Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

TETANUS

Disusun oleh :

Fitril Walida

H1AP14052

Pembimbing:

dr. M. Iman Indrasyah, Sp.S

DEPARTEMEN SYARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS BENGKULU

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DE. M. YUNUS

BENGKULU

2020
LEMBAR PENGESAHAN

NAMA : Fitril Walida

NIM : H1AP14052

UNIVERSITAS : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas


Bengkulu

JUDUL REFERAT : Tetanus

BAGIAN : Syaraf
PEMBIMBING : dr. Iman Indrasyah, Sp.S

Agustus 2020

Pembimbing

dr. M. Iman Indrasyah, Sp.S

2
REFERAT

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas


rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini. Referat ini
disusun guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik Syaraf di RSUD dr. M. Yunus
Bengkulu.

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dr.


M. Iman Indrasyah, Sp.S yang telah membimbing penulis dalam mengerjakan
referat ini. Tak lupa juga ucapan terima kasih penulis haturkan kepada rekan-rekan
seperjuangan di kepaniteraan ini, serta kepada semua pihak yang telah memberi
dukungan dan bantuan kepada penulis.

Dengan penuh kesadaran dari penulis, meskipun telah berupaya


semaksimal mungkin untuk menyelesaikan referat ini, namun masih terdapat
kelemahan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis mengharapkan semoga referat ini
dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua.

Bengkulu, 2020

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING.......................................................2


KATA PENGANTAR............................................................................................3
DAFTAR ISI..........................................................................................................4
BAB I: PENDAHULUAN....................................................................................5
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................6
BAB III: KESIMPULAN......................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24
BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi akut yang ditandai oleh
kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin
(tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Penyakit ini umum terjadi di daerah
pertanian, di daerah pedesaan dan pada daerah dengan iklim hangat. Tetanus
masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia karena tingkat
kebersihan masih sangat kurang sehingga mudah terjadi kontaminasi. Selain itu,
perawatan luka kurang diperhatikan dan kurangnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.1,2
Akhir-akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi, terjadi
penurunan insidens sejalan dengan pelaksanaan program imunisasi terhadap
tetanus. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang
diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh
imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara berkala. 2,3
Tetanus terjadi oleh karena Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh melalui
luka pada kulit dan menimbulkan gejala seperti peningkatan tonus otot disertai
spasme otot dan kejang tonik dengan kesadaran tidak terganggu. Pencegahan
dapat dilakukan dengan cara mencegah terjadinya luka, melakukan perawatan
luka yang adekuat, pemberian serum anti tetanus (ATS), pemberian toksoid
tetanus pada anak yang belum pernah mendapat imunisasi aktif. Sedangkan yang
sudah terinfeksi Clostridium tetani dapat diberikan Anti Toksin Tetanus dan
antibiotik selama 10 hari. Tetanus dapat menimbulkan kematian dan gangguan
fungsi tubuh, namun apabila diobati dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh
dengan baik.3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definis

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya


tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin
protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, tanpa gangguan
kesadaran. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang
disebabkan tetanospasmin.4

2.2 Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani, kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um
memiliki sifat:4,5
 Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya
sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.
 Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan
anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella.
 Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan
dalam suhu tinggi (dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 10–15
menit), kekeringan dan desinfektans (fenol dan lainnya). Spora dapat
menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan
biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak
menguntungkan selama bertahun-tahun.
 Kuman hidup di tanah, debu, dan di dalam usus binatang, terutama pada
tanah di daerah pertanian/peternakan. Umumnya, spora bakteri ini
terdistribusi pada tanah dan saluran pencernaan serta feses dari kuda,
domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam.

 Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan


tetanolisin. Fungsi dari tetanolisin tidak diketahui dengan pasti, namun
juga dapat menyebabkan lisis dari sel-sel darah merah dan jaringan di
sekitar luka. Tetanospamin yang dapat menyebabkan penyakit tetanus,
merupakan toksin yang neurotropik yang dapat menyebabkan
ketegangan dan spasme otot. Perkiraan dosis mematikan minimal dari
kadar toksin (tetanospamin) adalah 2,5 ng/kgBB atau 175 ng untuk 70
kilogram (154lb) manusia.

