Anda di halaman 1dari 6

A.

Pengertian Riba Dan Sejarah Riba


1. Pengertian Riba
Riba secara etimologi bermakna ziyadah (tambahan). Secara liguistik,
riba mempunyai arti tumbuh dan membesar. Adapun secara
terminologi, terdapat eberapa definisi riba dari para ulama, diantaranya
sebagai berikut:
a. Imam Sarakhsi dari Mazab hanafi mendefinisikan riba sebagai
tabahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya
iwadh (padanan) yang dibenarkan oleh syariat atas penambahan
tersebut.
b. Imam nawawi mendefinisikan riba sebagai penambahan atas
harta pokok karena adanya unsur waktu.
2. Sejarah Riba
Jauh sebelum Islam datang, riba telah dikenal di kalangan ilmuan dan
pelaku ekonom, bahkan pendapat negatif telah pula ditemukan. Daam
bentuk sederhana, riba adalah kegiatan ekonomi yang mengambil
bentuk pembungaan uang.
Palato, seorang filsuf Yunani (427 – 327 SM), termasuk orang yag
mengutuk pembungaan uang. Dalam literatur Barat, riba disebut unsury
atau interest. Sikap yang sama ditunjukaan oleh Salon peletak dasar
Undang – Undang Athena. Yang uga dikenal sebagai seorang yang
bjak pada waktu itu.
Bukan hanya Islam yang mengutuk praktik riba, agama Yahudi dan
Nasrani juga mengutuk pembungaan uang. Bahkan, kalangan anggota
masyarakat Jahiliyah pun ada yang memandang riba sebagitindakan
tercela.
Riba juga dipraktikkan orang dibeberapa kota Arab pada masa
Jahiliyah. Oleh karena itu, disebut juga riba jahiliyah. Formulasi riba
jahiliyah adalah transaksi pinjam, meminjam dengan satu perjanjian,
peminjam bersedia mengembalikan jumlah pinjaman pada waktu yang
telah disepakati berikut tambahan. Pada saat jatuh tempo, pemberi
pinjaman (kreditur) meminta jumlah pinjaman yang belum diberikan
kepada peminjam (debitur). Jika debitur belum sanggup membayar,
kreditur memberikan tenggang waktu dengan syarat debitur membayar
sejumlah tambahan atas pinjaman pokok. Selanjutnya, dijelaskan oleh
Ar – Razzy, apabila permintaan ini diterima, kreditur bersedia
memberikan tenggang waktu. Tambahan tersebut bisa mencapai tiga
bahkan empat kali lipat.
Objek riba tidak hanya uang, tetapi bisa juga berupa hewan ternak. Ath
– Thabari menuturkan bahwa riba pada masa jahiliah yang berlaku
untuk ternak adalah dengan melipat gandakan umur hewan ternak. Jika
unta yang dipinjam berumur satu tahun, pada tahun kedua, jika tidak
sanggup membayar utang, unta yang harus dibayar menjadi berumur
dua tahun (bintu labun).
Berdasarkan riwayat –riwayat tentang praktik riba tersebut, dapat
dicatat beberapa hal. Riba berkaitan dengan ketidaksanggupan
peminjam mengembalikan untungnya pada waktu yang telah disepakati.
Kemudian, muncul kesepakatan berikutnya berua penundaan
pembayaran utang dengan catatan, peminjam memberikan tambahan
atas jumlah pinjaman ketika pelunasan. Kespakatan ini disebabkan
keadaan memaksa.
Utang pada umumnya dilakukan oleh orang – orang berharta pada bank
untuk mengembangkan usaha mereka, sedangkan orang miskin nyaris
tidak berhubungan dengan bank karena untuk mendapatkan kredit dari
bank diperlukan jaminan, sedangkan mereka tidak memiliki sesuatu
yang dijadikan jaminan. Kasus ini khususnya terjadi di Indonesi. Pada
masa jahiliah tidak ada lembaga keuangan yang menyalurkan jasa
dengan cara kredit, seperti yang dilaksanakan oleh perbankkan
sehingga orang yang memerluakn dana hanya berhubungan dengan
perseorangan, sedangkan sekarang pinjaman tidak hanya dilakukan
oleh perseorangan, tetapi juga lembaga. Karena jasanya besar, bank
sebagai lembaga penyalur dana saat ini menjadi aktor utama penggerak
roda ekonomi suatu bangsa.

