Anda di halaman 1dari 4

Bagi masyarakat Tana Toraja di Sulawesi Selatan (Sulsel), meyakini kerbau adalah

kendaraan bagi arwah menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Kerbau pun


memiliki kedudukan unik bagi masyarakat Toraja. Ia diternakkan dan sebagai alat
pembajak sawah, sekaligus dianggap hewan sakral dan simbol status sosial.

Yoshafat, tokoh adat dari Tana Toraja, mengatakan, kerbau dinilai sesembahan
tertinggi bagi masyarakat adat Toraja yang meninggal, melalui ritual rambu
solo’. Rambu Solo’ ini dilakukan berhari-hari, bahkan ada berminggu-minggu, dan
dihadiri ribuan warga. Salah satu ritual penting adalah penyembelihan kerbau.

Dalam kepercayaan Aluk To Dolo, atau agama Toraja kuno, rambu solo’ dilakukan


keluarga bangsawan. Makin tinggi nilai kebangsawanan, makin besar dan mewah
pula acara. Belakangan ritual ini bisa juga oleh non bangsawan, tetapi memiliki
keuangan cukup.

“Sekarang siapa pun bisa, meski dulu hanya bangsawan. Namun, tidak semua
daerah di Toraja boleh. Di beberapa daerah tetap mengacu kepada aturan Aluk To
Dolo, hanya boleh bangsawan,” katanya kepada Mongabay, awal Desember 2013.

Dalam ritual kematian ini, kerbau yang dikorbankan sangat tergantung hasil rembuk
keluarga besar. Ada sampai menyembelih 1.000 kerbau. Persyaratan wajib minimal
40 ekor dan puluhan babi. Dalam rembuk ini, biasa juga ditetapkan kapan ritual
dilaksanakan.

Selama ritual berkabung belum dijalankan, jasad tetap berada di dalam rumah adat
yang disebut tongkonan dan dibungkus beberapa helai kain. Segala kebutuhan
hidup tetap diberikan, seperti pakaian, sajian makanan bahkan tetap diputarkan
acara TV favorit.

Hal menarik dalam ritual ini adalah jenis kerbau yang dikorbankan ternyata memiliki
kasta beragam, antara lain tedong bonga, tedong pudu’ dan tedong
sambao’. Tedong bonga adalah kerbau dengan kasta tertinggi.
Dinamai bonga karena memiliki belang di sekujur tubuh. Tedong bonga ini memiliki
beberapa jenis, didasarkan jenis dan belang berada.

Ada bonga sanga’daran, yaitu kerbau belang bagian mulut didominasi warna hitam.
Ada juga bonga randan dali’ jika warna alis mata hitam. Juga bonga lotong
boko’ jika memiliki warna hitam di bagian punggung. Tedong bonga dengan nilai
tertinggi adalah tedong saleko atau kerbau belang terbaik. Kulit didominasi warna
putih pucat, dengan bercak atau belang hitam di sekujur tubuh.
Sal
ah satu ritual terpenting Rambu Solo. Ini adalah adu kerbau. Tak jarang acara ini dijadikan
kesempatan warga untuk taruhan uang atau barang. Foto: Sharif Jimar

Menurut Yoshafat, tedong saleko inilah merupakan kerbau harga termahal, dari


ratusan juta hingga miliaran rupiah. Harga sangat tergantung kondisi kerbau itu,
yaitu dari belang, panjang tanduk, tanda khusus di tubuh, hingga panjang
ekor. “Makin besar tanduk, makin panjang ekor, jika lokasi belang di tempat
persyaratan, makin mahal. Terakhir saya mendengar ada terjual Rp1 miliar per
ekor.”

Ada juga tedong pudu’, ciri berwarna hitam dan fisik kuat. Kerbau ini biasa sebagai
kerbau aduan di akhir acara rambu solo’. Harga bisa setengah dari tedong
bonga. Kasta kerbau lain tedong sambao’, yaitu kerbau kasta terendah. Kerbau ini
berwarna kulit abu-abu atau coklat, hampir menyerupai kulit sapi. Inilah jenis kerbau
paling banyak disembelih saat rambu solo’.

Tedong saleko, kerban endemik Toraja. Ia sangat mahal mungkin karena digunakan
buat ritual, dan sulit mendapatkan kerbau ini. Dibanding kerbau lain, proses
pembiakan saleko relatif susah karena masa birahi betina yang sulit diketahui.
“Sangat beruntung dan dinilai berkah jika ada yang bisa membiakkan. Sangat sulit
mendapatkan,” kata Yoshafat.

Meski demikian, baru-baru ini Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (2002),
melaporkan bisa membiakkan melalui teknologi transfer embrio.
Kebutuhan kerbau di Sulsel tinggi, terutama buat ritual kematian rambu solo’ ini.
“Diperkirakan setiap tahun sekitar 18 ribu kerbau dipotong sebagai bagian dari
upacara adat di Tana Toraja, atau sekitar 70 persen kerbau di daerah ini. Tapi tak
dibarengi produksi memadai,” kata Syamsuddin Hasan, Dekan Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, pada acara Buffalo International
Conference 2013 di Makassar, awal November lalu.

Dia mengatakan, jika tak dibarengi upaya peningkatan produksi ternak, populasi
kerbau di Sulsel makin terbatas. Apalagi kebutuhan kerbau makin meningkat setiap
tahun, seiring peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Fenomena penurunan populasi kerbau ini juga terjadi secara nasional. Jika tahun
1990-an, populasi kerbau mencapai 3,5 juta ekor, kini diperkirakan merosot hingga
1 juta ekor.“Jika tidak segera ada upaya budidaya intensif berbasis teknologi, bisa
berdampak kelangkaan ternak ini.”

Di Sulsel, peternakan kerbau banyak ditemukan di dua daerah, yaitu Tana Toraja
dan Toraja Utara. Di kedua daerah ini kerbau menjadi ternak utama, sebagai salah
satu unsur penting dalam ritual kematian.

Penurunan populasi kerbau juga disebabkan, alih fungsi mekanisasi pertanian dan
luas lahan penggembalaan atau perkubangan kerbau berkurang. “Ini karena beralih
fungsi menjadi lahan pemukiman dan industri.”

Padahal, kata Syamsuddin, budidaya kerbau sebenarnya sangat menguntungkan.


Sebab, selain produksi daging, susu kerbau pun jauh lebih sehat dibanding susu
sapi, rendah kolesterol dan baik untuk penderita diabetes.
Ker
ban belang endemik Toraja, Sulawesi Selatan, dengan harga bisa mencapai Rp1 miliar. Foto:
Maliku Pakambanan

Anda mungkin juga menyukai