B. Etiologi
Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan,
terutama tekanan membengkok, memutar dan menarik. Trauma muskuloskeletal yang
dapat mengakibatkan fraktur adalah :
1. Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi
fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komunitif
dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan. Misalnya karena trauma yang
tiba-tiba mengenai tulang dengan kekuatan yang besar dan tulang tidak
mampu menahan trauma tersebut sehingga terjadi patah.
2. Trauma tidak langsung
Trauma tidak langsung apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh
dari daerah fraktur. Misalnya jatuh dengan tangan ekstensi.
3. Trauma patologis
Trauma patologis adalah suatu kondisi rapuhnya tulang karena proses
patologis. Contohnya :
a. Osteoporosis terjadi karena kecepatan reabsorbsi tulang melebihi
kecepatan pembentukan tulang, sehingga akibatnya tulang menjadi
keropos secara cepat dan rapuh sehingga mengalami patah tulang.
b. Osteomilitis merupakan infeksi tulang dan sum-sum tulang yang
disebabkan oleh bakteri patogen dimana mikroorganisme berasal dari
focus ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
c. Osteoartritis itu disebabkan oleh rusak/ menipisnya bantalan sendi dan
tulang rawan.
C. Klasifikasi
Menurut Hardiyani (1998), fraktur dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, dan cruris).
2. Berdasarkan luas dan garis fraktur terdiri dari :
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis
penampang tulang).
3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a. Fraktur kominit (garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan).
b. Fraktur segmental (garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan).
c. Fraktur Multipel ( garis patah lebih dari satu tapi pada tulang yang berlainan
tempatnya, misalnya fraktur humerus, fraktur femur dan sebagainya).
4. Berdasarkan posisi fragmen :
a. Undisplaced (tidak bergeser)/garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak
bergeser.
b. Displaced (bergeser) / terjadi pergeseran fragmen fraktur.
5. Berdasarkan hubungan fraktur dengan dunia luar :
a. Tertutup (closed)
b. Terbuka (open atau compound)/ adanya perlukaan dikulit.
6. Berdasarkan bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma.
a. Garis patah melintang.
b. Oblik / miring.
c. Spiral / melingkari tulang.
d. Kompresi
e. Avulsi / trauma tarikan atau insersi otot pada insersinya. Missal pada patela.
7. Berdasarkan kedudukan tulangnya :
a. Tidak adanya dislokasi.
b. Adanya dislokasi
8. Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur :
a. Tipe Ekstensi, trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan
bawah dalam posisi supinasi.
b. Tipe Fleksi, trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan
dalam posisi pronasi. (Mansjoer, Arif, et al, 2000).
D.
Fatofisiologi
Fraktur disebabkan oleh 3 faktor yaitu trauma langsung, trauma tidak langsung
dan trauma patologis. Fraktur sendiri ada 2 jenis, ada fraktur terbuka dan fraktur
tertutup. fraktur terbuka disebabkan karena robekan jaringan lunak atau lumpuhnya
pembuluh darah yang akan menyebabkan resiko infeksi jika terkontaminasi udara
luar. Sedangkan fraktur tertutup disebabkan karena deformitas dan mengalami
pembengkakan yang dapat menimbulkan nyeri akut. Jika bengkak bertambah parah
dan menyebabkan gangguan fungsi maka akan menimbulkan gangguan mobilitas
fisik.
PATWAY
Fraktur
Terbuka Tertutup
Deformitas
Robekan Jaringan Lunak/
Terputusnya Pembuluh
Darah
Bengkak
Kontaminasi Udara
Luar
Nyeri Akut Gangguan Fungsi
Gangguan
Resiko Infeksi
Mobilitas Fisik
E. Manifestasi Klinik
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada eksremitas. Deformitas
dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas
tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melengketnya obat.
3. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah
tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5
sampai 5,5 cm.
4. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik
tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam
atau beberapa hari setelah cedera.