B. Hukum Riba dan Jenis-jenis Riba


1. Hukum riba
Seluruh fuqaha sepakat bahwasannya hukum riba adalah haram
berdasarkan keterangan yang sangat jelas dalam al – Qur’an dan al –
Hadis.
Pernyataan al – Qur’an tentang larangan riba terdapat pada surat al –
Baqarah ayat 275, 276, 278, dan 279. Yang Artinya:
Orang – orang yang memakan (memungut) riba tiak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan syaitan lantaran
gangan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan
mereka berkata; sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.....(al –
Baqarah: 275).
Surat al – Baqarah ayat 275 di atas mengencam keras pemungutan riba
dan mereka diserupakan dengan orang yang kerasukan Setan.
Selanjutnya ayat ini membantah kesamaan antara riba dan jual beli
dengan menegaskan Allah menghalalkan jual – beli dan mengharamkan
riba.
Larangan riba dipertegas kembali pada ayat 278, pada surat yang
sama, dengan perintah meninggalkan seluruh sisa – sisa riba, dan
dipertegas kembali pada ayat 279 yang artinya: jika kamu tidak
meninggalkan sisa – sisa riba maka ketahuilah bahwa Allah dan
RasulNya akan memerangi kamu. Jika kamu bertaubat maka bagimu
adalah pokok bartamu. Tidak ada di antara kamu orang yang
menganiaya dan tidak ada yang teraniaya.
Mengapa praktek riba dikecam dengan keras dan kemudian
diharamkan? Ayat 276 memberikan jawaban yang merupakan kalimat
kunci hikmah pengharaman riba, yakin Allah bermaksud menghapuskan
tradisi riba dan menumbuhkan tradisi shadaqah. Sedang illat
pengharaman riba agaknya dinyatakan dalam ayat 279, la tadzlimuna
wala tudzlamun. Maksudnya, dengan menghentikn riba engkau tidak
berbuat dzulum (menganiaya) kepada pihak lain sehingga tidak
seorangpun di antara kamu yang teraniaya. Jadi tampaklah
bahwasannya illat pengharaman dalam surat al – Baqarah adala
dzulum (eksploatasi: menindas, memeras, dan menganiaya).
Pernyataan Hadis Nabi mengenai keharaman riba antara lain :

‫ ُه ْم َس َوا ٌء‬:‫ َو َقا َل‬,ِ‫صلَّى هللُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم آ ِك َل الرِّ با َ َوم ُْو ِكلَ ُه َو َكا ِت َب ُه َو َشا ِه َد ْيه‬ ِ ‫لَ َع َن َرس ُْو ُل‬
َ ‫هلل‬
“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan
riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka
semua sama”. (HR Muslim).

‫ض َجرَّ َم ْن َف َع ًة َفه َُو ِربًا‬


ٍ ْ‫ُك ُّل َقر‬
“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat
Baihaqi).

‫ان َنسِ ْي َئ ًة‬


ِ ‫ان ِب ْال َح َي َو‬
ِ ‫صلَّىاهللُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َنهى َعنْ َبي ِْع الَ َح َي َو‬ ٍ ‫ْن ُج ْن ُد‬
َ َّ‫ب اَنَّ ال َّن ِبي‬ ِ ‫َعنْ َس َم َر ِة ب‬
“Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah
melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.”
(Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)”

‫ض ِة َو ْز ًنا ِب َو ْز ٍن مِثْاًل ِبم ِْث ٍل َف َمنْ َزا َد أَ ْو اسْ َت َزا َد َفه َُو ِربًا‬
َّ ِ‫ب َو ْز ًنا ِب َو ْز ٍن مِثْاًل ِبم ِْث ٍل َو ْالفِض َُّة ِب ْالف‬ َّ ‫الذ َهبُ ِب‬
ِ ‫الذ َه‬ َّ
“Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak,
setimbang dan semisal; barang siapa yang menambah atau meminta
tambahan, maka (tambahannya) itu adalah riba”. (HR Muslim dari Abu
Hurairah).

2. Jenis-jenis riba
✓ Jenis Riba jual beli (Riba Al-Buyu’)
Fuqaha’ mazhab hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah embagi riba
menjadi dua macam: riba an-nasi’ah dan riba al-fadal. Sedangkan
fuqaha Syafi’iyah membaginya menjadi menjadi tiga macam:riba al-
nasi’ah, riba al-fadhl, riba al-yad. Dalam pandangan jumhur madzahib
riba al-yad ini termasuk dalam kategori riba al-nasi’ah.

1. Pengertian riba al-Nasi’ah


Riba al-Nasi’ah menurut Wahbah al-Zuhaily adalah “penambahan harga
atas barang kontan lantaran penundaan waktu pembayaran atau
penambhan ‘ain (barang kontan) atas dain (barang hutang)” terhadap
barang berbeda jenis yang ditimbang atau di takar atau terhadap
barang sejenis yang di takar atau ditimbang”.
Menurut Abdur Rahman al-Zajairay riba al-nasi’ah adalah riba atau
tambahan (yang dipungut) sebagi imbangan atas penundaan
pembayaran.

