Disusun Oleh:
Devi indah arum sari
&
Dita faradilla aprasytia
1.1 LATAR BELAKANG
Atresia bilier merupakan proses inflamasi progresif yang menyebabkan fibrosis saluran
empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga pada akhirnya akan terjadi obstruksi saluran
tersebut (Donna L. Wong, 2008). Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan
yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan
hambatan aliran empedu. Tindakan operatif atau bedah dapat dilakukan untuk
penatalaksanaannya. Pada lebih kurang 80% - 90% bayi dengan atresia biliaris ekstrahepatik
yang menjalani pembedahan ketika usianya kurang dari 10 minggu dapat dicapai drainase getah
empedu (Halamek dan Stevenson, 1997). Meski demikian, sirosis yang progresif tetap terjadi
pada anak, dan sampai 80% - 90% kasus pada akhirnya akan memerlukan transplantasi hati
(Andres, 1996).
Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu.
Atresia bilier terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam
maupun di luar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini
tidak diketahui. Jika aluran empedu buntu, maka empedu akan menumpuk di hati. Selain itu akan
terjadi ikterus atau kuning di kulit dan mata akibat tingginya kadar bilirubin dalam darah. Hal ini
bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak diobati bisa berakibat fatal atau
sampai terjadi kematian.
1.2 TUJUAN
1.1.1 Tujuan Umum
Dapat menganalisa asuhan keperawatan pada klien dengan Atresia bilier
1.1.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan definisi dari Atresia bilier
2. Menjelaskan anatomi fisiologi dari Atresia bilier
3. Menjelaskan etiologi dari Atresia bilier
4. Menjelaskan klasifikasi dari Atresia bilier
5. Menjelaskan patofisiologi dari Atresia bilier
6. Menjelaskan manifestasi klinis dari Atresia bilier
7. Menjelaskan komplikasi dari Atresia bilier
8. Menjelaskan penatalaksanaan medis dari Atresia bilier
9. Menjelaskan pengkajian pada asuhan keperawatan klien Atresia bilier
10. Menjelaskan diagnosa keperawatan pada asuhan keperawatan klien Atresia bilier
11. Menjelaskan rencana tindakan/intervensi pada asuhan keperawatan Atresia bilier
12. Menjelaskan kriteria hasil pada setiap diagnosa keperawatan pada asuhan keperawatan klien
Atresia bilier
1.3 MANFAAT
1.3.1 Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat lebih memahami hal-hal yang berkaitan dengan Atresia bilier.
1.3.2 Bagi Perawat
Perawat atau tenaga kesehatan memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang Atresia bilier
sehingga dapat melakukan asuhan keperawatan secara profesional.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau
obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi dan Rita
Yulianni, 2006)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih dari duktus
biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan
hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut
menjadi hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland, 2006)
Atresia Bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam pipa/ saluran-saluran
yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu (gallbladder). Ini
merupakan kondisi kongenital, yang berarti terjadi saat kelahiran. (http://pilihsehat.tk/.2010)
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda epitel yang
akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh atau sebagian. ( Chandrasoma &
Taylor,2005)
2.2 Anatomi Fisiologi
Kandung empedu (vesika felea), yang merupakan organ berbentuk sebuah pear, berongga
dan menyerupai kantong dengan panjang 7,5 hingga 10 cm, terletak dalam suatu cekungan yang
dangkal pada permukaan inferior hati dimana organ tersebut terikat pada hati oleh jaringan ikat
yang longgar. Kapasitas kandung empedu 30-50ml empedu. Dindingnya terutama tersusun dari
otot polos. Kandung empedu dihubungkan dengan duktus koledokus lewat duktus sistikus.
