadullah K.
2002. Mechanism involved in the

51
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

side
effects
of
glucorticoid.PharmacolTher 96:23-43
31. Thomas CR, Turner SL, Jefferson
WH, Bailey CJ. 2002. Prevention of
dexamethasone-induced
insulin
resistance by metformin. Biochem
Pharmacol 56: 1145-1150.
32. Sakoda H, Ogihara T, Anai , Funaki
M, Inukai K, Katagiri H, Fukushima
Y, Onishi Y, Ono H, Fujishiro M,
Kikuchi M, Oka Y, Asano T. 2000.
Dexamethasone-induced
insulin
resistance in 3T3-L1 adipocyte is due
to inhibition of glucose transport
rather
than
insulin
signal
transduction. Diabetes 49: 17001708.
33. Turnbor MA, Keller SR, Rice KM,
Garner CW. 2004. Dexamethasone
down-regulation of insulin receptor
substrate-1 in 3T3-L1 adipocytes. J
BiolChem 269: 2516-2520
34. Barbour
LA,
McCurdy
CE,
Hernandez TL, Kirwan JP, Catalano
PM, Friedman JE. 2007. Cellular
Mechanisms for Insulin Resistance in
Normal Pregnancy and Gestational
Diabetes.
Diabetes
Care
Supplwmwnt 2; 30 pp: S112 S119
35. International Diabetes Federation.
2009. Gestasional Diabetes Melitus.
Global Guideline on Pregnancy and
Diabetes. pp: 5-6
36. Colorado Guidline. 2006. Gestational
Diabetes
Guidelines.
Colorado
Clinical Guidelines Collaborative.; pp:
1-8
37. Kirwan JP, Hauguel-De Mouzon S,
Lepercq J, Challier JC, Huston
Presley L, Friedman JE, Kalhan SC,
Catalano PM. TNF-alpha is a
Predictor of Insulin Resistance in
Human Pregnancy. Diabete51. 2002;
pp 22072213

52
JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015

Tinjuan
Pustaka

THE CARDIOPROCTECTIVE EFFECTS OF


Abstracts
CITRUS FLAVONOID ON DOXORUBICININDUCED CARDIOTOXICITY CHEMOTHERAPY :
A PROSPECTIVE REVIEW
1

Aditya Doni Pradana , Gisca Ajeng Widya N.


Faculty of Medicine Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

ABSTRAK
Pendahuluan: Dewasa ini, agen sitotoksik doxorubicin masih menjadi andalan dalam
terapi kanker. Namun, berbagai
studi melaporkan bahwa doxorubicin dapat
menimbulkan efek kardiotoksik. Diperkirakan efek kardiotoksik timbul akibat terbentuknya
radikal bebas dan dimediasi oleh doxorubicinol yang merupakan metabolit sekunder
alkohol. Dengan adanya peningkatan survival kanker, muncul tantangan baru untuk
mengembangkan upaya prevensi dan terapi efektif dalam mengangani efek kardiotoksik
yang diinduksi oleh doxorubicin.
Pembahasan: Flavonoid merupakan antioksidan yang poten dalam menurunkan risiko
penyakit kardiovaskular. Salah satu bahan herbal yang dikenal kaya akan flavonoid
adalah genus citrus. Rutin dan hesperidin merupakan jenis flavonoid dominan yang
terkandung dalam genus citrus. Pada studi in vivo, didapatkan bahwa rutin dan
hesperidin memiliki efek kardioprotektif dengan meningkatkan level glutathion (GSH),
aktivitas glutathion s-transferase, aktivitas GSH peroksidase, dan menurunkan level lipid
peroksidase.
Simpulan: Review ini akan membahas mengenai mekanisme molekuler yang mendasari
terjadinya efek kardiotoksik yang diinduksi oleh doxorubicin dan mekanisme molekuler
rutin dan hesperidin dalam meningkatkan survival sel jantung selama penggunaan
doxorubicin.
Kata kunci : Doxorubicin, radikal bebas, doxorubicinol, kardiotoksik, rutin, hesperidin
ABSTRACT
Introduction: Cancer therapy with conventional cytotoxic agent doxorubicin (DOX) is
limited by its cardiotoxicity. It has been suggested that DOX-induced free radicals
generation can be involved. DOX-induced cardiotoxicity also mediated by doxorubicinol
(DOXol), secondary alcohol metabolites of DOX. With the increasing cancer survivals, its
need to develop preventive and effective therapies against DOX-induced cardiotoxicity.
Review:Flavonoids appears to be a potent antioxidant that decrease cardiovascular
disease (CVD) risks. The natural products which being rich in flavonoid is belong to
genus Citrus. The major flavonoids contained in genus Citrus are hesperidin and rutin.
Study in vivo, hesperidin and rutin shows a cardioprotective effect on DOX-induced
cardiomyopathy by increasing Glutathione (GSH) level, Glutathione S-transferase (GST)
activity, GSH peroxidase activity, heart peroxidase activity and decreasing lipid
peroxidase level.
Conclusion: In this review, we will focus on the current understanding of molecular
mechanism underlying DOX-induced cardiac cell death, including production of reactive
oxygen species (ROS) and the molecular mechanism of hesperidin and rutin
pretreatment in increasing cardiac cell survival during DOX treatment.
Keywords : Doxorubicin, ROS, Doxorubicinol, Cardiotoxicity, Hesperidin, Rutin

53
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

1. INTRODUCTION
Anthracyclines is claimed as the
most effective and powerful drugs to
[1],[2]
treat cancer.
The anthracycline anticancer drug primarily doxorubicin (DOX)
is the most frequently used as
chemotherapeutic agent for various
malignancies as either carcinoma or
[3[,[4]
sarcoma.
but its cumulative and
dose-dependent cardiotoxicity has been
major concern in cancer therapeutic
practice for many years.
DOX - induced cardiotoxicity may
be present as acute or chronic
cardiomyopathy.
An
acute
cardiomyopathy occuring in 2-3 days of
DOX administration. The incidence of
acute cardiomyopathy is approximately
[5],[6]
11%.
The clinical manifestation may
be present as arrythmias, sinus
tachycardia, chest pain due to
myocarditis-pericarditis or acute left
[7],[8]
ventricular
failure.
The
electrophysiological
abnormalities
assesment may present as nonspecific
ST and T wave changes, T wave
flattening, decreased QRS voltage and
prolongation of QT interval. ECG
changes may be seen in 20 to 30% of
[9]
the patients.
In the other hand,
incidence of chronic cardimyopathy is
much lower, with an approximately
[10]
incidence about 1,7 %.
It usually
occurs within 30 days of administration
of its last dose, but it may be occur even
after 6-10 years after its administration.
As we discuss before, DOX is dosedependent
cardiotoxic
drug.
The
incidence of DOX cardiomyopathy is
related to its dose. The incidence is
about 4% when the dose of doxorubicin
is 500-550 mg/m2, rise become 18%
2
when the dose is 551-600 mg/m and
increase become 36% when the dose
2 [11]
exceeds 600 mg/m . The prognosis of
patients who develop congestive heart
failure (CHF) in chronic administration of

DOX is poor (~50% mortality per


[10]
year).
Flavonoids have been shown to
decrease cardiovascular disease (CVD)
risks due to their antioxidant effects.
Natural products containing large
quantitiy of flavonoids are those fruits
[12]
belong to the genus citrus.
Phenolic
and flavonoid compounds in citrus peels
has been proved to be a potential
[13],[14]
natural
antioxidants.
Naringin,
rutin, and hesperidin are the major
flavonoids contained in Citrus grandis,
Citrus paradisi, Citrus limon and Citrus
[15],[16]
aurantium.
Hesperidin has been
shown to be potent scavenger of
hydroxyl, superoxide anion and peroxide
[17]
radicals.
Another flavonoid rutin, also has
antioxidants activity. It
had
been
studied plays a protective role in liver
[18],[19]
diseases, cataracts, and CVD.
In this discussion will focusing on
two flavonoid contained in Citrus family,
that are hesperidin and rutin as a model
of natural product which can be
developed to overcoming cardiotoxicity
effect
in
DOX
conventional
chemotherapy.
2. DISCUSSION
2.1. Cardiotoxicity of Doxorubicin
The production of free radicalsinduced oxidative stress playing a key
role
in
DOX
induced
[20],[21]
cardiomyopathy.
Doxorubicin
which has quinone groups can produce
free radicals not only for cancer cells but
also normal cells, as it can be observed
by the formation of an unstable
semiquinone intermediate that quickly
reduce oxygen become reactive oxygen
species (ROS) like superoxide anion
.(O2 ) and hydrogen peroxide (H 2O2)
during drug metabolism by endothelial
[22]-[28]
nitric oxide synthase (eNOS).

54
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

Mitochondria are the primary


target and the major source of ROS
generation. As shown in (Fig.2)
significantly raised of ROS inside
mitochondria, will trigger release of
cytochrome C and apoptosis inducing
factors
(AIF)
further
leads
to
[28]-[32]
cardiomyocytes death.
Chronic
DOX - induced cardiomyopathy also
mediated by Doxorubicinol (DOXol).
DOXol is doxorubicin secondary alcohol
metabolites which are more reactive
.than H2O2 and O2 . DOXol is the most
abundant metabolite of DOX found in
[33]-[35]
cardiomyocytes.
It is formed by an
enzymatic two-electron reduction of the
C-13 keto group by cytoplasmic,
NADPH-dependent
aldo-keto
reductases
and
short-chain
3+
dehydrogenases in the present of Fe
[25[,[28],[36]-[38]
(Fig.2. and Fig.3.).
DOXol is

more cardiotoxic than the parent drug


(DOX) itself. It inhibits many of the ion
channel pumps. The calcium pump of
the sarcoplasmic reticulum, the Na/Ca
pump of the sarcolemma, and the proton
pump of the mitochondria are inhibited
by DOXol
but
not
by
similar
[39],[40]
concentrations of DOX .
There is
also evidence that DOX and DOXol may
act together at different sites to generate
[35]
cardiotoxicity.
Recent
findings
also
demonstrated that cellular glutathione
(GSH) in cardiomyocytes have an
important role in the detoxification of
xenobiotic
compounds
and
in
antioxidation
of
ROS
and
free
[41],[42]
radicals.
Depletion of cellular GSH
were observed in oxidative stress that
43
related with doxorubicin toxicity. The
depletion of GSH due to oxidative stress

Fig. 2. Interaction Among DOX With the Various Apoptotic Pathways in Cardiomyocytus. The left side
of the
figure indicate how DOX begins to generate ROS and dissociation of the eNOS into
monomers,
DOX and ROS also enters the mitochondria causing the release of cytochrome C
oxidase, and
also prolongs the opening time of calcium channels in the sarcoplasmic reticulum
which
activates calcineurin. Akt phosphorylation inhibits Bad activation and is one of the main anti-apoptotic
pathways. Oxidative stress activates HSF-1 and produces more Hsp25 which increases the proapoptotic proteins. DOX: doxorubicin, DOXol: doxorubicinol, DOXq:
doxorubicin
semiquinone,
ROS : reactive oxygen species, SE : Sarcoplasmic reticulum, HSF:
Heat-shock factor, Hsp: Heat[28]
shock protein, CytC: Cytochrome C and Casp3: caspase3.
(Adopted from Oktavia et al. )
55
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

is observed by the increase of lipid


[44]
peroxidation.
Glutathione S-transferase (GST)
also has an important role to elimination
intracellular ROS. GST is a group of
multifunctional proteins that perform
functions catalyzing the detoxification of
electrophilic compounds that also can
protect against cellular peroxidative
[45]
damage.
GST primarily GST Pi
(GSTP) has an important cytoprotective

mechanism against doxorubicin-induced


apoptosis due to cellular peroxidative
[46]
damage.
Its
cytoprotective
mechanism is related to preventive
doxorubicin
accumulation
through
forming macromolecular complexes and
disruption of JNK-medicated apoptosis
[46],[47]
pathway.
Thus, modification of
GSTP may be a key role in
cardioprotection against doxorubicin.