Gambar 1. Mikroskopis Clostridium tetani

2.3 Epidemiologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada
jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat populasi masyarakat yang
tidak kebal, tingkat pencemaran biologi lingkungan peternakan/ pertanian, dan
adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia,
terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DTP yang rendah
angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaaan aktivitas
fisiknya.4
Di negara berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian
akibat tetanus masih cukup tinggi, hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan
masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka yang kurang
diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan
kekebalan terhadap tetanus. Oleh karena itu tetanus masih menjadi masalah
kesehatan, terutama penyebab kematian neonatal tersering oleh karena tetanus
neonatorum. Akhir-akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di
seluruh dunia, maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.
Reservoir utama kuman ini adalah yang mengandung kotoran ternak, kuda
dan sebagainya, sehingga risiko penyakit ini di daerah peternakan sangat besar.
Spora kuman Clostridium tetani yang tahan terhadap kekeringan dapat bertebaran
di mana-mana; misalnya dalam debu jalanan, lampu operasi, bubuk antiseptik
(dermatol), ataupun pada alat suntik dan operasi.4
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit akibat penyakit pencemaran
lingkungan oleh bahan biologis (spora), sehingga upaya kausal menurunkan
attack rate berupa cara mengubah lingkungan fisik atau biologis. Port d’entre tak
selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui:4

1. Luka tusuk (paku, serpihan kaca, injeksi tidak steril, injeksi obat, tindik), patah
tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas
2. Luka operasi (benang terkontaminasi), luka yang tak dibersihkan (debridement)
dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, abses gigi, luka kronik (ulkus kronik), gangren
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan punting tali pusat dengan
kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan merupakan
penyebab utama masuknya spora pada punting tali pusat yang menyebabkan
terjadinya kasus tetanus neonatorum.

2.4 Patogenesis
Biasanya penyakit ini terjadi setelah luka yang dalam misalnya luka yang
disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka
tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang
kotor, luka bakar dan patah tulang juga akan mengakibatkan keadaan anaerob
yang ideal untuk pertumbuhan Clostridium tetani ini. Walaupun demekian luka-
luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, telinga atau tonsil dan traktus
digestivus serta gigitan serangga dapat pula merupakan Port d’entree (tempat
masuk) dari Clostridium tetani. Telinga dengan otitis media perforata merupakan
tempat masuknya Clostridium tetani. 1
Dalam kondisi anaerobic yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi,
basil tetanus mensekresi dua macam toksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang
mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan
multiplikasi bakteri. Ujung karboksil dari rantai berat terikat pada membrane saraf
dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan
bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmitter dari neuron
yang dipengaruhi. Tetanoplasmin yang dilepaskan akan menyebar pada jaringan
dibawahnya dan terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada membrane ujung
saraf lokal. Jika toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah
yang kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh.
Toksin akan menyebar dan ditransportasikan dalam axon dan secara retrograde ke
dalam badan sel di batang otak dan saraf spinal. 1,3
Transport terjadi pertama kali pada saraf motorik lalu ke saraf sensorik dan
saraf autonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan
akan masuk dan mempengaruhi neuron didekatnya. Apabila interneuron inhibitor
spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan muncul. Transport interneuronal
retrograde lebih jauh terjadi dengan menyebarnya toksin ke batang otak otak dan
otak tengah. Penyebaran ini meliputi transfer melewati celah sinaptik dengan
suatu mekanisme yang tidak jelas. Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori,
ikatan disulfide yang menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan
berkurang, membebaskan rantai ringan. Efek toksin dihasilkan melalui
pencegahan lepasnya neurotransmitter. Sinaptobrevin merupakan protein
membrane yang diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung
neurotransmitter. Rantai ringan tetanoplasmin merupakan metalloproteinase zink
yang membelah sinaptobrevin pada suatu titik tunggal, sehingga mencegah
pelepasan neurotransmitter. 1
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitor, dimana setelah
toksin menyebrangi sinaps untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade
pelepasan neurotransmitter inhibitor yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA).
Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali
dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu
(karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik preganglionik pada ujung
lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi
dengan cara yang sama, dan pelepasan asetilkolin kedalam celah neuromuskuler
dikurangi. Pusat medulla dan hypothalamus mungkin juga dipengaruhi. 1
Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang
otak akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai
konvulsi. Reflex inhibisi dari kelompok antagonis hilang, sedangkan otot-otot
agonis dan antagonis berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri
dan dapat berakibat fraktur atau rupture tendon. Otot rahang, wajah dan kepala
sering terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan
anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relatif
jarang terlibat. 1
Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang
bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang
dilepaskan di dalam luka memasuki aliran limfe dan darah dan menyebar luas
mencapai ujung saraf terminal : sawar darah otak memblokade masuknya toksin
secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan waktu transport
intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek akan terpengaruh
sebelum serabut saraf yang panjang, hal ini menjelaskan urutan keterlibatan
serabut saraf di kepala, tubuh, dan ektremitas pada tetanus generalisata. 1
Gambar 2. Patomekanisme tetanus

