“Diabetes Mellitus and Its Associated Factors in Tuberculosis Patients in Maekel Region,
Eritrea: Analytical Cross-Sectional Study”
Disusun oleh:
202282077
Pembimbing:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PAPUA
2024
LEMBAR PENGESAHAN
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Papua
“Diabetes Mellitus and Its Associated Factors in Tuberculosis Patients in Maekel Region,
Eritrea: Analytical Cross-Sectional Study”
Mengetahui,
Pembimbing,
Nama Penulis : Zenawi Zeramariam Araia, Araia Berhane Mesfin, Amanuel Hadgu
Mebrahtu, Adiam Ghebreyohanns Tewelde, Randa Osman & Hagos
Andom Tuumzghi.
Saat ini, terjadi peningkatan prevalensi pasien TBC yang hidup dengan diabetes, oleh
karena itu pengembangan pendekatan sistematis untuk menangani penyakit tidak menular
terutama diabetes di negara berpenghasilan rendah sangatlah penting. Pasien TB dengan
DM mempunyai gambaran klinis yang lebih parah dan hasil pengobatannya seringkali lebih
buruk dibandingkan pasien tanpa DM, dengan risiko kegagalan pengobatan dan
kekambuhan yang lebih tinggi. Selain itu, DM dapat mempercepat munculnya TBC yang
resistan terhadap obat di pada pasien yang menerima pengobatan TBC. Sebaliknya, TB
dapat meningkatkan resistensi insulin, memicu timbulnya diabetes pada individu yang
memiliki kecenderungan diabetes, dan memperburuk kadar glikemik pada kasus diabetes.
Selain itu, efektivitas pengobatan TBC dan diabetes menurun karena interaksi obat, yang
berkontribusi terhadap kegagalan pengobatan TBC dan glikemia yang tidak terkontrol.
Di Eritrea, prevalensi DM pada populasi umum adalah 3,8%. Selain itu, laporan Sistem
Informasi Manajemen Kesehatan (HMIS) menunjukkan bahwa DM merupakan penyebab
utama kesakitan di wilayah Maekel dan menduduki peringkat lima besar penyakit dalam
hal mortalitas dan kesakitan di tingkat nasional pada tahun 2019. Prevalensi TBC mencapai
123 per 100.000 penduduk. Menanggapi hal tersebut, Negara ini telah mengadopsi
kerangka kerja kolaboratif Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Persatuan Internasional
untuk pengendalian TBC dan DM. Salah satu komponen utama kerangka ini adalah
skrining dua arah terhadap pasien TBC dan diabetes. Namun penerapannya belum berjalan
sesuai harapan di berbagai wilayah tersebut, karena kurangnya literatur mengenai beban
komorbiditas TB-DM dan faktor risiko terkait.
METODE
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Maekel, salah satu dari enam wilayah di Eritrea. Kota ini
berpenduduk padat dan merupakan wilayah pertama yang melakukan skrining DM pada
pasien TBC dan memiliki kualitas data rutin TBC dan DM yang relatif lebih baik
Desain Studi
Metode Penelitian
1. Populasi Studi
Subyek penelitian adalah seluruh pasien TBC yang terdiagnosis TBC pada tanggal 1
Januari 2016-31 Desember 2019 di seluruh tempat diagnosis dan pengobatan TBC di
wilayah Maekel, yang didiagnosis, baik dikonfirmasi secara bakteriologis (dengan
mikroskop smear dan Xpert MTB/RIF) maupun yang didiagnosis secara klinis (kelainan
dengan rontgen, kasus ekstra paru tanpa konfirmasi laboratorium dan keputusan dokter).
HASIL
Antara tahun 2016 dan 2019, terdapat 1.349 pasien TBC yang terdaftar di lokasi penelitian.
Sebanyak 204 (15,12%) tidak memiliki hasil tes glukosa darah yang terdokumentasi dan 11
lainnya adalah anak-anak <15 tahun sehingga dikeluarkan dari analisis akhir. Sebanyak
1134 memenuhi syarat untuk penelitian ini dan dimasukkan dalam analisis akhir.
