Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keselamatan pasien di rumah sakit adalah suatu sistem
rumah sakit dalam membuat asuhan pasien lebih aman yang
meliputi asesmen risiko, identifikasi dan  pengelolaan hal yang
berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak  mengambil tindakan yang
seharusnya diambil (Kemenkes RI, 2011).
Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk
juga untuk rumah sakit. Ada enam sasaran keselamatan pasien di
rumah sakit yaitu ketepatan identifikasi, peningkatan komunikasi
efektif, peningkatan keamanan obat yang  perlu diwaspadai,
kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi,
pengurangan resiko infeksi terkait pelayanann kesehatan
pengurangan resiko  pasien jatuh (Depkes, 2010).
mutu pelayanan sebagai hasil dari sebuah sistem dalam
organisasi  pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh komponen
struktur dan proses, organisasi (struktur dan budaya), manajemen,
sumber daya manusia, teknologi, peralatan, finansial adalah
komponen dari struktur & proses pelayanan, prosedur tindakan,
sistem informasi, sistem administrasi, sistem pengendalian,
pedoman merupakan komponen proses. Keselamatan pasien
merupakan hasil interaksi antara komponen struktur dan proses.
Mutu pelayanan rumah sakit dapat dilihat dari segi aspek-aspek
sebagai berikut : aspek klinis (pelayanan dokter, perawat dan
terkait teknis medis), aspek efisiensi dan efektifitas pelayanan,
keselamatan pasien dan kepuasan pasien (Donabedian 1988, dalam
Cahyono, 2011).
Konsep manajemen risiko mulai diperkenalkan di bidang
keselamatan dan kesehatan kerja pada era tahun 1980'an setelah
berkembangnya teori accident model dan juga semakin maraknya
isu lingkungan dan kesehatan & ada dasarnya manajemen risiko
bersifat pencegahan terhadap terjadinya kerugian maupun accident
(Tantri, 2016).
Rumah sakit yang menerapkan prinsip keselamatan pasien
berkewajiban untuk mengidentifikasi dan mengendalikan seluruh
risiko strategis dan operasional, manajemen risiko juga
berhubungan erat dengan pelaksanaan keselamatan pasien rumah
sakit dan berdampak kepada pencapaian sasaran mutu rumah sakit
(Fachmi, 2010).
Berdasarkan latar belakang di atas, dan mengingat
pentingnya manajemen resiko. Maka, oleh karena itu kelompok
akan membahas manajemen risiko khususnya tentang bagaimana
penanggulangan manajemen risiko keselamatan pasien (patient
safety) di rumah sakit.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Manajemen Resiko
Resiko adalah kemungkinan terjadinya sesuatu (SDM,
finansial, hukum, management, peristiwa alam, kegiatan operasi,
masyarakat, politik, teknologi) yang akan berdampak (harta,
komunitas, biaya, lingkungan, manusia, kinerja, reputasi,
pendapatan, pelayanan) pada tujuan (strategi, operasional,
pelaporan, dan  pelayanan) (Ristekdikti, 2015).
Manajemen Risiko (MR), secara konseptual merupakan upaya
pengendalian dan  pencegahan pro aktif berdasarkan pengalaman
agar permasalahan serupa tidak  terulang lagi, manajemen risiko
rumah sakit juga merupakan kegiatan berupa identifikasi dan
evaluasi untuk mengurangi risiko cedera dan kerugian pada
pasien, karyawan rumah sakit, pengunjung dan organisasinya
sendiri (The Joint Commission on Accreditation of Healthcare
Organigations/ JCHAO).
Manajemen risiko adalah suatu pendekatan terstruktur/
metodologi dalam mengelola ketidakpastian yang berkaitan
dengan ancaman; suatu rangkaian aktivitas manusia
termasuk : penilaian risiko, pengembangan strategi untuk
mengelolanya dan mitigasi risiko dengan menggunakan
pemberdayaan/ pengelolaan sumberdaya. Strategi yang dapat
diambil antara lain adalah memindahkan risiko kepada pihak
lain, menghindari risiko, mengurangi efek negatifrisiko, dan
menampung sebagian atau semua konsekuensi risiko tertentu.
Risiko adalah peluang terjadinya sesuatu yang akan
berdampak pada tujuan. Jenis-jenis risiko dalam pelayanan rumah
sakit adalah :
·Corporate risk : kejadian yang akan memberikan dampak
negativeterhadap tujuan organisasi.
· Non-clinical (physical) risk: bahaya potensial akibat
lingkungan
·Clinical risk : bahaya potensial akibat pelayanan klinis
·Financial risk: risiko yang secara negatif akanberdampak pada
kemampuan organisasi dalam mencapai tujuan.

