Anda di halaman 1dari 4

Mamluqil Faihah

17020074080 / PB 17

“Catatan Alexa: Lampu Merah dan Warung Kopi”


Saya adalah anak manusia. Panggil saja Alexa. Sosok Saya adalah perempuan.
Mungkin Saya sudah ditakdirkan untuk lahir tanpa saudara. Iya, Saya terlahir
sebagai anak tunggal. Saya kerap kali iri dengan teman-teman saya yang sering
menceritakan kehidupan mereka di rumah. Keirian saya tidak pada kekayaan
mereka melainkan saudara mereka. Mereka saling menceritakan kaka atau adik
mereka. Sedangkan Aku? Hanya bisa diam saat mendengarkan. Yasudahlah,
anggap saja belum rezeki orang tua saya untuk mendapatkan anak lagi.

Teman-teman saya selalu berpikir bahwa terlahir sebagai anak tunggal adalah
anugrah dengan hidup yang serba enak. Selalu ada, selalu dimanja, dan masih
banyak lagi dugaan positif lainnya. Woyyyyyyy, ini hidup bukan drama yang
selalu bahagia. Saya dari kecil tidak pernah dimanjakan oleh orang tua saya. Saya
dididik dengan didikan yang tegas dan pada akhirnya sekarang saya terlatih untuk
hidup mandiri di luar kota. Mereka selalu mengajari saya untuk berusaha ketika
saya ingin memiliki sesuatu. Usaha tersebut biasa mereka sebut dengan kata
“RAJIN”. Rajin dalam segala hal mulai dari rajin belajar, rajin menabung, rajin
membantu dan masih banyak rajin lainnya. Ketika mereka sudah melihat
kerajinan saya maka mereka tak segan memberikan saya hadiah berupa barang
yang saya inginkan, bahkan bisa lebih dari barang yang saya inginkan.

Semua orang tua ingin memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak-anaknya.
Begitu pula dengan orang tua saya. Mereka menginginkan sekolah yang berbasis
agama. Dari sana orang tua saya selalu menyekolahkan saya di sekolah swasta
yang berbasis islam. Sampai pada akhirnya menginjak jenjang SMP dan SMA
Saya di sekolahkan di pesantren. Setelah saya lulus dari pesantren orang tua saya
memberikan keleluasan kepada saya untuk memilih tempat pendidikan
selanjutnya. Mereka yakin bahwa saya mampu untuk menjaga diri saya sendiri
ketika jauh dengan mereka.
Saya memilih salah satu perguruan tinggi di Surabaya. Karena Saya rasa kota
tersebut adalah salah satu kota besar yang letaknya tidak jauh dari asal daerah
saya yaitu Lamongan. Jadi, saya masih bisa pulang setiap minggunya.

Selama saya berkuliah di Surabaya, Saya sering kali menghabiskan waktu


senggang saya untuk menghafal jalanan Kota Surabaya. Kegiatan yang kurang
penting memang bagi kebanyakan orang. Mengingat Surabaya adalah kota yang
terkenal dengan suhu panasnya. Maka dari itu kebanyakan orang lebih memilih
untuk berdiam di dalam rumah. Tapi bagi saya itulah sisi lain Surabaya yang
sangat unik.

Selalu ada cerita sepanjang jalanan Surabaya. Saya akan memulai cerita dari
Lampu Merah. Rasa kesal adalah perasaan yang hampir setiap orang rasakan
saat perjalanannya terhenti karena lampu merah. Pertama saya juga merasakan
rasa kesal dan bosan yang luar biasa saat menunggu lampu hijau menyala. Saya
mencari cara lain agar rasa kesal dan bosan saya hilang. Akhirnya saya mengamati
satu persatu orang yang perjanannya terhenti karena lampu merah. Mulai dari raut
wajah yang datar, murung, sedih, gembira, dan lainnya. Hal tersebut sangat lucu
ketika kita menikmatinya.

Selain raut wajah, saya sampai bisa membedakan mana orang yang berbonceng
dengan pacar dan mana yang berbonceng dengan keluarga (istri, adik, atau
kakak). Ada perbedaan yang sangat jelas terlihat akan tetapi kebanyakan orang
tidak menyadari. Saya tidak akan menuliskan berbedaannya dalam tulisan ini.
Agar pembaca penasaran dan melihat perbedaan tersebut dengan caranya sendiri.

Lampu merah identik dengan anak jalanan. Ketika melihat anak jalanan saya
selalu berpikir “Apakah mereka lelah?” pertanyaan bodoh macam apa yang saya
pikirkan. Jelas mereka lelah, jelas mereka lapar, dan sangat jelas mereka juga
ingin bermain dan belajar seperti teman seumuran mereka. Dari pemandangan
tersebut saya harus banyak-banyak bersyukur atas kehidupan saya saat ini yang
serba berkecukupan. Tidak boleh memandang orang lain rendah dan selalu ingat
bahwa adakalanya kehidupan akan berada di bawah.
Cafe. Biar mudah disebutnya saya sebut saja warung kopi. Biar tidak dirasa sok
oleh pembaca. Saya kerap kali mengunjungi warung kopi untuk sekedar
memanjakan diri saya atau untuk memberikan apresiasi pada diri saya dalam suatu
pencapaian. Di warung kopi saya tidak hanya sekadar makan dan minum tetapi
juga menikmati suasananya. Suasana di setiap warung kopi juga berbeda ada yang
ramai dan ada pula yang tenang. Sesuai dengan kebutuhna yang kita butuhkan
saja.

Di warung kopi kita akan memenukan berbagai macam jenis kalangan manusia.
Mulai dari anak- anak sampai lansia. Mengingat kembali pada budaya orang
Indonesia yaitu “Nongkrong” jadi tidak mengagetkan bahwa di warung kopi akan
ditemukan banyak kalangan manusia.

Akan percuma jika di warung kopi hanya menghabiskan makan dan minum saja.
Karena akan banyak pelajaran yang dapat kita ambil mulai dari orang yang
berpakaian rapi dengan setelan jas. Menandakan bahwa orang tersebut adalah
orang yang memiliki karier yang bagus dipekerjaannya. Sehingga kita bisa
berangan dan membangun kembali semangat untuk kehidupan yang lebih baik
lagi.

Bocah pacaran, tidak hanya melihat orang-orang yang berhasil. Kita juga akan
menemukan bocah berpacaran. Bocah yang kerap saya temui di warung kopi
adalah bocah yang usianya berkisar 13-15 tahun. Jadi teringat dengan ujaran
orang tua dulu “Jangan pacaran, masih kecil” jadi cuma lihat orang dewasa
pacaran dan giliran saya dirasa sudah cukup usia untuk berpacaran malah melihat
bocah pacaran. Ini dunia sudah mulai terbalik kayaknya.

“Mereka dapat uang dari mana ya? Kok boleh ya keluar malam sama orang tua
mereka?” dua pertanyaan tersebut yang selalu terpikir saat bertemu bocil pacaran.
Tapi yasudahlah itu urusan bocah tersebut. Mungkin dapat diambil pelajaran
untuk orang tua bahwa untuk selalu mengawasi perkembangan anak, aji
mumpung anak-anak masih bisa diawasi dengan baik maka awasi dan berikan
arahan yang baik dengan cara yang baik pula.
Sebenarnya bukan hanya lampu merah dan warung kopi saja yang bisa kita amati
dan ambil pelajaran. Karena di setiap langkah kita telah tersirat pelajaran-
pelajaran yang dapat diambil dan menjadi pengingat untuk kita semua.

Anda mungkin juga menyukai