2.2. The Choice for Citrus Flavonoids


: Rutin and Hesperidin
Flavonoids as we discuss before,
are polyphenolic compounds which has
low
molecular
weight
that
are
[48],[49]
ubiquitously in plants.
Flavonoids
have been shown variety biological
activities primarily as anti-oxidant, but
also including anti-inflammatory, antitumor, anti-proliferative activity at
nontoxic
concentration
at
[50],[56]
organisms.
The natural products which being rich of
flavonoids are belong to genus citrus.
The
major
flavonoids
that
containing in Citrus primarily peels are
hesperidin (Fig.5a) and rutin (Fig.5b).
Hesperidin and rutin as mentioned
before, are potential natural antioxidants
due to its radical scavenging activities
Hesperidin (hesperitin-7-O-rutinoside) is
one of citrus flavonoid which conjugated
to glycosides.

Hesperidin
exactly
is
hesperitin
(aglycone) linked to glucose and
rhamnose sugars at position-7 of the A
[57]
ring
which has higher bioavailability
compared to hesperitin (aglycone)
[58]
itself.
Hesperidin
showed
radical
[59]
scavenging activity
and also proven
as potent antioxidant detected by using
[17]
electron spin resonance.
Rutin
(quercetin-3-O-glucosylrhamnose ) is flavonol glycoside
composed of quercetin and the
disaccharide rutinose. Rutin is an
important antioxidant and it has been
reported to be a potent scavenger of
hydroxyl and superoxide radicals and
[60]
prevent lipid peroxidation.
In vivo study showed that
doxorubicin-administered rats pretreated
with hesperidin and rutin recorded a
significant increase in GSH level,
glutathione peroxidase, GST and

56
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

peroxidase activities, and a significant


decrease
in
lipid
peroxidation
[18],[61],[62]
level.
Its suggest that hesperidin

and rutin have an important role to


protect heart against doxorubicininduced cardiomyopathy.

2.3. Molecular Mechanism of Rutin


and Hesperidin in DOX-Induced
Cardiotoxicity
2.3.1. Rutin as a Potent Iron
Chelator
Free radical scavengers have
therefore been proposed to protect
cardiac tissue from DOX - induced
oxidative stress and thus to relieve its
cardiotoxicity. Most of the flavonoids
possess
excellent
antioxidant
[63]
properties
such as rutin. Whereas
common antioxidants inactivate ROS
only after they have been formed, but
Rutin can be potent iron chelator which
are able to prevent ROS and DOXol
formation. As shown in Fig.2. iron can
redox-cycle between its two redox states
2+
3+
Fe and Fe and acts as a catalyst
of hydroxyl radical formation (Fenton
and HaberWeiss reactions) and DOXol
formation. Iron chelation is considered
to be an important tool to decrease
anthracycline
cardiotoxicity
as
documented by the beneficial effect of
dexrazoxane which frequently used as
cardioprotecor in adults receiving
[64],[65]
anthracycline therapy
as well as
[66]
other chelators of iron.
In rutin, the
antioxidant
and
iron chelating
properties are closely related and its
activity may include two steps
iron is first chelated by the rutin and
the ROS which are formed in its vicinity
are subsequently scavenged by the
rutin.

2.3.2. Hesperidin
Restoring
Mitochondrial Enzyme Complex
Activity
The
precise
molecular
mechanisms
responsible
for
mitochondrial dysfuntion due to ROS in
cardiomyocytes are not fully understood.
However, mitochondrial respiration and
the mitochondrial respiratory chain seem
to be especially susceptible to ROS and
free radicals. Thus, during DOX induced ROS generation, complexes I,
II, and III of the mitochondrial respiratory
[67]
get damaged
it causing mitochondrial
adenosine triphosphate (ATP) depletion
and loss of mitochondrial respiration.
The latter has been directly linked to
apoptotic cardiac cell death.
In recent study proved that
hesperidin pretreatment significantly
restored mitochondrial enzyme complex
activity (I,II and III) suggesting its role in
mitochondrial enzyme complex activity.
2.2.3. Rutin Increasing Heart GSH
Level and GST Activity
Glutathione (GSH) or tripeptide glutamylcysteinylglycine is a ubiquitous
nonprotein present in all cell types in
millimolar concentration. The major roles
of GSH are to maintain the intracellular
redox balance and to eliminate
xenobiotica and ROS. Thus, GSH
provides the cell with multiple defenses
not only against ROS but also against
[41[,[68]
other toxic insults.
The
increasing
GSH
level
(Table.1) is related to two-step synthesis
57

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

of GSH which catalyzed by -glutamylcysteine


synthetase
(GCS)
and
[69]
glutathione synthetase,
with the
former being the rate-limiting enzyme.
Another study shown that a change in
GCS activity is accompanied by a
change in the GSH level suggesting that
regulation of GCS is important for GSH
[70]
levels.
GSH can regulate its own
[71]
synthesis by a feedback loop on GCS.
GCS consists of two subunits, the heavy
subunit (GCSh) with catalytic activity and
the light subunit (GCSl) with regulatory
[72]-[74]
activity.
In vivo study using COS-1 cells
showed that rutin elevates the GSH
level and the expression of both GCSh
[75]
and GCSl .
The mechanism of rutin
elevates expression of GSCh due to
transactivation mechanism of GCSh
promoter.
Another possible mechanism of
rutin increase GSH level is by increase

GCSh mRNA levels. Thus, its suggest


that the elevation of GSH by rutin is due
[76]
to an increased synthesis of GCS.
GST (Glutathione S-transferase)
is vital enzyme that catalyze the
detoxification
of electrophilic compounds or xenobiotic
compounds that also can
protect
against
cellular
peroxidative
[41],[45]
damage.
GST are a family of enzymes at
least nine enzymes that have been
observed which are GST Alpha (GSTA),
GST Kappa (GSTK), GST Mu (GSTM),
GST Pi (GSTP), GST Sigma (GSTS),
GST Theta (GSTT), GST Zeta (GSTZ),
GST Omega (GSTO) and Microsomal
[77],[78]
GST (MGST).
Among nine enzymes in GST
family, GST Pi (GSTP) has the most
important cytoprotective mechanism
against DOX - induced apoptosis due to
[46]
cellular peroxidative damage.

As
shown
in
Table
1,
pretreatment of rutin in DOX treated rat
can increase GST activity. In general
mechanism of GST, GST activity
depends on GSH as an essential
cofactor. As mentioned before, that rutin
can increase GSH level. It will implicate
directly with increasing level of GST.

2.2.4. Rutin Increasing Glutathione


Peroxidase Activity
Glutathione peroxidase (GSH-PO)
is an antioxidant enzyme containing the
selenium
analogue of cysteine
(selenocysteine) at the active site that
can detoxify hydrogen peroxide and lipid
peroxides in the presence of reduced
58

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

glutathione
become
nontoxic
[79],[80],[41]
metabolites.
Decreasing GSH-PO activity is
due to inactivation mechanism of
selenium-dependent GSH-peroxidase-1
[81]
(GSH-P1) after treatment of DOX.
The
mechanism
of
rutin
increasing GSH-PO activity remains
unclear but in previous studies showed
that rutin increased the expression of
both GSH-PO protein and mRNA which
implicated to increasing of GSH-PO
[82]
activity respectively.
2.2.5. Rutin Increasing Heart
Peroxidase Activity and Lowering
Lipid Peroxidation Level

3. CONCLUSION
Citrus flavonoid is an excellent
source of flavonoids. The major
flavonoids in citrus are Hesperidin and
Rutin. In our study provide a better
insight into the molecular mechanisms
of Hesperidin and Rutin in protecting
against DOX - induced cardiotoxicity.
Those
flavonoids
pretreatment
increased cardiac cell survival during
DOX treatment through five mechanism
: (1) the prevention of ROS and DOXol
formation by iron chelation mechanism,
(2) the restoration of mitochondrial
enzyme complex activity, (3) increasing
of GSH level and GST activity, (4)
increasing of GSH-PO activity and (5)
increasing heart peroxidase activity and

Peroxidase are hemecontaining


enzymes that oxidize a variety of
xenobiotics and biomolecules in the
[41],[83]
presence of hydrogen peroxide .
The possible mechanism that can
explain rutin increasing peroxidase
activity (Table. 2) due to rutin - induced
a concentration - dependent peroxidase
of nuclear membran lipid concurrent with
[84]
DNA stand breaks.
These reaction
were enhanced by the metal iron or
copper (1). So, it prevent initiation of
lipid peroxidation by activated heme
proteins, ferryl ion, and cyclo- and
lipoxygenase.

lowering lipid peroxidation level. Thus


pretreatment with hesperidin and rutin
may protect against DOX-induced
oxidative damage associated with
pathogenesis of cardiotoxicity. Defining
the molecular mechanism of natural
antioxidant or citrus flavonoid action on
various forms of oxidative stress is
crucial strategic design of antioxidant
therapy in CVD.
ACKNOWLEDGEMENTS
This work is supported by the Faculty of
Medicine Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Indonesia. Authors also
would thanks to our supervisor
Rustamaji, MD, M.Kes for support and
contribution in this literature review.

59
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

REFERENCES
1. Weiss RB. The anthracyclines: will
we ever find a better doxorubicin?
Semin Oncol 1992; 19:
670-86.
2. Singal PK and Iliskovic N.
Doxorubicin-induced
cardiomyopathy. N
Engl J Med
1998; 339: 9005.
3. Jordon MA. Anti-cancer agents. Cur
Med Chem 2002; 2: 117.
4. Carvalho C, Santo RX, Cardoso S,
Correia S, Oliveira PJ, Santos MS
and Moreira PI.
Doxorubicin:
the good, the bad and the ugly
effect. 2009. Cur Med Chem 2009;
16(25):326785.
5. Swain SM, Whaley FS and Ewer
MS: Congestive heart failure in
patientstreated with doxorubicin. A
retrospective analysis of three trials.
Cancer 2003; 97: 286979.
6. Takemura G and Fujiwara H:
Doxorubicin-induced
cardiomyopathy from the cardiotoxic
mechanisms to management. Prog
Cardiovasc Dis 2007; 49: 330352
7. Zucchi R and Danesi R. Cardiac
toxicity
of
antineoplastic
anthracyclines. Curr Med Chem
2003; 3: 151 171.
8. Shakir
DK
and
Rasul
KI.
Chemotherapy
Induce
Cardiomyopathy:Pathogenesis,
Monitoring and Management.
J
Clin Med Res. 2009 April; 1(1): 8
12.
9. Frishman WH, Sung HM, Yee HC,
Liu LL, Keefe D, Einzig AI and
Dutcher J. Cardiovascular toxicity
with cancer chemotherapy. Curr
Probl
Cancer.
1997;21(6):301360.
10. Von Hoff DD, Layard MW, Basa P,
Davis HL
Jr, Von Hoff AL
Rozencweig M and Muggia FM.
Risk factors for doxorubicininduced
congestive heart failure.
Ann Intern Med 1979; 01: 710717.
11. Lefrak EA, Pitha J, Rosenheim S
and Gottlieb JA. A clinicopathologic
analysis
of
Adriamycin
cardiotoxicity. Cancer 1973; 32:
302314.
12. Meiyanto E, Hermawan A and
Anindyajati. Natural products for
cancer-targeted therapy : Citrus
flavonoids
as
potent
chemopreventive agents. Asian

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

Pasific J Cancer Prev 2012; 13:


427 436.
Bocco A, Cuvelier ME, Richard H
and Berset. Antioxidant activity and
phenolic composition of citrus peel
and seed extracts, J Agric Food
Chem 1998; 46: 2123-9.
Li BB, Smith B, Hossain MM.
Extraction of phenolics from citrus
peels.
I.
solvent
extraction methodSep Purif
Technol 2006; 48: 182-8.
Kanes K, Tisserat B, Berhow M and
Vandercook
C.
Phenolic
composition of various tissues of
Rutaceae species. Phytochemistry,
1993; 32: 961974.
Kawaii S, Tomono Y, Katase E,
Ogawa K and Yano M. Quantitation
of flavonoid constituents
in citrus
fruits.
J Agric Food Chem
1999; 47: 3565
3571.
Al-Ashaal HA and El-Sheltawy
ST.Antioxidant
capacity
of
hesperidin from citrus peel using
electron
spin
resonance
and
cytotoxic activity against human
carcinoma cell lines, Pharm Biol
2011; 49: 276-82.
Sadzuka Y, Sugiyama T, Shimoi K,
Kinae N and Hirota S. Protective
effect of flavonoids on doxorubicininduced cardiotoxicity. Toxicol Lett
1997; 92(1): 1-7.
Iijima K and Aviram M. Flavonoids
protect LDL from oxidation and
attenuate atherosclerosis. Curr Opin
Lipidol 2001; 12: 41-48.
Kalivendi SV, Kotamraju S, Zhao H,
et al Doxo-rubicin-induced apoptosis
is
associated
with
increased
transcription of endothelial nitricoxide
synthase.
Effect
of
antiapoptotic
antioxidants
and
calcium. J Biol Chem 2001; 276:
47266 47276.
S.Wang,E.A.Konorev,S.Kotamraju,J
.Joseph,S.Kalivendi
and
B.
Kalyanara
Man
Doxorubicin
induces apoptosis in normal and
tumor cell via distincly different
mechanisms: intermediacy of H2O2
and p53-dependent pathway, J Biol
Chem 2004;279:25535-25543.
Gewirtz DA. A critical evaluation of
the mechanisms of action proposed
for the anti tumor effects of the
anthracyclineantibiotics adriamycin
60

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

23.