2.5 Manifestasi Klinis


Masa inkubasi umumnya 3-21 hari, hal ini secara langsung berhubungan
dengan jarak dari tempat masuknya kuman Clostridium tetani (tempat luka) ke
Susunan Saraf Pusat (SSP). Secara umum semakin besar jarak antara tempat luka
dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama. Semakin pendek masa inkubasi,
akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian. 6
Kaku kuduk, nyeri tenggorokan dan kesulitan untuk membuka mulut, sering
merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus
(rahang terkunci, lock jaw), spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah
yang menyebabkan ekspresi wajah yang khas, Rhisus sardonicus dan meluas ke
otot-otot untuk menelan yang menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh
stimulus internal dan ekternal dapat berlangsung selama beberapa menit dan
dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tubuh
menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan
dinding dada. Opistotonus adalah posisi seimbang akibat dari kontraksi yang tidak
henti-hentinya semua otot yang berlawanan, semuanya menampakkan kekakuan
tetanus khas seperti papan. 1,5
Disamping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat
episodic. Kontraksi tonik ini tampak seperti konvulsi yang terjadi pada kelompok
agonis dan antagonis secara bersamaan. Kontraksi ini dapat bersifat spontan
ataupun dipicu oleh stimulus berupa sentuhan, stimulus visual, auditoria atau
emosional. Spasme otot-otot laring dan pernapasan dapat menyebabkan obstruksi
saluran pernapasan dan asfiksia yang dapat mengancam jiwa. Karena toksin
tetanus tidak mengenai saraf sensoris atau fungsi korteks, mengakibatkan
penderita tetap sadar. Disuria dan retensi urin dapat terjadi akibat dari spasme
sfingter kandung kencing, selain itu mengejan waktu bertinja dapat terjadi.
Demam kadang-kadang setinggi 40oC, adalah lazim karena banyak energi
metabolik dihabiskan oleh otot-otot spastic. Pengaruh autonom yang utama adalah
takikardia, aritmia, hipertensi labil, diaphoresis dan vasokonstriksi kulit.
Hipertensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan hipotensi berat,
bradikardia dan henti jantung berulang. Pergantian ini lebih merupakan akibat
perubahan resistensi vaskuler sistemik daripada perubahan pengisian jantung dan
kekuatan jantung. 1,5
Gejala tetanus pada anak: 8
1) Hipertoni dan spasme otot
- Trismus : sukar makan/minum, bicara tidak jelas
- Spasme otot leher : leher sakit dan kaku, kernig sign positif
- Rhisus sardonikus
- Spasme otot lain : opistotonus, dinding perut tegang, anggota gerak
spastic, sukar duduk/jalan.
2) Kejang tonik dengan kesadaran tidak terganggu
Gambar 5. Rhisus Sardonikus
Gambar 4. Trismus pada tetanus

Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit,


tetanus dapat dibagi menjadi empat tingkatan berdasarkan klasifikasi Ablett. 6
Skala/derajat keparahan tetanus menurut sistem skoring Bleck: 6