B. Proses Manajemen Resiko

Konsep manajemen risiko mulai diperkenalkan di bidang


Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada era tahun 1980-an
setelah berkembangnya teori accident model  (investigasi
kecelakaan) Internaltional Loss Control Institute (ILCI).
Manajemen Risiko K3 merupakan suatu usaha atau proses untuk
mengelola risiko agar tidak terjadi hal yang tidak diinginan atau
kecelakaan secara komprehensif (logis), terencana dan terstruktur.
Hal ini memungkinkan manajemen untuk meningkatkan hasil
dengan cara mengidentifikasi dan menganalisis risiko yang ada
dalam suatu proyek. Pendekatan manajemen risiko ini dapat
meningkatkan perbaikan berkelanjutan dalam suatu proyek
kedepannya. Penerapan Manajemen Risiko K3 menjadi suatu
keuntuhan dari sistem manajemen suatu perusahaan/organisasi.
Proses ini dapat diterapkan di semua tingkatan kegiatan, jabatan,
proyek, produk ataupun asset. Manajemen Risiko akan
memberikan dampak yang optimal jika diterapkan sejak awal
kegiatan. Meskipun demikian, Manajemen Risiko sering dilakukan
pada tahap pelaksanaan kegiatan. Manfaat penerapan Manajemen
Risiko K3 ini selain mengurangi peluang kecelakaan juga
bermanfaat untuk memberikan pemahaman kepada semua pihak
mengenai potensi bahaya yang ada pada setiap kegiatan/aktifitas di
suatu proyek perusahaan, sehingga dapat meningkatkan
pengetahuan serta kewaspadaan dan kesadaran akan keselamatan
kerja. Dalam Manajemen Risiko K3 dilakukan identifikasi risiko,
segala aspek yang dapat menimbulkan kecelakaan saat bekerja
dipertimbangkan, sehingga nantinya akan didapatkan daftar risiko
dari kejadian-kejadian yang dapat berdampak pada setiap elemen
kegiatan. Analisis Risiko dilakukan untuk mengetahui penyebab
kecelakaan serta kerugian apa saja yang diterima pada saat
terjadinya kecelakaan serta dampak dan kemungkinan kedepannya.
Evaluasi Risiko perlu dilakukan untuk membandingkan tingkat
risiko hasil analisis dengan kriteria standar yang digunakan
perusahaan/organisasi. Setelah didapatkan semua gambaran risiko
maka dilakukan Pengendalian Risiko untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Pengendalian risiko berperan dalam
meminimalisir/ mengurangi tingkat risiko yang ada sampai tingkat
terendah atau sampai tingkatan yang dapat ditolerir. Cara
pengendalian risiko dilakukan dengan menghilangkan sumber
bahaya (hazard), mengganti proses, mengganti input dengan yang
lebih rendah risikonya. Selain itu mengurangi risiko dari bahaya
dapat dilakukan dengan metode rekayasa teknik pada alat kerja,
melakukan pembuatan prosedur serta aturan, dan menggunakan
alat perlindungan diri sesuai dengan jenis pekerjaan yang
dilakukan.
Proses manajemen resiko terdiri dari :
1. Identifikasi resiko Identifikasi resiko adalah proses
menemukan, mengenal dan mendeskripsikan resiko.
Identifikasi resiko terbagi menjadi dua, yaitu identifikasi
resiko proaktif dan identifikasi resiko reaktif. Identifikasi
risiko proaktif adalah kegiatan identifikasi yang dilakukan
dengan cara proaktif mencari risiko yang berpotensi
menghalangi rumah sakit mencapai tujuannya. Metode
yang dapat dilakukan diantaranya: pendapat ahli, belajar
dari pengalaman rumah sakit lain, survey
- Identifikasi risiko reaktif adalah kegiatan identifikasi
yang dilakukan setelah risiko muncul dan
bermanifestasi dalam bentuk insiden/gangguan.
Metoda yang dipakai biasanya adalah melalui
pelaporan insiden.
- Bagi rumah sakit, cara paling mudah dan terstruktur
untuk melakukan identifikasi adalah lewat setiap unit.
Setiap unit diminta untuk mengidentifikasi risikonya
masing-masing. Setelah terkumpul, seluruh data
identifikasi itu dikumpulkan menjadi satu dan menjadi
