Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit muskuloskeletal saat ini telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-
pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia, bahkan WHO telah menetapkan dekade
tahun (2000-2010) menjadi dekade tulang dan persendian. Fraktur atau yang sering
disebut patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang diantaranya penyakit
yang disebut osteoporosis, dan dapat juga disebabkan karena kecelakaan yang tidak
terduga. (Masjoer, 2000). Data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010
didapatkan sekitar 8 juta orang mengalami kejadian fraktur dengan jenis fraktur yang
berbeda dan penyebab yang berbeda. Hasil survei tim Kementrian Kesehatan RI
didapatkan 25% penderita fraktur yang mengalami kematian, 45% mengalami cacat fisik,
25% mengalami stres psikologis karena cemas dan bahkan depresi, dan 5% mengalami
kesembuhan dengan baik, 25% pasien bedah fraktur mengalami kecemasan. (Kemenkes
RI, 2010). Sedangkan menurut data Riskesdas pada tahun 2013 penyebab cidera
terbanyak yaitu jatuh (40,9%) dan kecelakaan sepeda motor (40,6%). Oleh karena itu
upaya keperawatan melalui upaya peran promotif, preventif, kuratif dan rahabilitatif.
Adapun upaya promotif perawat yaitu memberiakan cara perawatan luka untuk fraktur
tertutup, banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung kalsium untuk mencegah
osteoporosis yang dapat menyebabkan fraktur. Upaya preventif perawat yaitu
menganjurkan klien untuk tidak mengendarai kendaraan untuk kecepatan tinggi dan
mengkonsunsi vitamin D yang banyak mengandung kalsium.Upaya perawat kuratif yaitu
kolaborasi dengan dokter untuk melakukan pemasangan traksi. Upaya rehabilitatif
perawat yaitu memberikan latihan gerak aktif dan pasif. Mengingat beratnya
kegawatan/komplikasi penyakit fraktur yang ditimbulkan serta pentingnya peran perawat
dalam upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, maka penulis tertarik untuk
menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan Fraktur secara komprehensif dan
holistic dengan menggunkan pendekatan metode ilmiah proses keperawatan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari fraktur ?
2. Bagaimana etiologi terjadinya fraktur ?

1
3. Bagaimana klasifikasi terjadinya fraktur ?
4. Bagaimana fatofisiologi terjadinya fraktur ?
5. Bagaimana manifestasi klinik terjadiya fraktur ?
6. Bagaimana penatalaksanaan medis fraktur ?
7. Bagaimana pemeriksaan penunjang fraktur ?
8. Bagaimana askep teori dari fraktur ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari fraktur.
2. Untuk mengetahui etiologi terjadinya fraktur.
3. Untuk mengetahui klasifikasi terjadinya fraktur.
4. Untuk mengetahui fatofisiologi terjadinya fraktur.
5. Untuk mengetahui manifestasi klinik terjadiya fraktur.
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis fraktur.
7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang fraktur.
8. Untuk mengetahui askep teori dari fraktur.

1.4 Manfaat
Makalah ini di buat oleh kami agar meminimalisir kesalahan dalam tindakan praktik
keperawatan yang di sebabkan oleh ketidak pahaman tentang fraktur pada manusia
sehingga berpengaruh besar terhadap kehidupan serta kesehatan klien.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Fraktur atau yang sering disebut patah tulang


adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan dapat juga disebabkan karena
kecelakaan yang tidak terduga (Masjoer, 2000). Fraktur tengkorak adalah rusaknya
kontinuitas tulang tengkorak yang disebabkan oleh trauma. Hal ini dapat terjadi dengan
atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya menimbulkan dampak
tekanan yang kuat. (Suzanne C. Smeltzer, 2001). Multiple fraktur adalah keadaan dimana
terjadi hilangnya kontinuitas jaringan tulang lebih dari satu garis yang disebabkan oleh
tekanan eksternal yang ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas dan gangguan
fungsi pada area fraktur. (Sylvia A. Price, 2000). Fraktur tibia dan fibula yang terjadi
akibat pukulan langsung, jatuh dengan kaki dalam posisi fleksi, dan gerakan memuntir
yang keras. Fraktur kedua tulang ini sering terjadi dalam kaitan satu sama lain .