a) Kandung Empedu
Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pear, memiliki panjang 7-10 cm
dengan kapasitas 30-50 ml namun saat terdistensi dapat mencapai 300 ml. Kandung empedu
berlokasi di sebuah lekukan pada permukaaan bawah hepar yang secara anatomi membagi hepar
menjadi lobus kanan dan lobus kiri. Kandung empedu dibagi menjadi 4 area secara anatomi yaitu
fundus, leher, corpus, dan infundibulum. Fundus berbentuk bulat dan ujungnya 1-2 cm melebihi
batas hepar, strukturnya kebanyakan berupa otot polos, kontras dengan korpus yang kebanyakan
terdiri dari jaringan elastis. Leher biasanya membentuk sebuah lengkungan,
b) Pembentukan empedu
Empedu dibentuk secara terus menerus oleh hepatosit dan dikumpulkan dalam kanalikulus serta
saluran empedu. Empedu terutama tersusun dari air dan elektrolit, seperti natrium, kalium,
kalsium, klorida serta bikarbonat, dan juga mengandung dalam jumlah yang berati beberapa
substansi seperti lesitin, kolesterol, billirubin serta garam-garam empedu. Empedu dikumpulkan
dan disimpan dalam kandung empedu untuk kemudian dialirkan ke dalam intestinum bila
diperlukan bagi pencernaan. Fungsi empedu adalah ekskretorik seperti ekskresi bilirubin dan
sebagai pembantu proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh garam-garam empedu.
Garam-garam empedu disintesis oleh hepatosit dari kolesterol. Setelah terjadi konjugasi atau
pengikatan dengan asam-asam amino (taurin dan glisin), garam empedu diekskresikan ke dalam
empedu. Bersama dengan kolesterol dan lesitin, garam empedu diperlukan untuk emulsifikasi
lemak dalam intestinum. Proses ini sangat penting untuk proses pencernaan dan penyerapan yang
efisien. Kemudian garam empedu akan diserap kembali, terutama dalam ileum distal, ke dalam
darah portal untuk kembali ke hati dan sekali lagi diekskresikan ke dalam empedu. Lintasan
hepatosit empedu intestinum dan kembali lagi kepada hepatosit dinamakan sirkulasi
enterohepatik. Akibat adanya sirkulasi enterohepatik, maka dari seluruh garam empedu yang
masuk ke dalam intestinum, hanya sebagian kecil yang akan diekskresikan ke dalam feses.
Keadaan ini menurunkan kebutuhan terhadap sintesis aktif garam empedu oleh sel-sel hati.
c) Ekskresi Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan hemoglobin oleh sel-sel pada sistem
retikuloendotelial yang mencakup se-sel Kupffer dari hati. Hepatosit mengeluarkan bilirubin dari
dalam darah dan melalui reaksi kimia mengubahnya lewat konjugasi menjadi asam glukoronat
yang membuat bilirubin lebih dapat larut di dalam larutan yang encer. Bilirubin terkonjugasi
diekskresikan oleh hepatosit ke dalam kanalikulus empedu di dekatnya dan akhirnya dibawa
dalm empedu ke duodenum.
Dalam usus halus, bilirubin dikonversikan menjadi urobilinogen yang sebagian akan
diekskresikan ke dalam feses dan sebagian lagi diabsorbsi lewat mukosa intestinal ke dalam
daerah portal. Sebagian besar dari urobilinogen yang diserap kembali ini dikeluarkan oleh
hepatosit dan diekskresikan sekali lagi ke dalam empedu (sirkulasi enterehepatik). Sebagian
urobilinogen memasuki sirkulasi sistemik dan diekskresikan oleh ginjal ke dalam urin. Eliminasi
bilirubin dalam empedu menggambarkan jalur utama ekskresi bagi senyawa ini.
Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika terdapat penyakit hati, bila aliran
empedu terhalang (yaitu, oleh batu empedu dalam saluran empedu) atau bila terjadi
penghancuran sel-sel darah merah yang berlebihan. Pada obstruksi saluran empedu, bilirubin
tidak memasuki intestinum dan sebagai akibatnya, urobilinogen tidak terdapat dalam urin.
d) Fungsi Kandung Empedu
Kandung empedu berfungsi sebagai depot penyimpanan bagi empedu. Di antara saat-saat makan,
ketika sfingter Oddi tertutup, empedu yang diproduksi oleh hepatosit akan memasuki kandung
empedu. Selama penyimpanan, sebagian besar air dalam empedu diserap melalui dinding
kandung empedu sehingga empedu dalam kandung empedu lebih pekat lima hingga sepuluh kali
dari konsentrasi saat diekskresikan pertama kalinya oleh hati. Ketika makanan masuk ke dalam
duodenum akan terjadi kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi yang
memungkinkan empedu mengalir masuk ke dalam intestinum. Respon ini diantarai oleh sekresi
hormon kolesitokinin-pankreozimin (CCK-PZ) dari dinding usus.
