Referat Saraf (Tetanus)
Referat Saraf (Tetanus)
TETANUS
Disusun oleh :
Fitril Walida
H1AP14052
Pembimbing:
DEPARTEMEN SYARAF
BENGKULU
2020
LEMBAR PENGESAHAN
NIM : H1AP14052
BAGIAN : Syaraf
PEMBIMBING : dr. Iman Indrasyah, Sp.S
Agustus 2020
Pembimbing
2
REFERAT
KATA PENGANTAR
Bengkulu, 2020
Penulis
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi akut yang ditandai oleh
kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin
(tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Penyakit ini umum terjadi di daerah
pertanian, di daerah pedesaan dan pada daerah dengan iklim hangat. Tetanus
masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia karena tingkat
kebersihan masih sangat kurang sehingga mudah terjadi kontaminasi. Selain itu,
perawatan luka kurang diperhatikan dan kurangnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.1,2
Akhir-akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi, terjadi
penurunan insidens sejalan dengan pelaksanaan program imunisasi terhadap
tetanus. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang
diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh
imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara berkala. 2,3
Tetanus terjadi oleh karena Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh melalui
luka pada kulit dan menimbulkan gejala seperti peningkatan tonus otot disertai
spasme otot dan kejang tonik dengan kesadaran tidak terganggu. Pencegahan
dapat dilakukan dengan cara mencegah terjadinya luka, melakukan perawatan
luka yang adekuat, pemberian serum anti tetanus (ATS), pemberian toksoid
tetanus pada anak yang belum pernah mendapat imunisasi aktif. Sedangkan yang
sudah terinfeksi Clostridium tetani dapat diberikan Anti Toksin Tetanus dan
antibiotik selama 10 hari. Tetanus dapat menimbulkan kematian dan gangguan
fungsi tubuh, namun apabila diobati dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh
dengan baik.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definis
2.2 Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani, kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um
memiliki sifat:4,5
Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya
sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.
Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan
anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella.
Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan
dalam suhu tinggi (dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 10–15
menit), kekeringan dan desinfektans (fenol dan lainnya). Spora dapat
menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan
biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak
menguntungkan selama bertahun-tahun.
Kuman hidup di tanah, debu, dan di dalam usus binatang, terutama pada
tanah di daerah pertanian/peternakan. Umumnya, spora bakteri ini
terdistribusi pada tanah dan saluran pencernaan serta feses dari kuda,
domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam.
2.3 Epidemiologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada
jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat populasi masyarakat yang
tidak kebal, tingkat pencemaran biologi lingkungan peternakan/ pertanian, dan
adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia,
terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DTP yang rendah
angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaaan aktivitas
fisiknya.4
Di negara berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian
akibat tetanus masih cukup tinggi, hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan
masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka yang kurang
diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan
kekebalan terhadap tetanus. Oleh karena itu tetanus masih menjadi masalah
kesehatan, terutama penyebab kematian neonatal tersering oleh karena tetanus
neonatorum. Akhir-akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di
seluruh dunia, maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.
Reservoir utama kuman ini adalah yang mengandung kotoran ternak, kuda
dan sebagainya, sehingga risiko penyakit ini di daerah peternakan sangat besar.
Spora kuman Clostridium tetani yang tahan terhadap kekeringan dapat bertebaran
di mana-mana; misalnya dalam debu jalanan, lampu operasi, bubuk antiseptik
(dermatol), ataupun pada alat suntik dan operasi.4
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit akibat penyakit pencemaran
lingkungan oleh bahan biologis (spora), sehingga upaya kausal menurunkan
attack rate berupa cara mengubah lingkungan fisik atau biologis. Port d’entre tak
selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui:4
1. Luka tusuk (paku, serpihan kaca, injeksi tidak steril, injeksi obat, tindik), patah
tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas
2. Luka operasi (benang terkontaminasi), luka yang tak dibersihkan (debridement)
dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, abses gigi, luka kronik (ulkus kronik), gangren
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan punting tali pusat dengan
kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan merupakan
penyebab utama masuknya spora pada punting tali pusat yang menyebabkan
terjadinya kasus tetanus neonatorum.