2.2 Etiologi
Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan, terutama tekanan
membengkok, memutar dan menarik. Trauma muskuloskeletal yang dapat mengakibatkan
fraktur adalah :
1. Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada
daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komunitif dan jaringan lunak

3
ikut mengalami kerusakan. Misalnya karena trauma yang tiba-tiba mengenai tulang
dengan kekuatan yang besar dan tulang tidak mampu menahan trauma tersebut
sehingga terjadi patah.
2. Trauma tidak langsung
Trauma tidak langsung apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari
daerah fraktur. Misalnya jatuh dengan tangan ekstensi.
3. Trauma patologis
Trauma patologis adalah suatu kondisi rapuhnya tulang karena proses patologis.
Contohnya :
a. Osteoporosis terjadi karena kecepatan reabsorbsi tulang melebihi kecepatan
pembentukan tulang, sehingga akibatnya tulang menjadi keropos secara cepat dan
rapuh sehingga mengalami patah tulang.
b. Osteomilitis merupakan infeksi tulang dan sum-sum tulang yang disebabkan oleh
bakteri patogen dimana mikroorganisme berasal dari focus ditempat lain dan
beredar melalui sirkulasi darah.
c. Osteoartritis itu disebabkan oleh rusak/ menipisnya bantalan sendi dan tulang
rawan.

2.3 Klasifikasi
Menurut Hardiyani (1998), fraktur dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, dan cruris).
2. Berdasarkan luas dan garis fraktur terdiri dari :
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua
korteks tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang
tulang).
3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a. Fraktur kominit (garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan).
b. Fraktur segmental (garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan).
c. Fraktur Multipel ( garis patah lebih dari satu tapi pada tulang yang berlainan
tempatnya, misalnya fraktur humerus, fraktur femur dan sebagainya).
4. Berdasarkan posisi fragmen :

4
a. Undisplaced (tidak bergeser)/garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak
bergeser.
b. Displaced (bergeser) / terjadi pergeseran fragmen fraktur.
5. Berdasarkan hubungan fraktur dengan dunia luar :
a. Tertutup (closed)
b. Terbuka (open atau compound)/ adanya perlukaan dikulit.
6. Berdasarkan bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma.
a. Garis patah melintang.
b. Oblik / miring.
c. Spiral / melingkari tulang.
d. Kompresi
e. Avulsi / trauma tarikan atau insersi otot pada insersinya. Missal pada patela.
7. Berdasarkan kedudukan tulangnya :
a. Tidak adanya dislokasi.
b. Adanya dislokasi
8. Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur :
a. Tipe Ekstensi, trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah
dalam posisi supinasi.
b. Tipe Fleksi, trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam
posisi pronasi. (Mansjoer, Arif, et al, 2000).

5
2.4 Fatofisiologi
Fraktur disebabkan oleh 3 faktor yaitu trauma langsung, trauma tidak langsung dan
trauma patologis. Fraktur sendiri ada 2 jenis, ada fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
fraktur terbuka disebabkan karena robekan jaringan lunak atau lumpuhnya pembuluh
darah yang akan menyebabkan resiko infeksi jika terkontaminasi udara luar. Sedangkan
fraktur tertutup disebabkan karena deformitas dan mengalami pembengkakan yang dapat
menimbulkan nyeri akut. Jika bengkak bertambah parah dan menyebabkan gangguan
fungsi maka akan menimbulkan gangguan mobilitas fisik.

6
Patway

Trauma Tidak
Trauma Langsung Trauma Patologis
Langsung

Fraktur

Terbuka Tertutup

Robekan Jaringan Lunak/ Deformitas


Terputusnya Pembuluh
Darah

Nyeri Akut Bengkak

Kontaminasi Udara
Luar

Gangguan Fungsi

Resiko Infeksi
Gangguan
Mobilitas Fisik

2.5 Manifestasi Klinik


1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang   diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada eksremitas. Deformitas dapat
di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak
7
dapat berfungsi dengan baik karena fungsi  normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melengketnya obat.
3. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah  tempat
fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm.
4. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik
tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau
beberapa hari setelah cedera.

2.6 Penatalaksanaan Medis


Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah :
1. Untuk menghilangkan rasa nyeri.
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena terluka
jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat
diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak
menggerakkan daerah yang fraktur). Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara
pemasangan bidai atau gips.
a. Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.

b. Pemasangan gips
Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang patah. Gips yang
ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh.
8
2. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
a. Penarikan (traksi)
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada
ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah
tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah.

b. Dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang logam pada


pecahan-pecahan tulang.
3. Agar terjadi penyatuan tulang kembali.
4. Untuk mengembalikan fungsi seperti semula.

Stadium Penyembuhan Fraktur


Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh
aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu :
1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah
membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya
kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan
berhenti sama sekali. 

9
2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler      
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang
berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma.
Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam
dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa
hari terbentuklah tulang baru yg menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah.
Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung
frakturnya.  

   

3.
Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau
bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur

10
(anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur
berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu. 