2. Pengertian riba al-fadhl


Riba al-fadhl adalah Penambahan pada salah satu dari benda yang
dipertukarkan dalam jual beli benda ribawi yang sejenis, bukan karena
faktor penundaan pembayran.
Para fuqaha sepakat bahwasanya riba al-fadhl hanya berlaku pada
harta benda ribawi. Mereka juga sepakat terhadap tujuh macam harta
benda sebagi harta bena ribawi karena dinyatakan secara tegas dalam
nash Hadis. Ketujuh harta benda tersebut adalah,: emas, perak, burr
(jenis gandum), syair (jenis gandum), kurma, zabib, anggur kering, dan
garam.
Menurut fuqaha Dhahiriyah harta ribawi terbatas pada tujuh macam
harta benda tersebut diatas. Mazhab Abu Hanafiyah dan Hanbilah
memperluas konsep harta benda ribawi pada setiap harta benda yang
dapat dihitung melalui satuan timabngan atau takaran. Mazhab
Syafi’iyah memperluas harta ribawi pada setiap mata uang (an-naqd)
dan makanan (al-ma’thum) meskipun tidak lazim dihitung melalui satuan
timbangan atau takaran. Yang dimaksud dengan makanan menurut
mazhab Syafi’iyah adalah segala sesuatu yang lazim dimakan manusia,
termasuk buah-buahan dan sayur mayur. Sedangkan mazhab Malikiyah
memperlaus konsep harta benda ribawi pada setiap jenis mata uang
dan sifat al-iqtiat (jenis makanan yang menguatkan badan) dan al-
iddibar (jenis makanan yang dapat disimpan lama). Menurut mazhab
Malikiyah sayur mayur dan buah-buahan basah tidak termasuk harta
benda ribawi karena tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama.
Fuqaha Masahib juga berselisih pandangan mengenai persamaan jenis.
Menurut Fuqaha’ mazhab Hanfiyah persamaan jenis meliputi tiga hal.
Pertama, persamaan asal, seperti beras dan tepung beras adalah
sejenis, sedangkan tepung beras dengan tepung terigu adalah berbeda
jenis. Demikian juga macam – macam gandum seperti al-Burr, al-Syair,
al-khinthah masing – masing adalah berbeda jenis dengan lainny.
Kedua, persamaan fungsi dan kegunaannya, misalnya daging gibas
dan daging kambing adalah sejenis, sedangkan wool yang terbuat dari
kulit gibas dan kuit kambing adalh berbeda jenis. Ketiga, tidak
menandung unsur produktivitas kerja manusia, misalnya gandum dan
roti yang terbuat dari gandum adalah berbeda jenis.
Menurut Fuqaha Malikiyah persamaan jenis diketahui berdasarkan dua
keriteria. Pertama, persamaan atau kedekatan fungsinya, misalnya al-
syair dan al-qham adalah sejenis. Kedua, persamaan asal sekalipun
berbeda fungsi, atau sebaliknya terdapat persamaan fungsi sekalipun
berbeda asal. Seperti minyak yang terbuat dari bahan yang berbeda
termasuk sejenis, namun jika masing-masing minyak tersebut
mempunyai fungsi yang berbeda maka termasuk jenis yang berbeda.
Menurut fuqaha Syafi’iyah dan Hanabilah apakah dua makanan
(ma’thum) atau lebih adalah sejenis yang bergantung pada kesatuan
nama yang mengandung persamaan essensi sekalipun keduanya
mempunyai kegunaan ataupun sifat yang berbeda. Misalnya al-qomh
(gandum) sekalipun jenisnya bermacam-macam, seperti al-sa’ir, al-burr,
al-qhinthah dan lain-lain, namun semua itu dalah satu jenis yang
tertentu, yakni gandum. Berbeda dengan biji-bijian (al-hubb) yang
jenisnya bermacam-macam seperti kacang tanah, kacang kedelai,
jagung, padi dan lain-lain, masing-masing adalah berbeda jenis karena
masing “biji-bijian” merupakan nama yang sangat umum dan tidak
mengandung makna khusus. Demikian juga minyak goreng (al-zait)
adalah satu jenis nama, sekalipun berasal dai bahan yang bebeda.
Setap harta benda ribawi tidak syah diperjual belikan dengan jenisnya
sendiri kecuali secara kontan (yadan bi yadin) dan setimbang (sawaan
bi sawain). Jual beli antar harta benda ribawi secara kontan dan tidak
setimbang termasul riba al-fadh. Jika jual beli tersebut dilakukan secara
tidak kontan menurut jumhur tergolong riba al-nasi’ah sedangkan
menurut syafi’iyah tergolong riba al-yad.

3. Riba Fudul
Penukaran dua barang sejenis dalam jumlah yang tidak sama. Contoh :
menukar 2 gram emas dengan 2,5 gram emas yang sama.