Beratnya penyakit berdasarkan Kriteria Patel dan Joaq: 6


1. Trismus.
2. Kejang.
3. Masa tunas ≤ 7 hari.
4. Onset period ≤ 48 jam.
5. Suhu rectal ≥ 38oC dalam 24 jam pertama di rumah sakit.
Penyakit terhitung derajat 1 bila 1 kriteria ditemukan, derajat 2 bila ada 2
kriteria dan seterusnya derajat 5 bila terdapat semua kriteria.
2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Sedangkan pemeriksaan penunjang tidak spesifik. Jangan menyingkirkan
diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara lengkap.
Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang yang telah divaksinasi
(imunokompeten). Pada anamnesis didapatkan adanya riwayat luka dan timbul
gejala seperti hipertoni dan spasme otot, kejang tonik dengan kesadaran tidak
terganggu dan gag reflex positif.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan jumlah lekosit dapat meninggi.
Pemeriksaan cairan otak biasanya normal. Elektromiogram dapat memperlihatkan
adanya lepas muatan unit motorik secara terus menerus dan pemendekan atau
tanpa interval yang tenang, yang biasanya tampak setelah potensial aksi.
Perubahan nonspesifik dapat tampat pada elektrokardiogram. 7,8
2.7 Diagnosis Banding
Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit.
Diagnosis bandingnya sebagai berikut: 4
1) Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut
tidak dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan
kesadaran dan terdapat kelainan likuor serebrospinal.
2) Tetani disebabkan timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana
kadar kalsium dan fosfat dalam serum rendah.
3) Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).
4) Rabies : dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan
pada anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.
5) Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, Otitis Media
Supuratif Kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris

2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan pada tetanus yang umum terdiri dari kevutuhan cairan dan
nutrisi, mnjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi, mengatasi kejang, perawatan
luka atau port’d entree lain yang diduga seperti karies dentis dan OMSK,
sedangkan pengobatan khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti
tetanus.4

1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi. Pada hari pertama perlu


pemberian cairan secara intravena, sekaligus memberikan obat-obatan dan
bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya
dipertimbangkan pemberian nutrisi secaraparenteral. Setelah kejang
mereda dapat dipasang sonde lambung untuk maanan dan obat-obatan
dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi.
2. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu
trakeostomi. Trakeostomi dapat dipertimbangkan bila terdapat tanda-tanda
spasme laring yang berat yang dapat terjadi pada status konvulsi atau
kejang yang sulit diatasi.
3. Memberikan tambahan oksigen dengan sungkup. Terutama bila ada tanda-
tanda hipoksia, seperti distress pernapasan, sianosis dan apneu dan status
konvulsi.
4. Simptomatis untuk mengurangi spasme dan mengatasi kejang
Tujuannya untuk menurunkan kepekaan jaringan saraf terhadap rangsang,
relaksasi otot dan mengatasi kejang. Mempertahankan/memperbaiki
keadaan umum.
Diazepam merupakan obat pilihan pertama yang bersifat sedative, relaksan
otot dan anti kejang. Diazepam efektif mengatasi spasme dan
hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal.
a. Fase Induksi
Segera masuk rumah sakit diberikan diazepam per rectal/intravena dengan
dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB dengan
interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan
untuk usia <2thun adalah 8mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-
3mg setiap 3jam. Kejang harus segera dihentikan dengan pemberian
diazepam 5 mg per rectal untuk BB <10kg dan 10 mg per rektal untuk
anak dengan BB >10kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak
0,3mg/kgBB/kali.
b. Fase Maintenance
Setelah kejang berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis
rumatan sesuai dengan keadaan klinis pasien. Dapat diberikan diazepam
20-40 mg/kgBB/hari yang diberikan secara intravena berkesinambungan
dalam cairan dekstrosa 5% : NaCl 0,9% = 4 : 1. Mulai dengan dosis 20
mg/kgBB/hari. Apabila masih kejang, maka dosis ditingkatkan 5
mg/kgBB/hari sampai kejang teratasi dengan dosis maksimal 40
mg/kgBB/hari. Alternatif lain, untuk bayi diberikan dosis inisial 0,1-
0,2mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus kontinu
15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan
bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui OGT. Tanda klinis
membaik bila tidak dijumpai kejang spontan, badan masih kaku,
kesadaran membaik, tidak dijumpai gangguan nafas. Bila dosis diazepam
maksimal telah tercapai namun anak masih kejang atau mengalami
spasme laring sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang
perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat
bantuan pernafasan mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan
dosis rumatan telah memberikan respon klinis yang diharapkan, dosis
dipertahankan 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis secara bertahap
(sekitar 20 % dari dosis setiap 2 hari). Untuk status konvulsi langsung
bolus menggunakan dosis 40 mg/kgBB/hari. Setiap kali kejang diberikan
bolus diazepam per rectal/intravena untuk tetanus neonatorum 5 mg dan
pada Tetanus anak 10 mg. Fenobarbital diberikan bila diazepam tidak
tersedia (obat pilihan). Dosis pada tetanus anak 6 x 50 mg/hari. Cara
pemberian yaitu dosis pertama diberikan secara IM dan selanjutnya secara
oral. Bila kejang telah teratasi, maka dosis dikurangi secara bertahap. 6,7
5. Penatalaksanaan khusus