  
   

4. Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi
lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan  osteoclast menerobos
melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi
celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses
yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa
beban yang normal. 

5. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan
atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan

11
tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang
tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum
dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Radiologi
X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan metalikment. Venogram/
anterogram menggambarkan arus vascularisasi. CT scan untuk mendeteksi struktur
fraktur yang kompleks.
2. Laboratorium
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hb, hematokrit sering rendah
akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak
sangat luas. Pada masa penyembuhan Ca dan P mengikat di dalam darah.
3. Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI
Memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak.
4. Arteriogram
Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
5. Hitung daerah lengkap
HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (pendarahan sel darah putih
adalah respon stress normal setelah trauma). Lekosit turun/ meningkat, Eritrosit dan
Albumin turun, Hb, hematokrit sering rendah akibat perdarahan, Laju Endap Darah
(LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas, Pada masa penyembuhan

12
Ca meningkat di dalam darah, traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk
ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multiple, atau cederah hati.

BAB III
ASKEP TEORI

3.1 Pengkajian

13
A. Pengumpulan Data
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain
itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetic.
f. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu
metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme

14
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi
klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama
kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan
faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain
itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak.
4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh
orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien
terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko
untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain.
6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap.
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image).

15
8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa
nyeri akibat fraktur.
9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena
nyeri dan keterbatasan gerak klien.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Gambaran Umum
1) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti :
 Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
 Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut.
 Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.

16
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan).
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j) Paru
 Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
 Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
 Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
 Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
k) Jantung
 Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.
 Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.

17
 Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l) Abdomen
 Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
 Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba.
 Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
 Auskultasi : Peristaltik usus normal  20 kali/ menit.
m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.

b. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal
adalah :
1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain :
 Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
 Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
 Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak
biasa (abnormal).
 Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
 Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai
dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa
maupun klien. Yang perlu dicatat adalah :
 Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
 Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
 Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal,tengah, atau distal).
18
3) Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau
dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan
gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif
dan pasif.
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
b. Pemeriksaan Laboratorium
c. Pemeriksaan lain-lain

B. Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan dianaisa untuk
menemukan masalah kesehatan klien. Untuk mengelompokkannya dibagi menjadi
dua data yaitu, data sujektif dan data objektif, dan kemudian ditentukan masalah
keperawatan yang timbul.

3.2 Diagnosa
1. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan kerangka neuromuskuler,
pembatasan gerak.
3. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan,
prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.

3.3 Intervensi

N Dx. Keperawatan Rencana Tindakan Rasional


o
Dx
1. Nyeri akut 1. Tinggikan posisi 1. Meningkatkan aliran
19
berhubungan dengan ekstremitas yang mengalami balik vena, mengurangi
spasme otot, gerakan fraktur. edema/ nyeri.
fragmen tulang, 2. Lakukan dan awasi latihan 2. Mempertahankan kekuat-
edema, cedera gerak pasif/ aktif sesuai an otot dan meningkatkan
jaringan lunak, keadaan klien. sirkulasi vaskuler.
pemasangan traksi, 3. Meningkatkan sirkulasi
stress/ansietas, luka 3. Lakukan tindakan untuk umum, menurunkan area
operasi. meningkatkan kenyamanan tekanan lokal dan
(masase, perubahan posisi). kelelahan otot.
4. Mengalihkan perhatian
4. Ajarkan penggunaan teknik terhadap nyeri,
manajemen nyeri (latihan meningkatkan kontrol
napas dalam, imajinasi terhadap nyeri yang
visual, aktivitas mungkin berlangsung
dipersional). lama.
5. Menurunkan edema dan
5. Lakukan kompres dingin mengurangi rasa nyeri.
selama fase akut (24-48 jam
pertama) sesuai keperluan. 6. Menurunkan nyeri
6. Kolaborasi pemberian melalui mekanisme
analgetik sesuai indikasi. penghambatan rangsang
nyeri baik secara sentral
maupun perifer.
7. Menilai perkembangan
7. Evaluasi keluhan nyeri masalah klien.
(skala, petunjuk verbal dan
non verval, perubahan
tanda-tanda vital)
2. Gangguan mobilitas 1. Pertahankan pelaksanaan 1. Memfokuskan perhatian,
fisik berhubungan akti-vitas rekreasi terapeutik meningkatkan rasa
dengan kerusakan (radio, koran, kunjungan kontrol diri/harga diri,
kerangka teman/ keluarga) sesuai membantu menurunkan
neuromuskuler, keadaan klien. isolasi sosial.
pembatasan gerak. 2. Bantu latihan rentang gerak 2. Meningkatkan sirkulasi
20
pasif aktif pada ekstremitas darah muskuloskeletal,
yang sakit maupun yang mempertahankan tonus
sehat sesuai keadaan klien. otot, mempertahakan ge-
rak sendi, mencegah kon-
traktur/ atrofi dan mence-
gah reabsorbsi kalsium
karena imobilisasi.
3. Bantu dan dorong 3. Meningkatkan
perawatan diri (kebersihan/ kemandirian klien dalam
makan/ eliminasi) sesuai perawatan diri sesuai
keadaan klien. kondisi keterbatasan
klien.
4. Ubah posisi secara periodik 4. Menurunkan insiden
sesuai keadaan klien. komplikasi kulit dan
pernapasan (dekubitus,
atelektasis, penumonia).
5. Anjurkan/ pertahankan
5. Mempertahankan hidrasi
asupan cairan 2000-3000
adekuat, men-cegah
ml/ hari.
komplikasi urinarius dan
konstipasi.
6. Berikan diet TKTP.
6. Kalori dan protein yang
cukup diperlukan untuk
proses penyembuhan dan
mem-pertahankan fungsi
fisiologis tubuh.
7. Kerjasama dengan fisio-
7. Kolaborasi pelaksanaan
terapis perlu untuk me-
fisio-terapi sesuai indikasi.
nyusun program aktivitas
fisik secara individual.
8. Menilai perkembangan
8. Evaluasi kemampuan
masalah klien.
mobilisasi klien dan
program imobilisasi.
3. Risiko infeksi 1. Pertahankan tirah baring 1. Meminimalkan rangsang