c. Sistem Vaskularisasi
Duktus biliaris ekstrahepatik mendapat vaskularisasi dari beberapa tempat, diantaranya;
Duktus hepatis dan segmen supraduodenal dari duktus koledokus mendapat aliran darah dari
cabang kecil arteri sistikus. Bagian retroduodenal dari duktus koledokus disuplai oleh cabang
retroduodenal dan posterosuperior dari arteri pankreatikoduodenal. Segmen pankreatika dan
intraduodenal divaskularisasi oleh arteri pankreatikoduodenal bagian anterior dan
posterosuperior.
2.3 Etiologi
Belum diketahui secara pasti
Kemungkinan infeksi virus dalam intrauterine (Rubela, Torch)
2.4 Patofisiologi
Penyebabnya sebenarnya atresia bilier tidak diketahui sekalipun mekanisme imun atau
viral injurio bertanggung jawab atas progresif yang menimbulkan obstruksi saluran empedu.
Berbagai laporan menunjukkan bahwa atresia bilier tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir
(Halamek dan Stefien Soen, 1997). Keadaan ini menunjukan bahwa atresia bilier terjadi pada
akhir kehamilan atau pada periode perinatal dan bermanisfestasi dalam waktu beberapa minggu
sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara progresif dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis
pada saluran empedu intrahepatik atau ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal
empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan menyebabkan peradangan, edema,
degenerasi hati, bahkan hati menjadi fibrosis dan sirosis.
Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang menimbulkan ikterus dan
duktus didalam lobus hati yang meningkatkan ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi
mencegah terjadi bilirubin ke dalam usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi bilier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah sehingga
menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya empedu dalam usus, lemak dan
vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi sehingga mengalami kekurangan vitamin yang
menyebabkan gagal tumbuh pada anak (Parakrama, 2005).
Tipe I dan II merupakan jenis atresia yang dapat di operasi (correctable) sedangkan tipe III
adalah bentuk atresia yang tidak dapat di operasi (non correctable), bila telah terjadi sirosis maka
dilakukan transpalantasi hati.
2.6 Manifestasi Klinis
1. Warna tinja pucat, terhambatnya aliran empedu untuk mengakut garam empedu yang diperlukan
untuk mencerna lemak dalam usus halus dimana fungsi empedu adalah mengekresikan bilirubin
dan membantu proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh garam empedu
2. Asites
3. Spenomegali
4. Distensi abdomen
5. Hepatomegali
6. Pruritus, akibatnya adanya obstruksi pada saluran empedu maka terjadi resistensi garam empedu
7. Jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan (kenaikan kadar bilirubin berlangsung cepat > 5 mg/dl
dalam 24 jam, kadar bilirubin serum > 12 mg/dl pada bayi cukup bulan serta > 15 mg/dl pada
bayi premature pada minggu pertama kehidupan), karena obtruksi pengaliran getah empedu
dalam duodenum akan menimbulkan gejala yang khas yaitu getah empedu tidak dibawa ke
duodenum tapi di serap oleh darah dan penyerapan empedu ini akan menyebabkan kulit dan
membrane mukosa berwarna kuning
8. Letargi
9. Urine berwarna gelap, sebagian urobilinogen memasuki sirkulasi sistemik dan di ekresikan
ginjal ke dalam urine pada obstruksi saluran empedu bilirubin tidak memasuki intestinum
sehingga urobilinogen tidak terdapat dalam urine
10. Bayi tidak mau minum dan lemah
11. Mual muntah
Gambar : Pasien dengan Artesia Bilier
2.7 Penatalaksanaan
1. Medik
a) Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk:
Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu dengan
memberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis peroral misal : luminal
Melindungi hati dari zat dari zat toksik dengan memberikan asam ursodeoksikolat 310
mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis peroral misal : urdafalk
b) Terapi nutrisi yang bertujuan untuk memungkinkan anak untuk bertumbuh dan berkembang
seoptimal mungkin yaitu:
Pemberian makanan yang mengandung middle chain triglycerides(MCT) untuk mengatasi
malabsorpsi lemak. Contoh : susu pregestinil dan pepti yunior
Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak.
