UNIVERSITAS BENGKULU
BENGKULU
2019
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN NASKAH UNTUK
DIPUBLIKASIKAN
Judul artikel : Hubungan Frekuensi Transfusi Darah dan Derajat Depresi pada
Anak Talasemia Mayor di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu
2
HALAMAN PERSETUJUAN
NASKAH PUBLIKASI
Pembimbing Utama
Pembimbing Pendamping
3
ABSTRAK
Kata Kunci: Frekuensi transfusi darah, derajat depresi, anak talasemia mayor.
4
ABSTRACT
5
PENDAHULUAN
Talasemia merupakan suatu penyakit gangguan darah kronik yang bersifat
herediteri. Pada penyakit ini terjadi kelainan pada gen globin yang ditandai dengan
defisiensi produk rantai globin sebagai penyusun hemoglobin yang mengakibatkan
hemoglobin tidak terbentuk dan menjadikan sel darah merah mudah rusak atau
berumur pendek kurang dari 120 hari.ii
Penyakit talasemia secara global menurut data dari World Health
Organization (WHO) tahun 2012, menunjukkan sekitar 7% dari populasi dunia
merupakan pembawa sifat talasemia.iii Indonesia termasuk salah satu negara dalam
sabuk talasemia dunia, yaitu negara dengan frekuensi gen talasemia yang tinggi.
Menurut Yayasan Talasemia Indonesia (YTI) 2018, prevalensi penderita talasemia
di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2017 berjumlah 7.029 orang,
sampai pada tahun 2018 mencapai 8.011 orang. Jumlah pasien talasemia di Provinsi
Bengkulu terus mengalami peningkatan yang terbukti dari data register pasien di
RSUD dr. M. Yunus Bengkulu periode 2017 sampai dengan April 2018, tercatat
jumlah pasien talasemia mayor sebanyak 75 orang yang berasal dari berbagai
Kabupaten di Provinsi Bengkulu.
Talasemia mayor merupakan salah satu penyakit fisik kronik yang dapat
memengaruhi kondisi mental dan meningkatkan risiko gangguan jiwa pada
penderitanya. Gejala yang paling sering timbul berupa adanya kesan diri yang
rendah, cenderung sedih, merasa tidak yakin, mengasihani diri sendiri dan cemas
bila orang lain tidak menyukainya dan menolaknya karena sakit.iv Lama sakit lebih
dari 12 bulan serta kebutuhan untuk datang ke rumah sakit secara teratur guna
dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin dan terapi berkepanjangan berupa
transfusi darah dapat menimbulkan rasa tidak nyaman yang akhirnya berdampak
pada psikologisnya dan dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya gejala
gangguan psikiatri pada anak talasemia mayor.v Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa gangguan psikiatrik yang paling banyak terjadi pada penderita talasemia
mayor ialah gejala depresi.vi,vii,viii
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yengil et al., (2014) mendapatkan hasil
20,5% pasien talasemia mayor mengalami depresi. Waktu perawatan yang lama di
6
rumah sakit dan tindakan pengobatan berupa transfusi darah yang menimbulkan
rasa sakit serta timbulnya pemikiran tentang masa depan yang masih belum jelas
merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya depresi pada anak
talasemia mayor.ix Penelitian yang dilakukan di India oleh Pattanashetti (2017)
pada pasien anak talasemia mayor yang menerima transfusi darah setiap 2–4
minggu mendapatkan hasil 32,6% pasien anak talasemia mayor mengalami depresi
ringan dan 9,68% mengalami depresi sedang.x
Berdasarkan penelitian sebelumnya di berbagai negara dapat diketahui
bahwa anak talasemia mayor dengan rutinitas transfusi darah yang dilakukan
seumur hidup sejak terdiagnosis talasemia memiliki risiko yang besar untuk
mengalami depresi. Penelitian tentang hubungan frekuensi transfusi darah dan
derajat depresi pada anak talasemia mayor belum pernah dilakukan dan
dipublikasikan di Indonesia sehingga penelitian ini perlu dilakukan di Bengkulu
agar dapat menjadi masukan bagi penatalaksanaan penyakit talasemia mayor yang
komprehensif, baik dalam aspek medis maupun aspek psikologis.