Prevalensi DM pada penderita TBC adalah 112/1134 (9,9%). Diantara mereka yang
mengidap TB dan DM, 61 (54,5%) diketahui mengidap DM dan sisanya didiagnosis
melalui pemeriksaan DM rutin, 18 (10,4%) kasus TBC ditemukan berada pada tahap
pra-diabetes. Prevalensi DM lebih tinggi pada laki-laki, 70 (11,5%) dibandingkan
perempuan, 42 (8,0%) dan meningkat seiring bertambahnya usia dari 2% pada kelompok
usia 15-24 tahun menjadi 17,3% pada kelompok usia ≥55 tahun. Prevalensi juga
meningkat seiring dengan BMI, dari 5,9% pada kelompok dengan berat badan kurang
menjadi 25% pada kelompok obesitas. Tidak ada perbedaan titik prevalensi berdasarkan
tempat tinggal, jenis TB atau status HIV.
DISKUSI
Prevalensi DM di antara kasus TB pada penelitian ini adalah 9,9%, dua kali lipat lebih
tinggi dibandingkan kejadian DM pada populasi umum di Eritrea. Hal ini konsisten dengan
temuan di Tanzania (9,7%) dan gabungan prevalensi DM di Afrika Sub-Sahara (9%).
Berbeda dengan temuan global lainnya, hal ini disebabkan oleh perbedaan karakteristik
sosio-ekonomi dan demografi dari populasi yang diteliti dan beban kedua penyakit tersebut
di negara masing-masing. Variasi dalam metode diagnostik DM di antara penelitian yang
berbeda dapat mempengaruhi prevalensi yang dilaporkan Pada penelitian ini, 51 (45,55%)
kasus TB-DM tidak menyadari kondisi DMnya sebelum di diagnosis TB. Angka ini jauh
lebih tinggi dibandingkan temuan sebelumnya di Etiopia (6,4%) namun lebih rendah
dibandingkan laporan dari Tanzania (60%) dan Kenya (69,5%).
Pada pasien pra-diabetes yang diidentifikasi pada sepersepuluh kasus TBC mendukung
penelitian sebelumnya (Orkneh MH,dkk. Prevalence and associated factors of diabetes
mellitus among tuberculosis patients in southeastern Amhara region) Ethiopia yang
menemukan hal serupa, bertentangan oleh penelitian yang dilakukan oleh Li L, Lin Y, Mi
F, et al. Creening of patients with tuberculosis for diabetes mellitus in China, 2012 dan
Achanta S, Tekumalla RR, Jaju J, et al. reening tuberculosis patients for diabetes in a tribal
area in South India, 2013 yang melaporkan angka lebih rendah.
Pada penelitian ini tidak ditampilkan data jenis DM pada kasus TBC, sebagian besar
pasien DM di Eritrea menderita DM tipe 2. Sebagian besar pasien DM Tipe 2 hanya
mengalami gejala minimal, menyebabkan tertundanya pencarian layanan kesehatan di
kalangan pasien, sehingga menyebabkan DM Tipe 2 sering tidak terdiagnosis pada kasus
TBC.
Penelitian menunjukkan bahwa hiperglikemia sementara pada kasus TBC dapat terjadi
akibat reaksi stres terhadap infeksi TBC dan efek hiperglikemik beberapa obat anti TBC,
Selain itu, gangguan toleransi glukosa atau DM baru dapat disebabkan oleh pankreatitis TB
dan hipofungsi endokrin terkait TB amun kondisi hiperglikemik ini sebagian atau
seluruhnya dapat kembali ke kadar glukosa normal setelah pengobatan TBC selesai
Dalam penelitian ini, usia dan BMI berhubungan secara independen dengan DM pada
kasus TB. Kasus TBC yang berusia 45–54 tahun dan ≥55 tahun masing-masing memiliki
kemungkinan 5 dan 7 kali lebih besar untuk menderita DM, dibandingkan dengan kasus
TBC yang lebih muda. Temuan ini konsisten dengan penelitian oleh unseri PJ, et al. 2019,
Akkerman OW, et al k. 2016, Hoa NB, Phuc PD, Hien NT, et al.2018. yang mencatat
kemungkinan lebih tinggi terkena DM pada pasien TB usia lanjut. Hampir tiga perempat
kasus TB-DM dalam penelitian ini berusia ≥45 tahun namun kelompok usia ini hanya
mencakup 46% dari populasi penelitian. Hal ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa DM Tipe
2 sebagian besar menyerang orang dewasa yang lebih tua dan peningkatan usia juga
merupakan sebuah risiko faktor penyebab TBC dan DM. Selain itu, menurunnya fungsi
kekebalan tubuh akibat penuaan bisa meningkatkan kerentanan mereka terhadap kedua
penyakit tersebut.