21
berhubungan dengan dan imobilisasi sesuai nyeri akibat gesekan
stasis cairan tubuh, indikasi. antara fragmen tulang
respons inflamasi dengan jaringan lunak di
tertekan, prosedur sekitarnya.
invasif dan jalur 2. Rawat luka setiap hari atau 2. Mempercepat
penusukkan, setiap kali bila pembalut penyembuhan luka dan
luka/kerusakan kulit, basah atau kotor. mencegah infeksi lokal/
insisi pembedahan. sistemik.
3. Bila terpasang bebat, 3. Mencegah perubahan
sokong fraktur dengan posisi dengan tetap
bantal atau gulungan mempertahankan
selimut untuk kenyamanan dan
mempertahankan posisi keamanan.
yang netral.
4. Evaluasi pembebat terhadap 4. Bila fase edema telah
resolusi edema. lewat, kemungkinan
bebat menjadi longgar
dapat terjadi.
5. Kolaborasi pemasangan 5. Skeletal traksi
skeletal traksi. menghasilkan efek
fiksasi yang lebih stabil
sehingga dapat
meminimalkan resiko
perluasan cedera.
6. Kolaborasi pemberian obat 6. Antibiotik bersifat bakte-
antibiotika. riosida/ baktiostatika
untuk membunuh /
menghambat
perkembangan kuman.
7. Evaluasi tanda/ gejala 7. Menilai perkembangan
perluasan cedera jaringan masalah klien.
(peradangan lokal/ sistemik,
seperti peningkatan nyeri,

22
edema, demam)

3.4 Implementasi
Merupakan pelaksanaan dari rencana tindakan keperawatan yang telah disesuaikan
dengan tujuan dari tindakan keperawatan.

3.5 Evaluasi
Evaluasi adalah suatu yang direncanakan dan perbandingan yang sistematik pada status
kesehatan klien. Evaluasi juga merupakan hasil akhir dari suatu tindakan, sedangkan hasil
yang diharapkan ialah sesuai dengan perencanaan dan tujuan dari tindakan keperawatan
yang mengambarkan tujuan tercapai atau tidak. Evaluasi yang diharapkan yaitu :
1. Klien mengatakan  nyeri berkurang/ hilang .
2. Klien dapat melakukan aktivitas fisik seoptimal mungkin.
3. Infeksi tidak terjadi.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Fraktur atau yang sering disebut patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang diantaranya penyakit yang disebut osteoporosis, dan dapat juga disebabkan karena
kecelakaan yang tidak terduga. Penanganan utama fraktur yaitu dengan pembidaian yang
meliputi pemasangan gifs ataupun dengan melakukan metode penarikan atau traksi yang
menggunakan benda berat sebagai penopang. Stadium Penyembuhan Fraktur ada 5 yaitu :
1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler      
3. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
4. Stadium Empat-Konsolidasi
23
5. Stadium Lima-Remodelling

4.2 Saran
Diharapkan makalah ini dapat berguna bagi pembaca dan dapat menambah wawasan
pembaca tentang fraktur dan penanganannya.

24

Anda mungkin juga menyukai