Dan pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus
dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif
dapat dikurangi.
c) Terapi Bedah
Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan maka segera dilakukan intervensi bedah
Portoenterostomi terhadap atresia bilier yang Correktable yaitu tipe I dan II. Pada atresia bilier
yang Non Correktable terlebih dahulu dilakukan laparatomi eksplorasi untuk menentukan potensi
duktus bilier yang ada di daerah hilus hati dengan bantuan Frozen section. Bila masih ada duktus
bilier yang paten maka dilakukan operasi kasai. Tetapi meskipun tidak ada duktus bilier yang
paten tetap dikerjakan operasi kasai dengan tujuan untuk menyelamatkan penderita (tujuan
jangka pendek) dan bila mungkin untuk persiapan transplantasi hati (tujuan jangka panjang).
Pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus dilaksanakan
dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi.
d) Pemeriksaan diagnostik
Darah lengkap dan fungsi hati
Pada pemeriksaan laboratorium ini menunjukkan adanya hiperbilirubinemia direk, serta
peningkatan kadar serum transaminase, fosfatase alkali, dan gamma glutamil transpeptidase yang
dapat membantu diagnosis atresia bilier pada tahap awal.
Pemeriksaan urine
Pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang mengalami ikterus, tetapi urobilin
dalam urine negative, hal ini menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
Pemeriksaan feces
Warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja/stercobilin dalam tinja berkurang
karena adanya sumbatan.
Biopsi hati
Untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan dengan pengambilan
jaringan hati.
USG abdomen
Menunjukkan kandung empedu yang kecil atau tidak sama sekali, adanya tanda Triangular cord
sangat sensitive menunjukkan adanya atresia bilier.
2. Keperawatan
Terdapat beberapa intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang menderita atresia
bilier. Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi
tindakan yang akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota keluarga pasien. Segera
pembedahan portoenterestomi asuhan keperawatannya serupa dengan yang dilakukan pada setiap
pembedahan abdomen yang berat. Penyuluhan yang diberikan meliputi pemberian obat dan
terapi gizi yang benar termasuk penggunaan formula khusus, suplemen vitamin serta mineral,
terapi nutrisi enteral atau parenteral. Pruritus menjadi persoalan signifikan namun dapat
dikurangi dengan obat atau tindakan seperti mandi rendam dan memotong kuku jari tangan.
Anak-anak dan keluarga memerlukan dukungan psikososial khusus. Prognosis yang tidak
pasti, gangguan rasa nyaman, dan penantian untuk tranpalantasi dapat menimbulkan stress yang
cukup besar. Perawatan yang lama di rumah sakit, terapi farmakologis dan nutrisi dapat
membawa beban financial yang besar pada keluarga.
2.8 Komplikasi
Cirosis
Terjadi akibat obstuksi beliar yang kronis dan infeksi ( konlongitis ) dan berakibat terjadinya
jaringan parut disekitar hati dan empedu
Gagal Hati
Gangguan fungsi hati yang tampak adalah terjadinya pruritus akibat retensi garam- garam
empedu
Gagal tumbuh
Penurunan imunitas serta penyerapan nutrisi penting serta tingginya motebolisme pada atresia
mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak
Hipertensi Portal
Aliran darah yang melewati hati terganggu ( rusak ) meningkatkan tekanan darah yang melewati
vena vortal , diikuti oleh penumpukan cairan dirongga abdomen mengakibatkan volume
intravena menurun dan ginjal melepas renin yang meningkatkan skeresi hormon aldesteron oleh
kelenjar adrenal yang selanjutnya membuat ginjal menahan natriun dan air dalam upaya unruk
menggembalikan volume intravaskuler dalam keadaan normal.