identifikasi risiko rumah sakit.
2. Analisa Risiko Analisa risiko adalah proses untuk
memahami sifat risiko dan menentukan peringkat risiko.
Analisa risiko dilakukan dengan cara menilai seberapa
sering peluang risiko itu muncul; serta berat ringannya
dampak yang ditimbulkan. Analisa peluang dan dampak
ini paling mudah jika dilakukan dengan cara kuantitatif.
3. Evaluasi Risiko Evaluasi risiko adalah proses
membandingkan antara hasil analisa risiko dengan kriteria
risiko untuk menentukan apakah risiko dan/atau besarnya
dapat diterima atau ditoleransi. Dengan evaluasi risiko ini,
setiap risiko dikelola oleh orang yang bertanggung jawab
sesuai dengan peringkatnya.
4. Penanganan Risiko Penanganan risiko adalah proses untuk
memodifikasi risiko. Bentuk-bentuk penanganan risiko
diantaranya:
- Menghindari risiko dengan memutuskan untuk tidak
memulai atau melanjutkan aktivitas yang
menimbulkan risiko;
- Mengambil atau meningkatkan risiko untuk mendapat
peluang (lebih baik, lebih menguntungkan);
- Menghilangkan sumber risiko; Mengubah
kemungkinan;
- Mengubah konsekuensi; Berbagi risiko dengan pihak
lain (termasuk kontrak dan pembiayaan risiko);
- Mempertahankan risiko dengan informasi pilihan.
5. Pengawasan (Monitor) dan Tinjauan (Review)
- Pengawasan dan tinjauan memang merupakan kegiatan
yang umum dilakukan oleh organisasi manapun. Alat
bantu itu adalah Risk Register (daftar risiko). Risk
Register adalah alat manajemen yang memungkinkan
suatu organisasi memahami profil resiko secara
menyeluruh, ini merupakan sebuah tempat
penyimpanan untuk semua informasi resiko.
C. Pentingnya Manajemen Resiko
Patient safety (keselamatan pasien) adalah pasien bebas dari
harm (cedera) yang termasuk didalamnya adalah penyakit, cedera
fisik, psikologis, sosial, penderitaan, cacat, kematian, dan lain-lain
yang seharusnya tidak terjadi atau cedera yang potensial, terkait
dengan pelayanan kesehatan (KKP-RS, 2007). Keselamatan pasien
(patient safety) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah
sakit membuat asuhan pasien lebih aman (DEPKES RI 2006).
Sistem tersebut meliputi penilaian risiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan
dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya risiko.
D. Hierarki Pengendalian Resiko
Pada kegiatan pengkajian resiko (risk assesment), hirarki
pengendalian (hierarchy of control) merupakan salah satu hal yang
sangat diperhatikan. Pemilihan hirarki pengendalian memberikan
manfaat secara efektifitas dan efesiensi sehingga resiko menurun
dan menjadi resiko yang bisa diterima (acceptable risk) bagi suatu
organisasi. Secara efektifitas, hirarki kontrol pertama diyakini
memberikan efektifitas yang lebih tinggi dibandingkan hirarki
yang kedua.
Hirarki pengendalian ini memiliki dua dasar pemikiran dalam
menurunkan resiko yaitu melaui menurunkan probabilitas
kecelakaan atau paparan serta menurunkan tingkat keparahan suatu
kecelakaan atau paparan.
Pada ANSI Z10: 2005, hirarki pengendalian dalam sistem
manajemen  keselamatan, kesehatan kerja antara lain:
1. Eliminasi.
Hirarki teratas yaitu eliminasi/menghilangkan bahaya
dilakukan pada saat desain, tujuannya adalah untuk
menghilangkan kemungkinan kesalahan manusia dalam
menjalankan suatu sistem karena adanya kekurangan pada
desain. Penghilangan bahaya merupakan metode yang paling
efektif sehingga tidak hanya mengandalkan prilaku pekerja
dalam menghindari resiko, namun demikian, penghapusan
benar-benar terhadap bahaya tidak selalu praktis dan ekonomis.
Contoh-contoh eliminasi bahaya yang dapat dilakukan
misalnya: bahaya jatuh, bahaya ergonomi, bahaya ruang
terbatas, bahaya bising, bahaya kimia.
2. Substitusi