24.

25.

26.

27.

28.

29.

30.

31.

32.

and
daunorubicin.
Biochem
Pharmacol 1999; 57: 727 741.
Iarussi D, Indolfi P, Casale F, et
al.Recent
advances
in
the
prevention
of
anthracycline
cardiotoxicity in childhood. Curr Med
Chem 2001; 8: 1649- 1660.
Wallace KB. Doxorubicin-induced
cardiac
mitochondrionopathy.
Pharmacol Toxicol 2003; 93:105
115.
Minotti G, Menna P, Salvatorelli E,
Cairo G and Gianni L. Anthracyclins:
Molecular
Advance
and
Pharmacologic Developments in
Antitumor Activity and Cardiotoxicity.
Pharmacol Rev 2004, 56: 185-228.
Bruton L, Lazo JS and Parker, KL.
Goodman
&
Gilmans
ThePharmacological
Basis
of
Therapeutics, 11th Edition, Lange;
New York 2005.
Neilan TG, Blake SL, Ichinose F, et
al. Disruption of nitric oxide
synthase 3 protects against the
cardiac injury, dysfunction, and
mortality induced by doxorubicin.
Circulation 2007; 116: 506 514.
Octavia Y, Tocchetti CG, Gabrielson
KL, Janssens S, Crijns HJ and
Moens
AL.
Doxorubicin-induce
cardiomyopathy: from molecular
mechanisms
to
therapeutic
strategies. J Mol Cell Cardiol 2012;
52: 1213 25.
Childs AC, Phaneuf SL, Dirks AJ, et
al. Doxorubicin treatment in vivo
causes cytochrome C
release
and cardiomyocyte apoptosis, as
well as increased mitochondrial
efficiency, superoxide dismutase
activity, and Bcl-2:Bax ratio. Cancer
Res 2002; 62: 45924598.
Camello-Almaraz C, Gomez-Pinilla
PJ, Pozo MJ, et al. Mitochondrial
reactive oxygen species and Ca2+
signaling. Am J Physiol Cell Physiol
2006; 291: C1082C1088.
Lebrecht D and Walker UA. Role of
mtDNA lesions in anthracycline
cardiotoxicity. Cardiovasc Toxicol
2007; 7: 108113.
Deniaud A, Sharaf El Dein O,
Maillier E, et al. Endoplasmic
reticulum stress induces calciumdependent permeability transition,
mitochondrial
outer
membrane

33.

34.

35.

36.

37.

38.

39.

40.

41.

permeabilization and apoptosis.


Oncogene 2008; 27: 285299.
Bachur NR.
Daunorubicinol,
a
major metabolite of daunorubicin:
isolation from
human
urine
and enzymatic
reactions.
J.
Pharmacol Exp Ther 1971; 177:
567578.
Stewart DJ, Grewaal D, Green RM,
Mikhael N, Goel R, Montpetit VA
and Redmond MD. Concentrations
of doxorubicin and its metabolites in
human autopsy heart and other
tissues. Anticancer Res
1993;
13:19451952.
Mushlin PS, Cusack BJ, Boucek
RJ. Jr, Andrejuk T, Li X and
Olson,
RD.
Time-related
increases
in
cardiac
concentrations
of
doxorubicinol
could interact with doxorubicin to
depress
myocardial
contractile
function. Br J Pharmacol 1993; 110 :
975982.
Bachur NR, Gordon SL and Gee
MV.
Anthracycline
antibiotic
augmentation
of
microsomal
electron transport and free radical
formation. Mol. Pharmacol 1977; 13:
901910.
Ahmed NK, Felsted RL and Bachur
NR. Heterogeneity of anthracycline
antibiotic carbonyl reductases in
mammalian
livers.
Biochem
Pharmacol 1978; 27: 27132719.
Wermuth
B.
Purification
and
properties of
an
NADPHdependent
carbonyl
reductase
from human brain. Relationship
to prostaglandin 9-ketoreductase
and xenobiotic ketone reductase. J
Biol Chem 1981; 256: 12061213.
Boucek RJ. Jr, Olson RD, Brenner
DE, Ogunbunmi EM, Inui M and
Fleischer
S.
The
major
metabolite of doxorubicin is a
potent inhibitor of membrane
associated ion pumps.J Biol Chem
1987; 262: 1585115856.
Olson RD, Mushlin PS, Brenner
DE, Fleischer S, Cusack BJ,
Chang
BK
and Boucek RJ.
Doxorubicin cardiotoxicity may be
caused
by
its
metabolite,
doxorubicinol. Proc Natl Acad
Sci USA 1988, 85: 35853589.
Murray RK, Bender DA, Botham
KM, Kennelly PJ, Rodwell VW and
61

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

42.

43.

44.

45.

46.

47.

48.

49.

50.

Weil PA. Harpers Illustrated


Biochemistry. 28ed Mc Graw Hill
Lange : New York 2009.
Ayla S, Seckin I, Tanriverdi G,
Cengiz M, Eser M, Soner BC and
Oktem G. Doxorubicin induced
nephrotoxicity: protective effect of
nicotinamide. Int J Cell Biol 2011;
390238, 1-9.
Joshi G, Hardas S, Sultana R, Clair
DKS, Vore M and Butterfield DA.
Glutathione elevation by

glutamyl cysteine ethyl ester as a


potential therapeutic strategy for
preventing oxidative
stress
in brain mediated by in vivo
administration of adriamycin :
implication
for
chemobrain.J
Neurosci Res 2007; 85(3): 497503.
Bray TM and Taylor CG. Tissue
glutathione,
nutrition,
and
oxidative stress.
Can
J
Pharmacol 1993;
71(9):
746- 751.
Leibau
E,
Wildenburg
G,
Walter RD, Henkle-Duhrsen K. A
novel type of glutathione- Stransferase
in Onchocerca
volvulus. Infect Immunol 1994; 62:
47624767.
Yu ST , Chen TM, Chern JW, Tseng
SY and Chen YH. Downregulation
of
GSTpi
expression
by
tryptanthrin
contributing
to
sensitization of doxorubicin-resistant
MCF-7 cells through c-jun NH2terminal kinase-mediated apoptosis.
Anticancer Drugs 2009; 20(5): 382
8.
Seitz G, Bonin M and Fuchsetal J.
Inhibition
of
glutathione-Stransferase as a treatment strategy
for multidrug resistance in childhood
rhabdomyosarcoma. Int J Oncol
2010; 36(2):
491-500.
Ren W, Qiao Z, Wang H, Zhu L and
Zhang L. Flavonoids: promising
anticancer agents. Med Res Rev
2003; 23(4): 519-34.
Buer CS, Imin N and Djordjevic MA.
Flavonoids : new roles for old
molecules. J Integr Plant
Biol
2010; 52(1): 98-111.
Williams RJ, Spencer JPE and RiceEvans C. Flavonoids : antioxidants
or signalling
molecules
?
Free Radic Biol Med 2004; 36: 838
849.

51. Taylor LP and Grotewold E.


Flavonoids
as
developmental
regulators. Curr Opin Plant Biol
2005; 8: 317323.
52. Garcia-Mediavilla V, Crespo I,
Collado PS, Esteller A, SanchezCampos S, Tunon MJ and
Gonzalez-Gallego J. The antiinflammatory flavones quercetin and
kaempferol cause inhibition of
inducible nitric oxide synthase,
cyclooxygenase-2 and reactive Cprotein, and
down regulation
of the nuclear factor kappaB
pathway in Chang Liver cells. Eur J
Pharmacol 2007;557: 221229.
53. Pandey MK, Sandur SK, Sung B,
Sethi G, Kunnumakkara AB and
Aggarwal
BB.
Butein,
a
tetrahydroxychalcone,
inhibits
nuclear
factor (NF)-kappa B and
NF-kappa Bregulated gene
expression through direct inhibition
of I kappa B alpha kinase beta on
cysteine 179 residue. J.Biol.Chem
(2007).282, 1734017350.
54. Sung B, Pandey MK and Aggarwal
BB. Fisetin, an inhibitor of cyclindependent kinase 6,
downregulates nuclear factor-kappa Bregulated
cell
proliferation,
antiapoptotic andmetastatic gene
products
through
the
suppression of TAK-1 and
receptor-interacting proteinregulated I kappaB alpha kinase
activation. Mol Pharmacol 2007; 71:
17031714.
55. Kim JY, Park SJ, Yun KJ, Cho YW,
Park HJ and Lee KT. Isoliquiritigenin
isolated
from
the
roots
of
Glycyrrhiza uralensis inhibits LPSinduced
NOS
and
COX-2
expression via the attenuation
of
NF-kappa B in RAW
264.7
macrophages. Eur J
Pharmacol 2008; 584: 175184.
56. Singh RP, Gu M and Agarwal R.
Silibinin inhibits colorectal cancer
growth by inhibiting tumor cell
proliferation
and
angiogenesis.
Cancer Res 2008; 68: 20432050.
57. Garg A, Garg S, Zaneveled JD
and Singla AK 2001. Chemistry and
pharmacology
of
the
citrus
bioflavonoid hesperidin. Phytother
Res 2001; 15: 655669.

62
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

58. Nielsen IL, Chee WS, Poulsen L,


Offord-Cavin E, Rasmussen SE,
Frederiksen H, Enslen M, Barron
D,
Horcajada
MN
and
Williamson G. Bioavailability is
improved by enzymatic modification
of t he citrus
flavonoid
hesperidin
in
humans:
a
randomized, double-blind, crossover
trial. The Journal of Nutrition
2006; 136(2):404-8.
59. Tumbas VT, Cetkovic GS, Djilas SM
et al. Antioxidant activity of
mandarin (Citrus reticulata) peel.
APTEFF 2010; 41: 195-203
60. Hussain
MT,
Verma
AR,
Vijayakumar M, Sharma A, Mathela
CS and Rao CV. Rutin, a natural
flavonoid,
protects
against
gastric mucosal damage in experi
mental animals. Asian Journal
of Traditional Medicines 2009;
4(5): 188- 97.
61. Hozayen WG and Abou-Seif HS.
Protective effect of rutin and
hesperidin against doxorubicininduced
lipodystrophy
and
cardiotoxicity in albino rats. Journal
of
American
Science
2011;7(12):765-75.
62. Abou Seif. Protective Effects of
Rutin and Hesperidin against
doxorubicin-induced
nephrotoxicity.
Beni-Suef
University Journal of Applied
Sciences 2012; 7(2); 1-18.
63. van Acker SABE, van den Berk DJ,
Tromp MNJL et al. Structural
aspects of antioxidant activity
of flavonoids. Free Radic Biol
Med 1996; 20(3) : 331-342.
64. Schroeder PE and Hasinoff BB. The
doxorubicin-cardioprotective
drug
dexrazoxane
undergoes
metabolism in the rat to its metal
ion-chelating form ADR-925. Cancer
Chemother Pharmacol 2002. 50:
509513.
65. Von Hoff DD. Phase I trials of
dexrazoxane and other potential
applications for the agent. Semin.
Oncol. 25:3136; 1998
66. trba M, Popelov O, imnek
T, Mazurov Y, Potov A,
Adamcov
M, Kaiserov H,
Poka P and Gerl
V.
Cardioprotective effects of a novel
iron chelator, pyridoxal
2-

67.