- Antibiotik

Antibiotik ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan
untuk toksin yang dihasilkannya. Antibiotik lini pertama yang diberikan adalah
metronidazole IV/oral dengan dosis awal secara loading dose 15 mg/kgBB dalam
1 jam dilanjutkan 30 mg/kgBB/hari selama 1 jam perinfus setiap 6 jam selama 7-
10 hari. Lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000/kgBB/hari
selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan
tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak usia > 8 tahun). Penyulit yang ada
diberikan antibiotik yang sesuai.
- Anti serum
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU IM dan
50.000 IU IV. Pemberian ATS harus berhati-hati akan terjadinya reaksi
anafilaksis. Pada tetanus anak pemberian anti serum dapat disertai
imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas
tersedia dapat diberikan HTIG (Human Tetanus Immune Globulin) 3.000-
6000 IU IM.
6. Perawatan
Tujuannya untuk mengurangi rangsangan, menjamin masukan cairan dan
elektrolit dan mencegah Infeksi sekunder/keadaan yang lebih berat. Penderita
dirawat di ruangan terbuka, ventilasi baik, tenang dan memungkinkan
dilakukan pengawasan setiap saat. Sebaiknya neonatus dirawat dalam
inkubator.
Membatasi tindakan-tindakan yang merupakan rangsangan (tindakan yang
sangat perlu saja yang dikerjakan). Mempertahankan jalan napas bebas
hambatan dengan pengisapan sekret/lendir orofaring dan nasofaring secara
berkala. Posisi/letak penderita diubah-ubah secara periodik. Perawatan
luka/punting pusat secara konservatif dengan H2O2 dan povidon jodium 10%.7

2.9 Pencegahan

Mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal maka untuk


pencegahan, perlu dilakukan:
 Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka
kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Luka
dibersihkan atau dilakukan debridement.Terutama perawatan luka guna
mencegah timbulnya jaringan anaerob.
 Pemberian ATS dan Toksoid Tetanus pada luka
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (kurang
dari 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif.
 Imunisasi aktif
Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, dT, atau Toksoid Tetanus. Jenis
imunisasi tergantung dari jumlah golongan umur dan jenis kelamin. Vaksin
DPT diberikan sebagai imunisasi dasar sebanyak 3 kali, DPT IV pada usia
18 bulan dan DPT V pada usia 5 tahun, dan saat usia 12 tahun diberikan
dT. Toksoid tetanus diberikan pada wanita usia subur, perempuan usia 12
tahun, dan ibu hamil. DPT/dT diberikan setelah pasien sembuh dilanjutkan
imunisasi ulangan diberikan sesuai jadwal, oleh karena tetanus tidak
menimbulkan kekebalan yang berlangsung lama.4
Imunisasi DPT (Diphteri Pertussis Tetanus)9
Vaksin DPT adalah vaksin 3-in-1 yang bisa diberikan kepada anak yang
berumur kurang dari 7 tahun. Biasanya vaksin DPT terdapat dalam bentuk
suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha. Imunisasi DPT diberikan
sebanyak 3 kali, yaitu pada saat anak berumur 2 bulan (DPT I), 4 bulan (DPT II)
dan 6 bulan (DPT III); selang waktu tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT
ulang diberikan 1 tahun setelah DPT III dan pada usia prasekolah (5-6 tahun).
DPT merupakan salah satu jenis vaksin combo. Terdapat 2 jenis vaksin
DPT, yaitu DTwP dan DTaP. DTwP adalah vaksin yang mengandung seluruh sel
kuman pertusis, sedangkan DTap mengandung komponen spesifik toksin dari
kuman pertusis. Keuntungan DTaP adalah angka kejadian komplikasi yang kecil
dibandingkan DTwP. Kerugiannya DTaP lebih mahal.
DPT sering menyebakan efek samping yang ringan, seperti demam ringan
atau nyeri di tempat penyuntikan (42,9 % kasus) selama beberapa hari. Efek
samping tersebut terjadi karena adanya komponen pertusis di dalam vaksin. Pada
kurang dari 1% penyuntikan, DPT menyebabkan komplikasi berikut:
 Demam tinggi (lebih dari 40,5° Celsius) pada 2,2 % kasus
 Kejang demam terjadi sebanyak 0,06 %. Risiko lebih tinggi pada anak
yang sebelumnya pernah mengalami kejang atau terdapat riwayat kejang
dalam keluarganya.
 Reaksi alergi dan ensefalopati sangat jarang