METODE
7
anak talasemia mayor masih sekolah. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah
pasien yang menderita retardasi mental, pasien pernah didiagnosis depresi
sebelumnya, anak talasemia mayor yang menjalani homeschooling. Kriteria drop
out dalam penelitian ini adalah subjek penelitian mengundurkan diri dari penelitian.
Instrumen dan alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, alat tulis,
lembar kuesioner CDI dan data rekam medik. Pada penelitian ini analisis sebaran
data diuji dengan uji Saphiro-Wilk. Analisis uji korelasi antara dua variable dengan
uji Person dan uji Spearman dan analisis multivariat dengan menggunakan uji
Regresi Logistik. data diolah menggunakan software Statistical Program for Social
Science (SPSS).
HASIL
Data distribusi frekuensi subjek penelitian meliputi usia dan jenis kelamin
pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Data Karakteristik Usia dan Jenis Kelamin Subjek Penelitian
Frekuensi (%)
Variabel
Laki-laki Perempuan
Usia (tahun)
8 1 (4,2%) 3 (12,5%)
9 1 (4,2%) 1 (4,2%)
10 3 (12,5%) 6 (25%)
11 4 (16,7%) 0 (0%)
12 0 (0%) 4 (16,7%)
14 1 (4,2%) 0 (0%)
Total 10 (41,7%) 14 (58,3%)
8
Rerata Frekuensi Transfusi Darah pada Subjek Penelitian
Rerata frekuensi transfusi darah pada subjek penelitian dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Rerata frekuensi transfusi darah pada subjek penelitian ialah 104,54 ± 24,424.
Rerata frekuensi transfusi darah paling banyak terdapat pada subjek penelitian laki-
laki usia 14 tahun dengan frekuensi transfusi darah sebanyak 159 kali dan frekuensi
transfusi darah paling sedikit terdapat pada kelompok usia 8 tahun dengan rerata
frekuensi transfusi darah sebanyak 77,25 kali.
Rerata skor CDI pada subjek penelitian adalah 13,71 ± 5,835. Sebanyak 15 orang
(62,5%) mengalami gejala depresi sedang dan 9 orang (37,5%) lainnya tidak
depresi.
9
Tabel 4. Hubungan Frekuensi Transfusi Darah dan Skor CDI
Variabel n Hasil Pengukuran p R
Frekuensi Transfusi Darah 2509 104,54 ± 24,424 0,399 0,055
Skor CDI 329 13,71 ± 5,835
Pada penelitian ini dilakukan uji korelatif untuk melihat hubungan frekuensi
transfusi darah (numerik) dan derajat depresi (kategorik) menggunakan uji
Spearman. Hasil analisis data didapatkan nilai korelasi sebesar 0,106 dan p>0,05
yang menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara frekuensi transfusi
darah dan derajat depresi.
10
Analisis Multivariat
Analisis multivariat digunakan untuk melihat faktor yang paling
berpengaruh terhadap derajat depresi anak talasemia mayor.
Hasil analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik menunjukkan tidak ada
variabel yang berpengaruh terhadap derajat depresi anak talasemia mayor di RSUD
dr. M. Yunus Bengkulu dengan nilai p>0,05 pada seluruh variabel karakteristik
subjek maupun variabel penelitian.