Metode pengendalian ini bertujuan untuk mengganti
bahan, proses, operasi ataupun peralatan dari yang
berbahaya menjadi lebih tidak berbahaya. Dengan
pengendalian ini menurunkan bahaya dan resiko minimal
melalui disain sistem ataupun desain ulang. Beberapa
contoh aplikasi substitusi misalnya: Sistem otomatisasi
pada mesin untuk mengurangi interaksi mesin-mesin
berbahaya dengan operator, menggunakan bahan pembersih
kimia yang kurang berbahaya, mengurangi kecepatan,
kekuatan serta arus listrik, mengganti bahan baku padat
yang menimbulkan debu menjadi bahan yang cair atau
basah.
3. Pengendalian tehnik/engineering control
Pengendalian ini dilakukan bertujuan untuk
memisahkan bahaya dengan pekerja serta untuk mencegah
terjadinya kesalahan manusia. Pengendalian ini terpasang
dalam suatu unit sistem mesin atau peralatan.
Contoh-contoh implementasi metode ini misal adalah
adanya penutup mesin/machine guard, circuit breaker,
interlock system, start-up alarm, ventilation system, sensor,
sound enclosure.
4. Sistem peringatan/warning system
Adalah pengendian bahaya yang dilakukan dengan
memberikan peringatan, instruksi, tanda, label yang akan
membuat orang waspada akan adanya bahaya dilokasi
tersebut.  Sangatlah penting bagi semua orang mengetahui
dan memperhatikan tanda-tanda peringatan yang ada
dilokasi kerja sehingga mereka dapat mengantisipasi
adanya bahaya yang akan memberikan dampak kepadanya.
Aplikasi di dunia industri untuk pengendalian jenis ini
antara lain berupa alarm system, detektor asap, tanda
peringatan (penggunaan APD spesifik, jalur evakuasi, area
listrik tegangan tinggi, dll).
5. Pengendalian administratif/ administratif control
Kontrol administratif ditujukan pengandalian dari
sisi orang yang akan melakukan pekerjaan, dengan
dikendalikan metode kerja diharapkan orang akan
mematuhi, memiliki kemampuan dan keahlian cukup untuk
menyelesaikan pekerjaan secara aman.
Jenis pengendalian ini antara lain seleksi karyawan, adanya
standar operasi baku (SOP), pelatihan, pengawasan,
modifikasi prilaku, jadwal kerja, rotasi kerja, pemeliharaan,
manajemen perubahan, jadwal istirahat, investigasi dll.
6. Alat pelindung diri
Pemilihan dan penggunaan alat pelindung diri
merupakan merupakan hal yang paling tidak efektif dalam
pengendalian bahaya,dan APD hanya berfungsi untuk
mengurangi seriko dari dampak bahaya. Karena sifatnya
hanya mengurangi, perlu dihindari ketergantungan hanya
menggandalkan alat pelindung diri dalam menyelesaikan
setiap pekerjaan.
Alat pelindung diri Mandatory adalah antara lain: Topi
keselamtan (Helmet), kacamata keselamatan, Masker,
Sarung tangan, earplug, Pakaian (Uniform) dan Sepatu
Keselamatan. Dan APD yang lain yang dibutuhkan untuk
kondisi khusus, yang membutuhkan perlindungan lebih
misalnya: faceshield, respirator, SCBA (Self Content
Breathing Aparatus),dll.
Pemeliharaan dan pelatihan menggunakan alat
pelindung diripun sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
efektifitas manfaat dari alat tersebut.
Dalam aplikasi pengendalian bahaya, selain kita berfokus
pada hirarkinya tentunya dipikirkan pula kombinasi
beberapa pengendalian lainnya agar efektifitasnya tinggi
sehingga bahaya dan resiko yang ada semakin kecil untuk
menimbulkan kecelakaan. Sebagi misal adanya adanya unit
mesin baru yang sebelumnya memiliki kebisingan 100 dBA
dilberikan enclosure  (dengan metode engineering control)
sehingga memiliki kebisingan 90 dBA, selain itu
ditambahkan pula safety sign dilokasi kerja, adanya
preventive maintenance untuk menjaga keandalaann mesin
dan kebisingan terjaga, pengukuran kebisingan secara
berkala, diberikan pelatihan dan penggunaan earplug yang
sesuai.