68.

69.

70.

71.

72.

73.

74.

75.

chlorobenzoyl hydrazone, in the


rabbit
model of daunorubicininduced
cardiotoxicity.
J Pharmacol Exp
Ther
2006; 319: 13361347.
Gaur V, Anggarwal A and Kumar A.
Possible nitric oxide mechanism in
the protective effect
of
hesperidin against ischemic
reperfusion cerebral injury in
rats.
Indian
Journal
of
Experimental Biology 2011;
49: 609-18.
Hayes
JD, Ellis EM, Neal GE,
Harrison DJ, Manson MM. Cellular
response
to
cancer
chemopreventive
agents:
contribution of the antioxidant
responsive element to the adaptive
response to oxidative and chemical
stress. Biochem Soc Symp 199; 64:
141168.
Anderson, M. E. Glutathione: an
overview of biosynthesis and
modulation. Chem Biol
Interact
1998.
111112: 114.
Morales A, Garcia-Ruiz C, Miranda
M, Mari M, Colell A, Ardite E and
Fernandez-Checa JC.
Tumor
necrosis
factor
increase
hepatocellular
glutathione
by
transcriptional regulation of the
heavy subunit chain of gammaglutamylcysteine synthetase. J Biol
Chem 1997; 272: 3037130379.
Richman PG and Meister A.
Regulation of gamma-glutamylcysteine
synthetase
by
nonallosteric feedback inhibition
by glutathione. J Biol Chem 1975;
250: 14221426.
Yan N and Meister A. Amino acid
sequence of rat kidney gammaglutamylcysteine
synthetase.J
Biol Chem 1990; 265: 15881593.
Huang CS, Anderson ME and
Meister A. Amino acid sequence
and function of the light
subunit
of rat kidney gamma-glutamylcysteine synthetase. J
Huang CS, Chang LS, Anderson
ME and Meister A. Catalytic and
regulatory properties of the heavy
subunit of rat
kidney gammaglutamylcysteine synthetase. J Biol
Chem 1993; 268: 1967519680.
Myhrstad MC, Husberg C, Murphy
P, Nordstrm O, Blumhoff R,
63

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

76.

77.

78.

79.

80.

81.

82.

83.

Moskaug J and Kolsto AB.


TCF11/Nrf1
overexpression
increases
the
intracellular
glutathione
level
and
can
transactivate
the
gammaglutamylcysteine synthetase (GCS)
heavy subunit promoter. Biochim
Biophys Acta 2001; 1517:212219.
Myhrstad MC, Carlsen H, Nordstrm
O, Blumhoff R and Moskaug J.
Flavonoids increase the intracellular
glutathione level by transactivation
of the -glutamyl cysteine
synthetase catalytical
subunit
promoter. Free Radic Biol Med
2002; 32(5): 386-393.
Beckett GJ, Hayes JD. Glutathione
S-transferases:
biomedical
applications. Adv Clin
Chem
1993; 30: 281380.
Wilce MC, Parker MW (March
1994). "Structure and function of
glutathione Stransferases".
Biochim. Biophys. Acta 1205
(1): 118
Rotruck JT, Pope AL, Ganther HE,
Swanson AB, Hafeman DG and
Hoekstra
WG.
Selenium:
biochemical role as a component of
glutathione peroxidase. Science
1973 179, 588590
Ozden M, Maral H, Akaydin D,
Cetinalp P, Kalender B. Erythrocyte
glutathione peroxidase activity,
plasma
malondialdehyde
and
erythrocyte glutathione levels in
hemodialysis and CAPD patients.
Clin Biochem 2002;35(4):269-73.
Doroshow JH., Locker GY, Myers
CE: Enzymatic defenses of the
mouse heart against reactive
oxygen
metabolites:
alteration
produced by doxorubicin. J Clin
Invest 65: 128-135, 1980.
Nagata H, Takehoshi S, Takagi T,
Honma T and Watanabe K.
Antioxidative
action
of
flavonoids,
quercetin
and
catechin,
mediated
by
the
activation
of
glutathione
peroxidase. Tokai J Exp Clin Med
1999; 24(1): 1-11.
Li H and Poulos TL. Structural
variation in heme enzymes : a
comparative analysis of peroxidase
and
P450
crystal
structures.
Structure 1994;2(6):461-4

64
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

Artikel
Penyegar

KONSEP AYURVEDA DALAM


PENATALAKSANAAN JANTUNG
KORONER
1

Komang Leo Krisnahari


Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

ABSTRAK
Pendahuluan: Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan suatu keadaan dimana
terdapat penimbunan plak pada pembuluh darah koroner, sehingga arteri koroner
mengalami penyempitan dan tersumbat. WHO mengestimasi sebanyak 20 juta kasus
kematian akibat jantung koroner pada tahun 2015 dan 80% kasus kematian datang dari
negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Pembahasan: Berdasarkan hasil kajian literatur, konsep Ayurveda dapat digunakan
sebagai konsep dalam pencegahan maupun terapi dalam penatalaksanaan jantung
koroner. Ayurveda adalah ilmu kedokteran agama Hindu yang berasal dari India kuno
yang menekankan kombinasi yang tepat antara indra yang sehat, tubuh, dan jiwa. Dua
prinsip dasar ayurveda adalah mengonsumsi suplemen herbal serta perubahan gaya
hidup melalui yoga dan olahraga dapat menjadi menjadi perhatian utama dalam
penatalaksanaan penyakit jantung koroner. Yoga dan meditasi dapat menurunkan
tekanan darah dan menurunkan produksi noradrenalin yang memiliki efek terhadap
metabolisme glukosa dan lipid. Peran olahraga dalam jantung koroner terkait dengan
meningkatkan metabolisme jantung, menyebabkan regresi aterosklerosis, dan
meningkatkan reseptor insulin. Sementara, mengonsumsi produk herbal seperti buah
malaka, jahe (shogaol), dan bawang putih (allicin) dapat meningkatkan antioksidan,
menurunkan serum trigliserida, meningkatkan vitalitas jantung, menurunkan agregasi
trombosit, menurunkan tekanan darah, dan melancarkan sirkulasi darah.
Simpulan:Keseluruhan potensi tersebut memberikan prospek cerah terkait konsep yang
ditawarkan untuk diaplikasikan sebagai modalitas komprehensif dalam penatalaksanaan
jantung koroner.
Kata kunci : Penyakit jantung koroner, Ayurveda, yoga, olahraga, malaka, jahe, bawang
putih
ABSTRACT
Introduction:Coronary heart disease (CHD) is a condition where there are accumulation
of plaque in the coronary arteries, so that the coronary arteries are narrowed and
blocked. WHO estimates that 20 million cases of death due to coronary heart disease in
2015 and 80% of deaths come from developing countries including Indonesia.
Review:Based on the results of literature review, the concept of Ayurveda can be used
as a concept in the prevention and therapy in the management of coronary heart disease.
Ayurveda is the science of medicine Hinduism derived from ancient India which
emphasizes the right combination of healthy senses, body, and soul. Two basic principles
of ayurveda are taking herbal supplements and lifestyle changes through yoga and
exercise can become a major concern in management coronary heart disease. Yoga and
meditation can decrease blood pressure and reduce the production of noradrenaline
which has effect on glucose and lipid metabolism. The role of exercise in coronary heart
disease associated with increase metabolism of the heart, causing regression of
atherosclerosis, and increase insulin receptor. Meanwhile, taking herbal products such as
malaka fruit, ginger (shogaol), and garlic (Alicin) can increase the antioxidant, decrease
triglycerides, increase vitality of the heart, reduce platelet aggregation, decrease blood
pressure, and increase blood circulation.
Conclsion: All of that potential bring nice prospects related of the concepts to be applied
as a comprehensive modality in the management of coronary heart disease.
65
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

Keywords: Coronary heart disease, Ayurveda, yoga, exercise, malaka, ginger, garlic
1. PENDAHULUAN
Terdapat sebuah quote yang
berkata, "jantung adalah pusat berpikir,
pengendali tubuh, dan akal manusia".
Quote tersebut menunjukkan bahwa
peran jantung sangatlah penting dalam
proses berlangsungnya hidup seorang
manusia, meskipun jantung tidak terasa,
tidak teraba, dan tidak terpikirkan
aktivitasnya. Hal ini terjadi karena
jantung didominasi oleh sistem saraf
otonom yang bekerja secara otomatis
tanpa perintah dan tanpa pengendalian
secara sadar.
Jantung memiliki fungsi yang
sangat vital dalam tubuh seorang
manusia. Jantung menyediakan darah
yang kaya oksigen dan dialirkan ke
seluruh tubuh serta membersihkan
tubuh dari hasil metabolisme (karbon
dioksida).
Jika kondisi jantung
terganggu, maka sudah dipastikan
kondisi organ-organ lain pun terganggu,
seperti otak dan ginjal bahkan dapat
berujung kematian. Seseorang akan
kehilangan kesadaran jika kekurangan
oksigen hingga 10 detik dan sel-sel otak
akan rusak jika kehilangan oksigen
selama 4-6 menit, bahkan dapat
meyebabkan stroke. Selain mengangkut
oksigen, peredaran darah jantung juga
mengangkut metabolit yang dihasilkan
atau
produk
limbah
(seperti urea atau asam
urat)
yang
kemudian diangkut ke organ-organ
ekskresi seperti ginjal. Jika fungsi
jantung terganggu, maka fungsi ekskresi
pun juga terganggu.
Pada tahun 2005, total kasus
penyakit
kardiovaskular
meningkat
menjadi 17,5 juta dari 14,4 juta pada
tahun
1990.
Jantung
koroner
merupakan salah satu penyakit yang
mendominasi penyakit kardiovaskular
dengan jumlah kasus sebanyak 7,6
[1]
juta. WHO mengestimasi sebanyak 20
juta kasus kematian akibat jantung
koroner pada tahun 2015 atau 30% dari
total kematian di seluruh dunia. Lebih
dari 80% kasus kematian datang dari
negara
berkembang
yang
berpendapatan
rendah
hingga
[2]
menengah termasuk Indonesia.