F. Penatalaksanaan Medis
Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah :
1. Untuk menghilangkan rasa nyeri.
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena
terluka jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk mengurangi nyeri
tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga dengan tehnik
imobilisasi (tidak menggerakkan daerah yang fraktur). Tehnik imobilisasi dapat
dicapai dengan cara pemasangan bidai atau gips.
a. Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.
b. Pemasangan gips
Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang
patah. Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan
bentuk tubuh.
2. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
a. Penarikan (traksi)
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada
ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga
arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan metalikment. Venogram/
anterogram menggambarkan arus vascularisasi. CT scan untuk mendeteksi
struktur fraktur yang kompleks.
2. Laboratorium
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hb, hematokrit sering
rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila kerusakan
jaringan lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan Ca dan P mengikat di
dalam darah.
3. Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI
Memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
4. Arteriogram
Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
5. Hitung daerah lengkap
HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (pendarahan sel darah
putih adalah respon stress normal setelah trauma). Lekosit turun/ meningkat,
Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit sering rendah akibat perdarahan,
Laju Endap Darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas,
Pada masa penyembuhan Ca meningkat di dalam darah, traumaa otot
meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat
terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau cederah hati.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Gambaran Umum
1) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti :
Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut.
Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan).
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j) Paru
Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
k) Jantung
Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.
Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l) Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba.
Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
Auskultasi : Peristaltik usus normal 20 kali/ menit.
m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal
adalah :
1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain :
Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak
biasa (abnormal).
Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai
dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa
maupun klien. Yang perlu dicatat adalah :
Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal,tengah, atau distal).
3) Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau
dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan
gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif
dan pasif.
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
b. Pemeriksaan Laboratorium
c. Pemeriksaan lain-lain
4. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,
cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan kerangka
neuromuskuler, pembatasan gerak.
3. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi
tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi
pembedahan.
5. Intervensi
N Dx. Keperawatan Rencana Tindakan Rasional
o
Dx
1. Nyeri akut 1. Tinggikan posisi 1. Meningkatkan aliran
berhubungan dengan ekstremitas yang mengalami balik vena, mengurangi
spasme otot, gerakan fraktur. edema/ nyeri.
fragmen tulang, 2. Lakukan dan awasi latihan 2. Mempertahankan kekuat-
edema, cedera gerak pasif/ aktif sesuai an otot dan meningkatkan
jaringan lunak, keadaan klien. sirkulasi vaskuler.
pemasangan traksi, 3. Meningkatkan sirkulasi
stress/ansietas, luka 3. Lakukan tindakan untuk umum, menurunkan area
operasi. meningkatkan kenyamanan tekanan lokal dan
(masase, perubahan posisi). kelelahan otot.
4. Mengalihkan perhatian
4. Ajarkan penggunaan teknik terhadap nyeri,
manajemen nyeri (latihan meningkatkan kontrol
napas dalam, imajinasi terhadap nyeri yang
visual, aktivitas mungkin berlangsung
dipersional). lama.
5. Menurunkan edema dan
5. Lakukan kompres dingin mengurangi rasa nyeri.
selama fase akut (24-48 jam
pertama) sesuai keperluan. 6. Menurunkan nyeri
6. Kolaborasi pemberian melalui mekanisme
analgetik sesuai indikasi. penghambatan rangsang
nyeri baik secara sentral
maupun perifer.
7. Menilai perkembangan
7. Evaluasi keluhan nyeri masalah klien.
(skala, petunjuk verbal dan
non verval, perubahan
tanda-tanda vital)
2. Gangguan mobilitas 1. Pertahankan pelaksanaan 1. Memfokuskan perhatian,
fisik berhubungan akti-vitas rekreasi terapeutik meningkatkan rasa
dengan kerusakan (radio, koran, kunjungan kontrol diri/harga diri,
kerangka teman/ keluarga) sesuai membantu menurunkan
neuromuskuler, keadaan klien. isolasi sosial.
pembatasan gerak. 2. Bantu latihan rentang gerak 2. Meningkatkan sirkulasi
pasif aktif pada ekstremitas darah muskuloskeletal,
yang sakit maupun yang mempertahankan tonus
sehat sesuai keadaan klien. otot, mempertahakan ge-
rak sendi, mencegah kon-
traktur/ atrofi dan mence-
gah reabsorbsi kalsium
karena imobilisasi.