Pasien TBC dengan berat badan normal mempunyai kemungkinan dua kali lebih besar
terkena DM dibandingkan dengan pasien TBC dengan berat badan kurang. Hal ini setara
dengan temuan sebelumnya yang menyatakan pasien TBC dengan berat badan normal
memiliki peluang lebih tinggi terkena DM dibandingkan pasien TBC dengan berat badan
kurang.
KESIMPULAN
Penelitian ini menunjukkan prevalensi DM yang signifikan pada kasus TBC di wilayah
Maekel, Eritrea. Hampir separuh kasus DM teridentifikasi melalui skrining DM rutin pada
pasien TBC. Hal ini menunjukkan perlunya penyediaan layanan terpadu, sebuah intervensi
penting dan tepat waktu untuk mengatasi beban ganda ini. Usia dan BMI merupakan
determinan terjadinya DM pada pasien TBC. Oleh karena itu, implementasi skala penuh
dari skrining DM pada kasus TBC yang sudah dimulai harus diperkuat dengan fokus pada
usia dan status BMI dan metode pengujian yang lebih sensitif harus digunakan di semua
fasilitas kesehatan.
TELAAH JURNAL
1. Validitas
a. Apakah pertanyaan (PICO) penelitian didefinisikan secara spesifik? YA
Diabetes mellitus pada pasien tuberkulosis
P (Problem)
-
I (Intervention)
-
C (Comparison)
Prevalensi DM yang signifikan pada kasus
O (Outcome) TBC di wilayah Maekel, Eritrea
b. Apakah subjek yang mewakili populasinya direkrut dalam fase awal penyakit?
Apakah subjek diikuti dalam waktu yang cukup? (Tidak)
c. Apakah hasil studi sudah di validasi oleh kelompok lain (Ya)
d. Apakah pasien yang diteliti mirip dengan pasien kita? (Ya)
e. Apakah bukti ilmiah ini bermanfaat untuk praktek kita? (Ya)
2. Importance
Apakah hasil keseluruhan dalam penelitian ini bermanfaat? (Ya)
Penelitian ini menilai prevalensi DM di kalangan pasien TBC dan faktor-faktor
yang terkait dan didapatkan bahwa prevalensi DM signifikan pada kasus TBC di
wilayah Maekel, Eritrea
3. Relevansi
a. Apakah pasien didalam studi sama dengan pasien ditempat saya? (YA)
Kota sorong temasuk kota dengan angka TBC yang cukup tinggi cukup tinggi
b. Apakah sarana dan prasarana keahlian, biaya dan lain-lain untuk penerapan bukti
tersebut? (YA)
Penelitian ini merupakan studi analitik cross-sectional yang diambil dari data
rekam medik pasien sehingga tidak ada hambatan yang signifikan dalam
melakukan penelitian
c. Apakah tidak ada hambatan nilai-nilai sosial, budaya, agama untuk penerapan
bukti tersebut? (Tidak)
Pada penelitian ini tidak dilakukan intervensi dan penerapannya bermanfaat bagi
subjek penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
1. Araia Z, Mesfin BA, Mebrahtu AH, Tewelde AG, Osman R, Tuumzghi HA. Diabetes
Mellitus and Its associated factors in tuberculosis patients in Maekel Region, Eritrea:
Analytical cross-sectional study. Dove Medical Press. 2021. Available from: Diabetes
Mellitus and Its Associated Factors in Tuberculosis Patients in Maekel Region, Eritrea:
Analytical Cross-Sectional Study - PMC (nih.gov)