Untuk
Indonesia
sendiri,
prevalensi penyakit jantung koroner
meningkat dari tahun ke tahun. Hasil
Survei Konsumsi Rumah Tangga
(SKRT) Departemen Republik Indonesia
menunjukkan bahwa prevalensi penyakit
jantung koroner di Indonesia terus
meningkat tiap tahunnya (tahun 1992
16,6%; 1995 19,0%; 2001 26,0%). Di
Indonesia, pada tahun 2002 dilaporkan
angka kematian akibat PJK (penyakit
jantung koroner) sekitar 100.000
[3]
499.999.
Penyakit jantung koroner (PJK)
merupakan keadaan dimana terjadi
penimbunan plak pembuluh darah
koroner. Hal ini menyebabkan arteri
koroner menyempit atau tersumbat.
Faktor risiko penyakit jantung koroner
ada yang membaginya dalam faktor
risiko
primer
(independen)
dan
sekunder. Faktor risiko primer adalah
faktor
yang
dapat
menyebabkan
gangguan arteri berupa aterosklerosis
(akumulasi lemak atau lipid pada
dinding pembuluh darah arteri) tanpa
harus
dibantu
oleh
faktor
lain
(independen),
yaitu
hiperlidemia,
merokok, dan tekanan darah tinggi.
Faktor risiko sekunder adalah faktor
yang dapat menimbulkan kelainan arteri
bila ditemukan faktor lain secara
bersamaan, yaitu diabetes melitus (DM),
obesitas, stres, kurang olahraga,
[4]
alkohol, dan riwayat keluarga.
Berkaca dari data tersebut, tentu
saja sangat mengkhawatirkan jika
mengingat tingginya prevalensi dan
komplikasi penyakit yang ditimbulkan
oleh jantung koroner. Jantung koroner
adalah penyakit sistemik, jika tidak
segera ditangani maka akan berdampak
terhadap sistem peredaran darah
jantung secara keseluruhan, seperti
gagal jantung, serangan jantung,
bahkan dapat menimbulkan kematian.
Penanganan yang tepat pun juga sangat
diperlukan. Jika kita berhasil mengkaji
lebih dalam, maka masih ada banyak
cara untuk mencegah serta mengobati
penyakit jantung koroner baik di
Indonesia maupun di dunia. Salah satu
66

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

caranya adalah dengan pengobatan


ayurveda.
2. PEMBAHASAN
2.1.
Konsep Ayurveda
Ayurveda adalah ilmu kedokteran
agama Hindu yang berasal dari India
kuno.
Beberapa
ahli
sejarah
mengatakan bahwa ayurveda telah ada
sejak 3000 tahun SM. Ayurveda
merupakan ilmu holistik yang terdiri dari
informasi praktis dan ilmiah tentang
berbagai subjek yang bermanfaat untuk
kesehatan manusia. Praktik ayurveda
memandang dunia dan tubuh manusia
secara unik. Pandangan ini didasarkan
pada persepsi kuno bahwa manusia
adalah mikrokosmos yang besar,
berinteraksi dan berhubungan dengan
alam semesta, serta harus memelihara
kelestariannya.
Tubuh
manusia
dipandang sebagai entitas organik
dimana berbagai organ, jaringan, dan
bagian lain memiliki fungsi yang
berbeda tetapi semua saling tergantung
dan menyatu. Ayurveda memiliki
pandangan tentang bagaimana tubuh
manusia
bekerja,
apa
yang
menyebabkan penyakit pada tubuh
manusia, dan bagaimana mengobati
penyakit
menggunakaan
konsep
tradisional India.
Hidup menurut ayurveda adalah
kombinasi yang tepat dari indra yang
[5]
sehat, pikiran, tubuh dan jiwa. Tujuan
dari
Ayurveda
adalah
untuk
menyediakan tubuh yang benar-benar
sehat untuk setiap manusia dengan
somatik
sempurna,
keseimbangan
psikis, pencernaan sehat, disertai
dengan pencerahan jiwa, organ kognitif
dan pikiran. Ayurveda tidak hanya
berfokus pada menyingkirkan dari
penyakit fisik, melainkan percaya dalam
membawa keluar sifat fisik dan mental
yang ideal melalui gaya hidup dan
rutinitas
sehari-hari
dari
seorang
individu.
Ayurveda
menekankan
makanan yang bergizi, segar, dan
menghindari
makanan
berminyak
dengan berat ekstra. Ayurveda juga
mengatur latihan yoga dan meditasi
untuk pemeliharaan seluruh organ vital
tubuh. Ayurveda merupakan sebuah
modalitas multifungsi dimana di satu sisi
berhasil mencegah dan di satu sisi

berhasil untuk mengobati penyakit


jantung koroner. Dua prinsip dasar
ayurveda adalah perubahan gaya hidup
dan suplemen herbal dapat menjadi
menjadi
perhatian
utama
dalam
mengurangi faktor risiko penyakit
jantung koroner.
2.1.1. Pencegahan
Penyakit
Jantung Koroner Melalui Ayurveda
Dengan Cara Yoga Dan Olahraga
Yoga dan teknik meditasi telah
dikenal selama berabad-abad untuk
meningkatkan
stamina
fisik
dan
memberikan relaksasi mental. Studi
terbaru menunjukkan bahwa yoga dan
meditasi dapat menurunkan tekanan
darah sistemik baik jangka pendek
maupun jangka panjang, menurunkan
produksi noradrenalin di otak dan
jaringan lain yang memiliki efek secara
tidak langsung terhadap metabolisme
[6]
glukosa
dan
lipid.
Faktor-faktor
tersebut penting dalam pencegahan
jantung koroner.
Peran
olahraga
dalam
pencegahan penyakit jantung koroner
sudah dikenal secara luas. Penelitian
telah menunjukkan bahwa olahraga
berguna
dalam
meningkatkan
metabolisme jantung pada tingkat
sistem adenil siklase. Olahraga juga
mengurangi pengumpulan trombosit,
konsentrasi lemak dan menyebabkan
regresi
aterosklerosis.
Regresi
aterosklerosis akibat berolahraga terkait
dengan penurunan kadar kolesterol dan
meningkatkan reseptor insulin. Analisis
data epidemiologi menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan
antara aktivitas fisik dan risiko penyakit
jantung koroner. Sebuah penelitian meta
analisis menunjukkan bahwa risiko
penyakit jantung koroner 90% lebih
besar pada seseorang yang tidak terlalu
[7]
banyak beraktivitas. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa pengeluaran 150300 kalori setiap hari seperti berjalan
dan bekerja di sekitar rumah lebih
menguntungkan daripada aktivitas fisik
berat, karena pengeluaran tenaga yang
berlebihan
dapat
menyebabkan
[8]
kematian secara mendadak. Dengan
demikian, latihan fisik ringan dianjurkan
untuk
seluruh
individu
untuk
pencegahan penyakit jantung koroner.
67

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

Pada penderita jantung koroner


yang berhasil mengubah gaya hidup
mereka seperti melakukan yoga,
meditasi, relaksasi progresif (pelatihan
manajemen stres), dan berolahraga
ringan menunjukkan bahwa terdapat
regresi aterosklerosis secara signifikan.
Lima puluh persen lesi aterosklerosis
mengalami regresi dan ini terjadi pada
82% penderita PJK (penyakit jantung
koroner) yang berhasil mengubah gaya
hidup mereka. Tidak hanya itu,
penderita PJK yang berhasil mengubah
gaya hidup mereka juga mengalami
pengurangan
penyempitan
arteri
koroner
sebanyak
1,75-3,1%.
Sedangkan, pada penderita jantung
koroner yang tidak berhasil mengubah
gaya hidup, mengalami peningkatan lesi
sebanyak
3%
dan
peningkatan
penyempitan arteri koroner sebanyak
[9]
2,3-11,8%.
2.1.2. Upaya
pencegahan
dan
pengobatan
penyakit
jantung
koroner melalui ayurveda dengan
cara mengonsumsi produk herbal
Prinsip-prinsip pengobatan untuk
berbagai penyakit terdapat dalam kitab
ayurveda. Kitab Ayurveda mencakup
banyak obat-obatan herbal yang aman
dan berhasil untuk mengobati kondisi
penyakit kronis seperti PJK. Komponenkomponen yang ditekankan untuk
mengontrol penyakit
PJK
adalah
bawang putih, buah malaka, dan
[10],[11]
jahe.
Ayurveda merumuskan berbagai
herbal dan mineral dalam proporsi yang
tepat dengan metode pengolahan
tertentu. Ayurveda memilih tanaman
secara hati-hati yang diikuti oleh seleksi
bijaksana dari bagian yang akan
diproses, yaitu daun, biji, batang, kulit
batang atau akar. Setiap langkah sangat
penting dan dapat menyebabkan hasil
yang tidak maksimal, jika tidak
dijalankan dengan hati-hati.
Salah satu komponen alam yang
berguna untuk penyakit jantung koroner
menurut ayurveda adalah buah malaka.
Buah malaka sangat kaya akan vitamin
C. Vitamin C telah diklaim memiliki
antioksidan dan hipolipidemik. Buah
malaka dapat menurunkan serum
kolesterol, kolesterol aorta, dan serum

trigliserida baik pada manusia atau


kelinci percobaan yang menderita kadar
[12]
kolesterol yang tinggi. Pengaruh buah
malaka pada serum kolesterol dan fraksi
lipoprotein telah diteliti pada pria normal
dan pada pria yang menderita
hiperkolesterol yang berusia 35-55
[13]
tahun. Buah malaka diberikan dalam
jangka waktu 28 hari dalam bentuk
mentah. Kedua subyek yang normal dan
hiperkolesterol menunjukkan penurunan
kadar kolesterol. Dua minggu setelah
buah malaka dihentikan, kadar serum
kolesterol meningkat signifikan dan
[14]
hampir kembali ke tingkat awal.
Kedua adalah jahe. Bubuk jahe
kering dengan dosis 500-1000 mg, atau
jahe segar 2-4 gram dapat mengobati
penyakit jantung koroner. Jahe memiliki
efek vitalitas pada jantung, darah,
menurunkan agregasi trombosit, dan
menghambat sintesis tromboksan (zat
yang membentuk agregasi/perlengketan
trombosit
yang
berpotensi
mengumpalkan
dan
menciptakan
sumbatan). Senyawa terisolasi dari jahe
dalam bentuk shogaol dan gingerol juga
memiliki efek pressor dan menurunkan
[10]
risiko penyakit jantung koroner.
Diantara
seluruh
herbal
yang
direkomendasikan, bawang putihlah
yang
sangat
ditekanankan
oleh
ayurveda untuk mengobati penyakit
jantung koroner. Bawang putih memiliki
efek
mengurangi
kolesterol,
menurunkan
tekanan
darah,
menghambat
aterosklerosis
dan
melancarkan sirkulasi darah. Zat aktif
alicin yang dibentuk oleh aktivitas enzim
aliinase
ketika
bawang
putih
dihancurkan sangat berguna untuk
mengatasi penyakit jantung koroner.
Aliinase yaitu enzim yang mencerna zat
alicin diaktifkan oleh pH asam, panas
dan
pelarut
anorganik. Rata-rata
penelitian menganjurkan mengonsumsi
bawang putih sebanyak 300-900
[15]
miligram.
Sebagai
fungsinya
dalam
mengatasi penyakit jantung koroner,
bawang putih memiliki tiga fungsi, yaitu
antihiperlipidemia, antihipertensi, dan
antiaterosklerosis.
Sebagai
anti
hiperlipidemia, bawang putih dapat
mengurangi lemak 15-25 mg/dl (5%15%). Pengobatan dengan bubuk
68

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

bawang putih kering (900 mg/hari) dapat


menurunkan kadar serum kolesterol dari
282 mg/dl menjadi 210 mg/dl selama 12
minggu. Pengobatan bawang putih
menghasilkan penurunan paralel low
density
lipoprotein
(LDL)
dan
peningkatan high density lipoprotein
[16]
(HDL) kolesterol.
Selain
memiliki
efek
antihiperlipidemia, bawang putih juga
dapat mengurangi tekanan darah
melalui sintesis oksida nitratnya. Dosis
besar bubuk bawang putih (2.400 mg)
dapat menurunkan tekanan darah 7-16
mmHg. Tetapi, hanya tekanan diastolik
yang menurun secara signifikan dan
berkisar
antara
10-16
mmHg.
Sementara, penurunan tekanan darah
sistolik hanya berkisar 7-9 mmHg. Dan
yang terakhir, bawang putih memiliki
efek
antiaterosklerosis.
Kegiatan
antiaterosklerosis
bawang
putih
dikaitkan dengan penurunan kolesterol.
Bawang putih yang diberikan selama 48
bulan
dapat
mengurangi
plak
aterosklerosis pada arteri sebesar 5[15],[16]
18%.
3. KESIMPULAN DAN SARAN
Dapat
disimpulkan
bahwa
ayurveda memiliki banyak khasiat pada
penyakit jantung koroner dan dianggap
aman jika dilakukan dengan benar.
Tetapi,
tetaplah
disarankan
agar
pelaksanaan ayurveda berada dibawah
pengawasan seorang praktisi yang
berpengalaman. Sebelum menjalankan
praktik ayurveda, biasakanlah bertanya
tentang kualifikasi praktisi, termasuk
pelatihan dan lisensinya. Beritahulah
penyedia layanan kesehatan tentang
segala praktik komplementer dan
alternatif yang telah dijalani. Beri juga
gambaran lengkap tentang apa yang
dilakukan untuk mengelola kesehatan
selama ini. Ini akan membantu
memastikan bahwa perawatan akan
berjalan secara terkoordinasi dan aman.
Jadi, tak ada lagi yang perlu
dikhawatirkan
oleh
mereka
yang
mengidap jantung koroner karena
adanya pengobatan ayurveda ini. Begitu
banyak manfaat yang dimiliki oleh
pengobatan ayurveda ini. Tetapi,
manfaat itu tidak akan muncul apabila
pengobatan ayurveda tidak dilakukan