Varisis Esofagus
Berkaitan dengan peningkatan vena portal darah dari taraktus intestinal dan limpa akan mencari
jalan keluar melalui sirkulasi kolateral (lintasan baru untuk kembali keatrium kanan) akibat
peningkatan tekanan khususnya dalam pembuluh darah pada lapisan sub mukosa esophagus
bagian bawah dan lambung bagian atas, pembuluh pembuluh kolateral ini tidak begitu elastic 9
rapuh dan mudah mengalami perdarahan.
2.9 Prognosis
Artesia biliear yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan sisrosis progresif dan
kematian pada sebagian besar anak usia dua tahun. Prosedur kasai benar-benar dapat
memperbaiki prognosis namun bukan tindakaan yang menyembuhkan. Kerap kali drainase getah
empedu dapat dicapai jika pembedahan dilakukaan sebelum saluran empedu intrahepatik
mengalami kerusakan yang biasanya terjadi pada usia 8 tahun.
Bila oprasi dilakukan pada usia kurang dari 8 minggu maka angka keberhasilannya 71-
86%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia lebih dari 8 minggu maka angka
keberhasilanya hanya 34-43,6 %.
Bila operasi kasai dilakukan pada usia 1-60 hari, 61-70 hari, 71-90 hari, dan lebih dari 90
hari maka masing-masing akan emberikan keberhasilan hidup sebesar 73%, 35%,23%, dan 11%.
Sedangkan bila operasi tidak dilakukan maka angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10 %, dan
meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Jadi factor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi
adalah usia saat dilakukan operasi lebih dari 60 hari. ( Wong, Donna L.2008)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
1.1 PENGKAJIAN
a. Biodata : Usia bayi, jenis kelamin
b. Keluhan utama : jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan
c. Riwayat penyakit dahulu : apakah ibu pernah terinfeksi virus seperti rubella
d. Riwayat penyakit sekarang : jaundice, tinja warna pucat, distensi abdomen, hepatomegali,
lemah, pruritus, bayi tidak mau minum, letargi
e. Pemeriksaan Fisik
1. BI : sesak nafas, RR meningkat
2. B2: takikardi, berkeringat, kecenderungan perdarahan (kekurangan vitamin K)
3. B3: gelisah atau rewel
4. B4: urine warna gelap dan pekat
5. B5: distensi abdomen, kaku pada kuadran kanan, asites, feses warna pucat, anoreksia, mual,
muntah, regurgitasi berulang, berat badan menurun, lingkar perut 52 cm
6. B6: ikterik pada sclera kulit dan membrane mukosa, kulit berkeringat dan gatal(pruritus), oedem
perifer, kerusakan kulit, otot lemah
f. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Bilirubin direk dalam serum meninggi
nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl
Bilirubin indirek serum meninggi karena kerusakan parenkim hati akibat bendungan empedu yang
luas
Tidak ada urobilinogen dalam urine
Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase alkalifosfatase (5-20 kali lipat nilai
normal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid trigiliserol)
2. Pemeriksaan diagnostik
USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab kolestasis ekstra hepatic (dapat berupa
dilatasi kristik saluran empedu)
Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan duodenum di aspirasi. Jika tidak
ditemukan cairan empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui kemampuan hati memproduksi empedu dan
mengekskresikan ke saluran empedu sampai tercurah ke duodenum. Jika tidak ditemukan
empedu di duodenum, maka dapat berarti terjadi katresia intra hepatik
Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan noduler. Kandung empedu
mengecil karena kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen yang jelas
1.2 Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan absorbsi nutrient yang buruk, mual muntah
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam jaringan dtandai
dengan adanya pruritus
4. Risiko perubahan pertumbuhan dan perkembangan (gagal tumbuh) berhubungan dengan
penyakit kronis
5. Risiko ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen
1.3 Intervensi Keperawatan
D Tujuan Tindakan Rasional
X
I Bayi akan mempertahankan Memantau asupan dan Memungkinan evaluasi
keseimbangan cairan dan elektrolit cairan bayi keseimbangan cairan