E. Manajemen Resiko K3 di dalam gedung

F. Manajemen Resiko K3 di luar gedung


Suatu asas yang rasional untuk manajemen keselamatan dan
kecelakaan kerja harus mencakup kenyataan bahwa baik perencanaan
maupun keputusan-keputusan manajerial dan organisasi
keseluruhannya tidak terlepas dari manusia dan lingkungan kerjanya.
Manajemen keselamatan dan kesehatan kerja pada dasarnya mencari
dan mengungkapkan kelemahan operasional yang memungkinkan
terjadinya kecelakaan.
Faktor resiko K3 diluar gedung RS :
1. Ruang bangunan dan halaman : semua ruang/unit dan halaman
yang ada dalam batas pagar RS (bangunan fisik dan
kelengkapannya ) yang dipergunakan untuk berbagai keperluan dan
kegiatan RS.
2. Lingkungan bangunan RS harus mempunyai batas yang jelas,
dilengkapi dengan pagar yang kuat dan tidak memungkinkan orang
atau binatang peliharaan keluar masuk dengan bebas.
3. Lingkungan bangunan RS harus bebas dari banjir, jika berlokasi di
daerah rawan banjir harus menyediakan fasilitas/teknologi untuk
mengatasinya.
4. Lingkungan RS harus bebas dari asap rokok, tidak berdebu, tidak
becek, atau tidak terdapat genangan air, dan dibuat landai menuju
ke saluran terbuka atau tertutup, tersedia lubang penerima air
masuk dan disesuiakan dengan luas halaman.
5. Pencahayaan : jalur pejalan kaki harus cukup terang, lingkungan
bangunan RS harus dilengkapi penerangan dengan intensitas
cahaya yang cukup terutama pada area dengan bayangan kuat dan
yang menghadap cahaya yang menyilaukan
6. Kebisingan : terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki sehingga
mengganggu atau membahayakan kesehatan. Dengan menanam
pohon (green belt), meninggikan tembok dan meninggikan tanah
(bukit buatan) yang berfungsi untuk penyekatan/ penyerapan bising
7. Kebersihan : halaman bebas dari bahaya dan risiko minimum untuk
terjadinya infeksi silang, masalah kesehatan dan keselamatan kerja
8. Saluran air limbah domestic dan limbah medis harus tertutup dan
terpisah, masing-masing dihubungkan langsung dengan instalasi
pengolahan air limbah.
9. Luas lahan bangunan dan halaman harus disesuaikan dengan luas
lahan keseluruhan, sehingga tesedia tempat parkir yang memadai
dan dilengkapi dengan rambu parkir
10. Di tempat parkir, halaman, ruang tunggu dan tempattempat tertentu
yang menghasilkan sampah harus disediakan tempat sampah
11. Lingkungan, ruang, dan bangunan RS harus selalu dalam keadaan
bersih dan tersedia fasilitas sanitasi secara kualitas dan kuantitas
yang memenuhi persyaratan kesehatan sehingga tidak
memungkinkan sebagai tempat berenang dan berkembang biaknya
serangga, binatang pengerat, dan binatang pengganggu lainnya.
12. Jalur lalulintas pejalan kaki dan jalur kendaraan harus dipisahkan.
Jalur pejalan kaki :lebar, tidak licin, mengakomodasi penyandang
cacat, memiliki rambu atau marka yang jelas, bebas penghalang
dan memiliki rel pemandu Jalur kendaraan : cukup lebar,
konstruksi kuat, tidak berlubang, drainase baik, memiliki pembatas
kecepatan (polisi tidur),marka jalan jelas, memiliki tanda petunjuk
tinggi atau lebar maksimum, memungkinkan titik perlintasan dan
parkir, menyediakan penyebrangan bagi pejalan kaki
13. Ketetapan yang diatur oleh the environment protection act 1990
mendefenisikan :
- Polutan : limbah padat dibuang ke tanah,limbah cair
dibuang ke tanah atau saluran air, dibuang ke atmosfir,
bising dalam komunitas masyarakat
- Limbah terkendali : limbah rumah tangga, limbah
industri, limbah usaha komersial
- Limbah khusus : limbah terkendali yang berbahaya
sehingga membutuhkan prosedur pembuangan khusus
14. Kriteria limbah berbahaya
- Dapat menyala/mudah menyala
- Iritan
- Berbahaya
- Beracun
- Karsinogenik
- Korosif
- Produk obat-obatan yang hanya diresepkan
BAB III

Kesimpulan dan Saran

A. Keseimpulan

Anda mungkin juga menyukai