secara
berkesinambungan
dan
dikombinasikan dengan gaya hidup
sehat lainnya. Biasakanlah minum air
putih minimal 2 liter sehari, olahraga
yang teratur, istirahat yang cukup,
pikiran tidak stres, serta mengonsumsi
makanan yang tentunya menyehatkan
dan
bermanfaat
bagi
tubuh.
Penanganan jantung koroner juga
mengandung prinsip mencegah lebih
baik daripada mengobati. Proses
pencegahan harus dimulai sejak saat ini
agar tidak terucap kata terlambat di
kemudian hari. Sebelum berbagai
macam komplikasi penyakit muncul
akibat jantung koroner, maka sebaiknya
berusahalah
untuk
menghilangkan
jantung koroner tersebut. Jika memiliki
niat, usaha, dan kerja keras maka
segala sesuatu tidak ada yang mustahil
untuk terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
1. World
Health
Organization
(WHO). 2008. The global burden of
disease: 2007 update. Geneva:
World Health Organization.
2. World
Health
Organization
(WHO). 2009. World health statistics
2009. Geneva:
World
Health
Organization.
3. Karim F. 2007. Panduan Kesehatan
Olahraga Bagi Petugas Kesehatan.
Jakarta: Pusat promosi Departemen
Kesehatan RI.
4. Norhashimah BJ. 2010. Gambaran
Pengetahuan dan Sikap Masyarakat
Tentang Penyakit Jantung Koroner
(PJK) Di Kelurahan Tanjung Rejo.
[disertasi].
Medan:
Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
5. Prakash VB. 2010. Sustainable
Effect of Ayurvedic formulations in
the treatment of nutritional anemia in
adolescent students. Journal Altern
Complementary Medicine. Hindawi
Alternative and Complementary
Medicine; 205-210.
6. Gupta R. 2005. Regression of
coronary atherosclerosis induced by
drugs, diet and lifestyle changes.
Contemporary Medicine-1. New
Delhi; 54-58.
7. Darren E.R., Crystal W.N., Shannon
S.D. 2006. Health benefits of
69

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

8.

9.

10.

11.

12.

13.

physical activity: the evidence.


CMAJ; 174(6): 801-809.
Taylor RS, Brown A, Ebrahim S.
2004. Exercise-based rehabilitation
for patients with coronary heart
disease: systematic review and
meta-analysis
of
randomized
controlled trials. Am J Med; 116:
682-692.
Nikola D, Alicja W, Mats JU. 2013.
Atrial fibrillation is associated with
different levels of physical activity
levels at different ages in men.
Heart ; 1-14.
Dwivedi SP. 2008. Uses of Indian
cardiovascular friendly plants in
preventive
cardiology.
Journal
Medical Science India; 159-162
Dunn SP. 2009. Nutrition and heart
failure: impact of drug therapies and
management strategies. Nutr Clin
Pract; 24(1): 60-75.
Jain, S.K. 2004. Vitamin C
enrichment of fruit juice based
ready-to-serve beverages through
blending of Indian gooseberry
(Emblica officinalis Gaertn.) juice.
Plant Foods Hum. Nutr; 59(2): 6366.
Habib R., KA. Yasin, A. Choudhary.
2007. Studies on the chemical

constituents of Phyllanthus emblica.


Nat Prod Res; 21(9): 775-781.
14. Rajak, S, SK. Banerjee, S. Sood.
2004. Emblica officinalis causes
myocardial adaptation and protects
against oxidative stress in ischemicreperfusion injury in rats. Phytother
Res; 18(1): 54-60.
15. Sun X, Ku DD. Allicin in garlic
protects
against
coronary
endothelial dysfunction and right
heart hypertrophy in pulmonary
hypertensive rats. Am J Physiol
Heart Circ Physiol; 291(5) : 24312438.
16. Ku D.D, Sun X. 2006. Mechanism of
Garlic Protection Against Coronary
Endothelial Dysfunction and Right
Ventricular Hypertrophy (RVH) in
Pulmonary Hypertensive (PH) Rats:
Comparisons among Fresh, Boiled
and Aged Garlics. The Faseb
Journal; 1147-1152.

70
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

Laporan
Kasus

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN


NEURODERMATITIS SIRKUMSKRIPTA
1

Surya Wijaya , Rusmawardiana


Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang
2
Staff Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang
1

ABSTRAK
Latar Belakang: Neurodermatitis sirkumskripta (NS) merupakan salah satu penyakit kulit
yang cukup sering dijumpai dalam praktik sehari-hari. Walaupun tidak menyebabkan
kematian, NS dapat menyebabkan komplikasi dan morbiditas yang cukup tinggi.
Ilustrasi Kasus: Seorang wanita berusia 34 tahun datang ke poliklinik Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin RSMH dengan keluhan utama berupa bercak kehitaman yang semakin
menebal pada punggung kaki kanan kisaran satu pekan yang lalu. Pasien juga mengeluh
gatal yang hilang timbul. Riwayat penyakit yang sama sebelumnya dan penyakit dalam
keluarga disangkal. Dari pemeriksaan dermatologi, didapatkan plak hiperpigmentasi,
soliter, irreguler, ukuran 5 x 2 cm, batas tegas, dengan likenifikasi sebagian ditutupi
skuama kasar, putih, kasar, kering, selapis. Dari pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH
10%, tidak dijumpai hifa dan spora. Diagnosis yang ditegakkan adalah neurodermatitis
sirkumskripta. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien adalah edukasi,
kortikosteroid topikal poten (krim betametason dipropionat 0,05% 2 x sehari dioleskan
pada bagian lesi), dan antipruritus (klorfenilramin maleat 2 x 4mg).
Diskusi: Diagnosis NS ditegakkan berdasarkan gambaran klinis pada daerah predileksi
adanya likenifikasi, skuamasi yang umumnya unilateral pada orang dewasa dengan
adanya faktor emosi/psikologis. Pengobatan ditujukan untuk memutus rantau gatalgaruk-gatal melalui pencarian faktor pencetus. Terapi lini pertama untuk mengontrol gatal
adalah pemberian kortikosteroid topikal poten dan antipruritus. Sebagai kesimpulan,
penting bagi para dokter agar dapat menegakkan diagnosis dan melakukan
penatalaksanaan NS.
Kata Kunci: neurodermatitis
penatalaksanaan

sirkumskripta,

1. PENDAHULUAN
Neurodermatitis
sirkumskripta
atau liken simpleks kronik merupakan
peradangan
kulit
kronis,
gatal,
sirkumskrip yang ditandai dengan kulit
tebal dan garis kulit tampak lebih
menonjol (likenifikasi) menyerupai kulit
batang kayu akibat garukan atau
gosokan yang berulang-ulang karena
[1]
berbagai rangsangan. Walaupun tidak
menyebabkan kematian, NS dapat
mengganggu
aktivitas
sehari-hari
pasien. Pasien NS mengalami rasa
gatal yang hebat sehingga menganggu
siklus tidur pasien. Dari laporan suatu
penelitian, pasien NS mengalami
gangguan siklus tidur pada fase nonrapid eye movement (NREM) dan
peningkatan indeks arousal (bangun
[2],[3]
tiba-tiba dari tidur).
Selain itu, pasien
NS rentan mengalami depresi karena
dari penelitian, pasien NS memiliki skor

liken

simpleks

kronik,

diagnosis,

depresi yang lebih tinggi daripada


[3]
populasi normal.
Diagnosis dan
penanganan NS yang tepat diperlukan
untuk mencegah dampak buruk yang
ditimbulkannya.
Sesuai
dengan
kompetensi dokter Indonesia, dokter
umum memiliki level kompetensi 3A
dalam penanganan NS. Lulusan dokter
mampu membuat diagnosis klinik dan
memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan yang bukan gawat darurat.
Lulusan dokter mampu menentukan
rujukan yang paling tepat bagi
penanganan
pasien
selanjutnya.
Lulusan
dokter
juga
mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari
rujukan.
Oleh
karena
itu,
cara
penegakan diagnosis dan tatalaksana
awal NS penting diketahui. Laporan
kasus ini akan membahas tentang NS
lebih lanjut, terutama dalam hal
[4]
diagnosis dan penatalaksanaan NS.
71

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

2. ILUSTRASI KASUS
2.1. Identitas Pasien
Nama
: Ny. Y
Usia
: 34 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Menikah
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Bangsa
: Indonesia
Alamat
:Kertapati,
Palembang
Sistem Pembayaran
: Askes
Kunjungan pertama ke poliklinik IKKK
RSMH, tanggal 29 Agustus 2013
2.2. Anamnesis
(Autoanamnesis
tanggal 29 Agustus 2013, pukul
12.10 WIB)
2.2.1. Keluhan Utama:
Bercak
kehitaman
yang
semakin menebal pada punggung kaki
kanan kisaran satu pekan yang lalu
2.2.2. Keluhan Tambahan:
Gatal
2.2.3. Riwayat Perjalanan Penyakit :
Kisaran 3 tahun yang lalu,
pasien
mengeluh
timbul
bercak
kemerahan pada punggung kaki kanan.
Pada awalnya bercak timbul sebesar biji
jagung dan bertambah luas ukurannya
sebesar uang logam seratus rupiah.
Bercak merah disertai gatal yang hilang
timbul. Pasien lalu menggaruk bercak
tersebut terus-menerus hingga kulit
punggung kaki kanan lecet. Pasien
sering menggaruk saat pasien tidak ada
kegiatan. Pasien tidak berobat.
Kisaran 1 tahun yang lalu,
bercak kemerahan pada punggung kaki
kanan semakin membesar ukurannya
sebesar uang logam lima ratus rupiah,
menebal dan menjadi kehitaman. Gatal
tidak dipengaruhi oleh waktu dan tidak
menjadi lebih gatal saat berkeringat.
Pasien
tidak
berobat,
hanya
mengoleskan
minyak
gandapura
(asam salisilat dan mentol) namun
keluhan gatal dan bercak merah tidak
ada perbaikan.
Kisaran 6 bulan yang lalu,
bercak kehitaman pada punggung kaki
kanan semakin menebal. Pasien
merasakan gatal hilang timbul sehingga
pasien menggaruknya hingga lecet.
Pasien mengaku hanya menggunakan
sandal saat bekerja. Pasien berobat ke
puskesmas, diberi satu macam salep

dan dua macam tablet, namun pasien


lupa nama dan warna obatnya. Keluhan
gatal dirasakan berkurang namun
bercak kehitaman masih ada.
Kisaran 1 bulan yang lalu,
bercak kehitaman di tungkai kanan
semakin menebal. Gatal dirasakan
sepanjang
waktu.
Pasien
sering
menggaruk hingga lecet. Pasien tidak
berobat. Kisaran 1 pekan yang lalu,
pasien mengeluh bercak kehitaman
semakin menebal pada punggung kaki
kanan. Gatal dirasakan terus menerus
dan menganggu aktivitas sehingga
pasien menggaruk bercak hitam sampai
berdarah. Keluhan gatal membuat
pasien sulit tidur sehingga pasien
memutuskan berobat ke Poliklinik IKKK
RSMH Palembang.
2.2.4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat bersin di pagi hari disangkal
Riwayat sesak nafas disertai mengi
disangkal
Riwayat alergi terhadap makanan
laut seperti kerang, udang, cumi-cumi
dan ikan laut tidak ada
2.2.5. Riwayat
Penyakit
Dalam
Keluarga
Riwayat alergi terhadap makanan
laut seperti kerang, udang, cumi-cumi
dan ikan laut tidak ada
Riwayat bersin di pagi hari disangkal
Riwayat sesak nafas disertai mengi
disangkal
2.2.6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien seorang ibu rumah
tangga. Pasien tinggal dengan suami
dan 2 orang anak. Suami bekerja
sebagai PNS.
Kesan: Sosioekonomi tergolong cukup.
2.3. Pemeriksaan Fisik
2.3.1. Status Generalikus
Keadaan umum : baik
Keadaan sakit : tampak sakit ringan
Kesadaran : kompos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi
: 84 x/menit, regular
Suhu
: 36,7 C
Pernapasan
: 20 x/menit, regular
Tinggi Badan : 156 cm
Berat Badan
: 60 kg
2
IMT
: 24,65 kg/m
Status gizi
: overweight
2.3.2. Keadaan Spesifik
Kepala
: tidak ada kelainan
Wajah
: simetris, deformitas (-)

72
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

Mata
:konjungtiva palpebra anemis (), sklera ikterik (-), orbital darkening (-),
lipatan infraorbital (-), injeksi silier dan
konjungtiva (-)
Hidung
: tidak ada kelainan
Telinga
: tidak ada kelainan
Mulut
: cheilitis (-), tonsil T1-T1
Leher
: lipatan leher anterior (-)
Toraks :
Jantung
: HR=84 x/menit, regular,
murmur (-), gallop (-).