2.4 Patogenesis
Biasanya penyakit ini terjadi setelah luka yang dalam misalnya luka yang
disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka
tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang
kotor, luka bakar dan patah tulang juga akan mengakibatkan keadaan anaerob
yang ideal untuk pertumbuhan Clostridium tetani ini. Walaupun demekian luka-
luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, telinga atau tonsil dan traktus
digestivus serta gigitan serangga dapat pula merupakan Port d’entree (tempat
masuk) dari Clostridium tetani. Telinga dengan otitis media perforata merupakan
tempat masuknya Clostridium tetani. 1
Dalam kondisi anaerobic yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi,
basil tetanus mensekresi dua macam toksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang
mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan
multiplikasi bakteri. Ujung karboksil dari rantai berat terikat pada membrane saraf
dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan
bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmitter dari neuron
yang dipengaruhi. Tetanoplasmin yang dilepaskan akan menyebar pada jaringan
dibawahnya dan terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada membrane ujung
saraf lokal. Jika toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah
yang kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh.
Toksin akan menyebar dan ditransportasikan dalam axon dan secara retrograde ke
dalam badan sel di batang otak dan saraf spinal. 1,3
Transport terjadi pertama kali pada saraf motorik lalu ke saraf sensorik dan
saraf autonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan
akan masuk dan mempengaruhi neuron didekatnya. Apabila interneuron inhibitor
spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan muncul. Transport interneuronal
retrograde lebih jauh terjadi dengan menyebarnya toksin ke batang otak otak dan
otak tengah. Penyebaran ini meliputi transfer melewati celah sinaptik dengan
suatu mekanisme yang tidak jelas. Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori,
ikatan disulfide yang menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan
berkurang, membebaskan rantai ringan. Efek toksin dihasilkan melalui
pencegahan lepasnya neurotransmitter. Sinaptobrevin merupakan protein
membrane yang diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung
neurotransmitter. Rantai ringan tetanoplasmin merupakan metalloproteinase zink
yang membelah sinaptobrevin pada suatu titik tunggal, sehingga mencegah
pelepasan neurotransmitter. 1
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitor, dimana setelah
toksin menyebrangi sinaps untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade
pelepasan neurotransmitter inhibitor yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA).
Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali
dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu
(karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik preganglionik pada ujung
lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi
dengan cara yang sama, dan pelepasan asetilkolin kedalam celah neuromuskuler
dikurangi. Pusat medulla dan hypothalamus mungkin juga dipengaruhi. 1
Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang
otak akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai
konvulsi. Reflex inhibisi dari kelompok antagonis hilang, sedangkan otot-otot
agonis dan antagonis berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri
dan dapat berakibat fraktur atau rupture tendon. Otot rahang, wajah dan kepala
sering terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan
anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relatif
jarang terlibat. 1
Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang
bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang
dilepaskan di dalam luka memasuki aliran limfe dan darah dan menyebar luas
mencapai ujung saraf terminal : sawar darah otak memblokade masuknya toksin
secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan waktu transport
intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek akan terpengaruh
sebelum serabut saraf yang panjang, hal ini menjelaskan urutan keterlibatan
serabut saraf di kepala, tubuh, dan ektremitas pada tetanus generalisata. 1
Gambar 2. Patomekanisme tetanus
2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan pada tetanus yang umum terdiri dari kevutuhan cairan dan
nutrisi, mnjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi, mengatasi kejang, perawatan
luka atau port’d entree lain yang diduga seperti karies dentis dan OMSK,
sedangkan pengobatan khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti
tetanus.4
- Antibiotik
Antibiotik ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan
untuk toksin yang dihasilkannya. Antibiotik lini pertama yang diberikan adalah
metronidazole IV/oral dengan dosis awal secara loading dose 15 mg/kgBB dalam
1 jam dilanjutkan 30 mg/kgBB/hari selama 1 jam perinfus setiap 6 jam selama 7-
10 hari. Lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000/kgBB/hari
selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan
tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak usia > 8 tahun). Penyulit yang ada
diberikan antibiotik yang sesuai.