4. Riba Yad
Riba yang dilakukan dalam transaksi jual beli yang belum diserah
terimakan namun oleh si pembeli sudah dijual lagi kepada orang lain.
Contoh : si A menjual motor kepada si B tetapi si B belum menerima
motor tersebut, tetapi si B sudah menjual motor tersebut kepada si C.

✓ Jenis Riba utang piutang (Riba Ad-Duyun)


1. Riba Qardi
Riba dalam bentuk hutang piutang atau pinjaman dengan syarat ada
tambahan atau keuntungan bagi yang memberi pinjaman. Contoh : si A
memberikan pinjaman uang Rp 10.000 kepada si B dengan syarat si B
harus mengembalikan sebesar Rp 11.000.

2. Riba Jahiliyah
Riba ini terdapat pada hutang yang dibayar melebihi dari pokoknya, hal
ini dikarenakan si peminjam tidak mampu membayarnya pada waktu
yang telah ditetapkan adapun penambahan hutang yang dibayarkan
akan semakin bertambah besar bersamaan dengan semakin
mundurnya waktu pelunasan hutang. Sistem ini dikenal juga dengan
istilah riba muda’afah atau melipat gandakan uang. Contoh : si A
meminjam uang dengan si B sebesar RP 500.000 dengan tempo dua
bulan. Saat waktunya tiba si B meminta uang yang dipinjam, akan tetapi
si A berkata dia belum dapat membayar uang yang dipinjam dan
meminta waktu tambahan satu bulan. Si B menyetujui dengan
memberikan syarat bahwa uang yang harus dibayar menjadi Rp
560.000. penambahan jumlah tersebut merupakan riba Jahiliyah.

C. Hal-Hal yang Menimbulkan Riba dan Dampak riba


1. Hal-hal yang menyebabkan riba
Jika seseorang menjual benda yang mungkin mendatangkan riba
menurut jenisnya, maka disyaratkan sama nilainya, sama ukurannya
menurut syara’, dan sama-sama tunai di majelis akad.
Berikut ini yang termasuk riba pertukaran diantaranya:
a. Seseorang menukar langsung uang kertas Rp 10.000,00 dengan
uang recehan Rp 9.950,00. Uang Rp 50,00 tidak ada imbangannya atau
tidak termasuk, maka uang tersebut adalah riba.
b. Seseorang meminjamkan uang sebanyak Rp 100.000,00 dengan
syarat dikembalikan ditambah 10% dari pokok pinjaman maka 10% dari
pokok pinjaman adalah riba sebab tidak ada imbangannya.
c. Seseorang menukarkan seliter beras ketan dengan dua liter beras
dolog, maka pertukaran tersebut adalah riba sebab beras hanya ditukar
dengan beras sejenis dan tidak boleh dilebihkan salahsatunya. Jalan
keluarnya adalah beras ketan dijual terlebih dahulu dan uangnya
digunakan untuk membeli beras dolog.
d. Seseorang yang akan membangun rumah membeli batu bata,
uangnya diserahkan tanggal 5 Desember, sedangkan batu batanya
diambil nanti ketika pembangunan rumah dimulai, maka perbuatan
tersebut adalah perbuatan riba sebab terlambat salahsatunya dan
berpisah sebelum serah terima barang.
e. Seseorang yang menukarkan 5 gram mas 22 karat dengan 5 gram
mas 12 karat termasuk riba walaupun sama ukurannya, tetapi berbeda
nilai (harganya) atau menukarkan 5 gram mas 22 karat dengan 10 gram
mas 12 karat yang harganya sama, juga termasuk riba sebab walaupun
harganya sama ukurannya tidak sama.
Tidak dibolehkan menjual emas dengan emas, perak dengan perak,
baik masih terurai, maupun sudah ditempa atau belum ditempa atau
sudah menjadi perhiasan, terkecuali seimbang benar, serupa benar dan
tunai (kontan).

2. Dampak Praktek Riba


Adapun dampak akibat praktek dari riba itu sendiri diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Menyebabkan eksploatasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si
miskin, sehingga menjadiakan si kaya semakin berjaya dan si miskin
tambah sengsara
2. Dapat menyebabkan kebangkrutan usaha bila tidak disalurkan
pada kegiatan-kegiatan yang produktif, karena kebanyakan modal yang
dikuasai oleh the haves (pengelola) justru disalurkan dalam perkreditan
berbunga yang belum produktif.
3. Menyebabkan kesenjangan ekonomi, yang pada gilirannya bisa
mengakibatkan kekacauansosial.
4. Bahaya buat masyarakat dan agama.
5. Para Ahli ekonomi berpendapat bahwa penyebab utama krisis
ekonomi adalah bunga yang dibayar sebagai penjiman modal atau
dengan singkat bisa disebut riba.

Anda mungkin juga menyukai