Paru-paru : vesikuler normal, ronki (-),


wheezing tidak ada.
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien
tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (-),
bising usus normal
Ekstremitas superior : tidak ada kelainan
Ekstremitas inferior : lihat
status
dermatologi
Kelenjar getah bening : Tidak ada
pembesaran dan nyeri tekan pada
kelenjar getah bening submandibula,
leher, aksila dan inguinal.

2.4. Status Dermatologikus

Gambar 1. Regio Dorsum Pedis Dekstra.


Plak hiperpigmentasi, soliter, irreguler, ukuran 5 x 2 cm, batas tegas, dengan likenifikasi
sebagian ditutupi skuama kasar, putih, kasar, kering, selapis.
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan
kerokan
kulit
dengan KOH 10%. Dilakukan kerokan
kulit pada lesi di dorsum pedis dextra

dan ditambahkan KOH 10%. Preparat


diperiksa di bawah mikroskop dengan
pembesaran 40 kali.

Gambar 2. Hasil : tidak ditemukannya adanya hifa


4. DIAGNOSIS BANDING

Neurodermatitis sirkumskripta

Tinea pedis tipe hiperkeratotik

Dermatitis kontak iritan kronik ec.


minyak
gandapura
(asam
salisilat dan mentol)

Dermatitis atopik likenifikasi


4.1. Diagnosis Kerja
Neurodermatitis sirkumskripta

5. PENATALAKSANAAN
Umum :
Memberikan
informasi
kepada
pasien bahwa penyakitnya belum
diketahui
penyebab
pastinya,
namun bukan merupakan penyakit
yang menular.
Memberikan
informasi
kepada
pasien bahwa penyakitnya dapat
kambuh kembali, sehingga pasien
dianjurkan untuk segera berobat bila
terjadi kekambuhan.
73

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

Memberikan
informasi
kepada
pasien tentang pengobatan yang
akan dilakukan dan berobat secara
teratur.
Memberikan penjelasan kepada
pasien agar tidak menggaruk bercak
tersebut dan memotong kuku hingga
pendek.
Khusus :
Topikal
Krim
betametason
dipropionat
0,05% 2 x sehari dioleskan pada
bagian lesi.
Sistemik

Tablet klorfenilramin maleat 4


mg 2 x sehari per oral (pagi dan
malam hari)
5.1. Prognosis
Quo ad vitam
: bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam :dubia
bonam

ad

6. DISKUSI
Neurodermatitis
sirkumskripta
(NS) merupakan pola respons kutaneus
berupa hipertrofi epidermal yang
disebabkan oleh kebiasaan kronik
menggosok atau menggaruk kulit secara
spontan (rantai gatal-garuk-gatal) yang
ditandai secara klinis dengan penebalan
kulit disertai garis-garis kulit yang
tampak lebih jelas menyerupai kulit
[5],[6]
batang pohon.
Kasus umumnya
terjadi pada usia dewasa dengan
puncak insidens NS pada usia antara 30
hingga 50 tahun dan relatif jarang terjadi
pada anak-anak. Wanita lebih banyak
menderita NS dibandingkan dengan
[1]-[3]
pria.
Kasus NS juga dilaporan lebih
sering pada populasi Asia, terutama ras
[5],[7]
Oriental.
Dari identifikasi awal,
didapatkan pasien berjenis kelamin
perempuan, berumur 34 tahun, dan
memiliki
kebangsaan
Indonesia
(populasi Asia). Dari identifikasi lebih
lanjut, pasien pada laporan kasus
mengeluh bercak hitam yang semakin
menebal pada punggung kaki kanan.
Temuan klinis pada pasien sesuai
dengan gejala klinis pasien NS. Bercak
hitam yang menebal ini merupakan
likenifikasi. Likenifikasi terjadi akibat
hipereksitabilitas gatal abnormal dari
kulit yang mengalami likenifikasi muncul
akibat respons minimal terhadap
stimulus eksternal (umumnya garukan)

yang tidak akan mencetuskan respons


gatal pada kulit yang normal. Stimulus
ekternal awalnya umum ringan, seperti
stimulus akibat melepaskan pakaian,
membersihkan
sisa
salep,
atau
mengosokkan pakaian ke badan, lalu
berlanjut ke stimulus yang lebih berat,
seperti menggosokkan tumit atau jari
kaki ke area tubuh
tertentu dan
[7]
menggaruk area tubuh tertentu.
Menggaruk lesi akan menjadi
kebiasaan dan bertahan dalam waktu
yang cukup lama (bulanan hingga
[1]
tahunan) dan menimbulkan likenifikasi.
Lesi biasanya tunggal, namun pada
beberapa kasus, lesi dapat bilateral atau
simetris dan melibatkan lebih dari satu
[1],[3]
regio
tubuh.
Sesuai
dengan
perjalanan klinis pada kasus, lesi awal
NS berupa plak eritematosa, sedikit
edematosa, lambat laun edema dan
eritema menghilang, bagian tengah
berskuama dan menebal, likenifikasi,
dan
ekskoriasi;
sekitarnya
hiperpigmentasi atau hipopigmentasi,
[1]
batas dengan kulit normal tidak jelas.
Hiperpigmentasi dan hipopigmentasi
[3]
dijumpai pada lesi kulit kronik.
Lesi
likenifikasi
biasanya
ditemukan di skalp, tengkuk, samping
leher, lengan bagian ekstensor, pubis,
vulva, skrotum, perianal, paha bagian
medial, lutut, tungkai bawah lateral,
pergelangan kaki bagian depan, dan
punggung kaki, namun regio tubuh lain
[1]-[3],[5]-[8]
dapat juga terkena.
Predileksi
pada regio tubuh di atas disebabkan
respons khusus terhadap trauma fisik
berupa hiperplasia epidermis sehingga
kulit di daerah ini sangat sensitif
terhadap sentuhan, termasuk gesekan
[7]
dan garukan.
Pada kasus, lesi
likenifikasi dijumpai pada punggung kaki
kanan.
Kasus NS dicetuskan oleh
gesekan dan garukan akibat rasa gatal.
Faktor lingkungan yang ikut berperan
dalam mencetuskan gatal, seperti
panas, keringat, dan iritasi berhubungan
dengan
NS
anogenital.
Faktor
emosional atau psikologis juga berperan
[3]
dalam patogenesis NS.
Beberapa
pasien NS memiliki riwayat atopik atau
5,7
menderita dermatitis atopik.
Pada
kasus ini, faktor pencetus NS belum
dapat diidentifikasi, namun diperkirakan
faktor stress yang berperan dalam
patogenesis NS pada kasus.
74

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

Pasien pada laporan kasus


mengeluh
gatal sebagai keluhan
tambahan. Rasa gatal yang hebat
merupakan tanda utama NS. Pasien NS
umumnya
mengeluh
gatal
sekali
sehingga bila gatal timbul pada malam
hari, tidur pasien akan terganggu. Gatal
dapat paroksismal, kontinyu, atau
sporadik. Gosokan dan garukan dapat
terjadi, baik secara sadar maupun tidak
sadar (selama tidur).
Rasa gatal
memang tidak terus-menerus dan
biasanya pada waktu tidak sibuk. Bila
muncul, rasa gatal sulit ditahan untuk
tidak digaruk. Penderita merasa enak
bila lesi digaruk. Setelah luka, rasa gatal
akan hilang untuk sementara karena
rasa gatal tertutupi oleh rasa nyeri yang
[2],[3].[7]
timbul.
Sensasi gatal bertambah
berat saat berkeringat, cuaca panas,
dan adanya iritasi dari pakaian. Gatal
juga
memburuk
akibat
distress
psikologis. Penyebab rasa gatal masih
belum diketahui secara jelas dan dapat
3,6
terkait dengan penyakit sistemik.
Namun,
diperkirakan
rasa
gatal
berhubungan dengan neurotransmitter.
Neurotransmiter,
seperti
dopamin,
serotonin,
atau
peptida
opioid
memodulasi persepsi gatal melalui jalur
[3]
spinal descendens.
Pasien
dapat
menjalani
pemeriksaan histopatologi sebagai baku
emas
penegakan
diagnosis
NS.
Gambaran histopatologis NS berupa
berbagai derajat hiperkeratosis dengan
parakeratosis
atau
ortokeratosis,
hipergranulosis, akantosis dengan rete
ridges
memanjang
teratur,
dan
hiperplasia psoriasiformis epidermis.
Dijumpai sebukan sel radang limfosit
histiosit, dan eosinofil di sekitar
pembuluh darah dermis bagian atas,
pertambahan fibroblas, dan penebalan
kolagen dengan serat kolagen yang
[1]-[3],[5]-[8]
kasar dan alur vertikal.
Namun,
diagnosis
NS
umumnya
cukup
ditegakkan berdasarkan gambaran klinis
[1]
yang khas. Diagnosis NS ditegakkan
berdasarkan gambaran klinis pada
daerah predileksi adanya likenifikasi,
skuamasi yang umumnya unilateral
pada orang dewasa dengan adanya
[2]
faktor emosi/psikologis.
Diagnosis banding yang perlu
dipertimbangkan adalah tinea pedis tipe
hiperkeratotik, dermatitis kontak iritan
kronik, dan dermatitis atopik likenifikasi

karena dapat menimbulkan gambaran


[1],[2]
lesi likenifikasi dan rasa gatal.
Lesi
likenifikasi
simetris
mengarahkan
diagnosis pada likenifikasi sekunder
dermatitis kontak. Infeksi kronik T.
rubrum pada paha atau telapak kaki
dapat
menunjukkan
gambaran
likenifikasi yang mirip dengan NS,
namun
memiliki
respons
terapi
griseofulvin
yang
lebih
baik
[5]
dibandingkan dengan tranquillizer.
Secara umum, penatalaksanaan
pada penderita berupa edukasi, terapi
sistemik, dan terapi topikal. Pengobatan
ditujukan untuk mengidentifikasi dan
menangani faktor penyebab gatal
sehingga dapat memutus rantai gatal[1],[3]
garuk-gatal.
Edukasi pada pasien
berupa penjelasan kepada penderita
bahwa garukan akan memperburuk
keadaan penyakitnya sehingga harus
dihindari. Pasien dianjurkan untuk
memotong kuku pendek agar kalaupun
terpasa menggaruk, tekanan garukan
[2]
akan berkurang. Terapi lini pertama
untuk
mengontrol
gatal
adalah
pemberian kortikosteroid topikal poten
(lebih baik bila dilakukan secara oklusif).
Oklusi yang umumnya digunakan,
khususnya pada kasus berat adalah
Unna boot (dressing pasta zink oksida),
kombinasi tar 5%, pasta zink oksida,
dan glukokortikoid kelas II serta oklusi
politen. Dressing ini dapat bertahan
hingga 1 minggu. Plester adhesif berisi
steroid (plester Haelan) cukup efektif
[7],[8]
dan dapat bertahan selama 24 jam.
Kortikosteroid topikal potensi tinggi,
seperti krim/salep klobetasol propionate,
diflorason diasetat, atau betametason
dipropionat harus segera diaplikasikan,
namun harus diwaspadai adanya atrofi
akibat steroid dan diganti dengan
kortikosteroid topikal potensi sedang[8]
rendah ketika lesi mulai menyembuh.
Kortikosteroid
intralesi,
misalnya
triamsinolon asetonid 5% atau 10 mg/ml
intralesi dengan berbagai konsentrasi
dapat diberikan tergantung pada
[2],[3]
ketebalan lesi.
Untuk lesi sangat
kronik, balutan pasta tar bermanfaat,
[5]
namun perlu diganti setiap 5-7 hari.
Pemberian injeksi toksin Botulinum tipe
A selama 2-4 minggu dilaporkan
[8]
bermanfaat.
Inhibitor
kalsineurin
[2]
topikal juga dilaporkan bermanfaat.
Bila dijumpai adanya bukti infeksi
sekunder, antibiotik topikal dapat
75

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

[5]

diberikan selama beberapa hari.