3. Bantu dan dorong 3. Meningkatkan
perawatan diri (kebersihan/ kemandirian klien dalam
makan/ eliminasi) sesuai perawatan diri sesuai
keadaan klien. kondisi keterbatasan
klien.
4. Ubah posisi secara periodik 4. Menurunkan insiden
sesuai keadaan klien. komplikasi kulit dan
pernapasan (dekubitus,
atelektasis, penumonia).
5. Anjurkan/ pertahankan
5. Mempertahankan hidrasi
asupan cairan 2000-3000
adekuat, men-cegah
ml/ hari.
komplikasi urinarius dan
konstipasi.
6. Berikan diet TKTP.
6. Kalori dan protein yang
cukup diperlukan untuk
proses penyembuhan dan
mem-pertahankan fungsi
fisiologis tubuh.
7. Kerjasama dengan fisio-
7. Kolaborasi pelaksanaan
terapis perlu untuk me-
fisio-terapi sesuai indikasi.
nyusun program aktivitas
fisik secara individual.
8. Menilai perkembangan
8. Evaluasi kemampuan
masalah klien.
mobilisasi klien dan
program imobilisasi.
3. Risiko infeksi 1. Pertahankan tirah baring 1. Meminimalkan rangsang
berhubungan dengan dan imobilisasi sesuai nyeri akibat gesekan
stasis cairan tubuh, indikasi. antara fragmen tulang
respons inflamasi dengan jaringan lunak di
tertekan, prosedur sekitarnya.
invasif dan jalur 2. Rawat luka setiap hari atau 2. Mempercepat
penusukkan, setiap kali bila pembalut penyembuhan luka dan
luka/kerusakan kulit, basah atau kotor. mencegah infeksi lokal/
insisi pembedahan. sistemik.
3. Bila terpasang bebat, 3. Mencegah perubahan
sokong fraktur dengan posisi dengan tetap
bantal atau gulungan mempertahankan
selimut untuk kenyamanan dan
mempertahankan posisi keamanan.
yang netral.
4. Evaluasi pembebat terhadap 4. Bila fase edema telah
resolusi edema. lewat, kemungkinan
bebat menjadi longgar
dapat terjadi.
5. Kolaborasi pemasangan 5. Skeletal traksi
skeletal traksi. menghasilkan efek
fiksasi yang lebih stabil
sehingga dapat
meminimalkan resiko
perluasan cedera.
6. Kolaborasi pemberian obat 6. Antibiotik bersifat bakte-
antibiotika. riosida/ baktiostatika
untuk membunuh /
menghambat
perkembangan kuman.
7. Evaluasi tanda/ gejala 7. Menilai perkembangan
perluasan cedera jaringan masalah klien.
(peradangan lokal/ sistemik,
seperti peningkatan nyeri,
edema, demam)
6. Implementasi
Merupakan pelaksanaan dari rencana tindakan keperawatan yang telah
disesuaikan dengan tujuan dari tindakan keperawatan.
7. Evaluasi
Evaluasi adalah suatu yang direncanakan dan perbandingan yang sistematik pada
status kesehatan klien. Evaluasi juga merupakan hasil akhir dari suatu tindakan,
sedangkan hasil yang diharapkan ialah sesuai dengan perencanaan dan tujuan dari
tindakan keperawatan yang mengambarkan tujuan tercapai atau tidak. Evaluasi
yang diharapkan yaitu :
1. Klien mengatakan nyeri berkurang/ hilang .
2. Klien dapat melakukan aktivitas fisik seoptimal mungkin.
3. Infeksi tidak terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer Suzanne C, Brenda G Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Volume 3. EGC: Jakarta
Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC.
Jakarta