- Anti serum
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU IM dan
50.000 IU IV. Pemberian ATS harus berhati-hati akan terjadinya reaksi
anafilaksis. Pada tetanus anak pemberian anti serum dapat disertai
imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas
tersedia dapat diberikan HTIG (Human Tetanus Immune Globulin) 3.000-
6000 IU IM.
6. Perawatan
Tujuannya untuk mengurangi rangsangan, menjamin masukan cairan dan
elektrolit dan mencegah Infeksi sekunder/keadaan yang lebih berat. Penderita
dirawat di ruangan terbuka, ventilasi baik, tenang dan memungkinkan
dilakukan pengawasan setiap saat. Sebaiknya neonatus dirawat dalam
inkubator.
Membatasi tindakan-tindakan yang merupakan rangsangan (tindakan yang
sangat perlu saja yang dikerjakan). Mempertahankan jalan napas bebas
hambatan dengan pengisapan sekret/lendir orofaring dan nasofaring secara
berkala. Posisi/letak penderita diubah-ubah secara periodik. Perawatan
luka/punting pusat secara konservatif dengan H2O2 dan povidon jodium 10%.7
2.9 Pencegahan
2.10 Komplikasi
1. Saluran pernapasan
Dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia, atelektasis akibat obstruksi oleh
sekret, pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat
dilakukannya trakeostomi.
2. Kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa
takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
3. Tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam
otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis akibat kejang
yang terus-menerus terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti
melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta.
4. Komplikasi yang lain
Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita berbaring dalam satu
posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang
menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.8
2.11 Prognosis
Prognosis tetanus pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Jika masa
inkubasi pendek (kurang dari 7 hari), usia yang sangat muda (neonatus), period of
onset yang pendek (jarak antara trismus dan timbulnya kejang kurang dari 48
jam), frekuensi kejang yang tinggi, pengobatan terlambat, adanya komplikasi
terutama spasme otot pernapasan dan obstruksi jalan napas, semua ini
prognosisnya buruk.
1. Ismanoe G. Tetanus. Dalam : Sudoyo AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Volume 3. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakutas Kedokteran Universitas Indonesia : 2007
2. Hassel, Bjornar: Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of Using
Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms, volume 5, Norway,
2013, 73-83.
3. Harrison: Tetanus in :Principles of lnternal Medicine, volume 2, ed. 13 th,
McGrawHill. Inc,New York, 2004, .577-579.
4. Leman, Martinus M., Tumbelaka, Alan R. Penggunaan Anti Tetanus Serum
dan Human Tetanus Immunoglobulin pada Tetanus Anak. Sari Pediatri, Vol.
12, No. 4, Desember 2010. Hal: 283-287.
5. Rampengan, Novie H., Pangestu Yose, Tatura, S.N.N, Rampengan, T.H. Profil
Kasus Tetanus Anak Di RS. Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. Sari Pediatri,
Vol. 14, No. 3, Oktober 2012. Hal: 173-177.
6. Hassel, Bjornar: Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of Using
Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms, volume 5, Norway,
2013, 73-83.
7. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Tetanus. Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Ke-2.Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010;
hal.322-9.
8. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Tetanus. Nelson Textbook of
Pediatrics. 17th ed. Jenson Publisher: Saunders. 2007; p. 951-3.
9. Farrar, L M Yen, T Cook, N Fairweather, N Binh, J Parry: Tetanus. Neurol
Neurosurg Psychiatry, volume 69, 2000, 292-301 2000.
10. Rodrigo, Chaturaka : Pharmacological management of tetanus: an evidence-based
review, Critical Care. 2014. 18: 217
11. Satari, Hindra Irawan, Chairulfatah, Alex, Dkk. Penatalaksanaan Pada
Tetanus Anak. Health Technology Assessment Indonesia Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Hal: 1-29.
12. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2014. Hal.
13. Abrutyn E. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Ed 13, Vol 2.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Hal: 711-713
14. Tim IDAI. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ke-4. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI. 2010; hal. 87-9.