Emolien dapat diberikan sebagai terapi
[3]
adjuvan.
Untuk mengurangi rasa gatal,
dapat diberikan antipruritus berupa
antihistamin golongan sedatif untuk
gatal (hidroksizin oral 25-50 gram,
prometazin, dan difenhidramin) atau
antidepresan trisiklik, seperti doksepin
pada malam hari dan serotonin reuptake
inhibitor untuk gatal pada siang hari atau
pada pasien dengan kelainan obsesif[1],[2],[7]
kompulsif.
Pasien juga dapat
diberikan antipruritus topikal, seperti
mentol, fenol, krim doksepin 5%,
kapsaisin,
pimekrolimus,
dan
[2],[5],[8]
pramoksin.
Prognosis
bergantung
pada
penyebab pruritus (penyakit yang
mendasari) dan status psikologik
[1]
penderita. Penyakit umumnya berjalan
kronis dengan lesi yang persisten atau
rekurens. Eksaserbasi terjadi karena
[2]
adanya stress emosional.
Pruritus
memainkan
peran
sentral
dalam
timbulnya pola reaksi kulit berupa
likenifikasi dan prurigo nodularis.
Pruritus ini dapat disebabkan oleh
adanya penyakit yang mendasari,
misalnya gagal ginjal kronis, obstruksi

saluran empedu, limfoma Hodgkin,


hipertiroidisme, penyakit kulit, seperti
dermatitis atopik, dermatitis kontak
alergik, gigitan serangga dan aspek
[1],[3],[5]
psikologik dengan tekanan emosi.
Pasien NS yang juga mengalami
gangguan obsesif-kompulsif memiliki
[3]
prognosis yang lebih buruk.
7. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di
atas, dapat disimpulkan bahwa kunci
dari manajemen NS adalah diagnosis
dan tatalaksana yang tepat. Diagnosis
NS ditegakkan berdasarkan gambaran
klinis pada daerah predileksi adanya
likenifikasi, skuamasi yang umumnya
unilateral pada orang dewasa dengan
adanya
faktor
emosi/psikologis.
Pengobatan ditujukan untuk memutus
rantau
gatal-garuk-gatal
melalui
pencarian faktor pencetus. Terapi lini
pertama untuk mengontrol gatal adalah
pemberian kortikosteroid topikal poten
dan antipruritus.

Tabel 1. Diagnosis Banding Neurodermatitis Sirkumskripta


Neurodermatitis
Dermatitis
Dermatitis
,[2]
3],[4],[5]
Sirkumskripta
Atopik[
Kontak
Iritan
[6],[7]
Kronik
Epidemiologi Umumnya
Dapat dijumpai Dapat
terjadi
mengenai dewasa, pada
seluruh pada
setiap
terutama pada usia kelompok,
orang,
namun
30-50 tahun, wanita namun
onset lebih
berisiko
lebih sering terkena awal sejak masa pada
orangdibandingkan
infant (2 bulan-2 orang
dengan
dengan laki-laki
tahun)
pekerjaan
tertentu
Etiologi
Garukan
dan Alergen
Kontak dengan
gosokan
karena
bahan iritan
perasaan
gatal
yang hebat
Faktor
Panas,
keringat, Predisposisi
Riwayat atopi
Predisposisi
iritasi, emosi, dan genetik,
Temperatur yang
psikologis,
iritasi kerusakan barier rendah
pakaian
kulit,
alergi
makanan, alergi
saluran napas
Pembeda

Riwayat
Atopi

(-/+)

(+)

(-/+)

Tinea Pedis
Tipe
[8],[9]
Keratotik
Dapat
dijumpai
pada
seluruh
kelompok
usia,
namun
jarang
ditemukan pada
anak-anak

Infeksi jamur T.
rubrum

Pemakaian
sepatu tertutup,
menggunakan
fasilitas
umum
bersamaan,
hiperhidrosis,
sela jari yang
sempit
(-)

76
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

Predileksi

Lesi Kulit

Pemeriksaan
penunjang
Kerokan
kulit dengan
KOH 10%
Patch test
Dermatografi
sme putih

Scalp, leher bagian


belakang,
pergelangan kaki,
ekstremitas bagian
ekstensor,
labia
mayora, skrotum
Likenifikasi,
bersisik,
erosi,
ekskoriasi.
Biasa
hanya ditemukan 1
plak, tapi dapat
juga
lebih
dan
mengenai
sisi
lainnya

Fosa kubiti, fosa


poplitea,
dan
leher belakang

Kulit yang kontak


dengan zat iritan

Telapak
kaki,
punggung kaki,
aspek medial dan
lateral kaki

Likenifikasi,
skuama,
hipo
atau
hiperpigmentasi,
erosi, ekskoriasi,
krusta.

Beberapa bercak
kering lokalisata,
eritema,
hiperkeratosis,da
n fisura

Bercak
atau
skuamasi difus,
dapat
disertai
likenifikasi

(-)

(-)

(-)

(+)

(-)
(-)

(-)
(+)

(+)
(-)

(-)
(-)

Tabel 2. Potensi Kortikosteroid Berdasarkan Potensinya


Nama Generik

Sediaan

Nama Dagang

Kelas 1-Superpoten
Betametason
dipropionat
0,05%
1,2
dengan vehikulum teroptimalisasi

1,2

Diflorason diasetat 0,05%


Fluokinonid 0,1% dengan vehikulum
1,2
teroptimalisasi
Flurandrenolid 4 mg/cm

2 1,2
1,2

Halobetasol propionat 0,05%


Kelas 2-Poten (Potensi Tinggi)
Amsinonid 0,1%

1,2

Betametason dipropionat 0,05%


Desoksimetason 0,25%
Desoksimetason 0,5%

1,2

1,2

Diflorason diasetat 0,05%


Fluokinonid 0,05%
Halsinonid 0,1%

1,2

1,2

1,2

1,2

Mometason furoat 0,1%

1,2

Triamsinolon asetonid 0,5%

Gel/losio/salep

Diprolene

Losio/spray

Clobex

Foam

Olux

Krim/krim emolien/gel/salep

Temovate

Salep

Psorcon

Krim

Vanos

Tape

Cordran

Krim/salep

Ultravate

Salep

Cyclocort

Krim

Diprolene AF

Salep

Diprosone

Krim/salep

Topicort

Gel

Topicort

Salep

Florone

Salep

Maxiflor

Krim/gel/salep

Lidex

Krim/solusio/salep

Halog

Salep

Elocon

Salep
77

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

Kelas 3-Poten, upper mid-strength (Potensi tinggi)


Amsinonid 0,1%

1,2

Betametason dipropionat 0,05%

1,2

Krim/solusio

Cyclocort

Krim

Diprosone
Florone

Betametason valerat 0,1%

1,2

Krim

Maxiflor
Psorcon E

Fluosinonid 0,05%

1,2

Krim

Lidex E

1,2

Salep

Cutivate

Triamsinolon asetonid 0,1%

Salep

Triamsinolon asetonid 0,5%

Krim

Flutikason propionat 0,05%

Kelas 4-Mid-strength (Potensi Menengah)


Betametason valerat 0,12%
Klokortolon pivalat 0,1%
Desoksimetason 0,05%

1,2

1,2

1,2

Fluosinolon asetonid 0,025%


Flurandrenolid 0,05%

1,2

Hidrokortison probutat 0,1%


Hidrokortison valerat 0,1%
Mometason furoat 0,1%
Prednikarbat 0,1%

1,2

1,2

1,2

1,2

1,2

Triamsinolon asetonid 0,1%

Triamsinolon asetonid 0,2%

Foam

Luxiq

Krim

Cloderm

Krim

Topicort LP

Salep

Synalar

Salep

Cordran

Krim

Pandel

Salep

Westcort

Krim/losio

Elocon

Salep

Dermatop

Salep

Kenalog

Krim

Kenalog

Spray

Kenalog

Kelas 5-Lower mid-stream (Potensi Menengah)


Betametason dipropionat 0,05%
Betametason valerat 0,1%

1,2

Fluosinolon asetonid 0,025%


Flutikason propionat 0,05%
Hidrokortison butirat 0,1%

1,2

1,2

1,2

Hidrokortison valerat 0,2%


Prednikarbat 0,1%

1,2

1,2

1,2

Triamsinolon asetonid 0,1%

Losio

Diprosone

Krim/losio

Valisone

Krim

Synalar

Krim

Cutivate

Lipokrim

Locoid

Krim

Westcort

Krim emolien

Dermatop

Krim/losio

Kenalog

Kelas 6-Mild strength (Potensi Rendah)


Alklometason dipropionat 0,05%
Betametason valerat 0,1%
Desonid 0,05%

1,2

1,2

1,2

Salep/krim

Aclovate

Losio
Gel/salep/krim/losio/foam

DesOwen
Tridesilon

Fluosinolon asetonid 0,01%

1,2

Krim/solusio

Synalar

Minyak

DermaSmoothe/FS

78
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

Triamsinolon asetonid 0,1%

Triamsinolon asetonid 0,025%

Krim
2

Krim/losio

Kelas 7-Least potent (Potensi Rendah)


Deksametason,
flumetason,
hidrokortison
Metilprednisolon, prednisone
REFERENSI
1. Djuanda
S,
Sularsito
SA.
Neurodermatitis
sirkumskripta.
Dalam: Djuanda A, Hamzah M,
Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Balai
Penerbit
Fakultas
Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009. h. 147148.
2. Kartowigno
S.
Neurodermatitis
sirkumskripta.
Dalam:
Sepuluh
Besar Kelompok Penyakit Kulit.
Edisi 2. Palembang: Unsri Press;
2012. h. 37-39.

Aristocort

1,2

5.

6.

7.
3. Burgin S. Lichen Simplex Chronicus.
In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
editors. Fitzpatricks Dermatology in
th
General Medicine. 7 Edition. New
York: Mc-Graw Hill; 2008. p. 160162.
4. Konsil Kedokteran Indonesia. Liken
simpleks
kronik/neurodermatitis
sirkumskripta. Dalam: Standar

8.

Kompetensi Dokter Indonesia. Edisi


2. Jakarta: Konsil Kedokteran
Indonesia; 2012. h. 31,55.
Holden CA, Jones JB. Lichen
simplex. In: Burns T, Breathnach S,
Cox N, Griffiths C, editor. Rooks
th
Textbook of Dermatology. 7 Ed.
Oxford: Blackwell Publishing; 2004.
p. 17.41-17.43.
Weisshaar
E,
Fleischer
AB,
Bernhard JD, Cropley TG. Lichen
Simplex Chronicus. In: Bolognia JL,
Jorizzo JL, Schaffer JV, editors.
rd
Dermatology. 3
Ed. London:
Elsevier Saunder; 2009. p.115-116.
Wolff K, Johnson RA. Lichen
Simplex Chronicus. In: Fitzpatricks
Color Atlas and Synopsis of Clinical
th
Dermatology. 6 Ed. New York: McGraw Hill; 2009. p. 42-43.
James WD, Elston DM, Berger TG.
Lichen Simplex Chronicus. In:
Andrews Disease of the Skin:
th
Clinical Dermatology. 11
Ed.
London: Elsevier Saunder; 2006.
p.52.

79
JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

Anda mungkin juga menyukai