2.10 Komplikasi

1. Saluran pernapasan
Dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia, atelektasis akibat obstruksi oleh
sekret, pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat
dilakukannya trakeostomi.
2. Kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa
takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
3. Tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam
otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis akibat kejang
yang terus-menerus terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti
melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta.
4. Komplikasi yang lain
Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita berbaring dalam satu
posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang
menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.8

2.11 Prognosis

Prognosis tetanus pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Jika masa
inkubasi pendek (kurang dari 7 hari), usia yang sangat muda (neonatus), period of
onset yang pendek (jarak antara trismus dan timbulnya kejang kurang dari 48
jam), frekuensi kejang yang tinggi, pengobatan terlambat, adanya komplikasi
terutama spasme otot pernapasan dan obstruksi jalan napas, semua ini
prognosisnya buruk.

Mortalitas tetanus masih tinggi, di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM


Jakarta didapatkan angka 80 % untuk tetanus neonatorum dan 30 % untuk tetanus
anak.4
BAB III
KESIMPULAN

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya


tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, jika dinding sel kuman lisis
maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Secara klinis tetanus ada 3 macam: tetanus umum, tetanus lokal dan
tetanus sefalik.
Strategi terapi tetanus melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan: organisme
yang terdapat dalam tubuh hendaknya dieliminasi untuk mencegah pelepasan
toksin lebih lanjut, toksin yang terdapat dalam tubuh, diluar sistem saraf pusat
hendaknya dinetralisasi dan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf
pusat dieliminasi.
Prognosis dipengaruhi oleh beberapa faktor: masa inkubasi, umur, period
of onset, pengobatan, ada tidaknya komplikasi, frekuensi kejang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ismanoe G. Tetanus. Dalam : Sudoyo AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Volume 3. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakutas Kedokteran Universitas Indonesia : 2007
2. Hassel, Bjornar: Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of Using
Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms, volume 5, Norway,
2013, 73-83.
3. Harrison: Tetanus in :Principles of lnternal Medicine, volume 2, ed. 13 th,
McGrawHill. Inc,New York, 2004, .577-579.
4. Leman, Martinus M., Tumbelaka, Alan R. Penggunaan Anti Tetanus Serum
dan Human Tetanus Immunoglobulin pada Tetanus Anak. Sari Pediatri, Vol.
12, No. 4, Desember 2010. Hal: 283-287.
5. Rampengan, Novie H., Pangestu Yose, Tatura, S.N.N, Rampengan, T.H. Profil
Kasus Tetanus Anak Di RS. Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. Sari Pediatri,
Vol. 14, No. 3, Oktober 2012. Hal: 173-177.
6. Hassel, Bjornar: Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of Using
Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms, volume 5, Norway,
2013, 73-83.
7. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Tetanus. Buku Ajar

Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Ke-2.Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010;
hal.322-9.
8. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Tetanus. Nelson Textbook of
Pediatrics. 17th ed. Jenson Publisher: Saunders. 2007; p. 951-3.
9. Farrar, L M Yen, T Cook, N Fairweather, N Binh, J Parry: Tetanus. Neurol
Neurosurg Psychiatry, volume 69, 2000, 292-301 2000.
10. Rodrigo, Chaturaka : Pharmacological management of tetanus: an evidence-based
review, Critical Care. 2014. 18: 217
11. Satari, Hindra Irawan, Chairulfatah, Alex, Dkk. Penatalaksanaan Pada
Tetanus Anak. Health Technology Assessment Indonesia Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Hal: 1-29.
12. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2014. Hal.
13. Abrutyn E. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Ed 13, Vol 2.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Hal: 711-713

14. Tim IDAI. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ke-4. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI. 2010; hal. 87-9.

Anda mungkin juga menyukai