PEMBAHASAN
14 tahun
4,2% 8 tahun
16,7%
12 tahun
16,7%
9 tahun
8,2%
11 tahun
16,7%
10 tahun
37,5%
11
Penelitian Rejeki et al., (2011) menyatakan bahwa 56,2% penderita
talasemia mayor di Indonesia merupakan anak tingkat SD dengan rentang usia 6-
12 tahun. Di Provinsi Bengkulu, berdasarkan data Yayasan Talasemia Indonesia
(YTI) Bengkulu hingga bulan Maret 2019 tercatat 89 orang penderita talasemia
mayor yang rutin melakukan transfusi darah di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu, 46
orang (51,6%) di antaranya berusia 8-15 tahun dengan pasien terbanyak berusia 10
tahun (24,7%).11
Penelitian ini juga menunjukkan distribusi data responden berdasarkan jenis
kelamin dan didapatkan sebanyak 14 orang perempuan (58,3%) dan 10 orang laki-
laki (41,7%). Hal ini sejalan dengan penelitian depresi pada anak talasemia mayor
yang dilakukan oleh Venty et al., (2018) yang menyatakan jumlah responden
perempuan lebih banyak (82,8%) dibandingkan laki-laki (17,2%). Pada beberapa
penelitian lain ditemukan jumlah responden laki-laki lebih banyak dibandingkan
responden perempuan.12,13 Yayasan Talasemia Indonesia cabang Bengkulu (2019)
juga menyatakan bahwa jumlah penderita talasemia laki-laki dan perempuan tidak
jauh berbeda, dengan pasien perempuan 52,3% dan laki-laki 47,7%. Talasemia
adalah penyakit genetik yang disebabkan oleh faktor alel tunggal autosomal resesif,
bukan penyakit genetik yang disebabkan oleh faktor alel yang terpaut dengan
kromosom seks/kelamin sehingga jumlah pasien perempuan dan laki-laki di
berbagai tempat tidak terlalu jauh berbeda.14
Gen beta talasemia diwariskan menurut Hukum Mendel secara autosomal
resesif, sehingga anak dari pasangan pembawa bakat mempunyai kemungkinan
25% normal, 50% sebagai pembawa bakat dan 25% kemungkinan merupakan
penderita, kemungkinan tersebut tidak tergantung jenis kelamin, di mana sintesis
rantai polipeptida globin beta hanya berlangsung di dalam sel-sel dari seri eritroid,
meskipun gen globin beta juga terdapat dalam kromosom sel- sel yang lain.15
12
dan yang paling sedikit pada usia 8 tahun yaitu 77 kali. Hasil ini sesuai dengan
penelitian oleh Shah et al., (2010) yang menyatakan terdapat hubungan linier antara
usia pasien talasemia mayor dengan jumlah transfusi darah yang diterima. Makin
bertambah usia, kebutuhan transfusi darah meningkat sehingga frekuensi transfusi
darah yang diterima juga semakin meningkat yang disebabkan oleh kondisi
penyakit yang makin memburuk.16
13
dari rerata skor CDI (13,71±5,835) diketahui bahwa sebagian besar (62,5%)
responden merupakan kelompok gejala depresi sedang. Akan tetapi, dari data yang
telah dianalisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa gejala depresi sedang yang
dimiliki oleh sebagian besar responden tidak berhubungan dengan frekuensi
transfusi darah.
Pada penelitian oleh Pattanashetti et al., 2017 didapatkan depresi derajat
ringan hingga sedang terjadi pada 40% anak talasemia mayor yang menjalankan
transfusi darah dengan frekuensi 2-4 minggu sekali di India. Pada anak talasemia
di Iran yang sudah menjalani transfusi darah rutin selama 2-4 minggu sekali juga
ditemukan adanya derajat depresi.22 Penelitian lain oleh Venty et al., (2018) yang
menunjukkan tidak adanya korelasi antara frekuensi transfusi darah dengan depresi.
Penelitian oleh Mednick et al., (2010) juga memiliki temuan serupa. Frekuensi
transfusi darah disebutkan tidak secara langsung berhubungan dengan terjadinya
depresi pada anak talasemia mayor.
Perbedaan hasil yang didapatkan dari berbagai penelitian di dunia tentang
hubungan frekuensi transfusi darah dan derajat depresi dapat disebabkan oleh
banyak faktor, diantaranya ialah frekuensi transfusi darah pada penelitian tersebut
sebagai kriteria inklusi berupa pasien talasemia yang mendapat transfusi darah 2-4
minggu sekali. Sedangkan pada penelitian ini frekuensi transfusi darah diartikan
sebagai jumlah transfusi darah yang sudah pernah diterima oleh anak talasemia..