yang ditandai dengan pengisian perjam(cairan infuse, bayi dan tindakan
kembali dengan kapiler kurang dari 3 susu per NGT, atau lebih lanjut
detik, turgor kulit baik, produksi urine jumlah ASI yang
1-2ml/kgBB/jam diberikan, (timbang
popok) Mengetahui kadar PH
feces untuk
Periksa feses tiap hari menentukan absorbsi
lemak dan
karbohidrat bayi. (PH
normal 7-7,5)
Untuk mendeteksi
asites
Pasien cenderung
mengalami
luka/perdarahan gusi
Berikan perawatan dan rasa tak enak
mulut sering pada mulut dimana
menambah anoreksia
Antihistamin dapat
mengurangi rasa gatal
Gunting kuku jari
hingga pendek, berikan
sarung tangan bila
memungkinkan
Dapat menghilangkan
stress pada orangtua
Jelaskan pada orangtua yang menghadapi
bahwa bayi mereka masalah dan
dapat saja tidak memberikan
mencapai tahap-tahap informasi penting
penting perkembangan tentang cara-cara
dengan kecepatan yang menstimulasi
sama seperti pada bayi perkembangan
sehat
Mengelompokkan
intervensi
Sedapat mungkin memungkinkan bayi
lakukan intervensi beristirahat tanpa
secara berkelompok gangguan, istirahat
diperlukan untuk
tahap tumbuh
kembang bayi
V Awasi
Bayi akan mempertahankan pola nafas frekuensi, Pernafasan dangkal,
efektif, bebas dispneu dan sianosis, kedalaman, dan upaya cepat/dispneu
dengan nilai GDA dan kapasitas vital pernafasan mungkin ada
dalam rentang normal hubungan hipoksia
atau akumulasi cairan
dalam abdomen
Menunjukan
terjadinya komplikasi
Auskultasi bunyi nafas (contoh adanya bunyi
krekles, mengi dan tambahan
ronchi menunjukan
akumulasi
cairan/sekresi)
meningkatkan resiko
infeksi
Perubahan mental
dapat menunjukkan
hipoksia dan gagal
Observasi perubahan nafas
tingkat kesadaran
Memudahkan
pernafasan dengan
Berikan posisi kepala menurunkan tekanan
bayi lebih tinggi pada diagfragma
Untuk mencegah
hipoksia
Berikan tambahan O2
sesuai indikasi Mengetahui perubahan
status pernafasan dan
Kolaborasi untuk terjadinya komplikasi
pemeriksaan GDA paru
BAB IV
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Atresia billier merupakan obliterasi atau hipoflasi satu komponen atau lebih dari duktus
biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan
hati yang bervariasi dari stasis empedu sampai sirosis billliaris dengan spenomegali bila berlanjut
menjadi hipertensi porta.
Tujuan dari pengobatan atresia billier adalah untuk membuat suatu lintasan bagi empedu
bila tidak dilakukan penatalaksanaan secara memadai maka prognosis akan buruk dan kematian
akan terjadi dalam 2 tahun kehidupan.
Perawatan pra bedah dan pasca bedah dilakukan sesuai dengan jenis pada umumnya. Hal
penting lain adalah dukungan bagi orangtua. Orangtua harus mendapat penjelasan secara detail
dengan bahasa yang mudah dipahami oleh mereka, serta diberikan dorongan unutk menangani
dan merawat anak karena prognosis sering kali buruk maka mereka juga memerlukan dukungan
emosional yang besar.
5.2 SARAN
Kita sebagai perawat sebaiknya dapat memahami dan mengaplikasikan segala sesuatu yang
terjadi tentang penyakit Atresia Bilier yang telah dibahas pada makalah ini agar dapat tercipta
perawat yang profesional dalam menerapkan asuhan keperawatan secara komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3, Jakarta : EGC
DSA Gulton, Eric. 1994. Ikhtisar Penyakit Anak jilid I. Jakarta : Binarupa Aksara
Ringoringo, Parlin. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:
RS Dr. Cipto Mangunkusumo
R. Taylor, Clive dan Candrasuma Parakrama. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi Edisi 2. Jakarta :
EGC
Suddarth dan Brunner. 2001. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta : EGC
Suriadi dan Yulianni Rita. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2. Jakarta : Penebar Swadaya
Sodikin. 2007. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistim Gastrointestinal Dan Hepatobilier. Salemba
Medika
-----, 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong Edisi 6 Volume 2, Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta: FKUI.
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis proses-proses
penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.