Anda di halaman 1dari 1

MONOLOG SI PENGECUT Layar perlahan terbuka.

Seorang pengecut masuk ke


dalam panggung. Tubuhnya gemetaran. Ia selalu berusaha menghindari tempat
terang dan ramai. Dari sudut gelap yang terdiam, ia berkata lantang. PENGECUT:

"Seharusnya kupadamkan mentari karna teriknya butakan aku Seharusnya


kumuramkan rembulan karena cahyanya dukakan aku Tapi aku takut tak 'kan
kulihat lagi bayangmu"
Pengecut itu lalu pergi ke ujung panggung. Ia bersandar pada tiang, menatap ke
atas seolah-olah ada pohon rimbun penuh dedaunan. Ia menutup telinganya dengan
tangan. PENGECUT:

"Seharusnya kubunuh burung burung karna kicaunya tulikan aku Seharusnya


kububarkan arak awan karna semaraknya gusarkan aku Tapi aku takut tak
'kan kudengar lagi sapamu"
Pengecut rebah di lantai, ia sibuk menyibak-nyibakkan tangan dan kakinya ke
udara. PENGECUT:

"Seharusnya kubakar es di kutub sana karna dinginnya matirasakan jemariku


Seharusnya kuusir juga binatang lautnya karna mesranya merah padamkan
iriku Tapi aku takut tak 'kan bisa kujamah lagi tubuhmu"
Pengecut lalu berdiri, memandang ke atap langit sambil tangannya menadah,
mengharap turunnya hujan. PENGECUT:

"Seharusnya kubiarkan hujan menerpaku karna derai airnya 'kan kelukan aku
Seharusnya kurobek-robek gaun si pelangi karna indahnya harukan hatiku
Tapi aku takut tak 'kan sanggup kulafalkan lagi namamu"
Pengecut jatuh terduduk. Ia menggerakkan tangannya seolah hendak
menimba. PENGECUT:

"Seharusnya kukuras samudra raya karna anggunnya bisukan aku


Seharusnya kuburu mati ikan-ikannya karna genitnya gelisahkan aku Tapi aku
takut tak 'kan sempat kunyatakan lagi kasihku"
Pengecut terkelungkup. Tangannya menggedor-gedor lantai panggung. Suaranya
lirih. PENGECUT:

"Seharusnya kulakukan semua itu karna tak lagi sanggup kusimpan rapat
rahasia hatiku Tapi aku takut tak 'kan mau lagi kau temui aku"
Lampu panggung padam. Hanya tertinggal bunyi gedoran di lantai.Selesai.
Desember 1997

Anda mungkin juga menyukai