Transfusi darah yang dilakukan secara rutin setiap bulan menyebabkan pasien harus
izin sekolah 1 hari hingga 1 minggu setiap bulan untuk menjalani terapi.23 Hal ini
dapat menyebabkan anak talasemia mayor mengalami penurunan prestasi belajar
di sekolah, berkurangnya waktu belajar dan bermain dengan teman sebaya di
sekolah yang dinyatakan memiliki hubungan yang signifikan dengan timbulnya
depresi pada anak talasemia mayor.24
Hal ini sesuai dengan penelitian Koutelekos (2013) yang menyatakan bahwa
peningkatkan absensi sekolah dapat memengaruhi interaksi sosial pasien dengan
teman sebaya mereka. Oleh karena itu, mereka merasa terisolasi dan rentan
terhadap depresi.25 Aji et al., (2009) menyebutkan bahwa gangguan fungsi
emosional pada anak talasemia dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, yaitu perasaan
14
tertekan saat penegakan diagnosis penyakit, keharusan tidak masuk sekolah karena
harus menjalani rangkaian terapi berupa transfusi darah, pemeriksaan Hb pra
transfusi, pemeriksaan kadar ferritin, dan konsumsi kelasi besi yang harus dijalani
setiap bulan secara teratur. Selain itu, faktor dukungan keluarga, stresor lingkungan,
dan komplikasi penyakit juga dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya depresi
pada anak talasmeia mayor.26
15
Kronisitas penyakit mempengaruhi secara negatif kehidupan sosial anak-
anak karena mengungkapkan penyakit, memicu komentar atau pertanyaan dari
lingkungan teman, terutama di sekolah. Biasanya, anak-anak thalassemia menolak
untuk mendiskusikan kesehatan mereka dengan teman dan bergantung hanya pada
orang tua.30 Akan tetapi, setiap anak memiliki perbedaan sikap dalam menanggapi
dan menghadapi penyakit kronis yang diderita. Respons yang berbeda tergantung
pada karakteristik pribadi, usia, tahap perkembangan kognitif, kemampuan
beradaptasi, serta riwayat penyakit yang pernah dihapai.31
16
semakin jelas selama usia prasekolah dan sekolah.25 Banyak faktor selain usia dan
jenis kelamin dapat menjadi stresor yang bisa menyebabkan terjadinya depresi pada
anak talasemia mayor. Hal ini dapat berupa stresor yang berasal dari keluarga,
lingkungan sekolah, baik itu stresor dari kegiatan akademik, guru maupun teman-
teman sekolahnya, akan tetapi berbagai stressor tersebut akan kembali dipengaruhi
oleh faktor dukungan sosial dan faktor kepribadian sebagai bentuk pertahanan diri
dari timbulnya gangguan psikologis.33
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Hasil karakteristik subjek penelitian:
a. Subjek penelitian paling banyak pada kelompok usia 10 tahun
dengan frekuensi 37,5%.
b. Sebanyak 58,3% subjek penelitian adalah perempuan.
2. Rerata frekuensi transfusi darah pada subjek penelitian ialah 104,54 ±
24,424 kali sejak terdiagnosis.
3. Subjek penelitian dengan derajat depresi sedang berjumlah 14 orang dengan
frekuensi 62,5% dan 9 orang tidak depresi (37,5%). Rerata skor CDI pada
subjek penelitian ialah 13,71 ± 5,853.
4. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara frekuensi transfusi darah
dan derajat depresi pada anak talasemia mayor di RSUD dr. M. Yunus
Bengkulu.
SARAN
Saran yang dapat diberikan terkait dengan hasil penelitian ini adalah:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor lain yang dapat
memengaruhi terjadinya depresi pada anak talasemia mayor selain frekuensi
transfusi darah.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih
banyak dengan rentang usia yang lebih luas.
3. Perlu dilakukan pendampingan bagi anak talasemia mayor dalam
kesehariannya untuk menghindari dampak psikososial yang dirasakan
17
pasien akibat penyakit yang diderita sera perlu pemberian dukungan dari
keluarga dan orang-orang terdekat untuk menumbuhkan rasa percaya diri
pasien talasemia mayor.
DAFTAR PUSTAKA
18
13. Sawitri, H. & Husna, C. A., 2018. Karakteristik Pasien Thalasemia Mayor
di BLUD RSU Cut Meutia Aceh Utara Tahun 2018. Jurnal Averrous,
Volume 4.
14. Aryuliana., Muslim & Winarni, M., 2004. Biologi. Jakarta: Erlangga.
15. Bulan, 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Hidup Anak
Talasemia Beta Mayor. Magister Ilmu Biomedik dan Program
Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak.
16. Shah, Anupa, Dhaval & Vora, 2010. Effectiveness of Transfusion Program
In Thalassemia Major Patients Receiving Multiple Blood Transfusion At A
Transfusion Centre In Western India. Asian Journal Of Transfusion Science,
pp. 94-8.
17. Patton & Viner, 2007. Pubertal Transition in Health. Volume 369, pp. 1130-
39.
18. Cyranowski., Frank., Young & Shaer, 2000. Adolescent Onset of The
Gender Difference in Lifetime Rates of Major Depression. Arch Gen
Psychiatry, Volume 57, pp. 21-27.
19. Kessler, Avenevoli & Merikangas, R., 2001. Mood Disorder in Children
And Adolescents: An Epidemiology Perspective. Biol Psychiatry, Volume
49, pp. 1002-14.
20. Thapar, A., Collishaw, S., Pine, D. & K Thapar, A., 2012. Depression In
Adolescence. National Library of Medicine, Volume 11, pp. 1056-1067.
21. Kaplan, H., Sadock, B. & Grebb, J., 2010. Ilmu Pengetahuan Perilaku
Psikiatri Klinis. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
22. Shafiee, et al., 2014. Prevalence of Depression in Patients with Beta
Thalassemia as Assessed by the Beck's Depression Inventory. Informa
Healthcare, pp. 289-291.
23. Cromer, 2011. Adolescent Physical and Social Development. In: Nelson
Textbook of Pediatrics. Philadelphia: Elsevier, pp. 649-54.
24. Yahia, et al., 2013. Predictors of Anxiety and Depression In Egyptian
Thalassemic Patients. Int J Hematol, pp. 97:604-9.
25. Koutelekos, J. & Haliasos, N., 2013. Depression And Thalassemia In
Children, Adolescent And Adults. Health Science Journal, 7(3), pp. 239-
246.
26. Aji, D. N. et al., 2009. Faktor-faktro yang Berhubungan dengan Kualitas
Hidup Pasien Thalassemia Mayor di Pusat Thalassemia Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSCM. Sari Pediatri, Volume 11, pp. 85-89.
27. Purnamaningsih, K. A., 2012. Depresi dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhi pada Penderita Thalassemia Beta Mayor. Electronic
Theses & Disertations Gajah Mada University.
28. Saini, et al., 2007. Case Control Study of Psychosocial Morbidity in Beta
Thalassemia Major. The Journal of Pediatrics, Volume 5, pp. 616-20.
29. Mehler-Wex, C. & Kolch, M., 2008. Depression in Children and
Adolescents. Deutscher Arzte-Verlag Int, Volume 9, pp. 149-155.
30. Mesia-Warner, Nangle & Hansen, 2006. Bringing Evidence-based Child
Mental Health Services to The School. Educ Treat Child, Volume 29, pp.
165-172
19
31. Pradhan, et al., 2013. Psychopathology and Self-esteem in Chronic Ilness.
Indian J Pediatr, Volume 2, pp. 135-8.
32. Masdar, H. et al., 2016. Depresi, Ansietas dan Stress serta Hubungannya
dengan Obesitas pada Remaja. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Volume 12,
pp. 138-143.
33. Roberts, et al., 2012. Overweight and Obesity in Children and Adolescents.
Statistics Canada, 3(23), pp. 1-7.
20